6563 18035 1 PB PDF
6563 18035 1 PB PDF
6563 18035 1 PB PDF
Abstract. The role of the forensic autopsy is the evidence in the judiciary, the forensic autopsy issued by the
forensic medical scientist in visum et repertum when asked by the investigator to assist the investigation
process. Refers on the Article no. 133 Paragraph (1) of the Criminal Code Procedures, that states “in the case
of an investigator for the court's interest in handling a victim, whether injured, poisoned or dead suspected
to be a criminal offense, he can request for the expert information from judicial medical expert or physician
and / or other experts”. The methodology of research used by normative juridical specification that is
approach based on main legal material by studying legal theories of Article 133 paragraph (1) Criminal
Codes Procedure related by role of forensic autopsy in court. This study is descriptive analysis that has
function to obtain a comprehensive and systematic case by legal theories and practice of law implementation
concerning the role of forensic autopsy associated with child abuse that led to death. The results revealed on
the case of decision No.102 / Pid.B / 2013 / PN.Unh that has didn’t used forensic autopsy for the victim case
of Ansar, so the result of case is not clear according to the author's analysis because the causes death of Ansar
victims are not knowing.
Keywords: Forensic Autopsy, Criminal Trial, Criminal Code Procedure.
Abstrak. Peran otopsi forensik sejatinya adalah alat bukti pendukung dalam peradilan, dimana dikeluarkan
oleh saksi ahli ilmu kedokteran forensik dalam bentuk visum et repertum bilamana diminta oleh penyidik
untuk membantu proses penyelidikan. Sebagaimana Pasal 133 ayat (1) KUHAP menyebutkan dalam hal
penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan, ataupun mati diduga
kerena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainya. Metode pendekatan menggunakan
spesifikasi yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara
menelaah teori-teori hukum Pasal 133 ayat (1) KUHAP dihubungkan dengan peran otopsi forensik dalam
peradilan. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dan
sistematis mengenai teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum yang menyangkut permasalah
tentang peran autopsi forensik yang dihubungkan dengan penganiayaan anak yang menyebabkan kematian.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pada kasus putusan No.102/Pid.B/2013/PN.Unh tidak dilakukanya
otopsi forensik terhadap korban meninggal Ansar, sehingga kasus tersebut tidak jelas menurut analisa penulis
karena penyebab kematian korban Ansar tidak diketahui. Walaupun otopsi forensik hanya alat bukti
pembantu, seharusnya tetap dilakukan sehingga penyebab kematian korban Ansar diketahui.
Kata Kunci: Otopsi Forensik, Perkara Pidana, KUHAP.
A. Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28D ayat 1 telah menyebutkan secara
tegas “bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Maka dari itu
pemerintah yang menjalankan roda pemerintahan harus menerapkan apa yang sudah
diamanatkan.
Tujuan dari hukum acara pidana adalah, untuk mencari dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari
596
Peran Otopsi Forensik dalam Mengungkap Tindak Pidana … | 597
siapakah pelaku yang dapat didakwakan melalukan suatu pelanggaran hukum, dan
selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang didakwa
itu dapat dipersalahkan.1
Kebenaran itu harus didapatkan dalam menjalankan hukum acara pidana,
kebenaran tersebut merupakan tujuan dari hukum pidana. Akan tetapi, usaha hakim
menemukan kebenaran materil itu dibatasi oleh surat dakwaan jaksa. Didalam batas
surat dakwaan jaksa itu hakim harus benar-benar tidak boleh puas dengan kebenaran
formal. Untuk memperkuat keyakinanya, hakim dapat meminta bukti-bukti dari kedua
pihak, yaitu terdakwa dan penuntut umum, begitupula saksi-saksi yang diajukan kedua
belah pihak.
Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu sebagai
berikut, mencari dan menemukan kebenaran, pemeberian keputusan oleh hakim,
pelaksanaan keputusan.2 Ketiga fungsi diatas, yang paling penting karena menjadi
tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan
kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti itulah, hakim akan sampai pada putusan
(yang seharusnya adil dan tepat), yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa.
Penegakan hukum juga tidak terlepas dari pemanfaatan ilmu pengetahuan,
seperti ilmu kedokteran kehakiman yaitu merupakan cabang dari ilmu kedokteran
khusus yang berkaitan dengan interaksi (hubungan) antara medis dan hukum. 3
Tahap dalam pemeriksaan pendahuluan dan tahap pemeriksaan lanjutan disidang
pengadilan, bantuan dari seorang ahli sangat dibutuhkan dalam suatu proses
pemeriksaan perkara pidana. Seorang ahli mempunyai peran dalam hal membantu aparat
penegak hukum yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, dengan
cara mengumpulkan bukti-bukti yang berkaitan dengan bidang ahlinya, dan
memberikan petunjuk yang lebih kuat dan lebih mengarah kepada siapa pelaku tindak
kejahatan tersebut, serta memeberikan bantuan kepada hakim untuk menjatuhkan
putusan dalam sidang perkara tersebut.
Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli terdapat dalam, Pasal 120 KUHAP,
adalah ahli yang mempunyai keahlian khusus, Pasal 132 KUHAP, adalah ahli yang
mempunyai keahlian tentang surat dan tulisan palsu, Pasal 133 KUHAP, adalah untuk
menentukan korban baik luka, keracunan atau mati adalah ahli kedokteran kehakiman
atau dokter ahli laniya.
Keterangan ahli berbentuk tertulis yaitu visum et repertum, yang dimaksud visum
et repertum itu sendiri adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan apa
yang dikemukakan dalam melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang luka atau
yang meninggal dunia (mayat).4
Salah satu bagian dari ilmu kedokteran kehakiman yaitu dengan melakukan
otopsi forensik terhadap korban dalam peristiwa kematian yang tidak wajar atau
peristiwa kematian yang sebabnya mencurigakan, yang dilakukan atas permintaan
penyidik. Pengertian otopsi ialah suatu pemeriksaan terhadap tubuh mayat untuk
kepentingan tertentu, meliputi pemeriksaan bagian luar dan bagian dalam dengan
menggunakan cara-cara yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah oleh ahli
1
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 7-9
2
Ibid, hlm. 8
3
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, cetakan pertama, Dewa Ruchi, Bandung,
hlm. 1
4
Ibid, hlm. 40
5
Iwan Aflanie, et.al, Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal, cetakan pertama, PT Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2017, hlm. 243
6
Ibid, hlm. 244
7
Andang Furqon, et.all, Pengantar Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Unisba, Bandung, 2005, hlm. 1-2
8
Sudarto, Hukum Pidana 1A 1B, Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto, 1990
9
Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 7
suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan.10
Dalam hubunganya dengan kegunaan dan perananya A. Gumilang (1991:54)
menyatakan secara jelas, bahwa, visum et repertum sangat penting gunanya dan
perananya dalam bidang pengadilan. Visum et repertum akan sangat membantu bagi
hakim dalam usahanya membuat terang suatu perkara. Visum et repertum merupakan
keterangan dokter ahli di luar kemampuan penyidik (polisi) maupun hakim.11
Bagi pengadilan hakim tetap dijamin kebebasanya oleh undang-undang artinya
hakim sekali-kali tidak wajib menurut pendapat ahli (atau keterangan dokter/ahli yang
termuat dalam visum et repertum) jika bertentangan dengan keyakinanya. Hal ini jarang
terjadi sehingga umumnya keterangan dokter ahli dalam visum et repertum dibuat
berdasarkan objektivitas dan hasilnya sangat mendekati kebenaran. visum et repertum
merupakan pengganti korban dalam sidang pengadilan. 12
Tugas seorang dokter ahli dalam membantu aparat penegak hukum adalah
sebagai salah satu tugas yang wajib yang dilakukan olehnya di dalam menangani suatu
kasus tindak pidana, misalnya dalam tugas memeriksa luka, memeriksa mayat (tubuh
mayat).13 Kewajiban dokter ahli tersebut dapat terlaksana apabila kepadanya telah
dilakukan permintaan/permohonan menurut prosedur aturan yang berlaku khusus oleh
penyidik.14 Penolakan dokter ahli tanpa alasan yang dibenarkan atas permohonan
penyidik menurut prosedur hukum untuk membuat visum et repertum, menjadi saksi
bahkan tidak datang sebagai saksi dapat diancam pidana berdasarkan ketentuan Pasal
216 dan Pasal 224 KUHP dan Pasal 522 KUHP. 15
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 184 ayat
(1) telah menjelaskan bahwa visum et repertum merupakan alat bukti yang sah
digunakan oleh aparat penegak hukum. Visum et repertum adalah hasil pemeriksaan
seorang dokter tentang apa yang dilihatnya, apa yang diketemukakanya dan apa yang ia
dengar sehubungan dengan seseorang yang luka, seseorang yang terganggu kesehatanya
dan seseorang yang mati. Dari pemeriksaan dimaksud diharapkan akan terungkapnya
mengenai sebab-sebab terjadinya kesemuanya itu dalam kaitanya dengan kemungkinan
telah terjadinya tindak pidana.16
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang menyatakan bahwa : 17 “Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana,
kecuali apabila pengadilan karena telat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang,
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah
bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”. Pembuktian tentang benar
tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang
terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana
akibatnya jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan
yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang disertai keyakinan hakim, padahal tidak
10
Ibid, hlm. 8
11
Tolib Setiady, Op.cit, hlm. 45
12
Ibid, hlm. 45
13
Ibid, hlm. 46
14
Ibid, hlm. 46
15
Ibid, hlm. 46
16
Ibid, hlm. 52
17
Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Pasal ayat (2)
benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran
materil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran
formal.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada studi kasus penulis putusan No.102/Pid.B/2013/PN.Unh menyangkut peran
otopsi dalam sistem peradilan, penulis akan menjelaskan peran otopsi forensik dalam
sistem peradilan. Adapun otopsi termasuk kedalam bagian visum et repertum. Kegunaan
visum et repertum semata-mata hanya dibuat dan dibutuhkan dalam rangka upaya
penegakan hukum dan keadilan, dengan perkataan lain yang berlaku sebagai konsumen
atau pemakai visum et repertum adalah aparat penegak hukum dimana penyidik sebagai
instansi pertama yang memerlukan visum et repertum guna membuat terang dan jelas
suatu perkara pidana yang telah terjadi khususnya yang menyangkut tubuh, kesehatan
dan nyawa manusia. Sebagaimana yang tertera dalam Pasal 133 KUHAP (1) dalam hal
penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan,
ataupun mati diduga kerena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
dan atau ahli lainya. Dalam Pasal 222 KUHP juga disebutkan barangsiapa mencegah,
menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
Dua Pasal diatas telah menggambarkan bagaimana peran otopsi forensik dalam
membantu hakim untuk memutus suatu perkara yaitu sangat penting, karena ilmu otopsi
forensik bukanlah keahlian hakim, maka dari itu hakim membutuhkan keterangan ahli
yang memiliki ilmu tersebut.
Bagi hakim tetap dijamin kebebasanya oleh undang-undang artinya hakim
sekali-kali tidak wajib menurut pendapat ahli (atau keterangan dokter/ahli yang termuat
dalam visum et repertum) jika bertentangan dengan keyakinanya. Akan tetapi hal ini
jarang terjadi sehingga umumnya keterangan dokter ahli dalam visum et repertum dibuat
berdasarkan objektivitas dan hasilnya sangat mendekati kebenaran. Dan visum et
repertum itu sendiri merupakan pengganti korban dalam sidang pengadilan.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan (KUHP dan KUHAP) tidak
mengatakan dengan tegas bahwa dokter wajib memberikan bantuan dalam kaitanya
dengan proses peradilan apabila diminta. Akan tetapi bila kita berpedoman atau melihat
isi dari ketentuan Pasal 224 KUHP maka kesan tidak wajib tersebut akan menjadi wajib.
Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 224 KUHP dokter wajib memberikan bantuanya
apabila diminta. Di samping itu juga perlu diketahui bahwa dokter adalah pegawai
negeri yang berkewajiban untuk mengabdi kepada kepentingan masyarakat dan negara
dalam pengertian yang sangat luas, sehingga penolakan terhadap kewajiban itu berarti
melanggar undang-undang. Selain itu hakim juga harus berperan aktif, apabila alat bukti
yang dihadirkan didalam persidangan kurang meyakinkan dirinya maka hakim harus
meminta alat bukti yang lebih meyakinkannya lagi kepada penyidik.
Tujuan hukum acara pidana terdapat salah satu poin yaitu mencari dan
menemukan kebenaran, seharusnya hakim dalam studi kasus penulis harus melakukan
poin tersebut dengan sungguh-sungguh, sehingga terdakwa tidak terbukti melakukan
pengniayaan menyebabkan kematian. Tetapi yang menjadi masalah lain adalah
semuanya akan kembali kepada keyakinan hakim itu sendiri, apakah dia terbukti atau
tidak. Tetapi menurut penulis rasanya tidak adil, karena otopsi forensik tidak dilakukan.
Sangat disayangkan tidak dilakukanya otopsi forensik itu sendiri, padahal dengan
dilakukanya otopsi tersebut maka pengungkapan kematian korban bisa menjadi tuntas.
Volume 3, No.2, Tahun 2017
Peran Otopsi Forensik dalam Mengungkap Tindak Pidana … | 601
Dan bisa jadi putusan yang dikeluarkan hakim bisa berbeda dengan yang ada sekarang.
D. Kesimpulan
Peran otopsi forensik dalam mengungkap tindak pidana penganiayaan
menyebabkan kematian itu perlu dilakukan. Penulis beranggapan perlu dilakukan,
karena berdasarkan Pasal 133 ayat (1) KUHAP dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan, ataupun mati diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainya. Dalam Pasal
222 KUHP juga disebutkan barangsiapa mencegah, menghalang-halangi atau
menggaalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Dan juga
Pasal 224 KUHP barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut
undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang
yang harus dipenuhinya, diancam dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan, dalam perkara lain dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
Dalam hal ini hakim dibantu dalam memutus suatu perkara dengan adil dengan dibantu
oleh keterangah ahli otopsi forensik. Berdasarkan Pasal 133 ayat (1) KUHAP memang
alat bukti visum hanya sebagai alat bukti pendukung, tetapi untuk studi kasus penulis
putusan No.102/Pid.B/2013/PN.Unh alat bukti otopsi forensik sangat dibutuhkan agar
studi kasus penulis menjadi terang.
Hakim sebagai wakil tuhan di muka bumi, harusnya dalam memutus suatu
perkara harus berdasarkan alat bukti yang lengkap. Seperti melakukan otopsi forensik
terhadap korban meninggal pada studi kasus penulis putusan
No.102/Pid.B/2013/PN.Unh. Sebagaimana Pasal 133 ayat (1) KUHAP menjelaskan
perlunya otopsi forensik terhadap korban luka, keracunan ataupun mati.
Tujan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara
pidana secara jujur dan tepat. Berdasarkan Pasal 133 ayat (1) KUHAP memang alat
bukti visum hanya sebagai alat bukti pendukung, tetapi untuk studi kasus penulis
putusan No.102/Pid.B/2013/PN.Unh alat bukti otopsi forensik sangat dibutuhkan agar
kasus tersebut menjadi terang.
Daftar Pustaka
Buku:
Aflanie, Iwan, Nila Nirmalasari, dan Muhammad Hendy Arizal. 2017. Ilmu Kedokteran
Forensik & Medikolegal. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Furqon, Andang, Harumiati, Neni Sri Imaniyati, dan Diana Wiyanti. 2005. Pengantar Hukum
Indonesia. Bandung: Fakultas Hukum Unisba.
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia, cetakan kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Setiady, Tolib. t.thn. Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman. Bandung: Dewa Ruchi.
Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Putusan Pengadilan Nomor 102/Pid.B/2013/PN.Unh
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Ilmu Hukum, Gelombang 2, Tahun Akademik 2016-2017