Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
8 pages
1 file
Peradaban memiliki kaitan yang erat dengan kebudayaan. Kebudayaan pada hakikatnya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemampuan cipta (akal) manusia menghasilkan ilmu pengetahuan. Kemampuan rasa manusia melalui alatalat indranya menghasilkan beragam barang seni dan bentuk-bentuk kesenian. Sedangkan karsa manusia menghendaki kesempurnaan hidup, kemuliaan, dan kebahagiaan sehingga menghasilkan berbagai aktivitas hidup manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Perkembangan dunia IPTEK yang demikian mengagumkan itu memang telah membawa manfaat yang luar biasa bagi kemajuan peradaban umat manusia. Jenis-jenis pekerjaan yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik yang cukup besar, kini relatif sudah bisa digantikan oleh perangkat mesin-mesin otomatis, Demikian juga ditemukannya formulasi-formulasi baru kapasitas komputer, seolah sudah mampu menggeser posisi kemampuan otak manusia dalam berbagai bidang ilmu dan aktifitas manusia.
KAWASAN PUSAT PERIBADATAN PUJA MANDALA (MANUSIA DAN PERADABAN) OLEH; Mukhamad Indra 1508305014 Nurleili L. 1508305013 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2015 BAB II PENDAHULUAN Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena memilki akal pikiran, jasmani dan rohani. Akal pikiran manusia digunakan berinteraksi dengan sesama manusia atau individu lain. Proses interaksi tersebut akan menghasilkan kebudayaan di masyarakat. Manusia melalui jasmaninya mampu menggunakan fisiknya untuk berbuat sesuatu yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai di masyarakat. Sedangkan melalui rohaninya, manusia dapat mempercayai suatu agama dan beribadah sesuai agama yang dianutnya tersebut. Manusia adalah pencipta kebudayaan, dan kebudayaan tidak bisa dilepaskan dengan peradaban. Peradaban merupakan kebudayaan yang mengalami perkembangan yang telah mencapai tingkat tertentu. Interaksi antara manusia dan peradaban akan menghasilkan manusia yang beradab. Manusia yang beradab merupakan manusia yang melakukan sesuatu sesuai dengan adab, nilai, dan aturan secara sopan, berbudi pekerti, serta berakhlak di kehidupannya. Manusia yang beradab dapat kita temukan dimana saja, terutama di tempat umum seperti tempat peribadatan. Salah satu tempat peribadatan yang banyak kita temukan manusia dengan adab dan peradaban yang tinggi adalah Pusat Peribadatan Puja Mandala. Puja Mandala adalah salah satu kawasan peribadatan yang terdapat di Pulau Bali. Masyarakat di Bali didominasi oleh penganut agama Hindu, akan tetapi, Pusat Peribadatan Puja Mandala bukanlah tempat peribadatan khusus agama Hindu. Puja Mandala merupakan kawasan peribadatan lima agama yaitu Islam, Katholik, Budha, Kristen Protestan, dan Hindu. Puja Mandala terletak di kawasan sekitar BTDC Nusa Dua. Kawasan peribadatan ini dibangun secara bertahap dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2005. Sesuai dengan namanya, Pusat Peribadatan Puja Mandala digunakan oleh masyarakat untuk beribadah. Seiring dengan perkembangan zaman, apalagi sekarang Pulau Bali telah menjadi kawasan wisatawan membuat pusat peribadatan ini menjadi salah satu penarik minat wisatawan untuk berkunjung ke Bali. Bahkan, kawasan ini telah disebut sebagai salah atu objek wisata di Bali. Sebagai tempat peribadatan, masyarakat yang berkunjung ke kawasan ini sebagian merupakan masyarakat yang beradab dan menjunjung tinggi nilai dan norma yang berlaku. Oleh karena itu, penulis menggunakan kawasan ini sebagai tempat untuk mengungkapkan hubungan manusia dan peradaban. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Hakikat Peradaban Peradaban berasal dari kata adab yang dapat diartikan sopan berbudi pekerti, luhur, mulia, berakhlak, yang semuanya menunjuk pada sifat yang tinggi dan mulia. 1 Istilah peradaban sering diapakai untuk hasil kebudayaan seperti ilmu pengetahuan, adat, teknologi, kesenian, dan sopan santun. Manusia yang beradab sesuai dengan pengertian peradaban adalah manusia yang mempunyai sopan santun, berakhlak, serta berbudi pekerti.
Antara manusia dan peradaban mempunyai hubungan yang sangat erat karena diantara keduanya saling mendukung untuk menciptakan suatu kehidupan yang sesuai kodratnya. Suatu peradaban timbul karena ada yang menciptakannya yaitu diantaranya ada faktor manusianya yang melaksanakan peradaban tersebut.
papper ini menjelaskan bagaimana konsep hubungan antara manusia dan pendidikan
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemampuan kepada penulis, sehingga dapat menyusun makalah tentang Manusia dan Lingkungan ini dengan lancar. Sholawat dan salam semoga tetap dilimpahcurahkan kepada Khotimul Anbiya Wal Mursalin yakni Nabi Muhammad SAW. Sebagai Uswatun Hasanah bagi umat semesta alam.
Diálogos interdisciplinares em fenomenologia e pesquisa: leituras em fenomenologia e pesquisa, 2024
Propor a permeabilidade nas linhas fronteiriças entre os objetos de pesquisas e as respectivas abordagens destas investigações talvez venha aqui a caracterizar a proposta desta obra, a terceira decorrente de um projeto de parceria entre dois núcleos de estudos e pesquisas em Fenomenologia: o Laboratório de Fenomenologia e Subjetividade (LabFeno-UFPR) e o Núcleo de Estudos e Pesquisas em Psicologia, Fenomenologia e Filosofias da Existência (NEPPFFE/UFF). A despeito desses núcleos acolheram e comporem pesquisas nos mais diversos níveis acadêmicos, todos os textos aqui propostos derivam de pesquisas de Programas de Pós-Graduação – mestrado e doutorado – de perspectivas igualmente diversas.
30th EAA Annual Meeting Book of Abstract, 2024
Studying the composition of ancient pottery and its origin is very challenging mainly because ceramics is usually composed of several components; the raw clay and tempering materials that are usually added. To investigate the origin of certain pottery raw materials it is necessary to apply analytical methods that ensure the precise geochemical composition of the clay matrix and added tempers, and enables determination of certain technological features. Therefore, using scanning electron microscopy equipped with energy dispersive X-ray spectroscopy (SEM-EDS) and ceramic petrography, this research presents an analysis of the grog-tempered, Bronze Age ceramics from two archaeological sites situated in different geographical regions; Biranj site from Central Dalmatia and Molve-Topolova site situated in Continental Croatia. The intensive grog tempering was particularly common in continental Croatia during the Middle and Late Bronze Age, while along the eastern Adriatic coast, the addition of a small amount of grog is characteristic exclusively for Early and Middle Bronze Age communities. By comparing the geochemical compositions of ceramic matrix and grog, the aim of this study is to consider whether the grog is foreign or originates from the same source as the clay and to examine the variations in grog practice among communities exposed to different cultural influences. The preliminary results suggest that grog has a different geochemical composition compared to clay matrix. These may strongly indicate imports, transported from another manufacturing region or migrations of potters and/or pottery due to various cultural or socio-economic reasons. In addition, differences in pottery practice between regions also reflect cultural influences from the Mediterranean and Central Europe.
A great deal of ink has been spilled over the prob lems exhibited by researchers attempting to incorporate ancient DNA (aDNA) data into anthropological models of prehistory. The prob lems are both ethical and interpretive. Several of the chapters in this volume have compellingly and comprehensively discussed the ethical violations abundantly seen in aDNA research. They show that since there continue to be significant professional rewards for rapid and sensational publication-a phenomenon explored in detail in Andreas Nyblom's chapter on the fuss surrounding the "the female Viking warrior"-and few professional consequences for riding roughshod over ethical standards and the concerns of descendant and stakeholder communities, researchers will continue to make their own culture-bound value judgments. The research community itself must decide whether the ethical requirements of engaging in aDNA research should have teeth, by whom those teeth should be wielded, and what kinds of wounds those teeth should inflict. I want to thank the editors of this volume for the opportunity to provide this commentary. I will use the space available to me to discuss two phenomena related to anthropological aDNA research: one relevant to the community of scholars interested in molecular approaches to the past, and one relevant to both public understandings of the kinds of research discussed in this book and to the ways in which scholars untrained in ge ne tics understand the data generated. First, however, I would like to be explicit about my positionality in this space, because the peculiarities of my academic background significantly shape my views on the current state of affairs. I am a molecular anthropologist trained in the four-field Americanist tradition, in which the subdisciplines of biological anthropology, archaeology, linguistics, and sociocultural anthropology sit together under the umbrella of anthropology. I was trained in this way first in my home country of Aotearoa New Zealand,
Revista Más Poder Local,, 2023
Bios Ethos Politicos, 2022
The Idea of the Good in Kant and Hegel, 2024
Current Research in Nubian Archaeology, 2018
Fishing News eBooks, 1999
Aces du Premier Colloque Scientifique International du Labodylcal en Hommage au Professeur Flavin Gbeto, 2021
Movimento (ESEFID/UFRGS), 2012
PLOS ONE, 2018
J-ABDI: Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat
The Pharma Innovation Journal, 2018
International Journal of Molecular Sciences
BMC Genomics, 2010
Revista Brasileira De Crescimento E Desenvolvimento Humano, 2011