Academia.eduAcademia.edu

Makalah Al Qur an dan sains

Al-Qur'an adalah kumpulan ilmu dan pengetahuan yang sudah disiapkan secara sistematis, komprehensif dan universal oleh Allah SWT bagi seluruh umat manusia yang hidup dimuka bumi ini, dalam rangka untuk memberikan pembelajaran dan jalan bagi manusia untuk menemukan kebenaran dan hakikat hidup yang sebenarnya, yaitu tidak lain dan tidak bukan manusia itu diciptakan hanyalah untuk mengenal dan beribadah kepada Allah SWT semata, tidak selain Allah SWT. Peran Al-Qur'an selain menjadi pegangan hidup bagi manusia di jagat ini untuk dapat hidup bahagia, tentram dan selamat di dunia dan di akhirat. Al-Qur'an juga berperan sebagai sumber ilmu yang tidak terbantahkan, berlaku universal dan mencakup segala aspek kehidupan. Agar dengan ilmu yang terdapat dalam kandungan Al-Qur'an, manusia dapat menguak kebenaran ilmu dan pengetahuan untuk meningkatkan intelektualitas, Menciptakan teknologi yang bermanfaat bagi manusia dalam rangka meningkatan dan memajukan peradaban manusia dengan indikasi semakin beradab, sejahtera dan berkembang pola pikir manusia.

AL-QUR’AN DAN INTEGRASI KEILMUAN ABSTRAK Al-Qur’an adalah kumpulan ilmu dan pengetahuan yang sudah disiapkan secara sistematis, komprehensif dan universal oleh Allah SWT bagi seluruh umat manusia yang hidup dimuka bumi ini, dalam rangka untuk memberikan pembelajaran dan jalan bagi manusia untuk menemukan kebenaran dan hakikat hidup yang sebenarnya, yaitu tidak lain dan tidak bukan manusia itu diciptakan hanyalah untuk mengenal dan beribadah kepada Allah SWT semata, tidak selain Allah SWT. Peran Al-Qur’an selain menjadi pegangan hidup bagi manusia di jagat ini untuk dapat hidup bahagia, tentram dan selamat di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga berperan sebagai sumber ilmu yang tidak terbantahkan, berlaku universal dan mencakup segala aspek kehidupan. Agar dengan ilmu yang terdapat dalam kandungan Al-Qur’an, manusia dapat menguak kebenaran ilmu dan pengetahuan untuk meningkatkan intelektualitas, Menciptakan teknologi yang bermanfaat bagi manusia dalam rangka meningkatan dan memajukan peradaban manusia dengan indikasi semakin beradab, sejahtera dan berkembang pola pikir manusia. Integrasi merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa inggris, Integration, yang berarti pengggabungan. Integrasi yang dimaksud adalah penggabungan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur’an untuk dijadikan sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi terutama pada zaman modern ini, mengalami banyak perubahan dan sangat cepat, sedang agama bergerak dengan lamban sekali, karena itu terjadi ketidak harmonisan antara agama dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Dalam ensiklopedi Agama dan filsafat dijelaskan bahwa Islam adalah agama Allah yang diperintahkan-Nya untuk mengajarkan tentang pokok-pokok serta peraturan-peraturannya kepada Nabi Muhammad saw. dan menugaskannya untuk 2 menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia dengan mengajak mereka untuk memeluknya. Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap ilmu (sains). Al-Qur’an dan Al-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengatahuan pada derajat yang tinggi. Apabila kita memperhatikan ayat al-Qur’an mengenai perintah menuntut ilmu kita akan temukan bahwa perintah itu bersifat umum, tidak terkecuali pada ilmu-ilmu yang disebut ilmu agama, yang ditekankan dalam al-Qur’an adalah apakah ilmu itu bermanfaat atau tidak. Adapun kriteria ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada sang khalik sebagai bentuk pengabdian kepada-Nya. Pertemuan kaum muslimin dengan dunia modern, melahirkan berbagai aliran pemikiran, seperti aliran salaf dengan semboyan “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”, dan aliran Tajdid dengan semboyan “maju ke depan bersama al-Qur’an”. Pembaruan dalam Islam memang sangat dianjurkan selama pembaruan itu tidak mengebiri ajaran-ajaran Islam yang otentik, akan tetapi justru memperkuat, mempertinggi dan mengangkat martabat ummat Islam dihadapan bangsa-bangsa lain di dunia. 3 Kata Kunci: Al-Qur’an, Integrasi, Keilmuan A. MUKADIMMAH Pendidikan Islam yang mengalami masa tunas pada masa Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. Kemajuan pendidikan Islam pada masa ini dikarenakan penguasa dari Dinasti Bani Abbasiyah mengambil kebijakan dengan mengangkat orang-orang Persia menjadi pejabat-pejabat penting di istana, terutama dari keluarga Baramikah, sebuah keluarga yang telah lama bersentuhan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme yang mempengaruhi umat Islam untuk belajar dan mengembangkan pemikiran Islam. Hal ini semakin nyata setelah penguasa dari Dinasti ini memproklamirkan aliran Mu’tazilah, sebuah aliran teologi rasional sebagai mazhab resmi negara. Pada masa ini pendidikan Islam mencapai zaman keemasannya. Filsafat Islam, ilmu pengetahuan, sains dan pemikiran Islam mencapai kemajuan yang sangat pesat sehingga menjadikan Islam sebagai pusat keilmuan yang tiada tandingnya di dunia dan filsafat serta ilmu pengetahuannya menjadi kiblat dunia pada saat itu. Perseteruan antara agama dan ilmu pengetahuan (sains) merupakan isu klasik yang sampai saat ini masih berkembang di dunia Barat dalam wujud sekularisme. Tetapi, Islam tidak mendekati persoalan sains ini dari perspektif tersebut karena alQur’an dan al-Sunnah telah memberikan sistem yang lengkap dan sempurna yang mencakup semua aspek kehidupan manusia, termasuk kegiatan-kegiatan ilmiah atau penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Jadi, kegiatan ilmiah merupakan bagian yang integral dari keseluruhan sistem Islam di mana masing-masing bagian memberikan sumbangan terhadap yang lainnya. Al-Qur’an sangat menekankan pentingnya membaca (baca: mengamati) gejala alam dan merenungkannya. AlQur’an mengambil contoh dari kosmologi, fisika, biologi, ilmu kedokteran dan lainnya sebagai tanda kekuasaan Allah untuk dipikirkan oleh manusia. Tidak kurang dari tujuh ratus lima puluh ayat – sekitar seperdelapan al-Qur’an– yang mendorong orang beriman untuk menelaah alam, merenungkan dan menyelidiki 4 dengan kemampuan akal budinya serta berusaha memperoleh pengetahuan dan pemahaman alamiah sebagai bagian dari hidupnya. Kaum muslim zaman klasik memperoleh ilham dan semangat untuk mengadakan penyelidikan ilmiah di bawah sinar petunjuk al-Qur’an, di samping dorongan lebih lanjut dari karyakarya Yunani dan sampai batas-batas tertentu oleh terjemahan naskah-naskah Hindu dan Persia. Dengan semangat ajaran alQur’an, para ilmuwan muslim tampil dengan sangat mengesankan dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Pengaruh al-Qur’an ini tidak saja diakui oleh kalangan ilmuwan muslim zaman dahulu, seperti al-Ghazali, (1983:45-48 ) dan al-Suyuthi, ( Dhahabi, 1961: 420) bahkan sarjana Baratpun mengakuinya, seperti R. Levy (1975:400) (1975: 400) dan George Sarton. (tt:23). B. Islam dan Sains Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan satu sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60). Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara gamblang. Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an memberikan informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan (wahyu) paling awal yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi pentingnya proses investigasi (penyelidikan). Informasi alQur’an tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Pencipta alam Yang Maha Mulia dan 5 Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993). Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada Tuhannya. Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang hampir sama dengan iman seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat 11: َٰٓ‫س‬ َٰٓ ِ ‫ج ِل‬ َٰٓ ‫س ُحوآَٰ َٰٓفِي َٰٓٱلَٰٓم‬ َٰٓ ‫يَٰٓأيُّها َٰٓٱلَّذ‬ َّ ‫ِين َٰٓءامنُوََٰٰٓٓا َٰٓ ِإذَٰٓا َٰٓقِيلَٰٓ َٰٓل ُكمَٰٓ َٰٓتف‬ ُ ‫ش ُزوآَٰ َٰٓفَٰٓٱن‬ ُ ‫يل َٰٓٱن‬ ََّٰٓ ‫ح َٰٓٱ‬ َِٰٓ ‫فَٰٓٱفَٰٓس ُحوآَٰ َٰٓيفَٰٓس‬ َٰٓ ِ‫ّللُ َٰٓل ُك َٰٓم َٰٓو ِإذا َٰٓق‬ ََّٰٓ ‫ش ُزوآَٰ َٰٓيرَٰٓف َِٰٓع َٰٓٱ‬ َُٰٓ‫ّلل‬ ََّٰٓ ‫ت َٰٓوَٰٓٱ‬ َٰٓ ‫ج‬ َٰٓ ‫وا َٰٓ ِمن ُكمَٰٓ َٰٓ َٰٓوٱلَّذِينَٰٓ َٰٓأُوتُوآَٰ َٰٓٱلَٰٓ ِعلَٰٓمَٰٓ َٰٓدر‬ َٰٓ ُ‫ٱلَّذِينَٰٓ َٰٓءامن‬ َٰٓ‫ّللُ َٰٓ ِبما‬ َٰٓ َٰٓ١١ََٰٰٓٓ‫تعَٰٓملُونََٰٰٓٓخبِير‬ ”Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia mencari ilmu atau menjadi ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan, dan mengamati kejadiankejadian (Fathir: 27; al-Hajj: 5; Luqman: 20; alGhasyiyah: 17-20; Yunus: 101; al-Anbiya’: 30), membaca (al- ‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian (al-An’am: 97; Yunus: 5), supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang berpikir atau yang menalar berbagai fenomena (al-Nahl: 11; Yunus: 101; al-Ra’d: 4; al-Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-Jatsiyah: 5, 13), menjadi ulu alalbab (Ali ‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar: 18), dan mengambil pelajaran (Yunus: 3). Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang 6 sains dan teknologi, dapat diketahui dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca). Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS al‘Alaq: 1-5) Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun tidak. Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh manusia. (Shihab, 1996:433) Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang bereperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani mengajukan beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama sebagai berikut: 1. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat al-Zumar: ََٰٰٓٓ‫حذ َُٰٓر َٰٓٱلَٰٓ ِخرة‬ َٰٓ ‫اجدَٰٓا َٰٓوقآَٰئِمَٰٓا َٰٓي‬ َِٰٓ َٰٓ‫أ َّمنَٰٓ َٰٓ ُه َٰٓو َٰٓقَٰٓنِتَٰٓ َٰٓءانآَٰ َٰٓء َٰٓٱلَّي‬ ِ ‫ل َٰٓس‬ َٰٓ ‫ويرَٰٓ ُجوآَٰ َٰٓر‬ َٰٓ‫ِين‬ َٰٓ ‫حمةَٰٓ َٰٓر ِب َِٰٓهۦۗ َٰٓقُلَٰٓ َٰٓهلَٰٓ َٰٓيسَٰٓت ِوي َٰٓٱلَّذِينَٰٓ َٰٓيعَٰٓل ُمونَٰٓ َٰٓوَٰٓٱلَّذ‬ َٰٓۗ ‫لََٰٰٓٓيعَٰٓل ُم‬ َٰٓ ‫ونَٰٓإِنَّمآَٰيتذ َّك َُٰٓرَٰٓأُولُوآََٰٰٓٱ‬ َٰٓ َٰٓ٩َٰٓ‫ب‬ َِٰٓ َٰٓ‫للَٰٓب‬ “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan 7 orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS 2:31; QS 12:76; QS 16: 70. 2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak hanya berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya, firman Allah pada surat Fathir ayat 27-28: ََٰٰٓٓ‫خرجَٰٓنا َٰٓ ِب َِٰٓهۦ َٰٓثمرَٰٓت‬ َٰٓ ‫سمآَٰ َِٰٓء َٰٓمآَٰءَٰٓ َٰٓفأ‬ ََّٰٓ ‫ألمَٰٓ َٰٓترَٰٓ َٰٓأ‬ َّ ‫ن َٰٓٱ َّّللَٰٓ َٰٓأنزلَٰٓ َٰٓ ِمنَٰٓ َٰٓٱل‬ َٰٓ‫خت ِلفََٰٰٓٓألَٰٓ َٰٓونُها‬ َٰٓ ‫يضَٰٓو ُحمَٰٓرََٰٰٓٓ ُّم‬ َٰٓ ‫لَٰٓ ُجد َُٰٓدَٰٓ ِب‬ َِٰٓ ‫خت ِلفًآَٰألَٰٓوَٰٓنُهآََٰٰٓو ِمنََٰٰٓٓٱلَٰٓ ِجبا‬ َٰٓ ‫ُّم‬ َِٰٓ َٰٓ‫اس َٰٓوَٰٓٱلدَّوا‬ َٰٓ ِ َّ‫ َٰٓو ِمنَٰٓ َٰٓٱلن‬٢٧َٰٓ َٰٓ‫سود‬ َُٰٓ ‫وغرا ِب‬ َٰٓ ‫ب َٰٓ َٰٓوٱ‬ ََٰٰٓٓ‫خت ِلف‬ َٰٓ ‫لنَٰٓعَٰٓ ِمَٰٓ َٰٓ ُم‬ ُ َٰٓ ‫يب‬ َٰٓ‫ّلل‬ ََّٰٓ ‫ن َٰٓٱ‬ ََّٰٓ ِ‫ّلل َٰٓ ِمنَٰٓ َٰٓ ِعبا ِدَِٰٓه َٰٓٱلَٰٓعُلمَٰٓؤ ُۗآَٰ َٰٓإ‬ ََّٰٓ ‫خشى َٰٓٱ‬ َٰٓ ‫ك َٰٓإِنَّما َٰٓي‬ َٰٓۗ ‫ألَٰٓ َٰٓونُ َٰٓهُۥ َٰٓكذَٰٓ ِل‬ َٰٓ َٰٓ٢٨ََٰٰٓٓ‫ع ِزيزََٰٰٓٓغفُور‬ ”Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buahbuahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat, Dan demikian (pula) di antara manusia, binatangbinatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hambahamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun 3. Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. “Qarun berkata : Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44-45). Di samping itu, subyek yang dituntut oleh wahyu pertama (al‘Alaq: 1-5) adalah manusia, karena potensi ke arah itu hanya diberikan oleh Allah swt. kepada jenis makhluk ini. Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari fungsi dan tanggung jawab 8 manusia sebagai khalifah Allah di atas muka bumi. Sedangkan bumi dan langit beserta isinya telah ‘ditundukkan’ bagi kepentingan manusia. Mari perhatikan firman Allah di dalam surat al-Jatsiyah ayat 13: َٰٓ‫ن‬ ََّٰٓ ‫ضَٰٓج ِميعَٰٓآَٰ ِمنَٰٓهََُٰٰٓٓ ِإ‬ َٰٓ ‫تَٰٓومآَٰ ِفيَٰٓٱ‬ َِٰٓ َٰٓ‫سمَٰٓو‬ َٰٓ ِ َٰٓ‫لر‬ َّ ‫وس َّخرََٰٰٓٓلَٰٓ ُكمَٰٓ َّمآَٰ ِفيَٰٓٱل‬ َٰٓ َٰٓ١٣ََٰٰٓٓ‫فِيَٰٓذَٰٓ ِلكََٰٰٓٓلَٰٓيَٰٓتََٰٰٓٓ ِلق َٰٓومََٰٰٓٓيتف َّك ُرون‬ “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir Kata sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau kata yang semakna dengan itu banyak ditemukan di dalam alQur’an yang menegaskan bahwa Allah swt. Menundukkan semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-peraturan (sunnatullah) Nya, sehingga manusia dapat mengambil manfaat sepanjang manusia mau menggunakan akal dan pikirannya serta mengikuti langkah dan prosedur yang sesuai dengan sunnatullah itu. Misalnya, menurut Baiquni, (1997: 15-16 ) tertiupnya sehelai daun yang kering dan pipih oleh angin yang membawanya membumbung tinggi ke atas adalah karena aliran udara di sekitarnya. Orang yang melakukan pengamatan dan penelitian untuk menemukan jawaban atas pertanyaan: “bagaimana daun itu diterbangkan?”, niscaya akan sampai kepada sunnatullah yang menyebabkan daun itu bertingkah laku seperti yang tampak dalam pengamatannya. Pada dasarnya, sebuah benda yang bentuknya seperti daun itu, yang panjang dan bagian pinggir dan lebarnya melengkung kebawah, akan mengganggu aliran udara karena pada bagian yang melengkung itu aliran udara tidak selancar di tempat lain.Akibatnya, tekanan udara di lengkungan itu lebih tinggi dari pada bagian lainnya sehingga benda itu terangkat. Orang yang melakukan pengamatan dan penelitian itu menemukan sunnatullah yang dalam ilmu pengetahuan disebut aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap dalam bidang aerodinamika dan pengetahuan tentang sifat-sifat material tertentu manusia 9 mampu menerapkan ilmunya itu untuk membuat pesawat terbang yang dapat melaju dengan kecepatan tertentu. Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan dialam semesta ini, manusia telah dibekali oleh Allah SWT dua potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di dalam diri manusia) dan potensi sumber daya alam (di luar diri manusia). Di samping itu, al-Qur’an juga memberikan tuntunan praktis bagi manusia berupa langkahlangkah penting bagaimana memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu pengetahuan ditunjukkan alQur’an dalam surat al-Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup proses kagum, mengamati, dan memahami. Dalam konteks sains, al-Qur’an mengembangkan beberapa langkah/proses sebagai berikut. Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk mengenali secara seksama alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat dan proses-proses alamiah yang terjadi di dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101. ُ ‫ل َٰٓٱن‬ َٰٓ‫ت‬ َُٰٓ َٰٓ‫ض َٰٓوما َٰٓتُغَٰٓنِي َٰٓٱلَٰٓي‬ َٰٓ ‫ت َٰٓوَٰٓٱ‬ َِٰٓ َٰٓ‫سمَٰٓو‬ َٰٓ ِ َٰٓ‫لر‬ َِٰٓ ُ‫ق‬ َّ ‫ظ ُروآَٰ َٰٓماذا َٰٓفِي َٰٓٱل‬ َٰٓ َٰٓ١٠١ََٰٰٓٓ‫لَٰٓيُؤَٰٓ ِمَٰٓنُون‬ ََّٰٓ ََٰٰٓٓ‫وَٰٓٱلنُّذُ َُٰٓرَٰٓعنَٰٓق َٰٓوم‬ “Katakanlah "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman" Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni memahaminya tidak sekedar memperhatikan dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian yang seksama terhadap kebesaran Allah SWT dan makna dari gejala alam yang diamati (Baiquni, 1997:20). Perintah ini tampak lebih jelas lagi di dalam firman Allah di surat al-Ghasyiyah ayat 17-20 : ُ ‫أفلَٰٓ َٰٓين‬ َٰٓ‫سمآَٰ َِٰٓء‬ َِٰٓ ِ‫لب‬ َِٰٓ ‫ظ ُرونَٰٓ َٰٓ ِإلى َٰٓٱ‬ َّ ‫ َٰٓ َٰٓو ِإلى َٰٓٱل‬١٧َٰٓ َٰٓ‫ل َٰٓكيَٰٓفَٰٓ َٰٓ ُخ ِلقت‬ َِٰٓ ‫ َٰٓو ِإلى َٰٓٱلَٰٓ ِجبا‬١٨َٰٓ َٰٓ‫كيَٰٓفَٰٓ َٰٓ ُرفِعت‬ َٰٓ‫ َٰٓ َٰٓو ِإلى‬١٩َٰٓ َٰٓ‫صبت‬ ِ ُ‫ل َٰٓكيَٰٓفَٰٓ َٰٓن‬ َٰٓ ‫ٱ‬ َٰٓ َٰٓ٢٠َٰٓ‫ت‬ َٰٓ ‫س ِطح‬ َٰٓ ِ َٰٓ‫لر‬ ُ ََٰٰٓٓ‫ضَٰٓكيَٰٓف‬ 10 “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan, Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, Dan bumi bagaimana ia dihamparkan Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan pengukuran terhadap gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam surat al-Qamar ayat 149. Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang mendalam terhadap fenomena alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat untuk mencapai kesimpulan yang rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 11-12. Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur’an itulah yang sesungguhnya yang dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu observasi (pengamatan), pengukuran-pengukuran, lalu menarik kesimpulan (hukum-hukum) berdasarkan observasi dan pengukuran itu. Meskipun demikian, dalam perspektif al-Qur’an, kesimpulan-kesimpulan ilmiah rasional bukanlah tujuan akhir dan kebenaran mutlak dari proses penyelidikan terhadap gejala-gejala alamiah di alam semesta. Sebab, seperti pada penghujung ayat yang menjelaskan gejala-gejala alamiah, kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna menjadi tujuan hakiki di balik fakta-fakta alamiah yang dinampakkan. Memahami tanda-tanda kekuasaan Pencipta hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang terdidik dan bijak yang berusaha menggali rahasia-rahasia alam serta memiliki ilmu (keahlian) dalam bidang tertentu. Ilmu-ilmu kealaman seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, biologi, geologi dan lainnya merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk memahami fenomena alam semesta secara tepat. Dengan bantuan ilmu-ilmu serta didorong oleh semangat dan sikap rasional, maka sunnatullah dalam wujud keteraturan tatanan (order) di alam ini tersingkap. C. Prinsip-Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah dalam al-Qur’an Atas dasar pandangan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan (sains dan teknologi), dapat dirumuskan beberapa 11 prinsip dasar yang menopang dan memantapkan kegiatan ilmiah manusia sebagai berikut. 1. Prinsip Istikhlaf Prinsip istikhlaf merupakan salah satu prinsip dasar yang digariskan oleh al-Qur’an dalam mendukung dan memantapkan kegiatan imiah. Konsep istikhlaf ini berkaitan erat dengan fungsi kekhalifahan manusia. Dalam Islam, konsep kekhalifahan memiliki sifat yang multi dimensional. Pertama, konsep kekhalifahan telah menempatkan manusia sebagai pengatur dunia ini dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu, imanusia dibekali dengan dua kekuatan pokok, wahyu Allah dan kemampuan berpikir (akal). Apabila dua kekuatan itu dipergunakan sebagaimana mestinya, maka manusia akan meraih keberhasilan dalam kehidupan kini dan kehidupan nanti. Kedua, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang paling bertanggung jawab terhadap Allah dibandingkan makhlukmakhluk lainnya. Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari anugerah kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya. Ketiga, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang memiliki peranan penting untuk mengolah potensi-potensi alam semesta. Manusia paling berperan dalam mengelola seluruh aspek kehidupan, baik aspek fisik, sosial, dan spiritual yang didasarkan pada hukum-hukum Allah. Sungguhpun demikian, karena pusat kehidupan alam semesta ini adalah Allah (Dia yang menciptakan, menggerakkan segala sesuatu, dan mengawasinya), bukan manusia, maka manusia memiliki kemampuan terbatas. 2. Prinsip Keseimbangan Prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh Al-Qur’an adalah keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, spiritual dan material. Prinsip ini dibahas secara luas dan mendalam di dalam al-Qur’an dengan mengambil berbagai bentuk ungkapan. Manusia disusun (diciptakan) oleh Allah SWT dengan susunan dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan bumi ini dengan kehendak-Nya untuk memenuhi kebutuhan susunan yang 12 membentuk manusia itu. Dengan demikian, al-Qur’an menghendaki terwujudnya keseimbangan yang adil antara dua sisi kejadian manusia (spiritual dan material) sehingga manusia mampu berbuat, berubah dan bergerak secara seimbang. 3. Prinsip Taskhir Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk pandangan al-Qur’an tentang alam semesta (kosmos). Dan, tidak dapat dipungkiri, manifestasi prinsip ini ke dalam kehidupan riil manusia harus ditopang oleh ilmu pengetahuan. Alam semesta ini (langit, bumi, dan seisinya) telah dijadikan oleh Allah untuk tunduk kepada manusia. Allah telah menentukan dimensi, ukuran, dan sunnah-sunnah-Nya yang sesuai dengan fungsi dan kemampuan manusia dalam mengelola alam semesta secara positif dan aktif. Tetapi, bersamaan dengan itu, al-Qur’an juga meletakkan nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur hubungan antara manusia dan alam semesta. Oleh sebab itu, alQur’an sangat mengecam ekspoitasi yang melampaui batas. Prinsip taskhir yang ditopang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan metodologinya merupakan faktor kondusif bagi manusia dalam membangun bentuk-bentuk peradaban yang sesuai dengan cita-cita manusia dan kemanusiaan. 4. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik Prinsip penting lainnya adalah keterkaitan antara sistem penciptaan yang mengagumkan dengan Sang Pencipta Yang Maha Agung. Ilmu pengetahuan adalah alat yang mutlak untuk memberikan penjelasan dan mengungkapkan keterkaitan itu. Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik telah menghabiskan sebagian besar umurnya untuk mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap fenomena alam dan akhirnya mereka sampai kepada kesimpulan yang pasti dan tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya di balik semua realitas yang diciptakan (makhluk) pasti ada yang menciptakan. Proses penciptaan yang berada pada tingkat sistem yang begitu rapih, teliti, serasi, tujuannya telah ditentukan, dan keterikatannya terarah, pastilah bersumber dari kehendak Yang Maha Tinggi, Maha Kuasa, dan Maha Mengatur. Berdasarkan empat prinsip di atas, maka jelaslah bahwa ilmu 13 pengetahuan (sains dan teknologi) merupakan kebutuhan dasar manusia yang Islami selama manusia melakukannya dalam rangka menemukan rahasia alam dan kehidupan serta mengarahkannya kepada Pencipta alam dan kehidupan tersebut dengan cara-cara yang benar dan memuaskan. D. Sains dan Teknologi Modern: Pertimbangan Epistemologis Berdasarkan prinsip-prinsip al-Qur’an di atas, beberapa isu penting di seputar epistemologi sains dan teknologi modern patut dipertimbangkan. Persoalan apakah sains dan teknologi itu netral ataukan sarat nilai menjadi perhatian dan polemik di kalangan ilmuwan Barat sejak Spengler menerbitkan bukunya The Decline of the West setelah Perang Dunia I. Argumen bahwa sains itu netral – bahwa sains bisa digunakan untuk kepentingan yang baik atau buruk; bahwa pengetahuan yang mendalam tentang atom bisa untuk menciptakan bom nuklir dan juga bisa menyembuhkan penyakit kanker; bahwa ilmu genetika bisa dipergunakan untuk mengembangkan teknologi pertanian dan juga bisa dipergunakan untuk “menyaingi Tuhan” (ingat rekayasa genetika) – semua tampak amat meyakinkan. Tetapi, benarkah sains dapat dipisahkan dari penerapannya (teknologi)? Padahal, sejak masa renaissance (masa kelahiran sains modern) tujuan sains adalah untuk diterapkan dengan menempatkan manusia sebagai penguasa alam dan memberinya kebebasan untuk mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia sendiri, apapun akibat yang ditimbulkannya. Dampak-dampak fisis dari penerapan sains ini tentunya sudah dirasakan dalam realitas kehidupan dahulu dan saat ini. Dengan demikian, pada hakekatnya sains tidak dapat dipisahkan dari penerapannya, baik atau buruk, sehingga sains tidak netral. Pernyataan ini, sudah barang tentu, mengundang pertanyaan: “sistem nilai siapa yang mempengaruhi sains?”.Berdasarkan penelitian Shaharir, (1992: 20) ada indikasi kuat bahwa sains banyak dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut komunitas ahli sains yang terkait, yang setengahnya tidak serasi dengan nilai Islam. Oleh sebab itu, nilai-nilai yang menyertai sains modern harus diantisipasi secara cermat agar kita tidak terperangkap 14 dalam nilai-nilai yang tidak Islami itu.Di sisi lain, sejak awal kemunculannya, sains telah mengembangkan suatu pola di mana rasionalisme dan empirisme menjadi pilar utama metode keilmuan (scientific method). Pola berpikir sains ini ternyata telah berpengaruh luas pada pola pikir manusia di hampir semua bidang kehidupannya. Sehingga, penilaian manusia atas realitasrealitas – baik realitas sosial, individual, bahkan juga keagamaan – diukur berdasarkan kesadaran obyektif di eksperimen, pengalaman empiris, dan abstraksi kuantitatif adalah cara-cara yang paling bisa dipercaya. Akibatnya, seperti pengalaman AB Shah (1987) (ilmuwan India) yang ingin memanfaatkan sains untuk memajukan masyarakat India, sains telah memungkinkan manusia untuk memandang setiap persoalan secara obyektif dan membebaskan manusia dari ikatan-ikatan takhayul. Akan tetapi, sayangnya, sains juga membebaskan manusia dari agamanya. Tampaknya, menurut AB Shah, dunia pengalaman kita sudah semakin sempit. Yang nyata adalah yang empiris, rasional. Selain itu, termasuk agama, adalah mitos, obsesi dan khayalan. Di samping itu, sains juga membawa nilai-nilai sekularisme. Sains memisahkan secara jelas antara dunia material dengan spiritual, antara pengamat dengan yang diamati, antara subyek dengan obyek, antara manusia dengan alam. Akibatnya, karena sains hanya mengamati fakta dan aspek yang dapat diukur, sifat ruhaniah dari alam dan benda-benda yang ada di dalamnya dihilangkan. Inilah yang disebut sekularisme oleh Naquib alAttas. (1991) Belum diketahui secara persis sejauh mana dampak nilai-nilai yang menyertai perkembangan sains itu terhadap masyarakat Muslim. Akan tetapi, apa yang dikemukan di atas (bahkan mungkin lebih dari itu) bukanlah rekaan dan mengadaada. Inilah ancaman serius bagi generasi sekarang dan generasi mendatang, yang oleh Ziauddin Sardar (1987: 86) digambarkan sebagai imperialisme epistemologis. Dalam ungkapannya:“Epistemologi peradaban Barat kini telah menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian yang dominan dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif lainnya. Jadi, semua masyarakat Muslim, dan bahkan sesungguhnya seluruh planet ini, dibentuk dengan citra manusia Barat.” 15 Perangkap epistemoogi peradaban (termasuk di dalamnya sains dan teknologi) Barat demikian kuatnya yang, tampaknya, tidak memungkinkan bagi siapapun untuk menghindar darinya. Bagi umat Muslim, sungguhpun belum mampu menciptakan epistemologi alternatif sebagai tandingan, dalam kapasitas kemampuan masing-masing umat harus kembali kepada al-Qur’an seraya mencermati pesan-pesan ilahiyah yang terkandung dalam fenomena alam semesta. Harus diyakini sepenuhnya bahwa semua yang diciptakan oleh Allah SWT memiliki kerangka tujuan ilahiyah. Berpijak pada ajaran Tauhid – di mana Allah SWT adalah Pencipta alam semesta, segala sesuatu berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya – seyogyanya setiap langkah yang diambil ditujukan untuk memperoleh keridhaanNya dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Penyelidikan untuk menyingkap rahasia alam semesta tanpa terkecuali terkait dengan kerangka tujuan ini. Al-Qur’an tidak menghendaki penyelidikan terhadap alam semesta hanya untuk pemuasan keinginan (science for science), seperti yang berlaku di Barat. Menurut al-Qur’an, sains hanyalah alat untuk mencapai tujuan akhir. Pemahaman seseorang terhadap alam harus mampu membawa kesadarannya kepada Allah SWT Yang Maha Sempurna dan Maha Tak Terbatas. Dalam perspektif inilah al-Qur’an menampakkan dimensi spiritual dalam kisah Nabi Ibrahim a.s. di dalam surat al-An’am: 76-79. Keyakinan Tauhid yang kokoh akan membuka cakrawala peneliti kepada pandangan alam yang lebih komprehensif. Ia tidak lagi melihat alam secara parsial dan sebagai bagian yang terpisah dari dirinya, melainkan kesaling-hubungan dalam kesatuan di balik keragaman. Inilah yang diisyaratkan al-Qur’an bahwa setiap benda yang diciptakan oleh Allah berada dalam satu kerangka tujuan, sehingga benda terkecilpun memiliki nilai. Ajaran Tauhid juga dapat membimbing manusia kepada kesadaran adanya realitas supranatural di luar realitas eksternal yang dapat diindera. Oleh sebab itu, ada banyak hal yang tidak bisa diraih lewat indera dan dengan demikian tumbuh suatu kesadaran bahwa pada hakekatnya pengetahuan manusia itu sangat terbatas. 16 E. Implikasi Pandangan al-Quran tentang Sains dalam Pembelajaran Merujuk kepada pandangan Barbour tentang relasi agama dan sains, secara umum ada empat pola yang menggambarkan hubungan tersebut. Keempat hubungan itu adalah berupa konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Hubungan yang bersifat konflik menempatkan agama dan sains dalam dua sisi yang terpisah dan saling bertentangan. Pandangan ini menyebabkan agama menjadi terkesan menegasi kebenaran-kebenaran yang diungkap dunia sains dan sebagainya. Persepsi yang menggambarkan hubungan keduanya sebagai interdependensi menganggap adanya distribusi wilayah kekuasaan agama yang berbeda dari wilayah sains. Keduanya tidak saling menegasi. Ilmu pengetahuan bertugas memberi jawaban tentang proses kerja sebuah penciptaan dengan mengandalkan data publik yang obyektif. Sementara agama berkuasa atas nilai-nilai dan kerangka makna yang lebih besar bagi kehidupan seseorang. Yang ketiga adalah persepsi yang menempatkan sains dan agama bertautan dalam model dialog. Model ini menggambarkan sains dan agama itu memiliki dimensi irisan yang bisa diperbandingkan satu sama lain. Pertanyaan sains bisa dipecahkan melalui kajian-kajian agama dan sebaliknya. Keempat, hubungan antara sains dan agama itu dinyatakan sebagai hubungan terintegrasi. Integrasi ini bisa digambarkan dalam dua bentuk yakni teologi natural (natural theology) yang memandang bahwa temuan-temuan ilmiah itu merupakan sarana mencapai Tuhan, dan teologi alam (theology of nature) yang menganggap bahwa pertemuan dengan Tuhan harus senantiasa di-up grade sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan (Barbour, 2005). Sejak pertama kali diturunkan, al-Quran telah mengisyaratkan pentingnya ilmu pengetahuan dan menjadikan proses pencariannya sebagai ibadah. Di samping itu, al-Quran juga menegaskan bahwa satu-satunya sumber ilmu pengetahuan adalah Allah SWT. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi ilmu dalam pandangan al-Quran. Tidak ada 17 satu ayat pun di dalam al-Quran, yang secara tegas maupun samar, yang memberi petunjuk bahwa agama dan sains merupakan dua sisi yang berbeda. Dengan demikian, dalam pandangan al-Quran, sains dan agama merupakan dua hal yang terintegrasi. Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses mengamati, menemukan, memahami, dan menghayati sunnatullah, yang berupa fenomena alamiah maupun sosial, kemudian mengaplikasikan pemahaman tersebut bagi kemaslahatan hidup manusia dan lingkungannya serta menjadikan kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna sebagai tujuan hakiki dari kegiatan pembelajaran. Tujuan ini akan membimbing peserta belajar kepada kesadaran adanya realitas supranatural di luar realitas eksternal yang dapat ia indera/rasakan. Oleh sebab itu, prinsip-prinsip dasar kegiatan ilmiah yang digariskan al-Quran, (istikhlaf, keseimbangan, taskhir, dan keterkaitan antara makhluk dengan Khalik) harus dijadikan titik tolak dalam mempelajari subyek apapun. Pada tataran praktis, proses pembelajaran di lembagalembaga pendidikan formal, dari jenjang tingkat dasar hingga perguruan tinggi, masih menghadapi perosalan serius yang bermuara pada dikotomi pandidikan. Ada beberapa persoalan yang signifikansi dampak dari dikotomi pendidikan ini, yaitu: 1) munculnya ambivalensi orientasi pendidikan yang berdampak pada munculnya split personality dalam diri peserta didik; 2) kesenjangan antara sistem pendidikan dengan ajaran Islam berimplikasi pada out put pendidikan yang jauh dari cita-cita pendidikan Islam. Untuk meretas persoalan dikotomi tersebut, maka perlu dilakukan upaya integrasi dalam pendidikan, sebagaimana yang telah di lakukan sekelompok ahli pendidikan atau cendekiawan Muslim yang peduli pada persoalan tesebut. Ada tiga tahapan upaya kerja integrasi yang telah di kembangkan yaitu: 1) integrasi kurikulum, 2) integrasi pembelajaran, 3) integrasi ilmu (Islamisasi ilmu). Integrasi kurikulum mencakup pengintegrasian nilai-nilai ilahiyah dalam keseluruhan materi pelajaran, mulai dari perumusan standar kompetensi sampai dengan evaluasi pembelajaran. Integrasi pembelajaran yang dimaksud adalah menanamkan motivasi dan pandangan al-Quran tentang sains 18 kepada peserta didik di saat proses pembelajran berlangsung. Dua langkah awal (integrasi kurikulum dan integrasi pembelajaran) merupakan langkah strategis ke arah integrasi ilmu. Kalaupun upaya integrasi di atas belum bisa dilakukan, setidaknya, pembelajaran sains (kealaman maupun sosial) harus mampu menghantarkan peserta didik kepada kesadaran yang permanen tentang keberadaan Allah. Sementara pembelajaran agama harus mampu memotivasi peserta didik untuk melakukan kegiatan ilmiah secara terus-menerus. Inilah yang sesungguhnya yang menjadi inti pandangan al-Quran tentang sains. F. Al-Qur’an dan Integrasi Keilmuan Islam sebagai objek studi merupakan topik yang atraktif diperbincangkan di kalangan ilmuwan. Gejala pada agama yang dapat dijadikan objek studi semisal scripture, penganut dan/atau pemuka agama, ritus, lembaga, atau ibadat-ibadat, alat-alat seperti masjid, dan organisasi keagamaan 1 adalah‘lahan empuk’ yang selalu ‘seksi’ untuk diselami secara ilmiah. Bahkan, pengembangan keilmuan Islam dapat diulas dalam varian perspektif untuk menghasilkan ilmu yang aktual. Ciri pembeda dari kajian keislaman ini adalah pada rambu dogmatiknya, khususnya pada dimensi sakralitas yang integratif oleh Islam itu sendiri. Dengan tetap memerhatikan dimensi sakralitasnya, studi Islam menjadi tantangan tersendiri bagi seorang akademisi untuk memosisikan sebuah paradigma dan kerangka teoretis, serta menjalani metodologi yang tepat dalam menggali hakikat Islam sebagai objek studi. Oleh karena itu, topik integrasi keilmuan menemukan momentum performatifnya untuk diurai, terutama dalam kaitannya dengan studi Alquran. Studi Alquran merupakan mata kuliah pokok di perguruan tinggi Islam di semua fakultas dan jurusan. Untuk lingkup Fakultas Ushuluddin, studi Alquran tersaji dalam varian mata kuliah seperti Ulumul Qur’an dan 1 Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. V, 13-14. 19 Tafsir. Kesemua mata kuliah tersebut tersaji di semua jurusan di lingkungan Fakultas Ushuluddin. Penyajian mata kuliah ini terbilang penting mengingat objek pembahasannya adalah Alquran yang merupakan dasar dan pokok studi keislaman. Konsekuensi dari pengkajian terhadap Alquran telah melahirkan varian disiplin keilmuan yang mengalami perkembangan sesuai konteks spasial-temporal. Salah satu aspek interaktif dari pengkajian studi Alquran adalah ketika mengaitkannya dengan pengembangan konsep integrasi keilmuan. 1. Konsep Integrasi Keilmuan Secara leksikal, term ‘integrasi’ berasal dari kata Inggris integration dari kata kerja integrate yang berarti menggabungkan, menyatupadukan, mempersatukan, atau mengintegrasikan. Makna leksikal dari kata integrasi ini dapat diartikan sebagai penggabungan atau penyatuan beberapa hal menjadi satu kesatuan yang solid dan utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Secara konsep keilmuan, tidak ada pemisahan antara satu disiplin keilmuan dengan disiplin keilmuan lainnya. Semuanya berjalan menurut konteksnya dan saling melengkapi satu sama lain dan memberi manfaat dalam kehidupan manusia. Jika ditinjau historisitasnya, konsep integrasi keilmuan bukanlah barang baru, karena telah didiskusikan oleh ulama-ulama klasik Islam. Sebagai contoh, al-Syafi’i dalam karya monumentalnya al-Umm, mendasari uraian master piece-nya itu dengan memosisikan Alquran dan Hadis sebagai sumber utama keilmuan. Kedua pedoman tersebut menetapkan prinsip dasar dan petunjuk bagi manusia untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Senada dengannya, ulama klasik Islam lainnya memadukan tiga aspek dalam upaya integrasi keilmuan: spiritual, intelektual, dan moral. Keterkaitan ketiga aspek tersebut disejajarkan dengan eratnya kepaduan antara akidah, syariah, dan akhlak. Dalam format serupa, al-Ghazali mendeskripsikan kepaduan tiga aspek, yaitu qalb (hati), ‘aql (intelektualitas), dan nafs (nafsu). Dan, tidak kalah menariknya adalah ketika Ibn Khaldun menjelaskan bahwa keilmuan manusia merupakan 20 fenomena alami manusia yang bersumber dari dua rujukan utama, yaitu wahyu (revelation) dan alam (the universe).2 Ulasan ini menjadi dalil tak terbantahkan bahwa perbincangan tentang integrasi keilmuan juga telah lebih dulu hadir sebelum diwacanakan beberapa dasawarsa terakhir. Bahkan, wacana integrasi ilmu oleh ulama klasik sudah memperbincangkan tentang kelanjutan dari konsep itu, yang dapat disebut ‘melampaui konteks zamannya’. Istilah yang sering dipadankan dengannya “integrasi keilmuan” adalah “islamisasi pengetahuan” (islamization of Knowledge) yang meniscayakan dua prinsip utama. Pertama, Sumber utama dari semua ilmu dan pengetahuan adalah Alquran dan Hadis; Kedua, Metode yang ditempuh untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan haruslah islami. Untuk mewujudkan upaya tersebut, dibutuhkan pemenuhan 4 (empat) kriteria, yaitu alam, hukum alam, pengajaran yang islami (prinsip dan arahan), dan nilai Islam (moral dan estetika). 3 Oleh Kuntowijoyo, pokok dari konsep integrasi adalah penyatuan (bukan sekadar penggabungan) antara wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia.4 Menurutnya, konsep integrasi adalah memberi proporsi yang layak bagi Tuhan dan manusia dalam keilmuan. Dengan begitu, integrasi keilmuan bukanlah ‘sekularisme’, bukan juga ‘asketisisme’. Ia diharapkan dapat menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dan agama-agama radikal dalam banyak sektor. Senada dengan itu, Imam Suprayogo juga mendefinisikan integrasi keilmuan sebagai pemosisian Alquran dan Hadis sebagai grand theory bagi pengetahuan. 5 Dengan begitu, W. Mohd Azam. Mohd Amin, “A Preliminary Analysis of The Classical Views of The Concept of Integration of Knowledge,” Revelation and Sciences 04, no. 02 (2014): 14 3 Fouzia Ferdous dan Muhammad Athar Uddin, “Toward Islamization of Science and Technology,” IIUC Studies Vol. 9, no. 9 (2011): 236. 4 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2006), 55. 5 Imam Suprayogo, “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN Malang,” in Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, ed. Zainal Abidin Bagir (Bandung: Mizan, 2005), 49-50. 2 21 argumentasi naqli tersebut dapat terpadukan dengan temuan ilmu. Lahirnya konsep integrasi dilatari oleh dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Keduanya terpisahkan dan seolah berjalan pada wilayahnya masing-masing. Ia juga dipicu oleh separasi antara sistem pendidikan Islam dan sistem endidikan modern yang berdampak laten bagi umat Islam. Asumsi yang berkembang adalah “ilmu tidak peduli dengan agama, begitupun (sebaliknya) agama abai terhadap ilmu”. Hal ini juga berimplikasi pada berkembangnya slogan “ilmu untuk ilmu”, yang acapkali menapikan nilai etika dalam implementasinya. Ilmu dan agama seolah dua entitas yang berlainan dan terpisah satu sama lain, mempunyai wilayah masing-masing, baik objek formal–material keilmuan, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan, bahkan ke tingkat institusi penyelenggaranya.6 Beberapa model integrasi keilmuan yang telah ada dapat menjadi inspirasi dan pijakan untuk memperkaya upaya integrasi keilmuan. Beberapa model tersebut yaitu: a) IFIAS (International Federation of Institutes of Advance Study), yaitu tidak ada pemisahan antara sarana dan tujuan sains, karena keduanya harus tunduk pada landasan etika dan nilai keimanan. Dengan kata lain, upaya intelektualitas harus tunduk pada batasan etika dan nilai Islam; b) ASASI (Akademi Sains Islam Malaysia), yaitu pelibatan nilai-nilai dan ajaran Islam dalam kegiatan penelitian ilmiah. Model ini dikembangkan sejak tahun 1977 di Malaysia; c) Islamic Worldview, yaitu menempatkan pandangan dunia Islam sebagai dasar bagi epistemologi keilmuan Islam secara menyeluruh dan integral. Model ini dikembangkan oleh Alparslan Acikgene; d) Struktur Pengetahuan Islam, yaitu bahwa secara sistematik, pengetahuan telah diorganisasikan dan dibagi ke dalam sejumlah disiplin akademik. Model ini sebagai bagian dari 6 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 92. 22 upaya mengembangkan hubungan yang komprehensif antara ilmu dan agama. Model ini digagas oleh Osman Bakar; e) Bucaillisme, yaitu mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat Alquran. Model ini dikembangkan oleh Maurice Bucaille, ahli Medis Perancis; f) Berbasis Filsafat Klasik, yaitu berusaha memasukkan tauhid dalam skema teorinya. Allah SWT diposisikannya sebagai kebenaran yang hakiki, sedangkan alam hanya merupakan wilayah kebenaran terbawah. Model ini digagas oleh Seyyed Hossein Nasr; g) Berbasis Tasawuf, yaitu memosisikan deislamisasi sebagai westernisasi. Model ini diinisiasi oleh Syed Muhammad Naquib alAttas; h) Berbasis Fikih, yaitu menjadikan Alquran dan Hadis sebagai puncak kebenaran. Model ini dikembangkan oleh Ismail Raji’ alFaruqi dengan tidak menggunakan warisan sains Islam; i) Kelompok Ijmali, yaitu menggunakan kriterium ‘adl dan dalam menjalankan konsep integrasinya. Model ini juga tidak menjadikan warisan sains Islam klasik sebagai rujukan. Model ini dipelopori oleh Ziauddin Zardar; j) Kelompok Aligargh, yaitu bahwa sainsi Islam berkembang dalam suasana ’ilm dan tashkir untuk menghasilkan ilmu dan etika. Model ini digagas oleh Zaki Kirmani di India.7 Dari semua model yang dipaparkan, terlihat bahwa ilmu sekuler (manusia) berada di bawah sumber ilmu yang hakiki, yaitu Tuhan. Dengan begitu, Alquran (dan Hadis) menjadi sumber dan rujukan utama. Standarisasi etika menjadi ‘komoditas’ utama yang harus disertakan dalam upaya integrasi keilmuan. Tinjauan berbeda diuraikan oleh Kuntowijoyo dengan mengenalkan model lain yang lebih “mengapresiasi” ilmu sekuler. Menurutnya, ilmu-ilmu sekuler merupakan produk bersama umat manusia, sedangkan ilmu integralistik (nantinya) adalah produk bersama seluruh manusia beriman. Ia menegaskan bahwa kita Nur Jamal, “Model-Model Integrasi Keilmuan (Format Ideal Perguruan Tinggi Agama Islam),” Islamedia: Jurnal Kajian Keislaman Vol. 1, no. 1 (2011): 197. 7 23 semua sekarang ini adalah produk, partisipan, dan konsumen ilmu-ilmu sekuler, sehingga tidak boleh dipandang rendah. Apresiasi terhadap ilmu sekuler dapat dilakukan dengan mengkritisi dan meneruskan perjalanannya. Sumber pengetahuan itu ada dua, yaitu yang berasal dari Tuhan (revealed knowledge) dan yang berasal dari manusia (secular), yang keduanya diistilahkannya dengan teoantroposentrisme. Diakuinya bahwa ilmu-ilmu sekuler saat ini sedang terjangkiti krisis (tidak dapat memecahkan banyak persoalan), mandek (tertutup untuk alternatif-alternatif), dan mengandung bias-bias seperti filosofis, peradaban, keagamaan, ekonomis, etnis, gender, politik, dan selainnya.8 2. Perspektif Alquran Pada dasarnya, Alquran tidak mengenal prinsip dikotomi antara ilmu agama ataupun ilmu non-agama. Bahkan, Alquran sangat menganjurkan agar setiap orang memerhatikan ayat-ayat qawliyah (Alquran), di samping menggunakan akal dalam memahaminya. Dalam konteks penggunaan akal inilah, utilitas disiplin ilmu-ilmu non-agama yang berbasis pada penalaran ilmiah yang sistematis diperlukan. Kombinasi antara Alquran dan ilmu-ilmu non-agama merupakan sebuah kemestian dalam mengembangkan studi Alquran. Pasalnya, jika tidak mengakomodasi pendekatan ilmiah dalam pengkajian Alquran, maka produk pengkajiannya pun akan bersifat “melangit”, alias “tidak memijakkan kakinya di bumi”. Hal demikian akan berdampak pada minimnya animo pengkaji Alquran untuk menjadikan Alquran sebagai objek kajian. Sejumlah ayat Alquran menyebutkan urgensi konteks integrasi keduanya. Konsep ulul albab yang tersebut dalam QS. Ali ‘Imran 3: 190 mensyaratkan kombinasi dua konsep sekaligus, yaitu dhikr dan fikr. Konsep dhikr menandai dimensi ulu-hiyah (ketuhanan), sementara konsep fikr merupakan dimensi ilmiah. Keduanya harus diintegrasikan agar melahirkan konsep keilmuan yang bernilai. Akomodasi terhadap konteks ilmiah dalam studi Alquran 8 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, 50. 24 sangatlah urgen. Hal demikian dapat mengungkap nilai-nilai integratif dalam ayat Alquran itu sendiri, di samping memberi ‘legalitas ilahiyah’ dari temuan ilmiah kekinian. Studi seperti ini terbilang menarik dan telah menarik atensi pengkaji Alquran. Tersebutlah sejumlah buku semisal Alquran dan Lautan karya Agus S. Djamil (Mizan), alTafsir al-‘Ilmi karya Kementerian Agama RI, dan selainnya. Kajian-kajian mereka berupaya menawarkan penjelasan ilmiah terhadap ayatayat Alquran yang memiliki isyarat-isyarat ilmiah. Sebagai contoh adalah QS. al-Rum 30: 48 dan QS. al-Nur 24: 43 yang menjelaskan tentang siklus air. Dalam kedua ayat tersebut, tidak ditemukan penjelasan rinci mengenai siklus air. Namun, kedua ayat tersebut hanya menjelaskan beberapa bagian dari proses keseluruhannya. Ayat-ayat tersebut menjelaskan tahapan-tahapan pembentukan awan yang menghasilkan hujan, sebagai salah satu bagian dari proses pembentukan siklus air. Terdapat dua fenomena dari penjelasan kedua ayat tersebut, yaitu penyebaran awan dan penyatuan awan. Kedua proses yang berlawanan inilah yang menyebabkan terbentuknya awan hujan. QS. al-Rum 30: 48 menjelaskan tentang awan berlapis (stratus) yang hanya akan terbentuk jika angin bertiup secara bertahap dan perlahan mendorong awan ke atas. Selanjutnya, awan tersebut akan berbentuk seperti lapisan-lapisan yang melebar.9 G. Penerapan Integrasi Al-Qur’an dalam Keilmuan Integrasi adalah konsep yang menegaskan bahwa integrasi keilmuan yang disasar bukanlah model melting-pot integration, di mana integrasi hanya difahami hanya dari perspektif ruang tanpa subtansi. Integrasi yang dimaksud adalah model penyatuan yang antara satu dengan lainnya memiliki keterkaitan yang kuat sehingga tampil dalam satu kesatuan yang utuh. Hal ini perlu karena perkembangan ilmu pengetahuan yang dipelopori Barat sejak lima ratus tahun terakhir, dengan semangat modernisme dan 9 Kementerian Agama RI, Penciptaan Manusia dalam Perspektif alQur’an dan Sains (Jakarta: Kemenag RI dan LIPI, 2012), 165 25 sekulerisme telah menimbulkan pengkotak-kotakan (comparmentalization) ilmu dan mereduksi ilmu pada bagian tertentu saja. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya proses dehumanisasi dan pendangkalan iman manusia. Untuk menyatukan ilmu pengetahuan, harus berangkat dari pemahaman yang benar tentang sebab terjadinya dikotomi ilmu dibarat dan bagaimana paradigma yang diberikan Islam tentang ilmu pengetahuan. Pendidikan yang berlangsung dizaman modern ini lebih menekankan pada pengembangan disiplin ilmu dengan spesialisasi secara ketat, sehingga integrasi dan interkoneksi antar disiplin keilmuan menjadi hilang dan melahirkan dikotomi ilmuilmu agama di satu pihak dan kelompok ilmu-ilmu umum dipihak lain. Dikotomi ini menyebabkan terbentuknya perbedaan sikap di kalangan masyarakat. Dikotomi ini menyebabkan terbentuknya perbedaan sikap dikalangan masyarakat. Ilmu agama disikapi dan diperlakukan sebagai ilmu Allah yang bersifat sakral dan wajib untuk dipelajari namun kurang integratif dengan ilmu-ilmu kealaman atau bisa dibilang adanya jarak pemisah antara ayat-ayat kauliyah dan ayatayat kauniyah. Padahal keduanya saling berhubungan erat. Hal ini berakibat pada pendangkalan ilmu-ilmu umum, karena ilmu umum dipelajari secara terpisah dengan ilmu agama. Ilmu agama menjadi tidak menarik karena terlepas dari kehidupan nyata, sementara ilmu umum berkembang tanpa sentuhan etika dan spiritualitas agama, sehingga disamping kehilangan makna juga bersifat detruktif.10 Allah SWT menciptakan manusia di dunia ini sebagai hamba, disamping itu, manusia memiliki tugas pokok yaitu menyembah kepada-Nya. Selain itu manusia juga sebagai khalifah, oleh karena itu, manusia diberi kemampuan jasmani (pisiologis) dan ruhani (psikologis) yang dapat ditumbuh kembangkan seoptimal mungkin, sehingga menjadi alat yang 10 Team, Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN SUKA, 2006), 14-15. 26 berdaya untuk melaksanakan tugas pokok dalam kehidupannya di dunia.11 Untuk mengembangkan kemampuan dasar jasmaniyah dan ruhaniyah tersebut, maka pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk menentukan sampai dimana titik optimal kemampuan-kemampuan tersebut dapat dicapai. Akan tetapi proses pengembangan kemampuan manusia melalui pendidikan tidaklah menjamin akan terbentuknya watak dan bakat. Hidup tidak bisa lepas dari pendidikan, karena manusia diciptakan tidak hanya untuk hidup. Ada tujuan yang lebih mulia dari sekedar hidup yang mesti diwujudkan, dan itu memerlukan pendidikan untuk memperolehnya. Inilah salah satu perbedaan antara manusia dengan makhluk lain, yang membuat lebih unggul dan mulia. Pendidikan dipandang sebagai salah satu aspek yang memiliki peranan penting dalam membentuk generasi mendatang adalah aspek pendidikan. Dengan demikian melalui pendidikan nilai-nilai ketauhidan diharapkan menghasilkan manusia yang berkualitas dan bertanggung jawab. 12 Dalam tataran realitas operasionalnya, mewujudkan pendidikan yang dicita-citakan di atas bukanlah persoalan yang mudah. Beragam persoalan menghadang bersamaan dengan persoalan riil warganya. Imam Bawani13 menyatakan bahwa ada tiga problem yang sangat mendesak untuk dilakukan kedepan, yaitu bagaimana menyeimbangkan pengokohan imtaq dengan penguasaan iptek di lembaga-lembaga pendidikan, serta memperkuat atmosfir keislaman di institusi pendidikan, dan bagaimana meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan Islam pada umumnya. Dalam dunia pendidikan, iman, ilmu dan amal menjadi sasaran utama untuk dikembangkan secara seimbang, jika tidak ia akan menghasilkan kehidupan yang timpang. Iman berkait dengan keyakinan, ilmu berkait dengan kognisi dan pengetahuan, dan 11 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara 2005), 141. 12 Lihat: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia NOMOR 55 TAHUN 2007, Bab II Pasal 2 13 Imam Bawani, Pendidikan Islam di Indonesia; Beberapa Problema dan Alternatif Jalan Keluarnya, disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Rapat Senat Terbuka, 10 Pebruari 2001, 17-18. 27 amal berkait dengan praksis dan realitas keseharian. Pengembangan yang fragmentalis dan parsial serta eksklusif terhadap tiga ranah tersebut secara psikologis bisa membahayakan. Apa yang diyakini seharusnya tidak bertentangan dengan apa yang dianggap benar secara kognitif, dan apa yang dianggap secara kgnitif tidak seharusnya bertentangan dengan realitas nyata yang dialami sehari-hari. Jika ditelaah secara historis, ilmu pengetahuan dan teknologi pada awal perkembangannya adalah merupakan sarana untuk mengabdi kepada Yang Maha Kuasa, sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi senantiasa sarat dengan nilainilai spiritual.14 Ayat Al-Qur'an menyebutkan bahwa penciptaan manusia dan penciptaan makhluk hidup berbeda dengan teori evolusi. teori Darwin yang dikritik oleh ilmuwan evolusionis sendiri yaitu Pierre Paul Grasse, mengakui teori evolusi yang tidak masuk akal. Teori evolusi seolah telah menjadi sumber keyakinan di bawah kedk atheisme. 15 Konsep ini secara diam-diam tanpa disadari telah membentuk pola pikir, paradigma bahkan keyakinan peserta didik yang menafikan adanya penciptaan. Dengan menerapkan sistim pendidikan yang terpadu antara ilmu umum dan ilmu agama baik dalam konsep maupun penerapannya, diharapkan terbentuk pola fikir yang sesuai dengan ajaran Islam pada diri peserta didik. Sehingga dalam pelaksanaannya tidak ada pemisahan antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum karena sumber dari segala ilmu itu adalah satu yaitu Allah SWT. Selama ini pelajaran IPA hanya disampaikan pada materi pelajarannya saja, belum terintegrasi pada muatan-muatan agama, sehingga materi yang disampaikan hanya pada materi pokok saja. Kondisi seperti inilah yang menjadikan pembelajaran IPA tidak memiliki bobot dan minim mutu yang kuat, pelajaran yang diperoleh sangat minim dari nilai spiritual, sehingga ilmu umum tanpa disadari mempunyai dampak destruktif jika tidak dilandasi iman oleh para 14 Tim Dosen SKI UIN SUKA, Menelusuri Jejak Peradaban Islam, Yogyakarta. 15 Harun yahya, Berfikirlah Sejak anda bangun Tidur, (Jakarta: Global Media, 2003), 102. 28 pelakunya. Padahal ilmu agama terutama nilai-nilai tauhid sangat sesuai dengan materi pelajaran selain pelajaran agama, sebagai penanaman akidah. Padahal keterangan tersebut banyak tercatat dalam ayat-ayat, sebagaimana berikut : َٰٓ‫ن‬ َٰٓ ‫ث َٰٓفإِنَّا َٰٓخلقَٰٓنَٰٓ ُكم َٰٓ ِم‬ َِٰٓ َٰٓ‫اس َٰٓ ِإن َٰٓ ُكنت َُٰٓم َٰٓفِي َٰٓريَٰٓبَٰٓ َٰٓ ِمنَٰٓ َٰٓٱلَٰٓبع‬ َُٰٓ َّ‫يَٰٓأيُّها َٰٓٱلن‬ َٰٓ‫نَٰٓ ُّمضَٰٓغةََٰٰٓٓ ُّمخلَّقةََٰٰٓٓوغيَٰٓ َِٰٓر‬ َٰٓ ‫نَٰٓنُّطَٰٓفةََٰٰٓٓث ُ َّمََٰٰٓٓ ِمنََٰٰٓٓعلقةََٰٰٓٓث ََُّٰٓمَٰٓ ِم‬ َٰٓ ‫تُرابََٰٰٓٓث ََُّٰٓمَٰٓ ِم‬ ََٰٰٓٓ‫ام َٰٓما َٰٓنشآَٰ َُٰٓء َٰٓ ِإلىَٰٓ َٰٓأجل‬ َٰٓ ‫ُمخلَّقَٰٓةَٰٓ َٰٓ ِلنُب ِينَٰٓ َٰٓل ُكمَٰٓ َٰٓونُ ِق َُّٰٓر َٰٓفِي َٰٓٱ‬ َِٰٓ ‫لرَٰٓح‬ ُ ‫خ ِر ُج ُكمَٰٓ َٰٓ ِطفَٰٓلَٰٓ َٰٓث ُ َّمَٰٓ َٰٓ ِلتبَٰٓلُغُوَٰٓآَٰ َٰٓأ‬ َٰٓ‫ن‬ َٰٓ ‫ش َّد ُك َٰٓم َٰٓو ِمن ُك َٰٓم َٰٓ َّم‬ َٰٓ ُ‫ُّمسمَٰٓى َٰٓث ََُّٰٓم َٰٓن‬ َٰٓ‫ل َٰٓٱلَٰٓعُ ُم َِٰٓر َٰٓ ِلكيَٰٓلَٰٓ َٰٓيعَٰٓلمَٰٓ َٰٓ ِمنَٰٓ َٰٓبعَٰٓ َِٰٓد‬ َِٰٓ ‫يُتوفَّىَٰٓ َٰٓو ِمن ُك َٰٓم َٰٓ َّمن َٰٓيُر َُّٰٓد َٰٓإِلىَٰٓ َٰٓأرَٰٓذ‬ َٰٓ ‫ِعلَٰٓمَٰٓ َٰٓشَٰٓيآَٰ َٰٓوترى ََٰٰٓٓٱ‬ َٰٓ‫امدَٰٓة َٰٓفإِذآَٰ َٰٓأنزلَٰٓنا َٰٓعليَٰٓها َٰٓٱلَٰٓمَٰٓا َٰٓء‬ ِ ‫لرَٰٓضَٰٓ َٰٓه‬ َٰٓ َٰٓ٥َٰٓ‫يج‬ َٰٓ ‫جَٰٓب ِه‬ َٰٓ ‫ٱهَٰٓت َّزتََٰٰٓٓوربتََٰٰٓٓوأنَٰٓبت‬ َِٰٓ َٰٓ‫تَٰٓ ِمنَٰٓ ُك ِلََٰٰٓٓزو‬ “ wahai manusia apabila kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya kami Telah menjadikan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes mani, Kemudian dari segumpal darah, Kemudian dari segumpal daging yang Sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, Kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya Telah diketahuinya. dan kamu lihat bumi Ini kering, Kemudian apabila Telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (AlHajj:5) Begitupula Allah berfirman 29 ََّٰٓ ‫وَٰٓٱ‬ َٰٓ‫ل َٰٓدَٰٓابَّةَٰٓ َٰٓ ِمن َٰٓ َّمَٰٓاءَٰٓ َٰٓف ِمنَٰٓ ُهم َٰٓ َّمن َٰٓيمَٰٓ ِشي َٰٓعلىَٰٓ َٰٓبطَٰٓنِ َِٰٓهۦ‬ ََّٰٓ ‫ّللُ َٰٓخلقَٰٓ َٰٓ ُك‬ َٰٓ ‫و ِمنَٰٓ ُهمَٰٓ َّم‬ َٰٓ ‫نَٰٓيمَٰٓ ِشيَٰٓعلىََٰٰٓٓ ِر‬ َٰٓ ‫نَٰٓو ِمنَٰٓ ُه َٰٓمَٰٓ َّمنَٰٓي َٰٓم ِشيَٰٓعل‬ َِٰٓ َٰٓ‫جلي‬ َٰٓ‫ىَٰٓأرَٰٓب َٰٓع‬ ََّٰٓ ‫قَٰٓٱ‬ َُٰٓ ُ‫خل‬ َٰٓ ‫ي‬ َٰٓ َٰٓ٤٥َٰٓ‫ِير‬ َٰٓ ‫ّللَٰٓعلىََٰٰٓٓ ُك ِلََٰٰٓٓشيَٰٓءََٰٰٓٓقد‬ ََّٰٓ ‫نََٰٰٓٓٱ‬ ََّٰٓ ‫ّللَُٰٓمآَٰيشآَٰ َُٰٓءَٰٓ ِإ‬ ”Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. An-Nur:45) 1. Pengertian Dan Model Integrasi Keilmuan Salah satu istilah yang paling popular dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum adalah kata “Islamisasi”. Menurut Echols dan Hasan Sadily, kata Islamisasi berasal dari bahasa Inggris Islamization yang berarti pengislaman. Makna yang lebih luas adalah menunjuk pada proses pengislaman, dimana objeknya adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya. Dalam konteks Islamisasi, ilmu pengetahuan, yang harus mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid adalah pencari ilmunya, bukan ilmu itu sendiri. Karena yang menentukan adalah manusia, manusialah yang menghayati ilmu. Penghayatan para pencari ilmu itulah yang menentukan, apakah ilmunya berorientasi pada nilai-nilai Islam ataukah tidak. Lebih lanjut, Islamisasi ilmu pengetahuan, menurut Faruqi, menghendaki adanya hubungan timbal balik antara realitas dan aspek kewahyuan. Dalam konteks ini, untuk memahami nilainilai kewahyuan, umat islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Karena realistasnya, saat ini, ilmu pengethuanlah yang amat berperan dalam menentukan kemajuan umat manusia. Sejak abad kemunduran islam (abad ke-12 M), karena para penguasa Muslim kurang memberikan penghargaan terhadap ilmu pengethuan hingga akhir abad ke-16, dimana mulai terputus hubungan antara dunia Islam dengan aliran utama dalam sains dan teknologi, umat Islam sangat tertinggal jauh dibanding masyarakat Barat justru mulai bengkit dari kegelapan 30 pengetahuan setelah sekian lama terbelenggu dalam indoktrinasi teologi Kristiani. Selain masalah ketertinggalan dalam penguasaan ilmu pengetahuan, hal terbesar yang dihadapi umat islam dewasa ini adalah berkaitan dengan paradigm berfikir. Umat Islam masih berpikir secara absurd. Bukan justru mengembangkan wacana-wcana keimanan, kemanusiaan, dan pengetahuan. Ini jelas menunjukan sebuah pola berpikir partikularistik dan ritualistik (Hidayat, 2000: 10). Dari definisi Islamisasi pengetahuan diatas, ada beberapa model Islamisasi pengetahuan yang bisa dikembangkan dalam menatap era globlisasi, antara lain: model purifikasi, model moderenisasi Islam, dan model neo-moderenisme. Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian ilmu pengetahuan agar sesuai dengan nilai dan norma Islam. Model moderenisasi Islam ini berangkat dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat islam di dunia kini, yang disebabkan oleh kepicikan berpikir, kebodohan, dan keterpurukan dalam memahami ajaran agamanya, sehingga sistem pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan agama Islam tertinggal jauh dibelakang non-Muslim (Barat). Sedangkan model neo-modernisme berusaha memahami ajaranajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah dengan mempertimbangkan khaznah intelektual Muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia iptek. Landasasan metodologis Islamisasi pengetahuan model ini, menurut Saiful Muzani (1993) adalah sebagai berikut: pertama, persoalan-persoalan kontemporer umat islam harus dicari penjelasannya dari tradisi dan hasil ijtihad para ulama yang merupakan hasil interpretasi terhadap Al-Quran. Kedua, bila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kondisi kontemporer, harus menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat Al-Quran yang menjadi landasan ijtihad para ulama tersebut. Ketiga, melalui telaah historis akan terungkap pesan moral Al-Quran. Keempat, setelah itu baru menelaahnya dalam konteks umat Islam dewasa ini dengan bantuan hasil-hasil studi yang cermat dari ilmu pengetahuan atas persoalan yang bersifat 31 eavaluatif dan legiminatif sehingga memberikan pendasaran dan arahan moral terhadap persoalan yang ditanggulangi. Dari berbagai pengertian dan model Islamisasi pengetahuan diatas dapat disimpulkan bahwa Islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-Quran dan sunnah Nabi, sehingga umat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketertinggalannya dari umat lain, khususnya Barat. 2. Pendekatan Islam Terhadap Dikotomi Ilmu Berbeda dengan Barat, bagi dunia Islam dikotomi bisa mengandung bahaya. Pandangan dikotomi dapat mengancam realisasi Islam dalam ke hidupan pribadi dan kebersamaan bermasyarakat, bahkan dikhawatirkan mendistorsi syari’ah. Akibat yang dirasakan di dalam masyarakat ilmu, seni, dan teknologi adalah menjadi wajarnya pendapat yang berpendirian ilmu, seni, dan teknologi adalah bebas nilai. Oleh karena itu, ilmu berkembang tanpa arah yang jelas dari perspektif kesejahteraan umat manusia. Di negara-negara maju (Barat), para ilmuwan seperti berlomba mengembangkan sains dan teknologi yang mempunyai potensi destruktif sangat tinggi bukan saja terhadap komunitas lain, melainkan juga terhadap komunitasnya sendiri. Bisa dibayangkan jika saja beberapa negara maju terlibat perang dengan menggunakan kemampuan senjata dan rudal andalannya, hampir bisa dipastikan dunia ini akan hancur. Bila dikotomi ilmu berkembang di dunia Islam, maka di antara akibatnya adalah tersosialisasikan adanya pembelahan antara ilmu pengetahuan umum dan agama. Pengetahuan umum di samping pengetahuan yang mencakup berbagai disiplin dan bidang kehidupan manusia secara kompleks dan plural, juga dimaksudkan sebagai ilmu yang tidak ada kaitan sama sekali dengan agama. Sedangkan ilmu pengetahuan agama dimaksudkan sebagai ilmu pengetahuan yang terbatas bahasannya pada persoalan-persoalan akidah, ibadah, dan akhlak semata. 32 Dengan kata lain, ilmu pengetahuan agama adalah ilmu pengetahuan yang wilayah bahasannya terbatas pada keimanan, ritual, dan ethik. Selanjutnya Umat Islam akan mengalami salah paham terhadap Islam sendiri. Agama Islam yang seharusnya memiliki ajaran yang universal, ternyata disalahpahami, sehingga dianggap hanya memiliki ruang gerak pranata kehidupan yang sempit sekali. Oleh karena itu, pembagian pengetahuan yang bersifat dikotomis itu, tentu tidak diterima oleh Islam, karena berlawanan dengan kandungan ajaran Islam sendiri. Jika ini terjadi terus-menerus, maka akan menjadi malapetaka bagi masa depan umat dan peradaban Islam, sehingga harus ada usaha keras untuk meluruskannya dalam perspektif Islam. 3. Latar Belakang Perlunya Integrasi Ilmu-Ilmu Agama Islam dan Ilmu-Ilmu Umum Maraknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan (Islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini yang santer didengungkan oleh kalangan intelektual muslim, antara lain Naquib Al-Attas dan Ismail Raji’Al-Faruqi (1984: ix-xii), tidak lepas dari kesadaran berislam ditengah pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu teknologi. Potensi keyakinan terhadap sistem Islam yang bisa mengungguli sistem ilmu pengetahuan Barat yang tengah mengalami krisis identitas inilah yang kemudian memberikan kesadaran baru kepada umat islam untuk melakukan upaya Islamisasi ilmu pengetahuan. Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9, meski mengalami pasang surut. Pada masa AlFarabi (lahir tahun 257 H/890 M) gagasan tentang kesatuan dan hierarki ilmu yang muncul sebagai hasil penyelidikan tradisional terhadap epistemologi serta merupakan basis bagi penyelidikan hidup subur dan mendapat tempatnya. Tak peduli dari saluran mana saja, manusia – pencari ilmu pengetahuan – mendapatkan ilmu itu (osman Bakar, 1998:61-2). Dengan demikian, gagasan integrasi keilmuan Al-Farabi dilakukan atas dasar wahyu Islam dari ajaran-ajaran Al-Quran dan Hadist. Usaha Natsir untuk mengintegralkan sistem pendidikan Islam direalisasikan dengan mendirikan lembaga pendidikan 33 Islam, yang menyatukan dua kurikulum, antara kurikulum yang dipakai sekolah-sekolah tradisional yang lebih banyak memuat pelajaran umum (Arman Arief, tt:iii). Tidak beda jauh dengan gagasan yang dikembangkan Harun Nasution dalam upayanya menyatukan dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum di lembaga pendidikan tinggi Islam. Setidaknya ada dua sebab utama kelemahan pendekatan ini. Pertama, akar keilmuan yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Kedua, modernisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan melalui kurikulum dan kelembagaan, walaupun dilakukan dengan tujuan terciptanya integralisme dan integrasi keilmuan Islam, Islam dan umum, sampai kapanpun akan tetap menyisakan dikotomi keilmuan. Berbagai dikotomi antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum pada kenyataanya tidak mampu diselesaikan dengan pendekatan modernisasi sebagaimana dilakukan Abduh dan Ahmad Khan atau Mukti Ali dan Harun Nasution, amak Ismail Raji Al-Faruqi dan Naquib Al-Attas melakukan pendekatan berbeda dalam rangka Islamisasi pengetahuan (integrasi keilmuan), yakni dengan pendekatan purifikasi atau penyucian. Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat Islam ini sudah berlangsung sejak abad ke16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai abad stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum juga disebabkan karena adanya kolonialisme Barat atas Dunia Islam sejak abad ke-18 hingga abad ke-19, dimana negaranegara Islam tidak mampu menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat, terutama injeksi budaya dan peradabannya. Dikotomi ini pada kelanjutannya, berdampak negatif terhadap kemajuan Islam. Menurut Ikhrom (2001: 87-89), setidaknya ada empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama : Pertama, munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam; dimana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh fi al-din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka; sementara itu modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan 34 umum kedalam lembaga tersebut telah mengubah citra pesantren dan madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi al-din tersebut. Kedua, munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan ilmuilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum (Kuntowijoyo, 1991: 352). Ketiga, terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-masing sistem: (modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh mempertahankan kediriannya. Keempat, munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan Barat yang pada kenyataanya kurang menghargai nilai-nilai kultural dan moral telah dijadikan tolak ukur kemajuan dan keberhasilan sistem pendidikan bangsa kita. Dengan demikian, paradigma integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum muncul sebagai bentuk kekhawatiran sebagian pemikir muslim terhadap ancaman yang sangat dominan terhadap pandangan non-muslim, khususnya pandangan ilmuwan Barat sehingga umat Islam harus menyelamatkan identitas dan otoritas ajaran agamanya. 4. Paradigma Ilmu-Ilmu Agama Islam Dan Ilmu-Ilmu Umum a. Paradigma Integrasi-Interkoneksi Paradigma Integrasi-interkoneksi itu muncul karena adanya dikotomi pendidikan agama sains, dan filsafat. Selain itu disebabkan oleh perilaku manusia yang berperilaku tidak pada mestinya. Ditambah pula krisis lingkungan energi dan lain lain. Faktanya dikotomi pendidikan lah yang menjadi pangkal dari segala faktor munculnya paradigma integrasi-interkoneksi. Dengan adanya paradigma integrasi-interkoneksi ini diharapkan mampu mencapai keterpaduan antara pedidikan agama, sains, dan filsafat. Segala krisis dapat teratasi atau paling tidak berkurang. b. Pengertian, Tujuan, dan Harapan Integrasi-Interkoneksi Integrasi-interkoneksi dalah suatu paradigma, pendekatan, sebagai upaya mempertemukan ilmu agama (Islam), dengan ilmu-ilmu umum dengan filsafat. Salah satu universitas yang 35 menggunakan paradigma ini adalah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. UIN Sunan Kalijaga menggunakan pedoman ini untuk menyatukan ilmu umum/sains, agama dan filsafat agar bias tercapai kesatuan ilmu yang intergratif dan interkonektif. Prof. H. Amin Abdullah adalah tokoh penggagas integrasi di UIN Sunan Kalijaga. Integrasi-interkoneksi keilmuan diemban sebagai visi dan misi dari UIN Sunan Kalijaga sebagai awal perubahan atau transformasi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga menjadi UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2004. Dialog keilmuan yang bersifat integrasi-interkoneksi dilakukan dalam wilayah internal ilmu-ilmu keislaman, juga dikembangkan integrasi-interkoneksi ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu umum. Diantara ilmu umum dan ilmu keislaman menyadari akan keterbatasan pada masing-masing ilmu. Oleh karena itu perlu adanya dialog diantara keduanya, kerjasama, guna melengkapi kekurangan pada masing-masing ilmu jika masing-masing berdiri sendiri. Paradigma integrasi-interkoneksi ini diharapakan mampu mendialogkan segitiga keilmuan UIN Sunan Kalijaga yang dikenal dengan sudut hadarah al-nas, hadarah al-‘ilm, dan hadarah al-falsafah. Sehingga semua matakuliah yang disampaikan dan dikembangkan di UIN Sunan Kalijaga harus mencerminkan sebuah keilmuan yang terpadu. Saling menunjang diantara ketiga entitas keilmuan yang ada (pengembangan keilmuan tidak secara dikotomis). Selain itu, integrasi-interkoneksi diharapkan mampu menjadi solusi dari berbagai krisis yang melanda manusia dan alam dewasa ini sebagai akibat dari ketidakpedulian suatu ilmu terhadap ilmu yang lain. c. Landasan Integrasi-Interkoneksi Ada beberapa landasan dalam membangun integrasiinterkoneksi, diantaranya, normative-teologis, filosofis, kultural, sosiologis, psikologis, historis. ▪ Landasan Normatif-teologis Cara memahami sesauatu dengan menggunakan ajaran yang diyakini berasal dari Tuhan. Bersifat mutlak. Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak membedakan antara ilmu-ilmu agama (Islam) dan ilmu-ilmu umum (sains-teknologi dan sosial humaniora) 36 ▪ ▪ ▪ ▪ ▪ 5. Landasan filosofis Perpaduan antara ilmu agama dan ilmu umum diharapkan mampu memahami kompleksitas kehidupan manusia Landasan cultural Pendidikan tidak boleh mengabaikan budaya (potensi) lokal. Jika budaya atau potensi local tidak dijadikan basis pengembangan keilmuan maka akan terjadi proses elitism ilmu, sehingga ilmu menjadi kurang berfungsi dalam kehidupan nyata. Landasan sosiologis Landasan sosiologis ini muncul karena adanya anggapan lulusan Universitas Islam atau UIN Sunan Kalijaga kurang mampu menyelesaikan masalah masyarakat. Dengan paradigma integrasi interkoneksi para lulusan Universitas Islam atau UIN Sunan Kalijaga mampu menyelesaikan masalah masyarakat Landasan psikologi Adanya pembacaan parsial dapat menyebabkan perpecahan kepribadian, oleh karena itu adanya landasan Psikologis diharapkan mengubah menjadi pembacaan secara terpadu dan menyeluruh memperkuat kepribadian. Landasan historis Pada abad modern tekanan dari ilmu-ilmu agama muolai berkurang, bahkan hampir tidak ada. Ilmu umum mampu berkembang pesat, namun mengabaikan norma-norma agama dan etika kemanusiaan. Diharapkan hubungan ilmu agama dan ilmu umum meningkat, dari kompak menjadi sejahtera dan mencapai puncak lestari. Ilmu-ilmu Agama Islam Ilmu-ilmu agama Islam, atau yang dalam bahasa AlGhazali disebut dengan al-ulum al-syariah merupakan ilmu-ilmu yang diperolah dari nabi-nabi dan tidak hadir melalui akal, seperti aritmatika; atau melalui riset, seperti ilmu kedokteran; atau melalui pendengaran seperti ilmu bahasa. ▪ Ilmu Tauhid/Ilmu Aqidah Ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang sifat – sifat allah swt dan sifat – sifat para utusanya yang terdiri dari 37 ▪ ▪ ▪ sifat yang wajib, sifat jaiz dan sifat yang mustahil. selain dari itu juga menerangkan segala yang memungkinkandan dapat diterima oleh akal, untuk menjadikan bukti dan dalil, dengan dibantu oleh masalah sam’iyat agar dapat mempercayai dalil itu dengan yakin tanpa keraguan di hati. Kitab : Aqidatul awwam, Jauhar Tauhid dll Ilmu Al-Quran/Ulumul Quran Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “AlQur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai AlQur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an. Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya Ilmu Akhlaq Ilmu akhlak adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia agar mempunyai adab dan sopan santun dalam pergaulan baik pergaulan sesama manusia maupun dengan Sang Pencipta. Kita dibina untuk mengetahui peraturan dan prosedur yang sesuai agar tidak bertindak sesuka hati. Bila kita mampu mengimplementasikan ilmu ini maka pergaulan akan menjadi indah dan sangat disayang baik oleh manusia, hewan maupun Sang Pencipta seperti akhlak Nabi Muhammad SAW. Nabi sendiri diutus, yang pertama tugasnya adalah memperbaiki akhlak manusia yang saat itu semua menjurus akhlak Jahiliyah. Kitab : Akhlaqul Libanin Ilmu Hadits 38 ▪ ▪ ▪ ▪ Ilmu Hadis atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul Hadits yang mengandung dua kata, yaitu ‘ulum’ dan ‘al-Hadis’. Kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan alHadis dari segi bahasa mengandung beberapa arti, diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan banyak. Kitab : Fathul Bari, Subulus Salam, Bulughul Maram dll. Ilmu Ushul Fiqih Kata ushul fiqh adalah kata ganda yang berasal dari kata “ushul” dan “fiqh” yang secara etimologi mempunyai arti “faham yang mendalam”. Sedangkan ushul fiqh dalam definisinya secara termologi adalah ilmu tentang kaidahkaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukumhukum syara’ dari dalil-dalinya yang terperinci. Kitab : AlUshul min Ilmil Ushul Ilmu Fiqih Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili). Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqih”. Kitab : Kifayatul Akhyar, Safinatun Najah Ilmu Faraidh Faroidh adalah bentuk kata jamak dari kata faridhoh. Sedangkan Faridhoh diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (ketentuan). Ilmu Faraidh merupakan bagian dari Ilmu Fiqih yaitu Ilmu yang Membahas hukum-hukum waris dan ketentua-ketentuan serta pembagian-pembagiannya. Kitab : Matan Ar-Rahbiyah Ilmu Tajwid Pengertian Tajwid menurut bahasa (ethimologi) adalah: memperindah sesuatu.Sedangkan menurut istilah, Ilmu Tajwid adalah pengetahuan tentang kaidah serta cara-cara membaca Al-Quran dengan sebaik-baiknya. Tujuan ilmu tajwid adalah memelihara bacaan Al-Quran dari kesalahan 39 dan perubahan serta memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca. Belajar ilmu tajwid itu hukumnya fardlu kifayah, sedang membaca Al-Quran dengan baik (sesuai dengan ilmu tajwid) itu hukumnya Fardlu ‘Ain. Kitab : Tuhfatul Athfal, Hidayatul Mustafid dll. 40 KESIMPULAN Peran dan fungsi Al-Qur’an sebagai pembeda agama samayi (agama wahyu) dengan agama lainnya, telah memberikan pengajaran, ilmu dan pengetahuan pada seluruh aspek kehidupan manusia terutama bagi muslim maupun muslimat, tidak terkecuali bagi manusia yang berakidah selain islam. Seorang muslim dan muslimat diharapkan untuk memahami dan merealisasikan nilainilai keislaman yang terkandung dalam Al-Quran, bahwa nilainilai akidah, yaitu keesaan dan penghambaan kepada Allah SWT adalah nilai yang tak terbantahkan, sekalipun temuan baru dari ilmu dan pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan oleh ilmuwan modern yang notabene tak beragama dan tidak berakidah islam, menyebabkan para pencari dan pencinta ilmu pengetahuan terpengaruh oleh doktrinasi ilmu pengetahuan dari ilmuwan tersebut, yang dapat bermuara pada sebuah kesimpulan bahwa tanpa mengenal Tuhan Sang Pencipta, manusia mampu menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan baru, yang dapat meningkatkan derajat dan bermanfaat bagi umat manusia. Teori ini merupakan opini yang salah kaprah, dan menyesatkaan. Bahwa ilmu dan pengetahuan yang muncul dan berkembang di dunia dan alam semesta ini, tidak terlepas dari campur tangan Tuhan Sang Pencipta, Allah SWT. Manusia-manusia terpilih (ilmuwan atau para pencari ilmu) yang merupakan insan-insan terpilih ini hanya sebagai perantara ilmu dan pengetahuan dari Allah SWT untuk dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan hajat hidup manusia-manusia yang lain di dunia ini. Dengan selalu berpegang teguh kepada keyakinan dan akidah ini, dipastikan manusia-manusia tersebut telah menjalankan fungsi dan peran yang Al-qur;an harapkan, dalam proses integrasi, antara Al-Quran dan Ilmu pengetahuan. Integrasi keilmuan dan Al-Qur’an ini adalah pembauran antara nilai-nilai Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan agar menjadi bagian dalam penemuan, pengembangan ilmu dan keilmuan yang utuh atau bulat, tanpa melupakan maupun mengeyampingkan nilai keilahian (Kesaan kepada Allah SWT). Paradigma integrasi ilmu berarti cara pandang tertentu atau model pendekatan tertentu 41 terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat menyatukan, disebut paradigma integrasi ilmu integratif atau singkatnya paradigma integrasi ilmu integralistik yaitu pandangan yang melihat sesuatu ilmu sebagai bagian dari keseluruhan. Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun dalam pada sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan subjektif. Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terkait dengan etika, progresif, bersifat inklusif, dan objektif. Kendati agama dan ilmu berbeda, keduanya memiliki kesamaan, yakni bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi manusia untuk hidup bahagia, selamat hidup di dunia dan di akhirat. 42 DAFTAR PUSTAKA Attas, Syed Naquib al-. 1991. Islam dan Sekularisme, Bandung:Pustaka Salman. Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan IntegratifInterkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Alam, Manusia: Perspektif Sains dan Agama, diedit oleh Ted Peters, Muzaffar Baiquni, Achmad (a). 1995. Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. Barbour, Ian G. 2005. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, Bandung: Mizan. Chittick, William. “Visi Antropokosmik dalam Pemikiran Islam.” Dalam Tuhan, Dzahabi, al-. 1961. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid II, Kairo: Daar al-Kutub al-Haditsah. Ferdous, Fouzia, dan Muhammad Athar Uddin. “Toward Islamization of Science and Technology.” IIUC Studies Vol. 9,no. 9 (2011): 233–42. Ghulsyani, Mahdi. 1993. Filsafat Sains Menurut alQur’an,Bandung: Mizan. Iqbal, dan Syed Nomanul Haq, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad.Bandung: Mizan, 2006. Jamal, Nur. “Model-Model Integrasi Keilmuan (Format Ideal Perguruan Tinggi Agama Islam).” Islamedia: Jurnal Kajian Keislaman Vol. 1, no. 1 (2011): 186–202. Kementerian Agama RI. Penciptaan Manusia dalam Perspektif alQur’an dan Sains. Jakarta: Kemenag RI dan LIPI, 2012. Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. Levy, R. 1975. The Social Structure of Islam, Cambridge. Sardar, Ziauddin. 1987. Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka Salman. Mohd Amin, W. Mohd Azam. “A Preliminary Analysis of The Classical Views of The Concept of Integration of 43 Knowledge.” Revelation and Sciences 04, no. 02 (2014): 12–22. Menuju Integrasi Agama dan Sains dalam Pendidikan.” Inovatif Vol. 1, no. 1 (2015): 124–41. Purwaningrum, Septiana. “Elaborasi AyatAyat Sains dalam AlQuran: Langkah Rifai, Nurlena, Wahdi Sayuti Fauzan, dan Bahrissalim. “Integrasi Keilmuan Dalam Pengembangan Kurikulum Di UIN SeIndonesia.” TARBIYA Vol. 1, no. 1 (2014):13–34. doi:10.15408/tjems.v1i1.1108. Sarton, George. tanpa tahun. Introduction to the History of Science, Jilid 1. Shah, A.B. 1987. Metodologi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Yayasan Obor. Shihab, Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan. Zain, Shaharir bin Mohamad. 1992. “Islam dan Pembangunan Sains dan Teknologi” , Makalah, disampaikan dalam Konggres “Menjelang Abad 21: Islam dan Wawasan 2020, di Kuala Lumpur tahun 1992.