PERILAKU KONSUMSI ISLAM DI INDONESIA
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstract: Consumption is one form of human economic behavior in human life. Every
living thing must have activities including human consumption. In Islamic economics
customer satisfaction depends on religious values that are applied in routine activities
which are reflected in the money spent. Religious teachings that are carried out properly
prevent consumers from the nature of israf, because israf is a wasteful nature that is
consciously carried out to fulfill the demands of mere lust. Material and spiritual wellbeing is a goal to be achieved in the development process. This implies that the success of
development must be achieved not only in the material aspect, but also spiritually
Keywords: The Consumption Behavior, The Consumption, The Consumtion in Islam,
Islamic Economics Student
Pendahuluan
Islam memandang bahwa bumi dan segala isinya merupakan amanah dari Allah SWT.
kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk digunakan bagi kesejahteraan
umat manusia. Untuk mencapai tujuan yang suci ini Allah tidak meninggalkan manusia
sendirian, tetapi diberikannya petunjuk melalui para Rasul-Nya. Dalam petunjuk ini Allah
berikan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik aqidah, akhlak, maupun Islam.
Aqidah dan akhlak sifatnya konstan dan tidak mengalami perubahan dengan berbedanya
waktu dan tempat. Adapun komponen yang terakhir yakni “Islam” senantiasa berubah
sesuai kebutuhan dan taraf peradaban umat, dimana seorang Rasul diutus-Nya.
Islam mengajarkan agar setiap manusia menyadari bahwa pemilik yang sebenarnya
terhadap segala sesuatu yang dilangit maupun dimuka bumi, termasuk harta yang diperoleh
oleh setiap manusia bahkan diri manusia itu sendiri adalah Allah SWT. Kepemilikan
manusia terhadap harta bendanya hanya bersifat relatif, sebatas hak pakai. Hak pakai inipun
harus
sesuai
dengan
peraturan-Nya.
Kelak
setiap
manusia
akan
diminta
pertanggungjawabannya tentang pemakaian harta benda yang dititipkan oleh Allah itu telah
sesuai atau tidak dengan petunjuk dan ketentuan-Nya. Semua harta benda telah
diamanatkan Allah kepada manusia agar dijadikan sarana beribadah kepada-Nya. Di
samping itu, selalu diingatkan Allah bahwa harta benda tidak hanya sebagai perhiasan
hidup yang menyenangkan, tetapi juga sebagai pengujian keimanan dan ketakwaan
seseorang keapadanya.
Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian. Karena
tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi
mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab, mengabaikan
konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia
terhadap tugasnya dalam kehidupan.
Tulisan ini menganalisis tentang perilaku konsumsi masyarakat Indonesia yang
cenderung konsumtif sehingga tidak sesuai dengan konsumsi dalam ekonomi Islam. Secara
khusus, tulisan ini bertujuan menyikapi urgensi konsumsi dalam perekonomian,
implementasi nilai Islam dalam perilaku konsumsi masyarakat Indonesia. Pembahasan
tulisan ini membahas teori konsumsi, kebutuhan dan konsumsi dalam Islam, fungsi- fungsi
kesejahteraan, maximizer, utilitas oleh Imam Al Ghazali, Fungsi utility, dan optimal
solution.
Konsumsi merupakan kegiatan menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Konsumsi adalah semua penggunaan barang dan jasa yang dilakukan
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Barang dan jasa yang digunakan dalam
proses produksi tidak termasuk konsumsi, karena barang dan jasa itu tidak digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia. Barang dan jasa dalam proses produksi ini digunakan
untuk memproduksi barang lain.
Tindakan konsumsi dilakukan setiap hari oleh siapapun, tujuannya adalah untuk
memperoleh kepuasan setinggi-tingginya dan mencapai tingkat kemakmuran dalam arti
terpenuhi berbagai macam kebutuhan, baik kebutuhan pokok maupun sekunder, barang
mewah maupun kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Tingkat konsumsi memberikan
gambaran tingkat kemakmuran seseorang atau masyarakat. Adapun pengertian
kemakmuran disini adalah semakin tinggi tingkat konsumsi seseorang maka semakin
makmur, sebaliknya semakin rendah tingkat konsumsi seseorang berarti semakin miskin. 1
Konsumsi secara umum diartikan sebagai penggunaan barang-barang dan jasa yang
secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia.2 Untuk dapat mengkonsumsi,
seseorang harus mempunyai pendapatan, besar kecilnya pendapatan seseorang sangat
menentukan tingkat konsumsinya.
Teori Konsumsi Islam
Aturan dan kaidah konsumsi dalam sistem ekonomi Islam menganut paham
keseimbangan dalam berbagai aspek. Konsumsi yang dijalankan oleh seorang muslim tidak
boleh mengorbankan kemaslahatan individu dan masyarakat. Kemudian, tidak
diperbolehkan mendikotomi antara kenikmatan dunia dan akhirat, bahkan sikap ekstrim
pun harus dijauhkan dalam berkonsumsi. Larangan atas sikap tabzir dan israf bukan berarti
mengajak seorang muslim untuk bersikap bakhil dan kikir, akan tetapi mengajak kepada
konsep keseimbangan, karena sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan. (QS. Al-Isra’:
29).
Keimanan seorang Muslim dapat diukur dengan bagaimana seorang Muslim menjalani
kehidupannya sehari-hari sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan hadits. Dalam konteks
ekonomi, seorang Muslim diwajibkan untuk mengkonsumsi hal-hal yang baik saja. Yaitu
halal, baik halal menurut sifat zat, cara pemrosesan, dan cara mendapatkannya.
Mengkonsumsi barang dan jasa yang halal saja merupakan bentuk kepatuhan manusia
kepada Allah SWT, sebagai balasannya, manusia akan mendapatkan pahala sebagai bentuk
berkah dari barang dan jasa yang dikonsumsi.
1. Prinsip-prinsip Dasar dalam Konsumsi Menurut Islam
Konsumsi islam senantiasa memperhatikan halal-haram, komitmen dan
konsekuen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum syariat yang mengatur
konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin dan
mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak mudharat baik
bagi dirinya maupun orang lain. Adapun kaidah/ prinsip dasar konsumsi islami
adalah
1
2
Ibid.,51.
Todaro, Ekonomi dalam Pandangan Modern. Terj. (Jakarta: Bina Aksara, 2002), 213.
a. Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi
dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari:
Prinsip akidah, yaitu hakikat konsusmsi adalah sebagai sarana
untuk ketaatan/ beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia
sebagai makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah
di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh
pencipta-Nya.
Prinsip ilmu, yaitu. seorang ketika akan mengkonsumsi harus tabu
ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum
yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal
atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.
Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah
diketahui tentang konsumsi islami tersebut. Seseorang ketika
sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan
mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang tidak halal
atau syubhat.
b. Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah
dijelaskan dalam syariat islam, di antaranya
Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah
antara menghamburkan harta dengan pelit, tidak bermewahmewah, tidak mubadzir, dan hemat
Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam
mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang
dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.
Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan
untuk
konsumsi
tapi
juga
disimpan untuk kepentingan
pengembangan kekayaan itu sendiri.
c. Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus
diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, diantaranya adalah:
primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia
dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan
agama nya serta orang terdekat nya, seperti makanan pokok.
sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat
kualitas hidup yang lebih baik, misalnya konsumsi madu, susu dan
sebagainya.
tersier, yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang jauh lebih
membutuhkan.
d. Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya
sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
Kepentingan umat, yaitu sating menanggung dan menolong
sebagaimana bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah
satu anggotanya, maka anggota badan yang lain juga akan
merasakan sakitnya.
Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam
berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat
yang banyak mendapat sorotan di masyarakatnya.
Tidak membahayakan orang yaitu dalam mengkonsumsi justru
tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti
merokok.
e. Kaidah lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan
kondisi potensi daya dukung sumber daya alam dan keberlanjutannya atau
tidak merusak lingkungan.
f.
Tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak
mencerminkan etika konsusmsi islami seperti sutra menjamu dengan
tujuan
bersenang-senang
atau
memamerkan
kemewahan
dan
menghambur-hamburkan harta.
Teori konsumsi dalam islam ialah hal yang harus dikedepankan oleh umat islam, agar
segala yang dikonsumsi nantinya sesuai dengan aturan islam. Islam pun telah memberikan
perhatiannya terkait hal konsumsi. Bahwasannya kita sebagai umat islam tidaklah
sembarangan dalam mengonsumsi sesuatu, terdapat hal - hal yang perlu diperhatikan dalam
mengonsumsi. Kita sebagai umat islam dalam mengonsumsi di niat kan untuk beribadah
kepada Allah SWT bukan semata – mata hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani saja.
Kita pun perlu memiliki pengetahuan tentang apa yang akan dikonsumsi sehingga kita
dapat membedakan antara yang halal dan haram untuk dikonsumsi baik itu ditinjau dari
segi zatnya, prosesnya maupun tujuannya, karena ke halalan akan dapat berubah menjadi
haram apabila dalam proses pembuatannya terdapat hal yang dapat menjadikan makanan
tersebut haram, maka perlu diperhatikan oleh kita sebelum mengonsumsi baik mulai dari
bahannya, cara pembuatannya hingga akhirnya dapat dikonsumsi. Dalam mengonsumsi
pun kita tidaklah diperbolehkan bermewah – mewahan, kita cukup dengan mengonsumsi
sesuai dengan kebutuhan saja tanpa harus mengedepankan ego dalam hal mengonsumsi.
Dan terlebih dalam mengonsumsi kita haruslah memikirkan terkait halnya sumber daya
alam, hal yang perlu dihindari ialah jangan sampai apa yang kita konsumsi akan
mengakibatkan kerusakan lingkungan maka dari itu mengonsumsi perlulah sesuai dengan
kondisi potensi sumber daya.
Urgensi dan Tujuan Konsumsi Islam
Beberapa hal yang melandasi perilaku seorang muslim dalam berkonsumsi adalah
berkaitan dengan urgensi, tujuan dan etika konsumsi. Pengabaian terhadap konsumsi
berarti mengabaikan kehidupan manusia dan tugasnya dalam kehidupan. Manusia
diperintahkan untuk mengkonsusmsi pada tingkat yang layak bagi dirinya, keluarganya dan
orang paling dekat di sekitamya. Dalam kondisi darurat dan dikhawatirkan bisa
menimbulkan kematian, maka seseorang diperbolehkan untuk mengkonsusmsi sesuatau
yang haram dengan syarat sampai masa darurat itu hilang, tidak berlebihan dan pada
dasarnya memang dia tidak suka.Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai
sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsusmsi sesuatu
dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan
menjadikan konsusmsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala.
Dalam konsumsi, seorang muslim harus memperhatikan kebaikan (kehalalan) sesuatu
yang akan di konsumsinya. Para fuqaha' menjadikan memakan hal-hal yang baik ke dalam
empat titigkatan. Pertama,wajib, yaitu mengkonsumsi sesuatu yang dapat menghindarkan
diri dari kebinasaan dan tidak mengkonsusmsi kadar ini - padahal mampu- yang berdampak
pada dosa. Kedua, sunnah, yaitu mengkonsusmsi yang lebih dari kadar yang
menghindarkan diri dari kebinasaan dan menjadikan seoarang muslim mampu shalat
dengan berdiri dan mudah berpuasa. Ketiga, mubah, yaitu sesuatu yang lebih dari yang
sunnah sampai batas kenyang. Keempat, konsusmsi yang melebihi batas kenyang, yang
dalam hal ini terdapat dua pendapat, ada yang mengatakan makruh yang satunya
mengatakan haram.
Konsumsi islam akan menjauhkan seseorang dan sifat egois, sehingga seoarang
muslim akan menafkankan hartanya untuk kerabat terdekat (sebaik-baik infak), fakir
miskin dan orang-orang yang mumbutuhkan dalam rangka mendekatkan diri kepada
pencipta-Nya.
Pada dasarnya tujuan dari konsumsi islam ialah ditujukan untuk beribadah kepada
Allah SWT dengan mengonsumsi ditujukan beribadah kepada Allah SWT maka hal
tersebut akan dibalas dengan pahala, namun tak semua konsumsi bernilai pahala, jika kita
mengonsumsi hanya untuk memenuhi nafsu saja dengan mengonsumi secara bermewah –
mewahan sehingga dalam mengonsumsi tersebut tak terdapat point konsumsi yang
ditujukan untuk beribadah, sehingga tujuan konsumsi tersebut tidaklah sesuai dengan
hakikat tujuan konsumsi dalam islam.
Dalam keadaan darurat terkait hal konsumsi pun telah di atur oleh Allah SWT, sebut
saja jika kita dalam keadaan darurat seperti berada didalam hutan dan tidak ada makanan
yang dapat dimakan kecuali daging babi maka kita diperbolehkan memakan daging babi
tersebut karena alasan tidak ada lagi yang bisa dikonsumsi dan apabila ia tidak
mengonsumsi tersebut dapat membahayakan nyawanya, dan juga pada dasarnya kita tidak
menginginkan mengonsumsinya, tidak melampau batas maka mengonsumsi tersebut
tidaklah menjadikan dosa baginya, karena hal tersebut dilakukan dalam keadaan mendesak.
Kesejahteraan dalam Ekonomi Islam
Islam merupakan jalan hidup (way of life). Mencakup kehidupan jasmani dan rohani,
dunia dan akhirat, baik dalam kehidupan secara individual ataupun masyarakat dalam
membahas tentang batasan-batasan masyarakat Islam. Terdapat dua pendekatan asas-asas
masyarakat Islam, yaitu pertama pendekatan normatif, yang mencari ketentuan-ketentuan
berdasarkan ayat-ayat al-qur’an dan hadist dan menerapkan ketengah masyarakat. Kedua,
dengan memperhatikan baik ayat-ayat dan hadist tersebut maupun masyarakat itu sendiri. 3
Kebahagiaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia. Manusia akan memperoleh
kebahagiaan ketika seluruh kebutuhan dan keinginannya terpenuhi, baik dalam aspek
material maupun spritual, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Terpenuhinya
kebutuhan yang bersifat material seperti sandang, rumah, dan kekayaan lainnya, dewasa
ini lebih banyak mendapatkan perhatian dalam ilmu ekonomi. Terpenuhinya kebutuhan
material inilah yang disebut dengan sejahtera.
Kesejahteraan juga bermakna terpenuhinya segala kebutuhan hidup, baik material
maupun spritual secara merata bagi segenap rakyat. Dalam arti yang lebih luas,
3
Deliar Noer, Islam dan Masyarakat, (Jakarta, Yayasan Risalah, 2003), hlm. 55
kesejahteraan juga terpenuhinya hak-hak asasi manusia, terutama kebebasan sipil. Makna
implisit dari pengertian kebebasan diatas adalah bahwa setiap orang berhak untuk memiliki
kebebasan bekerja dan berusaha dalam kerjasama yang serasi. Hal Ini merupakan visi
ekonomi kesejahteraan islam.4
Islam memaknai “kesejahteraan” dengan istilah falah yang berarti kesejahteraan
holistik dan seimbang antara dimensi material dan spritual, individual-sosial dan
kesejahteraan dikehidupan duniawi dan akhirat. Sejahtera dunia diartikan sebagai segala
yang memberikan kenikmatan hidup indrawi, baik fisik, intelektual, biologis maupun
material. Sedangkan kesejahteraan akhirat diartikan sebagai kenikmatan yang akan
diperoleh setelah kematian manusia.
Falah berasal dari bahasa arab dari kata kerja aflaha-yuflihu yang berarti kesuksesan,
kemulian atau kemenangan. Dalam pengertian literal falah adalah kemuliaan dan
kemenangan, yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Selain itu falah diartikan
sebagai kesejahteraan lahiriyah yang dibarengi dengan kesejahteraan batiniah, kesenangan
duniawi dan ukhrawi, keseimbangan materil dan immateril. 5 Istilah falah menurut Islam
diambil dari kata-kata al-qur’an, yang sering dimaknai sebagai keberuntungan dalam
jangka panjang, dunia dan akhirat, sehingga tidak hanya memandang aspek material namun
justru ditekankan pada aspek spritual. Dalam konteks falah didunia falah yang merupakan
konsep yang multi dimensi. Ia memiliki implikasi pada aspek prilaku individual/mikro
maupun perilaku kolektif/makro.
Jika pada hakikatnya sejahtera ialah terpenuhinya segala kebutuhannya seperti dalam
halnya kebutuhan material seperti sandang, rumah, dan juga kekayaan lainnya. Namun lain
halnya dalam konteks ekonomi islam, kesejahteraan dalam islam berarti kesejahteraan
yang seimbang diantara segi material dan spiritual, antara individu dan sosial, antara
kehidupan duniawi dan akhirat. Itu artinya kata sejahtera tak semata – mata pada
terpenuhinya seluruh kebutuhan yang sifatnya material. Maka dari itu dalam islam
memaknai kesejahteraan dengan istilah falah yang dimana kesejahteraan yang diperoleh
tak hanya pada aspek material tetapi juga mencakup sejahtera dalam hal lahiriyah juga
batiniyah, duniawi juga ukhrawi, material juga immaterial. Maka dalam islam aspek
material tidaklah menjadikan patokan tercapainya kesejahteraan.
4
Chapra, Muhammad Umer, 2001, The Future Of Economics: An Islamic Perspective,
diterjemahkan oleh Amdiar Amir dick : Lanscape Baru Perekonomian Masa Depan, Jakarta: SEBI
5
Abdul Azis, Etika Bisnis Perspektif Islam; Implementasi Etika Islami untuk Dunia Usaha,
(Bandung: Alfabeta, 2013), hlm. 6
Konsep Mashlahah Sebagai Fungsi Kesejahteraan Menurut Islam
Tujuan utama konsumsi bagi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk
beribadah kepada Allah. Sesungguhnya konsumsi selalu didasari niat untuk meningkatkan
stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah, sehingga menjadikan konsumsi juga
bernilai ibadah. Sebab hal-hal yang mubah bisa menjadi ibadah jika disertai niat
pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah, dalam hal ini dimaksudkan untuk menambah
potensi mengabdi kepada-Nya. Dalam ekonomi Islam, konsumsi dinilai sebagai sarana
wajib yang tidak bisa diabaikan oleh seorang muslim untuk merealisasikan tujuan dalam
penciptaan manusia, yaitu mengabdi sepenuhnya hanya kepada Allah untuk mencapai
falah.
Falah dapat terwujud apabila kebutuhan-kebutuhan hidup manusia terpenuhi secara
seimbang. Tercukupinya kebutuhan masyarakat akan memberikan dampak yang disebut
mashlahah. Mashlahah adalah segala bentuk keadaan, baik material maupun non material
yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia.
Kandungan mashlahah terdiri atas manfaat dan berkah. Dalam konsumsi, seorang
konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan
konsumsinya. Konsumen akan merasakan adanya manfaat dalam konsumsi ketika
kebutuhannya terpenuhi. Berkah akan diperoleh ketika ia mengkonsumsi barang dan jasa
yang dihalalkan oleh syariat islam.
Mashlahah yang diterima oleh seorang konsumen ketika mengkonsumsi barang dapat
berbentuk salah satu diantara hal-hal sebagai berikut :
1. Manfaat material, yaitu diperolehnya tambahan harta bagi konsumen berupa harga
yang murah, diskon, kecilnya biaya, dsb.
2. Manfaat fisik dan psikis, yaitu terpenuhinya kebutuhan baik fisik maupun psikis dan
terpenuhinya kebutuhan akal manusia
3. Manfaat intelektual, yaitu terpenuhinya kebutuhan informasi, pengetahuan,
keterampilan, dll
4. Manfaat lingkungan, yaitu manfaat yang bisa dirasakan selain pembeli misalnya,
mobil mini bus akan dirasakan manfaatnya oleh lebih banyak orang jika
dibandingkan dengan mobil sedan.
5. Manfaat jangka panjang, yaitu terpeliharanya manfaat untuk generasi yang akan
datang, misalnya hutan tidak dirusak habis untuk kepentingan generasi penerus.
Disamping itu kegiatan konsumsi akan membawa berkah bagi konsumen jika :
Barang yang dikonsumsi bukan merupakan barang haram
Barang yang dikonsumsi tidak secara berlebihan
Barang yang dikonsumsi didasari oleh niat untuk mendapatkan ridho Allah
Konsep maslahah, memiliki makna yang lebih luas dari sekadar utility atau
kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan
hukum syara' yang paling utama. Menurut Imam Ghazali, maslahah adalah sifat atau
kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari
kehidupan manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar maslahah, yakni:
kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan(al-din),
intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa
yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada
setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim
dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan maslahah atau bukan bagi
dirinya. Berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh
syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang
mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun
syariah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut
menjadi gugur. Maslahah orang per orang akan konsisten dengan maslahah orang
banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan
optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau
kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang
lain.
Persamaan Dan Perbedaan Teori Konsumsi Ekonomi Konvensional dan Teori
Konsumsi Ekonomi Islam
1. Persamaan
Pada konsep ini baik ekonomi Islam maupun konvensional sepakat bahwasanya
konsumsi merupakan:
a. Kebutuhan untuk mempertahankan hidup sebagai motif umum dalam
pandangan ekonomi, sebab konsumsi secara umum adalah pembelanjaan
atau pengeluaran yang bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan hidup
secara jasmani.
b. Konsumsi menyangkut pemenuhan kebutuhan dan keinginan individuindividu sehingga membentuk kegiatan yang dilakukan oleh manusia
adalah kegiatan ekonomi.
c. Dalam pemenuhan kebutuhan, baik ekonomi Islam maupun konvensional
mengakui bahwa kebutuhan manusia meliputi: kebutuhan primer sebagai
kebutuhan dasar manusia, kebutuhan sekunder sebagai pelengkap dan
kebutuhan tersier.
2. Perbedaan
Secara umum menurut pandangan ekonomi Islam dan ekonomi konvensional
dalam berkonsumsi terdapat perbedaan signifikan, yang membedakan antara
pemikiran ekonomi Islam dan konvensional yaitu:
a. Sumber daya pemikiran ekonomi berasal dari tuntunan Nabi Muhammad
melalui al-Qur’an dan Hadis, yang telah memberikan arahan sesuai dengan
prinsip dan kaidah syariat Islam sehingga membentuk karakter atau
pribadi yang Islami. Sedangkan menurut ilmu ekonomi konvensional,
sesuai dengan pemahaman tentang rational economics man, tindakan
individu dianggap rasional yang tertumpu kepada kepentingan diri sendiri
yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas, dan lebih
mendahulukan akal. Dalam ekonomi konvensional, perilaku rasional
dianggap equivalen (Equivalent) dengan memaksimalkan utility.
b. Aspek sosial, Islam sangat memperhatikan bagaimana cara manusia hidup
bermasyarakat, antara orang kaya dan kaum miskin harus terjalin
hubungan yang dinamis sehingga tidak terjadi ketimpangan sosial.
Sedangkan ekonomi konvensional mengabaikan aspek ini, bebas dari
pertimbangan pemerataan sosial, dan karenanya berlaku universal.
c. Tujuan kehidupan, ekonomi Islam memiliki konsep al-falah (kejayaan)
baik di dunia maupun di akhirat, karena dalam ajaran Islam yakin
bahwasanya kehidupan yang kekal yaitu di akhirat nanti. Sedangkan dalam
ekonomi konvensional tidak memperhatikan unsur waktu bebasnya
manusia hidup terbatas hanya di dunia saja tanpa memperhatikan
kehidupan setelah mati yaitu kehidupan di akhirat.
d. Konsep halal haram, ekonomi Islam sangat berhati-hati berbicara tentang
konsumsi, ada batasan-batasan tertentu yang harus diperhatikan oleh umat
muslim, yaitu antara halal dan haram, baik dari dzatnya ataupun cara
mendapatkannya. Sedangkan dalam ekonomi konvensional tidak
memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram.
Optimal Solution
Sesuai dengan asumsi rasionalitas,maka konsumsi seorang muslim akan bertindak
rasional.oleh sebab itu pengambilan keputusan dari seorang konsumen senantisa
didasarkan pada perbandingan antar berbagai refrensi,peluang dan manfaat serta madharat
yang ada.konsumen yang rasioanl selalu selalu berusaha menggapai prefrensi tertinggi dari
segenap peluang dan manfaaat yang tersedia.konsumen yang rasional berarti konsumen
yang memilih suatu kombinasi komoditas yang akan memberikan tingkat utilitas paling
besar.utilitas disini juga meliputi maslahat dan madharat yang ditimbulkan dari
mengonsumsi komoditas tersebut.
Dengan demikian, kepuasaan maksimum seorang konsumen terjadi pada titik dimana
terjadi persinggungan antara kurva indifference dengan budget line. Konsumen akan
memaksimalkan pilihannya dengan dua cara:
1) Memaksimalkan utility function pada budget line tertentu
Kombinasi Barang
Jumlah barang X yang
Jumlah barang Y yang Pengeluaran
dikonsumsi
dikonsumsi
total
B
20
30
$80
R
20
20
$60
S
10
30
$70
Dengan tingkat pengeluaran tertentu yaitu $80, maka kombinasi barang B lebih baik
daripada kombinasi R dan S. Kombinasi B lebih baik daripada R, karena dapat
mengkonsumsi barang Y lebih banyak; dari segi total pengeluaran pun terlihat bahwa
masih ada yang tidak termanfaatkan sebesar $20. Kombinasi B lebih baik daripada
kombinasi S, karena dapat mengonsumsi barang X lebih banyak; dari segi total pengeluaran
pun terlihat bahwa masih ada yang tidak termanfaatkan sebesar $10.
2) Meminimalkan budget line pada utility function tertentu
Kombinasi
Jumlah barang X
Jumlah barang Y
Pengeluaran
Barang
Yang dikonsumsi
Yang dikonsumsi
total
B
20
30
$80
T
20
30
$90
Untuk mengonsumsi 20X dan 30Y cukup diperlukan uang $80. Oleh karenanya
kombinasi B lebih baik daripada kombinasi T, karena untuk mendapatkan T ia harus
membayar lebih mahal untuk jumlah barang yang sama. Untuk mengonsumsi barang x dan
y dengan tingkat kepuasan yang sama, seorang konsumen mempunyai beberapa alternatif
garis anggaran yang dibutuhkan.
Dengan demikian, optimalisasi konsumen akan terbentuk pada budget line paling kecil
untuk mendapatkan kepuasan yang sama.
Fungsi Kesejahteraan, Maximizer dan Utilitas oleh Imam Al-Ghazali
Dalam meningkatkan kesejahteraan sosial, Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan
mengidentifikasikan semua masalah yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun
mafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya ia
mendefinisikan fungsi sosial dalam kerangka hierarki kebutuhan individu dan sosial.
Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung
kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar:
1. agama (al-dien)
2. hidup atau jiwa (nafs)
3. keluarga atau keturunan (nasl)
4. harta atau kekayaaan (maal)
5. intelek atau akal (aql)
Ia menitik beratkan bahwa sesuai tuntunan wahyu “kebaikan dunia ini dan akhirat
(maslahat al-din wa al-dunya) merupakan tujuan utamanya”.6
Ia mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka
hierarki utilitas individu dan sosial yang triparti meliputi kebutuhan (daruriat), kesenangan
atau kenyaman (hajaat), dan kemewahan (tahsinaat) sebuah tradisi peninggalan aritotelian,
6
Karim A. Adiwarman,” Ekonomi Mikro Islam “, Jakarta: Rajawali Pers, Hal:62.
yang disebut oleh seorang sarjana sebagai “kebutuhan ordinal” (kebutuhan dasar,
kebutuhan terhadap barang-barang “eksternal” dan terahadap barang-barang psikis). Kunci
pemeliharaan dari kelima tujuan dasar ini terletak pada penyediaan tingkat pertama, yaitu
kebutuhan seperti makanan, pakaian, dan perumahan. Namun demikian Ghazali menyadari
bahwan kebutuhan-kebutuhan dasar demikian cenderung fleksibel mengikuti waktu dan
tempat dan dapat mencakup dan bahkan kebutuhan-kebutuhan sosiopsikologis.
Walaupun keselamatan merupakan tujuan akhir, Al-Ghazali tidak ingin bila pencarian
keselamatan ini sampai mengabaikan kewajiban-kewajiban duniawi seseorang. Bahkan
pencarian seseorang. Bahkan pencaharian kegiatan-kegiatan ekonomi bukan saja
dinginkan tetapi merupakan keharusan bila ingin mencapai keselamatan. Ia menitik
beratkan “jalan tengah” dan “kebenaran” niat seseorang dalam tindakan. Bila niatnya
sesuai dengan atauran ilahi, maka aktivits ekonomi serupa dengan ibadah yang merupakan
bagian dari panggilan seseorang. 7
Jelaslah kalau Al-Ghazali tidak hanya menyadari keinginan manusia mengumpulkan
kekayaan, tetapi juga kebutuhannya untuk persiapan dimasa depan. Namun demikian, ia
memperingatkan bahwa jika semanagat “selalu ingin lebih” ini menjurus kepada
keserakahan dan pengajaran nafsu pribadi, maka hal itu dikutuk. Dalam pengertian inilah
ia memandang kekayaan sebagai “ujian terbesar”. 8
Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen islam karena memiliki alokasi untuk halhal yang menyangkut akhirat, akan mengonsumsi barang lebih sedikit di bandingkan
nonmusllim. Hal yang membatasinya inilah disebut dengan konsep mashlahah seperti yang
telah dijelaskan oleh Al-Ghazali. Dalam membandingkan konsep kepuasan dan konsep
‘pemenuhan kebutuhan’ (yang terkandung didalamnya mashlahah), kita sangat perlu
membandingkan antara tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara’ yakni antara lain sebagai
berikut:
a. Daruriyyah : Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar
bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya
lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama, akal/intelektual,
keturunan dan keluarga, serta harta benda. Jika tujuan ini di abaikan maka tidak
Karim A. Adiwarman,” Ekonomi Mikro Islam “, Jakarta: Rajawali Pers, Hal:63.
Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),
Cet. Ke 1
7
8
aka nada kedamaian, yang timbul hanyalah kerusakan (fasad) di dunia dan
kerugian yang nyata di akhirat.
b. Hajiyyah : Syari’ah yang bertujuan untuk mempermudah kehidupan dan
menghilangkan kesempitan. Hukum syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan
untuk memelihara lima hal pokok tadi melainkan menghilangkan kesempitan dan
berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut
c. Tahsiniyyah : Syari’ah yang menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di
dalamnya. Terdapat beberapa provisi di dalam syari’ah yang di maksudkan untuk
mencapai
pemanfaatan
yang
lebih
baik.keindahan
dan
simplifikasi
dari daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya dibolehkanya memakai baju yang nyaman
dan indah. 9
Perilaku Konsumsi
Perilaku konsumsi semestinya dapat memperhatikan aspek-aspek yang tergolong
kebutuhan primer (dharuriyat) kemudian sekunder (hajjiyat) dan trisier (tahsiniyat) sesuai
dengan semangat al-maqashid asy- syari’ah, sehingga dalam memenuhi kebutuhan
seorang konsumen lebih mengedepankan aspek kebutuhan dari pada aspek keingingan
demi membatasi kebutuhan dan kengingan manusia yang sifatnya senantiasa tidak terbatas.
Dalam pandangan Islam perilaku konsumsi harus menghindari perilaku isrāf dan tabżīr
dalam menggunakan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebagai rambu-rambu
dalam konsumsi pangan semestinya manusia secara umum dan muslim secara khusus
untuk senantiasa menjaga unsur ke-halāl- an dan ke-ṭayyiban-an dalam konsumsi sebagai
langkah untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani.
Perilaku konsumsi dalam ekonomi Islam bertujuan untuk tercapainya aspek materil
dan aspek spiritual dalam konsumsi, kedua aspek tersebut akan tercapai dengan
menyeimbangkan antara nilai guna total (total utility) dan nilai guna marginal (marginal
utility) dalam konsumsi. Sehingga setiap muslim akan berusaha memaksimumkan nilai
guna dari tiap barang yang di konsumsi, yang akan menjadikan dirinya semakin baik dan
semakin optimis dalam menjalani hidup dan kehidupan.
Berdasarkan data BPS menunjukkan konsumsi masyarakat pada makanan dan non
makanan cenderung naik. Keadaan ini menunjukkan preferensi masyarakat Indonesia
Utama, Mufraeni, Huda dan Setyanto Edwin Mustafa, “Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam”,
Jakarta:Kencana Prenada Media Group, hal:64.
9
terhadap makanan dari pada konsumsi yang bukan makanan. Padahal Islam menganjurkan
untuk mengkonsumsi makanan sekedarnya. Masyarakat Indonesia lebih cenderung
mengutamakan utilitas ketimbang mashlahah, sehingga Indonesia dianggap sebagai pasar
yang sangat prospek terutama dibidang kuliner. Islam mengajarkan untuk hidup sederhana
tidak bersifat israf (royal) dan tabzir (sia-sia). Sehingga Konsumsi yang dikeluarkan umat
Islam haruslah sesuai dengan kebutuhan bukan karena memperturutkan hawa nafsu.
Perilaku konsumsi terhadap makanan yang berlebihan ini menyebabkan masyarakat
cendrung malas berinvestasi terutama investasi akhirat (sedekah dan sebagainya). Islam
menganjurkan bahwa pendapatan tidak hanya terdistribusikan pada konsumsi saja, akan
tetapi ada yang harus didistribusikan untuk zakat, infaq, sedekah dan sebagainya. Oleh
karena itu konsep harta dalam Islam bukanlah kepemilikan manusia secara mutlak,
melainkan ada hak Allah yang harus di keluarkan dari pendapatan itu, yaitu untuk
kebutuhan investasi akhirat.
Dalam analisis konsumsi konvensional dijelaskan bahwa perilaku konsumsi seseorang
adalah dalam upaya untuk memenuhi kebutuhannya sehingga tercapai kepuasan yang
optimal. Penjelasan mengenai perilaku konsumen yang paling sederhana adalah di dapati
dalam hukum permintaan. Yang menyatakan bahwa “bila harga suatu barang naik maka
ceteris paribus jumlah yang diminta konsumen akan barang tersebut menurun”. Dan
sebaliknya bila hara barang tersebut menurun. Ceterus paribus berarti bahwa semua faktorfaktor lain yang mempengaruhi jumlah yang diminta dianggap tidak berubah.
Sedangkan menurut Engel perilaku konsumsi adalah tindakan yang terlibat langsung
dalam mendapatkan, mengonsumsi dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses
keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan itu. Dan menurut Loudon dan Bitta,
perilaku konsumsi adalah suatu proses pengambilan keputusan yang mensyaratkan
perilaku individu untuk mengevaluasi, memperoleh, menggunakan dan mengatur barang
dan jasa. Adapun menurut Kotler dan Amstrong, perilaku konsumsi adalah perilaku
individu ataupun rumah tangga dalam bentuk pembelian barang dan jasa untuk konsumsi
personal.
Ada dua pendekatan untuk menerangkan mengapa konsumen berperilaku yang
dinyatakan oleh hukum permintaan:
1. Pendekatan marginal utility, yang bertitik tolak pada anggapan bahwa kepuasan
(utility) setiap konsumen bisa diukur dengan uang atau dengan satuan lain (utility
yang bersifat “cardinal”) seperti kita mengukur volume air, panjang jalan atau berat
dari sekarung beras.
2. Pendekatan indifirence curve, yang tidak memerlukan adanya anggapan bahwa
kepuasan konsumen bisa diukur; anggapan yang dipelukan adalah bahwa tingkat
kepuasan konsumen bisa dikatakan lebih tinggi atau lebih rendah tanpa
mengatakan berapa lebih tinggi atau lebih rendah (utility yang bersifat “ordinal”).
Sedangkan dalam analisis konsumsi Islam, perilaku konsumsi seorang muslim tidak
hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan jasmani, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan
rohani. Sehingga dalam perilaku konsumsi seorang muslim senantiasa memperhatikan
syariat Islam. Misalnya, apakah barang dan jasa yang dikonsumsi halal atau haram, apa
tujuan seorang muslim melakukan aktivitas konsumsi, bagaimana etika dan moral seorang
muslim dalam berkonsumsi, bagaimana bentuk perilaku konsumsi seorang muslim
dikaitkan dengan keadaan lingkungannya.
Dalam perspektif ekonomi Islam. perilaku konsumsi seorang muslim didasarkan pada
beberapa asumsi sebagaimana dikemukakan oieh Monzer Kahf yang dikutip oleh
Imamudin Yuliadi, yaitu:
1. Islam merupakan suatu agama yang diterapkan di tengah masyarakat.
2. Zakat hukumnya wajib.
3. Tidak ada riba dalam masyarakat.
4. Prinsip mudharabah diterapkan dalam aktivitas bisnis.
5. Konsumen berperilaku rasional yaitu berusaha mengoptimalkan kepuasan
Penutup
Pada dasarnya setiap manusia selalu menginginkan kehidupannya di dunia dalam
keadaan bahagia, baik secara material maupun spritual, individual maupun sosial. Namun,
dalam praktiknya kebahagiaan multidimensi ini sangat sulit diraih karena keterbatasan
kemampuan manusia dalam memahami dan menerjemahkan keinginannya secara
komprehensif. Di dalam teori ekonomi, kepuasan seseorang dalam mengkonsumsi suatu
barang dinamakan dengan utility atau nilai guna. Kalau kepuasan terhadap sutu benda
semakin tinggi, maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Sebaliknya bila kepuasan terhadap
suatu benda semakin rendah maka semakin rendah pula nilai gunanya.
Kesejahteraan material dan spiritual merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam
proses pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan haruslah
dicapai tidak saja dalam aspek material, tetapi juga dalam aspek spiritual. Islam memaknai
“kesejahteraan” dengan istilah falah yang berarti kesejahteraan holistik dan seimbang
antara dimensi material dan spritual, individual-sosial dan kesejahteraan dikehidupan
duniawi dan akhirat. Sejahtera dunia diartikan sebagai segala yang memberikan
kenikmatan hidup indrawi, baik fisik, intelektual, biologis maupun material. Sedangkan
kesejahteraan akhirat diartikan sebagai kenikmatan yang akan diperoleh setelah kematian
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Boediono, Ekonomi Mikro, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi Edisi 2, (Yogyakarta,
BPFE Yogyakarta, 1982)
James, Michael Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, (Jakarta: Ghalia, 2001)
Karim A. Adiwarman,” Ekonomi Mikro Islam “, Jakarta: Rajawali Pers
Chapra, Muhammad Umer, 2001, The Future Of Economics: An Islamic Perspective,
diterjemahkan oleh Amdiar Amir dick : Lanscape Baru Perekonomian Masa
Depan, Jakarta: SEBI
Noer, Deliar Islam dan Masyarakat, (Jakarta, Yayasan Risalah, 2003)
Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), Cet. Ke 1
P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2008)
Prathama Rahardja & Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro Suatu pengantar,
(Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2008)
Rahardjo, M.Darmawan Arsitektur
Todaro, Ekonomi dalam Pandangan Modern. Terj. (Jakarta: Bina Aksara, 2002)
Utama, Mufraeni, Huda dan Setyanto Edwin Mustafa, “Pengenalan Eksklusif Ekonomi
Islam”, Jakarta:Kencana Prenada Media Group