Academia.eduAcademia.edu

Islam dan Pertambangan

KU-2061 AGAMA DAN ETIKA ISLAM ISLAM DAN PERTAMBANGAN NAMA : Rahmat Hidayat NIM : 12113036 JURUSAN : Teknik Pertambangan DEPARTEMEN SOSIOTEKNOLOGI FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN SYARIAT ISLAM DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM Dalam pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan sumber daya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based management) harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle). Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola negara untuk diberikan hasilnya kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadis riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadis tersebut, Abyad diceritakantelah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya”. Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Sikap pertama Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Akan tetapi, ketika Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, Rasul mencabut pemberian itu. Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Yang menjadi fokus dalam hadis tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya tapi adalah pandangan bahwa semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu. Air misalnya, mungkin saja dimiliki oleh individu, tapi bila suatu komunitas membutuhkannya, individu tidak boleh memilikinya. Berbeda dengan jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu. Al-‘Assal & Karim (1999: 72-73) mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya al-Mughni mengatakan: “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan, dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslim, sebab hal itu akan merugikan mereka”. Maksud pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Barang siapa menemukan barang tambang atau petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya. Pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya alam negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah. Harus ada strategi baru dalam memanfaatkan sumber daya itu. Sudah saatnya, misalnya, hanya BUMN yang berhubungan dengan hutan saja yang mengelola hutan-hutan yang ada di negeri ini. Demikian pula dengan sumber daya lain. Eksplorasi emas oleh PT Freeport merupakan kesalahan besar. Sejak tahun 1973, sudah lebih dari Rp500 triliun hasil emas melayang ke luar negeri. Memang pemerintah mendapatkan pajak dan sebagainya. Akan tetapi, pasti angkanya jauh lebih kecil dari hasilnya itu sendiri. Andai itu sepenuhnya dikelola oleh negara, dana yang tidak sedikit itu tentu bisa diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat. Begitu pula dengan barang tambang lain. Tidak dipungkiri lagi, kekayaan alam Indonesia sangatlah melimpah ruah. Flora, fauna, dan barang tambang tersimpan besar di tanah Indonesia ini. Semuanya itu seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 menyatakan: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hal ini mengharuskan seluruh hasil dari sektor pertambangan memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk masyarakat. Untuk meningkatkan nilai manfaat tersebut, bijih yang dihasilkan dari pertambangan sebaiknya diolah terlebih dahulu. Menanggapi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang dijelaskan lebih lanjut oleh PP No. 23 Tahun 2010. Di dalam peraturan pemerintah tersebut dijelaskan bahwa perusahaan pertambangan harus melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Artinya, sejak 12 Januari 2014, semua barang tambang yang belum dimurnikan tidak boleh diekspor. Namun, ada sisi lain yang lebih menarik untuk dibahas terkait kaitan Islam dengan dunia pertambangan, yaitu mengenai pertambangan yang ramah lingkungan. Sudah banyak diketahui, bahwa pertambangan pastilah merusak lingkungan, namun alibi yang dikeluarkan oleh para pengusaha, tambang hanyalah merubah rona lingkungan, tidak merusak lingkungan. Memang beberapa perusahaan menerapkan pertambangan ramah lingkungan, lantas bagaimana perusahaan yang tidak melakukan kegiatan pertambangan ramah lingkungan menurut perspektif Islam? Mengenal Islam sebagai Rahmatan lil Alamin Islam sebagai agama samawi terakhir di dunia, di bawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya. Konsekuensinya, Islam akan dan harus bisa menjawab tantangan-tantangan dari kedinamisan yang ada di dunia sampai masa akhir nanti (kiamat). Tantangan tersebut dapat berupa tantangan yang berhubungan dengan tauhid, jinayah maupun muamalah. Walaupun tantangan dari kedinamisan perjalanan masa dapat terjawab dengan sempurna oleh Islam, namun banyak kalangan tetap berprasangka, bahwa jalan terbaik menghilangkan prasangka tersebut adalah harus dijawab secara ilmiah sehingga pemecahan persoalan terjawab secara objektif. (M. Rasjidi, 1976:7) Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah dengan menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan kehendak penciptanya dan tujuan penciptaannya. (Harun Nasution, 1992: 542) Perspektif Islam mengenai Pertambangan Barang tambang diberikan Allah untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. Dalam Al Quran, hal ini dijelaskan dalam beberapa ayat, antara lain dalam QS. Ar Ra’d (13): 17, yang artinya: ”Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan- perumpamaan” (QS al-Ra’d [13]:17) Selain itu, dalam QS. Al Hadid (57): 25 yang artinya: “Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al-Hadid [57]:25) Dalam pemanfaatan sumber daya alam pertambangan, hampir semua perusahaan saat ini lebih menitikberatkan pada faktor ekonomi dibanding faktor moral dan etika lingkungan. Upaya pelestarian lingkungan yang dilakukan hanya pada tataran sains dan teknologi untuk mengurangi dampak lingkungan yang ada. Pada hakikatnya dalam mencegah pencemaran dan perusakan lingkungan terhadap pertambangan, harus didasarkan rencana pertambangan yang sistematis yang mempertimbangkan aspek kerusakan lingkungan dari eksplorasi sampai pada reklamasi. Agama Islam mempunyai pandangan dan konsep yang sangat jelas terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan sumber daya alam, karena manusia pada dasarnya khalifah Allah di muka bumi yang diperintahkan tidak hanya untuk mencegah perilaku menyimpang (nahi munkar), tetapi juga untuk melakukan perilaku yang baik (amr ma’ruf). Pengelolaan sumber daya alam tambang harus tetap menjaga keseimbangan dan kelestariannya. Karena kerusakan sumber daya alam tambang oleh manusia harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Prinsip ini didasarkan pada Q.S. al-Rum, (30):41 bahwa “Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Selain itu, hal ini dijelaskan pula dalam QS. Al A’raf: 56 “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut tidak diterima dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Al-A’raf: 56) Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa....... Perspektif Islam mengenai Pertambangan Ramah Lingkungan di Indonesia (Majelis Ulama Indonesia) Pelaksanaan pertambangan yang Islami harus berdasarkan proses dan mekanisme yang ditentukan. Kegiatan pertambangan diawali dengan proses studi kelayakan yang melibatkan masyarakat pemangku kepentingan (stake holders), kemudian dilaksanakan dengan ramah lingkungan (green mining), tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan melalui pengawasan (monitoring) berkelanjutan, dan dilanjutkan dengan melakukan reklamasi, restorasi dan rehabilitasi. Selain itu, pemanfaatan hasil tambang harus mendukung ketahanan nasional dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan amanat UUD. Pelaksanaan pertambangan wajib menghindari kerusakan (daf’u al-mafsadah), antara lain: menimbulkan kerusakan ekosistem darat dan laut, menimbulkan pencemaran air serta rusaknya daur hidrologi (siklus air), menyebabkan kepunahan atau terganggunya keanekaragaman hayati yang berada di sekitarnya, menyebabkan polusi udara dan ikut serta mempercepat pemanasan global, mendorong proses pemiskinan masyarakat sekitar, dan mengancam kesehatan masyarakat. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dalam upaya merubah perilaku dan meningkatkan kesadaran umat muslim sebagai potensi terbesar bangsa, atas pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pemanfaatan sumber daya alam (khusus pertambangan) harus sesuai dengan kaidah syariah. MUI telah menandatangani memorandum of understanding (MoU) No. 14/MENLH/12/2010 dan Kep-621/MUI/XII/2010 pada tanggal 15 Desember 2010, telah disepakati bersama Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 22 Tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan. Fatwa MUI ini merupakan bentuk pendekatan moral dalam pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Adapun fatwa MUI ini bertujuan untuk Memperkuat penegakan hukum positif terutama dalam upaya mengendalikan kerusakan lingkungan di sektor pertambangan. Memberi penjelasan dan pemahaman yang benar pada seluruh lapisan masyarakat mengenai hukum normatif (keagamaan) terhadap beberapa masalah yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Sebagai salah satu upaya untuk menerapkan sanksi moral dan etika bagi pemangku kepentingan, termasuk masyarakat terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya di sektor pertambangan. Sekarang ini, sudah sepatutnya Islam bisa menjadi solusi bagi segala permasalahan di dunia ini, termasuk pertambangan. Pertambangan Indonesia yang kini kurang menguntungkan dari segi kesejahteraan masyarakat dan kurang bersahabat dengan lingkungan sudah sepatutnya berubah. Indonesia dengan kekayaan alam tambangnya harus mandiri, rakyatnya sejahtera secara ekonomi. Begitu pula dengan pengelolaannya, Indonesia harus mempertegas batas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan. Bahkan sudah sepatutnya perusahaan mengembalikan rona lingkungan yang awalnya hijau dan indah. Pemerintah harus tegas, harus berani menindak perusahaan nakal yang tidak memperhatikan aspek lingkungan dalam proses penambangannya. Islam dengan jelas mengatur hal itu. Jadi, majulah pertambangan demi pembangunan.