Perspektif Oreantalis Hadits
Perspektif Oreantalis Hadits
Perspektif Oreantalis Hadits
199
200
201
di suatu negara, baik yang moderat maupun yang ekstrim, dan [5]
meneliti berbagai peninggalan kuno di berbagai negara. 1
Khusus berkaitan dengan Islam, pada awal pertumbuhannya,
kajian orientalis bersifat umum. Namun, dalam perkembangannya
kajian itu mengalami spesifikasi sehingga lahir berbagai kajian
tentang Islam seperti al-Quran, hadis, hukum, sejarah, dan sebagainya. Pada dasarnya, fokus kajian Islam yang mereka tekankan
adalah sumber ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Quran dan hadis
nabi. Dalam frame kajian orientalis yang sudah terspesikasi menjadi beberapa bidang tersebut, maka artikel ini mengetengahkan
bagaimana kajian orientalis di bidang hadis.
SEJARAH KAJIAN HADIS DI KALANGAN ORIENTALIS
Dari sekian banyak bidang kajian yang menjadi garapan para orientalis, salah satunya adalah hadis nabi. Tentang siapa orientalis yang
pertama kali mengadakan kajian di bidang ini, belum ditemukan
kepastian sejarah. Para ahli berbeda pendapat dalam hal ini. Menurut
G.H.A. Joynboll, sebagaimana dikutip oleh Daniel W. Brown, sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian skeptik terhadap
hadis adalah Alois Sprenger kemudian diikuti oleh Sir Willian Muir
dalam karyanya Life of Mohamet dan mencapai puncaknya pada karya
Ignaz Goldziher.2
Menurut M. Musthafa Azami, orientalis yang pertama kali
melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang Yahudi kelahiran Hongaria (1850-1920 M.) melalui karyanya berjudul: Muhamedanische Studien pada tahun 1980 yang berisi pandangannya
tentang hadis.3 Pendapat ini dibantah oleh A.J. Wensinck bahwa
orientalis pertama yang mengkaji hadis adalah Snouck Hurgronje
yang menerbitkan bukunya: Revre Coloniale Internationale tahun
1
Abdul Shabur Marzuq, Al-Ghazw al-Fikr, terj. Abu Farah (Jakarta: CV Esya,
l99l), 136-137.
2
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Bandung:
Mizan, 2000), 111.
3
Muh}ammad Mus}t}afa> Azami, Studies in Hadits Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 94.
202
1886.4 Jika pendapat ini benar, maka karya Hurgronje terbit empat
tahun lebih dahulu dari karya Goldziher.
Pendapat lain menyatakan bahwa orientalis pertama yang mengkaji hadis adalah Alois Sprenger. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad, missionaris asal
Jerman yang pernah lama tinggal di India ini, mengklaim bahwa
hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi
menarik).5 Klaim ini diikuti oleh rekan satu misinya, yaitu William
Muir, seorang orientalis asal Inggris yang juga mengkaji tentang
Nabi Muhammad dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir,
dalam literatur hadis nama Nabi Muhammad sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan (...
the name of Mahomet was abused to support all possible lies and
absurdities...).6 Orientalis lain yang juga mengkaji hadis adalah
Hamilton Alexander Roskeen Gibb, seorang orientalis asal Inggris (1895-1971) melalui karyanya Mohammedanism dan Shorter
Encyclopaedia of Islam, dilanjutkan oleh Joseph Schacht seorang
orientalis berkebangsaan Polandia (1902-1969) melalui karyanya
The Origin of Muhammadan Jurisprudence, GHA. Joynboll dengan
bukunya Muslim Tradition, Studies in Chronology, Provenance, and
Authorship of Early Hadith, Bernard G. Weiss, dengan bukunya The
Search for Gods Law, serta masih banyak nama-nama lain seperti
W. Montgomery Watt, Von Guerboum, Arberry, Jeffre, Ira Lapidus,
dan John L. Esposito.
Terlepas dari kontroversi di atas, hal yang perlu diketahui
adalah bahwa ternyata Goldziher telah berhasil menanamkan keraguan terhadap otentisitas hadis yang dilengkapi dengan studi-studi
ilmiah yang dilakukannya, sehingga karyanya dianggap sebagai
kitab suci oleh para orientalis sendiri.7 Di samping itu, kehadiran
Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis (Bandung: Benang Merah
Press, 2004), 88.
5
Alois Sprenger, On the Origin and Progress of Writing Down the Historical
Facts among the Mosulmans, dalam Journal of Asiatic Society of Bengal 25 (18561857), 375-376.
6
William Muir, The Life of Mahomet and the History of Islam to the Era of Hegira, Jilid I (London: Oxford University Press, 1988), xlii.
7
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 8.
4
203
Joseph Schacht melalui bukunya The Origin of Muhammadan Jurisprudence, terbit pertama kali tahun 1950, yang kemudian dianggap
sebagai kitab suci kedua oleh para orientalis berikutnya, juga telah
membawa dampak yang kuat terhadap sejumlah penelitian dan kajian hadis di kalangan orientalis. Kedua orang inilah yang mempunyai peranan besar dalam pengkajian hadis di kalangan orientalis.
Bahkan, menurut Ali Musthafa Yaqub, untuk mengetahui kajian
hadis di kalangan orientalis cukup dengan hanya menelusuri pendapat kedua tokoh ini, karena para orientalis sesudah mereka pada
umumnya hanya mengikuti pendapat keduanya.8
Namun demikian, ada pula orientalis yang memiliki pandangan
yang lebih jernih dan bertentangan dengan kedua ilmuan di atas.
Freeland Abbott, misalnya, dalam bukunya Islam and Pakistan
(1908) membagi subs-tansi hadis menjadi tiga kelompok besar:
[1] hadis yang menggambarkan kehidupan Nabi secara umum, [2]
hadis yang dipermasalahkan karena hadis-hadis itu tidak konsisten
dengan ucapan Nabi, dan [3] hadis yang menceritakan wahyu yang
diterima oleh Nabi.9 Meskipun klasifikasi oleh Freeland Abbott ini
jauh berbeda dengan klasifikasi oleh kalangan ulama hadis, secara tidak langsung menunjukkan bahwa ia mengakui bahwa hadis
benar-benar bersumber dari nabi. Pengakuan yang lebih tegas diungkapkan oleh Nabila Abbott dalam bukunya Studies in Literary
Papiry: Quranic Commentary and Tradition (1957), menegaskan
bahwa hadis-hadis Nabi dapat ditelusuri keberadannya hingga masa
Nabi dan bukan buatan umat Islam setelah abad pertama Hijriyah.
Pandangan ini didasarkan atas manuskrip-manuskrip yang berhubungan dengan hadis Nabi.10
Dapat dikatakan bahwa di kalangan orientalis telah terjadi
pergeseran pendapat tentang hadis. Sebagian mereka sependapat
dengan Hurgronje, Goldziher, dan Schacht, namun ada pula yang
bertentangan dengan mereka dalam memandang Islam umumnya
dan hadis khususnya. Pergeseran pendapat tersebut, menurut hemat
Ibid., 9.
Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme, Sebuah Kajian Analitik (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997), 175.
10
Darmalaksana, Hadis, 119-120.
8
9
204
205
206
yang menyatakan sebaliknya secara khusus --, maka dimungkinkan banyak hadis yang dipertanyakan otentitasnya atau sama sekali diragukan keberadaannya, bahkan semua hadis, terutama yang
berkaitan dengan hukum dikatakan sebagai hasil karya sahabat,
tabiin, atau para ulama dan fuqaha pada abad pertama Hijriyah
dan permulaan abad kedua Hijriyah, dan menjadi suatu sistem yang
matang sejak munculnya kompilasi hadis pada abad ketiga Hijriyah
yang ingin menjadikan Islam sebagai agama yang multi dimensional, komprehensif yang mencakup seluruh aspek kehidupan.13
Goldziher menyatakan bahwa kebanyakan hadis yang terdapat
dalam kitab-kitab koleksi hadis mengandung semacam keraguan
ketimbang dapat dipercaya. Ia menyimpulkan bahwa hadis-hadis
itu bukan merupakan dokumen sejarah awal Islam, akan tetapi lebih merupakan refleksi dari tendensi-tendensi (kepentingan-kepentingan) yang timbul dalam masyarakat selama masa kematangan
dalam perkembangan masyarakat itu. Ia mendasarkan pandangan
pada beberapa hal. Di antaranya adalah material yang ditemukan
pada koleksi yang lebih akhir tidak merujuk kepada referensi yang
lebih awal, penggunaan isnd juga mengindikasikan transmisi (periwayatan) hadis secara lisan, bukan merujuk kepada sumber tertulis. Selain itu, dalam hadis-hadis banyak ditemukan riwayat yang
betentangan. Hal lain yang membuat dia skeptis terhadap otentisitas hadis adalah fakta adanya sahabat-sahabat yunior yang meriwayatkan hadis lebih banyak daripada sahabat-sahabat senior yang
diasumsikan mengetahui lebih banyak karena lamanya mereka
berinteraksi dengan nabi.14
Dalam pandangan kebanyakan orientalis, hadis hanya merupakan hasil karya ulama dan ahli fiqh yang ingin menjadikan Islam
sebagai agama yang multi dimensional. Mereka menganggap bahwa
hadis tidak lebih dari sekedar ungkapan manusia atau jiblakan dari
ajaran Yahudi dan Kristen. Hamilton Gibb menyatakan bahwa hadis hanya merupakan jiblakan Muhammad dan pengikutnya dari
13
Shubhi al-Shalih, Ulm al-Hadth wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-Ilm li alMalayin, 1988), 19.
14
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Richmond: Curzon
Press, 2000), 9.
207
208
209
210
belakang). Berdasar pemahaman seperti inilah, maka Schacht berkesimpulan bahwa baik kelompok fiqh klasik maupun kelompok
ahli hadis sama-sama memalsukan hadis, oleh karenanya tidak ada
hadis yang benar-benar berasal dari Nabi tetapi merupakan produk
yang lahir dari persaingan antara para ulama.22
Secara umum, menurut Azami, teori ini dapat dijawab bahwa
fiqh sudah berkembang sejak masa Nabi. Sebab, fiqh merupakan
produk ijtihad para mujtahid, sementara sahabat pada masa mereka,
bahkan pada masa Nabi telah melakukan ijtihad ini. Oleh karena itu,
sulit untuk diterima tuduhan Schacht bahwa fiqh baru berkembang
saat pengangkatan qd pada masa Dinasti Umayah. Lebih lanjut,
untuk mengklarifikasi teori tersebut, Azami melakukan penelitian
khusus tentang hadis-hadis nabi yang terdapat dalam naskah-naskah
klasik. Di antaranya adalah naskah karya Suhayl ibn Abi Shalih (w.
138 H.). Abu Shalih adalah murid Abu Hurayrah, sahabat Nabi. Karenanya, sanad hadis dalam naskah itu berbentuk : Nabi Saw. -- Ab
Hurayrah Suhayl. Naskah ini berisi 49 hadis yang para periwayatnya diteliti oleh Azami sampai kepada generasi Suhayl (generasi
ketiga), termasuk tentang jumlah dan generasi mereka. 23
Dari penelitian itu, Azami menemukan bahwa pada generasi
ketiga periwayat berjumlah sekitar 2030 orang yang berdomisili
secara terpencar seperti India, Turki, Maroko, dan Yaman, sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama. Dengan
demikian, menurutnya, sangat mustahil menurut ukuran situasi dan
kondisi saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis
sehingga menghasilkan redaksi yang sama. Sangat mustahil pula
bila masing-masing mereka membuat hadis kemudian oleh generasi
berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat sama.
Kesimpulan ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht baik
tentang rekonstruksi terbentuknya sanad maupun matan hadis.24
Ibid.
Ibid.
24
Ibid.
22
23
211
25
26
212
213
tan hadis tentang akidah dan syariah sebagai hadis palsu. Misalnya,
hadis yang diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Rasulullah bersabda:
(Islam didirikan atas lima rukun; mengucapkan kesaksian bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah ....).
Menurutnya, hadis yang berisi syahadat ini merupakan buatan sahabat, bukan perkatan nabi, karena nabi tidak pernah mewajibkan melafalkan dua kalimat syahadat bagi orang yang baru masuk Islam,
baru ketika kaum muslimin berdebat dengan orang-orang Kristen di
Syam, mereka mendapatkan pertanyaan yang memerlukan jawaban
dengan dua kalimat tersebut.30
Tuduhan A.J. Wensinck tentang kepalsuan hadis mengenai syahadat sebagai salah satu rukun Islam di atas, menurut Azami terlalu mengada-ada, karena Wensinck tahu persis bahwa dua kalimat
syahadat menjadi bagian dari shalat yang dilakukan berjamaah oleh
umat Islam semenjak masa nabi di samping shalat-shalat sunnah,
dan kalimat tersebut termasuk dalam adzan yang dikumandangkan
sejak masa nabi.31
Keterangan di atas menunjukkan bahwa pandangan para orientalis terhadap sanad sebenarnya berangkat dari pemahaman mereka
tentang sunnah itu sendiri yang mereka yakini sebagai sesuatu yang
bukan berasal dari nabi. Mereka beranggapan bahwa sanad dan sekaligus matan yang ada dalam kitab-kitab hadis adalah buatan ulama dan umat Islam pada abad kedua dan ketiga Hijriyah.32
Untuk mendukung keyakinan tersebut, mereka mencari-cari argumentasi sehingga sanad dan otomatis matan -- dipahami sebagai hasil rekayasa oleh para ulama, demikian pula matan merupakan
perkataan mereka. Implikasi dari pemikiran para orientalis tersebut
sama dengan konklusi mereka yang dijelaskan di atas, yaitu baik
sanad maupun matan hadis tidak dapat dipertanggung-jawabkan
kebenarannya secara ilmiah. Pendapat ini sangat berbeda dengan
pendapat yang dipegang oleh para ulama hadis bahwa matan hadis
Azami, Dirst, 460-461, juga al-Mursafi, Al-Mushtashriqn, 50.
Ibid., 461, juga al-Mursafi, Al-Mushtashriqn, 50-51.
32
Azami, Dirst, 392.
30
31
214
215
tetapi buatan umat Islam pada abad pertama dan kedua Hijriyah,
maka sesuatu yang disebut hadis Nabi sesungguhnya ucapan-ucapan manusia biasa yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang
kemudian disandarkan kepada nabi. Jadi, sesuatu yang disebut hadis Nabi, yaitu perkataan, perbuatan, dan persetujuan nabi, sesungguhnya tidak ada, karena sesuatu yang disebut hadis nabi itu adalah
perkataan sahabat, tabiin, atau orang-orang sesudah mereka. Kalau
pun dikenal istilah hadis nabi, hal itu hanyalah istilah saja yang
esensi dan eksistensinya bukan dari nabi. Dengan demikian, hadis
itu tidak berasal dari nabi dan kebenarannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan sehingga ia tidak dapat dijadikan hujjah (dasar- argumentasi) dalam kehidupan beragama.
Hanya saja, sebagaimana penelitian ulama hadis karena argumentasi dan data yang dijadikan dasar berpikir para orientalis itu
lemah, maka pendapat mereka tentang hadis tidak dapat diterima,
sehingga yang benar adalah hadis yang shahih adalah benar-benar
dari Nabi dan dapat (bahkan harus) dijadikan hujjah (dalil) agama
Islam.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Mursafi, Saad. Al-Mushtashriqn wa al-Sunnah. Kuwait: Maktabah al-Manar al-Isla>miyyah, 1994.
Al-Shalih, Shubhi. Ulm al-Hadth wa Musthalahuh. Beirut, Dar
al-Ilm li al-Malayin, 1988.
Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta:
Gema Insani Press, 2008.
Azami, Muh}ammad Mus}t}afa>. Dirst fi al-Hadth al-Nabaw wa
Trkh Tadwnih. Beirut: al-Maktab al-Islami, t.th.
Azami, Muh}ammad Mus}t}afa>. Studies in Hadits Methodology and
Literature. Indianapolis: American Trust Publications, 1977.
Berg, Herbert. The Development of Exegesis in Early Islam. Richmond: Curzon Press, 2000.
Brown, Daniel W. Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought.
Bandung, Mizan, 2000.
216