Academia.eduAcademia.edu

Demokrasi di Tengah Pandemi COVID-19

Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan

Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut sistem demokrasi tetap melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung meskipun kesehatan nasional menjadi ancaman. Tahapan kampanye tatap muka pada pemilihan kepala daerah menjadi salah satu sorotan negatif di tengah lonjakan kasus Covid-19, karena dikhawatirkan akan menimbulkan kluster baru  kasus covid-19. Oleh sebab itu, penelitian ini akan memetakan dan mengeksplorasi persoalan pelanggaran protokol  kesehatan pada tahapan kampanye yang dilakukan oleh calon kepala daerah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis isi dan fenomenologi sebagai metode. Pengumpulan data diawali dengan memetakan masalah pelanggaran protokol kesehatan pada tahapan kampanye melalui berita di 14 media terpilih. Hasil pemetaan berupa tren dan berbagai polemik pelanggaran dielaborasi dengan kasus pelanggaran yang terjadi di daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap protokol Kesehatan sangat tinggi pada masa...

Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 70-84 e-ISSN: 2656-5277 | p-ISSN: 1829-5827 Demokrasi di Tengah Pandemi COVID-19: Apa yang Didahulukan? Keselamatan atau Kepentingan Democracy in the Midst of the COVID-19 Pandemic: What Comes First? Safety or Interest? Alexsander Yandra1*, Adrian Faridhi2, Khuriyatul Husna3 1,2,3 Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru, Indonesia *Email Korespondensi: [email protected] Diterima: 3 Februari 2022 Direvisi: 23 Mei 2022 Disetujui: 30 Juni 2022 DOI: 10.35967/njip.v21i1.255 Abstrak: Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut sistem demokrasi tetap melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung meskipun kesehatan nasional menjadi ancaman. Tahapan kampanye tatap muka pada pemilihan kepala daerah menjadi salah satu sorotan negatif di tengah lonjakan kasus COVID-19, karena dikhawatirkan akan menimbulkan kluster baru kasus COVID-19. Oleh sebab itu, penelitian ini akan memetakan dan mengeksplorasi persoalan pelanggaran protokol kesehatan pada tahapan kampanye yang dilakukan oleh calon kepala daerah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis isi dan fenomenologi sebagai metode. Pengumpulan data diawali dengan memetakan masalah pelanggaran protokol kesehatan pada tahapan kampanye melalui berita di 14 media terpilih. Hasil pemetaan berupa tren dan berbagai polemik pelanggaran dielaborasi dengan kasus pelanggaran yang terjadi di daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap protokol Kesehatan sangat tinggi pada masa kampanye hingga sampai pada pelanggaran dugaan tindak pidana. Kontestasi politik yang terjadi pada tahapan kampanye di masa pandemi tidak menjadi halangan bagi calon kepala daerah yang mengikuti pemilihan. Sehingga terlihat bahwa pemilihan yang terjadi di masa pandemi tidak berpihak kepada rakyat dikarenakan kepentingan politik calon kepala daerah lebih penting dibandingkan dengan Kesehatan masyarakat sebagai pelaku demokrasi itu sendiri. Mengesampingkan Kesehatan rakyat menjadi catatan buruk dalam pelaksanaan demokrasi. Kata Kunci: Pilkada serentak; kampanye; pandemi COVID-19; demokrasi Abstract: Indonesia as one of the countries that adhere to a democratic system continues to carry out direct regional head elections even though national health is a threat. The face-to-face campaign stage in the regional head election is one of the negative highlights of the COVID-19 incident because it is feared that it will cause a new cluster of COVID-19 cases. Therefore, this study will find and explore the problem of violating health protocols at the campaign stage carried out by candidates for regional heads. This study uses an approach with content analysis and phenomenology as methods. Data collection begins with the problem of violating health protocols at the campaign stage through news in 14 selected media. The results of the mapping in the form of trends and various polemics of violations are elaborated on cases of violations that occurred in the regions. The results of the study showed that violations of the health protocol were very high during the campaign period to violations of alleged criminal acts. Political contestation that occurred at the campaign stage during the pandemic did not become an obstacle for regional head candidates who took part in the election. So, it can be seen that the elections that took place during the pandemic were not in favor of the people because the political interests of regional head candidates were more important than public health as actors of democracy itself. Putting aside people's health is a bad record in the implementation of democracy. Keywords: Simultaneous elections; campaigns; COVID-19 pandemic; democracy 70 Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 70-84 e-ISSN: 2656-5277 | p-ISSN: 1829-5827 Pendahuluan Pemilu merupakan amanat konstitusi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini tugas pemerintah adalah menjamin dan melindungi pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menyalurkan hak-hak politiknya selama pemilu (Yandra, 2016). Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membawa Indonesia pada negara demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (negara hukum) (Fahmi et al., 2019). Pemilu sebagai salah satu praktik kekuasaan dan pemerintahan yang berkelanjutan harus didasarkan pada prinsipprinsip hukum yang adil dan nilai-nilai kemanfaatan. Salah satu prinsip dasar negara hukum yang demokratis adalah adanya jaminan yang adil bagi rakyat dalam menyatakan kedaulatannya (Eichenhofer, 2015). Praktiknya pelaksanaan pemilu tidak serta merta berjalan sebagaimana mestinya, permasalahan pemilu dan pemilukada secara umum menunjukkan bahwa sistem politik dan penyelenggaraan pemilu belum mencapai titik yang mapan (Sinclair et al., 2018). Pemilu adalah pesta demokrasi yang diselenggarakan di negara yang merupakan negara demokrasi/kedaulatan rakyat (Fahmi et al., 2019). Suksesi kepemimpinan di daerah (Pilkada) tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai yang ingin dicapai oleh kedaerahan (Faridhi, 2019). Indonesia menggelar Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember pada situasi darurat Kesehatan yaitu pandemi COVID19. Pelaksanaan Pilkada semula seharusnya digelar pada 23 September namun sempat ditunda karena COVID-19, meski pemerintah tetap melaksanakannya karena kampanye politik adalah bagaimana membangun dan meningkatkan kualitas bersama masyarakat (Anwar, 2019), dibutuhkan kreativitas agar kampanye yang ditawarkan melahirkan politik kegembiraan (Arianto, 2015). Kewajiban penguasa untuk melindungi hak asasi manusia merupakan konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat (Jacob, 2019). Kampanye merupakan salah satu bentuk promosi calon kepala daerah dalam kampanye politik, pesan-pesan yang dibawa oleh calon penting untuk ditawarkan kepada pemilih (Fatimah, 2018). Dalam mengkomunikasikan pesan politik yang terdiri dari, Pertama, pemetaan karakteristik pemilih; Kedua, pemetaan isu-isu krusial pemilihan kepala daerah; dan Ketiga, menentukan pesan politik penting dalam membangun citra politik (Lalancette & Raynauld, 2019). Pemilih juga menggunakan media sosial sebagai sumber referensi dan informasi politik. Penggunaan media sosial sebagai alat politik (kampanye) pada tahun 2014, korelasinya rendah hanya 42,3% partisipasi politik yang dapat dipengaruhi oleh penggunaan media sosial (Perangin-angin & Zainal, 2018). Tahapan kampanye merupakan tahapan yang krusial bagi pelanggaran pemilu, namun alat peraga kampanye yang tentunya akan melibatkan perkumpulan orang, seperti rapat terbatas, tatap muka, dialog hingga debat publik/terbuka antar pasangan calon, dapat dengan mudah melanggar hak asasi manusia. Pembatasan COVID yang dipromosikannya (Bao, 2020; Faridhi, 2020; Landman & Splendore, 2020). Sementara kondisi penyebarannya semakin meningkat, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan Case Fatality Rate tertinggi di dunia (Thorik, 2020). Pada tahapan kampanye Pilkada Serentak 2020 di bulan November hingga Desember terjadi tren peningkatan kasus aktif COVID-19. Peningkatan kasus aktif yang terjadi serta pergerakannya dari bulan ke bulan dapat dilihat pada Gambar 1. 71 Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 70-84 e-ISSN: 2656-5277 | p-ISSN: 1829-5827 Gambar 1. Tren Kasus Aktif COVID-19 di Indonesia Sumber: Laporan Analisis data COVID-19 update per 20 Desember 2020, hal 13 (https://covid19.go.id) Data kasus aktif pasti akan bertambah jika penerapan protokol kesehatan kemudian disingkat prokes tidak dipatuhi, dan kampanye masif yang melibatkan banyak orang berpotensi menjadi klaster baru penyebaran COVID-19. Peningkatan pelanggaran protokol kesehatan pada masa kampanye Pilkada 2020 terjadi seiring dengan peningkatan kegiatan kampanye yang menggunakan metode tatap muka atau rapat terbatas. Bawaslu Rekap Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), terdapat 375 pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi dalam kurun waktu 6 hingga 15 Oktober 2020. Jumlah pelanggaran tersebut meningkat 138 kasus jika dibandingkan dengan surveilans pada periode sebelumnya, yakni sejak 26 September. hingga 5 Oktober sebanyak 237 kasus (kompas.com). Selanjutnya, hingga akhir kampanye Pilkada 2020, terdapat 1.763 pelanggaran protokol kesehatan selama kampanye Pilkada 2020. Sebanyak 1.210 di antaranya dikenai teguran tertulis dan 168 lainnya dikenai sanksi pembubaran. Jika melihat data pelanggaran pelayanan kesehatan pada tahap ini yaitu sebanyak 2.126 kasus, maka tahap kampanye paling banyak terjadi pelanggaran terhadap prokes COVID-19. Melihat berbagai persoalan terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah di tengah pandemi COVID-19, maka artikel ini mencoba untuk melakukan pemetaan dan eksplorasi terhadap berbagai polemik pelanggaran protokol Kesehatan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah khususnya pada tahapan kampanye. Identifikasi penyebaran kasus positif saat kampanye menjadi polemik atau bagian integral dari hasil pelaksanaan demokrasi. Penelitian ini berkontribusi dalam menjawab kebutuhan negara akan kajian komprehensif dalam meminimalisir tumbuhnya kluster baru dalam pelaksanaan demokrasi di masa mendatang dari hasil pemetaan dan eksplorasi yang dilakukan. Selain itu penelitian ini memberikan pemikiran akan peringatan (reminder) bagaimana penyelenggara Pilkada agar mampu mempersiapkan segala sesuatunya dalam proses berdemokrasi baik mekanisme maupun regulasi khususnya ketika kondisi dalam ancaman (darurat) yaitu pandemi COVID-19. Dalam ilmu politik, ada dua macam pengertian demokrasi; pemahaman normatif dan pemahaman empiris. Dalam pengertian normatif, demokrasi adalah sesuatu yang secara ideal dimaksudkan untuk dilaksanakan atau dilaksanakan oleh suatu negara, sebagaimana dinyatakan oleh kebijaksanaan konvensional Presiden Lincoln, “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” (Tariq et al., 2022). Ungkapan normatif ini sering diterjemahkan ke dalam 72 Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 70-84 e-ISSN: 2656-5277 | p-ISSN: 1829-5827 konstitusi masing-masing negara, namun kajian ini juga harus mencatat bahwa apa yang normatif belum tentu dapat dilihat dalam konteks kehidupan politik sehari-hari di suatu negara. (Manoharan, 2020). Oleh karena itu, sangat perlu melihat bagaimana makna demokrasi secara empiris, yaitu demokrasi dalam manifestasinya dalam kehidupan politik praktis. Sementara itu, pemahaman empiris tentang demokrasi sebagian besar didasarkan pada kerangka berpikir metodis milik (Schumpeter, 2010) bahwa metode demokrasi adalah prosedur institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu memperoleh kekuatan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif untuk mendapatkan suara rakyat. Huntington dalam (Piano, 2019) mendefinisikan demokrasi sebagai negara di mana pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem dipilih melalui pemilihan yang adil, jujur, dan berkala, di mana para kandidat bebas bersaing untuk mendapatkan suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak untuk memilih (Piano, 2019). Baik pemahaman normatif maupun empiris tentang demokrasi sepakat bahwa sistem tersebut menghasilkan efek-efek berikut dalam kehidupan politik suatu negara: 1) Menghindari tirani pemerintahan; 2) Melahirkan pengakuan keberadaan manusia; 3) Menjamin adanya kebebasan publik; 4) Menghargai manusia untuk bertindak sesuai keinginannya; 5) Penguatan otonomi moral; 6) Menjamin proses pembangunan manusia; 7) Menghormati kepentingan pribadi; 8). Memastikan kesetaraan politik; 9) Mewujudkan kehidupan yang lebih rukun dan damai; 10) Menghasilkan kemakmuran (Dahl, 2020). Mengikuti pandangan teoritis tersebut, penelitian ini menggunakannya sebagai alat analisis, khususnya dalam mengkaji polemik pelanggaran protokol kesehatan (prokes) COVID-19 pada masa kampanye Pilkada Serentak 2020. Pandemi COVID-19 telah membawa perubahan baru dalam tatanan seluruh aspek kehidupan masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Selama vaksin belum secara mutlak didistribusikan ke seluruh penduduk, otomatis protokol kesehatan menjadi wajib. Protokol tersebut menyerukan penerapan pola perilaku hidup sehat dan pelaksanaan perlindungan dasar dengan menggunakan masker, cuci tangan, menjaga jarak dan memperhatikan waktu interaksi dengan orang lain untuk mengurangi risiko penyebaran wabah Corona (Islam et al., 2020). Protokol kesehatan ini menjadi acuan pelaksanaan kegiatan masyarakat di masa pandemi COVID-19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengategorikan efek sehat atau tidak sehat dari COVID-19, kondisi demam 38 derajat Celsius dan batuk/pilek disertai sesak napas (sesak napas atau napas cepat) merupakan ciri-ciri awal, meskipun harus dibuktikan terlebih dahulu dengan penerapan Rapid Test, Swab, dan Polymerase Chain Reaction (PCR). Sedangkan cara kerja Rapid Test untuk deteksi virus SARS Co-2 adalah dengan mendeteksi antibodi dan antigennya, PCR adalah metode pemeriksaan virus SARS Co-2 dengan mendeteksi DNA virus. Tenaga kesehatan (Nakes) di fasilitas kesehatan akan melakukan screening suspect COVID-19, jika seseorang memenuhi kriteria suspect COVID-19, maka akan dirujuk ke salah satu Rumah Sakit (RS) rujukan yang harus menggunakan alat pelindung diri ( APD); jika tidak, maka orang tersebut akan dirawat inap atau rawat jalan tergantung pada diagnosis dan keputusan dokter fasilitas kesehatan tersebut. Kenyataannya, hanya sebagian masyarakat yang telah melaksanakan kebijakan protokol kesehatan yang telah ditetapkan dan dijelaskan oleh Kementerian. Oleh karena itu, edukasi dan penegakan disiplin terhadap penerapan protokol kesehatan COVID-19 tetap diperlukan karena di sana virus terus menghasilkan varian yang lebih mematikan. Artikel ini dibagi ke dalam beberapa bagian. Pertama, mendeskripsikan fenomena yang terjadi dalam tahapan kampanye proses pemilihan kepala daerah dan menyajikan literatur review terkait demokrasi dan pemilu, protokol Kesehatan. Kedua, menjelaskan metode yang digunakan untuk menjawab penelitian. Ketiga, eksplorasi hasil temuan dan diskusi berupa tren dan polemik pelanggaran protokol kesehatan di masa kampanye serta dampaknya pada kualitas demokrasi di masa Pandemi COVID-19. 73 Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 70-84 e-ISSN: 2656-5277 | p-ISSN: 1829-5827 Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis isi dan fenomenologi sebagai metode. Metode analisis isi ini digunakan untuk melihat berapa banyak berita media (konten) yang membicarakan tentang pelanggaran protokol kesehatan di tahapan kampanye pada Pilkada tahun 2020 di masa pandemi COVID-19. Pemetaan terhadap tren dan polemik pelanggaran protokol kesehatan peneliti lakukan dengan cara penelusuran terhadap berita yang diekspos oleh 14 (empat belas) media terpilih. Media dipilih berdasarkan peringkat yang dilakukan oleh Alexa rang pada media yang sering diakses oleh masyarakat Indonesia. Pemilihan berita di media dilakukan dari tanggal 25 September 2020 sampai dengan 5 Desember 2020 (pada tahapan kampanye). Hasil identifikasi berita di media diseleksi berdasarkan kriteria dan di Analisa berdasarkan dampak dan kendala pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi, pelanggaran prokes hingga dugaan tindak pidana selama tahapan kampanye menjadi poin yang didalami secara teoritis. Hasil temuan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar kemudian di elaborasi berdasarkan konsep dan teori yang digunakan. Untuk melakukan pengujian data khususnya dalam fisibilitas tahapan kampanye (Yandra, 2017) peneliti melakukan proses triangulasi data pada pihak terkait yaitu Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Tahap berikutnya penarikan kesimpulan data yang kemudian dilakukan analisis data serta dideskripsikan secara mendalam dan menukik. Hasil dan Pembahasan Menelusuri Polemik dan Tren Pelanggaran Protokol Kesehatan pada Masa Kampanye Pilkada Serentak 2020 Pelaksanaan demokrasi khususnya Pilkada di tengah tingginya kasus COVID-19 tidak terlepas dari berbagai polemik yang berimplikasi terhadap dimundurkannya waktu pelaksanaan yang awalnya dilaksanakan pada September namun akhirnya Desember 2020 baru dapat terealisasi. Kemunduran pelaksanaan ini juga berdampak terhadap bergesernya tahapan dalam pelaksanaan Pilkada atau demokrasi di aras lokal tersebut salah satunya tahapan kampanye. Kampanye adalah bagian dari proses sosialisasi dari kandidat untuk mempengaruhi para pemilih, maka tahapan ini sangat menentukan bahkan dalam kampanye kandidat akan menyampaikan visi dan misi kepada pemilihnya (konstituen). Pembatasan pelaksanaan kampanye ini menimbulkan berbagai aksi dan reaksi baik dari kandidat maupun pemilih yang kuatir akan terpapar COVID-19. Peneliti mengumpulkan data dari 14 media yang sering diakses di Indonesia berdasarkan rangking Alexa Rang, yaitu: Okezone.Com, Tribunnews.Com, Mindsofthepeople.com, Kompas.Com, Detik.Com, Suara.Com, Kumparan.Com, Merdeka.Com, Liputan6.Com, SindoNews.Com, Jawapos.Com, Cnn Indonesia, Cnbn Indonesia, dan Tempo.Com yang ditelusuri sejak kampanye digelar hingga selesai yaitu pada 25 September hingga 5 Desember. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari Tabel 1. Tabel 1. Media Berita yang digunakan dalam Pengumpulan Data Media Berita Jumlah Berita Okezone.com 6 Tribunnews.com 13 Pikiran rakyat.com 5 Kompas.com 23 Detik.com 13 Suara.com 7 Kumparan.com 3 Merdeka.com 17 74 Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 70-84 e-ISSN: 2656-5277 | p-ISSN: 1829-5827 Media Berita Liputan6.com Sindonews.com Jawapos.com Cnnindonesia.com Cnbcindonesia.com Tempo.com Total Sumber: Data Olahan Peneliti, 2022 Jumlah Berita 5 13 7 21 9 20 162 Berdasarkan Tabel 1 di atas, terdapat total 162 pemberitaan dari 14 media nasional di Indonesia. Data yang terkumpul ditemukan berbagai macam polemik dan tren pelanggaran protokol kesehatan dominan selama masa kampanye bahkan ada yang meninggal dunia. Data yang telah ditemukan kemudian disaring menjadi 3 permasalahan utama, yaitu: hambatan dan dampak Pilkada di tengah pandemi, pelanggaran protokol kesehatan (prokes) dan dugaan tindak pidana di tengah Pilkada. Dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2. 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 kendala dan dampak pilkada ditengah pendemi pelanggaran prokes dugaan tindak pidana Gambar 2. Tren dan Polemik Selama Kampanye Sumber: Data Olahan Peneliti, 2022 Dari Gambar 2 terlihat bahwa media CNN Indonesia lebih aktif memberitakan tentang hambatan dan dampak Pilkada di tengah pandemi yaitu 16 berita, untuk pelanggaran protokol kesehatan (prokes) lebih aktif diberitakan Kompas.com media yaitu 8 berita dan berita tentang dugaan tindak pidana. Tempo.com melaporkan lebih aktif, yakni sebanyak 7 berita. Tiga pemberitaan memastikan bahwa Pilkada dalam masa pandemi COVID-19 masih sarat akan masalah dan polemik. Tahapan Pilkada 2020 yang digelar di 270 daerah di Indonesia tetap dilanjutkan meski lonjakan kasus COVID-19 semakin meningkat. Pada saat yang sama, banyak pihak mendesak agar Pilkada 2020 ditunda namun realitasnya ditunda untuk dimundurkan waktunya sambil penyelenggara menyiapkan berbagai instrumen pendukung pelaksanaan Pilkada dimasa pandemi. Tekanan datang dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh masyarakat, aktivis pemilu, bahkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Bahkan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra memutuskan abstain sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan terhadap orang yang meninggal akibat terpapar COVID-19 (Farisa, 2020). Hal tersebut membuktikan banyaknya pihak yang 75 Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 70-84 e-ISSN: 2656-5277 | p-ISSN: 1829-5827 tidak setuju dengan pelaksanaan Pilkada, mungkin pada waktu itu para tokoh lebih mengedepankan rasa kemanusiaan dan kesehatan yang utama dibandingkan pelaksanaan berdemokrasi. Keputusan pemerintah untuk tetap melaksanakan Pilkada serentak 2020 bisa dianggap sebagai ancaman bagi keselamatan rakyat (Disantara et al., 2022). Namun, ada beberapa hal yang membuat pemerintah ngotot melanjutkan Pilkada serentak 2020, antara lain: 1. Menjamin hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih dalam Pilkada 2020; 2. Bencana COVID-19 tidak memberikan kepastian karena tidak ada orang atau lembaga yang dapat memastikan kapan COVID-19 akan berakhir; 3. Pemerintah tidak menginginkan 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada 2020 dipimpin oleh Pejabat Sementara (Plt) secara bersamaan; 4. Pilkada 2020 sebenarnya diundur dari September ke Desember. Oleh karena itu, penundaan tersebut sebenarnya dilakukan untuk menanggapi tekanan masyarakat yang sebagian menginginkan tidak melaksanakan Pilkada pada September 2020. Pada masa kampanye di tengah pandemi yang saat ini penyebaran virus COVID-19 sangat pesat, komunikasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada masyarakat terkait proses Pilkada 2020 dilakukan secara virtual dan pendekatan digital namun dinilai kurang baik dan efektif oleh salah satu anggota dewan Pembina Perludem yaitu Titi Aggraini karena tidak semua elemen masyarakat dapat mengakses pendekatan ini. Misalnya masyarakat adat, perempuan miskin yang mungkin didomestikasi, penyandang disabilitas dan sebagainya (Umam, 2020). Perludem menilai bahwa pendidikan dan pembangunan yang belum merata dalam teknologi informasi juga mempengaruhi kualitas pemilu yang karena terkait dengan akses yang belum merata. Berbeda dengan kampanye pemilu sebelumnya, kampanye pemilu 2020 dilakukan ketika penyebaran COVID-19 sangat aktif, membuat pemerintah menetapkan 6 larangan selama kampanye, di antaranya membatalkan pertemuan, konser musik, jalan-jalan santai, kompetisi, donor darah dan memperingati hari lahir partai politik sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. KPU melalui (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pilkada Serentak Dalam Kondisi Bencana Non Alam COVID-19. Kampanye offline (tatap muka) bukan satu-satunya kampanye yang ditawarkan oleh pemerintah, bahkan pemerintah juga merekomendasikan kampanye online sebagai alternatif lain bagi pasangan calon untuk menyampaikan gagasannya dalam situasi pandemi COVID-19 (Asri, 2021; Herman & Fadhliah, 2021). Namun kampanye online hanya dilakukan di 37 kabupaten/kota dari 270 daerah yang menyelenggarakan Pilkada serentak 2020. Menurut Bawaslu, ada beberapa kendala yang mengakibatkan 233 daerah terdampak. masih melakukan kampanye luring Beberapa di antaranya adalah masalah jaringan internet yang tidak mendukung, kuota internet dan keterbatasan fitur di gadget, serta kurangnya peminat sehingga sedikit peserta kampanye yang ikut serta (Erwanti, 2020). Kampanye tatap muka rawan meningkatkan penyebaran COVID-19, karena masih banyak pihak yang tidak menerapkan protokol kesehatan. Tidak hanya itu pelanggaran kampanye juga terjadi karena melibatkan anak-anak. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Bandung mencatat ada lima kasus pelanggaran terhadap anak selama kampanye Pilkada 2020, di antaranya membawa anak saat kampanye, melibatkan anak dalam berbagai kegiatan yang bertujuan menggalang dukungan baik offline maupun online, menjadikan anak sebagai bintang utama kampanye. iklan politik dan mem-posting foto, video anak-anak atau alat peraga lainnya (Simbolon, 2020; Widodo, 2020). Politik uang juga masih menjadi tren, apalagi di masa pandemi yang dampak ekonominya sangat jelas (Bakker, 2021). Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menemukan 37 kasus dugaan politik uang selama 10 hari terakhir kampanye Pilkada, dugaan politik uang ditemukan di 26 kabupaten/kota. Pelibatan anakanak dan politik uang dalam kampanye di masa COVID juga tidak bisa dihindari praktik tersebut 76 Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 70-84 e-ISSN: 2656-5277 | p-ISSN: 1829-5827 semakin membuktikan bahwa pelaksanaan Pilkada sebelum COVID maupun pada masa COVID tidak ada perbedaan walaupun pembatasan kampanye sudah dilakukan. Selain 37 kasus dugaan politik uang, Bawaslu juga menemukan alat peraga kampanye (APK) baru yang dipasang di 200 daerah/kota. Secara total, Bawaslu mengawal 247.732 APK selama 70 hari acara. Kekerasan terhadap penyelenggara pemilu juga terus berlanjut. Sedikitnya 30 pengawas pemilu mengalami kekerasan saat bertugas. Sebanyak 28 orang mengalami kekerasan verbal dan 2 orang mengalami kekerasan fisik. Masalah lainnya adalah distribusi peralatan pemungutan suara atau logistik di TPS. Masih ada 47 kabupaten/kota yang bermasalah logistik dan distribusi. Di antaranya surat suara yang rusak, jumlah surat suara yang diterima tidak sesuai, dan kotak suara rusak atau hilang hingga alat perjanjian sanitasi belum datang (Putri, 2020). Semestinya kejadian ini secara teknis tidak terjadi kesiapan penyelenggara dalam mendistribusikan logistik masih belum baik. Penyalahgunaan bansos juga menjadi tren baru dalam kampanye 2020 untuk kepentingan pasangan calon dan kepentingan kampanye khususnya bagi pasangan calon, di mana pasangan calon memberikan bantuan sosial kepada warga yang gambar atau lambangnya bukan lambang pemerintahan (menghilangkan pelabelan bantuan dari pemerintah). Seperti yang kita ketahui, bantuan sosialnya dari pemerintah daerah semestinya menjadi tanggung jawab dari lemabag bir. Ini jelas merupakan dugaan tindak pidana karena telah melanggar Pasal 71 ayat 3 UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 tentang penyalahgunaan wewenang. Calon Bupati Kendal nomor 3 Tino Indro Wardono dilaporkan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kendal karena diduga mengancam akan mengeluarkan warga yang tidak memilih sendiri dari daftar penerima Bantuan Sosial Tunai (BST). Pelapor adalah relawan Kendal (mitra) dan Koalisi Masyarakat Kendal untuk Pemilu Berintegritas (KMKKPB) dengan bukti rekaman suara Tino Wardono dan ini sudah termasuk kampanye tidak sehat dan kampanye hitam (Wicaksono, 2020). Dari beberapa Preferensi dan Tren Pelanggaran Protokol Kesehatan di Masa Pilkada 2020 dapat disajikan pada Tabel 2: Tabel 2. Preferensi dan Tren Pelanggaran Protokol Kesehatan di Masa Pilkada 2020 No Media Berita Preferensi Jumlah Berita Tinggi Sedang Rendah 1 Okezone  6 2 Tribunnews  13 3 Pikiran rakyat  5 4 Kompas  23 5 Detik.com  13 6 Suara  7 7 Kumparan  3 8 Merdeka  17 9 Liputan 6  5 10 Sindonews  13 11 Jawa pos  7 12 Ccn indonesia  22 13 Cnbc indonesia  8 14 Tempo.com  19 Keterangan : Rendah =< 6, Sedang = 6-12, Tinggi => 12 Sumber: Data Olahan Peneliti, 2022 Berdasarkan Tabel 2 di atas terlihat bahwa liputan berita tentang trend issue selama masa 77 Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 70-84 e-ISSN: 2656-5277 | p-ISSN: 1829-5827 kampanye tertinggi yang dilaporkan dan diterbitkan oleh kompas.com, yaitu 23 item berita. 15 di antaranya melaporkan dampak dilanjutkannya Pilkada 2020 di tengah situasi kesehatan yang tidak stabil yang mengakibatkan kematian dan dugaan tindak pidana dan 8 di antaranya melaporkan COVID-19 dan pelanggaran protokol kesehatan selama masa kampanye. Pelanggaran protokol kesehatan pada saat Pilkada 2020 bukanlah hal yang pantangan karena terjadi sering kali di berbagai kegiatan atau aktivitas kampanye. Banyaknya data yang terkumpul menunjukkan bahwa masih ada pihak-pihak yang melanggar prokes pada kampanye, sebaliknya media berita populer menunjukkan fakta serta melaporkan kejadian tersebut ke publik melalui pemberitaannya bahwa pelanggaran prokes merupakan potret buruk dari ketaatan pada aturan dan pengabaian terhadap pentingnya kesehatan. Meski mengikuti prokes adalah hal yang wajib dalam kampanye, studi ini menunjukkan bagaimana fakta di lapangan secara menyeluruh menggambarkan perbedaan tersebut bahwa prokes justru menghalangi akses dalam menyampaikan pesan kampanye. Pelanggaran prokes dipicu karena masih banyak pasangan calon yang lebih memilih kampanye tatap muka, dan pemerintah telah mengeluarkan sanksi untuk pelanggaran paling berat terhadap protokol kesehatan, yaitu membubarkan kegiatan kampanye dan mengurangi jatah jadwal kampanye dari pasangan calon. Jenis pelanggaran yang paling banyak terjadi adalah kerumunan massa tanpa menjaga jarak, tidak menggunakan masker, dan tidak memiliki hand sanitizer, dan sejak 26 September hingga 14 Oktober ditemukan pelanggaran prokes sebanyak 1.448, di antaranya 1.290 diberikan teguran tertulis, sementara 158 diberhentikan (Piri, 2020). Data lain juga menunjukkan setelah dua hari kampanye dilaksanakan, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) melaporkan 10 kegiatan yang tidak menerapkan protokol kesehatan, seperti pembatasan jumlah peserta kampanye yang melebihi kapasitas karena hanya bisa diikuti 50 orang sebagaimana yang sudah di atur, tidak memakai masker, tidak menyediakan hand sanitizer, tidak menjaga jarak dan tidak tersedianya fasilitas cuci tangan. Ini ditemukan di 10 wilayah, yaitu Solok Selatan, Pasaman Barat, Mukomuko, Pelalawan, Sungai Penuh, Lamongan, Purbalingga, Bantul, Tojo Una-Una, dan Bungo (Triatmojo, 2020). Pelanggaran terhadap protokol kesehatan dapat memicu klaster baru yang bahkan dapat mengakibatkan kematian akibat virus COVID-19 yang tidak terkendali. Tercatat ada 96 pengawas yang dinyatakan positif, sebanyak 20 pengawas tingkat kabupaten. 76 lainnya adalah pengawas di tingkat desa (kelurahan) di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Tidak hanya dari pihak penyelenggara, virus COVID-19 juga telah menyebar ke peserta pemilu. Ada sebanyak 60 calon kepala daerah yang tersebar dari 21 provinsi yang positif terpapar COVID-19 hingga satu meninggal dunia (Cipto, 2020). Realitas dan fenomena pelanggaran prokes pada masa kampanye Pilkada 2020 semestinya menjadi perhatian pemerintah untuk mempersiapkan mekanisme atau aturan pelaksanaan Pilkada dalam situasi darurat. Kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi pelanggaran prokes hanya bersifat peringatan sehingga dalam penegakan aturan cenderung bersifat anjuran maupun himbauan. Demokrasi dan Pandemi COVID-19 Menjalankan agenda pemerintah di tengah pandemi tidak semudah yang diharapkan karena situasi pandemi menjadi kendala di mana ruang gerak masyarakat terbatas karena alasan kesehatan. Demokrasi di masa Pandemi COVID-19 preferensinya masih terlihat tidak begitu efektif dari aspek kualitas berkampanye. Dilihat dari data yang telah dihimpun, kualitas demokrasi dalam situasi pandemi COVID-19 mencerminkan kualitas yang kurang memuaskan. Merujuk pada teori (Dahl, 2020) tentang 10 efek demokrasi terhadap kehidupan politik, maka penelitian ini menemukan bahwa masih terdapatnya beberapa hal yang membuat Pilkada jadi suatu proses yang hanya menjalan rutinitas periodik, berikut ini beberapa hal yang terjadi ketika pelaksanaan Pilkada di masa pandemi: 78 Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 70-84 e-ISSN: 2656-5277 | p-ISSN: 1829-5827 a. Tirani pemerintah tetap ada Pelaksanaan Pilkada dan kampanye di tengah pandemi COVID-19 seolah memunculkan cara pandang baru, bahwa tirani pemerintah memang benar terjadi di Indonesia. Pemerintah dianggap sewenang-wenang secara otoriter karena mengambil keputusan ini dengan alasan menjamin hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih tanpa memperhatikan kesehatan rakyat (Silalahi & Tampubolon, 2021), Padahal nyawa bangsa Indonesia jauh lebih penting dari itu. Tentu aspek kesehatan dan kepentingan konstitusional menjadi dua hal yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan Pilkada di masa pandemik. Mestinya keselamatan warga negara menjadi prioritas sebagai tanggung jawab pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya. b. Pengakuan orang tentang keberadaan manusia meningkat Pelaksanaan Pilkada serentak 2020 di tengah Pandemi COVID-19 tidak selalu menjadi kendala dalam berdemokrasi, pasien positif COVID-19 juga memiliki hak yang sama untuk menggunakan suaranya dalam pemilu serentak 2020, yang menjadi bukti bahwa demokrasi masih bisa dilaksanakan. Meski dengan cara yang berbeda yakni tanpa harus datang ke TPS, namun Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang mendatangi mereka harus menggunakan alat pelindung diri berupa masker, penutup wajah transparan dan sarung tangan (Akbar, 2021). Protokol kesehatan menjadi instrumen dalam menjalankan proses pemungutan suara sewaktu Pilkada, namun dibalik itu semua preferensi yang terjadi penerapan protokol kesehatan masih sering di abaikan. Protokol kesehatan menjadi policy pemerintah dalam menjaga agar keberadaan warga negara tetap menjadi prioritas di tengah pandemik. c. Kebebasan publik terjamin Demokrasi di tengah pandemi tidak membuat pemerintah menekan rakyat untuk angkat bicara, pemerintah tetap membiarkan rakyat menyampaikan pendapat di depan publik, suara penolakan pelaksanaan Pilkada serentak 2020 di tengah pandemi adalah salah satu bukti nyata dari jaminan adanya kebebasan umum, yang berarti bahwa bagaimanapun kondisi yang dihadapi Indonesia, rakyat tetap memiliki kebebasan secara umum. Jaminan kebebasan publik dalam bentuk aspirasi menolak Pilkada tetap menjadi perhatian pemerintah, otoritas pemerintah sebagai yang memiliki wewenang mencoba memberikan alternatif pilihan kepada warga negara untuk tetap menggunakan hak politiknya. d. Sedikit penghargaan untuk membiarkan manusia bertindak sesuai keinginan mereka Masyarakat Indonesia seolah-olah “dipaksa” untuk ikut serta dalam pelaksanaan Pilkada, meski ada beberapa pihak yang tidak setuju bahwa pemilu serentak akan digelar di tengah ancaman kesehatan nasional, namun pemerintah tidak mengindahkan. seruan itu, yang berarti pemerintah tidak menghargai orang yang melakukan apa yang mereka inginkan, yang merupakan keinginan sebagian besar rakyat Indonesia. Meski Pilkada Serentak diundur pemerintah dari September hingga Desember, saat itu kampanye politik tetap dilakukan di tengah maraknya penyebaran COVID-19. Distorsi pilihan keputusan pemerintah untuk tetap melaksanakan Pilkada dengan menunda pelaksanaan dengan harapan ada penurunan kasus COVID-19. e. Tidak ada penguatan otonomi moral Pilkada serentak yang digelar di tengah pandemi sepertinya tidak memperkuat otonomi moral masyarakat (Hayati & Noor, 2020). Dalam situasi kesehatan nasional yang tidak stabil, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan kesehatan rakyat daripada menjalankan agendanya prosedural demokrasi itu sendiri. Warga tampaknya terus 79 Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 70-84 e-ISSN: 2656-5277 | p-ISSN: 1829-5827 diikutsertakan dalam pemilihan umum khususnya dalam tahapan kampanye meskipun ancaman tak kasat mata terhadap kesehatan dan penghidupan mereka masih tinggi dan meningkat pada saat itu. Warga negara dalam berdemokrasi adalah entitas penting yang menjadi objek politik dibandingkan subjek politik. Implikasinya warga negara menjadi target atau sasaran dari para kandidat untuk mendapatkan dukungan politik yang di konversi melalui suara. f. Proses perkembangan manusia Pilkada 2020 di tengah ancaman kesehatan secara indirect akan berdampak terhadap perkembangan hidup warga negara, karena dampak dari pandemik menutup kemungkinan warga negara untuk dapat bebas dan leluasa untuk melakukan segala yang diinginkan. Pembatasan dan pelarangan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan maupun anjuran pemerintah terhadap warganya sehingga perkembangan manusia secara psikis juga terganggu. Di mana akses terhadap sesuatu yang umum dan atau tempat-tempat untuk mendapatkan ruang terbuka juga dibatasi. Dalam konteks kampanye, kesempatan untuk menggali segala informasi yang penting semakin terabaikan dengan realitas yang terjadi. Serapan informasi dan makna berkampanye juga tidak mendapatkan nilai yang positif sehingga informasi yang didapat cenderung singkat. g. Pelanggaran menghormati kepentingan pribadi Di tengah lonjakan kasus COVID-19, peningkatan kesehatan itu penting, namun penyelenggaraan Pilkada serentak di tengah pandemi kesehatan masyarakat menjadi taruhannya karena kampanye tatap muka menarik massa di mana jika terjadi kerumunan, COVID- 19 menyebar lebih cepat. Kampanye yang pada Pilkada tahun sebelumnya terbuka dan mengumpulkan masa yang banyak bahkan cenderung monologis sekarang kampanya terbatas dan menerapkan protokol kesehatan berimplikasi dengan pengoptimalan media sosial dan digital dalam berkampanye. Selama pandemi masyarakat di batasi aktivitasnya bahkan work form home adalah bentuk tetap bekerja dari rumah, selama inilah pemanfaatan internet semakin tinggi. Pesan-pesan atau isi kampanye di broadcast dengan pemanfaatan media sosial bahkan semakin tingginya buzzer politik yang melakukan pemberitaan hoax bahkan melakukan tindakan pelanggaran terhadap kepentingan pribadi. h. Memastikan kesetaraan politik yang merugikan para pemilih Salah satu alasan pemerintah menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi adalah untuk menjamin hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih dalam pemilu serentak 2020, yang artinya pemerintah tidak ingin pandemi COVID-19 menghentikan jalannya periodisasi pemerintahan. Agenda politik yang diadakan setiap 5 tahun sekali ini tentu tidak ingin tertunda dikarenakan bencana non alam ini. Namun jika ditelisik lebih dalam, keputusan pemerintah ini dinilai merugikan masyarakat itu sendiri karena sepanjang pemilu angka positif COVID-19 meningkat. Seperti lima provinsi yang mengalami peningkatan kasus penularan COVID-19. Di Kalimantan Utara, misalnya, ada 128 kampanye rapat terbatas yang berlangsung selama 20 hari kampanye. Alhasil, terjadi peningkatan penularan COVID-19 sebanyak 12 kasus (Nugraheny, 2020). Peningkatan kasus inilah yang menginterpretasikan bahwa pandemi COVID-19 berimplikasi terhadap penurunan angka partisipasi politik nasional pada Pilkada 2020 jika dibandingkan dengan pemilu 2019. i. Menciptakan kebalikan dari kehidupan yang rukun dan damai Penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi tidak mengarah pada kehidupan yang rukun 80 Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 70-84 e-ISSN: 2656-5277 | p-ISSN: 1829-5827 dan damai, sebaliknya karena pada saat yang sama kasus positif COVID-19 di Indonesia masih 4 ribu per hari, seharusnya pemerintah menunda. pelaksanaan Pilkada serentak karena situasi penyebaran COVID-19 sangat aktif. Sebaliknya, pemerintah seolah-olah memprovokasi massa saat kampanye meski pemerintah menyerukan protokol kesehatan, namun masih terlihat tingkat kedisiplinan dan kepatuhan para politisi dan warga masyarakat terhadap protokol kesehatan yang ada dalam kegiatan terkait Pilkada. masih terlihat (Ukhra, 2022). j. Kurangnya kemakmuran Penyalahgunaan dana bansos dan adanya politik uang dalam kampanye merupakan bukti nyata bahwa demokrasi belum menghasilkan kesejahteraan di masyarakat, terutama masyarakat dengan ekonomi kelas bawah, sebaliknya dalam situasi pandemi di mana dampak ekonomi masyarakat tidak kondusif atau terjadinya instabilitas ekonomi. Permasalahan lainnya banyaknya warga yang terjadi pemutusan kerja dan sebagian juga dirumahkan oleh perusahaan sehingga berimplikasi terhadap menurunnya tingkat pendapatan. Realitas ini yang menjadi pintu masuk munculnya money politic dalam kampanye Pilkada 2020 ketika sebagian para pemilih menerima pemberian uang dari kandidat. Praktik tersebut menjadi bentuk bahwa apa yang dikawatirkan ketika kampanye itu terjadi dan perilaku politik warga menjadi absurd dan pragmatis. Menjalankan kampanye dalam kondisi pandemi COVID-19 dengan tujuan menjaga proses demokrasi tetap berjalan, tentunya memiliki tantangan tersendiri, mengingat ini merupakan kali pertama Indonesia mengalami situasi sulit. Pelanggaran terhadap protokol kesehatan sudah menjadi hal yang lumrah selama masa kampanye, karena beberapa pihak belum memahami seberapa aktif penyebaran virus yang berasal dari Wuhan tersebut. Secara pelaksanaan Pilkada 2020 sudah terlaksana dengan berbagai permasalahan yang terjadi, dengan situasi pandemi COVID ini menunjukkan bahwa kepentingan untuk melaksanakan hak konstitusi tetap di wujudkan meskipun terjadinya pengabaian terhadap protokol kesehatan yang menjadi peringatan dari pemerintah selama pandemi. Indikator capaian demokrasi yang dijelaskan di atas, mendeskripsikan bahwa Pilkada 2020 terjadinya regresifitas praktik berdemokrasi khususnya pada tahapan kampanye. Kualitas demokrasi prosedural tersebut meski diperbaiki dari aspek kesiapan regulasi dan keluwesan dalam memahami mekanisme yang ada. Pemerintah sebagai nakhoda dalam menentukan jalannya demokrasi mesti memprioritaskan kepentingan warga negara dibandingkan kepentingan kelompok atau partisan tertentu. Selain itu pandemi COVID-19 menjadi pelajaran bagi pelaksana demokrasi untuk dapat mempersiapkan instrumen yang tepat dalam proses pemilihan, apalagi pada saat pandemi pemanfaatan teknologi informasi semakin tinggi intensitasnya. Kesimpulan Hasil penelitian menyebutkan bahwa peningkatan pelanggaran prokes yang terjadi sepanjang kampanye pada Pilkada 2020 menunjukkan pengabaian terhadap aturan yang sudah di tetapkan, sehingga keengganan untuk mematuhi standar prokes yang ada menjadi suatu pantangan baru dalam pelaksanaan kampanye. Preferensi polemik dan tren yang terjadi adalah meningkatnya penyebaran kasus COVID-19 pada masa kampanye sebagaimana yang diberitakan oleh media masa mendeskripsikan penyebaran kasus pada penyelenggara, kandidat (calon kepala daerah) dan peserta kampanye sesuatu yang tidak terhindarkan. Pelaksanaan demokrasi di tengah pandemi khususnya Pilkada 2020 menimbulkan asumsi bahwa kepentingan politik lebih utama dibandingkan penyelamatan Kesehatan warga. Kebijakan untuk melaksanakan Pilkada pada masa pandemi merupakan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat karena tetap melaksanakan Pilkada ketika regulasi pelaksanaan Pilkada dimasa darurat belum memenuhi, 81 Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 70-84 e-ISSN: 2656-5277 | p-ISSN: 1829-5827 walaupun hanya prokeslah menjadi standar utamanya. Namun dibalik itu semua kepentingan untuk pelaksanaan konstitusi juga menjadi perhatian yang sangat besar untuk tetap melaksanakan Pilkada. Pergeseran dan pembatasan model kampanye di tengah pandemi selain tidak efektif juga berdampak terhadap pengurangan keterlibatan warga dalam berdemokrasi sehingga berimplikasi terhadap partisipasi politik dan berbagai praktik politik yang inkonstitusional seperti pemaksaan, pengabaian protokol kesehatan, amoral, money politic dan sebagainya. Kajian ini berkontribusi dalam memberikan pemetaan secara menyeluruh terhadap polemik pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pada pemilu serentak, yang akan bermanfaat bagi terciptanya Model Kampanye Politik ramah COVID-19 untuk pemilu mendatang. Daftar Pustaka Akbar, N. A. (2021). MPR: Ulama Dorong Optimisme Umat Hadapi Pandemi. Replubika.Co.Id. Asri, G. M. (2021). Pendapat Audiens Terhadap Pesan Kampanye Online Bangga Buatan Indonesia. Universitas Muhammadiyah Malang. Bakker, L. (2021). Electoral Dynamics in Indonesia: Money Politics, Patronage, and Clientelism at the Grassroots, by Edward Aspinall and Mada Sukmajati. Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 177(1), 128–130. https://doi.org/10.1163/2213437917701002 Bao, H. (2020). „Anti-domestic violence little vaccine‟: A Wuhan-based feminist activist campaign during COVID-19. Interface: A Journal for and about Social Movements, 12(1), 53–63. Cipto, H. (2020). Ini Daftar 12 Daerah dan Paslon yang Mengikuti Pilkada Serentak Sulsel 2020. Kompas.Com. Dahl, R. A. (2020). On Democracy. Yale University Press. Disantara, F. P., Chansrakaeo, R., Jazuli, M., Ratnayutika, N. P., Umiasih, R. T., & Putri, C. I. (2022). The Enigma of Ethics: Code of Ethics Enforcement on Covid-19 Health Protocol. DE LEGA LATA: Jurnal Ilmu Hukum, 7(1), 10–29. https://doi.org/10.30596%2Fdll.v7i1.8203 Eichenhofer, E. (2015). Social security as a human right: a European perspective. In Research Handbook on European Social Security Law. Edward Elgar Publishing. Erwanti, M. O. (2020, October). Bawaslu: Kampanye Online Pilkada Baru Ditemukan di 37 dari 270 Daerah. Detiknews.Com. Fahmi, S., Faridhi, A., & Hasnati. (2019). The Development of Indonesian State Concerns before and After Amendment to the 1945 Constitution. International Journal of Innovation, Creativity and Change, 10(5), 242–256. Faridhi, A. (2019). Sengketa Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah Kota Pekanbaru Tahun 2017. Pagaruyuang Law Journal, 2(2), 239–256. https://doi.org/10.31869/plj.v2i2.1359 Faridhi, A. (2020). The Violation of Campaign Props Installation in 2019 Election in Pekanbaru. JOELS: Journal of Election and Leadership, 1(1), 29–36. https://doi.org/https://doi.org/10.31849/joels.v1i1.3537 Farisa, F. C. (2020). Suara-suara yang Desak Pilkada Ditunda Vs Keputusan Pemangku Kepentingan Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Suara-suara yang Desak Pilkada Ditunda Vs Keputusan Pemangku Kepentingan”, Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2020. Kompas.Com. Fatimah, S. (2018). Kampanye sebagai Komunikasi Politik : Esensi dan Strategi dalam Pemilu. Resolusi, 1(1), 5–16. Hayati, M., & Noor, R. S. (2020). Korelasi Pilkada Langsung Dan Korupsi Di Indonesia. MORALITY: Jurnal Ilmu Hukum, 6(2), 102–115. https://doi.org/10.52947/morality.v6i2.174 Herman, A., & Fadhliah. (2021). Efektifitas Media Sosial Sebagai Sarana Kampanye dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah 2020. Universitas Tadulako. 82 Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 70-84 e-ISSN: 2656-5277 | p-ISSN: 1829-5827 Islam, M. S., Rahman, K. M., Sun, Y., Qureshi, M. O., Abdi, I., Chughtai, A. A., & Seale, H. (2020). Current knowledge of COVID-19 and infection prevention and control strategies in healthcare settings: A global analysis. Infection Control & Hospital Epidemiology, 41(10), 1196–120. https://doi.org/10.1017/ice.2020.237 Jacob, C. E. (2019). Tinjauan Yuridis Terhadap Penetapan Keadaan Darurat Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lex Et Societatis, 7(6), 61– 67. https://doi.org/10.35796/les.v7i6.25804 Lalancette, M., & Raynauld, V. (2019). The power of political image: Justin Trudeau, Instagram, and celebrity politics. American Behavioral Scientist, 63(7), 888–924. https://doi.org/10.1177/0002764217744838 Landman, T., & Splendore, L. D. G. (2020). Pandemic democracy: elections and COVID-19. Journal of Risk Research, 23(7), 1060–1066. https://doi.org/10.1080/13669877.2020.1765003 Manoharan, N. (2020). Uneasy Partnership: Political Parties and Governance in South Asia. In Understanding Governance in South Asia. Routledge. Nugraheny, D. E. (2020). Catatan Kasus Covid-19 di Pilkada 2020, Penyelenggara dan Peserta Tertular hingga Meninggal. Kompas.Com. Perangin-angin, L. L. K., & Zainal, M. (2018). Partisipasi Politik Pemilih Pemula Dalam Bingkai Jejaring Sosial Di Media Sosial. Jurnal Aspikom, 3(4), 737–754. https://doi.org/10.24329/aspikom.v3i4.210 Piano, N. (2019). Revisiting democratic elitism: the Italian school of elitism, American political science, and the problem of plutocracy. The Journal of Politics, 81(2), 524–538. Piri, D. R. (2020, November). Indonesia, South Korea Discuss Covid-19 Handling, Migrant Workers Protection. Kompas.Com. Putri, B. U. (2020). Temukan 37 Dugaan Politik Uang di 10 Hari Terakhir Kampanye Pilkada 2020. Tempo.Co. Schumpeter, J. A. (2010). Capitalism, socialism and democracy. Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203857090 Silalahi, F., & Tampubolon, M. (2021). General election based on the principle of Luber-Jurdil and its development in Indonesia. Technium Social Sciences Journal, 20, 791. Simbolon, H. (2020, October). Bawaslu Temukan 5 Pelanggaran Kampanye Karena Melibatkan Anak di Pilkada Bandung. Merdeka.Com. Sinclair, B., Smith, S. S., & Tucker, P. D. (2018). “It‟s largely a rigged system”: voter confidence and the winner effect in 2016. Political Research Quarterly, 71(4), 854–868. https://doi.org/10.1177/1065912918768006 Tariq, M., Muhammad, I., & Khan, M. S. (2022). The Myth of Democracy: An Appraisal. Rashhat-e-Qalam, 2(1), 25-34. Thorik, S. H. (2020). Efektivitas pembatasan sosial berskala besar di indonesia dalam penanggulangan pandemi covid-19. Adalah, 4(1), 115–120. Triatmojo, D. (2020). Dua Hari Kampanye Pilkada Berjalan, Bawaslu Temukan 18 Kegiatan Tanpa Protokol Kesehatan. Tribunnews.Com. Ukhra, A. (2022). Isu Politik Identitas dan Dinasti Politik dalam Kampanye Pilkada Serentak Tahun 2020. Universitas Muhammadiyah Malang. Umam, C. (2020, September). Penyampaian Informasi KPU ke Publik Soal Pilkada di Tengah Pandemi Dinilai Buruk. Tribunnews.Com. Wicaksono, A. (2020). Diduga Ancam Pakai Bansos, Cabup Kendal Dilaporkan ke Bawaslu. CNN Indonesia. Widodo, W. (2020). Isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan dalam Politik Identitas pada Media Sosial Menjelang Pilkada 2020 di Indonesia. Universitas Mercu Buana. Yandra, A. (2016). Pembentukan Daerah Otonomi Baru Problematik dan Tantangannya di 83 Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 70-84 e-ISSN: 2656-5277 | p-ISSN: 1829-5827 Indonesia. Jurnal Niara, 8(2), 38–49. Yandra, A. (2017). Fisibilitas Pilkada Serentak Tahap Ii Kota Pekanbaru Pasca Jurnal Niara Vol 9 NO 2 Januari 2017 , 62–74. 84