Jurnal DIALOGIKA Manajemen dan Administrasi
Homepage: https://ejurnal.unma.ac.id/index.php/dialogika
Vol. 2, No. 1 Oktober 2020 halaman: 1 ∼ 12
E-ISSN: 2720-9865, P-ISSN: 2716-3563
DOI : https://doi.org/10.31949/dialogika.v2i1.2167
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KELUARGA BERENCANA
DI KABUPATEN MAJALENGKA
1 Mumu
Mugni, 2 A. Yunus, 3 Diding Bajuri
(1)Mahasiswa
(2)(3)Dosen
Magister Ilmu Administrasi, Universitas Majalengka, Jawa Barat, Indonesia
Magister Ilmu Administrasi, Pascasarjana Universitas Majalengka, Jawa Barat, Indonesia
e-mail korespondensi:
[email protected]
Disubmit Agustus 2020 , Diterima September 2020 , Diterbitkan Oktober 2020
Submitted August 2020 , Accepted September 2020 , Published October 2020
Penulis koresponden
Abstract
The implementation of the family planning policy program launched by the Indonesian
government is not only focused on women, but also on men. This study uses a
phenomenological approach. In interpreting this understanding, researchers will try to
draw various generalizations or theories that can be used for the development of science
itself or to be used as a basis for the benefit of theory application in people's lives. The
research method used in this study is a qualitative method and the informant selection
technique in this study uses the snow ball informant technique. The data analysis
technique used is taxonomic analysis, which is a more detailed and in-depth form of
analysis in discussing a theme or subject matter. The implementation of Family Planning
Policy in Majalengka Regency has gone quite well, this is indicated by the issuance of
regional regulations (PERDA). Number 14 of 2016 concerning the Formation and
Composition of Regional Apparatus of Majalengka Regency (Regional Gazette of
Majalengka Regency of 2016 Number 14) regarding the establishment of the Office for
Empowerment of Women for Child Protection and Family Planning as a technical agency
that handles the family planning sector in Majalengka Regency and as a response to the
decentralization of field authority Family Planning from the central government to local
governments.
Keywords: Policy Implementation, Male Family Planning Equality, Government
Jurnal DIALOGIKA
Manajemen dan
Administrasi
diterbitkan oleh
Program Studi
Administrasi Publik
Pascasarjana
Universitas
Majalengka
Abstrak
Program kebijakan keluarga berencana yang diluncurkan oleh pemerintah Indonesia
pada pelaksanaannya tidak hanya terfokus kepada perempuan, tetapi juga terhadap
laki-laki. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis. Dalam memaknai
pemahaman ini, peneliti akan mencoba menarik berbagai generalisasi atau teori yang
dapat digunakan untuk perkembangan ilmu itu sendiri atau untuk dijadikan dasar bagi
kepentingan aplikasi teori dalam kehidupan masyarakat. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan teknik pemilihan
informan pada penelitian ini menggunakan teknik informan snow ball (bola salju).
Teknik analisa data yang digunakan adalah analisis taksonomis (taxonomic analysis),
yaitu bentuk analisis yang lebih rinci dan mendalam dalam membahas suatu tema atau
pokok permasalahan Implementasi Kebijakan Keluarga Berencana di Kabupaten
Majalengka telah berjalan cukup baik, hal ini ditunjukkan dengan lahirnya Peraturan
daerah (PERDA) Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat
Daerah Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016
Nomor 14) mengenai pembentukan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan
Anak dan Keluarga Berencana sebagai Dinas teknis yang menangani bidang KB di
Kabupaten Majalengka dan sebagai respon atas regulasi desentralisasi kewenangan
bidang Keluaraga Berencana dari pemerintah pusat kepada pemerintah Daerah.
Kata kunci: Implementasi Kebijakan, Kesetaraan KB Pria, Pemerintah
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License
1
Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12
PENDAHULUAN
Provinsi Jawa Barat merupakan
provinsi dengan penduduk mencapai 49,02
juta jiwa pada tahun 2019 yang termasuk ke
dalam salah satu provinsi terpadat
penduduknya di Indonesia. Provinsi Jawa
Barat
sendiri
dalam
mengatasi
permasalahan penduduknya salah satunya
dengan program Keluarga Berencana dan
Pembangunana Keluarga (KKBK) yang
tujuannya adalah dengan melahirkan
generasi penerus yang sehat, cerdas, inovatif,
berdaya saing tinggi, berbudaya, produktif
dan bahagia. Namun pada permasalahannya
program KKBK terutama dalam penekanan
jumlah penduduk masih didominasi oleh
kaum perempuan. Hal ini disebutkan dalam
berita dari CNN 27/04/2017 menyebutkan
bahwa pengetahuan soal program Kelarga
Berencana (KB) dinilai belum seimbang
antara laki-laki dan perempuan. Para suami
masih sedikit yang peduli dengan pentingnya
penggunaan alat kontrasepsi.
Perkembangan
pelaksanaan
program peningkatan kesertaan KB pria di
lapangan ternyata belum seperti apa yang
diharapkan. Dalam kenyataannya terdapat
beberapa permasalahan yang muncul dalam
implementasi program yang dilaksanakan,
antara lain : Operasionalisasi program yang
dilaksanakan selama ini lebih mengarah
kepada wanita sebagai sasaran, penyiapan
tempat pelayanan, tenaga pelayanan dan
juga penyediaan alat dan obat kontrasepsi
(Alokon) untuk pria sangat terbatas, hampir
semuanya adalah untuk wanita, demikian
juga adanya prioritas penggunaan Metoda
Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) juga
hampir semuanya untuk wanita. Kondisi
demikian
ini
ikut
mempengaruhi
kemampuan dan keterampilan petugas
(PLKB) dalam mengkomunikasikan dan
memasarkan alat kontrasepsi bagi pria,
karena kurang terbiasa dan sangat
terbatasnya pilihan kontrasepsinya.
Permasalahan lain yang juga ikut
mempengaruhi tidak efektifnya kebijakan
peningkatan
partisipasi
pria
adalah
persoalan peningkatan kualitas dan
kuantitas sumber daya, mulai dari
kurangnya pelatihan-pelatihan khusus,
kurangnya sarana dan prasarana kerja
petugas, sampai kurang jelasnya lembaga
pengelola program. Sebagai gambarannya, di
tahun 2019 tenaga Penyuluh Keluarga
Berencana (PKB) atau Penyuluh Lapangan
Keluarga Berencana (PLKB) di Provinsi Jawa
Barat ratio PKB/PLKB dibandingkan dengan
desa atau kelurahan masih sangat jauh dari
harapan. Satu penyuluh masih memegang
sekitar 6-7 desa atau kelurahan. Jumlahnya
sekitar 15.137 tenaga PKB/PLKB (Budianto,
2019).
Sebagai tindak lanjut desentralisasi
bidang Keluarga Berencana, pemerintah
Kabupaten
Majalengka
menerbitkan
Peraturan daerah (PERDA) Nomor 14 Tahun
2016 tentang Pembentukan dan Susunan
Perangkat Daerah Kabupaten Majalengka
(Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka
Tahun 2016 Nomor 14) mengenai
pembentukan
Dinas
Pemberdayaan
Perempuan Perlindungan Anak dan
Keluarga Berencana sebagai Dinas teknis
yang menangani bidang KB di Kabupaten
Majalengka yang merupakan pengganti
BKKBN di daerah, sehingga idealnya
pelaksanaan Program Keluarga Berencana
akan lebih baik, efektif, efisien, dan
akuntabel sebagaimana tujuan utama dari
otonomi daerah (Oentarto, SM, 2004:42).
Kondisi yang terjadi di Kecamatan Banjaran
tidak berbeda jauh sebagaimana yang terjadi
di lingkup kabupaten, partisipasi pria dalam
ber KB di Kecamatan Banjaran juga masih
jauh dari harapan (kurang dari 6 % terhadap
total kesertaan masyarakat yang menjadi
peserta KB saat ini). Berdasarkan diskripsi
permasalahan sebagaimana tersebut di atas,
maka penelitian ini akan meneliti secara
mendalam Implementasi kebijakan Program
Keluarga Berencana, dengan judul :
Implementasi
Kebijakan
Keluarga
Berencana di Kabupaten Majalengka, Studi
Kasus Peningkatan Kesertaan KB Pria di
Kecamatan Banjaran. Pemilihan topik ini
didasarkan pada pengalaman dan data awal
yang didapat di lapangan sehubungan
dengan kendala yang dirasakan selama
implementasi
kebijakan
berlangsung.
Disamping itu yang menjadi pertimbangan
peneliti adalah bahwa penelitian ini masih
berada dalam kajian ilmu administrasi
publik.
2
Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12
TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan publik merupakan suatu
tindakan yang dilakukan pemerintah untuk
mengatasi persoalan atau masalah yang ada
dalam masyarakat. Dalam setiap kebijakan
yang dilakukan oleh pemerintah pasti
memiliki
tujuan-tujuan dari
adanya
kebijakan tersebut. Tentunya dengan adanya
kebijakan yang dikeluarkan akan membuat
keadaan masyarakat menjadi lebih baik.
Setiap kebijakan publik pasti menimbulkan
suatu dampak. Demikian juga dengan
kebijakan keluarga berencana yang terfokus
ke dalam peningkatan kesetaraan KB pria di
Kabupaten Majalengka. Adapun tujuan yang
ingin dicapai oleh pemerintah daerah adalah
meningkatkan kesetaraan KB pria di
Majalengka, karena jumlah peserta KB pria
dinilai sangatlah rendah bila dibandingkan
dengan kepesertaan perempuan.
Pemerintah Kabupaten Majalengka
bersama Dinas terkait yang menangani
keluarga
berencana
pasti
sebelum
mengimplementasikan suatu kebijakan
sudah merancang dan memprediksi
bagaimana kebijakan tersebut akan berjalan
serta
bagaimana
dampak
yang
ditimbulkannya. Kemudian pada saat
implementasi kebijakan program kesetaraan
KB untuk pria hal ini perlu adanya suatu
implementasi yang terencana dan sistematis
yang disertai dengan kepemilikan sumber
daya, tingkat komunikasi, kekuatan struktur
birokrasi dan kejelasan disposisi, sehingga
tidak menghambat dalam implementasi
kebijakan program kebijakan keluarga
berencana. Karena tidak semua kebijakan
yang digulirkan oleh pemerintah langsung
diterima oleh masyarakat yang menerima
dampak langsung akibat kebijakan tersebut.
Begitu juga dengan kebijakan program KB
untuk pria yang sudah lama dilakukan tetapi
jumlah pesertanya masih sangat rendah.
Oleh karena itu, unsur-unsur komunikasi,
sumber daya, disposisi dan struktur
birokrasi harus saling mendukung satu sama
lainnya. Kemudian hal yang perlu dipahami,
bahwa keterkaitan teori implementasi dari
George C. Edwards III, serta beberapa teori
sebelumnya
terhadap
penelitian
Implementasi kebijakan Keluarga Berencana
di Kabupaten Batang ini dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Mengadopsi teori George C. Edwards III
hanya sebagai guide awal. Hal ini
didasarkan
pada
hasil
observasi
pendahuluan peneliti di lapangan.
2. Empat fenomena awal sebagaimana
dikemukakan di atas sesungguhnya
sebagian diantaranya merupakan bagian
dari
faktor
yang
mempengaruhi
implementasi kebijakan dari beberapa
pakar kebijakan yang lain.
3. Oleh karena penelitian ini menggunakan
metode kualitatif, yang tujuan utamanya
memahami secara mendalam terhadap
fenomena
implementasi
kebijakan
Keluarga Berencana, sehingga tidak
menutup kemungkinan akan muncul
faktor-faktor lain, sepanjang memang
dalam penelitian nanti menunjukkan hal
yang mendukung adanya.
Selanjutnya kesesuaian fenomena
yang mempengaruhi implementasi dari
masing-masing
pendapat
para
ahli
sebagaimana tersebut di atas terhadap
penelitian implementasi kebijakan Keluarga
Berencana di kabupaten Majalengka, Studi
Kasus Peningkatan kesertaan KB pria di
Kecamatan Banjaran dapat digambarkan
dalam gambar bagan bangun teori sebagai
berikut :
Komunikasi
Grindle
Isi Kebijakan
Konteks kebijakan
Sumber daya
Disposisi
C. George Edwards III
Komunikasi
Sumber daya
Disposisi
Struktur birokrasi
Implementasi
kebijakan keluarga
berencana di
Kabupaten
Majalengka
Struktur
birokrasi
Lingkungan/lain
Gambar
1
Bangun Teori Penelitian
Implementasi
Kebijakan
Keluarga
Berencana
Di
Kabupaten Majalengka
Proposisi Penelitian
Proposisi pada penelitian ini diuraikan
sebagai berikut :
1. Implementasi kebijakan peningkatan KB
pria dalam program Keluarga Berencana
di Kecamatan Banjaran akan berhasil
apabila didukung oleh aspek komunikasi,
sumber daya, disposisi dan struktur
birokrasi.
3
Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12
2. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
implementasi kebijakan peningkatan
kesertaan KB pria dapat diminimalisir
dengan mengimplementasikan seluruh
unsur dalam implementasi kebijakan
yang dilaksanakan secara efektif dan
efisien.
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan fenomenologis. Hal ini
mengingat tujuan utama dari penelitian ini
adalah untuk memahami secara mendalam
(verstehen) terhadap fenomena yang
dijadikan sasaran penelitian, yakni masih
cukup rendahnya cakupan kesertaan KB
pria. Dalam memaknai pemahaman ini,
peneliti akan mencoba menarik berbagai
generalisasi atau teori yang dapat digunakan
untuk perkembangan ilmu itu sendiri atau
untuk dijadikan dasar bagi kepentingan
aplikasi teori dalam kehidupan masyarakat.
Pertimbangan lain adalah bahwa ilmu
administrasi publik merupakan bagian dari
ilmu yang tidak mungkin lepas dari aktifitas
manusia, sedang manusia adalah sentral dari
kajian ilmu itu sendiri. Oleh karenanya untuk
memahami berbagai fenomena administrasi
publik secara mendalam,
penelitian
terhadap manusia sebagai pelaku kegiatan
sosial itu tidak mungkin diabaikan karena
manusia sendirilah yang memberikan warna
terhadap sistem administrasi itu sendiri.
Berhasil atau gagalnya kebijakan suatu
administrasi tidak dapat lepas dari pengaruh
sistem sosial budaya masyarakatnya. Upaya
untuk memahami fenomena budaya inilah
yang menjadi salah satu tugas dari para ahli
ilmu administrasi negara dalam mengkaji
bidang keilmuannya.
Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Diharapkan dengan metode ini
akan ditemukan makna yang tersembunyi
dibalik obyek maupun subyek yang akan
diteliti. Metode penelitian kualitatif sebagai
suatu konsep keseluruhan (holistic)
berupaya untuk mengungkapkan rahasia
sesuatu, dilakukan dengan menghimpun
informasi dalam keadaan sewajarnya
(natural setting), mempergunakan cara kerja
yang sistematik, terarah dan dapat
dipertanggungjawabkan secara kualitatif,
sehingga tidak kehilangan sifat ilmiahnya.
Artinya penelitian ini tidak hanya merekam
hal-hal yang nampak secara eksplisit saja,
melainkan melihat secara keseluruhan
fenomena yang terjadi dalam masyarakat
(Nawawi, 1994 ; 75).
Spesifikasi
penelitian
akan
ditekankan pada penelitian deskriptif
analitis, dimana peneliti akan berupaya
menggambarkan secara rinci fenomena
sosial yang menjadi pokok permasalahan,
tanpa melakukan hipotesis dan perhitungan
secara statistik. Pilihan perspektif ini sejalan
dengan pendapat Bogdan dan Taylor, yang
mendefinisikan kualitatip sebagai berikut :
“Prosedur
penelitian
ini
akan
menghasilkan data diskriptip berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang diamati.
Pendekatan ini diarahkan pada latar dan
individu tersebut secara utuh (holistic)
sebagai bagian dari satu keutuhan”
(dalam Moleong, 200;3).
Sejalan dengan pendapat di atas,
Maustakas
menyebutkan,
bahwa
prinsip,proses,
metode
fenomenologis
adalah sebagai berikut :
1. Fenomenologi
memfokuskan
pada
penampakan suatu benda.
2. Fenomenologi
menekankan
pada
kesatuan, dengan menganalisanya dari
berbagai sisi, sudut pandang, dan
perspektip sampai mencapai pada satu
pandangan yang sama dari satu fenomena
yang ada.
3. Fenomenologi berusaha mencari makna
dari penampakan dan mencapai pada
pemahaman melalui intuisi dan refleksi
dari perilaku yang sadar dari sebuah
pengalaman, mengarahkan pada ide,
konsep, penilaian, dan pengertian.
4. Fenomenologi
digunakan
untuk
menggambarkan pengalaman, bukan
untuk menjelaskan dan menganalisa.
5. Fenomenologi berakar pada pertanyaan
yang mengarahkan dan memfokuskan
pada pemaknaan, dan pertanyaanpertanyaan
tersebut
mengandung
penyidikan atau pengungkapan, yang
dibangun untuk keperluan dan perhatian
lebih jauh, serta memperhitungkan
keterlibatan kita dengan hal-hal yang
dialami.
6. Subyek dan obyek merupakan satu
kesatuan. Apa yang saya lihat, berkaitan
4
Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12
dengan bagaimana saya melihat hal
tersebut, dengan siapa saya melihat hal
tersebut dan sedang bersama siapa saya
pada saat itu.
7. Penelitian realitas inter subyektifitas
merupakan bagian dari proses.
8. Data tentang pengalaman, pemikiran
pribadi, intuisi, refleksi, dan penilaian
merupakan bukti utama dalam penelitian
ilmiah.
9. Pertanyaan penelitian terfokus dan
mengarahkan penelitian harus secara
hati-hati dibangun (Maustakas,1994;5859).
Oleh karena penelitan kualitatif tidak
berangkat dari hipotesis tertentu serta tidak
menguji hipotesis, dengan demikian melalui
penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan
secara terperinci faktor-faktor yang
mempengarui
kekurang
optimalan
pencapaian tujuan dari sebuah kebijakan
publik dimaksud, sehingga pada akhirnya
dapat memberikan rekomendasi kepada
pembuat kebijakan untuk merumuskan
kembali penyempurnaan dari kebijakan
peningkatan kesertaan KB pria.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
a. Implementasi Kebijakan
Peraturan daerah (PERDA) Nomor 14
Tahun 2016 tentang Pembentukan dan
Susunan Perangkat Daerah Kabupaten
Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten
Majalengka Tahun 2016 Nomor 14)
mengenai
pembentukan
Dinas
Pemberdayaan Perempuan Perlindungan
Anak dan Keluarga Berencana sebagai Dinas
teknis yang menangani bidang KB di
Kabupaten Majalengka yang merupakan
pengganti BKKBN di daerah adalah untuk
menyempurnakan tugas dari BKKN dalam
rangka pelaksanaan program keluarga
berencana dapat dilaksanakan secara efektif,
efisien dan akuntabel. Namun demikian
karena begitu banyaknya kewenangan yang
harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah
sejalan dengan amanat undang-undang
Nomor
23
Tahun
2014
tentang
pemerintahan daerah dan undang-undang
nomor Nomor 33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah, serta
Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016
tentang
SOTK,
khususnya
terkait
pembentukan jumlah dinas dan perangkat
daerah, maka tidak semua kebijakan
pemerintah pusat dapat diadopsi utuh oleh
daerah,
tak
terkecuali
pemerintah
Kabupaten Majalengka.
b. Komunikasi
Dimensi
komunikasi
dalam
implementasi program KB umumnya dan
peningkatan kesertaan KB pria khususnya
sangat ditentukan dari beberapa unsur yang
terdapat dalam
komunikasi, seperti
penyampai pesan, isi pesan, media yang
digunakan, serta sasaran penerima pesan,
serta perubahan sebagai akibat komunikasi.
Mengenai bagaimana dimensi komunikasi
yang terjadi di Kecamatan Banjaran dapat
dideskripsikan sebagai berikut :
1. Penyampai pesan
Faktor yang amat menentukan dalam
komunikasi adalah kemampuan orang yang
menyampaikan pesan. Dari sinilah pesan
akan ditransmisikan kepada sasaran atau
peneriman pesan. Penyampai pesan dalam
hal ini adalah penyuluh keluarga berencana
yang dalam tugasnya disamping sebagai
pemberi penyuluhan juga berfungsi sebagai
perencana sekaligus penyelenggara kegiatan
penyuluhan, namun dalam prakteknya
terdapat keluhan dari informan seorang
petugas pembantu pembina KB Desa
/PPKBD (informan ke 13), bahwa dalam
penyampaian informasi sebaiknya dilakukan
tidak hanya petugas PLKB saja melainkan
dengan aparatur desa yang mengetahui
kondisi sosial dan psikologi masyarakat. Hal
tersebut diperkuat oleh informan ke 14
bahwa penyebab sepinya KB pria itu
disebabkan minimnya sosialisasi yang
dilakukan oleh petugas dan minimnya alat
komunikasi lainnya berupa gambar, lefleat,
maupun poster yang disebarkan kepada
masyarakat. Kondisi demikian didukung
oleh pernyataan dari informan PLKB
(responden ke 14) bahwa diakui minimnya
alat komunikasi baik secara langsung
maupun melalui media yang disediakan oleh
pemerintah, khususnya untuk para peserta
KB pria. Sementara penyampaian pesan yang
dilakukan oleh petugas PLKB dilakukan
secara langsung dengan kapasitas yang
terbatas,
sehingga
informasi
yang
disampaikan dinilai belum efektif. Dari
deskripsi di atas jelas tergambar bahwa
5
Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12
penyampai pesan belum memberikan pesan
tentang KB Pria.
2. Media yang digunakan
Disamping faktor penyampai pesan,
media yang digunakan juga sangat
menentukan berhasil dan tidaknya suatu
komunikasi mencapai target sebagaimana
yang diinginkan penyampai pesan. Oleh
karena itu pemilihan media merupakan
salah satu kunci keberhasilan suatu
komunikasi.
Beberapa
informan
menyebutkan bahwa balai desa dan
pertemuan PKK sebagai media utama yang
digunakan PLKB untuk menyampaikan
pesan KB Pria, diantaranya seperti yang
disampaikan oleh informan ke 12 dan 14
bahwa pertemuan untuk melakukan
sosialisasi tentang KB pada umumnya
dilakukan di pertemuan balai desa, di
posyandu-posyandu
terdekat,
namun
demikian hasil yang telah dicapai saat ini
belum maksimal dalam meningkatkan
kepesertaan KB pria.
Dari deskripsi di atas dapat
tergambar bahwa hanya yang punya akses
ke balai desa dan posyandu saja yang
mengetahui tentang program-program KB
yang disampaikan oleh para petugas,
sedangkan untuk masyarakat lainnya yang
tidak memiliki akses kurang mengetahui
informasi tentang program tersebut. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh informan ke 13
bahwa masih minim informasi yang didapat
baik dari pemerintah desa secara langsung
maupun dari petugs PLKB saat ini, sehingga
masih banyak masyarakat yang tidak
mengetahui program KB khususnya untuk
pria secara utuh.
3. Isi Pesan
Kendati isi pesan mengacu pada
panduan materi konseling, namun keutuhan,
kelengkapan serta sistematika penyampaian
yang disampaikan kurang sempurna dan
sistematis, maka kualitas komunikasi akan
menjadi bias. Oleh karena itu isi pesan juga
harus mendapat perhatian dalam sebuah
komunikasi.
Kondom
sebagai
alat
kontrasepsi pria telah banyak dikenal oleh
informan, namun tidak demikian untuk
Medis Operasi Pria (MOP) yang kurang
dikenal diantara informan, sebagaimana
yang diungkapkan oleh informan 15 bahwa
alat kontrasepsi pria yang sangat dikenal
adalah Kondom yang kebanyakan didapat
dari iklan di televise, sementara untuk alat
kontrasepsi
MOP
belum
mendapat
informasi.
4. Akibat komunikasi
Ketiadaan atau kurangnya pesan KB
pria serta media yang disampaiakn tidak
tepat sasaran, maka akibatnya komunikasi
menjadi
kurang
efektif,
sehingga
menimbulkan pernyataan-pernyataan yang
masih belum jelas kebenarannya seperti
halnya dampak alat kontrasepsi bagi pria
selain kondom tingkat keamanan terhadap
kesehatan dinilai kurang baik. Alat
kontrasepsi selain kondom, seperti halnya
MOP itu, informasi yang beredar di
masyarakat bahwa MOP itu masih memiliki
kerawanan terhadap dampak negative bagi
kondisi tubuh, seperti halnya impoten, tubuh
menjadi gemuk dan menurunnya tingkat
kesehatan tubuh. Hal tersebut merupakan
salah satu bentuk penyampaian komunikasi
yang dinilai masih belum efektif, karena isi
pesan yang disampaikan tidak seluruhnya
dapat dipahami oleh seluruh lapisan
masyarakat.
c. Sumber Daya
Jumlah PLKB Kecamatan Banjaran
semuanya berjumlah 24 orang petugas, serta
1 (satu) orang koordinator atau Pengendali
program. Dari jumlah itu 5 (tiga orang
berpendidikan
SMTP,
14
orang
berpendidikan
SMTA,
satu
orang
berpendidikan D-I, dan
empat orang
berpendidikan S-I (strata I). Dilihat dari segi
sumber daya sarana dan prasarana, tempat
pelayanan fasilitas KB terdapat 53 fasilitas
pelayanan yang terdiri dari 1 puskesmas, 3
puskesmas pembantu, 13 polindes, 2 orang
praktek dokter swasta, 19 praktek bidan
swasta, 13 pos alat KB dan 2 apotek/took
obat berizin. Dari data tersebut peneliti
melakukan konfirmasi kepada beberapa
petugas tentang sumber daya yang dimiliki
dan
dalam
keterangannya
bahwa
keseluruhan sumber daya yang dimiliki baik
petugas maupun tempat pelayanan yang ada
di Kecamatan Banjaran pada dasarnya
dilihat dari aspek kuantitas cukup memadai,
namun jika dilihat dari aspek kualitas masih
perlu adanya pembaharuan terutama dalam
aspek sumber daya manusianya, karena
sebagian besar petugas PLKB masih jarang
diadakannya pelatihan-pelatihan secara
6
Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12
regular oleh pemerintah daerah terkait
dengan sosialisasi program KB pria, sehingga
dalam melakukan sosialisasi KB pria
disetarakan dengan sosialisasi KB wanita,
padahal dari aspek pengetahuan masyarakat
seharusnya KB pria menjadi prioritas untuk
lebih dikenalkan kepada masyarakat luas.
d. Disposisi
Ada 3 (tiga) hal penting terkait
dengan disposisi implementator; respon
implementator terhadap kebijakan, kognisi,
serta freferensi nilai yang dimiliki.
(1) Respon
implementator
terhadap
kebijakan
Rendahnya implementor terhadap
kebijakan ini diakibatkan karena
rendahnya aspek media komunikasi
yang dilakukan, karena komunikasi
yang dijalin saat ini hanya bersifat
sosialisasi langsung, sehingga dampak
yang diakibatkan dari komunikasi
langsung sangat terbatas tidak mampu
menjangkau masyarakat luas secara
umumnya dan hanya terbatas pada
orang-orang yang mengikuti sosialisasi
tersebut. Hal ini berdasarkan hasil
wawancara dengan informan yang
menjelaskan bahwa masih rendahnya
tingkat sosialisasi yang dilakukan
kepada masyarakat luas secara
umumnya dan sifat sosialisasi tersebut
sampai saat ini memiliki keterbatasan.
Rendahnya
responsifitas
petugas
terhadap kebijakan dapat diketahui dari
beberapa informan yang menyebutkan
bahwa tidak adanya informasi untuk
melaporkan keluhan-keluhan sebagai
akibat dari program KB. Hal ini
diakibatkan kurang responnya petugas
terhadap pedoman kebijakan yang
mewajibkan petugas (PLKB) untuk
konseling pasca pelayanan (tindakan)
vasektomi.
(2) Kognisi
Penggunaan media penyuluhan yang
konvensional, menunjukkan betapa
pemahaman kebijakan peningkatan
kesertaan KB pria yang seharusnya
dapat melalui kebijakan pelayanan di
tempat kerja, seperti memberikan
penyuluhan di tempat umum (pos
ronda), pangkalan ojek serta tempat
kerja para bapak-bapak yang lain tidak
pernah dilakukan oleh petugas PLKB,
hal ini tercermin dari keterangan
informan aparatur desa (ketua RT) yang
menyebutkan bahwa tidak adanya
sosialisasi yang dilakukan melalui
media ditempat-tempat umum yang
strategis, sehingga tidak adanya
informasi yang didapat mengenai
kepesertaan KB pria.
(3) Freferensi nilai
Keteladanan untuk menggunakan alat
kontrasepsi pria hanya ditunjukkan
oleh 3 (tiga) orang petugas, 2 (dua)
orang petugas menggunakan kondom
dan satu orang PLKB menggunakan
MOP. Fenomena semacam ini sedikit
banyak akan mempengaruhi pandangan
kelompok
penerima
program
(masyarakat) ketika kemung-kinan di
salah satu kesempatan menanyakan
“Kenapa
petugasnya
tidak
memanfaatkan alat kontraspsi pria ?”
Kondisi sebagaimana yang terungkap di
atas, seperti semakin dekatnya purna
tugas, pendidikan yang rendah, serta
rendahnya
tingkat
keingintahuan
tentang sesuatu yang baru, menjadikan
sikap dan komitmen tentang tugas
pokok dan fungsi mereka sebagai
seorang penyuluh/PLKB juga rendah.
Hal ini dirasakan oleh informan yang
bertugas sebagai seorang PLKB yang
menjelaskan bahwa kedisiplinan dan
memberikan
contoh
kepada
masyarakat sangatlah perlu dilakukan
untuk menarik minat masyarakat dalam
mengikuti program KB pria ini.
(4) Struktur Organisasi
Desentralisasi
bidang
keluarga
berencana ditangkap beragam oleh para
informan. Oleh informan ke 2 ditangkap
sebagai hal yang berdampak buruk terhadap
kinerja petugas, karena dengan berubahnya
BKKBN kepada Dinas Pemberdayaan
Perempuan Perlindungan Anak dan
Keluarga Berencana hal ini secara otomatis
merubah orang-orang petugas di dalamnya,
sehingga faktor kebudayaan sangatlah
berpengaruh terhadap cara kerja dan selain
itu adanya otonomi daerah saat ini sangatlah
jelas
memiliki
pengaruh
terhadap
pelaksanaan program KB, karena dengan
adanya otonomi daerah kelengkapan alat KB
7
Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12
ini sangat tergantung pada kemampuan
keuangan daerah untuk menyediakannya.
Faktor lainnya adalah mengenai karir
pegawai yang telah terbentuk persepsi di
petugas KB bahwa karir PLKB sangatlah
terbatas, sehingga berpengaruh terhadap
motivasi pegawainya. Namun demikian,
pendapat kelompok penerima program
justru memberikan persepsi bahwa setelah
adanya otonomi daerah pelaksanaan KB
lebih baik, karena sasaran program justru
lebih merakyat, memberikan pelayanan
gratis kepada warga yang sangat miskin dan
tepat sasaran sampai ke desa-desa. Demikian
juga pendapat tersebut diperkuat oleh
petugas lapangan yang menyebutkan bahwa
tidak adanya perbedaan antara sekarang dan
sebelum otonomi daerah, karena alat
kontrasepsi masih tersedia dan mencukupi.
Namun, jika dilihat dari pandangan agama
mengenai alat kontrasepsi hal ini masih
terdapat dua pandangan yang berbeda
karena
ada
sebagian
ulama
yang
menyebutkan bahwa KB itu ada yang
membolehkan dan ada juga yang
menyatakan tidak boleh, karena dengan
adanya keturunan tersebut adalah rezeki
yang diberikan oleh Allah SWT kepada
hambanya.
Kemudian dimensi lain, seperti
budaya masyarakat nampaknya cukup
mempengaruhi
kesertaan
KB
pria.
Sebagaimana diketahui bahwa budaya
Indonesia umumnya masih banyak yang
menganut pola kebapakan (patrelenial),
dimana dalam keluarga penentu utama
keputusan rumah tangga ada pada suami, tak
terkecuali juga dalam menentukan siapa
yang selayaknya ber-KB, di sisi lain wanita
atau istri secara umum juga menerima begitu
saja dan bahkan sangat menghormati dan
menjaga keputusan suami, hal ini dapat
ditangkap dari informan, bahwa pada
umumnya yang mengikutsertakan program
KB itu sendiri adalah perempuan.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Sebagaimana di kemukakan pada
bagian awal dalam tesis ini bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi kebijakan
menurut George C. Edward III (1998) adalah
komunikasi, sumber-sumber, disposisi, dan
struktur birokrasi. Ke-empat dimensi ini
dalam konteks kebijakan peningkatan
kesertaan KB pria di Kecamatan Banjaran
nampak ada kesesuaian, walaupun derajat
kepentingan masing-masing dimensi tidak
segaris.
Dimensi
kemunikasi
amat
menentukan dalam berhasilnya suatu
program karena dengan komunikasi yang
baik, akibat komunikasi yang ditimbulkan
juga akan berbuah baik, oleh karena itu
penyampai pesan merupakan hal yang
mutlak harus diperhatikan, hal ini sejalan
dengan pendapat Edward III yang
menjelaskan persyaratan utama bagi
implementasi yang efektif adalah bahwa
para pelaksana kebijakan harus mengetahui
apa yang harus mereka lakukan, keputusan
kebijakan harus disalurkan (transmission)
kepada orang-orang yang tepat, sehingga
komunikasi harus akurat diterima oleh para
pelaksana, kemudian jika kebijakan akan
diterapkan, maka perintah kebijakan harus
diterima dengan jelas (Clarity) selain itu
perintah
kebijakan
harus
konsisten
(consistecy).
Realitas
di
lapangan
menunjukkan bahwa komunikasi yang baik
belum dilakukan secara maksimal, yang hal
ini ditunjukkan dengan masih banyaknya
rumor yang menyebutkan bahwa MOP
mengakibatkan “Senjata menjadi loyo,
kemudian menjadikan “badan cepat gemuk
seperti dikebiri” dan sebagainya. Yang
kesemuanya
itu
belum
diupayakan
penjelasan yang lebih rinci dan tepat
sasaran.
Dalam konteks kebijakan publik,
sumber daya manusia dan dana juga
memiliki peran yang amat menentukan,
karena dengan sumber daya dan sumber
dana yang memadai dan berkualitas
kebijakan akan dapat dikomunikasikan
kepada sasaran penerima kebijakan dengan
baik pula, sebaliknya juga, sebagaimana
realitas yang ada dalam kebijakan
peningkatan kesertaan KB pria ini meskipun
pendanaan sudah tidak menjadi persoalan,
karena ditopang dari tiga sumber (APBD
Kabupaten, APBD provinsi, serta APBN),
namun nampak sekali bahwa sumber daya
manusia yang dimiliki kurang memadai baik
dari sisi usia, tingkat pendidikan,
peningkatan kualitas serta dana yang
tersedia, sehingga hasil kebijakannyapun
kurang maksimal. Dari sisi ini pula
koordinasi antar stakeholders kurang
dilakukan secara maksimal untuk dapat
8
Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12
menghilangkan rumor menjadi kesan yang
positif dan menyenangkan.
Disposisi implementator sebagai
mana yang dikemukakan oleh AG Subarno,
mencakup (1) respons implementator
terhadap
kebijakan
yang
akan
mempengaruhi
kemampuannya
untuk
melaksanakan kebijakan, (2) kognisi,
pemahaman para implementator terhadap
kebijakan yang dilaksanakan, (3) intensitas
disposisi implementator, yakni freferensi
nilai yang dimiliki oleh implementator.
Fenomena realitas kebijakan di lapangan
menunjukkan hal yang kurang mendukung,
hal ini nampaknya juga disebabkan karena
rendahnya kualitas sumber daya yang
dimiliki implentator.
Kultur birokrasi di Indonesia yang
nuansanya cenderung topdown, budaya
minta petunjuk dan arahan dari atasan, serta
kecenderungan yang ABS (asal bapak
senang), ketika ada atasan pura-pura rajin,
dan sebaliknya ketika atasan hilang
kerjanyapun malas, dijumpai juga pada
kebijakan Keluarga Berencana di wilayah
penelitian. Kondisi demikian dirasakan betul
oleh penangung jawab program di tingkat
kecamatan, namun demikian karena suatu
program sudah sangat melembaga serta
ketergantungan penerima program terhadap
birokrasi semakin berkurang, sehingga
kebijakan tetap bisa berjalan dengan baik.
Sisi lain yang cukup menghambat kesertaan
KB pria juga diakibatkan karena sikap
petugas yang sudah merasa bisa tanpa harus
menambah wawasan baru seperti ungkapan
“Saya kan kan sudah lama bekerja sehingga
tidak perlu menambah wawasan baru”,
kemudian ungkapan informan sasaran yang
kurang tersentuh petugas baik langsung
maupun tidak langsung “saya tidak tahu
kalau ada penyuluhan KB, biasanya dimana
ya…..?”
Sebagai
sebuah
kebijakan
pemberdayaan masyarakat, teori George C.
Edward III (1998) yang cenderung lebih
memperhatikan aspek internal implementtator, dalam konteks kebijakan di lapangan
realitas menunjukkan hal yang kurang
signifikan. Hal ini dapat ditunjukkan seperti
budaya masyarakat, yang masih menganut
pola bapak, dimana peran bapak dalam
keluarga sangat dominan, sebagaimana
diungkapkan seorang informan yanag
menyebutkan “Pada umumnya yang peserta
KB adalah perempuan, sementara laki-laki
sangat jarang ditemukan di daerah ini.
Kemudian pengaruh dari tokoh panutan
seperti tokoh agama, dimana ia menyatakan
bahwa KB itu hukumnya MUTASYABIHAT
(samar-samar, tidak halal dan tidak haram),
sehingga tidak merespon secara aktif
terhadap sosialisasi yang dilakukan oleh
para petugas KB. Kurangnya akses
masyarakat terhadap implementator, yang
ternyata juga mempengarui kebijakan,
sehingga teori Merilee S. Grindle yang
menyebutkan
bahwa
implementasi
kebijakan dipengarui oleh dua kelompok
dimensi besar, konteks dan konten kebijakan
menjadi relefan dalam konteks kebijakan
pemberyaan masyarakat seperti kebijakan
peningkatan kesertaan KB pria.
PENUTUP
implementasi
kebijakan
keluarga
berencana di Kabupaten Majalengka, studi
kasus peningkatan kesertaan KB pria di
Kecamatan Banjaran yang dideskripsikan
dari Bab I sampai dengan Bab IV dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Implementasi
Kebijakan
Keluarga
Berencana di Kabupaten Majalengka
telah berjalan cukup baik, hal ini
ditunjukkan dengan lahirnya Peraturan
daerah (PERDA) Nomor 14 Tahun 2016
tentang Pembentukan dan Susunan
Perangkat Daerah Kabupaten Majalengka
(Lembaran
Daerah
Kabupaten
Majalengka Tahun 2016 Nomor 14)
mengenai
pembentukan
Dinas
Pemberdayaan Perempuan Perlindungan
Anak dan Keluarga Berencana sebagai
Dinas teknis yang menangani bidang KB
di Kabupaten Majalengka dan sebagai
respon atas regulasi desentralisasi
kewenangan bidang Keluaraga Berencana
dari
pemerintah
pusat
kepada
pemerintah Daerah.
2. Peningkatan Kesertaan KB pria sebagai
konsekuensi dari upaya peningkatan
kesetaraan dan keadilan gender menuju
terwujudnya
keluarga berkualitas tahun 2023 di
Kabupaten Majalengka telah dilakukan
dengan cukup baik. Indikasi hal ini
dengan terakomodasikannya bidang
9
Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12
3.
4.
5.
6.
tersebut ke dalam seksi jaminan
pelayanan KB pada Bidang Keluarga
Berencana dan Kesehatan Reproduksi
dalam lingkungan Dinas Pemberdayaan
Perempuan Perlindungan Anak dan
Keluarga
Berencana
Kabupaten
Majalengka.
Masih rendahnya diklat dan pelatihan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah,
sehingga sumber daya manusia saat ini
dalam pelaksanaan program KB pria
belum maksimal, karena masih adanya
keterbatasan
pemahaman
dalam
memberikan
sosialisasi
kepada
masyarakat.
Kondisi demikian juga
menjadikan isi pesan implementator
sangat terbatas pada apa yang didapatkan
tempo dulu.
Belum terbentuknya Struktur Organisasi
dan
Tata
Kerja
(SOTK)
di
kecamatan yang pasti, menjadikan pola
menejemen sumberdaya manusia di
lapangan kurang maksimal. Hal ini
ditunjukkan
dengan
keragu-raguan
koordinator atau pengendali di lapangan,
karena ketiadaannya payung hukum
dalam menentukan wilayah kewenangan,
kepastian urusan pekerjaan sejalan
dengan penggabungan dua bidang
pekerjaan (CAPIL dan BKKBN), serta
ketentuan lain yang terkait dalam
menegur bawahannya yang kurang
maksimal dalam bekerja.
Penggunaan media penyuluhan yang
masih
konvensional
yang
hanya
memanfaatkan pertemuan-pertemuan di
balai
desa,
sehingga
kurang
dapat menyentuh sasaran para pria yang
sibuk
bekerja
di
luar
rumah
seperti tukang becak dan nelayan.
Kenyataan
ini
memberikan
efek
terhadap kurangnya pengetahuan para
bapak terhadap informasi KB pria.
Rendahnya kualitas sumber daya
manusia berimplikasi pula terhadap
rendahnya komitmen petugas dalam
meningkatkan kinerjanya, hal ini
dapat ditunjukkan dengan masih
sedikitnya petugas yang menggunakan
alat kontrasepsi pria, keengganan mereka
dalam
menambah
pengetahuan baru tentang KB pria, serta
masih adanya beberapa petugas KB yang
seenaknya dalam melaksanakan tugas
pokok dan fungsinya dalam bekerja.
7. Dimensi Lingkungan kebijakan ternyata
juga
mempunyai
andil
yang
cukup besar dalam implentasi kebijakan
peningkatan kesertaan KB pria di
Kecamatan Banjaran. Hal yang demikian
ini
dapat
ditunjukkan
dengan
masih adanya tokoh agama yang
menganggap bahwa KB merupakan
perbuatan mutasyabihat (samar-samar,
antara halal dan haram), sikap
perempuan yang masih merasa dirinya
harus
yang
lebih prihatin dan
mengalah, serta ketakutan para ibu jika
suaminya ikut MOP akan menurunkan
tingkat kebugaran pria.
5.2 Saran/Rekomendasi
1. Peningkatan sumber daya manusia dalam
organisasi
Dinas
Pemberdayaan
Perempuan Perlindungan Anak dan
Keluarga Berencana umumnya, dan
petugas lapangan keluarga berencana di
tingkat kecamatan khususnya, mutlak
diperlukan sejalan dengan peningkatan
kualitas pendidikan masyarakat sasaran
program. Hal ini dapat dilakukan
dengan model diklat maupun tugas
belajar.
2. Perlunya
peningkatan
kualitas
komunikasi, baik isi pesan yang
disampaikan maupun media yang
digunakan sehingga akibat komunikasi
yang ditimbulkan dapat lebih tepat
sasaran dan dapat diterima dengan
pemerintahan
dalam
memberikan
penyuluhan pada tokoh masyarakat di
desa, sehingga kesan negatif terhadap KB
pria seperti menurunkan tingkat
kesehatan pria setelah melakukan KB
pria, sehingga pandangan tersebut akan
semakin kecil dan akhirnya berubah
menjadi kesan yang positif.
3. Untuk para peneliti yang tertarik dengan
kajian masalah keluarga berencana dan
kesehatan reproduksi dapat lebih
memfokuskan pada sisi identifikasi
keinginan
masyarakat
dalam
menggunakan
alat
kontrasepsi.
Hal ini disamping akan membantu
memberikan alternatif kebijakan yang
diperlukan dalam program keluarga
berencana, juga bermanfaat dalam
10
Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12
penigkatan kesertaan KB pria baik dan
sempurna,
yang
pada
akhirnya
memberikan kontribusi positif terhadap
peningkatan kesertaan KB pria.
4. Perlunya menentukan jenis kelembagaan
yang tepat dan pasti di tingkat lapangan
(kecamatan) sehingga lebih memberikan
kejelasan wewenang dan tanggungjawab
terhadap pimpinan di lapangan dalam
memberdayakan
petugas
lapangan
(PLKB) dalam mengelola program
keluarga berencana pada umumnya dan
peningkatan kesertaan KB pria pada
khususnya.
5. Perlunya peningkatan kerjasama dengan
instansi
terkait
seperti
Dinas
kesehatan, Departemen Agama serta LSM
pemerhati KB yang ada di semua jenjang.
DAFTAR PUSTAKA
Bagoes Mantra, Ida. Demografi Umum. Cet.
VIII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2009.
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Sosial
&
Ekonomi.
Cet.
II;
Jakarta:
Predanamedia Graoup. 2015.
Dian
Purnama,
Putri.
”Efektivitas
Pelaksanaan
Program
Terpadu
Peningkatan
Peran Perempuan Menuju Keluarga
Sejahtera (P3KSS) Kampung Onoharjo
Kecamatan
Terbanggi
Besar
Kabupaten Lampung Tengah Tahun
2015”.
Skripsi. Bandar lampung: Fakultas ilmu
Sosial
Dan
Politik
Universitas
Lampung. 2016.
Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu
SosialPendekatan
Kualitatif
Dan
Kauntitatif. Yogyakarta: Erlangga,
2009.
Mardiyanto.
Pemberdayaan
Keluarga
Melalui Kampung KB Dalam Upaya
Peningkatan Program KKBPK Dan
Terkait Di Jawa Timur. Jurnal
Keluarga. Vol 2. No. 1. 2017.
Republik Indonesia. Undang-Undang RI
Nomor 10 Tahun 1992. Perkembangan
Kependudukan Dan Pembangunan
Keluarga
Sejahtera,
Dalam
UndangUndang Keluarga Berencana.
Bagian II. Pasal: Jakarta. 1992.
Merrynce Dan Ahmad Hidir. “Efektivitas
Pelaksanaan
Program
Keluarga
Berencana”. Jurnal Kebijakan Publik.
Vol 4 No. 1. 2013.
Noer
Effendi,
Tadjuddin.
Kebijakan
Kependudukan Teori, Konsep Dan
Penerapan Di Indonesia. Jurnal
Populasi. Vol 2. No 2. 1991.
11
Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12
BIOGRAFI PENULIS
Mumu Mugni, Mahasiswa Program Magister Ilmu Administrasi, Universitas
Majalengka, Jawa Barat, Indonesia.
email:
[email protected]
12
Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12