Konsep Kebudayaan
Konsep Kebudayaan
Konsep Kebudayaan
Abstract
1. Pendahuluan
manusia tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa manusia; tak ada
masyarakat tanpa kebudayaan, tak ada kebudayaan tanpa masyarakat. Di antara mahluk-
mahluk ciptaan Al-Khaliq, hanya masyarakat manusia yang meniru-niru Sang Pencipta Agung
batasan, definisi, dan teori tentang kegiatan-kegiatan hidupnya yang kemudian disebut
kebudayaan, ke dalam konsepsi tentang kebudayaan. Kesadaran demikian bermula dari karunia
akal, perasaan dan naluri kemanusiaannya, yang tidak dimiliki oleh mahluk lain, seperti hewan
atau binatang. Dalam sementara pemahaman, secara biologis manusia pun digolongkan
Binatang berakal sangat jauh berbeda dari binatang. Implikasi kepemilikan akal inilah
yang jauh membedakannya dari binatang. Bagaimana dengan tingkah laku binatang yang
berbeda dari Homo sapiens? Kenapa tingkah laku mereka tidak disebut kebudayaan? Semua
binatang punya organisasi sosial, bahkan tanaman pun punya (Plant ecology: plant sociology).
Binatang menggunakan peralatan, membuat rumah berupa sarang, yang dipelajari dan
diwariskannya dari generasi sebelumnya. binatang juga memiliki pengetahuan dan konsepsi;
kenapa tingkah laku mereka bukan produk kebudayaan? Karena tingkah laku, organisasi sosial
species mereka ditentukan secara biologis, organisasi sosial mereka merupakan suatu fungsi
dari struktur tubuhnya, fungsi dari komposisi genetiknya. Karakteristiknya antara lain,
naluri alam, natural instinct, yang dibawanya sejak lahir hingga mati.
dengan sangat terbatas. Sejak burung pertama diciptakan, beterbangan mencari pakan dan
2
membuat papan hingga sekarang, upaya dan buatan untuk memenuhi kebutuhannya tidak jauh
berbeda; sejak dahulu sarang burung tetap seperti yang kita amati sekarang. Dapat dikatakan,
kegiatan binatang semata-mata berbasis nature (alam) atau instinct (naluri), sedangkan
kegiatan manusia berdasarkan akal, perasaan dan hatinya yang membentuk culture (budaya,
kebudayaan).
Dalam species manusia, organisasi sosial bukan semata-mata fungsi struktur tubuh,
melainkan fungsi suatu tradisi external suprabiological yang disebut “kebudayaan.” Dalam
jenis manusia terdapat macam-ragam organisasi sosial-budaya dan proses peralatan yang tak
terhingga variasinya, yang bersifat progresif dan kumulatif, bersifat penyimbolan dan
konseptual. Oleh sebab itu terdapat dua sosiologi yang secara mendasar membedakan antara
organisasi sosial manusia dan organisasi sosial makhluk-makhluk lain, yakni (1) sosiologi
biologi; dan (2) sosiologi manusia (sociology of human beings), yang merupakan subbagian
dari ilmu kebudayaan, culturology, karena ia merupakan fungsi dari suprabiologikal eksternal,
yaitu tradisi supraorganik yang disebut kebudayaan. Kemampuan berbicara pada manusia
adalah karakteristik dari proses kebudayaan yang amat penting dan merupakan bentuk
(articulate speech). Simpanse dan kera serta binatang-binatang lain punya ayah-ibu, paman-
bibi, dan sebagainya, tapi mereka tidak mampu mengklasifikasikan semua hubungan-
3
hubungan tersebut dengan ujaran artikulasi, yang bersamanya mengandung pula norma, etika,
aturan, kebiasaan dan nilai-nilai (adat-istiadat). Dengan ujaran artikulasi, semua orang dengan
siapa dia berhubungan sosial diklasifikasikan dan ditentukan; tugas dan kewajiban ditentukan
3. 1. Konsep
Pada pertengahan kedua abad ke-19 Sir Edward Burnett Tylor (London, 2 Oktober
1832 – Wellington, 2 Januari 1917), Bapak Antropologi Budaya, Profesor Antropologi pada
transisi “from savage through barbaric to civilized life,” dari masyarakat liar, melewati
kehidupan barbarik sampai pada kehidupan beradab. Studi tentang kebudayaan masyarakat
manusia ini disampaikannya dalam 2 (dua) jilid buku berjudul Primitive Culture setebal
hampir 1000 halaman (Tylor, 1871), meliputi berbagai aspek kehidupan dan ketahanan hidup,
kehidupan spiritual, kekuatan magik, sihir, astrologi, permainan anak-anak, peribahasa, sajak
anak-anak, ketahanan adat, ritus pengorbanan, bahasa emosional dan imitatif, seni menghitung,
berbagai macam dan ragam mitologi, hingga berbagai macam dan ragam animisme, ritus dan
upacara.
Tylor (1871: 1) memanfaatkan studi ini antara lain sebagai landasan untuk menyusun
4
kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat).
primitif tersebut mengandung sisi praktis, sebagai sumber kekuatan yang dimaksudkan untuk
hubungan antara apa yang manusia-manusia purbakala tak-berbudaya pikirkan dan lakukan,
dan apa yang manusia-manusia moderen berbudaya pikirkan dan lakukan, bukanlah masalah
masalah, seberapa jauh pandangan dan tingkah-laku moderen berdasarkan atas landasan kuat
ilmu pengetahuan moderen yang paling masuk akal (Tylor, 1871: 443-44).
Februari 1893 – New Haven, Connecticut, 24 Desember 1953), Profesor Antropologi pada
Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat, menawarkan rumusan tentang kebudayaan
yang menekankan pada faktor integrasi yang dicapai melalui tingkah laku belajar. Kebudayaan
bisa dicapai dengan belajar dan sebagai hasil belajar yang dibiasakan antar anggota suatu
sebagai budayawan, pementasan kesenian sering disebut sebagai acara budaya, misi kesenian
yang melawat ke luar negeri sering dikatakan sebagai misi kebudayaan. Pandangan dan
5
praktek demikian tentu mempersempit pengertian kebudayaan, terutama ditinjau dari unsur-
unsur atau isi kebudayaan sebagai strategi perluasan kebudayaan. Pengertian demikian tidak
sepenuhnya keliru karena kesenian pun merupakan unsur kebudayaan yang penting. Sosiolog
When we use the term in ordinary daily conversation, we often think of „culture‟ as
equivalent to the „higher things of the mind‟ – art, literature, music and painting… the concept
includes such activities, but also far more. Culture refers to the whole way of life of the
members of a society. It includes how they dress, their marriage customs and family life, their
patterns of work, religious ceremonies and leisure pursuits. It covers also the goods they
create and which become meaningful for them – bows and arrows, ploughs, factories and
machines, computers, books, dwellings (Giddens, 1991: 31-32).
(Ketika kita menggunakan istilah tersebut dalam percakapan biasa sehari-hari, kita
sering berpikir tentang „kebudayaan‟ sama dengan „karya-karya akal yang lebih tinggi' – seni,
sastra, musik dan lukisan.... konsepnya meliputi kegiatan-kegiatan tersebut, tapi juga jauh lebih
banyak dari itu. Kebudayaan berkenaan dengan keseluruhan cara hidup anggota-anggota
masyarakat. Kebudayaan meliputi bagaimana mereka berpakaian, adat kebiasaan perkawinan
mereka dan kehidupan keluarga, pola-pola kerja mereka, upacara-upacara keagamaan dan
pencarian kesenangan. Kebudayaan meliputi juga barang-barang yang mereka ciptakan dan
yang bermakna bagi mereka – busur dan anak panah, bajak, pabrik dan mesin, komputer, buku,
tempat kediaman).
3. 2. Unsur-unsur Kebudayaan
Peursen, 1976: 10). Salah satu strategi adalah memperlakukan (kata/istilah) kebudayaan bukan
sebagai “kata benda” melainkan “kata kerja.” Kebudayaan bukan lagi semata-mata koleksi
karya seni, buku-buku, alat-alat, atau museum, gedung, ruang, kantor, dan benda-benda
lainnya. Kebudayaan terutama dihubungkan dengan kegiatan manusia (van Peursen, 1976: 11)
pengertian demikian, kebudayaan dapat dipahami sebagai “hasil dari proses-proses rasa, karsa
dan cipta manusia.” Dengan begitu, “(manusia) berbudaya adalah (manusia yang) bekerja demi
6
meningkatnya harkat dan martabat manusia. Strategi kebudayaan yang menyederhanakan
praktek operasional kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari dan kebijakan sosial dilakukan
dengan menyusun secara konseptual unsur-unsur yang sekaligus merupakan isi kebudayaan.
masyarakat di mana pun di dunia, baik masyarakat “primitif” (underdeveloped society) dan
masyarakat industri (industrial society) dan pascaindustri (postindustrial society) yang sangat
rumit dan canggih (highly complicated society). Unsur-unsur tersebut juga menunjukkan jenis-
jenis atau kategori-kategori kegiatan manusia untuk “mengisi” atau “mengerjakan,” atau
“menciptakan” kebudayaan sebagai tugas manusia diturunkan ke dunia sebagai “utusan” atau
khalifah untuk mengelola dunia dan seisinya, memayu hayuning bawana – tidak hanya
melestarikan isi alam semesta melainkan juga merawat, melestarikan dan membuatnya indah.
Unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat dirinci dan dipelajari dengan kategori-kategori sub-
unsur dan sub-sub-unsur, yang saling berkaitan dalam suatu sistem budaya dan sistem social,
yang meliputi (1) Sistem dan organisasi kemasyarakatan; (2) Sistem religi dan upacara
keagamaan; (3) Sistem mata pencaharian; (4) Sistem (ilmu) pengetahuan; (5) Sistem teknologi
Para ahli kebudayaan memandang tidak mudah menentukan apa yang disebut
kebudayaan Indonesia, antara lain dengan melihat kondisi masyarakat yang majemuk. Namun
7
secara garis besar, setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) macam kebudayaan, atau sub-kebudayaan,
(1) Kebudayaan Nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45;
kebudayaannya yang hidup dalam satu wilayah, misalnya pasar atau kota (Melalatoa, 1997: 6).
(2) Sistem Budaya Agama-agama Besar, yang bersumber dari praktek agama-
(3) Sistem Budaya Indonesia: bahasa Indonesia (dari Melayu), nama Indonesia,
5. Simpulan
Dengan konsep-konsep tentang kebudayaan dan latar belakang dan pengalaman multi-
Indonesia dapat tersusun sistem sosial-budaya nasional; sistem sosial-budaya suku bangsa dan
8
etnik bangsa; sistem sosial-budaya agama; sistem sosial-budaya asing; dan sistem sosial-
budaya campuran (Kistanto, 2008). Dari masyarakat-bangsa yang besar ini dapat disusun pula
sistem-sistem sosial-budaya yang lain, seperti sistem sosial-budaya maritim; sistem sosial-
perkotaan dan sistem sosial-budaya pedesaan, dan sistem sosial-budaya adiluhung dan sistem
Daftar Pustaka
Birket-Smith, Kaj. 1965. The Paths of Culture. Madison and Milwaukee: The
University of Wisconsin Press.
Geertz, Clifford. 1960. 1976. The Religion of Java. Chicago and London: The
University of Chicago Press.
________. 1995. After the Fact – Two Countries, Four Decades, One
Anthropologist. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
Jary, David & Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow:
HarperCollins.
9
Kistanto, Nurdien H. 2008. “Sistem Sosial-Budaya di Indonesia,” Sabda –
Jurnal Kajian Kebudayaan, Volume 3, Nomor 1, April: 99-105.
Quilici, Folco. 1972. 1975. Primitive Societies. London: Collins. New York:
Franklin Watts.
Tylor, Edward Burnett. 1871. Primitive Culture. Vol. 1 & Vol. 2. London:
John Murray, 1920.
10
White, Leslie A. with Beth Dillingham. 1973. The Concept of Culture.
Minneapolis, Minnesota: Burgess.
11