BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam menjalani kehidupan selalu berinteraksi dengan manusia lain atau dengan kata lain melakukan interaksi sosial. Dalam melakukan interaksi sosial manusia harus memiliki akhlak yang baik agar dalam proses interaksi tersebut tidak mengalami hambatan atau masalah dengan manusia lain. Proses pembentuk akhlak sangat berperan dengan masalah keimanan dan ketakwaan seseorang. Keimanan dan Ketakwaan seseorang berbanding lurus dengan akhlak seseorang atau dengan kata lain semakin baik keimanan dan ketakwaan seseorang maka semakin baik pula akhlak seseorang hal ini karena keimanan dan ketakwaan adalah modal utama untuk membentuk pribadi seseorang. Keimanan dan ketakwaan sebenarnya potensi yang ada pada manusia sejak ia lahir dan melekat pada dirinya hanya saja sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan seseorang yang telah terjamah oleh lingkungan sekitarnya maka potensi tersebut akan semakin muncul atau sebaliknya potensi itu akan hilang secara perlahan.
Saat ini keimanan dan ketakwaan telah dianggap sebagai hal yang biasa, oleh masyarakat umum, bahkan ada yang tidak mengetahui sama sekali arti yang sebenarnya dari keimanan dan ketakwaan itu, hal ini dikarenakan manusia selalu menganggap remeh tentang hal itu dan mengartikan keimanan itu hanya sebagai arti bahasa, tidak mencari makna yang sebenarnya dari arti bahasa itu dan membiarkan hal tersebut berjalan begitu saja. Oleh karena itu dari persoalan dan masalah-masalah yang terpapar diataslah yang melatar belakangi kelompok kami untuk membahas dan mendiskusikan tentang keimanan dan ketakwaan yang kami bukukan menjadi sebuah makalah kelompok.
B. Sistematika Penulisan
Guna memahami lebih jelas makalah ini, dilakukan dengan cara mengelompokkan materi menjadi beberapa sub bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut
BAB I Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang informasi umum yaitu latar belakang, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II Iman dan Taqwa
Bab ini berisikan teori yang diambil dari beberapa kutipan internet atau website, yang berupa pengertian dan definisi. Bab ini juga menjelaskan tentang Iman dan Taqwa, Ruang lingkup Iman, apa saja yang bisa merusak Iman, dan cara memperbaikinya.
BAB III Penutup
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan isi yang telah diuraikan pada bab sebelumnya.
C. Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tujuan penulisan makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umumdan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satutugas mata kuliah Pendidikan Agama.
Adapun tujuan khusus dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian Iman
2. Untuk mengetahui pengertian Taqwa dan Indikatornya
3. Untuk mengetahui Proses lahirnya Iman, Ruang lingkup iman, apa yang merusak iman,dan cara memperbaiki iman.
4. Untuk mengetahui pentingnya Iman bagi seorang Muslim
5. Untuk mengetahui ciri-ciri orang yang beriman
6. Dan untuk mengetahui apakah iman dan taqwa menimbulkan rasa tawakal.
BAB II
IMAN DAN TAQWA
A. Pengertian Iman
Iman menurut bahasa adalah percaya atau yakin, keimanan berarti kepercayaan atau keyakinan. Kata iman juga berasal dari kata kerja amina-yu’manu-amanan yang berarti percaya. Oleh karena itu iman berarti percaya menunjuk sikap batin yang terletak dalam hati. “orang beriman adalah orang yang amat sangat cinta kepada Allah. Oleh karena itu beriman kepada Allah berarti amat sangat terhadap ajaran Allah yaitu Al-Quran” Al-Baqarah 165. Iman atau kepercayaan merupakan dasar utama seseorang dalam memeluk sesuatu agama karena dengan keyakinan dapat membuat orang untuk melakukan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh keyakinannya tersebut atau dengan kata lain iman dapat membentuk orang jadi bertaqwa.
Pada setiap agama, keimanan merupakan unsur pokok yang harus dimiliki oleh setiap penganutnya. Jika kita ibaratkan dengan sebuah bangunan, keimanan adalah pondasi yang menopang segala sesuatu yang berada diatasnya, yang kokoh tidaknya bangunan itu sangat tergantung pada kuat tidaknya pondasi tersebut. Meskipun demikian, keimanan saja tidak cukup. Ia harus diwujudkan dengan amal perbuatan yang baik, yang sesuai dengan ajaran agama yang kita anut. Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.
Iman atau kepercayaan atas keesaan Allah itu disebut tauhid. Tauhid merupakan pokok dan akar dari keimanan yang menjadi penyangga segala bangunan Islam. Al-Qur'an mengistilahkan kata laailaaha illallah yang diucapkan dalam pernyataan syahadat itu sebagai “kalimat thayyibah” (kalimat yang baik), seperti diungkapkan dalam surat Ibrahim : “Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaann kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohonm itu memberikan buahnya setiap muslim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim : 24-25)3 Iman yang mantap dan sempurna itu didapatkan sebagai produk dari pada fitrah, wahyu ilahi, rasa, rasio dan amal. Kelima faktor itu harus diaktifkan secara optimal dan simultan seberapa sanggup, sebab masingmasingnya itu saling berhubungan, saling memperkuat dan saling memerlukan dalam menghasilkan iman.
Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan. Apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan. Proses Terbentuknya Iman merupakan benih iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pembinaan yang berkesinambungan. Pengaruh pedidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung sangat berpengaruh terhadap iman seseorang.
B. Ruang Lingkup Iman
Yang dimaksud Ruang Lingkup adalah batasan-batasan yang disentuh oleh arti perkataan. Seperti contoh sebidang kebun, ruang lingkup kebun berarti batasan-batasan yang disentuh oleh kebun itu sendiri, sebelah barat-timur-utara-selatan-nya dengan apa. Berdasarkan hadits tersebut maka Ruang Lingkup Iman meliputi: 'aqdun bil qlbi = tanggapan hati, ikraarun bil lisani = pernyataan lisan,'amalun bil arkan = pembuktian dalam perbuatan. Dengan demikian maka ruang lingkup iman meliputi tiga aspek aktivitas hidup manusia, yaitu aspek penanggapan, aspek pernyataan dan aspek pembuktian. Dari aspek penanggapan dan pernyataan akan melahirkan atau membentuk satu Pandangan Hidup dan dari ketiga aspek akan membentuk Sikap Hidup. Jadi berdasar pada Hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Iman sama dengan Pandangan dan Sikap dalam perjalanan hidup atau Pandangan dan Sikap Hidup. Perkataan Iman tidak akan menjadi sempurna kecuali jika kepadanya ditambahkan atau dihubungkan dengan perkataan yang lain. Dengan kata lain perkataan Iman belum bernilai kecuali bila digandeng dengan sesuatu yang lain. Jadi kita tidak tahu apa yang ditanggapi kemudian apa yang diikrarkan dan apa yang akan dibuktikan dalam amal perbuatan. Dan secara lebih jelasnya ruang lingkup iman adalah Membenarkan dengan hati tanpa ada keraguan di dalamnya, pengakuan yang diikrarkan dengan lisan, dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.
C. Yang Merusak Iman dan Cara Memperbaikinya
Iman seseorang berkaitan dengan bagaimana kesehariannya ia beraktivitas. Dikatakan bahwa iman adalah percaya, memang benar dan tak ada yang salah. Padahal tak semudah itu dalam penerapannya sehari-hari. Jika kita melihat pada perjalanan hidup para sahabat ra, maka akan kita lihat bagaimana mereka senantiasa menjaga terhadap hal-hal yang sunnah, bahkan berhati-hati terhadap hal yang mubah, karena cinta mereka yang begitu tinggi kepada Allah SWT dan karena takut terjerumus pada hal-hal yang dimurkai Allah. Kita membaca seorang sahabat yang mulia Abu Salamah ra, yang memiliki kebiasaan setiap pulang dari majlis Rasulullah SAW di malam hari, senantiasa membangunkan istrinya untuk bersegera menceritakan oleh-oleh berupa cahaya wahyu al-Qur’an yang baru didapatnya. Kita juga melihat bagaimana shahabat Umar ra menginfakkan kebunnya yang disayanginya di Madinah hanya karena tertinggal takbiratul-ihram dalam shalat berjama’ah. Di sini, akan dibahas mengenai sepuluh hal yang dapat menurunkan keimanan yang umumnya sering dan mudah terjadi, yaitu:
1. Terkotori Oleh Maksiat. Kemaksiatan berapapun kecilnya adalah berbahaya, bukankah Nabi SAW bersabda: “Apabila seorang hamba berbuat dosa, maka diberikan noda hitam dalam hatinya.” Maka janganlah melihat kecilnya sebuah maksiat, tapi lihat kepada siapa maksiat itu diarahkan. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa makna hajrul-qur’an (meninggalkan al-Qur’an) dalam surat al-Furqan bukan hanya berarti tidak membaca, melainkan juga tidak mau menghafal dan mengamalkan al-Qur’an. Maka saat ditimpa musibah berat, jangan sedih, mungkin sedemikian banyaklah dosa kita. Tapi kita tak perlu putus asa, karena jika bertaubat insya Allah akan dihapus dosa tersebut oleh Allah SWT.
2. Berlebih-lebihan dalam hal yang mubah.
Memang mubah adalah boleh, tapi jika berlebihan maka dapat merusak amal, minimal menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga. Dalam Kitab at-Tauhid, Imam Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa pintu masuk syetan yang terakhir adalah pintu ini, setelah pintu murtad, pintu syirik, pintu bid’ah, pintu kufur, pintu maksiat dan pintu makruh.
3. Tidak sadar akan nilai nikmat Allah. Dalam Al Qur’an surat Ibrahim ayat 34 [1] disebutkan tentang demikian banyaknya limpahan nikmat-Nya pada diri kita. Juga Al Quran surat al-Kautsar [2]. Maka nikmat RABB-mu yang mana lagi yang akan kamu dustakan (dengan tidak bersyukur atau beribadah)? Sampai-sampai kita masuk jannah-pun karena nikmat-Nya dan bukan karena amal kita (HR Bukhari Muslim).
4. Lalai terhadap kebutuhan kita terhadap amal-amal tersebut.
Di antara manfaat istighfar adalah menambah kekuatan fisik, rizki, dsb [3].
Jika ingin diingat-Nya maka kita dulu harus ingat pada-Nya (Fadzkuruni adzkurkum…).
Fenomena yang ada di antaranya ialah banyak menyia-nyiakan waktu, menunda-nunda atau bahkan sampai tak tahu apa yang akan dikerjakan lagi.
5. Lemahnya pemahaman yang benar tentang hakikat pahala yang berlipat ganda. Di antara amal yang paling dicintai Allah adalah yang kontinyu walau sedikit. Nabi SAW, jika ada waktu istirahat maka istirahat beliau SAW adalah melakukan shalat.
6. Melupakan kematian dan apa yang menanti setelahnya. Allah mengingatkan kita untuk senantiasa mempersiapkan bekal untuk setelah mati. Kata Ali ra: “Shalatlah kalian seperti shalatnya seorang yang akan meninggalkan dunia.”Pesan Abubakar pada Aisyah ra: “… dan jika aku sudah meninggal, maka kafanilah aku dengan kain yang paling murah, karena ia hanya akan menjadi wadah nanah dan darah”
7. Mengira amalnya sudah cukup. Janganlah kita merasa bahwa amal yang kita lakukan adalah belum cukup. Bagaimana bisa kita merasa cukup bekal untuk perjalan yang amat jauh dan sangat lama di akhirat. Sementara para sahabat yang hidup semasa Rasulullah saja merasa dirinya adalah yang paling kurang amalnya.
8. Terlalu banyak tugas & pekerjaan. Maka harus tawazun, ingat kisah Salman & Abu Dzar ra.
Nabi SAW membagi waktunya dalam 3 bagian:
1/3 untuk Rabb-nya, 1/3 untuk keluarganya & 1/3 untuk umatnya.
9. Ditunda-tunda & dinanti-nanti. Sabda nabi SAW: “Persiapkanlah yang 5 sebelum datang yang 5: Masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu dan masa hidupmu sebelum masa matimu.”Orang yang kuat menurut Umar ra adalah orang bersegera dalam setiap amal.
10. Menyaksikan sebagian panutan dalam kondisi pengabaian. Imam Ghazali menyebutkan
bahwa salah satu dosa kecil yang bisa menjadi dosa besar adalah dosa kecil yang dilakukan oleh ulama, karena dapat mengakibatkan ditiru orang lain. Oleh karenanya maka Nabi SAW demikian menekankan disiplin pada keluarganya (Fathimah ra, Ali ra, Hasan & Husein ra) sebelum orang lain. Mudah-mudahan Allah senantiasa membimbing kehidupan kita agar tak mudah terjerumus dalam gemerlapnya dunia. Sekilas memang berat menjalaninya namun Allah akan membantu kita sebagai umatnya yang beriman dan bertaqwa jangan khawatir.
D. Dampak dan Krisis Iman Bagi Individu dan Masyarakat
Banyak anggota masyarakat yang ‘oleng’ biduk kehidupannya, ketika menghadapi krisis, yang terus mendera mereka. Kehilangan kesadarannya yang inherent, bahwa kehidupan manusia itu, sifatnya terbatas dan sementara. Dan, sesungguhnya tak ada yang abadi kehidupan di dunia ini. Kesadaran ini, yang kadang-kadang terkikis, ketika seseorang dihadapkan oleh fakta kehidupan yang sama sekali, tak pernah diprediksikan sebelumnya. Bagaimana mungkin segalanya bisa terjadi? Misalnya, seorang yang pernah mendapatkan predikat orang ‘terkaya’ di Indonesia, tiba-tiba dirinya dihadapkan pada kenyataan yang pahit, asset kekayaannya yang bernilai ratusan trilyun, tiba-tiba punah, habis di bursa saham, dan sisanya tak berharga lagi.
Di dalam kondisi yang sangat pahit, dan asset kekayaannya yang habis itu, masih tersisa utang-utang yang tak ternilai jumlahnya. Belum lagi tuntutan masyarakat yang pernah dirugikan, akibat ekses dari usahanya, yang salah urus, mengakibatkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Inilah perubahan yang tidak pernah diprediksi. Termasuk, kondisi ekonomi global yang mengalami krisis, yang hebat, yang mempengaruhi terhadap bisnis yang dijalaninya. Inilah sebuah episode kehidupan. Dan, semuanya tak ada yang langgeng di dalam kehidupan ini.
Ada orang yang sangat dihormati, karena menjadi tokoh ‘bisnis’ yang sangat terkemuka, memperoleh penghargaan berbagai kalangan. Pemikirannya, gagasannya, langkah-langkah bisnisnya diikuti oleh banyak kalayak, memiliki daya tarik yang amat luar biasa. Ketika krisis datang, dan kemudian usahanya yang menjadi tulang punggung ikut bangkrut, bahkan dia bukan hanya kehilangan penghormatan, penghargaan, daya tarik, atau asset kekayaan, yang telah dia bangun tapi dia menghadapi kehidupan yang lebih menyedihkan ketika tidak mendapatkan kepercayaan lagi, diantaranya orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Mungkin anak-anaknya, istrinya,saudaranya, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, memupus harapan-harapan yang mungkin pernah dia gagas, di mana ia ingin menjadi tokoh yang lebih penting lagi.
Kondisi seperti itu, bisa terjadi dan dialami oleh siapa saja. Baik secara kolektif ataupun secara individual. Eksesnya, secara individual biasanya tidak hanya berdampak terhadap individu yang bersangkutan. Tentu, tergantung persepsi dan kemampuan seseorang menerima dan memahami peristiwa-peristiwa yang ada. Ada orang yang secara individu memiliki kemampuan cukup baik, khususnya dalam menghadapi sebuah peristwa, dan mempersepsinya dengan proporsional, atau seimbang, sehingga tidak menimbulkan dampak negative dari setiap peristiwa yang mereka alami. Namun, tidak sedikit orang yang gagal mempersepsi dan memahami setiap peristiwa dengan baik.
Kemudian, mempunyai dampak yang serius bagi kehidupannya secara individual, ataupun lingkungannya. Setiap peristwa itu akan menguji individu-individu, yang ada, apakah ia akan tetap eksis sebagai manusia, khususnya dalam menghadapi peristiwa yang ada, atau sebaliknya ia kehilangan eksistensi, dan menjadi tenggelam bersama waktu. Dimensi krisis yang silih berganti terus berlangsung dalam kehidupan manusia. Tak pernah henti. Perisitwa-peristiwa yang besar, selalu melahirkan jenis manusia, yang memiliki karakter tertentu, yang lebih kuat, dan berani memandang dan menghadapi kehidupannya lebih optimis. Tahun, 1930, terjadi depressi ekonomi yang lebih hebat, yang dialami negara-negara Barat, jutaan orang mengantri makanan, dan mereka tidak memiliki penghasilan. Dalam waktu singkat kehidupan berubah secara ekstrim, yang tidak terbayangkan sebelumnya. Sama halnya, seperti yang dialami oleh bangsa Amerika, saat ini. Mereka kehilangan supremasi sebagai kekuatan global, sebagai adidaya yang tersisa hanyalah harapan, yang dikumandangkan Obama. Mungkin satu-satunya yang masih akan memberikan orang tetap bisa eksis, hanyalah adanya sikap optimism dan adanya harapan.
Harapan, yang dimaknai harapan masa depan, yang tak mungkin, dapat dimengerti dan dipahami, bagi orang yang menganut paham orientasi pada nilai kebendaan atau materialisme. Harapan, kehidupan di dunia ini, menjadi relative, yang bermakna tidak selamanya. Tidak ada yang abadi di dunia. Dimensi krisis ini, harus disikapi dengan penuh optimisme, karena sesungguhnya kehidupan ini, selalu dipergilirkan tidak ada yang abadi. Tak ada yang kekal, selamanya yang akan dialami seseorang. Tidak akan selamanya orang akan menderita atau mengalami penderitaan secara permanent. Kalau seorang menghadapi penderitaan, dan sabar, dan kemudian perilakunya tidak menjadi anomali, dan pasti dia akan tetap eksis dengan segala persoalan dan problem yang dihadapinya, maka ia akan menjadi berhasil. Setidaknya, dalam menghadapi situasi krisis.
Allah Azza Wa Jalla berfirman : “Katakanlah (Muhammad).Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun yang kehendaki, dan Engkau hinakan siapapun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engakaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuautu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan, Engkau berikan rezeki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa perhitungan”. (al-Imran :26-27). Sebagai orang mukmin mensikapi kehidupan ini,selayaknya kita hanya berharap pertolongan dari Allah Azza Wa Jalla, karena hanya kepada Dialah, kita berhak berharap,dan tidak kepada siapapun. Inilah yang menjadi jalan menuju optimisme dalam menghadapi kehidupan, di tengah-tengah badai krisis, yang melanda kehidupan kita. Wallahu ‘alam
Di zaman modern pengaruh agama terhadap tata hidup masyarakat sangat menurun bahkan kecil sekali. Pemerintahan dewasa ini, sekularis dan dengan demikian keterlibatan agama juga sangat kecil dalam proses pembangunan bangsa dan masyarakat. Banyak pemeluk agama lebih cenderung mengikuti hal-hal ritual dan sangat kurang dalam penghayatan iman. Mereka jatuh ke dalam Atheisme praktis yakni mengakui adanya Tuhan dengan bibir, tetapi dalam hidup sehari-hari tidak memperdulikan Tuhan dan munafik. Dari sini muncul krisis iman yang antara lain mengakibatkan krisis panggilan menjadi Suster, Bruder, Frater, dan Imam, serta rasul-rasul awam di Paroki-paroki. Kehidupan menggereja merosot. Salah satu konsekuensi lain dari krisis iman ialah muculnya Infantilisme, yakni orang beriman seperti kanak-kanak. Hal semacam ini menjalar di seluruh dunia dan juga di negara kita. Akhirnya masing-masing orang mempunyai pengetahuan yang kabur tentang agamanya.
E. Pentingnya Iman Bagi Seorang Muslim
Tidak tersembunyi lagi bagi seorang muslim tentang pentingnya iman dan kedudukannya yang tinggi, serta nilainya yang demikian berharga di dunia maupun di akhirat. Bahkan seluruh kebaikan di dunia dan di akhirat tergantung pengaplikasian iman yang benar. Iman merupakan perkara yang selalu dicari. Meraihnya adalah keinginan yang besar dan tujuan terbaik. Dengannya seorang hamba mendapatkan kehidupan yang baik dan membebaskan diri dari segala macam marabahaya dan kejelekan. Dengannya pula dia akan mendapatkan pahala di akhirat dan kenikmatan yang abadi lagi berkesinambungan, yang tidak akan berpindah maupun hilang.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kelak pada hari kiamat orang kafir akan didatangkan lalu ditanyakan kepadanya, ‘Bagaimana menurutmu seandainya kamu mempunyai emas sepenuh isi bumi apakah kamu mau menebus (siksaan) dengannya?’. Dia menjawab, ‘Iya tentu saja.’ Maka dikatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya dahulu -di dunia- kamu diminta sesuatu yang lebih mudah daripada itu [akan tetapi kamu enggan dan tetap berbuat syirik].’.” (HR. Bukhari [6538] dan Muslim [2805])
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu, beliau bercerita bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati pasar melalui sebagian jalan dari arah pemukiman, sementara orang-orang (para sahabat) menyertai beliau. Lalu beliau melewati bangkai seekor kambing yang telinganya cacat. Beliau pun mengambil kambing itu seraya memegang telinga nya. Kemudian beliau berkata, “Siapakah di antara kalian yang mau membelinya dengan harga satu dirham?”. Mereka menjawab, “Kami sama sekali tidak berminat untuk memilikinya. Apa yang bisa kami perbuat dengannya?”. Beliau kembali bertanya, “Atau mungkin kalian suka kalau ini gratis untuk kalian?”. Mereka menjawab, “Demi Allah, seandainya hidup pun maka binatang ini sudah cacat, karena telinganya kecil. Apalagi kambing itu sudah mati?” Beliau pun bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya dunia lebih hina di sisi Allah daripada bangkai ini di mata kalian.” (HR. Muslim [2957]). Kedua hadits di atas menerangkan kepada kita betapa tidak ada nilainya kekayaan dunia semata jika tidak disertai dengan keimanan. Oleh sebab itu sebanyak apa pun harta yang dimiliki oleh seseorang jika tidak dilandasi dengan keimanan kepada Allah dan rasul-Nya, maka di akherat harta itu tidak bermanfaat bagi pemiliknya. Sebagaimana Allah ta’ala tegaskan hal ini dalam ayat (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- tidak bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89).
Hati yang selamat itu adalah hati yang beriman dengan sebenarnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang kafir itu seandainya mereka memiliki segala isi bumi ini seluruhnya dan bahkan ditambah yang semisalnya demi menebus siksaan pada hari kiamat maka tidak akan diterima, dan mereka layak untuk menerima siksaan yang sangat pedih.” (QS. al-Ma’idah: 36)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan meninggal dalam keadaan kafir maka tidak akan diterima dari salah seorang mereka [tebusan atas siksa yang mereka terima] meskipun berupa emas sepenuh isi bumi kalaulah mereka mau menebus dengannya. Mereka itu adalah orang-orang yang layak menerima siksaan yang pedih dan tidak ada bagi mereka sedikit pun penolong.” (QS. Ali Imran: 91). Maka keimanan yang benar adalah sumber kebahagiaan dan keselamatan meskipun ekonomi pas-pasan atau bahkan berada di bawah garis kemiskinan. Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku pernah melihat surga, ternyata di dalamnya dihuni kebanyakan oleh orang-orang miskin. Dan aku pun melihat neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita.” (HR. Muslim [2737])
Kesulitan dan kesedihan dunia seperti apa pun yang dirasakan oleh orang-orang miskin yang menjaga keimanan mereka akan terlupakan hanya dengan satu celupan kenikmatan surga. Sebaliknya, selezat apa pun kenikmatan duniawi yang dirasakan oleh orang kafir di dunia, maka akan terlupakan dengan satu celupan siksa di neraka, na’udzu billahi min dzalik… Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kelak pada hari kiamat akan didatangkan penduduk neraka yang pernah merasakan kenikmatan paling lezat selama di dunia lalu dia dicelupkan di neraka sekali celupan. Kemudian ditanyakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan? Apakah kamu pernah merasakan kenikmatan?’. Maka dia menjawab, ‘Sama sekali tidak pernah, wahai Tuhanku.’ Dan juga didatangkan penduduk surga yang hidupnya paling susah selama di dunia, lalu dicelupkan sekali celupan di dalam surga. Kemudian ditanyakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kesusahan? Apakah kamu pernah merasakan kesulitan?’. Maka dia menjawab, ‘Sama sekali tidak pernah, wahai Tuhanku. Aku belum pernah merasakan kesusahan dan belum pernah melihat kesulitan.’.” (HR. Muslim [2807])
Hal ini menunjukkan kepada kita betapa agungnya kesabaran dan betapa besar ganjarannya di sisi Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu akan disempurnakan balasan amalnya tanpa hitungan.” (QS. az-Zumar: 10). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfal: 46). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146)
Kemiskinan dan kesulitan perekonomian memang tidak menyenangkan, akan tetapi jika seorang hamba bersabar menghadapinya dan tetap menjaga nilai-nilai keimanan yang ada di dalam dirinya, niscaya kesabaran itu akan mengantarkannya menuju pintu surga. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga itu diliputi dengan hal-hal yang tidak menyenangkan dan neraka itu diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan (nafsu).” (HR. Muslim [2822])
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak dijumpai kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mengalami kesenangan, dia pun bersyukur. Maka hal itu adalah baik untuknya. Dan apabila dia mengalami kesusahan, dia pun bersabar. Maka hal itu pun baik untuknya.” (HR. Muslim [2999])
Apabila ternyata kekayaan materi semata sama sekali tidak menjanjikan kebahagiaan, bahkan terkadang kemiskinan jauh lebih menyelamatkan dan mengantarkan menuju kebahagiaan yang sejati, tentu saja seorang hamba tidak akan lagi memelihara sifat tamak dan rakus kepada dunia di dalam hatinya. Akan tetapi kenyataannya masih banyak juga orang yang lupa atau pura-pura lupa tentang hakekat kesenangan dunia yang fana ini. Sehingga mereka pun rela menjual agama demi mencicipi kesenangan dunia yang tak seberapa.
F. Ciri-ciri Orang Beriman
Jika disebut nama Allah, hatinya akan bergetar dan berusaha ilmu Allah tidak lepas dari syaraf memorinya.
1. Senantiasa tawakal, yaitu bekeja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah .
2. Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu melaksanakn perintah-Nya.
3. Menafkahkan rizki yang diterima dijalan Allah.
4. Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan .
5. Memelihara amanah dan menepati janji.
6. Berjihad di jalan Allah dan suka menolong.
7. Menafkahkan rezki yang diterimanya.
G. Pengertian Taqwa dan Indikatornya
Taqwa berasal dari kata waqa, yaqi , wiqayah, yang berarti takut, menjaga, memelihara dan melindungi. Sesuai dengan makna etimologis tersebut, maka taqwa dapat diartikan sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama Islam secara utuh dan konsisten ( istiqomah ). Karakteristik orang-orang yang bertaqwa, secara umum dapat dikelompokkan kedalam lima kategori atau indicator ketaqwaan.
1. Iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan para nabi. Dengan kata lain, instrument ketaqwaan yang pertama ini dapat dikatakan dengan memelihara fitrah iman.
2. Mengeluarkan harta yang dikasihnya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang terputus di perjalanan, orang-orang yang meminta-minta dana, orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban memerdekakan hamba sahaya. Indikator taqwa yang kedua ini, dapat disingkat dengan mencintai sesama umat manusia yang diwujudkan melalui kesanggupan mengorbankan harta.
3. Mendirikan solat dan menunaikan zakat, atau dengan kata lain, memelihara ibadah formal.
4. Menepati janji, yang dalam pengertian lain adalah memelihara kehormatan diri.
5. Sabar disaat kepayahan, kesusahan dan diwaktu perang, atau dengan kata lain memiliki semangat perjuangan.
Takwa telah menjadi kosa kata yang paling banyak disebut, tetapi mungkin saja paling sedikit dipahami dan dilaksanakan. Kata takwa telah menjadi hiasan retorika dan ungkapan manis bahan ceramah. Bahkan, ketika pengambilan sumpah jabatan diselipkan pula persyaratan untuk bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tentu saja hal ini sangat bagus untuk mengingatkan dan sekaligus mendorong sikap hidup yang bertakwa. Hanya saja, yang lebih penting adalah pemahaman kita tentang takwa itu sendiri secara komprehensif dan menyeluruh, sehingga dapat memberikan daya dorong yang kuat untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam setiap pelatihan yang pesertanya adalah eksekutif muslim, saya telah mengedarkan 200 kuesioner kepada para peserta dan meminta mereka untuk mendefinisikan arti takwa tersebut. Dari hasil kuesioner diperoleh beberapa definisi takwa. Di antaranya adalah, "menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, rasa takut dan sekaligus cinta yang mendalam kepada Allah serta mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya". Juga penafsiran lainnya yang menunjukkan bahwa takwa merujuk kepada suasana hati dalam berhadapan dengan nilai-nilai moral, etika, halal dan haram.
Demikian pula dengan terjemahan Al-Qur`an yang pada umumnya tidak menerjemahkan atau mencari padanan kata takwa, melainkan tetap memakai kata aslinya. Sehingga, kata takwa menjadi kosa kata yang memperkaya khasanah bahasa kita. Di dalam terjemahan Abdullah Yusuf Ali, yaitu The Meaning of The Holy Qur`an, kata takwa diterjemahkan dengan kata fear `takut`. Ketika menerjemahkan hudan LiI muttaqiin dalam surah al-Baqarah ayat 2, ia menerjemahkannya dengan kalimat `untuk mereka yang takut kepada Allah`. Memang benar, di dalam pengertian takwa tersebut ada unsur rasa takut, tetapi takwa tidak seluruhnya merefleksikan rasa takut. Atau, dapat saya katakan bahwa di dalam takwa itu bukan rasa takut yang dominan, melainkan rasa cinta yang lebih besar muatannya di dalam takwa tersebut.
Dari kumpulan definisi dan terjemahan Al-Qur`an itu, tampak bahwa tidak ada satu pun yang menafsirkan atau menerjemahkan takwa dengan pengertian tanggung jawab. Karena itu, dalam rangka memperkaya khasanah pengertian, upaya untuk memberikan salah satu makna dan terjemahan takwa dengan arti tanggung jawab. Sehingga, dengan mudah dapat memasuki pengertian kita bahwa yang disebut dengan al-muttaqiin dapat kita terjemahkan sebagai orang-orang yang bertanggung jawab berdasarkan cinta. Sebagaimana kita mengenal sebuah peribahasa, "Berani berbuat, berani bertanggung jawab." Ini sebuah ungkapan yang merujuk pada sikap profesionalisme. Bukan sebaliknya, berani menjawab tetapi takut untuk menanggung, "Lempar batu sembunyi tangan."
H. Iman dan Taqwa Melahirkan Sifat Tawakal
Iman berarti percaya sepenuh hati dan taqwa berarti takut, menjaga, memelihara dan melindungi, maka iman dan taqwa dapat diartikan sebagai sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam sifat tawakal dimana seseorang melakukan pengamalan ajaran agama Islam secara utuh dan konsisten, oleh karena itu Iman dan Taqwa dapat melahirkan sifat Tawakal dalam diri seorang muslim yang insyaallah dibukakan pintu surga yang selebar-lebarnya. Kita sebagai umat Islam, harus meningkatkan mutu keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT agar mendapat ketenteraman lahir dan batin.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
https://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg03872.html
http://islamagamaku.wordpress.com/2009/07/25/pengertian-iman/
http://amrhy.blogspot.com/2011/10/makalah-keimanan-dan-ketakwaan.html
Yunus, Mohamad. 1997. Pendidikan Agama Islam untuk SLTP. Jakarta. Erlangga
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/kaya-tanpa-iman.html#
DAFTAR NAMA KELOMPOK
LINTANG PAMELIA (Moderator) 1410714054
PUTRI INDAH SUTANTY () 1410714075
RATIH RESTU INDRIANI 1410714076
LAILATUL ISTIQOMAH 1410714071
AULIA TASYA 1410714052
14