Wahana Akademika
Vol. 1 No. 2, Oktober 2014, 207 –226
Wahana Akademika 207
AHMAD SIRHINDĪ
SIRHINDĪ DAN PEMBAHARUAN TAREKAT
Fathur Rohman
Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
Email:
[email protected]
There is an understanding that some of sufi orders to find ḥaqīqah through the
sufi ṭarīqah no longer need the sharī’ah. Sharī’ah is seen as the outer skin of
religion, and ḥaqīqah is the core. Because of getting the core of religion, the skin
has no use anymore. This understanding is a rasionable understanding of the
sufi mystics of the past that most no longer pay attention to the rules of sharī’ah
in its suluk. Most sufis, at that time, preferred a more philosophical sufism
which emphasize thinking to achive rather than the worship of god and
morality. It can be seen from the popularity of the doctrine of waḥdat al-wujūd
which so dominates the teaching of classical sufism. This phenomenon invites
the attention of Ahmad Sirhindi, on of sufi and mursyid of naqshabandi order.
He moved to reform of the sufi orders who was then filled with heretical
practices and doctrines which dominated waḥdat al-wujūd. This study aims to
discover and develop ideas of Sirhindi to reform the sufi orders. This research is
a qualitative form of research library in using the instrument, so that the
resulting data are in the form of data analysis, presentation and writing of the
main source, namely al-Maktūbat that’s magnum opus of Sirhindi. This study is
descriptive-exploratory study. The data analysis technique used in this study was
content analysis. The results of this study revealed that are some basic things are
the focus sirhindi in revision, among others: first, the synchronization sharī’ah,
ṭarīqah, and ḥaqīqah; second, purification sufi orders of deviant practices; third ,
rejection of the theory of waḥdat al-wujūd; fourth, applying the theory waḥdat
al-shuhūd.
Keywords:
Keywords: tasawuf, tarekat, pembaharuan, Sirhindi
208 Fathur Rohman
A. Pendahuluan
Image sebagai penyebar bid’ah dan penyimpangan islam memang masih belum bisa
dihapuskan sepenuhnya dari tarekat. Image itu sudah terlalu melekat kuat, meskipun tidak
semua tarekat menyimpang. Kerajaan Saudi Arabia misalnya, melarang adanya tarekat
kesufian, karena dianggap penyimpangan atau bid’ah dari ajaran yang benar. Beberapa
kalangan sunni, meskipun menerima keberadaan tarekat, tapi masih mengawasi amalan
tarekat dan intuisinya agar tidak jatuh dalam amalan-amalan yang menyimpang. Organisasi
seperti NU, merasa perlu menetapkan ketentuan tentang tarekat mana yang sah atau
mu’tabarah dan yang tidak sah (ghairu al-mu’tabarah) .
Pada masa permulaan, tarekat memang tidak bisa dipisahkan dari amalan dan praktek
yang serba aneh. Bahkan hingga saat ini, beberapa tarekat masih memelihara praktekpraktek yang bagi orang awam, dipandang aneh. Beberapa amalan tarekat, diakui atau tidak,
memang tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Hadits. Hingga para ulama ortodoks
semacam Ibn Taimiyah dan para pengikutnya mengkritik habis amalan tarekat dan
menyebutnya sebagai biang keladi bid’ah dan syirik.
Berbagai upaya untuk meluruskan kembali tarekat sudah banyak dilakukan. Salah
satunya oleh Ahmad Sirhindi, seorang sufi mursyid tarekat Naqshabandi kenamaan asal
Hindustan. Ia tidak hanya mengkritik, tapi juga berjuang untuk membawa tarekat ke dalam
bingkai syariat. Gagasan-gagasannya dipandang berhasil mendobrak sistem tarekat yang
telah mapan, khususnya tarekat Naqshabandī yang tengah berkembang di India. Teori
tasawufnya yang terkenal adalah waḥdat al-shuhūd yang merupakan antitesis dari teori
waḥdat al-wujūd milik Ibn Arabi yang kala itu banyak dianut oleh para pelaku tarekat.
Inti dari pembaharuan Sirhindi adalah purifikasi sufisme dan pembersihan tarekat dari
praktek menyimpang dengan menekankan sikap kembali kepada al-Qur’an dan Hadits. Ia
mengkritik keras tasawuf falsafi, utamanya konsep waḥdat al-wujūd, yang dianggapnya
sebagai biang keladi kultus dan sinkretisme serta penyimpangan ajaran islam. Sebaliknya ia
mendorong tasawuf amali dengan tetap mematuhi sharī‘ah dan memandang positif terhadap
kehidupan dunia.
Menurutnya, sharī‘ah adalah bagian terpenting yang mendasar dalam ajaran sufi,
sehingga setiap ajaran tasawuf yang tidak sesuai dengan sharī‘ah harus ditolak. Dalam salah
satu suratnya ia menyatakan bahwa tujuan ṭarīqah sufi tidak lain adalah untuk memperkuat
keyakinan terhadap sharī‘ah dan meningkatkan kepatuhan terhadap aturan-aturannya.
Apabila seseorang telah memperoleh keyakinan yang benar, dan telah mematuhi tuntutan
sharī‘ah, maka seseorang sebaiknya masuk ke jalan sufi. Tetapi tidaklah benar bagi seorang
yang melakukannya dengan 1 mengharap mendapatkan sesuatu yang baru, atau yang
melampaui ketentuan sharī‘ah.
_______________
1
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme dan Sharī‘ah, terj. Achmad Nashir
Budiman, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, h. 209
Wahana Akademika 209
Keteguhannya dalam memperjuangkan sharī‘ah juga ditunjukkan lewat kritik yang
dialamatkan kepada pemerintahan Mughal. Ia mengutuk konsep Dīn Ilāhī yang dicetuskan
oleh raja dan menuntut ditegakkannya syariat islam di India. Golongan Syi’ah juga tak luput
dari sasaran kritiknya. Dalam tulisannya, ia mengklarifikasi propaganda penganut Syi’ah
yang mengutuk dan mempersalahkan para sahabat Rasul yang dianggap telah merampas
kekuasaan dari tangan Ali Ra.
Pemikiran Sirhindi tentang purifikasi tasawuf dan pembaharuan tarekat memang tidak
bisa dibilang baru. Kritik terhadap praktek tarekat yang menyimpang sebelumnya sudah
pernah digaungkan oleh Ibn Taimiyah. Tapi pemikiran Sirhindi dipandang lebih
berpengaruh terhadap perkembangan tarekat di masa depan. Berbeda dengan Ibn Taimiyah,
upaya pembaharuan yang dilakukan Sirhindi adalah upaya dari dalam, karena ia sendiri
adalah seorang guru tarekat. Perjuangan sirhindi dalam mereformasi tarekat lebih dinamis,
tidak hanya dengan menulis, tapi juga berdakwah ke berbagai daerah. Kembalinya kemurnian ajaran tasawuf dan2 tarekat saat ini, terutama di kawasan India dan pakistan, juga
tidak bisa lepas dari citranya.
Sirhindi merupakan sosok sufi modern yang orisinil. Orisinalitas gagasannya bisa dilihat
dalam surat-suratnya yang kemudian dikenal dengan Maktūbāt Imām Rabbāni. Ajarannya
merupakan tonggak pembaharuan tarekat di India dan salah satu pelopor neo-sufisme di
dunia. Pemikirannya 3juga banyak mempengaruhi pemikir-pemikir
muslim sesudahnya
4
seperti Syah Waliullah dan Bediuzzaman Said Nursi. Hampir semua sufi Naqshabandi di
seluruh dunia menarik garis spiritual darinya. Bisa dikatakan Ajaran-ajaran Sirhindi
merupakan akar pembaharuan tarekat yang telah banyak
menginspirasi gerakan-gerakan
5
tarekat dalam melawan ketidakadilan dan imperialisme.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas pemikiran dan
pembaharuan tarekat yang dirintis oleh Syaikh Ahmad Sirhindi. Tulisan ini penulis anggap
penting karena melihat ajaran-ajarannya yang begitu berpengaruh dalam khazanah sufisme
dan tarekat, terlebih di Indonesia.
_______________
2
Yohanan Friedmann, Shaykh Ahmad Sirhindi; an Outline of His Thought and a Study of His
Image in The Eyes of Posterity, Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, h. 176
3
Sekalipun Waliullah mengkritik Sirhindi, namun dalam beberapa hal pemikirannya amat
terpengaruh oleh pemikiran Sirhindi. Hal tersebut tampak jelas dalam teorinya tentang organ lembut di
dalam tubuh manusia (sirr). Ia juga mengadopsi teori waḥdah al-shuhūd dan mengkompromikannya
dengan teori waḥdah al-wujūd dalam pemikiran tasawufnya. Lihat: Julian Baldick, 2002, Islam Mistik
(Mengantar
Anda Ke Dunia Tasawuf), PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, h. 182
4
Said Nursi mengacu pada alur pemikiran Sirhindi dalam menafsirkan al-Qur’an. Sirhindi
mengusung interpretasi al-Quran dalam koridor syar’i dengan selalu mempertautkan dengan konteks
dimana al-Qur’an itu akan diaplikasikan. Lihat: Bediuzzaman Said Nursi, 2003, Episode Mistis
Kehidupan Rasulullah, terj. Sugeng Hariyanto, Jakarta, Siraja, h. 265
5
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme dan Sharī‘ah, terj. Achmad Nashir
Budiman, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, h. 2
210 Fathur Rohman
Berdasar latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan yang bisa dikaji lebih jauh.
Namun penelitian ini hanya akan difokuskan pada upaya Ahmad Sirhindi dalam melakukan
pembaharuan tarekat.
Tujuan penelitian ini difokuskan menjawab permasalahan di atas, yakni pembaharuan
tarekat yang dilakukan Ahmad Sirhindi. Apabila tujuan penelitian di atas telah tercapai,
diharapkan tulisan ini dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Memberikan informasi ilmiah kepada para pemerhati dan peminat kajian tasawuf dan
tarekat di Indonesia.
2. Sumbangan ilmiah untuk memperkaya khazanah perpustakaan islam, khususnya
dalam bidang tasawuf dan tarekat.
3. Sebagai sumbangsih penulis, terutama dalam kajian tasawuf dan tarekat di Indonesia
Kajian ini termasuk libraby research, yaitu sebuah penelitian yang dilakukan dengan cara
mengadakan studi atau telaah secara6 teliti terhadap buku-buku atau literatur yang terkait
dengan pokok-pokok permasalahan. Data primer yang digunakan bersumber dari magnum
opus Ahmad Sirhindi yaitu al-Maktūbat dan data sekunder diambil dari sumber-sumber lain
yang mendukung penelitian ini. Kajian ini bersifat deskriptif-eksploratif dengan cara
menggali pengetahuan seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya terhadap obyek penelitian
untuk kemudian dianalisis dan dipaparkan menjadi sebuah pembahasan yang sistematis.
Dalam tulisan ini, penilitian difokuskan untuk memperoleh pengetahuan sebanyakbanyaknya mengenai pembaharuan tarekat yang dicetuskan oleh Ahmad Sirhindi. Adapun
teknik analisis data dalam tulisan ini menggunakan metode content analysis yaitu teknik
yang dipakai dalam usaha
untuk menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara
7
objektif dan sistematis. Metode ini dipilih untuk menemukan gagasan primer yang terdapat
di dalam literatur yang berhubungan dengan pemikiran Ahmad Sirhindi.
B. Kajian Pustaka
Kajian tentang pemikiran Ahmad Sirhindi, menurut pengamatan penulis, baik dalam
bentuk buku ataupun penelitian masih perlu diperbanyak. Hal ini karena sumber-sumber
kajian tentang Sirhindi yang berbahasa Indonesia masih sangat minim. Sumber primer yaitu
Maktubat Ahmad Sirhindi dan kitab lainnya berbahasa asli Hindustan dan kebanyakan
diterbitkan dalam bahasa Persi, Turki, atau Urdu, dan sedikit dalam bahasa Arab. Sedangkan
sumber sekunder berupa penelitian dan buku dalam bahasa Indonesia juga masih minim.
_______________
6
Anton Bakker dan Ahmad Harith Zubair, 1990, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius,
Yogyakarta, h. 63.
7
Soejono Abdurrahman, 1997, Metode Penelitian Waktu, Pemikiran dan Penerapan, Rineka Cipta,
Jakarta, h. 13.
Wahana Akademika 211
Dari pencarian penulis terhadap sumber kajian, penulis mendapati beberapa karya ilmiah
yang membahas tentang Ahmad Sirhindi, antara lain:
1. Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism karya Muhammad Abdul Haqq Anshari.
Buku ini membahas tentang pemikiran Sirhindi dan usaha-usahanya dalam
melakukan tajdīd, terutama dalam bidang tasawuf. Buku memfokuskan pembahasannya pada hubungan antara sufisme dan sharī’ah serta teori waḥdat al-shuhūd yang
ditawarkan Sirhindi.
2. Shaykh Ahmad Sirhindi; an Outline of His Thought and a Study of His Image in The
Eyes of Posterity, tulisan ini merupakan disertasi karya Yohanan Friedmann untuk
mendapatkan gelar doktor dalam bidang Islamic Studies di McGill University,
Montreal. Tulisan ini tidak hanya membahas tentang pemikiran Sirhindi secara
umum yang mencakup tasawuf, tauhid, dan filsafat, tapi juga tentang kiprahnya dalam
menegakkan syariat di India, dan hubungannya dengan penguasa Mughal.
Sementara penelitian yang penulis lakukan ini menekankan pada pemikiran dan upaya
sirhindi dalam memperbaharui tarekat dan corak pemikirannya. Dengan demikian,
penelitian yang penulis lakukan ini berbeda dengan dua karya di atas.
C. Biografi Aḥ
Aḥmad Sirhindī
Sirhindī
Ahmad Sirhindi atau sering juga disebut Al-Imām al-Rabbānī Shaykh Aḥmad al-Farūqī
al-Sirhindī, adalah seorang ulama terkemuka, pemikir sufisme yang juga tokoh besar tarekat
Naqshabandiyah yang sangat berpengaruh. Dia adalah salah satu teoritikus terkemuka
sufisme 8yang dikenal juga dengan julukan al-Mujaddid Alf Thānī (pembaharu milenium
kedua) . Dia lahir pada hari Jumat 4 Syawal 971 H/26 Mei 1564 di kota Sirhind, sekarang
masuk bagian Punjab, barat laut Delhi. Ia lahir dari keluarga yang mempunyai tradisi
kelimuan kuat yang silsilahnya sampai pada khalifah Umar. 9Ayahnya shaykh Abd al-Aḥad
(927-1007 H/1521-1598 M) adalah seorang shaykh Chisty>. Pada masa kecilnya ia belajar
dan menghafal al-Qur’ān kepada ayahnya sendiri. Setelah keilmuannya cukup matang dan
dikenal di masyarakat, ia dikirim ayahnya ke Sialkot, sekarang termasuk wilayah Pakistan. Di
sana ia belajar logika, filsafat, dan teologi dari Mullah Kamāl Kashmirī (w.1017 H/1608 M) ,
yang terkenal dengan ilmu rasionya, dan belajar Hadis dari Shaykh Ya’qūb S{arfī (w. 1003
_______________
8
Badri Yatim, 2005, “Sirhindī, Ah}mad” dalam Ensiklopedi Islam, ed. Nina M. Armando et. Al,
Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, h. 221
9
Chistiyah adalah salah satu tarekat sufi utama di Asia Selatan. Nama Chisty diambil dari nama desa
tempat kelahiran tarekat tersebut, yaitu Chisty dekat Herat di Afgahanistan bagian barat. Pendiri tarekat
ini adalah Shaykh Mu’īn al-Dīn Chistiyah (w. 1236 M). salah satu ciri tarekat ini adalah, antusiasmenya
yang ekstrem dalam pagelaran ekstatis musik dan puisi. Tarekat ini menyebar ke seluruh kawasan yang
kini merupakan wilayah India, Pakistan dan Bangladesh. Lihat: Julian Baldick, 1995, “Chistiyah” dalam
The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, ed. John L. Esposito, Oxford University Press,
New York, Jilid 1. h. 331
212 Fathur Rohman
H/1594 M) seorang ulama yang mensyarahi S{aḥīḥ al-Bukhārī dan seorang sufi masa dinasti
Kubrawiyah. Dia juga mempelajari tafsir dan hadis kepada Qāḍi Bahlul Badakh Sānī.
Sirhindī menamatkan pendidikannya dan kembali ke kampung halamannya pada umur 17
tahun.10
Beberapa tahun kemudian ia pergi ke Agra, ibukota kekaisaran Mughal, yang pada saat
itu dikuasai sultan Akbar (963-1014 H/1556-1605 M) dan menjalin hubungan dengan
mahkamah Mughal seperti penyair terkemuka Faiḍī (954-1004 H/1547-1595 M) . Sirhindī
membantu Faiḍī 11dalam penulisan Tafsir al-Qurān dalam bahasa arab yang dikenal dengan
Sawāṭi’ al-Ilhām. Ia juga menjalin kontak dengan Abū al-Faḍl seorang penulis dan
sekretaris informal istana, namun karena keyakinan Abū al-Faḍl yang percaya kepada Allah
tapi mengabaikan adanya nubuwwat, menolak sharī‘ah dan menganggap ibadah sebagai
bentuk kemunafikan serta memandang semua keyakinan dari segi akal saja.
Sirhindī merasa tidak cocok dan kecewa atas keyakinan Abū al-Faḍl.12 Mengetahui hal
ini, ayah Sirhindī, Shaykh ‘Abd al-Aḥad segera menyusul ke Agra dan membawanya pulang.
Di tengah perjalanan, sang ayah menikahkan Sirhindī dengan putri Shaykh Sulṭān, sebuah
keluarga terhormat dari Taneshwar. Di bawah bimbingan ayahnya, Sirhindī mempelajari
kitab-kitab tasawwuf seperti al-Ta’arruf karya al-Kalābadhī, ‘Awarif-nya Shahrawardī dan
Kitab Fus}ūs} al-ḥikam karya Ibn ’Arabī.
Sirhindī mulai mempelajari tasawwuf dari ayahnya, Shaykh Abdul Aḥad. Lantas ia mulai
meniti jalan pembinaan sufi atau sulūk langsung di bawah bimbingan ayahnya. Setelah
ayahnya wafat pada tahun 1007 H/1598 M, iapun menunaikan haji. Dalam perjalanan
menunaikan haji, ketika di Delhi, ia dikenalkan pada Kwajah Abdul Bāqi’ atau dikenal
dengan Bāqi’ Billāh.13 Bāqi’ Billāh merupakan wali pertama tarekat Naqshabandiyah yang
ada di India. Bāqi’ Billah membujuk Sirhindī agar mau meluangkan waktu untuk
bersamanya. Dalam beberapa hari saja, Sirhindī menyatakan ketertarikannya dan iapun
diinisiasi untuk masuk ke dalam tarekat Naqshabandiyah.
Setelah pertemuan pertama, Sirhindī kemudian pulang dan menyempurnakan suluk
sebagaimana yang dinasehatkan oleh Bāqi’ Billāh serta selalu menginformasikan penglihatan
dan pengamalan apa saja yang dialaminya. Ia kemudian mengunjungi kwajah dan tinggal
_______________
10
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme Dan Sharī‘ah, terj. Achmad Nashir
Budiman, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, h. 2
11
Kitab Sawāt}i’ al-Ilhām mempunyai kekhasan karena di dalamnya tidak ada huruf bertitik. Padahal
alfabet tulisan arab mempunyai 15 huruf yang bertitik dan karena terbebas dari surat-surat yang
mengandung diakritik. Lihat: K.A Nizami, 1997, “ The Naqshabandiyah Order” dalam Islamic Sprituality
Manifestations
, ed. Syeed Hossein Nasr, The Crossroad Publishing Company, New York, h. 177
12
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme Dan Sharī‘ah, terj. Achmad Nashir
Budiman, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, h. 16
13
Khwajah berasal dari kata khoja atau guru. Lihat: A. Hafidz Anshari, “Naqsyabandiyah, Tarekat”,
dalam Ensiklopedi Islam , ed. Nina M. Armando et. al, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Jilid 4, h..182
Wahana Akademika 213
beberapa bersamanya. Dua bulan kemudian Sirhindī telah mendapatkan nisbat
Naqshabandiyah dan mencapai peniadaan diri yang nyata (Fanā’ al-Haqīqī) atau persatuan
mutlak (Jam’u al-Jam’i) lalu ia meneruskan sulūknya hingga mencapai tahap pemisahan
pasca bersatu (Farq Ba’da al-Jam’) . Gurunya, Bāqi’ Billah sangat kagum dengan prestasi
muridnya itu dan menyebut hal itu sebagai puncak prestasi manusia serta tahap
kesempurnaan (Maqām al-Takmīl) . Klaim-klaim akan supremasi spiritual mistiknya
dituangkannya pada bagian depan maupun di sela-sela komentar kritisnya atas Waḥdat alwujūd dalam Maktūbat-nya.
Setelah dianggap berhasil, Aḥmad Sirhindī ditunjuk oleh sang guru untuk menjadi
khalifah tarekat di kampung halamannya, Sirhind. Bahkan setelah Bāqi’ Billāh wafat, ia
mendapat14 pengakuan sebagai penerus Kwaja Bāqi’ Billāh, yakni pemimpin resmi khanaqah
di Delhi. ia mengawasi dan melatih para pengikutnya dari berbagai tempat di India. Ketika
mereka telah mencapai tingkat kesempurnaan, mereka diperintahkan kembali ke tempat asal
untuk mengajarkan tarekat Naqshabandiyah. Sebagian dari mereka ada yang dikirim ke
kota-kota besar seperti Lahore, Delhi, Agra, Sarahanpur, Allahabad, Mangalkot, Burhanpur
dan lain-lain.
Sirhindī mengkritik keras keyakinan sebagian mahkamah India, di antaranya Abū AlFaḍl dan ayahnya Mullāh Mubārak Nagrawī yang menolak keyakinan terhadap kenabian
(nubuwwah) dan wahyu, serta mengabaikan keharusan menaati sharī‘ah. Untuk menangkal
keyakinan para mahkamah tersebut, Sirhindi menulis kitabnya yang pertama, yaitu Ithbāt alNubuwwah.
Keyakinan para mahkamah ini lantas mempengaruhi Sultan Akbar15, raja saat itu,
sehingga pada suatu saat anggota mahkamah membuat pernyataan (maḥḍar) yang isinya
bahwa akbar adalah pribadi yang adil, bijaksana, dan amat bertaqwa kepada Tuhan. Bahkan
mereka meletakkan sultan Akbar dalam peringkat di bawah mujtahid. Dengan senjata ini,
akbar kemudian memproklamirkan suatu agama baru yang disebut
agama ilahi (dīn ilāhī)
16
yang disusun oleh Abū al-Faḍl dan Mullah Mubārak Nagrawi. Alasan mendirikan agama
_______________
14
Khanaqah adalah sebuah nama yang berkembang di kalangan bangsa persia untuk menyebut
tempat pertemuan para darvishes atau kaum sufi. Dalam istilah bahasa arab ini adalah zawiyah. Lihat:
Cyril Glasse, 1999, Ensiklopedi Islam (ringkas) terj. Ghufron A. Mas’adi, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 213
15
Memerintah tahun 1542 – 1605. Disebut-sebut sebagai raja dinasti mughal tersukses karena
berhasil menyatukan rakyat muslim dan hindu. Seorang raja muslim, yang juga seorang sufi, penganut
wahdat al-wujud yang berhasil memerintah negeri yang rakyatnya mayoritas beragama Hindu. Lihat:
Jalaluddin Rakhmat, 1998, Reformasi Sufistik; Halaman Akhir Fikri Yathir, Pustaka Hidayah, Bandung,
h. 61
16
Agama baru ini mengajak rakyat India untuk menyembah api, matahari dan bintang serta
mewajibkan sujud penghormatan kepada sultan. Menghalalkan riba, judi, arak dan daging babi.
Mencegah shalat, puasa, haji dan melokalisasikan prostitusi. Untuk masuk ke dalam agama ini syahadat
214 Fathur Rohman
ini adalah bahwa islam telah disempurnakan sejak ratusan tahun lalu, jadi sekarang harus
diganti agama yang baru. Agama ini merupakan
perpaduan berbagai kepercayaan- Hindu,
17
Zoroaster, Buddha, Nasrani, dan islam.
Sirhindī juga melancarkan kritik tajam kepada kaum syi’ah yang sering menjadikan
bulan-bulanan kehormatan para sahabat. Para pemimpin syi’ah melancarkan propaganda ke
seluruh pelosok negeri dengan menjelek-jelekkan para sahabat yang menjadi penentang Ali.
Para ulama’ sunni di agra kemudian menerbitkan buku-buku untuk menangkis propaganda
tersebut. salah satu kitab yang dianggap sebagai puncak prestasi dalam menghalau kampanye
syi’ah kemudian disempurnakan oleh Sirhindi dalam karyanya Radd-i Rawāfid. 18
Pada 1014 H/1606 M Akbar meninggal dunia dan digantikan oleh Jahangir19, putra
sultan Akbar. Sirhindī pernah diminta ke pengadilan Mughal untuk membantu menteri
kepala Abū al-Faḍl. Namun karena pemikirannya dinilai membingungkan, pada tahun 1619,
Sirhindī dipenjarakan oleh sultan Jahangir di Gwalior. Menurut salah satu riwayat, ia
dipenjarakan karena fitnah orang yang tidak senang kepadanya, yakni orang-orang Syi’ah
dan para ulama yang menjadi sasaran kritiknya. Mereka mengatakan kepada
sultan Jahangir
20
bahwa Sirhindī bersikap sombong dan tidak mau “bersujud” kepada sultan. Setelah setahun
mendekam dalam bui, akhirnya ia dibebaskan, bahkan kemudian diangkat menjadi
penasehat bidang keagamaan dan tinggal di kamp kerajaan.
Setelah itu, ia bebas
21
mendakwahkan ajaran agama kepada segala lapisan masyarakat.
Setelah 3 tahun di kamp, mengajarkan ajarannya pada sultan dan meninjau berbagai
daerah, Sirhindī jatuh sakit dan kembali ke Sirhind. Pada tanggal 28 Safar 1034 H/10
Desember 1624 M ia kembali menghadap sang pencipta. Pada abad 19 pengikut tarekat
Naqshabandiyah Mujaddidiyah (sebutan bagi tarekat yang diajarkan Sirhindī) , berada di
_______________
yang harus diucapkan adalah “Lā Ilāha Illa Allāh, Akbar Khalīfat Allāh”. Lihat: Sayyid bin Husein alAffāni<, t.th., Zahroh al-Basa<tin min Mawāqif al-Ulamā’ wa al-Rabban>iyyin, Dār al-Affāni, Kairo, h. 267
17
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme Dan Sharī‘ah, terj. Achmad Nashir
Budiman, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, h. 26
18
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme Dan Sharī‘ah, terj. Achmad Nashir
Budiman, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, h. 16
19
Nama aslinya Salim. Naiknya Jahangir ke tahta kesultanan memunculkan harapan bagi Sirhindī
karena sifat dan perangainya sangat berbeda dengan ayahnya. Ia sangat kuat memegang sharī‘ah islam
dan tidak menganut paham dīn ilāhi yang dikembangkan ayahnya. Mulanya, Ia merupakan seorang
menaruh hormat pada Sirhindī, namun konon setelah menikah dengan Nurjahan, seorang gadis syi’ah, ia
terpengaruh dan ikut membenci Sirhindī. Lihat: Sayyid bin Husein al-Affāni<, Zahroh al-Basa<tin min
Mawāqif
al-Ulamā’ wa al-Rabban>iyyin, Dār al-Affāni, Kairo, h. 72
20
Tradisi sujud kepada sultan ini merupakan warisan dari sultan Akbar. Ketika sultan Jahangir
memerintahkan sujud, sang shaykh mengatakan: aku tidak pernah sujud kepada selain Allah sama sekali,
dan akan tidak akan pernah sujud kepada selain Allah selamanya. Lihat: Sayyid bin Husein al-Affāni<,
Zahroh al-Basa<tin min Mawāqif al-Ulamā’ wa al-Rabban>iyyin, Dār al-Affāni, Kairo, h. 72
21
Badri Yatim, 2005, “Sirhindī, Ah}mad” dalam Ensiklopedi Islam, ed. Nina M. Armando et. Al,
Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Jilid. 5, h. 221
Wahana Akademika 215
garda terdepan dalam melawan berbagai gerakan politik dan imperialisme. Dewasa ini,
hampir semua pengikut Naqshabandiyah di seantero
dunia, menarik garis keturuanan
22
spiritual mereka melalui Shaykh Aḥmad Sirhindī.
D. KaryaKarya-karya Aḥmad Sirhindī
Selain sebagai seorang guru tarekat, Shaykh Aḥmad Sirhindī juga dikenal sebagai seorang
penulis yang kreatif, baik dalam bentuk buku maupun dalam bentuk surat, suatu bentuk
karya tulis yang banyak disukai sufi pada zamannya. Di antara karya-karyanya adalah:
1. Kanz al-ḥaqāiq yang menjelaskan tentang ayahnya shaykh ‘Abd al-Aḥad Chisty.
pengalaman mistiknya selama mendapat
2. al-Mabda´ wa al-Ma‘ād, memaparkan
23
bimbingan ruhani dari sang ayah.
3. Ithbāt al-Nubuwwah, berisi tentang pembelaan terhadap nubuwwah (Prophecy) ,
penjelasan tentang sifat, fungsi, dan keniscayaan, serta metode meyakini tuntutan
rasul. Kitab ini disusun ketika Sirhindī masih di Agra untuk24 menolak paham yang
dikembangkan mahkamah mughal yang menafikan kenabian.
4. Risālah Radd-i-Rawāfiḍ, berisi tentang kritik Sirhindī terhadap kaum syi’ah yang
mempersalahkan para sahabat dan menjelaskan
posisi kaum sunni. Seabad kemudian
25
kitab ini disyarahi oleh Syah Wali Allah.
Adapun karya-karyanya yang berbentuk buku selain di atas adalah: al-Ma‘ārif alLadunniyyah, Sharḥi Rabbaniyyāt, al-Risālah al-Taḥlīliyyah, Mukāshafāt ‘Ayniyyah, Ta‘līqāt
‘Awārif al-Ma‘ārif, Risālah ‘Ilm al-ḥadīth,
Risālah Jadhb wa Sulūk, Risālah Ādāb al-Murīdīn,
26
ḥāshiyah ‘alā Sharḥi al-‘Aqā’id al-Jalālī.
Selain berupa buku, Sirhindi juga mempunyai karya tulis berupa surat yang dikirim
kepada hampir 200 orang. Surat ini berjumlah 534 pucuk surat, 70 di antaranya ditujukan
kepada pejabat Mughal. Kumpulan surat-surat ini kemudian dikenal dengan Maktūbāt alImām al-Rabbānī yang telah menjadi magnum opusnya. Kebanyakan surat-suratnya berisi
pengalaman mistik dan gagasannya tentang ortodoksi tasawuf yang harus dibangkitkan
kembali. Praktik-praktik sufi yang tidak masuk akal dan tidak sesuai sharī‘ah harus segera
dihentikan dan orang-orang kafir harus direndahkan. Karena dianggap sebagai tonggak
_______________
22
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme Dan Sharī‘ah, terj. Achmad Nashir
Budiman, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, h. 33
23
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme Dan Sharī‘ah, h. 4
24
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme Dan Sharī‘ah, h. 15
25
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme Dan Sharī‘ah, h. 17
26
Mohd Nasir Mohd Tap, 2009, Epistemologi dan Kosmologi Ah}mad Sirhindī, Seminar Bulanan
Etnomatematik Rumpun Melayu, Akademi Kajian Ketamadunan Kolej Dar al-Hikmah Kajang, h. 4
216 Fathur Rohman
dalam pemikiran indo-muslim, surat-surat tersebut terus
diterbitkan ulang dalam bahasa
27
aslinya, Persi, juga dalam bahasa Arab, Turki dan Urdu.
E. Corak Pemikiran Ahmad Sirhindī
Sirhind
Berbicara tentang corak pemikiran Sirhindi, tentunya tidak bisa lepas dari keadaan yang
melatarbelakangi kehidupannya saat itu. Pada masa hidupnya, kala itu, agama islam di India
tengah dilanda krisis. Kehidupan umat islam di India saat itu banyak diwarnai bid’ah dan
syirik, terutama disebabkan kepercayaan Dīn Ilāhi yang berkembang di negeri tersebut.
Tidak sedikit umat28 islam yang ikut kegiatan peribadatan non muslim, seperti perayaan hindu
rakhi dan pavalli.
Sementara itu, beberapa kelompok tarekat masa itu, termasuk tarekat naqshabandī lebih
sering tenggelam dalam praktek-praktek bid’ah seperti pesta musik (sama’) dan tarian
spiritual (raqsh) , mengabaikan29fardhu dan sunnah, meninggalkan shalat berjama’ah, bahkan
pada shalat jumat sekalipun. Sedangkan para ulama’ yang harusnya menjadi penjaga
sharī‘ah juga turut larut dan selalu mencari pembenaran atas praktek-praktek yang
menyimpang. Di sisi lain, kelompok Syi’ah
juga sedang gencar melakukan propaganda
30
dengan menghina beberapa sahabat nabi.
Dalam kondisi sosial-keagamaan seperti itulah Sirhindi muncul. Ia kemudian memainkan
peran yang sangat penting dalam masyarakat muslim pada masanya. Sirhindi menitikberatkan perjuangannya dalam 3 (tiga) misi besar yang harus diselesaikan pada masa hidupnya.
Pertama, mengkritik kaum kafir, bid’ah, dan berbagai doktrin yang salah, kedua, mengklarifikasi propaganda penganut Syi’ah yang mengutuk dan mempersalahkan para sahabat
Rasul dan ketiga, pemurnian tarekat dari praktek-praktek yang menyimpang dari syariat dan
terutama dari pengaruh teori waḥdat al-wujūd.
Sirhindī merupakan sufi dengan corak pemikiran bersifat yang rasional dan ortodoks.
Hal ini tampak dari berbagai tulisannya baik yang berupa kitab ataupun surat yang selalu
menekankan penegakan syariat. Ia berpendapat bahwa nalar adalah petunjuk terbaik untuk
menyelesaikan masalah. Ia menganjurkan ketaatan sepenuhnya kepada syariat dan
mengutuk setiap bid’ah. Ia tidak membedakan antara bid’ah yang baik (bid’ah hasanah)
ḍalālah) dalam hal ibadah. Ia menolak setiap bid’ah
ataupun bid’ah yang buruk (bid’ah
31
dalam masalah ibadah dan agama.
_______________
27
Francis Robinson, 1995, “Sirhindi, Ah}mad” dalam The Oxford Encyclopedia of The Modern
Islamic World, ed. John L. Esposito, Oxford University Press, New York, Jilid. 4. h. 331
28
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme Dan Sharī‘ah, h. 26
29
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme Dan Sharī‘ah, h. 210
30
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme Dan Sharī‘ah, h. 16
31
Ahmad al-Sirhindi, 2002, Maktubat al-Imam al-Rabbani, terj. Arab, Muhammad Murad,
Maktabah al-Haqiqah, Istanbul, Vol.1, h. 403
Wahana Akademika 217
Sirhindi melarang tarian dan musik sufi, melarang dzikir keras, melarang uzlah, bersujud
kepada guru dan segala bentuk amalan terekat yang tidak sesuai sunnah Rasul. Ia lebih
menekankan dhikir, menjaga akhlak dan menjaga komunikasi dengan guru daripada
menyia-nyiakan waktu dengan bersemedi. Dengan demikian, ajaran tasawufnya dapat
digolongkan dalam aliran neo-sufisme yang mengintegrasikan gagasan sufistiknya dengan
ortodoksi sunni. Neo-sufisme adalah jenis tasawuf yang telah diperbaharui, di mana ciri dan
kandungan asketik serta metafisisnya sudah diganti dengan kandungan dari dalil-dalil
ortodoksi islam. Metode tasawuf baru ini menekankan dan memperbaharui faktor moral asli
dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf. Gagasan dari neo-sufisme yaitu sufisme yang
cenderung untuk
menimbulkan aktivisme sosial dan menanamkan kembali sikap positif
32
terhadap dunia.
Pemikiran Sirhindi yang menekankan sufisme dalam bingkai sharī‘ah memang bukan yang
pertama. Sebelumnya, Ibn Taimiyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah juga pernah
mengemukakan gagasan semacam itu dan kemudian mengkritik metode sufi yang dianggap
tidak sesuai teladan rasul. Pendapat Ibn Taimiyah tersebut tidak begitu digubris oleh kalangan
sufi karena ia hanyalah pengamat luar. Sebaliknya, pendapat sirhindi begitu kuat pengaruhnya
di kalangan sufi, karena memang sirhindi adalah orang dalam. Gagasan Sirhindi dianggap
lebih jelas dan lengkap karena ia bisa melihat tarekat dan tasawuf secara utuh.
Sirhindi adalah sufi pertama yang mencoba menganalisis semua tradisi sufi dari sudut
pandang ajaran islam. Ia mendifinsikan sebuah prinsip ajaran islam di satu sisi, dan
merumuskan hal baru dalam sufisme di sisi lain, kemudian menunjukkan mana yang sesuai
dengan ajaran rasul dan mana yang bukan. Namun, upayanya yang demikian ini
mendapatkan banyak kritik. Ia dipandang sebagai ulama “sok tahu” karena mengomentari
semua hal dengan pemahaman yang dangkal. Metode33 analisisnya dipandang kacau karena
mencampur-adukkan sufisme, filsafat, teologi dan fiqh.
Pembaharuan berarti proses, cara memperbaharui, proses mengembangkan adat istiadat,
cara hidup
yang baru, membangun kembali, menyusun kembali, dan memulihkan seperti
34
semula. Menurut Mukti Ali Pembaharuan berarti sebuah usaha mengganti yang jelek
dengan yang baik, dan mengusahakan yang sudah baik menjadi lebih baik.35 Secara
sederhana Azra mendefinisikan pembaharuan dengan suatu usaha untuk mengadakan
perubahan di berbagai bidang dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja sistem secara
menyeluruh guna memperoleh hasil yang lebih baik sesuai dengan tantangan dan dinamika
_______________
32
Fazlur Rahman, 1979, Islam, TheUniversity of Chicago Press, Chicago, h. 195
Yohanan Friedmann, Shaykh Ahmad Sirhindi; An Outline of His Thought And A Study of His
Image in The Eyes of Posterity, Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, h. 157
34
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 82
35
A. Mukti Ali, 1971, Beberapa Masalah Pendidikan di Indonesia, Yayasan Nida, Yogyakarta, h. 17.
33
218 Fathur Rohman
kebutuhan masyarakat.36 Yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembaharuan yang
dilakukan oleh Ahmad Sirhindi.
Ahmad Sirhindi adalah seorang sufi dan guru tarekat Naqshabandi yang hidup pada
masa dinasti Mughal. Ia resah melihat negaranya saat itu dipenuhi oleh bid’ah dan khurafat
yang disebarkan oleh para penganut tarekat, tak terkecuali tarekat yang dianutnya. Maka, ia
pun bergerak untuk melakukan pembaharuan.
Secara etimologis, tarekat berasal dari bahasa Arab ṭarīqah, jamaknya ṭarāiq. Menurut
kamus berarti: jalan, cara (kaifiyah) , metode,
sistem (al-uslūb) , aliran, haluan atau madhhab
37
ialah "jalan
(al-madhhab) , dan keadaan (al-ḥāl) . Yang dimaksud "tarekat" dalam tasawuf
38
menuju Allah SWT guna mendapatkan ridla-Nya dengan menaati ajaran-Nya. Menurut alJurjāni ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M) , tarekat ialah metode khusus yang dipakai
oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah39 Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Tarekat adalah "jalan" yang ditempuh para sufi.
Mustafa Zahri dalam hubungan ini mengatakan tarekat adalah jalan atau petunjuk dalam
melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad
dan dikerjakan oleh sahabat-sahabatnya, tabiin dan tabi’it40 tabi’in turun-temurun sampai
kepada guru-guru secara berantai sampai pada masa kita ini.
Sejak kemunculannya di abad 5 Hijriyah, tarekat mengalami perkembangan yang cukup
pesat hingga saat ini menjadi kurang lebih dua ratus buah. Tarekat telah menyentuh seluruh
daerah islam dan diikuti oleh segala kalangan. Dalam penyebarannya tersebut, tarekat
dipandang telah banyak bersinggungan dengan budaya dan tradisi daerah atau agama lain.
Sehingga sebagian budaya dan tradisi yang menyimpang kemudian menyusup ke dalam
ajaran tarekat, seperti penggunaan alat musik dan tari-tarian, pemujaan yang berlebihan
kepada para wali, dan meminum bekas air wudlu para guru.
Dalam usahanya melakukan pembaharuan tarekat, secara garis besar Sirhindi
mengutamakan beberapa hal, antara lain:
Sharīī‘ah, Ṭararīīqah, dan Ḥaqīqah
1. Sinkronisasi Shar
Kaum sufi pada masa permulaan, lebih menekankan aspek inti dari tasawuf itu sendiri,
yaitu intuisi. Perhatian utama para sufi adalah pada keadaan batin dan jiwa seseorang dan
bukan pada perilaku lahiriahnya. Tasawuf lebih memperhatikan kebajikan seperti sabar,
_______________
36
Azyumardi Azra, 1997, "Pesantren: Kontiunitas dan Perubahan," dalam Nurcholih Madjid, Bilikbilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Paramadina, Jakarta, h. 32
37
Ahmad Warson Munawwir, 1997, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Pustaka Progressif,
Surabaya, h. 849.
38
Yunasril Ali, “Tasawuf”, 2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Taufik Abdullah dkk. (ed),
Ichtiar Baru Van Houve, Jakarta, Jilid. 4, h. 145.
39
Annemarie Schimel, 1986, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Supadri Djoko Damono dkk.,
Pustaka Firdaus, Jakarta, h. 101
40
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu, Surabaya, 1995, h. 56
Wahana Akademika 219
takut, cinta, rendah hati, dhikir, tafakkur dan lain-lain.41 Dengan menapaki jalan tasawuf
kebanyakan sufi menganggap telah menemukan inti ajaran agama, sedangkan sharī‘ah
hanyalah kulit luarnya saja. Oleh karenanya mereka menganggap sharī‘ah tiada penting lagi.
Kemunculan tarekat, yang merupakan institusi tasawuf, juga tidak lepas dari pemahaman
demikian. Sharī‘ah hanya dipandang sebagai batu loncatan untuk menapaki ṭarīqah dan
mencapai ḥaqīqah.
Dalam salah satu suratnya Sirhindi merespon anggapan kalangan sufi tersebut. Ia
mengungkapkan bahwa sharī‘ah terbagi menjadi tiga, yakni ilmu, amal, dan ikhlas. Adanya
ṭarīqah dan ḥaqīqah merupakan usaha untuk menyempurnakan bagian syariat yang ketiga,
yakni ikhlas. Dengan demikian, tujuan mencapai ḥaqīqah tidak lain adalah untuk
menyempurnakan sharī‘ah bukan untuk sesuatu yang lain di luar sharī‘ah. Menurut Sirhindi,
sharī‘ah adalah bagian terpenting yang mendasar dalam Tasawuf. Sharī‘ah adalah jaminan
kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu seorang syaikh yang tidak menjalankan
shari’ah tidak layak diikuti,
tapi lebih baik mengikuti syaikh yang mengajarkan dan
42
memperaktekkan sharī‘ah
Dalam suratnya yang lain, Sirhindi menegaskan bahwa tujuan ṭarīqah sufi tidak lain
adalah untuk memperkuat keyakinan terhadap sharī‘ah dan meningkatkan kepatuhan
terhadap aturan-aturannya. Apabila seseorang telah memperoleh keyakinan yang benar, dan
telah mematuhi tuntutan sharī‘ah, maka seseorang sebaiknya masuk ke jalan sufi. Tetapi
tidaklah benar bagi seorang yang melakukannya dengan mengharap mendapatkan sesuatu
yang baru, atau yang melampaui ketentuan sharī‘ah. Tujuan mengikuti jalan sufi tiada lain
adalah untuk memperkuat keimanan,
sehingga tidak mudah dilemahkan oleh keraguan, atau
43
diguncangkan oleh apapun.
2. Purifikasi Ajaran Tarekat
Sirhindī sebagai seorang yang berpegang terguh kepada sharī‘ah lebih menekankan
tasawuf sunni. Perhatian utama pembaharuannya terletak pada upaya integrasi gagasan
sufistik ke dalam bingkai paham sunni. Dia mengajarkan bahwa realitas “hakikat” sufi, yang
umumnya bertentangan dengan syariat, sebenarnya adalah dasar hidup syariat itu sendiri.
Dengan demikian, ajaran tasawuf Sirhindī dapat digolongkan sebagai neosufisme, yang
cenderung menimbulkan
aktivisme ortodoks dan menanamkan kembali sikap yang positif
44
terhadap dunia.
_______________
41
465
42
Abū> al-Qāsim al-Qushayri, 1989, al-Risālah al-Qushayriyyah, Maktabah Dar al-Sha’b, Kairo, h.
Ahmad al-Sirhindi, 2002, Maktubat al-Imam al-Rabbani, terj. Arab, Muhammad Murad,
Maktabah al-Haqiqah, Istanbul, Vol.1, h. 84
43
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme Dan Sharī‘ah, terj. Achmad Nashir
Budiman, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, h. 209
44
Badri Yatim, 2005, “Sirhindī, Ah}mad” dalam Ensiklopedi Islam, ed. Nina M. Armando et. Al,
Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Jilid. 5, h. 221
220 Fathur Rohman
Oleh karena itu, Sirhindī mengkritik para pengikut tarekat yang melakukan praktekpraktek yang bertentangan dengan tatanan sharī‘ah. Secara terus menerus ia menjaga
hubungan dengan para wakilnya yang dikirim ke berbagai daerah di India, sehingga dari
mereka ia dapat mengetahui secara langsung masalah-masalah tentang tarekat, dan langsung
memberikan jawaban dalam bentuk perintah dan nasehat.
Dalam beberapa suratnya ia menyebutkan hal-hal yang khas Naqshabandi, yang secara
ketat berpegang langsung pada sunnah, antara lain:
a. Melarang tradisi pesta musik (sama’) dan tarian darwisy (raqsh) . Menurutnya, semua
pengalaman tersebut lahir lewat
cara-cara yang diharamkan dan tak lain hanyalah
45
permainan yang tak karuan.
b. Melarang shalat
sunnah secara berjama’ah dan memandangnya sebagai bid’ah yang
46
harus dijauhi.
c. Lebih menekankan dhikir diam (dhikir
qalbī) dan melarang dhikir dengan suara keras
47
dan menghukuminya sebagai bid’ah.
d. Mengajarkan dhikir laṭā’if, dhikir dengan memusatkan kesadaran (dan
membayangkan nama Allah48bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada
tujuh titik halus pada tubuh.
e. Menekankan praktek-praktek kesederhanaan dan latihan yang sungguh-sungguh,
serta sikap pertengahan dalam makan, minum, tidur, dan berpakaian.49
f. Melarang mengakhirkan shalat isya’ demi mendapatkan
qiyam al-lail, melarang
50
minum air musta’mal, dan bersujud kepada guru.
g. Melarang ‘uzlah tanpa didasari niat yang51benar dan lebih menekankan berkumpul
dengan para guru atau orang-orang shalih.
h. Menolak ucapan-ucapan
dalam keadaan mabuk (shataḥāt) yang dianggap
52
menghinakan sharī‘ah.
_______________
45
Ahmad al-Sirhindi, 2002, Maktubat al-Imam al-Rabbani, terj. Arab, Muhammad Murad,
Maktabah al-Haqiqah, Istanbul, Vol.1, h. 478
46
Ahmad al-Sirhindi, 2002, Maktubat al-Imam al-Rabbani, terj. Arab, Muhammad Murad,
Maktabah al-Haqiqah, Istanbul, Vol.1, h. 566
47
Ahmad al-Sirhindi, 2002, Maktubat al-Imam al-Rabbani, terj. Arab, Muhammad Murad,
Maktabah al-Haqiqah, Istanbul, Vol.1, h. 357
48
Titik-titik tersebut adalah al-Qalb (hati), Rūh (jiwa), Sirr (nurani terdalam), Khafī (kedalaman
tersembunyi), Akhfā (kedalaman paling tersembunyi), Nafs Nāt}iqah (akal budi) dan Kull Jasad (seluruh
tubuh) lihat: Martin Van Bruinessen, 1996, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung, h. 81
49
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme Dan Sharī‘ah, terj. Achmad Nashir
Budiman, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, h. 20
50
Ahmad al-Sirhindi, 2002, Maktubat al-Imam al-Rabbani, terj. Arab, Muhammad Murad,
Maktabah al-Haqiqah, Istanbul, Vol.1, h. 62
51
Ahmad al-Sirhindi, 2002, Maktubat al-Imam al-Rabbani, terj. Arab, Muhammad Murad,
Maktabah al-Haqiqah, Istanbul, Vol.1, h. 446
Wahana Akademika 221
3. Penolakan terhadap Wa
Waḥdah
Wujūūd
ḥdah alal--Wuj
Selain pemurnian terhadap masalah furu’iyyah dalam tarekat, misi paling penting yang
diemban oleh Sirhindī adalah memurnikan ajaran tarekat dari ajaran waḥdat al-wujūd yang
dipopulerkan oleh Shaykh Muhyi al-Din ibn ‘Arabī (w. 638 H) . Sirhindi menganggap
bahwa waḥdat al-wujūd adalah biang keladi dari segala penyimpangan yang melanda tarekat
ketika itu Menurut Konsep ini, semua wujud adalah satu dalam realitas dan tiada satupun
yang bersama Tuhan. Wujud tiada lain adalah al-ḥaq itu sendiri karena tidak satupun dalam
wujud selain dia. Hakikat yang wujud hanyalah Allah. Adanya dunia bukanlah khayalan,
tetapi keberadaannya
merupakan manifestasi Tuhan karena hanya Tuhan yang mewujud
53
bukan yang lain.
Selama beberapa abad doktrin ini telah mendominasi pemikiran kaum sufi tak terkecuali
para sufi Naqshabandi. Para tuan guru Naqshabandiyyah dari Asia Tengah, semuanya
merupakan pendukung kuat 54doktrin ini, yang kelihatannya sesuai dengan pengalaman
mereka ketika sedang ekstase, seperti Khwajah Muḥammad Pārsā, Khalifah dari Shaykh
Bahā’ al-Dīn al-Naqshbandī, ‘Abd al-Raḥmān al-Jāmī, yang memang pendukung utama
Waḥdatal-wujūd. Begitu juga dengan murid al-Jāmī, ‘Abd al-Ghafūr Lārī yang menuliskan
komentar al-Durrah al-Fākhirah karya al-Jāmī yang juga merupakan pendukung aliran
Akbari. Tokoh sezaman dengan al-Jāmī, Shaykh ‘Ubaidullāh al-Aḥrār, seorang pembaharu
Tarekat Naqshbandiyyah yang juga seorang penafsir Waḥdatal-wujūd yang cemerlang.55
Bahkan ayahnya, Shaykh Abd Al-Aḥad juga seorang penganut Waḥdatal-wujūd, tetapi
menurutnya, ayahnya bukan56 penganut buta paham itu. Ia mempunyai cara tersendiri
menafsirkan doktrin tersebut.
Dalam pengamatannya terhadap doktrin Waḥdatal-wujūd, Sirhindī mengungkapkan
beberapa kesimpulan tentang doktrin tersebut, antara lain:57
a. Tauhid wujudi atau Waḥdat al-Wujūd bukanlah tauhid para rasul. Para rasul tidak
pernah mengajarkan “tiada sesuatu selain Allah”, tapi yang mereka ajarkan adalah
_______________
52
Ia juga mengkritik perkataan sufi legendaris al-Hallaj “ana al-Haq” dan Abi Yazid al-Bustami
“Subh}āni<”. Lihat: Ahmad al-Sirhindi, 2002, Maktubat al-Imam al-Rabbani, terj. Arab, Muhammad
Murad, Maktabah al-Haqiqah, Istanbul, Vol.3, h. 188
53
H.A. Rivay Siregar, 2000, Tasawuf; dari Sufime Klasik ke Neosufisme, Raja Grafindo, Jakarta, h.
184. Lihat juga: Abū> al-‘Alā Afīfī, t.th, Fuṣuṣ al-H}ikam Wa al-Ta’līqāt ‘Alaih, Dār al-Kutub al-‘Arabī,
Beirut, h. 6
54
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia \, Mizan, Bandung, h.81
55
K.A Nizami, “ The Naqshabandiyah Order” dalam Islamic Sprituality Manifestations, ed. Syeed
Hossein Nasr (The Crossroad Publishing Company, New York, 1997) , 178
56
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme Dan Sharī‘ah, terj. Achmad Nashir
Budiman, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, h. 8
57
Ahmad al-Sirhindi, 2002, Maktubat al-Imam al-Rabbani, terj. Arab, Muhammad Murad,
Maktabah al-Haqiqah, Istanbul, Vol.2, h. 6-10
222 Fathur Rohman
“tiada Tuhan selain Allah”. Agama para rasul, menurutnya, tegak atas dasar premis
kegandaan (ithnainiyyāt) , dan bukan pada keidentikkan antara Tuhan dan dunia.
b. Doktrin tersebut bertentangan dengan berbagai prinsip ajaran islam. Alasannya,
bahwa ajaran tersebut mengidentikkan dunia dengan Tuhan, maka penyembahan atas
berbagai objek akan disamakan dengan penyembahan Tuhan, karena yang disembah
adalah perwujudan Tuhan, inilah sebenarnya yang diyakini oleh para penyembah
berhala. Kedua, bahwa doktrin mengabaikan keburukan.
c. Kepercayaan pada zat tunggal merupakan fenomena subyektif. Bukti subyektifitas itu
terletak pada riwayat munculnya gagasan tersebut.
d. Doktrin Waḥdatal-wujūd merupakan perkembangan baru dalam sejarah sufisme,
karena tidak ada seorangpun sebelum Ibn al-Arabī membicarakan hal tersebut. Tauhid
yang dibicarakan selama dua ratus tahun adalah Tauḥīd Shuhūdī bukan Tauḥīd
Wujūdī.
e. Tauḥid Wujūdi tidak diperlukan untuk mencapai fanā’.58 Tauḥīd Shuhūdi sudah
cukup untuk mengantarkan kepada fanā’ dan mewujudkan ikhlas yang merupakan
tujuan tertinggi dari sulūk sufi.
4. Teori Waḥdat
Waḥdat alal-Shuhū
Shuhūd
Dalam berbagai kepustakaan sufi, tauhid mempunyai empat makna berbeda, pertama,
meyakini dan mengimani keesaan Tuhan; kedua, disiplin kehidupan lahir dan batin berdasar
kepercayaan tersebut; ketiga, pengalaman dalam persatuan dan menyatu dengan Tuhan; dan
keempat, konstruksi teosofi atau filosofis tentang kenyataan yang bertolak dari pengalaman
mistikal. Untuk pengertian yang pertama dan kedua bisa kita masukkan ke dalam tataran
sharī‘ah, sedangkan pengalaman menyatu atau dalam kebersatuan tidak dapat kita masukkan
ke dalam tataran sharī‘ah karena itu bukan merupakan bagian dari cara rasul.
Istilah umum tauhid dari pengertian ketiga dalam kepustakaan sufi adalah Tauḥīd
Shuhūdī, yang secara sederhana berarti persepsi (shuhūd) atas zat tunggal dari pengalaman
mistik, sedang untuk
pengertian keempat sering digunakan istilah Tauḥīd Wujūdī maupun
59
Waḥdatal-wujūd.
Sirhindī merumuskan bahwa Tauḥid Shuhūdī adalah melihat zat tunggal, atau
menyatakan tiadanya sesuatu kecuali zat tunggal. Tetapi mempersepsi bukan berarti
menganggap sesuatu tidak ada; atau berimplikasi pada keyakinan bahwa yang lain dianggap
tidak ada. Sedangkan Tauḥid Wujūdī adalah meyakini bahwa yang ada hanyalah zat tunggal,
sedang yang lainnya dianggap tidak ada, dan selain itu yang lain dianggap sebagai
_______________
58
Fanā’ adalah menghilangkan diri dalam Tuhan. Lihat: al-Shaykh Amīn al-Shaykh ‘Alāuddin AlNaqsyabandi, Mā Huwa al-Taṣawwuf Mā Hiya al-T}arīqah al-Naqshabandiyyah, terj. Muhammad Syarīf
Ah}mad (al-Dār al-Arabiyah, Baghdad, 1988) , 117
59
Muhammad Abd al-Haq Anṣāri, 1993, Antara Sufisme Dan Sharī‘ah, terj. Achmad Nashir
Budiman, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, h. 147
Wahana Akademika 223
perwujudan dan penampakan dari zat tunggal. Dengan demikian, tauhid wujudi
menjelaskan bahwa hanya zat tunggal saja yang60ada atau bahwa yang lain bukanlah yang
lain, tetapi hanyalah perwujudan dari zat tunggal.
Hal yang paling fundamental dalam teori ini ialah bahwa Tuhan sepenuhnya berbeda
dari dunia, dan juga sepenuhnya sebagai sesuatu yang lain. Dunia bukanlah satu dengan
Tuhan, dan juga bukan dalam wujudnya. Tuhan adalah satu zat tersendiri dan dunia adalah
yang lain, dan keduanya tidak akan memiliki kesamaan. Menurutnya, Hakikat Allah Swt.
adalah ‘wujud murni’ atau wujūd s}irf tanpa dihubungkan dengan sesuatu pun. Ia
merupakan puncak segala kebaikan dan kesempurnaan, merupakan sederhana hakiki (basīṭ
ḥaqīqī) dalam arti kata tidak disusun dari sesuatu sama sekali baik itu61konseptual maupun
secara eksistensial, ia tidak dapat disifat dan digambarkan secara realiti.
Sirhindī menjelaskan gagasan yang paling penting bahwa adanya dunia sama seperti
adanya citra bayangan pada kaca. Sungguh tidak ada perbandingan antara bayangan kaca
dengan eksistensi nyata dari obyek. Sebaliknya, citra walaupun tampak pada kaca,
sebenarnya anda tidak pernah melihat ada di sana. Juga tidak ada citra dalam kaca. Oleh
sebab itu, citra tidaklah ada dalam ruang (khārij) di mana objek terletak. Berbagai sifat lain
yang berikatan juga dapat ditemukan dalam citra. Oleh sebab itu, adanya citra bukan
merupakan eksistensi objek, karena eksistensi objek merupakan eksistensi nyata dalam ruang
nyata, sedang eksistensi citra merupakan eksistensi tidak nyata, hanya ada dalam persepsi
(ḥiss) dan imajinasi (wahm) , yang terletak dalam ruang bayangan (kharij z}illi) . Eksistensi
citra, oleh karena itu, merupakan eksistensi bayangan (wujud z}illi) , yang sepenuhnya
berbeda dan terpisah dari eksistensi nyata objek.
Dengan demikian, eksistensi tuhan tidaklah identik dengan eksistensi dunia. Tuhan
terpisah dari dunia, dan bukan menyatu (inklusif) . Eksistensi dunia adalah eksistensi maya
yang berbeda dan terpisah dengan eksistensi tuhan. Adanya bayangan tersebut bukan
kemudian menimbulkan konklusi bahwa ada dua obyek yang serupa dan tidak pula
membenarkan adanya dualitas dzat, yakni dunia yang ada di samping tuhan.
F. Penutup
Sirhindi merupakan ulama’ yang sangat berpegang teguh dengan syariat. Perhatian
utama pembaharuannya adalah upaya mengintegrasikan gagasan sufistik ke dalam bingkai
paham sunni. Pemikirannya termasuk dalam kategori rasional dan ortodoks. Ajaranajarannya banyak menginspirasi tokoh sufi sesudahnya dan menjadi pelopor pembaharuan
tarekat di masa depan.
_______________
60
Ahmad al-Sirhindi, 2002, Maktubat al-Imam al-Rabbani, terj. Arab, Muhammad Murad,
Maktabah al-Haqiqah, Istanbul, Vol.1, h. 487-490
61
Mohd Nasir Mohd Tap, 2009, Epistemologi dan Kosmologi Ah}mad Sirhindī, Seminar Bulanan
Etnomatematik Rumpun Melayu, Akademi Kajian Ketamadunan Kolej Dar al-Hikmah Kajang, h. 4
224 Fathur Rohman
Dalam bidang tarekat, Sirhindi melakukan pembaharuan dalam beberapa hal, antara lain:
1. Penyelarasan sharī’ah, ṭarīqah, dan ḥaqīqah. tujuan mencapai ḥaqīqah tidak lain
adalah untuk menyempurnakan sharī‘ah bukan untuk sesuatu yang lain di luar
sharī‘ah.
2. Memurnikan ajaran tarekat dari ajaran-ajaran yang menyimpang. Ia melarang aktifitas
sufi yang dianggapnya menyimpang seperti tarian dan musik sufi, ucapan mabuk,
uzlah, dhikir jahr, dan sujud kepada guru.
3. Menolak ajaran waḥdat al-wujūd yang dipandangnya tidak sesuai sunnah dan menjadi
biang keladi segala penyimpangan tarekat. Alasannya, bahwa ajaran tersebut
mengidentikkan dunia dengan Tuhan, maka penyembahan atas berbagai objek akan
disamakan dengan penyembahan Tuhan, karena yang disembah adalah perwujudan
Tuhan.
4. Sirhindi mengajukan teori waḥdat al-shuhūd sebagai pengganti ajaran waḥdat alwujūd. Yang paling fundamental dalam teori ini ialah bahwa Tuhan sepenuhnya
berbeda dari dunia, dan juga sepenuhnya sebagai sesuatu yang lain. Dunia bukanlah
satu dengan Tuhan, dan juga bukan dalam wujudnya.
5. Sharī’ah, ṭarīqah, dan ḥaqīqah adalah satu kesatuan tidak bisa dipisahkan. Sharī’ah
adalah bentuk lahir dari ḥaqīqah dan ḥaqīqah adalah bentuk batin dari sharī’ah.
Untuk sampai pada ḥaqīqah, kita membutuhkan metode dan disiplin yang sudah
diatur oleh sharī’ah yang disebut dengan ṭarīqah. Sharī’ah adalah landasan awal
menuju ḥaqīqah dan penyingkapan ḥaqīqah tidak menggugurkan sharī’ah, bahkan
menguatkan kebenaran sharī’ah. Jika bertentangan maka penyingkapan tersebut
diragukan, yang boleh jadi itu adalah ulah setan. Sungguh menarik peristiwa yang
pernah dialami Syaikh Abdul Qādir al-Jīlānī dalam semedinya, ia pernah hampir
terperosok ke dalam jebakan setan karena merasa telah menemukan haqīqah. Tapi
akhirnya ia pun sadar jika Allah tidak akan pernah memerintahkan hamba-Nya untuk
melanggar aturan-aturan-Nya.[]
Bibliografi
‘Alāuddin Al-Naqsyabandi, al-Shaykh Amīn al-Shaykh, 1988, Mā Huwa al-Tas}awwuf Mā
Hiya al-ṭarīqah al-Naqshabandiyyah, terj. Muhammad Syarīf Aḥmad, al-Dār alArabiyah, Baghdad.
Abdurrahman, Soejono, 1997, Metode Penelitian Waktu, Pemikiran dan Penerapan, Rineka
Cipta, Jakarta.
Abū> al-‘Alā Afīfī, t.th., Fus}us} al-ḥikam Wa al-Ta’līqāt ‘Alaih, Dār al-Kutub al-‘Arabī,
Beirut.
Wahana Akademika 225
al-Affānī, Sayyid bin Husein, t.th., Zahrot al-Basa<tin min Mawāqif al-Ulamā’ wa alRabban>iyyin, Dār al-Affāni, Kairo.
Ali, Yunasril, “Tasawuf”, 2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Taufik Abdullah dkk. (ed)
, Ichtiar Baru Van Houve, Jakarta.
Ali, A. Mukti, 1971, Beberapa Masalah Pendidikan di Indonesia, Yayasan Nida, Yogyakarta.
Ans}āri, Muhammad Abd al-Haq, 1993, Antara Sufisme dan Sharī‘ah, terj. Achmad Nashir
Budiman, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
Anshari, A. Hafidz, “Naqsyabandiyah, Tarekat”, dalam Ensiklopedi Islam , ed. Nina M.
Armando et. al, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Azra, Azyumardi, 1997, "Pesantren: Kontiunitas dan Perubahan," dalam Nurcholih Madjid,
Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Paramadina, Jakarta
Bakker, Anton dan Zubair, Ahmad Harith, 1990, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius,
Yogyakarta.
Baldick, Julian, 1995, “Chistiyah” dalam The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic
World, ed. John L. Esposito, Oxford University Press, New York.
, 2002, Islam Mistik (Mengantar Anda Ke Dunia Tasawuf) terj. Satrio Wahono, PT.
Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.
Bruinessen, Martin Van, 1996, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung.
Friedmann, Yohanan, Shaykh Ahmad Sirhindi; An Outline of His Thought And A Study of
His Image in The Eyes of Posterity, Institute of Islamic Studies, McGill University,
Montreal.
Glasse, Cyril, 1999, Ensiklopedi Islam (ringkas) terj. Ghufron A. Mas’adi, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Mohd Tap, Mohd Nasir, 2009, Epistemologi dan Kosmologi Aḥmad Sirhindī, Seminar
Bulanan Etnomatematik Rumpun Melayu, Akademi Kajian Ketamadunan Kolej Dar alHikmah Kajang.
Munawwir, Ahmad Warson, 1997, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Pustaka Progressif,
Surabaya.
Nizami, K.A, 1997, “ The Naqshabandiyah Order” dalam Islamic Sprituality Manifestations,
ed. Syeed Hossein Nasr, The Crossroad Publishing Company, New York.
Nursi, Bediuzzaman Said, 2003, Episode Mistis Kehidupan Rasulullah, terj. Sugeng
Hariyanto, Jakarta, Siraja.
al-Qushayri, Abū> al-Qāsim, 1989, al-Risālah al-Qushayriyyah, Maktabah Dar al-Sha’b,
Kairo, hlm. 465
Rahman, Fazlur, 1979, Islam, The University of Chicago Press, Chicago.
226 Fathur Rohman
Rakhmat, Jalaluddin, 1998, Reformasi Sufistik; Halaman Akhir Fikri Yathir, Pustaka
Hidayah, Bandung.
Robinson, Francis, 1995, “Sirhindi, Aḥmad” dalam The Oxford Encyclopedia of The Modern
Islamic World, ed. John L. Esposito, (Oxford University Press, New York.
Schimel, Annemarie, 1986, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Supardi Djoko Damono dkk.,
Pustaka Firdaus, Jakarta.
al-Sirhindi, Ahmad, 2002, Maktubat al-Imam al-Rabbani, terj. Arab, Muhammad Murad,
Maktabah al-Haqiqah, Istanbul, Vol.1, hlm. 403
Siregar, H.A. Rivay, 2000, Tasawuf; dari Sufime Klasik ke Neosufisme, Raja Grafindo,
Jakarta.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, 1988,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Yatim, Badri, 2005, “Sirhindī, Aḥmad” dalam Ensiklopedi Islam, ed. Nina M. Armando et.
Al, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.