Makalah tafsir Al Qur'an

Pendidikan karakter menjadi bagian yang paling penting dalam menjalani kehidupan. Dalam
kehidupan masyarakat saat ini banyak yang tidak peduli terkait dengan nilai-nilai pendidikan
karakter dalam Al-Quran terkhusus dalam surah Al-Hujurat ayat 11-13. Penelitian ini terfokus
pada kajian nilai karakter yang terdapat dalam surah Al-Hujurat ayat 11-13 yang terdapat dalam
tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan pendekatan library research (study kepustakaan). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa implementasi nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat pada surah Al-Hujurat ayat
11-13 yang dijelaskan Buya Hamka yaitu larangan untuk mengolok-olok, menghina, mencaci
maki, menggunjing, mencari kesalahan orang lain, dan menjauhi buruk sangka. Dalam ayat ini
juga diperintahkan untuk melaksanakan taubat, saling kenal-mengenal dan tasamuh atau
toleransi.

This study aims to explore the integration of Islamic values into modern education through the tafsir tarbawy approach, which focuses on education in the Qur'an. Using literature review methods and text analysis, this research examines Surah Al-Baqarah verse 31 and Surah Luqman verses 12-19 to identify educational values such as knowledge, morality, and social responsibility. Additionally, interviews with educators and Islamic education practitioners were conducted to understand the application of these values in modern curricula. Triangulation methods were employed to ensure the validity of the research findings in the context of contemporary education.

Tafsir in the Qur’an is one of the important efforts to understand the meaning contained In the sacred text. This research aims to analyze the interpretation of the Qur’an with a Contextual approach and literary studies. This research focuses on the interpretation done by the mufassirs (exegetes) to explore a deeper understanding of the messages of the Qur’ān. By using a literary approach, this study tries to examine how language, writing style, and socio-historical context affect the interpretation of Qur’anic verses. The results of this study show that the interpretation of the Qur’ān depends not only on the text itself, but also on understanding The cultural, social and historical context that surrounds it. Therefore, the contextual approach becomes very important in an effort to interpret the Qur’an comprehensively.

Tafsir dalam Al-Qur’an adalah salah satu upaya penting untuk memahami makna yang terkandung dalam teks suci tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tafsir Al-Qur’an dengan pendekatan kontekstual dan studi sastra. Penelitian ini memfokuskan pada tafsir yang dilakukan oleh para mufassir (ahli tafsir) untuk menggali pemahaman yang lebih mendalam tentang pesan-pesan Al-Qur’an. Dengan menggunakan pendekatan sastra, Penelitian ini mencoba mengkaji bagaimana bahasa, gaya penulisan dan konteks sosial-historis mempengaruhi penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tafsir Al-Qur’an tidak hanya bergantung pada teks itu sendiri, tetapi juga pada pemahaman konteks budaya, sosial dan sejarah yang mengelilinginya. Oleh karena itu, pendekatan kontekstual menjadi sangat penting dalam upaya menafsirkan Al-Qur’an secara komprehensif.

The orientation of this article is to discuss the development hadith. The tradition of writing hadith has occurred from the time of the Prophet. The Companions accepted the hadith from the Prophet then recorded what the Prophet had said. But the number of friends who can write is still very small, so the recorded hadith material was limited. In addition, the attention of the friends who still rely on the maintenance of the Qur'an, making the hadith record only spread to companion sahifah. The way the narrators in obtaining and delivering the hadith experience the dif ference between the Prophet time and the period of Khulafa' al-Rasyidin. Likewise, the narration of the hadith in the companion period is not the same as the transmission of the hadith in the period afterward. The narration of the hadith during the Prophet's time was freer because of the absence of conditions that must be fulfilled. Because at the time of the Prophet there was no definitive evidence of the occurrence of hadith counterfeiting, and also the time of the Prophet was easier to examine if there were any hadith that was doubtful. During the Khulafa' al-Rasyidin period there was a simplification of the narration of the hadith, where the narrators who wished to narrate the hadith had to take an oath or present a witness if the hadith were written was true of the Prophet. Whereas for the period of Tabi'in and Tabi' al-Tabi'in there has been a gathering of hadiths, although there is still a mixture of the Prophet's hadith, sayings of friends and Fatwa Tabi'in. It was only when the Caliph Umar ibn Abdul Aziz became caliph, the hadith began to experience codification.

Al-Qur’an merupakan pedoman utama bagi umat manusia. Sebagai pedoman
al-Qur’an harus dipahami secara tepat dan benar. Namun melakukan hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Mengingat kompleksitas dan kerumitan makna yang dikandung setiap ayat-ayat al-Qur’an. Meski demikian upaya untuk memhami al- Qur’an tetap dilakukan oleh umat manusia pada setiap zaman, terutama oleh para penafsir.
Penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an telah dimulai sejak masa-masa awal
pertumbuhan Islam. Hal ini bisa dilihat pada kenyataan sejarah bahwa nabi Muhammad pernah melakukan penafsiran tersebut. Sebagai contoh ketika para sahabat tidak memahami maksud dan kandungan makna salah satu ayat al-Qur’an, maka mereka menanayakan langsung kepada nabi. Dalam konteks ini, nabi berposisi sebagai penjelas terhadap apa yang tidak dipahami oleh para sahabat tersebut.
Penafsiran-penafsiran yang dilakukan nabi Muhammad memiliki sifat-sifat dan karakteristik tertentu. Di antaranya yaitu penegasan makna, perincian makna, perluasan dan penyempitan makna, kualifikasi makna, serta pemberian contoh. Sedangkan dari segi motifnya, penafsiran nabi terhadap ayat-ayat al-Qur’an mempunyai tujuan pengarahan, peragaan, dan pembetulan atau koreksi.5 Seiring dengan perkembangan zaman, aktifitas penafsiran terus berlanjut. Beragam masalah yang timbul dapat diatasi dengan merujuk pada al-Qur’an melalui penafsiran. Hal ini kemudian melahirkan metodologi tafsir al-Qur’an yang terdiri dari beragam jenis metode tafsir.

Al-Qur’an merupakan pedoman utama bagi umat manusia. Sebagai pedoman
al-Qur’an harus dipahami secara tepat dan benar. Namun melakukan hal tersebut
bukanlah sesuatu yang mudah. Mengingat kompleksitas dan kerumitan makna yang
dikandung setiap ayat-ayat al-Qur’an. Meski demikian upaya untuk memhami alQur’an tetap dilakukan oleh umat manusia pada setiap zaman, terutama oleh para
penafsir.
Penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an telah dimulai sejak masa-masa awal
pertumbuhan Islam. Hal ini bisa dilihat pada kenyataan sejarah bahwa nabi Muhammad
pernah melakukan penafsiran tersebut. Sebagai contoh ketika para sahabat tidak
memahami maksud dan kandungan makna salah satu ayat al-Qur’an, maka mereka
menanayakan langsung kepada nabi. Dalam konteks ini, nabi berposisi sebagai penjelas
terhadap apa yang tidak dipahami oleh para sahabat tersebut.
Penafsiran-penafsiran yang dilakukan nabi Muhammad memiliki sifat-sifat dan
karakteristik tertentu. Di antaranya yaitu penegasan makna, perincian makna, perluasan
dan penyempitan makna, kualifikasi makna, serta pemberian contoh. Sedangkan dari
segi motifnya, penafsiran nabi terhadap ayat-ayat al-Qur’an mempunyai tujuan
pengarahan, peragaan, dan pembetulan atau koreksi.5 Seiring dengan perkembangan
zaman, aktifitas penafsiran terus berlanjut. Beragam masalah yang timbul dapat diatasi
dengan merujuk pada al-Qur’an melalui penafsiran. Hal ini kemudian melahirkan
metodologi tafsir al-Qur’an yang terdiri dari beragam jenis metode tafsir.

Kajian dengan judul "Makna I"jaz Ilmi Al-Qur"an: Kajian Pendekatan Analisis Teks" bertujuan menganalisis makna I"jaz "ilmi dalam al-Qur"an. Metode yang digunakan dalam kajian ini menggunakan metode studi kepustakaan (library research). Studi pustaka dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatana analisis teks yang merupakan cabang dari semiotika teks, yang secara khusus mengkaji teks sebagai sebuah 'produk penggunaan bahasa' berupa kumpulan atau kombinasi tanda-tanda. Tmua dari kajian ini adalah i"jâz Qur"âni sungguh sangat banyak, dan diantara yang menakjubkan adalah bahwa Rasulullah saw sebelum turunnya al-Qur"ân tidak mengetahui sedikitpun tentang kitab-kitab para pendahulunya, kisah-kisahnya, berita dan sejarah mereka. Meskipun demikian Rasulullah saw menceritakan kejadian-kejadian yang nyata dan sejarah mulai dari terciptanya Nabi Adam as hingga diutusnya Rasulullah Saw. Sebagaimana kita ketahui bahwa ilmu semacam ini tidak bisa didapatkan oleh seseorang melainkan dengan cara belajar. Dan kitapun mengetahui bahwa Rasulullah saw tidak pernah berinteraksi dengan sejarawan atau belajar kepada mereka, dan beliaupun sama sekali tidak pernah membaca kitab-kitab sejarah.

Penelitian membahas berbagai metode penafsiran Al-Qur'an, dengan fokus pada hubungan antara interpretasi dan alat yang digunakan, seperti teks, kecerdasan, dan intuisi. Ini mengeksplorasi metode interpretasi komparatif, yang melibatkan membandingkan ayat-ayat Quran, Hadis-hadis, dan pendapat ilmiah yang berbeda untuk mendapatkan makna. Makalah ini juga menggali gaya penulisan interpretasi Qur'an, mengkategorikannya ke dalam bentuk akademis dan non-akademik, masing-masing dengan konvensi penulisan tertentu. Selain itu, ia menganalisis gaya bahasa yang digunakan dalam interpretasi Qur'an, termasuk kolumnar, reportase, akademis, dan gaya populer, masing-masing melayani tujuan komunikasi yang berbeda.

Metode penafsiran adalah metode atau teknik yang digunakan untuk menggambarkan, memahami dan menafsirkan berbagai jenis data atau infirmasi. Metode penafsiran ini digunakan di berbagai bidang seperti ilmu sosial, sastra, sains, dan humanuora untuk menemukan makna, pola, dan hubungan tersembunyi dalam data yang ada. Metode

This article aims to explain about the variant of the Qur’an terms concerning to the words of children. By using thematic method and semantic approach, the research result shows that there are many terms mentioned in the qur’anic verses about the children, namely: al-walad, al-ibn, al-bint, dzurriyyah, al-ghulam ect. Some experts say that those terms have similar meaning, while in the qur’anic semantic itself, they are not really similar. It is because each of the terms tends to show a certain meaning that very important to be considered in the issues of qur’anic parenting.

Pada dasarnya makna ilmu dalam terminology bahasa Arab berarti pengetahuan yang mendalam. Pengetahuan tentang hakekat sesuatu. Pengetahuan tersebut bisa melalui proses pencarian yaitu belajar, meneliti, menempuh cyklus dedocto hipote ticoverifikatif, maupun tanpa proses pencarian akan tetapi langsung diberi (lewat wahyu ataupun ilham) dari/oleh Allah SWT yang Maha Mengetahui. Maksud "sesuatu" disini meliputi baik masalah empiris indrawi maupun masalah masalah non empiris supra indrawi. Pengetahuan yang didapatkan melaui belajar baik secara formal, informal maupun non-formal yang tujuannya adalah menjadikan manusia mempunyai derajat yang tinggi (iman dan Ilmu) baik disisi manusia lebih-lebih pada sisi-Nya. Ilmu akan melahirkan kesopanan, santun dan menjadikan diri bisa bertoleransi (berlapang-lapang) dalan menuntut ilmu dan berpendapat dan sikap. Tulisan ini membahas tentang konsep ilmu dalam pendidikan al-Qur'an berdasarkan surah Al-Mujadalah ayat 11.

Al-Qur'an merupakan kalamullah, yang berisi tentang ketentuan dan pedomanbagi seluruh manusia agar dapat melaksanakan syariat islam dengan benar dan harus diimplementasikan secara kaffah dalam aspek kehidupan, baik yang menyangkut masalah sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan maupun pendidikan. Kedudukan al-Qur'an sebagai sumber pokok pendidikan islam dapat dipahamidari ayat Dan kami tidak menurunkan kepadamu al-kitab (al-qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajar orang-orang yang mempunyai pikiran. Menurut Abu Hasan 'Ali An-Nadwi bahwa pendidikan dan pengajaran umat islam itu harus berpedoman kepada aqidah islamiyyah yang berdasarkan al-qur'an dan al-hadits. Pada makalah ini penulis akan coba menjelaskan pengertian tadris berdasarkan ayat Al-Qur'an.

Al-Qur'an merupakan kalamullah, yang berisi tentang ketentuan dan pedomanbagi seluruh manusia agar dapat melaksanakan syariat islam dengan benar dan harus diimplementasikan secara kaffah dalam aspek kehidupan, baik yang menyangkut masalah sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan maupun pendidikan. Kedudukan al-Qur'an sebagai sumber pokok pendidikan islam dapat dipahamidari ayat Dan kami tidak menurunkan kepadamu al-kitab (al-qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajar orang-orang yang mempunyai pikiran. Menurut Abu Hasan 'Ali An-Nadwi bahwa pendidikan dan pengajaran umat islam itu harus berpedoman kepada aqidah islamiyyah yang berdasarkan al-qur'an dan al-hadits. Pada makalah ini penulis akan coba menjelaskan pengertian tadris berdasarkan ayat Al-Qur'an.

Ketika Allah SWT mewajibkan seseorang untuk mengerjakan sesuatu, itu artinya Allah telah menyiapkan imbalan yang dapat dipetik atas apa yang telah dikerjakan oleh hambanya itu. Seperti ketika Allah mewajibkan bagi setiap umatnya untuk menuntut ilmu dimanapun itu, karena menuntut ilmu merupakan kewajiban dan kebutuhan manusia. Tanpa ilmu manusia akan tersesat dari jalan kebenaran. Tanpa ilmu manusia tidak akan mampu merubah suatu peradaban. Bahkan dirinya pun tidak bisa menjadi lebih baik. Dan dari situlah Allah juga akan melihat kepada hambanya yang benar-benar bekerja keras atau barang siapa yang benar-benar menunaikan kewajiban tersebut, maka Allah SWT akan memberikan hasil atau imbalan yang sesuai dengan apa yang telah diusahakan. Disamping itu seseorang pastinya membutuhkan motivasi dalam menjalankan upayanya tersebut, sebenarnya banyak orang bijak mengatakan bahwasanya “Motivasi terbesar itu datang dari diri sendiri”. Ya, kita semua mengetahui akan hal itu, dengan didasari niat yang baik atau niat yang benar-benar ingin dicapai dari apa yang diupayakan serta menjalankannya semata lillahi taa’la.

Dalam al-Qur’an dan al-Hadits, dapat dijumpai berbagai ungkapan yang menunjukkan dorongan kepada setiap orang muslim dan mukmin untuk selalu rajin belajar. Anjuran menuntut ilmu tersebut dibarengi dengan urgennya faktor-faktor pendukung guna makin meningkatkan semangat belajar bagi setiap orang. Salah satu faktor yang utama adalah motivasi, baik itu motivasi yang datang dari dalam diri sendiri, maupun motivasi yang ditumbuhkan dari peranan lingkungan sosialnya. Motivasi belajar (menuntut ilmu) bagi setiap penuntut ilmu memang dibutuhkan, bahkan begitu banyak hadits-hadits yang memberikan pepmahaman tentang manfaat menuntut ilmu dan perintah yang menganjurkan untuk belajar.

Pendidikan merupakan usaha sadar dari manusia menuju sebuah proses memanusiakan manusia, yang tidak dapat terlepas dari peran seorang pendidik. Pendidik dan peserta didik merupakan dua hal bagai sisi mata uang yang tidak bisa lepas satu sama lain. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, para pendidik memiliki tanggung jawab yang berat karena tidak hanya bertanggung jawab kepada wali murid tapi juga kepada Allah SWT. Pendidikan Islam memandang peserta didik berperan sebagai objek sekaligus subjek dalam prosesnya. Sehingga, peserta didik harus mengetahui kewajiban dan tugasnya agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu agar proses pendidikan berhasil maka antara pendidik dan peserta didik harus bisa saling memahami dengan segala karakteristik masing-masing. Selain itu, dalam perspektif pendidikan Islam syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik adalah menguasai ilmu dalam mengajar anak didiknya dengan cara yang profesional, sabar, dan tercapainya kebaikan di dunia dan di akhirat. Tetapi tantangan sering kali muncul baik dari pendidik, peserta didik, orang tua, lingkungan maupun masyarakat. Sehingga, semua pihak atau stakeholder sebagai pelaku dalam pendidikan, perlu mengkaji kembali hakikat pendidik maupun peserta didik dalam pendidikan Islam. Kata Kunci: Pendidik, Peserta didik dan Pendidikan Islam PENDAHULUAN Pendidikan merupakan suatu usaha sadar untuk mengembangkan potensi manusia baik fisik maupun non fisik serta sebuah proses memanusiakan manusia. Sedangkan Pendidikan Islam menurut Abuddin Nata adalah upaya membimbing, mengarahkan, dan membina peserta didik yang dilakukan secara sadar dan terencana agar terbina suatu kepribadian yang utama sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yaitu Al Qur'an dan Hadits. Dalam proses pendidikan, tidak akan terlepas dari seorang pendidik dan peserta didik. Pendidik dan peserta didik bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Berbicara pendidik, tentu tidak bisa lepas dari peserta didik sebagai student center. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, para pendidik memiliki tanggung jawab yang berat karena tidak hanya bertanggung jawab kepada wali murid tetapi juga kepada Allah SWT. Ilmu pengetahuan adalah amanah Allah Swt. yang harus disampaikan, maka syarat bagi pendidik menurut ajaran Al-Qur'an adalah menyampaikan amanah tersebut. Selain itu, dalam perspektif pendidikan Islam syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik adalah

Sebagai agama yang universal/kaaffah, Islam mempunyai konsep yang sangat ideal tentang hubungan manusia dan lingkungan alam sekitar. Manusia dan Alam adalah makhluk integral yang saling bergantung dalam pola kesinambungan, sehingga keberlangsungan hidup manusia sangat tergantung pada bagaimana manusia memperlakukan lingkungannya. Kesadaran ini yang tampaknya kurang dimiliki oleh masyarakat Muslim sehingga dibutuhkan pendekatan dakwah dalam menggugahnya. Formulasi material (maaddah) dakwah yang berkesadaran lingkungan sangatlah dibutuhkan eksistensinya.

This article discusses the urgency of Arabic language in understanding the Qur'an. The purpose of this paper is to explain that Arabic is very important in understanding the Qur'an. Arabic is the language of the Qur'an. So it is clear that Arabic has an important role for the Qur'an, especially in studying the Qur'an. The secret of the Qur'an will not be revealed or even its interpretation can be understood by someone, unless he can master Arabic by studying prose and poetry. This is because the Qur'an has the height of uslub (language style) and richness of meaning. Not only that, apartfrom discussing the importance of language for the Qur'an, this article will also discuss in detail about the language itself such as its meaning, function, benefits, and so on.

Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mengetahui Ayat-ayat al-Qur’an Tentang Perilaku Sombong dan tafsirannya (2) Persepsi Tentang Perilaku Sombong dalam Masyarakat Desa Langgomali (3) Untuk Mengetahui Perilaku Sombong Menurut Al-Qur’an Surah Luqman/31:18 di Desa Langgomali. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, teknik wawancara dengan 7 informan yang terdiri dari aparat desa 1 orang, perlemen desa 1 orang, tokoh agama 1 orang, 4 tokoh masyarakat dan menggunakan teknik dokumentasi. Sebagai informannya adalah masyarakat desa Langgomali Adapun teknik analisis data yang digunakan yaitu: (1) Reduksi Data (Data Reduction), (2) Penyajian Data (Data Display), (3) Verifikasi Data (Conclusion Data). Pengecekan keabsahan data yang digunakan adalah tringulasi, yaitu: (1) Tringulasi Waktu. (2) Tringulasi Sumber. (3) Tringulasi Teknik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama tentang ayat-ayat al-Qur’an tentang perilaku sombon...

Interpretation through interpretation is a human effort to explore his highest ability in understanding a verse so that he can understand well what is meant by Allah ta'ala verse. The effort is not easy, indeed, because every word written or spoken is only well understood by the owner. Thus, the truth that results from any interpretation is not absolute. For this purpose, the interpreter of the Qur'an takes a certain methodology to interpret it, especially in determining the source or reference to be used for interpretation. The diversity of these forms can be seen from the resulting interpretation. Sources and forms of interpretation developed along with the periodization of Muslims in understanding the Qur'an, starting from the first period from the time of the Prophet Muhammad, companions, and tabiin. Then continued the second period after tabi'n.