Academia.eduAcademia.edu

Makalah Pengantar Ilmu Hukum

MAKALAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Eksistensi hukum adalah hukum ada sejak masyarakat pernyataannya dapat digeser menjadi sejak kapan adanya masyarakat. suatu unsur pokok dalam hukum bahwa sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat, keberadaan hukum adalah sebagai pengontrol sosial (social control) yang biasa didefinisikan suatu proses baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku. hukum juga berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social engineering . berkaitan dengan fungsi dan keberadaan hukum sebagai pengatur dan penggerak perubahan masyarakat. Suatu kelompok pada suatu tempat tertentu hancur, bercerai-berai atau punah bukanlah disebabkan hukum gagal dan difungsikan untuk melaksanakn tugasnya, melainkan tugas hukum harus dijalankan untuk menjadi sosial kontrol dan social engineering didalam kehidupan masyarakat. Sebab tugas dan fungsi hukum tidak merupakan tujuan itu sendiri, melainkan merupakan instrument yang tidak dapat digantikan untuk mencapai keseimbangan dalam aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Rumusan Masalah Pengertian dari Eksistensi hukum dan fungsi eksistensi hukum Menurut Aristoteles ? Perbedaan Pengertian eksistensi hukum menurut Roscoe Pound dan William James ? Apa Itu Eksistensi Hukum Adat dalam Bidang Pertanahan ? Kapan Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional ? Bagaimana Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi Menurut Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Perubahan Hak Sengketa Tanah ? Kapan Kepastian Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah ? Tujuan Menjelas asal – usul dari eksistensi hukum dan fungsi menurut Aristoteles Menjelaskan asal – usul dari eksistensi hukum dan fungsi menurut Roscoe dan William James Mengartikan Eksistensi Hukum ada dalam bidang pertanahan Mengetahui kapan pengakuan masyarakat adat dalam instrument hukum nasional BAB II Pembahasan Pengertian dari Eksistensi hukum dan fungsi eksistensi hukum Menurut Aristoteles Aristoteles (384-322 SM.) seorang ahli fikir Yunani kuno mengatakan dalam ajarannya, bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon, artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bergaul satu sama lain. Maka manusia itu disebut makhluk sosial.  maka dari itu setiap orang wajib bertindak dan mematuhi aturan sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur hubungan orang yang satu dengan yang lain, yakni peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dinamakan kaedah hukum. Aturan dalam masyarakat tak terlepas dari tujuan dari kehidupan bermasyarakat dan tujuan dari pembentukan hukum dalam masyarakat. Perbedaan Pengertian eksistensi hukum menurut Roscoe Pound dan William James Roscoe Pound seorang kriminolog asal belanda, mengemukakan bahwa agar hukum dapat dijadikan sebagai agen dalam perubahan sosial atau atau yang disebutnya dengan agent of social change, lebih jauh Williams James seorang psikolog berkebangsaan Amerika serikat,  menyatakan bahwa “ ditengah-tengah dunia yang sangat terbatas dengan kebutuhan (kepentingan) manusia yang selalu berkembang, maka duniapun tidak dapat memuaskan kebutuhan (kepentingan) manusia tersebut. Disini terlihat bahwa James mengisyaratkan “hak” individu yang selalu dituntut untuk dipenuhi demi terwujudnya suatu kepuasan, tidak akan pernah terwujud sepenuhnya, dan akan selalu ada pergeseran-pergeseran antara “hak” individu yang satu dengan “hak” individu yang lain. Untuk itulah dituntut peran peraturan hukum (legal order) untuk “mengarahkan” manusia menyadari “keterbatasan dunia” tersebut, sehingga mereka berusaha untuk membatasi  diri dengan mempertimbangkan sendiri tuntutan terhadap pemuasan dan keamanan kepentingannya. Tuntutan yang sama juga akan diajukan oleh individu lain sehingga mereka dapat hidup berdampingan secara damai atau berada dalam keadaan keseimbangan (balance). semoga kita bisa mengartikulasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara agar kerukunan, kesejahteraan tetap terjaga disamping itu kriminal dan prilaku yang dapat merusak kesejahteraan dan keamanan dapat teratasi secara persuasif. Apa Itu Eksistensi Hukum Adat dalam Bidang Pertanahan Pada tahun 2000 MPR melakukan amandemen II terhadap UUD 1945 dan pengaturan tentang keberadaan MHA (Masyarakat Hukum Adat) yang keberadaannya diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2) dalam bab tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 28 l ayat (3) dalam bab tentang Hak Asasi Manusia. Adapun bunyi lengkap kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 18 B ayat (2) : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Keratuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Pasal 28 l ayat (3): “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Berbeda dengan perumusan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama, dalam perumusan Pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen tersebut dicantumkan sejumlah persyaratan terhadap pengakuan dan penghormatan atas keberadaan kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut. Asal-usul dan kedudukan istimewa yang dimiliki daerah-daerah tersebut sebagaimana diakui oleh Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama tidak lagi diakui, sehingga harus dihapuskan dengan tidak dicantumkannya kembali dalam U.U.D 1945 amandemen II. Pengakuan terhadap hukum adat atau hak-hak adat khususnya dalam bidang pertanahan salh satunya diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan peraturan di bawahnya. Dalam Penjelasan Umum angka III Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan, bahwa : “Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum aripada rakyat banyak, oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka Hukum Adat dalampertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feodal”. Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan Negara diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa ini. Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum-agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi didalam Undang-Undang, dengan akibat bahwa didalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat didalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-usaha) masyarakat hukum yang bersangkuatan. sebelumnya akan didengar pendapatanya dan akan diberi “recognitie“, yang memang ia berhak menerimanya selaku pegang hak ulayat itu. Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan dari padal 3 tersebut diatas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan- akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat- masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan. Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum dalam pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya. Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian diatas, ini tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali. Dalam pasal 5 dinyatakan bahwa, Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini (UUPA) dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. selanjutnya dalam penjelasan pasal 16 dinyatakan bahwa, Pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan asas yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan atas Hukum Adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari Hukum Adat. Dalam pada itu hak guna usaha dan hak guna usaha bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini, perlu kiranya ditegaskan bahwa hak guna usaha bukan hak erepacht dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan hak guna bangunan bukan hak opstal. Lembaga erepacht dan opstal ditiadakan dengan dicabutnya ketentuan-ketentuan dalam buku ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Dalam pada itu, hak-hak adat yang bersifat bertentangan dengan Undang-undang ini tetapi berhubungan dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan, diberi sifat sementara dan akan diatur.Pasal 56 juga menjelaskan bahwa, Selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan Hukum Adat setempat ……… sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini (UUPA). Selanjutnya pengaturan mengenai pengakuan terhadap hak atas tanah menurut hukum adat diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini memberi batasan yang lebih jelas, yaitu: Definisi: 1)   Hak ulayat dan yang serupa itu dari mesyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenagan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakayt hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangjitan. 2)   Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. 3)   Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atauopun atas dasar keturunan. Pengakuan terhadap hak ulayat: Pelaksanann hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat stempat. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila: 1)   terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebgai warga bersama suatau persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, 2)   terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan 3)   terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.  Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada  dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan, apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Sayang sekali Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan ini tidak mengatur secara rinci tahapn yang harus dilakukan. Peraturan ini hanya mengamantkan pengaturan lebih lanjut oleh pemerinrah daerah masing-masing dimana masih terdapat masyarakat hukum adat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengakuan terhadap hak atas tanah berdasar hukum adat dibatasi oleh beberapa hal: hak atas tanah adat masih diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, dalam hal ini tidak bertentangan dengan undang-undang; eksistensi keberadaan masyarakat hukum adat menjadi dasar penentuan pengakuan terhadap hak tanah adat. Kenyataannya eksistensi hak-hak adat masyakat hukum adat sering dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan golongan atau pihak-pihak tertentu dengan cara mendompleng pemerintah. Alasan yang sering dipakai adalah pemanfaatan sumberdaya alam demi kepentingan nasional, yang dituangkan dalam kebijakan pemerintah. Penggerusan eksistensi hak-hak adat tercermin dalam kebijakan pertambangan, kehutanan, pemanfaatan pulau-pulau kecil, dan kebijakan pemerih pusat atau pemerintah daerah yang lebih memihak kepentingan pemodal. Penggerusan eksistensi hak-hak adat dengan alasan kepentingan nasional sering kali menimbulkan kerusakan lingkungan, hilangnya budaya, dan yang paling parah adalah hilangnya ciri dan kepribadian dalam berbangsa. Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional Asal – Muasal Hukum Nasioal dalam masyarakat adat Istilah masyarakat adat mulai mendunia, setelah pada tahun 1950-an ILO, sebuah badan dunia di PBB mempopulerkan isu “indigenous peoples”. Setelah dihembuskan oleh ILO sebagai isu global di lembaga PBB, World Bank (Bank Dunia) juga mengadopsi isu tersebut untuk proyek pedanaan pembangunan di sejumlah negara, melalui kebijakan OMP (1982) dan OD (1991), terutama di negara-negara ketiga, seperti di Amerika Latin, Afrika, dan Asia Pasifik. Mencuatnya isu masyarakat adat berawal dari berbagai gerakan protes masyarakat asli “native peoples” di Amerika Utara yang meminta keadilan pembangunan, setelah kehadiran sejumlah perusahaan transnasional di bidang pertambangan beroperasi di wilayah kelola mereka, dan pengembangan sejumlah wilayah konservasi oleh pemerintah AS dan Kanada. Komunitas Inuit di Alaska (negara bagian AS di dekat kutub utara) adalah korban dari ketidak adilan pembangunan industri pertambangan di Amerika Serikat. Di Kanada, komunitas Inuit yang masuk dalam wilayah negara tersebut juga memprotes kebijakan Kanada yang memaksa mereka harus meninggalkan wilayah kelola menuju desa-desa di pinggiran kota, karena perusahaan Migas dan Batubara akan mengolah wilayah tersebut. Di sebelah tengah AS, pembangunan Taman Nasional Missisipi juga merampas hak kelola komunitas pribumi Indian lainnya, seperti Mohak. Sedangkan pembangunan Taman Nasional Rocky Mountain di sebalah barat juga mengancam kehidupan Indian Apache. Berbagai protes dari “native peoples” di dataran Amerika Utara pada tahun 1950-an, memancing reaksi ILO sebagai lembaga PBB yang bergerak dalam isu perlindungan tenaga kerja. Karena itu, ILO kemudian melakukan berbagai riset lapangan, dan pada tahun 1957, ILO mengeluarkanKonvensi No.107 dan rekomendasi No.104 tentang “Perlindungan dan Integrasi Penduduk Asli dan Masyarakat Suku”. Pada tahun 1989, Konvensi tersebut diperbaharui oleh ILO dengan Konvensi No.169. Isu-isu ketidak-adilan yang dirasakan oleh berbagai komunitas “indie” (pribumi) ataupun “native peoples”  (masyarakat asli) berpengaruh bagi ILO untuk memunculkan isu generatifnya, “indigenous peoples”. Oleh gerakan Ornop (organisasi non-pemerintah) di Indonesia, kemudian diadopsi dan diterjemahkan menjadi kosa kata “masyarakat adat”, terutama pada pertemuan bertajuk “Lokakarya Pengembangan Sumberdaya Hukum Masyarakat Adat Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Dalam Kawasan Hutan”, yang berlangsung pada tanggal 25 – 29 Mei 1993, di Toraja, Sulawesi Selatan. Isu “masyarakat adat” semakin memperoleh tempatnya dalam gerakan masyarakat sipil melalui pendeklarasian pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 1999 di Jakarta. Realitas Sosial – Budaya Dari realitas sosial-budaya yang ada di Indonesia, keberadaan entitas masyarakat adat ternyata cukup beragam, serta memperlihatkan dinamika perkembangan yang bervariasi. Secara garis besar, entitas masyarakat adat tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 4 tipologi; Pertama, adalah kelompok masyarakat lokal yang masih kukuh berpegang pada prinsip “pertapa bumi” dengan sama sekali tidak mengubah cara hidup seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lainnya. Bahkan meraka tetap eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak luar, dan mereka memilih menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya dengan kearifan tradisonal mereka. Entitas kelompok pertama ini, bisa dijumpai seperti komunitas To Kajang  (Kajang Dalam) di Bulukumba, dan Kanekes di Banten; Kedua, adalah kelompok masyarakat lokal yang masih ketat dalam memelihara dan menerapkan adat istiadat, tapi masih membuka ruang yang cukup bagi adanya hubungan “komersil” dengan pihak luar, kelompok seperti ini bisa dijumpai, umpamanya pada komunitas Kasepuhan Banten Kidul  dan Suku Naga, kedua-duanya berada di Jawa Barat; Ketiga, entitas masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam (hutan, sungai, gunung, laut, dan lain-lain), dan mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya alam yang unik, tetapi tidak mengembangka adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan dengan masyarakat pada kelompok pertama dan kedua tadi. Komunitas masyarakat adat yang tergolong dalam tipologi ini, antara lain Dayak Penan di Kalimantan, Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, Dani dan Deponsoro di Papua Barat, Krui di Lampung, dan Haruku di Maluku; Keempat, entitas masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumberdaya alam yang “asli” sebagai akibat dari penjajahan yang  telah berkembang ratusan tahun. Masuk dalam kategori ini adalah Melayu Deli di Sumatra Utara, dan Betawi di Jabotabek.        Realitas seperti pengelompokkan tipologi masyarakat adat tersebut, sampai sekarang juga masih banyak dijumpai di berbagai wilayah di Sulawesi Tengah. Misalnya, Taa Wana, Daa, Kahumamaun, Mansama, Laudje, Tajio, Bolano, Bajo, Kulawi,Bada, Rampi, dan banyak lagi. Dari daftar numerasi di Depdagri, diketahui bahwa Sulawesi Tengah termasuk urutan ketiga setelah propinsi Papua dan NTT dalam hal jumlah kelompok etno-linguistik. Dari studi etnolog yang dilakukan Barbara Grimes, setidaknya lebih dari 20 kelompok etno-linguistik yang berbeda terdapat di Sulawesi Tengah. Tetapi, tidak semua kelompok etno-linguistik tersebut dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat. Sebab, pendefinisian masyarakat adat harus merujuk kedalam 4 tipologi yang telah disebutkan sebelumnya.        Berangkat dari realitas tersebut tadi, sebenarnya, tidak ada alasan bagi pemerintah kita untuk tidak mengakui eksistensi masyarakat adat, secara politik maupun hukum. Namun sayangnya, penantian untuk adanya pengakuan secara politik dan hukum secara gencar baru terasa pasca bergulirnya reformasi. Termasuk dalam perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar 1945, dalam bentuk amandemen yang ketiga dan keempat. Bahkan jauh sebelumnya, sebanarnya telah ada UU Pokok Agraria tahun 1960 yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno. Tapi, sayangnya lagi, UU Pokok Agraria tidak banyak bermakna bagi keberadaan masyarakat adat di Indonesia. Pengakuan Hukum Ada beberapa instrumen hukum nasional yang mengakui keberadaan  masyarakat adat di Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen), pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat, termaktub dalam pasal 18B ayat (2), yaitu; “Negara mengakui dan menghormati kestuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Pasal ini, memebrikan posisi konstitusional kepada masyarakat adat dalam hubungannya dengan negara, serta menjadi landasan konstitusional bagi penyelenggara negara, bagimana seharusnya komunitas diperlakukan. Dengan demikian pasal tersebut adalah satu deklarasi tentang ; (a) kewajiban konstitusional negara untuk mengakui dan menghormati masyarakat adat, serta (b) hak konstitusional masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisionalnya. Apa yang termaktub dalam pasal 18B ayat (2) tersebut, sekaligus merupakan mandat konstitusi yang harus ditaati oleh penyelenggara negara, untuk mengatur pengakuan dan penghormatan atas keberadaan maasyarakat adat dalam suatu bentuk undang-undang. Pasal lain yang berkaitan dengan masyarakat adat, adalah pasal 281 ayat (3) yang menyebutkan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Sebelum amandemen terhadap UU Dasar 1945, TAP MPR No.XVII/1998 tentang Hak Azasi Manusia (HAM) terlebih dahulu memuat ketentuan tentang pengakuan atas hak masyarakat adat. Dalam pasal 41 Piagam HAM yang menjadi bahagian talk terpisahkan dari TAP MPR itu, ditegaskan ; “Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”. Dengan adanya pasal ini, maka hak-hak dari amsyarakat adat yang ada, ditetapkan sebagai salah satu hak asasi manusia yang wajib dihormati, dan salah satu hak itu menurut pasal ini adalah hak atas tanah ulayat. Bahkan dalam TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan PSDA, hak-hak masyarakat adat tersebut tidak hanya sebatas hak atas tanah ulayat, tetapi juga menyangkut sumberdaya agraria/sumberdaya alam, termasuk keragaman budaya dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Hal itu termaktub dalam pasal 4, bahwa ; “Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip:......j) mengakui, menghormati, dan melindungi hak amsyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam”. Secara umum, TAP MPR No.IX/2001 itu, lahir karena situasi empirik pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik, eksploitatif, memiskinakan rakyat (termasuk masyarakat adat) dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan, serta kerusakan lingkungan hidup yang massif. Karena itu, TAP MPR ini, mengamanahkan agar dilakukannya pembaharuan agraria oleh pemerintah dalam hal PSDA berdasarkan prinsip-prinsip penghargaan atas HAM, demokratisasi, transparansi, dan partisipasi rakyat, keadilan penguasaan dan kepemilikan, serta pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Pada tingkatan Undang-Undang,  UUPA No. 5/1960 adalah produk hukum yang pertama kali menegaskan pengakuannya atas hukum adat. Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 5 yang menyebutkan bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan bangsa”.   Pasal 5 ini merupakan rumusan atas kesadaran dan kenyatan bahwa sebagian besar rakyat tunduk pada hukum adat, sehingga kesadaran hukum yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kesadara hukum berdasarkan adat. Hanya saja Memang semangat UU ini, dikemudian waktu banyak dibelakangi, karena pergeseran politik ekonomi dan hukum agraria. Kendati demikian, UU ini hingga sekarang masih menjadi hukum yang positif yang mengatur mengenai agraria. Karenanya masih menjadi alat legal dalam memperkuat hak-hak komunitas adat. Namun seiring dengan arus reformasi, kesadaran terhadap pengakuan, peng-hormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat menjadi salah satu isu politik yang mengemuka. Sejumlah Undang-Undang telah diproduk menyertai UUPA, seperti yang akan diuraikan dibawah ini. Undang-Undang  No.39 tahun 1999 tentang HAM ini, boleh dibilang sebagai operasionalisasi dari TAP MPR XVII/1998 yang menegaskan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asazi Manusia. Pasal 6 UU No.39/1999, menyebutkan:  (1)    Dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. (2)    Indentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman. Penjelasan pasal 6 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa “hak adat” yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Sedangkan penjelasan untuk ayat (2) dinyatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Lebih jauh, pasal 6 UU HAM ini sesungguhnya menegaskan pula keharusan bagi hukum, masyarakat dan pemerintah untuk menghargai kemajemukan identitas dan nilai-nilai budaya yang berlaku pada komunitas adat setempat. Pengingkaran terhadap kemajemukan tersebut, misalnya melakukan penyeragaman (uniformitas) nilai terhadap mereka merupakan suatu pelanggaran HAM, apalagi jika pengingkaran tersebut disertai tindakan-tindakan pelecehan, kekerasan atau paksaan. Sudah tentu tindakan demikian bias dikategorikan kejahatan serius dan berat, sehingga memung-kinkan untuk diselesaikan di pengadilan HAM.        Undang-Undang lain yang juga mengatur hak-hak masyarakat hukum adat adalah UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. UU ini bahkan mengakui adanya wilayah masyarakat hukum adat, seperti dinyatakan dalam pasal 1 angka 6: “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.  Sayangnya, pasal ini masih belum menunjukkan pengakuan hak komunitas adat atas sumber daya alam dalam wilayahnya, karena ternyata hutan adat masih diklaim sebagai  hutan negara, seperti dipertegas lagi dalam pasal 5 ayat (2), bahwa: “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat”; dan bahwa “Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (pasal 1 angka 4).        Untungnya, pasal 4 ayat (3) memberikan rambu-rambu kepada penyelenggara negara terutama bagi otoritas kehutanan agar tetap memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat. Pasal ini menyatakan: “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Penjelasan pasal 5 ayat (1) juga menguraikan: “Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya… Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara,  tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan.”        Dengan demikian, kemungkinan pengakuan hak masyarakat hukum adat untuk melakukan pengelolaan hutan adatnya masih sangat terniscayakan. Hal ini dipertegas dalam pasal 67 ayat (1) bahwa: “Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak: a.    melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c.    mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya”.        Lantas, bagaimana membuktikan masyarakat hukum adat tersebut pada kenyataannya masih ada ? Dan melalui apa pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat tersebut diupayakan sehingga hak-haknya dapat ditegakkan ?  Untuk pertanyaan yang terakhir, pasal 67 ayat (2) menyebutkan: “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.  Sedangkan untuk pertanyaan pertama, penjelasan pasal 67 ayat (1), memberikan gambaran sebagai berikut: “Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: a.    masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); b.    ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c.    ada wilayah hukum adat yang jelas; d.    ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e.    masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari”.          Berbeda dengan UU sebelumnya yang menegaskan hak-hak masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam sesuai identitas dan kekhasan budaya, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih tertuju pada penegasan hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sistem politik dan pemerintahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat. Pasal 203 ayat (3), umpamanya menyebutkan: “Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”. Pasal ini sekaligus memberi makna bahwa masyarakat hukum adat sesuai perkembangannya dapat mengembangkan bentuk persekutuannya menjadi pemerin-tahan setingkat desa sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 202 ayat (1): “Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku”. Bagaimana Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi Menurut Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Perubahan Hak Sengketa Tanah PERATURAN PEMERINTAH No. 41 Tahun 1964 Tentang PERUBAHAN DAN TAMBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NO. 224 TAHUN 1961 TENTANG PELAKSANAAN PEMBAGIAN TANAH DAN PEMBERIAN GANTI KERUGIAN UMUM Dalam Undang – undang pokok agrarian ( Undang – undang No. 5 tahun 1960 Lembaran Negara tahun 1960), telah digariskan suatu prinsip bahwa “setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara – cara pemerasan”. Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 ( Lembaran Negara tahun 1961 No. 280 ) telah mengatur cara – cara pelaksanaan pembagian tanah – tanah sebagai kelajuaan daripada pelaksanaan Undang – Undang No. 56 Prp. tahun 1960. Di samping itu peraturan pemerintah tersebuh juga telah mengatur tentang Pembatasan – pembatasan adanya pemilikan tanah – tanah pertanian yang terletak di luar Kecamatan tempat tinggal pemiliknya. Akan tetapi dalam pelaksanaannya menunjukkan bahwa ketentuan – ketentuaan ini sebagaimana mestinya tentu akan memberikan pengaruh yang negative baik dalam usaha penambahan produksi maupun terhadap tujuan Landreform sendiri. Karena itu dipandang perlu untuk menghilangkan adanya penyimpangan – penyimpangan terhadap prinsip tersebut di atas. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Jika waktu untuk memindahkan hak milik atas tanah pertanian yang dimaksudkan perlu dibatasi, agar supaya pemilik tanah yang bersangkutan tidak mengulur – ulur waktu dalam usahanya untuk memindahkan hak miliknya tersebut. Karena perbuatan yang demikian itu hanya akan mengakibatkan tidak efisiennya penggarapan atas tanah tersebut, lagi pula akan menimbulkan adanya pemerasan – pemerasan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Jika karena sesuatu hal, misalnya pembagian warisan atas tanah tersebut menjadi suatu sengketa sehingga dalam waktu 1 tahun tersebut pembagian warisan belum selesai, maka untuk melaksanakan kewajiban sebagai ditentukan dalam pasal ini dengan bukti – bukti dan alasan – alasan yang cukup dapatlah jangka waktu tersebut dimohonkan perpanjangan kepada Menteri Agraria. Sebenarnya tujuan daripada pasl 3 Peraturan Pemerintahan No. 224 tahun 1961 bukanlah hanya semata – mata ditujukan kepada orang – orang yang telah memiliki tanah – tanah sebgai dimaksudkan, akan tetapi juga mereka yang memperoleh hak milik baru atau tanah – tanah semacam itu sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah tersebut. Karena itu pasal ini memberikan penegasan tentang adanya larangan untuk melakukan semua bentuk pemindahan hak baru atas tanah pertanian, yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar Kecamatan di mana ia bertempat tinggal. Pasal 2 Perubagan besarnya prosentase dalam pasal ini adalah : berhubung dengan perkembangan keadaan, yang memerlukan didakannya perubahan yang lebih sesuai atas bunga tiap tahun dari surat hutang landerform; untuk memberikan keringanan kepada para petani yang menerima bagian tanah. Kapan Kepastian Hukum Setifikat Hak Atas tanah KEPASTIAN HUKUM HAK ATAS TANAH DALAM PENDAFTARAN TANAH Sejarah kepemilikan tanah di Indonesia berbeda dengan sejarah kepemilikan yang dikenal di negara – negara kerajaan seperti Inggris dan Malaysia. Sekalipun belakangan Belanda memberlakukan model kepemilikan tanah sama seperti di negaranya, itu hanya karena keinginan Belanda untuk memudahkannya menguasai tanah di negara ini. Sehubungan dengan misi dagangnya ( leverentien dan contugentent ). Belanda memberlakukan bahwa raja adalah pemilik tanah yang dikenal dengan teori “semua yang terdapat di kolong langit adalah kepunyaan raja” sehingga ketika dia akan membutuhkan tanah di negara ini mereka hanya menghubungi raja atau minta izin kepada raja agar mereka dapat menguasai tanah untuk kepentingan usahanya itu di negara ini. Tetapi untuk Indonesia, raja bukanlah pemilik tanah. Atas nama rakyatnya raja berkuasa untuk mengawasi dan memberikan tanah tersebut bagi mendukung kehidupan dan hidup rakyatnya sehingga rakyatnya sehingga rakyatnya benar – benar teranyomi oleh kekuasaan rakyat raja saat itu. Dengan demikian, terdapat di beberapa kekuasaan rakyat ada raja yang berkuasa, namun untuk kepemilikan tanah tetap menjadi milik bersama rakyat. Raja hanya sekedar melegalisasi tindakan rakyat terhadap penguasaan dan pengusahaan tanah. Namun, karena bersama – sama bertanggung jawab dalam memanfaatkan tanah untuk kehidupan masyarakatnya, lalu muncullah hubungan tak terpisahkan antara tanah dengan rakyat tersebut sebagai pertalian hukum ( Rechtsbetrekling ). Hubungan ini terus melembaga sebagai hubungan religious magis, sehingga setiap ada tindakan terhadap tanah selalu harus dengan restu atau bahkan harus seizing raja untuk dapat dikerjakan tanpa diganggu manusia sekawasan atau makhluk lain. Bahkan untuk mengalihkannya pun harus tetap mendapat restu raja atas nama rakyat sekawasan. Dalam bahasa adat, untuk tindakan terhadap tanah harus dilakukan secara terang dan tunai. Maka tindakan terhadap tanah dan juga tindakan yang berhubungan dengan tanah harus tetap minta izin dan dibuatkan secara terang, yang dilakukan di hadapan raja. Tindakan terang dan tunai sebagai ciri khas tindakan dalam hukum adat mewarnai pola legalnya tanah tersebut diusahakan atau dikelola oleh warganya, sehingga sesama warga tidak saling mengambil lagi tanah yang sudah diusahakan oleh kawan sedesa atau sekawasannya. Bagi yang mengusahakannya pun akan selalu membuat tanda sebatas mana tanah itu dapat diusahakannya dan inilah yang akhirnya disebut hak kepemilikan komunal, yang lama – kelamaan atas pertambahan keluarga dengan berbagai kepentingannya terhadap tanah lalu tanah yang komunal tadi terindividualisasi menjadi hak individu dari seorang warga desa. Namun, yang tidak diusahakan tetap menjadi kepemilikan bersama yang sifatnya terus sebagai hak masyarakat sekawasan atau sedesa dengan sifat kepemilikannya publiekrechtelijke, dan yang terakhir diberi nama menjadi tanah ulayat. Tanah kaum atau oleh Belanda dahulu disebut dengan beshciking rech ( hak pertuanan ). Hingga sekarang untuk beberapa desa kepemilikan ini terpelihara dengan baik, dan kepemilikan Undang – Undang Pokok Agraria ( UUPA, Pasal 3 ). Kenyataan kepemilikan komunal yang demikian ini, berakibat bahwa pendaftaran tanah tidak menjadi bagian penting daripadanya. Apalagi memang saat itu kebutuhan tanah bagi perkembangan manusia masih tetap terpenuhi. Akan tetapi, dengan kenyataan yang berkembang di belahan dunia atau bahkan tidak terkecuali di wilayah negara ini, kepemilikan tanah bersama terus menjadi kepemilikan yang individual. Dengan kata lain akibat terindividualisasinya tanah – tanah di tengah masyarakat, maka pendaftaran tanah ini semakin menjadi tuntunan demi menjaga kelangsungan kepemilikan yang terlindungi atas terindividualisasinya hak kepemilikan rakyat tadi. Sekali pun memang diakui bahwa pendaftaran tanah tidak menjadi ciri dalam kepemilikan bersama namun karena secara alamiah kepemilikan bersama yang semakin runtuh, tuntunan mendaftarkan tanah ini menjadi hak atas tanah yang dilindungi tentunya tidak lagi dapat dielakkan bahwa pendaftaran tanah sudah menjadi keharusan. Sebab sebagai hak individu yang bersifat keperdataan diakui dengan hak yang utuh dengan segala kewenangan dan konsekuensinya pada si pemilik harus terjamin atas hak dan fungsinya. Terjamin atas nama hak tanah sebagaimana di dalam UUPA disebutkan dalam pasal 16 UUPA yang dijabarkan lebih lanjut eksistensinya dari Pasal 20 hingga 43 UUPA. Akan tetapi, sekalipun pendaftaran tanah bukan tradisi negara namun diikut dalam tuntutan pembangunan. Untuk hal demikian menurut Muchtar Kusumaatmadja harus diperhatikan bahwa tidak harus mengambil begitu saja segala sesuatu yang dianggap modern karena kemodernannya, juga tidak dengan secara membabi buta mempertahankan segala sesuatu yang “asli” karena keasliannya atau “mencerminkan kepribadiannya”. Sebagaimana dikemukakan di atas, bagi tanah – tanah yang pemiliknya terdiri dari beberapa orang seperti tanah adat ( tanah yang bersifat publiekrechtelijke ), awalnya pendaftaran bukan sebagai hal yang penting dilalukan atasnya. Sebab yang diprioritaskan adalah fungsi haknya yakni bagaimana supaya dapat memberikan manfaat bagi seluruh anggota keluarga sekawasan yang hidup di atas tanah. Namun akibat perkembangan kehidupan manusia yang satu sama lain tidak mempunyai nasib yang sama lain tidak mempunyai nasib yang sama dalam mengembangkan hidupnya, sudah barang tentu tanah milik bersama akan menjadi sasaran untuk dikeluarkan bagiannya dari kepemilikan bersama tersebut. Proses seperti ini bahkan semakin lama semakin menjadi kegiatan manusia yang tidak terletakkan di atas tanah – tanah adat. Akhirnya, milik bersama yang sifatnya pupbliekrechtelujke pun, semakin terindividualisasikan menjadi milk privat. Tidak mungkin ditahan untuk menjadi benda/barang milik yang tidak dapat dialihkan dan beralih dari kepemilikan bersama tersebut. Di tengah – tengah terindividualisasinya hak – hak yang pada awalnya hak bersama, lembaga pendaftaran tanah menjadi alat yang paling utama dan mendasar untuk menegakkan individualisasi kepemilikan hak atas tanah tersebut. Sebaliknya, dengan pendaftaran tanah ini dilakukan akan dapat mengamankan hak – hak atas tanah perseorangan atau milik sekelompok masyarakat dan badan hukum, sehingga pemiliknya dapat melindungi secara yuridis dan teknis untuk digunakan, dialihkan dan/atau diikatkan sebagai jaminan utang oleh pemiliknya. Di Indonesia pendaftarn tanah masih baru atau bahkan boleh disebutkan tidak tumbuh bersama adanya hak milik masyarakat di negara ini. Dalam catatan sejarah pendaftaran tanah di Indonesia dikenal sejak overscrijvings ordonantie (ordonansi balik nama) mulai diperkenalkan pada tanggal 2 April 1834 (Stb 1834 No. 27), dengan ketentuan inilah pendaftaran tanah dengan balik nama mulai diaktifkan. Itu pun Belanda dengan model cadaster landmeter kennis. Namun ke depan mengadministrasi tanah, demi untuk mengamankan hak – hak seseorang atas tanah dan demi terwujudnya penatagunaan tanah serta administrasi yang akurat dan terjamin. Sekalipun di beberapa daerah, hukum masyarakat adat seperti Kesultanan Siak dan Kesultanan Yogyakarta sudah pernah memperkenalkan percatatan tanah, namun jika ini dianggap sebagai pendaftaran tanah, hanya sekedar pencatatan dalam memudahkan pengambilan pajaknya (landrente) sebagai kewajiban desa sebagaimana dikenal dengan model hoemraden kennis. Douglas J. Williem merupakan pekerjaan yang kontinu dan konsisten atas hak – hak seseorang, sehingga memberikan infomasi dan data administrasi atas bagian – bagian tanah yang didaftarkan. Lengkapnya di sebutkan : The register consists of the individual grant, certificates of folios contained whitin it at anygiven time. Adden to these are documents that may bedeemed to be embodied in the register upon registration. Together these indicated the parcel of land in a particular title, the person entitle to interests. There also ancillary register wich assist in the orderly administration of the system such as a parcel index, a nominal index losting registered proprietors and a day book in wich documents are enterd pending final registration. Dengan terdaftarnya bagian tanah tersebut sebenarnya tidak semata – mata akan terwujudnya jaminan keamanan akan kepemilikannya dalam menuju kepastian hukum. Bahkan seseorang pemilik akan mendapatkan kesempurnaan dari haknya, karena hal – hal berikut : Adanya rasa aman dalam memliki hak atas tanah (security); Mengerti dengan baik apa dan bagaimana yang di harapkan dari pendaftaran tersebut (simplity); Adanya jaminan ketelitian dalam sistem yang dilakukan (accuracy); Mudah dilaksanakan (expedition); Dengan biaya yang bisa dijangkau oleh semua orang yang hendak mendaftarkan tanah (cheapness), dan daya jangkau ke depan dapat diwujudkan terutama atas harga tanah itu kelak (suitable). Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus – menerus berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang – bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya dan hak milik atas satuan rumah susun seta hak – hak tertentu yang membebaninya (Pasal 1 PP Nomor 24 Tahun 1997). Objektif pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPA (UU No. 5 Tahnu 1960) semakin disempurnakan posisinya untuk memberikan jaminan yuridis dan jaminan teknis dalam arti kepastian batas – batas fisiknya. Kegiatan pendaftaran tanah seperti yang disebutkan dalam Pasal 19 UUPA, hanya meliputi pengukuran dan pembukuan tanah, pendaftaran ha katas tanah dan peralihan hak – hak tersebut, pemberuan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat, pembuktian yang kuat. Dengan keluarnya ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961 telah terjadi kesempurnaan atas pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia. Di mana menurut A.P. Parlindungan telah memperkaya ketentuan PAsal 19 UUPA tersebut, karena sebagai berikut. Dengan diterbitkannya sertifikat ha katas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Dengan informasi pertanahan yang tersedia di kantor pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi peruntukan tanah dan kepemilikannya. Dengan administrasi pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana. Untuk menggiatkan peningkatan administrasi pertanahan ini dengan benar dan tuntas, memang masih dipengaruhi beberapa hal antara lain : The law of “real” property that affect dealing in land. The laws on lan reform such as the privatization of state-owned land, The restitution of former private land, and land consolidation. The laws that govern the conduct of land administration such as the regulation that control the operation of the cadaster. The laws on “inibetual” property that affect such matters as the ownership of information and ideas, the protection of data dan personal privacy. Tujuan ditelitinya alas hak ini ternyata akan memperkokoh data yuridis dan data teknis nantinya, sehinga pada akhirnya panitia dapat berkesimpulan : bahwa tanah yang dimohon untuk didafta tersebut baik dan jelas tanpa keraguan untuk memberikan haknya nanti; bahwa atas permohonan tersebut tidak dijumpai ada sengketa kepemilikan; bahwa tanah yang dimohon diyakini sepenuhinya oleh tim ajidukasi untuk dapat diberikan haknya sesuai yang dimohonkan pemilik tanah; dan begitu tanah itu diadministrasikan dengan pemberian bukti haknya, tidak ada yang bersengketa lagi dan tidak ada yang keberatan terhadap kepemilikannya. Indikator ini berarti atau bermakna mendukung asas publisitas dan asas spesialitas dari pelaksanaan pendaftaran tanah yang dilakukan di Indonesia ini. Keberadaan sistem pendaftaran tanah model Torrens ini, persis apa yang disebutkan atas permohonan seseorang untuk memperoleh hak milik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUPA berikut. Terjadinya hak milik menurut hak adat diatur dengan peraturan pemerintahan. Selesai menurut carasebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini hak milik terjadi : Penepatan Pemerintah, Menurut cara dan syarat – syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah, dan Menurut ketentuan undang – undang. Kadaster dalam pendaftaran tanah tersebut adalah suatu tipe dari land information system yang akan merekam bagian – bagian dari tanah tersebut. Jadi, kalau dalam kadaster ini termasuk didalamnya seperti dikemukakan diatas, juridical cadastre, yakni a register of ownership of parcels of land; fiscal cadastre, yakni of properties recording their value. Kemudian land use cadaster yakni a register including many attributesn of land parcels. Keenam kegiatan yang dilakukan dalam pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai berikut. tugas perukuran, pemetaan, dan penerbitan surat ukur. penerbitan sertifikat ha katas tanah yang berasal dari : konversi dan penegasan atas tanah bekas hak – hak lama dan milik adat, surat keputusan pemberian hak atas tanah, pengganti karena hilang atau rusak. pendaftaran balik nama karena peralihan hak (jual beli, hibah waris, lelang, tukar menukar, inbreng, dan merger). pendaftaran hak tanggungan (pembebanan hak). penerbitan surat keterangan tanah (skpt) pemeliharaan data, dokumen/warkah, dan infrastruktur pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah yang baik harus melakukan pekerjaan antara kegiatan teknis dan kerangka kerja kelembagaan yang alamatnya tidak hanya pengaturan secara mekanik, survey, dan rekaman dari bagian – bagian tanah tersebut, tetapi juga hukum, financial, administrasi, aspek social, dan issue politiknya yang dirangkai atau dipadukan dalam kegiatan manajemen pertanahan. Di mana inti yang terpenting dalam jangka kerja pendaftaran tanah akan meliputi prinsip – prinsip dasar kerja sebagai berikut. pemberian status hukum dari tanah dan hak – hak atas tanah. perlindungan penggunaan atau pengaturan pemanfaatan (land tenure). pendaftaran akta dan haknya (dead registration dan title registration). ajudikasi pendaftaran tanah. batasan hak (boundary). survei cadastral. Ad.1 Dengan dilaksanakan pendaftaran tanah atas tanah tersebut tentu ketika itu juga diberikan status hak pada tanah tersebut sesuai dengan hak yang dimohon. Jadi, baik pendaftaran pertama (awal) maupun pendaftaran balik nama yang dilakukan dikantor pertanahan setempat adalah pekerjaan administrasi negara dalam memberikan status hukum atas tanah dimaksud, sehingga dengan adanya pemberian status hukum ini diatas tanah yang terdaftar, si pemilik menerima status hak yang dilindungi oleh negara. Ad.2 Land tenure dimaksud adalah kegiatan aktivitas tanah bagi pemiliknya, sering disebut pengungsian dari peruntukan tanah dalam kegiatan sehari – hari dari pemiliknya. Fokus kegiatan bukan pada haknya, tetapi pada fungsi haknya. Hak milik dapat digunakan untuk pertanian, nonpertanian, dan kegunaan lain yang tidak melanggar undang – undang, namun HGU dan HGB hanya digunakan sebagai peruntukan HGU dan HGB itu saja. Ad.3 pendaftaran tanah adalah pendaftaran akta dan pendaftaran haknya (registration of deeds dan title registration). Pendaftaran tanah yang berkesinambungan (continuous recording) ini adalah pendaftaran hak, artinya diatas tanah itu telah ada hak (baik HM, HGB, HGU, dan lain – lain), namun karena terjadi peralihan lalu dibuat penftaran peralihan tersebut atau sering disebut balik nama atau pendaftaran balik nama dari hak atas hak tanah. Ad. 4 Ajudikasi Pada Pasal 1 ayat (8) PP No. 24 Tahun 1997 disebut ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran pertama kali, meliputi pengumpulan dan penempatan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai sesuatu beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya. Ad. 5 Batasan hak (boundary) Hak – hak atas tanah yang dikeluarkan terbatas pada jenis ha katas tanah tersebut. Kewenangan atas pemberian hak pakai tidak dapat melampaui sebatas hak pakai. Si pemegang hak pakai tidak dapat menggunakan hak yang diberikan terbatas sebesar jenis hak yang diperoleh. Pada saat ada batasan inilah kita dapat melihat kesempurnaan hak milik disbanding dengan hak – hak lain atas tanah. Ad. 6 Survey cadastral Sekalipun survey cadastralnya hanya dilakukan dengan peralatan yang masih sederhana, namun tidak ada ukuran yang tegas pelaksanaan survey cadastral dimaksud di atas tanah yang akan didaftarkan. Oleh karena itu, begitu pentingnya survey cadastral dalam pendaftaran tanah, bahkan oleh pemerintah diciptakan suatu lembaga atasnya, dan diberikan kepada lembaga swasta untuk proses percepatan dan akurasi yang baik. Hal ini sebagaimana diatur dalam PMNA/KBPN No. 2 Tahun 1998, di mana telah ditetapkan bahwa untuk survey cadastral dapat dilakukan oleh surveyor berlisensi. Disebutkan bahwa surveyor cadastral adalah seseorang yang mempunyai kemampuan beroganisasi pekerjaan pengukuran dan pemetaan kadasteral, yang diberi wewenang untuk melakukan pekerjaan pengukuran dan pemetaan kadasteral tertentu dalam rangka pendaftaran tanah, baik sebagai usaha pelayanan masyrakat sendiri maupun sebagai pegawai badan hukum yang berusaha di bidang pengukuran dan pemetaan. Lingkup pekerjaannya adalah melakukan usaha jasa pelayanan kepada masyarakat dengan: pengukuran dan penataan bidang tanah dalam rangka pendaftaran tanah untuk pertama kali secara sporadik; melaksanakan pengukuran dan penataan bidang tanah dalam rangka pemisahan, pemecahan, dan penggabungan bidang tanah. Pekerjaannya juga meliputi pelaksanaan pekerjaan bidang tertentu dalam pengukuran dan pemetaan seperti: pengukuran dan pemetaan bidang – bidang tanah dalam rangka pendaftaran untuk pertama kali secara sitematik; pengukuran dan pemetaan bidang – bidang tanah yang luasnya lebih daripada 1.000 ha dalam rangka pendaftaran tanah untuk pertama kali secara sporadik; perapatan titik – titik dasar teknik; pembuatan peta dasar pendaftaran dan peta pendaftaran; pembuatan peta dasar pendaftaran secara fotogrametis. Ad. 7 Land parcel information Dengan informasi tentang tanah yang sudah terekam dalam buku tanah ini, sangat banyak memanfaatnya bila akan dilihat dari berbagai kepentingan, baik bagi diri pemilik, dari pemerintah, maupun dari stakeholder lain yang menginginkan tanah itu untuk dikembangkan kelak. Secara umum informasi yang diberikan atas dasar pendaftaran tersebut meliputi antara lain: memberikan jaminan keamanan penggunaan bagi pemiliknya; mendorong atau meningkatkan penarikan pajak oleh negara; meningkatkan fungsi tanah sebagai jaminan kredit; meningkatkan pengawasan pasar tanah; melindungi tanah negara; mengurangi sengketa tanah; memfasilitasi kegiatan rural land reform; meningkatkan urban planning dan memajukan infrastruktur; mendorong pengelolaan lingkungan hidup yang berkualitas; dapat menyediakan data statistik tanah yang baik. Tidak terwujudnya kepastian hukum ini didorong oleh beberapa faktor, seperti berikut. Faktor sejarah kepemilikan tanah Hambatan bagi negara ketika pendaftaran tanah masih diabaikan dan dianggap tidak menjadi penting, sehingga saat ini pendaftaran tanah itu tidak dianggap sebagai kewajiban yang dapat mengemukakan ha katas tanah. Faktor psikologi masyarakat Masyrakat tidak memahami suatu perbedaan yang berarti antara ada setifikat dengan tidak ada sertifikat atas tanah. Kelemahan aturan pendaftaran tanah Sampai saat ini, banyak masyarakat yang tidak tahu tentang aturan pendaftaran tanah. Faktor pelaksana dan pelaksanaan tanah Masih banyak keluhan masyarakat pada pelaksanaan dari pendaftaran tanah. Intervensi undang – undang BPHTB dan biaya lain Dalam hal ingin mendaftarkan tanah saat ini, di samping harus memenuhi biaya pemohon yang ditetapkan aturan pendaftaran tanah, masih ada biaya – biaya lain atas perintah undang – undang yang tidak dapat diabaikan, seperti Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang BPHTB, dan undang – undang PBB lain. BAB III PENUTUP KESIMPULAN Hukum merupakan bagian dari objek pendidikan dan disiplin ilmu. Oleh karena itu, ilmu hukum merupakan salah satu disiplin ilmu yang banyak kaitannya dengan kehidupan manusia. Untuk memahami hukum pada umumnya dapat dilakukan dengan pendekatan normative, empiris, normative empiris, pendekatan historis, antropologis, dan sosiologis. Masalah hukum tidak dapat dilepaskan dari norma – norma hukum (perundang – undangan, hukum adat, dan lainnya) sehingga pendekatan terhadap hukum dapat dimulai dengan pendekatan sosiologis. Pengantar ilmu hukum tentang eksistensi yaitu mengenai tentang mengatasi masalah tentang mengikuti perkembangan didalam masyarakat kehidupan sehari – hari dan cara mengatasi masalah dalam pengantar ilmu hukum di dalam hukum adat dibidang pertanahan mengenai permasahalan dari pengurusan sertifikat tanah yang resmi serta mempunyai hak kewajiban dalam pertanahan didaerah. SARAN Dalam memenuhi informasi tentang tanah yang sudah terekam dalam buku tanah ini, sangat banyak memanfaatnya bila akan dilihat dari berbagai kepentingan, baik bagi diri pemilik, dari pemerintah, maupun dari stakeholder lain yang menginginkan tanah itu untuk dikembangkan kelak. Hak – hak atas tanah yang dikeluarkan terbatas pada jenis ha katas tanah tersebut. Kewenangan atas pemberian hak pakai tidak dapat melampaui sebatas hak pakai. DAFTAR PUSTAKA http://www.ymp.or.id/content/view/107/35/ http://zalirais.wordpress.com/2013/09/12/eksistensi-hukum-adat-dalam-bidang-pertanahan/ http://irwanasanisa91.wordpress.com/2013/05/04/eksistensi-hukum-dalam-masyarakat/ www.Barito.go.id. “ Program “, diaktes pada tanggal 25 Februari 2005 Wright, Warren L. Final Repot on The Review of The Basic Agrarian Law 1960. TA Land Adviser International, December 1999. Pengantar Ilmu HukumPage 29