Karakter dalam Cerita Wayang Kumbakarna Gugur
Yudi Permana
Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung
Jalan Buah Batu No. 212 Bandung 40265
ABSTRACT
The values of life are inherent on arts, likewise on Wayang. Characters of Wayang seem to have
human characteristics. One of them is the character of Kumbakarna in the play of Kumbakarna Gugur that will be analysed with narrative analysis method. Kumbakarna is considered as an evil character but he is willing to sacrifice himself to defend his kingdom not to rescue his brother, Rahwana.
The character of Kumbakarna is ambivalent when on one side he fights for his brother to get Shinta,
but on the other side he realizes that what he does is an evil deed. He knows that Rahwana does not
have his right to have Shinta. However, Rahwana’s happiness is in conflict with Shinta’s suffering.
Keywords: Wayang, Kumbakarna Gugur, ambivalence, narrative analysis
dari roh nenek moyangnya. Tampak jelas
bahwa bangsa Indonesia sejak dahulu telah
terbiasa mengagungkan leluhurnya yang
diwujudkan dengan jalan upacara penyembahan leluhurnya, baik di rumah maupun
di tempat yang khusus yang disediakan secara beramai-ramai (Supriyono, 2008:145).
Karena itu dibuatlah perwujudan untuk
kediaman roh yang disebut Pratima, yang
dalam bahasa Jawa disebut Unduk dan di
Bali disebut Archalingga atau Pralingga. Nenek moyang percaya bahwa setiap benda
mati mempunyai roh yang baik dan jahat,
agar tidak diganggu oleh roh jahat maka
roh-roh tersebut dilukis dalam bentuk gambaran atau bayangan (wewayangan atau
wayang) dan disembah serta diberi sesajen
kepercayaan ini dikenal dengan animisme,
kepercayaan ini berlangsung lama namun
setelah kedatangan agama Hindu maka
gambaran roh berubah fungsinya menjadi
alat peraga untuk menyampaikan ajaranajaran agama dan kini menjadi tontonan
serta tuntunan (Pasha, 2011:17).
Catatan pertama dari pertunjukan wayang adalah dari sebuah prasasti tertanggal
PENDAHULUAN
Wayang sebagai dongeng sudah lama
ada di Indonesia. Cerita wayang pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang berwatak baik menghadapi dan
menumpas tokoh yang berwatak jahat.
Wayang sebagaimana yang dikenal orang
dewasa ini merupakan sebuah warisan
budaya nenek moyang telah amat tua, asli
budaya Indonesia, yang diperkirakan telah
bereksistensi kurang lebih 1.500 SM jauh
sebelum agama dan budaya luar masuk
ke Indonesia (Sudjarwo, Sumari, Undung
Wiyono, 2010:47). Asal mula pertunjukan
wayang berasal dari sebuah keyakinan
pada roh-roh nenek moyang yang tetap
hidup dan berperan dalam kehidupan manusia, dan adanya suatu kebiasaan yang
berupa upacara pemujaan kepada roh-roh
leluhur, agar mereka yang masih hidup
dapat mengarahkan cinta baktinya kepada para leluhur yang telah meninggal.
Pada zaman Pra sejarah atau kepercayaan
Animisme Dinamisme di Indonesia, masyarakat mendewakan semua benda hidup
78
-
Pantun Vol. 2 No. 1 Juni 2017 -
930 CE yang mengatakan si Galigi mawayang, atau “Galigi memainkan wayang”.
Sejak saat itu sampai hari ini tampaknya
ada beberapa hal pada pertunjukan wayang tradisional yang tidak berubah. Ada
pernyataan dari beberapa ahli, bahwa pertunjukan wayang berawal dari kecintaan
manusia kepada roh-roh nenek moyangnya
(Sumarno dan Rasona, 1983:69).
Perkataan wayang mengandung berbagai pengertian, yakni ‘gambaran tentang
suatu tokoh, boneka, atau boneka pertunjukan wayang, berjalan berkali-kali, lalu
lalang, tidak tetap, samar-samar, remangremang’. Dikarenakan boneka-boneka yang
digunakan dalam pertunjukan itu berbayangan atau memberi bayang-bayang, maka
dinamakan wayang (Sri Mulyono, 1982:10).
Jenis wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa disajikan lewat wayang-wayang tersebut. Seperangkat wayang kulit
misalnya hanya dapat dipakai untuk memainkan ceritera-ceritera dari Mahabarata
atau Ramayana. Wayang kulit tidak bisa
di pakai untuk menampilkan babad Menak.
Sebaliknya perangkat wayang golek tidak dapat digunakan untuk melakonkan
Mahabarata, ini dikarenakan tokoh tokoh
yang ada dalam wayang-wayang tersebut
memang sudah dibuat untuk pementasan
lakon-lakon (ceritera-ceritera) tertentu.
Ada beberapa pendapat menurut Sumarno dan Rasona (1983:182) yang menyatakan bahwa wayang bukan berasal
dari Indonesia diantaranya Dr. Ralp L.
Deals dan Dr. Harry Hooyer yang berpendapat bahwa “bangsa Indonesia adalah
keturunan Mongol dan bukan dari rumpun
bangsa Melayu. Oleh karena itu kebudayaannya pun adalah kebudayaan bangsa
Mongoli, yang mirip dengan kebudayaan
China”. Kwee Kek Beng juga berpendapat
bahwa “wayang berasal dari China karena
Chinapun ada pertunjukan semacam wayang yang disebut: Wei-Ting dan Wayaah
yang telah dikenal masyarakat China sejak
kira-kira 400 tahun sebelum Masehi”.
Selain itu ada beberapa sarjana yang
berpendapat bahwa seni pedhalangan adalah
hasil karya bangsa Indonesia asli yaitu Dr.
Brandes menyatakan bahwa “pada zaman
raja Sanjaya yang memerintah di Mataram, yang letaknya di Jawa Tengah, sekitar
tahun 750, masyarakat Jawa telah mengenal ceritera wayang yang merupakan epos
mitos Hindu, yaitu ceritera Ramayana dan
Mahabarata”. Dr. G.A.J. Hazeu yang menyatakan bahwa “pada zaman raja Airlangga memerintah Jawa Timur, kira-kira tahun
1035-1045, telah ada pertunjukan wayang,
bahkan mungkin sebelumnyapun telah ada
pula” (Sumarno dan Rasona, 1983:182).
Dalam isi cerita wayang, pada dasarnya
melimpah dengan nilai-nilai, baik berkaitan dengan unsur filosofis, etis religius maupun estetis (Rusliana dalam Caturwati,
2008:190-191). Wayang dilihat sebagai bahasa simbol dari hidup dalam kehidupan
yang bersifat rohaniah daripada lahiriah
(Mulyono dalam Caturwati, 2008:191).
Dilihat dari perkembangannya, wayang mengalami beberapa fase perkembangan dari mulai patung pratima hingga
menjadi wayang golek. Walaupun wayang
mengalami perubahan dalam bentuk, esensi dan ceritanya, pada dasarnya wayang
mengandung segudang nilai-nilai dalam
kehidupan. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa wayang adalah sebagai media dakwah, ajaran-ajaran hidup bagi manusia
dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu
politik, sosial, budaya, agama, dan sebagainya.
Namun di era sekarang ini nilai kebudayaan di dalam masyarakat telah mulai
meluntur bahkan ada sebagian yang mulai
menghilang. Banyak para remaja sekarang
ini yang tidak suka dengan kebudayaan
daerahnya sendiri, mereka lebih senang
meniru budaya asing yang sangat bertentangan dengan budaya Indonesia.
Cerita dongeng sarat akan pesan. Un-
79
- Permana: Karakter dalam Cerita Wayang Kumbakarna Gugur -
tuk memahami bagaimana pengetahuan,
pesan, makna, dan nilai diproduksi dan
disebarkan dalam masyarakat, dapat dibantu dengan penggunaan analisis naratif.
Fungsi karakter dari Vladimir Propp dapat
digunakan untuk menganalisis narasi dari
suatu dongeng.
Dari fenomena demikian, muncul pertanyaan Bagaimana penggambaran fungsi
karakter dalam cerita wayang Kumbakarna
Gugur? Bagaimana penggambaran karakter oposisi berlawanan dalam cerita wayang Kumbakarna Gugur? Diduga bahwa
era globalisasi yang dapat menggeser nilai-nilai kebudayaan yang telah melekat
di dalam masyarakat Indonesia menjadi
penyebab utama terjadinya pergeseran
makna dan nilai saat ini. Untuk menjawab
berbagai pertanyaan dan praduga yang
timbul perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang karakter atau tokoh cerita wayang Kumbakarna Gugur. Metode analisis
ini menggunakan analisis naratif. Naratif
(narasi) adalah representasi dari peristiwaperistiwa. Dipilihnya analisis naratif karena
analisis naratif melihat teks berita sebagai
sebuah cerita, yang mengandung plot, adegan, tokoh, dan karakter. Selain itu analisis
naratif membantu kita untuk memahami
bagaimana pengetahuan, makna dan nilai
diproduksi dan disebarkan dalam masyarakat. Analisis naratif memungkinkan untuk
menyelidiki hal-hal yang tersembunyi dan
laten dari suatu teks media. Peristiwa disajikan dalam bentuk cerita, dan dalam cerita
tersebut sebenarnya terdapat nilai-nilai dan
ideologi yang terkandung di dalamnya.
Secara umum teknik analisis datanya
menggunakan alur yang lazim digunakan
dalam penelitian kualitatif yakni mengidentifikasi objek yang diteliti untuk dipaparkan, dianalisis, kemudian ditafsirkan
maknanya. Adapun fungsi Vladimir Propp
yang akan digunakan karena dirasa akan
cocok dan mendukung peneliti untuk
melakukan penelitian ini.
Lokasi penelitian bertempat di kota
Bandung. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan, wawancara,
dan observasi. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap data-data yang diperoleh. Untuk menguji keabsahan data itu sendiri dilakukan teknik triangulasi sumber.
Penelitian dilakukan dengan tujuan
mengetahui fungsi dari karakter dan karakter oposisi berlawanan pada cerita wayang
Kumbakarna Gugur. Diharapkan tulisan
ini dapat membawa manfaat bagi penulis
maupun pembaca.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sumber Cerita Wayang
Perlu diketahui bahwa wayang dikenal sejak Zaman Animisme. Hal ini dapat
dilihat berdasarkan pelaksanaan upacara
pemujaan. Menurut para ahli telah dilakukan upacara pemujaan roh nenek moyang
sekitar 1500 tahun sebelum Masehi (Pasha,
2011:17). sebagai titik tolak tumbuhnya pewayangan. Upacara pemujaan roh leluhur
tersebut atas dasar kepercayaan bahwa roh
leluhur tetap hidup dan dapat memberikan
kebahagiaan, dan atau sebaliknya dapat
mengakibatkan suatu malapetaka bagi anak keturunannya. Benda-benda tak bernyawa atau roh-roh para leluhur dianggap
dapat membantu semua masalah dalam kehidupan seperti rezeki, musibah atau jodoh
(Suryadi, 1981:14). Dengan menggunakan
peralatan yang dapat menimbulkan bayang-bayang atau arca yang disebut unduk
sebagai prasarana menjadi wahana pengejawantahan jiwa leluhur, disamping sesajian dan membakar dupa, orang berharap
mendapatkan restu dari leluhur atau nenek
moyang yang telah tiada (meninggal).
Dengan demikian orang percaya bahwa ada suatu kekuasaan yang berada diluar jangkauan mereka yang terdiri dari
roh nenek moyang. Upacara pemujaan dilaksanakan pada waktu tertentu dan pada
80
-
Pantun Vol. 2 No. 1 Juni 2017 -
tempat yang dianggap keramat, dipimpin
oleh seseorang yang dianggap mempunyai
kesaktian dan dapat berhubungan dengan
jiwa leluhur dengan mantranya. Peninggalan zaman animisme tersebut hingga
kini masih terdapat pula pada masyarakat,
seperti penyelenggaraan sesaji pada waktu dan tempat tertentu, membakar dupa,
mengadakan selametan untuk keperluan
tradisional dan lain sebagainya (Sumarno
dan Rasona, 1983:182).
Wayang juga terdapat pada masa
datangnya bangsa Hindu di Jawa. Kita ketahui bersama bahwa cerita yang terdapat di
dalam wayang merupakan karya sastra Melayu atau yang mendapat pengaruh Hindu
kedalam sastra Indonesia (Fanani, 1996:1).
Dengan masuknya Hindu turut berpengaruh pada budaya tradisional masyarakat.
Upacara pemujaan roh nenek moyang yang
semula berbentuk penyelenggaraan bayang-bayang, kemudian oleh bangsa Hindu
dipergunakan sebagai media penanaman
paham budaya/agama Hindu dengan memasukan cerita Mahabarata dan Ramayana
ke dalam penyelenggaraannya. Namun hal
tersebut tidak menghilangkan persyaratanpersyaratan sesaji. Dengan demikian maka
upacara pemujaan beralih bentuk menjadi
suatu pertunjukan (Sumarno dan Rasona,
1983:182).
Pada zaman Majapahit kitab Mahabarata dan Ramayana pun mulai ditulis dalam
bahasa Kawi, dan terjadi penulisan cerita
bharatayudha Arjuna Wiwaha. Disamping
itu dibuat juga gambar cerita wayang pada
daun tal, dan pada kertas yang disebut wayang beber. Wayang Beber termasuk bentuk wayang yang paling tua usianya dan
berasal dari masa akhir zaman Hindu di
Jawa (Supriyono, 2008:17).
Dengan berakhirnya zaman Majapahit
yang menganut agama Hindu, maka mulailah perkembangan agama Islam di Jawa.
Beralihnya kekuasaan berakibat pula pada
beralihnya kekayaan budaya yang telah
tertanam dan mendarah daging pada masyarakat. Pewayangan pun dibenahi dan
tak lepas dari perannya sebagai prasarana
pengembangan agama. Pada saat itu yang
ada adalah wayang Beber, karena dinilai
bertentangan dengan syariat Islam, maka
dibuatlah kreasi baru untuk membuat
wayang kulit. Perubahan ini mengenai bentuknya, gambarnya, model pertunjukanya,
alat perlengkapan dan sarana lainya diselaraskan dengan syari’at Islam (dimasukkan unsur Islam) (Soekatno, 2005:90).
Penambahan dan perbaikan wayang
maupun peralatan lainnya diselenggarakan, sehingga menjadi lebih lengkap, agar
sesuai dengan kepentingan cerita yang
tetap bersumber pada kitab Mahabarata
dan Ramayana. Selain itu diciptakan wayang golek dengan cerita menak dan wayang gedog dengan cerita Panji. Dalam hal
ini para Wali mempunyai andil yang sangat
besar, mengenai perkembangan pewayangan. Pada waktu itu pewayangan merupakan
perpaduan antara Animisme, Hinduisme
dan Islam, sehingga pewayangan bukanlah suatu pertunjukan saja, namun menjadi
cerminan jiwa masyarakat (Sumarno dan
Rasona, 1983:183).
Wayang dikembangkan kembali pada
zaman keraton Mataram. Di antara masamasa peperangan, nampaknya kesenian wayang kulit tetap menjadi hiburan bagi raja-raja
Mataram (Haryanto, 1988:208-209). Wanda
dibuat sebagai pengungkapan ekspresi wajah peraga. Selain itu tampak penggunaan
candra sengkala sebagai peringatan tahun
pembuatannya yang diselenggarakan seperti yang telah diterapkan pada zaman
keraton Demak.
Selain hal tersebut di atas, dibuat pula
wayang dengan bentuk yang disebut wayang “jujutan” atau wayang “sangkuk”
ialah wayang yang dibuat dengan ukuran yang dipertinggi dari induk semula
sehingga kelihatan lebih langsing. Hal ini
dapat dilihat pada wayang gaya Surakarta
81
- Permana: Karakter dalam Cerita Wayang Kumbakarna Gugur -
(Sumarno dan Rasona, 1983:183).
Pada zaman keraton Surakarta dan Yogyakarta pewayangan masih berkembang,
tidak hanya terbatas pada kalangan keraton saja, namun juga dari khalayak ramai
timbullah gubahan-gubahan baru seperti
Wayang madya, wayang dobel, wayang
kancil, dan lain sebagainya. Namun wayang-wayang gubahan baru tersebut tidak
dapat bertahan seperti halnya wayang kulit purwa. Hal tersebut disebabkan antara
lain, Wayang gubahan baru biasanya terbatas pada cerita tertentu atau insidentil saja.
Bobotnya tidak seperti wayang kulit purwa,
baik secara visual ataupun yang menyangkut unsur kejiwaan.
Wayang kulit purwa mengalami proses
penggarapan yang sedemikian lamanya,
dan ditangani oleh para ahli yang bermacam-macam yang berkecimpung dalam
berbagai macam ilmu, sehingga dapat mencakup unsur-unsur lahir dan batin yang
terdapat dalam masyarakat. Dengan kata
lain penggarapan wayang kulit disesuaikan dengan keadaan perkembangan yang
terjadi dan meliputi kehidupan masyarakat
mulai pada zaman animisme hingga zaman Mataram, sehingga sungguh-sungguh
merupakan pencerminan jiwa masyarakat.
Kehidupan seni dan budaya dari jaman
ke jaman, generasi ke generasi pasti mengalami perubahan. Justru perubahan yang
demikian itulah yang membuahkan hasil
pengayaan bagi seni dan Budaya dalam
perkembangannya (Supriyono, 2008:96).
Wayang dalam sejarahnya terus mengalami perkembangan baik bentuk, substansi
dan ceritanya. Seni pewayangan baru terbuat dari kayu serta ceritanya berorientasi
pada kesusastraan Islam, yaitu cerita Wong
Agung Menak Jayanegaran yang mengisahkan tokoh Amir Hamzah dalam menyebarkan agama Islam. Oleh karena itu pewayangan ini disebut juga wayang golek
menak.
Di Cirebon seni pewayangan telah
ada yaitu wayang kulit dan wayang golek
menak sebelum tahun 1808. Sedangkan
wayang golek di priangan yang mengakar
hingga saat ini, berorientasi pada pakem
wayang purwa atau Mahabarata, Arjuna
Sasrabahu, dan Bhatarayuda. Pada perkembangannya muncul pula cerita yang bertolak dari pakemnya, seperti cerita Jabang
Tutuka, Brajamusti, Arjuna Wiwaha, dan
Layang Jamus Kalimusada (Sumarno dan
Rasona, 1983:184).
Kumbakarna Gugur
Cerita wayang yang akan dikaji dalam
tulisan ini adalah Kumbakarna gugur yang
meminjam dari cerita Ramayana. Cerita Ramayana ini adalah cerita yang tidak asing lagi
bagi para pecinta kesenian padhalangan.
Gambar 1
Kumbakarna Gugur
dalam berbagai bentuk dan versi
(sumber: google)
82
-
Pantun Vol. 2 No. 1 Juni 2017 -
Dari fenomena tersebut memunculkan
sikap ambivalen pada seorang panglima
perang sekaligus saudara dari Rahwana, di
sisi lain Kumbakarna merasa senang melihat raja bahagia, disisi lain Sinta membawa
malapetaka dan pada dasarnya Rahwana
tidak mempunyai hak atas Sinta serat dari
pihak Ayodya yaitu Rama meminta Sinta
dikembalikan dan mengancam akan menyerang kerajaan Alengka.
Akhirnya Kumbakarna meminta dan
menyarankan Raja untuk mengembalikan
Sinta pada Ayodya dengan alasan membawa bencana. Pertama Raja menolak karena
Raja mencintai Sinta, akan tetapi Kumbakarna bersikeras untuk mengembalikan
Sinta. Akhirnya Rahwana menyetujui dengan syarat Kumbakarna menjadi panglima perang dan berperang dengan Ayodya
karena menurutnya Kumbakarna dianggap sebagai penghalang bagi Rahwana.
Kumbakarna memimpin perang dengan
Ayodya yang dipimpin oleh
Gunawan Wibisana dan Laksamana.
Guanawan dan Kumbakarna mempunyai
ikatan saudara, Gunawan merasa tidak
sanggup berperang dan membunuh Kumbakarna. Gunawan mengutus pasukan
kera yang dipimpin oleh Hanoman dan
akhirnya Kumbakarna gugur, dan setelah
Rahwana dikalahkan, dan Sinta didapatkan kembali.
Dari cerita tersebut peneliti melakukan
analisa untuk mengungkapkan karakter
yang terdapat pada cerita.
Cerita Ramayana merupakan sebuah
cerita dari India yang digubah dalam bahasa Sanskerta oleh Walmiki (Valmiki) atau
Balmiki yang merupakan cerita epos mitos Hindu yang berbentuk legenda rakyat
India (Supriyono, 2008:151). Cerita Ramayana diperkirakan ditulis sekitar tahun 400
SM, yang kisahnya dimulai antara tahun
500 SM sampai 200 SM. Ramayana dibagi
dibagi menjadi tujuh kitab, yaitu Balakanda, Ayodhyakanda, Aranyakanda, Kiskindhakanda, Sundarakanda, Yudhakanda, dan U"arakanda. Cerita Ramayana
dari India tersebut kemudian menyebar ke
berbagai penjuru dunia. Di Asia Tenggara
cerita Rama terdapat di Vietnam, Kamboja,
Laos, Birma, Filipina, Thailand, Melayu,
maupun Jawa. Ramayana Jawa Kuno memiliki dua versi, yaitu Kakawin dan Prosa,
yang bersumber dari naskah India yang
berbeda. Ramayana merupakan cerita tentang perjalanan Rama, seorang pahlawan
yang berasal dari daratan India. Ramayana
menceritakan tentang kisah cinta antara
Dewi Shinta dan Rama, cerita cinta yang
diuji kesetiaanya Dewi Shinta tehadap
Rama yang saat itu diculik oleh Rahwana,
raksasa jahat yang mencintai Dewi Shinta.
Rahwana sendiri mempunyai kekuatan
dan kekuasan. Kisah Ramayana muncul
dalam banyak versi, yaitu antara lain di
Vietnam, Kamboja, Laos, Burma, Thailand,
Cina, Indonesia maupun di India (tempat
asal cerita) sendiri.
Inti cerita bermula saat Sinta diculik
oleh Rahwana, karena ditinggalkan sendiri
di hutan. Setelah Sinta ditawan, raja Alengka yang bernama Rahwana pun jatuh cinta
pada Sinta, menurutnya dia merasa nyaman
Sinta ada di sisinya, dari delapan puluh
istrinya hanya Sinta yang dapat mengambil
hatinya, walaupun tidak ada ikatan suami
isteri diantara mereka. Tetapi di sisi lain
kedatangan Sinta membawa bencana bagi
negara, karena hasil bumi dan pendapatan
negara menurun.
Karakter dalam Cerita Wayang Kumbakarna
Gugur
Narasi berasal dari kata Latin narre,
yang artinya “membuat tahu”. Dengan
demikian, narasi berkaitan dengan upaya
untuk memberitahu sesuatu peristiwa (Eriyanto, 2013:1). Menurut para ahli sendiri
terdapat beberapa perbedaan yang mengenai definisi narasi. Menurut Girard Gane"e
(dalam Eriyanto, 2013:1), Representasi dari
83
- Permana: Karakter dalam Cerita Wayang Kumbakarna Gugur -
sebuah peristiwa atau rangkaian peristiwa-peristiwa. Sedangkan menurut Gerald Prince (dalam Eriyanto, 2013:1) narasi
adalah representasi dari satu atau lebih
peristiwa nyata atau fiktif yang dikomunikasikan oleh satu, dua atau beberapa narator untuk satu, dua, atau beberapa naratee.
Dan menurut Porter Abbo" (dalam Eriyanto, 2013:2) narasi adalah representasi dari
peristiwa-peristiwa, memasukkan cerita
dan wacana naratif, di mana cerita adalah
peristiwa-peristiwa atau rangkaian peristiwa (tindakan) dan wacana naratif adalah
peristiwa sebagaimana ditampilkan.
Dari berbagai definisi narasi oleh para
ahli tersebut, dengan kata lain narasi adalah
representasi dari peristiwa-peristiwa atau
rangkaian peristiwa-peristiwa. Dengan demikian, sebuah teks baru bisa disebut sebagai
narasi apabila terdapat beberapa peristiwa
atau rangkaian dari peristiwa-peristiwa.
Seorang peneliti dongeng (folktale) asal
Rusia, Vladimir Propp menyusun karakter-karakter yang hampir selalu ditemukan
dalam setiap narasi. Propp meneliti dongeng dan cerita-cerita rakyat yang ada di
Rusia. Cerita kemudian, dipotong menjadi
beberapa bagian. Propp kemudian menemukan bahwa setiap cerita mempunyai
karakter, dan karakter-karakter tersebut
menempati fungsi tertentu dalam cerita.
Hasil penelitian Propp kemudian ditulis
dalam sebuah buku yang terbit pada tahun
1928. Buku itu baru diterbitkan tahun 1965
ke dalam bahasa Inggris dengan judul Morphology of the Folktale. Sejak saat itu, buku
tersebut diterima luas oleh akademisi dan
banyak dipakai untuk menjelaskan struktur dalam sebuah narasi.
Propp menyusun karakter-karakter
yang hampir selalu ditemukan dalam setiap narasi. Propp lebih melihat karakter
sebagai sebuah fungsi dalam narasi. Masing–masing karaketer menempati fungsi
masing–masing dalam suatu narasi, sehingga narasi menjadi utuh. Fungsi disini
dipahami sebagai tindakan dari sebuah
karakter, didefinisikan dari sudut pandang
signifikasinya sebagai bagian dari tindakannya dalam teks. Fungsi disini dikonseptualisasikan oleh Propp lewat dua aspek,
yaitu tindakan karakter tesebut dalam narasi, dan akibat dari tindakan dalam cerita
(Eriyanto, 2013:66).
Karakter menurut Hawton adalah “Character is a personality invested with distinctive
a$ributes and qualities, by a novelist or dramatist or author” (Hawtorn, 2001:l3). Karakter
merupakan penerapan kepribadian dengan
membedakan sifat-sifat dan ciri-ciri, oleh
seorang novelis, dramatis, atau pengarang.
Karakter artinya sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan sesorang dari yang lain; tabiat; watak.
Berkarakter maksudnya mempunyai kepribadian, berwatak (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1995:445). Dalam Bahasa Inggris
Character artinya watak, sifat. Menurut J.P.
Chaplin (2004) ada tiga arti : (1) karakter
adalah suatu kualitas atau sifat yang tatap
terus menerus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifiksikan seorang
pribadi, suatu objek, atau kejadian. (2) integrasi atau sintese dari sifat-sifat individual
dalam bentuk satu unitas katau kesatuan.
(3) Kepribadian seseorang, dipertimbangkan dari titik pandangan etis atau moral
(Bina Ciptadi dan Yahya Umar, 2012:6)
Stanton (2012) mengemukakan bahwa
anda dapat mengamati ciri-ciri seorang
karakter, perkembangannya, sikap-sikapnya terhadap karakter-karakter lain, atau
efek sikap-sikap tersebut pada mereka
(begitupun sebaliknya). Istilah karakteristik diambil dari bahasa Inggris yaitu characteristic, yang artinya mengandung sifat
khas. Karakteristik adalah suatu sifat yang
khas, yang melekat pada seseorang atau
suatu objek. Menurut Stanton (2012) terma
“karakter” biasanya dipakai dalam dua
konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang mun-
84
-
Pantun Vol. 2 No. 1 Juni 2017 -
cul dalam cerita seperti ketika ada orang
yang bertanya; “Berapa karakter yang ada
dalam cerita itu?”. Konteks kedua, karakter
merujuk pada percampuran dari berbagai
kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut.
Penggunaan istilah “karakter (character)
sendiri dalam berbagai literatur Bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang
berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita
yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral
yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut, Stanton
(dalam Nurgiyantoro, 2010). Sedangkan penokohan atau karakterisasi adalah proses
yang dipergunakan oleh seorang pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh fiksinya (Tarigan, 2008).
Terdapat tujuh karakter dalam narasi
yang dikemukakan oleh Vladimir Propp,
yaitu penjahat, donor (penderma), penolong, putri atau ayah sang putri, pengirim, pahlawan dan pahlawan palsu (Propp,
1968:79-80).
Jika diperhatikan enam karakter utama
yang diindeintifikasikan Propp, terpilah ke
dalam dua karakter utama, yakni kepahlawanan versus kejahatan. Kepahlawanan
adalah orang atau karakter yang mempunyai misi tertentu untuk membuat dunia
menjadi tertib dan stabil, sebaliknya kejahatan adalah tindakan untuk membuat
dunia tidak satabil/ tidak seimbang. Pahlawan dan penjahat ini dalam banyak narasi
digambarkan dengan karakter yang berlawanan (Eriyanto, 2013:74).
Propp tidak tertarik dengan motivasi
psikologis dari masing-masing karakter.
Ia lebih melihat karakter itu sebagai sebuah fungsi dalam narasi. Masing-masing
karakter menempati fungsi masing-masing
dalam suatu narasi, sehingga narasi menjadi utuh.
Di dalam narasi (cerita) terdapat karakter, yakni orang atau tokoh yang mempunyai sifat atau perilaku tertentu (Eriyanto,
2014:65). Dalam narasi karakter-karakter
tersebut mempunyai fungsi masing-masing, sehingga narasi menjadi menyatu.
Narasi tidak hanya menggambarkan isi,
tetapi juga di dalamnya terdapat karakterkarakter. Dengan adanya karakter, akan
memudahkan bagi pembuat cerita ataupun film dalam mengungkapkan gagasannya. Karakter di sini bisa sesuatu yang
dekat atau jauh dari kehidupan sehari-hari
khalayak tetapi ia membantu untuk menggambarkan dunia realitas. Sebagai misal,
pembuat cerita ingin menyampaikan pesan
bahwa kebaikan akan berhasil melawan kejahatan meski kejahatan itu didukung oleh
kekuatan besar. Agar pesan tersampaikan,
pembuat cerita membutuhkan karakterkarakter yang bisa mewakili isi pesan, mulai dari karakter pahlawan (orang baik),
penjahat hingga karakter-karakter yang
membantu pahlawan dan penjahat.
Analisis naratif adalah mengenai narasi, baik itu narasi fiksi (novel, puisi, cerita
rakyat, dongeng, film, komik, musik, dan
sebagainya) ataupun fakta seperti berita.
Menggunakan analisis naratif berarti menempatkan teks sebagai sebuah cerita. Teks
dilihat sebagaik rangkaian peristiwa, logika, dan tata urutan peristiwa, bagian dari
peristiwa yang dipilih dan dibuang (Eriyanto, 2014:9).
Analisis naratif menurut Eriyanto
(2013:10-11) mempunyai kelebihan yaitu:
1. Membantu untuk memahami bagaimana pengetahuan, makna, dan nilai diproduksi dan disebarkan dalam masyarakat. Dengan menggunakan analisis
naratif kita akan bisa mengungkapkan
nilai dan bagaimana nilai tersebut disebarkan kepada masyarakat.
2. Memahami bagaimana dunia sosial
dan politik diceritakan dalam pandangan tertentu yang dapat membantu kita
mengetahui kekuatan dan nilai sosial yang dominan dalam masyarakat.
Dalam hal ini dapat juga membantu
85
- Permana: Karakter dalam Cerita Wayang Kumbakarna Gugur -
dalam memahami mana yang ditempatkan sebagai penjahat dan pahlawan,
nilai-nilai mana yang “dimenangkan”
dalam berita.
3. Memungkinkan untuk menyelidiki halhal yang tersembunyi dan laten dari
suatu teks media. Peristiwa disajikan
dalam bentuk cerita, dan dalam cerita
tersebut sebenarnya terdapat nilai-nilai
ideologi yang ingin ditonjolkan.
4. Merefleksikan kontinuitas dan perubahan komunikasi. Cerita yang sama
mungkin diceritakan beberapa kali
dengan cara dan narasi yang berbeda
dari satu waktu ke waktu lain. Perubahan narasi menggambarkan kontinuitas
atau perubahan nilai-nilai yang terjadi
dalam masyarakat.
Rahwana
Analisis Data
Fungsi Karakter
Donor
Dewa Brahma Memberikan
senjata sakti bernama Brahmastra
kepada Pahlawan
(Rama) yang
digunakan untuk
mengalahkan
Rahwana.
Putri
Sinta
Dalam cerita wayang Kumbakarna Gugur ada fungsi tokoh yang tidak ada di
dalam cerita, yaitu pengirim dan pahlawan
palsu. Karena dalam cerita wayang Kumbakarna Gugur tidak ada tokoh yang mengirimkan pahlawan untuk mengalahkan
penjahat dan tidak tokoh yang berpurapura memerankan peran menjadi tokoh
“abu-abu” dalam cerita tersebut.
Fungsi 7 Karakter dalam Narasi Propp
Karakter
Penjahat
Tokoh
Fungsi dalam Teks
Kumbakarna, Rahwana
Dua tokoh yang
berperan besar
dalam penawanan
Sinta dan dalam
peperangan dengan Ayodya.
Kumbakarna
86
Istri dari pahlawan (Rama) yang
diculik oleh penjahat (Rahwana)
saat ditinggal
pahlawan (Rama)
berburu rusa.
-
Pantun Vol. 2 No. 1 Juni 2017 -
atau orang yang
yang mengalahkan musuh atau
mengklaim hadiah
atau imbalan
atas keberhasilan
pahlawan
Penolong
Pengirim
Pahlawan
Tidak ada. Karena
dalam cerita ini
tidak mempunyai
pengirim. Dalam
cerita Kumbakarna Gugur, tidak
ada karakter yang
mengirimkan
pahlawan ke medan perang karena
memang inisiatif
dari pahlawan itu
untuk mendapatkan istrinya yang
ditawan musuh.
Rama
Mengalahkan penjahat (Kumbakarna dan Rahwana)
serta mendapatkan kembali
putri (Sinta) yang
ditawan.
Gunawan
Sugriwa
Pahlawan
Palsu
Tidak ada. Karena
dalam cerita ini
tidak mempunyai
pahlawan palsu.
Dalam cerita
Kumbakarna
Gugur, tidak ada
karakter yang
menolong musuh
dan berpura-pura
baik untuk menolong pahlawan.
Tidak ada juga
yang mengklaim
sebagai pahlawan
Hanoman
87
Gunawan,
pasukan
Ayodya,
Hanoman,
Sugriwa dan
pasukan kera
Gunawan salah
satu yang memimpin pasukan
Ayodya, karena
ia memiliki ikatan
saudara dengan
Kumbakarna dan
sebelumnya tinggal
di Alengka, dia
memberitahukan
berbagai kelemahan pasukan
Alengka, sehingga
ia berperan dalam
keberhasilan pahlawan (Rama) dalam
memenangkan
perang, membunuh
Kumbakarna dan
Rahwana serta
mendapatkan kembali Sinta.
Sugriwa raja kera.
Memberikan
bantuan kepada
Pahlawan (Rama)
berupa pasukan
kera. Hanoman
adalah utusan Sugriwa yang berhasil
masuk ke Alengka
dan menemui Sinta.
- Permana: Karakter dalam Cerita Wayang Kumbakarna Gugur -
subjek manusia hanya dapat membentuk
pemahaman dirinya dalam oposisi terhadap pemahaman diri atas yang liyan (other).
Salah satu contoh konstruksi oposisi biner
ialah pembagian manusia menjadi dua jenis berdasarkan jenis kelaminnya (seks),
yaitu perempuan dan laki-laki. Konstruksi
oposisi biner tersebut meletakkan laki-laki
sebagai oposisi perempuan, atau sebaliknya, baik secara biologis maupun secara
sosial-kultural.
Selain itu penggunaan karakter oposisi
berlawanan ini sesuai pola dongeng jaman
dulu, cerita Kumbakarna adalah dongeng
jaman dulu. Dongeng jaman dulu menggambarkan karakter penjahatnya ditampilkan dengan buruk rupa dan pahlawannya
digambarkan dengan muka yang tampan
rupawan dan pahlawan mendapatkan
kekuatan dari kekuatan magis sedangkan
penjahat mendapatkan kekuatan dengan
bantuan bawahan penjahat untuk melawan
dan menghalangi misi pahlawan. Seperti
itulah perwujudan karakter dalam cerita
Kumbakarna Gugur. Rama yaitu sang
pahlawan digambarkan sangat tampan dan
para pemeran yang membantu pahlawan
pun digambarkan tampan. Beda halnya
dengan karakter penjahat, Kumbakarna
dan Rahwana digambarkan raksasa bertubuh besar dengan wajah menyeramkan.
Jika diperhatikan tujuh karakter utama
yang diindeintifikasikan Propp, terpilah ke
dalam dua karakter utama, yakni kepahlawanan versus kejahatan. Kepahlawanan
adalah orang atau karakter yang mempunyai misi tertentu untuk membuat dunia
menjadi tertib dan stabil, sebaliknya kejahatan adalah tindakan untuk membuat dunia
tidak stabil/tidak seimbang. Pahlawan dan
penjahat ini dalam banyak narasi digambarkan dengan karakter yang berlawanan.
Dari karakteristik kepahlawanan dan
kejahatan dapat dilihat bahwa karakter
pahlawan dalam cerita Kumbakarna Gugur ada yang tidak memenuhi unsur karakter kepahlawanan, yaitu tidak ada yang
Karakter dan Oposisi Berlawanan
Dalam suatu dongeng jaman dulu,
tampilan seorang pahlawan digambarkan dengan sangat tampan ataupun cantik, dan penjahat mempunyai wajah yang
buruk rupa. Dalam fungsi karakter dan
oposisi berlawanan, sifat antara pahlawan
dan penjahat sangat bertolak belakang
dalam cerita. Pahlawan mempunyai sifat
penolong sedangkan penjahat mempunyai
sifat menghancurkan. Dalam cerita Kumbakarna Gugur sang pahlawan diwakili
oleh Rama dan penjahat diwakili oleh
Kumbakarna dan Rahwana sedangkan beberapa karakter membantu pahlawan dan
penjahat. Pahlawan dibantu oleh penolong,
dan pengirim. Sedangkan penjahat dibantu
oleh peran pendukung penjahat.
Hal-hal yang berpasangan namun berlawanan tadi, akan digunakan untuk melihat lebih dalam mengenai makna dari cerita dongeng. Di sini akan digunakan konsep
oposisi biner dari Levi-Strauss. Oposisi
biner adalah sebuah konsep mengenai pola
pengenalan manusia terhadap simbol dan
makna akan kata. Konsep ini menjelaskan
mengenai suatu yang selalu memiliki lawan maka akan terbentuk nilai dan makna
sesungguhnya. Oposisi biner itu bukan saja
sesuatu yang berlawanan, melainkan sesuatu yang saling melengkapi. Segala sesuatu yang saling melengkapi tidak dapat
dipisahkan dengan tingkatan karena sejatinya kita tidak dapat memahami yang satu
tanpa memahami yang lainnya. Oposisi
biner berkaitan dengan dua hal yang berbeda, baik keduanya positif atau negatif,
atau kontradiksi (opisisi) antara positif dan
negatif.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Beauvoir (Thornham, 2010:50) bahwa budaya
manusia ditandai oleh pembentukan oposisi-oposisi biner, dengan istilah mendapatkan makna hanya dengan merujuk ke lawan katanya. Beauvoir menganggap bahwa
88
-
Pantun Vol. 2 No. 1 Juni 2017 -
mengutus karena dia sendiri yang inisiatif
menyerang Alengka. Sementara untuk
karakteristik kejahatan, karakter penjahat
(Kumbakarna dan Rahwana) bukanlah
perpanjangan dari kekuatan jahat. Karakter kepahlawanan memang bertemu sosok
pendonor, namun karakter penjahat tidak
menghambat sosok pendonor bahkan
mendapat pemberian senjata dari pendonor (Dewa Brahma).
Karakter Oposisi Berlawanan dalam Cerita
Kumbakarna Gugur
Pahlawan (Rama)
Penjahat (Kumbakarna
dan Rahwana)
Pahlawan menjalankan
misi tertentu atau
menderita akibat tindakan penjahat
Dalam cerita Kumbakarna Gugur, Rama
mempunyai misi yaitu
mendapatkan kembali
Sinta yang ditawan.
Penjahat menghalangi
misi pahlawan
Kumbakarna ingin
membela kerajaan yang
ia cintai. Saat Alengka
diserang pasukan
Ayodya yang dipimpin
Rama, Kumbakarna
ingin mengalahkan
Rama dan pasukannya
agar Alengka selamat.
Mengalami cobaan
berat.
Rama mengalami cobaan berat saat ia harus
kehilangan Sinta karena
diculik oleh Rahwana
Membuat Pahlawan
mengalami cobaan berat
Rahwana memerintahkan anak buahnya untuk menjelma menjadi
rusa sehingga ia bisa
menangkap dan menyandera putri (Sinta)
saat terpisah dari pahlawan (Rama)
Cinta
Rama mempunyai perasaan yang tulus
untuk menyelamatkan
Sinta itulah mengapa ia
menyerang Alengka.
Benci
Rahwana yang dipenuhi rasa benci
karena adiknya dilukai
Rama ingin
membalas dendam
dengan menculik istri
Rama.
Muda
Seorang Rama digambarkan masih
muda dan sangat
gagah.
Tua
Kumbakarna dan
Rahwana digambarkan
mempunyai muka yang
tua
Tampan
Rama merupakan
simbol kepahlawanan
dan pecinta sejati yang
menyelamatkan kekasihnya dengan gagah
berani dan mempunyai
wajah yang tampan.
Buruk Rupa
Kumbakarna dan Rahwana mempunyai
wajah yang menyeramkan dan buruk rupa
Perjuangan Keras
Rama tidak begitu saja
mendapatkan keber-
Jalan Pintas
Rahwana menggunakan jalan pintas untuk
hasilan, namun
melalui perjuangan
keras bersama dengan
teman-temannya terlebih dahulu,
ia menyusun strategi
untuk mengalahkan
musuh.
memiliki Sinta dengan
cara menawannya
dan tidak mengembalikannya pada suaminya.
Penemuan, kreativitas
Dalam upaya penyelamatan Sinta bersama
Rama, Ketika perjalanan tentaranya terhambat di tepi pantai,
penolong (Sugriwa)
mengerahkan prajurit-prajuritnya untuk
membangun sebuah
jembatan besar yang diberi nama “Situbanda”.
Teknologi, kekuatan
Rahwana diberikan
kekuatan oleh Brahma
agar kebal terhadap
segala serangan dan
selalu unggul di antara
para dewa, makhluk
surgawi, rakshasa,
detya, danawa, segala naga dan makhluk
buas, dan kepandaian
menggunakan senjata
dewa dan ilmu sihir
Memperoleh pertolongan dari penolong
Rama tidak bekerja
sendiri ia dibantu oleh
Gunawan, pasukan
Ayodya, Hanoman dan
pasukan kera
Menghambat penolong
Rahwana menyandera Hanoman dan
memerintahkan agar ia
dibakar dengan api.
Mengalahkan kejahatan
Rama berhasil mengalahkan Kumbakarna
dan Rahwana,
dan menyelamatkan
Sinta dari penyanderaan di Alengka.
Dikalahkan pahlawan
Kumbakarna dan Rahwana dikalahkan oleh
Rama, dan Alengka
mengalami kekalahan
dalam peperangan itu.
Karakter pahlawan dan penjahat ini
masing-masing didukung oleh karakter
lain sebagai pembantu. Pahlawan misalnya didukung oleh, penderma (donor). Penolong. Sementara karakter penjahat didukung oleh antek, suruhan, anak buah.
Berdasarkan cerita yang dihadirkan,
yang dapat digarisbawahi adalah perselisihan antar kerajaan. Dari kerajaan Alengka
terdapat dua tokoh yang mempunyai karakter yang kontradiktif antara raja Rahwana
dan Panglima perang Kumbakarna. Rahwana memiliki sifat serakah, otoriter dan
jahat, sedangkan Kumbakarna memiliki
sifat bijaksana yang mengorbankan dirinya
demi kepentingan negara. Pihak Ayodya,
yaitu Rama yang memiliki peran protagonis-pun pada kenyataannya, meninggalkan
Sinta demi memburu seekor rusa.
Pada dasarnya, cerita wayang adalah
sebuah dunia penuh makna sekaligus se-
89
- Permana: Karakter dalam Cerita Wayang Kumbakarna Gugur -
kan di sisi lain Kumbakarna merasa Sinta
membawa malapetaka dan pada dasarnya
Rahwana tidak mempunyai hak atas Sinta.
Terdapat tujuh karakter dalam narasi
yang dikemukakan oleh Vladimir Propp,
yaitu penjahat, donor (penderma), penolong,
putri atau ayah sang putri, pengirim, pahlawan dan pahlawan palsu. Pada cerita wayang golek Kumbakarna Gugur tidak semua
fungsi tokoh ada di dalam cerita, yaitu tidak
adanya pengirim dan pahlawan palsu.
Untuk karakter oposisi berlawanan
dalam Cerita Kumbakarna Gugur, dapat
dilihat bahwa karakter pahlawan dalam
cerita Kumbakarna Gugur yaitu Menjalankan misi tertentu atau menderita akibat tindakan penjahat, Mengalami cobaan berat,
Cinta, Muda, Tampan, Perjuangan Keras,
Penemuan dan kreativitas, Memperoleh
pertolongan dari penolong, dan Mengalahkan kejahatan. Sedangkan karakter
penjahat yaitu Penjahat menghalangi misi
pahlawan, Membuat Pahlawan mengalami
cobaan berat, Benci, Tua, Buruk Rupa, Jalan
Pintas, Teknologi dan kekuatan, Menghambat penolong, dan Dikalahkan pahlawan
Karakter pahlawan dalam cerita Kumbakarna Gugur tidak semuanya memenuhi
unsur karakter kepahlawanan, yaitu tidak ada yang mengutus karena pahlawan
(Rama) sendiri yang inisiatif menyerang
Alengka. Begitu pula karakter penjahat
(Kumbakarna dan Rahwana) tidak semuanya memenuhi unsur karakter kejahatan
dimana mereka bukanlah perpanjangan
dari kekuatan jahat.
Cerita wayang bukan sekedar dongeng
yang terdapat di masyarakat, tapi merupakan tatanan dan tuntunan yang didalamnya terdapat nilai-nilai dalam setiap aspek
kehidupan.
bagai etalase nilai-nilai kehidupan dengan
kedalaman makna dan simboliknya. Lakon
dalam wayang memberi gambaran nyata tentang adanya dualisme alam papasangan yaitu perang antara kebaikan dan keburukan.
Nilai yang bisa dipetik dari cerita wayang Kumbakarna Gugur bahwa Kumbakarna yang selama ini dianggap sebagai
karakter penjahat nyatanya rela mengorbankan nyawanya untuk membela kerajaannya saat diserang, bukan karena untuk
membela kakaknya Rahwana. Pekerjaan
ataupun profesi apapun tidak menjamin sifat dan karakter pada seseorang. Baik dan
buruknya sifat seseorang hanya dapat dilihat pada pribadi masing-masing dan latar
belakang orang tersebut. Pada sosok Kumbakarna yang rela mengorbankan dirinya
untuk kepentingan negara, tercermin sifat
kepemimpinan yang luar biasa, memprioritaskan kepentingan umum dibandingkan
kepentingan pribadi.
Selain itu, ambivalensi dirasakan Kumbakarna sebagai saudara dari Rahwana, dia
senang melihat Rahwana bahagia, di sisi
lain Kumbakarna merasa Sinta membawa
malapetaka dan pada dasarnya Rahwana
tidak mempunyai hak atas Sinta.
Dari paparan di atas, terlihat bahwa
pada dasarnya cerita wayang bukan hanya
sebuah dongeng, tapi merupakan tatanan
dan tuntunan yang didalamnya terdapat
nilai-nilai dalam setiap aspek kehidupan.
SIMPULAN
Cerita wayang Kumbakarna Gugur
mengandung nilai bahwa Kumbakarna
yang selama ini dianggap sebagai karakter
penjahat adalah seorang yang rela mengorbankan nyawanya untuk membela kerajaannya saat diserang, bukan karena untuk
membela kakaknya Rahwana.
Kumbakarna juga merasakan ambivalensi sebagai saudara dari Rahwana, dia
senang melihat Rahwana bahagia, sedang-
Daftar Pustaka
Caturwati, Endang. 2008. Tradisi Sebagai Tumpuan Kreatifitas Seni. Bandung: Sunan
Ambu Press.
90
-
Pantun Vol. 2 No. 1 Juni 2017 -
Sumarno, Poniran. Rasona, Atot. Putra, Heddy Shri A. 2000. Ketika Orang Jawa
Nyeni. Yogyakarta: Galang Press.
Eriyanto. 2013. Analisis Naratif: Dasar-dasar
Penerapan dalam Analisis Teks Berita
Media. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.
Sumarno, Poniran. Rasona, Atot. 1983. Pengetahuan Pedalangan 1. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Fanani, Muhammad, dkk. 1996. Struktur dan
Nilai Budaya Cerita Wayang. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
---------------. 1983. Pengetahuan Pedalangan
2. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Li"lejohn, Stephen W. 2009. Teori Komunikasi Theories of Human Communication.
edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika.
Supriyono, dkk. 2008. Pedalangan Jilid 1. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Marianto, M. Dwi. 2011. Menempa Quanta
Mengurai Seni. Yogyakarta: Badan
Penerbit ISI Yogyakarta.
Suryadi. 1981. Menuju Pembentukan Wayang
Nusantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi
Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sumber artikel dan jurnal:
Arisandy, Kiky. 2012. Perkembangan Pementasan Kesenian Tradisional Wayang Kulit Bagi Masyarakat Desa Purworejo,
Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung. Malang. Universitas Negeri Malang.
Mulyono, Sri. 1979. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Gunung Agung.
---------------. 1982. Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung.
Ciptadi, Bina. Umar, Yahya. 2012. Metode
Alternatif untuk mendeteksi Bias
Respon Sosial Desirability pada
Item-Item Tes Pendidikan. Jakarta.
Jurnal Pengukuran dan Pendidikan Indonesia (JP31), Fakultas Psikologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
dan Himpunan Pendidikan Indonesia (HEPI).
Pasha, Lukman. 2011. Buku Pintar Wayang.
Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Propp, Vladímir. 1968. Morphology of Folk
Tale. Second edition. The American
Folklore Society and Indiana University.
Soekatno, BA. 2005. Wayang Kulit Purwa.
Semarang: Aneka Ilmu.
Handayani, Sri. 2014. Perkembangan Kesenian Wayang Kulit dalam Penguatan Kearifan Lokal di Desa Ketangirejo Kecamatan Godong. Semarang.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP
Veteran Semarang.
Sudjarwo, Heru S, Sumari, dan Undung Wiyono. 2010. Rupa & Karakter Wayang
Purwa. Jakarta: Kakilangit Kencana
Prenada Media Group.
91
- Permana: Karakter dalam Cerita Wayang Kumbakarna Gugur -
Iskandar, Farris. Putri, Idola Perdini. Yusanto, Freddy. 2016. Analisis Naratif pada Film Star Wars Episode VII: The
Force Awakens. Bandung. Universitas Telkom.
The First Avengers (Analisis Naratif
dengan Teori Vladimir Propp). Bandung. Universitas Telkom.
Sumber Majalah:
Majalah Sasmita edisi I tahun 2007
Nurgiyantoro, Burhan. 2011. Wayang dan
Perkembangan Karakter Bangsa.
Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Karakter Universitas Negeri Yogyakarta.
Nara Sumber:
Dicky Pantiarsa (25 tahun)
Hilman Cahya Kusdiana (24 tahun)
Kodrat Taryana (23 tahun)
Nazmi (23 tahun)
Rifwan, A.M. Ibrahim. Purnama, Hadi. 2015.
Analisis Naratif Film Captain America:
92