Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
Berbicara tentang manusia dan agama dalam Islam adalah membicarakan sesuatu yang sangat klasik namun senantiasa aktual. Berbicara tentang kedua hal tersebut sama saja dengan berbicara tentang kita sendiri dan keyakinan asasi kita sebagai makhluk Tuhan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘manusia’ diartikan sebagai ‘makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain); insan; orang’ (1989:558). Menurut pengertian ini manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi potensi akal dan budi, nalar dan moral untuk dapat menguasai makhluk lainnya demi kemakmuran dan kemaslahatannya. Dalam bahasa Arab, kata ‘manusia’ ini bersepadan dengan kata-kata nâs, basyar, insân, mar’u, ins dan lain-lain. Meskipun bersinonim, namun kata-kata tersebut memiliki perbedaan dalam hal makna spesifiknya. Kata nâs misalnya lebih merujuk pada makna manusia sebagai makhluk sosial. Sedangkan kata basyar lebih menunjuk pada makna manusia sebagai makhluk biologis. Begitu juga dengan kata-kata lainnya.
Jurnal Ilmiah Didaktika, 2013
This article describes the nature of human beings, their characteristics, their potentials, and the development of the potentials. Some philosophers claim that a human being is considered animal for having some tendencies that are believed similar to an animal. However, this argument is contradictive to what is believed by Muslim. Humans have certain characteristics that naturally different from animals. They also posses potentials (innate potentials or innate tendencies) that can be develop naturally through life-experience or artificially through formal instruction such as schools and other educational institutions.
Allah SWT sebagai pencipta telah menciptakan langit dan bumi, dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya. Salah satu ciptaan Allah itu adalah manusia, yang diberi keistimewaan berupa kemampuan berpikir yang melebihi jenis makhluk lain yang sama-sama menjadi penghuni bumi. Kemampuan berpikir itulah yang diperintahkan Allah agar dipergunakan untuk mendalami wujud atau hakikat dirinya dan tidak semata-mata dipegunakan untuk memikirkan segala sesuatu di luar dirinya.
Quraish Shihab mengutip dari Alexis Carrel dalam "Man the Unknown", bahwa banyak kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia, karena keterbatasan-keterbatasan manusia sendiri.
Manusia berbeda dengan makhluk yang lain, termasuk dengan malaikat, iblis dan juga binatang, adalah karena manusia memiliki akal dan hikmah serta tabiat dan nafsu. Ilmuan barat menganggap manusia sebagai makhluk materi yang dapat dibentuk dan menafikan keberadaan sang pencipta. Periluaku manusia seperti perilaku binatang yang terbentuk sejak tahuntahun awal. Karena itu, manusia sepenuhya dikendalikan oleh insting, libido ataupun nafsu agresifnya. Menurut Al-Qur`an, manusia terdiri dari jasmani dan rohani, diciptakan sebagai khalifah dan untuk mengabdi kepada Allah. Dalam Al-Qur`an ada tiga hakekat manusia; Basyar, bahwa manusia adalah makhluk biologis, Al-Insan, bahwa manusia adalah khalifah atau pemikul amanah, Al-Nas, bahwa manusia adalah makhluk sosial, dalam naskah ini mencoba untuk menyajikan tentang hakikat manusia dalam persprektif Al-quran.
Manusia adalah makhluk Allah Swt yang diberikan kelebihan berupa Akal untuk berfikir dan mengingat apa-apa yang ia pelajari, alami, dan lakukan. Menurut Nurcholis madjid, manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang mengagumkan dan penuh misteri. Dia tersusun dari perpaduan dua unsur; yaitu segenggam tanah bumi, dan ruh Allah. Maka siapa yang hanya mengenal aspek tanahnya dan melalaikan aspek tiupan ruh Allah, maka dia tidak akan mengenal lebih jauh hakikat manusia.[1] Al-Qur’an sendiri juga menyatakan bahwa manusia memang merupakan makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah Swt.
Iraq, 2004
As has been shown and extensively dealt with in early and more recent scholarship, Neo-Assyrian palatial wall reliefs went through many thematic changes throughout their two hundred and fifty years of existence. One of their conspicuous traits was a gradual abandoning of magical-religious subject matters, represented by protective supernatural beings, in favour of larger and more detailed historical compositions — mostly of a belligerent nature — revealing, for the first time in antiquity, a truer sense of narrative display. As the narrative-historical themes were rightly considered to be an innovative and prominent contribution of Assyrian imagery to the history of art, extensive efforts have been devoted to the study of these compositions within the context of Assyrian palaces.In the present contribution I intend, however, to concentrate on the “losing” side of Assyrian palatial decoration, namely to focus on the visibility of apotropaic fantastic creatures rendered on wall relief...
Beyond Philology, 2016
Kültür Varlıkları ve Müzeler Genel Müdürlüğü 2019-2020 Yılı Kazı Çalışmaları , 2022
Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Padjadjaran Bandung, 2014
Malayan Law Journal , 2020
Psychological impact of COVID-19 among undergraduate students in Jordan: A cross-sectional study, 2023
Program Kavramı / Program Concept, 2021
Asian Journal of Medical and Biological Research, 2021
Physical Chemistry Chemical Physics, 2016
New Journal of Chemistry
European Journal of Dentistry, 2009
International Journal of Leadership in Education, 2016
Physical review letters, 2014