Apoteker Di Puskesmas
Apoteker Di Puskesmas
Apoteker Di Puskesmas
Sudibyo Supardi,2 Andi Leny Susyanti,2 Raharni,2 dan Max Joseph Herman2
ABSTRACT Background: Act Number 36 of 2009 on Health states that the government has the responsibility to regulate the planning, procurement, empowerment, and controlling of the quality of health workers in performing health care in Indonesia. Meanwhile the Government Regulation Number 51 of 2009 requires that the practice of pharmacy must be done by pharmacist and one of the health facilities conducting pharmacy practice is the community health center. A cross sectional qualitative study has been done to identify the role of regional institution in the assignment of pharmacist in community health centers, and to obtain information on problem and barrier of the assignment. Methods: The study was carried out in cities of Tangerang, Bandung, Surabaya and Bantul District. Data were collected through in-depth interviews with those responsible in Provincial Health Ofce, District Health ofce, Regional Man-power Institution (BKD) and community health center, besides by conducting focus group discussion with pharmacists from District Health Ofce, Community Health Center, School of Pharmacy and Regional Indonesian Pharmacists Association. Data were analyzed qualitatively using triangulation method and temporary study results were revised in a round table discussion with experts in Jakarta. Results: Results of the study show that: 1) Refering to regional role: (a) the role of Provincial Health Ofce was recording the demand of and the assignment of pharmacist, (b) the District Health Ofce had the authority to determine the demand of pharmacist and to assign as well as to control pharmacist in community health centers, (c) the regional man-power institution documented and forwarded the number and kind of pharmacy staff needed by the District Health Ofce to the national man-power institution (BKN), and (d) the role of head of community health center was managing pharmacist according to their main job, i.e. managing drug supply. 2) Referring to problem in pharmacist assignment: (a) District Health Ofce was aware of the need of pharmacist, but in panning pharmacist was not regarded as a priority compared to other health workers, (b) the request for pharmacist was not based on the real organization needs resulted from the analysis of work burden such as regulated, (c) limited formation given by BKN, and such that the assignment of health workers was not based on their competencies, ang (d) Training of health personnel has not been done because of budget limitations. Key words: pharmacist, community health center, assignment policy ABSTRAK Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 disebutkan pelayanan resep dokter di pelayanan kefarmasian (salah satunya puskesmas) harus dilakukan oleh apoteker. Saat ini hanya 10% puskesmas yang memiliki apoteker. Belum diketahui bagaimana kebijakan penempatan apoteker di puskesmas dan permasalahan yang terkait penempatan apoteker di puskesmas. Tujuan penelitian adalah mendapatkan informasi tentang peran institusi daerah terkait dengan kebijakan penempatan apoteker di puskesmas dan hambatannya. Hasil penelitian diharapkan sebagai masukan bagi pihak yang terkait untuk meningkatkan jumlah dan peran apoteker di puskesmas. Penelitian potong lintang (cross sectional) dengan pendekatan kualitatif dilakukan terhadap instansi daerah yang terkait dengan peran apoteker di puskesmas pada tahun 2011. Lokasi penelitian dipilih berdasarkan keberadaan perguruan tinggi farmasi yang terakreditasi A atau B di Pulau Jawa, dengan asumsi ketersediaan apoteker memadai untuk bekerja di puskesmas, yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur. Dari masing-masing provinsi diambil satu kota, yaitu Kota Tangerang, Kota Bandung, Kabupaten Bantul dan Kota Surabaya. Informan untuk wawancara mendalam adalah pejabat dari Dinkes Provinsi, Dinkes Kabupaten/Kota, Badan Kepegawaian daerah, dan Kepala Puskesmas. Sedangkan informan diskusi kelompok terarah adalah para apoteker yang mewakili Dinkes Kabupaten/Kota, puskesmas perawatan, Perguruan Tinggi Farmasi (PTF) dan Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (PD IAI). Analisis data secara deskriptif kualitatif dengan metoda triangulasi yang meliputi sumber informasi yang berbeda, dan metoda pengumpulan data yang berbeda. Hasil sementara disempurnakan dengan Round Table Discussion di Jakarta dengan mengundang nara sumber dari Binfar Alkes
Pusat Teknologi dan Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jl Percetakan Negara 29 Jakarta Alamat korespondensi: [email protected]
133
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 15 No. 2 April 2012: 133142 Kemkes, PP IAI, dan Dinkes Provinsi DKI Jakarta. Kesimpulan penelitian sebagai berikut: 1) Peran institusi daerah dalam penempatan apoteker di puskesmas sebagai berikut: (a) Peran Dinkes Provinsi mencatat jumlah dan penempatan apoteker, (b) Peran Dinkes Kabupaten/kota adalah perencanaan kebutuhan, pengadaan, penempatan dan pembinaan apoteker di puskesmas, (c) peran BKD adalah membantu Dinkes Kabupaten/Kota dalam perencanaan kebutuhan dan pengadaan tenaga kesehatan, (d) Peran Kepala puskesmas adalah mengarahkan peran apoteker berdasarkan tugas pokoknya, yaitu sebagai pengelolaan obat. 2) Permasalahan dalam penempatan apoteker adalah (a) Dinkes Kabupaten/kota mengetahui bahwa menurut peraturan perundangan diperlukan apoteker di puskesmas, tetapi dalam perencanaan kebutuhan tenaga apoteker masih belum dianggap prioritas dibandingkan kebutuhan tenaga kesehatan lain, (b) Usulan kebutuhan tenaga kesehatan yang dibuat oleh Dinkes Kabupaten/Kota belum didasarkan atas perhitungan beban kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan, (c) Jumlah belanja pegawai dalam DAU sudah cukup besar, sehingga formasi yang disetujui oleh BKN terbatas, dengan formasi yang terbatas, penempatan tenaga kesehatan tidak berdasarkan kompetensinya. (d) Pelatihan belum banyak dilakukan karena keterbatasan anggaran. Kata kunci: apoteker, kebijakan tenaga kesehatan, puskesmas
Naskah Masuk: 2 Februari 2012, Review 1: 10 Februari 2012, Review 2: 10 Februari 2012, Naskah layak terbit: 18 Februari 2012
PENDAHULUAN Dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan antara lain disebutkan tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis ter tentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Pasal 1). Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan (Pasal 21). Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan (Pasal 25). Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan yang dilakukan dengan tetap memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata. Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan memperhatikan jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat; jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada (Pasal 26). Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan antara lain disebutkan penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas 134
pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan dan/atau bekerja pada sarana kesehatan yang bersangkutan untuk meningkatkan keterampilan atau pengetahuan melalui pelatihan di bidang kesehatan (Pasal 10). Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumber Daya Manusia Kesehatan di Tingkat Provinsi, Kabupaten/ Kota Serta Rumah Sakit antara lain disebutkan dalam perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan terdapat empat metoda penyusunan yang dapat digunakan yaitu: a. Health Need Method , yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan atas epidemiologi penyakit utama yang ada pada masyarakat. b. Health Service Demand , yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan atas permintaan akibat beban pelayanan kesehatan. c. Ratios Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan pada standar/ rasio terhadap nilai tertentu. d. Health Service Target Method yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan atas sarana pelayanan kesehatan yang ditetapkan, misalnya Puskesmas, dan Rumah Sakit. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang Praktek Kefarmasian antara lain disebutkan bahwa tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang
telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker (pasal 1). Fasilitas pelayanan kefarmasian berupa apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktik bersama (pasal 19). Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat dibantu oleh apoteker pendamping dan/atau tenaga teknis kefarmasian (pasal 20). Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker (pasal 21). Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, antara lain disebutkan puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan (Dinkes) kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sebagai unit pelaksana teknis Dinkes Kabupaten/Kota (UPTD), puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional Dinkes Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. Secara nasional standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antarpuskesmas dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/ kelurahan atau RW). Puskesmas perawatan adalah puskesmas yang berdasarkan surat keputusan Bupati atau Walikota menjalankan fungsi perawatan dan untuk menjalankan fungsinya diberikan tambahan ruangan dan fasilitas rawat inap yang sekaligus merupakan pusat rujukan antara praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (UU 36 tahun 2009 pasal 108). Pelayanan resep atau penyerahan obat resep dokter di fasilitas pelayanan kefarmasian (salah satunya
puskesmas) harus dilakukan oleh apoteker (PP 51 tahun 2009 pasal 21). Menurut Uyung Pramudiarja (2011) hanya 10% puskesmas memiliki apoteker. Masalah penelitian adalah belum diketahui bagaimana kebijakan penempatan apoteker di puskesmas, dan permasalahan yang terkait. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang peran institusi daerah yang terkait dengan penempatan apoteker di puskesmas, dan permasalahannya. Informasi yang didapat diharapkan sebagai masukan bagi pihak yang terkait untuk meningkatkan jumlah dan peran apoteker dalam upaya meningkatkan pelayanan kefarmasian di puskesmas. METODE Rancangan penelitian adalah potong lintang (cross sectional) dengan pendekatan kualitatif terhadap kebijakan penempatan apoteker di puskesmas. Penentuan lokasi penelitian berdasarkan keberadaan perguruan tinggi farmasi yang terakreditasi A atau B di Pulau Jawa, dengan asumsi ketersediaan apoteker memadai untuk bekerja di puskesmas, yaitu Kota Tangerang, Kota Bandung, Kabupaten Bantul dan Provinsi dan Kota Surabaya pada tahun 2011. Informan wawancara mendalam adalah institusi yang terkait dengan kebijakan penempatan apoteker di puskesmas, yang mencakup Dinkes Provinsi, Dinkes Kabupaten/Kota, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten/Kota, dan Kepala Puskesmas. Sedangkan informan diskusi kelompok terarah adalah para apoteker dari puskesmas, Perguruan Tinggi Farmasi (PTF) dan Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (PD IAI). Analisis data secara deskriptif kualitatif dengan metoda triangulasi yang meliputi triangulasi sumber data yaitu menggunakan beberapa informan yang berbeda, dan triangulasi metoda yaitu menggunakan metoda pengumpulan data wawancara mendalam dan diskusi kelompok. Untuk menyempurnakan hasil penelitian dilakukan Round Table Discussion di Jakarta dengan mengundang nara sumber dari Ditjen Binfar & Alkes, PP IAI, dan Dinkes Provinsi DKI Jakarta. HASIL Pendapat Informan di daerah dalam wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah dapat dirangkum sebagai berikut. 135
Dinkes Provinsi Menurut PP nomor 9 tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka kewenangan pejabat pembina kepegawaian provinsi adalah pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi. Mekanisme perencanaan, pengadaan, penempatan dan pembinaan apoteker di puskesmas merupakan kewenangan Dinkes Kabupaten/Kota. Peran Dinkes Provinsi hanya menerima informasi dari Dinkes Kabupaten/Kota, kemudian meneruskan laporan tersebut kepada pusat (Kementerian Kesehatan). Dinkes Provinsi melakukan pelatihan terhadap apoteker di puskesmas dalam rangka membantu program Ditjen Binfar Alkes terkait Pelayanan Informasi Obat (PIO), Penggunaan Obat Rasional (POR), Cara Belajar Ibu Aktif (CBIA), dan manajemen obat. Permasalahan yang terkait dengan penempatan apoteker di puskesmas adalah tenaga kefarmasian belum dianggap prioritas yang mempunyai daya ungkit untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKB) dan atau Angka Kematian Bayi (AKI). Profesi apoteker kurang dikenal pengambil kebijakan, sehingga kebutuhan apoteker di puskesmas kurang prioritas dibandingkan tenaga kesehatan lainnya. Pelayanan kefarmasian di puskesmas masih mengandalkan tenaga Asisten apoteker (AA), meskipun banyak puskesmas yang belum mempunyai AA. Disarankan agar PP 51 tahun 2009 pasal 21 yang menyatakan penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker, dan Permenkes 889 tahun 2011 tentang registrasi tenaga kefarmasian dapat dijadikan acuan untuk menempatkan seorang apoteker di puskesmas. Tidak adanya apoteker di puskesmas menyebabkan monitoring obat menjadi tidak terawasi, penerapan POR dan CBIA juga sulit. Bila formasi apoteker PNS tidak memungkinkan, sebaiknya diangkat apoteker sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT), seperti tenaga medis (dokter, dokter gigi dan bidan) yang dijelaskan dalam Kepres 37 tahun 1991 dan Kepres 23 tahun 1994. Pemerintah daerah Kabupaten/Kota dapat mengangkat apoteker asal ada dasar hukumnya.
Dinkes Kabupaten/Kota Dalam perencanaan kebutuhan, pengadaan, penempatan, dan pembinaan tenaga apoteker/teknis kefarmasian. Dinkes Kabupaten/Kota berperan melakukan analisis beban kerja dan analisis jabatan untuk menghitung kebutuhan riel tenaga kesehatan khususnya apoteker. Dalam perhitungan kebutuhan tenaga juga dilihat berdasarkan rasio terhadap jumlah penduduk dan rasio terhadap pasien di puskesmas, kemudian dilihat tugas pokok dan fungsinya. Mekanisme perencanaan, pengadaan, penempatan dan pembinaan terkadang ada faktor like and dislike, formasi bukan merupakan kebutuhan organisasi, tapi kebutuhan relasi. Pembinaan apoteker di puskesmas dilakukan oleh bidang diklat dengan mengajukan ke BKD atau mengajukan ke Dinkes Provinsi. Selain melalui mekanisme formasi PNS, pengadaan tenaga kesehatan dapat dilakukan melalui tenaga kontrak yang diatur dalam Permenkes 1199 tahun 2004. Dasar pengadaan tenaga kontrak apoteker/AA oleh Dinkes Kota Surabaya dimulai dengan adanya PP 51 tahun 2009 dan Permenkes 889 tahun 2011 tentang peran apoteker di puskesmas. Kemudian adanya pilot proyek Ditjen Binfar dan Alkes tentang PIO dan POR di puskesmas yang hasilnya memuaskan, terutama dalam PIO di posyandu balita maupun posyandu lansia. Dengan penempatan tenaga apoteker/teknisi farmasi di puskesmas, maka penyimpanan dan pelaporan obat menjadi lebih baik. Hasil ini memotivasi Dinkes Kota untuk menempatkan apoteker di semua puskesmas, sehingga dibutuhkan banyak apoteker. Dinkes Kota Bandung menentukan prioritas urutan dalam pemenuhan formasi tenaga kesehatan, strukturnya adalah dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi, bidan, perawat, nutrisi, kesehatan lingkungan, baru kemudian apoteker. Permasalahan dalam pengadaan apoteker di Puskesmas adalah keterbatasan formasi dari BKN. Pembinaan dan pelatihan tenaga kefarmasian di Puskesmas masuk urutan ke sekian atau kadang tidak masuk dalam penyusuan program pelatihan karena anggaran terbatas. Masih banyak puskesmas yang tidak mempunyai tenaga kefarmasian, sehingga pelayanan resep dilakukan oleh perawat, bidan, dan bahkan tenaga nonkesehatan.
136
Disarankan agar Permenkes nomor 702 tahun 1993 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Tenaga Medis sebagai PTT sebaiknya direvisi, sehingga memungkinkan pengangkatan apoteker sebagai PT T untuk daerah yang mempunyai keterbatasan anggaran. Ada juga Dinkes Kota yang merencanakan kebutuhan tenaga apoteker untuk puskesmas dengan cara mengurangi perencanaan kebutuhan tenaga medisnya. Untuk mengatasi kelangkaan apoteker di puskesmas, bila APBD memungkinkan dilakukan sistem kontrak. Penempatan apoteker di Puskesmas UPT/perawatan/kecamatan lebih diprioritaskan berkaitan dengan beban kerja yang lebih besar daripada puskesmas jejaring/ nonperawatan/kelurahan. Badan Kepegawaian Daerah Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 159 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Badan Kep e gawaian Daer ah disebutkan BKD adalah perangkat daerah yang melaksanakan manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah dalam membantu tugas pokok Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Koordinasi antara sektor kesehatan dengan BKD umumnya hanya dalam rekruitmen PNS tenaga kesehatan. Dinkes kabupaten/kota mengajukan jumlah dan jenis tenaga kesehatan yang dibutuhkan kepada BKD kabupaten/kota untuk diteruskan ke pusat (BKN). Wewenang BKD hanya sebatas pengadaan PNS di kabupaten/kota, tidak ikut dalam pengadaan tenaga PTT dan honorer/kontrak. Mekanisme perencanaan, pengadaan, penempatan dan pembinaan tenaga kesehatan dilakukan melalui analisis bezeeting berdasarkan kebutuhan di lingkungan Dinkes Kabupaten/Kota. BKD Kabupaten/ kota tugasnya melakukan pencatatan global jenis dan jumlah tenaga kesehatan per golongan. Perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan bottom up tetapi pemenuhannya ada koridor uang. Dengan adanya moratorium, maka sampai tahun 2013 pemerintah daerah diberikan kesempatan untuk menganalisis kebutuhan pegawai. Pengangkatan PNS daerah mempertimbangkan anggaran belanja pegawai yang kebijakannya tidak boleh melebihi 70% dari Dana Alokasi Umum (DAU) pemerintah daerah setempat. Permasalahan yang dihadapi adalah kebutuhan tenaga kefarmasian masih tinggi karena setiap tahun Dinkes Kabupaten/Kota masih mengusulkan, tetapi
jumlah pegawai lain terlalu banyak sehingga DAU tidak mencukupi untuk penggajiannya. Disaran agar Dinkes Kabupaten/Kota bisa mendapatkan apoteker yang sudah PNS dari instansi lain, adanya peraturan menteri kesehatan tentang apoteker PTT, atau mengangkat tenaga kefarmasian honorer dengan dana APBD atas persetujuan DPRD. Kepala Puskesmas Penempatan apoteker di puskesmas terutama untuk pengelolaan obat dan klinik metadon. Pembinaan apoteker yang dilakukan oleh Puskesmas, di antaranya pada saat awal masuk apoteker ada pendampingan PNS selama setahun, dengan pendamping PNS yang sudah lama dan berpengalaman. Permasalahan yang ditemukan adalah Kepala Puskesmas hanya memahami peran apoteker di Puskesmas sebagai pengelola obat, termasuk pelayanan resep dan membuat LP-LPO. Untuk beberapa puskesmas, penempatan apoteker termasuk untuk pelayanan Metadon. Puskesmas disiapkan untuk pelayanan kesehatan dasar, dengan adanya dokter spesialis maka diperlukan tambahan beberapa jenis obat. Apoteker harus mengetahui semua program puskesmas agar dapat memposisikan perannya. Apoteker di puskesmas statusnya tenaga fungsional. Apoteker dan Asisten Apoteker yang berasal dari tenaga kontrak merasa posisinya kurang sejajar dengan PNS, tidak bisa sebagai tenaga fungsional. Masih ada puskesmas yang tidak mempunyai tenaga kefarmasian untuk pelayanan resep, sehingga tingkat profesionalitasnya kurang. Disarankan agar setiap puskesmas minimal ada seorang AA. Tugas pokok dan fungsi apoteker dalam pelayanan kefarmasian di puskesmas diperjelas melalui peraturan daerah agar dapat dipahami oleh tenaga kesehatan lainnya. Apoteker Puskesmas Tugas pokok dan fungsi apoteker di Puskesmas adalah pengelolaan obat, yang meliputi perencanaan, permintaan, penyimpanan, pendistribusian, pelayanan obat dan pencatatan/pelaporan. Kemudian juga dikembangkan kepada "rumatan metadon di puskesmas tertentu." Permasalahan yang ditemukan adalah beban kerja sehubungan dengan pelayanan resep yang jumlahnya lebih dari 100 lembar perhari dan pelaporan 137
obat yang terlalu berat (over loaded ) dibandingkan jumlah tenaga yang tersedia. Bahkan ada puskesmas dengan apoteker tanpa didampingi AA sama sekali sehingga harus minta tambahan tenaga nonkesehatan secara bergilir. Sedangkan pengelolaan obat oleh 1 apoteker dibantu 1 AA saja pekerjaan banyak sekali (over). Untuk pekerjaan luar gedung selama ini belum tersentuh, apalagi fungsi pelayanan kefarmasian seperti informasi obat, konseling, home care. Beban kerja dalam urusan administrasi sering tidak sejalan dengan tugas pokoknya, sehingga tidak dapat digunakan untuk tambahan angka kredit bagi jabatan fungsionalnya. Pengurus Daerah IAI Ikat an A poteker Indonesia ber pendapat dengan terbitnya PP no 51 tahun 2009 seharusnya pemerintah daerah menempatkan apoteker di semua lini pengelolaan obat, termasuk puskesmas. Tidak boleh terjadi lagi kekeliruan pengangkatan apoteker (seharusnya golongan III/b) sebagai sarjana farmasi (golongan III/a) seperti kasus di salah satu lokasi penelitian akibat ketidaktahuan dalam perencanaan tenaga. Pembagian tugas dan job description yang jelas bagi apoteker sebagai penanggung jawab obat di Puskesmas, perlu SOP. Permasalahan yang dirasakan adalah jumlah apoteker dan tenaga teknis kefarmasian terlalu sedikit bahkan tidak ada di beberapa puskesmas, dan beban kerja melayani lebih seratus lembar resep per hari pada jam kerja puskesmas, maka apoteker hampir tidak mungkin melaksanakan pelayanan kefarmasian dengan baik. Terkait dengan Peraturan Bersama Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 02/SPB/ Menpan. RB/8/2011 tentang Penundaan Sementara
Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil, PP IAI bekerja sama dengan Ditjen Binfar dan Alkes sedang memperjuangkan agar apoteker dapat masuk ke dalam tenaga strategis, sehingga perencanaan kebutuhan dan pengadaan apoteker tetap bisa diusulkan pada tahun 20122013. Juga usulan agar dibuat Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas berdasarkan Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas yang sudah ada. Perguruan Tinggi Farmasi Kerja sama perguruan tinggi farmasi dengan Dinkes Kabupaten/Kota dilakukan untuk mengurangi kesenjangan pengetahuan apoteker yang bekerja di puskesmas. Puskesmas mendapat nara sumber untuk pelatihan yang dibutuhkan, dan perguruan tinggi farmasi mendapat lahan tempat praktik calon apotekernya. Sesungguhnya ada tiga intervensi yang dibutuhkan untuk mendukung kebijakan penempatan apoteker di puskesmas, yaitu intervensi regulasi, manajerial dan edukasi. Permasalahannya adalah Perguruan Tinggi Farmasi (PTF) berpendapat bahwa apoteker yang baru lulus belum sepenuhnya siap pakai di puskesmas, karena Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di puskesmas masih merupakan pilihan dengan 1 SKS. Disarankan agar dalam rangka mendukung kebijakan penempatan apoteker di puskesmas untuk mewajibkan PKPA di puskesmas. Juga mempersiapkan materi untuk pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian sesuai kebutuhannya. Jumlah Tenaga Kefarmasian di Puskesmas Data sekunder apoteker dan asisten apoteker di puskesmas tahun 2010 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Puskesmas, Apoteker dan Asisten Apoteker per Kabupaten/Kota, 2010
No 1 2 3 4 Kabupaten/Kota Tangerang Bandung Bantul Surabaya Jenis Puskesmas perawatan non perawatan perawatan non perawatan perawatan non perawatan perawatan non perawatan Jumlah Puskesmas 0 25 5 66 16 11 10 43 Jumlah Apoteker 10 1 3 45* Jumlah Asisten Apoteker 24 36 26 40*
138
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah apoteker dan asisten apoteker yang tersedia belum mencukupi untuk semua puskesmas, kecuali di kota surabaya yang menggunakan tenaga kontrak. Pada saat kunjungan diketahui bahwa apoteker diprioritaskan ditempatkan di Puskesmas perawatan (puskesmas UPT) dibandingkan puskesmas nonperawatan (puskesmas jejaring). PEMBAHASAN Perencanaan kebutuhan apoteker puskesmas Di banyak puskesmas, bukan hanya dokter saja yang langka tetapi juga tenaga kefarmasian khususnya apoteker. Dari 9 ribu puskesmas di seluruh Indonesia, hanya 10 persen yang punya apoteker padahal jumlah lulusan farmasi sangat berlimpah. Untuk saat ini kelangkaan apoteker di puskesmas belum terlalu masalah, karena peraturan yang berlaku mengatakan, sebagian tugas dan wewenang seorang apoteker di pelayanan kesehatan dasar seperti puskesmas bisa digantikan oleh tenaga teknis kefarmasian. Data ini cukup ironis jika dibandingkan dengan jumlah apoteker yang terdaftar di Kementerian Kesehatan RI (Uyung Pramudiarja, 2011). Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota Serta Rumah Sakit, maka perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan harus dihitung berdasarkan epidemiologi penyakit utama masyarakat, permintaan akibat beban kerja pelayanan kesehatan, standar ratio terhadap nilai tertentu dan sebagainya. Kualitas perencanaan kebutuhan SDM ditentukan oleh dukungan informasi tenaga yang akurat. Beberapa hambatan selama ini antara lain: a. Sulitnya memperoleh data akurat yang diperlukan untuk menghitung beban kerja dari masing-masing jenis kategori tenaga pada formula ISN. Hal ini disebabkan karena bervariasinya kegiatankegiatan yang dijalankan oleh masing-masing jenis kategori tenaga, di samping tidak adanya catatan yang terdokumentasi secara baik atas hal-hal yang terkait dengan prosedur dan beban kerja. b. Hasil kompilasi dan analisis penghitungan kebutuhan tenaga yang diadakan sepanjang tahun tidak ditindaklanjuti sehingga menimbulkan
kekecewaan dan menurunkan motivasi para perencana ketenagaan di lapangan (misalnya, diketahuinya jumlah tenaga berlebihan di suatu lokasi dan kekurangan di lokasi lain seharusnya ada tindak-lanjut atau pemecahannya). Hal ini lama kelamaan menyebabkan pengisian form yang asal jadi dan menurunnya jumlah laporan yang masuk setiap triwulannya kepada unit di atasnya. Kekurangan dukungan staf perencanaan ketenagaan yang berkualitas dan bekerja penuh waktu baik di pusat, provinsi, kabupaten, dan unit/fasilitas kesehatan. Hasil penelitian Iswinar to, dkk. (2005) di Bengkulu menunjukkan Dinkes Rejang Lebong tidak menggunakan salah satu metode tersebut dengan berbagai alasan, sehingga usulan kebutuhan tidak semua disetujui oleh pusat. Perencanaan tenaga tidak mempunyai data yang tepat dan sistem informasi ketenagaan yang baik, padahal sistem informasi ketenagaan merupakan landasan pengambilan keputusan bagi manajer atau pimpinan. Hasil observasi memperlihatkan adanya keengganan puskesmas melakukan penghitungan kebutuhan tenaga menggunakan instrumen DSP dengan alasan perhitungannya sulit dan data yang tersedia kurang mencukupi. Terjadinya kesenjangan antara kebutuhan dengan keadaan tenaga di puskesmas akibat Dinkes Kabupaten/kota tidak memiliki tenaga profesional dalam perencanaan tenaga, dan tidak menggunakan metode atau alat ukur dalam penghitungan kebutuhan tenaga puskesmas berdasarkan beban kerja. Penghitungan kebutuhan tenaga memakai instrumen menurut DSP Departemen Kesehatan tahun 2004, memperlihatkan jumlah setiap jenis tenaga yang ada di puskesmas masih berada di bawah jumlah tenaga yang dibutuhkan. Jenis tenaga yang mendesak untuk dipenuhi yaitu tenaga AA. Misalnya Puskesmas Curup dengan kunjungan tinggi membutuhkan 4 orang tenaga AA, namun kenyataannya tidak ada satu orangpun tenaga tersebut, dan Puskesmas Kampung Delima membutuhkan 4 orang AA, kenyataannya hanya ada 2 orang AA. Pengadaan Apoteker Puskesmas Terdapat 3 kebijakan utama dalam pengadaan tenaga kesehatan yaitu sebagai PNS, sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan sebagai tenaga kontrak. Dalam PP nomor 48 tahun 2005 disebutkan bahwa pejabat Pembina kepegawaian adalah pejabat 139
yang berwenang mengangkat, memindahkan dan memberhentikan PNS di lingkungannya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam kepegawaian Negara dikenal pejabat Pembina kepegawaian pusat, pejabat pembina kepegawaian daerah provinsi (gubernur) dan pejabat Pembina kepegawaian daerah kabupaten/kota (bupati/ walikota). Kewenangan pengangkatan apoteker di puskesmas sebagai PNS merupakan wewenang bupati/walikota yang didelegasikan kepada Dinkes Kabupaten/Kota. Dalam Keputusan Presiden nomor 37 tahun 1991 tentang pengangkatan dokter sebagai PTT selama masa bakti, dan Keputusan Presiden nomor 23 tahun 1994 tentang pengangkatan bidan sebagai PTT disebutkan hanya dokter, dokter gigi dan bidan yang dapat diangkat sebagai PTT. Dengan demikian pengangkatan apoteker di puskesmas melalui PTT tidak ada dasar hukumnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1199/Menkes/Per/X/2004 tentang Pedoman Pengadaan Tenaga Kesehatan dengan Perjanjian Kerja di Sarana Kesehatan Milik Pemerintah, maka Pemerintah Daerah dapat mengangkat tenaga kesehatan maupun nonkesehatan dengan masa perjanjian kerja paling lama 2 (dua) tahun. Berdasarkan peraturan ini pemerintah daerah kabupaten/kota dapat melakukan outsourcing sebagai alternatif jalan keluar mengatasi kebutuhan apoteker di puskesmas menggunakan APBD atas persetujuan DPRD. Namun demikian menurut PP 43 tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi PNS, Dinkes Kabupaten/kota tidak punya kewenangan untuk pengangkatan tenaga honorer/kontrak menjadi PNS. Penempatan Apoteker Puskesmas Menurut Deputi Menpan bidang SDM Aparatur Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (2009), untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan masyarakat yang efektif dan efisien, maka setiap instansi pemerintah memerlukan jumlah dan kualitas aparatur (PNS) yang tepat sesuai dengan tugas, fungsi dan beban kerja organisasi. Permasalahan saat ini adalah dari total PNS sebanyak 4.083.360 (data tahun 2008), distribusi pegawai tidak sesuai dengan organisasi, penempatan pegawai dalam jabatan tidak berdasarkan kompetensinya, kinerja PNS rendah dan tidak disiplin, usulan masing140
masing instansi baik pusat maupun daerah selalu lebih besar dari ketersediaan alokasi dan anggaran belanja pegawai untuk tambahan formasi secara nasional, dan usulan formasi dari instansi belum sepenuhnya berdasarkan atas KepMenPan Nomor 75 tahun 2004 tentang Pedoman Perhitungan Kebutuhan Pegawai Berdasarkan Beban Kerja Dalam Rangka Penyusunan Formasi PNS. Langkah untuk optimalisasi alokasi formasi adalah alokasi tambahan formasi yang diperoleh setiap instansi diprioritaskan pada jabatanjabatan yang sangat penting dan mendesak, dan perlu melakukan penataan pegawai dengan melakukan analisis beban kerja, analisis kebutuhan dan analisis kekuatan pegawai (bezzeting) serta melakukan realokasi pegawai yang ada sesuai kompetensinya. Hasil penelitian Iswinarto, dkk. (2005) di Bengkulu menunjukkan penempatan petugas masih sering mendapat intervensi dari pihak yang berkepentingan, terutama pejabat pemda sehingga penempatan tidak sesuai dengan perencanaan sebelumnya. Dalam menempatkan permintaan puskesmas dan proporsi tenaga yang ada juga belum berdasarkan pada beban kerja petugas. Kalau ada tenaga baru, maka tenaga tersebut akan diberikan kepada puskesmas yang meminta. Hal ini dikuatkan dengan tidak adanya arsip penghitungan kebutuhan tenaga, baik di puskesmas maupun di Dinkes, dan belum adanya pelatihan sebagaimana cara menghitung kebutuhan tenaga berdasarkan beban kerja. Pembinaan apoteker puskesmas Koordinasi dengan perguruan tinggi negeri d i l a k u k a n u n t u k m e n g u r a n g i ke s e n j a n g a n pengetahuan tenaga kesehatan yang bekerja di pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan pemerintah mendapat tenaga swasta paruh waktu untuk membantu kekurangan tenaga kesehatan jenis tertentu, dan perguruan tinggi mendapat lahan tempat praktek mahasiswanya. Fasilitas yang diberikan kepada tenaga kesehatan adalah tunjangan fungsional, jasa medik dan kesempatan mengikuti pelatihan. Ada juga yang memberikan lembur wajib dan insentif lokal. Sebagian besar informan mengeluhkan jarangnya mengikuti pelatihan teknis terkait program. Jarang ada pelatihan soft skill dan manajemen. Saat ini yang terjadi pelayanan kesehatan di bawah instansi pemerintah, seperti; Rumah Sakit Umum Daerah dan Puskesmas belum maksimal dalam pelayanan kesehatan. Hal ini disebabkan kurangnya
kualitas Sumber Daya Manusianya, sarana dan prasarana, serta alat penunjang kesehatan lainnya Sarana dan prasarana ada, tetapi tidak ditunjang oleh SDM yang terampil mengoperasionalkan alat-alat canggih, akhirnya terjadi kerusakan pada alat-alat karena ketidaktahuannya. Bukan rahasia lagi dalam suatu instansi ada PNS selama menjadi pegawai belum pernah mengikuti pelatihan, dan sebaliknya ada PNS yang lebih sering disebut dengan spesialis pelatihan dengan kata lain, selalu dikirim pelatihan, walaupun pelatihan itu tidak sesuai dengan bidang kerjanya. Tentunya hal ini tidak akan berdampak terhadap peningkatan kualitas kinerja individu tersebut. Sudah saatnya diklat yang diikuti oleh PNS kesehatan adalah diklat yang berbasis kompetensi, sesuai dengan bidang keahliannya. Diklat yang dilakukan lebih diarahkan kepada diklat untuk jabatan fungsional. Kesempatan untuk mengikuti diklat pun diperbanyak (Yulia, 2008). KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Peran instansi daerah dalam kebijakan penempatan apoteker di puskesmas adalah: (a) Kewenangan Dinkes Provinsi mencatat jumlah dan penempatan apoteker, (b) Kewenangan Dinkes Kabupaten/ kota merencanakan kebutuhan, mengangkat, menempatkan dan membina apoteker di puskesmas, (c) BKD berperan meneruskan permintaan jumlah dan jenis tenaga kesehatan yang dibutuhkan ke BKN, dan (d) Kepala puskesmas mengetahui peran apoteker berdasarkan tugas pokoknya, yaitu pengelolaan obat. 2. Permasalahan dalam kebijakan penempatan apoteker di puskesmas adalah (a) Dinkes Kabupaten/kota mengetahui bahwa menurut peraturan perundangan diperlukan tenaga apoteker di puskesmas, tetapi dalam perencanaan kebutuhan masih belum dianggap prioritas dibandingkan tenaga kesehatan lain, (b) Usulan kebutuhan tenaga kesehatan oleh Dinkes Kabupaten/Kota belum didasarkan atas kebutuhan riil organisasi dan perhitungan beban kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan, sehingga formasi yang disetujui oleh BKN terbatas, (c) Dengan formasi yang terbatas, penempatan tenaga
kesehatan tidak berdasarkan kompetensinya, (d) Pelatihan belum banyak dilakukan karena keterbatasan anggaran. Disarankan agar penempatan apoteker di puskesmas terkait intervensi regulasi, manajerial dan edukasi. Dari aspek regulasi disarankan adanya peraturan perundangan untuk mengangkat apoteker/ tenaga teknis kefarmasian sebagai pegawai tidak tetap (PTT) atau tenaga kontrak di puskesmas bagi pemerintah daerah yang mempunyai APBD mencukupi. Dari aspek manajerial disarankan agar perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan dihitung berdasarkan peraturan yang berlaku dengan mempertimbangkan DAU untuk belanja pegawai dan prioritas menempatkan apoteker di puskesmas perawatan. Dan dari aspek edukasi adalah mewajibkan pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker di puskesmas. Disarankan juga agar tenaga kefarmasian dapat dimasukkan sebagai tenaga strategik yang tidak masuk dalam moratorium tahun 2012, sehingga perencanaan kebutuhan tenaga kefarmasian di puskesmas dapat terpenuhi. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada: Kepala Dinkes Provinsi Banten, Kepala Dinkes Kota Tangerang, Kepala Dinkes Provinsi Jawa Barat, Kepala Dinkes Kota Bandung, Kepala Dinkes Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Dinkes Kabupaten Bantul, Kepala Dinkes Provinsi Jawa Timur dan Kepala Dinkes Kota Surabaya yang telah memberi izin dan membantu dalam pengumpulan data primer dan data sekunder yang dibutuhkan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA
Deputi Menpan Bidang SDM Aparatur Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, 2009. Kebijakan Ketenagaan Pemerintah dan Permasalahan Ketenagaan. Iswinarto, Kristiani, Sito Meiyanto A, 2005. Analisis Kebutuhan Tenaga Puskesmas Berdasarkan Beban Kerja di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Working Paper Series Nomor 6 KMKP UGM Yogyakarta. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat.
141
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 15 No. 2 April 2012: 133142 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 81/Menkes/Sk/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumber Daya Manusia Kesehatan di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota Serta Rumah Sakit. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor Kep/75/M.Pan/7/2004 tentang Pedoman Perhitungan Kebutuhan Pegawai Berdasarkan Beban Kerja Dalam Rangka Penyusunan Formasi Pegawai Negeri Sipil. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 159 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1994 tentang Pengangkatan Bidan Sebagai Pegawai Tidak Tetap. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1991 tentang Pengangkatan Dokter Sebagai Pegawai Tidak Tetap. Peraturan Bersama Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor 02/SPB/Menpan. RB/8/2011, Nomor 800-632 tahun 2011, Nomor 141/PMK.01/2011 tentang Penundaan Sementara Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1199/Menkes/Per/X/2004 tentang Pedoman Pengadaan Tenaga Kesehatan dengan Perjanjian Kerja di Sarana Kesehatan Milik Pemerintah. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 702/Menkes/SK/VIII/1993 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Tenaga Medis sebagai Pegawai tidak Tetap. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas PP Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Uyung Pramudiardja, 2011. Apoteker Berlimpah Tetapi yang Kerja di Puskesmas Sangat Sedikit. http://www. detikhealth.com/read/2011/08/22/110159/1708053/76 3/apoteker-berlimpah -tapi-yang-kerja-di-puskesmassangat-sedikit. Yulia, 2008. Meningkatkan Profesionalisme PNS Kesehatan Melalui Diklat Berbasis Kompetensi. http://www. bppsdmk.depkes.go.id/index.php?option=com_ content & view article&id=85:-meningkatkanprofesionalisme -pns-kesehatan-melalui- diklatberbasiskompetensi&catid=37:artikel.
142