Academia.eduAcademia.edu

Implementasi Kebijakan Keluarga Berencana DI Kabupaten Majalengka

2020, JURNAL DIALOGIKA Manajemen dan Administrasi

The implementation of the family planning policy program launched by the Indonesian government is not only focused on women, but also on men. This study uses a phenomenological approach. This is because the main objective of this study is to understand deeply (verstehen) the phenomenon that is the target of the study, namely the relatively low coverage of male family planning participation. In interpreting this understanding, researchers will try to draw various generalizations or theories that can be used for the development of science itself or to be used as a basis for the benefit of theory application in people's lives. The research method used in this study is a qualitative method and the informant selection technique in this study uses the snow ball informant technique. The data analysis technique used is taxonomic analysis, which is a more detailed and in-depth form of analysis in discussing a theme or subject matter. The implementation of Family Planning Policy in Majale...

Jurnal DIALOGIKA Manajemen dan Administrasi Homepage: https://ejurnal.unma.ac.id/index.php/dialogika Vol. 2, No. 1 Oktober 2020 halaman: 1 ∼ 12 E-ISSN: 2720-9865, P-ISSN: 2716-3563 DOI : https://doi.org/10.31949/dialogika.v2i1.2167 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KELUARGA BERENCANA DI KABUPATEN MAJALENGKA 1 Mumu Mugni, 2 A. Yunus, 3 Diding Bajuri (1)Mahasiswa (2)(3)Dosen Magister Ilmu Administrasi, Universitas Majalengka, Jawa Barat, Indonesia Magister Ilmu Administrasi, Pascasarjana Universitas Majalengka, Jawa Barat, Indonesia e-mail korespondensi: [email protected] Disubmit Agustus 2020 , Diterima September 2020 , Diterbitkan Oktober 2020 Submitted August 2020 , Accepted September 2020 , Published October 2020 Penulis koresponden Abstract The implementation of the family planning policy program launched by the Indonesian government is not only focused on women, but also on men. This study uses a phenomenological approach. In interpreting this understanding, researchers will try to draw various generalizations or theories that can be used for the development of science itself or to be used as a basis for the benefit of theory application in people's lives. The research method used in this study is a qualitative method and the informant selection technique in this study uses the snow ball informant technique. The data analysis technique used is taxonomic analysis, which is a more detailed and in-depth form of analysis in discussing a theme or subject matter. The implementation of Family Planning Policy in Majalengka Regency has gone quite well, this is indicated by the issuance of regional regulations (PERDA). Number 14 of 2016 concerning the Formation and Composition of Regional Apparatus of Majalengka Regency (Regional Gazette of Majalengka Regency of 2016 Number 14) regarding the establishment of the Office for Empowerment of Women for Child Protection and Family Planning as a technical agency that handles the family planning sector in Majalengka Regency and as a response to the decentralization of field authority Family Planning from the central government to local governments. Keywords: Policy Implementation, Male Family Planning Equality, Government Jurnal DIALOGIKA Manajemen dan Administrasi diterbitkan oleh Program Studi Administrasi Publik Pascasarjana Universitas Majalengka Abstrak Program kebijakan keluarga berencana yang diluncurkan oleh pemerintah Indonesia pada pelaksanaannya tidak hanya terfokus kepada perempuan, tetapi juga terhadap laki-laki. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis. Dalam memaknai pemahaman ini, peneliti akan mencoba menarik berbagai generalisasi atau teori yang dapat digunakan untuk perkembangan ilmu itu sendiri atau untuk dijadikan dasar bagi kepentingan aplikasi teori dalam kehidupan masyarakat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan teknik pemilihan informan pada penelitian ini menggunakan teknik informan snow ball (bola salju). Teknik analisa data yang digunakan adalah analisis taksonomis (taxonomic analysis), yaitu bentuk analisis yang lebih rinci dan mendalam dalam membahas suatu tema atau pokok permasalahan Implementasi Kebijakan Keluarga Berencana di Kabupaten Majalengka telah berjalan cukup baik, hal ini ditunjukkan dengan lahirnya Peraturan daerah (PERDA) Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 14) mengenai pembentukan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana sebagai Dinas teknis yang menangani bidang KB di Kabupaten Majalengka dan sebagai respon atas regulasi desentralisasi kewenangan bidang Keluaraga Berencana dari pemerintah pusat kepada pemerintah Daerah. Kata kunci: Implementasi Kebijakan, Kesetaraan KB Pria, Pemerintah This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License 1 Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12 PENDAHULUAN Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan penduduk mencapai 49,02 juta jiwa pada tahun 2019 yang termasuk ke dalam salah satu provinsi terpadat penduduknya di Indonesia. Provinsi Jawa Barat sendiri dalam mengatasi permasalahan penduduknya salah satunya dengan program Keluarga Berencana dan Pembangunana Keluarga (KKBK) yang tujuannya adalah dengan melahirkan generasi penerus yang sehat, cerdas, inovatif, berdaya saing tinggi, berbudaya, produktif dan bahagia. Namun pada permasalahannya program KKBK terutama dalam penekanan jumlah penduduk masih didominasi oleh kaum perempuan. Hal ini disebutkan dalam berita dari CNN 27/04/2017 menyebutkan bahwa pengetahuan soal program Kelarga Berencana (KB) dinilai belum seimbang antara laki-laki dan perempuan. Para suami masih sedikit yang peduli dengan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi. Perkembangan pelaksanaan program peningkatan kesertaan KB pria di lapangan ternyata belum seperti apa yang diharapkan. Dalam kenyataannya terdapat beberapa permasalahan yang muncul dalam implementasi program yang dilaksanakan, antara lain : Operasionalisasi program yang dilaksanakan selama ini lebih mengarah kepada wanita sebagai sasaran, penyiapan tempat pelayanan, tenaga pelayanan dan juga penyediaan alat dan obat kontrasepsi (Alokon) untuk pria sangat terbatas, hampir semuanya adalah untuk wanita, demikian juga adanya prioritas penggunaan Metoda Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) juga hampir semuanya untuk wanita. Kondisi demikian ini ikut mempengaruhi kemampuan dan keterampilan petugas (PLKB) dalam mengkomunikasikan dan memasarkan alat kontrasepsi bagi pria, karena kurang terbiasa dan sangat terbatasnya pilihan kontrasepsinya. Permasalahan lain yang juga ikut mempengaruhi tidak efektifnya kebijakan peningkatan partisipasi pria adalah persoalan peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya, mulai dari kurangnya pelatihan-pelatihan khusus, kurangnya sarana dan prasarana kerja petugas, sampai kurang jelasnya lembaga pengelola program. Sebagai gambarannya, di tahun 2019 tenaga Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) atau Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) di Provinsi Jawa Barat ratio PKB/PLKB dibandingkan dengan desa atau kelurahan masih sangat jauh dari harapan. Satu penyuluh masih memegang sekitar 6-7 desa atau kelurahan. Jumlahnya sekitar 15.137 tenaga PKB/PLKB (Budianto, 2019). Sebagai tindak lanjut desentralisasi bidang Keluarga Berencana, pemerintah Kabupaten Majalengka menerbitkan Peraturan daerah (PERDA) Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 14) mengenai pembentukan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana sebagai Dinas teknis yang menangani bidang KB di Kabupaten Majalengka yang merupakan pengganti BKKBN di daerah, sehingga idealnya pelaksanaan Program Keluarga Berencana akan lebih baik, efektif, efisien, dan akuntabel sebagaimana tujuan utama dari otonomi daerah (Oentarto, SM, 2004:42). Kondisi yang terjadi di Kecamatan Banjaran tidak berbeda jauh sebagaimana yang terjadi di lingkup kabupaten, partisipasi pria dalam ber KB di Kecamatan Banjaran juga masih jauh dari harapan (kurang dari 6 % terhadap total kesertaan masyarakat yang menjadi peserta KB saat ini). Berdasarkan diskripsi permasalahan sebagaimana tersebut di atas, maka penelitian ini akan meneliti secara mendalam Implementasi kebijakan Program Keluarga Berencana, dengan judul : Implementasi Kebijakan Keluarga Berencana di Kabupaten Majalengka, Studi Kasus Peningkatan Kesertaan KB Pria di Kecamatan Banjaran. Pemilihan topik ini didasarkan pada pengalaman dan data awal yang didapat di lapangan sehubungan dengan kendala yang dirasakan selama implementasi kebijakan berlangsung. Disamping itu yang menjadi pertimbangan peneliti adalah bahwa penelitian ini masih berada dalam kajian ilmu administrasi publik. 2 Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12 TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan publik merupakan suatu tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan atau masalah yang ada dalam masyarakat. Dalam setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pasti memiliki tujuan-tujuan dari adanya kebijakan tersebut. Tentunya dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan akan membuat keadaan masyarakat menjadi lebih baik. Setiap kebijakan publik pasti menimbulkan suatu dampak. Demikian juga dengan kebijakan keluarga berencana yang terfokus ke dalam peningkatan kesetaraan KB pria di Kabupaten Majalengka. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah daerah adalah meningkatkan kesetaraan KB pria di Majalengka, karena jumlah peserta KB pria dinilai sangatlah rendah bila dibandingkan dengan kepesertaan perempuan. Pemerintah Kabupaten Majalengka bersama Dinas terkait yang menangani keluarga berencana pasti sebelum mengimplementasikan suatu kebijakan sudah merancang dan memprediksi bagaimana kebijakan tersebut akan berjalan serta bagaimana dampak yang ditimbulkannya. Kemudian pada saat implementasi kebijakan program kesetaraan KB untuk pria hal ini perlu adanya suatu implementasi yang terencana dan sistematis yang disertai dengan kepemilikan sumber daya, tingkat komunikasi, kekuatan struktur birokrasi dan kejelasan disposisi, sehingga tidak menghambat dalam implementasi kebijakan program kebijakan keluarga berencana. Karena tidak semua kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah langsung diterima oleh masyarakat yang menerima dampak langsung akibat kebijakan tersebut. Begitu juga dengan kebijakan program KB untuk pria yang sudah lama dilakukan tetapi jumlah pesertanya masih sangat rendah. Oleh karena itu, unsur-unsur komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi harus saling mendukung satu sama lainnya. Kemudian hal yang perlu dipahami, bahwa keterkaitan teori implementasi dari George C. Edwards III, serta beberapa teori sebelumnya terhadap penelitian Implementasi kebijakan Keluarga Berencana di Kabupaten Batang ini dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Mengadopsi teori George C. Edwards III hanya sebagai guide awal. Hal ini didasarkan pada hasil observasi pendahuluan peneliti di lapangan. 2. Empat fenomena awal sebagaimana dikemukakan di atas sesungguhnya sebagian diantaranya merupakan bagian dari faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan dari beberapa pakar kebijakan yang lain. 3. Oleh karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang tujuan utamanya memahami secara mendalam terhadap fenomena implementasi kebijakan Keluarga Berencana, sehingga tidak menutup kemungkinan akan muncul faktor-faktor lain, sepanjang memang dalam penelitian nanti menunjukkan hal yang mendukung adanya. Selanjutnya kesesuaian fenomena yang mempengaruhi implementasi dari masing-masing pendapat para ahli sebagaimana tersebut di atas terhadap penelitian implementasi kebijakan Keluarga Berencana di kabupaten Majalengka, Studi Kasus Peningkatan kesertaan KB pria di Kecamatan Banjaran dapat digambarkan dalam gambar bagan bangun teori sebagai berikut : Komunikasi Grindle Isi Kebijakan Konteks kebijakan Sumber daya Disposisi C. George Edwards III Komunikasi Sumber daya Disposisi Struktur birokrasi Implementasi kebijakan keluarga berencana di Kabupaten Majalengka Struktur birokrasi Lingkungan/lain Gambar 1 Bangun Teori Penelitian Implementasi Kebijakan Keluarga Berencana Di Kabupaten Majalengka Proposisi Penelitian Proposisi pada penelitian ini diuraikan sebagai berikut : 1. Implementasi kebijakan peningkatan KB pria dalam program Keluarga Berencana di Kecamatan Banjaran akan berhasil apabila didukung oleh aspek komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. 3 Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan peningkatan kesertaan KB pria dapat diminimalisir dengan mengimplementasikan seluruh unsur dalam implementasi kebijakan yang dilaksanakan secara efektif dan efisien. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis. Hal ini mengingat tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memahami secara mendalam (verstehen) terhadap fenomena yang dijadikan sasaran penelitian, yakni masih cukup rendahnya cakupan kesertaan KB pria. Dalam memaknai pemahaman ini, peneliti akan mencoba menarik berbagai generalisasi atau teori yang dapat digunakan untuk perkembangan ilmu itu sendiri atau untuk dijadikan dasar bagi kepentingan aplikasi teori dalam kehidupan masyarakat. Pertimbangan lain adalah bahwa ilmu administrasi publik merupakan bagian dari ilmu yang tidak mungkin lepas dari aktifitas manusia, sedang manusia adalah sentral dari kajian ilmu itu sendiri. Oleh karenanya untuk memahami berbagai fenomena administrasi publik secara mendalam, penelitian terhadap manusia sebagai pelaku kegiatan sosial itu tidak mungkin diabaikan karena manusia sendirilah yang memberikan warna terhadap sistem administrasi itu sendiri. Berhasil atau gagalnya kebijakan suatu administrasi tidak dapat lepas dari pengaruh sistem sosial budaya masyarakatnya. Upaya untuk memahami fenomena budaya inilah yang menjadi salah satu tugas dari para ahli ilmu administrasi negara dalam mengkaji bidang keilmuannya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Diharapkan dengan metode ini akan ditemukan makna yang tersembunyi dibalik obyek maupun subyek yang akan diteliti. Metode penelitian kualitatif sebagai suatu konsep keseluruhan (holistic) berupaya untuk mengungkapkan rahasia sesuatu, dilakukan dengan menghimpun informasi dalam keadaan sewajarnya (natural setting), mempergunakan cara kerja yang sistematik, terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara kualitatif, sehingga tidak kehilangan sifat ilmiahnya. Artinya penelitian ini tidak hanya merekam hal-hal yang nampak secara eksplisit saja, melainkan melihat secara keseluruhan fenomena yang terjadi dalam masyarakat (Nawawi, 1994 ; 75). Spesifikasi penelitian akan ditekankan pada penelitian deskriptif analitis, dimana peneliti akan berupaya menggambarkan secara rinci fenomena sosial yang menjadi pokok permasalahan, tanpa melakukan hipotesis dan perhitungan secara statistik. Pilihan perspektif ini sejalan dengan pendapat Bogdan dan Taylor, yang mendefinisikan kualitatip sebagai berikut : “Prosedur penelitian ini akan menghasilkan data diskriptip berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh (holistic) sebagai bagian dari satu keutuhan” (dalam Moleong, 200;3). Sejalan dengan pendapat di atas, Maustakas menyebutkan, bahwa prinsip,proses, metode fenomenologis adalah sebagai berikut : 1. Fenomenologi memfokuskan pada penampakan suatu benda. 2. Fenomenologi menekankan pada kesatuan, dengan menganalisanya dari berbagai sisi, sudut pandang, dan perspektip sampai mencapai pada satu pandangan yang sama dari satu fenomena yang ada. 3. Fenomenologi berusaha mencari makna dari penampakan dan mencapai pada pemahaman melalui intuisi dan refleksi dari perilaku yang sadar dari sebuah pengalaman, mengarahkan pada ide, konsep, penilaian, dan pengertian. 4. Fenomenologi digunakan untuk menggambarkan pengalaman, bukan untuk menjelaskan dan menganalisa. 5. Fenomenologi berakar pada pertanyaan yang mengarahkan dan memfokuskan pada pemaknaan, dan pertanyaanpertanyaan tersebut mengandung penyidikan atau pengungkapan, yang dibangun untuk keperluan dan perhatian lebih jauh, serta memperhitungkan keterlibatan kita dengan hal-hal yang dialami. 6. Subyek dan obyek merupakan satu kesatuan. Apa yang saya lihat, berkaitan 4 Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12 dengan bagaimana saya melihat hal tersebut, dengan siapa saya melihat hal tersebut dan sedang bersama siapa saya pada saat itu. 7. Penelitian realitas inter subyektifitas merupakan bagian dari proses. 8. Data tentang pengalaman, pemikiran pribadi, intuisi, refleksi, dan penilaian merupakan bukti utama dalam penelitian ilmiah. 9. Pertanyaan penelitian terfokus dan mengarahkan penelitian harus secara hati-hati dibangun (Maustakas,1994;5859). Oleh karena penelitan kualitatif tidak berangkat dari hipotesis tertentu serta tidak menguji hipotesis, dengan demikian melalui penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan secara terperinci faktor-faktor yang mempengarui kekurang optimalan pencapaian tujuan dari sebuah kebijakan publik dimaksud, sehingga pada akhirnya dapat memberikan rekomendasi kepada pembuat kebijakan untuk merumuskan kembali penyempurnaan dari kebijakan peningkatan kesertaan KB pria. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN a. Implementasi Kebijakan Peraturan daerah (PERDA) Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 14) mengenai pembentukan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana sebagai Dinas teknis yang menangani bidang KB di Kabupaten Majalengka yang merupakan pengganti BKKBN di daerah adalah untuk menyempurnakan tugas dari BKKN dalam rangka pelaksanaan program keluarga berencana dapat dilaksanakan secara efektif, efisien dan akuntabel. Namun demikian karena begitu banyaknya kewenangan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah sejalan dengan amanat undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang nomor Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016 tentang SOTK, khususnya terkait pembentukan jumlah dinas dan perangkat daerah, maka tidak semua kebijakan pemerintah pusat dapat diadopsi utuh oleh daerah, tak terkecuali pemerintah Kabupaten Majalengka. b. Komunikasi Dimensi komunikasi dalam implementasi program KB umumnya dan peningkatan kesertaan KB pria khususnya sangat ditentukan dari beberapa unsur yang terdapat dalam komunikasi, seperti penyampai pesan, isi pesan, media yang digunakan, serta sasaran penerima pesan, serta perubahan sebagai akibat komunikasi. Mengenai bagaimana dimensi komunikasi yang terjadi di Kecamatan Banjaran dapat dideskripsikan sebagai berikut : 1. Penyampai pesan Faktor yang amat menentukan dalam komunikasi adalah kemampuan orang yang menyampaikan pesan. Dari sinilah pesan akan ditransmisikan kepada sasaran atau peneriman pesan. Penyampai pesan dalam hal ini adalah penyuluh keluarga berencana yang dalam tugasnya disamping sebagai pemberi penyuluhan juga berfungsi sebagai perencana sekaligus penyelenggara kegiatan penyuluhan, namun dalam prakteknya terdapat keluhan dari informan seorang petugas pembantu pembina KB Desa /PPKBD (informan ke 13), bahwa dalam penyampaian informasi sebaiknya dilakukan tidak hanya petugas PLKB saja melainkan dengan aparatur desa yang mengetahui kondisi sosial dan psikologi masyarakat. Hal tersebut diperkuat oleh informan ke 14 bahwa penyebab sepinya KB pria itu disebabkan minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh petugas dan minimnya alat komunikasi lainnya berupa gambar, lefleat, maupun poster yang disebarkan kepada masyarakat. Kondisi demikian didukung oleh pernyataan dari informan PLKB (responden ke 14) bahwa diakui minimnya alat komunikasi baik secara langsung maupun melalui media yang disediakan oleh pemerintah, khususnya untuk para peserta KB pria. Sementara penyampaian pesan yang dilakukan oleh petugas PLKB dilakukan secara langsung dengan kapasitas yang terbatas, sehingga informasi yang disampaikan dinilai belum efektif. Dari deskripsi di atas jelas tergambar bahwa 5 Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12 penyampai pesan belum memberikan pesan tentang KB Pria. 2. Media yang digunakan Disamping faktor penyampai pesan, media yang digunakan juga sangat menentukan berhasil dan tidaknya suatu komunikasi mencapai target sebagaimana yang diinginkan penyampai pesan. Oleh karena itu pemilihan media merupakan salah satu kunci keberhasilan suatu komunikasi. Beberapa informan menyebutkan bahwa balai desa dan pertemuan PKK sebagai media utama yang digunakan PLKB untuk menyampaikan pesan KB Pria, diantaranya seperti yang disampaikan oleh informan ke 12 dan 14 bahwa pertemuan untuk melakukan sosialisasi tentang KB pada umumnya dilakukan di pertemuan balai desa, di posyandu-posyandu terdekat, namun demikian hasil yang telah dicapai saat ini belum maksimal dalam meningkatkan kepesertaan KB pria. Dari deskripsi di atas dapat tergambar bahwa hanya yang punya akses ke balai desa dan posyandu saja yang mengetahui tentang program-program KB yang disampaikan oleh para petugas, sedangkan untuk masyarakat lainnya yang tidak memiliki akses kurang mengetahui informasi tentang program tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh informan ke 13 bahwa masih minim informasi yang didapat baik dari pemerintah desa secara langsung maupun dari petugs PLKB saat ini, sehingga masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui program KB khususnya untuk pria secara utuh. 3. Isi Pesan Kendati isi pesan mengacu pada panduan materi konseling, namun keutuhan, kelengkapan serta sistematika penyampaian yang disampaikan kurang sempurna dan sistematis, maka kualitas komunikasi akan menjadi bias. Oleh karena itu isi pesan juga harus mendapat perhatian dalam sebuah komunikasi. Kondom sebagai alat kontrasepsi pria telah banyak dikenal oleh informan, namun tidak demikian untuk Medis Operasi Pria (MOP) yang kurang dikenal diantara informan, sebagaimana yang diungkapkan oleh informan 15 bahwa alat kontrasepsi pria yang sangat dikenal adalah Kondom yang kebanyakan didapat dari iklan di televise, sementara untuk alat kontrasepsi MOP belum mendapat informasi. 4. Akibat komunikasi Ketiadaan atau kurangnya pesan KB pria serta media yang disampaiakn tidak tepat sasaran, maka akibatnya komunikasi menjadi kurang efektif, sehingga menimbulkan pernyataan-pernyataan yang masih belum jelas kebenarannya seperti halnya dampak alat kontrasepsi bagi pria selain kondom tingkat keamanan terhadap kesehatan dinilai kurang baik. Alat kontrasepsi selain kondom, seperti halnya MOP itu, informasi yang beredar di masyarakat bahwa MOP itu masih memiliki kerawanan terhadap dampak negative bagi kondisi tubuh, seperti halnya impoten, tubuh menjadi gemuk dan menurunnya tingkat kesehatan tubuh. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk penyampaian komunikasi yang dinilai masih belum efektif, karena isi pesan yang disampaikan tidak seluruhnya dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. c. Sumber Daya Jumlah PLKB Kecamatan Banjaran semuanya berjumlah 24 orang petugas, serta 1 (satu) orang koordinator atau Pengendali program. Dari jumlah itu 5 (tiga orang berpendidikan SMTP, 14 orang berpendidikan SMTA, satu orang berpendidikan D-I, dan empat orang berpendidikan S-I (strata I). Dilihat dari segi sumber daya sarana dan prasarana, tempat pelayanan fasilitas KB terdapat 53 fasilitas pelayanan yang terdiri dari 1 puskesmas, 3 puskesmas pembantu, 13 polindes, 2 orang praktek dokter swasta, 19 praktek bidan swasta, 13 pos alat KB dan 2 apotek/took obat berizin. Dari data tersebut peneliti melakukan konfirmasi kepada beberapa petugas tentang sumber daya yang dimiliki dan dalam keterangannya bahwa keseluruhan sumber daya yang dimiliki baik petugas maupun tempat pelayanan yang ada di Kecamatan Banjaran pada dasarnya dilihat dari aspek kuantitas cukup memadai, namun jika dilihat dari aspek kualitas masih perlu adanya pembaharuan terutama dalam aspek sumber daya manusianya, karena sebagian besar petugas PLKB masih jarang diadakannya pelatihan-pelatihan secara 6 Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12 regular oleh pemerintah daerah terkait dengan sosialisasi program KB pria, sehingga dalam melakukan sosialisasi KB pria disetarakan dengan sosialisasi KB wanita, padahal dari aspek pengetahuan masyarakat seharusnya KB pria menjadi prioritas untuk lebih dikenalkan kepada masyarakat luas. d. Disposisi Ada 3 (tiga) hal penting terkait dengan disposisi implementator; respon implementator terhadap kebijakan, kognisi, serta freferensi nilai yang dimiliki. (1) Respon implementator terhadap kebijakan Rendahnya implementor terhadap kebijakan ini diakibatkan karena rendahnya aspek media komunikasi yang dilakukan, karena komunikasi yang dijalin saat ini hanya bersifat sosialisasi langsung, sehingga dampak yang diakibatkan dari komunikasi langsung sangat terbatas tidak mampu menjangkau masyarakat luas secara umumnya dan hanya terbatas pada orang-orang yang mengikuti sosialisasi tersebut. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan informan yang menjelaskan bahwa masih rendahnya tingkat sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat luas secara umumnya dan sifat sosialisasi tersebut sampai saat ini memiliki keterbatasan. Rendahnya responsifitas petugas terhadap kebijakan dapat diketahui dari beberapa informan yang menyebutkan bahwa tidak adanya informasi untuk melaporkan keluhan-keluhan sebagai akibat dari program KB. Hal ini diakibatkan kurang responnya petugas terhadap pedoman kebijakan yang mewajibkan petugas (PLKB) untuk konseling pasca pelayanan (tindakan) vasektomi. (2) Kognisi Penggunaan media penyuluhan yang konvensional, menunjukkan betapa pemahaman kebijakan peningkatan kesertaan KB pria yang seharusnya dapat melalui kebijakan pelayanan di tempat kerja, seperti memberikan penyuluhan di tempat umum (pos ronda), pangkalan ojek serta tempat kerja para bapak-bapak yang lain tidak pernah dilakukan oleh petugas PLKB, hal ini tercermin dari keterangan informan aparatur desa (ketua RT) yang menyebutkan bahwa tidak adanya sosialisasi yang dilakukan melalui media ditempat-tempat umum yang strategis, sehingga tidak adanya informasi yang didapat mengenai kepesertaan KB pria. (3) Freferensi nilai Keteladanan untuk menggunakan alat kontrasepsi pria hanya ditunjukkan oleh 3 (tiga) orang petugas, 2 (dua) orang petugas menggunakan kondom dan satu orang PLKB menggunakan MOP. Fenomena semacam ini sedikit banyak akan mempengaruhi pandangan kelompok penerima program (masyarakat) ketika kemung-kinan di salah satu kesempatan menanyakan “Kenapa petugasnya tidak memanfaatkan alat kontraspsi pria ?” Kondisi sebagaimana yang terungkap di atas, seperti semakin dekatnya purna tugas, pendidikan yang rendah, serta rendahnya tingkat keingintahuan tentang sesuatu yang baru, menjadikan sikap dan komitmen tentang tugas pokok dan fungsi mereka sebagai seorang penyuluh/PLKB juga rendah. Hal ini dirasakan oleh informan yang bertugas sebagai seorang PLKB yang menjelaskan bahwa kedisiplinan dan memberikan contoh kepada masyarakat sangatlah perlu dilakukan untuk menarik minat masyarakat dalam mengikuti program KB pria ini. (4) Struktur Organisasi Desentralisasi bidang keluarga berencana ditangkap beragam oleh para informan. Oleh informan ke 2 ditangkap sebagai hal yang berdampak buruk terhadap kinerja petugas, karena dengan berubahnya BKKBN kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana hal ini secara otomatis merubah orang-orang petugas di dalamnya, sehingga faktor kebudayaan sangatlah berpengaruh terhadap cara kerja dan selain itu adanya otonomi daerah saat ini sangatlah jelas memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan program KB, karena dengan adanya otonomi daerah kelengkapan alat KB 7 Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12 ini sangat tergantung pada kemampuan keuangan daerah untuk menyediakannya. Faktor lainnya adalah mengenai karir pegawai yang telah terbentuk persepsi di petugas KB bahwa karir PLKB sangatlah terbatas, sehingga berpengaruh terhadap motivasi pegawainya. Namun demikian, pendapat kelompok penerima program justru memberikan persepsi bahwa setelah adanya otonomi daerah pelaksanaan KB lebih baik, karena sasaran program justru lebih merakyat, memberikan pelayanan gratis kepada warga yang sangat miskin dan tepat sasaran sampai ke desa-desa. Demikian juga pendapat tersebut diperkuat oleh petugas lapangan yang menyebutkan bahwa tidak adanya perbedaan antara sekarang dan sebelum otonomi daerah, karena alat kontrasepsi masih tersedia dan mencukupi. Namun, jika dilihat dari pandangan agama mengenai alat kontrasepsi hal ini masih terdapat dua pandangan yang berbeda karena ada sebagian ulama yang menyebutkan bahwa KB itu ada yang membolehkan dan ada juga yang menyatakan tidak boleh, karena dengan adanya keturunan tersebut adalah rezeki yang diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya. Kemudian dimensi lain, seperti budaya masyarakat nampaknya cukup mempengaruhi kesertaan KB pria. Sebagaimana diketahui bahwa budaya Indonesia umumnya masih banyak yang menganut pola kebapakan (patrelenial), dimana dalam keluarga penentu utama keputusan rumah tangga ada pada suami, tak terkecuali juga dalam menentukan siapa yang selayaknya ber-KB, di sisi lain wanita atau istri secara umum juga menerima begitu saja dan bahkan sangat menghormati dan menjaga keputusan suami, hal ini dapat ditangkap dari informan, bahwa pada umumnya yang mengikutsertakan program KB itu sendiri adalah perempuan. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Sebagaimana di kemukakan pada bagian awal dalam tesis ini bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi kebijakan menurut George C. Edward III (1998) adalah komunikasi, sumber-sumber, disposisi, dan struktur birokrasi. Ke-empat dimensi ini dalam konteks kebijakan peningkatan kesertaan KB pria di Kecamatan Banjaran nampak ada kesesuaian, walaupun derajat kepentingan masing-masing dimensi tidak segaris. Dimensi kemunikasi amat menentukan dalam berhasilnya suatu program karena dengan komunikasi yang baik, akibat komunikasi yang ditimbulkan juga akan berbuah baik, oleh karena itu penyampai pesan merupakan hal yang mutlak harus diperhatikan, hal ini sejalan dengan pendapat Edward III yang menjelaskan persyaratan utama bagi implementasi yang efektif adalah bahwa para pelaksana kebijakan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan, keputusan kebijakan harus disalurkan (transmission) kepada orang-orang yang tepat, sehingga komunikasi harus akurat diterima oleh para pelaksana, kemudian jika kebijakan akan diterapkan, maka perintah kebijakan harus diterima dengan jelas (Clarity) selain itu perintah kebijakan harus konsisten (consistecy). Realitas di lapangan menunjukkan bahwa komunikasi yang baik belum dilakukan secara maksimal, yang hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya rumor yang menyebutkan bahwa MOP mengakibatkan “Senjata menjadi loyo, kemudian menjadikan “badan cepat gemuk seperti dikebiri” dan sebagainya. Yang kesemuanya itu belum diupayakan penjelasan yang lebih rinci dan tepat sasaran. Dalam konteks kebijakan publik, sumber daya manusia dan dana juga memiliki peran yang amat menentukan, karena dengan sumber daya dan sumber dana yang memadai dan berkualitas kebijakan akan dapat dikomunikasikan kepada sasaran penerima kebijakan dengan baik pula, sebaliknya juga, sebagaimana realitas yang ada dalam kebijakan peningkatan kesertaan KB pria ini meskipun pendanaan sudah tidak menjadi persoalan, karena ditopang dari tiga sumber (APBD Kabupaten, APBD provinsi, serta APBN), namun nampak sekali bahwa sumber daya manusia yang dimiliki kurang memadai baik dari sisi usia, tingkat pendidikan, peningkatan kualitas serta dana yang tersedia, sehingga hasil kebijakannyapun kurang maksimal. Dari sisi ini pula koordinasi antar stakeholders kurang dilakukan secara maksimal untuk dapat 8 Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12 menghilangkan rumor menjadi kesan yang positif dan menyenangkan. Disposisi implementator sebagai mana yang dikemukakan oleh AG Subarno, mencakup (1) respons implementator terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kemampuannya untuk melaksanakan kebijakan, (2) kognisi, pemahaman para implementator terhadap kebijakan yang dilaksanakan, (3) intensitas disposisi implementator, yakni freferensi nilai yang dimiliki oleh implementator. Fenomena realitas kebijakan di lapangan menunjukkan hal yang kurang mendukung, hal ini nampaknya juga disebabkan karena rendahnya kualitas sumber daya yang dimiliki implentator. Kultur birokrasi di Indonesia yang nuansanya cenderung topdown, budaya minta petunjuk dan arahan dari atasan, serta kecenderungan yang ABS (asal bapak senang), ketika ada atasan pura-pura rajin, dan sebaliknya ketika atasan hilang kerjanyapun malas, dijumpai juga pada kebijakan Keluarga Berencana di wilayah penelitian. Kondisi demikian dirasakan betul oleh penangung jawab program di tingkat kecamatan, namun demikian karena suatu program sudah sangat melembaga serta ketergantungan penerima program terhadap birokrasi semakin berkurang, sehingga kebijakan tetap bisa berjalan dengan baik. Sisi lain yang cukup menghambat kesertaan KB pria juga diakibatkan karena sikap petugas yang sudah merasa bisa tanpa harus menambah wawasan baru seperti ungkapan “Saya kan kan sudah lama bekerja sehingga tidak perlu menambah wawasan baru”, kemudian ungkapan informan sasaran yang kurang tersentuh petugas baik langsung maupun tidak langsung “saya tidak tahu kalau ada penyuluhan KB, biasanya dimana ya…..?” Sebagai sebuah kebijakan pemberdayaan masyarakat, teori George C. Edward III (1998) yang cenderung lebih memperhatikan aspek internal implementtator, dalam konteks kebijakan di lapangan realitas menunjukkan hal yang kurang signifikan. Hal ini dapat ditunjukkan seperti budaya masyarakat, yang masih menganut pola bapak, dimana peran bapak dalam keluarga sangat dominan, sebagaimana diungkapkan seorang informan yanag menyebutkan “Pada umumnya yang peserta KB adalah perempuan, sementara laki-laki sangat jarang ditemukan di daerah ini. Kemudian pengaruh dari tokoh panutan seperti tokoh agama, dimana ia menyatakan bahwa KB itu hukumnya MUTASYABIHAT (samar-samar, tidak halal dan tidak haram), sehingga tidak merespon secara aktif terhadap sosialisasi yang dilakukan oleh para petugas KB. Kurangnya akses masyarakat terhadap implementator, yang ternyata juga mempengarui kebijakan, sehingga teori Merilee S. Grindle yang menyebutkan bahwa implementasi kebijakan dipengarui oleh dua kelompok dimensi besar, konteks dan konten kebijakan menjadi relefan dalam konteks kebijakan pemberyaan masyarakat seperti kebijakan peningkatan kesertaan KB pria. PENUTUP implementasi kebijakan keluarga berencana di Kabupaten Majalengka, studi kasus peningkatan kesertaan KB pria di Kecamatan Banjaran yang dideskripsikan dari Bab I sampai dengan Bab IV dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Implementasi Kebijakan Keluarga Berencana di Kabupaten Majalengka telah berjalan cukup baik, hal ini ditunjukkan dengan lahirnya Peraturan daerah (PERDA) Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2016 Nomor 14) mengenai pembentukan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana sebagai Dinas teknis yang menangani bidang KB di Kabupaten Majalengka dan sebagai respon atas regulasi desentralisasi kewenangan bidang Keluaraga Berencana dari pemerintah pusat kepada pemerintah Daerah. 2. Peningkatan Kesertaan KB pria sebagai konsekuensi dari upaya peningkatan kesetaraan dan keadilan gender menuju terwujudnya keluarga berkualitas tahun 2023 di Kabupaten Majalengka telah dilakukan dengan cukup baik. Indikasi hal ini dengan terakomodasikannya bidang 9 Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12 3. 4. 5. 6. tersebut ke dalam seksi jaminan pelayanan KB pada Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi dalam lingkungan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Majalengka. Masih rendahnya diklat dan pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, sehingga sumber daya manusia saat ini dalam pelaksanaan program KB pria belum maksimal, karena masih adanya keterbatasan pemahaman dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Kondisi demikian juga menjadikan isi pesan implementator sangat terbatas pada apa yang didapatkan tempo dulu. Belum terbentuknya Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) di kecamatan yang pasti, menjadikan pola menejemen sumberdaya manusia di lapangan kurang maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan keragu-raguan koordinator atau pengendali di lapangan, karena ketiadaannya payung hukum dalam menentukan wilayah kewenangan, kepastian urusan pekerjaan sejalan dengan penggabungan dua bidang pekerjaan (CAPIL dan BKKBN), serta ketentuan lain yang terkait dalam menegur bawahannya yang kurang maksimal dalam bekerja. Penggunaan media penyuluhan yang masih konvensional yang hanya memanfaatkan pertemuan-pertemuan di balai desa, sehingga kurang dapat menyentuh sasaran para pria yang sibuk bekerja di luar rumah seperti tukang becak dan nelayan. Kenyataan ini memberikan efek terhadap kurangnya pengetahuan para bapak terhadap informasi KB pria. Rendahnya kualitas sumber daya manusia berimplikasi pula terhadap rendahnya komitmen petugas dalam meningkatkan kinerjanya, hal ini dapat ditunjukkan dengan masih sedikitnya petugas yang menggunakan alat kontrasepsi pria, keengganan mereka dalam menambah pengetahuan baru tentang KB pria, serta masih adanya beberapa petugas KB yang seenaknya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam bekerja. 7. Dimensi Lingkungan kebijakan ternyata juga mempunyai andil yang cukup besar dalam implentasi kebijakan peningkatan kesertaan KB pria di Kecamatan Banjaran. Hal yang demikian ini dapat ditunjukkan dengan masih adanya tokoh agama yang menganggap bahwa KB merupakan perbuatan mutasyabihat (samar-samar, antara halal dan haram), sikap perempuan yang masih merasa dirinya harus yang lebih prihatin dan mengalah, serta ketakutan para ibu jika suaminya ikut MOP akan menurunkan tingkat kebugaran pria. 5.2 Saran/Rekomendasi 1. Peningkatan sumber daya manusia dalam organisasi Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana umumnya, dan petugas lapangan keluarga berencana di tingkat kecamatan khususnya, mutlak diperlukan sejalan dengan peningkatan kualitas pendidikan masyarakat sasaran program. Hal ini dapat dilakukan dengan model diklat maupun tugas belajar. 2. Perlunya peningkatan kualitas komunikasi, baik isi pesan yang disampaikan maupun media yang digunakan sehingga akibat komunikasi yang ditimbulkan dapat lebih tepat sasaran dan dapat diterima dengan pemerintahan dalam memberikan penyuluhan pada tokoh masyarakat di desa, sehingga kesan negatif terhadap KB pria seperti menurunkan tingkat kesehatan pria setelah melakukan KB pria, sehingga pandangan tersebut akan semakin kecil dan akhirnya berubah menjadi kesan yang positif. 3. Untuk para peneliti yang tertarik dengan kajian masalah keluarga berencana dan kesehatan reproduksi dapat lebih memfokuskan pada sisi identifikasi keinginan masyarakat dalam menggunakan alat kontrasepsi. Hal ini disamping akan membantu memberikan alternatif kebijakan yang diperlukan dalam program keluarga berencana, juga bermanfaat dalam 10 Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12 penigkatan kesertaan KB pria baik dan sempurna, yang pada akhirnya memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kesertaan KB pria. 4. Perlunya menentukan jenis kelembagaan yang tepat dan pasti di tingkat lapangan (kecamatan) sehingga lebih memberikan kejelasan wewenang dan tanggungjawab terhadap pimpinan di lapangan dalam memberdayakan petugas lapangan (PLKB) dalam mengelola program keluarga berencana pada umumnya dan peningkatan kesertaan KB pria pada khususnya. 5. Perlunya peningkatan kerjasama dengan instansi terkait seperti Dinas kesehatan, Departemen Agama serta LSM pemerhati KB yang ada di semua jenjang. DAFTAR PUSTAKA Bagoes Mantra, Ida. Demografi Umum. Cet. VIII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Sosial & Ekonomi. Cet. II; Jakarta: Predanamedia Graoup. 2015. Dian Purnama, Putri. ”Efektivitas Pelaksanaan Program Terpadu Peningkatan Peran Perempuan Menuju Keluarga Sejahtera (P3KSS) Kampung Onoharjo Kecamatan Terbanggi Besar Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2015”. Skripsi. Bandar lampung: Fakultas ilmu Sosial Dan Politik Universitas Lampung. 2016. Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu SosialPendekatan Kualitatif Dan Kauntitatif. Yogyakarta: Erlangga, 2009. Mardiyanto. Pemberdayaan Keluarga Melalui Kampung KB Dalam Upaya Peningkatan Program KKBPK Dan Terkait Di Jawa Timur. Jurnal Keluarga. Vol 2. No. 1. 2017. Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1992. Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, Dalam UndangUndang Keluarga Berencana. Bagian II. Pasal: Jakarta. 1992. Merrynce Dan Ahmad Hidir. “Efektivitas Pelaksanaan Program Keluarga Berencana”. Jurnal Kebijakan Publik. Vol 4 No. 1. 2013. Noer Effendi, Tadjuddin. Kebijakan Kependudukan Teori, Konsep Dan Penerapan Di Indonesia. Jurnal Populasi. Vol 2. No 2. 1991. 11 Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12 BIOGRAFI PENULIS Mumu Mugni, Mahasiswa Program Magister Ilmu Administrasi, Universitas Majalengka, Jawa Barat, Indonesia. email: [email protected] 12 Jurnal Dialogika Manajemen dan Administrasi, Vol.2, No.1, Oktober 2020, p. 1-12