Academia.eduAcademia.edu

Pengolahan Limbah Tekstil Dan Batik Di Indonesia

2017

Abstrak <em>Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan keanekaragaman seni kerajinannya. Salah satu kerajinan yang terkenal di Indonesia adalah batik dan tekstil. Batik dan Industri tekstil di Indonesia merupakan industri yang tergolong sangat besar dan menguntungkan. Industri ini juga dilindungi dan dipacu oleh pemerintah pertumbuhannya. Batik ditetapkan UNESCO pada tahun 2009 sebagai warisan kemanusiaan dalam budaya lisan dan non bendawi (Masterpiece of the oral stage of oral and intangible heritage of humanity). Kekurangan terbesar dari industri tekstil di Indonesia adalah pengolahan proses dan pengolahan limbah yang sangat buruk. Pencemaran sungai akibat limbah tekstil merupakan hal yang sedang terjadi pada kota penghasil tekstil seperti Pekalongan. Kontaminan limbah tekstil terbesar pada dasarnya berasal dari pewarna. Pewarna sangat stabil secara kimia, sehingga sulit untuk cepat terdegradasi secara biodegradasi maupun degradasi ultraviolet. Ada beberapa cara ya...

PENGOLAHAN LIMBAH TEKSTIL DAN BATIK DI INDONESIA Petra Yohana Sitanggang Abstrak Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan keanekaragaman seni kerajinannya. Salah satu kerajinan yang terkenal di Indonesia adalah batik dan tekstil. Batik dan Industri tekstil di Indonesia merupakan industri yang tergolong sangat besar dan menguntungkan. Industri ini juga dilindungi dan dipacu oleh pemerintah pertumbuhannya. Batik ditetapkan UNESCO pada tahun 2009 sebagai warisan kemanusiaan dalam budaya lisan dan non bendawi (Masterpiece of the oral stage of oral and intangible heritage of humanity). Kekurangan terbesar dari industri tekstil di Indonesia adalah pengolahan proses dan pengolahan limbah yang sangat buruk. Pencemaran sungai akibat limbah tekstil merupakan hal yang sedang terjadi pada kota penghasil tekstil seperti Pekalongan. Kontaminan limbah tekstil terbesar pada dasarnya berasal dari pewarna. Pewarna sangat stabil secara kimia, sehingga sulit untuk cepat terdegradasi secara biodegradasi maupun degradasi ultraviolet. Ada beberapa cara yang dapat diterapkan dalam pengolahan limbah, antara lain secara tradisional seperti adsorpsi, sistem lumpur aktif, bioremediasi dan cara yang lebih praktis seperti menggunakan membran. Penggunaan membran akan menguntungkan dari segi air yang dihasilkan berkondisi baik dan bahkan dapat digunakan ulang dalam proses, namun memiliki beberapa kelemahan seperti rentan terhadap fouling. Kata Kunci : Limbah Tekstil, Membran, Industri Batik. 1. Pendahuluan Batik merupakan warisan kebudayaan Indonesia dalam bentuk kerajinan tekstil. Batik diakui Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Kebudayaan (UNESCO) sebagai warisan budaya yang berasal dari Indonesia. Pada awalnya, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta. Kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Negara Tujuan Singapura Kanada Australia Kolombia Amerika Serikat Majapahit dan meluas ini menjadi milik rakyat Indonesia mulai akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19. Batik dideklarasikan 2 Oktober 2009 sebagai salah satu dari warisan budaya dunia. Oleh karena itulah, usaha batik menjadi semakin populer dikalangan masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini dapat dibuktikan dari pendapatan yang diperoleh hasil ekspor batik tahun 2013 ke 5 negara tujuan utama Tabel 1 Data Ekspor Batik ke 5 Negara Tujuan Tahun 2013 (Ningsih 2015) Jumlah Penjualan Nilai Ekspor 3.068,36 kg US$ 88.965,65 2.463 kg US$ 37.747,80 1.834,50 kg US$ 23.892 176 kg US$ 2.622,50 48.494,29 kg US$ 1.095.706,38 Sayangnya, industri yang menguntungkan ini akan merugikan dari sisi lingkungan apabila pengolahan limbahnya tidak dilakukan dengan baik. Zat pewarna tekstil umumnya terbuat dari zat organik non-biodegradable, yang sebenarnya dapat terurai oleh sinar UV, namun lambat sehingga lebih mudah terakumulasi pada tanah dan perairan. Zat pewarna tekstil dan batik digolongkan menjadi zat warna nitroso, nitro, azo, stilben, difenil metana, trifenil metana, akridin, kinolin, indigoida, aminokinon, anin dan indofenol. Akan tetapi secara umum, zat pewarna batik digolongkan menjadi zat pewarna alami dan zat pewarna sintetik. Zat pewarna alami dapat berupa klorofil, karotenoid, flovonoid dan kuinon. [5] Zat warna buatan atau sintesis dibuat dengan reaksi kimia dengan bahan dasar tar, arang, batu bara atau minyak bumi yang merupakan hasil senyawa turunan hidrokarbon aromatik seperti benzena, naftalena dan antrasena. Zat pewarna alami dapat diekstrak dari daun pohon nila (indofera), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana arn), kayu tegeran (Cudraina javanensis), kunyit (Curcuma), teh (The), akar mengkudu (Morinda citrifelia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), daun jambu biji (Psidium guajava) akan tetapi, zat pewarna alam dianggap kurang praktis dan ketersediaan serta warnanya terbatas. Menurut R.H.MJ. Lemmens dan N WulijarniSoetjipto, sebagian besar warna dapat diperoleh dari produk tumbuhan, pada jaringan tumbuhan terdapat pigmen tumbuhan penimbul warna yang berbeda tergantung menurut struktur kimianya. Golongan pigmen tumbuhan dapat berbentuk klorofil, karotenoid, flovonoid dan kuinon. Untuk itu pigmen – pigmen alam tersebut perlu dieksplorasi dari jaringan atau organ tumbuhan dan dijadikan larutan zat warna alam untuk pencelupan bahan tekstil. Proses eksplorasi dilakukan dengan teknik ekstraksi dengan pelarut air. Proses pembuatannya adalah bagian yang akan diekstrak dicacah, direbus dan disaring. Penggunaan pigmen sintetis akan lebih mudah dalam skala besar, sehingga zat pewarna sintesis lebih banyak digunakan dalam industri. Salah satu contoh pewarna tekstil yang sering digunakan didalam industri adalah zat warna napthol atau blue-black, remazol black, red dan golden yellow. Zat warna ini stabil secara kimia. Pada penggunaannya, zat pewarna ini hanya dipakai sedikit dan sisanya akan dibuang sebagai limbah. Apabila limbah terbuang ke sungai, limbah ini akan menaikkan chemical oxygen demand, biological oxygen demand, menimbulkan padatan tersuspensi, menurunkan kualitas air dan akan menimbulkan masalah kesehatan jika air tersebut digunakan oleh masyarakat. 2. Proses Pembuatan Tekstil dan Batik Tekstil dan batik dapat dibuat dengan berbagai cara. Batik dapat dibuat dengan tulis, celup, maupun cap. Secara umum, proses pembuatan batik terdiri dari langkah persiapan, pencetakan batik dan fiksasi. Pertama-tama dilakukan mordanting dengan tujuan meningkatkan daya tarik warna untuk menghasilkan warna dan ketajaman yang baik. Menurut Sewan Susanto. Proses mordanting terdiri dari langkah sebagai berikut: a. Tekstil sebagai sample dipotong dengan ukuran 10 X 10 cm untuk diwarnai atau sesuai keinginan sebanyak tiga lembar. b. Bahan tekstil yang akan diwarnai direndam dalam larutan 2 gram/liter sabun atau turkey red oil. Perendaman dilakukan selama 2 jam atau dapat juga dilakkan semalaman. Setelah itu bahan dicuci dan dianginkan. c. Jika bahan batik terbuat dari kapas, dibuat larutan yang mengandung 8 gram tawas dan 2 gram soda abu (Na2CO3) dalam setiap 1 liter air yang digunakan. Larutan diaduk hingga larut. Larutan direbus sehingga mendidih dan dimasukkan bahan kapas, kemudian direbus selama 1jam. Setelah itu api dimatikan dan kain kapas dibiarkan terendam dalam larutan selama semalam. Setelah direndam semalaman, kain harus diangkat dan dibilas. Kain tersebut dikeringkan dan disetrika. Kain kapas tersebut siap dicelup. Untuk bahan sutera, dibuat larutan yang mengandung 8 gram tawas dalam setiap 1liter air yang digunakan, kemudian diaduk hingga larut. Larutan dipanaskan hingga 60 ºC kemudian masukkan bahan sutera atau dan proses dilakukan selama 1 jam dengan suhu larutan dijaga konstan (40 – 60 ºC). Setelah itu pemanasan dihentikan dan kain dibiarkan terendam dalam larutan selama semalaman. Setelah itu, kain diangkat dan dibilas. Kain dikeringkan dan disetrika. Kain sutera yang telah dimordanting tersebut siap dilukis dengan pola batik. Untuk mengawetkan hasil akhir, dilakukan fiksasi. Fiksasi dilakukan dengan cara mencelupkan kain kedalam larutan tanjung, tawas, atau kapur tohor. Secara skematik ditunjukkan oleh Gambar 1. • Persiapan Kain Proses Ekstraksi pewarna Step • 1 Step 2 Pencel upan Step 3 Fiksasi Kain Hasil Berwarna Gambar 1 Fiksasi Kain Batik (Susanto, 1973) Lain halnya dengan pemrosesan modern, pembuatan tekstil dilakukan dengan dua cara yaitu wet processing dan dry processing. Wet process menghasilkan limbah efluen yang besar dalam bentuk cair dan mempunyai derajat toksisitas yang bervariasi, sedangkan dry process akan menghasilkan limbah padat yang banyak. Industri tekstil dikenal sebagai proses yang boros akan air, sehingga reklamasi dan pengolahan limbah sangat dibutuhkan agar terjadi sustainabilitas lingkungan. Air digunakan terbesar terutama dalam proses pembilasan, mengecilan ukuran, penggosokan, pemutihan, penguatan, pewarnaan, netralisasi dan perendaman dengan garam. Banyaknya air sangat bergantung dari material kain dan langkah-langkah produksi. Secara garis besar, limbah industri tekstil dapat dibagi menjadi air proses, air pembersih, air pendingin dan storm water. Untuk mengatasi limbah dari proses membatik dan tekstil, dapat digunakan beberapa cara, antara lain dengan Anaerobic Baffle Reactor, sistem lumpur aktif dan bioremediasi, dan ozonasi. Namun penggunaan mikroba dalam remediasi air masih dianggap tidak praktis. Hal ini disebabkan karena kandungan biologis yang terdapat dalam air limbah yang membuatnya untuk terus beregenerasi dalam limbah sehingga terjadi variasi pH air limbah, suhu, konsentrasi di air limbah tekstil yang terus berubah-ubah. Selain itu, metode pengobatan biologis ini tidak membawa lengkap kontaminan pada zat pewarna. Karena hal ini limbah yang dibuang masih sering terganggu oleh kemampuan dari kontaminan biologis untuk melakukan regenerasi konstituen organik pada pewarna tekstil. Penggunaan anaerobic baffle reactor membutuhkan pengolahan awal berupa absorbsi. Proses absorbsi dapat menggunakan absorben buatan maupun alami seperti batok kelapa, namun proses absorbsi harus dibuat dapat dipakai berulang agar ekonomis dan berlanjut. Lain halnya dengan ozonasi, yang waktu paruhnya singkat dan tidak murah sehingga kurang ekonomis. Gambar 2. Proses Manufaktur Kain (Dasgupta dkk 2015) Gambar 3. Ultrafiltrasi (Dasgupta dkk, 2015) Gambar 4. Nanofiltrasi dan Reverse Osmosis (Dasgupta dkk, 2015) Gambar 5. Elektrodialisis (Dasgupta dkk, 2015) 3. Langkah Pengolahan Limbah Tekstil Konvensional 3.1 Anaerobik Baffle Reaktor Reaktor ini melibatkan mikroorganisme yang tahan pada kondisi anaerob dan toleran terhadap konsentrasi bahan organik tinggi dan kondisi lingungan yang sulit. Kelebihan dari reactor ini adalah rancangannya sederhana, kestabilan tinggi dan efisiensi tinggi. Akan tetapi, anaerobic baffle reactor sederhana akan memerlukan reactor dangkal untuk mempertahankan laju gas dan cair, sehingga dapat bakteri mudah sekali terbuang dan menyebabkan penundaan pada start-up. Akibat sifatnya yang seperti aliran sumbat, terjadi akumulasi asam lemak volatile dan pH rendah, dan juga eksposisi bakteri sensitive pada bagian menjadi senyawa tingkat anorganik dan organik pada kekuatan umpan limbah besar. Hal ini dapat diatasi dengan pengenceran umpan, pengumpanan secara periodik, pengumpanan dengan laju rendah dan daur ulang efluen. 3.2 Sistem Lumpur Aktif (Nigtyas, 2015) Sistem ini merupakan sistem pengolahan limbah menggunaan mikroorganisme dengan proses aerobic, dimana zat organik dikonversi menjadi CO2, H2O, NH4 dan biomassa baru. Terdapat 4 bagian proses pada sistem ini, yaitu: aerasi, pegendapan, resirkulasi lumpur, serta penghilangan lumpur sisa. Aerasi ditujukan sebagai sumber oksigen. Pada tahap ini pulalah, terjadi reaksi konversi zat organik. Kemudian, biomassa diendapkan pada tangka pengendapan sekunder. Bagian padat kemudian disirkulasi pada tangka aerasi untuk mempertahankan konsentrasi biomassa, sehingga efisiensi tinggi. Sehingga proses ini disimpulkan menjadi diagram alir berikut yang ditunjukkan oleh Gambar 6. Pengendapan awal Aerasi Pengendapan Sekunder Klorinasi Gambar 6. Alur Sistem Lumpur Aktif (Sholichin 2012) Pertama-tama, dilakukan pengendapan awal untuk mengurangi padatan tersuspensi sebesar 30-40% serta BOD sebesar 25%. Kemudian, air tersebut dialirkan ke bak aerasi dengan gaya gravitasi. Pada tahap ini, air limbah dipaparkan ke udara sehingga bakteri aerob dapat menguraikan limbah organik. Kemudian, air sudah diuraikan tersebut dialirkan ke tangki pengendapan sekunder. Didalam tangki tersebut lumpur diendapkan dan di pompa ke bak aerasi dan airnya akan disterilisasi dengan klorinasi. Proses ini penting untuk mematikan mikroorganisme patogen. Pada proses ini juga BOD turun menjadi 20-30 mg/L. Surplus lumpur dari keseluruhan proses ditampung dalam bak pengering lumpur sedangkan air resapannya ditampung kembali di bak penampung air limbah. Mikroorganisme yang ditemukan pada bak aerasi diantaranya adalah bakteri, protozoa, metazoa, bakteri berfilamen, dan fungi. Sedangkan mikroorganisme yang paling berperan pada proses lumpur aktif adalah bakteri aerob. Pada prinsipnya, mikroorganisme memanfaatkan senyawa organik yaitu polutan sebagai makanan dengan proses adsorpsi kedalam selnya. Untuk mencerna partikel polutan, sel mikroorganisme membentuk enzim-enzim tertentu sehingga polutan baik teradsorpsi maupun didalam cairan limbah dapat dihilangkan. Mikroorganisme ini harus dipertahankan aktif dengan kondisi lingkungan tertentu, salah satunya kadar pH dalam cairan dan kadar nitrogen dan fosfat. Kadar pH dapat dipertahankan dengan menambah asam atau basa pada khamar, sedangkan penambahan urea dilakukan untuk meningkatkan sumber nitrogen dan penambahan asam fosfat untuk sumber fosfat. 3.3 Bioremediasi Bioremediasi merupakan pengolahan limbah dengan mikroorganisme sehingga diperoleh enzim yang mengubah struktur kimia polutan sehingga limbah menjadi relatif tidak berbahaya bagi lingkungan. Pengolahan limbah dengan bioremediasi sudah lama diterapkan secara terpusat yaitu pada tahun 1900-an [24]. Pada teknologi pengolahan limbah air, bioremediasi telah mencapai pada pengolahan air limbah yang mengandung senyawa-senyawa kimia industri yang sulit untuk didegradasi, seperti logamlogam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida dan herbisida. Prinsip mikroorganisme pada penguraian polutan ada 2 yaitu pertumbuhan mikroorganisme menempel dan tersuspensi. Pertumbuhan mikrooganisme menempel merupakan jenis mikroorganisme yang dibiakkan pada batuan atau tanaman air, kemudian di aplikasikan pada unit pengolah air dengan sistem trickling filter. Pengolahan dilakukan secara aerobik. Jenis bakteri yang digunakan biasanya bakteri gram negatif dengan bentuk batang heterotrofik seperti Zooglea, Pseudomonas, Chromobacter, Achromobacter, Alcaligenes dan Flavobacterium, atau bakteri filamentous seperti Beggiatoa, Thiotrix dan Sphaerotilus. Mikroorganisme dalam bentuk suspense berarti mikroorganisme ini dibiakkan dalam bentuk lumpur aktif pada air tercemar. Pada dasarnya, sistem ini dapat digabung menjadi reactor hybrid. Akan tetapi, pada dasarnya tahapan dasar terdiri dari isolasi bakteri, pengujian kemampuan bakteri dalam mendegradasi, identifikasi dan multiplikasi bakteri. Penggunaan bakteri indigenous harus memperhatikan persyaratan Kep Men LH No.128 (2003). 3.4 Ozonasi Ozonasi ditujukan untuk memenuhi persyaratan BOD dan COD dari limbah buangan. Analisis Biological Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis adalah suatu analisa empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang terjadi didalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk mendegradasi hampir semua zat organik yang terlarut termasuk zat organik yang tersuspensi didalam air, sedangkan Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zatzat organis yang ada dalam 1 liter sampel air, dimana pengoksidasian K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen (Oxidizing agent). Langkah-langkah dari pengolahan limbah secara ozonisasi adalah pengolahan awal yang berupa aerasi dan penambahan absorben (dapat berupa zeolit atau koagulan seperti tawas). Tujuan dari pengolahan awal ini adalah untuk mengoptimalkan kerja ozon sehingga efektif, dengan menyingkirkan zat pewarna dan butiran-butiran padat sehingga menjadi jernih. Ozon bekerja lebih efektif pada pH basa, sehingga sering ditambahkan air kapur. Reaksi yang terjadi pada ozonisasi adalah (Usada dkk 2010): 𝑟𝑎𝑑𝑖𝑎𝑠𝑖 𝑈𝑉 𝑂2 → 𝑂∗ … … … 3.4.1 𝑂∗ + 𝑂2 → 𝑂3 … … … . 3.4.2 Radikal bebas O* dan OH* akan memutus ikatan senyawa organic sehingga polutan akan terdegradasi. 4. Langkah Pengolahan Limbah dengan Membran Kekurangan dari proses pengolahan nonmembran dapat diatasi dengan penggunaan membran dalam proses. Sistem pengolahan menggunakan membran mencakup tahap pretreatment, unit daur ulang, unit reverse osmosis dan unit nanofiltrasi dan sistem rejeksi mengikuti unit daur ulang. Teknologi membran pada dasarnya ramah lingkungan, akan tetapi permasalahan utama dari penggunaan membran adalah fouling. Pemilihan teknologi yang baik bergantung dari bahan membran yang digunakan dan diatur oleh sifat membran seperti sifat kimia, fisika, resistensi kimia, mekanik, termal dan kemungkinan membran untuk fouling. Fouling memiliki faktor selain ukuran fouling, yaitu kecenderungan untuk fouling dan bentuk membran. Pemilihan jenis membran yang perlu diperhatikan lagi adalah jenis bahan kimia dan efluen yang akan kontak dengan membran. Selain jenis, pengolahan limbah memerlukan perhitungan atas energi, biaya dan efisiensi. Oleh karena alasan inilah membran harus benar-benar dipilih yang tepat. Ada beberapa membran yang umum digunakan dalam remediasi limbah tekstil, antara lain mikrofiltrasi, ultrafitrasi, nanofiltrasi, reverse osmosis, elektrodialisis, dan membran terintegrasi. 4.1 Mikrofiltrasi Filtrasi jenis ini merupakan filtrasi paling sederhana dan mengaplikasiannya sedikit. Pori yang terdapat pada membran jenis ini adalah 0,110 µm. Membran mikrofiltrasi biasanya beroperasi pada beda tekan rendah yaitu sekitar 2 bar. Tujuan utama dari mikrofiltrasi adalah pemisahan padatan tersuspensi dan zat pewarna dari limbah. Akan tetapi, pemisahan ini belum cukup karena polutan organik dan terlarut masih lolos dari tahap ini. Oleh karena itu mikrofiltrasi digunakan sebagai langkah pretreatment untuk tahap selanjutnya. Mikrofiltrasi dianggap unggul dalam penggunaannya sebagai pretreatment karena menghasilkan permeat akhir yang lebih besar dibandingkan pretreatment secara koagulasi maupun flogulasi. Keunggulan lainnya adalah suspensi penyebab fouling dengan mikrofiltrasi lebih kecil sehingga menghindari fouling pada penyaringan membrane nanofiltrasi. Untuk menghindari fouling dan kerja membrane yang terlalu berat, biasanya sebelum mikrofiltrasi akan dilakukan sedimentasi dan koagulasi terlebih dahulu. Gambar 7. Mikrofiltrasi (Abdel-Shafy dkk, 2016) Mikrofiltrasi terkadang digunakan sebagai post treatment, misalnya pada penelitian. Penelitian ini merancang sebuah reactor yang menggabungkan elektrooksidasi dengan anoda BDD/Ti dan membrane mikrofiltrasi keramik untuk mengambil senyawa organic dan partikel tersuspensi dari air limbah tekstil. Meskipun mikrofiltasi hanya dianggap cocok sebagai pretreatment, penelitian [32] mencoba membuat membran mikrofiltrasi yang dapat menyaring limbah tekstil secara tunggal. Membran ini berjenis membran karbon berbentuk asimetrik tubular. Membran ini terbuat dari bubuk batu bara dan resin plastik berjenis thermoset. Penelitian ini berhasil diaplikasikan ke industri tekstil dengan removal sebesar 50%. 4.2 Ultrafiltrasi Ultrafiltrasi dilakukan untuk memisahkan makromolekul dan koloid dari larutannya. Ultrafiltrasi sangat unggul dalam menyaring air limbah pada industri makanan dan obat-obatan akan tetapi tidak pada limbah tekstil dikarenakan berat molekular pewarna lebih rendah dibandingkan massa molekular yang lolos oleh ultrafiltrasi. Oleh sebab itu, proses ini juga dimanfaatkan sebagai tahap pretreatment jika diinginkan hasil akhir filtrasi dengan kualitas tinggi. Pada ultrafiltasi masih terdapat minimal 10% zat pewarna dari tahap awal, sehingga air ini masih berkualitas rendah, hanya untuk proses samping tetapi tidak dapat digunakan pada proses utama. Membran yang terbuat dari polimer sangat rentan terhadap fouling karena resistensi kimianya terhadap senyawa organik rendah. Hal ini mengakibatkan penurunan pada permeabilitas dan perfoma membran. Untuk itulah, diperlukan membrane hybrid dimana ultrafiltrasi di awali dengan flokulasi. Penggunaan UF sebagai pengganti teknologi konvensional sangatlah unggul, akan tetapi permasalahan fouling akan meningkatkan biaya operasi dan perawatan. Tantangan dalam pembuatan membran UF ini adalah bagaimana mengidentifikasi interaksi antara foulant dan membran. Foulant biasanya spesifik namun terdiri dari beberapa senyawa. Oleh karena itu, karakteristik umpan, kondisi operasi ,dan material membrane sangat menentukan keberhasilan proses. Selain polimer, membran keramik merupakan alternatif bahan yang baik untuk ultrafiltrasi, karena kestabilan kimia, suhu, mekanik yang baik dan permeabilitasnya pun tinggi. Paper pada referensi membahas tentang membrane keramik ultrafiltrasi turbular dan penggunaannya pada penyaringan limbah tekstil organik berjenis azodye. Penelitian ini menunjukkan rejeksi terhadap senyawa organik dan pewarnanya sangat tinggi yaitu 98,5% dan 93%. Membran ultrafiltrasi dari bahan keramik ini dinilai lebih resisten dari membran polimer karena memiliki interaksi lemah terhadap foulant. Percobaan ini dilakukan dari hasil tes penyaringan membran keramik dan membran polimer terhadap air permukaan dan zat pewarna murni. Penyaringan dengan membran keramik akan menghasilkan permeat lebih murni dan laju alir yang konstan. Membran keramik juga mempunyai stabilitas kimia dan fisika tinggi, serta waktu pemakaian yang lebih panjang. Meskipun membran polimer mampu menyaring polutan berupa asam, basa, dan pelarut, membran keramik memiliki ketahanan dan waktu pemakaian yang lebih besar sehingga dapat dipertimbangkan sebagai pengganti membran polimer di industri. 4.3 Nanofiltrasi Nanofiltrasi merupakan membran dengan saringan lebih kecil dibandingkan ultrafiltrasi, namun lebih besar dibanding tahap reverse osmosis. Pada tahap ini sudah diperoleh hasil keluaran yang baik, sehingga dapat digunakan pada proses utama produksi dan finishing. Keunggulan dari nanofiltrasi adalah tekanan yang relatif rendah, yaitu 500-1000 kPa, retensi ion monovalent yang rendah dan penolakan ion monovalen 100%, permeabilitas pelarut yang tinggi, mudah dibersihkan dan mampu menahan suhu tinggi, sehingga menghemat energi yang diperlukan untuk memanaskan air segar. Ada beberapa penelitian yang menujukan peningkatan atau nilai tambah pada membran nanofiltrasi. Contohnya adalah penelitian mengenai penyaringan limbah pewarna anionik dengan sebuah film natrium kaboksimetil selulosapolipropilen. Membran ini akan berbentuk serat berongga untuk menaikkan efisiensi energi karena perbandingan luas terhadap volumenya besar. Teknologi membran ini memberikan nilai tambah pada konsumsi energi rendah dan pembersihannya mudah dibandingkan filteasi tangensial. Membran ini juga efektif untuk menyaring pewarna anionik dari larutan dengan pH rendah. Prinsip kerja dari membrane ini adalah adanya gaya tolak elektrostatik dari permukaan membran. Penelitian lain adalah evaluasi dari beberapa membrane NF berbentuk spiral wound. Membran ini dicobakan untuk menyaring efluen tekstil sekunder dengan konsentrasi berbeda-beda untuk mengetahui volume concentration factor dan fouling. Hasilnya, ada hubungan antara pengurangan fluks dengan kenaikan VCF. Nanofiltrasi mempunyai pengaruh besar terhadap rejeksi dan penggunaan ulang limbah tekstil. Akan tetapi, membran yang dijual secara komersial memiliki muatan negative pada permukaannya pada kondisi operasi normal dengan titil isoelektrik yang rendah, padahal nantofiltrasi dengan muatan positif memiliki potensi yang sangat besar pada penyaringan pewarna dari limbah, dengan sifat hidrofilik yang tinggi dan retensi kation yang sangat besar, sehingga dapat dikembangkan recovery dari makromolekul kationik pakai ulang dan rejeksi dari pewarna. NF membrane dengan muatan positif sudah dikembangkat oleh Cheng untuk meretensi metilen biru dan recovery dari limbah pewarna rumahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa NF bermuatan positif lebih unggul dibanding membran komersial. 4.4 Reverse Osmosis Reverse osmosis dilakukan untuk menghasilkan air dengan kandungan makromolekul, ion dan salinitas yang rendah. Pada tahap ini air sudah tidak berwarna lagi. Kekurangan dari proses ini adalah terbatasnya umpan apabila salinitas tinggi untuk menghindari fouling. Ada beberapa perbedaan kinerja dari reverse osmosis dan nanofiltrasi meskipun samasama menghasilkan kualitas permeat yang tinggi yang memadai untuk digunakan ulang pada proses utama. Pada percobaan yang dilakukan oleh Liu [28], dilakukan perbandingan evaluasi kualitas Sistem Terintegrasi Koagulasi/ultrafiltrasi permeat dari kedua jenis membran setiap proses. Hasil yang didapat adalah kedua permeat dari membran-membran tersebut sama-sama berkualitas baik dan menghemat energi karena proses daur ulang tersebut. Pada percobaan kedua dimana dipantau penolakan nanofiltrasi dan reverse osmosis, terlihat bahwa pada pengolahan limbah pewarna mengandung garam NaSO4 dengan indikator metil oranye terlihat bahwa penolakan pada reverse osmosis (99,99%) lebih tinggi dibanding nanofiltrasi (99%) akan tetapi retensi natrium, penghilangan TDS dan konduktivitasnya relatif sama satu dengan lainnya. 4.5 Elektrodialisis Elektrodialisis juga cukup populer dalam pengolahan limbah tekstil. Proses ini biasanya digunakan dalam pengurangan klorida. Proses dalam membrane elektrodialisis bipolar juga sangat populer dikarenakan efisiensinya melebihi membran reverse osmosis serta biaya yang lebih murah. Elektrodialisis ini dapat diaplikasikan kedalam proses terintegrasi untuk mengurangi beban evaporator yang dipasang setelah reverse osmosis. Beberapa penelitian yang mengaitkan elektrodialisis dengan penyaringan umpan berupa NaCl menunjukkan bahwa elektrodialisis unggul dalam penyaringannya dengan permeat murni serta biaya yang lebih murah dibanding evaporasi. CEDI (Continous Electrodeionisation) bertujuan untuk meminimalisasi polarisasi konsentrasi pada sistem elektrodialisis. CEDI dipasang bertujuan sebagai material konduktor penukar ion. 4.6 Proses Terintegrasi Pada limbah yang sangat kompleks, sistem terintegrasi akan mampu mereklamasi hingga permeat menjadi berkualitas tinggi kembali. Ada beberapa rancangan membran hybrid untuk mengatasi permasalahan ini, salah satunya adalah dengan menggabungkan beberapa jenis membran. Salah satu contohnya adalah studi yang membandingkan membran nanofiltrasi dan membran campuran ultra dan nanofiltrasi. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa retensi zat pewarna akan mencapai 95% retensi zat pewarna dan 80% retensi garam terlarut. Penggunaan membrane hybrid akan menjamin permeat yang ramah lingkungan dan mengurangi penggunaan energi. Selektivitas dan efektivitas juga dapat ditingkatkan dengan menggunakan kombinasi yang baik. Tabel 2. Penelitian membran hybrid untuk pengolahan limbah tekstil Karakteristik Limbah Effluen tekstil biasa Referensi Lee dkk 2009 Oksidasi Fenton/ proses membran bioreactor (MBR) Sequencing batch reactor (SBR)/nanofiltrasi(NF) Nanofiltrasi (NF)/biodegradasi anoksik Raw effluent of integrated dyeing wastewater treatment plant (IDWTP) dengan pewarna Reactive Blue 4 (RB4) Effluen tekstil sintetik dengan pewana Remazol Yellow RR, Remazol Blue RR and Remazol Red RR Limbah setelah mewarnai dan limbah pewarnaan.Jenis pewarna Helaktyn Blue F-R (CI Reactive Blue 4), Helaktyn Yellow F-5G (CI Reactive Yellow 1), Helaktyn Red Fe5B (CI Reactive Red 2). 5. Kesimpulan Batik dan tekstil merupakan warisan budaya negeri yang menghasilkan banyak keuntungan, namun merugikan lingkungan apabila limbah tidak diolah dengan baik. Limbah ini berupa sisa pemrosesan maupun air yang diperlukan dalam pendukung proses. Ada beberapa metode yang baik digunakan, antara lain absorbsi, sistem lumpur aktif dan bioremediasi. Akan tetapi, sistem ini kurang menjamin dalam keberlanjutan dan tidak praktis dalam aplikasinya. Dalam hal ini , membran dapat digunakan untuk menjawab permasalahan ini. Ada beberapa jenis membran yang biasa digunakan dalam pengolahan limbah, yaitu membran mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, reverse osmosis dan elektrodialisis. Mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi merupakan metode yang paling sederhana dan memiliki tekanan operasi yang rendah yaitu 2, akan tetapi polutan masih lolos pada 2 tahap ini sehingga hanya cocok digunakan pada pengolahan awal. Nano filtrasi dan ultrafiltrasi lebih unggul dalam menghasilkan permeat yang murni, akan tetapi apabila umpan dengan konsentrasi tinggi akan terjadi fouling sehingga ada persyaratan umpan yang harus dipenuhi agar penyaringan pada membran ini menjadi baik. Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dalam setiap membran, untuk itulah pemilihan Feng dkk 2010 Zuriaga-Agustí dkk 2010 Zyłła dkk 2006 membrane yang tepat sangat diperlukan. Untuk menjawab kekurangan membran, dilakukan beberapa penelitian dalam penggunaan membrane hybrid. Dalam beberapa penelitan, penggunaan beberapa membran dalam suatu sistem akan menaikkan efisiensi dari proses serta menghasilkan permeat yang lebih baik dan menjawab beberapa persoalan yang tidak bisa dipecahkan oleh penggunaan 1 jenis membran saja. Daftar Pustaka References 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. Al-Kdasi, A., Idris, A., Saed, K., & Guan, C. T. (2004). Treatment of textile wastewater by advanced oxidation processes—a review. Global nest: the Int. J, 6(3), 222-230. Barber, W. P., & Stuckey, D. C. (1999). The use of the anaerobic baffled reactor (ABR) for wastewater treatment: a review. Water Research, 33(7), 1559-1578. Lotito, A. M., Fratino, U., Mancini, A., Bergna, G., & Di Iaconi, C. (2012). Effective aerobic granular sludge treatment of a real dyeing textile wastewater. International biodeterioration & biodegradation, 69, 62-68. Türgay, O., Ersoz, G., Atalay, S., Forss, J., Welander, U., 2011. The treatment of azo dyes found in textile industry wastewater by anaerobic biological method and chemical oxidation. Sep. Purif. Technol. 79, 26-33. Dasgupta, J., Sikder, J., Chakraborty, S., Curcio, S., & Drioli, E. (2015). Remediation of textile effluents by membrane based treatment techniques: a state of the art review. Journal of environmental management, 147, 55-72. Liu, M., Lü, Z., Chen, Z., Yu, S., & Gao, C. (2011). Comparison of reverse osmosis and nanofiltration membranes in the treatment of biologically treated textile effluent for water reuse. Desalination, 281, 372-378. Abdel-Shafy, H. I., El-Khateeb, M. A., & Mansour, M. S. (2016). Treatment of leather industrial wastewater via combined advanced oxidation and membrane filtration. Water Science and Technology, 74(3), 586-594. Juang, Y., Nurhayati, E., Huang, C., Pan, J.R., Huang, S., 2013. A hybrid electrochemical advanced oxidation/microfiltration system using BDD/Ti anode for acid yellow 36 dye wastewater treatment. Sep. Purif. Technol. 120, 289-295. Tahri, N., Jedidi, I., Cerneaux, S., Cretin, M., Ben Amar, R., 2013. Development of an asymmetric carbon microfiltration membrane: application to the treatment of industrial textile wastewater. Sep. Purif. Technol. 118, 179e187. Zuriaga-Agustí, E., Alventosa-deLara, E., Barredo-Damas, S., Alcaina-Miranda, M.I. Iborra-Clar, M.I., Mendoza-Roca, J.A., 2014. Performance of ceramic ultrafiltration membranes and fouling behavior of a dye-polysaccharide binary system. Water Res. 54, 199210. Lee, B.-B., Choo, K.-H., Chang, D., Choi, S.-J., 2009. Optimizing the coagulant dose to control membrane fouling in combined coagulation/ultrafiltration systems for textile wastewater reclamation. Chem. Eng. J. 155, 101-107. Feng, F., Xu, Z., Li, X., You, W., Zhen, Y., 2010. Advanced treatment of dyeing wastewater towards reuse by the combined Fenton oxidation and membrane bioreactor process. J. Environ. Sci. 22, 1657-1665. Wenten, I. G., Khoiruddin, K., Hakim, A. N., & Himma, N. F. (2017). The Bubble Gas Transport Method. Membrane Characterization, 199, Elsevier. Sianipar, M., Kim, S. H., Iskandar, F., & Wenten, I. G. (2017). Functionalized carbon nanotube (CNT) membrane: progress and challenges. RSC Advances, 7(81), 51175-51198. Aryanti, P. T. P., Yustiana, R., Purnama, R. E. D., & Wenten, I. G. (2015). Performance and characterization of PEG400 modified PVC ultrafiltration membrane. Membrane Water Treatment, 6(5) 379-392. Zuriaga-Agustí, E., Iborra-Clar, M.I., Mendoza-Roca, J.A., Tancredi, M., Alcaina- Miranda, M.I., Iborra-Clar, A., 2010. Sequencing batch reactor technology coupled with nanofiltration for textile wastewater reclamation. Chem. Eng. J.161, 122-128. Zyłła, R., Sojka-Ledakowicz, J., Stelmach, E., Ledakowicz, S., 2006. Coupling ofmembrane filtration with biological methods for textile wastewater treatment. Desalination 198, 316-325. Wardani, A. K., Hakim, A. N., Khoiruddin & Wenten, I. G. (2017). Combined ultrafiltration-electrodeionization technique for production of high purity water. Water Science and Technology, 75(12): 28912899. Aryanti, P. T. P., Joscarita, S. R., Wardani, A. K., Subagjo, S., Ariono, D., & Wenten, I. G. (2016). The Influence of PEG400 and Acetone on Polysulfone Membrane Morphology and Fouling 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. Behaviour. Journal of Engineering and Technological Sciences, 48(2), 135-149. Mara, D., & Horan, N. J. (Eds.). (2003). Handbook of water and wastewater microbiology. Academic press. Usada, W., Suryadi, S., & Purwadi, A. (2010). Proses Ozonisasi pada Limbah Cair Industri Gula. Jurnal Kimia Indonesia, 2(1). Suprihatin, Hasti. 2014. Kandungan Organik Limbah Cair Batik Jetis Sidoarjo dan Alternatif Pengolahannya. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau, Riau. Ulum, Ihyaul. 2016. Batik dan Kontribusinya Terhadap Perekonomian Nasional. Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. Ningsih, D.N. 2015. Dampak Ekonomi Ekspor Perdagangan Batik Indonesia ke Amerika Serikat. Universitas Riau, Riau. H.MJ. Lemmens dan N Wulijarni-Soetjipto (1999), Sumber Daya Nabati Asia Tenggara, No 3 “Tumbuhan Penghasil Pewarna dan Tanin”, Balai Pustaka, Jakarta Isminingsih.1978. Pengantar Kimia Zat Warna. STTT Bandung Sewan Susanto (1973), Seni Kerajinan Batik Indonesia, BPKB, Yogyakarta MerckMillipore. Material Safety Data Sheet (Naftol) Material Safety Data Sheet (Rhemazol Black) Material Safety Data Sheet (Rhemazol Red) Material Safety Data Sheet (Rhemazol Golden Yellow) Susanto, S. (1973), Seni Kerajinan Batik Indonesia, BPKB, Yogayakarta Suprihatin, Hasti. 2014. Kandungan Organik Limbah Cair Industri Batik Jetis Sidoarjo dan Alternatif Pengolahannya. Institut Teknologi Pembangunan Surabaya. Surabaya Hasan, Kevino. 2016. Pengolahan Limbah Tekstil dengan Teknologi Membran. Institut Teknologi Bandung. Bandung Ningtyas, R. 2015. Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif. Bandung. Institut Teknologi Bandung Sholichin, M., Pengelolaan air limbah: Proses pengolahan air limbah tersuspensi, Jurusan Teknik Pengairan, Universitas Brawijaya, 2012. Anderson, P., “Activated sludge design, startup, operation, monitoring, and troubleshooting”, Ohio Water Environment Association, 2010. Snyder, R.; Wyant, D., “Activated sludge process control”, State of Michigan Department of Environmental Quality Sustarsic, M., “Wastewater treatment: Understanding the Activated Sludge Process”, Tetra Tech NUS, 2009. Gerard J. Tortora, Berdell R. Funke, Christine L. Case. - 10th ed, 2010, Microbiology: an introduction Dutta, B.K., 2007. Principles of Mass Transfer and Separation Processes. PHI Learning Pvt. Ltd., New Delhi Ariono, D., Purwasasmita, M., & Wenten, I. G. (2016). Brine Effluents: Characteristics, Environmental Impacts, and Their Handling. Journal of Engineering and Technological Sciences, 48(4), 367-387.