Academia.eduAcademia.edu

PERILAKU KONSUMSI ISLAM DI INDONESIA

2020, PERILAKU KONSUMSI ISLAM DI INDONESIA

Consumption is one form of human economic behavior in human life. Every living thing must have activities including human consumption. In Islamic economics customer satisfaction depends on religious values that are applied in routine activities which are reflected in the money spent. Religious teachings that are carried out properly prevent consumers from the nature of israf, because israf is a wasteful nature that is consciously carried out to fulfill the demands of mere lust. Material and spiritual well-being is a goal to be achieved in the development process. This implies that the success of development must be achieved not only in the material aspect, but also spiritually Pendahuluan Islam memandang bahwa bumi dan segala isinya merupakan amanah dari Allah SWT. kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk digunakan bagi kesejahteraan umat manusia. Untuk mencapai tujuan yang suci ini Allah tidak meninggalkan manusia sendirian, tetapi diberikannya petunjuk melalui para Rasul-Nya. Dalam petunjuk ini Allah berikan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik aqidah, akhlak, maupun Islam. Aqidah dan akhlak sifatnya konstan dan tidak mengalami perubahan dengan berbedanya waktu dan tempat. Adapun komponen yang terakhir yakni "Islam" senantiasa berubah sesuai kebutuhan dan taraf peradaban umat, dimana seorang Rasul diutus-Nya. Islam mengajarkan agar setiap manusia menyadari bahwa pemilik yang sebenarnya terhadap segala sesuatu yang dilangit maupun dimuka bumi, termasuk harta yang diperoleh

PERILAKU KONSUMSI ISLAM DI INDONESIA [email protected] [email protected] [email protected] [email protected] [email protected] [email protected] [email protected] [email protected] UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Abstract: Consumption is one form of human economic behavior in human life. Every living thing must have activities including human consumption. In Islamic economics customer satisfaction depends on religious values that are applied in routine activities which are reflected in the money spent. Religious teachings that are carried out properly prevent consumers from the nature of israf, because israf is a wasteful nature that is consciously carried out to fulfill the demands of mere lust. Material and spiritual wellbeing is a goal to be achieved in the development process. This implies that the success of development must be achieved not only in the material aspect, but also spiritually Keywords: The Consumption Behavior, The Consumption, The Consumtion in Islam, Islamic Economics Student Pendahuluan Islam memandang bahwa bumi dan segala isinya merupakan amanah dari Allah SWT. kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk digunakan bagi kesejahteraan umat manusia. Untuk mencapai tujuan yang suci ini Allah tidak meninggalkan manusia sendirian, tetapi diberikannya petunjuk melalui para Rasul-Nya. Dalam petunjuk ini Allah berikan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik aqidah, akhlak, maupun Islam. Aqidah dan akhlak sifatnya konstan dan tidak mengalami perubahan dengan berbedanya waktu dan tempat. Adapun komponen yang terakhir yakni “Islam” senantiasa berubah sesuai kebutuhan dan taraf peradaban umat, dimana seorang Rasul diutus-Nya. Islam mengajarkan agar setiap manusia menyadari bahwa pemilik yang sebenarnya terhadap segala sesuatu yang dilangit maupun dimuka bumi, termasuk harta yang diperoleh oleh setiap manusia bahkan diri manusia itu sendiri adalah Allah SWT. Kepemilikan manusia terhadap harta bendanya hanya bersifat relatif, sebatas hak pakai. Hak pakai inipun harus sesuai dengan peraturan-Nya. Kelak setiap manusia akan diminta pertanggungjawabannya tentang pemakaian harta benda yang dititipkan oleh Allah itu telah sesuai atau tidak dengan petunjuk dan ketentuan-Nya. Semua harta benda telah diamanatkan Allah kepada manusia agar dijadikan sarana beribadah kepada-Nya. Di samping itu, selalu diingatkan Allah bahwa harta benda tidak hanya sebagai perhiasan hidup yang menyenangkan, tetapi juga sebagai pengujian keimanan dan ketakwaan seseorang keapadanya. Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian. Karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab, mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan. Tulisan ini menganalisis tentang perilaku konsumsi masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif sehingga tidak sesuai dengan konsumsi dalam ekonomi Islam. Secara khusus, tulisan ini bertujuan menyikapi urgensi konsumsi dalam perekonomian, implementasi nilai Islam dalam perilaku konsumsi masyarakat Indonesia. Pembahasan tulisan ini membahas teori konsumsi, kebutuhan dan konsumsi dalam Islam, fungsi- fungsi kesejahteraan, maximizer, utilitas oleh Imam Al Ghazali, Fungsi utility, dan optimal solution. Konsumsi merupakan kegiatan menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konsumsi adalah semua penggunaan barang dan jasa yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi tidak termasuk konsumsi, karena barang dan jasa itu tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Barang dan jasa dalam proses produksi ini digunakan untuk memproduksi barang lain. Tindakan konsumsi dilakukan setiap hari oleh siapapun, tujuannya adalah untuk memperoleh kepuasan setinggi-tingginya dan mencapai tingkat kemakmuran dalam arti terpenuhi berbagai macam kebutuhan, baik kebutuhan pokok maupun sekunder, barang mewah maupun kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Tingkat konsumsi memberikan gambaran tingkat kemakmuran seseorang atau masyarakat. Adapun pengertian kemakmuran disini adalah semakin tinggi tingkat konsumsi seseorang maka semakin makmur, sebaliknya semakin rendah tingkat konsumsi seseorang berarti semakin miskin. 1 Konsumsi secara umum diartikan sebagai penggunaan barang-barang dan jasa yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia.2 Untuk dapat mengkonsumsi, seseorang harus mempunyai pendapatan, besar kecilnya pendapatan seseorang sangat menentukan tingkat konsumsinya. Teori Konsumsi Islam Aturan dan kaidah konsumsi dalam sistem ekonomi Islam menganut paham keseimbangan dalam berbagai aspek. Konsumsi yang dijalankan oleh seorang muslim tidak boleh mengorbankan kemaslahatan individu dan masyarakat. Kemudian, tidak diperbolehkan mendikotomi antara kenikmatan dunia dan akhirat, bahkan sikap ekstrim pun harus dijauhkan dalam berkonsumsi. Larangan atas sikap tabzir dan israf bukan berarti mengajak seorang muslim untuk bersikap bakhil dan kikir, akan tetapi mengajak kepada konsep keseimbangan, karena sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan. (QS. Al-Isra’: 29). Keimanan seorang Muslim dapat diukur dengan bagaimana seorang Muslim menjalani kehidupannya sehari-hari sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan hadits. Dalam konteks ekonomi, seorang Muslim diwajibkan untuk mengkonsumsi hal-hal yang baik saja. Yaitu halal, baik halal menurut sifat zat, cara pemrosesan, dan cara mendapatkannya. Mengkonsumsi barang dan jasa yang halal saja merupakan bentuk kepatuhan manusia kepada Allah SWT, sebagai balasannya, manusia akan mendapatkan pahala sebagai bentuk berkah dari barang dan jasa yang dikonsumsi. 1. Prinsip-prinsip Dasar dalam Konsumsi Menurut Islam Konsumsi islam senantiasa memperhatikan halal-haram, komitmen dan konsekuen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum syariat yang mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak mudharat baik bagi dirinya maupun orang lain. Adapun kaidah/ prinsip dasar konsumsi islami adalah 1 2 Ibid.,51. Todaro, Ekonomi dalam Pandangan Modern. Terj. (Jakarta: Bina Aksara, 2002), 213. a. Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari:  Prinsip akidah, yaitu hakikat konsusmsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/ beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh pencipta-Nya.  Prinsip ilmu, yaitu. seorang ketika akan mengkonsumsi harus tabu ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.  Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut. Seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang tidak halal atau syubhat. b. Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat islam, di antaranya  Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta dengan pelit, tidak bermewahmewah, tidak mubadzir, dan hemat  Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.  Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri. c. Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, diantaranya adalah:  primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agama nya serta orang terdekat nya, seperti makanan pokok.  sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, misalnya konsumsi madu, susu dan sebagainya.  tersier, yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang jauh lebih membutuhkan. d. Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:  Kepentingan umat, yaitu sating menanggung dan menolong sebagaimana bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka anggota badan yang lain juga akan merasakan sakitnya.  Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di masyarakatnya.  Tidak membahayakan orang yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok. e. Kaidah lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya alam dan keberlanjutannya atau tidak merusak lingkungan. f. Tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsusmsi islami seperti sutra menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-hamburkan harta. Teori konsumsi dalam islam ialah hal yang harus dikedepankan oleh umat islam, agar segala yang dikonsumsi nantinya sesuai dengan aturan islam. Islam pun telah memberikan perhatiannya terkait hal konsumsi. Bahwasannya kita sebagai umat islam tidaklah sembarangan dalam mengonsumsi sesuatu, terdapat hal - hal yang perlu diperhatikan dalam mengonsumsi. Kita sebagai umat islam dalam mengonsumsi di niat kan untuk beribadah kepada Allah SWT bukan semata – mata hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani saja. Kita pun perlu memiliki pengetahuan tentang apa yang akan dikonsumsi sehingga kita dapat membedakan antara yang halal dan haram untuk dikonsumsi baik itu ditinjau dari segi zatnya, prosesnya maupun tujuannya, karena ke halalan akan dapat berubah menjadi haram apabila dalam proses pembuatannya terdapat hal yang dapat menjadikan makanan tersebut haram, maka perlu diperhatikan oleh kita sebelum mengonsumsi baik mulai dari bahannya, cara pembuatannya hingga akhirnya dapat dikonsumsi. Dalam mengonsumsi pun kita tidaklah diperbolehkan bermewah – mewahan, kita cukup dengan mengonsumsi sesuai dengan kebutuhan saja tanpa harus mengedepankan ego dalam hal mengonsumsi. Dan terlebih dalam mengonsumsi kita haruslah memikirkan terkait halnya sumber daya alam, hal yang perlu dihindari ialah jangan sampai apa yang kita konsumsi akan mengakibatkan kerusakan lingkungan maka dari itu mengonsumsi perlulah sesuai dengan kondisi potensi sumber daya. Urgensi dan Tujuan Konsumsi Islam Beberapa hal yang melandasi perilaku seorang muslim dalam berkonsumsi adalah berkaitan dengan urgensi, tujuan dan etika konsumsi. Pengabaian terhadap konsumsi berarti mengabaikan kehidupan manusia dan tugasnya dalam kehidupan. Manusia diperintahkan untuk mengkonsusmsi pada tingkat yang layak bagi dirinya, keluarganya dan orang paling dekat di sekitamya. Dalam kondisi darurat dan dikhawatirkan bisa menimbulkan kematian, maka seseorang diperbolehkan untuk mengkonsusmsi sesuatau yang haram dengan syarat sampai masa darurat itu hilang, tidak berlebihan dan pada dasarnya memang dia tidak suka.Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsusmsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsusmsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Dalam konsumsi, seorang muslim harus memperhatikan kebaikan (kehalalan) sesuatu yang akan di konsumsinya. Para fuqaha' menjadikan memakan hal-hal yang baik ke dalam empat titigkatan. Pertama,wajib, yaitu mengkonsumsi sesuatu yang dapat menghindarkan diri dari kebinasaan dan tidak mengkonsusmsi kadar ini - padahal mampu- yang berdampak pada dosa. Kedua, sunnah, yaitu mengkonsusmsi yang lebih dari kadar yang menghindarkan diri dari kebinasaan dan menjadikan seoarang muslim mampu shalat dengan berdiri dan mudah berpuasa. Ketiga, mubah, yaitu sesuatu yang lebih dari yang sunnah sampai batas kenyang. Keempat, konsusmsi yang melebihi batas kenyang, yang dalam hal ini terdapat dua pendapat, ada yang mengatakan makruh yang satunya mengatakan haram. Konsumsi islam akan menjauhkan seseorang dan sifat egois, sehingga seoarang muslim akan menafkankan hartanya untuk kerabat terdekat (sebaik-baik infak), fakir miskin dan orang-orang yang mumbutuhkan dalam rangka mendekatkan diri kepada pencipta-Nya. Pada dasarnya tujuan dari konsumsi islam ialah ditujukan untuk beribadah kepada Allah SWT dengan mengonsumsi ditujukan beribadah kepada Allah SWT maka hal tersebut akan dibalas dengan pahala, namun tak semua konsumsi bernilai pahala, jika kita mengonsumsi hanya untuk memenuhi nafsu saja dengan mengonsumi secara bermewah – mewahan sehingga dalam mengonsumsi tersebut tak terdapat point konsumsi yang ditujukan untuk beribadah, sehingga tujuan konsumsi tersebut tidaklah sesuai dengan hakikat tujuan konsumsi dalam islam. Dalam keadaan darurat terkait hal konsumsi pun telah di atur oleh Allah SWT, sebut saja jika kita dalam keadaan darurat seperti berada didalam hutan dan tidak ada makanan yang dapat dimakan kecuali daging babi maka kita diperbolehkan memakan daging babi tersebut karena alasan tidak ada lagi yang bisa dikonsumsi dan apabila ia tidak mengonsumsi tersebut dapat membahayakan nyawanya, dan juga pada dasarnya kita tidak menginginkan mengonsumsinya, tidak melampau batas maka mengonsumsi tersebut tidaklah menjadikan dosa baginya, karena hal tersebut dilakukan dalam keadaan mendesak. Kesejahteraan dalam Ekonomi Islam Islam merupakan jalan hidup (way of life). Mencakup kehidupan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, baik dalam kehidupan secara individual ataupun masyarakat dalam membahas tentang batasan-batasan masyarakat Islam. Terdapat dua pendekatan asas-asas masyarakat Islam, yaitu pertama pendekatan normatif, yang mencari ketentuan-ketentuan berdasarkan ayat-ayat al-qur’an dan hadist dan menerapkan ketengah masyarakat. Kedua, dengan memperhatikan baik ayat-ayat dan hadist tersebut maupun masyarakat itu sendiri. 3 Kebahagiaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia. Manusia akan memperoleh kebahagiaan ketika seluruh kebutuhan dan keinginannya terpenuhi, baik dalam aspek material maupun spritual, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Terpenuhinya kebutuhan yang bersifat material seperti sandang, rumah, dan kekayaan lainnya, dewasa ini lebih banyak mendapatkan perhatian dalam ilmu ekonomi. Terpenuhinya kebutuhan material inilah yang disebut dengan sejahtera. Kesejahteraan juga bermakna terpenuhinya segala kebutuhan hidup, baik material maupun spritual secara merata bagi segenap rakyat. Dalam arti yang lebih luas, 3 Deliar Noer, Islam dan Masyarakat, (Jakarta, Yayasan Risalah, 2003), hlm. 55 kesejahteraan juga terpenuhinya hak-hak asasi manusia, terutama kebebasan sipil. Makna implisit dari pengertian kebebasan diatas adalah bahwa setiap orang berhak untuk memiliki kebebasan bekerja dan berusaha dalam kerjasama yang serasi. Hal Ini merupakan visi ekonomi kesejahteraan islam.4 Islam memaknai “kesejahteraan” dengan istilah falah yang berarti kesejahteraan holistik dan seimbang antara dimensi material dan spritual, individual-sosial dan kesejahteraan dikehidupan duniawi dan akhirat. Sejahtera dunia diartikan sebagai segala yang memberikan kenikmatan hidup indrawi, baik fisik, intelektual, biologis maupun material. Sedangkan kesejahteraan akhirat diartikan sebagai kenikmatan yang akan diperoleh setelah kematian manusia. Falah berasal dari bahasa arab dari kata kerja aflaha-yuflihu yang berarti kesuksesan, kemulian atau kemenangan. Dalam pengertian literal falah adalah kemuliaan dan kemenangan, yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Selain itu falah diartikan sebagai kesejahteraan lahiriyah yang dibarengi dengan kesejahteraan batiniah, kesenangan duniawi dan ukhrawi, keseimbangan materil dan immateril. 5 Istilah falah menurut Islam diambil dari kata-kata al-qur’an, yang sering dimaknai sebagai keberuntungan dalam jangka panjang, dunia dan akhirat, sehingga tidak hanya memandang aspek material namun justru ditekankan pada aspek spritual. Dalam konteks falah didunia falah yang merupakan konsep yang multi dimensi. Ia memiliki implikasi pada aspek prilaku individual/mikro maupun perilaku kolektif/makro. Jika pada hakikatnya sejahtera ialah terpenuhinya segala kebutuhannya seperti dalam halnya kebutuhan material seperti sandang, rumah, dan juga kekayaan lainnya. Namun lain halnya dalam konteks ekonomi islam, kesejahteraan dalam islam berarti kesejahteraan yang seimbang diantara segi material dan spiritual, antara individu dan sosial, antara kehidupan duniawi dan akhirat. Itu artinya kata sejahtera tak semata – mata pada terpenuhinya seluruh kebutuhan yang sifatnya material. Maka dari itu dalam islam memaknai kesejahteraan dengan istilah falah yang dimana kesejahteraan yang diperoleh tak hanya pada aspek material tetapi juga mencakup sejahtera dalam hal lahiriyah juga batiniyah, duniawi juga ukhrawi, material juga immaterial. Maka dalam islam aspek material tidaklah menjadikan patokan tercapainya kesejahteraan. 4 Chapra, Muhammad Umer, 2001, The Future Of Economics: An Islamic Perspective, diterjemahkan oleh Amdiar Amir dick : Lanscape Baru Perekonomian Masa Depan, Jakarta: SEBI 5 Abdul Azis, Etika Bisnis Perspektif Islam; Implementasi Etika Islami untuk Dunia Usaha, (Bandung: Alfabeta, 2013), hlm. 6 Konsep Mashlahah Sebagai Fungsi Kesejahteraan Menurut Islam Tujuan utama konsumsi bagi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya konsumsi selalu didasari niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah, sehingga menjadikan konsumsi juga bernilai ibadah. Sebab hal-hal yang mubah bisa menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah, dalam hal ini dimaksudkan untuk menambah potensi mengabdi kepada-Nya. Dalam ekonomi Islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang tidak bisa diabaikan oleh seorang muslim untuk merealisasikan tujuan dalam penciptaan manusia, yaitu mengabdi sepenuhnya hanya kepada Allah untuk mencapai falah. Falah dapat terwujud apabila kebutuhan-kebutuhan hidup manusia terpenuhi secara seimbang. Tercukupinya kebutuhan masyarakat akan memberikan dampak yang disebut mashlahah. Mashlahah adalah segala bentuk keadaan, baik material maupun non material yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Kandungan mashlahah terdiri atas manfaat dan berkah. Dalam konsumsi, seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Konsumen akan merasakan adanya manfaat dalam konsumsi ketika kebutuhannya terpenuhi. Berkah akan diperoleh ketika ia mengkonsumsi barang dan jasa yang dihalalkan oleh syariat islam. Mashlahah yang diterima oleh seorang konsumen ketika mengkonsumsi barang dapat berbentuk salah satu diantara hal-hal sebagai berikut : 1. Manfaat material, yaitu diperolehnya tambahan harta bagi konsumen berupa harga yang murah, diskon, kecilnya biaya, dsb. 2. Manfaat fisik dan psikis, yaitu terpenuhinya kebutuhan baik fisik maupun psikis dan terpenuhinya kebutuhan akal manusia 3. Manfaat intelektual, yaitu terpenuhinya kebutuhan informasi, pengetahuan, keterampilan, dll 4. Manfaat lingkungan, yaitu manfaat yang bisa dirasakan selain pembeli misalnya, mobil mini bus akan dirasakan manfaatnya oleh lebih banyak orang jika dibandingkan dengan mobil sedan. 5. Manfaat jangka panjang, yaitu terpeliharanya manfaat untuk generasi yang akan datang, misalnya hutan tidak dirusak habis untuk kepentingan generasi penerus. Disamping itu kegiatan konsumsi akan membawa berkah bagi konsumen jika :  Barang yang dikonsumsi bukan merupakan barang haram  Barang yang dikonsumsi tidak secara berlebihan  Barang yang dikonsumsi didasari oleh niat untuk mendapatkan ridho Allah Konsep maslahah, memiliki makna yang lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara' yang paling utama. Menurut Imam Ghazali, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar maslahah, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan(al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah. Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan maslahah atau bukan bagi dirinya. Berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun syariah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur. Maslahah orang per orang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain. Persamaan Dan Perbedaan Teori Konsumsi Ekonomi Konvensional dan Teori Konsumsi Ekonomi Islam 1. Persamaan Pada konsep ini baik ekonomi Islam maupun konvensional sepakat bahwasanya konsumsi merupakan: a. Kebutuhan untuk mempertahankan hidup sebagai motif umum dalam pandangan ekonomi, sebab konsumsi secara umum adalah pembelanjaan atau pengeluaran yang bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan hidup secara jasmani. b. Konsumsi menyangkut pemenuhan kebutuhan dan keinginan individuindividu sehingga membentuk kegiatan yang dilakukan oleh manusia adalah kegiatan ekonomi. c. Dalam pemenuhan kebutuhan, baik ekonomi Islam maupun konvensional mengakui bahwa kebutuhan manusia meliputi: kebutuhan primer sebagai kebutuhan dasar manusia, kebutuhan sekunder sebagai pelengkap dan kebutuhan tersier. 2. Perbedaan Secara umum menurut pandangan ekonomi Islam dan ekonomi konvensional dalam berkonsumsi terdapat perbedaan signifikan, yang membedakan antara pemikiran ekonomi Islam dan konvensional yaitu: a. Sumber daya pemikiran ekonomi berasal dari tuntunan Nabi Muhammad melalui al-Qur’an dan Hadis, yang telah memberikan arahan sesuai dengan prinsip dan kaidah syariat Islam sehingga membentuk karakter atau pribadi yang Islami. Sedangkan menurut ilmu ekonomi konvensional, sesuai dengan pemahaman tentang rational economics man, tindakan individu dianggap rasional yang tertumpu kepada kepentingan diri sendiri yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas, dan lebih mendahulukan akal. Dalam ekonomi konvensional, perilaku rasional dianggap equivalen (Equivalent) dengan memaksimalkan utility. b. Aspek sosial, Islam sangat memperhatikan bagaimana cara manusia hidup bermasyarakat, antara orang kaya dan kaum miskin harus terjalin hubungan yang dinamis sehingga tidak terjadi ketimpangan sosial. Sedangkan ekonomi konvensional mengabaikan aspek ini, bebas dari pertimbangan pemerataan sosial, dan karenanya berlaku universal. c. Tujuan kehidupan, ekonomi Islam memiliki konsep al-falah (kejayaan) baik di dunia maupun di akhirat, karena dalam ajaran Islam yakin bahwasanya kehidupan yang kekal yaitu di akhirat nanti. Sedangkan dalam ekonomi konvensional tidak memperhatikan unsur waktu bebasnya manusia hidup terbatas hanya di dunia saja tanpa memperhatikan kehidupan setelah mati yaitu kehidupan di akhirat. d. Konsep halal haram, ekonomi Islam sangat berhati-hati berbicara tentang konsumsi, ada batasan-batasan tertentu yang harus diperhatikan oleh umat muslim, yaitu antara halal dan haram, baik dari dzatnya ataupun cara mendapatkannya. Sedangkan dalam ekonomi konvensional tidak memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram. Optimal Solution Sesuai dengan asumsi rasionalitas,maka konsumsi seorang muslim akan bertindak rasional.oleh sebab itu pengambilan keputusan dari seorang konsumen senantisa didasarkan pada perbandingan antar berbagai refrensi,peluang dan manfaat serta madharat yang ada.konsumen yang rasioanl selalu selalu berusaha menggapai prefrensi tertinggi dari segenap peluang dan manfaaat yang tersedia.konsumen yang rasional berarti konsumen yang memilih suatu kombinasi komoditas yang akan memberikan tingkat utilitas paling besar.utilitas disini juga meliputi maslahat dan madharat yang ditimbulkan dari mengonsumsi komoditas tersebut. Dengan demikian, kepuasaan maksimum seorang konsumen terjadi pada titik dimana terjadi persinggungan antara kurva indifference dengan budget line. Konsumen akan memaksimalkan pilihannya dengan dua cara: 1) Memaksimalkan utility function pada budget line tertentu Kombinasi Barang Jumlah barang X yang Jumlah barang Y yang Pengeluaran dikonsumsi dikonsumsi total B 20 30 $80 R 20 20 $60 S 10 30 $70 Dengan tingkat pengeluaran tertentu yaitu $80, maka kombinasi barang B lebih baik daripada kombinasi R dan S. Kombinasi B lebih baik daripada R, karena dapat mengkonsumsi barang Y lebih banyak; dari segi total pengeluaran pun terlihat bahwa masih ada yang tidak termanfaatkan sebesar $20. Kombinasi B lebih baik daripada kombinasi S, karena dapat mengonsumsi barang X lebih banyak; dari segi total pengeluaran pun terlihat bahwa masih ada yang tidak termanfaatkan sebesar $10. 2) Meminimalkan budget line pada utility function tertentu Kombinasi Jumlah barang X Jumlah barang Y Pengeluaran Barang Yang dikonsumsi Yang dikonsumsi total B 20 30 $80 T 20 30 $90 Untuk mengonsumsi 20X dan 30Y cukup diperlukan uang $80. Oleh karenanya kombinasi B lebih baik daripada kombinasi T, karena untuk mendapatkan T ia harus membayar lebih mahal untuk jumlah barang yang sama. Untuk mengonsumsi barang x dan y dengan tingkat kepuasan yang sama, seorang konsumen mempunyai beberapa alternatif garis anggaran yang dibutuhkan. Dengan demikian, optimalisasi konsumen akan terbentuk pada budget line paling kecil untuk mendapatkan kepuasan yang sama. Fungsi Kesejahteraan, Maximizer dan Utilitas oleh Imam Al-Ghazali Dalam meningkatkan kesejahteraan sosial, Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasikan semua masalah yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya ia mendefinisikan fungsi sosial dalam kerangka hierarki kebutuhan individu dan sosial. Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar: 1. agama (al-dien) 2. hidup atau jiwa (nafs) 3. keluarga atau keturunan (nasl) 4. harta atau kekayaaan (maal) 5. intelek atau akal (aql) Ia menitik beratkan bahwa sesuai tuntunan wahyu “kebaikan dunia ini dan akhirat (maslahat al-din wa al-dunya) merupakan tujuan utamanya”.6 Ia mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka hierarki utilitas individu dan sosial yang triparti meliputi kebutuhan (daruriat), kesenangan atau kenyaman (hajaat), dan kemewahan (tahsinaat) sebuah tradisi peninggalan aritotelian, 6 Karim A. Adiwarman,” Ekonomi Mikro Islam “, Jakarta: Rajawali Pers, Hal:62. yang disebut oleh seorang sarjana sebagai “kebutuhan ordinal” (kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap barang-barang “eksternal” dan terahadap barang-barang psikis). Kunci pemeliharaan dari kelima tujuan dasar ini terletak pada penyediaan tingkat pertama, yaitu kebutuhan seperti makanan, pakaian, dan perumahan. Namun demikian Ghazali menyadari bahwan kebutuhan-kebutuhan dasar demikian cenderung fleksibel mengikuti waktu dan tempat dan dapat mencakup dan bahkan kebutuhan-kebutuhan sosiopsikologis. Walaupun keselamatan merupakan tujuan akhir, Al-Ghazali tidak ingin bila pencarian keselamatan ini sampai mengabaikan kewajiban-kewajiban duniawi seseorang. Bahkan pencarian seseorang. Bahkan pencaharian kegiatan-kegiatan ekonomi bukan saja dinginkan tetapi merupakan keharusan bila ingin mencapai keselamatan. Ia menitik beratkan “jalan tengah” dan “kebenaran” niat seseorang dalam tindakan. Bila niatnya sesuai dengan atauran ilahi, maka aktivits ekonomi serupa dengan ibadah yang merupakan bagian dari panggilan seseorang. 7 Jelaslah kalau Al-Ghazali tidak hanya menyadari keinginan manusia mengumpulkan kekayaan, tetapi juga kebutuhannya untuk persiapan dimasa depan. Namun demikian, ia memperingatkan bahwa jika semanagat “selalu ingin lebih” ini menjurus kepada keserakahan dan pengajaran nafsu pribadi, maka hal itu dikutuk. Dalam pengertian inilah ia memandang kekayaan sebagai “ujian terbesar”. 8 Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen islam karena memiliki alokasi untuk halhal yang menyangkut akhirat, akan mengonsumsi barang lebih sedikit di bandingkan nonmusllim. Hal yang membatasinya inilah disebut dengan konsep mashlahah seperti yang telah dijelaskan oleh Al-Ghazali. Dalam membandingkan konsep kepuasan dan konsep ‘pemenuhan kebutuhan’ (yang terkandung didalamnya mashlahah), kita sangat perlu membandingkan antara tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara’ yakni antara lain sebagai berikut: a. Daruriyyah : Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama, akal/intelektual, keturunan dan keluarga, serta harta benda. Jika tujuan ini di abaikan maka tidak Karim A. Adiwarman,” Ekonomi Mikro Islam “, Jakarta: Rajawali Pers, Hal:63. Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. Ke 1 7 8 aka nada kedamaian, yang timbul hanyalah kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di akhirat. b. Hajiyyah : Syari’ah yang bertujuan untuk mempermudah kehidupan dan menghilangkan kesempitan. Hukum syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi melainkan menghilangkan kesempitan dan berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut c. Tahsiniyyah : Syari’ah yang menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di dalamnya. Terdapat beberapa provisi di dalam syari’ah yang di maksudkan untuk mencapai pemanfaatan yang lebih baik.keindahan dan simplifikasi dari daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya dibolehkanya memakai baju yang nyaman dan indah. 9 Perilaku Konsumsi Perilaku konsumsi semestinya dapat memperhatikan aspek-aspek yang tergolong kebutuhan primer (dharuriyat) kemudian sekunder (hajjiyat) dan trisier (tahsiniyat) sesuai dengan semangat al-maqashid asy- syari’ah, sehingga dalam memenuhi kebutuhan seorang konsumen lebih mengedepankan aspek kebutuhan dari pada aspek keingingan demi membatasi kebutuhan dan kengingan manusia yang sifatnya senantiasa tidak terbatas. Dalam pandangan Islam perilaku konsumsi harus menghindari perilaku isrāf dan tabżīr dalam menggunakan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebagai rambu-rambu dalam konsumsi pangan semestinya manusia secara umum dan muslim secara khusus untuk senantiasa menjaga unsur ke-halāl- an dan ke-ṭayyiban-an dalam konsumsi sebagai langkah untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani. Perilaku konsumsi dalam ekonomi Islam bertujuan untuk tercapainya aspek materil dan aspek spiritual dalam konsumsi, kedua aspek tersebut akan tercapai dengan menyeimbangkan antara nilai guna total (total utility) dan nilai guna marginal (marginal utility) dalam konsumsi. Sehingga setiap muslim akan berusaha memaksimumkan nilai guna dari tiap barang yang di konsumsi, yang akan menjadikan dirinya semakin baik dan semakin optimis dalam menjalani hidup dan kehidupan. Berdasarkan data BPS menunjukkan konsumsi masyarakat pada makanan dan non makanan cenderung naik. Keadaan ini menunjukkan preferensi masyarakat Indonesia Utama, Mufraeni, Huda dan Setyanto Edwin Mustafa, “Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam”, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, hal:64. 9 terhadap makanan dari pada konsumsi yang bukan makanan. Padahal Islam menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan sekedarnya. Masyarakat Indonesia lebih cenderung mengutamakan utilitas ketimbang mashlahah, sehingga Indonesia dianggap sebagai pasar yang sangat prospek terutama dibidang kuliner. Islam mengajarkan untuk hidup sederhana tidak bersifat israf (royal) dan tabzir (sia-sia). Sehingga Konsumsi yang dikeluarkan umat Islam haruslah sesuai dengan kebutuhan bukan karena memperturutkan hawa nafsu. Perilaku konsumsi terhadap makanan yang berlebihan ini menyebabkan masyarakat cendrung malas berinvestasi terutama investasi akhirat (sedekah dan sebagainya). Islam menganjurkan bahwa pendapatan tidak hanya terdistribusikan pada konsumsi saja, akan tetapi ada yang harus didistribusikan untuk zakat, infaq, sedekah dan sebagainya. Oleh karena itu konsep harta dalam Islam bukanlah kepemilikan manusia secara mutlak, melainkan ada hak Allah yang harus di keluarkan dari pendapatan itu, yaitu untuk kebutuhan investasi akhirat. Dalam analisis konsumsi konvensional dijelaskan bahwa perilaku konsumsi seseorang adalah dalam upaya untuk memenuhi kebutuhannya sehingga tercapai kepuasan yang optimal. Penjelasan mengenai perilaku konsumen yang paling sederhana adalah di dapati dalam hukum permintaan. Yang menyatakan bahwa “bila harga suatu barang naik maka ceteris paribus jumlah yang diminta konsumen akan barang tersebut menurun”. Dan sebaliknya bila hara barang tersebut menurun. Ceterus paribus berarti bahwa semua faktorfaktor lain yang mempengaruhi jumlah yang diminta dianggap tidak berubah. Sedangkan menurut Engel perilaku konsumsi adalah tindakan yang terlibat langsung dalam mendapatkan, mengonsumsi dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan itu. Dan menurut Loudon dan Bitta, perilaku konsumsi adalah suatu proses pengambilan keputusan yang mensyaratkan perilaku individu untuk mengevaluasi, memperoleh, menggunakan dan mengatur barang dan jasa. Adapun menurut Kotler dan Amstrong, perilaku konsumsi adalah perilaku individu ataupun rumah tangga dalam bentuk pembelian barang dan jasa untuk konsumsi personal. Ada dua pendekatan untuk menerangkan mengapa konsumen berperilaku yang dinyatakan oleh hukum permintaan: 1. Pendekatan marginal utility, yang bertitik tolak pada anggapan bahwa kepuasan (utility) setiap konsumen bisa diukur dengan uang atau dengan satuan lain (utility yang bersifat “cardinal”) seperti kita mengukur volume air, panjang jalan atau berat dari sekarung beras. 2. Pendekatan indifirence curve, yang tidak memerlukan adanya anggapan bahwa kepuasan konsumen bisa diukur; anggapan yang dipelukan adalah bahwa tingkat kepuasan konsumen bisa dikatakan lebih tinggi atau lebih rendah tanpa mengatakan berapa lebih tinggi atau lebih rendah (utility yang bersifat “ordinal”). Sedangkan dalam analisis konsumsi Islam, perilaku konsumsi seorang muslim tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan jasmani, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan rohani. Sehingga dalam perilaku konsumsi seorang muslim senantiasa memperhatikan syariat Islam. Misalnya, apakah barang dan jasa yang dikonsumsi halal atau haram, apa tujuan seorang muslim melakukan aktivitas konsumsi, bagaimana etika dan moral seorang muslim dalam berkonsumsi, bagaimana bentuk perilaku konsumsi seorang muslim dikaitkan dengan keadaan lingkungannya. Dalam perspektif ekonomi Islam. perilaku konsumsi seorang muslim didasarkan pada beberapa asumsi sebagaimana dikemukakan oieh Monzer Kahf yang dikutip oleh Imamudin Yuliadi, yaitu: 1. Islam merupakan suatu agama yang diterapkan di tengah masyarakat. 2. Zakat hukumnya wajib. 3. Tidak ada riba dalam masyarakat. 4. Prinsip mudharabah diterapkan dalam aktivitas bisnis. 5. Konsumen berperilaku rasional yaitu berusaha mengoptimalkan kepuasan Penutup Pada dasarnya setiap manusia selalu menginginkan kehidupannya di dunia dalam keadaan bahagia, baik secara material maupun spritual, individual maupun sosial. Namun, dalam praktiknya kebahagiaan multidimensi ini sangat sulit diraih karena keterbatasan kemampuan manusia dalam memahami dan menerjemahkan keinginannya secara komprehensif. Di dalam teori ekonomi, kepuasan seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang dinamakan dengan utility atau nilai guna. Kalau kepuasan terhadap sutu benda semakin tinggi, maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Sebaliknya bila kepuasan terhadap suatu benda semakin rendah maka semakin rendah pula nilai gunanya. Kesejahteraan material dan spiritual merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan haruslah dicapai tidak saja dalam aspek material, tetapi juga dalam aspek spiritual. Islam memaknai “kesejahteraan” dengan istilah falah yang berarti kesejahteraan holistik dan seimbang antara dimensi material dan spritual, individual-sosial dan kesejahteraan dikehidupan duniawi dan akhirat. Sejahtera dunia diartikan sebagai segala yang memberikan kenikmatan hidup indrawi, baik fisik, intelektual, biologis maupun material. Sedangkan kesejahteraan akhirat diartikan sebagai kenikmatan yang akan diperoleh setelah kematian manusia. DAFTAR PUSTAKA Boediono, Ekonomi Mikro, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi Edisi 2, (Yogyakarta, BPFE Yogyakarta, 1982) James, Michael Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, (Jakarta: Ghalia, 2001) Karim A. Adiwarman,” Ekonomi Mikro Islam “, Jakarta: Rajawali Pers Chapra, Muhammad Umer, 2001, The Future Of Economics: An Islamic Perspective, diterjemahkan oleh Amdiar Amir dick : Lanscape Baru Perekonomian Masa Depan, Jakarta: SEBI Noer, Deliar Islam dan Masyarakat, (Jakarta, Yayasan Risalah, 2003) Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. Ke 1 P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2008) Prathama Rahardja & Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro Suatu pengantar, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2008) Rahardjo, M.Darmawan Arsitektur Todaro, Ekonomi dalam Pandangan Modern. Terj. (Jakarta: Bina Aksara, 2002) Utama, Mufraeni, Huda dan Setyanto Edwin Mustafa, “Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam”, Jakarta:Kencana Prenada Media Group