Academia.eduAcademia.edu

Masalah-masalah Etis Pendidikan Humaniora Melalui Media Digital

2021

Humanities education - as a way for educators and students to develop dimensions of the human self to be more human - is facing a serious ethical challenge. The challenge in question is regarding the ontological status of digital media. The philosopher Martin Heidegger said that technology is the mode and moment of alētheia, that is, being reveals itself. Being reveals himself, that is the truth. When humans use technological tools, that is the moment and the way humans understand and embrace the truth. That's the technological ontology. Referring to the technological ontology, there are ethical problems faced by educators and students in the context of humanities learning through digital media. First, educators and students strive for an ontology of digital technology so that together with the use of digital technology, ethical truth and goodness reveal themselves. Second, educators and students open themselves to the truth and ethical virtues that reveal themselves during onli...

Masalah-masalah Etis Pendidikan Humaniora Melalui Media Digital Alexander Aur ABSTRACT: Humanities education—as a way for educators and students to develop dimensions of the human self to be more human—is facing a serious ethical challenge. The challenge in question is regarding the ontological status of digital media. The philosopher Martin Heidegger said that technology is the mode and moment of alētheia, that is, being reveals itself. Being reveals himself is the truth. When humans use technological tools, that is the moment and the way humans understand and embrace the truth. That’s the technological ontology. Referring to the technological ontology, there are ethical problems faced by educators and students in the context of humanities learning through digital media. First, educators and students strive for an ontology of digital technology so that together with the use of digital technology, ethical truth and goodness reveal themselves. Second, educators and students open themselves to the truth and ethical virtues that reveal themselves during online humanities learning. Thus, educators and students remain ethical and human beings in the digital age. KEYWORDS: Humanities education, ontology of digital technology, digital culture, multidimensional of digital human being. ABSTRAK: Pendidikan humaniora—sebagai jalan bagi pendidik dan peserta didik mengembangkan dimensi-dimensi diri manusia supaya lebih manusiawi—sedang menghadapi sebuah tantangan etis yang serius. Tantangan yang dimaksud adalah perihal status ontologis media digital. Filosof Martin Heidegger mengatakan bahwa teknologi adalah modus dan momen alētheia, yakni Ada (Being) menyingkapkan dirinya. Ada yang menyingkapkan dirinya, itulah kebenaran. Manakala manusia menggunakan alat-alat teknologi itulah momen dan cara manusia memahami dan merengkuh kebenaran. Itulah ontologi teknologi. RESPONS volume 25 no. 02 (2020): 227-250 © 2020 PPE-UNIKA ATMA JAYA, Jakarta ISSN 0853-8689 (Print) ISSN 2715-4769 (Online) RESPONS – DESEMBER 2020 Mengacu pada ontologi teknologi, ada masalah-masalah etis yang dihadapi pendidik dan peserta didik dalam konteks pembelajaran humaniora melalui media digital. Pertama, pendidik dan peserta didik mengupayakan ontologi teknologi digital agar bersamaan dengan penggunaan teknologi digital, kebenaran dan kebaikan etis pun menyingkapkan dirinya. Kedua, pendidik dan peserta didik membuka diri pada kebenaran dan kebaikan etis yang menyingkapkan dirinya saat pembelajaran humaniora secara daring. Dengan demikian, pendidik dan peserta didik tetap sebagai makhluk etis dan manusiawi di era digital. KATA KUNCI: Pendidikan humaniora, ontologi teknologi digital, budaya digital, manusia digital multidimensi. 1. PENDAHULUAN Wabah Covid-19 yang melanda seluruh dunia menyebabkan hampir semua orang untuk mengubah cara berpikir, cara bertindak, dan pola hidup. Relasi sosial, kebiasaan hidup sehari-hari, gaya hidup, dan sebagai berubah secara signifikan. Sebagian besar hal, yang sebelum wabah Covid-19 dilakukan oleh sebagian besar orang secara langsung, berubah menjadi tidak langsung atau termediasi. Dalam hal relasi sosial sehari-hari sebelum wabah, hampir setiap orang menghendaki perjumpaan langsung dengan orang lain untuk berbagai kepentingan. Selama masa wabah dan mungkin setelah orang terbiasa dengan wabah ini, orang-orang akan lebih menghendaki perjumpaan tidak langsung atau perjumpaan yang termediasi oleh perangkat teknologi digital. Meskipun banyak orang tergopoh-gopoh mengakses dan mengoperasionalkan perangkat teknologi digital, khususnya orang yang berusia paruh baya sampai lansia, namun lama kelamaan menjadi terbiasa dan bisa. Mereka menjadi fasih menggunakan perangkat media digital. Hal demikian menandakan bahwa pada masa wabah dan setelahnya, teknologi digital ditempatkan oleh manusia secara umum sebagai hal yang sangat penting dalam lanskap hidup manusia. Dunia pendidikan pun tidak dapat mengelak dari keberadaan perangkat teknologi digital. Sebelum wabah Covid-19, teknologi digital Respons 25 (2020) 02 228 MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI MEDIA DIGITAL belum digunakan secara massal untuk perkuliahan di perguruan tinggi dan pembelajaran di lembaga pendidikan dasar dan menengah. Sebelum wabah, perjumpaan langsung antara pendidik dan peserta dididik, diyakini oleh para pelaku pendidikan sebagai hal yang memungkinkan proses pendidikan berlangsung secara baik. Selama wabah dan setelahnya, perjumpaan langsung pendidik dan peserta didik dalam proses pendidikan digantikan oleh perjumpaan dan pembelajaran yang termediasi melalui penggunaan perangkat teknologi digital. Perangkat teknologi digital memudahkan manusia dalam mengatasi berbagai problem dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Demikian pula dalam proses pendidikan. Para pelaku pendidikan, khususnya pendidik dan peserta didik, dimudahkan dalam berbagai hal yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan. Mulai dari perencanaan, proses, sampai evaluasi dapat dilaksanakan secara leluasa dan lancar dengan menggunakan perangkat teknologi digital. Pendidik dan peserta didik secara mudah mengakses sumber-sumber materi perkuliahan dan pembelajaran. Pendidikan dan peserta didik dapat belajar di mana saja dan kapan saja. Akan tetapi kemudahan yang disuguhkan oleh teknologi digital tersebut mesti dideteksi secara teliti. Mengapa? Karena teknologi digital dan kemudahan yang ditawarkannya tidak selalu berbanding lurus dengan nilai-nilai etis seperti solidaritas, kebahagiaan, kebaikan, kejujuran, keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas sosial. Melalui deteksi ini siapapun—khususnya pendidik dan peserta didik pendidikan humaniora—mengetahui problem etisnya. Melalui deteksi terhadap sistem dan cara kerja teknologi digital sedapat mungkin pendidik dan peserta didik memahami modus operandi teknologi digital dan implikasi-implikasi etisnya terhadap pendidikan humaniora secara daring. Dengan demikian, pendidik dan peserta didik juga dapat berupaya agar teknologi digital dan penggunaanya, tetap menjamin pendidikan humaniora secara daring sebagai jalan mengembangkan diri supaya lebih manusiawi. 229 Respons 25 (2020) 02 RESPONS – DESEMBER 2020 Beberapa pertanyaan berikut sebagai pintu masuk untuk memahami masalah-masalah etis dalam pendidikan humaniora melalui media digital: Apakah teknologi digital memungkinkan pendidik dan peserta didik menginternalisasi nilai-nilai etis? Sejauh mana teknologi digital baik secara kegunaan sekaligus baik secara etis? Apakah penggunaan teknologi digital yang terus-menerus sebagai sarana pendidikan tidak berpotensi membentuk pendidik dan peserta didik sebagai “manusia digital”? Apakah teknologi digital dalam dirinya terkandung ontologi teknologi? Apakah teknologi digital merupakan modus kebenaran menyingkapkan dirinya? Mungkinkah manusia memahami dan merengkuh kebenaran (the truth) yang menyingkapkan dirinya melalui dan dalam momen penggunaan teknologi digital? 2. TEKNOLOGI: DARI FILSAFAT TEKNOLOGI KE FILSAFAT KOMPUTER Teknologi digital merupakan sebuah varian dalam dunia teknologi. Agar dapat memahami ontologi teknologi digital, perlu dibedah terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan “teknologi” dan “digital.” Kata “teknologi” sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Istilah yang terkenal terkait dengan kata itu adalah “maieutike techne, yang berarti teknik kebidanan. Sokrates—sang filsuf Yunani kuno—menggunakan istilah itu sebagai metode pengajarannya.1 Istilah itu juga menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai teknik—yang kemudian dikenal dengan istilah teknologi—sudah merupakan fenomena dunia manusia pada masa itu. Makna dari istilah “teknologi” sudah berkembang sangat maju. Perkembangan itu tidak semata-mata mengenai definisi teknologi tetapi sudah sampai teknologi sebagai perkara filsafat. Filosof Martin Heidegger (1889-1976) adalah salah satu filosof mengelaborasi teknologi sebagai perkara filsafat. Ia memberikan perhatian secara filosofis terhadap masalah itu. Perhatiannya tersebut tidak terlepas dari proyek besar filsafatnya dalam Being and Time.2 Respons 25 (2020) 02 230 MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI MEDIA DIGITAL Dalam karya itu, dengan pendekatan fenomenologi, ia menunjukkan bahwa yang ontologis mengungkapkan (menyingkapkan) dirinya kepada Dasein (manusia) yang terlempar ke dalam dunia. Modus ketersingkapan yang ontologis terhadap manusia berlangsung dalam dan melalui sikap manusia terhadap berbagai hal yang bukan manusia. Heidegger menyebut hal-hal yang bukan manusia dengan istilah yang ontis. Disebutnya demikian karena hal-hal yang bukan manusia tidak dapat memahami ontologinya dan tidak dapat membuka diri terhadap Ada (Being) yang menyingkapkan dirinya. Dengan demikian, untuk menyebut hal-hal yang bukan manusia Heidegger menggunakan istilah yang ontis. Sedangkan untuk menyebut manusia (Dasein), meskipun mengalami keterlemparan dalam dunia tetapi memiliki kapasitas tertentu yakni mampu memahami ontologi dirinya dan mampu membuka diri terhadap Ada (Being) yang aktif menyingkapkan dirinya, Heidegger menggunakan istilah yang ontologis. Dengan kata lain, yang termasuk dalam kategori yang ontis adalah pengada-pengada nonmanusia—khususnya alat-alat—yang digunakan oleh manusia. Sedangkan yang termasuk dalam kategori yang ontologis adalah Ada (Being) yang secara aktif mengungkapkan dirinya kepada manusia dan manusia yang aktif membuka diri pada Ada. Dalam kerangka filsafat Being and Time yang demikian, Heidegger memberikan perhatian filosofis kepada teknologi. Dalam teksnya yang berjudul “The Question Concerning Technology”3, Heidegger memandang teknologi bukan semata-mata sebagai alat dan sarana bagi manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Lebih dari itu, teknologi merupakan modus kebenaran (truth) menyingkapkan dirinya. Keberadaan teknologi yang demikian, menampakkan ontologi dari teknologi. Berikut tulis Heidegger mengenai teknologi: “Technology is a mode of revealing. Technology comes to presence in the realm where revealing and unconcealment take place, where alētheia, truth, happens.”4 (Teknologi merupakan modus penyingkapan. 231 Respons 25 (2020) 02 RESPONS – DESEMBER 2020 Teknologi muncul di dunia di mana penyingkapan dan ketidaktersembunyian terjadi, alētheia, kebenaran terjadi?5 Apabila manusia menyikapi teknologi semata-mata sebagai sesuatu yang bernilai guna untuk mencapai tujuan tertentu, maka teknologi masih sebagai hal yang ontis. Teknologi yang demikian bukan teknologi karena hanya bersifat instrumentalistik dan antropologis, yakni sebagai alat untuk kepentingan manusia.6 Demikian pula, manusia pun masih belum masuk dalam kategori yang ontologis karena manusia enggan membuka diri terhadap kebenaran yang tersingkapkan melalui teknologi. Teknologi sebagai modus kebenaran menyingkapan dirinya atau modus alētheia menunjukkan bahwa alat-alat teknologi sebagai yang ontis senantiasa berhubungan dengan kebenaran sebagai yang ontologis. Itu berarti, kebenaran sebagai yang ontologis adalah syarat kemungkinan bagi yang ontis. Itulah ontologi teknologi. Dengan kata lain, manusia membuka diri terhadap kebenaran yang menyingkapkan dirinya melalui penggunaan alat-alat teknologi. Penggunaan alat-alat teknologi memungkinkan kebenaran keluar dari ketersembunyiannya. Alat-alat teknologi bermakna sejauh dalam penggunaannya memungkinkan manusia mengerti kebenaran (yang benar). Sebaliknya, bila alat-alat teknologi ditempatkan semata-mata sebagai alat penaklukan dan manipulasi, maka teknologi sebagai modus kebenaran untuk menyingkapkan dirinya tidak terpenuhi. Kilasan tilikan pemikiran Heidegger mengenai filsafat teknologi tersebut masih relevan untuk para pendidik—khususnya para pendidik humaniora—yang menyelenggarakan pembelajaran secara daring. Akan tetapi dewasa ini, teknologi sudah berkembang sangat maju. Secara filosofis, filsafat teknologi pun sudah memasuki ranah baru yakni filsafat komputer. Itu berarti, dalam konteks pembelajaran humaniora secara daring, para pendidik dan peserta didik humaniora tidak dapat tidak, menggunakan pendekatan filsafat teknologi dan filsafat komputer.7 Respons 25 (2020) 02 232 MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI MEDIA DIGITAL Penggunaan kedua pendekatan tersebut membantu pendidik dan peserta didik agar tetap mengepankan nilai-nilai etis—antara lain, solidaritas sosial, kebahagiaan, kebaikan, kejujuran, keadilan, hormat terhadap manusia dan hak-hak asasinya, hormat terhadap lingkungan hidup, cinta-kasih, dan perdamaian—sebagai yang benar (the truth) dan yang baik (the good). Nilai-nilai etis tersebut merupakan pokok penting yang diinternalisasikan oleh pendidik dan peserta didik dalam pendidikan humaniora. Filsafat komputer membantu pendidik dan peserta didik menilik secara jernih hakikat dan cara kerja teknologi digital dalam pembelajaran daring. Tujuan adalah agar memahami sejauh mana hakikat dan cara kerja teknologi digital sebagai antisipasi agar tidak terjadi penyimpangan terhadap nilai-nilai etis. Dalam konteks dan lingkup artikel ini, tilikan hanya sekilas dan berfokus pada makna teknologi digital dan budaya digital. Apa yang dimaksudkan dengan “digital”? Kata ini nantinya bertautan erat dengan teknologi sehingga menjadi teknologi digital. Digital seperti yang terdefinisikan dalam kamus elektronik Merriam-webster adalah “of, relating to, or using calculation by numerical methods or by discrete units; composed of data in the form of especially binary digits.8 Digital juga didefinisikan sebagai gambaran mengenai keadaan bilangan yang terdiri dari angka 0 dan 1 atau off dan on. Bilangan tersebut disebut bilangan biner (binary digit). Arti lain digital adalah sinyal atau data yang dinyatakan dalam serangkaian angka 0 dan 1, dan secara umum diwakili oleh nilainilai kuantitas fisik, seperti tegangan atau polarisasi magnetik.9 Definisidefinisi ringkas mengenai “digital” tersebut merujuk pada penggunaan sistem bilangan dalam teknologi digital terkini. Jadi, teknologi digital merupakan modernisasi atau pembaharuan dari penggunaan teknologi baru—yang berhubungan dengan kelahiran internet dan komputer—dengan sistem kerja artificial intelligence (AI) super canggih di dalamnya. Inilah yang disebut revolusi digital.10 233 Respons 25 (2020) 02 RESPONS – DESEMBER 2020 Dimensi revolutif teknologi digital telah dan terus membentuk sebuah sistem kebudayaan. Manusia dengan kapasitas akal budinya membuat perangkat komputer dan internet super canggih yang dilengkapi perangkat halus artificial intelligence. Teknologi digital kemudian menarik manusia masuk ke dalamnya. Bersamaan dengan itu teknologi digital juga memasuki ruang publik dan ruang privat hidup manusia. Charlie Gere dalam Culture Digital mengatakan bahwa penyusupan teknologi digital ke dalam kehidupan kita adalah bagian dari sebuah fenomena yang lebih luas. Dalam 30 tahun terakhir, globalisasi dan dominasi kapitalisme pasar bebas berperan aktif dalam peningkatan teknologi informasi dan komunikasi di berbagai belahan dunia. Kekuatan dan pengaruh techno-science berkembang pesat.11 Teknologi digital, lanjut Charlie Gere, merupakan bagian penting dan konstitutif darinya perkembangan itu dan sampai batas tertentu telah menentukan bentuknya. Komputerisasi perbankan, pertukaran mata uang internasional dan perdagangan telah sangat membantu kebangkitan globalisasi dan liberalisasi keuangan. Berbagai kemungkinan konvergensi dan integrasi melalui teknologi digital telah membuat teknologi digital mendominasi secara teknis perkembangan media dan komunikasi.12 Komputer—dengan seluruh proses komputerisasi dalam sistem komputer—juga merupakan cara penting mengelola dan memanipulasi sejumlah besar data dalam proyek tekno-ilmiah. Pendeknya, perkembangan ilmu pengetahuan, media, modal secara bersamaan berada dalam lindungan teknologi digital sehingga menghasilkan efek maju yang sangat cepat. Dalam efek yang demikian, segala sesuatu tampak terjadi dengan kecepatan yang dipercepat demi menghasilkan perubahan besar dan luas dalam waktu sangat singkat.13 Dalam perubahan yang demikian, berbagai dimensi hidup manusia baik dimensi privat maupun dimensi publik saling terhubungkan secara digital. Keterhubungan itu merupakan produk konkret dari paradigma abstraksi, koding, pemprograman oleh komputer. Kompleksitas interaksi Respons 25 (2020) 02 234 MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI MEDIA DIGITAL dan dialektis antar berbagai dimensi hidup manusia—yang sebelumnya berlangsung secara konkret melalui perjumpaan langsung antarmanusia— dalam abad teknologi digital menjadi produk dari komputer dengan perangkat artificial intelligence di dalamnya. Itulah budaya digital.14 3. MASALAH ETIS DALAM PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI MEDIA DIGITAL 3.1. Arti Istilah Humaniora, Sejarah dan Maksud Pendidikan Humaniora Sebelum membahas masalah-masalah etis pendidikan humaniora melalui media digital, perlu dijelaskan lebih dulu arti istilah humaniora, sejarah dan maksud pendidikan humaniora. Apa arti humaniora? Bagaimana gambaran historis15 dan apa maksud pendidikan humaniora? Memahami arti dan maksud hal-hal tersebut dan menempatkannya dalam konteks pembelajaran melalui media digital, memudahkan kita membahas masalah etis sebagaimana menjadi intensi artikel ini. Istilah humaniora16 merupakan istilah serapan dari bahasa Latin. Arti harafiah humaniora (bentuk jamak) adalah “hal-hal yang lebih manusiawi.” Istilah tersebut dibentuk dari kata humanus (adjektiva, tunggal) yang berarti “manusiawi”. Bentuk komparatifnya adalah humanior (tunggal) yang berarti “lebih manusiawi”. Sedangkan kata humanus merupakan bentukan dari tiga kata dasar, yakni homo (tunggal) atau homines (jamak) yang berarti “manusia”. Mengacu pada asal-usul dan arti istilah tersebut, maka makna humaniora adalah studi atau kelompok ilmu-ilmu yang membentuk manusia lebih manusiawi. Secara historis arti istilah humaniora dan penggunaanya dalam konteks pendidikan merupakan warisan dari zaman Renaisans.17 Zaman ini merupakan masa peralihan dari Abad Pertengahan ke Zaman Modern di Eropa. Renaisans berarti “kelahiran kembali”. Yang lahir kembali adalah kebudayaan Yunani dan Romawi klasik. Hal-hal yang menjadi penanda masa-masa kejayaan dua kebudayaan itu, terutama dalam 235 Respons 25 (2020) 02 RESPONS – DESEMBER 2020 bidang sastra, kesenian, seni rupa, dan arsitektur digali kembali pada masa peralihan itu. Kelahiran kembali dua kebudayaan tersebut berimplikasi pada kelahiran paham humanisme sebagai gerakan intelektual. Humanisme juga merupakan penanda Renaisans. Dalam kaitannya dengan humaniora, humanisme sebagai sebuah gerakan intelektual yang bertujuan memajukan humanitas (kemanusiaan) manusia, berpijak pada dan menimba inspirasi dari sastra serta kebudayaan Yunani dan Romawi klasik.18 Dengan demikian, humaniora dan humanisme saling terkait. Sejarah pendidikan humaniora sangat panjang. Meskipun istilah humaniora baru muncul pada zaman Renaisans, pendidikan humaniora (humaniora sebagai model pendidikan) sudah berlangsung sejak zaman Yunani kuno. Bruce Kimball dalam karyanya berjudul Orators and Philosophers,19 mengatakan bahwa pada zaman Yunani kuno, pendidikan humaniora berlangsung dalam dua kutup, yakni kutup kaum sofis dan kutup kaum filosof. Kaum sofis menekankan kemampuan beretorika. Untuk itu, para sofis—yang mempunyai kapasitas beretorika—menggugah dan menggerakkan emosi dan sensitivitas peserta didik. Sedangkan kaum sofis membangun dan menggerakkan penalaran dialektis agar peserta didik mampu membangun penalaran dialektis dan argumentasi yang benar.20 Pada Abad Pertengahan (5-15 M), pendidikan humaniora dikenal dengan istilah artes liberales/liberal arts.21 Trivium dan quadrivium adalah istilah-istilah untuk penggolongan materi-materi pendidikan liberal arts. Logika, gramar (tata Bahasa) dan retorika tergabung dalam trivium. Aritmatika, musik, geometri, dan astronomi tergabung dalam quadrivium. Logika untuk mengasah kemampuan peserta didik berpikir lurus dan jernih. Tata bahasa untuk mengasah akal agar mampu menciptakan dan mengombinasikan simbol-simbol sehingga membentuk kata dan kalimat yang bermakna. Retorika merupakan seni mengkomunikasikan pikiran melalui tata bahasa yang teratur. Respons 25 (2020) 02 236 MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI MEDIA DIGITAL Sedangkan aritmatika merupakan seni mendidik orang muda agar mampu memikirkan konsep bilangan. Aplikasi konsep bilangan terwujud melalui kombinasi not-not angka pada musik sehingga menghasilkan bunyi yang harmonis. Konsep bilangan juga diaplikasikan dalam penjumlahan, perkalian, pengurangan. Darinya, jelaslah bahwa pembelajaran matematika merupakan seni mengaplikasikan konsep bilangan secara konkret. Geometri adalah seni membentuk konsep spasial (space). Ilmu astronomi merupakan aplikasi konsep spasial. Jadi, pembelajaran geometri dan astronomi merupakan seni mengaplikasikan konsep spasial. Pendidikan humaniora abad Yunani Kuno (8-4 SM) dan Abad Pertengahan menitik-beratkan pada pembentukan karakter, khususnya karakter berpikir benar, lurus, dan selanjutnya diaplikasikan secara konkret. Melalui pedalaman dan praktik atas materi-materi trivium dan quadrivium, peserta didik mengasah kapasitas dirinya sehigga menjadi pribadi-pribadi yang bebas dari ketidaktahuan. Pendidikan humaniora menjadi semacam sekolah kepribadian dan sekolah kemanusiaan. Pada zaman Modern (17-20 M awal) dan Postmodern awal (akhir abad 20), pendidikan humaniora pun mendapat bentuk baru, yakni menjadi ilmu-ilmu humanitis. Bentuk baru itu merupakan dampak dari kemajuan dalam ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial—yang sangat mengedepankan metode ilmiah (scientific method) dan hermeneutika sosial, yang bertujuan menghasilkan ilmu pengetahuan ilmiah. Materimateri pembelajaran trivium dan quadrivium mendapat bobot ilmiah dari kedua disiplin ilmu pengetahuan ilmiah tersebut. Karakter saintifik pada pendidikan humaniora mendapat perhatian penting dari para pendidik humaniora. Karakter itu diwujudkan dalam penggunaan metode kerja ilmu pengetahuan ilmiah dan hermeneutika sosial.22 Ilmu-ilmu humanitis—bahasa, logika, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan Pancasila, pendidikan agama, etika—yang diberikan kepada para peserta didik tidak semata-mata untuk mengasah peserta didik agar berkepribadian humanistis dan religius, melainkan juga berkarakter 237 Respons 25 (2020) 02 RESPONS – DESEMBER 2020 saintifik. Peserta didik yang berkarakter saintifik akan menggunakan pendekatan saintifik (ilmiah) dalam mengelola aneka persoalan hidup sehari-hari di tengah masyarakat. Dalam corak ilmu-ilmu humanitis yang demikian dan dalam konteks pendidikan humaniora, pendidik dan peserta didik bersama-sama melakukan penelitian-penelitian ilmiah di bidang kemanusiaan. Melalui pendidikan humaniora, pendidik dan peserta didik bahu-membahu memecahkan persoalan-persoalan hidup manusia secara humanistik dan ilmiah. Sejarah pendidikan humaniora tersebut menampakkan pula maksud filosofis pendidikan humaniora, yakni para pendidik dan peserta didik merefleksikan dan berupaya merengkuh “yang benar” (the truth) dan “yang baik secara etis” (the good ethic). Upaya itu menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa mencari kebenaran dan mendamba kebaikan etis (ethical goodness). Oleh karena itu, pendidikan humaniora penting untuk semua tingkat pendidikan. 3.2. Masalah-masalah Etis Pendidikan humaniora dan para pendidik serta peserta didik yang terlibat di dalamnya, kini menghadapi dan berada dalam zaman baru, yakni zaman teknologi digital. Banyak hal baru yang lahir dari rahim teknologi dan budaya digital. Hal-hal baru yang sungguh kompleks dan rumit baik secara epistemologis maupun secara etis. Kompleksitas dan kerumitan yang bercorak epistemologis tidak akan dibahas di sini. Yang akan dibahas secara singkat hanya yang bercorak etis yang bertautan langsung dengan pendidikan humaniora. Pertanyaan-pertanyaan berikut merupakan rumusan atas berapa masalah etis yang lahir dari pendirikan humaniora secara daring. Apakah teknologi digital memungkinkan pendidik dan peserta didik menginternalisasi nilai-nilai etis? Sejauh mana teknologi digital baik secara kegunaan sekaligus baik secara etis? Apakah penggunaan teknologi digital yang terus-menerus sebagai sarana pendidikan tidak berpotensi Respons 25 (2020) 02 238 MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI MEDIA DIGITAL membentuk pendidik dan peserta didik sebagai “manusia digital”? Apakah teknologi digital dalam dirinya terkandung ontologi teknologi? Apakah teknologi digital merupakan modus kebenaran menyingkapkan dirinya? Mungkinkah manusia memahami dan merengkuh kebenaran (the truth) yang menyingkapkan dirinya melalui dan dalam momen penggunaan teknologi digital? Identifikasi terhadap sistem dan cara kerja teknologi digital yang dikendalikan oleh artificial intelligent dapat membantu pendidik dan peserta didik menjernihkan persoalan-persoalan etis tersebut dan menemukan jalan keluar. Tidak ada satu jawaban yang tuntas dan stabil untuk masalah-masalah tersebut. Akan tetapi identifikasi terhadap sistem dan cara kerja teknologi digital dapat membantu pendidik dan peserta didik berkreasi dan berakselerasi dalam konteks pendidikan humaniora secara daring, meskipun banyak persoalan etis muncul darinya. Mengacu pada filsafat komputer yang secara ringkas telah disampaikan pada poin kedua di atas, identifikasi terhadap sistem dan cara kerja teknologi digital dapat dilakukan dengan memperhatikan istilah-istilah dan modus operandinya. Istilah-istilah yang dengan mudah ditemukan dalam berbagai literatur teknologi digital antara lain: internet of things, cloud of things, dan big data.23 Istilah internet of things merujuk pada kemampuan internet menghubungkan berbagai perangkat fisik dan non-fisik dalam satu jaringan sedemikian rupa, sehingga memudahkan pengoperasian, pengkoordinasian, pengawasan, serta meningkatakan efisiensi dan efektivitas pencapaian. Internet of things membentuk sistem siber-fisik yang mencakup aplikasi massal teknologi digital seperti jaringan listrik cerdas (smart house), mobil cerdas (smart car), kota cerdas (smart city). Fungsi dasar aplikasi massal teknologi digital ini adalah komputerisasi, digitalisasi, otomatisasi, dan robotifikasi untuk bidang-bidang kehidupan baik publik maupun privat. Cloud of things merujuk pada sistem penyimpanan dan proses atau distribusi data, aplikasi, layanan untuk semua pengguna internet sehingga 239 Respons 25 (2020) 02 RESPONS – DESEMBER 2020 tidak perlu lagi menggunakan alat penyimpan seperti hardisk, flashdisk atau server pribadi. Layanan internet seperti Google, Facebook, Twitter, Zoom, Flickr dan sebagainya telah menggunakan cloud of things sehingga data dapat tersimpan secara nir-ruang fisik. Big data merujuk pada pertumbuhan jumlah dan rentang informasi yang bergerak secara eksponensial dengan kecepatan pertambahan yang tidak lazim, sehingga membutuhkan cara penanganan baru. Ada tiga ciri big data. Pertama, memiliki besaran data yang tak terhingga sehingga memerlukan penyimpanan yang kompleks dan metode analisis yang baru. Kedua, aliran data yang cepat dan real time. Ketiga, memiliki isi dan jenis data yang sangat beragam. Dengan demikian big data memudahkan penelitian dan pengembangan berbagai bidang kehidupan manusia, bahkan dapat memprediksi hal-hal yang akan terjadi pada masa depan. Saat manusia beraktivitas dalam bidang apapun menggunakan teknologi digital, pada saat yang bersamaan teknologi itu menyedot dan mengumpulan data para pengguna. Data-data yang terkumpulkan merupakan potensi dan asset ekonomi bagi pasar kapitalisme digital. Datadata tersebut oleh pelaku pasar kapitalisme digital disiasati sedemikian rupa untuk kepentingan bisnis (melalui) perangkat digital. Selain itu, cara kerja artificial intelligence dalam perangkat teknologi digital secara halus membentuk budaya digital. Aktivitas manusia dalam berbagai bidang kehidupan—termasuk pendidikan humaniora—akhirnya menjadi aktivitas digital. Implikasi terdalam dari berkebudayaan secara digital adalah keterciptaan manusia digital. Manusia digital merujuk pada cara berpikir, cara merasa, cara bertindak secara digital. Akan tetapi karena aktivitas manusia digital berlangsung dalam sistem logika kapitalisme pasar digital, maka aktivitas itu tetap merupakan sokongan terhadap sistem tersebut. Dengan demikian, manusia digital—meminjam istilah Herbert Marcuse—adalah manusia satu dimensi.24 Inilah implikasi etis yang cukup terang dari keberadaan dan fungsi teknologi digital saat ini. Respons 25 (2020) 02 240 MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI MEDIA DIGITAL Manusia digital satu dimensi selalu memiliki kecenderungan memperoleh suguhan pasar kapitalisme digital, yakni teknologi digital yang mudah, murah, dan gratis. Pemerolehan suguhan oleh pasar kapitalisme digital itu meningkat tajam pada masa pandemic Covid-19 ini seperti yang dikemukanan oleh Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (WANTIKNAS).25 Suguhan teknologi digital yang segera dipakai oleh manusia— khususnya untuk proses pembelajaran/perkuliahan daring antara lain, line, streamyard, zoom, teams, google meet, ruangguru, zenius, quipper, cakap, dan kipin school.26 Aplikasi-aplikasi ini memungkinkan pembelajaran tetap berlangsung. Meskipun para pengguna perlu beradaptasi tetapi keberadaan dan fungsi sejumlah perangkat digital itu efektif dan mempelancar proses pembelajaran secara daring. Di hadapan implikasi etis dan suguhan teknologi digital tersebut, kalimat Chris Skinner berikut dalam bukunya berjudul Manusia Digital— Revolusi 4.0 Melibatkan Semua Orang, dapat menjadi sebuah interupsi atas perilaku dan tindakan manusia digital dan budaya digital. Berikut refleksi Chris Skinner: Saya tidak tahu, tapi ini dapat menjadi pertanyaan yang menarik tentang bagaimana dan apa yang kita anggap bernilai saat kita telah menjadi manusia super berkat teknologi perpanjangan hidup dan rekayasa tubuh, saat kita bergerak melampaui bumi menuju planet lain, dan saat kita mencapai tahap di mana setiap kebutuhan fisik dan mental kita dapat dipenuhi oleh sebuah robot.27 4. MENGUPAYAKAN ONTOLOGI TEKNOLOGI DIGITAL UNTUK PENDIDIKAN HUMANIORA Dalam kerangka pemikiran Martin Heidegger mengenai ontologi teknologi dan filsafat komputer, teknologi digital mestinya bukan sekedar instrumentum yang disikapi secara antropologis (digunakan sebagai alat 241 Respons 25 (2020) 02 RESPONS – DESEMBER 2020 atau sarana teknologi canggih untuk mencapai tujuan manusia). Filsafat teknologi Heidegger membuka celah bagi pendidik dan peserta didik pembelajaran humaniora, mengupayakan ontologi teknologi digital, sehingga dalam penggunaan teknologi digital, pendidik dan peserta didik membuka diri pada kebenaran dan kebaikan etis menyingkapkan dirinya. Dengan mengadopsi konsep poiēsis dalam filsafat Yunani kuno, Heidegger menekankan bahwa teknologi pertama-tama adalah memungkinkan “sesuatu menampakkan dirinya, keluar dari persembunyiannya, sesuatu yang menyingkapkan dirinya.”28 Itulah ontologi teknologi. Dalam teks “The Question Concerning Technology”, Heidegger menjelaskan ontologi teknologi bertautan erat dengan alētheia: kebenaran menyingkapkan dirinya. Untuk itu ia menjelaskan alētheia dengan mengadopsi konsep poiēsis dalam pemikiran Yunani kuno. Definisi sederhana dari poiēsis adalah membawa ke hadapan (bringing-forth) dari yang tidak tampak menjadi tampak atau terlihat.29 Dengan kata lain, poiēsis berarti membawa keluar dari ketersembunyian agar terlihat jelas. Konsep itu menunjukkan dimensi aktif, yakni menyingkapkan sesuatu yang tersembunyi sehingga sesuatu itu tampak jelas. Jadi, poiēsis merupakan sebuah modus transparansi atas sesuatu yang sebelumnya tidak tersembunyi. Makna dan modus operandi poiēsis tersebut oleh Heidegger disebut dengan istilah menyingkapkan (das Entbergen). Berikut tulis Heidegger: Bringing-forth propriates only insofar as something concealed comes into unconcealment. The Greeks have th e word alētheia for revealing. The Romans translate this with veritas. We say “truth ” and usually understand it as correctness of representation.30 (Membawa ke hadapan sesuatu yang dimiliki sejauh sesuatu itu tersembunyi menjadi tidak tersembunyi. Orang Yunani memiliki kata alētheia untuk menyingkapkan. Orang Roma menerjemahkan ini dengan veritas. Kami mengatakan “benar” dan biasanya memahaminya sebagai kebenaran repsentasi).31 Respons 25 (2020) 02 242 MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI MEDIA DIGITAL Apakah alētheia hanya berlaku untuk hal-hal tertentu? Bagaimana gambaran mengenai hubungan antara alētheia dengan teknologi? Bagi Martin Heidegger, alētheia berlaku dalam segala hal. Karena setiap upaya membawa ke hadapan agar tampak (bringing-forth) berarti pula menyingkapkan sesuatu yang tersembunyi supaya terlihat jelas. Itu berarti alētheia pun berkenaan dengan teknologi. Kerap kali teknologi diperlakukan sebagai alat dan sarana oleh manusia. Akan tetapi itu tidak mereduksi teknologi sebagai modus kebenaran menyingkapkan dirinya. Itu berarti teknologi bertautan erat dengan alētheia. Teknologi adalah cara kebenaran menyingkapkan dirinya, unclosedness of Being: itulah truth. Berikut tulis Heidegger mengenai hal tersebut: Technology is therefore no mere means. Technology is a way of revealing. If we give heed to this, then another whole realm for the essence of technology will open itself up to us. It is the realm of revealing, i.e., of truth.32 (Oleh karena itu, teknologi bukan semata-mata sarana. Teknologi adalah sebuah penyingkapan. Jika kita memperhatikan ini, inti teknologi akan terbuka bagi kita. Ini adalah dunia penyingkapan, yakni dari kebenaran).33 Filsafat teknologi Heidegger relevan untuk pendidikan humaniora melalui media digital. Teknologi digital konteks pendidikan humaniora memungkinkan phusis berlangsung. Para pihak yang terlibat dalam pendidikan humaniora pada era budaya digital sekarang dan akan datang, tidak dapat mengelakkan diri dari tanggungjawab menyelenggarakan pendidikan humaniora melalui media digital yang: pertama, proses dan tujuannya adalah memungkinkan kebenaran dan kebaikan etis menyingkapkan dirinya, dan kedua pendidik dan peserta didik membuka diri pada kebenaran dan kebaikan etis yang menyingkapkan dirinya. Pada titik inilah, teknologi digital dan berteknologi digital dalam konteks pendidikan humaniora memperoleh status ontologisnya. 243 Respons 25 (2020) 02 RESPONS – DESEMBER 2020 Relevansinya dengan pendidikan humaniora adalah bahwa media digital juga menghadirkan momen bagi pendidik untuk menyadari peserta didik sejauh peserta didik menyingkapkan dirinya. Di hadapan peserta didik, pendidik menyadari peserta didik (kesadaran tentang sesuatu) sekaligus menyadari dalam/sebagai peserta didik. Artinya peserta didik memiliki momen membentuk kesadaran pendidik. Demikian pula menjadi momen bagi peserta didik menyadari pendidik dan menyadari dalam/sebagai pendidik. Dengan demikian, baik pendidik maupun peserta didik saling memahami sejauh masing-masing pihak menyingkapkan dirinya. Pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana pendidikan humaniora pada era budaya digital dan menggunakan media digital sekarang memungkinkan kebenaran menyingkapkan dirinya? Pertanyaan ini mendorong pendidik dan peserta didik memikirkan langkah-langkah konkret perluasan cara berada manusia digital dari satu dimensi menjadi digital menjadi multidimensi. Perluasan yang demikian tetap berbasis pada manusia sebagai makhluk konkret yang multidimensi. Dimensi-dimensi diri manusia seperti ekonomi, politik, religius, sosial, ekologis, kultural, diperluas melalui aktivitas berteknologi digital. Tentu, aktivitas digital ini tidak semata-mata menempatkan teknologi digital sebagai sarana tetapi sekaligus aktivitas digital memungkinkan alētheia dan dimensi-dimensi diri manusia konkret tersingkapkan secara utuh. Salah satu hal konkret yang berpotensi besar untuk diselenggarakan dalam proses pendidikan liberal arts adalah membangun dan menggerakkan digital social solidarity. Digital social solidarity merupakan gerakan interdisipliner. Gerakan ini melibatkan para mahasiswa dan dosen dari disiplin ilmu techno-science dan para mahasiswa dan dosen dari disiplin ilmu-ilmu humanitis. Para mahasiswa dan dosen dapat merancang/ membuat aplikasi-aplikasi digital untuk gerakan solidaritas sosial. Supaya aplikasi-aplikasi digital untuk gerakan solidaritas sosial itu menjadi digital social solidarity, maka semua pihak—baik tim akademik Respons 25 (2020) 02 244 MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI MEDIA DIGITAL (mahasiswa dan dosen) dan para pengguna—terlibat dan berpartisipasi secara aktif sejak perencanaan, pelaksanaan, pemakaian, evaluasi, perbaikan, dan pembaharuan berbagai aplikasi digital. Keterlibatan dan partisipasi memungkinkan setiap pihak saling berbagi nilai etis, nilai kegunaan, spiritualitas, dan refleksi humanitis sebagai manusia konkret. Dengan demikian, terwujud digital social solidarity sebagai bentuk konkret ontologi teknologi digital. Pada titik inilah berteknologi sebagai moment kebenaran (the truth) dan kebaikan (the good) menyingkapkan dirinya. Bersamaan dengan itu setiap pihak yang terlibat di dalamnya, membuka diri dan mengalami momen-momen ketersingkapan kebenaran dan kebaikan baik secara personal maupun bersama-sama. Di titik itulah kebenaran tampak sebagai pewahyuan/penyingkapan diri Being (Dasein). 5. PENUTUP Pandemi Covid-19 menyebabkan sebagian besar orang mengubah lanskap hidupnya. Semua bidang kehidupan berubah. Terjadi peralihan hidup dari hidup konvensional non-digital ke hidup digital. Manusia masuk dalam dan menjadi bagian konstitutif budaya digital. Budaya ini membentuk manusia digital satu dimensi, yang berkecenderungan mudah, murah, gratis sebagai mana disuguhkan oleh pasar kapitalisme digital. Itulah gambaran mengenai manusia yang mengenakan mentalitas baru, yakni mentalitas digital. Perubahan dan peralihan dari lanskap konvensional ke lanskap digital pun terjadi pada dunia pendidikan, khususnya pendidikan humaniora. Pendidikan humaniora berlangsung melalui media digital. Dalam konteks ini, teknologi digital tidak bisa hanya sebagai sarana. Teknologi digital— merujuk pada filsafat teknologi Martin Heidegger—mesti mengandung dalam dirinya suatu ontologi teknologi digital. Dengan demikian, penggunaan teknologi digital dalam pendidikan humaniora merupakan momen ketersingkapan kebenaran dan kebaikan etis. 245 Respons 25 (2020) 02 RESPONS – DESEMBER 2020 Para pihak yang terlibat dalam pendidikan humaniora melalui media digital mengemban tanggung jawab untuk mengembangkan sebuah gerakan solidaritas digital. Semua pihak terlibat dan berpartisipasi aktif dalam gerakan itu. Dalam dan melalui gerakan itu, para pihak mengalami kebenaran dan kebaikan etis yang menyingkapkan diri. Dengan demikian, manusia menegaskan dirinya sebagai person multidimensi yang selalu mencari kebenaran dan mendamba kebaikan etis sepanjang hidupnya pada era kebudayaan digital sekarang. CATATAN AKHIR 1 Maieutike techne berarti teknik kebidanan. Socrates mengadopsi teknik itu sebagai metode pengajarannya di agora-agora (pasar-pasar). Dengan metode itu, guru Platon itu mengeluarkan isi pikiran dari dalam pikiran orang-orang yang mendengarnya. Bagi Socrates, setiap orang yang mendengar pengajarannya, sudah memiliki isi pikiran mengenai hal tertentu. Oleh karena itu, isi pikiran setiap orang harus dikeluarkan lebih dulu, seperti bidan membantu ibu hamil untuk melahirkan anak dari dalam rahim. Setelah isi pikiran itu diketahui, selanjutnya Socrates memperbaikinya dengan pikiranpikiran filosofis. 2 Lihat lengkap, Martin Heidegger, Being and Time (dalam kerangka penulisan ini, penulis menggunakan edisi terjemahan berbahasa Inggris dari karya asli Martin Heidegger Zein und Seit. Edisi berbahasa Inggris dari Zein und Seit dikerjakan oleh Joan Stambaugh), New York, State University of New York, 1996, hal. 196-211. 3 Martin Heidegger, 1978, Basic Writings—from Being and Time (1927) to The Task of Thingking (1964), (Edited, with general introduction and introductions to each selection by David Farrel Krell), London and Henley, Routledge & Kegan Paul, hal. 287-317. 4 Martin Heidegger, Basic Writings, hal. 295. 5 Kalimat bahasa Indonesia dalam tanda kurung merupakan terjemahan penulis artikel ini. 6 Teknologi sebagai sarana dan alat untuk mencapai tujuan tertentu manusia, bagi Martin Heidegger, berarti teknologi baru pada level ontis. Teknologi tidak sekedar perkara ontis. Teknologi adalah perkara ontologis, yakni Ada (Being) yang menyingkapkan dirinya. Lihat, David Farrel Krell—Ed., 1978, hal. 288-289; F. Budi Hardiman, 2016, hal. 7071; Francis Lim, 2008, hal. 46. Respons 25 (2020) 02 246 MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI MEDIA DIGITAL 7 Judith Simon, “Distributed Epistemic Responsibility in a Hyperconnected Era” dalam Luciano Floridi (Ed), 2009, The Onlife Manifesto Being Human in a Hyperconnected Era, Springer Cham Heidelberg, New York, Dordrecht, London, hal, 150-151. 8 https://www.merriam-webster.com/dictionary/digital#:~:text=1%20%3A%20 relating%20to%20or%20using,digits%20digital%20images%20digital%20 broadcasting. Diakses pada Selasa, 6 Oktober 2020, pkl. 11.37. WIB. 9 https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-digital.html. Diakses pada Selasa 6 Oktober 2020, pkl. 11.47 WIB. 10 Ibid. 11 Charlie Gere, Digital Culture, 2008, Great Sutton Street Ltd 33 London, Reaktion Books, hal. 14. 12 Ibid. 13 Ibid. 14 Ibid., 18. 15 Versi singkat sejarah pendidikan humaniora dalam artikel ini diolah ulang dari artikel ilmiah penulis yang berjudul “Pendidikan Liberal Arts dalam Selubung Teknologi Digital”, yang dipublikasikan dalam EDUNET: The Journal of Humanities and Applied Education, Volume 1, No 1, Januari 2021; surel online: https://jurnal.unikastpaulus. ac.id/index.php/je, diakses pada 2 Februari 2021, pkl. 13.00 WIB. 16 Penjelasan secara singkat dan padat mengenai arti humaniora dan maksud pendidikan humaniora ini mengacu pada artikel “Filsafat dalam Cakrawala Humaniora” karya K. Bertens dalam K. Bertens, Johanis Ohoitimur, Mikhael Dua, 2018, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, hal. 1-28. 17 Ibid., hal. 2. 18 Ibid., hal. 5. 19 Nigel Tubbs, 2014, Philosophy and Modern Liberal Arts Education, New York, Palgrave Macmillan, hal. 7. 20 Ibid. 21 M. Sastrapratedja, SJ, 2013, Pendidikan sebagai Humanisasi, Jakarta-Yogyakarta, Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila-SDU Press, hal. 187. 22 Baca secara lengkap artikel Ignas Kleden, “Paradigma Ilmu Pengetahuan: Tantangan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora di Indonesia” dalam Ignas Kleden dan Taufik Abdullah (Ed.), 2017, Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora di Indonesia, Jakarta, LIPI Press, hal. 1-132. 247 Respons 25 (2020) 02 RESPONS – DESEMBER 2020 23 Agus Sudibbyo, 2019, Jagad Digital-Pembebasan dan Penguasaan, Jakarta, KPG, hal. 212-225. 24 Bdk., Valentinus Saeng, CP., 2012, Herbert Marcuse-Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global, Jakarta, Gramedia, hal. 241-264. 25 Pada masa pandemi Covid-19 ini, penggunaan berbagai aplikasi digital meningkat secara signifikan. Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (WANTIKNAS) mencatat bahwa masyarakat menggunakan teknologi digital untuk empat urusan penting. Pertama, kebutuhan jaringan internet. Telkom mencatat peningkatan mencapai 15 persen dibandingkan traffic rata-rata. TV Interaktif Indihome yang meningkat menjadi 11 juta dari sebelumnya hanya berkisar 3-9 juta. Kedua, fintech (financial thecnology). Terjadi peningkatan transaksi keuangan melalui platform digital seperti OVO dan GoPay untuk keperluan belanja online, pembayaran tagihan listrik, pulsa, dan pembelian game. Dalam 1 bulan OVO mencatat peningkatan transaksi online mencapai 100 % dan pinjaman mencapai 50 %. Demikian pula GoPay. Ketiga, media sosial. Berdasarkan trafik penggunaannya, aplikasi WhatsApp dan Instagram mengalami kenaikan mencapai 40%. Saat sebagian besar orang melakukan aktivitas dari rumah sesuai protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah, media sosial adalah sarana komunikasi yang paling efektif. Hal itu tampak pada survei yang dilakukan oleh Firma Konsultan Kantar, sejak awal pandemi penggunaan WhatsApp meningkat dari 27% dan sampai pada pertengahan masa pandemi mencapai 41%. Negara-ngera yang sudah lebih dulu menerapkan kerja dari rumah (work from home) penggunaan aplikasi WhatsApp melonjak tajam mencapi 51%. Keempat, pengunaan perpustakaan digital. Akses melalui perangkat teknologi digital ke Penggunaan iPusnas pada periode 8-14 Maret mencapai 9.783. Pada periode 29 Maret-4 April meningkat tajam mencapai 40.902. Akses terhadap perpustakaan digital berhubungan dengan kebutuhan masyarakat akat informasi dan pengetahuan. http:// www.wantiknas.go.id/id/berita/akses-digital-meningkat-selama-pademi. Diakses pada Rabu, 7 Oktober 2020, pkl. 12.16 WIB. 26 https://www.antaranews.com/berita/1359558/lima-platform-online-untuk-belajardi-rumah. Diakses pada Rabu, 7 Oktober 2020, pkl. 12.39 WIB. 27 Chris Skinner, 2019, Manusia Digital-Revolusi 4.0 Melibatkan Semua Orang, Jakarta, Elex Media Komputindo, hal. 21. 28 Charles Guignon, “Being as Appearing: Retrieving the Greek Experience of Phusis” dalam Richard Polt & Gregory Fried (Ed.), 2001, A Companion to Heidegger’s Introduction to Metaphysics, New Haven/London, Yale University Press, hal. 38. Respons 25 (2020) 02 248 MASALAH-MASALAH ETIS PENDIDIKAN HUMANIORA MELALUI MEDIA DIGITAL 29 Martin Heidegger, Basic Writings, hal. 293. 30 Ibid., hal. 294. 31 Teks bahasa Indonesia dalam tanda kurung adalah terjemahan penulis artikel ini. 32 Martin Heidegger, Basic Writings, hal. 294. 33 Teks bahasa Indonesia dalam tanda kurung adalah terjemahan penulis artikel ini. DAFTAR PUSTAKA Bertens, K., Johanis Ohoitimur, Mikhael Dua, (2018), Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius. Budi Hardiman, F, (2016), Heidegger dan Mistik Keseharian, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia. Gere, Charlie, Digital Culture, (2008), Great Sutton Street Ltd 33 London, Reaktion Books, Heidegger, Martin, (1996), Being and Time (dalam kerangka penulisan ini, penulis menggunakan edisi terjemahan berbahasa Inggris dari karya asli Martin Heidegger Zein und Seit. Edisi berbahasa Inggris dari Zein und Seit dikerjakan oleh Joan Stambaugh), New York, State University of New York. Kleden, Ignas dan Taufik Abdullah (Ed.), (2017), Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora di Indonesia, Jakarta, LIPI Press. Martin Heidegger, (1978), Basic Writings from Being and Time (1927) to The Task of Thinking (1964), London and Henley, Routledge & Kegan Paul. Lim, Francis, (2008), Filsafat Teknologi—Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, Yogyakarta, Kanisius. Miriam Joseph, Sister, (2002), The Trivium: The Liberal Arts of Logic, Grammar, and Rhetoric—Understanding the Nature and Function of Language, Philadelphia, Paul Dry Books. Polt, Richard & Gregory Fried (Ed.), (2001), A Companion to Heidegger’s Introduction to Metaphysics, New Haven/London, Yale University Press. Rosenthal-Pubul, Alexander S., (2018), The Theoretic Life A Classical Ideal and its Modern Fate—Reflection on The Liberal Arts, Washington DC, Springer. 249 Respons 25 (2020) 02 RESPONS – DESEMBER 2020 Sastrapratedja, SJ., M, (2013), Pendidikan sebagai Humanisasi, Jakarta-Yogyakarta, Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila-SDU Press. Sudibbyo, Agus, (2019), Jagad Digital-Pembebasan dan Penguasaan, Jakarta, KPG. Skinner, Chris, (2019), Manusia Digital-Revolusi 4.0 Melibatkan Semua Orang, Jakarta, Elex Media Komputindo. Tubbs, Nigel, (2014), Philosophy and Modern Liberal Arts Education, New York, Palgrave Macmillan. Respons 25 (2020) 02 250