1331 2771 1 SM
1331 2771 1 SM
1331 2771 1 SM
ABSTRACT
The purposes of this research are to know the value added of households
scale tempe chips industries, to know the risks of tempe chips business in the
Lerep Village and to know the feasibility analysis of households scale tempe chips
industries. The research area sampling method is purposive in the Lerep Village
West Ungaran District Semarang Regency, that is one of home industries centre of
tempe chips. The analysis methods used in this research use value added analysis
of Hayami’s method (1987), analysis of business risks and the analysis of
feasibility using BEP and R/Cratio. Based on the research results, the amount of
value added from tempe chips industries is Rp 38,452.99/kg with a ratio of 82.34
percent. Margin obtained is Rp 40,728.24 which distributed to each of the factors
(labor income 12.22 percent, contribution of other input 5.59 percent and industry
profits 82.19 percent). Industries of tempe chips has the variation coefficient value
(CV) more than 0.5 that is equal to 2.92 and lower limit value gains (L) is Rp
158,012.18, so that industry of tempe chips business risk with the possibility of
loss is Rp 158,012.18. The total cost of the production process tempe chips
Rp 347,006.09 and the production volume value BEP 0.067 kg tempe chips and
BEP value revenue Rp 1,827.9. While the R/C ratio value is 1.54 so that, the
tempe chips industries business is feasible because the R/Cratio value is more than
1 (one). The suggestion to businessman is hoped to develop their business by
increasing the number of output products of tempe chips and to the government
can give more attentionin the form of management training and others.
Key word: value added, tempe chips industries, business risk, feasibility analysis
PENDAHULUAN
Pertanian dalam arti luas terdiri dari lima sektor yaitu tanaman pangan,
perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Kelima sektor pertanian
tersebut bila ditangani lebih serius sebenarnya akan mampu memberikan
sumbangan yang besar bagi perkembangan perekonomian Indonesia di masa
mendatang. Salah satu penanganannya yaitu dengan perkembangan perekonomian
pada pertanian bisnis atau agrobisnis (Soekartawi, 1999).
Industrialisasi pertanian dikenal dengan nama agroindustri, dimana
agroindustri dapat menjadi salah satu pilihan strategis dalam upaya menghadapi
masalah peningkatan perekonomian masyarakat di pedesaan serta mampu
menciptakan kesempatan tenaga kerja bagi masyarakat yang hidup di pedesaan.
Keterangan :
a. Output adalah jumlah hasil dari pengolahan tempe menjadi keripik tempe
yang dihasilkan dalam satu kali produksi (kg/bln).
b. Input adalah jumlah bahan baku utama yang akan diolah (kg/bln).
c. Tenaga kerja adalah banyaknya HOK yang melakukan proses produksi
dalam satu kali proses produksi.
d. Faktor konversi merupakan pembagian dari output dengan input dalam
satu kali proses produksi.
e. Koefisien tenaga kerja diperoleh dari hasil bagi antara tenaga kerja dengan
input (HOK/Kg)
f. Harga output adalah harga keripik tempe yang telah di produksi (Rp/Kg).
g. Upah tenaga kerja langsung, merupakan seluruh biaya untuk tenaga kerja
dibagi jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam satu kali proses produksi
dalam satuan rupiah.
h. Nilai tambah (Rp) adalah selisih output keripik tempe dengan bahan baku
utama kedelai dan sumbangan input lain.
i. Rasio nilai tambah (%) menunjukkan nilai tambah dari nilai produk berupa
keripik tempe.
j. Pendapatan tenaga kerja langsung (Rp) menunjukkan upah yang diterima
tenaga kerja langsung untuk mengolah satu satuan bahan baku yaitu
tempe.
k. Pangsa tenaga kerja langsung (%) menunjukkan persentase pendapatan
tenaga kerja langsung dari nilai tambah yang diperoleh.
l. Keuntungan adalah hasil yang didapat dari nilai tambah dikurangi dengan
harga bakan baku yang dikeluarkan (Rp/bln).
m. Tingkat keuntungan adalah perbandingan biaya berupa modal yang harus
dikeluarkan untuk menghasilkan produk, dengan satuan rupiah (Rp)
n. Marjin (Rp) menunjukkan besarnya konstribusi pemilik faktor-faktor
produksi selain bahan baku yang digunakan dalam proses produksi.
o. Persentase pendapatan tenaga kerja langsung terhadap marjin (%).
p. Persentase sumbangan input lain terhadap marjin (%).
q. Persentase keuntungan perusahaan terhadap marjin (%).
Tenaga kerja yang dihitung dalam penelitian ini adalah semua tenaga kerja
yang berperan dalam proses pengolahan keripik tempe selama periode analisis
adalah 2,18 HOK. Usaha pengolahan keripik tempe di Desa Lerep ini sebagian
besar menggunakan tenaga kerja wanita yang berasal dari dalam keluarga dan
sebagian ada yang berasal dari luar keluarga. Penggunaan tenaga kerja wanita ini
didasarkan karena tenaga kerja wanita dianggap lebih terampil dibandingkan
dengan tenaga kerja pria. Kebanyakan tenaga kerja pria sekedar mrmbantu pada
proses pengirisan tempe. Faktor konversi merupakan hasil bagi antara hasil
produksi/output dengan jumlah bahan baku/input yang digunakan. Besarnya
faktor konversi pada perhitungan diatas sebesar 1,68 yang berarti 1 kg bahan baku
dapat dihasilkan 1,68 kg keripik tempe pada industri rumah tangga Desa Lerep.
Koefisien tenaga kerja untuk mengolah tempe menjadi keripik tempe
adalah 0,19 HOK atau 1,52 jam kerja yang berarti 1 kg bahan baku/input
dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 0,19 dengan demikian jika industri runah
tangga mengolah 100 kg bahan baku/input dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 1,9.
Nilai output keripik tempe pada penelitian ini adalah Rp 27.850,00 per kg.
Pendapatan tenaga kerja langsung untuk satu kali proses produksi adalah sebesar
Rp 4.978,28. Biaya ini terdiri dari biaya tenaga kerja mengiris tempe, biaya tenaga
kerja menggoreng dan biaya tenaga kerja pengemas. Keseluruhan biaya tenaga
kerja tersebut diperoleh dari jumlah biaya tenaga dibagi jumlah pengusaha
industri keripik tempe.
Bahan baku/input yang digunakan adalah tempe dengan harga sebesar
Rp 5.972,20 per kg. Sumbangan input lain yang digunakan dalam satu kali proses
produksi per kg bahan baku adalah sebesar Rp 2.275,25. Perhitungan total harga
input lain pada industri rumah tangga meliputi bahan penolong, bahan bakar, dan
bahan pengemas. Bahan penolong adalah minyak goreng, tepung beras, tepung
tapioka, telur, dan bumbu, bahan bakar adalah kayu dan gas serta bahan pengemas
adalah plastik pembungkus.
Nilai produk/output merupakan hasil kali dari faktor konversi dengan harga
output rata-rata. Besarnya nilai output pada perhitungan nilai tambah adalah
Rp 46.700,44 per kg. Hasil nilai tambah diperoleh dengan pengurangan nilai
produk dengan harga bahan baku dan sumbangan input lain per kg. Nilai tambah
dari proses pengolahan tempe menjadi keripik tempe adalah sebesar Rp 38.452,99
per kg. Apabila nilai tambah tersebut dibagi dengan nilai produk maka akan
diperoleh rasio nilai tambah sebesar 82,34 persen.
Imbalan tenaga kerja merupakan hasil perkalian antar koefisien tenaga kerja
dengan upah rata-rata. Pada perhitungan nilai tambah pada Tabel 2, imbalan
tenaga kerja yang diberikan dari setiap kilogram bahan baku tempe diolah menjadi
keripik tempe adalah Rp 4.978,28 dengan demikian bagian tenaga kerja dalam
pengolahan keripik tempe sebesar 12,95 persen, persentase ini diperoleh dari
bagian tenaga kerja dibagi dengan nilai tambah.
Besarnya keuntungan yang diperoleh dari proses pengolahan tempe ini
adalah Rp 33.474,71 per kg keripik tempe dengan tingkat keuntungan sebesar
71,68 persen dari nilai produk/output. Nilai keuntungan tersebut merupakan
selisih antara nilai tambah dengan imbalan tenaga kerja. Dengan demikian
Tabel 4. Penerimaan dan Keuntungan per Proses Produksi (per Hari) Keripik
Tempe
Jenis Uraian Nilai
Jumlah Produksi 19,2
Harga Produk per Kg (Rp) 27.850,00
Penerimaan (Kg Produk x Harga) (Rp) 536.000,00
Biaya Tetap (Rp) 658,06
Biaya Variabel (Rp) 346.348,03
Biaya Total (Rp) 347.006,09
Keuntungan (Rp) 118.993,91
Sumber : Analisis Data Primer, 2013
FC
𝐵𝐸𝑃 𝑅𝑝 =
1 − 𝑉𝐶/𝑆
= biaya tetap
(1 – biaya variabel/volume produksi)
= 658,06
(1 - 346.348,03/536.000,00)
= 162.262,18
(1 – 0,64)
= Rp 1.827,9
Berdasarkan perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa industri keripik
tempe dapat dengan produksi 19,2 kg titik impasnya berada pada nilai 0,067 Kg
dan besarnya penerimaan Rp 536.000,00titik balik modalmencapai nilai sebesar
Rp 1.827,9. Nilai BEP (Break Even Point) pada industri keripik tempe skala
rumah tangga tergolong kecil karena disebabkan biaya tetap yang diperoleh
sedikit. Perhitungan biaya tetap dihitung selama per proses produksi (per hari)
keripik tempe berlangsung.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, maka
dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Besarnya nilai tambah pada industri keripik tempe skala rumah tangga per
proses produksi (per hari) adalah Rp 38.452,99 dengan rasio nilai tambah
82,34 %. Marginyang diperoleh sebesar Rp. 40.728,24 yang didistribusikan
untuk masing-masing faktor yaitu pendapatan tenaga kerja 12,22 persen,
sumbangan input lain 5,59 persen dan keuntungan industri 82,19 persen.
Margin yang didistribusikan untuk keuntungan industri merupakan bagian
terbesar bila dibandingkan dengan pendapatan tenaga kerja dan sumbangan
input lain.
2. Industri keripik tempe skala rumah tangga di Desa Lerep memiliki nilai
koefisien variasi (CV) lebih dari 0,5 yaitu sebesar 2,92 dan nilai batas bawah
keuntungan (L) sebesar – Rp 158.012,18 sehingga usaha industri keripik
tempe berisiko dengan kemungkinan kerugian sebesar Rp 158.012,18.
3. Industri keripik tempe skala rumah tangga di Desa Lerep per proses produksi
(per hari) memiliki nilai BEP volume produksi 0,067 Kg keripik tempe dan
nilai BEP penerimaan Rp 1.827,9. Hal ini berarti bahwa industri keripik
tempe skala rumah tangga dapat mencapai titik balik modal pada harga Rp
1.827,9 dan memproduksi 0,067 Kg keripik tempe. Sedangkan nilai R/C ratio
industri keripik tempe sebesar 1,54 sehingga usaha industri keripik tempe
layak dijalankan karena nilai R/C lebih dari pada 1 (satu).
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan kepada
pihak-pihak terkait demi kemajuan usaha industri keripik tempe di Desa Lerep
Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang adalah sebagai berikut:
1. Sebaiknya pengusaha keripik tempe melakukan penyimpanan yang lebih baik
terhadap bahan baku tempe agar kualitas produknya tidak berjamur sehingga
hasil yang di dapatkan dapat meningkat dan para konsumen tidak merasa
kecewa dengan hasil produk yang diinginkan.
2. Diharapkan para pengusaha dapat mengembangkan usahanya dengan
meningkatkan jumlah output produk keripik tempesehingga risiko
kemungkinan terjadi kerugian akan lebih sedikit.
3. Diharapkan para pengusaha juga dapat mendiversifikasikan usahanya dengan
mengelola produk selain keripik tempesehingga kemungkinan nilai R/C ratio
lebih banyak.
4. Pemerintah hendaknya memberikan perhatian yang lebih kepada para
pengusaha keripik tempe agar pengusaha ini menjadi lebih sejahtera.
Perhatian dari pemerintah antara lain dalam wujud kemudahan memperoleh
kredit, pelatihan manajemen dan lain-lain, sehingga para pengusaha keripik
tempe lebih tertarik untuk meningkatkan usahanya.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang, Dr. (2001). Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta.
Nazir.(1999).Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Erlangga.
Saragih, B. (2004). Membangun Pertanian dalam Perspektif Agrobisnis dalam
Ruang. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soeharto, I. (1997). Manajemen Proyek, Dari Konseptual Sampai
Operasional.Jakarta: Erlangga.
Soekartawi, R dan E, Damaijati. (1993). Risiko dan Ketidakpastian Dalam
Agrobisnis : Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soekartawi.(1995). Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis
Coob-Douglas. Jakarta: PT. Raja Grafind0.258 hlm.