Academia.eduAcademia.edu

Desentralisasi sebagai aktualisasi demokrasi

The shallow democratization and decentralization processes are prone to stagnation. They should be treated as transformation, as oppose to onedimensional reform. In doing so, they deem to be mutually reinforcing or two-in-one, rather than two autonomous agendas. To enhance local autonomy means to transform the currently bureaucratic minded discourse and practice into increasingly more democratic policy-making, and democratization process need to develop along bottom-up route rather than top-down. Enhancing sense of public would allow local autonomy brings about national goals in contextually local-based manner, rather than threatening national unity.

Menolak Stagnasi Demokratisasi: Otonomi Daerah Sebagai Aktualisasi Purwo Santoso1 Abstract The shallow democratization and decentralization processes are prone to stagnation. They should be treated as transformation, as oppose to onedimensional reform. In doing so, they deem to be mutually reinforcing or two-in-one, rather than two autonomous agendas. To enhance local autonomy means to transform the currently bureaucratic minded discourse and practice into increasingly more democratic policy-making, and democratization process need to develop along bottom-up route rather than top-down. Enhancing sense of public would allow local autonomy brings about national goals in contextually local-based manner, rather than threatening national unity. Key words: democratization, decentralization, local autonomy, policy-making. Lebih dari satu dekade, proses demokratisasi dan desentralisasi digulirkan di negeri ini. Capaian-capaian Indonesia dalam mengarungi proses ini memang menjadi kebanggaan kita bersama, dan bahkan mendapatkan pengakuan dari komunitas internasional.2 Dalam statusnya sebagai negeri muslim terbesar di muka bumi ini, Indonesia bahkan disebut-sebut sebagai model negara demokrasi. Tulisan ini dibuat untuk merespon kecenderungan kita untuk 1 Guru besar Ilmu Pemerintahan, sekaligus Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan, pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2 I Ketut Putra Erawan, “State of Democracy in Indonesia and Agenda for theFuture: A Democratic Quality Framework” paper. Patric Barron, Melina Nathan, Bridget Welsh; Consolidating Indonesia’s Democracy: Conflict, Institutions and the “Local” in the 2004 Legislative Elections, Social Development Papars no. 31, December 2005. Lihat juga Larry Diamond; “How is Indonesia’s democracy doing?”, East Asia Forum, October 26th, 2009, diunduh dari http://www.eastasiaforum.org/ pada tanggal 13 Juli pada jam 7.40 WIB. Juga: Edward Aspinall, Marcus Mietzner (eds.); Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society, Institute of Southeast Asian Studies, 2010. berpuas diri dalam mengelola proses, yang menurut hemat saya, masih jauh dari selesai. Pujian-pujian yang dialamatkan kepada kita, tidak sama dengan pertanda bahwa kedua agenda besar tersebut sudah selesai. Semua review tentang kemajuan demokratisasi di Indonesia meninggalkan catatan, kalau bukan permasalahan, untuk ditindaklanjuti atau dituntaskan. Jelasnya, tulisan ini mengajak kita untuk tidak sembarangan menyikapi capaian Indonesia dalam demokratisasi dan desentralisasi. Kedua hal itu perlu samasama kita fahami dan kita kelola sebagai proses transformasi paradigmatik, bukan sekedar perubahan sosok (reformasi). Sadar akan besarnya tuntutan dan tantangan mengemuka, kita tidak semestinya segera berpuas diri, meskipun kita telah mencatat banyak capaian penting selama ini. Mengapa tidak boleh berpuas diri ? Proses perubahan yang tanggung akan menyeret kita kembali ke titik awal, kembali pada situasi yang kita tidak kehendaki. Yang jelas, kita belum pernah merasakan praktek berdemokrasi yang sebenar-benarnya dan oleh karena itu niscaya akan selalu terkejut dengan realita baru yang kita ciptakan bersama dalam berdemokrasi. Tanpa pemahaman antisipatif tentang apa saja yang akan niscaya terjadi, kemungkinan besar yang kita menyisakan kegelisahan kolektif dan bahkan ketidakpercayaan yang tidak berujung pangkal. Kalaulah sejauh Indonesia berbesar hati dengan julukan orang asing negara demokrasi, kita masih akan harus bergulat dengan dirinya sendiri untuk melakukan pendalaman demokrasi itu sendiri.3 Dengan demikian demokrasi lebih bermakna bagi kita, bukan sekedar status yang diberikan oleh orang asing. 1. Reformasi vs. Transformasi. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang menjadi keseharian kita, keseharia proses pemerintahan, dan keseharian kebijakan publik. Demokrasi yang bermakna, memiliki makna lebih dari sekedar bentuk pemerintahan. Oleh karena itu, mewujudkan demokrasi yang bermakna tidak cukup dengan mengubah bentuk pemerintahan (reformasi). Berhubung reformasi sudah berlangsung dan mengantarkan kita pada fase yang sekarang ini ada, selanjutnya kita perlu melakukan transformasi agar demokrasi tidak hanya hadir sebagai bentuk atau identitas negara, melainkan sebagai praksis. Dalam proses kebijkan yang demokratis, ada banyak eksponen yang terlibat dan masing-masing punya ekspektasi yang berbeda-beda. Repotnya, mereka sama-sama mudah terkejut dengan apa yang didapatinya ketika menyadari bahwa fihak lain ternyata tidak tinggal diam melihat inisiatifnya. Dalam kealphaan wawasan transformasi, berbagai bentuk kegursaran mengeras menjadi keputusasaan kolektif. Kealphaan rasa saling percaya menjadi 3 Maribeth Erb, Priyambudi Sulistiyanto (eds); Deepening Democracy In Indonesia?: Direct Elections For Local Leaders (Pilkada), Institute of Southeast Asian Studies, 2009. pengeruh suasana. Jika situasi ini terjadi, kemungkinan terbesar perjalanan negeri ini akan mengarah pada titik awal yang hendak kita tinggalkan: otiritarianism yang tersentralisasi. Teka-teki yang dimaksudkan di sini sebetulnya adalah teka-teki dalam membangun tatanan sistemik, dimana masing-masing partisipannya tidak sempat bersepakat tentang titik akhir yang hendak diraih dan proses-proses apa saja yang harus dilalui.4 Apa yang terjadi manakala berbagai tukang yang diperlukan untuk membangun suatu rumah (bernama demokrasi) namun mereka belum pernah melihat secara utuh blue-print rumah, apalagi gambar detail dari rumah tersebut. Dalam situasi semacam ini, acuan masing-masing tukang adalah pengalamannya tentang membangun rumah, atau cerita-cerita tentang rumah yang pernah didengarnya. Yang hendak dikatakan disini adalah bahwa sistem tidak terbentuk oleh rumusan undang-undang belaka, karena yang menerapkan undang-undang adalah orang-orang yang mengambil keputusan berdasarkan pemahaman dan kepentingannya masing-masing. Sebelum memaparkan lebih jauh tentang demokratisasi dan desentralisasi sebagai proses transformasi yang rumit, perlu kitanya kita fahami seperti apakah transformasi itu. Dalam The Free Dictionary, kata transform berkaitan dengan perubahan bentuk, fungsi, watak, penampakan dan sejenisnya. Contohnya: perubahan dari tanah liat menjadi patung. Perubahan itu bisa merujuk penampakan luar (outward structure or looks), perubahan dari satu medium ke medium lain, merujuk pada konversi dari satu bentuk energi satu ke bentuk energi lain (misalnya perubahan dari air menjadi es, dan dari air menjadi uap).5 Transformasi, secara literal berarti perubahan lintas sosok, atau lebih dari sekedar peruhan sosok. Bayangkan perubahan ‘ulat’ menjadi ‘kempompong’, lalu menjadi ‘kupu-kupu’. Ulat yang menjijikkan dan terusmenerus makan daun, berubah sosok menjadi kepompong yang diam bahkan sama kekali tidak makan dedaunan lagi. Pada akhirnya, kepompong ini menjelma menjadi kupu-kupu yang indah, tidak lagi menjijikan yang bukan hanya bisa berjalan seperti ulat namun bisa terbang. Organ-organ tubuhnya tidak hanya berubah sosok, namun juga berubah fungsi, dan pada akhirnya menjadi makhluk hiidup yang sifatnya berubah sama sekali. Dalam transfrmasi diri si ulat ini, tidak hanya menghasilkan ulat yang lebih besar, lebih kuat, atau lebih indah warnanya. Transformasi memang lebih banyak merujuk pada perubahan dari sisi penampakan, perubahan yang teramati, namun mensyaratkan pemahaman hal 4 Olle Törnquist; “Popular Development And Democracy: Case Studies With Rural Dimensions In The Philippines, Indonesia, And Kerala”, Essay commissioned under UNRISD Research Programme on Civil Society and Social Movements, Department of Political Science and the Centre for Development and the Environment (SUM), University of Oslo, 2002. 5 http://www.thefreedictionary.com/transform, diunduh tanggal 10 Juli 2011 jam 10 WIB. yang esensial. Sebagai contoh, perubahan air menjadi es hanya dapat difahami dengan mudah ketika kita tahu bhwa untuk pembentuknya tetap sama; H2O (dua atom hidrogen yang terikat oleh satu atom oksigen). Dengan memahami unsur dasar yang membentuknya, kita tidak terkecoh oleh bentuk-tampaknya (entah sebagai cairan, benda padat atupun gas. Kesulitan dalam memahami transformasi pada dasarnya adalah kesulitan membedakan hal yang esensial dengan sifat atau penampakan dari esensi itu. Kita mudah terkecoh karena hanya hirau pada hal-hal yang tampak. Dengan berpijak pada penjelasan sederhana ini, mari kita telaah secara seksama esensi dan penampakan dari demokratisasi dan desentralisasi. Apakah esensi dari demokratisasi dan desentralisasi. Secara akademis ada banyak sekali tawaran pemaknaan esensi kedua hal itu, dan yang lebih merepotkan, tidak pernah ada konsensus tentang esensi dari kedua hal itu. Oleh karena itu, ketika hendak menegelola proses realisasinya, masing-masih fihak yang terkait cenderung bersikeras untuk mengadopsi pemahamannya sendiri. Ada yang sangat fasih dengan membedakan yang esensial dengan penampakan, namun orang kebanyakan cenderung merujuk pada penampakan luarnya saja. Kalau proses demokratisasi hanya mengacu pada pemahaman orang kebanyakan, maka perubahan yang terbayang tentulah hanya pada pada tataran permukaan (penampakan). Inilah paradoks proses transformasi. Transformasi mempersyaratkan pemahaan dan konsensus yang merata, namun konsensus yang tercapai cenderung bersifat permukaan. Konsensus yang sifatnya mendasar memerlukan perdebatan. Sialnya, kita cenderung menghindarkan diri dari perdebatan demi kekompakan demi kesuksesan menghela perubahan. Untuk keluar dari situasi paradoksal itu, demokratisasi dan dsentralisasi, kita harus keluar dari jebakan selfishness. Memang, demokratisasi dan desentralisasi menyangkut diri dan kepentingan kita masing-masing, namun perlu disepakati baha demokrasi adalah persoalan kita. Keduanya perlu difahami sebagai pertaruhan kolektif, dimana diri kita menjadi bagiannya. Entah didefinisikan seperti apa, tata pemerintahan demokratis dan tata pemerintahan berbasis otonomi (hasil akhir dari desentralisasi) menghendaki cara kerja, bahkan nalar kolektif baru untuk kita. Artinya, yang menjadi penghambat ataupun katalisatornya adalah diri kita sendiri. Sense ke-kita-an inilah yang biasanya hilang dalam proses demokratisasi dan desentralisasi. Ketika membahas demokrasi, yang kita sorot hanyakah tindakan para pejabat publik, seolah-olah kita tidak melakukan hal yang serupa. Kita menuntut adanya perubahan sistem, namun tidak ada keseriusan untuk berkontribusi secara nyata demi terbentuk dan terkonsolidasikannya sistem yang kita kehendaki. 2. Kemandegan Demokratisasi. Ketika demokrasi belum sama-sama menjadi milik ‘kita’ (pertaruhan kolektif) maka demokrasi mudah dimanipulasi dan juga mudah dihentikan sebagian dari kita. Problema demokratisasi yang tersisa adalah menjadikan demokrasi menjadi pertaruhan kolektif melalui kontrubusi kolektif pula. Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan mempersulit diri kita sendiri, meskipun memang digerakkan oleh kegelisahan terhadap ambivalensi yang, entah kenapa, tidak dirasakan oleh publik. Di satu sisi kita membayangkan demokrasi adalah sesuatu yang maha penting. Kita selalu meneriakkan dan begitu bersemangat menuntut perwujudannya. Namun di sisi lain, kita sebetulnya menyepelekannya. Kita sepelekan demokrasi ketika ide-ide yang terkandung didalamnya tidak manifest dalam keseharian budaya kita.6 Indonesia, bisa saja membayangkan sedang berada dalam fase pendalaman demokrasi, namun perlu dicatat bahwa esensi dari pendalaman demokrasi sebetulnya adalah penerapan faham demokrasi ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalamnya demokrasi sama dengan kuatnya faham demokrasi mencengkeram cara kita berfikir dan berbuat.7 Kebiasaan untuk menyepelekan demokrasi ini tidak lagi meresahkan, karena kita terbiasa mengasumsikan orang lain membuat demokrasi untuk kita. Dalam benak kita, demokrasi adalah kebijakan pemerintah, dan karena kita adalah target group dari kebijakan, maka kita sebagai penerima manfaat cukup menunggu dibuat jadi oleh pemerintah. Perlu diingat bahwa, demokrasi sebetulnya telah sama-sama kita batalkan saat kita secara diam-diam bersepakat untuk menjaga jarak dengannya. Kita membatalkan demokrasi dengan cara yang sangat tersamar: mengharapkan orang lain mewujudkannya untuk kita.8 Dalam ambivalensi ini, pelembagaan demokrasi hingga menjadi the only game in town tidak akan tercapai.9 Jika diterjemahkan secara bebas, menjadikan demokrasi the only game in town adalah menjadikan demokrasi sebagai ‘nilai inti’ atau ‘nilai dasar’ dalam budaya kita. Bukan maksud saya mengatakan bahwa budaya kita anti demokrasi, namun berbagai tata kelembagaan dan cara kita mengelola pemerintahan tidak selalu konsisten dengan idealita demokrasi. Tidak cukup bukti bahwa 6 Lesley Mckee, Professor Mike Press; “Crafting Democracy: Towards A New Perspective On Design’s Contribution To Community Development And Democracy”, 8th European Academy of Design Conference, The Robert Gordon University, Aberdeen, Scotland, 1-33rd April 2009. 7 Ronald Inglehart and Christian Welzel; “Political Culture and Democracy: Analyzing Cross-Level Linkages,” Comparative Politics, Vol. 36, No. 1 (Oct., 2003). 8 Repotnya, proses pendidikan yang kita tempuh kiranya sangat bagus dalam menghasilakan pemahaman, namun membiarkan kita tetap berjarak dengan, dan bahkan mengelak untuk, berdemokrasi. Ketika mengikuti kuliah di perguruan tinggi, para pemimpin memperoleh nilai A dalam mata kuliah demokrasi, dan pidatonya perihal demokrasi juga sangat meyakinkan, namun perilakunya tidak mencerminkan penghayatan akan demokrasi, dan sama sekali tidak bisa diharapkan menjadi motor untuk mereproduksi demokrasi. 9 Larry Jay Diamond; Consolidating the Third Wave Democracies: Themes and Perspectives, Jhon Hoopkins University Press, 1997 demokrasi telah secara jauh dan mendalam merasuki budaya kita, sehingga semua orang tahu dan berlaku demokratis. Dalam konteks tersebut di atas, kita justru harus waspada terhadap luasnya dukungan publik terhadap demokrasi, manakala komitmennya hanya setebal hiasan bibir. Kita harus ksatria mengakui bahwa capaian-capaian demokratisasi sejauh ini adalah demokrasi yang dangkal atau tipis. Kita masih memerlukan suatu konsensus dan aksi kolektif untuk memberlakukan strategi kebudayaan agar kita sampai pada tataran demokrasi yang mendalam (deep democracy)10 atau demokrasi yang tebal (thick democracy). 11 Nasib demokrasi sebetulnya dalam bahaya, ketika dengan demokrasi yang tipis/dangkal itu kita kawal hanya dengan mindset lama tidak lagi relevan. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Pertama, dalam mindset lama, demokratisasi dengan “enteng” dimaknai sebagai penolakan terhadap otoritarianisme yang diberlakukan pemerintah. Pada fase awal, hal ini memang sangat penting, namun pada saat ini tidak ada urgensi untuk menumbangkan pemerintah. Kini saatnya kita berdemokasi dengan mematuhkan diri sendiri terhadap nilai-nilai demokrasi. Demokrasi bukan lagi sekedar persoalan hubungan antara rakyat dengan pemerintah, melainkan juga hubungan antar masyarakat sendiri. Kedua, selama ini demokratisasi kita biarkan sebagai proses yang top-down. Demokrasi biasa dibayangkan sebagai proses legal belaka, karena pemerintah terbiasa menggunakan hukum sebagai instrumen untuk mematuhkan orang lain. Sebagaimana diwacanakan dalam teori transisi menuju demokrasi, pada fase awal proses demokratisasi dilakukan pemilihan umum untuk mengganti para pemimpin. Merekalah yang diharapkan menjadi penggerak dan pengawal proses demokratisasi. Mereka menggunakan hukum sebagai bungkus “pemaksa” semua fihak berubah ke arah yang demokratis. Setelah pembaharuan hukum di tingkat nasional, diharapkan berlangsung reproduksi proses yang sama di tingkat lokal. Pada akhirnya negeri ini dibayangkan menjadi demokratis jika proses top-down ini telah menjangkau rakyat yang berada di ujung paling akhir. Sungguh ironis, rakyat yang seharusnya memiliki hajat berdemokrasi, justru dijadikan sasaran akhir proses demokratisasi. Ketiga, proses demokratisasi abai terhadap kenyataan bahwa hukum yang diberlakukan untuk mengawal demokratisasi adalah hukum yang formalistik. Corak hukum semacam inilah yang dapat diberlakukan secara top-down. instrumen untuk mewujudkan gagasan demokrasi adalah hukum positif, sementara living law (yakni hukum agama dan hukum adat) dianggap zona 10 Sebagai contoh, lihat inisiatif yang berlangsung di India. Lihat Arjun Appadurai; “Deep Democracy: Urban Governmentality And The Horizon Of Politics”, Environment & Urbanization, Vol 13 No 2 October 2001. Juga: Patricia A. Wilson, “Deep Democracy: The Inner Practice of Civic Engagement”, Fieldnotes: A Newsletter of the Shambhala Institute, February 2004, Issue No. 3.. 11 John Ryder; “Prospects for a Thick Democracy”, Paper, State University of New York. asing, dan dalam banyak kasus dianggap tidak ada atau tidak relevan. Dalam konteks ini perlu diingatkan bahwa, masyarakat yang tidak sepakat atau tidak peduli dengan ketentuan yuridis yang diberlakukan secara top-down tadi bisa juga melakukan tindakan balasan (tidak menghiraukannya), atau kalau situasinya tak terhindarkan, melakukan membajak makna. Kalau dilihat secara sepintas terkesan patuh pada ketentuan hukum yang diberlakukan, namun yang terkandung di dalamnya. Keempat, corak proses demokratisasi yang dipaparkan diatas secara diam-diam membuka peluang bagi kalangan elit untuk memanfaatkan kesempatan atau menjadi sumber persoalan. Yang paling bersemangat, dan tentu saja paling banyak memperoleh manfaat dari proses demokratisasi adalah kalangan elit. Tulisan ini tidak bermaksud menyalahkan elit yang mengambil kesempatan, melainkan sekedar mengingatkan naifnya gerakan pro-demokrasi jika tidak secara seksama mencermati kemudahan-kemudahan lebih yang dimikmati elit.12 Antisipasi kemandengan yang dipaparkan di atas, menurut Marcus Mietzner, menjadi kenyataan. Temuan dari studinya disajikan dalam jurnal Democratization belakangan ini. … a closer look at Indonesia’s record in recent years reveals that its democratization is stagnating. … there have been several attempts to roll back reforms introduced in the late 1990s and early 2000s. While not all of these attempts have been successful, Indonesia’s democratic consolidation is now frozen at 2005–2006 levels.13 Mitzner berargumentasi bahwa alasan kemandegan ini tidak ada kaitannya kekecewaan masyarakat. Hasil polling menunjukkan bahwa, meskipun ada kekecewaan masyarakat terhadap efektifitas pemerintahan, namun dukungan masyarakat terhadap demokrasi tetap tinggi. Menurut dia: anti-reformist elites are the main forces behind the attempted roll back, with civil society emerging as democracy’s most important defender. This insight, in turn, questions the wisdom of the decision by foreign development agencies – in Indonesia, but other countries as well – to reduce their support for nongovernmental organizations and instead intensify their cooperation with government.14 12 Willy Purna Samadhi and Nicolaus Warouw (eds.); Democracy Building On the Sand, Demos-PCD Press, 2009. 13 Marcus Mietzner; “Indonesia’s Democratic Stagnation: Anti-Reformist Elites And Resilient Civil Society”, Democratization, 2011, iFirst, 1–21. 14 Ibid. Secara teoritik, temuan Mietzner sebetulnya tidak mengejutkan. Sebagaimana dijelaskan di atas, proses dan cara Indonesia melakukan demokratisasi sangatlah elitis yang mau tidak mau mengikuti proses yang top-down. Implikasinya, kalau terjadi kemacetan karena sulitnya elit mencapai kata sepakat diantara mereka, kita tidak boleh terkejut. Oleh karena itu, menjadikan Indonesia masih bermasalah dalam menjadikan demokrasi sebagai hajat dan kontribusi bersama seluruh rakyat di negeri ini, dan untuk itu perlu ada kejelasan strategi kebudayaan. Meskipun tidak harus disajikan dalam suatu kodifikasi hukum, kejelasan tentang strategi untuk menuntaskan demokratisasi sangatlah diperlukan.15 Sejauh ini Indonesia belum memiliki rumusan strategi budaya, setidaknya rumusan untuk ditawarkan dan diperdebatkan. Perdebatan untuk merumuskan hal itu kiranya sangat diperlukan agar, pada saatnya mengerucut sebagai konsensus politik. Kalaulah diniati sebagai langkah awal, identifikasi empat karakter proses demokratisasi tersebut di ataspun, saya yakin, masih mengundang kontroversi. Dalam kealphaan merumuskan strategi budaya ini, proses demokratisasi di Indonesia sebetulnya bersandar pada hasil-hasil studi komparatif berskala global yang dilakukan para ahli perbandingan politik.16 Temuan para pakar perbandingan politik ini dikenal secara luas oleh kumunitas akademik sebagai teori transisi menuju demokrasi. 17 Teori ini memang bermanfaat untuk memandu proses transisi menuju demokrasi, namun teori ini tidak membekali secara spesifik-kontekstual apa saja yang harus dilakukan demi tuntasnya proses demokratisasi. Bagi Dewey, sebagaimana ditegaskan oleh Frank Cunningham, aktualisasi demokrasi mau tidak mau terikat dengan konteks yang dihadapinya (context-specific). 18 Adanya kecenderungan umum yang dipetakan dari studi perbandingan politik sejauh ini tidak mampu memberikan 15 Ronald Inglehart, Christian Welzel; Modernization, Cultural Change, and Democracy: The Human Development Sequence, Cambridge University Press, 2005. 16 Beberapa contohnya adalah sebagai berikut. Samuel P. Huntington; The Third Wave: Democratization In The Late Twentieth Century, University of Oklahoma Press, 1991. Larry Jay Diamond, Marc F. Plattner; The global divergence of democracies, Jhon Hoopkins University Press, 2001. Larry Jay Diamond, Marc F. Plattner, The Global Resurgence Of Democracy, Johns Hopkins University Press, 1990. 17 Narasi teoritiknya kurang lebih seperti ini. Seiring dengan runtuhnya otoritarianisme berlangsunglah proses liberalisasi, dimana kepla pemerintahan dipilih secara demokratis. Ada berbagai kemungkinan penggantian kekuasaan, pimpinan inilah yang akan membuat peraturan baru, melakukan penataan ulang pemerintahan sehingga memenuhi standar pemerintahan demokratis. Setelah itu berlangsunglah proses pembiasaan sedemikian sehingga demokrasi menjadi the only game in town. 18 Frank Cunningham; Theories of Democracy: a Critical Introduction, Routledge, 2002. Lihat juga, Zachary Elkins; “Gradations of Democracy? Empirical Tests of Alternative Conceptualizations”, American Journal of Political Science, Vol. 44, No. 2 (Apr., 2000) resep yang tidan problematik. Bahkan kesadaran akan pentingnya analisis kontekstual inipun datang agak belakangan, kalau tidak disebut terlambat.19 Sekali lagi, kemajuan kita dalam berdemokrasi, sebetulnya menyediakan jebakan yang berbahaya. Kepopuleran ide demokrasi justru meninggalkan ironi. Kepopuleran gagasan ini menjadikan khalayak tidak mempersoalkan apa itu demokratisasi. Sungguhpun begitu, yang sebetulnya menjadi arus utama proses demokratisasi di negeri adalah demokrasi liberal. Dalam kedangkalan pemahaman filosofis ini, kita tidak mudah membedakan apa saja yang merupakan ajaran liberalisme dan mana saja yang merupakan esensi demokrasi. Yang jelas, pemberlakukan demokrasi liberal menghadapkan kita pada persoalan, yang oleh filosof CB MacPherson disebut sebagai possessive individualism. 20 Obsesi kaum liberal untuk memperoleh jaminan individualitasnya harus diakhiri dengan etika pemberlakukan kewajiban pada diri sendiri. Perlu kecerdasan tersendiri agar possessive individualism ini menghasilkan tatanan yang berwatak sistemik. Tidak mudah kita mencerna teori yang ditwarkan oleh CB MacPherson tersebut. Proses demokratisasi yang berlangsung sejauh ini menyembunyikan persoalan laten, yakni gairah untuk possessive dalam memanfaatkan kesempatankesempatan yang terbuka. Yang menjadi pokok persoalan sebetulnya bukan adanya semangat possessive itu sendiri, melainkan ketidaksadaran implikasi kolektif dari maraknya semangat possessive pada setiap individu atau tokoh.21 Mari kita bayangkan, apa yang terjadi manakala setiap orang mengeksploitasi habis-habisan apa yang difahaminya sebagai hak-haknya; sampai-sampai orang lain merasa terancam oleh eksploitasi itu. Yang jelas, tatanan sistemik untuk penjanjinan kebebasan, hak, kesempatan berpartisipasi dan sebagainya justru berantakan manakala kita tidak menumbuhkembangkan etika pengendalian diri. Pengendalian dirilah yang sangat ditekankan oleh berbagai budaya lokal, dan ajaran agaman.22 Tatanan sistemik akan lumpuh manakala tidak punya imajinasi yang jelas publik (sense of public) yang tidak terbebani dengan pengendalian diri.23 Perlu ditegaskan bahwa persoalan kita bukanlah tidak memiliki sense of public. Permasalahannya adalah, sense of public yang berlapis-lapis, dalam arti setiap 19 Juan José Linz, Alfred C. Stepan; Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe, Jhon Hookins University Press, 1996. 20 C.B. MacPherson, The Political Theory Of Possessive Individualism: Hobbes To Locke, Oxford University Press, (first published 1962). 21 Robert C. Grady; “Workplace Democracy and Possessive Individualism” The Journal of Politics, Vol. 52, No. 1 (Feb., 1990). 22 Lihat misalnya, Franz Magnis–Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Gramedia, 1984. 23 John W. Maynor; Republicanism in the Modern World, Wiley-Blackwell, 2003. orang memiliki afiliasi terhadap lebih dari satu sense of public, dan cakupannya hampir selalu lebih sempit dari jangkauan dari Indonesia sebagai sebuah negara bangsa (nation state). Sebagai contoh, kita memiliki tradisi pengelolaan kepentingan publik antar sesama ummat beragama. Pengelolaannya bahkan bersifat sangat fungsional, sanggup menghasilkan lembaga-lembaga publik yang sedikit banyak mengambil alih fungsi-fungsi negara. Ada ribuan lembaga pendidikan dan pelayanan kesehatan didirikan dan dikelola Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, Kanisius, Tarakanita dan sebagainya. Publik, dalam konteks ini dibahasakan sebagai ummat. Di luar Jawa berlaku pengelolaan kepentingan publik berbasis hukum adat yang mengelola tanah ulayat, menyelenggarakan peradilan adat dan sejenisnya. Publik, dalam konteks ini hadir sebagai adat. Dalam skala kecil namun merata, publik hadir sebagai jejaring kekerabatan dan seterusnya. Dalam rangka membangun sistem pemerintahan yang handal dalam mengelola kepentingan publik, kita berhadapan dengan persoalan trade-off. Mari kita simak contoh berikut ini. Seseorang menjadi pejabat publik, katakanlah partai politik yang memiliki kursi di DPR, karena ketokohannya di mata ummat. Karena basis dukungannya adalah ummat, maka perjuangannya adalah untuk membela ummat. Jika nalar politik anggota DPR ini hanyalah memperjuangkan nasib ummat melalui posisinya di dalam domain negara, maka dia sebetulnya melumpuhkan fungsi publiknya sebagai eksponen negara, demi fungsi publiknya sebagai tokoh yang didambakan oleh ummatnya. Jelasnya, penuntasan agenda demokratisasi memerlukan wawasan dan identifikasi diri yang semakin luas, dan para saat yang sama memerlukan manifestasi dan komitmen yang lebih nyata. Wawasan nation-state tidak hilang hanya karena kita berkiprah secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari, dalam lokalitas kira masing-masing. Ini berarti bahwa penuntasan agenda demokrasi harus manifest dala setiap tatanan lokal. Hanya saja, perwacanaan tentang demokrasi yang dimaksudkan melakukan transformasi di tataran lokal sejauh ini tidak tersambung dengan agenda desentralisasi. Kedua agenda ini, pada tataran operasional, tidak saling menyapa. 3. Demokratisasi dan Desentralisasi: Agenda yang Tidak Saling Menyapa. Kalau proses proses demokratisasi bermuara pada pemantangan kita dalam mengelola kepublikan, proses desentralisasi justru berpangkal dari premis kepublikan itu sendiri. Hanya saja, kepublikan yang menjadi basis pemikiran desentralisasi inipun perlu kita cermati secara kritis. Dalam telaah berikut ini akan diperlihatkan bahwa desentralisasi berangkat dari tafsir yang sefihak tentang kapasitas pejabat untuk mengelola nasib publik. Dalam mainstream kajian desentralisasi, titik keberangkatan proses desentralisasi adalah persoalan kewenangan para lembaga dan pejabat publik, yang karena satu dan lain hal harus ditransfer ke tingkat lokal. Dalam tradisi kajian ini, desentralisasi dibayangkan sebagai persoalan transfer kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. 24 Yang menjadi pemilik kewenangan adalah pejabat negara, dan ruang kebebasan yang dibahas adalah kebebasan terhadap kontrol dari pejabat yang lebih tinggi. Wacana desentralisasi selama ini sangat state-centric, sehingga proses itu difahami sebagai proses internal birokrasi pemerintahan. Jika difahami dari cara berfikir yang society-centric, desentralisasi adalah transforasi tata pemerintahan daerah dengan cara membuka ruang dan melembagakan inovasi untuk semakin nyata mewujudkan prinsip kedaultan rakyat. Dengan demikian, cara berfikir dan bekerja birokrasi yang baku, kalau bukan kaku, justru harus diubah agar demokrasi lebih bermakna. Ilustrasi yang lebih mudah difahami adalah sebagai berikut. Atas nama demokrasi, maka hakhak azasi manusia harus dijunjung tinggi. Sudah banyak ketentuan yuridis diberlakukan, namun penjaminan hak tidak kunjung tuntas termasuk di jajaran pemerintahan daerah. Mengapa demikian ? Salah satu penjelasannya adalah sebagai berikut. Persoalan hak, biasanya kita diperlakukan sebagai persoalan ‘demokrasi’ dan oleh karenanya, pemerintah daerah tidak merasa punya amanat untuk itu karena rujukannya yang diacunya adalah ketentuan-ketentuan dalam rangka desentralisasi. Kalau desentralisasi difahami secara society-centric maka pembahuan tata pemerintahan daerah demi penjamin hak tidaklah kalah urgensinya. Penjaminan hak itu ditunjukkan dengan pembenahan administrasi warga negara, sedemikian sehingga pemerintah daerah tahu siapa warga negara yang berhak dan siapa yang tidak, serta memiliki cara yang optimal untuk mencegah hak seorang warga negara jatuh ke tangan warga negara lain yang tidak berhak. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, cukuplah alasan bagi kita untuk membayangkan bahwa muara dari desentralisasi bukanlah sekedar ada dan tumbuhnya otonomi daerah berkat adanya pelimpahan kewenangan.25 Apalah artinya otonomi daerah dijamin dan dikembangkan kalau kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga itu dikelola secara otoriter ? Apalah artinya desentralisasi dilakukan kalau muaranya adalah mendekatkan penindas dengan yang ditindas ? Point yang hendak disampaikan di sini adalah bahwa 24 Lihat misalnya, Josef Riwu Kaho; Prospek otonomi daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali Pers, 1988. 25 Perlu ditegaskan bahwa desentralisasi memang tidak mungkin lepas dari persoalan kewenangan, hanya saja tujuan akhir dari desentralisasi bukanlah penjaminan kewenangan. Manakala perwacanaan tentang desentralisasi berangkat dan berakhir dengan persoalan kewenangan, maka akuntabilitas dalam praksis penggunaan kewenangan cenderung terabaikan. Kewenangan tidak semestinya dijadikan poros atau pangkal pemikiran tentang desentralisasi agar kita mudah membedakan kewenangan dan kewenang-wenangan. Untuk itu lihat Mark E. Warren, “Deliberative Democracy and Authority,” The American Political Science Review, Vol. 90, No. 1 (Mar., 1996). pemaknaan dan perwacanaan desentralisasi tidak semestinya dilepaskan kepada para pengguna kewenangan. Justru dalam penggunaan kewenangan itulah nasib demokrasi dipertaruhkan. Pertaruhannya ada dalam proses deliberasi.26 Oleh karen itu, tantangan desentralisasi justru pada pembudayaan cara-cara menjamin kewenangan didedikasikan untuk rakyat. Desentralisasi, dengan demikian, menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya penataan ulang konfigurasi kekuasaan dalam koridor demokrasi. Buru-buru harus diakui bahwa Undang-undang yang mengatur desentralisasi dan pengelolaan daerah otonom bermaksud untuk mengembangkan pemerintahan yang demokratis di tingkat lokal, namun demokrasi dalam undang-undang tersebut hanya menjangkau mekanisme kerja antar institusi.27 Sama sekali tidak ada jaminan bahwa demokrasi bisa membudaya berkat pemberlakuan mekanisme dan tata kerja baru diantara para penyelenggara negara mengingat berbagai tatanan mekanistik yang diberlakukan begitu mudah di siasati dengan kiat-kiat politik dalam domain informal. Kita akan mendapatkan gambaran riel yang berbeda, apalagi jika berani secara jujur, dalam istilahnya Henk Schulte Nordorf and Gerry van Klinken, melihat dari belakang panggung (back stage). Dibalik perubahan-perubahan resmi yang dicanangkan berlangsung pula pasar gelap (black economy) dan negara bayangbanyang (shadow state). 28 Dalam konteks ini kita menjawab gugatan kritis: apalah gunanya kekuasaan pemerintahan didesentralisasikan kalau kekuasaan itu dikelola secara informal (baca: diam-diam) oleh mafia yang mencurangi publik ? Yang jelas pandangan yang formalistis tentang demokrasi dan desentralisasi sangatlah mengecoh, dan pandangan lebih realistis perlu ditawarkan dan dibudayakan. Sudah banyak keluhan bahwa desentralisasi telah membuka kemunculan rajaraja kecil.29 Point yang perlu kita catat di sini adalah bahwa, di aras lokal ada rezim yang hidup dan fungsional. Rezim ini tidak akan tinggal diam ketika ada peluang baru untuk berkiprah. Mengingat proses desentralisasi juga 26 Mark E. Warren; “Deliberative Democracy and Authority”, The American Political Science Review, Vol. 90, No. 1 (Mar., 1996). 27 Yang secara khusus menjadi acuan pada saat ini adalah Undang-undang 32 tahun 2004 dan Undang-undang 33 tahun 2004; menggantikan Undang-undang no 22 tahun 1999 dan Undang-undang no 25 tahun 1999. Ketentuan-ketentuan yang dibuat diberlakukan pada tahun 2004 sedang disiapkan untuk digantikan oleh Undang-undang baru. Kemungkinan besar, undang-undang yang barupun akan menjangkau perubahan yang tatarannya sama: tataran mekanistik-formalistik. 28 Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken (eds.), Renegotiating Boundries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia, KILV Press, Leiden 2007. Lihat juga Syarif Hidayat dan Abdul Malik Gismar, Good governance vs Shadow State Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 29 Sebagai contoh, perhatikan, “Demokrasi Indonesia””, Kompas, halaman opini, 15 May 2011. Kebablasan “made in dibayangkan sebagai proses yang top down, urgensi untuk mencermati relasi kuasa di tataran lokal tidak pernah mengedepan. Lebih dari itu, jika demokrasi adalah persoalan rakyat, maka level pemerintahan yang paling mudah diakses rakyatlah yang harus didahulukan untuk didemokratiskan. Dalam konteks ini tawaran Joel Migdal untuk memperlakukan negara sebagai bagian masyarakat—yang dikenal dengan state-in-society perspective 30 —penting untuk dipertimbangkan. 31 Dengan cara pandang seperti ini, demokrasi dan desentralisasi tidak bisa lagi diperlakukan sebagai dua persoalan yang terpisah. Sejalan dengan hal itu, kajian antropologis terhadap proses demokrasi bukan hanya sangat menarik, namun juga memiliki potensi besar untuk menguak persoalan secara lebih seksama, lebih kontekstual.32 Karena itulah perbincangan tentang desentralisasi sekedar sebagai pengaturan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak lagi memadai. Desentralisasi justru harus difahami secara terbalik sebagai pengembangan otonomi daerah dalam kondisi Indonesia yang sangat beragam namun harus demokratis, dalam suatu keranga kerja Indonesia. Yang menjadi kunci persoalan bukan lagi ‘ada tidaknya’ dan ‘spesifikasi’ kewenangan pemerintah di setiap lapisannya melainkan peran-peran baru pemerintah nasional demi semakin dapat diandalkannya daerah sebagai lokus ekspresi semangat kerakyatan. Yang diperlukan adalah kepastian bahwa di setiap daerah berotonomi dengan melangsungkan policy-making yang demokratis. Ini memiliki setidaknya dua makna. Pertama, policy making yang diperlukan adalah yang efektif dalam mengatasi masalah publik yang mengedepan atau teridentifikasi. Kedua, policy making tersebut semakin mengejawantahkan gagasan demokrasi.33 Kedua hal ini biasanya dibahas dan dikelola sebagai dua proses terpisah karena sarat dengan kontradiksi. Pengelolaan proses deliberasi menjadi kuncinya.34 Oleh karen itu, yang harus menjadi perhatian dalam proses perubahan yang 30 Joel S. Migdal, State in Society: Studying How States and Societies Transform And Constitute One Another, Cambridge University Press, 2001. Lihat juga Juan José Linz, Alfred C. Stepan; Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe, John Hopkins University Press, 1996, halaman 9. 31 Upaya untuk menganalisis Indonesia dari perspektif itu telah dilakukan oleh Geert Arend van Klinken, Joshua Barker; State of authority: the state in society in Indonesia, Cornell University. Southeast Asia Program, SEAP Publications, 2009. 32 Julia Paley, “Toward an Anthropology of Democracy”, Annual Review of Anthropology, Vol. 31 (2002). 33 Robert E. Goodin, “Democracy, Preferences and Paternalism,” Policy Sciences, Vol. 26, No. 3, Democracy and the Policy Sciences (Aug., 1993). 34 John S. Dryzek Source; “Deliberative Democracy in Divided Societies: Alternatives to Agonism and Analgesia”, Political Theory, Vol. 33, No. 2 (Apr., 2005). berlangsung adalah kualitas policy-making, atau kapasitas mengatasi masalahmasalah publik.35 Kita tahu bahwa yang didambakan rakyat bukan hanya adanya pejabat daerah yang bisa berkuasa secara otonom dari pemerintah nasional, melainkan teratasinya masalah Indonesia dari daerah-daerah. Harus dipastikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur rumah tangga daerah jumbuh dengan ekspresi semangat berdemokrasi. Dalam policy-making inilah proses berdemokrasi dan proses berotonomi daerah hadir sebagai paket two-in-one. Ini berarti bahwa, titik temu agenda demokratisasi dan desentralisasi adalah proses policy-making, dan titik temu ini tidak kita perlakukan sebagai titik strategis untuk mengoptimalkan pengelolaan kedua proses itu.36 4. Transformasi Two-in-One. Kesungguhan kita dalam menghayati demokratisasi dan desentralisasi sebagai persoalan transformasi sangatlah diperlukan. Tanpa kesungguhan akan dimensi transformasi ini, perubahan-perubahan yang diharapkan berlangsung secara massif dan semakin mendasar selama ini akan terjebak pada kebingunan kolektif, dan kebingungan kolektif ini adalah pintu kembali ke titik awal. Kalaulah tadi dikatakan bahwa titik temu agenda demokratisasi dan desentralisasi proses policy-making, haruslah difahami policy-making dalam konteks ini adalah muara dari proses advokasi nila-nilai tertentu yang dilakukan oleh aktivis pro-demokrasi, bukan semata-mata previllage para pejabat untuk membuat keputusan atas nama rakyat atau publik. Yang harus diwujudkan adalah democratic policy-making di tingkatan yang bisa dirasakan dan dinikmati rakyat, yakni di tingkat lokal.37 Proses demokratisasi haruslah dimulai dari bawah, dari praktek sehari-hari di tingkat lokal. Ruang yang disediakan dari proses top-down di masa lalu harus diolah untuk memungkinkan hal itu 35 Xavier de Souza Briggs; Democracy as Problem Solving: Civic Capacity Across the Globe, Massachusetts Institute of Technology, 2008. 36 Sehubungan dengan hal itu harap dicatat bahwa, yang menjadi satu adalah penghayatannya dalam praktek. Lebih dari itu, yang harus menghati bukan hanya pejabat pemerintah melainkan rakyat yang menjadi pemilik pemerintahan daerah, yang sejauh ini belum merasa menjadi pemilik. Hal itu harus dimanifestasikan dalam proses dan rumusan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah-pemerintah daerah. Ada kesulitan untuk memahami dan mengelola proses perubahan yang bukan hanya semakin mendasar melainkan juga semakin belum dikenali sebelumnya. Untuk itulah konsep transformasi dipakai untuk menggantikan konsep reformasi yang populer selama ini. 37 Helen Ingram and Steven Rathgeb Smith, Public Policy for Democracy, The Brooking Institution, 1993. berlangsung dan mengena. Hal ini memerlukan proses crafting yang njlimet dan melelahkan.38 a. Membongkar Pemaknaan Demokratisasi. Beranjak dari pemaham tentang makna transformasi tersebut di atas, kita terbekali untuk memahami persoalan-persoalan yang terabaikan dan dengan demikian menjadi lebih cermat dalam menyusu agenda penuntasan. Justru karena kita telah mengandaikan sejumlah hal yang ternyata belum tuntas dilakukan dalam proses demokratisasi, maka perjalanan demokrasi terhambat oleh kecerobohan kita memaknai dan menghayatinya. Pendangkalan dan perumitan proses demokratisasi tidak mudah diantisipasi dan difahami, justru karena begitu populer dan dominannya gagasan demokrasi, dan pemaknaan yang populer tersebut adalah yang sifatnya normatif-naif.39 Tatanan baru ini tentu tidak akan efektif, bahkan mungkin sia-sia, jika pihakfihak yang terkait bersikeras untuk memberlakukan cara berfikir dan mind set baru, ke-kita-an baru. Yang potensial terlupakan dalam proses demokratisasi dan desentralisasi ini transformasi diri kita sebagai peyangga kolektifitas, sebagai penentu nasib publik. Demokrasi adalah persoalan kemampuan kita sebagai warga negara mengelola persoalan-persoalan publik, atau persoalan institusionalisasi tata-kuasa negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 38 R. William Liddle; “Crafting Indonesian Democracy”, paper for International Conference Toward Structural Reforms for Democratization in Indonesia: Problems and Prospects. Jackson, Elisabeth, "Crafting a New Democracy: Civic education in Indonesian Islamic universities", Asia Pacific Journal of Education, 27 (1): 41-54, 2007. Sebagai perbandingan, lihat Nicolai N. Petro; Crafting Democracy: How Novgorod Has Coped with Rapid Social Change, Cornell University Press, 2004. Bandingkan juga dengan Caroline Boussard, Crafting Democracy Civil Society in PostTransition Honduras, Lund Political Studies 127 Department of Political Science Lund University, 2003. 39 Sebagai contoh, secara normatif kita selalu mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Ini memang premis normatif yang harus kita tegakkan, namun sangatlah naif kalau kita begitu saja mempercayai bahwa hukum sudah berdiri tegak untuk melindungi rakyat di negeri ini. Secara sosiologis kita telah terbiasa memutar ilusi negara hukum, dan dengan ilusi pula kita mengandaikan bahwa demokratisasi adalah proses pemberlakuan pasal-pasal ketentuan hukum. Ironisnya, demokrasi kemudian direlakan sekedar sebagai kungkungan dari luar diri, bukan sebagai pilihan etis secara kolektif dari individu-individu yang bersangkutan. Kecerobohan yang fatal disini adalah mengandaikan sistem itu lahir dari pemberlakuan undang-undang, seakan-akan individu tidak berkehendak dan tidak mampu menyiasatinya. Fakta bahwa hukum belum betul-betul ditegakkan menyediakan alasan yang sangat kuat untuk sangsi bahwa sistem baru/idea akan terbentuknya, bahkan jika dirinya mematuhinya sekalipun. Ketidakpercayaan bahwa sistem baru akan terbentuk, mejadikan masing-masing fihak memilih jalan keluar yang paling menguntungkan atau paling minim resikonya, termasuk memilih untuk melanggar hukum. Kemampuan kita untuk menuntaskan agenda demokratisasi dan desentralisasi sangat ditentukan oleh pengelolaan ke-kita-an kita, ditentukan oleh kuatnya ikatan emosi kit dengan dua gagasan tersebut. Pragmatigme yang merasuki mayoritas dari kita, adalah kekuatan tak terlihat namun sangat dahsyat kemampuannya dalam mementahkan proses transfomasi. Penting untuk dicatat, pandangan pragmatis dari mayoritas ini manifes dalam kecenderungan kita untuk menunjut perubahan diberlakukan “hanya” untuk pejabat. Ironisnya, para pejabat yang sebetulnya justru harus didemokrasikan, justru diharapkan untuk memotori demokratisasi. Bagaimanakah transformasi ke-kita-an niscaya terjadi dalam penuntasan proses transformasi ? Proses demokratissi kita mulai dari situasi otoriter, situasi serba tertindas. Dalam setting ini, roh dari ke-kita-an kita adalah kesamaan nasib: sama-sama tertindas. Tujuan tertinggi yang bisa dibayangkan adalah keluar dari penindasan. Kata kuncinya adalah ‘kita lawan’ atau ‘kita hancurkan’. Ini memang realistis, namun tidak mengantarkan pada tatanan baru yang fungsional atau ideal. Menjatuhkan presiden Suharto dan para pengikut setianya, tidak sama dengan menghasilkan tatanan baru yang demokratis. Salah satu langkah penting dalam proses demokratisasi adalah mengembangkan civil society atau masyarakat madani (MM). Para pejuang demokrasi sering ceroboh dalam berasumsi, seakan-akan demokrasi dengan sendirinya terwujud manakala MM berhasil dikembangkan. Dalam konteks ini penting kiranya kita menyimak pernyataan Dr. Arif Budiman, aktivis politik yang memperkenalkan gagasan dan secara aktif mempimpin pengembangan MM membuat refleksi yang menarik. MM ternyata bukan jawaban, karena menimbulkan kekacauan juga. Apakah kita harus menentang lahirnya MM di Indonesia ? … ketika MM yang kuat ini muncul, ternyata ini juga tidak memuaskan. MM bukanlah sebuah surga di mana kita bisa hidup berbahagia. MM bisa juga menjadi negara, yang hirukpikuk oleh suara-suara pertikaian pribadi dan kelompok, yang sering kali juga diikuti oleh perkelahian bahkan pembantaian yang berlumuran darah.40 Refleksi tersebut dibuat pada tahun 2001, namun suasana yang digambarkannya tidak jauh berubah sampai saat ini, satu dekade setelahnya. Lanjutan refleksinya, kiranya juga menarik untuk dikutip secara langsung. … kalau kita perhatikan secara seksama, barangkali masalahnya bukan terletak pada MM yang kuat (dan Negara yang lemah), tetapi kepada tidak adanya lembaga-lembaga kenegaraan yang bekerja secara efektif. Setelah Soeharto mundur pada tahun 40 St Sularto, Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama, Penerbit Buku Kompas, Kelompok Kompas-Gramedia, 2001, halaman 39. 1998, kita mengalami proses peralihan dari sistem yang (sangat) otoriter kepada sistem demokrasi. Peralihan ini belum selesai sampai sekarang.41 Satu dekade telah berlalu namun proses transisi menuju pengembangan kelembagaan negara tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Lebih dari itu, tidak sedikit aktivis MM yang sebetulnya masih terbawa oleh suasana masa lalu, masih saja mengusung misi untuk melemahkan, kalaulah tidak meruntuhkan kelembagaan negara. Hubungan negara dan masyarakat masih saja dibayangkan bersifat zero sum game, kuatnya masyarakat seakan mengharuskan lemahnya negara atau sebaliknya negara bermaksud menegakkan kekuasaan dalam kondisi masyarakat yang tidak berdaya. 42 Democratic governance yang efektif kiranya memerlukan sinergi dari kuatnya kelembagaan negara yang dikawal dengan kuatnya MM.43 Berlarut-larutnya persoalan ini telah ditengarai oleh banya pengamat, dan mereka menilai proses perubahan yang selama ini bersifat setengah hatiatau dipersimpangan jalan. 44 Sangat sedikit pengamatan yang bernada optimis, yang menunjukkan kalaulah memang belum menyelesaikan segala hal yang perlu diubah, ada kejelasan akan mengubah apa dengan cara apa. Hal ini menegaskan adanya kebingungan tentang cara melakukan transformasi cara berfikir individualistik menjadi cara berfikir yang mengedepankan publik. Ungkapan yang sering kita dengar adalah, kita mendambakan negarawan, bukan sekedar politisi. Persoalannya siapakah yang bertanggung jawab menyediakan dan menjadikan dirinya negarawan ? b. Membongkar Pemaknaan Desentralisasi Salah satu persoalan yang tidak mudah dilakukan dalam transformasi sosial (termasuk di dalamnya desentralisasi) adalah mencampakkan referensi mendasar atau mind set lama, padahal perubahan yang wataknya paradigmatik 41 Ibid., halaman 40. 42 Joel S. Migdal, Atul Kohli, Vivienne Shue; State Power and Social Forces: Domination and Transformation in the Third World, Cambridge University Press, 1994. 43 Suharko; “NGOs and Government Relations in Indonesia: A Case Study of the Social Safety Net Program”, An International Seminar on the Local Government Capacity Building and Poverty Alleviation Policies Within the Framework of Decentralization: The Case of the Philippines and Indonesia, October 22-23, 2001 at Auditorium (8F) GSID Building, Nagoya University. 44 Riswanda Imawan, Partai Politik di Indonesia: Pergulatan Setengan Hati Mencari Jati Diri, pidato pengukuhan jabatan guru besar ilmu politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakartam 4 September 2004. Lihat juga Idrus Marham, Demokrasi Setengah Hati; Studi Kasus Elite Politik di DPR RI 19992004, Desertasi pada Program Studi Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2009. ditandai oleh bergantinya hal itu. Dalam mindset Orde Baru, yang namanya pemerintahan pada dasarnya adalah penggunakan kewenangan untuk memerintah. Karena desentralisasi adalah penataan ulang format pemerintahan, maka apapun perubahan yang disebut desentralisasi hanya bisa difahami sebagai perubahan akibat perubahan spesifikasi dan tata kewenangan para pejabat pemerintahan. Yang tidak mudah dilakukan adalah menanggalkan cara berfikir yang government-centric, yang obses dengan kewenangan. Dalam konteks ini, tansformasi yang mudah diterima adalah yang tidak mengusik kenyamanan dalam menggunakan kewenangan-kewenangan yang dimilikinya. Tidak mudah menuntut perubahan melampaui zona nyaman, yakni zona kekuasaannya. Padahal, yang dituntut oleh para aktivis prodemokrasi adalah perubahan cara menggunakan kewenangan tersebut. Point yang hendak disampaikan di sini adalah bahwa pemahaman tentang desentralisasi yang berporos pada kenyamanan menggunakan kewenangan, tetap akan menjauhkan kaitannya dengan demokratisasi. Tidaklah mudah kita melawan, kalau tidak membongkar mind set para pejabat bahwa yang perlu ditransformasi adalah keseluruhan sistem pemerintahan. Sejauh ini Undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah, tetap saja mendefinisikan desentralisasi sebagai persoalan pelimpahan kewenangan. Kalaulah kewenangan pemerintah dilimpahkan ke daerah, tidak cukup besar proses transformasi yang diperlukan. Setelah Undang-undang pemerintahan daerah direvisi atau diubah, perturan pemerintah yang paling didahulukan untuk dirumuskan adalah yang mengatur kewenangan pemerintah daerah. Yang hendak dikemukakan disini adalah bahwa; tidak mengedepan urgensi untuk mind set dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan tetap berjalan sebagaimana biasa, dengan sedikit pengecualian bahwa para pejabatnya memberlakukan tata kewenangan baru. Tidak mengedepan kesadaran dari para pejabat, dan bahkan para pemikir, tentang cara dan logika baru. Desentralisasi memang telah menggeser lokus penyelenggara kewenangan, namun tidak mentransformasi cara negara mengatasi masalah publik. Karena lokus kewenangan bergeser ke daerah, maka yang menjadi perhatian kita dalah perubahan di tingkat lokal (perwujudan dan perkembangan otonomi daerah). Sangat sedikit perhatian yang dicurahkan untuk mendefinisikan peran baru pemerintah daerah dalam rangka mencapai tujuan nasional. Mengapa ? Para pejabat di daerah hanya bisa membayangkan perannya sebagai “bawahan” pemerintah pusat, dan pemerintah pusatpun tidak mudah mengakhiri tradisi menjadikan daerah sebagai bawahan. Kalaulah ada keinginan untuk mengubah cara pandang, hal itu bermuara pada dishamoni antar kelembagaan pemerintahan. Singkat cerita, baik eksponen penyelenggara pemerintahan daerah maupun pemerintah nasional sama-sama berpotensi mengkandaskan agenda desentralisasi karena tidak mudahnya mereka keluar dari mind set birokrasi yang, secara diam-diam mendudukkan dirinya sebagai penguasa yang bekerja sekedar untuk menggunakan kekuasaannya. Birokratisme dalam wacana dan pemikiran desentralisasi menjadikan desentralisasi besar-besaran yang diagendakan semula kehilangan makna, karena tidak bermuara pada transformasi bekerjanya negara atau birokrasi pemerintahan, seakan-akan birokrasi harus netral dari keharusan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi atau kerakyatan. Kalau kerakyatan adalah hal yang harus dijunjung tinggi, maka identifikasi rakyat perlu dilakukan secara cermat agar keberpihakan kepada rakyat bisa ditunjukkan melalui cara kerja birokrasi. Kalau rakyat yang miskin harus dibela dengan subsidi, maka birokrasi pemerintah harus memiliki database yang akurat dan prosedur yang handal untuk membidik siapa saja yang berhak, serta mengembangkan rancangan delivery untuk menghindari kehebohan biasa berlangsung selama ini. Jika betul birokrasi adalah instrumen untuk mencapai tujuan negara, maka birokrasi pemerintah—apalagi yang lokus kerjanya paling dekat dengan pemegang hak itu—menjunjung tinggi hak dengan mengembangkan instrumen-intrumen untuk menjamin pemenuhannya. Desentralisasi tidak kunjung menghasilkan transformasi peran pemerintah daerah yang tadinya didisain sekedar sebagai implementor segala hal yang telah dirumuskan dan ditetapkan di tingkat nasional, menjadi perlu ditransfomasi menjadi tumpuan dan pertaruhan dalam mengatasi masalah indonesia yang peru dikelola secara konstektual. Dalam disain baru, pemerintah nasional tentu diharuskan melakukan transformasi diri agar perannya yang semakin terbatas adalah juga peran yang semakin strategis, dan keterlibatannya secara tidak langsung dalam penanganan masalah mengharuskan adanya kemampuan untuk mengendalikan daerah tanpa secara langsung menyentuhnya (governing from the distance). Hanya dengan transformasi pada dua lapis pemerintahan inilah pelimpahan kewenangan dan perubahan-perumahan “mikro” yang telah berlangsung menjadi betul-betul bermakna bagi publik. Mengingat proses transformasi yang diusung dimaksudkan untuk menjangkau negeri yang begitu luas dan kompleks, kita patut bersyukur dengan capaian kita sejauh ini. Sungguhpun demikian, durasi proses transformasi yang telah melampaui satu dekade telah membuat banyak fihak merasa agenda transformasi tersebut sudah berakhir. Disinilah perumitan proses transformasi mulai berkembang, karena fihak yang tadinya mendukung perubahan justru mengekang perubahan itu senditi. Kebanyakan dari kita merasa tinggal menunggu hasil dari transformasi dan marah-marah karena hasil yang dibayangkan tidak terwujud. Sungguh memprihatinkan, belakangan ini publik tidak merasakan urgensi memobilisasi daya, upaya, sumberdaya dan kecerdasan untuk menuntaskan agenda. Tidak mengemuka juga membingkai ulang ataupun penajaman agenda untuk memastikan misi dari demokratisasi dan desentralisasi tersebut terwujud. Semakin jauh proses berlangsung semakin besar pula kemungkinannya kita terkebak dalam kebingunan, kalaulah tidak tersesat. Apalagi kalau kita sadari bahwa kedua transformasi itu sifatnya sangat mendasar atau paradigmatik. Yang lebih seru, transformasi telah berlangsung tanpa master plan atau grand design. Harap dimengerti, proses yang berlangsung tidak sepenuhnya berwatak teknis dan bisa dirancang secara sepihak, namun ketidaksefahaman tentang ‘apa yang hendak diwujudkan’ dan ‘bagaimana cara wewujudkan’ menjadi garansi bahwa prosesnya tidak mulus. Apalagi kalau ada ambisi untuk mengubah tidak sejalan tidak sebanding dengan kesediaan untuk membongkar mind set. Dalam bahasanya peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Syarif Hidayat: Too much, too soon !45 Butir pelajaran dari telaah reflektif di atas adalah bahwa tantangan untuk menuntaskan demokratisasi dan desentralisasi pada saat ini, sebetulnya tidak kalah berat dari pada tantangan pada fase awal. Bedanya, kalau di masa lalu sosok tantangannya relatif kasat mata, sedangkan pada fase penuntasan saat ini tantangan itu tidak nampak, karena ada dalam benak kita semua. Di masa lalu strategi cengeng yakni sekedar menjelek-jelekkan, atau setidaknya “menjaga jarak” dengan segala hal yang terkait dengan Orde Baru atau presiden Suharto mungkin memiliki kontribusi penting, namun strategi semacam itu tidak ada gunanya. Yang penting untuk dihadapkan kepada publik bukan apa perlu ditolak, namun juga apa yang harus kita kurbankan demi apa yang sama-sama kita dambakan. Musuh perubahan itu, jangan-jangan adalah diri kita sendiri, baik dalam pengertian selfishness maupun ketidaksadaran akan apa yang sebetulnya menjadi akar permasalahan (mindset). Agenda yang tidak kalah penting dan vatal dalam penuntasan proses demokratisasi dan desentralisasi adalah mengambil pelajaran dan memelihara warisan baik, dari tatanan yang dibakukan dimana lalu. Tidak hanya kita harus mengakhiri sikap cengeng dengan menimpakan segala kesalahan pada orang lain, namun juga harus berfikir terbuka. Kalaulah Orde Baru memilih untuk mengembangkan pola pemerintahan sentralistif-otoriter, tentulah ada alasan yang masuk akal; lebih dari sekedar adanya nafsu berkuasanya seorang presiden. Disain itu dipilih atas dasar pembacaan atas masalah dasar dalam pengembangan tata pemerintahan di negeri ini. Kalau masalah dasar yang diidentifikasi itu tidak berubah, maka solusi yng dipilih pada saat itu tentu relevan untuk dipertimbangkan kembali pada saat ini. Untuk memberi ilustrasi dari gagasan ini, kita bisa menelaah penglolaan nalar politik kita yang paternalistik. Orde Baru sadar bahwa patronage adalah nalar dasar perpolitikan di negeri ini. Terlalu mahal, dan mungkin juga berbahaya menghancurkan hal itu. Solusi yang diambil Orde Baru adalah menjadikan patronage terkendali melalui pengembangan governance yang birokratis, dan memanfaatkan patronage sebagai instrumen kendali para tokoh kunci. Dalam ilmu politik, skema itu disebut korporatisme negara. Di luar parlemen sebetulnya ada skema perwakilan yang bersifat tematik-substantif, ada 45 Syarif Hidayat; Too Much, Too Soon: Local State Elite's Perspective on and the Puzzle of Contemporary Indonesian Regional Autonomy Policy, Raja Grafindo Persada, 2007. perwakilan untuk urusan kewartawanan, pertanian, perikanan, keulamaan, kepemudaan dan lain sebagainya. Dalam skema korporatisme negara, para patron diuntai dalam berbagai orgaisasi. Masing-masing diberi kewenangan untuk memonopoli klaim perwakilan dan akses terhadap sumberdaya untuk memperjuangkan kepentingan dalam bidangnya masing-masing. Sebagai imbalannya, para patron harus tuntuk pada agenda-agenda pemerintah. Dari kasus ini ada sejumlah catatan penting, bahwa diluar lembaga perwakilan rakyat ada perwakilan yang sifatnya substantif atau tematik. Pengelolaan kepentingan rakyat secara topikal atau tematik ini memudahkan mengelola aspirasi untuk dikonversi menjadi rumusan kebijakan publik. Hal itu diperlukan karena lembaga perwakilan rakyat memang hanya didisain sebagai representasi formal. Meskipun dalam disain korporatist itu potensi distorsi kebijakan pemerintah tidak sepenuhnya terkekang karena namun posisi dominannya, nanum secara konseptual terbesit kesadaran untuk mewujudkan demokrasi secara substantif issue demi issue dengan saluran keorganisasian yang jelas. Ilustrasi ini tidak dimaksudkan untuk memulihkan korporatisme negara. Tetapi mengapa kita tidak berfikir untuk mengembangkan korportisme masyarakat sebagaimana terjadi dalam proses demokratisasi di negara-negara Skandinavia. Apa yang diagendakan oleh pemerintah adalah hasil agregasi dan muara dari representasi dari kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Dengan skema itu, legitimasi kebijakan dalam sektor tertentu sangat ditentukan oleh luas dan kuatnya dukungan dari pemangku kepentingan yang terkait. Kalau di masa lalu, skema perwakilan didominsi oleh birokrasi pemerintah yang memiliki bekal keahlian yang cukup dan mengendalikan pendanaan; tidak tertutup kemungkinan kita memindahkan kendali kepada rakyat yang terorganisir untuk mengawal tindaklanjut kebijakan yang terkait. Point yang hendak disampaikan melalui ilustrasi di atas adalah bahwa untuk menuntaskan agenda demokratisasi dan desentralisasi, perlu dicari berbagai katalis yang mempermudah proses transformasi namun tidak harus larut dalam perubahan. Salah satu katalis adalah adanya proses belajar berdemokrasi dan mengakumulasi pengalaman bersama tentang hal itu. Belajar berdemokrasi bisa dilakukan dari perjalanan riel di daerahnya sendiri ataupun di daerah lain, bahkan di negeri lain. Pelajaran berdemokrasi juga bisa dilakukan dengan merekonstruksi dari kejadian-kejadian di masa lalu, dan atas dasar itu disepakati acuan-acuan bersama yang telah teruji sejarah. Dengan pelajaran itu kita tidak harus kembali ke masa lalu, atau membebek negara lain, karena pelajaran-pejaran yang kita ambil secara sungguh-sungguh dikontektualisasikan dengn kondisi negeri kita, dan kondisi saat ini. Dengan pelajaran-pelajaran yang kita petik, semakin bijaksanalah kita dalam membingkai ulang dan mendetailkan agenda-agenda penuntaskan kedua proses transformasi tersebut di atas. Yang jelas, betapapun bagusnya acuan filosofis dari gagasan demokratisasi yang hendak diwujudkan, yang senyatanya kita sebut sebagai demokrasi adalah yang nyata-nyata kita tumbuh kembangkan bersama, dari konteks kehidupan nyata kita. Kesulitan kita menuntaskan agenda demokrasi, ironisnya, justru untuk menjadikannya sebagai pengalaman yata bersama. Demokratisasi dan desentralisasi adalah persoalan nasib publik. Kemampuan katalistik yang kita perlukan mewujudankanya secara tuntas tentu saja tidak memadai kalau sekedar bersifat individual. Yang diperlukan adalah penggalangan kapasitas kolektif untuk mencurahkan kearifan dan kecerdasan publik. Semangatnya tentu lebih dari sekedar mengikuti gelora penggunaaan hak atas nama demokrasi, ataupun menggunakan kewenangan atas nama otonomi daerah. Yang menjadi persoalannya tidak hanya bagaimana individuindividu mengoptimalkan penggunaan hak dan kewenangan, melainkan bagaimana individu-individu mengalang kebersamaan sebagai publik. 5. Tantangan Baru Berotonomi Daerah. Dalam paparan di atas sudah ditegaskan bahwa muara dari desentralisasi adalah terwujudnya pemerintahan yang demokratis berbasis otonomi daerah, bukan sekedar ada kepastian bahwa daerah—tepatnya instansi dan pejabatpejabat pemerintah setempat—memiliki cukup kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangaa sendiri. Demokrasi harus diwujudkan secara lebih nyata, lebih operasional dan lebih bernakna di level lokal, mudlai dari wadah kelembagaan yang ada. Pemerintah daerah perlu bersiap-siap untuk memerankan dirinya sebagai lokus nyata untuk mempraktekan demokrasi secara fungsional. ‘Daerah’ harus dimaknai ulang, bukan sebagai yurisdiksi kekuasaan seseorang pejabat melainkan lokus pengorganisasian dan aktualisasi nilai-nilai demokrasi. Eskponen-eksponen pemerintahan daerah perlu mengidentifikasi berbagai bentuk realisasi prinsip kedaulatan rakyat pelalui perumusan ulang cara kerjanya. Muara dari itu semua adalah rekonstruksi pengelolaan kepentingan publik dalam policy-making. Dengan cara itulah demokratisasi dan desentralisasi, bertemu pada satu muara yakni: policy-making yang efektif mengatasi masalah dari setiap lokalitas. Yang diperlukan oleh pemerintahan nasional bukanlah intervensi besarbesaran melainkan ruang inovasi dan prasarana untuk memungkinkan transformasi policy-making tersebut di atas bisa berlangsung. Dengan demikian, pemerintahan dalam tingkat nasional tidak harus memikirkan dan menguasai setiap detail persoalan, dan dengan demikian lebih dapat memfokuskan pada persoalan-persoalan yang strategis, yang tidak efisien kalau diselenggarakan sendiri-sendiri di tingkat lokal. Daerah, dengan demikian bukanlah obyek penguasaan dari eksponen nasional, melainkan basis untuk mengatasi permasalahan negeri ini.46 46 Terus terang, visi seperti itu sejauh ini belum lazim. Yang lazim adalah bahwa pemerintah daerah adalah bentukan dari pemerintah pusat. Pemilik pemerintahan daerah adalah pemerintah nasional, bukan rakyat. Gagasan yang selalu diputar adalah bahwa dalam ‘negara kesatuan’ pemerintah daerah hanya boleh melakukan sesuatu setelah mendapatkan otorisasi dari pemerintah nasional. Singkat Pemakaan otonomi daerah sebagai lokus pengembangan demokrasi, tentu saja akan mengusik kenyamanan berkuasa dari eksponen pemerintah nasional. Counter wacana yang selama ini digunakan untuk menepis usulan perubahan dari bawah adalah dengan mengingatkan gagasan, tepatnya doktrin, negara kesatuan. Jargon populernya adalah: NKRI adalah harga mati ! Terhadap slogan yang memiliki daya tangkal terhadap perubahan dari bawah ini perlu dijelaskan bahwa yang diperbincangkan bukanlah kesatuan vs percerai-beraian Indonesia melainkan cara untuk memperstukan Indonesia itu sendiri. Kalau ‘kesatuan’ mencapi ‘harga mati’ maka cara-cara baru mewujudkan kualitas ‘kesatuan’ justru harus dikembangkan. Reproduksi sense kepublikan melalui aktualisasi berdemokrasi demokrasi yang lebih bermakna dan lebih tepat guna, maka fondasi kesatuan Indonesia justru lebih kuat lagi. Hanya saja, yang menjadi suber kekuatannya bukankan kesatuan komando dari Jakarta melainkan silahmenyilangnya sense kepublikan yang dipraktekkan dalam kehidupan seharihari. Desentralisi bukanlah tujuan akhir, melainkan sekedar penempaan ulang corak penyelenggaraan pemerintahan dengan mengoptimalkan peran dan kecerdasan di tingkat lokal. Otonomi justru perlu direproduksi dengan cara mengembangkan kapasitas berfikir, dan dengan demikian kapasitas mengatasi masalah, sejak dari tingkat lokal. Untuk ada dua syarat dasar. Pertama, eksponen nasional tidak boleh kalah cerdas dengan eksponen lokal. Kedua, eksponen lokal harus memiliki wawasan nasional. Hanya dengan cara itu, kita bisa keluar dari birokratisme. Wacana otonomi daerah selama ini terjebak dalam cara berfikir khas birokrasi yang lebih hirau tentang ‘kewenangan’ dari pada ‘kapasitas’, memilih untuk ‘patuh’ meskipun gagal, dan tidak mau mengurbankan formalitas meskipun tidak sesuai kenyataan. Singkat cerita, diam-diam kita lebih memilih untuk membodohi diri sendiri. Karena belenggu-belenggu pemaknaan tersebut di atas, maklumlah kalau pengembangan kapasitas daerah dalam policy-making tidak pernah menjadi issue serius dalam agenda demokratisasi dan desentralisasi. Dari waktu ke waktu, desentralisasi tetap saja dimaknai sekedar sebagai persoalan pelimpahan kewenangan, bukan soal pengembangan kapasitas. Eksponen penyelenggara pemerintahan daerahpun tidak merasa bersalah ketika kapastitasnya dalam policy-making tidak berkembang, setelah kewenangan-kewenangan dilimpahkan oleh eksponen penyelenggara pemerintahan nasional. Dalam rangka menuntaskan proses desentralisasi ada dua agenda penting. Pertama, daerah harus mengagendakan kemampuannya memperbaiki kualitas policy-making di lokalitas masing-masing. Kedua, daerah harus merajut kebersamaan—tentu saja dalam bingkai baru yang disiapkan oleh pemerintah kata, pemerirntahan daerah adalah unsur birokrasi, bukan wadah untuk berdemokrasi. Dengan status ‘lokal’ maka kewenangannya terbatas, dan perannya sangat tergantung pada mereka yang berada di pusat. Daerah adalah pinggiran, bukan pangkal untuk mengekspresikan kedaulatan rakyat. nasional—agar menjadi pilar penyangga pencapaian tujuan nasional. Pada saat yang sama, hubungan eksponen lokal dan eskponen nasional, diharapkan bukan lagi berbasis penundukan dan perlawanan. Daftar Pustaka Appadurai, Arjun; “Deep Democracy: Urban Governmentality And The Horizon Of Politics”, Environment & Urbanization, Vol 13 No 2 October 2001. Aspinall. Edward, Marcus Mietzner (eds.); Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society, Institute of Southeast Asian Studies, 2010. Barron, Patric, Melina Nathan, Bridget Welsh; “Consolidating Indonesia’s Democracy: Conflict, Institutions and the “Local” in the 2004 Legislative Elections,” Social Development Papars no. 31, December 2005. Boussard, Caroline, “Crafting Democracy Civil Society in Post-Transition Honduras”, Lund Political Studies 127 Department of Political Science Lund University, 2003. Briggs, Xavier de Souza; Democracy as Problem Solving: Civic Capacity Across the Globe, Massachusetts Institute of Technology, 2008. Cunningham, Frank; Theories of Democracy: a Critical Introduction, Routledge, 2002. Diamond, Larry Jay, Marc F. Plattner; The Global Divergence Of Democracies, Jhon Hoopkins University Press, 2001. Diamond, Larry Jay, Marc F. Plattner, The Global Resurgence Of Democracy, Johns Hopkins University Press, 1990. Diamond, Larry Jay; Consolidating the Third Wave Democracies: Themes and Perspectives, Jhon Hoopkins University Press, 1997 Diamond, Larry; “How is Indonesia’s democracy doing?”, East Asia Forum, October 26th, 2009, diunduh dari http://www.eastasiaforum.org/ pada tanggal 13 Juli pada jam 7.40 WIB. Dryzek, John S.; “Deliberative Democracy in Divided Societies: Alternatives to Agonism and Analgesia”, Political Theory, Vol. 33, No. 2 (Apr., 2005). Elisabeth, Jackson, , "Crafting a New Democracy: Civic education in Indonesian Islamic universities", Asia Pacific Journal of Education, 27 (1): 41-54, 2007. Elkins, Zachary; “Gradations of Democracy? Empirical Tests of Alternative Conceptualizations”, American Journal of Political Science, Vol. 44, No. 2 (Apr., 2000) Erawan, I Ketut Putra, “State of Democracy in Indonesia and Agenda for the Future: A Democratic Quality Framework” paper. Erb, Maribeth, Priyambudi Sulistiyanto (eds); Deepening Democracy In Indonesia?: Direct Elections For Local Leaders (Pilkada), Institute of Southeast Asian Studies, 2009. Goodin, Robert E., “Democracy, Preferences and Paternalism,” Policy Sciences, Vol. 26, No. 3, Democracy and the Policy Sciences (Aug., 1993). Grady, Robert C.; “Workplace Democracy and Possessive Individualism,” The Journal of Politics, Vol. 52, No. 1 (Feb., 1990). Hidayat, Syarif dan Abdul Malik Gismar, “Good governance vs Shadow State Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah”. Hidayat, Syarif; Too Much, Too Soon: Local State Elite's Perspective on and the Puzzle of Contemporary Indonesian Regional Autonomy Policy, Raja Grafindo Persada, 2007. http://www.thefreedictionary.com/transform, diunduh tanggal 10 Juli 2011 jam 10 WIB. Huntington, Samuel P.; The Third Wave: Democratization In The Late Twentieth Century, University of Oklahoma Press, 1991. Imawan, Riswanda, “Partai Politik di Indonesia: Pergulatan Setengan Hati Mencari Jati Diri”, Pidato pengukuhan jabatan guru besar ilmu politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakartam 4 September 2004. Inglehart, Ronald and Christian Welzel; “Political Culture and Democracy: Analyzing Cross-Level Linkages,” Comparative Politics, Vol. 36, No. 1 (Oct., 2003). Inglehart, Ronald, Christian Welzel; Modernization, Cultural Change, and Democracy: The Human Development Sequence, Cambridge University Press, 2005. Ingram, Helen and Steven Rathgeb Smith, Public Policy for Democracy, The Brooking Institution, 1993. Kaho, Josef Riwu; Prospek otonomi daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali Pers, 1988. Kompas, “Demokrasi Kebablasan “made in Indonesia””, halaman opini, 15 May 2011. Liddle, R. William; “Crafting Indonesian Democracy”, paper for International Conference Toward Structural Reforms for Democratization in Indonesia: Problems and Prospects. Linz, Juan José, Alfred C. Stepan; Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe, Jhon Hookins University Press, 1996. MacPherson, C.B., The Political Theory Of Possessive Individualism: Hobbes To Locke, Oxford University Press, (first published 1962). Magnis–Suseno, Franz, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Gramedia, 1984. Marham, Idrus, Demokrasi Setengah Hati; Studi Kasus Elite Politik di DPR RI 1999-2004, Desertasi pada Program Studi Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2009. Maynor, John W.; Republicanism in the Modern World, Wiley-Blackwell, 2003. Mckee, Lesley, Professor Mike Press; “Crafting Democracy: Towards A New Perspective On Design’s Contribution To Community Development And Democracy”, 8th European Academy of Design Conference, The Robert Gordon University, Aberdeen, Scotland, 1-33rd April 2009. Mietzner, Marcus; “Indonesia’s Democratic Stagnation: Anti-Reformist Elites And Resilient Civil Society”, Democratization, 2011, iFirst, 1–21. Migdal, Joel S., Atul Kohli, Vivienne Shue; State Power and Social Forces: Domination and Transformation in the Third World, Cambridge University Press, 1994. Migdal, Joel S., State in Society: Studying How States and Societies Transform And Constitute One Another, Cambridge University Press, 2001. Nordholt, Henk Schulte and Gerry van Klinken (eds.), Renegotiating Boundries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia, KILV Press, Leiden 2007. Paley, Julia, “Toward an Anthropology of Democracy”, Annual Review of Anthropology, Vol. 31 (2002). Petro, Nicolai N.; Crafting Democracy: How Novgorod Has Coped with Rapid Social Change, Cornell University Press, 2004. Ryder, John; “Prospects for a Thick Democracy”, Paper, State University of New York. Samadhi, Willy Purna and Nicolaus Warouw (eds.); Democracy Building On the Sand, Demos-PCD Press, 2009. St Sularto, Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama, Penerbit Buku Kompas, Kelompok Kompas-Gramedia, 2001, Suharko; “NGOs and Government Relations in Indonesia: A Case Study of the Social Safety Net Program”, An International Seminar on the Local Government Capacity Building and Poverty Alleviation Policies Within the Framework of Decentralization: The Case of the Philippines and Indonesia, October 22-23, 2001 at Auditorium (8F) GSID Building, Nagoya University. Törnquist, Olle; “Popular Development And Democracy: Case Studies With Rural Dimensions In The Philippines, Indonesia, And Kerala”, Essay commissioned under UNRISD Research Programme on Civil Society and Social Movements, Department of Political Science and the Centre for Development and the Environment (SUM), University of Oslo, 2002. van Klinken, Geert Arend, "Joshua Barker; State of authority: the state in society in Indonesia”, Cornell University Southeast Asia Program, SEAP Publications, 2009. Warren, Mark E.; “Deliberative Democracy and Authority”, The American Political Science Review, Vol. 90, No. 1 (Mar., 1996). Wilson, Patricia A., “Deep Democracy: The Inner Practice of Civic Engagement”, Fieldnotes: A Newsletter of the Shambhala Institute, February 2004, Issue No. 3.