Bab I Pendahuluan: Mycobacterium Tuberculosis

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Tuberkulosis adalah penyakit menular yang umumnya menyerang parenkim
paru dan disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini
berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal dengan Basil Tahan
Asam (BTA). Sebagian besar infeksi tidak memiliki gejala yang dikenal sebagai
TB laten, di mana sekitar 10% dari infeksi laten ini dapat mengembangkan
penyakit seumur hidup yang dapat membunuh sekitar setengah dari mereka yang
terinfeksi.1
Tingginya angka mortalitas dan morbiditas yang disebabkan oleh penyakit
tuberkulosis (TB). Berdasarkan data World Health Organization (WHO) terdapat
peningkatan angka kejadian penyakit tuberkulosis setiap tahunnya di seluruh
dunia, yaitu pada tahun 2013 terdapat 9 juta kasus, pada tahun 2014 terdapat 9,6
juta kasus, dan pada tahun 2015 terdapat 10,4 juta kasus dimana 1,2 juta (11%)
diantaranya adalah pasien dengan HIV positif. Jumlah kasus TB terbanyak berada
pada enam negara menyumbang 60% dari kasus baru yaitu India, Indonesia, Cina,
Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan. Penyakit TB paru merupakan salah satu dari
sepuluh penyakit teratas penyebab kematian di seluruh dunia. Sekitar 1,4 juta
kematian TB pada tahun 2015, dan 0,4 juta kematian akibat penyakit TB dengan
HIV positif.2,3
Berdasarkan data Kemenkes tahun 2013 setiap tahun didapatkan sekitar
250.000 kasus TB baru di Indonesia dan sekitar 100.000 kematian akibat penyakit
TB. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor satu diantara penyakit
infeksi dan menduduki tempat ketiga sebagai penyebab kematian pada semua
umur setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran napas akut di
Indonesia. Bengkulu merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan angka
kejadian TB paru cukup tinggi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, angka kejadian TB paru di
Bengkulu berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru adalah 0,2 %. Angka
kejadian TB paru di Bengkulu terus mengalami peningkatan setiap tahunnya yaitu

1
pada tahun 2007 sebanyak 3.660 kasus, tahun 2008 sebanyak 3.896 kasus, tahun
2009 sebanyak 3.914 kasus, dan pada tahun 2010 ditemukan sebanyak 3.926
kasus yang tersebar dalam beberapa kabupaten/kota dalam Provinsi Bengkulu
termasuk Kota Bengkulu.4,5
Salah satu faktor penentu keberhasilan terapi tuberkulosis yaitu kepatuhan
pasien terhadap pengobatan. Ketidakpatuhan pasien TB paru berobat akan
menyebabkan angka kesembuhan pasien rendah, angka kematian tinggi dan angka
kekambuhan meningkat serta yang lebih fatal adalah terjadinya resisten kuman
terhadap beberapa obat anti tuberkulosis atau dikenal dengan istilah Multidrug
resistant tuberculosis (MDR-TB), sehingga penyakit tuberkulosis paru sangat
sulit disembuhkan. Hal ini dapat meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas, dan
resistensi obat baik pada pasien maupun pada masyarakat luas.6
Penelitian Amiruddin (2006) menunjukkan bahwa terdapat tiga variabel
yang mempengaruhi terjadinya kesembuhan dalam pengobatan pasien TB Paru di
kota Ambon, yaitu Pengawas Minum Obat (PMO), kepatuhan berobat pasien TB
Paru dan efek samping obat. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa faktor
kepatuhan pengobatan memiliki pengaruh yang kuat dalam menentukan
kesembuhan pasien TB Paru di Jakarta Barat. Berdasarkan penelitian Kusumawati
tahun 2015, ia menemukan bahwa dukungan keluarga merupakan faktor penting
keberhasilan pasien TB dalam mematuhi program pengobatan. Peran keluarga
sebagai Pengawas Minum Obat (PMO) bagi penderita TB Paru sangat perlu untuk
membantu mengawasi dan mengingatkan penderita untuk minum obat secara
teratur dan sesuai, karena pengobatan secara teratur dan sesuai sangat penting bagi
penderita TB Paru agar tidak terjadi masalah yang lebih serius apabila tidak
teratur dalam pengobatan. Kepatuhan pasien yang rendah dalam minum OAT
menyebabkan pasien menjadi sumber penularan kuman TB, hal ini tentunya akan
mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta memperberat
beban pemerintah.6,8
Dari uraian di atas penulis tertarik untuk mengetahui bagaimanakah
mortalitas dan morbiditas penyakit tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas
Sukamerindu Kota Bengkulu.

2
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah laporan
diskusi topik khusus ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit tuberkulosis (TB)?
2. Bagaimana mortalitas dan morbiditas penyakit tuberkulosis di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Sukamerindu?
3. Bagaimana gambaran karakteristik dan kepatuhan pengobatan pasien
TB di wilayah kerja UPTD Puskesmas Sukamerindu?

1.3. TUJUAN
1.3.1 Tujuan Umum
Diketahuinya angka mortalitas dan morbiditas penyakit tuberkulosis di
wilayah kerja Puskesmas Sukamerindu.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi angka kejadian penyakit tuberkulosis di wilayah
kerja Puskesmas Sukamerindu.
2. Mengidentifikasi gambaran karakteristik dan kepatuhan pengobatan
pasien TB di wilayah kerja Puskesmas Sukamerindu.

1.4. MANFAAT
1.4.1 Bagi Puskesmas
Sebagai bahan masukan bagi petugas puskesmas dalam mengelola program
penanggulangan penyakit menular khususnya mortalitas dan morbiditas
penyakit tuberkulosis di UPTD Puskesmas Sukamerindu.
1.4.2 Bagi FKIK Universitas Bengkulu
Menambah wawasan dan pengetahuan baru serta menambah referensi bagi
civitas akademika di lingkungan Fakultas Ilmu Kedokteran Ilmu Kesehatan
Universitas Bengkulu.
1.4.3 Bagi penulis
Sebuah pengalaman dan menambah wawasan dalam mengaplikasikan
pengetahuan yang telah diperoleh selama proses belajar dalam perkuliahan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Penyakit Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-
paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil
dan keras yang terbentuk pada saat sistem kekebalan membangun tembok
mengelilingi bakteri dalam paru. TB paru ini bersifat kronis dan secara khas
ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan.
TB paru dapat menular melalui udara ketika seseorang dengan TB paru aktif
batuk atau bersin.1

2.1.2 Etiologi
Penyakit TB paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan
asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA).1 Sumber
penularan adalah pasien tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau
bersin.
Pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam. Seseorang dapat terinfeksi jika droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis
masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tersebut dapat
menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh
lainnya.
Daya penularan dari seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
dan derajat positif hasil pemeriksaan dahak. Bila hasil pemeriksaan dahak
negatif (tidak terlihat kuman), maka pasien tersebut dianggap tidak menular.
Seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam
udara dan lamanya menghirup udara tersebut.6,7

4
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Kuman dapat hidup
dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin ( dapat tahan bertahun -
tahun dalam lemari es ) dimana kuman dalam keadaan dormant.7

Gambar 2.1. Mikroskopik Mycobacterium Tuberculosis7

2.1.3 Faktor risiko


Faktor risiko TB dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan:
A. Faktor Host
1) Kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk terkena TB.
2) Status nutrisi, seseorang dengan berat badan kurang memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk terkena TB. Vitamin D juga memiliki peran
penting dalam aktivasi makrofag dan membatasi pertumbuhan
Mycobacterium tuberculosis. Penurunan kadar vitamin D dalam
serum akan meningkatkan risiko terinfeksi TB.
3) Penyakit sistemik, pasien dengan penyakit - penyakit seperti
keganasan, gagal ginjal, diabetes, ulkus peptikum memiliki risiko
untuk terkena TB.
4) Immunocompromised, seseorang yang terkena HIV memiliki
risiko untuk terkena TB primer ataupun reaktifasi TB. Selain itu,
pengguna obat-obatan seperti kortikosteroid dan TNF-inhibitor
juga memiliki risiko untuk terkena TB.

5
5) Usia, di Amerika dan negara berkembang lainnya, kasus TB
lebih banyak terjadi pada orang tua daripada dewasa muda dan anak-
anak.

B. Faktor lingkungan
Orang yang tinggal serumah dengan seorang pasien TB akan berisiko
untuk terkena TB. Selain itu orang yang tinggal di lingkungan yang banyak
terjadi kasus TB juga memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena TB. Selain
itu sosioekonomi juga berpengaruh terhadap risiko untuk terkena TB
dimana sosioekonomi rendah memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena
TB.9

2.1.4 Klasifikasi
A. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi dalam7 :
1) Tuberkulosis Paru BTA (+)
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif.
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan biakan positif.
2) Tuberkulosis Paru BTA (-)
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis
aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas.
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan Mycobacterium tuberculosis positif

6
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien
yaitu10:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis
harian).
2) Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologi
sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa
kemungkinan:
- Infeksi sekunder
- Infeksi jamur
- TB paru kambuh
3) Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
4) Kasus lalai berobat
Adalah pasien yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti
2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya
pasien tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
5) Kasus Gagal
- Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan).
- Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologi positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau
gambaran radiologi ulang hasilnya perburukan.

7
6) Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang
baik.
7) Kasus bekas TB
- Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)
negatif dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB inaktif,
terlebih gambaran radiologi serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih
mendukung.
- Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan lesi TB aktif,
namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata
tidak ada perubahan gambaran radiologi.

B. Tuberkulosis Ekstra Paru


TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakit, yaitu10 :
1) TB di luar paru ringan
Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2) TB diluar paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat
kelamin.

8
Gambar 2.2. Skema Klasifikasi Tuberkulosis10

2.1.5 Gambaran Klinik


Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologi dan
pemeriksaan penunjang lainnya10:
A. Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1) Gejala respiratorik:
• batuk ≥ 3 minggu • batuk darah • sesak napas • nyeri dada
2) Gejala sistemik:
• Demam • gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia,
berat badan menurun
B. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan Umum
Badan kurus, berat badan menurun
2) Pemeriksaan Paru
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit
umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru

9
pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex,
segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan
thoraks paru dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma, dan mediastinum.

C. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Bakteriologik
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses
dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3
kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau dengan cara:
• Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
• Dahak Pagi (keesokan harinya )
• Sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)
2) Pemeriksaan Biakan Kuman
Pemeriksaan biakan Mycobacterium tuberculosis dengan metode
konvensional ialah dengan cara :
• Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)
• Agar base media : Middle brook
3) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto
lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi yaitu foto apiko-lordotik, oblik,
CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
 Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah
• Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular

10
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
 Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif
• Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
• Kalsifikasi atau fibrotik
• Kompleks ranke
• Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
4) Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru
dengan Trans Bronchial Lung Biopsy (TBLB), Trans Thoracal Biopsy
(TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening
dan biopsi organ lain di luar paru. Dapat pula dilakukan biopsi
aspirasi dengan jarum halus (BJH). Pemeriksaan biopsi dilakukan
untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis
ekstra paru. Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan
histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan
hasil berupa granuloma dengan perkijuan.
5) Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan
kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator
tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik pasien,
sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap
pengobatan pasien serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat
penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi
laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis.
6) Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di
daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan
prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin
sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang
dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari

11
uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan
dari uji yang didapat besar sekali atau bula.

Gambar 2.3. (A) Skema Alur Diagnosis TB10

12
Gambar 2.3. (B) Skema Alur Diagnosis TB10

2.1.6 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri
dari paduan obat utama dan tambahan.
A. Obat Anti Tuberkulosis
Obat yang dipakai:
1) Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah7,10:
- Rifampisin

13
- INH
- Pirazinamid
- Streptomisin
- Etambutol
2) Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) terdiri dari10:
- Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150
mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg
dan
- Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150
mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg.
3) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
- Kanamisin
- Kuinolon
- Obat lain masih dalam penelitian; makrolid, amoksilin + asam
klavulanat
- Derivat rifampisin dan INH
B. Efek Samping OAT

Gambar 2.4. Tabel efek samping OAT10

14
C. Paduan OAT
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
1) TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH
Alternatif : 2 RHZE / 4R3H3 atau
(program P2TB) 2 RHZE/ 6HE
Paduan ini dianjurkan untuk:
- TB paru BTA (+), kasus baru
- TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas
- TB di luar paru kasus berat

Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7


bulan, dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3,
seperti pada keadaan:
- TB dengan lesi luas
- Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat
imunosupresi / kortikosteroid)
- TB kasus berat (milier, dll)
2) TB Paru (kasus baru), BTA negatif
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH
Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk :
- TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologi lesi minimal
- TB di luar paru kasus ringan
3) TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT
pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat
diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase
lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya,
sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH. Bila tidak ada
/ tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat :
2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB)

15
4) TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan
minimal menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih
sensitif ( seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan lama
pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Menunggu hasil uji resistensi
dapat diberikan dahulu 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai
uji resistensi:
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan
paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB). Dapat
pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang
optimal. Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru.
5) TB Paru kasus lalai berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali
sesuai dengan kriteria sebagai berikut:
- Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan
OAT dilanjutkan sesuai jadwal
- Pasien menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu
1. Berobat ≥ 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologi negatif,
pengobatan OAT STOP
2. Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama
3. Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang sama
4. Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif,
akan tetapi klinik dan atau radiologi positif : pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
5. Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu
pengobatan diteruskan kembali sesuai jadwal.
6) TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji
resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi,

16
sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2 macam
OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun
resisten) ditambah dengan obat lain seperti kuinolon, betalaktam,
makrolid.
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup -
Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan.
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru

2.2. Mortalitas dan Morbiditas


2.2.1 Definisi
Mortalitas diartikan sebagai kematian yang terjadi pada anggota penduduk.
Secara etimologi, kematian (death) berasal dari kata deeth atau deth yang
berarti keadaan mati atau kematian. Sedangkan secara definitif, kematian
adalah terhentinya fungsi jantung dan paru secara menetap atau terhentinya
kerja otak secara permanen. Morbiditas adalah nama lain dari penyakit atau
kesakitan. Morbiditas diartikan sebagai penyakit dan kesakitan yang dapat
menimpa manusia lebih dari satu kali. Morbiditas merupakan penyimpangan
dari keadaan normal dan biasanya dibatasi pada kesehatan fisik dan
mental.12
Sesuai dengan konsep H.L. Blum, konsep penyakit timbul diakibatkan
karena adanya ketidakseimbangan di antara empat komponen hidup
manusia, yakni unsur genetik, layanan kesehatan, perilaku masyarakat, dan
lingkungan. Lingkungan dalam konsep di sini mencakup unsur ideologi,
sosial, budaya, ekonomi, ras, agama, dan adat. Serangkaian morbiditas yang
terjadi di masyarakat tersebut disebut dengan morbiditas kumulatif.
Morbiditas kumulatif akhirnya akan menghasilkan peristiwa yang disebut
dengan mortalitas (kematian).11

17
2.2.2 Sumber Data Mortalitas dan Morbiditas
Sumber data mortalitas dan morbiditas dapat ditemukan melalui beberapa
cara yaitu16 :
A. Sumber data dari populasi
1) Sensus penduduk
Sensus merupakan keseluruhan proses pengumpulan data,
menghimpun, menyusun, dan menerbitkan data-data yang berkaitan
dengan semua orang pada waktu tertentu di suatu negara dan satu
wilayah tertentu.
2) Catatan peristiwa vital (registrasi vital)
Registrasi vital merupakan upaya pengumpulan data-data mengenai
peristiwa penting yang menyangkut hal kelahiran dan kematian. Di
antara kelebihannya, sistem registrasi vital akan memiliki data yang
bertahan lama dan mudah diperoleh kapan saja saat dibutuhkan.
3) Pelaporan dan pencatatan penyakit
Pelaporan dan pencatatan penyakit yang dilakukan akan menghasilkan
suatu rekam medik. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) nomor 269 tahun 2008 tentang rekam medis, rekam
medik adalah berkas yang berisi catatan tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien.
4) Survei kesehatan
Survei tidak jauh berbeda dengan sensus. Namun survei lebih
menekankan pada karakteristik penduduk. Survei hanya mengambil
beberapa sampel dari masyarakat. Survei lebih memiliki data yang
terkonsentrasi pada satu tujuan tertentu. Survei kesehatan yang telah
dilaksanakan di Indonesia meliputi Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT), Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), dan Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

18
B. Pengukuran Mortalitas dan Morbiditas
Ukuran mortalitas dan morbiditas digunakan sebagai dasar untuk
menentukan tinggi rendahnya tingkat kesakitan atau kematian suatu
komunitas penduduk. Terdapat beberapa ukuran kesakitan dan kematian
yang telah dikenal. Pengukuran tersebut dimulai dari yang paling sederhana
hingga pengukuran yang cukup kompleks. Beberapa ukuran yang digunakan
dalam studi mortalitas dan morbiditas adalah angka rasio, proporsi,
prevalensi, insiden, dan person years lived.12
Ukuran mortalitas berhubungan dengan peristiwa kematian yang
dinyatakan dalam bentuk rate dan rasio. Dalam bentuk rate, penyebut
dinyatakan sebagai populasi yang berisiko mengalami kematian. Sedangkan
pembilang dinyatakan sebagai peristiwa kematian yang dialami oleh
populasi yang sama dengan yang disebut penyebut. Beberapa macam terkait
pengukuran mortalitas adalah sebagai berikut12,14 :
1) Annual Crude Death Rate (ACDR)
Merupakan ukuran kematian yang paling sering digunakan sebagai
acuan derajat kesehatan suatu komunitas atau masyarakat.
Rumus dari ACDR adalah :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛


×𝐾
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛

2) Annual Spesific Death Rate (ASDR)


Merupakan ukuran kematian pada kelompok masyarakat pada usia
tertentu. Beberapa manfaat dari ASDR adalah sebagai berikut :
- Untuk mengetahui dan menggambarkan derajat kesahatan
masyarakat dengan melihat kematian tertinggi pada golongan umur
- Untuk membandingkan taraf kesehatan masyarakatdi berbagai
wilayah
- Untuk menghitung rata-rata harapan hidup (angka harapan hidup)

19
Rumus dari ASDR adalah :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛


×𝐾
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝑑𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛

3) Maternal Mortality Rate (MMR)


Merupakan ukuran kematian yang disebabkan oleh karena kematian
pada proses melahirkan akibat komplikasi kehamilan, persalinan, dan
masa nifas yang dicatat selama satu tahun per 1000 kelahiran hidup
pada tahun yang sama.
Rumus dari MMR adalah :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑖𝑏𝑎𝑡 𝑚𝑒𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛


×𝐾
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎

Tinggi rendahnya angka MMR tergantung kepada:


- Sosial ekonomi
- Kesehatan ibu sebelum hamil, persalinan, dan masa nasa nifas
- Pelayanan terhadap ibu hamil
- Pertolongan persalinan dan perawatan masa nifas

4) Infant Mortality Rate (IMR)


Penentuan jumlah kematian bayi pada usia di bawah satu tahun
memerlukan perhatian khusus karena seringkali peristiwa kelahiran
dari bayi yang meninggal terjadi pada periode sebelumnya. Oleh
karena itulah, diperlukan beberapa penyesuaian. Salah satu bentuk
penyesuaian yang bisa dilakukan adalah mengelompokkan bayi yang
meninggal sesuai dengan tahun kelahirannya.

20
Rumus IMR adalah :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛


×𝐾
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎

5) Neonatal Mortality Rate (NMR)


Pegukuran ini merupakan bentuk upaya untuk memahami kejadian
kematian pada bayi baru lahir yang merupakan kondisi spesifik dari
angka kematian bayi (AKB).
Rumus NMR adalah :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑢𝑠𝑖𝑎 < 28 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛


×𝐾
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎

6) Cause of Death Rasio (CDR)


CDR menyatakan tingkat kematian berdasarkan penyebab tertentu
seperti penyakit. Manfaat penggunaan CDR antara lain adalah :
- Sebagai gambaran status kesehatan masyarakat
- Sebagai gambaran tingkat permasalahan penyakit dalam
masyarakat
- Sebagai gambaran kondisi sosial ekonomi
- Sebagai gambaran kondisi lingkungan dan biologis
- Untuk menghitung laju pertumbuhan penduduk
Rumus CDR adalah :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑠𝑒𝑏𝑎𝑏𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑎𝑘𝑖𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛


× 100.000
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑎𝑏 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎

7) Child Mortality Rate (CMR)


CMR atau Angka Kematian Anak (AKA) adalah jumlah kematian
anak berumur 1-4 tahun selama satu tahun tertentu per 1000 anak
umur yang sama pada pertengahan tahun itu.

21
Rumus CMR adalah :

𝑥
×𝐾
𝑦

Pembilang (x) = jumlah kematian anak balita (1-4 tahun) pada suatu
wilayah dan periode waktu tertentu
Penyebut (y) = jumlah seluruh penduduk usia 1-4 pada pertengahan
tahun dalam tahun dan wilayah yang sama
Konstanta (K) = 1000

Pengukuran morbiditas berhubungan dengan tingkat kesakitan


masyarakat akibat penyakit tertentu. Dua ukuran morbiditas antara lain
adalah6 :
1) Incident Rate (IR)
Insidensi digunakan sebagai alat ukur rate dari kasus baru penyakit,
gangguan, atau cedera yang terjadi dalam satu populasi. Insidensi
adalah jumlah kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam suatu
periode waktu dibandingkan dengan unit populasi tertentu dalam
periode waktu tertentu. Untuk dapat menghitung angka insidensi suatu
penyakit, sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu tentang:
- Data tentang jumlah pasien baru
- Jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit baru (Population
at Risk)
Rumus insidensi (IR) adalah sebagai berikut :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑎𝑘𝑖𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛


×𝐾
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛

22
2) Prevalence Rate (PR)
Prevalensi titik suatu penyakit menyatakan jumlah penduduk yang
sakit pada titik waktu tertentu, tanpa memperhitungkan kapan kasus
penyakit itu telah dimulai. Angka prevalensi titik adalah rasio antara
prevalensi dengan penduduk atau jumlah orang yang berisiko pada
titik waktu tersebut. Prevalensi periode suatu penyakit menyatakan
jumlah penduduk yang sakit, baik sakit lama maupun baru, selama
periode waktu tertentu. Prevalensi periode merupakan jumlah antara
prevalensi titik pada awal suatu periode waktu dan insiden selama
periode waktu tersebut. PR yang ditentukan pada waktu tertentu
(misal pada Juli 2000) disebut Point Prevalence Rate. PR yang
ditentukan pada periode tertentu (misal 1 Januari 2000 s/d 31
Desember 2000) disebut Periode Prevalence Rate.
Rumus PR adalah :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑎𝑘𝑖𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒


×𝐾
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎

C. Determinan Mortalitas dan Morbiditas


Terkait determinannya, morbiditas dapat diklasifikasikan menjadi tiga
macam faktor penyebab. Antara lain adalah host, agent, dan environment.2
1) Pejamu (Host)
Pejamu adalah semua yang terdapat pada diri manusia dan dapat
mempengaruhi timbulnya panyakit atau dapat menyebabkan
kesakitan.
- Faktor keturunan
- Mekanisme pertahanan tubuh
- Umur
- Jenis kelamin
- Ras
- Status perkawinan
- Pekerjaan
- Kebiasaan hidup

23
2) Bibit penyakit (Agent)
Adalah suatu substansi atau elemen yang kehadiran atau ketidak-
hadirannya dapat menimbulkan penyakit atau menyebabkan kesakitan.
Zat gizi dibutuhkan oleh tubuh untuk melangsungkan fungsi
kehidupan. Jika seseorang mengalami kekurangan atau kelebihan zat
gizi ini maka dapat menimbulkan penyakit tertentu. Apabila tubuh
terkena atau kemasukan zat kimia tertentu seperti logam berat, gas
beracun, atau debu maka akan menimbulkan beberapa penyakit
tertentu. Golongan fisik seperti suhu yang terlalu dingin atau terlalu
rendah, kebisingan, kelembaban, tekanan udara, dan radiasi dapat
menimbulkan berbagai macam penyakit karena peranannya yang
mempengaruhi fisiologis tubuh. Hampir sama seperti golongan fisik,
namun pada mekanik ada campur tangan manusia di dalamnya.
Seperti pukulan dan benturan. Penyebab penyakit yang termasuk
golongan biologik antara lain berupa mikroorganisme, hewan,
maupun tumbuhan.8
3) Lingkungan (Environment)
Lingkungan adalah seluruh kondisi dan pengaruh luar yang
mempengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu organisme.
Lingkungan terbagi menjadi dua, yakni :
- Lingkungan fisik
- Lingkungan non-fisik

Sedangkan untuk determinan mortalitas, beberapa aspek yang dilihat


antara lain adalah :
1) Penyakit menular
Penyakit menular, baik yang ditularkan secara langsung maupu tidak
langsung, seperti HIV/AIDS, hepatitis, dan demam berdarah dapat
menyebabkan kematian karena penyakit menular kurang tertangani
dengan baik.

24
2) Kecelakaan
Kecelakaan masih menyumbangkan angka yang tinggi untuk
kematian. Kematian yang disebabkan oleh kecelakaan dapat timbul
karena berbagai faktor seperti kondisi jalan yang kurang baik,
ketidakpatuhan terhadap aturan lalu lintas, kondisi fisik yang kurang
baik saat berkendara, dan berkendara dalam pengaruh obat.
3) Gaya hidup yang berisiko terhadap kematian.
Mengkonsumsi makanan cepat saji atau makanan instan merupakan
kecenderungan gaya hidup yang berisiko terhadap kesehatan,
disamping karena kandungan zat kimia yang terdapat dalam makanan
olahannya, juga nilai gizi yang terdapat dalam makanan cepat saji dan
makanan instan tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh.
4) Penyakit sistem pernapasan bagian atas (ISPA) dan diare
Merupakan penyakit karena infeksi kuman. ISPA merupakan salah
satu penyakit yang dapat menyebabkan kematian bayi dan balita yang
umumnya disebabkan oleh faktor gizi buruk dan higiene sanitasi yang
kurang baik.
5) Pengetahuan tentang kesehatan, gizi, dan kesehatan lingkungan.
Pengetahuan masyarakat yang tinggi mengenai kesehatan, gizi, dan
kesehatan lingkungan dapat memperkecil angka kematian yang terjadi
dalam masyarakat, namun jika tingkat pengetahuan masyarakat
rendah, maka dapat terjadi yang sebaliknya.
6) Kepercayaan dan nilai-nilai
Kepercayaan yang berkembang di masyarakat terkait adat istiadat dan
kebiasaan yang belum terbukti kebenarannya dapat mempengaruhi
tingkat kematian, seperti kepercayaan budaya pada beberapa
masyarakat yang lebih percaya berobat pada dukun daripada berobat
pada dokter. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat juga
dapat menjadi faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kematian,
seperti nilai-nilai yang ada di daerah suku di Papua yang akan
mengasingkan perempuan ketika mengalami haid.

25
BAB III
PEMBAHASAN

3. 1. Mortalitas dan Morbiditas Penyakit Tuberkulosis di Wilayah UPTD


Puskesmas Sukamerindu
Penyakit tuberkulosis masih menjadi salah satu masalah kesehatan di beberapa
daerah di Indonesia salah satunya yaitu Provinsi Bengkulu terutama Kota
Bengkulu. Puskesmas Sukamerindu merupakan salah satu pelayanan kesehatan
primer yang terletak di Kota Bengkulu yang memiliki upaya untuk mengendalikan
morbiditas dan mortalitas penyakit tuberkulosis di wilayah kerjanya. Data yang
diperoleh dari Puskesmas Sukamerindu yaitu angka kejadian tuberkulosis pada
tahun 2016 dan 2017. Dari data yang diperoleh menunjukkan peningkatan jumlah
kesakitan (morbiditas) tuberkulosis pada tahun 2017 dibandingkan dengan
morbiditas tuberkulosis pada tahun 2016. Peningkatan kasus tuberkulosis
umumnya terjadi pada kelompok usia anak dan lansia. Hal ini dikarenakan sistem
imunitas pada anak umumnya belum terbentuk sempurna, dan pada lansia akan
terjadi penurunan imunitas sehingga anak dan lansia lebih mudah untuk terpapar
dan mengalami tuberkulosis.17

Tabel 3.1 Angka Kejadian Tuberkulosis Puskesmas Sukamerindu Tahun 2016 dan
2017

ANGKA KEJADIAN TUBERKULOSIS


PUSKESMAS SUKAMERINDU
KASUS BARU KAMBUH GAGAL PINDAHAN DEFAULT

38

21

2 1 1 0 0 0 1 2

2016 2017

Sumber: Laporan Tahunan 2016-2017 Kejadian TB Paru di Puskesmas


Sukamerindu

26
Tabel 3.2 Angka Kesembuhan Pengobatan Tuberkulosis Puskesmas Sukamerindu
Tahun 2016 dan 2017

ANGKA KESEMBUHAN PENGOBATAN


TUBERKULOSIS PUSKESMAS SUKAMERINDU
Sembuh Lengkap Gagal Default Meninggal MDR

22

13
10 10

2 2 3
1 0 1 1 1

2016 2017

Sumber: Laporan Tahunan 2016-2017 Kejadian TB Paru di Puskesmas


Sukamerindu

Tabel 3.3 Angka Kejadian Tuberkulosis Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas


Sukamerindu Tahun 2016 dan 2017

ANGKA KEJADIAN TUBERKULOSIS


PUSKESMAS SUKAMERINDU
LAKI-LAKI PEREMPUAN

24

17
12 13

2016 2017

Sumber: Laporan Tahunan 2016-2017 Kejadian TB Paru di Puskesmas


Sukamerindu

27
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Sukamerindu, angka
kejadian penyakit tuberkulosis pada tahun 2016 sebanyak 25 kasus. Kasus baru
sebanyak 21 orang, 2 kasus kambuh, 1 kasus gagal, dan 1 kasus pindahan. Laki-
laki yang menderita tuberkulosis di tahun 2016 sebanyak 12 orang, dan
perempuan sebanyak 13 orang. Dari 25 kasus yang ditemukan 10 orang
dinyatakan sembuh, 10 orang dinyatakan telah menjalani pengobatan lengkap
kemudian dirujuk kembali ke rumah sakit, 1 orang dinyatakan gagal, 2 orang
dinyatakan default atau putus obat, dan 2 orang meninggal.
Peningkatan yang signifikan terjadi pada tahun 2017. Angka kasus
tuberkulosis meningkat dimana pada tahun 2017 ditemukan 41 orang yang
dinyatakan positif menderita tuberkulosis. Kasus baru sebanyak 38 orang, 1 kasus
pindahan, dan 2 lagi merupakan pasien yang pernah menjalani pengobatan
tuberkulosis dan dinyatakan default. Laki-laki yang menderita tuberkulosis di
tahun 2017 sebanyak 17 orang, dan perempuan sebanyak 24 orang. Dari 41 kasus
yang ditemukan 22 orang dinyatakan sembuh, 13 orang pasien tuberkulosis
dinyatakan telah menjalani pengobatan lengkap kemudian dirujuk kembali ke
rumah sakit, 1 orang dinyatakan gagal, 3 orang dinyatakan default atau putus obat,
1 orang dirujuk untuk menjalani pengobatan di rumah sakit karena dinyatakan
mengalami multiple drugs resistant dan 1 orang meninggal. Berdasarkan data
yang diperoleh dari Puskesmas Sukamerindu pada tahun 2016 ke tahun 2017,
angka kematian (mortalitas) pasien tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas
Sukamerindu mengalami penurunan.
Fenomena meningkatnya morbiditas penyakit tuberkulosis ini diprediksi
akan terus meningkat jika faktor risiko tidak dapat dikendalikan. Faktor risiko
tersebut antara lain adalah kedaan sosial ekonomi, pengetahuan yang kurang,
umur, dan status gizi. Faktor risiko tersebut di atas untuk pelaksanaan
intervensinya perlu mendapatkan prioritas tersendiri. Pada pasien yang mengalami
putus obat umumnya pasien akan berhenti mengambil obat secara rutin setelah
merasa keluhan batuk yang dirasakan berkurang. Hal ini menandakan kurangnya
kepahaman pasien terhadap pentingnya meminum obat secara rutin dan efek yang
dapat timbul apabila pasien menghentikan obat-obatan yang diminum secara tiba-

28
tiba. Hal seperti ini juga dapat disebabkan oleh kurangnya perhatian dari
pengawas minum obat terhadap kepatuhan pasien.4
Mortalitas pasien tuberkulosis juga harus tetap menjadi perhatian. Apabila
faktor resiko tidak dikendalikan dengan baik ditakutkan dapat terjadi peningkatan
mortalitas pasien. Ketiga pasien yang meninggal merupakan kelompok lansia.
Dari wawancara yang dilakukan pada keluarga pasien, ditemukan penyebab
kematian ketiga pasien berasal dari permasalahan pada jantung dan pembuluh
darah. Namun tetap harus dilakukan pengendalian terhadap faktor risiko sehingga
tidak terjadi peningkatan mortalitas.
Faktor risiko yang dapat meningkatkan mortalitas penyakit tuberkulosis
antara lain ketidakpatuhan dalam pengobatan dan komplikasi yang dialami
terutama pada pasien dengan imunitas yang kurang contohnya anak-anak, lansia,
dan pasien-pasien immunocompromized.2
Berdasarkan perhitungan menggunakan rumus:
a. Perhitungan mortalitas
Annual Crude Death Rate (ACDR)
Merupakan ukuran kematian yang paling sering digunakan sebagai acuan
derajat kesehatan suatu komunitas atau masyarakat.
Rumus dari ACDR adalah :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛


×𝐾
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛

Tahun 2016: 2 X 1.000 = 80


25
Tahun 2017: : 1
X 1.000 = 24,4
41

b. Perhitungan Morbiditas
Rumus insidensi (IR) adalah sebagai berikut :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑎𝑘𝑖𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛


×𝐾
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛

29
21
X 1.000 = 840
25
Rumus Prevalensi (PR) adalah sebagai berikut:

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑎𝑘𝑖𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒


×𝐾
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎

38
X 1.000 = 927
41

3. 2. Program Puskesmas Sukamerindu Dalam Pengendalian Mortalitas dan


Morbiditas Penyakit Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas
Sukamerindu
Untuk mengendalikan mortalitas dan morbiditas penyakit tuberkulosis di wilayah
kerja Puskesmas Sukamerindu, bagian poli pemberantasan penyakit menular
(P2M), bekerja sama dengan tim Kesehatan Lingkungan dan tim Laboratorium
memiliki 3 program, antara lain:
1. Melakukan skrining (cek sputum) pada seluruh anggota keluarga yang
tinggal serumah dengan pasien yang telah diidagnosis menderita
tuberkulosis.
2. Melakukan kunjungan rumah pada pasien yang terdiagnosis menderita
tuberkulosis sembari mengedukasi pasien dan pengawas minum obat
(PMO) secara berkala.
3. Melakukan pelacakan terhadap pasien yang tinggal di sekitar rumah
pasien dengan tuberkulosis atau pasien yang memiliki kontak secara
rutin dengan pasien dengan tuberkulosis agar tuberkulosis dapat
dideteksi secara dini.
Ketiga program tersebut sudah dilaksanakan secara simultan di wilayah
kerja Puskesmas Sukamerindu Bengkulu.

30
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Mortalitas pasien tuberkulosis paru di puskesmas sukamerindu dari
tahun 2016 sampai tahun 2017 mengalami penurunan yaitu dari 2
pasien yang meninggal di tahun 2016 menjadi 1 pasien yang
meninggal di tahun 2017. Sedangkan, morbiditas pasien tuberkulosis
paru di puskesamas Sukamerindu dari tahun 2016 sampai 2017
mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2016 didapatkan 25 orang
yang menderita tuberkulosis paru menjadi 41 orang yang menderita
tuberkulosis paru di tahun 2017.
2. Faktor resiko meningkatnya morbiditas pasien tuberkulosis paru di
puskesmas Sukamerindu dikarenakan kurangnya pengetahunan dan
ketidakpatuhan pasien terhadap minum obat. Selain itu kurangnya
pengawasan dari pihak puskesmas juga menjadi salah satu penyebab
meningkatnya morbiditas pasien tuberkulosis paru di lingkungan
puskesmas Sukamerindu.

4.2 Saran
1. Rutin melakukan penyuluhan tentang tuberkulosis dan pentingnya
akan kepatuhan meminum obat sampai selesai. Penyuluhan tidak
hanya dilakukan pada pasien tuberkulosis saja tapi pada masyarakat
umum lainnya. Supaya semua masyarakat mengetahui pengetahuan
tentang tuberkulosis sehingga dapat mencegah terjadinya peningkatan
morbiditas tersebut.
2. Kerjasama yang baik antara petugas puskesmas dan pasien. Petugas
puskesmas harus rutin mengontrol kepatuhan pasiennya.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Ali SM, Karanja S, Karama M. 2017. Factors associated with tuberculosis


treatment outcomes among tuberculosis patients attending tuberculosis
treatment centres in 2016-2017 in Mogadishu, Somalia. PanAfrican
Medical Journal.
Availablefrom:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5878850/pd
f/PAMJ-28-197. Pdf. Diakses: 17 April 2018.
2. Horsburgh CR. 2009. Epidemiology of Tuberculosis. Available
from:www.uptodate.com. Diakses: 20 April 2018.
3. World Health Organization. 2016. Global Tuberculosis Report 2016.
Switzerland. Hal: 15–49.
4. Departemen Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan
Penelitian dan pengembangan Kesehatan.
5. Departemen Kesehatan RI. 2001.Rencana strategi nasional penanggulangan
tuberkulosis tahun 2002-2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Strategi Nasional
Pengendalian TB Di Indonesia. Jakarta.
7. Amin Z, Bahar S. 2006. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I ,Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II, Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI .
8. Murtiwi. 2006. Keberadaan pengawas minum obat (PMO) Pasien
Tuberkulosis Paru di Indonesia. Jurnal keperawatan Indonesia FIK-UI :
Jakarta.
9. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 2000. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2016. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis Di Indonesia. Jakarta.
11. Blum, Hendrik L. 1991. Planning for Health. Humansci. Press New York
(1974). Planning Health Development and Applicaffon of social change
theory.Human Sciences Press. New York.

32
12. Friss RH, Seller TH. 2004. Epidemiology for public health practice. Ed. 3.
Sudbury, MA: Jones and Barlett. Chap. 7.
13. Jhons Hopkins University. 2006. Mortality and Morbidity. Sources:
http://ocw.jhsph.edu/courses/PopulationChange/PDFs/Lecture6.pdf.
14. Porta M. 2008. A dictionary of epidemiology. Ed: 5. New York, NY: Oxfor
dUniversity Press.
15. Price A,Wilson LM. 2004. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC.
16. The Improvement Hub (ihub) is part of Healthcare Improvement Scotland.
2017. Mortality and Morbidity Reviews Practice Guide – Working Version.
17. Fatmah F. 2010. Respons imunitas yang rendah pada tubuh manusia usia
lanjut. FKUI.

33

You might also like