Academia.eduAcademia.edu

EKONOMI ISLAM

Indonesia memiliki potensi 217 triliun dari hasil pengumpulan zakat setiap tahunnya. Hasil riset ini tentu mencengangkan. Jika kita bandingkan dengan potensi zakat di beberapa negara Islam tentunya potensi kita jauh lebih besar. Pada tahun 2000 dan 2002, potensi zakat di Jordania, Kuwait dan Mesir sangat kecil bila dibandingkan dengan nilai Gross Domestic Product (GDP) mereka, bahkan dapat diabaikan karena sangat tidak signifikan. Selanjutnya, potensi zakat Arab Saudi mencapai 0,4 persen-0,6 persen dari total GDP mereka. Khusus untuk Pakistan, potensi zakat mencapai 0.3 persen dari GDP, dan Yaman memiliki potensi hingga 0,4 persen dari total GDP. Jika dilihat sekilas, nampak bahwa potensi zakat masih sangat kecil. Sedangkan potensi zakat Indonesia mencapai Rp19 triliun atau 0,95 persen dari GDP Indonesia. Jika kita menggunakan asumsi bahwa potensi zakat adalah sama dengan 2,5 persen dikali dengan total GDP, menemukan bahwa potensi zakat Turki mencapai angka 5,7 miliar dolar AS. Sedangkan potensi zakat Uni Emirat Arab dan Malaysia masing-masing sebesar 2,4 miliar dolar AS dan 2,7 miliar dolar AS. Total potensi zakat seluruh negara-negara Islam minus Brunei Darussalam adalah sebesar 50 miliar dolar AS. Dari sisi realisasi, secara umum dana zakat yang berhasil dihimpun oleh masing-masing negara masih sangat kecil.

Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia ternyata memiliki potensi zakat terbesar pula. Berdasarkan hasil penelitian IPB yang bekerjasama dengan BAZNAS Indonesia memiliki potensi 217 triliun dari hasil pengumpulan zakat setiap tahunnya. Hasil riset ini tentu mencengangkan. Jika kita bandingkan dengan potensi zakat di beberapa negara Islam tentunya potensi kita jauh lebih besar. Pada tahun 2000 dan 2002, potensi zakat di Jordania, Kuwait dan Mesir sangat kecil bila dibandingkan dengan nilai Gross Domestic Product (GDP) mereka, bahkan dapat diabaikan karena sangat tidak signifikan. Selanjutnya, potensi zakat Arab Saudi mencapai 0,4 persen-0,6 persen dari total GDP mereka. Khusus untuk Pakistan, potensi zakat mencapai 0.3 persen dari GDP, dan Yaman memiliki potensi hingga 0,4 persen dari total GDP. Jika dilihat sekilas, nampak bahwa potensi zakat masih sangat kecil. Sedangkan potensi zakat Indonesia mencapai Rp19 triliun atau 0,95 persen dari GDP Indonesia. Jika kita menggunakan asumsi bahwa potensi zakat adalah sama dengan 2,5 persen dikali dengan total GDP, menemukan bahwa potensi zakat Turki mencapai angka 5,7 miliar dolar AS. Sedangkan potensi zakat Uni Emirat Arab dan Malaysia masing-masing sebesar 2,4 miliar dolar AS dan 2,7 miliar dolar AS. Total potensi zakat seluruh negara-negara Islam minus Brunei Darussalam adalah sebesar 50 miliar dolar AS. Dari sisi realisasi, secara umum dana zakat yang berhasil dihimpun oleh masing-masing negara masih sangat kecil. Indonesia sebagai contoh, hanya mampu menghimpun 800 miliar rupiah pada tahun 2006 lalu, atau 0,045 persen dari total GDP. Malaysia pun pada tahun yang sama hanya mampu mengumpulkan 600 ringgit, atau sekitar 0,16 persen dari GDP mereka. Dari data riset ini menunjukkan betapa Indonesia masih unggul dari hasil pengumpulan diantara negara-negara besar Islam di dunia. Meskipun Indonesia memiliki potensi zakat hingga 217 trilun pertahunnya, namun faktanya pada tahun 2010 BAZNAS hanya mampu mengumpulkan sekitar 1,5 triliun saja dan meningkat pada tahun 2012 hingga 1,7 triliun meskipun telah diprediksikan mencapai 2 triliun, namun hasil itu belum mencapai target. Perolehan hasil zakat yang diperoleh 1,7 triliun itu jika benar-benar dikelola dengan baik dan tepat sasaran pasti akan mampu mengentaskan kemiskinan, paling mengurangi. Sejumlah riset telah membuktikan pengaruh zakat dalam perekonomian, terutama terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan. Kita bisa melihat program zakat di Pakistan mampu menurunkan kesenjangan kemiskinan dari 11,2 persen menjadi 8 persen. Begitupula peran zakat dalam mengurangi angka kemiskinan dan kesenjangan pendapatan di Malaysia. Dengan mengambil sampel negara bagian Selangor. Hal Ini menunjukkan bahwa pengelolaan zakat yang baik dan terencana mampu mengentaskan kemiskinan, paling tidak menguranginya. Kita bisa melihat sejarah pada masa kejayaan Umayyah pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid dimana khalifah sulit sekali mencari mustahiq (penerima zakat) lantaran sulit mencari orang yang miskin. Kas negara diperoleh dari uang zakat. Nah, pertanyaannya apakah lembaga amil zakat yang dikelola oleh pemerintah benar-benar memiliki program pengentasan kemiskinan yang tepat sasaran? Apakah zakat yang diberikan hanya dalam bentuk mata uang ataukah dikelola lebih produktif. Saya berpendapat alangkah lebih efektifnya sekiranya dana zakat itu dipergunakan sebagai:  Social Guarantee: masyarakat miskin diberikan jaminan kesehatan untuk berobat atau mendapatkan pelayanan pendidikan.  Social Safety, dana zakat juga dipergunakan untuk membantu korban bencana alam, kebakaran, banjir dan lain-lain.  Social Insurance, zakat memberi ruang harapan bagi masa depan terutama kelompok faqir miskin akan kesejahteraannya di hari tuanya. Kalau kelompok kaya bisa merencanakan masa depan karena adanya kekayaan yang ada ditangannya, bagaimana dengan  kaum miskin akan harapan masa depannya. Apakah hal itu mungkin? Ya, mungkin saja! Tidak usah dulu dana zakat yang berjumlah 1,7 triliun itu, jika infak yang digali bisa mencapai 10 persen saja dari GDP, maka potensi dana yang dapat dihimpun akan mencapai angka 200 miliar dolar AS, setara dengan total asset yang dimiliki oleh IMF. Jika demikian sedikit demi sedikit masyarakat fakir miskin bisa merasakan kemanfaatan dari zakat. Jika masih banyak masyarakat miskin yang belum bisa merasakan hak pendidikan yang setara, hak kesehatan yang sama, serta kesejahteraan yang merata, maka perlu kita pertanyakan kemana saja dana zakat selama ini? Kembali kepada muzakki yang berkewajiban mengeluarkan zakat. Faktanya, ternyata masyarakat kita lebih senang membagikan zakatnya sendiri secara personal dan langsung ke mustahiq-nya. Tentu hal ini tidak keliru. Namun, jika zakat diserahkan tanpa pengelolaan dan manajemen yang tepat, maka hasilnya dana umat tidak efektif, tidak terkumpul secara kolektif, sehingga tidak memiliki kekuatan power untuk mengentaskan kemiskinan secara riil. Lebih-lebih pembagian zakat secara langsung justru seringkali menimbulkan korban. Seperti beberapa kasus pembagian zakat di Jawa yang menyebabkan beberapa korban terjepit, pingsan, bahkan meninggal dunia lantaran berdesak-desakan. Padahal jika kembali ke masa Rasulullah Saw. Nabi Saw sendiri menunjukkan para pengumpul zakat yang bertugas untuk mengelola zakat secara kolektif, seperti Muadz bin Jabal sebagai qadhi di Yaman. Begitupula pada masa Khulafaur Rasyidin, pengelolaan zakat dikelola langsung oleh para khalifah. Bahkan Abu Bakar yang langsung memerangi orang yang enggan membayar zakat. Walhasil, jika pada saat ini pengelolaan dikelola oleh lembaga resmi negara seperti BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) atau BAZDA (Badan Amil Zakat Daerah) maupun lembaga zakat swasta seperti Rumah Zakat benar-benar disalurkan pada program pengentasan kemiskinan dan kebodohan secara konsisten, kita akan melihatperubahan yang sigfinikan 5 hingga 10 tahun mendatang. Tinggal lagi seberapa profesional dan produktifkah pengelolaan dana umat itu? Zakat adalah hal yang tidak bisa dilepaskan dari kewajiban seorang muslim. Secara bahasa zakat berarti tumbuh, berkembang, suci dan barokah sedangkan secara istilah zakat adalah mengeluarkan harta dengan persyaratan tertentu untuk diberikan kepada oarang dengan persyaratan tertentu. Di Indonesia zakat belum diberdayakan atau dimanfaatka secara maksimal, tidak seperti dinegara-negara muslim yang lain. Di Arab masyarakatnya tidak diwajibkan untuk membayar pajak karena sudah digantikan dengan membayar zakat. Kita sebagai umat muslim sekaligus ormas Islam harusnya dapat lebih memberdayakan zakat untuk masyarakat tingkat bawah agar masyarakat tingkat bawah lebih berproduksi terlebih yang tadinya menjadi penerima zakat dengan pemberdayaan ini bisa menjadi pemberi zakat. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk pemberdayaan ekonomi umat melalui pengembangan zakat. Untuk pengembangan ekonomi umat melalui zakat perlu dilakukan di berbagai bidang: 1. Bidang Pendidikan Dalam bidang ini manfaat zakat dipadukan dengan pemberdayaan masyarakat dan diterapkan melalui pendidikan tentang kewirausahaan pada para mahasiswa yang kurang mampu agar mereka mempunyai skil tambahan untuk memenuhi kebutuhannya, pemberian bantuan modal kepada koperasi-koperasi sekolah, dari dana zakat tersebut juga kita dapat memberikan beasiswa untuk tingkat SD/MI, SMP/Tsanwiyah, SMA, SMK dan MA. 2. Bidang Ekonomi Zakat dimanfaatkan untuk membentuk badan-badan perekonomia seperti membentuk lembaga-lembaga pelatihan yang diselenggarakan secara Cuma-cuma, misalnya, pelatihan menjahit untuk masyarakat yang kurang mampu, pelatihan produksi makanan ringan yang nantinya diharapkan masyarakat yang kurang mampupun dapat berwiraswasta. 3. Bidang Kesehatan Dana zakat dapat disisihkan dan digunakan untuk membangung pusat layanan kesehatan secara cuma-cuma bagi masyarakat kurang mampu atau dalam bentuk lain seperti, pengobatan keliling, pengecekan kesehatan, pemberian obat, dan konsultasi kesehatan. 4. Bidang Sosial Dalam biadang ini zakat dapat dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur umum yang pelaksanaannya bekerja sama dengan masyarakat dan pembangunan yayasan – yayasan sosial dalam menangani masyarakat yang kurang mampu. Sumber: zonamerahimmbuyahamkastain.blogspot.com, Kamis 10 Januari 2013 Artikel Terkait: Peran Zakat Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat Zakat Mal dan Pemberdayaan Ekonomi Umat Zakat dan Pemberdayaan Ekonomi Umat Zakat dan Pemberdayaan Ekonomi Umat Zakat sebagai Instrumen Pemberdayaan Umat ZAKAT DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT A.      Pengertian Zakat Ditinjau dari segi bahasa, menurut lisan orang arab, kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari zakat yang berarti suci, berkah, tumbuh, dan terpuji, yang semua arti ini digunakan didalam menerjemahkan Al-Qur’an dan hadits. Menurut terminologi syariat(istilah), zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula. [1] Kaitan antara makna bahasa dan istilah ini berkaitan erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh dan berkembang. Dalam penggunaannya, selain untuk kekayaan, tumbuh dan suci disifatkan untuk jiwa orang yang menunaikan zakat. Maksudnya, zakat itu akan mensucikan orang yang mengeluarkannya dan menumbuhkan pahalanya. [2] Sedangkan dalam istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari golongan kaya kepada golongan tidak punya. [3] A. Qodri Azizy dalam bukunya menyimpulkan bahwa zakat hendaknya tidak sekedar konsumtif, maka idealnya zakat dijadikan sumber dana umat. Penggunaan zakat untuk konsumtif hanyalah untuk hal-hal yang bersifat darurat. Artinya, ketika ada mustahiq yang tidak mungkin untuk dibimbing untuk mempunyai usaha mandiri atau memang untuk kepentingan mendesak, maka penggunaan konsumtif dapat dilakukan. [4] B.       Urgensi dan Tujuan Zakat Zakat pada era emasnya merupakan instrumen fiskal negara yang berfungsi bukan hanya untuk mendistribusikan kesejahteraan umat secara lebih adil dan merata tetapi juga merupakan bagian integral akuntabilitas manusia kepada Allah SWT atas rezeki yang telah diberikan-Nya. Namun dalam era modern saat ini, yang dikarenakan sistem pajak telah menjadi instrumen fiskal bagi suatu negara menyebabkan zakat hanya menjadi representasi tanggung jawab umat manusia atas limpahan rezeki dari Allah SWT sekaligus tidak jarang hanya menjadi ritual budaya periodik umat Islam. Tujuan zakat tidak sekedar menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi mempunyai tujuan yang lebih permanen yaitu mengentaskan kemiskinan. [5] Salah satu yang menunjang kesejahteraan hidup di dunia dan menunjang hidup di akherat adalah adanya kesejahteraan sosial-ekonomi. Ini merupakan seperangkat alternatif untuk mensejahterakan umat Islam dari kemiskinan dan kemelaratan. Untuk itu perlu dibentuk lembaga-lembaga sosial Islam sebagai upaya untuk menanggulangi masalah sosial tersebut. Sehubungan dengan hal itu, maka zakat dapat berfungsi sebagai salah satu sumber dana sosial-ekonomi bagi umat Islam. Artinya pendayagunaan zakat yang dikelola oleh Badan Amil Zakat tidak hanya terbatas pada kegiatan- kegiatan tertentu saja yang berdasarkan pada orientasi konvensional, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi umat, seperti dalam program pengentasan kemiskinan dan pengangguran dengan memberikan zakat produktif kepada mereka yang memerlukan sebagai modal usaha. Zakat memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya pengentasan kemiskinan atau pembangunan ekonomi. Berbeda dengan sumber keuangan untuk pembangunan yang lain, zakat tidak memiliki dampak balik apapun kecuali ridha dan mengharap pahala dari Allah semata. Namun demikian, bukan berarti mekanisme zakat tidak ada sistem kontrolnya. C.      Signifikansi Zakat Kewajiban zakat dan dorongan untuk terus menerus berinfaq dan bershadaqah yang demikian mutlak dan tegas itu, disebabkan karena di dalam ibadah ini terkandung berbagai hikmah dan manfaat (signifikansi) yang demikian besar dan mulia baik bagi muzakki (orang yang harus berzakat), mustahiq maupun masyarakat keseluruhan, antara lain tersimpul sebagai berikut: [6] 1.      Sebagai realisasi iman kepada Allah SWT, berzakat merupakan upaya mensyukuri nikmatnya. Zakat adalah ibadah, karena itu aturannya harus sesuai dengan petunjuk syari’ah. 2.      Sebagai sumber dana bagi pembangunan sarana maupum prasarana yang dibutuhkan umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi, sekaligus sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia muslim. 3.      Menolong, membantu dan membina kaum Dhuafa’ (orang yang lemah secara ekonomi) maupum mustahiq lainnya ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah  kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus memberantas sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul ketika mereka (orang-orang fakir miskin) melihat orang kaya yang berkecukupan hidupnya tidak mempedulikan mereka. 4.      Untuk mewujudkan keseimbangan dalam kepemilikan dan distribusi harta, sehingga diharapkan akan lahir masyarakat marhamah di atas prinsip ukhuwah Islamiyah dan takaful ijtima’i. 5.      Zakat mengembangkan harta benda, pengembangan tersebut dapat ditinjau dari segi spiritual keagamaan berdasarkan firman Allah, “Allah memusnahkan riba (tidak berkah), dan mengembangkan sedekah (zakat)”. (QS 2:276). 6.      Menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kemanusiaan  yang tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketegangan batin dan kehidupan, sekaligus mengembangkan harta yang dimiliki. 7.      Menyebarkan dan memasyarakatkan etika bisnis yang baik dan benar. D.      Organisasi Pengelola Zakat Pengertian Organisasi Pengelola Zakat Organisasi Pengelola Zakat merupakan sebuah institusi yang bergerak di bidang pengelolaan dana zakat, infaq, dan shadaqah. [7] Definisi menurut UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Fungsi Organisasi Pengelola Zakat Organisasi pengelola zakat apapun bentuk dan posisinya secara umum mempunyai dua fungsi yakni [8]: a.      Sebagai perantara keuangan Amil berperan menghubungkan antara pihak Muzakki dengan Mustahiq. Sebagai perantara keuangan Amil dituntut menerapkan azas trust (kepercayaan). Amil yang disebut secara eksplisit dalam QS. Al-Taubah: 60 sesungguhnya memiliki peran penting. Yusuf Qardhawi menyebutkan, ada empat peran amil; 1.         Untuk mengingatkan muzaki, karena naluriah manusia adalah bakil. 2.         Menjaga “air muka” para mustahik. Karena dengan perantaraan amil, mereka tidak harus bertemu langsung dengan muzaki. Lebih dari itu, dengan cara kerja amil yang proaktif mendatangi muzaki dan mustahik, mereka yang hidupnya kekurangan namun tidak membiarkan diri mereka meminta-minta di jalanan, akan mendapat perhatian secara proporsional. 3.         Untuk mengontrol agar mustahik menerima pemberian zakat dari mana-mana. Karena prioritas pendistribusian zakat kepada para mustahik juga harus dilaksanakan secara proporsional. 4.         Untuk menentukan prioritas dan pendistribusian zakat yang produktif dan konsumtif. Ini diharapkan dalam satuan waktu tertentu, mustahik dapat berubah menjadi muzaki, dengan mengembangkan zakat yang diterimanya sebagai modal usaha. b.      Pemberdayaan Fungsi ini, sesungguhnya upaya mewujudkan misi pembentukan Amil, yakni bagaimana masyarakat Muzakki menjadi lebih berkah rezekinya dan ketentraman kehidupannya menjadi terjamin disatu sisi dan masyarakat Mustahiq tidak selamanya tergantung dengan pemberian bahkan dalam jangka panjang diharapkan dapat berubah menjadi Muzakki baru. E.       Zakat Hilangkan Kemiskinan Kemiskinan merupakan bahaya besar bagi umat manusia dan tidak sedikit umat yang jatuh peradabannya hanya karena kefakiran. Karena itu seperti sabda Nabi yang menyatakan bahwa kefakiran itu mendekati pada kekufuran. [9] Islam sebagai Ad-diin telah menawarkan beberapa doktrin bagi manusia yang berlaku secara universal dengan dua ciri dimensi, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia serta kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di akhirat. Salah satu cara menanggulangi kemiskinan adalah dukungan orang yang mampu untuk mengeluarkan harta kekayaan mereka berupa dana zakat kepada mereka yang kekurangan. Zakat merupakan salah satu dari lima nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya Kalau kita lihat pada sistem pengololaan dana zakat yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz yaitu memberikan kepada mereka yang memilki daya beli rendah, sehigga meningkatkan permintaan dan akhirnya meningkatkan produksi nasional. Pola distribusi zakat seperti ini tidak hanya menghilangkan kemiskinan absolute akan tetapi juga meningkatkan perekonomi secara makro. Kebijakan yang dilakukan Khalifah Umar agar mereka mampu meningkatkan daya beli mereka dari dana zakat yang mereka peroleh, kemudian dana tersebut digunakan sebagai modal kerja untuk membeli barang-barang produksi. Dana zakat tersebut akan terus berkembang karena semakin banyak orang yang menggunakanya sebagai dana produktif. Langkah yang dilakukan Khalifah Umar dapat diadopsi ke Negara Indonesia, dengan langkah- langkah sebagai berikut. [10] Pertama, pemerintah melalui kementerian urusan zakat hendaknya melakukan pendataan terhadap kaum mustahiq dengan menggunakan lembaga independent yang bebas dari nepotisme. Selanjutnya dana zakat didistribusikan melalui badan pengelola zakat swasta maupun milik pemerintah kepada kaum mustahiq dengan rekomendasi lembaga independent tersebut. Pendistribusi dana zakat oleh lembaga pengelola juga harus diikuti dengan melakukan manajemen terhada mustahiq yang memperoleh dana tersebut. Pengelolaan dilakukan secara desentralisasi dengan batasan wilayah propinsi masing-masing. Kebijakan ini diusahakan untuk meningkatkan kesejahtera masyarakat diwilayah tersebut. Kedua, salah satu keberhasilan khalifah umar mengembangkan zakat produktif karena sifat kejujurannya yang diturunkan kepada masyarakat. Pelajaran yang diambil dari kejujuran beliau adalah menggambarkan sifat transparansi yang harus diterapkan dalam pengelolan dana zakat. Untuk menjaga transparansi pengelolaan dana zakat hendaknya dibuat satu badan independent yang mengawasi langsung perolehan dan pengalokasian dana tersebut. Badan tersebut berhak melakukan audit terhadap lembaga zakat yang mengelola dan berhak pula membuat rekomendasi kepada menteri zakat untuk memberhentikan operasionalnya, jika terjadi mismanage dana zakat tersebut. Ketiga, dengan melakukan stimulant terhadap para pembayar zakat berupa kompensasi pajak secara langsung. Penerapan zakat pengurang pajak selama ini hanya pada tataran zakat tersebut sebagai biaya pengurang penghasilan. Pengaruhnya tentu tidak besar bagi para pembayar pajak yang juga merupakan para pembayar zakat karena tidak dikreditkan langsung pada pajak terutang. Akan tetapi tentu akan lebih terasa besarnya pengaruh zakat terhadap pajak jika zakat tersebut dapat di kreditkan langsung ke pajak penghasilan. Logika penggunaannya tentu sama saja. Pajak digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan karyawan begitu juga zakat yang memiliki implikasi kesejahteraan dunia dan akhirat. Sebuah harapan yang sangat besar rekomendasi konferensi dewan zakat asia tenggara (DZAT) dapat diimplemetasikan segera, dan bahkan juga berharap pemerintah berperan aktif dalam mewujudkan rekomendasi tersebut. Kita sudah rindu dengan zaman seperti khilafah Umar bin Abdul Aziz. F.       Zakat dan Ekonomi Umat [11] Fakta sejarah membuktikan di zaman sahabat, ummayah dan Abbasiah, ekonomi umat, bila potensi zakat umat digali secara optimal. Di zaman Umar bin Abdul Aziz dalam tempo 30 bulan tidak ditemukan lagi masyarakat miskin, karena semua muzakki mengeluarkan zakat dan distribusi zakat tidak sebatas konsumtif, tetapi juga produktif. Kenyataan itu harus kita wujudkan saat ini agar kemiskinan yang menjadi musuh kita dapat diatasi. Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Seandainya kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya aku akan membunuhnya”. Makna ucapan khalifah keempat tersebut ialah bahwa ia mendeklarasikan secara tegas “perang terhadap kemiskinan”. Pada masa krisis ekonomi yang masih berlangsung masalah kemiskinan sedang menjadi isu penting, karena jumlah rakyat miskin membengkak secara luar biasa, dari 22,5 juta menjadi hampir 100 juta jiwa. Islam menyediakan seperangkat ajaran yang komprehensif utnuk memecahkan masalah kemiskinan, diantaranya melalui lembaga zakat, infaq, sedekah (ZIS) tersebut. G.      Zakat dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat [12] Zakat sebagai instrumen ekonomi dalam Islam tampaknya belum dapat dikelola dengan baik dan profesional di negeri ini. Banyak faktor bisa dikemukakan untuk mendukung statemen tersebut. Mulai dari tidak efektifnya UU No 38/ 1999, hingga kinerja Badan/Lembaga Amil Zakat yang tidak optimal. Potensi zakat di Indonesia sesungguhnya sangat besar. Kalau negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, boleh jadi 210 juta dari 220 juta warga itu muslim. Implikasinya kalau 39%-nya miskin, maka bagian terbesar warga miskin adalah beragama Islam. Yang termasuk kategori sedang dan kaya 61%. Menurut penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan The Ford Foundation, potensi zakat di Indonesia tahun 2006 adalah Rp 19,3 triliun; Rp 5,1 triliun dalam bentuk barang dan Rp 14,2 triliun tunai. Penelitian yang melibatkan 1.500 responden di 11 provinsi, yang terdiri dari 50 BAZ dan 50 LAZ menemukan bahwa zakat fitrah menempati 33 % dari total dana sosial/pertahun (Rp 6,2 triliun), dan sisanya zakat maal. Lebih lanjut penelitian tersebut mengungkapkan bahwa 61% zakat fitrah, diberikan langsung kepada penerima, sisanya dititipkan melalui Badan/Lembaga Amil Zakat. Untuk zakat mal, 93 % diberikan langsung kepada penerima, tanpa melibatkan Badan/Lembaga Amil Zakat yang sudah profesional. Dengan kata lain, penerima zakat fitrah dan mal 70% adalah masjid. Walhasil, Badan Amil Zakat (BAZ) hanya mampu menghimpun sebanyak 5% zakat fittrah, dan 3% zakat mal. Sementara Lembaga Amil Zakat (LAZ) hanya menghimpun 4% zakat mal. Alasan yang dikemukakan dari responden bermacam-macam, pertama, membagi sendiri lebih mudah dilakukan. Kedua, nilai zakat yang dibayarkan relatif kecil. Ketiga, sulit mengakses layanan BAZ/LAZ, dan keempat, 10 % masyarakat tidak percaya kepada BAZ/LAZ. Penelitian Pirac mengasumsikan potensi zakat di Indonesia adalah Rp 20 triliun/tahun. Angka tersebut belum terurus dengan baik, karena masih kecilnya penyaluran zakat melalui BAZ/LAZ, yang antara lain faktor kedekatan jarak. Karena 80% responden lebih senang menyalurkan dana zakat ke panitia setempat. H.      Pengaruh Zakat Terhadap Perekonomian Zakat yang diberikan kepada mustahiq akan berperan sebagai pendukung peningkatan ekonomi mereka apabila dikonsumsikan pada kegiatan produktif. Pendayagunaan zakat produktif sesungguhnya mempunyai konsep perencanaan dan pelaksanaan yang cermat seperti mengkaji penyebab kemiskinan, ketidakadaan modal kerja, dan kekurangan lapangan kerja, dengan adanya masalah tersebut maka perlu adanya perencanaan yang dapat mengembangkan zakat bersifat produktif tersebut. [13] Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara dijadikannya dana zakat sebagai modal usaha, untuk pemberdayaan ekonomi penerimanya, dan supaya fakir miskin dapat menjalankan atau membiayai kehidupannya secara konsisten. Dengan dana zakat tersebut fakir miskin akan mendapatkan penghasilan tetap, meningkatkan usaha, mengembangkan usaha serta mereka dapat menyisihkan penghasilannya untuk menabung Dana zakat untuk kegiatan produktif akan lebih optimal bila dilaksanakan Lembaga Amil Zakat karena LAZ sebagai organisasi yang terpercaya untuk pengalokasian, pendayagunaan, dan pendistribusian dana zakat, mereka tidak memberikan zakat begitu saja melainkan mereka mendampingi, memberikan pengarahan serta pelatihan agar dana zakat tersebut benar-benar dijadikan modal kerja sehingga penerima zakat tersebut memperoleh pendapatan yang layak dan mandiri. Dengan berkembangnya usaha kecil menengah dengan modal berasal dari zakat akan menyerap tenaga kerja. Hal ini berarti angka pengangguran bisa dikurangi, berkurangnya angka pengangguran akan berdampak pada meningkatnya daya beli masyarakat terhadap suatu produk barang ataupun jasa, meningkatnya daya beli masyarakat akan diikuti oleh pertumbuhan produksi, pertumbuhan sektor produksi inilah yang akan menjadi salah satu indikator adanya pertumbuhan ekonomi. Zakat dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk modal bagi usaha kecil. Dengan demikian, zakat memiliki pengaruh yang sangat besar dalam berbagai hal kehidupan umat, di antaranya adalah pengaruh dalam bidang ekonomi. Pengaruh zakat yang lainnya adalah terjadinya pembagian pendapatan secara adil kepada masyarakat Islam. Dengan kata lain, pengelolaan zakat secara profesional dan produktif dapat ikut membantu perekonomian masyarakat lemah dan membantu pemerintah dalam meningkatkan perekonomian negara, yaitu terberdayanya ekonomi umat sesuai dengan misi-misi yang diembannya. Diantara misi-misi tersebut adalah: [14] 1.      Misi pembangunan ekonomi dan bisnis yang berpedoman pada ukuran ekonomi dan bisnis yang lazim dan bersifat universal. 2.      Misi pelaksanaan etika bisnis dan hukum; 3.      Misi membangun kekuatan ekonomi untuk Islam, sehingga menjadi sumber dana pendukung dakwah Islam DAFTAR PUSTAKA Muhammad dan Ridwan Mas’ud (2005). Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. (Yogyakarta: UII Press) Hafidhhuddin, Didin (2002) dalam buku, Zakat Dalam Perekonomian Modern. (Jakarta: Gema Insani) Azizy, Qodri (2004). Membangun Fondasi Ekonomi Umat (Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam), cet. 1. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) Muhammad, Rifqi (2006). ”Akuntansi Lembaga Keuangan Publik Islam”, Modul Mata Kuliah. (Yogyakarta: FIAI UII) Ridwan, Muhammad (2005). Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil(BMT), cet 2. (Yogyakarta: UII Press) Daud Ali, Mohammad (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, cet. 1. (Jakarta: UI Press) Qadir, Abduracchman (2001). Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial. Cet. 2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) Saefuddin, Ahmad M. (1987). Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, ed.1 cet.1. (Jakarta: CV Rajawali) Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf (1982), Pedoman Zakat (4), (Jakarta: Departemen Agama) Sabiq, Sayyid. (1977). Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr Yustika, Ahmad Erani dan Jati Andrianto. Jurnal Ilmiah, Journal of Thought and Ideas, Volume I August: 6-14 “Zakat, Justice, and Social Equality” inilah.com, Juli 2008 | Hilmi, SE, M.Si (Ketua Bidang Ekonomi Yayasan Bening Hati Alumni Pascasarjana Ekonomi Syariah UI) REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN — Sejak 2002, perolehan zakat yang dihimpun Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) mengalami kenaikan. Rata-rata dalam lima tahun terakhir, kenaikan mencapai 24,56 persen. “Alhamdulillah, tahun 2013 ini diperkirakan perolehan zakat mencapai Rp 2,5 triliun. Ini membuat rata-rata perolehan zakat sejak lima tahun terakhir mencapai 24,46 persen,” kata Ketua Umum Baznas KH Didin Hafidhuddin ketika membuka Seminar Zakat Nasional di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (22/1). Walau demikian, menurut Didin, capaian itu masih jauh dari potensi yang ada. Ia memperkirakan potensi zakat masyarakat Indonesia mencapai Rp 270 triliun. Bila dilihat dari capaian saat ini, raihan zakat hanya satu persen dari potensi yang ada. Untuk itu, katanya, sejak awal berdirinya Baznas, sosialisasi dan edukasi zakat terus dilakukan. Yang terkini, Baznas mempersiapkan satu mekanisme sinergi dan koordinasi. Ini juga didukung dengan persiapan integrasi data mustahik yang dimulai sejak 2012 silam. Ke depan, optimalisasi penyaluran zakat juga akan terus dilakukan. Dengan begitu, akan mendorong peningkatan status dari mustahik ke muzaki. Menjaring mustahik Mencari ukuran yang mendekati sosok siapa mustahik, individu yang berhak memperoleh zakat bukan perkara mudah. Masing-masing lembaga amil zakat (LAZ) swasta mempunyai perspektif sendiri. Dompet Dhuafa misalnya, mengacu pada perpekstif wilayah. Perspektif ini dipilih dengan asumsi setiap wilayah memiliki potensi berikut tantangannya. Kunci dari perspektif itu adalah perubahan daerah akan terlihat bila potensinya dapat digali dengan baik. Presiden Direktur Dompet Dhuafa Ahmad Juawini mengatakan, perspektif wilayah akan mendapatkan gambaran kondisi mustahik dan sebaran geografisnya hingga kabupaten/kota di Indonesia. Hal ini dibarengi pula dengan gambaran potensi muzaki. “Pada akhirnya, kami mengelompokkannya menjadi potensi desa merujuk pada kategori rendah, sedang,dan tinggi,” ujarnya. Dompet Dhuafa, ia melanjutkan, kemudian menetapkan nishab mustahik dari mekanisme perhitungan yang berdasarkan pengeluaran per kapita rumah tangga. Selain itu, berdasarkan limit terendah pengeluaran, pengeluaran per kapita di atas batas, dan mengalikan faktor koreksi atau persentase penduduk beragama Islam. Dari proses itu, kata Juwaini, diambilah angka mustahik, sepertiga pendapatan per kapita dalam hal ini upah minimum provinsi (UMP). “Batasan ini dinilai lebih relevan dan senada dengan hasil survei Biro Pusat Statistik (BPS) di 83 kota yang menyebut rata-rata pengeluaran minimal rumah tangga masyarakat Indonesia mencapai Rp 8,3 juta,” ujarnya. Perspektif serupa juga diterapkan lembaga Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU). Mereka menjaring sosok mustahik dengan menerapkan Indeks Potensi Daerah (Ipod) 2013. Cara ini dilihat melalui nilai potensi daerah berdasarkan aspek sumber daya manusia, sumber daya alam, lingkungan usaha produktif dan infrasktruktur. “Melalui nilai potensi akan terjaring potensi daerah,” kata Deputi Direktur PKPU Tomy Hendrajati. Selanjutnya, PKPU menetapkan angka kemiskinan dengan merujuk perbandingan antara koefisien hidup mustahik (TFI) dengan basic family needs (BFN). Yang termasuk mustahik, pendapatan keluarga tidak cukup untuk menutupi kebutuhan minimal keluarga tersebut. “Mengacu angka, yang termasuk miskin itu mirip dengan Dompet Dhuafa,” kata Tomy. Dari pemetaan itu, PKPU segera memberdayakan potensi dengan menjalankan program Petani Binaan, semisal Petani Binaan PKPU di Muncang, Kabupaten Lebak, Banten. Juga program Indonesia Village Care (IVC), seperti di Kampung Gorowong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. n agung sasongko ed: chairul akhmad