Masalah-masalah Etis Pendidikan Humaniora
Melalui Media Digital
Alexander Aur
ABSTRACT: Humanities education—as a way for educators and students to develop
dimensions of the human self to be more human—is facing a serious ethical challenge.
The challenge in question is regarding the ontological status of digital media. The
philosopher Martin Heidegger said that technology is the mode and moment of
alētheia, that is, being reveals itself. Being reveals himself is the truth. When humans
use technological tools, that is the moment and the way humans understand and
embrace the truth. That’s the technological ontology. Referring to the technological
ontology, there are ethical problems faced by educators and students in the context of
humanities learning through digital media. First, educators and students strive for
an ontology of digital technology so that together with the use of digital technology,
ethical truth and goodness reveal themselves. Second, educators and students open
themselves to the truth and ethical virtues that reveal themselves during online
humanities learning. Thus, educators and students remain ethical and human beings
in the digital age.
KEYWORDS: Humanities education, ontology of digital technology, digital culture,
multidimensional of digital human being.
ABSTRAK: Pendidikan humaniora—sebagai jalan bagi pendidik dan peserta didik
mengembangkan dimensi-dimensi diri manusia supaya lebih manusiawi—sedang
menghadapi sebuah tantangan etis yang serius. Tantangan yang dimaksud adalah
perihal status ontologis media digital. Filosof Martin Heidegger mengatakan
bahwa teknologi adalah modus dan momen alētheia, yakni Ada (Being)
menyingkapkan dirinya. Ada yang menyingkapkan dirinya, itulah kebenaran.
Manakala manusia menggunakan alat-alat teknologi itulah momen dan cara
manusia memahami dan merengkuh kebenaran. Itulah ontologi teknologi.
RESPONS volume 25 no. 02 (2020): 227-250
© 2020 PPE-UNIKA ATMA JAYA, Jakarta
ISSN 0853-8689 (Print)
ISSN 2715-4769 (Online)
RESPONS – DESEMBER 2020
Mengacu pada ontologi teknologi, ada masalah-masalah etis yang dihadapi
pendidik dan peserta didik dalam konteks pembelajaran humaniora melalui media
digital. Pertama, pendidik dan peserta didik mengupayakan ontologi teknologi
digital agar bersamaan dengan penggunaan teknologi digital, kebenaran dan
kebaikan etis pun menyingkapkan dirinya. Kedua, pendidik dan peserta didik
membuka diri pada kebenaran dan kebaikan etis yang menyingkapkan dirinya
saat pembelajaran humaniora secara daring. Dengan demikian, pendidik dan
peserta didik tetap sebagai makhluk etis dan manusiawi di era digital.
KATA KUNCI: Pendidikan humaniora, ontologi teknologi digital, budaya digital,
manusia digital multidimensi.
1.
PENDAHULUAN
Wabah Covid-19 yang melanda seluruh dunia menyebabkan
hampir semua orang untuk mengubah cara berpikir, cara bertindak, dan
pola hidup. Relasi sosial, kebiasaan hidup sehari-hari, gaya hidup, dan
sebagai berubah secara signifikan. Sebagian besar hal, yang sebelum wabah
Covid-19 dilakukan oleh sebagian besar orang secara langsung, berubah
menjadi tidak langsung atau termediasi. Dalam hal relasi sosial sehari-hari
sebelum wabah, hampir setiap orang menghendaki perjumpaan langsung
dengan orang lain untuk berbagai kepentingan. Selama masa wabah dan
mungkin setelah orang terbiasa dengan wabah ini, orang-orang akan
lebih menghendaki perjumpaan tidak langsung atau perjumpaan yang
termediasi oleh perangkat teknologi digital.
Meskipun banyak orang tergopoh-gopoh mengakses dan mengoperasionalkan perangkat teknologi digital, khususnya orang yang berusia
paruh baya sampai lansia, namun lama kelamaan menjadi terbiasa dan
bisa. Mereka menjadi fasih menggunakan perangkat media digital. Hal
demikian menandakan bahwa pada masa wabah dan setelahnya, teknologi
digital ditempatkan oleh manusia secara umum sebagai hal yang sangat
penting dalam lanskap hidup manusia.
Dunia pendidikan pun tidak dapat mengelak dari keberadaan
perangkat teknologi digital. Sebelum wabah Covid-19, teknologi digital
Respons 25 (2020) 02
228
MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI
MEDIA DIGITAL
belum digunakan secara massal untuk perkuliahan di perguruan tinggi
dan pembelajaran di lembaga pendidikan dasar dan menengah. Sebelum
wabah, perjumpaan langsung antara pendidik dan peserta dididik,
diyakini oleh para pelaku pendidikan sebagai hal yang memungkinkan
proses pendidikan berlangsung secara baik. Selama wabah dan setelahnya,
perjumpaan langsung pendidik dan peserta didik dalam proses pendidikan
digantikan oleh perjumpaan dan pembelajaran yang termediasi melalui
penggunaan perangkat teknologi digital.
Perangkat teknologi digital memudahkan manusia dalam mengatasi
berbagai problem dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Demikian pula
dalam proses pendidikan. Para pelaku pendidikan, khususnya pendidik
dan peserta didik, dimudahkan dalam berbagai hal yang terkait dengan
pelaksanaan pendidikan. Mulai dari perencanaan, proses, sampai evaluasi
dapat dilaksanakan secara leluasa dan lancar dengan menggunakan
perangkat teknologi digital. Pendidik dan peserta didik secara mudah
mengakses sumber-sumber materi perkuliahan dan pembelajaran.
Pendidikan dan peserta didik dapat belajar di mana saja dan kapan saja.
Akan tetapi kemudahan yang disuguhkan oleh teknologi digital
tersebut mesti dideteksi secara teliti. Mengapa? Karena teknologi digital dan kemudahan yang ditawarkannya tidak selalu berbanding
lurus dengan nilai-nilai etis seperti solidaritas, kebahagiaan, kebaikan,
kejujuran, keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas sosial. Melalui deteksi
ini siapapun—khususnya pendidik dan peserta didik pendidikan
humaniora—mengetahui problem etisnya.
Melalui deteksi terhadap sistem dan cara kerja teknologi digital sedapat
mungkin pendidik dan peserta didik memahami modus operandi teknologi
digital dan implikasi-implikasi etisnya terhadap pendidikan humaniora
secara daring. Dengan demikian, pendidik dan peserta didik juga dapat
berupaya agar teknologi digital dan penggunaanya, tetap menjamin
pendidikan humaniora secara daring sebagai jalan mengembangkan diri
supaya lebih manusiawi.
229
Respons 25 (2020) 02
RESPONS – DESEMBER 2020
Beberapa pertanyaan berikut sebagai pintu masuk untuk memahami
masalah-masalah etis dalam pendidikan humaniora melalui media digital:
Apakah teknologi digital memungkinkan pendidik dan peserta didik
menginternalisasi nilai-nilai etis? Sejauh mana teknologi digital baik
secara kegunaan sekaligus baik secara etis? Apakah penggunaan teknologi
digital yang terus-menerus sebagai sarana pendidikan tidak berpotensi
membentuk pendidik dan peserta didik sebagai “manusia digital”? Apakah
teknologi digital dalam dirinya terkandung ontologi teknologi? Apakah
teknologi digital merupakan modus kebenaran menyingkapkan dirinya?
Mungkinkah manusia memahami dan merengkuh kebenaran (the truth)
yang menyingkapkan dirinya melalui dan dalam momen penggunaan
teknologi digital?
2.
TEKNOLOGI: DARI FILSAFAT TEKNOLOGI KE
FILSAFAT KOMPUTER
Teknologi digital merupakan sebuah varian dalam dunia teknologi.
Agar dapat memahami ontologi teknologi digital, perlu dibedah terlebih
dahulu apa yang dimaksudkan dengan “teknologi” dan “digital.” Kata
“teknologi” sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Istilah yang terkenal
terkait dengan kata itu adalah “maieutike techne, yang berarti teknik
kebidanan. Sokrates—sang filsuf Yunani kuno—menggunakan istilah
itu sebagai metode pengajarannya.1 Istilah itu juga menunjukkan bahwa
pengetahuan mengenai teknik—yang kemudian dikenal dengan istilah
teknologi—sudah merupakan fenomena dunia manusia pada masa itu.
Makna dari istilah “teknologi” sudah berkembang sangat maju.
Perkembangan itu tidak semata-mata mengenai definisi teknologi tetapi
sudah sampai teknologi sebagai perkara filsafat. Filosof Martin Heidegger
(1889-1976) adalah salah satu filosof mengelaborasi teknologi sebagai
perkara filsafat. Ia memberikan perhatian secara filosofis terhadap masalah
itu. Perhatiannya tersebut tidak terlepas dari proyek besar filsafatnya dalam
Being and Time.2
Respons 25 (2020) 02
230
MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI
MEDIA DIGITAL
Dalam karya itu, dengan pendekatan fenomenologi, ia menunjukkan
bahwa yang ontologis mengungkapkan (menyingkapkan) dirinya kepada Dasein (manusia) yang terlempar ke dalam dunia. Modus ketersingkapan yang
ontologis terhadap manusia berlangsung dalam dan melalui sikap manusia
terhadap berbagai hal yang bukan manusia. Heidegger menyebut hal-hal
yang bukan manusia dengan istilah yang ontis. Disebutnya demikian karena
hal-hal yang bukan manusia tidak dapat memahami ontologinya dan tidak
dapat membuka diri terhadap Ada (Being) yang menyingkapkan dirinya.
Dengan demikian, untuk menyebut hal-hal yang bukan manusia
Heidegger menggunakan istilah yang ontis. Sedangkan untuk menyebut
manusia (Dasein), meskipun mengalami keterlemparan dalam dunia tetapi
memiliki kapasitas tertentu yakni mampu memahami ontologi dirinya dan
mampu membuka diri terhadap Ada (Being) yang aktif menyingkapkan
dirinya, Heidegger menggunakan istilah yang ontologis. Dengan kata lain,
yang termasuk dalam kategori yang ontis adalah pengada-pengada nonmanusia—khususnya alat-alat—yang digunakan oleh manusia. Sedangkan
yang termasuk dalam kategori yang ontologis adalah Ada (Being) yang
secara aktif mengungkapkan dirinya kepada manusia dan manusia yang
aktif membuka diri pada Ada.
Dalam kerangka filsafat Being and Time yang demikian, Heidegger
memberikan perhatian filosofis kepada teknologi. Dalam teksnya yang
berjudul “The Question Concerning Technology”3, Heidegger memandang
teknologi bukan semata-mata sebagai alat dan sarana bagi manusia untuk
mencapai tujuan tertentu. Lebih dari itu, teknologi merupakan modus
kebenaran (truth) menyingkapkan dirinya. Keberadaan teknologi yang
demikian, menampakkan ontologi dari teknologi.
Berikut tulis Heidegger mengenai teknologi:
“Technology is a mode of revealing. Technology comes to presence in the
realm where revealing and unconcealment take place, where alētheia,
truth, happens.”4 (Teknologi merupakan modus penyingkapan.
231
Respons 25 (2020) 02
RESPONS – DESEMBER 2020
Teknologi muncul di dunia di mana penyingkapan dan ketidaktersembunyian terjadi, alētheia, kebenaran terjadi?5
Apabila manusia menyikapi teknologi semata-mata sebagai sesuatu
yang bernilai guna untuk mencapai tujuan tertentu, maka teknologi masih
sebagai hal yang ontis. Teknologi yang demikian bukan teknologi karena
hanya bersifat instrumentalistik dan antropologis, yakni sebagai alat
untuk kepentingan manusia.6 Demikian pula, manusia pun masih belum
masuk dalam kategori yang ontologis karena manusia enggan membuka diri
terhadap kebenaran yang tersingkapkan melalui teknologi.
Teknologi sebagai modus kebenaran menyingkapan dirinya atau
modus alētheia menunjukkan bahwa alat-alat teknologi sebagai yang
ontis senantiasa berhubungan dengan kebenaran sebagai yang ontologis.
Itu berarti, kebenaran sebagai yang ontologis adalah syarat kemungkinan
bagi yang ontis. Itulah ontologi teknologi. Dengan kata lain, manusia
membuka diri terhadap kebenaran yang menyingkapkan dirinya melalui
penggunaan alat-alat teknologi.
Penggunaan alat-alat teknologi memungkinkan kebenaran keluar
dari ketersembunyiannya. Alat-alat teknologi bermakna sejauh dalam
penggunaannya memungkinkan manusia mengerti kebenaran (yang
benar). Sebaliknya, bila alat-alat teknologi ditempatkan semata-mata
sebagai alat penaklukan dan manipulasi, maka teknologi sebagai modus
kebenaran untuk menyingkapkan dirinya tidak terpenuhi.
Kilasan tilikan pemikiran Heidegger mengenai filsafat teknologi
tersebut masih relevan untuk para pendidik—khususnya para pendidik
humaniora—yang menyelenggarakan pembelajaran secara daring. Akan
tetapi dewasa ini, teknologi sudah berkembang sangat maju. Secara filosofis,
filsafat teknologi pun sudah memasuki ranah baru yakni filsafat komputer.
Itu berarti, dalam konteks pembelajaran humaniora secara daring, para
pendidik dan peserta didik humaniora tidak dapat tidak, menggunakan
pendekatan filsafat teknologi dan filsafat komputer.7
Respons 25 (2020) 02
232
MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI
MEDIA DIGITAL
Penggunaan kedua pendekatan tersebut membantu pendidik
dan peserta didik agar tetap mengepankan nilai-nilai etis—antara lain,
solidaritas sosial, kebahagiaan, kebaikan, kejujuran, keadilan, hormat
terhadap manusia dan hak-hak asasinya, hormat terhadap lingkungan
hidup, cinta-kasih, dan perdamaian—sebagai yang benar (the truth) dan
yang baik (the good). Nilai-nilai etis tersebut merupakan pokok penting
yang diinternalisasikan oleh pendidik dan peserta didik dalam pendidikan humaniora.
Filsafat komputer membantu pendidik dan peserta didik menilik
secara jernih hakikat dan cara kerja teknologi digital dalam pembelajaran
daring. Tujuan adalah agar memahami sejauh mana hakikat dan cara
kerja teknologi digital sebagai antisipasi agar tidak terjadi penyimpangan
terhadap nilai-nilai etis. Dalam konteks dan lingkup artikel ini, tilikan
hanya sekilas dan berfokus pada makna teknologi digital dan budaya
digital.
Apa yang dimaksudkan dengan “digital”? Kata ini nantinya bertautan
erat dengan teknologi sehingga menjadi teknologi digital. Digital seperti
yang terdefinisikan dalam kamus elektronik Merriam-webster adalah
“of, relating to, or using calculation by numerical methods or by discrete
units; composed of data in the form of especially binary digits.8 Digital juga
didefinisikan sebagai gambaran mengenai keadaan bilangan yang terdiri
dari angka 0 dan 1 atau off dan on. Bilangan tersebut disebut bilangan
biner (binary digit). Arti lain digital adalah sinyal atau data yang dinyatakan
dalam serangkaian angka 0 dan 1, dan secara umum diwakili oleh nilainilai kuantitas fisik, seperti tegangan atau polarisasi magnetik.9 Definisidefinisi ringkas mengenai “digital” tersebut merujuk pada penggunaan
sistem bilangan dalam teknologi digital terkini.
Jadi, teknologi digital merupakan modernisasi atau pembaharuan
dari penggunaan teknologi baru—yang berhubungan dengan kelahiran
internet dan komputer—dengan sistem kerja artificial intelligence (AI)
super canggih di dalamnya. Inilah yang disebut revolusi digital.10
233
Respons 25 (2020) 02
RESPONS – DESEMBER 2020
Dimensi revolutif teknologi digital telah dan terus membentuk
sebuah sistem kebudayaan. Manusia dengan kapasitas akal budinya
membuat perangkat komputer dan internet super canggih yang dilengkapi
perangkat halus artificial intelligence. Teknologi digital kemudian menarik
manusia masuk ke dalamnya. Bersamaan dengan itu teknologi digital juga
memasuki ruang publik dan ruang privat hidup manusia.
Charlie Gere dalam Culture Digital mengatakan bahwa penyusupan
teknologi digital ke dalam kehidupan kita adalah bagian dari sebuah
fenomena yang lebih luas. Dalam 30 tahun terakhir, globalisasi dan
dominasi kapitalisme pasar bebas berperan aktif dalam peningkatan
teknologi informasi dan komunikasi di berbagai belahan dunia. Kekuatan
dan pengaruh techno-science berkembang pesat.11
Teknologi digital, lanjut Charlie Gere, merupakan bagian penting
dan konstitutif darinya perkembangan itu dan sampai batas tertentu telah
menentukan bentuknya. Komputerisasi perbankan, pertukaran mata
uang internasional dan perdagangan telah sangat membantu kebangkitan
globalisasi dan liberalisasi keuangan. Berbagai kemungkinan konvergensi
dan integrasi melalui teknologi digital telah membuat teknologi digital
mendominasi secara teknis perkembangan media dan komunikasi.12
Komputer—dengan seluruh proses komputerisasi dalam sistem
komputer—juga merupakan cara penting mengelola dan memanipulasi
sejumlah besar data dalam proyek tekno-ilmiah. Pendeknya, perkembangan
ilmu pengetahuan, media, modal secara bersamaan berada dalam lindungan teknologi digital sehingga menghasilkan efek maju yang sangat
cepat. Dalam efek yang demikian, segala sesuatu tampak terjadi dengan
kecepatan yang dipercepat demi menghasilkan perubahan besar dan luas
dalam waktu sangat singkat.13
Dalam perubahan yang demikian, berbagai dimensi hidup manusia
baik dimensi privat maupun dimensi publik saling terhubungkan secara
digital. Keterhubungan itu merupakan produk konkret dari paradigma
abstraksi, koding, pemprograman oleh komputer. Kompleksitas interaksi
Respons 25 (2020) 02
234
MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI
MEDIA DIGITAL
dan dialektis antar berbagai dimensi hidup manusia—yang sebelumnya
berlangsung secara konkret melalui perjumpaan langsung antarmanusia—
dalam abad teknologi digital menjadi produk dari komputer dengan
perangkat artificial intelligence di dalamnya. Itulah budaya digital.14
3.
MASALAH ETIS DALAM PENDIDIKAN HUMANIORA
MELALUI MEDIA DIGITAL
3.1. Arti Istilah Humaniora, Sejarah dan Maksud Pendidikan
Humaniora
Sebelum membahas masalah-masalah etis pendidikan humaniora
melalui media digital, perlu dijelaskan lebih dulu arti istilah humaniora,
sejarah dan maksud pendidikan humaniora. Apa arti humaniora?
Bagaimana gambaran historis15 dan apa maksud pendidikan humaniora?
Memahami arti dan maksud hal-hal tersebut dan menempatkannya dalam
konteks pembelajaran melalui media digital, memudahkan kita membahas
masalah etis sebagaimana menjadi intensi artikel ini.
Istilah humaniora16 merupakan istilah serapan dari bahasa Latin. Arti
harafiah humaniora (bentuk jamak) adalah “hal-hal yang lebih manusiawi.”
Istilah tersebut dibentuk dari kata humanus (adjektiva, tunggal) yang
berarti “manusiawi”. Bentuk komparatifnya adalah humanior (tunggal)
yang berarti “lebih manusiawi”. Sedangkan kata humanus merupakan
bentukan dari tiga kata dasar, yakni homo (tunggal) atau homines (jamak)
yang berarti “manusia”. Mengacu pada asal-usul dan arti istilah tersebut,
maka makna humaniora adalah studi atau kelompok ilmu-ilmu yang
membentuk manusia lebih manusiawi.
Secara historis arti istilah humaniora dan penggunaanya dalam
konteks pendidikan merupakan warisan dari zaman Renaisans.17 Zaman
ini merupakan masa peralihan dari Abad Pertengahan ke Zaman Modern
di Eropa. Renaisans berarti “kelahiran kembali”. Yang lahir kembali
adalah kebudayaan Yunani dan Romawi klasik. Hal-hal yang menjadi
penanda masa-masa kejayaan dua kebudayaan itu, terutama dalam
235
Respons 25 (2020) 02
RESPONS – DESEMBER 2020
bidang sastra, kesenian, seni rupa, dan arsitektur digali kembali pada
masa peralihan itu.
Kelahiran kembali dua kebudayaan tersebut berimplikasi pada
kelahiran paham humanisme sebagai gerakan intelektual. Humanisme
juga merupakan penanda Renaisans. Dalam kaitannya dengan humaniora,
humanisme sebagai sebuah gerakan intelektual yang bertujuan memajukan
humanitas (kemanusiaan) manusia, berpijak pada dan menimba inspirasi
dari sastra serta kebudayaan Yunani dan Romawi klasik.18 Dengan
demikian, humaniora dan humanisme saling terkait.
Sejarah pendidikan humaniora sangat panjang. Meskipun istilah
humaniora baru muncul pada zaman Renaisans, pendidikan humaniora
(humaniora sebagai model pendidikan) sudah berlangsung sejak zaman
Yunani kuno. Bruce Kimball dalam karyanya berjudul Orators and
Philosophers,19 mengatakan bahwa pada zaman Yunani kuno, pendidikan
humaniora berlangsung dalam dua kutup, yakni kutup kaum sofis dan
kutup kaum filosof.
Kaum sofis menekankan kemampuan beretorika. Untuk itu,
para sofis—yang mempunyai kapasitas beretorika—menggugah dan
menggerakkan emosi dan sensitivitas peserta didik. Sedangkan kaum sofis
membangun dan menggerakkan penalaran dialektis agar peserta didik
mampu membangun penalaran dialektis dan argumentasi yang benar.20
Pada Abad Pertengahan (5-15 M), pendidikan humaniora dikenal
dengan istilah artes liberales/liberal arts.21 Trivium dan quadrivium adalah
istilah-istilah untuk penggolongan materi-materi pendidikan liberal arts.
Logika, gramar (tata Bahasa) dan retorika tergabung dalam trivium.
Aritmatika, musik, geometri, dan astronomi tergabung dalam quadrivium.
Logika untuk mengasah kemampuan peserta didik berpikir lurus dan
jernih. Tata bahasa untuk mengasah akal agar mampu menciptakan dan
mengombinasikan simbol-simbol sehingga membentuk kata dan kalimat
yang bermakna. Retorika merupakan seni mengkomunikasikan pikiran
melalui tata bahasa yang teratur.
Respons 25 (2020) 02
236
MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI
MEDIA DIGITAL
Sedangkan aritmatika merupakan seni mendidik orang muda agar
mampu memikirkan konsep bilangan. Aplikasi konsep bilangan terwujud
melalui kombinasi not-not angka pada musik sehingga menghasilkan bunyi
yang harmonis. Konsep bilangan juga diaplikasikan dalam penjumlahan,
perkalian, pengurangan. Darinya, jelaslah bahwa pembelajaran matematika merupakan seni mengaplikasikan konsep bilangan secara konkret.
Geometri adalah seni membentuk konsep spasial (space). Ilmu astronomi
merupakan aplikasi konsep spasial. Jadi, pembelajaran geometri dan
astronomi merupakan seni mengaplikasikan konsep spasial.
Pendidikan humaniora abad Yunani Kuno (8-4 SM) dan Abad
Pertengahan menitik-beratkan pada pembentukan karakter, khususnya
karakter berpikir benar, lurus, dan selanjutnya diaplikasikan secara
konkret. Melalui pedalaman dan praktik atas materi-materi trivium dan
quadrivium, peserta didik mengasah kapasitas dirinya sehigga menjadi
pribadi-pribadi yang bebas dari ketidaktahuan. Pendidikan humaniora
menjadi semacam sekolah kepribadian dan sekolah kemanusiaan.
Pada zaman Modern (17-20 M awal) dan Postmodern awal (akhir abad
20), pendidikan humaniora pun mendapat bentuk baru, yakni menjadi
ilmu-ilmu humanitis. Bentuk baru itu merupakan dampak dari kemajuan
dalam ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial—yang sangat
mengedepankan metode ilmiah (scientific method) dan hermeneutika
sosial, yang bertujuan menghasilkan ilmu pengetahuan ilmiah. Materimateri pembelajaran trivium dan quadrivium mendapat bobot ilmiah dari
kedua disiplin ilmu pengetahuan ilmiah tersebut. Karakter saintifik pada
pendidikan humaniora mendapat perhatian penting dari para pendidik
humaniora. Karakter itu diwujudkan dalam penggunaan metode kerja
ilmu pengetahuan ilmiah dan hermeneutika sosial.22
Ilmu-ilmu humanitis—bahasa, logika, pendidikan kewarganegaraan,
pendidikan Pancasila, pendidikan agama, etika—yang diberikan kepada
para peserta didik tidak semata-mata untuk mengasah peserta didik
agar berkepribadian humanistis dan religius, melainkan juga berkarakter
237
Respons 25 (2020) 02
RESPONS – DESEMBER 2020
saintifik. Peserta didik yang berkarakter saintifik akan menggunakan
pendekatan saintifik (ilmiah) dalam mengelola aneka persoalan hidup
sehari-hari di tengah masyarakat.
Dalam corak ilmu-ilmu humanitis yang demikian dan dalam konteks
pendidikan humaniora, pendidik dan peserta didik bersama-sama melakukan
penelitian-penelitian ilmiah di bidang kemanusiaan. Melalui pendidikan
humaniora, pendidik dan peserta didik bahu-membahu memecahkan
persoalan-persoalan hidup manusia secara humanistik dan ilmiah.
Sejarah pendidikan humaniora tersebut menampakkan pula maksud
filosofis pendidikan humaniora, yakni para pendidik dan peserta didik
merefleksikan dan berupaya merengkuh “yang benar” (the truth) dan “yang
baik secara etis” (the good ethic). Upaya itu menunjukkan bahwa manusia
adalah makhluk yang senantiasa mencari kebenaran dan mendamba
kebaikan etis (ethical goodness). Oleh karena itu, pendidikan humaniora
penting untuk semua tingkat pendidikan.
3.2. Masalah-masalah Etis
Pendidikan humaniora dan para pendidik serta peserta didik yang
terlibat di dalamnya, kini menghadapi dan berada dalam zaman baru, yakni
zaman teknologi digital. Banyak hal baru yang lahir dari rahim teknologi
dan budaya digital. Hal-hal baru yang sungguh kompleks dan rumit baik
secara epistemologis maupun secara etis. Kompleksitas dan kerumitan
yang bercorak epistemologis tidak akan dibahas di sini. Yang akan dibahas
secara singkat hanya yang bercorak etis yang bertautan langsung dengan
pendidikan humaniora.
Pertanyaan-pertanyaan berikut merupakan rumusan atas berapa
masalah etis yang lahir dari pendirikan humaniora secara daring. Apakah teknologi digital memungkinkan pendidik dan peserta didik
menginternalisasi nilai-nilai etis? Sejauh mana teknologi digital baik
secara kegunaan sekaligus baik secara etis? Apakah penggunaan teknologi
digital yang terus-menerus sebagai sarana pendidikan tidak berpotensi
Respons 25 (2020) 02
238
MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI
MEDIA DIGITAL
membentuk pendidik dan peserta didik sebagai “manusia digital”? Apakah
teknologi digital dalam dirinya terkandung ontologi teknologi? Apakah
teknologi digital merupakan modus kebenaran menyingkapkan dirinya?
Mungkinkah manusia memahami dan merengkuh kebenaran (the truth)
yang menyingkapkan dirinya melalui dan dalam momen penggunaan
teknologi digital?
Identifikasi terhadap sistem dan cara kerja teknologi digital yang
dikendalikan oleh artificial intelligent dapat membantu pendidik dan
peserta didik menjernihkan persoalan-persoalan etis tersebut dan
menemukan jalan keluar. Tidak ada satu jawaban yang tuntas dan stabil
untuk masalah-masalah tersebut. Akan tetapi identifikasi terhadap sistem
dan cara kerja teknologi digital dapat membantu pendidik dan peserta
didik berkreasi dan berakselerasi dalam konteks pendidikan humaniora
secara daring, meskipun banyak persoalan etis muncul darinya.
Mengacu pada filsafat komputer yang secara ringkas telah disampaikan pada poin kedua di atas, identifikasi terhadap sistem dan cara kerja
teknologi digital dapat dilakukan dengan memperhatikan istilah-istilah
dan modus operandinya. Istilah-istilah yang dengan mudah ditemukan
dalam berbagai literatur teknologi digital antara lain: internet of things,
cloud of things, dan big data.23 Istilah internet of things merujuk pada
kemampuan internet menghubungkan berbagai perangkat fisik dan
non-fisik dalam satu jaringan sedemikian rupa, sehingga memudahkan
pengoperasian, pengkoordinasian, pengawasan, serta meningkatakan
efisiensi dan efektivitas pencapaian. Internet of things membentuk sistem
siber-fisik yang mencakup aplikasi massal teknologi digital seperti jaringan
listrik cerdas (smart house), mobil cerdas (smart car), kota cerdas (smart city).
Fungsi dasar aplikasi massal teknologi digital ini adalah komputerisasi,
digitalisasi, otomatisasi, dan robotifikasi untuk bidang-bidang kehidupan
baik publik maupun privat.
Cloud of things merujuk pada sistem penyimpanan dan proses atau
distribusi data, aplikasi, layanan untuk semua pengguna internet sehingga
239
Respons 25 (2020) 02
RESPONS – DESEMBER 2020
tidak perlu lagi menggunakan alat penyimpan seperti hardisk, flashdisk
atau server pribadi. Layanan internet seperti Google, Facebook, Twitter,
Zoom, Flickr dan sebagainya telah menggunakan cloud of things sehingga
data dapat tersimpan secara nir-ruang fisik.
Big data merujuk pada pertumbuhan jumlah dan rentang informasi
yang bergerak secara eksponensial dengan kecepatan pertambahan yang
tidak lazim, sehingga membutuhkan cara penanganan baru. Ada tiga ciri
big data. Pertama, memiliki besaran data yang tak terhingga sehingga
memerlukan penyimpanan yang kompleks dan metode analisis yang
baru. Kedua, aliran data yang cepat dan real time. Ketiga, memiliki isi dan
jenis data yang sangat beragam. Dengan demikian big data memudahkan
penelitian dan pengembangan berbagai bidang kehidupan manusia,
bahkan dapat memprediksi hal-hal yang akan terjadi pada masa depan.
Saat manusia beraktivitas dalam bidang apapun menggunakan
teknologi digital, pada saat yang bersamaan teknologi itu menyedot
dan mengumpulan data para pengguna. Data-data yang terkumpulkan
merupakan potensi dan asset ekonomi bagi pasar kapitalisme digital. Datadata tersebut oleh pelaku pasar kapitalisme digital disiasati sedemikian
rupa untuk kepentingan bisnis (melalui) perangkat digital.
Selain itu, cara kerja artificial intelligence dalam perangkat teknologi
digital secara halus membentuk budaya digital. Aktivitas manusia dalam
berbagai bidang kehidupan—termasuk pendidikan humaniora—akhirnya
menjadi aktivitas digital. Implikasi terdalam dari berkebudayaan secara
digital adalah keterciptaan manusia digital.
Manusia digital merujuk pada cara berpikir, cara merasa, cara
bertindak secara digital. Akan tetapi karena aktivitas manusia digital
berlangsung dalam sistem logika kapitalisme pasar digital, maka aktivitas
itu tetap merupakan sokongan terhadap sistem tersebut. Dengan demikian,
manusia digital—meminjam istilah Herbert Marcuse—adalah manusia
satu dimensi.24 Inilah implikasi etis yang cukup terang dari keberadaan
dan fungsi teknologi digital saat ini.
Respons 25 (2020) 02
240
MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI
MEDIA DIGITAL
Manusia digital satu dimensi selalu memiliki kecenderungan memperoleh suguhan pasar kapitalisme digital, yakni teknologi digital yang
mudah, murah, dan gratis. Pemerolehan suguhan oleh pasar kapitalisme
digital itu meningkat tajam pada masa pandemic Covid-19 ini seperti yang
dikemukanan oleh Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional
(WANTIKNAS).25
Suguhan teknologi digital yang segera dipakai oleh manusia—
khususnya untuk proses pembelajaran/perkuliahan daring antara lain, line,
streamyard, zoom, teams, google meet, ruangguru, zenius, quipper, cakap, dan
kipin school.26 Aplikasi-aplikasi ini memungkinkan pembelajaran tetap
berlangsung. Meskipun para pengguna perlu beradaptasi tetapi keberadaan
dan fungsi sejumlah perangkat digital itu efektif dan mempelancar proses
pembelajaran secara daring.
Di hadapan implikasi etis dan suguhan teknologi digital tersebut,
kalimat Chris Skinner berikut dalam bukunya berjudul Manusia Digital—
Revolusi 4.0 Melibatkan Semua Orang, dapat menjadi sebuah interupsi atas
perilaku dan tindakan manusia digital dan budaya digital. Berikut refleksi
Chris Skinner:
Saya tidak tahu, tapi ini dapat menjadi pertanyaan yang menarik
tentang bagaimana dan apa yang kita anggap bernilai saat kita telah
menjadi manusia super berkat teknologi perpanjangan hidup dan
rekayasa tubuh, saat kita bergerak melampaui bumi menuju planet
lain, dan saat kita mencapai tahap di mana setiap kebutuhan fisik
dan mental kita dapat dipenuhi oleh sebuah robot.27
4.
MENGUPAYAKAN ONTOLOGI TEKNOLOGI DIGITAL
UNTUK PENDIDIKAN HUMANIORA
Dalam kerangka pemikiran Martin Heidegger mengenai ontologi
teknologi dan filsafat komputer, teknologi digital mestinya bukan sekedar
instrumentum yang disikapi secara antropologis (digunakan sebagai alat
241
Respons 25 (2020) 02
RESPONS – DESEMBER 2020
atau sarana teknologi canggih untuk mencapai tujuan manusia). Filsafat
teknologi Heidegger membuka celah bagi pendidik dan peserta didik
pembelajaran humaniora, mengupayakan ontologi teknologi digital,
sehingga dalam penggunaan teknologi digital, pendidik dan peserta didik
membuka diri pada kebenaran dan kebaikan etis menyingkapkan dirinya.
Dengan mengadopsi konsep poiēsis dalam filsafat Yunani kuno,
Heidegger menekankan bahwa teknologi pertama-tama adalah memungkinkan “sesuatu menampakkan dirinya, keluar dari persembunyiannya,
sesuatu yang menyingkapkan dirinya.”28 Itulah ontologi teknologi. Dalam
teks “The Question Concerning Technology”, Heidegger menjelaskan ontologi
teknologi bertautan erat dengan alētheia: kebenaran menyingkapkan
dirinya. Untuk itu ia menjelaskan alētheia dengan mengadopsi konsep
poiēsis dalam pemikiran Yunani kuno. Definisi sederhana dari poiēsis adalah
membawa ke hadapan (bringing-forth) dari yang tidak tampak menjadi
tampak atau terlihat.29 Dengan kata lain, poiēsis berarti membawa keluar
dari ketersembunyian agar terlihat jelas. Konsep itu menunjukkan dimensi
aktif, yakni menyingkapkan sesuatu yang tersembunyi sehingga sesuatu itu
tampak jelas. Jadi, poiēsis merupakan sebuah modus transparansi atas sesuatu
yang sebelumnya tidak tersembunyi.
Makna dan modus operandi poiēsis tersebut oleh Heidegger disebut
dengan istilah menyingkapkan (das Entbergen). Berikut tulis Heidegger:
Bringing-forth propriates only insofar as something concealed comes
into unconcealment. The Greeks have th e word alētheia for revealing.
The Romans translate this with veritas. We say “truth ” and usually
understand it as correctness of representation.30 (Membawa ke hadapan
sesuatu yang dimiliki sejauh sesuatu itu tersembunyi menjadi
tidak tersembunyi. Orang Yunani memiliki kata alētheia untuk
menyingkapkan. Orang Roma menerjemahkan ini dengan veritas.
Kami mengatakan “benar” dan biasanya memahaminya sebagai
kebenaran repsentasi).31
Respons 25 (2020) 02
242
MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI
MEDIA DIGITAL
Apakah alētheia hanya berlaku untuk hal-hal tertentu? Bagaimana
gambaran mengenai hubungan antara alētheia dengan teknologi? Bagi
Martin Heidegger, alētheia berlaku dalam segala hal. Karena setiap
upaya membawa ke hadapan agar tampak (bringing-forth) berarti pula
menyingkapkan sesuatu yang tersembunyi supaya terlihat jelas. Itu berarti
alētheia pun berkenaan dengan teknologi.
Kerap kali teknologi diperlakukan sebagai alat dan sarana oleh manusia.
Akan tetapi itu tidak mereduksi teknologi sebagai modus kebenaran
menyingkapkan dirinya. Itu berarti teknologi bertautan erat dengan alētheia.
Teknologi adalah cara kebenaran menyingkapkan dirinya, unclosedness of
Being: itulah truth. Berikut tulis Heidegger mengenai hal tersebut:
Technology is therefore no mere means. Technology is a way of revealing. If
we give heed to this, then another whole realm for the essence of technology
will open itself up to us. It is the realm of revealing, i.e., of truth.32 (Oleh
karena itu, teknologi bukan semata-mata sarana. Teknologi adalah
sebuah penyingkapan. Jika kita memperhatikan ini, inti teknologi
akan terbuka bagi kita. Ini adalah dunia penyingkapan, yakni dari
kebenaran).33
Filsafat teknologi Heidegger relevan untuk pendidikan humaniora
melalui media digital. Teknologi digital konteks pendidikan humaniora
memungkinkan phusis berlangsung. Para pihak yang terlibat dalam
pendidikan humaniora pada era budaya digital sekarang dan akan datang,
tidak dapat mengelakkan diri dari tanggungjawab menyelenggarakan
pendidikan humaniora melalui media digital yang: pertama, proses
dan tujuannya adalah memungkinkan kebenaran dan kebaikan etis
menyingkapkan dirinya, dan kedua pendidik dan peserta didik membuka
diri pada kebenaran dan kebaikan etis yang menyingkapkan dirinya.
Pada titik inilah, teknologi digital dan berteknologi digital dalam konteks
pendidikan humaniora memperoleh status ontologisnya.
243
Respons 25 (2020) 02
RESPONS – DESEMBER 2020
Relevansinya dengan pendidikan humaniora adalah bahwa media
digital juga menghadirkan momen bagi pendidik untuk menyadari peserta
didik sejauh peserta didik menyingkapkan dirinya. Di hadapan peserta
didik, pendidik menyadari peserta didik (kesadaran tentang sesuatu)
sekaligus menyadari dalam/sebagai peserta didik. Artinya peserta didik
memiliki momen membentuk kesadaran pendidik. Demikian pula menjadi
momen bagi peserta didik menyadari pendidik dan menyadari dalam/sebagai
pendidik. Dengan demikian, baik pendidik maupun peserta didik saling
memahami sejauh masing-masing pihak menyingkapkan dirinya.
Pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana pendidikan humaniora
pada era budaya digital dan menggunakan media digital sekarang memungkinkan kebenaran menyingkapkan dirinya? Pertanyaan ini mendorong pendidik dan peserta didik memikirkan langkah-langkah konkret
perluasan cara berada manusia digital dari satu dimensi menjadi digital
menjadi multidimensi.
Perluasan yang demikian tetap berbasis pada manusia sebagai
makhluk konkret yang multidimensi. Dimensi-dimensi diri manusia
seperti ekonomi, politik, religius, sosial, ekologis, kultural, diperluas melalui
aktivitas berteknologi digital. Tentu, aktivitas digital ini tidak semata-mata
menempatkan teknologi digital sebagai sarana tetapi sekaligus aktivitas
digital memungkinkan alētheia dan dimensi-dimensi diri manusia konkret
tersingkapkan secara utuh.
Salah satu hal konkret yang berpotensi besar untuk diselenggarakan
dalam proses pendidikan liberal arts adalah membangun dan menggerakkan
digital social solidarity. Digital social solidarity merupakan gerakan
interdisipliner. Gerakan ini melibatkan para mahasiswa dan dosen dari
disiplin ilmu techno-science dan para mahasiswa dan dosen dari disiplin
ilmu-ilmu humanitis. Para mahasiswa dan dosen dapat merancang/
membuat aplikasi-aplikasi digital untuk gerakan solidaritas sosial.
Supaya aplikasi-aplikasi digital untuk gerakan solidaritas sosial itu
menjadi digital social solidarity, maka semua pihak—baik tim akademik
Respons 25 (2020) 02
244
MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI
MEDIA DIGITAL
(mahasiswa dan dosen) dan para pengguna—terlibat dan berpartisipasi
secara aktif sejak perencanaan, pelaksanaan, pemakaian, evaluasi,
perbaikan, dan pembaharuan berbagai aplikasi digital. Keterlibatan dan
partisipasi memungkinkan setiap pihak saling berbagi nilai etis, nilai
kegunaan, spiritualitas, dan refleksi humanitis sebagai manusia konkret.
Dengan demikian, terwujud digital social solidarity sebagai bentuk
konkret ontologi teknologi digital. Pada titik inilah berteknologi sebagai
moment kebenaran (the truth) dan kebaikan (the good) menyingkapkan
dirinya. Bersamaan dengan itu setiap pihak yang terlibat di dalamnya,
membuka diri dan mengalami momen-momen ketersingkapan
kebenaran dan kebaikan baik secara personal maupun bersama-sama.
Di titik itulah kebenaran tampak sebagai pewahyuan/penyingkapan diri
Being (Dasein).
5.
PENUTUP
Pandemi Covid-19 menyebabkan sebagian besar orang mengubah
lanskap hidupnya. Semua bidang kehidupan berubah. Terjadi peralihan
hidup dari hidup konvensional non-digital ke hidup digital. Manusia
masuk dalam dan menjadi bagian konstitutif budaya digital. Budaya
ini membentuk manusia digital satu dimensi, yang berkecenderungan
mudah, murah, gratis sebagai mana disuguhkan oleh pasar kapitalisme
digital. Itulah gambaran mengenai manusia yang mengenakan mentalitas
baru, yakni mentalitas digital.
Perubahan dan peralihan dari lanskap konvensional ke lanskap digital
pun terjadi pada dunia pendidikan, khususnya pendidikan humaniora.
Pendidikan humaniora berlangsung melalui media digital. Dalam konteks
ini, teknologi digital tidak bisa hanya sebagai sarana. Teknologi digital—
merujuk pada filsafat teknologi Martin Heidegger—mesti mengandung
dalam dirinya suatu ontologi teknologi digital. Dengan demikian,
penggunaan teknologi digital dalam pendidikan humaniora merupakan
momen ketersingkapan kebenaran dan kebaikan etis.
245
Respons 25 (2020) 02
RESPONS – DESEMBER 2020
Para pihak yang terlibat dalam pendidikan humaniora melalui media
digital mengemban tanggung jawab untuk mengembangkan sebuah
gerakan solidaritas digital. Semua pihak terlibat dan berpartisipasi aktif
dalam gerakan itu. Dalam dan melalui gerakan itu, para pihak mengalami
kebenaran dan kebaikan etis yang menyingkapkan diri. Dengan demikian,
manusia menegaskan dirinya sebagai person multidimensi yang selalu
mencari kebenaran dan mendamba kebaikan etis sepanjang hidupnya
pada era kebudayaan digital sekarang.
CATATAN AKHIR
1
Maieutike techne berarti teknik kebidanan. Socrates mengadopsi teknik itu sebagai
metode pengajarannya di agora-agora (pasar-pasar). Dengan metode itu, guru Platon
itu mengeluarkan isi pikiran dari dalam pikiran orang-orang yang mendengarnya.
Bagi Socrates, setiap orang yang mendengar pengajarannya, sudah memiliki isi pikiran
mengenai hal tertentu. Oleh karena itu, isi pikiran setiap orang harus dikeluarkan lebih
dulu, seperti bidan membantu ibu hamil untuk melahirkan anak dari dalam rahim.
Setelah isi pikiran itu diketahui, selanjutnya Socrates memperbaikinya dengan pikiranpikiran filosofis.
2
Lihat lengkap, Martin Heidegger, Being and Time (dalam kerangka penulisan ini, penulis
menggunakan edisi terjemahan berbahasa Inggris dari karya asli Martin Heidegger Zein
und Seit. Edisi berbahasa Inggris dari Zein und Seit dikerjakan oleh Joan Stambaugh),
New York, State University of New York, 1996, hal. 196-211.
3
Martin Heidegger, 1978, Basic Writings—from Being and Time (1927) to The Task of
Thingking (1964), (Edited, with general introduction and introductions to each selection
by David Farrel Krell), London and Henley, Routledge & Kegan Paul, hal. 287-317.
4
Martin Heidegger, Basic Writings, hal. 295.
5
Kalimat bahasa Indonesia dalam tanda kurung merupakan terjemahan penulis artikel
ini.
6
Teknologi sebagai sarana dan alat untuk mencapai tujuan tertentu manusia, bagi Martin
Heidegger, berarti teknologi baru pada level ontis. Teknologi tidak sekedar perkara ontis.
Teknologi adalah perkara ontologis, yakni Ada (Being) yang menyingkapkan dirinya.
Lihat, David Farrel Krell—Ed., 1978, hal. 288-289; F. Budi Hardiman, 2016, hal. 7071; Francis Lim, 2008, hal. 46.
Respons 25 (2020) 02
246
MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI
MEDIA DIGITAL
7
Judith Simon, “Distributed Epistemic Responsibility in a Hyperconnected Era” dalam
Luciano Floridi (Ed), 2009, The Onlife Manifesto Being Human in a Hyperconnected Era,
Springer Cham Heidelberg, New York, Dordrecht, London, hal, 150-151.
8
https://www.merriam-webster.com/dictionary/digital#:~:text=1%20%3A%20
relating%20to%20or%20using,digits%20digital%20images%20digital%20
broadcasting. Diakses pada Selasa, 6 Oktober 2020, pkl. 11.37. WIB.
9
https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-digital.html. Diakses pada Selasa
6 Oktober 2020, pkl. 11.47 WIB.
10
Ibid.
11
Charlie Gere, Digital Culture, 2008, Great Sutton Street Ltd 33 London, Reaktion
Books, hal. 14.
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Ibid., 18.
15
Versi singkat sejarah pendidikan humaniora dalam artikel ini diolah ulang dari artikel
ilmiah penulis yang berjudul “Pendidikan Liberal Arts dalam Selubung Teknologi
Digital”, yang dipublikasikan dalam EDUNET: The Journal of Humanities and Applied
Education, Volume 1, No 1, Januari 2021; surel online: https://jurnal.unikastpaulus.
ac.id/index.php/je, diakses pada 2 Februari 2021, pkl. 13.00 WIB.
16
Penjelasan secara singkat dan padat mengenai arti humaniora dan maksud pendidikan
humaniora ini mengacu pada artikel “Filsafat dalam Cakrawala Humaniora” karya K.
Bertens dalam K. Bertens, Johanis Ohoitimur, Mikhael Dua, 2018, Pengantar Filsafat,
Yogyakarta, Kanisius, hal. 1-28.
17
Ibid., hal. 2.
18
Ibid., hal. 5.
19
Nigel Tubbs, 2014, Philosophy and Modern Liberal Arts Education, New York, Palgrave
Macmillan, hal. 7.
20
Ibid.
21
M. Sastrapratedja, SJ, 2013, Pendidikan sebagai Humanisasi, Jakarta-Yogyakarta, Pusat
Kajian Filsafat dan Pancasila-SDU Press, hal. 187.
22
Baca secara lengkap artikel Ignas Kleden, “Paradigma Ilmu Pengetahuan: Tantangan
Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora di Indonesia” dalam Ignas Kleden dan
Taufik Abdullah (Ed.), 2017, Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Penelitian Ilmu-ilmu
Sosial dan Humaniora di Indonesia, Jakarta, LIPI Press, hal. 1-132.
247
Respons 25 (2020) 02
RESPONS – DESEMBER 2020
23
Agus Sudibbyo, 2019, Jagad Digital-Pembebasan dan Penguasaan, Jakarta, KPG, hal.
212-225.
24
Bdk., Valentinus Saeng, CP., 2012, Herbert Marcuse-Perang Semesta Melawan
Kapitalisme Global, Jakarta, Gramedia, hal. 241-264.
25
Pada masa pandemi Covid-19 ini, penggunaan berbagai aplikasi digital meningkat secara
signifikan. Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (WANTIKNAS)
mencatat bahwa masyarakat menggunakan teknologi digital untuk empat urusan
penting. Pertama, kebutuhan jaringan internet. Telkom mencatat peningkatan mencapai
15 persen dibandingkan traffic rata-rata. TV Interaktif Indihome yang meningkat
menjadi 11 juta dari sebelumnya hanya berkisar 3-9 juta.
Kedua, fintech (financial thecnology). Terjadi peningkatan transaksi keuangan
melalui platform digital seperti OVO dan GoPay untuk keperluan belanja online,
pembayaran tagihan listrik, pulsa, dan pembelian game. Dalam 1 bulan OVO
mencatat peningkatan transaksi online mencapai 100 % dan pinjaman mencapai
50 %. Demikian pula GoPay.
Ketiga, media sosial. Berdasarkan trafik penggunaannya, aplikasi WhatsApp dan
Instagram mengalami kenaikan mencapai 40%. Saat sebagian besar orang melakukan
aktivitas dari rumah sesuai protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah, media
sosial adalah sarana komunikasi yang paling efektif. Hal itu tampak pada survei yang
dilakukan oleh Firma Konsultan Kantar, sejak awal pandemi penggunaan WhatsApp
meningkat dari 27% dan sampai pada pertengahan masa pandemi mencapai 41%.
Negara-ngera yang sudah lebih dulu menerapkan kerja dari rumah (work from home)
penggunaan aplikasi WhatsApp melonjak tajam mencapi 51%.
Keempat, pengunaan perpustakaan digital. Akses melalui perangkat teknologi digital
ke Penggunaan iPusnas pada periode 8-14 Maret mencapai 9.783. Pada periode 29
Maret-4 April meningkat tajam mencapai 40.902. Akses terhadap perpustakaan digital
berhubungan dengan kebutuhan masyarakat akat informasi dan pengetahuan. http://
www.wantiknas.go.id/id/berita/akses-digital-meningkat-selama-pademi. Diakses pada
Rabu, 7 Oktober 2020, pkl. 12.16 WIB.
26
https://www.antaranews.com/berita/1359558/lima-platform-online-untuk-belajardi-rumah. Diakses pada Rabu, 7 Oktober 2020, pkl. 12.39 WIB.
27
Chris Skinner, 2019, Manusia Digital-Revolusi 4.0 Melibatkan Semua Orang, Jakarta,
Elex Media Komputindo, hal. 21.
28
Charles Guignon, “Being as Appearing: Retrieving the Greek Experience of Phusis” dalam
Richard Polt & Gregory Fried (Ed.), 2001, A Companion to Heidegger’s Introduction to
Metaphysics, New Haven/London, Yale University Press, hal. 38.
Respons 25 (2020) 02
248
MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI
MEDIA DIGITAL
29
Martin Heidegger, Basic Writings, hal. 293.
30
Ibid., hal. 294.
31
Teks bahasa Indonesia dalam tanda kurung adalah terjemahan penulis artikel ini.
32
Martin Heidegger, Basic Writings, hal. 294.
33
Teks bahasa Indonesia dalam tanda kurung adalah terjemahan penulis artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K., Johanis Ohoitimur, Mikhael Dua, (2018), Pengantar Filsafat, Yogyakarta,
Kanisius.
Budi Hardiman, F, (2016), Heidegger dan Mistik Keseharian, Jakarta, Kepustakaan
Populer Gramedia.
Gere, Charlie, Digital Culture, (2008), Great Sutton Street Ltd 33 London, Reaktion
Books,
Heidegger, Martin, (1996), Being and Time (dalam kerangka penulisan ini, penulis
menggunakan edisi terjemahan berbahasa Inggris dari karya asli Martin Heidegger
Zein und Seit. Edisi berbahasa Inggris dari Zein und Seit dikerjakan oleh Joan
Stambaugh), New York, State University of New York.
Kleden, Ignas dan Taufik Abdullah (Ed.), (2017), Paradigma Ilmu Pengetahuan dan
Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora di Indonesia, Jakarta, LIPI Press.
Martin Heidegger, (1978), Basic Writings from Being and Time (1927) to The Task of
Thinking (1964), London and Henley, Routledge & Kegan Paul.
Lim, Francis, (2008), Filsafat Teknologi—Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat,
Yogyakarta, Kanisius.
Miriam Joseph, Sister, (2002), The Trivium: The Liberal Arts of Logic, Grammar, and
Rhetoric—Understanding the Nature and Function of Language, Philadelphia, Paul
Dry Books.
Polt, Richard & Gregory Fried (Ed.), (2001), A Companion to Heidegger’s Introduction to
Metaphysics, New Haven/London, Yale University Press.
Rosenthal-Pubul, Alexander S., (2018), The Theoretic Life A Classical Ideal and its Modern
Fate—Reflection on The Liberal Arts, Washington DC, Springer.
249
Respons 25 (2020) 02
RESPONS – DESEMBER 2020
Sastrapratedja, SJ., M, (2013), Pendidikan sebagai Humanisasi, Jakarta-Yogyakarta,
Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila-SDU Press.
Sudibbyo, Agus, (2019), Jagad Digital-Pembebasan dan Penguasaan, Jakarta, KPG.
Skinner, Chris, (2019), Manusia Digital-Revolusi 4.0 Melibatkan Semua Orang, Jakarta,
Elex Media Komputindo.
Tubbs, Nigel, (2014), Philosophy and Modern Liberal Arts Education, New York, Palgrave
Macmillan.
Respons 25 (2020) 02
250