Pengelolahan Tanah

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

Transformasi Sistem Produksi Tanaman Pangan

Menjadi Tanaman Tahunan di Lahan Kering:


Ancaman bagi Keamanan Pangan
Sudaryono1 dan P. C. Hastuti2
1
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang
2
Mahasiswa Pascasarjana FE Universitas Brawijaya, Malang

Abstract
Transformation of annual to perennial crop production system in sub optimal dry
land. Agricultural land resources as media for annual-perennial crops production
system are the main backbone of the biological industry. Proportion and
management of annual-perennial crops to be part of integrated system can not be
separated in the system of food crop production supply. All crop products are
useful to consumers and market segments. In other word, all harvested produces
have economic values. In a high productive farm lands with small erosion and
less land degradation, the sustainability of such land is maintained. However, on
sub-optimum dry lands the degree of erosion tends to be higher and land
degradation accours rapidly, if it is not properly managed. Intensive crop rotation
of annual crops may result in nutrient depletion, soil erosion and unsustainability
of crop production. Planting perennial crop in a mixture with annual crop produces
better canopy coverage to the soil surface which leads to the reducing of soil
erosion, and hence, better soil conservation for sustainable production. The proper
portion of perennial to annual crops on such land should be considered, so as to
maintain the sufficient food crop production for the people in the area. Thus, farm
management on a fragile lands should considered both food sufficiency and
production sustainability.
Key words: transformation, production system, dryland.

Abstrak
Proporsi dan pengelolaan sistem produksi tanaman semusim dan tanaman
tahunan pada lahan kering suboptimal menjadi bagian integral yang tidak
terpisahkan dalam pasokan produksi tahunan. Alih fungsi lahan kering dari
pertanian pangan menjadi nonpertanian dan atau ke pertanian lain perlu dicermati
berkaitan dengan jaminan keamanan pangan nasional. Lahan kering di Lampung
umumnya tergolong suboptimal dan memiliki kendala kelestarian, khususnya
dari aspek bahan induk tanah yang miskin hara, erodibilitas tinggi, curah hujan
tinggi, berlereng, perkolasi dakhil (internal) cepat, dan daya dukung rendah. Lahan
kering suboptimal akan cepat merosot kemampuannya bilamana sistem
pengelolaan lahan tidak bijaksana. Pengelolaan lahan dan tanaman dengan
pola pergiliran tanaman secara intensif dan membiarkan permukaan tanah kurang
terlindungi, pengaturan aliran air permukaan tidak teratur, dan miskin tindakan

Sudaryono dan Hastuti: Transformasi Sistem Produksi Tanaman Pangan 183


konservasi lahan akan menyebabkan tanah menjadi cepat rusak. Sistem
usahatani tanaman semusim (umur < 4 bulan panen) memiliki sistem perakaran
di permukaan tanah. Intensitas pengolahan tanah permukaan akan mempercepat
kerusakan tanah terutama melalui erosi dan perkolasi. Sistem usahatani tanaman
tahunan memiliki perakaran yang dalam dan kuat sehingga memiliki kemampuan
mengekplorasi nutrisi dan lengas tanah lebih baik dan distribusi nisbi merata
dalam solum tanah. Usahatani tanaman tahunan memiliki sistem penutupan
(canopy covering) permukaan lahan nisbi baik dan tidak memerlukan pengolahan
tanah permukaan yang intensif sehingga akan memberikan jaminan kelestarian
untuk jangka panjang. Keberlanjutan pasok dan keamanan pangan nasional di
masa depan harus mendapat jaminan dan perlindungan terhadap luas areal
tanam dan panen komoditas pangan. UU tentang sistem budi daya tanaman No.
12 tahun 1992 perlu ditinjau kembali dan perlu undang-undang baru untuk
menjamin keamanan pangan secara nasional.
Kata kunci: transformasi, sistem produksi, lahan kering.

S
istem produksi tanaman semusim yang lazim di lahan kering Ultisol
Lampung meliputi tanaman pangan (padi gogo, ubikayu, jagung, kedelai,
kacang tanah, kacang hijau) dan tanaman hortikultura (cabai, kacang
panjang, semangka, dan melon). Tanaman ubikayu dan jagung menempati
proporsi terluas, diikuti oleh padi gogo, kedelai, kacang tanah. Dalam beberapa
tahun terakhir, jagung dan ubikayu memiliki nilai ekonomi yang relatif baik
dan berpengaruh nyata terhadap ekonomi rumah tangga petani, sehingga
semangat petani untuk menanam kedua komoditas pangan ini cukup besar,
terutama petani yang memiliki lahan cukup luas. Kenyataan ini didukung
oleh pangsa pasar dan permintaan yang positif untuk komoditas jagung dan
ubikayu. Khusus untuk ubikayu, didukung oleh adanya pabrik pengolahan
tepung tapioka di Lampung sehingga pasarnya terjamin. Krisis energi
menambah nilai persaingan ekonomi ubikayu karena menjadi salah satu bahan
baku bioethanol.
Usahatani tanaman pangan kurang menggairahkan petani karena
beberapa alasan, (1) secara teknis memerlukan jumlah tenaga kerja yang
lebih banyak, (2) nilai ekonominya kurang bersaing dibandingkan dengan
komoditas perkebunan dan hortikultura, (3) usahatani lebih intensif
dibandingkan pada tanaman perkebunan, khususnya yang berumur panjang,
dan (4) usahatani pada lahan kering Ultisol memerlukan masukan (input)
tinggi sehingga menghasilkan margin yang kecil.
Pengalihan (transformation) sistem produksi tanaman semusim menjadi
tanaman tahunan (perkebunan dan hortikultura) dilakukan oleh cukup banyak
petani di Lampung akhir-akhir ini. Komoditas perkebunan seperti karet, kelapa
sawit, kakao, dan tanaman hortikultura seperti cabai, semangka, dan melon,
memberikan prospek ekonomi yang lebih menguntungkan dan memiliki daya
saing dibandingkan dengan tanaman pangan.

184 Iptek Tanaman Pangan Vol. 6 No. 2 - 2011


Krisis pangan dunia perlu diwaspadai, terutama di negara berkembang
seperti Indonesia. Krisis pangan dunia disebabkan oleh banyak faktor antara
lain (1) pemanasan global, (2) alih fungsi lahan pertanian lebih tinggi dibanding
pembukaan lahan pertanian baru, (3) kesadaran masyarakat terhadap
kecukupan produksi pangan tidak kuat, (4) bencana alam, dan (5) krisis
moneter. Menurut BPS (2004), laju alih fungsi lahan sawah ke nonsawah
187.720 ha/th. Pada tahun 2015 alih fungsi lahan sawah ke nonsawah
diperkirakan mencapai 1.877.200 ha. Alih fungsi lahan kering pertanian ke
nonpertanian 9.152 ha/th dan pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 91.520
ha. Lahan kritis terus meningkat dari tahun ke tahun dan tercatat 77.807.000
ha (BPS 2009). Pencetakan lahan sawah baru pada tahun 2020 diperkirakan
hanya 1,6 juta ha (Zaini et al. 2011). Oleh karena itu, persoalan kecukupan
dan jaminan keamanan pangan ke depan memerlukan pemikiran serius.
Menurut Damsir (2011) ada kecenderungan negara berkembang akan
berubah dari net eksportir menjadi net importir komoditas pangan. Negara
maju mengurangi dana bagi pinjaman dan bantuan untuk negara berkembang.
Perubahan iklim global akan menyebabkan menurunnya (ringkihnya) daya
dukung lahan pertanian untuk produksi pangan. Persaingan yang semakin
ketat terhadap kebutuhan energi mengurangi ketersediaan pangan, karena
konversi bahan baku pangan ke energi akan semakin besar. Keterkaitan dan
pengaruh kultural dan sosio-ekonomi masyarakat menjadi aspek yang menarik
untuk dikaji.

Pertanian Lestari

Pertanian lestari (sustainable agriculture) menjadi topik yang menarik bagi


pakar lingkungan, pertanian, dan konsumen. Pertanian lestari memberikan
pengertian yang beragam, tetapi setidaknya memiliki tiga pengertian dasar,
yaitu berwawasan lingkungan (ecologically sound), layak ekonomi
(economically viable), berkeadilan sosial dan manusiawi (socially just and
humane) (Astakadatu 1995). Dalam kaitannya dengan teknologi, komponen
pokok pertanian lestari adalah (1) teknik budi daya dan pemuliaan tanaman,
(2) pengelolaan tanah dan air, (3) pengendalian hama penyakit dan gulma
secara nonkimiawi, (4) keterpaduan sistem produksi tanaman dan ternak,
dan (5) daur-ulang unsur hara (Huang 1994).
Bagi sebagian masyarakat, pemicu terselenggarakannya pertanian lestari
adalah pertanian organik (organic farming). Pertanian organik awalnya
diterapkan di beberapa negara berkembang seperti Korea, Cina, Thailand,
dan Indonesia. Pertanian organik ditandai oleh pemakaian pupuk organik atau
produk alamiah. Pupuk organik mencakup pupuk kandang, sisa tanaman,
pupuk hijau, dan kompos yang secara tradisional banyak diterapkan di negara
berkembang.

Sudaryono dan Hastuti: Transformasi Sistem Produksi Tanaman Pangan 185


Pertanian organik sebenarnya bukan merupakan satu-satunya jaminan
kelestarian lingkungan. Pemakaian bahan organik atau limbah organik yang
kurang tepat dalam pertanian justru dapat mengundang hama penyakit
tanaman, kalau limbah organik belum terdekomposisi secara baik.
Dekomposisi bahan organik dapat menimbulkan gas H2S, etylene, methane,
dan sebagainya yang dapat merusak perkembangan perakaran tanaman dan
mengundang hama untuk melanjutkan siklus hidupnya dalam suatu ekosistem
tanaman. Contoh, kumbang penggerek batang – pucuk kelapa (Artona sp.).
Perkembangan patogen menjadi lebih cepat dalam bahan organik yang belum
terdekomposisi sempurna (Wididana 1995). Penggunaan bahan organik juga
tidak menjamin tercukupinya kebutuhan hara tanaman secara optimal.
Dengan demikian hal pokok yang perlu diperhatikan, adalah (1)
kewaspadaan terhadap kerusakan sumber daya lahan pertanian, (2) kepedulian
untuk menyelamatkan sumber daya lahan pertanian dan lingkungan, dan (3)
penyelenggaraan pertanian lestari perlu diwujudkan untuk menghasilkan
produk-ptoduk yang aman dan sehat (Sudaryono 1997). Satari (2008)
mengemukakan bahwa pemanfaatan sumber daya alam Indonesia ternyata
berdampak buruk terhadap kondisi lingkungan hidup. Untuk mengatasinya,
para pelaku usaha pertanian harus diarahkan untuk melakukan kegiatan usaha
dengan memperhatikan kaidah preservasi, konservasi, rehabilitasi, dan
reklamasi.

Tanaman Pangan vs Tanaman Keras

Di lapangan, tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan


melinjo telah diusahakan oleh masyarakat. Secara berangsur petani mulai
mengalihkan usahatani dari tanaman semusim menjadi tanaman tahunan.
Awalnya mereka melakukan sistem tanam tumpangsari (intercropping) antara
tanaman semusim dengan tanaman tahunan. Sebagai contoh, tumpangsari
ubikayu dan kelapa sawit, kedelai dan karet, jagung + ubikayu + karet, ubikayu
dan kakao, bahkan kakao dan melinjo. Tanaman kopi dan kakao di lahan
pekarangan menjadi pilihan sebagian petani.
Pendapatan dari usahatani tanaman pangan ditentukan oleh pola tanam
(pergiliran tanaman) atau sistem tanam (tanaman tunggal atau tumpangsari)
Sesuai dengan kondisi iklim maka pola tanam di lahan kering suboptimal
apabila menerapkan sistem tanam tunggal hanya dapat dijamin dua kali panen
untuk tanaman semusim, seperti jagung, kacang tanah atau kedelai dan
kacang hijau. Apabila menerapkan sistem tanam tumpangsari maka pada
musim tanam pertama dapat ditanami jagung tumpangsari dengan ubikayu
masing-masing dengan populasi normal; atau tumpangsari jagung ubikayu
dengan pengaturan populasi dan jarak tanam seperti baris ganda untuk
tanaman ubikayu dengan jarak antarbaris ganda cukup lebar (2 m), jarak

186 Iptek Tanaman Pangan Vol. 6 No. 2 - 2011


tanam dalam baris 40-60 cm, sehingga dapat memberikan kesempatan tanam
untuk kedua kali pada jarak antarbaris.
Ubikayu menempati proporsi terluas di Lampung, diikuti oleh jagung.
Walaupun keuntungan bersih usahatani jagung relatif lebih rendah dibanding
kacang tanah dan kedelai, petani tetap memilih jagung dengan berbagai
pertimbangan: (1) petani sudah akrab dengan budi daya jagung, (2) secara
teknis, teknologi budi daya jagung dianggap mudah, (3) jagung cocok untuk
tanaman awal pada musim hujan, (4) penanganan pascapanen jagung tidak
sulit sekalipun panen jatuh pada musim hujan, dan (5) pemasaran jagung
sangat mudah.
Sejalan dengan membaiknya harga kacang-kacangan, petani mulai
menanam kacang tanah, kedelai, dan kacang hijau. Namun petani tetap pada
pertimbangan musim tanam, mereka menempatkan tanaman kacang-
kacangan pada musim marengan (musim tanam kedua, akhir musim hujan).
Pendapatan usahatani dapat ditingkatkan dengan menggunakan pola tanam
sisipan (relay planting), pada musim tanam pertama ditanam kacang-
kacangan, tiga minggu kemudian disusul ubikayu. Setelah tanaman kacang-
kacangan dipanen, ubikayu akan menjadi tanaman utama dan dikelola secara
optimal untuk memperoleh hasil maksimal.
Pendapatan usahatani tanaman pangan dengan menerapkan teknologi
budi daya optimal adalah sebagai berikut: (1) pola tanam sisipan antara kacang
tanah + ubikayu memberi pendapatan Rp 22.138.000/th, (2) pola tanam
sisipan kedelai + ubikayu Rp 22.070.000/th, (3) pola tanam sisipan jagung +
ubikayu Rp 20.855.000/th, dan (4) pola tanam sisipan kacang hijau + ubikayu
Rp 19.568.000/th (Tabel 1). Namun pada kondisi kurang optimal, misalnya
curah hujan kurang teratur, terjadi gangguan hama dan penyakit, atau
pengelolaan tanaman kurang optimal dan harga jual jatuh, petani hanya
menerima 25-50% dari pendapatan tersebut.
Dalam lima tahun terakhir petani di Lampung mulai berorientasi pada
tanaman keras atau perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan
melinjo. Petani mengatur dan membagi ladangnya untuk sebagian ditanami
tanaman semusim (pangan) dan sebagian tanaman keras, baik secara
tumpangsari maupun tunggal (monokultur). Petani yang memiliki lahan luas
cenderung membagi dan menanaminya dengan sistem tunggal. Petani yang
memiliki lahan terbatas memulai dengan menanam sistem tumpangsari. Hasil
diskusi dengan petani dan kelompok tani di Kabupaten Pesawaran, Lampung,
menunjukkan bahwa pilihan petani untuk melakukan transformasi sistem
produksi pertanian dilandasi oleh beberapa pemikiran: (1) kelangkaan tenaga
kerja muda di bidang pertanian, (2) usahatani tanaman semusim memerlukan
banyak tenaga kerja dan memiliki intensitas kerja yang tinggi, (3) upah buruh
semakin mahal dari waktu ke waktu, (4) harga komoditas pangan kurang
menggairahkan, (5) pendapatan usahatani tanaman pangan kurang kompetitif

Sudaryono dan Hastuti: Transformasi Sistem Produksi Tanaman Pangan 187


Tabel 1. Perbandingan relatif pendapatan usahatani per hektar beberapa komoditas pertanian
di lahan kering suboptimal di propinsi Lampung 2008.

Pendapatan Pendapatan
Komoditas Hasil kotor bersih R/C B/C TIH*) TIP*)
(kg/ha) (Rp) (Rp) ratio ratio (Rp/kg) (kg/ha)

Padi gogo 4.000 10.400.000 2.783.000 1,37 0,37 1.904,25 2.929,61


Jagung 8.000 12.000.000 4.625.000 1,63 0,63 921,87 4.916,67
Kedelai 2.000 13.000.000 5.840.500 1,82 0,82 3.579 1.101,5
Kacang tanah 3.000 13.500.000 5.908.000 1,78 0,79 2.530,67 1.687,11
Kacang hijau 1.500 9.750.000 3.338.000 1,52 0,52 4.274,67 1.068,67
Ubikayu 40.000 16.230.000 16.230.000 4,27 3,26 124,25 9.377,36
Karet 8.400 33.600.000 9.853.000 0,41 1,41 2.827,02 5.936,75
Kelapa sawit 21.600 32.400.000 5.821.500 0,22 1,21 269,51 17.719
Kakao 2.205 41.895.000 17.398.000 0,71 1,71 11.109,7 1.289,3

*)TIH = titik impas harga; TIP = titik impas produksi

Catatan: 1. Sewa tanah diperhitungkan dengan nilai Rp 1.500.000/ha/th


2. Teknologi budi daya menurut praktek petani saat ini (Agustus 2008).
3. Harga komoditas: Rp 2.600/kg gabah; Rp 1.500/kg jagung; Rp 6.500/kg kedelai;
Rp 4.500/kg kacang tanah; Rp 6.000/kg kacang hijau; Rp 530/kg ubikayu.
4. Tanaman karet, kelapa sawit, dan kakao mulai berproduksi umur 6-7 th dan
berakhir sampai sekitar 25 th, dengan masa produksi rata-rata 6 bl/th.
5. Harga komoditas karet, kelapa sawit, dan kakao di tingkat petani berturut-turut
Rp 4.000/kg karet beku, Rp 1.500/kg buah sawit, dan Rp 19.000/kg kakao biji
kering.
Sumber: Hasil wawancara dengan kelompok tani Sumber Makmur di Pesawaran, Agustus
2008.

dibandingkan tanaman keras, dan (6) usahatani tanaman keras memberikan


kesempatan untuk melakukan kegiatan usaha yang lain (non farm, off-farm),
sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi ekonomi rumah tangga.
Pada masa pertumbuhan awal, 5-6 tahun pertama, sistem produksi
tanaman keras masih bersifat investasi dengan biaya produksi yang cukup
besar. Setelah masa produksi petani dapat menikmati pendapatan yang lebih
besar. Pada tahap awal (1-5 tahun pertama), petani dapat mengusahakan
tumpangsari di sela tanaman keras, sehingga memperoleh hasil panen dari
tanaman semusim. Hasil tanaman pangan dengan sistem tumpangsari tidak
optimal dibanding sistem monokultur.
Masa panen tanaman keras umumnya dapat berlangsung selama 5-6
bulan/tahun. Umur produksi tanaman keras dapat mencapai 25 tahun,
bergantung pada tingkat budidayanya. Produktivitas tanaman keras pada umur
muda (5-10 tahun) umumnya rendah dan meningkat pada umur (10-20 tahun)
dan mulai berkurang pada umur 20-25 tahun. Menurut informasi pasar, kakao
memiliki prospek ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan karet dan
kelapa sawit, namun harga ketiga komoditas di tingkat petani dipengaruhi
oleh harga di tingkat dunia.

188 Iptek Tanaman Pangan Vol. 6 No. 2 - 2011


Konsekuensi logis dari transformasi sistem produksi tanaman semusim
ke sistem produksi tanaman tahunan berdampak negatif maupun positif.
Dampak negatif antara lain adalah: (1) persaingan penggunaan lahan antara
tanaman semusim dengan tanaman keras, (2) terjadi pengurangan
kemampuan pasok produksi pangan, baik lokal, regional, maupun nasional,
apabila gejala ini berkembang ke wilayah lain yang lebih luas, (3) kelestarian
dan keberlanjutan sistem produksi tanaman semusim pada lahan suboptimal
memerlukan pemeliharaan lahan dengan biaya tinggi. Dampak positif antara
lain (1) sistem produksi tanaman keras akan menutup permukaan lahan (land
covering) lebih baik, sehingga akan mengurangi erosi dan degradasi lahan,
(2) sistem produksi tanaman keras akan menjamin kelestarian ekologi
pertanian dalam jangka panjang, (3) tanaman keras memiliki adaptabilitas
yang lebih tinggi untuk lahan suboptimal, (4) tanaman keras dengan perakaran
yang dalam dapat memanfaatkan lengas dan hara tanah lebih efektif, (5) nilai
tanaman keras memiliki stabilitas nisbi lebih mantap di pasar nasional maupun
global, dan (6) masa produksi tanaman keras lebih panjang 5-6 bulan/tahun
dan dapat berlangsung hingga tanaman berumur 20-25 tahun.
Berusahatani merupakan pilihan yang dilandasi oleh banyak faktor, antara
lain untuk kepentingan (1) pemenuhan kebutuhan pangan keluarga, (2)
perolehan uang tunai untuk mencukupi kebutuhan keluarga selain pangan,
(3) minat dan preferensi bertani, (4) profesi usaha (bisnis) di bidang pertanian,
dan (5) warisan profesi atau penyelamatan dan pelestarian sumber daya lahan.
Faktor-faktor tersebut tentu akan sangat berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan dalam memilih komoditas. Oleh karena itu, perlu diciptakan
suasana yang kondusif antara sasaran petani sebagai produsen sekaligus
pemegang otoritas aset pertanian dengan sasaran pemerintah dalam rangka
menjamin keamanan pangan nasional.

Prospek Usahatani Lahan Kering ke Depan

Berdasarkan kenyataan di lapangan dan perkembangan sosial-ekonomi


masyarakat, bentuk pertanian yang sesuai di masa depan pada agroekosistem
lahan kering suboptimal yang ideal perlu dipikirkan. Sasaran utama adalah
terpenuhinya hajat hidup masyarakat, khususnya petani, menuju ke tingkat
kesejahteraan yang lebih baik. Kebutuhan hajat hidup manusia yang mendasar
adalah tercukupinya pangan dan kebutuhan pokok lain. Oleh karena itu, pasok
produksi pangan menjadi mutlak, baru disusul kebutuhan lainnya.
Pengalihan sistem produksi tanaman pangan menjadi sistem produksi
tanaman keras yang lebih bersifat komersial tidak mungkin dilarang namun
perlu dikendalikan untuk menjaga keseimbangan antara pasok pangan dan
nonpangan. Secara nasional, pembangunan infrastruktur dan pemukiman
menggunakan lahan pertanian mengurangi lahan tanaman pangan.

Sudaryono dan Hastuti: Transformasi Sistem Produksi Tanaman Pangan 189


Pertambahan penduduk yang cukup besar dari tahun ke tahun semakin
menambah berat dalam memenuhi kebutuhan pangan. Ke depan, apabila
tidak diusahakan penambahan areal tanam dan panen tanaman pangan maka
Indonesia akan mengalami kerawanan pasok pangan yang serius. Persaingan
antara pasok produksi pangan untuk makanan pokok masyarakat, industri
pakan dan energi, akan menambah kerentanan keamanan pangan di masa
depan.
Langkah yang perlu dirumuskan dalam pembangunan pertanian nasional
di masa depan antara lain adalah sebagai berikut: (1) pencukupan kebutuhan
pangan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, (2) Undang-Undang
Sistem Budi daya Tanaman No. 12 tahun 1992 memberikan pilihan leluasa
kepada petani (Pasal 6, ayat 1), (3) saling keterkaitan antarlembaga, baik
vertikal maupun horisontal, yang tidak mudah membangun kebersamaan
dalam pembangunan, (4) laju pertambahan penduduk yang cukup tinggi
memerlukan upaya peningkatan produksi pangan.
Oleh sebagian masyarakat, pertanian organik dianggap pertanian masa
depan yang lestari dan menghasilkan produk yang bermutu, sehat, dan aman,
serta melestarikan alam dan lingkungan (Utomo 2006), tetapi perlu disikapi
secara rasional dari aspek kelestarian dan kecukupan hara dan tingkat
produktivitasnya. Akan sangat berbahaya bagi ketahanan pangan apabila
negara berpenduduk banyak seperti Indonesia tidak “mandiri” dalam pangan.
Kemandirian pangan tidak berarti melarang ekspor dan impor, namun harus
dimaknai secara bijaksana dan dimplementasikan secara taktis dan obyektif.
Dibutuhkan langkah tegas untuk mencegah konversi lahan pertanian untuk
keperluan lain, dan memberi kesempatan kepada petani mendapatkan lahan
yang layak dalam skala ekonomi. Reforma agraria dan penegakan hukum
tata ruang menjadi langkah yang tidak dapat ditunda (Krisnamurthi 2006,
Damsir 2011).
Sistem tanam tumpangsari atau campuran dengan mengatur perpaduan
sistem kanopi tanaman akan menjadi salah satu strategi pemecahan masalah
ini. Apabila peluang untuk menambah lahan pangan baru tidak terbuka maka
sistemtumpangsari dengan mengatur proporsi populasi per satuan luas antara
tanaman tahunan dan tanaman semusim harus dikerjakan secara teliti.
Implikasi dari kebijakan ini tentu akan berdampak cukup besar dalam
menentukan arah penelitian yang efektif.

Kesimpulan
1. Transformasi sistem produksi tanaman semusim menjadi sistem produksi
tanaman keras pada lahan kering suboptimal berpotensi mengurangi
produksi dan ketersediaan pangan regional.

190 Iptek Tanaman Pangan Vol. 6 No. 2 - 2011


2. Kelestarian dan keberlanjutan sistem produksi tanaman semusim
(tanaman pangan) pada lahan kering suboptimal memerlukan dukungan
teknologi budi daya yang optimal dan tindakan pemeliharaan lahan yang
sepadan.
3. Sistem produksi tanaman tahunan pada lahan kering suboptimal dari
sisi positifnya menciptakan kelestarian ekologis dan meningkatkan
pendapatan petani.
4. Diperlukan pengaturan proporsi, tata guna lahan, dan tata ruang yang
sepadan untuk mengakomodasi kepentingan kebutuhan pangan dan
komoditas perkebunan di masa depan.

Pustaka

Anonim. 1996. Peri kehidupan. Paguyuban tani dan nelayan Hari Pangan se-
Dunia. Sekretariat Pelayanan Tani dan Nelayan. Hari Pangan Sedunia.
Yogyakarta. 10 p.
Anonim. 1997. Liberalisasi, RUUK, dan nasib buruh. p. 14-24. Kawah No. 4/
Th.VI/1997.
Astakadatu, E.M. 1995. Deklarasi ganjuran. Tani Lestari No.1. Th 3. Februari
1995. Sekretariat Pelayanan Tani-Nelayan Hari Pangan se-Dunia.
Bantul. Yogyakarta.
BPS. 2004. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
BPS. 2009. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Damsir. 2011. Strategi pendampingan teknologi perkebunan dalam rangka
mendukung peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani
di Lampung. Makalah Seminar Pendampingan Inovasi Pertanian. BPTP
Lampung, 21 Maret 2011. 9 p.
Huang, Shan-ney. 1994. Soil management for sustainable food production in
Taiwan. FFTC. Ext. Bull.390.13p.
Hong, Chong-Woon. 1994. Organic farming and sustainability of agriculture
in Korea. Food & Fertilizer Technology Center (FFTC). Extension Bulletin
388. 8p.
Krisnamurthi, B. 2006. Revitalisasi pertanian, sebuah konsekuensi sejarah
dan tuntutan masa depan. p. 3031. Dalam: Jusuf Sutanto dan Tim
(Eds.). Revitalisasi pertanian dan dialog peradaban. Kompas. Jakarta.
Satari, A.M. 2008. Lingkungan hidup landasan pertanian. p. 245-248. Dalam:
Tri Doyo Kusumastanto et al. (Eds.). Perspektif ilmu-ilmu pertanian
dalam pembangunan nasional. Dewan Guru Besar Institut Pertanian
Bogor.

Sudaryono dan Hastuti: Transformasi Sistem Produksi Tanaman Pangan 191


Sudaryono. 1997. Prospek pertanian lestari pada tanaman pangan. Dalam:
Sudaryono, A. Taufiq, dan A. Winarto (Eds.). Perlindungan sumber
daya tanah untuk mendukung kelestarian pertanian tangguh. Balai
Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang. p.
136-156.
Utomo, G. Pr. 1996. Swasembada pangan menyongsong pasaran bebas,
pembangunan pertanian yang berwawasan lingkungan dan
pemberdayaan masyarakat tani. Makalah Rekoleksi PPL/PPS Deptan
& Petani Lestari Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur. Kaliurang, 14-15
Desember 1996. 6 p.
Utomo, G. Pr. 2006. Menjadikan abad ke-21 sebagai era kepedulian kosmik
dan pelestarian lingkungan hidup. p.696-714. Dalam: Jusuf Sutanto
dan Tim ((Eds.). Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Kompas.
Jakarta.
UU Republik Indonesia No. 12 Th 1992 Tentang sistem budi daya tanaman.
Wididana, Gede Ngurah. 1995. Peranan efektif mikroorganisme 4 dalam
meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah. Bulletin Ilmiah Azolla
II (5):1-9.
Zaini, Z., A.K. Makarim, dan Hermanto. 2011. Teknologi tanaman pangan
menghadapi perubahan iklim. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan Bogor. 34 p.

192 Iptek Tanaman Pangan Vol. 6 No. 2 - 2011

You might also like