Al-Risalah
Budaya Hukum Masyarakat Aceh dalam Perjanjian Jual-Beli
Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan
p-ISSN: 1412-436X
e-ISSN: 2540-9522
Vol. 17, No. 1, Juni 2017 (hlm. 1-22)
BUDAYA HUKUM MASYARAKAT ACEH DALAM PERJANJIAN
JUAL-BELI
LEGAL CULTURE OF ACEH SOCIETY IN THE BUYING SELL
AGREEMENT
Sulaiman
Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
Komplek Kampus Bukit Indah,Jl.Jawa-Blang Pulo
Kecamatan Muara Satu P.O. Box 141 Lhokseumawe
E-mail:
[email protected]
Submitted: Mar 15, 2017; Reviewed: April 20, 2017; Accepted:Mei 28, 2017
Abstract: This study aims to analyze the embodiment of Acehnese legal culture in the sale and purchase agreement, using the empirical juridical method. In reality in the field of Aceh people, the majority of the population
is Muslim and rich in culture, but in the sale and purchase transactions of land and houses still combine the
three legal systems namely, Islamic law, customary law and western civil law in buying and selling transactions.
The importance of harmonization in the use of Islamic law, customary law and civil law in Aceh in the sale
and purchase agreement. Forms of autonomy given especially in the field of religion and custom, then the opportunity to produce legal products such as Qanun which regulate the field mua'malah much practiced in the
middle of the people of Aceh. The value system contained in the elements of Islamic law and customary law
has a great opportunity to be born in the form of Qanun by provincial, regency and municipality governments
within the jurisdiction of Aceh province. The establishment of qanun in the field of sale and purchase even this
must be colored by the three legal systems that already live in the people of Aceh.
Keywords: Legal Culture, Aceh Society, Buying Sell Agreement
Abstrak: Kajian ini bertujuan untuk menganalisis perwujudan budaya hukum masyarakat Aceh dalam
melakukan perjanjian jual beli, dengan menggunakan metode yuridis empiris. Dalam kenyataan di lapangan
masyarakat Aceh mayoritas penduduknya beragama Islam dan kaya dengan budaya, tetapi dalam transaksi
jual beli obyek tanah dan rumah masih menggabungkan ketiga sistem hukum tersebut yaitu, hukum Islam,
hukum adat dan hukum perdata barat dalam melakukan transaksi jual beli. Pentingnya harmonisasi dalam
penggunaan hukum Islam, hukum adat dan hukum perdata di Aceh dalam perjanjian jual beli. Bentuk
otonomi yang diberikan khususnya dalam bidang agama dan adat, maka peluang untuk melahirkan produk
hukum seperti Qanun yang mengatur bidang mua’malah banyak dipraktikkan ditengah-tengah masyarakat
Aceh. Sistem nilai (value system) yang terkandung dalam unsur-unsur hukum Islam dan hukum adat mendapat peluang besar dilahirkan produk hukum dalam bentuk Qanun oleh pemerintah provinsi, Kabupaten dan
Kota dalam wilayah hukum provinsi Aceh. Pembentukan qanun dalam bidang jual beli inipun harus diwar-
Al-Risalah
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
1
Sulaiman
nai ketiga sistem hukum yang sudah hidup dalam masyarakat Aceh.
Kata Kunci: Budaya Hukum, Masyarakat Aceh, Perjanjian Jual Beli
Pendahuluan
Budaya hukum merupakan seperangkat nilai,
gagasan, norma yang menjadi pedoman berpikir, berucap, berperilaku, bertindak sesuai
dengan yang diharapkan oleh sebagian besar
warga masyarakat setempat. Itu berarti budaya hukum masyarakat merupakan seperangkat nilai, gagasan, norma yang terbangun oleh
budi dan daya warga masyarakat setempat dan
telah terinternalisasi ke dalam alam kesadaran
(mindset) secara turun temurun dan berfungsi sebagai pedoman yang menghubungkan
antara peraturan peraturan hukum pada tataran
teori di satu pihak dan perilaku atau tindakan
nyata pada tataran praksis di lain pihak yang
diharapkan warga masyarakat.1
Budaya sebenarnya mengandung makna cipta, karsa dan rasa. Budaya muncul
akibat pengalaman dan pengetahuan suatu
masyarakat atau indvidu tertentu untuk tujuan-tujuan yang sifatnya positif. Budaya ter1 Ade Saptomo, Budaya Hukum Dalam Masyarakat
Plural Dan Problem Implementasinya, dalam
Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia, Diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Komisi
Yudisial Republik Indonesia Cetakan Pertama,
Juli 2012, hlm. 188-189. Dalam perspektif “keIndonesia-an” kata budaya sendiri berasal dari
dua suku kata budhi dan daya. Budhi diartikan
sebagai akal baik, halus, indah, edi, halus, dan
santun. Sementara daya diartikan sebagai kuat,
kekuatan. Dengan demikian, budaya dimaknai
sebagai kekuatan berakal baik, halus, indah, santun. Pada titik ini, budaya dapat diartikan sebagai
seperangkat pemikiran, gagasan, ide yang baik.
Secara sosiologis, budaya diartikan sebagai seperangkat nilai, kaidah, norma masyarakat yang
menjadi pedoman berpikir, berucap, berperilaku,
bertindak bagi sebagian besar warga masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari.
2
jelma dalam berbagai kearifan lokal di mana
masyarakat memandangnya sebagai simbolsimbol, konsep-konsep, nilai-nilai dalam berbagai aktivitas atau hubungan interaksi dalam
suatu masyarakat tertentu. 2
Ada beberapa budaya besar yang terkait
dan selalu dikaitkan dengan kebudayaan Indonesia dalam pencariannya, yakni istilah
budaya timur, dominasi sebuah budaya lokal
dan pengaruh Islam sebagai agama mayoritas. Bertitik tolak dari pemahaman tersebut,
konsep kebudayaan Indonesia telah dibangun
oleh para pendahulu. Konsep kebudayaan
Indonesia disini mengacu kepada nilai-nilai
yang dipahami, dianut, dipedomani bersama
oleh bangsa Indonesia. Nilai-nilai inilah yang
kemudian dianggap sebagai nilai luhur, sebagai acuan pembangunan Indonesia. Nilai-nilai
itu antara lain adalah taqwa, iman, kebenaran,
tertib, setia kawan, harmoni, rukun, disiplin,
harga diri, tenggang rasa, ramah tamah, ikhtiar,
kompetitif, kebersamaan dan kreatif. Nilainilai itu ada dalam sistem budaya etnik yang
ada di Indonesia. Nilai-nilai tersebut dianggap
sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah,
sebagaimana sifat/ciri khas kebudayaan suatu
bangsa Indonesia.3 Konsep kebudayaan Indonesia ini kemudian diikat dalam satu konsep
persatuan dan kesatuan bangsa yaitu konsep
2 M. J. Saptenno, Pentingnya Pemahaman Tentang Kearifan Lokal di Maluku Terkait Dengan
Budaya Hukum Dalam Rangka Penegakan Hukum, Jurnal Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Vol. 2 No. 1 Juni 2010 Kerjasama
Pusat Kajian Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi.
3 Junus M. Melalatoa, ed., Sistem Budaya Indonesia, (Jakarta: Kerjasama FISIP Universitas Indonesia dengan PT. Pamator, 1997), hlm. 102
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
Al-Risalah
Budaya Hukum Masyarakat Aceh dalam Perjanjian Jual-Beli
Bhineka Tunggal Ika.
Perilaku hukum dan budaya hukum tidak
dapat terhindarkan dari pembicaraan tentang sistem hukum, karena perilaku dan budaya hukum keduanya merupakan unsur dari
sistem hukum. Kees Schuit menguraikan unsur-unsur yang termasuk dalam suatu sistem
hukum, yaitu:4
1. Unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh
sistem makna dari hukum, yang terdiri
atas aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan
asas-asas. Unsur inilah yang oleh para
yuris disebut “sistem hukum.”
2. Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas
keseluruhan organisasi-organisasi dan
lembaga-lembaga, yang didirikan dalam
suatu sistem hukum. Yang termasuk ke
dalamnya adalah juga para pengemban
jabatan (ambtsdrager), yang berfungsi
dalam kerangka suatu organisasi atau
lembaga.
3. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatanperbuatan konkrit yang berkaitan dengan
sistem makna dari hukum, baik dari para
pengemban jabatan maupun dari para
warga masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem hukum itu.
Sementara itu L.M. Friedman mengungkapkan tiga komponen dari sistem hukum.
Ketiga komponen dimaksud adalah: (1) struktur, (2) substansi, dan (3) kultur atau budaya.
Pertama, sistem hukum mempunyai struktur,
yaitu kerangka bentuk yang permanen dari
sistem hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri
atas jumlah serta ukuran pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta
hukum acara yang digunakan), termasuk di
dalam struktur ini juga mengenai penataan badan legislatif. Kedua, substansi, yaitu aturan,
norma, dan pola perilaku nyata manusia yang
berada dalam sistem itu. Termasuk ke dalam
pengertian substansi ini juga “produk” yang
dihasilkan oleh orang yang berada di dalam
sistem hukum itu, keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Ketiga, adalah kultur atau budaya hukum, yaitu
sikap manusia terhadap hukum dan sistem
hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Budaya hukum ini pun dimaknai
sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan
sosial yang menentukan bagaimana hukum
digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.5
Selanjutnya Friedman merumuskan budaya hukum sebagai sikap-sikap dan nilainilai yang ada hubungan dengan hukum dan
sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilainilai yang memberikan pengaruh baik positif
maupun negatif kepada tingkah laku yang
berkaitan dengan hukum. Budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari warga masyarakat
dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat
yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat bersangkutan.6
Berkaitan dengan praktik jual beli obyek
tanah dan rumah yang menjadi obyek penjualan maka kebanyakan praktik yang terjadi
adalah penjualan tanah dengan menggunakan
pedoman hukum adat yaitu norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat secara
metodologis dapat dipahami dari keberadaan
4 Erman Suparman, Persepsi Tentang Keadilan keputusan-keputusan seseorang atau kelomdan Budaya Hukum dalam Penyelesaian Seng- pok orang yang secara sosial diberi otoritas
keta, Jurnal Penegakan Hukum Fakultas Hukum untuk menjatuhkan sanksi-sanksi kepada seUniversitas Padjadjaran Bandung, Vol. 4 No.1
Januari 2007, Akreditasi Dikti No. 55/Dikti/
Kep/2005, hlm. 21-23
Al-Risalah
5 Ibid.
6 Ibid.
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
3
Sulaiman
tiap orang yang melanggarnya. Karena itu,
untuk menginvestigasi hukum yang hidup
dan berkembang dalam suatu komunitas
masyarakat, Llewellyn dan Hoebel dan Hoebel mengintroduksi metode penelusuran normanorma hukum yang berlaku dalam masyarakat
melalui 3 (tiga) cara, yaitu:7
a. Melakukan investigasi terhadap normanorma abstrak yang dapat direkam dari
ingatan-ingatan para tokoh masyarakat
atau para pemegang otoritas yang diberi
wewenang membuat keputusan-keputusan hukum (ideological method).
b. Melakukan pengamatan terhadap setiap tindakan nyata atau perilaku aktual
dari warga masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari, pada waktu mereka berinteraksi dengan warga yang lain, warga
masyarakat dengan kelompok, atau perilaku konkrit warga masyarakat dalam
berhubungan dengan lingkungan hidupnya, seperti hubungan warga masyarakat
dengan tanah, pohon-pohonan, tanaman
pertanian, ternak, dll. (descriptive method).
c. Mengkaji kasus-kasus sengketa yang pernah atau sedang terjadi dalam masyarakat
(trouble-cases method).
Dengan mengkaji komponen struktur
hukum, substansi hukum, dan kultur hukum sebagai suatu sistem hukum, maka dapat dicermati bagaimana suatu sistem hukum
bekerja dalam masyarakat, atau bagaimana
sistem-sistem hukum dalam konteks pluralisme hukum saling berinteraksi dalam suatu
bidang kehidupan sosial (social field) tertentu.
Kultur hukum menjadi bagian dari kekuatan
sosial yang menentukan efektif atau tidaknya
hukum dalam kehidupan masyarakat; kultur
hukum menjadi motor penggerak dan memberi masukan-masukan kepada struktur dan
substansi hukum dalam memperkuat sistem
hukum.8 Berdasarkan uraian di atas, maka tulisan ini merumuskan masalah budaya hukum
dalam masyarakat Aceh dalam perjanjian jual
beli.
Sistem Nilai Budaya di Aceh
Sistem nilai budaya adalah konsepsi-konsepsi
tentang nilai yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar anggota masyarakat, dan berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi sikap
mental, cara berfikir, dan tingkah laku mereka.
Sistem nilai budaya adalah hasil pengalaman
hidup yang berlangsung dalam kurun waktu
yang lama, sehingga menjadi kebiasaan yang
berpola. Sistem nilai budaya yang berpola
merupakan gambaran sikap dan tingkah laku
anggota masyarakat yang diwujudkan dalam
bentuk sikap dan perbuatan dalam hidup bermasyarakat.
Masyarakat sebagai sistem sosial merupakan wadah bagi anggota-angotanya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Di dalam masyarakat itu pula, manusia yang
satu mengadakan hubungan dengan manusia
yang lainnya, proses interaksi senantiasa berlangsung tanpa henti. Hubungan yang terjadi
antara mereka dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan dapat berjalan dengan tertib
dan teratur karena ketertiban merupakan salah
7 I Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran satu kebutuhan yang utama dalam kehidupan
Konsep Pluralisme Hukum, Makalah yang
manusia dalam masyarakat.9
dipresentasikan dalam Konferensi Internasional
tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam
di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, Tgl. 11 –
13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta, hlm. 8
4
8 Ibid, hlm. 12
9 Esmi Warassih, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses Pen-
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
Al-Risalah
Budaya Hukum Masyarakat Aceh dalam Perjanjian Jual-Beli
Masyarakat Aceh merupakan komunitas
yang kental dengan peraturan adat. Kelembagaan yang hidup di tingkat lokal berbasis adat dengan penerapan peraturan adat.
Sayangnya, perkembangan yang ada menciptakan perubahan orientasi kelembagaan sehingga nilai-nilai lokal mulai memudar. Sejauh
pemahaman mengenai tatanan agraria di daerah, benturan seringkali terjadi antara kepentingan lokal (masyarakat) dengan kepentingan
pemerintah. Pertarungan dua kepentingan
tersebut menciptakan kesenjangan tersendiri
antar kelembagaan yang menangani sumbersumber agraria. Jembatan antar dua kepentingan tersebut idealnya dapat melalui peraturan
formal atau kelembagaan yang dapat mengakomodir kepentingan yang ada. Sayangnya,
peraturan formal yang muncul seringkali terlalu bias pada kepentingan pusat. Hal ini menyebabkan tergesernya peran lembaga lokal.
Sebab lain yang muncul adalah lemahnya
lembaga lokal juga banyak dipengaruhi faktor
modernisasi dan perubahan pemaknaan dan
orientasi agraria pada setiap arah lembaga.10
Masyarakat Aceh mempunyai kelembagaan yang mengurusi tata pemerintahan
yang diketuai kepala gampong, dan memiliki
kelembagaan yang menangani persoalan menyangkut adat yang diketuai oleh seorang Imuem Mukim. Lembaga adat ini secara umum
menangani pengaturan pengelolaan potensi
egakan Hukum Dan Persoalan Keadilan), Pidato
Pengukuhan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, Tgl. 14 April 2001, hlm. 6-7
10 Satyawan Sunito dan Heru Purwandari, Mekanisme Kontrol Tata Kelola Sumber-Sumber Agraria: Membangun Kelembagaan Kolektif Lokal
Yang Demokratis, (Bogor: Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-LPPM IPB Bekerjasama dengan Kemitraan bagi Pembaruan
Tata Pemerintahan di Indonesia-UNDP, 2006),
hlm. 39-40
Al-Risalah
sumberdaya alam yang dimiliki komunitas.
Tampak dari pembagian kerja yang terbagibagi sesuai dengan potensi sumber agraria
misalnya kebun, hutan, pasar, persawahan,
laut, dan lain-lain.11
Secara adat, masyarakat Aceh memiliki
kelembagaan yang masing-masing mengatur
potensi lokal yang dimiliki desa (gampong).
Masing-masing lembaga mempunyai fungsi
tertentu sesuai dengan tugas yang diembannya.
Peran terberat barangkali berada di pundak
Imuem Mukim dengan deretan tugas yang
menjadi tanggungjawabnya. Imuem Mukim
berfungsi sebagai lembaga adat tertinggi yang
menaungi gampong. Kewenangan Imuem
Mukim di antaranya adalah mempertahankan
hak kepemilikan atas lingkungan dan sumber
daya alam, mempertahankan hak atas sumber
daya alam di wilayahnya, hak ikut serta dalam
pengaturan lingkungan dan sumber daya alam,
serta menyelenggarakan peradilan. Struktur
kelembagaan di atas bersifat positif karena
apabila ada kepentingan luar yang masuk, komunitas beserta lembaga adat dapat menyaring maksud tersebut guna menghindari efek
yang merugikan komunitas.12
Hukum dan Perubahan Sosial Pada
Masyarakat Aceh
Mengakui adanya ciri historisitas yang melekat pada eksistensi hukum undang-undang,
orang sebenarnya akan bisa segera tersadar
bahwa hukum nasional itu tak akan berkepastian tinggi sebagaimana yang diperlihatkan
hukum-hukum empirik di wilayah kajian
sains fisika. Adagium kepastian hukum yang
menurut doktrinnya dilekatkan pada eksistensi hukum undang-undang yang positif itu
sebenarnya hanyalah suatu pernyataan yang
11 Ibid.
12 Ibid.
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
5
Sulaiman
hanya akan bisa diterima dalam maknanya
yang relatif. Sepanjang sejarah, hukum akan
berubah sejalan dengan perubahan zaman.
Kajian hukum positif ini pulalah lahirnya kajian ‘hukum dalam masyarakat’ yang berfokus
pada kajian text in context.13
Budaya sebagai buah pikiran, akal budi
selalu muncul berproses, akibat interaksi dengan wilayah lingkungan dan ruang waktu. Dalam kondisi wilayah dan ruang waktu itu, dinamika proses pikiran menghasilkan sesuatu;
berwujud budaya kontemporer bahkan wujud
budaya ideal untuk menjangkau masa depan.
Pokok persoalan adalah bagaimana “nilai hasil budaya“ itu dapat dinikmati, bermanfaat
dan menjadi acuan standar harkat/martabat
masyarakat dalam membangun peradaban
(civilization). Persoalan lain berupa “landasan
pacu“ buah pikiran yang digunakan menjadi
“barometer” penilai arah wujud budaya, untuk
mengukur keberhasilan implimentasi nilainilai budaya itu dalam “prosesi wujud budaya
ideal“ masa depan.14
Mengacu kepada sistem nilai dalam budaya Aceh, Badruzzaman Ismail mengemukakan bahwa budaya adat mengandung dua
sumber nilai, yaitu :15
1. Nilai adat istiadat, yaitu format seremonial, prilaku ritualitasi, keindahan, seni
apresiasi dalam berbagai format upacara
dan kreasi;
2. Nilai normatif/ prilaku tatanan (hukum
13 Soetandyo Wignjosoebroto, Tentang Kajian “Hukum Dalam Masyarakat” (Sebuah Pengenalan),
dalam wordpress. Soetandyo.com, diakses Tgl. 1
Agustus 2012
14 Badruzzaman Ismail (Ketua Majelis Adat Aceh
(MAA) Provinsi Aceh, Wujud Budaya Aceh yang
Ideal (dilihat Dari Aspek Pendekatan Adat), Dalam http://wa-iki.blogspot.com wujud-budayaaceh-yang-ideal-dilihat.html, diakses Tgl 20 Oktober 2011
15 Ibid.
6
adat), yaitu format materi aturan dan bentuk sanksi-sanksi terhadap pelanggar-pelanggaran
Analisis membuktikan, karena istiqamah
dan komit dengan nilai-nilai filosofis narit
maja ini, maka implimentasi budaya Aceh, telah melambungkan harkat dan martabat Aceh,
diperhitungkan oleh dunia internasional (fakta sejarah), di mana titik sentral pengembangannya adalah Meunasah dan Mesjid (simbol
sumber nilai). Sebaliknya marjinalisasi acuan
filosofi ini, sejarah telah mengantar Aceh dalam era kekinian. Budaya Aceh yang telah
termasyur pada masa lalu, terus dilestarikan
sampai saat ini lembaga-lembaga adat dan
masyarakat Aceh.
Mengacu kepada budaya adat Aceh yang
sarat dengan nilai-nilai Islami, maka pada
dasarnya, dalam pengembangan budaya adat
berpegang kepada beberapa asas, antara lain:16
a. Setia kepada aqidah Islami (Hablum Minallah);
b. Bersifat universal (tidak ada gap antar
agama, antar bangsa dan antar suku);
c. Persatuan dan kesatuan (Hablum Minan
Nas);
d. Rambateirata (kegotong royongan, tolong menolong);
e. Panut kepada imam (pemimpin);
f. Cerdas dengan ilmu membaca dan menulis (iqra’ dan kalam/menulis )
Pertumbuhan budaya adat Aceh, seyogianya menjadi bagian kesetiaan dalam konteks harkat dan martabat identitas ke Acehan,
menghadapi tantangan sebaran budaya global,
maka wujud budaya idealis, akan mudah adaptatis, akselerasi dan berakumulasi secara
kompetitif dan terprogram. Perubahan budaya
pada masyarakat Aceh mengalami perubahan
yang terus menerus. Sejak sebelum masa ko16 Ibid
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
Al-Risalah
Budaya Hukum Masyarakat Aceh dalam Perjanjian Jual-Beli
lonial Belanda, peradilan adat sudah ada di
Aceh sebagai salah satu buah kearifan lokalnya. Meskipun mengalami fluktuasi pengaruh
di dalam masyarakat, tetapi peradilan adat di
Aceh tidak pernah benar-benar hilang dan punah.
Fleksibelitas hukum Islam dalam
perkembangannya dapat dimaknai sebagai
akomodasi hukum terhadap perubahan sosial sebagai solusi dari problema yang timbul
dalam kehidupan masyarakat yang mengacu
pada perbaikan dan pemenuhan kemaslahatan
manusia secara umum dengan jalan Ijtihad.
penekanannya pada aspek Ijtihad (independent legal reasoning), menunjukkan bahwa
hukum Islam bisa beradaptasi dengan perubahan sosial.17 Hukum Islam merupakan bagian
integral dari syari’ah, bersifat dinamis dan relevan untuk setiap zaman dan tempat.18
Ada indikator yang dapat digunakan sebagai bukti keluasan dan keluwesan hukum
Islam, di antaranya perkembangan ini paling
tidak didukung oleh empat faktor utama yaitu
pertama, dorongan keagamaan. Karena Islam
merupakan sumber norma dan nilai-nilai normatif yang mengatur seluruh aspek kehidupan
ummat Islam, maka kebutuhan untuk membumikan norma dan nilai tersebut selalu muncul
ke permukaan. Dengan demikian, hukum Islam itu harus dapat memberikan pemecahan
terhadap problema-problema baru yang dihadapi masyarakat Kedua, meluasnya minat
Islam dan orang Islam. Ketiga, independensi
para yuris hukum Islam dari kekuasaan politik. Kemandirian ini menyebabkan mereka
mampu mengembangkan pemikiran hukum17 Muhammad Khalid Mas‟ud, Hukum Islam
dan Perubahan Sosial, alih bahasa Yudian W.
Asmin,Cet. 1, (Surabaya: Al-Ikhlas,1995), hlm.
23-24.
18 Yusuf Musa ,Tarikh al-Fiqh al-Islami, Dar-AlKitab Al-Arabi, Mesir 1958, hlm.14.
Al-Risalah
nya tanpa mendapat rintangan, selaras dengan
pemahaman masing-masing. Keempat, fleksibelitas hukum Islam itu sendiri yang mempunyai kemampuan untuk berkembang mengatasi ruang dan waktu.19
Berkaitan dengan hal itu, Hasby AshShiddiqie menunjuk tiga watak dasar hukum
Islam yaitu, takamul (sempurna), wasatiyah
(harmonis) dan harakah (dinamis). Muhammad Ali Al-Sayis sebagaimana dikutip oleh
Abdul Manan mengemukakan bahwa karaketristik hukum Islam yang paling menonjol
ada dua, yaitu tidak menyusahkan dan selalu
menghindari kesusahan dalam pelaksanaannya, menjaga kemaslahatan manusia dan selalu melaksanakan keadilan dalam penerapannya.20 Dari uraian di atas menjadikan hukum
Islam tidak pernah usang dan senantiasa
berkembang secara dinamis.21
Melihat perkembangan dan kemajemukan masyarakat Aceh maka dapat dipastikan
bahwa perubahan masyarakat secara perlahan
akan berubah sesuai dengan perkembangan
masyarakatnya yang ditujukan untuk mencapai kesejahteraan. Banyak nilai-nilai dan budaya yang telah mengalami pergeseran nilai.
Dalam praktik sehari-hari kegiatan jual
beli obyek tanah banyak dilakukan dengan
berbagai sistem hukum, peristiwa hukum ini
sangat tergantung di mana perbuatan itu dilakukan. Contoh lainnya dari pergeseran pola
pikir yang telah hadir dalam masyarakat Aceh
adalah sudah kurangnya kesadaran anak19 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tatangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan,1990), hlm.3-4
20 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Tinjauan dari Aspek Metodologis, legalisasi dan Yurisprudensi, (Jakarta: PT. Radja
Grafindo Persada, 2006), hlm. 95.
21 T.M. Hasby Ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam, Cet. 3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm.
43.
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
7
Sulaiman
anak, pemuda, bahkan orang tua dalam hal
pendidikan agama. Orang tua akan membayar
sebesar apapun biaya yang harus dihabiskan
untuk pendidikan keduniawian anak-anaknya,
namun kemudian ragu ketika harus membayar
untuk pendidikan keakhiratannya yang mengakibatkan kurangnya wawasan keilmuan
agama yang dimiliki oleh masyarakat saat
ini. Alhasil banyak kegiatan yang dilakukan
masyarakat Aceh sangat beragam, baik yang
dilakukan secara nilai-nilai Islam, adat istiadat masyarakat Aceh maupun menggunakan
hukum positif sebagai landasannya. Tentunya
semua itu tidak menyimpang dari nilai-nilai
Islami sebagaimana masyarakat Aceh kokoh
mempertahankannya.22
Proses serangkaian kegiatan untuk
mewujudkan tujuan hukum sebagai harapan
bagi masyarakat, supaya hukum yang berlaku
dapat membawa kenyamanan dan kepastian
hukum bagi masyarakat. Hal ini setiap manusia mempunyai kebutuhan dan kepentingan
masing-masing dan bila hukum yang berlaku dalam masyarakat tidak sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan serta kepentingan-kepentingannya, maka dia akan mencari jalan
keluar serta mencoba untuk menyimpang dari
aturan-aturan yang ada.23
Pluralisme hukum dan Toleransi dalam
Masyarakat Aceh
Berkenaan dengan pluralisme hukum Erman
Radjagukguk memberikan penjelasan terkait
berlakunya syariat Islam di Aceh. Ia menilai
bahwa saat ini hukum adat dan hukum Islam
hidup secara harmonis dalam masyarakat sep22 Memperkuat Akar Kebudayaan Aceh, dalam
http://www. gemabaiturrahman. com memperkuat-akar-kebudayaan-aceh.html,
diakses
Tgl. 12 Januari 2011
23 Soerjono Soekanto, Pokok- Pokok Sosiologi Hukum, Op. Cit., hlm. 8
8
erti dua sisi koin mata uang yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Pluralitas sendiri
merupakan ciri khas Indonesia. Dengan banyak pulau, suku, bahasa, dan budaya, Indonesia ingin membangun bangsa yang stabil dan
modern dengan ikatan nasional yang kuat. Sehingga, menurutnya menghindari pluralisme
sama saja dengan menghindari kenyataan
yang berbeda mengenai cara pandang dan
keyakinan yang hidup di masyarakat Indonesia.24
Pluralisme hukum sendiri menurutnya
senantiasa mengalami perkembangan dari
masa ke masa di mana ada koeksistensi dan
interelasi berbagai hukum seperti hukum
adat, negara, agama dan sebagainya.25 Bahkan dengan dengan adanya globalisasi akan
memberikan dampak mengenai keberlakuan
hukum, misalnya mengenai jual beli yang terjadi Aceh, dalam banyak kejadian proses jual
beli yang dilakukan dengan memakai sistem
hukum Islam, adat dan perdata.
Sekarang globalisasi ekonomi yang berujung pula pada globalisasi hukum berlangsung
dengan damai, antara lain melalui perjanjian.
Oleh karenanya setidak-tidaknya empat sistim hukum hidup berdamping-dampingan
secara damai di Indonesia dewasa ini: Hukum Adat, Hukum Islam, “Civil Law” dan
“Common Law.” Sebagaimana semboyan
Bhineka Tunggal Ika: “Berbeda-beda Tetapi
Tetap Satu,” maka sistem hukum di Indonesiapun mengandung pluralisme seiring dengan perkembangan bangsa dan masyarakat
Indonesia. Pertama-tama hukum Adat adalah
hukum yang hidup pada masyarakat Indonesia yang berbeda-beda suku bangsa. Hu24 Pluralisme Hukum Harus Diakui, Dapat dilihat
dalam http://www. hukumonline. com pluralisme-hukum-harus-diakui, diakses Tgl. 31 0ktober 2011
25 Ibid.
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
Al-Risalah
Budaya Hukum Masyarakat Aceh dalam Perjanjian Jual-Beli
kum Adat adalah kebiasaan-kebiasaan dalam
masyarakat yang ditaati oleh anggotanya dan
kebiasan itu mempunyai sanksi bila ia tidak
diikuti. Bidang Hukum Adat ini meliputi hukum keluarga yaitu warisan, perkawinan, pengangkatan anak, hukum atas tanah dan hukum
yang berkaitan dengan kegitan perdagangan.26
Dalam sejarah hukum, Hukum Islam
hidup berdampingan dengan hukum adat, sehingga melahirkan perdebatan hukum manakah
yang diberlakukan bagi masyarakat setempat.
Snouck Hurgronje memperkenalkan Teori Receptie, yaitu Hukum Islam baru berlaku kalau Hukum Islam itu sudah terlebur ke dalam
hukum adat. Dengan demikian bagi penganut
agama Islam belum tentu tunduk pada Hukum
Islam. Namun Teori Receptie ini dibantah
oleh antara lain Sajuti Thalib yang mengatakan bahwa Hukum Adat baru berlaku jika ia
tidak bertentangan dengan Hukum Islam.27
Berbicara pluralisme hukum yang berlaku pada masyarakat Aceh dalam kehidupan
sehari-hari, Sulistyowati Irianto mengemukakan bahwa dalam arena pluralisme hukum
itu terdapat hukum negara disatu sisi dan disisi yang lain adalah hukum rakyat yang pada
prinsipnya tidak berasal dari negara, yang
terdiri dari hukum adat, agama, kebiasaankebiasaan atau konvensi-konvensi sosial lain
yang dipandang sebagai hukum.28
26 Erman Rajagukguk Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme, Makalah Disampaikan pada Diskusi
Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan
Gunung Djati, Bandung ke-37, Tgl. 2 April 2005,
lihat juga dalam http://ermanhukum.com/Makalah Ilmu Hukum Indonesia-Pluralisme.pdf, diakses Rgl. 3 Oktober 2011
27 Ibid
28 Sulistyowati Irianto, Sejarah Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologisnya, dalam
TIM HUMA, Pluralism Hukum Hukum Sebuah
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: HUMA,
2005), hlm. 58
Al-Risalah
Selanjutnya Sulistyowati Irianto, membahas persoalan pluralisme hukum mengacu
pada 4 (empat) hal:29
1. Kompleksitas pluralisme hukum dalam
sistem hukum negara maupun sistem hukum rakyat;
2. Warga masyarakat dapat menanggapi
suatu aturan hukum dengan cara berbeda
tergantung pengetahuan, kepentingan,
dan terutama budaya hukum;
3. Masalah penegakan hukum yang dalam
praktiknya sering berbeda dengan yang
dikehendaki oleh peraturan hukum secara
normatif;
4. Peranan hukum adat dalam sistem hukum
nasional yang tidak dapat diabaikan.
Pluralisme hukum tersebut juga diperbanyak oleh berkembangnya peraturan daerah
(perda)/qanun sebagai dampak penyelenggaraan otonomi daerah serta aturan-aturan tertulis di luar tata urutan perundang-undangan.
Ketentuan dalam peraturan-peraturan tersebut
lebih menekankan pada peran dan kekuasaan
lembaga-lembaga negara (termasuk pemerintahan daerah) dalam membentuk dan menafsirkan hukum tertulis guna mencapai tujuan
lembaga-lembaganya.30
Terdapat perbedaan perspektif budaya
dunia khususnya masyarakat timur dan barat
dalam memandang hukum. Sebuah kontrak
perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam
kultur barat dianggap sebagai undang-undang
yang mengatur. Perjanjian dibuat dengan detail berkait dengan hak dan kewajiban para
pihak. Kontrak Perjanjian menjadi sangat
tebal karena menyangkut perlindungan atas
29 Sulistyowati Irianto, Pluralisme Hukum dan
Masyarakat Saat Krisis, dalam E.K.M. Masinambow, Hukum dan Kemajemukan Budaya,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm.
80.
30 Ibid.
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
9
Sulaiman
hak para pihak. Kontrak Perjanjian menjadi
sebuah dokumen hukum bagi para pihak yang
menyetujuinya. Dalam kultur timur perjanjian
yang tertuang dalam kontrak tertulis bukanlah sebuah dokumen hukum. Kontrak tersebut dibuat sebagai sebuah aturan tata krama
pergaulan. Masyarakat timur lebih mempercayai pada orang dibanding dokumen. Dalam
budaya Islam setiap perjanjian jual beli harus
dilakukan dengan cara-cara tertentu (akad),
akad menjadi penentu dalam hal jual beli.31
Dalam persiapan kontrak yang dibuat
oleh para pihak budaya menjadi sangat penting. Ketika melakukan perjanjian dan menuangkannya secara detail termasuk sanksi yang
diterapkan kepada para pihak dalam kontrak
tersebut dapat menimbulkan ketersinggungan. Dokumen yang detail terkadang justru
dianggap sebagai ketidakpercayaan terhadap
orang. Dalam kultur barat semua harus tertuang dalam kontrak. Jika para pihak melakukan
wanprestasi atas kontrak, maka pelaku wanprestasi atas kontrak yang telah dibuat dapat
dimintakan prestasi berupa perbuatan tertentu
sebagai ganti atas kerugian yang diterima.
Dalam kultur timur, perjanjian kontrak akan
mengikuti perkembangan dari para pihak.
Kontrak dapat diubah dan tidak mengikat secara kaku terhadap para pihak yang terlibat di
dalam kontrak tersebut. Dalam kultur tertentu
terkadang kontrak tertulis dihindari, dan lebih
mengutamakan pada lisan seseorang. Lisan
yang diucapkan oleh seseorang kemudian disepakati oleh para pihak sudah cukup dijadikan
sebagai landasan telah disepakatinya sebuah
perjanjian.32
31 Habib Adjie, Kontrak Dalam Budaya Hukum,
Dalam http://habibadjie.dosen.narotama. ac.id
Kontrak-dalam-Budaya-Hukum.pdf,
Diakses
Tgl. 13 Januari 2011
32 Ibid.
10
Konsep Jual-Beli Secara Adat
Pakar Hukum adat, T. Djuned mengemukakan, hukum adat dan adat sungguh berbeda.
Adat atau adat istiadat adalah “kebiasaan
yang dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun, kebiasaan yang diikuti dan
dijalankan oleh masyakarat setempat tanpa
suatu paksaan.” Sedangkan hukum adat adalah “adat yang memiliki sanksi”. Jadi, jika
tidak ada sanksi tidak digolongkan sebagai
hukum adat.33
Kata adat berarti aturan baik berupa perbuatan ataupun ucapan yang lazim diturut
dan dilakukan sejak dahulu kala. Kata adat
ini sering disebut beriringan dengan kata istiadat, sehingga menjadi adat istiadat. Adat
istiadat berarti tata kelakuan yang kekal dan
turun temurun dari generasi ke generasi lain
sebagai warisan, sehingga kuat integrasinya
dengan pola-pola perilaku masyarakat. Dalam
praktiknya, istilah adat istiadat mengandung
arti yang cukup luas, mencakup semua hal di
mana suatu masyarakat atau seseorang menjadi terbiasa untuk melakukannya.34
Dua pandangan lain, masing-masing
dituliskan oleh sarjana Belanda yaitu C Van
Vollen Hoven dalam bukunya Adatrecht dan
B Ter Haar dalam bukunya Beginselen en
Stelsel Van Het Adatrecht. Hoven yang juga
murid dari C. Snouch Hourgonje yang dikenal
sebagai orang yang licik dan memanfaatkan
agama untuk menjatuhkan semangat juang
terutama dari ulama-ulama di Aceh untuk
melawan penjajah mengatakan, hukum adat
adalah “hukum yang tidak dikodifikasikan
dalam perundang-undangan dan mempunyai
sanksi”. Sementara Ter Haar mengungkapkan
33 Teuku Muttaqin Mansur, Hukum Adat di Persimpangan, dalam Harian Serambi Indonesia edisi
Minggu, 5 Juni 2011.
34 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 5-6.
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
Al-Risalah
Budaya Hukum Masyarakat Aceh dalam Perjanjian Jual-Beli
bahwa hukum adat itu adalah “keseluruhan
aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan fungsionaris hukum yang mempunyai
kewibawaan serta mempunyai pengaruh
dan ditaati oleh masyarakat dengan sepenuh
hati”. Berangkat dari pemikiran tersebut maka
masyarakat Aceh dalam kegiatan muamalah
kehidupan sehari-hari selalu berlandaskan hukum Islam dan Hukum adat.35
Menurut Van Dijk bahwa jual beli obyek
tanah menurut hukum adat adalah perpindahan tanah untuk selama-lamanya dengan
menerima sejumlah uang yang dibayar secara
tunai atau kontan oleh pembeli dan pembeli
memperoleh hak milik penuh atas tanah tersebut. Pembayaran secara tunai dan kontan ini
dilakukan di hadapan kepala desa sebagai
saksi atas sahnya transaksi jual beli tersebut.36
Jual beli menurut hukum adat menurut
Wiryono Projodikoro adalah bukan hanya
persetujuan belaka antara kedua belah pihak
melainkan merupakan suatu penyerahan hak
atas barang atau benda dengan syarat membayar harga. Pada waktu diadakan persetujuan
di antara kedua belah pihak biasanya menurut
hukum adat diberikannya panjar oleh pembeli
kepada penjual dan ini dimaksudkan supaya
ada kekuatan antara kedua belah pihak.37
Ada dua macam jual beli obyek tanah dalam hukum adat yaitu:38
1. Perbuatan hukum bersifat sepihak yaitu
suatu kelompok orang mendiami tempat
dan membuat rumah di atas tanah itu,
membuka tanah pertanian, menggubur
orang di tempat itu dan lain-lain. Per-
buatan hukum ini adalah hanya dari satu
pihak.
2. Perbuatan hukum bersifat dua pihak. Intinya adalah peralihan hak atau penyerahan
hak dengan pembayaran kontan. Untuk
menjalankan jual beli dibutuhkan bantuan kepala persekutuan yang bertanggung
jawab atas sahnya perbuatan hukum itu,
maka perbuatan tersebut harus terang dan
tunai. Jual beli obyek tanah dalam hukum
adat seperti dikenal dengan jual gede, jual
lepas, jual tahunan dan pemberian tanah,
masing-masing dapat berfungsi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
Jual beli obyek tanah dalam hukum adat
itu antara lain:39
a. Menjual gade artinya mereka yang
menerima tanah mempunyai hak untuk
mengerjakan tanah itu dan mempunyai
hak penuh untuk memungut penghasilan
dari tanah. Ia hanya terikat oleh janjinya
bahwa tanah itu hanya dapat ditebus oleh
yang menjual gade. Pada umumnya tanah
dikembalikan dalam keadaan pada waktu
tanah itu diserahkan.
b. Menjual lepas artinya pembeli mendapat hak milik atas tanah yang dibelinya.
Pembayaran dilakukan dihadapan kepada
persekutuan.
c. Menjual tahunan adalah suatu bentuk menyewakan tanah yang terdapat di Jawa
yang lamanya tidak dapat ditentukan.
d. Pemberian tanah (secara hibah atau warisan ) Memberikan tanah di mana hak milik segera dialihkan baik kepada ahli warisnya maupun pada orang lain dan baik
yang memiliki tanah masih hidup maupun
35 Teuku Muttaqin Mansur, Op. Cit,
pemilik tanah sudah meninggal dunia.
36 Van Dijk, diterjemahkan oleh A.Soehadi, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Sumur,
Menurut hukum adat jual beli obyek ta1979), hlm. 66.
nah bukan merupakan perjanjian seperti yang
37 Wirjono Projodikoro, Hukum Antar Golongan di
Indonesia, (Bandung: Sumur, 2000), hlm.73.
38 Ibid, hlm, 84.
Al-Risalah
39 Ibid.
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
11
Sulaiman
dimaksudkan dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
tersebut di atas, melainkan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk
selama-lamanya pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual.40
Pengertian jual beli obyek tanah menurut hukum adat yaitu perbuatan hukum penyerahan
tanah untuk selama-lamanya dengan penjual
menerima pembayaran sejumlah uang, yaitu
harga pembelian (yang sepenuhnya atau sebagiannya dibayar tunai).
Dalam masyarakat Hukum Adat jual beli
obyek tanah dilaksanakan secara terang dan
tunai. Terang berarti perbuatan hukum jual
beli tersebut benar-benar dilaksanakan dihadapan Kepala Adat atau Kepala Desa. Tunai, berarti adanya dua perbuatan yang dilaksanakan secara bersamaan, yaitu pemindahan
hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli
dari penjual kepada pembeli dan pembayaran
harga dari pembeli kepada penjual terjadi serentak dan secara bersamaan.41 Sehingga jika
para pihak yang bersangkutan tunduk pada
hukum adat, maka hukum yang berlaku terhadap jual beli tersebut adalah hukum adat dan
jika pihak-pihak yang bersangkutan tunduk
pada hukum barat, maka yang berlaku adalah
hukum barat.
Bagi Aceh setelah diberlakukannya
Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasca-MOU Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dengan Pemerintah Republik Indonesia (RI),
serta turunan undang-undang berupa Qanun
Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembi40 Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia,
Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994),
Hlm. 15
41 Ibid, hlm. 19
12
naan Adat/Adat Istiadat dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat
telah dijadikan sebagai dasar yang kuat untuk
menerapkan kembali hukum adat yang pernah
hidup dan berkembang di masa-masa dahulu
melalui 13 Lembaga Adat yang diakui, yaitu
Majelis Adat Aceh (MAA), imeum mukim,
imeum chik, keuchik, tuha peut, tuha lapan,
imuem meunasah, keujruen blang, panglima
laot, pawang glee/uteun, petua seuneubok, haria peukan, dan syahbanda.42
Penggunaan hukum adat dalam kehidupan masyarakat Aceh, merupakan perwujudan jiwa yang khas pada kebudayaan Aceh.
Hal ini diakibatkan karena hukum adat memiliki sifat-sifat yang istimewa. Sifat istimewa
Hukum adat adalah hukum rakyat yang tidak
tertulis. Demikian pula tidak ada suatu badan legislatif yang revolusioner membuat
peraturan baru pada setiap perubahan kebutuhan hukum. Sebagai rakyat yang mengatur
kehidupannya sendiri yang terus menerus
berubah dan berkembang, hukum adat selalu pula menjalani perubahan-perubahan
yang terus melalui keputusan-keputusan atau
penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan
oleh masyarakat sebagai hasil temu rasa dan
kata tentang pengisian sesuatu hukum adat
dalam permusyawaratan rakyat. Dalam hal
ini, setiap perkembangan yang terjadi selalu
mendapatkan tempatnya di dalam tata hukum
adat. Hal-hal yang tidak dipakai secara revolusioner pula lalu ditinggalkan.43
Berangkat dari pemikiran di atas maka,
proses jual beli obyek tanah yang dilakukan
42 Teuku Muttaqin Mansur, Op. Cit.
43 IGN. Sungangga, Peranan Hukum Adat Dalam
Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dalam
Ilmu Hukum Perdata (Adat), Semarang, Tgl. 27
November 1999, hlm. 17-18.
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
Al-Risalah
Budaya Hukum Masyarakat Aceh dalam Perjanjian Jual-Beli
pada masyarakat Aceh umumnya masih memakai ketiga sistem hukum tersebut sebagai
landasannya. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa praktik sehari-hari sering dilakukan. Satu hal yang menarik dari proses jual
beli obyek tanah berkaitan dengan budaya
masyarakat suatu kawasan. Apakah budaya
lokalnya masih terpelihara dengan baik atau
tidak, atau masyarakat sudah mulai beralih
kepada pencatatan kepemilikan tanah kepada
Badan Pertanahan Negara.
Nilai Islam dalam Budaya Hukum Perjanjian Jual Beli Masyarakat Aceh
budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini
disebut dengan great tradition (tradisi besar),
sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau
local tradition.45
Tradisi besar adalah doktrin-doktrin
original Islam yang permanen, atau setidaktidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang
yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam
konsepsi keimanan dan syariah hukum Islam
yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi kecil adalah realm
of influence kawasan-kawasan yang berada
di bawah pengaruh Islam (great tradition).
Tradisi lokal ini mencakup unsur-unsur yang
terkandung di dalam pengertian budaya yang
meliputi konsep atau norma, aktivitas serta
tindakan manusia dan berupa karya-karya
yang dihasilkan masyarakat.46
Proses akulturasi antara Islam dan budaya
lokal ini kemudian dikenal local genius, yaitu
kemampuan menyerap sambil mengadakan
seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai
suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain lokal genius
memiliki karakteristik antara lain: mampu
bertahan terhadap budaya luar; mempunyai
kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli,
memiliki kemampuan mengendalikan dan
memberikan arah pada perkembangan budaya
Provinsi Aceh sangat kental dengan budaya
dan nilai-nilai Islam dalam melaksanakan
segala aktivitas termasuk di dalamnya berhubungan dengan jual beli obyek tanah. Kebudayaan Islam merupakan suatu sistem yang
memiliki sifat-sifat ideal, sempurna, praktis,
aktual, diakui keberadaannya dan senantiasa
diekspresikan. Sistem yang ideal berdasarkan
pada hal-hal yang biasa terjadi dan berkaitan
dengan yang aktual. Sistem Islam menerapkan dan menjanjikan perdamaian dan stabilitas di manapun manusia berada, karena pada
hakikatnya manusia memiliki kedudukan
yang sama di hadapan Allah SWT, yang berbeda justru hanya terletak pada unsur-unsur
keimanan dan ketakwaannya saja.44
Islam sebagai agama memang banyak
memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama
lain dan menerima akomodasi budaya. Terdapat dua hal yang perlu diketahui bila Islam
dikaitkan dengan budaya: Islam sebagai konsepsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas 45 Koentjaraningrat, Pokok-Pokok Antropolog So44 Widyastini, Nilai-Nilai Islam Dalam kebudayaan
Indonesia (Kajian Filsafat Nilai), Dalam Jurnal
Filsafat Fakultas Filsafat Universitas Gadjah
Mada, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2, hlm.
121.
Al-Risalah
sial, (Jakarta: Penerbitan Universitas: 1980),
hlm. 170
46 Marzuki, Tradisi Peusijuek Dalam Masyarakat
Aceh: Integritas Nilai-Nilai Agama Dan Budaya, Dalam http://www.google.co.id, diakses, Tgl.
21 September 2012
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
13
Sulaiman
selanjutnya.47
Hal tersebut semakin menegaskan bahwa
tidak bisa dipisahkan antara hukum dengan
adat. Dipertegas dengan pernyatan ulama
besar Aceh abad XIX, Shaik Abbas Ibnu
Muhammad sebagaimana yang dikutip oleh
Teuku Ibrahim Alfian dalam makalahnya “Indonesia Sebagai Negara Kesatuan dan Posisi
Rakyat Aceh Lampau, Kini dan Datang”, saat
berbicara tersebut dinyatakan bahwa, “adat
ban adat, hukom ban hukom, adat ngen hukom sama keumba, tatkala mufakat adat ngen
hukom, nanggroe senang hana goga” (terjemahan secara sederhana adalah adat menurut
adat, hukum menurut syariat, adat dengan hukum syariat tidak bisa dipisahkan, tatkala (ada)
mufakat antara adat dengan hukum (syariat),
negeri aman tanpa huru hara. Oleh karena itulah, harmoni antara hukum dengan adat menjadi warna kehidupan masyarakat Aceh.48
Dalam kaitan ini, tidaklah mengherankan jikalau proses terjadinya hukum agama
menjiwai dan mendasari perilaku masyarakat
atas adat kebiasaan hidup mereka sehingga terjadinya tatanan hidup yang mapan.49
Berkaitan dengan jual beli yang dilakukan
oleh masyarakat Aceh, maka prinsip-prinsip
hukum adat dan hukum agama digabungkan
menjadi satu bagian yang penting demi tercapainya akad dalam jual beli obyek tanah
yang sah. Namun, disisi lain juga ada yang
mengabaikan hukum adat dan hukum agama
sebagai landasan dalam jual beli, karena di-
anggap jual beli telah dianggap selesai apabila
peralihan barang dan bukti kepemilikan beralih kepada pembeli (praktik ini sangat jarang
terjadi).
Praktik penerapan jual beli obyek tanah di Aceh juga dipengaruhi oleh letak
geografis masyarakat di mana ia tinggal.
Pada masyarakat perkotaan umumnya mereka
melakukan jual beli obyek tanah dengan memakai hukum nasional dibarengi dengan hukum adat, sedangkan masyarakat yang berada
jauh dari perkotaan maka tradisi yang dipakai
dalam jual beli obyek tanah dengan menggunakan hukum adat dan hukum Islam. Sehingga pada masyarakat yang demikian unsur
administrasi (bukti surat) cenderung kurang
penting, pandangan masyarakat tersebut didasarkan pada akad yang dilaksanakan dengan disaksikan perangkat Gampong (perangkat Desa). Kalaupun dibuat surat kepemilikan
tanah maka surat tersebut dianggap sah dan
terkuat dengan hanya ditanda tangani Keuchik
(Kepala Desa). Maka peranan adat dalam budaya Aceh sangat melekat dengan Ke-Islaman
yang mereka anut.
Masyarakat Aceh terkenal sangat religius, memiliki budaya (adat) yang identik
dengan Islam. Hal ini sesuai dengan ungkapan
yang sangat populer dalam masyarakat Aceh:
“Adat bak po Teumeureuhom Hukum bak
Syiah Kuala, Antara hukum ngon adat lage
zat ngon sipheut.”50 Semua orang, baik yang
lahir di Aceh atau di luar Aceh, adalah beragama Islam. Dapat dipastikan bahwa tidak
47 Soerjanto Poespowardoyo, Pengertian Lokal ada orang Aceh yang bukan muslim, meskipGenius dan Relevansinya Dalam Modernisasi,
un tidak semua menjalankan syariat dengan
“Kepribadian Budaya Bangsa (local genius)”,
baik. Islam yang datang ke Aceh telah kawin
(Jakarta: Pustaka Jaya: 1986) hlm. 28
48 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Otonomi
Khusus Jalan Menuju Kesejahteraan, Op. Cit.,
hlm. 3
49 I Gede AB Wiranata, Hukum Adat Indonesia,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 96102
14
50 Artinya, Adat adalah dalam masyarakat Islam
Aceh yang berkembang sekarang ini adalah adat
dengan syariat tidak mungkin untuk dipisah bagaikan benda senyawa yang tidak mungkin dipisahkan menjadi dua bagian.
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
Al-Risalah
Budaya Hukum Masyarakat Aceh dalam Perjanjian Jual-Beli
dengan adat Aceh dan telah melahirkan identitas Aceh yang sangat khas “Aceh Serambi
Mekkah”. Dari perkawinan ini terjadi proses
harmonisasi yang menimbulkan kekuatan dan
melekatnya identitas baru di Aceh. Kehidupan
budaya (adat) Aceh dengan Islam tidak dapat
dipisahkan. Harmonisasi antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sistem pemerintahan di
Aceh mencerminkan kedua unsur ini.51
Dalam masalah transaksi jual beli juga telah ditemukan model praktik hukum dan ’uruf
(budaya) dalam kehidupan masyarakat. Dalam transaksi jual beli obyek tanah misalkan
dapat dibedakan menjadi tiga bentuk pertama,
penyerahan tanah untuk selama-lamanya atau
seterusnya dengan pembayaran kontan tanpa
syarat suatu apapun, kedua, penyerahan tanah
disertakan pembayaran kontan, dengan ketentuan bahwa yang menyerahkan tanah berhak
untuk mengambil kembali tanahnya itu dengan pembayaran uang kembali dalam jumlah
yang sama, ketiga, penyerahan tanah dengan
pembayaran kontan, disertakan perjanjian
bahwa apabila setelah satu atau beberapa kali
panen, dengan tidak ada pembuatan hukum
lainnya, maka tanah tersebut kembali lagi kepada pemiliknya semula.52
Sistem
ini
telah
terjadi
dalam masyarakat Aceh sampai saat ini.
Supaya ketiga bentuk transaksi jual beli
obyek tanah seperti di atas menjadi sah menurut ’uruf serta mendapat perlindungan hukum
maka harus mendapat dukungan dari kepala
51 Soufyan M. Saleh, Memahami Budaya
Masyarakat Aceh Dalam Pencarian Keadilan,
Dalam http://revoluthion.wordpress.com, Diakses Tgl. 15 Januari 2012. Materi ini juga disampaikan dalam Acara Seminar Putroe Kandee,
Aceh 8-10 Mei 2009
52 Muliadi Kurdi, Paradigma Fikih Aceh, http://
kayeeunoe.blogspot.com, diakses Tgl. 29 Mei
2010.
Al-Risalah
desa atau keuchik. Dukungan itu akan dihargai dengan memberi insentif alakadarnya.
Jika transaksi dilakukan di luar pengetahuan
ketua kelompok itu, maka tidak sah menurut
hukum adat maka hak pembeli atas tanah itu
tidak diakui oleh masyarakat hukum dan dianggap sebagai suatu perbuatan yang gelap,
tidak terang atau tidak jelas.53
Jual beli masalah tanah di Aceh, transaksi terjadi dan dianggap sudah ditutup pada
saat si penjual itu menyatakan dihadapan
ketua kelompok bahwa ia mengakui penyerahan tanahnya dan telah menerima uangnya
dari pembeli. Pada saat itu pulalah si pembeli
memperoleh hak atas tanah yang bersekutukan meskipun dalam kenyataannya terkadang
si penjual menunda penyerahan tanahnya untuk sementara waktu.54
Peraturan jual beli obyek tanah dalam
masyarakat Aceh sudah dimulai sejak zaman
dahulu, dilakukan dalam suatu upacara yang
dihadiri sekitar 10 orang yang terdiri pihak
pembeli dan penjual. Upacara itu sebagiannya
menurut hukum Islam dilakukan dengan ijabkabul. Si penjual memberitahukan terlebih dahulu kepada masyarakat yang hadir sebelum
tanah tersebut dijual. Hal ini dimaksud agar
diketahui oleh masyarakat sekaligus menjadi
saksi dalam penjualan tanah tersebut. Setelah
itu disusul dengan acara peusambot atau penyerahan (ijab) oleh si penjual dan sisambot
atau diterima (kabul) oleh si pembeli.
Pada jual beli binatang ternak ijab-kabul
ini juga dilakukan dengan cara, si penjual dan
si pembeli memegang tali hidung binatang
ternak itu (dekat hidung) dengan mengucapkan kata-kata penyerahan dan penerimaan
(ijab dan kabul) (seperti peng keu lon barang
ke droeneuh). Tangan si penjual lebih tinggi
atau lebih jauh dari hidung binatang itu dari-
53 Ibid.
54 Ibid.
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
15
Sulaiman
pada tangan si pembeli. Pemikiran di atas
telah membawa kemkbali kepada sejarah zaman lampau. Sejarah di mana pernah menjadi
sebuah daerah yang sarat dengan nilai-nilai
syariah, dengan kata lain daerah ini pernah dijuluki dengan sebutan ”bumi syariah”
atau ”bumi Serambi Mekkah”. Usaha untuk
mewujudkankan kembali adalah sebuah langkah yang harus digagas mulai hari ini, yaitu
gagasan untuk melahirkan kembali sebuah
paradigma fikih lokal yang mudah dipahami
oleh masyarakat Aceh di zaman kekinian.55
Dalam jual beli hak atas tanah dan bangunan dilakukan perbuatan hukum di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dengan
adanya Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) sebagai tanda bukti telah dipenuhinya
sifat terang dan nyata (riil) yang merupakan
syarat sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan, sehingga menurut hukum mengikat
para pihak yang melakukannya.56
Hal tersebut adalah sesuai dengan sistem
jual beli yang dianut dalam hukum adat yaitu
bersifat terang dan tunai di mana hak milik atas tanah tersebut berpindah pada saat
dibuatnya/ditanda tanganinya akta jual beli
dihadapan PPAT, hal ini sesuai dengan sistem
hukum pertanahan nasional yaitu pada perbuatan hukum pemindahan hak, atas tanah
yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada
pihak lain.57
Di Aceh kepala desa akrab dipanggil dengan sebutan Keuchiek. Tetapi karena
pengaruh ethnis dan wilayah hukum, maka
di Aceh juga terdapat berbagai istilah untuk
jabatan kepala desa. Istilah Keuchiek dipakai
oleh masyarakat Aceh Besar dan pantai Barat
Aceh. Di wilayah Pidie dan pantai Utara Aceh
disebut Geuchik, sedangkan di Aceh Timur
untuk jabatan yang sama masih dipakai isltilah Peutua. Wilayah Aceh berpenduduk ethnis
Melayu menyebut Keuchiek dengan istilah
Penghulu. Masih ada lagi istilah-isltilah lain
untuk jabatan Keuchiek, maka untuk membakukannya dalam perda atau Qanun, setelah
perkataan Keuchiek selalu dibarengi dengan
perkataan atau nama lain. Jelasnya, Keuchiek
atau nama lain.58
Keuchiek merupakan pejabat pemerintahan umum pada level terbawah. Biasa disebut, keuchiek sebagai ujung tombak pelaksanaan pemerintahan umum dalam wilayah
desa atau gampong. Hampir semua tugas pemerintahan yang ada dipusat secara hirarkhi
yang telah baku turun kepada Keuchiek. Tugas ini seluruhnya terpusat ditangan Keuchiek
selaku kepala desa atau gampong. Tugas yang
dilimpahkan kepada Keuchiek adalah cukup
luas, meliputi semua bidang kenegaraan. Peran keuchik di gampong sangat menentukan
majunya pembanguman gampong di bawah
kemimpinannya.
Dilihat dari ilmu politik, kewenangan
Keuchiek meliputi tiga bidang trias politica,
yaitu:59
a. Bidang Eksekutif; melaksanakan pemerintahan umum dalam wilayah desa;
b. Bidang Legislatif; membuat peraturanperaturan untuk desa bersama aparat desa
atau Gampong;
c. Bidang Yudikatif; menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam wilayah hukum
desanya.
Dari ketiga bidang kekuasaan yang terse55 Ibid,
56 Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Seja- but di atas, tugas Keuchiek yang paling berat
rah Pembentukan Undang-Undang Peraturan dan paling menonjol adalah dalam fungsi meAgraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Jembatan, 1999), hlm. 313.
57 Ibid, hlm. 318.
16
58 http://maa.acehprov.go.id, Ibid,
59 http://maa.acehprov.go.id, Ibid,
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
Al-Risalah
Budaya Hukum Masyarakat Aceh dalam Perjanjian Jual-Beli
negakkan hukum. Menegakkan hukum meli- persekutuan masyarakat hukum adat dan dapputi tugas yang sangat luas pula, yaitu:
at pula berarti sebagai suatu kesatuan unit pea. Tugas sebagai penyidik, menyelidiki de- merintahan di negara Indonesia”. Setiap Gamlik atau peristiwa hukum hukum hukum pong mempunyai sekurang-kurangnya sebuah
hukum yang terjadi dalam wilayah desa; Meunasah (Mushalla), bahkan sekarang ini teb. Tugas sebagai penuntut umum, menuntut lah lebih dari satu Meunasah (Mushalla). Jadi
tersangka atau pihak yang dianggap ber- Gampong adalah gabungan dari Jurong atau
salah supaya dihukum;
Dusun dan merupakan kesatuan hukum yang
c. Tugas sebagai penutup perkara, Hakim.
bercorak agama serta pimpinan Gampong disKetiga tugas penegak hukum tersebut ebut dengan Keuchik Gampong. Dalam strukseharusnya dilaksanakan oleh tiga instansi tur pemerintahan kesultanan Aceh dikala itu,
yaitu: Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim. kedudukan Gampong merupakan suatu unit
Dalam wilayah desa ketiga tugas penegak pemerintahan tingkat kelima setelah Imeum
hukum tersebut di atas terpusat dalam satu Mukim pada tingkat Keempat, Ulee Balang
tangan, yakni Keuchiek dibantu Perangkat pada tingkat Ketiga, pemerintahan Sagoe
Desa. Hukum adat hidup dan berkembang da- pada tingkat kedua dan kerajaan (raja) pada
lam masyarakat dimulai dari wilayah terkecil tingkat pertama.60
dari suatu daerah yaitu gampong. Pemerintahan gampong dipimpin oleh seorang Keu- Terbentuknya Akad dalam Perjanjian
chik. Dengan berlakunya otonomi khusus un- Jual Beli Secara Islam
tuk Aceh, maka diperlukan penataan kembali
Akad dalam hukum Islam identik dengan perkedudukan, tugas, fungsi, dan wewenang Pejanjian dalam hukum Indonesia. Kata akad
merintahan Gampong dalam penyelenggaraan
berasal dari kata al-‘aqd yang berarti ikatan,
pemerintahan dan peningkatan pelaksanaan
mengikat, menyambung atau menghubungSyari'at Islam serta pengembangan adat dan
kan (arrabt).61 Ikatan maksudnya adalah
adat istiadat. Salah satu peran pemerintahan
menghimpun atau mengumpulkan dua ujung
gampong dalam hal pengembangan adat adatali dan mengikatkan salah satunya pada yang
lah mewujudkan perdamaian gampong denlainnya hingga keduanya bersambung dan
gan menyelesaikan sengketa secara adat oleh
menjadi seperti seutas tali yang satu.62 Pengerlembaga adat.
tian Akad secara terminologi fiqh (hukum IsDalam Pasal 2 dan 3 Qanun No. 5 Talam) adalah perikatan antara ijab (penawaran)
hun 2003 tentang Pemerintahan Gampong,
menjelaskan bahwa Gampong merupakan 60 T. M. Juned, Menuju Revitalisasi Hukum dan
Adat Aceh, (Jakarta: Yayasan Rumpun Bambu
organisasi pemerintahan terendah yang bedan CSSP, 2003), hlm. 35.
rada di bawah mukim dalam struktur organ61 Ahmad Abu al-Fathj, Kitab al-Mumalat fi asyisasi pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh
Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qawanin al-MishDarussalam. Gampong mempunyai tugas
riyyah, dalam Syamsul Anwar, 2007, Hukum
menyelenggarakan pemerintahan, melaksanaPerjanjian Syari’ah Studi teeentang Teori Akad
Dalam Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGkan pembangunan, membina masyarakat dan
rafindo Persada), hlm. 68.
meningkatkan pelaksanaan Syari’at Islam.
62 Ghufran A. Mas’adi, Fiqh Muamalah KontekMenurut T. M. Juned “Gampong dapat
stual, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002),
berarti sebagai tempat hunian penduduk atau
hlm. 75.
Al-Risalah
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
17
Sulaiman
dengan kabul (penerimaan) yang dibenarkan
syara’, yang menetapkan keridhoan (kerelaan)
kedua belah pihak.63
Para ahli hukum Islam (Jumhur Ulama)
memberikan definisi akad sebagai pertalian
antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh
syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.64 Akad adalah pertemuan ijab
dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua
pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada obyeknya. Akad merupakan
keterkaitan antara keinginan atau statemen
kedua pihak yang dibenarkan oleh syara’ dan
akan menimbulkan implikasi hukum tertentu.65
Berdasarkan definisi-definisi akad di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa pemahaman
mengenai akad dalah hukum hukum Islam dapat dimaknai sebagai berikut:66
1. Akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat
timbulnya akibat hukum. Ijab adalah
penawaran yang diajukan oleh salah satu
pihak, dan kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama. Akad tidak terjadi apabila pernyataan
kehendak masing-masing pihak tidak
terkait satu sama lain karena akad adalah
keterkaitan kehendak kedua pihak yang
tercermin dalam ijab dan kabul.
63 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 21.
64 Ghufron A. Mas’adi, Op. Cit., hlm. 76. Lihat Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat
(Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: Persputakaan UII, 1988), hlm. 42.
65 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.
48.
66 Harun, Kecakapan Hukum Dalam Akad (Transaksi) Perspektif Hukum Islam, Dalam Jurnal
Suhuf, Vol. 20, No. 2, Nopember 2008, hlm. 108
18
2. Akad merupakan tindakan hukum dua
pihak karena akad adalah pertemuan ijab
yang mempresentasikan kehendak dari
satu pihak dan kabul yang menyatakan
kehendak lain. Tindakan hukum satu
pihak, seperti janji memberi hadiah, wasiat, wakaf bukanlah akad, karena tindakan–tindakan tersebut tidak merupakan
tindakan dua pihak dan karenanya tidak
memerlukan kabul.
3. Tujuan akad adalah untuk melahirkan
suatu akibat hukum. Lebih tegas lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang
dituju dan yang hendak diwujudkan oleh
para pihak melalui pembuatan akad. Bila
maksud para pihak dalam akad jual beli
adalah untuk melakukan pemindahan milik atas suatu benda dari penjual kepada
pembeli dengan imbalan yang diberikan
oleh pembeli, maka terjadinya perpindahan milik tersebut merupakan akibat hukum akad jual beli.
Akibat hukum akad dalam hukum Islam dibedakan menjadi dua macam yaitu
akibat hukum pokok akad dan akibat hukum
tambahan akad. Bila tujuan dalam akad jual
beli, misalnya adalah melakukan pemindahan
milik atas suatu barang dari penjual kepada
pembeli dengan imbalan dari pembeli, maka
akibat hukum pokok akad jual beli adalah terjadinya perpindahan milik atas barang yang
dimaksud. Realisasi dari akibat hukum pokok
akad jual beli, penjual berkewajiban menyerahkan barang yang merupakan hak pembeli,
pembeli berkewajiban menyerahkan harga
yang merupakan hak penjual adalah sebagai
akibat hukum tambahan akad. Akibat hukum
tambahan akad dibedakan menjadi dua, yaitu
akibat hukum tambahan akad yang ditentukan
oleh pembuat syara’ dan akibat hukum tambahan akad yang ditentukan oleh para pihak
sendiri. Contoh yang dikemukakan di atas,
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
Al-Risalah
Budaya Hukum Masyarakat Aceh dalam Perjanjian Jual-Beli
adalah akibat hukum tambahan akad yang Bibliography
ditentukan oleh pembuat syara’. Sedangkan
Journals
akibat hukum tambahan akad yang ditentukan
Erman Suparman, Persepsi Tentang Keadilan
para pihak sendiri adalah klausul-klausul yang
dan Budaya Hukum dalam Penyelesamereka buat sesuai dengan kepentingannya,
ian Sengketa, Jurnal Penegakan Hukum
misalnya, penyerahan barang di rumah pemFakultas Hukum Universitas Padjadjabeli dan diantar oleh dan atas biaya penjual.
ran Bandung, Vol. 4 No.1 Januari 2007,
Akreditasi Dikti No. 55/Dikti/Kep/2005,
Penutup
hlm. 21-23.
Budaya hukum adat Aceh menjadi bagian kes- M. J. Saptenno, Pentingnya Pemahaman Tentang Kearifan Lokal di Maluku Terkait
etiaan dalam konteks harkat dan martabat idenDengan Budaya Hukum Dalam Rangka
titas keacehan, menghadapi tantangan sebaran
Penegakan Hukum, Jurnal Konstitusi
budaya global. Budaya pada masyarakat Aceh
Fakultas Hukum Universitas Pattimura,
mengalami perubahan yang terus menerus.
Vol. 2 No. 1 Juni 2010 Kerjasama Pusat
Kondisi suatu masyarakat dalam perkembanKajian Konstitusi dan Mahkamah Kongannya tidak pernah statis dan diam di satu
stitusi.
kondisi tenang yang sebenarnya. Bahkan di
keadaan yang paling tenangpun, ada semacam Taqwaddin, Peran Hakim Agung Sebagai
Pembaharu Hukum untuk Mewujudkan
pergolakan di dalam diri masyarakat Aceh.
Pengadilan yang Bersih, Jurnal Hukum
Selain hukum dan undang-undang negara, di
dan Keadilan MEDIASI, Fakultas HuAceh juga berlaku hukum Islam. Tidak hanya
kum Universitas Muhammadiyah Aceh,
itu, pada saat yang sama, di beberapa daerah
Vol 1 No. 2 Mei 2011, hlm. 69.
di Aceh hukum adat juga masih dipakai. Sejak sebelum masa kolonial Belanda, peradi- Widyastini, Nilai-Nilai Islam Dalam kebudayaan Indonesia (Kajian Filsafat Nilai),
lan adat sudah ada di Aceh sebagai salah satu
Dalam Jurnal Filsafat Fakultas Filsafat
buah kearifan lokalnya. Meskipun mengalami
Universitas Gadjah Mada, Agustus 2004,
fluktuasi pengaruh di dalam masyarakat, tetapi
Jilid 37, Nomor 2, hlm. 121.
peradilan adat di Aceh tidak pernah benar-benar hilang dan punah.
Provinsi Aceh sangat kental dengan bu- Thesis
daya dan nilai-nilai Islam dalam melaksana- Nur Susanti, Praktik Jual beli obyek tanah di
Bawah Tangan dan Akibat Hukumnya Di
kan segala aktivitas termasuk di dalamnya
Kecamatan Bae Kabupaten Kudus, Tesis
berhubungan dengan jual-beli obyek tanah.
Program Pasca Sarjana Program Studi
Dalam kaitan ini, tidaklah mengherankan jika
Magister Kenotariatan Universitas Dipoproses terjadinya hukum agama menjiwai dan
negoro Semarang Tahun 2008.
mendasari perilaku masyarakat atas adat kebiasaan hidup mereka sehingga terjadinya tatanan hidup yang mapan. Prinsip-prinsip hukum Books
adat dan hukum agama digabungkan menjadi Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Tinjauan dari Aspek Metodolosatu bagian yang penting demi tercapainya
gis, legalisasi dan Yurisprudensi, (Jakarakad dalam jual beli obyek tanah yang sah.
Al-Risalah
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
19
Sulaiman
ta: PT. Radja Grafindo Persada, 2006).
Ade Saptomo, Budaya Hukum Dalam
Masyarakat Plural Dan Problem Implementasinya, dalam Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia, Cetakan
Pertama (Jakarta: Sekretariat Jenderal
Komisi Yudisial Republik Indonesia,
2012).
Ahmad Abu al-Fathj, Kitab al-Mumalat fi
asy-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qawanin al-Mishriyyah, dalam Syamsul Anwar, 2007, Hukum Perjanjian Syari’ah
Studi teeentang Teori Akad Dalam Fiqh
Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada).
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990).
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia
Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Peraturan Agraria, Isi dan Pelaksanaanny, (Jakarta: Jembatan, 1999).
Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia,
Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994).
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008).
Ghufran A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002).
Ghufron A. Mas’adi, Op. Cit., hlm. 76. Lihat
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum
Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: Persputakaan UII, 1988).
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).
I Gede AB Wiranata, Hukum Adat Indonesia,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005).
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1978).
Junus M. Melalatoa, ed., Sistem Budaya In20
donesia, (Jakarta: Kerjasama FISIP Universitas Indonesia dengan PT. Pamator,
1997).
Koentjaraningrat, Pokok-Pokok Antropolog
Sosial, (Jakarta: Penerbitan Universitas:
1980).
Muhammad Khalid Mas‟ud, Hukum Islam
dan Perubahan Sosial, alih bahasa Yudian W. Asmin,Cet. 1, (Surabaya: AlIkhlas,1995).
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum
dalam Rangka Pembangunan Hukum
Nasional, (Bandung: Binacipta, 1986).
Soerjanto Poespowardoyo, Pengertian Lokal
Genius dan Relevansinya Dalam Modernisasi, “Kepribadian Budaya Bangsa
(local genius)”, (Jakarta: Pustaka Jaya:
1986).
Satyawan Sunito dan Heru Purwandari, Mekanisme Kontrol Tata Kelola Sumber-Sumber Agraria: Membangun Kelembagaan
Kolektif Lokal Yang Demokratis, (Bogor:
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan-LPPM IPB Bekerjasama dengan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia-UNDP, 2006).
Sahat HMT Sinaga, Jual beli obyek tanah dan
Pencatatan Peralihan Hak, (Bekasi:
Pustaka Sutra, 2007).
Sulistyowati Irianto, Sejarah Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologisnya,
dalam TIM HUMA, Pluralism Hukum
Hukum Sebuah Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: HUMA, 2005).
Sulistyowati Irianto, Pluralisme Hukum dan
Masyarakat Saat Krisis, dalam E.K.M.
Masinambow, Hukum dan Kemajemukan
Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003).
T. M. Juned, Menuju Revitalisasi Hukum dan
Adat Aceh, (Jakarta: Yayasan Rumpun
Bambu dan CSSP, 2003).
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
Al-Risalah
Hermeneutika Fiqih Otentik Gus Dur di Indonesia
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tatangan MoAceh: Integritas Nilai-Nilai Agama Dan
dernitas Studi Atas Pemikiran Hukum FaBudaya, Dalam http://www.google.co.id,
zlur Rahman, (Bandung: Mizan,1990).
diakses, Tgl. 21 September 2012
T.M. Hasby Ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Muliadi Kurdi, Paradigma Fikih Aceh, http://
Islam, Cet. 3, (Jakarta: Bulan Bintang,
kayeeunoe.blogspot.com, diakses Tgl. 29
1988).
Mei 2010.
Van Dijk, diterjemahkan oleh A.Soehadi, Pen- Pluralisme Hukum Harus Diakui, Dapat diligantar Hukum Adat Indonesia, (Bandhat dalam http://www. hukumonline. com
ung: Sumur, 1979).
pluralisme-hukum-harus-diakui, diakses
Wirjono Projodikoro, Hukum Antar Golongan
Tgl. 31 0ktober 2011
di Indonesia, (Bandung: Sumur, 2000).
Soetandyo Wignjosoebroto, Tentang Kajian
Yusuf Musa ,Tarikh al-Fiqh al-Islami, Dar“Hukum Dalam Masyarakat” (Sebuah
Al-Kitab Al-Arabi, Mesir 1958.
Pengenalan), dalam wordpress. Soetandyo.com, diakses Tgl. 1 Agustus 2012
Websites
Soufyan M. Saleh, Memahami Budaya
Badruzzaman Ismail (Ketua Majelis Adat
Masyarakat Aceh Dalam Pencarian KeaAceh (MAA) Provinsi Aceh, Wujud Budilan, Dalam http://revoluthion.worddaya Aceh yang Ideal (dilihat Dari Aspek
press.com, Diakses Tgl. 15 Januari 2012.
Pendekatan Adat), Dalam http://wa-iki.
Materi ini juga disampaikan dalam Acara
blogspot.com wujud-budaya-aceh-yangSeminar Putroe Kandee, Aceh 8-10 Mei
ideal-dilihat.html, diakses Tgl 20 Okto2009.
ber 2011.
Erman Rajagukguk Ilmu Hukum Indonesia: Newspapers
Pluralisme, Makalah Disampaikan pada Esmi Warassih, Pemberdayaan Masyarakat
Diskusi Panel dalam rangka Dies NataDalam Mewujudkan Tujuan Hukum
lis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung
(Proses Penegakan Hukum Dan Persoke-37, Tgl. 2 April 2005, lihat juga daalan Keadilan), Pidato Pengukuhan Guru
lam http://ermanhukum.com/Makalah
Besar Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas
Ilmu Hukum Indonesia-Pluralisme.pdf,
Hukum Universitas Diponegoro, Semadiakses Rgl. 3 Oktober 2011
rang, Tgl. 14 April 2001.
Habib Adjie, Kontrak Dalam Budaya Hukum, I Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran
Dalam http://habibadjie.dosen.narotama.
Konsep Pluralisme Hukum, Makalah
ac.id Kontrak-dalam-Budaya-Hukum.
yang dipresentasikan dalam Konferensi
pdf, Diakses Tgl. 13 Januari 2011.
Internasional tentang Penguasaan Tanah
“Hukum Dalam Masyarakat” (Sebuah Pendan Kekayaan Alam di Indonesia yang
genalan), dalam wordpress. Soetandyo.
Sedang Berubah: “Mempertanyakan
com, diakses Tgl. 1 Agustus 2012
Kembali Berbagai Jawaban”, Tgl. 11 –
Memperkuat Akar Kebudayaan Aceh, dalam
13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.
http://www. gemabaiturrahman. com IGN. Sungangga, Peranan Hukum Adat Damemperkuat-akar-kebudayaan-aceh.
lam Pembangunan Hukum Nasional Inhtml, diakses Tgl. 12 Januari 2011
donesia, dalam Pidato Pengukuhan JaMarzuki, Tradisi Peusijuek Dalam Masyarakat
batan Guru Besar Pada Fakultas Hukum
Al-Risalah
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
21
Sulaiman
Universitas Diponegoro dalam Ilmu HuPidana Korupsi, dilaksanakan oleh Pusat
kum Perdata (Adat), Semarang, Tgl. 27
Penyuluhan Hukum BPHN, Banda Aceh,
November 1999, hlm. 17-18.
11 Mei 2010.
Taqwaddin, Budaya Hukum Penentu Keefek- Teuku Muttaqin Mansur, Hukum Adat di Persimpangan, dalam Harian Serambi Indotifan Hukum, makalah disampaikan pada
nesia edisi Minggu, 5 Juni 2011.
acara Sosialisasi Undang-Undang Tindak
22
Vol. 17, No. 1, Juni 2017
Al-Risalah