Perspektif Oreantalis Hadits

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

PERSPEKTIF ORIENTALIS

TENTANG HADIS NABI:


Telaah Kritis dan Implikasinya terhadap Eksistensi
dan Kehujjahannya
Idri
Sekolah Tinggi Agama (STAIN) Pamekasan, Jl. Pahlawan Km. 04
Pamekasan, email: [email protected].

Abstract: As the second source of Islam after the Quran, hadis is


intresting to be studied by muslims as well as non-muslims (Orientalists). There are many differences between hadis studies according
to Orientalists and Muslim scholars. The differences occur in accordance with their scientific tradition, beliefs, and points of view
which are relatively dissimiliar. Muslim scholars see Hadis as the
source of Islam that came from the Prophet Muhammad peace be
upon him. It is the sayings or statements, doings, and approvals of
the Prophet, meanwhile according to Orientalists, hadis was made
by muslim community in the first and second age of Higra. It does
not the sayings, doings, or approvals of the Prophet, but the sayings of common people which later transmitted and hang up to the
Prophet. This article tries to explain critcal tradition of hadis among
Orientalists along with the topicts such as the history of hadis studies among Orientalists, the attitudes of Orientalists toward Islam,
generally and especially hadis, the Orientalists points of view about
sanad and matn of Hadis. The analysis of this article also describe
implication of the Orientalists viewpoints to the existence and probativeness of the Prophets hadis.

199

200

Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 199-216

Keywords: sanad, matan, kritik, Musthafa Azami, Joseph Schacht


PENDAHULUAN
Dalam tradisi keilmuan, khususnya dilihat dari aspek kawasan, terdapat dua kawasan, yaitu Barat dan Timur. Dunia Barat diwakili
oleh negara-negara Barat seperti Belanda, Inggris, Perancis, Spanyol,
Amerika, dan sebagainya. Sebagian mereka mempunyai concern
terhadap dunia Timur dan dikenal sebagai kaum orientalis. Kaum
orientalis ini mengkaji dunia Timur (termasuk Islam) berdasarkan
sudut pandang Barat. Di samping itu, ada pula orang-orang Timur
yang tertarik untuk mengkaji dunia Barat dengan menggunakan
sudut pandang ketimuran yang dinamakan dengan kaum oksidentalis. Baik para orientalis maupun oksidentalis melaksanakan tugas
mereka sesuai sudut pandang masing-masing terhadap objek yang
mereka kaji sehingga tidak jarang menghasilkan kesimpulan yang
berbeda.
Dalam melaksanakan tugasnya, para orientalis umumnya concern terhadap berbagai kerja intelektual berikut: [1] mengedit bukubuku warisan Islam dan menerbitkannya, [2] mempelajari bahasabahasa daerah di berbagai negeri timur, [3] mempelajari berbagai
faktor sosial, ekonomi, dan kejiwaan yang mempengaruhi perilaku
suatu bangsa, [4] mempelajari berbagai sekte dan aliran kepercayaan

Idri, Eksistensi Hadis Nabi

201

di suatu negara, baik yang moderat maupun yang ekstrim, dan [5]
meneliti berbagai peninggalan kuno di berbagai negara. 1
Khusus berkaitan dengan Islam, pada awal pertumbuhannya,
kajian orientalis bersifat umum. Namun, dalam perkembangannya
kajian itu mengalami spesifikasi sehingga lahir berbagai kajian
tentang Islam seperti al-Quran, hadis, hukum, sejarah, dan sebagainya. Pada dasarnya, fokus kajian Islam yang mereka tekankan
adalah sumber ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Quran dan hadis
nabi. Dalam frame kajian orientalis yang sudah terspesikasi menjadi beberapa bidang tersebut, maka artikel ini mengetengahkan
bagaimana kajian orientalis di bidang hadis.
SEJARAH KAJIAN HADIS DI KALANGAN ORIENTALIS
Dari sekian banyak bidang kajian yang menjadi garapan para orientalis, salah satunya adalah hadis nabi. Tentang siapa orientalis yang
pertama kali mengadakan kajian di bidang ini, belum ditemukan
kepastian sejarah. Para ahli berbeda pendapat dalam hal ini. Menurut
G.H.A. Joynboll, sebagaimana dikutip oleh Daniel W. Brown, sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian skeptik terhadap
hadis adalah Alois Sprenger kemudian diikuti oleh Sir Willian Muir
dalam karyanya Life of Mohamet dan mencapai puncaknya pada karya
Ignaz Goldziher.2
Menurut M. Musthafa Azami, orientalis yang pertama kali
melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang Yahudi kelahiran Hongaria (1850-1920 M.) melalui karyanya berjudul: Muhamedanische Studien pada tahun 1980 yang berisi pandangannya
tentang hadis.3 Pendapat ini dibantah oleh A.J. Wensinck bahwa
orientalis pertama yang mengkaji hadis adalah Snouck Hurgronje
yang menerbitkan bukunya: Revre Coloniale Internationale tahun

1
Abdul Shabur Marzuq, Al-Ghazw al-Fikr, terj. Abu Farah (Jakarta: CV Esya,
l99l), 136-137.
2
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Bandung:
Mizan, 2000), 111.
3
Muh}ammad Mus}t}afa> Azami, Studies in Hadits Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 94.

Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 199-216

202

1886.4 Jika pendapat ini benar, maka karya Hurgronje terbit empat
tahun lebih dahulu dari karya Goldziher.
Pendapat lain menyatakan bahwa orientalis pertama yang mengkaji hadis adalah Alois Sprenger. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad, missionaris asal
Jerman yang pernah lama tinggal di India ini, mengklaim bahwa
hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi
menarik).5 Klaim ini diikuti oleh rekan satu misinya, yaitu William
Muir, seorang orientalis asal Inggris yang juga mengkaji tentang
Nabi Muhammad dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir,
dalam literatur hadis nama Nabi Muhammad sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan (...
the name of Mahomet was abused to support all possible lies and
absurdities...).6 Orientalis lain yang juga mengkaji hadis adalah
Hamilton Alexander Roskeen Gibb, seorang orientalis asal Inggris (1895-1971) melalui karyanya Mohammedanism dan Shorter
Encyclopaedia of Islam, dilanjutkan oleh Joseph Schacht seorang
orientalis berkebangsaan Polandia (1902-1969) melalui karyanya
The Origin of Muhammadan Jurisprudence, GHA. Joynboll dengan
bukunya Muslim Tradition, Studies in Chronology, Provenance, and
Authorship of Early Hadith, Bernard G. Weiss, dengan bukunya The
Search for Gods Law, serta masih banyak nama-nama lain seperti
W. Montgomery Watt, Von Guerboum, Arberry, Jeffre, Ira Lapidus,
dan John L. Esposito.
Terlepas dari kontroversi di atas, hal yang perlu diketahui
adalah bahwa ternyata Goldziher telah berhasil menanamkan keraguan terhadap otentisitas hadis yang dilengkapi dengan studi-studi
ilmiah yang dilakukannya, sehingga karyanya dianggap sebagai
kitab suci oleh para orientalis sendiri.7 Di samping itu, kehadiran
Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis (Bandung: Benang Merah
Press, 2004), 88.
5
Alois Sprenger, On the Origin and Progress of Writing Down the Historical
Facts among the Mosulmans, dalam Journal of Asiatic Society of Bengal 25 (18561857), 375-376.
6
William Muir, The Life of Mahomet and the History of Islam to the Era of Hegira, Jilid I (London: Oxford University Press, 1988), xlii.
7
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 8.
4

Idri, Eksistensi Hadis Nabi

203

Joseph Schacht melalui bukunya The Origin of Muhammadan Jurisprudence, terbit pertama kali tahun 1950, yang kemudian dianggap
sebagai kitab suci kedua oleh para orientalis berikutnya, juga telah
membawa dampak yang kuat terhadap sejumlah penelitian dan kajian hadis di kalangan orientalis. Kedua orang inilah yang mempunyai peranan besar dalam pengkajian hadis di kalangan orientalis.
Bahkan, menurut Ali Musthafa Yaqub, untuk mengetahui kajian
hadis di kalangan orientalis cukup dengan hanya menelusuri pendapat kedua tokoh ini, karena para orientalis sesudah mereka pada
umumnya hanya mengikuti pendapat keduanya.8
Namun demikian, ada pula orientalis yang memiliki pandangan
yang lebih jernih dan bertentangan dengan kedua ilmuan di atas.
Freeland Abbott, misalnya, dalam bukunya Islam and Pakistan
(1908) membagi subs-tansi hadis menjadi tiga kelompok besar:
[1] hadis yang menggambarkan kehidupan Nabi secara umum, [2]
hadis yang dipermasalahkan karena hadis-hadis itu tidak konsisten
dengan ucapan Nabi, dan [3] hadis yang menceritakan wahyu yang
diterima oleh Nabi.9 Meskipun klasifikasi oleh Freeland Abbott ini
jauh berbeda dengan klasifikasi oleh kalangan ulama hadis, secara tidak langsung menunjukkan bahwa ia mengakui bahwa hadis
benar-benar bersumber dari nabi. Pengakuan yang lebih tegas diungkapkan oleh Nabila Abbott dalam bukunya Studies in Literary
Papiry: Quranic Commentary and Tradition (1957), menegaskan
bahwa hadis-hadis Nabi dapat ditelusuri keberadannya hingga masa
Nabi dan bukan buatan umat Islam setelah abad pertama Hijriyah.
Pandangan ini didasarkan atas manuskrip-manuskrip yang berhubungan dengan hadis Nabi.10
Dapat dikatakan bahwa di kalangan orientalis telah terjadi
pergeseran pendapat tentang hadis. Sebagian mereka sependapat
dengan Hurgronje, Goldziher, dan Schacht, namun ada pula yang
bertentangan dengan mereka dalam memandang Islam umumnya
dan hadis khususnya. Pergeseran pendapat tersebut, menurut hemat
Ibid., 9.
Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme, Sebuah Kajian Analitik (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997), 175.
10
Darmalaksana, Hadis, 119-120.
8
9

204

Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 199-216

penulis, setidaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut: [1]


Berakhirnya kolonialisme di negara-negara Islam sekaligus mengaki-batkan perubahan penilaian negara-negara eks kolonial terhadap
negara-negara Islam bekas jajahan dan ini juga berakibat pada perubahan penialaian terhadap Islam termasuk hadis Nabi. [2] Terjadi
pergeseran paradigma dari pemikiran tentang hadis yang bersifat
negatif ke pemikiran yang bersifat positif, disebabkan oleh hubungan yang semakin baik antara Barat dengan Islam. [3] Adanya
upaya pengkajian Islam dan hadis yang lebih didasarkan pada pertimbangan objektif dan ilmiah bukan pada ranah kepentingan missionaris dan politik kekuasaan. Sungguhpun demikian, tidak berarti
bahwa pandangan para orientalis terhadap Islam dan khususnya
hadis Nabi sudah mengalami perubahan, hanya sebagian kecil dari
mereka saja yang berpandangan positif terhadap Islam dan hadis
itu.
SIKAP PARA ORIENTALIS TERHADAP ISLAM DAN HADIS
NABI
Perbedaan orientalis dalam memandang Islam, termasuk di dalamnya hadis, tidak terlepas dari motivasi dan sikap mereka dalam
mengkaji Islam. Setidaknya sikap mereka itu dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, sikap netral terjadi pada awal persentuhan antara Timur dengan Barat pada masa sebelum Perang Salib. Kedua,
pasca perang Salib sikap tersebut bergeser ke arah pendistorsian
Islam yang dilatarbelakangi oleh sentimen keagamaan yang semakin menguat. Ketiga, sikap mulai mengapresiasi Islam yang terjadi
pada perkembangan orientalisme kontemporer yang didorong oleh
semangat pengembangan intelektual yang rasional. Meskipun belum seratus persen objektif, pada masa ini penghargaan dan penghormatan terhadap Islam mulai terlihat.
Dalam bidang hadis, sikap para orientalis tersebut tidak terlepas dari sikap dan pencitraan mereka terhadap Nabi Muhammad.
Sebab, bagaimana pun pembicaraan tentang hadis akan selalu berhubungan dengan Nabi Muhammad yang perkataan, perbuatan, dan
persetujuannya melahirkan hadis. Dalam konteks ini, pencitraan

Idri, Eksistensi Hadis Nabi

205

Nabi Muhammad di mata orientalis dapat dipandang dari dua sisi.


Satu sisi, Nabi Muhammad dipandang sebagai Nabi dan Rasul yang
telah membebaskan manusia dari kezaliman. Pandangan ini dikemukakan oleh antara lain De Boulavilliers dan Savary. Di sisi lain,
Nabi Muhammad dipandang sebagai paganis, penganut Kristen dan
Yahudi yang murtad yang akan menghancurkan ajaran Kristen dan
Yahudi, intelektual pintar yang memiliki imajinasi yang kuat dan
pembohong, serta seorang tukang sihir yang berpenyakit ayan. Pandangan ini dikemukakan antara lain oleh DHerbelot, Dante Alighieri, Washington Irving, Hamilton Gibb, Goldziher, dan Joseph
Schacht.11
Sikap mendua di atas telah membentuk citra yang sama terhadap hadis. Dalam pengertian bahwa mereka yang berpandangan
negatif terhadap Nabi Muhammad akan berpandangan negatif pula
terhadap hadis, demikian pula sebaliknya. Meskipun hal ini tidak
menunjukkan keharusan. Demikian halnya, jika diklasifikasi secara
keseluruhan ternyata kelompok orientalis yang mencela hadis lebih
banyak dibanding kelompok yang mengakui eksistensi hadis. Kenyataan ini menunjukkan bahwa mayoritas orientalis memandang
hadis secara negatif dan ini berakibat pada labilitas fondasi otentisitas dan kebenaran hadis di mata meraka, sehingga mereka tidak
akan mengakui kebenaran hadis sebagai sesuatu yang berasal dari
Nabi, termasuk sebagai sumber dan dasar (hujjah) ajaran Islam yang
dapat dipercaya kebenarannya.
Menurut Sad al-Marsafi, sebagian orientalis berpandangan skeptis terhadap keberadaan dan otentisitas hadis Nabi,12 sebab menurut
mereka, pada masa-masa awal pertumbuhan Islam, hadis tidak tercatat sebagaimana al-Quran karena tradisi yang berkembang saat
itu terutama pada masa Nabi dan sahabat adalah tradisi lisan bukan
tradisi tulisan dan sekaligus ada larangan secara umum untuk menulis sesuatu dari Nabi selain al-Quran -- meskipun ada juga hadis
Edward Said, Orientalisme (Bandung: Pustaka Salman, 1994), 85, Joesoef
Souyb, Orientalisme dan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), 102-109, juga Tim
Penyusun, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoove, 1994), 56.
12
Saad al-Mursafi, Al-Mushtashriqn wa al-Sunnah (Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islamiyah, 1994), 19.
11

206

Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 199-216

yang menyatakan sebaliknya secara khusus --, maka dimungkinkan banyak hadis yang dipertanyakan otentitasnya atau sama sekali diragukan keberadaannya, bahkan semua hadis, terutama yang
berkaitan dengan hukum dikatakan sebagai hasil karya sahabat,
tabiin, atau para ulama dan fuqaha pada abad pertama Hijriyah
dan permulaan abad kedua Hijriyah, dan menjadi suatu sistem yang
matang sejak munculnya kompilasi hadis pada abad ketiga Hijriyah
yang ingin menjadikan Islam sebagai agama yang multi dimensional, komprehensif yang mencakup seluruh aspek kehidupan.13
Goldziher menyatakan bahwa kebanyakan hadis yang terdapat
dalam kitab-kitab koleksi hadis mengandung semacam keraguan
ketimbang dapat dipercaya. Ia menyimpulkan bahwa hadis-hadis
itu bukan merupakan dokumen sejarah awal Islam, akan tetapi lebih merupakan refleksi dari tendensi-tendensi (kepentingan-kepentingan) yang timbul dalam masyarakat selama masa kematangan
dalam perkembangan masyarakat itu. Ia mendasarkan pandangan
pada beberapa hal. Di antaranya adalah material yang ditemukan
pada koleksi yang lebih akhir tidak merujuk kepada referensi yang
lebih awal, penggunaan isnd juga mengindikasikan transmisi (periwayatan) hadis secara lisan, bukan merujuk kepada sumber tertulis. Selain itu, dalam hadis-hadis banyak ditemukan riwayat yang
betentangan. Hal lain yang membuat dia skeptis terhadap otentisitas hadis adalah fakta adanya sahabat-sahabat yunior yang meriwayatkan hadis lebih banyak daripada sahabat-sahabat senior yang
diasumsikan mengetahui lebih banyak karena lamanya mereka
berinteraksi dengan nabi.14
Dalam pandangan kebanyakan orientalis, hadis hanya merupakan hasil karya ulama dan ahli fiqh yang ingin menjadikan Islam
sebagai agama yang multi dimensional. Mereka menganggap bahwa
hadis tidak lebih dari sekedar ungkapan manusia atau jiblakan dari
ajaran Yahudi dan Kristen. Hamilton Gibb menyatakan bahwa hadis hanya merupakan jiblakan Muhammad dan pengikutnya dari
13
Shubhi al-Shalih, Ulm al-Hadth wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-Ilm li alMalayin, 1988), 19.
14
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Richmond: Curzon
Press, 2000), 9.

Idri, Eksistensi Hadis Nabi

207

ajaran Yahuudi dan Kristen. Sementara Ignaz Goldziher dan Joseph


Schatch, dua pemuka orientalis, menyatakan bahwa hadis tidak bersumber dari Nabi Muhammad, melainkan sesuatu yang lahir pada
abad pertama dan kedua Hijriyah sebagai akibat dari perkembangan
Islam.15
Sikap dan pandangan orientalis yang menyangsikan kebenaran
hadis tersebut dapat berdampak negatif baik bagi ajaran Islam, umat
Islam, maupun non muslim. Dampak-dampak itu antara lain: [1]
Adanya kesan negatif tentang Islam dan khususnya hadis di mata
orang-orang Barat yang membaca dan bahkan terpengaruh oleh
pemikiran-pemikiran para orientalis itu. Hal ini dapat menyebabkan salah pengertian (misunderstanding) dan salah persepsi (misperception) mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. [2] Kalau
demikian, para pemerhati Islam dan juga umat Islam tidak mendapatkan informasi yang objektif dan ilmiah tentang hadis -- sebagaimana menjadi tradisi di kalangan Barat dalam mengkaji sesuatu
sehingga mereka dibodohi secara akademik. [3] Metodologi kritik
hadis yang dikemukakan oleh para orientalis dan menjadi alternatif bagi pengkajian hadis, tidak hanya bertentangan dengan metodologi kritik hadis yang mentradisi di kalangan umat Islam, tetapi
juga berarti merobohkan teori-teori ilmu hadis yang dikenal dengan
Mustalah al-Hadth. [4] Pendapat para orientalis tersebut dapat dijadikan dasar argumentasi oleh orang-orang yang tidak mengakui
hadis (kelompok inkar sunnah) di kalangan umat Islam, meskipun
minoritas. [5] Tidak hanya hadis yang terbantahkan kebenarannya,
ayat-ayat al-Quran yang mendukung dan membuktikan kebenaran
hadis Nabi juga ikut terbantah. Ini berarti bahwa menyangsikan
kebenaran hadis nabi sama saja dengan menyangsikan kebenaran
sebagian ayat-ayat al-Quran. [6] Jika pendapat para orientalis tersebut dibenarkan dan diikuti oleh umat Islam, maka mereka akan
meninggalkan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah
al-Quran dan keberagamaan mereka akan keluar dari ajaran Islam
yang sebenarnya.
15
Dikutip oleh Ahmad Muhammad Jamal, Muftarayt al al-Islm (Berut: Dar
al-Ilm li a-Malayin, 1987), 98-99.

Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 199-216

208

PANDANGAN ORIENTALIS TENTANG SANAD DAN MATAN HADIS


Dalam melakukan kajian sanad, para orientalis tampaknya lebih benyak menyoroti tentang kapan sanad itu dimulai dalam periwayatan
hadis. Menurut Caetani, Urwah (w. 94 H.) adalah orang pertama
yang menghimpun hadis tetapi ia tidak menggunakan sanad. Selan
jutnya ia menyatakan bahwa pada masa Abd al-Malik (w. antara
70-80 H.), penggunaan sanad dalam periwayatan hadis juga belum
dikenal. Caetani berpendapat bahwa penggunaan sanad baru dimulai pada masa antara Urwah dengan Ibn Ishaq (w. 151 H.). Berdasar pada pendangannya itu, ia berkesimpulan bahwa sebagian besar
sanad yang terdapat dalam kitab-kitab hadis merupakan rekayasa
para ahli hadis abad kedua, bahkan abad ketiga Hijriyah. Pendapat
ini didukung oleh Alois Sprenger.
Pendapat yang lebih lunak dikemukakan oleh Horovits bahwa
pemakaian sanad sudah dimulai sejak sepertiga akhir abad pertama
Hijriyah.16 R. Jobson mengatakan bahwa pada pertengahan abad
pertama Hijriyah mungkin sudah ada metode semacam sanad. Sebab, pada masa itu sejumlah sahabat sudah wafat sedangkan orangorang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi mulai meriwayatkan
hadis-hadisnya, dengan sendirinya mereka akan ditanya oleh orangorang yang mendengarnya, dari siapa mereka mendapatkan hadis
itu. Hanya saja, metode sanad secara detail tentulah berkembang
setelah itu secara bertahap.17
Henry Lammens, seorang missionaris asal Belgia, dan Leoni
Caetani, missionaris Italia, menyatakan bahwa isnd muncul jauh
setelah matan hadis ada dan merupakan fenomena internal dalam
perkembangan Islam.18 Joseph Horovits berspekulasi bahwa sistem
periwayatan hadis secara berantai (isnd) baru diperkenalkan dan
diterapkan pada akhir abad pertama Hijriyah. Selanjutnya, orientalis
Yaqub, Kritik Hadis, 99.
Ibid., 99-100.
18
Lihat Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema
Insani Press, 2008), 30. Juga Hanry Lammens, LIslam: Croyances et Institutions, edisi ketiga (Beirut: Imprimerie Chatolique, 1926), 92-93 dan Leone Chaetani, Annali
DellIslam, Jilid I (Milan: Ulrico Hoepli, tth.), 28-31.
16
17

Idri, Eksistensi Hadis Nabi

209

Jerman berdarah Yahudi ini menyatakan bahwa besar kemungkinan


praktik isnd berasal dari dan dipengaruhi oleh tradisi lisan sebagaimana dikenal dalam literatur Yahudi.19
Sementara itu, Joseph Schacht dalam The Origins of Muham
madan Jurisprudence, berpendapat bahwa bagian terbesar dari sanad
hadis adalah palsu. Menurutnya, semua orang mengetahui bahwa
sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana,
kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh kedua
abad ketiga Hijriyah.20 Dia menyatakan bahwa sanad merupakan
hasil rekayasa para ulama abad kedua Hijriyah dalam menyandarkan sebuah hadis kepada tokoh-tokoh terdahulu hingga akhirnya
sampai kepada nabi untuk mencari legitimasi yang kuat terhadap
hadis tersebut.21
Teori ini berawal dari pemahaman Schacht terhadap perkembangan hadis sejalan dengan perkembangan hukum Islam.
Menurutnya, hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para
qd pada masa Dinasti Umayyah. Sekitar akhir abad pertama Hijriyah, pengangkatan para qd ditujukan kepada para fuqaha yang
jumlahnya kian bertambah sehingga akhirnya menjadi aliran fiqh
klasik (madzhab). Untuk memperoleh legitimasi yang kuat terhadap putusan hukum yang diambil, maka para qd menyandarkan
putusan-putusan itu kepada tokoh-tokoh yang sebelumnya dipandang mempunyai otoritas.
Penyandaran tersebut tidak hanya sampai kepada generasi di
atas mereka, tetapi sampai kepada para sahabat dan akhirnya sampai kepada nabi. Tindakan ini melahirkan kelompok oposisi yang
terdiri dari para ahli hadis. Pokok pikiran para ahli hadis ini adalah
bahwa hadis-hadis yang disertai dengan sanad yang mereka sandarkan kepada tokoh-tokoh sebelum mereka hingga akhirnya juga bermuara kepada nabi. Proses penyandaran ke belakang seperti inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah Projecting Back (proyeksi ke
19
Joseph Horovits, Alter und Ursprung des Isnad dalam Jurnal der Islam, Vol.
8 (1917-1918), 44.
20
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: University Press, 1975), 163.
21
Azami, On Schachts, 232-233.

Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 199-216

210

belakang). Berdasar pemahaman seperti inilah, maka Schacht berkesimpulan bahwa baik kelompok fiqh klasik maupun kelompok
ahli hadis sama-sama memalsukan hadis, oleh karenanya tidak ada
hadis yang benar-benar berasal dari Nabi tetapi merupakan produk
yang lahir dari persaingan antara para ulama.22
Secara umum, menurut Azami, teori ini dapat dijawab bahwa
fiqh sudah berkembang sejak masa Nabi. Sebab, fiqh merupakan
produk ijtihad para mujtahid, sementara sahabat pada masa mereka,
bahkan pada masa Nabi telah melakukan ijtihad ini. Oleh karena itu,
sulit untuk diterima tuduhan Schacht bahwa fiqh baru berkembang
saat pengangkatan qd pada masa Dinasti Umayah. Lebih lanjut,
untuk mengklarifikasi teori tersebut, Azami melakukan penelitian
khusus tentang hadis-hadis nabi yang terdapat dalam naskah-naskah
klasik. Di antaranya adalah naskah karya Suhayl ibn Abi Shalih (w.
138 H.). Abu Shalih adalah murid Abu Hurayrah, sahabat Nabi. Karenanya, sanad hadis dalam naskah itu berbentuk : Nabi Saw. -- Ab
Hurayrah Suhayl. Naskah ini berisi 49 hadis yang para periwayatnya diteliti oleh Azami sampai kepada generasi Suhayl (generasi
ketiga), termasuk tentang jumlah dan generasi mereka. 23
Dari penelitian itu, Azami menemukan bahwa pada generasi
ketiga periwayat berjumlah sekitar 2030 orang yang berdomisili
secara terpencar seperti India, Turki, Maroko, dan Yaman, sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama. Dengan
demikian, menurutnya, sangat mustahil menurut ukuran situasi dan
kondisi saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis
sehingga menghasilkan redaksi yang sama. Sangat mustahil pula
bila masing-masing mereka membuat hadis kemudian oleh generasi
berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat sama.
Kesimpulan ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht baik
tentang rekonstruksi terbentuknya sanad maupun matan hadis.24

Ibid.
Ibid.
24
Ibid.
22
23

Idri, Eksistensi Hadis Nabi

211

Tuduhan orientalis bahwa sanad dan matan hadis merupakan


rekayasa umat Islam pada abad pertama, kedua, dan ketiga Hijriyah, oleh Azami dibantah sebagai berikut. Pertama, kenyataan sejarah membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak
masa nabi, seperti anjurannya kepada para sahabat yang menghadiri majlis nabi untuk menyampaikan hadis kepada yang tidak hadir. Kedua, mayoritas pemalsuan hadis terjadi pada tahun keempat
puluh tahun Hijriyah yang dipicu oleh persoalan politik, karena di
antara umat Islam saat itu ada yang lemah keimanannya sehingga
membuat hadis untuk kepentingan faksi politik atau golongan mereka. Ketiga, objek penelitian para orientalis di bidang sanad tidak
dapat diterima karena yang mereka teliti bukan kitab-kitab hadis
melainkan kitab-kitab fiqh dan sirah. Keempat, teori Projecting
Back (al-qadhf al-khalf) yang dijadikan dasar argumentasi beserta
contoh-contoh hadis yang dijadikan sampel, karenanya menjadi gugur dengan banyaknya jalan periwayatan suatu hadis. Kelima, tidak
pernah terjadi perkembangan dan perbaikan terhadap sanad seperti
membuat marf hadis yang mawqf atau menjadikan muttasil hadis
yang mursal. Demikian pula, tuduhan bahwa sanad hanya dipakai
untuk menguatkan suatu pendapat atau suatu madzhab merupakan
tuduhan yang tidak mempunyai bukti dan melawan realitas sejarah.
Keenam, penelitian dan kritik ulama hadis atas sanad dan matan hadis, dengan segala kemampuan mereka, dilakukan atas dasar keikhlasan dan tanpa tendensi duniawi.25
Di antara orientalis yang melakukan kritik hadis dari segi
matan adalah Ignaz Goldziher dan A.J. Wensinck. Keduanya
menganggap lemah metode kritik sanad yang dipakai para ulama
sehingga produk yang dihasilkannya otomatis tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Goldziher meyangsikan seluruh
matan dan menilainya sebagai buatan ulama ahli hadis dan ulama
ahli rayi.26 Goldziher mencontohkan sebuah hadis yang berbunyi:
(Janganlah melakukan perjalanan kecuali pada tiga masjid). Menurutnya, Malik ibn Marwan, seorang
Azami, Dirst, 457-458.
Al-Shalih, Ulm al-Hadth, 37.

25
26

Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 199-216

212

khalifah Dinasti Bani Umayah di Damaskus, merasa khawatir kalau


Abd Allah ibn Zubayr, gubernur yang memproklamirkan diri sebagai khalifah di Mekah, mengambil kesempatan meminta bayah
kepada orang-orang Syam yang akan beribadah haji. Karenanya, ia
berusaha agar mereka tidak menunaikan haji ke Mekah dan sebagai
gantinya cukup menunaikan haji ke Qubbah al-Sakhrah di al-Quds,
dengan menyuruh Muhammad ibn Syihab al-Zuhri membuat hadis
marf di atas.27
Tuduhan Ignaz Goldziher tentang pemalsuan al-Zuhri tehadap
hadis di atas dibantah oleh Azami. Menurutnya, tidak ada bukti
historis yang memperkuat tuduhan tersebut, karena pada satu sisi
hadis tersebut diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk al-Zuhri
dan kelahiran al-Zuhri sendiri masih diperselisihkan oleh ahli sejarah antara tahun 50 H. Dan 58 H., dan ia tidak pernah bertemu
dengan Abd Malik ibn Marwan sebelum tahun 81 H. Di sisi lain,
pada tahun 68 H., orang-orang Dinasti Umayah berada di Mekah
menunaikan ibadah haji, Palestina pada tahun tersebut belum berada di bawah kekuasaan Bani Umayah (Malik ibn Marwan), dan
pembangunan Qubbah al-Sakhrah dimulai tahun 69 H. (saat itu alZuhri berumur antara 10 sampai 18 tahun) dan baru selesai tahun 72
H. Karena itu, tidak mungkin Abd Malik ibn Marwan bermaksud
mengalihkan umat Islam berhaji dari Mekah ke Palestina dan tidak
mungkin al-Zuhri membuat hadis palsu dalam usia antara 10 sampai 18 tahun.28
A.J. Wensink menyatakan bahwa perkembangan dan aktifitas
pemikiran di kalangan umat Islam pasca wafatnya nabi membuka
peluang bagi para ulama untuk menjelaskan roh agama Islam itu me
lalui hadis. Ucapan-ucapan para ulama inilah yang kemudian dikenal
sebagai matan.29 Pandangan Wensinck ini sejalan dengan keteranganketerangan para orientalis di atas yang bermuara pada pandangan
bahwa matan itu bukanlah ucapan nabi, melainkan ucapan para ulama yang kemudian disandarkan pada Nabi. Wensinck menuduh maMuhammad Musthafa Azami, Dirst fi al-Hadth al-Nabaw wa Trkh
Tadwnih (Beirut: al-Maktab al-Islami, tth.), 456-457.
28
Ibid.
29
Al-Mursafi, al-Mushtashriqn, 50.
27

Idri, Eksistensi Hadis Nabi

213

tan hadis tentang akidah dan syariah sebagai hadis palsu. Misalnya,
hadis yang diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Rasulullah bersabda:
(Islam didirikan atas lima rukun; mengucapkan kesaksian bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah ....).
Menurutnya, hadis yang berisi syahadat ini merupakan buatan sahabat, bukan perkatan nabi, karena nabi tidak pernah mewajibkan melafalkan dua kalimat syahadat bagi orang yang baru masuk Islam,
baru ketika kaum muslimin berdebat dengan orang-orang Kristen di
Syam, mereka mendapatkan pertanyaan yang memerlukan jawaban
dengan dua kalimat tersebut.30
Tuduhan A.J. Wensinck tentang kepalsuan hadis mengenai syahadat sebagai salah satu rukun Islam di atas, menurut Azami terlalu mengada-ada, karena Wensinck tahu persis bahwa dua kalimat
syahadat menjadi bagian dari shalat yang dilakukan berjamaah oleh
umat Islam semenjak masa nabi di samping shalat-shalat sunnah,
dan kalimat tersebut termasuk dalam adzan yang dikumandangkan
sejak masa nabi.31
Keterangan di atas menunjukkan bahwa pandangan para orientalis terhadap sanad sebenarnya berangkat dari pemahaman mereka
tentang sunnah itu sendiri yang mereka yakini sebagai sesuatu yang
bukan berasal dari nabi. Mereka beranggapan bahwa sanad dan sekaligus matan yang ada dalam kitab-kitab hadis adalah buatan ulama dan umat Islam pada abad kedua dan ketiga Hijriyah.32
Untuk mendukung keyakinan tersebut, mereka mencari-cari argumentasi sehingga sanad dan otomatis matan -- dipahami sebagai hasil rekayasa oleh para ulama, demikian pula matan merupakan
perkataan mereka. Implikasi dari pemikiran para orientalis tersebut
sama dengan konklusi mereka yang dijelaskan di atas, yaitu baik
sanad maupun matan hadis tidak dapat dipertanggung-jawabkan
kebenarannya secara ilmiah. Pendapat ini sangat berbeda dengan
pendapat yang dipegang oleh para ulama hadis bahwa matan hadis
Azami, Dirst, 460-461, juga al-Mursafi, Al-Mushtashriqn, 50.
Ibid., 461, juga al-Mursafi, Al-Mushtashriqn, 50-51.
32
Azami, Dirst, 392.
30
31

214

Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 199-216

(yang shahih) benar-benar berasal dari nabi, sementara cikal bakal


sanad sudah ada semenjak nabi masih hidup ketika para sahabat
saling meriwayatkan hadis-hadis yang mereka terima dari nabi.
Dengan demikian, jika penolakan terhadap keberadaan sanad
dan matan hadis oleh para orientalis itu diterima, maka hal ini dapat
berakibat pada : [a] hadis-hadis nabi tidak dapat diakui kebenarannya berasal dari nabi karena semuanya palsu, [b] teori-teori ilmu hadis tidak dapat digunakan untuk menyeleksi keabsahan suatu hadis,
dan [c] menuduh bahwa para ulama dan periwayat hadis sebagai
para pendusta yang sengaja membuat sanad untuk pernyataan-pernyataan yang kemudian disandarkan pada Nabi.
PENUTUP
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa terdapat pandangan yang
sangat berbeda antara para orientalis dengan ulama hadis tentang
Islam dan hadis. Perbedaan tersebut pada dasarnya bermula dari
pandangan mendasar tentang sumber ajaran Islam, yaitu al-Quran
dan hadis itu sendiri. Karena mereka berpendapat bahwa al-Quran
adalah buatan Nabi Muhammad dan hadis merupakan perkataan sahabat Nabi atau umat Islam abad pertama dan kedua Hijriyah, maka
ajaran Islam bukan wahyu Allah melainkan buah pikiran Muhammad yang diperoleh dari berbagai sumber seperti Taurat, Injil, dan
sebagainya dan hadis berasal dari tradisi di kalangan umat Islam
abad pertama dan kedua Hijriyah sebagai akibat dari perkembangan
Islam.
Pandangan negatif tentang al-Quran dan hadis juga merambah pada pemahaman tentang Islam, hadis Nabi, eksistensi sanad
dan matan hadis, termasuk di dalamnya pencitraan terhadap pribadi
Nabi Muhammad yang membawa ajaran Islam itu. Pandangan-pandangan tersebut telah dijawab oleh para ulama hadis yang menyatakan tentang kebenaran Islam dan al-Quran sebagai wahyu Allah
serta hadis sebagai sabda nabi. Pembelaan mereka di samping berdasar data sejarah juga argumentasi logis.
Implikasi dari pendapat para orientalis tentang eksistensi hadis
adalah bahwa karena menurut mereka hadis bukanlah sabda nabi

Idri, Eksistensi Hadis Nabi

215

tetapi buatan umat Islam pada abad pertama dan kedua Hijriyah,
maka sesuatu yang disebut hadis Nabi sesungguhnya ucapan-ucapan manusia biasa yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang
kemudian disandarkan kepada nabi. Jadi, sesuatu yang disebut hadis Nabi, yaitu perkataan, perbuatan, dan persetujuan nabi, sesungguhnya tidak ada, karena sesuatu yang disebut hadis nabi itu adalah
perkataan sahabat, tabiin, atau orang-orang sesudah mereka. Kalau
pun dikenal istilah hadis nabi, hal itu hanyalah istilah saja yang
esensi dan eksistensinya bukan dari nabi. Dengan demikian, hadis
itu tidak berasal dari nabi dan kebenarannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan sehingga ia tidak dapat dijadikan hujjah (dasar- argumentasi) dalam kehidupan beragama.
Hanya saja, sebagaimana penelitian ulama hadis karena argumentasi dan data yang dijadikan dasar berpikir para orientalis itu
lemah, maka pendapat mereka tentang hadis tidak dapat diterima,
sehingga yang benar adalah hadis yang shahih adalah benar-benar
dari Nabi dan dapat (bahkan harus) dijadikan hujjah (dalil) agama
Islam.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Mursafi, Saad. Al-Mushtashriqn wa al-Sunnah. Kuwait: Maktabah al-Manar al-Isla>miyyah, 1994.
Al-Shalih, Shubhi. Ulm al-Hadth wa Musthalahuh. Beirut, Dar
al-Ilm li al-Malayin, 1988.
Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta:
Gema Insani Press, 2008.
Azami, Muh}ammad Mus}t}afa>. Dirst fi al-Hadth al-Nabaw wa
Trkh Tadwnih. Beirut: al-Maktab al-Islami, t.th.
Azami, Muh}ammad Mus}t}afa>. Studies in Hadits Methodology and
Literature. Indianapolis: American Trust Publications, 1977.
Berg, Herbert. The Development of Exegesis in Early Islam. Richmond: Curzon Press, 2000.
Brown, Daniel W. Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought.
Bandung, Mizan, 2000.

216

Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 199-216

Chaetani, Leone. Annali DellIslam. Milan: Ulrico Hoepli, t.th.


Darmalaksana, Wahyudin. Hadis di Mata Orientalis. Bandung: Benang Merah Press, 2004.
Goldziher, Ignaz. An Introduction to Islamic Theology and Law, Jakarta: INIS, 1991.
Horovits, Joseph. Alter und Ursprung des Isnad. dalam Jurnal der
Islam, Vol. 8 (1917-1918)
Jamal, Ahmad Muhammad. Muftarayt ala al-Islm. Berut: Dar
al-Ilm li al-Malayin, 1987.
Jamilah, Maryam. Islam dan Orientalisme, Sebuah Kajian Analitik.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Lammens, Hanry. LIslam: Croyances et Institutions, Edisi ke-3,
Beirut: Imprimerie Chatolique, 1926.
Marzu>q, Abd al-Shabu>r. al-Ghazw al-Fikr. Jakarta: CV Esya, l99l
Muir, William. The Life of Mahomet and the History of Islam to the
Era of Hegira. London: Oxford University Press, 1988.
Said, Edward. Orientalisme. Bandung: Pustaka Salman, 1994.
Schacht, Joseph. An Introduction to Islamic Law. Oxford: University Press, 1964.
Schacht, Joseph. The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Oxford: University Press, 1975
Souyb, Joesoef. Orientalisme dan Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1985
Sprenger, Alois. On the Origin and Progress of Writing Down the
Historical Facts among the Mosulmans, dalam Journal of Asiatic Society of Bengal 25 (1856-1857)
Tim Penyusun. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoove,
1994
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.

You might also like