Konsep Kebudayaan

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

TENTANG KONSEP KEBUDAYAAN

Nurdien Harry Kistanto


Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro

Abstract

Human consciousness towards the experience encouraged him composing


formulation, definitions, and theories about the ways of his life, into the conception about
culture. Consciousness thus commenced from the gift of reason, his human instincts and
feelings, which are not owned by other beings, such as animals. Leslie White (1973), defined
the conception of culture that includes "beliefs, ideologies, social organization, and technology
(the use of tools)." In the second half of the 19th century Sir Edward Burnett Tylor, conducted
a study of "primitive societies," which functions as the foundation for putting together the
concept of culture: "Culture or Civilization ... is that complex which includes knowledge,
belief, art, morals, law, custom, and many other capabilities and habits acquired by man as a
member of society.” Three quarters of a century later, Ralph Linton (1945), offers a formula
about the culture that emphasized on the factor of integration achieved through a learning
behavior: "A culture is the configuration of learned behavior and results of behavior whose
component elements are shared and transmitted by the members of a particular society." While
according to Koentjaraningrat (1974), elements of culture include (1) social organization
systems; (2) systems of religion and religious ceremonies; (3) livelihood systems; (4) science
and knowledge systems; (5) technology and equipment systems; (6) language systems; and (7)
arts. Meanwhile, Anthony Giddens (1991), conceptualized culture by referring to the whole
way of life of the members of a society. With the concepts of culture, background and multi-
cultural experiences, in the communities of nation of Indonesia there can be arranged
Indonesian socio-cultural systems.

Key Words: culture, concept, theory, elements.

1. Pendahuluan

Manusia dan kebudayaan tak terpisahkan, secara bersama-sama menyusun kehidupan.

Manusia menghimpun diri menjadi satuan sosial-budaya, menjadi masyarakat. Masyarakat

manusia melahirkan, menciptakan, menumbuhkan, dan mengembangkan kebudayaan: tak ada

manusia tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa manusia; tak ada

masyarakat tanpa kebudayaan, tak ada kebudayaan tanpa masyarakat. Di antara mahluk-
mahluk ciptaan Al-Khaliq, hanya masyarakat manusia yang meniru-niru Sang Pencipta Agung

merekayasa kebudayaan. Kebudayaan adalah reka-cipta manusia dalam masyarakatnya.

Kesadaran manusia terhadap pengalamannya mendorongnya menyusun rumusan,

batasan, definisi, dan teori tentang kegiatan-kegiatan hidupnya yang kemudian disebut

kebudayaan, ke dalam konsepsi tentang kebudayaan. Kesadaran demikian bermula dari karunia

akal, perasaan dan naluri kemanusiaannya, yang tidak dimiliki oleh mahluk lain, seperti hewan

atau binatang. Dalam sementara pemahaman, secara biologis manusia pun digolongkan

sebagai binatang, namun binatang berakal (reasoning animal).

2. Binatang Berakal dan Binatang

Binatang berakal sangat jauh berbeda dari binatang. Implikasi kepemilikan akal inilah

yang jauh membedakannya dari binatang. Bagaimana dengan tingkah laku binatang yang

berbeda dari Homo sapiens? Kenapa tingkah laku mereka tidak disebut kebudayaan? Semua

binatang punya organisasi sosial, bahkan tanaman pun punya (Plant ecology: plant sociology).

Binatang menggunakan peralatan, membuat rumah berupa sarang, yang dipelajari dan

diwariskannya dari generasi sebelumnya. binatang juga memiliki pengetahuan dan konsepsi;

kenapa tingkah laku mereka bukan produk kebudayaan? Karena tingkah laku, organisasi sosial

species mereka ditentukan secara biologis, organisasi sosial mereka merupakan suatu fungsi

dari struktur tubuhnya, fungsi dari komposisi genetiknya. Karakteristiknya antara lain,

nonprogressive dan nonaccumulative. Karakteristik tingkah laku binatang adalah berdasarkan

naluri alam, natural instinct, yang dibawanya sejak lahir hingga mati.

Sama-sama membutuhkan pakan dan papan, binatang tak menciptakan apa-apa

berkaitan dengan kebutuhannya itu, kecuali berdasarkan nalurinya, atau mengembangkannya

dengan sangat terbatas. Sejak burung pertama diciptakan, beterbangan mencari pakan dan

2
membuat papan hingga sekarang, upaya dan buatan untuk memenuhi kebutuhannya tidak jauh

berbeda; sejak dahulu sarang burung tetap seperti yang kita amati sekarang. Dapat dikatakan,

kegiatan binatang semata-mata berbasis nature (alam) atau instinct (naluri), sedangkan

kegiatan manusia berdasarkan akal, perasaan dan hatinya yang membentuk culture (budaya,

kebudayaan).

Dalam species manusia, organisasi sosial bukan semata-mata fungsi struktur tubuh,

melainkan fungsi suatu tradisi external suprabiological yang disebut “kebudayaan.” Dalam

jenis manusia terdapat macam-ragam organisasi sosial-budaya dan proses peralatan yang tak

terhingga variasinya, yang bersifat progresif dan kumulatif, bersifat penyimbolan dan

konseptual. Oleh sebab itu terdapat dua sosiologi yang secara mendasar membedakan antara

organisasi sosial manusia dan organisasi sosial makhluk-makhluk lain, yakni (1) sosiologi

species bukan-manusia (sociology of nonhuman species), yang merupakan subbagian dari

biologi; dan (2) sosiologi manusia (sociology of human beings), yang merupakan subbagian

dari ilmu kebudayaan, culturology, karena ia merupakan fungsi dari suprabiologikal eksternal,

yaitu tradisi supraorganik yang disebut kebudayaan. Kemampuan berbicara pada manusia

adalah karakteristik dari proses kebudayaan yang amat penting dan merupakan bentuk

karakteristik dari penyimbolan (symboling). Dengan kemampuan tersebut manusia

mengembangkan kebudayaan sehingga apa yang dihadapinya di dunia dapat diklasifikasikan,

dikonseptualisasikan, diverbalisasikan. Dengan demikian pula hubungan-hubungan antar

benda-benda disusun atas dasar konsepsi-konsepsi (White, 1979: 9-10).

Hubungan-hubungan biologis dan sekaligus sosial dipahami melalui ujaran artikulasi

(articulate speech). Simpanse dan kera serta binatang-binatang lain punya ayah-ibu, paman-

bibi, dan sebagainya, tapi mereka tidak mampu mengklasifikasikan semua hubungan-

3
hubungan tersebut dengan ujaran artikulasi, yang bersamanya mengandung pula norma, etika,

aturan, kebiasaan dan nilai-nilai (adat-istiadat). Dengan ujaran artikulasi, semua orang dengan

siapa dia berhubungan sosial diklasifikasikan dan ditentukan; tugas dan kewajiban ditentukan

untuk setiap kategori (White, 1979: 11).

3. Konsep dan Unsur-Unsur Kebudayaan

3. 1. Konsep

Pada pertengahan kedua abad ke-19 Sir Edward Burnett Tylor (London, 2 Oktober

1832 – Wellington, 2 Januari 1917), Bapak Antropologi Budaya, Profesor Antropologi pada

Universitas Oxford, Inggris, melakukan serangkaian studi tentang masyarakat-masyarakat

“primitif”, yang meliputi perkembangan kebudayaan masyarakat manusia melampaui fase-fase

transisi “from savage through barbaric to civilized life,” dari masyarakat liar, melewati

kehidupan barbarik sampai pada kehidupan beradab. Studi tentang kebudayaan masyarakat

manusia ini disampaikannya dalam 2 (dua) jilid buku berjudul Primitive Culture setebal

hampir 1000 halaman (Tylor, 1871), meliputi berbagai aspek kehidupan dan ketahanan hidup,

kehidupan spiritual, kekuatan magik, sihir, astrologi, permainan anak-anak, peribahasa, sajak

anak-anak, ketahanan adat, ritus pengorbanan, bahasa emosional dan imitatif, seni menghitung,

berbagai macam dan ragam mitologi, hingga berbagai macam dan ragam animisme, ritus dan

upacara.

Tylor (1871: 1) memanfaatkan studi ini antara lain sebagai landasan untuk menyusun

konsep tentang kebudayaan, yang dirumuskannya secara singkat sebagai berikut.

Culture or Civilization... is that complex which includes knowledge, belief, art,


morals, law, custom, and many other capabilities and habits acquired by man as a member of
society.
(Kebudayaan atau Peradaban... adalah satuan kompleks yang meliputi ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, akhlak, hukum, adat, dan banyak kemampuan-

4
kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat).

Konsep awal kebudayaan yang bersumber dari studi tentang masyarakat-masyarakat

primitif tersebut mengandung sisi praktis, sebagai sumber kekuatan yang dimaksudkan untuk

mempengaruhi rangkaian gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan moderen. Menyusun suatu

hubungan antara apa yang manusia-manusia purbakala tak-berbudaya pikirkan dan lakukan,

dan apa yang manusia-manusia moderen berbudaya pikirkan dan lakukan, bukanlah masalah

ilmu pengetahuan teoretik yang tak-dapat-diterapkan, karena persoalan ini mengangkat

masalah, seberapa jauh pandangan dan tingkah-laku moderen berdasarkan atas landasan kuat

ilmu pengetahuan moderen yang paling masuk akal (Tylor, 1871: 443-44).

Lebih dari setengah abad kemudian, Ralph Linton (Philadelphia, Pennsylvania, 27

Februari 1893 – New Haven, Connecticut, 24 Desember 1953), Profesor Antropologi pada

Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat, menawarkan rumusan tentang kebudayaan

yang menekankan pada faktor integrasi yang dicapai melalui tingkah laku belajar. Kebudayaan

bisa dicapai dengan belajar dan sebagai hasil belajar yang dibiasakan antar anggota suatu

masyarakat. Menurut Linton,

“A culture is the configuration of learned behavior and results of behavior whose


component elements are shared and transmitted by the members of a particular society”
(Linton, 1945).
(Kebudayaan merupakan konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil
tingkah laku yang unsur-unsurnya digunakan bersama-sama dan ditularkan oleh para warga
masyarakat).

Pemahaman terhadap kebudayaan meliputi pengertian “sempit” dan “luas.” Dalam

pengertian “sempit,” kebudayaan dipahami sebagai “kesenian,” sehingga seniman dianggap

sebagai budayawan, pementasan kesenian sering disebut sebagai acara budaya, misi kesenian

yang melawat ke luar negeri sering dikatakan sebagai misi kebudayaan. Pandangan dan

5
praktek demikian tentu mempersempit pengertian kebudayaan, terutama ditinjau dari unsur-

unsur atau isi kebudayaan sebagai strategi perluasan kebudayaan. Pengertian demikian tidak

sepenuhnya keliru karena kesenian pun merupakan unsur kebudayaan yang penting. Sosiolog

Inggris terkemuka, Anthony Giddens (1991) mengenai kebudayaan dalam hubungannya

dengan masyarakat menerangkan sebagai berikut.

When we use the term in ordinary daily conversation, we often think of „culture‟ as
equivalent to the „higher things of the mind‟ – art, literature, music and painting… the concept
includes such activities, but also far more. Culture refers to the whole way of life of the
members of a society. It includes how they dress, their marriage customs and family life, their
patterns of work, religious ceremonies and leisure pursuits. It covers also the goods they
create and which become meaningful for them – bows and arrows, ploughs, factories and
machines, computers, books, dwellings (Giddens, 1991: 31-32).
(Ketika kita menggunakan istilah tersebut dalam percakapan biasa sehari-hari, kita
sering berpikir tentang „kebudayaan‟ sama dengan „karya-karya akal yang lebih tinggi' – seni,
sastra, musik dan lukisan.... konsepnya meliputi kegiatan-kegiatan tersebut, tapi juga jauh lebih
banyak dari itu. Kebudayaan berkenaan dengan keseluruhan cara hidup anggota-anggota
masyarakat. Kebudayaan meliputi bagaimana mereka berpakaian, adat kebiasaan perkawinan
mereka dan kehidupan keluarga, pola-pola kerja mereka, upacara-upacara keagamaan dan
pencarian kesenangan. Kebudayaan meliputi juga barang-barang yang mereka ciptakan dan
yang bermakna bagi mereka – busur dan anak panah, bajak, pabrik dan mesin, komputer, buku,
tempat kediaman).

3. 2. Unsur-unsur Kebudayaan

Sementara ahli kebudayaan memandang kebudayaan sebagai suatu strategi (van

Peursen, 1976: 10). Salah satu strategi adalah memperlakukan (kata/istilah) kebudayaan bukan

sebagai “kata benda” melainkan “kata kerja.” Kebudayaan bukan lagi semata-mata koleksi

karya seni, buku-buku, alat-alat, atau museum, gedung, ruang, kantor, dan benda-benda

lainnya. Kebudayaan terutama dihubungkan dengan kegiatan manusia (van Peursen, 1976: 11)

yang bekerja, yang merasakan, memikirkan, memprakarsai dan menciptakan. Dalam

pengertian demikian, kebudayaan dapat dipahami sebagai “hasil dari proses-proses rasa, karsa

dan cipta manusia.” Dengan begitu, “(manusia) berbudaya adalah (manusia yang) bekerja demi

6
meningkatnya harkat dan martabat manusia. Strategi kebudayaan yang menyederhanakan

praktek operasional kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari dan kebijakan sosial dilakukan

dengan menyusun secara konseptual unsur-unsur yang sekaligus merupakan isi kebudayaan.

Unsur-unsur kebudayaan tersebut bersifat universal, yakni terdapat dalam semua

masyarakat di mana pun di dunia, baik masyarakat “primitif” (underdeveloped society) dan

terpencil (isolated), masyarakat sederhana (less developed society) atau prapertanian

(preagricultural society), maupun masyarakat berkembang (developing society) atau

mengindustri (industrializing society) dan masyarakat maju (developed society) atau

masyarakat industri (industrial society) dan pascaindustri (postindustrial society) yang sangat

rumit dan canggih (highly complicated society). Unsur-unsur tersebut juga menunjukkan jenis-

jenis atau kategori-kategori kegiatan manusia untuk “mengisi” atau “mengerjakan,” atau

“menciptakan” kebudayaan sebagai tugas manusia diturunkan ke dunia sebagai “utusan” atau

khalifah untuk mengelola dunia dan seisinya, memayu hayuning bawana – tidak hanya

melestarikan isi alam semesta melainkan juga merawat, melestarikan dan membuatnya indah.

Unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat dirinci dan dipelajari dengan kategori-kategori sub-

unsur dan sub-sub-unsur, yang saling berkaitan dalam suatu sistem budaya dan sistem social,

yang meliputi (1) Sistem dan organisasi kemasyarakatan; (2) Sistem religi dan upacara

keagamaan; (3) Sistem mata pencaharian; (4) Sistem (ilmu) pengetahuan; (5) Sistem teknologi

dan peralatan; (6) Bahasa; dan (7) Kesenian (Koentjaraningrat, 1974).

4. Sistem Sosial-Budaya Indonesia

Para ahli kebudayaan memandang tidak mudah menentukan apa yang disebut

kebudayaan Indonesia, antara lain dengan melihat kondisi masyarakat yang majemuk. Namun

7
secara garis besar, setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) macam kebudayaan, atau sub-kebudayaan,

dalam masyarakat Indonesia, yakni

(1) Kebudayaan Nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45;

(2) Kebudayaan suku-suku bangsa;

(3) Kebudayaan umum lokal sebagai wadah yang mengakomodasi lestarinya

perbedaan-perbedaan identitas suku bangsa serta masyarakat-masyarakat yang saling berbeda

kebudayaannya yang hidup dalam satu wilayah, misalnya pasar atau kota (Melalatoa, 1997: 6).

Sementara itu, Harsya W. Bachtiar (1985: 1-17) menyebut berkembangnya 4 (empat)

sistem budaya di Indonesia, yakni

(1) Sistem Budaya Etnik: bermacam-macam etnik yang masing-masing memiliki

wilayah budaya (18 masyarakat etnik, atau lebih);

(2) Sistem Budaya Agama-agama Besar, yang bersumber dari praktek agama-

agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan Katolik;

(3) Sistem Budaya Indonesia: bahasa Indonesia (dari Melayu), nama Indonesia,

Pancasila dan UUD-RI.

(4) Sistem Budaya Asing: budaya-budaya India, Belanda, Arab/Timur Tengah,

Cina, Amerika, Jepang, dsb.

Selain itu, dapat ditambah “Sistem Budaya Campuran.”

5. Simpulan

Dengan konsep-konsep tentang kebudayaan dan latar belakang dan pengalaman multi-

etnik, multi-suku, atau secara keseluruhan, multi-budaya, memperhatikan gagasan-gagasan

tentang sistem sosial-budaya (Melalatoa, 1997; Bachtiar, 1985), dalam masyarakat-bangsa

Indonesia dapat tersusun sistem sosial-budaya nasional; sistem sosial-budaya suku bangsa dan

8
etnik bangsa; sistem sosial-budaya agama; sistem sosial-budaya asing; dan sistem sosial-

budaya campuran (Kistanto, 2008). Dari masyarakat-bangsa yang besar ini dapat disusun pula

sistem-sistem sosial-budaya yang lain, seperti sistem sosial-budaya maritim; sistem sosial-

budaya pertanian; sistem sosial-budaya industri dan pasca-industri; sistem sosial-budaya

perkotaan dan sistem sosial-budaya pedesaan, dan sistem sosial-budaya adiluhung dan sistem

sosial-budaya rakyat jelata, dan lain sebagainya.

Daftar Pustaka

Alexander, Paul. Ed. 1989. Creating Indonesian Cultures. Sydney: Oceania


Publications.

Alfian. Ed. 1985. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta:


Gramedia.

Bachtiar, Harsya W., Mattulada, Haryati Soebadio. 1985. Budaya dan


Manusia Indonesia. Yogyakarta: Hanindita.

Benedict, Ruth. 1959. Patterns of Culture. Boston: Houghton Mifflin


Company.

Birket-Smith, Kaj. 1965. The Paths of Culture. Madison and Milwaukee: The
University of Wisconsin Press.

Geertz, Clifford. 1960. 1976. The Religion of Java. Chicago and London: The
University of Chicago Press.

________. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

________. 1983. Local Knowledge – Further Essays in Interpretive


Anthropology. New York: Basic Books.

________. 1995. After the Fact – Two Countries, Four Decades, One
Anthropologist. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.

Giddens, Anthony. 1989. 1991. Sociology. Cambridge, UK: Polity Press.

Jary, David & Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow:
HarperCollins.

9
Kistanto, Nurdien H. 2008. “Sistem Sosial-Budaya di Indonesia,” Sabda –
Jurnal Kajian Kebudayaan, Volume 3, Nomor 1, April: 99-105.

Koentjaraningrat (Redaksi). 1971. 1993. Manusia dan Kebudayaan di


Indonesia. Jakarta: Djambatan.

________. 1974. 1984a. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:


Gramedia.

________. 1984b. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Linton, Ralph. 1936. The Study of Man. New York: Appleton-Century-Crofts,


Inc.

________. 1945. The Cultural Background of Personality. New York: D.


Appleton-Century Company.

Malinowski, Bronislaw. 1960. A Scientific Theory of Culture and Other


Essays. New York: Oxford University Press.

Melalatoa, M. Junus (Penyunting). 1997. Sistem Budaya Indonesia. Jakarta:


FISIP UI & PT Pamator.

Montagu, M. F. Ashley. Ed. 1968. Culture: Man‟s Adaptive Dimension.


London: Oxford University Press.

Mulder, Niels. 1989. Individual and Society in Java – A Cultural Analysis.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Murphy, Robert F. 1979. An Overture to Social Anthropology. Englewood


Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.

Pemberton, John. 1994. On the Subject of “Java.” Ithaca and London:


Cornell University Press.

Peursen, C. A. Van. 1976. Strategi Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung


Mulia; Yogyakarta: Kanisius.

Quilici, Folco. 1972. 1975. Primitive Societies. London: Collins. New York:
Franklin Watts.

Tylor, Edward Burnett. 1871. Primitive Culture. Vol. 1 & Vol. 2. London:
John Murray, 1920.

10
White, Leslie A. with Beth Dillingham. 1973. The Concept of Culture.
Minneapolis, Minnesota: Burgess.

11

You might also like