Academia.eduAcademia.edu

REALITA KELOMPOK-KELOMPOK ISLAM DI INDONESIA

Indonesia merupakan negara Muslim terbesar di seluruh dunia. Meskipun 88% penduduknya beragama Islam, Indonesia bukanlah negara Islam. Di Indonesia, seperti halnya di negara-negara lain, Islam terbagi dalam dua arus utama yaitu Sunni dan Syi"ah. Kelompok Sunni adalah kelompok ummat Islam yang mengikuti sunnah dan berjama"ah, sehingga disebut ahlussunnah wal jama'ah. Ahlussunnah adalah mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur"an dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni. Sementara Syi"ah adalah kelompok umat Islam yang beraliran radikal yang menganggap Ali bin Abi Thalib as setingkat atau bahkan lebih tinggi dari Nabi Muhammad SAW. Kelompok-kelompok Islam ini seperti yang diuraikan oleh Abdul Kadir Ahmad sebagai berikut: "Islam, pada dasarnya ada dua mazhab atau aliran utama yaitu Sunni dan Syiah, dua aliran ini ada di Indonesia. Pengikut Syiah di Indonesia tidak sebanyak Sunni, tapi sepertinya mulai berkembang ya Syiah ini, ada websitenya kalau tidak salah." "Kalau soal jumlah pastinya saya tidak tahu". "......kalau 90% lebih lah pengikut Sunni di Indonesia". "NU dan Muhammadiyah itu Sunni, cuman bedanya, NU itu bisa dibilang tradisional lah, kalau Muhammadiyah itu modern, meskipun dua organisasi ini resminya berdiri tidak terpaut jauh, tetapi pemikirannya." (wawancara mahasiswa UI dengan Abdul Kadir Ahmad, 26 Oktober 2010). Sunni dan Syi"ah berkembang keseluruh dunia termasuk di Indonesia. Indonesia adalah negera dimana penganut Sunni sangat dominan dan Syi"ah hanya dianut oleh sebagian kecil masyarakat. Sunni di Indonesia terbagi dalam dua kelompok besar: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Nahdlatul Ulama mewakili sebagian terbesar ummat Islam Sunni yang berkarakter tradisional dengan figur ulama ortodoksnya (kiyai). Sementara Muhammadiyah mewakili ummat Islam Sunni yang modern, anti bid"ah, tahyul, dan khurafat. Kalau NU memiliki sekolah tradisional berupa pesantren sebagai alat kaderisasi dan sosialisasi ajaran-ajarannya, maka Muhammadiyah memiliki sekolah modern seperti madrasah atau sekolah Islam modern dalam bentuknya yang lain.

REALITA KELOMPOK-KELOMPOK ISLAM DI INDONESIA Indonesia merupakan negara Muslim terbesar di seluruh dunia. Meskipun 88% penduduknya beragama Islam, Indonesia bukanlah negara Islam. Di Indonesia, seperti halnya di negara-negara lain, Islam terbagi dalam dua arus utama yaitu Sunni dan Syi’ah. Kelompok Sunni adalah kelompok ummat Islam yang mengikuti sunnah dan berjama’ah, sehingga disebut ahlussunnah wal jama’ah. Ahlussunnah adalah mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur’an dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni. Sementara Syi’ah adalah kelompok umat Islam yang beraliran radikal yang menganggap Ali bin Abi Thalib as setingkat atau bahkan lebih tinggi dari Nabi Muhammad SAW. Kelompok-kelompok Islam ini seperti yang diuraikan oleh Abdul Kadir Ahmad sebagai berikut: “Islam, pada dasarnya ada dua mazhab atau aliran utama yaitu Sunni dan Syiah, dua aliran ini ada di Indonesia. Pengikut Syiah di Indonesia tidak sebanyak Sunni, tapi sepertinya mulai berkembang ya Syiah ini, ada websitenya kalau tidak salah.” “Kalau soal jumlah pastinya saya tidak tahu”. “......kalau 90% lebih lah pengikut Sunni di Indonesia”. “NU dan Muhammadiyah itu Sunni, cuman bedanya, NU itu bisa dibilang tradisional lah, kalau Muhammadiyah itu modern, meskipun dua organisasi ini resminya berdiri tidak terpaut jauh, tetapi pemikirannya.” (wawancara mahasiswa UI dengan Abdul Kadir Ahmad, 26 Oktober 2010). Sunni dan Syi’ah berkembang keseluruh dunia termasuk di Indonesia. Indonesia adalah negera dimana penganut Sunni sangat dominan dan Syi’ah hanya dianut oleh sebagian kecil masyarakat. Sunni di Indonesia terbagi dalam dua kelompok besar: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Nahdlatul Ulama mewakili sebagian terbesar ummat Islam Sunni yang berkarakter tradisional dengan figur ulama ortodoksnya (kiyai). Sementara Muhammadiyah mewakili ummat Islam Sunni yang modern, anti bid’ah, tahyul, dan khurafat. Kalau NU memiliki sekolah tradisional berupa pesantren sebagai alat kaderisasi dan sosialisasi ajaran-ajarannya, maka Muhammadiyah memiliki sekolah modern seperti madrasah atau sekolah Islam modern dalam bentuknya yang lain. “Jadi begini, Muhammadiyah itu kan anti bid’ah, tahyul, dan kurafat, tapi bukan berarti NU itu menerima hal itu. Kan NU juga Ahlu Sunnah wal Jamaah. Bedanya itu gini bagi Muhammadiyah misalnya percaya pada ghaib itu bukan dengan berdoa di makam-makam kalau NU percaya bahwa kekuatan ghaib itu memang ada, berdoa di makam kan bukan berdoa ke yang mati tapi berdoanya tetap kepada Allah, ini juga yang disebut bid’ah menurut Muhammadiyah. Kan tidak ada jeleknya mendoakan orang yang sudah meninggal dengan cara tahlilan”. (wawancara dengan Abdul Kadir Ahmad, 26 Oktober 2010) Sementara itu, ada kelompok-kelompok Islam lainnya di luar kelompok-kelompok tersebut yang tidak terpaku pada ajaran tradisional maupun modern, termasuk aliran Syi’ah. Islam Moderat Sejak beberapa tahun terakhir ini istilah Islam moderat begitu sering dibicarakan. Hampir di setiap pertemuan Presiden Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono, dengan kepala negara-negara Barat dan tetangga, wacana Islam moderat senantiasa menghiasi pembicaraan. Tak hanya pertemuan tingkat kepala negara, sepanjang lima tahun terakhir para ulama dan cendekiawan Muslim di tanah air juga sangat aktif menggelar konferensi berskala internasional, mengusung tema Islam Moderat. Kecenderungan ini mengandung kesamaan, dalam batas-batas tertentu, dengan menguatnya diskursus pembaruan Islam. Indonesia tahun 70-an. Dari sejumlah gerakan Islam Indonesia sejak pra kemerdekaan hingga kini, terdapat kelompok yang dapat digolongkan sebagai gerakan Islam Lunak dan Tidak Ekstrem (Moderat). Menguatnya wacana Islam Moderat tidak lepas dari upaya memperbaiki citra Islam yang oleh dunia Barat digambarkan sebagai agama dengan wajah kekerasan. Moderatisme dalam menampilkan Islam tidak berarti mengorbankan makna Islam itu sendiri. Justru Islam sedang ditampilkan secara progresif, penuh toleransi, dan liberal. Mengutip Charles Kurzman, M. Alfan Alfian menyatkan bahwa tema-tema yang diajukan kalangan Islam Liberal diantaranya adalah menentang teokrasi, mendukung demokrasi, menghormati hak-hak perempuan, menghormati hak-hak non-muslim, kebebasan berpikir, dan gagasan tentang kemajuan, perlu dikedepankan. Belakangan di Indonesia muncul gerakan Islam Liberal, yang tampaknya cenderung moderat dalam melemparkan isu-isu keagamaan global. Tema-tema moderat Islam Liberal, tampaknya, dilengkapi arus lain dari tumbuhnya moderatisme Islam Indonesia, yakni, post-tradisionalisme Islam, yang digerakkan anak-anak muda Nahdlatul Ulama (NU). Kehadiran mereka, tampaknya hendak meneguhkan moderatisme Islam Indonesia, yang sebenarnya secara organisatoris telah lama dikembangkan secara dominan oleh dua varian pergerakan Islam terbesar di Indonesia: NU dan Muhammadiyah. Kehadiran dua arus utama moderatisme Islam Indonesia itu (Islam Liberal plus Post-Tradisionalisme Islam), tampaknya, tak lepas dari kemunculan fenomena fundamentalisme-radikal yang kian ekspresif belakangan. Kehadiran kelompok-kelompok yang kerap melakukan aksi-aksi, yang dalam konteks tertentu, mengedepankan kekerasan, dengan dalih memberantas kemaksiatan dan melindungi kaum Muslim dari keteraniayaan (semisal kasus Maluku dan Poso), bagaimanapun menunjukkan sisi lain citra Islam Indonesia. Sayang citra yang terbentuk oleh mengerasnya kelompok fundamentalisme-radikal di Indonesia, dalam banyak hal kurang menguntungkan, terutama bila dilihat dari sisi moderatisme Islam. Dalam konteks ini, Islam moderat, bertugas mencairkan kebekuan dengan menampilkan Islam dalam tema perdamaian, dialogis, dan toleransi. Islam Radikal Radikal, saat ini dimaknai sebagai suatu cara pemaksaan kehendak dengan menggunakan kekerasan. Menengok dari sudut etimologi, kata radikal pertama kali muncul pada abad pertengahan yaitu suatu bahasa filosofis “radicalis” yang memiliki arti “memiliki akar”. Kata radical sendiri berasal dari kata radix yang berarti akar. Dalam perkembangannya kata ini pada tahun 1650-an diartikan sebagai “kembali ke asli” (going to origin) yang bisa juga diartikan sebagai “pemurnian”. Kemudian dalam ranah politik, pada tahun 1802 kata ini diartikan sebagai “reformis” oleh Partai Liberal Inggris yang ekstrem. Dalam perkembangannya kemudian kata ini memiliki sejumlah arti yang pada dasarnya bermakna pada perubahan yang menyeluruh. Bahkan kata ini juga dimaknai sebagai “sesuatu yang tidak lazim” (unconventional). Karena itulah kata ini, tergantung pada konteksnya tidak selalu memiliki makna negatif. Dalam perjalanan sejarah kata radikal ini seringkali bertumpang tindih dengan pemaksaan kehendak yang menggunakan kekerasan fisik. Radikalisme dalam Islam bukanlah hal yang baru muncul pada abad ke-20 ini jauh sebelumnya telah ada gerakan radikal Islam. Pada awalnya, kelompok radikal Khawarij adalah pasukan garda depan Khalifah yang dengan kuat memberikan dukungan terhadap Khalifah dari tuduhan pihak Mu’awiyah atas keterlibatan Khalifah dalam drama pembunuhan Usman ibn Affan, Khalifah sebelumnya. Sebetulnya, tuduhan tersebut merupakan propaganda politis yang bertujuan agar keturunan Usman yang mewakili kelompok Sunni dapat meraih simpati publik dan sebaliknya menjatuhkan kelompok ahl al-bait yang mewakili kelompok Syi’ah. Meskipun gerakan radikal dalam Islam diawali oleh kelompok Khawārij, bukan berarti bahwa Islam radikal identik dengan Khawārij. Dalam pembahasan Kelompok Islam Radikal ini, pengertian Radikal dipahami sebagai memahami agama Islam secara mengakar. Jadi dalam pengertian ini Kelompok Islam Radikal, adalah kelompok-kelompok yang ingin mengembalikan pemahaman Islam pada akarnya. Kelompok Islam Radikal bisa dikatakan sebagai kelompok reformis atau pembaharu dalam Islam. Kelompok radikal Islam, meskipun memiliki tujuan pemurnian ajaran Islam, tidak menerima penggunaan kekerasan dalam mensosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai Islam, bahkan kelompok ini sangat bersahabat, menginginkan perdamaian, berpengharapan pada hukum dan tata-aturan, dan menerima nilai-nilai positif dari masyarakat modern. Berikut ini akan dibahas secara ringkas organisasi-organisasi massa Islam yang dikelompokkan dalam Islam Radikal. Syi’ah (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia) Ijabi (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia) adalah sebuah organisasi massa non-politis yang berdiri tanggal 1 Juli 2000 untuk menghimpun kaum Muslimin yang beraliran Syi’ah. Dideklarasikan di Gedung Merdeka Bandung. Ijabi ingin menegakkan kembali semangat Asia Afrika dalam konteks pemberdayaan mustadh’afin di Indonesia. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina. Gerakan yang menitikberatkan perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ini dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama alumni Al-Azhar Mesir, dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina. Hizbut Tahrir kini telah berkembang ke seluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk di Afrika seperti Mesir, Libya, Sudan dan Aljazair. Juga ke Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara Eropah lainnya hingga ke Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Australia. Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan. Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan kegiatannya, dan Potensi ideologisasi Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir bergerak di tengah-tengah umat, dan bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem Khilafah dan menegakkan hukum yang diturunkan Allah dalam realitas kehidupan. Hizbut Tahrir merupakan organisasi politik, bukan organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah (seperti lembaga studi agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan (akademis), dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan). Ide-ide Islam menjadi jiwa, inti, dan sekaligus rahasia kelangsungan kelompoknya. (http://hizbuttahrir.or.id/tentang-kami/). Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah (FKAWJ) dan Laskar Jihad Organisasi ini dibentuk di Solo pada 14 Februari 1998, beberapa bulan menjelang lengsernya rezim Soeharto, dan dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib. Karakter utama forum ini adalah salafisme, yang menganjurkan pembacaan literal terhadap Al-Quran dan hadits, serta menolak seluruh penafsiran independen maupun praktek-praktek tradisional. FKAWJ memiliki sejumlah cabang di berbagai daerah Indonesia, lulusan perguruan tinggi dan yang putus kuliah. FKAWJ memiliki sayap paramiliter bernama Laskar Jihad yang dipimpin oleh Thalib sendiri. Popularitas Laskar Jihad melebihi FKAWJ lantaran mendapat publikasi yang luas dari media massa. Aksi Laskar Jihad antara lain pengiriman pejuangnya ke Maluku, sambil membuat suatu website yang menampilkan galeri foto kekejian Kristen di Maluku, laporan harian tentang kerusuhan Maluku dan tafsiran bilingual (Indonesia-Inggris) tentang makna Jihad. Laskar Jihad dibentuk pada Februari 2000, memang muncul dilatarbelakangi oleh pecahnya perang saudara antara kaum muslimin dan Kristen di Maluku pada awal 1999. Tujuannya adalah untuk melindungi kaum muslimin dari kelompok paramiliter Kristen yang tidak mampu dilakukan pemerintah, dan menggulingkan Presiden Abdurrahman Wahid dari kekuasaannya karena menolak menerapkan syariat, mengusulkan pencabutan larangan Partai Komunis, serta mewacanakan pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel. Operasi Laskar Jihad memperlihatkan ekses-eksesnya, pada Maret 2001, seorang anggota laskar jihad dipersalahkan telah melakukan zina dan dihukum oleh Thalib dengan rajam. Thalib ditangkap polisi atas tuduhan memprovokasi kerusuhan dan membunuh. Thalib dilepaskan dari penjara, tetapi tuntutan terhadapnya tidak dicabut. Pada awal 2002, karena menentang Deklarasi Malino sebagai momentum perdamaian Kristen-Muslim di Maluku, polisi kembali menangkap Thalib pada Mei 2002, tapi kasusnya lambat diselesaikan oleh pengadilan. Tiga hari setelah peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002, Thalib membubarkan Laskar Jihad dan menyerukan anggotanya kembali ke rumahnya masing-masing. Islam Teroris Sejak beberapa tahun terakhir, terorisme dianggap sebagai ancaman paling serius bagi kemanusiaan dan perdamaian dunia. Indonesia, dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, memberi definisi tindak pidana terorisme sebagai setiap tindakan dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Seseorang dalam pengertian di atas dapat bersifat perorangan, kelompok, orang sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual atau korporasi. Bagi Indonesia masalah terorisme ini merupakan masalah serius yang dihadapi oleh Bangsa dan Negara. Dari rangkaian aksi teror yang terjadi selama ini, telah dapat diungkap bahwa terorisme yang merebak merupakan aksi kekerasan bermotifkan ideologi radikal dan fundamental yang mengatas-namakan agama atau membajak agama sebagai alasan pembenar. Daulah Islamiyah. Gerakan-gerakan terorisme memiliki satu tujuan yakni mendirikan Daulah Islamiyah (negara Islam). Dalam konsep pemikiran mereka, suatu negara haruslah dijalankan berdasarkan syariat Islam. Konsep negara Islam ini dalam bayangan mereka akan menjadi pemerintahan yang mendunia. Kemudian mensyaratkan seluruh dunia dipimpin oleh seorang khalifah. Mengatasnamakan universalitas Islam kaum radikal hendak menguasai pemerintahan dan tata kehidupan dunia. Hijrah. Dalam konsep hijrah yang dipahami oleh anggota JI, hijrah adalah merupakan sebuah sikap yang menolak hidup keduniawian, meninggalkan keluarga dan berjuan di jalan Allah. Hijrah secara historis adalah perpindahan nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, karena dimusuhi, para pengikutnya disakiti, disiksa, dan dibunuh oleh kafir qurais. Aksi terorisme yang dilakukan oleh JI untuk mewujudkan cita-citanya adalah dengan cara Jihad yang dikesankan sebagai satu-satunya cara. Salah satu metode dalam Jihad ini adalah Istimata yang merupakan prinsip membunuh dengan cara bunuh diri. Potensi Ideologisasi Jihad Sejak jihad dieksternalisasikan Nabi Muhammad dan kaumnya empat belas abad silam, sejak itu jihad menjadi isu dan amalan penting yang bertahan hingga kini. Sejak itu pula jihad menjadi fenomena sosial yang menyejarah sekaligus fenomenal. Jihad tak hanya menjadi realitas bagi kaum muslimin, tetapi juga umat yang lain. Jihad telah menjadi makanan sehari-hari umat Islam. Sehingga umat Islam di luar Arab tak perlu lagi menerjemahkan jihad dalam bahasa ibunya. Kata jihad sudah mendarah daging sebagaimana kata Islam itu sendiri. Karena itu fenomena jihad selalu tergambar nyata. Bahkan umat Islam menyimpan pengalaman tentang jihad sebagai pengetahuan dan realitas sosial mereka. Mengikuti konstruksi sosial Berger, realitas sosial jihad menjadi teperlihara dengan ter’bahasa’kannya dalam Alquran, hadits, bukubuku/ manuskrip ulama yang terpelihara hingga kini. Agama (Islam) berhasil melegitimasikan jihad, terlebih dengan menjadikan agama sebagai ideology negara. Alhasil, bersatunya dua kekuatan besar (agama dan negara) selama berabad-abad (selama imperium Islam) menjadikan jihad sebagai realitas sosial yang tak terbantahkan, bahkan mustahil untuk dihilangkan. Sosialisasi jihad terus berlangsung seiring sosialisasi Islam. Jihad terus diinternalisasi oleh individu muslim, sehingga menjadi realitas subyektif. Realitas subyektif itu terus dieksternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena jihad memiliki makna yang luas, sehingga dapat dieksternalisasikan dalam setiap detik dan ruang kehidupan kaum muslim. Jihad mengisi keseharian rakyat Palestina. yang mengangkat senjata melawan Israel, menjadi titik tolak muslimin Irak mengusir Amerika dan sekutunya, menjadi jalan muslimin Amerika menyebarkan Islam rahmatan lil-’alamiin. Jihad juga menjadi ruh dakwah mubaligh-mubaligh Muhammadiyah dan kyai-kyai NU, perjuangan politik kader-kader PKS, dan perjuangan mengakkan syariat Islam bagi para mujahid-mujahid MMI. Jihad adalah sahabat umat Islam saat menunaikan sholat, puasa, dan haji, saat bekerja menghidupi keluarga, saat membantu mengentaskan rakyat miskin, dan saat mengkhidmatkan dirinya dalam ibadah, dimana pun dan kapan pun. Tak pelak, jihad memiliki kenyataan obyektif yang tak bisa dinihilkan. Namun di sisi lain, jihad adalah kenyataan subyektif –yang relatif, plural, dan dinamis. Jihad qital bisa menjadi nyata bagi sebagian orang, tapi bisa tidak menjadi ‘nyata’ bagi sebagian yang lain. Jihad memiliki keragaman makna (subyektif), tiap individu memiliki penafsiran sendiri-sendiri, dan penafsiran (makna subyektif) itu terus berproses – dan memungkinkan untuk berubah. (http://www.mediaislambushro.blogspot.com/) Alasan Seseorang Berafiliasi Dengan Kelompok Islam Partisipasi seorang muslim dalam suatu kelompok Islam terkait dengan persepsi positif tentang keniscayaan menyatunya agama dan masyarakat, agama dan negara, atau masyarakat dan negara harus dibangun atas dasar syariat Islam. Persepsi dan kepercayaan ini merupakan kerangka alasan bagi seorang muslim berpartisipasi dalam sebuah gerakan Islam. Dalam perspektif psikologi sosial, kerangka (frame) meliputi dua hal (Klandermans, 1997), yaitu perasaan tidak adil atas perlakuan terhadap suatu kelompok partisipan, identitas kelompok yang mendefinisikan ‘kita’ sebagai korban ketidakadilan oleh kelompok sosial lain atau penguasa, dan agensi. Perasaan diperlakukan tidak adil oleh seorang individu tidak serta merta membuat membuat seseorang berpartisipasi dalam suatu kelompok gerakan sosial, termasuk gerakan Islam. Dibutuhkan agensi untuk itu, terutama berkaitan dengan efikasi politik, yakni perasaan individu bahwa dengan terlibat dalam gerakan bersama-sama dengan anggota yang lain dapat merubah keadaan menjadi lebih baik, juga persepsi bahwa orang lain akan ikut serta, dan persepsi bahwa gerakan itu kemungkinan akan sukses (Klandermans, 1997). Dengan demikian, nilai-nilai Islam, pencitraan tentang masyarakat dan politik atas dasar Islam, saling berkaitan dengan aspek psikologis dari suatu gerakan. Mengenai nilai-nilai Islam, ada aspek lain yang mungkin sangat krusial bagi seseorang untuk terlibat dalam gerakan syariat Islam. Partisipasi dalam gerakan Islam bagi muslim mungkin punya makna yang sakral dan mungkin dipercaya sebagai suatu kewajiban yang diperintahkan agama. Konsep jihad atau berjuang di jalan Allah mungkin punya makna penting dalam gerakan ini (Firestone, 1999; Sivan, 1990). Variasi rasa wajib untuk berpartisipasi ini mungkin mendorong muslim untuk berpartisipasi dalam gerakan Islam. Kalaupun ia harus meninggal dalam gerakan tersebut maka kematiannya itu punya makna keagamaan tertentu, yakni mati syahid, yang berarti akan dijamin masuk surga. Peran Pemerintah Khususnya Intelijen Gerakan Islam teroris bukan hanya sebatas terror perkelompok ataupun perorangan, melainkan sebuah ideologi yang dipuja dan dianggap benar. Bahkan bagi para pengikutnya berlawanan dengan paham Jihad sendiri adalah sebuah penghianatan. Ketika seorang ulama atau pemimpin telah mendaulat suatu kelompok (negara) adalah kafir maka tidak perlu lagi bagi para pengikutnya untuk melihat dasar hukum baik secara hukum formal maupun hukum agama. Kesetiaan dan kepercayaan kepada imam mereka lah yang dipegang teguh dalam menjalankan peperangan yang mereka anggap dalam ranah jihad, bahkan tidak jarang mereka mengorbankan berbagai hal termasuk harta benda, nyawa bahkan keluarga mereka sendiri untuk tujuan imam mereka. Jihad yang telah ada di Indonesia adalah perkembangan dari warisan kelompok-kelompok Islam teroris yang pernah ada di Indonesia, musnahnya suatu kelompok teroris bukan berarti hilangnya ideologi Islam teroris yang ada di Indonesia. Ideologi akan terus disebarkan dan diturunkan oleh penganutnya, tanpa adanya pengwasan tidak menutup kemungkinan menyebabkan tumbuhnya kelompok-kelompok teroris baru. Penanganan yang hanya berupa pembunuhan dan penangkapan kelompok teroris hanya akan menjadikan negara sebagai musuh sejati bagi mereka. Penanggulangan yang berupa kekerasan juga akan menciptakan motivasi baru yaitu dendam. Kematian seorang imam bagi mereka adalah yang perlu dibalas. Untuk itulah perlu adanya penanggulangan dalam bentuk lainnya sebagai bentuk “perang ideologi”, yang salah satu caranya adalah dengan penggalangan. Penggalangan disini bukan hanya mengenai anti gerakan Islam teroris, tetapi juga dapat dilakukan dengan penggalangan mengenai Pancasila. Bukan hanya pada masyarakat kota ataupun pelajar, bahkan kepada ulama, petinggi agama dan masyrakat desa juga dilakukan penggalangan mengenai Pancasila, dengan melakukan penggalangan ideologi Pancasila secara otomatis kita melakukan counter ideologi Islam teroris. Jika perlu Gubernur pada masing-masing Provinsi melakukan program penggalangan masyarakat mengenai Pancasila, bahkan jika perlu pembuatan satgasus dalam menangani penggalangan terhadap daerah yang memiliki indikasi ideologi Islam teroris yang tinggi. Selain itu penanganan terhadap gerakan terorisme seharusnya bukan hanya ditangani oleh Densus 88 tetapi juga oleh TNI karena dapat disebut upaya penjatuhan pemerintahan (subversi), Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekuatan militer yang baik, tentu sangat bermanfaat dan memiliki dampak yang efisien dalam pembarantasan gerakan terorisme.