Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 35 No. 2, Desember 2017: 91-105 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/fae.v35n2.2017.91-105
91
IRIGASI KECIL: KINERJA, MASALAH, DAN SOLUSINYA
Small Scale Irrigation: Performance, Problems, and Solutions
Tri Bastuti Purwantini, Rita Nur Suhaeti
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jalan Tentara Pelajar No. 3B, Bogor 16111
*Korespondensi penulis. E-mail:
[email protected],id
Naskah diterima: 10 November 2017
Direvisi: 13 Desember 2017
Disetujui terbit: 29 Februari 2018
ABSTRACT
Irrigation facilities is one of the key factors in farming, especially for food crop farming, including rice. A smallscale irrigation system has an area of less than 500 hectares, and it is the backbone of family food security which
in turn will lead to national food security. Damage irrigation system networks will threaten food production
increase. In the future, irrigation infrastructure must be better managed so that agricultural sector can realize
agricultural diversification, conserve wider irrigation system and maintain local wisdom and social capital in
irrigation management. The objective of the paper is to analyze performance, problems and solutions of small
irrigation systems in Indonesia, including small irrigation concepts and understanding, small irrigation
performance and development, small irrigation development policies, factors affecting smallscale irrigation
development, investments, and prospects. The paper also compares various performances, problems and
solutions of small irrigation systems in other countries. Small scale irrigation performance is often better than
large-scale irrigation, in the sense of water availability throughout the year and equitable water distribution for all
service areas.
Keywords: small scale irrigation, performance, roles, prospects
ABSTRAK
Sarana irigasi merupakan faktor penting dalam usaha tani khususnya tanaman pangan. Sistem irigasi kecil
dengan luas oncoran kurang dari 500 ha merupakan tulang punggung ketahanan pangan keluarga yang pada
gilirannya bermuara pada ketahanan pangan tingkat nasional. Kerusakan jaringan sistem irigasi akan
mengancam peningkatan produksi pangan. Di masa yang akan datang, infrastruktur irigasi harus dikelola secara
lebih baik agar sektor pertanian dapat mewujudkan diversifikasi pertanian, semakin luasnya konservasi sistem
irigasi, serta kearifan lokal dan modal sosial dalam pengelolaan irigasi dapat terpelihara. Tulisan ini bertujuan
menganalisis kinerja, masalah dan solusi sistem irigasi kecil di Indonesia, termasuk konsep dan pengertian irigasi
kecil, kinerja dan perkembangan irigasi kecil, kebijakan pengembangan irigasi kecil, faktor-faktor yang
mempengaruhi pengembangan investasi irigasi kecil, dan prospek pengembangan irigasi kecil. Dalam tulisan ini
juga dibandingkan berbagai kinerja, masalah dan solusi dari sistem irigasi kecil di negera-negara lain. Kinerja
irigasi kecil seringkali lebih baik dari irigasi skala besar, dalam arti ketersediaan air sepanjang tahun dan terdapat
keadilan pembagian air untuk seluruh wilayah oncorannya.
Kata kunci: irigasi kecil, kinerja, peran, prospek
PENDAHULUAN
Sarana irigasi merupakan faktor input yang
dapat memengaruhi produksi pangan. Hasil
penelitian Damayanti (2012) di Kabupaten Parigi
Moutong mengungkapkan bahwa irigasi dapat
meningkatkan produksi usaha tani padi sawah
sebesar 3,98 %. Selain itu irigasi juga dapat
meningkatkan pendapatan usaha tani sebesar
1,44 %. Pada masa yang akan datang, upaya
untuk peningkatan produksi pertanian dan
pendapatan petani akan semakin terkendala
oleh kelangkaan air irigasi. Selain disebabkan
meningkatnya kompetisi penggunaan air antar
sektor
perekonomian,
meningkatnya
kelangkaan itu juga berkaitan dengan adanya
degradasi fungsi jaringan irigasi (Sumaryanto
2006). Fenomena perubahan iklim akhir-akhir
ini juga berpengaruh terhadap degradasi fungsi
irigasi.
Data dari Ditjen SDA (2016)
menunjukkan kerusakan jaringan irigasi sampai
dengan tahun 2014 di Indonesia mencapai lebih
50 %, walaupun rehabilitasi sarana irigasi terus
dilakukan, namun belum signifikan mengatasi
kerusakan
tersebut.
Untuk
mendukung
pencapaian
swasembada
pangan
dan
92
keberlanjutannya, pemerintah memutuskan
pada periode 2015 – 2019 akan melakukan
rehabilitasi dan membangun infrastruktur irigasi
secara masif (Sumaryanto et al. 2016).
Pasandaran (2007) mengungkapkan bahwa
pembangunan irigasi di Indonesia telah
berlangsung ribuan tahun. Namun demikian
pengembangan jaringan irigasi relatif terbatas,
bahkan
fungsi
air
irigasi
menurun
pemanfatannya akibat dari laju kerusakan
jaringan irigasi lebih cepat dari laju perbaikan
atau rehabilitasinya (Rivai et al. 2013). Dalam
rangka upaya khusus (Upsus) peningkatan
produksi pangan strategis, maka pemerintah
dalam 2 tahun terakhir (2015 dan 2016) telah
melakukan rehabilitasi jaringan irigasi dengan
realisasi sekitar 3,05 juta hektar sawah yang
menyebar di
seluruh wilayah pertanian di
Indonesia. Terdapat periode-periode tertentu
yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan
infrastruktur irigasi untuk dapat dijadikan
pelajaran pada masa yang akan datang
(Pasandaran 2007). Dikemukakan lebih lanjut
bahwa perkembangan pembangunan dan
pengelolaan infrastruktur irigasi dari perspektif
sejarah sangat erat kaitannya dengan
ketahanan pangan nasional.
Hal tersebut di atas sesuai dengan pendapat
Deribie (2015), Bagson dan Kuuder (2013),
serta Gebrehiwot et al. (2015) bahwa
keberadaan irigasi kecil sangat mendukung
perbaikan ketahanan pangan keluarga petani
terutama pada saat musim kering. Penelitian
Bacha et al. (2009) menunjukkan bahwa irigasi
bermanfaat untuk mengurangi kemiskinan.
Amede (2014) menyatakan bahwa selain
mencapai ketahanan pangan, irigasi kecil juga
memainkan peran penting dalam mendukung
petani beradaptasi dengan perubahan iklim dan
meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Asayehegn (2012) menyebutkan bahwa irigasi
kecil dapat memperbaiki tingkat pendapatan
petani karena adanya diversifikasi dan
intensifikasi
usaha
tani,
memperluas
kesempatan kerja pada usaha tani, di luar
usaha tani, sumber pakan, peningkatan derajat
kesehatan karena perbaikan diet dan akses
terhadap pelayanan kesehatan, pencegahan
kerusakan tanah dan lingkungan serta pemilikan
aset produktif. Sejalan dengan itu, Mengistie
dan Kidane (2016) menyatakan bahwa
keberadaan irigasi kecil dapat meningkatkan
pendapatan petani melalui diversifikasi tanaman
yang
menciptakan
produksi
pertanian,
peningkatan pendapatan rumah tangga hampir
4,5 kali, kesempatan kerja, keikutsertaan dalam
pengambilan
keputusan
pada
tingkat
komunitasnya.
Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 35 No. 2, Desember 2017: 91-105
Dalam rangka mempercepat pencapaian
swasembada pangan dan peningkatan produksi
komoditas strategis, selama dua tahun terakhir
Kabinet Kerja era Pemerintahan Jokowi melalui
Kementerian Pertanian melakukan percepatan
perbaikan
jaringan
irigasi
dan
sarana
pendukungnya (Ditjen PSP 2015). Yihdego et
al. (2015) mengemukakan bahwa kehilangan air
serta serangan hama dan penyakit tanaman
adalah masalah paling umum dalam irigasi
skala kecil. Pengurus irigasi kecil harus bekerja
sebaik-baiknya
untuk
menjaga
kualitas,
ekspansi dan distribusi irigasi skala kecil dengan
mencari solusi dan meringankan tantangan
yang dihadapi dalam menggunakan irigasi skala
kecil.
Pengelolaan infrastruktur irigasi
yang
menunjang irigasi masa depan diperlukan untuk
terlaksananya multifungsi pertanian yaitu
terwujudnya proses diversifikasi pertanian
secara meluas, meningkatnya fungsi konservasi
sistem irigasi, dan terpeliharanya warisan nilainilai budaya berupa kearifan lokal dan modal
sosial dalam pengelolaan irigasi (Pasandaran
2007). Dalam rangka pengelolaan sumber daya
air (irigasi) yang efisien, dan berdimensi
pemberdayaan petani diperlukan penyesuain
kelembagaan,
baik
untuk
kelembagaan
pemerintah, swasta maupun petani (Rachman
2009).
Pengelolaan
irigasi
memerlukan
kelembagaan pengelolanya yaitu kepengurusan
dan anggota serta berbagai norma yang
menyertainya,
agar
efisien
dalam
pemanfaatannya dan
tetap berkelanjutan.
Dalam sistem irigasi, modal sosial merujuk pada
sesuatu yang mendukung dan memungkinkan
semua distribusi air dengan kriteria tepat jumlah
dan tepat waktu untuk semua petani dalam satu
daerah irigasi (Rivai et al. 2013).
Operasional infrastuktur irigasi di lapang,
memerlukan
biaya
operasional
dan
pemeliharaan
agar
keberlanjutan
dalam
pemanfaatan sarana irigasi terjaga. Penundaan
pemeliharaan dan kooptasi pengelolaan irigasi
yang dikelola oleh masyarakat hendaknya
dihindari karena akan mempercepat degradasi
sistem irigasi dan memperlemah kemampuan
masyarakat tani dalam pengelolaan irigasi.
Untuk itu modal sosial dalam memelihara irigasi
perlu dipulihkan dan disiplin birokrasi dalam
pemeliharaan infrastruktur irigasi perlu diperkuat
(Pasandaran 2007). Sehubungan dengan latar
belakang di atas maka tulisan ini secara umum
bertujuan
untuk
melihat
kinerja
irigasi
khususnya irigasi kecil, permasalahannya serta
solusi untuk menghadapi kendala dan masalah
serta
solusi
sebagai
peluang
pengembangannya. Tulisan ini bertujuan untuk
IRIGASI KECIL: KINERJA, MASALAH, DAN SOLUSINYA Tri Bastuti Purwantini, Rita Nur Suhaeti
mengkaji mengenai: (1) konsep dan pengertian
irigasi kecil, (2) kinerja dan perkembangan
irigasi kecil, (3) kebijakan pengembangan irigasi
kecil, (4) faktor-faktor yang memengaruhi
pengembangan investasi irigasi kecil, dan (5)
prospek pengembangan irigasi kecil.
KONSEP DAN PENGERTIAN IRIGASI KECIL
Irigasi merupakan salah satu pemanfaatan
dari sumber daya air. Pengertian Irigasi yang
tertuang pada PP no 20. tahun 2006 adalah
usaha
penyediaan,
pengaturan,
dan
pembuangan air untuk menunjang pertanian
yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi
rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan
irigasi tambak. Sementara sistem irigasi meliputi
prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi,
kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sumber
daya
manusia.
Sistem
irigasi
dapat
dikategorikan menjadi empat kelompok yakni:
(a) Sistem irigasi permukaan (surface irrigation
system); (b) Sistem irigasi bawah permukaan
(sub surface irrigation system); (c) Sistem irigasi
dengan pancaran (sprinkle irrigation); dan (d)
Sistem irigasi tetes (drip irrigation).
Dalam tulisan ini bahasan sistem irigasi
hanya
ditekankan
pada
sistem
irigasi
permukaan. Sistem irigasi permukaan terjadi
dengan menyebarkan air ke permukaan tanah
dan membiarkan air meresap (infiltrasi) ke
dalam tanah. Air dibawa dari sumber ke lahan
melalui saluran terbuka baik dengan atau tanpa
lining maupun melalui pipa dengan head rendah
(Soemarto 1999). Investasi yang diperlukan
untuk mengembangkan irigasi permukan relatif
lebih kecil dari pada irigasi curah maupun tetes
kecuali bila diperlukan pembentukan lahan,
seperti untuk membuat teras. Sistem irigasi
permukaan dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu peluapan dan penggenangan bebas (tanpa
kendali) serta peluapan penggenangan secara
terkendali. Sistem irigasi permukaan yang paling
sederhana adalah peluapan bebas dan
penggenangan. Untuk sistem irigasi tersebut air
diberikan pada areal irigasi dengan jalan
peluapan untuk menggenangi kiri atau kanan
sungai yang mempunyai permukaan datar.
Sistem ini mempunyai efisiensi yang rendah
karena penggunaan air tidak terkontrol.
Sementara sistem irigasi permukaan lainnya
adalah peluapan dan penggenangan secara
terkendali. Untuk itu cara yang umum digunakan
adalah dengan menggunakan bangunan
penangkap, saluran pembagi saluran pemberi,
dan peluapan ke dalam petak-petak lahan
93
beririgasi.
Jenis
bangunan
penangkap
bermacam-macam, diantaranya adalah: (1)
bendung, (2) intake, dan (3) stasiun pompa.
Konsep irigasi yang selama ini berkembang
adalah
bagaimana
mengakuisisi
air,
menyalurkannya ke lahan-lahan pertanian
sesuai kebutuhan, dan membuang kelebihannya
manakala berlebih (Sumaryanto, 2013). Dapat
dikatakan bahwa irigasi merupakan suatu
kegiatan dengan tujuan untuk mendapatkan air
guna menunjang kegiatan pertanian, untuk itu
dilakukan dengan usaha pembuatan bangunan
dan jaringan saluran untuk membawa dan
membagi air secara teratur ke petak-petak yang
sudah dibagi. Fungsi irigasi seperti yang
termaktup dalam PP no 20 tahun 2006 adalah
mendukung
produktivitas
usahtani
guna
meningkatkan produksi pertanian dalam rangka
ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan
masyarakat, khususnya petani, yang diwujudkan
melalui keberlanjutan sistem irigasi.
Rivai et al. (2013) mendefinisikan bahwa
irigasi kecil adalah daerah irigasi yang luas
layanannya kurang dari 1.000 hektar. Lebih
lanjut dikemukakan bahwa pengembangan
irigasi kecil (termasuk irigasi pompa) yang
dilakukan oleh petani dan swasta lebih banyak
pada skala menengah dan kecil, sedangkan
pengembangan irigasi pompa yang dibantu oleh
Pemerintah lebih banyak pada irigasi pompa
berskala menengah-besar. Uraian di atas
menunjukkan bahwa irigasi kecil mengacu pada
terbatasnya luasan areal yang dapat dilayani
irigasi. Namun demikian luas layanan/oncoran
bukan satu-satunya kriteria untuk irigasi kecil.
Sumaryanto (2013) mengemukakan bahwa
belum ada definisi yang tegas mengenai istilah
sistem irigasi kecil.
Untuk menjelaskan bahwa suatu sistem
irigasi dikatakan sistem irigasi kecil, maka
Sumaryanto (2013) mengklasifikasikan bahwa
suatu sistem irigasi kecil dikategorikan dengan
melihat
karateristiknya.
Lebih
lanjut
diungkapkan bahwa karaktersitik tersebut
adalah: (1) Hampir semua sistem irigasi yang
pembangunannya dilakukan oleh komunitas
lokal adalah sistem irigasi kecil, (2) Hampir
semua sistem irigasi kecil bercirikan dengan
teknologi tepat guna dan untuk itu maka
rancang bangun
infrastruktur fisik akuisisi
sumber daya air, sistem distribusi, maupun
drainase berbasis pendekatan hemat biaya dan
pengoperasiannya
sederhana,
(3)
Pada
umumnya
sistem
perencanaan
dan
pelaksanaan
pembangunan
irigasi
kecil
dilakukan secara kolektif masyarakat setempat,
94
(4) Organisasi pengelolaan irigasi (operasi dan
pemeliharaan) terkait atau bahkan berbasis
kelembagaan lokal yang dianut
komunitas
setempat, (5) Upaya yang ditempuh untuk
mengkoordinasikan keberlanjutan sistem irigasi
tersebut terintegrasikan dalam penerapan
prinsip usaha tani berkelanjutan. Dengan
mengetahui ciri dan karaktersitik tersebut maka
banyak ditemukan irigasi kecil di Indonesia.
Sistem irigasi kecil mencakup juga irigasi
pompa. Irigasi pompa ini selain dilakukan oleh
individu, secara berkelompok komunitas petani
maupun pemerintah membangun unit-unit irigasi
pompa dengan sumber sadapan air permukaan
(air sungai atau situ/danau).
KINERJA DAN PENGEMBANGAN IRIGASI
KECIL
Secara makro kerusakan jaringan irigasi di
Indonesia
cukup
besar.
Berdasarkan
inventarisasi kondisi jaringan irigasi pada tahun
2014 (Ditjen SDA 2016) menunjukkan dari
7,145 juta hektar luas areal irigasi permukaan di
seluruh Indonesia, 77,23% daerah irigasi
kewenangan pemeritah pusat dalam kondisi
baik yakni naik 23,23% dari tahun 2010; 4%
dalam kondisi rusak ringan; 13,87% dalam
kondisi rusak sedang dan 4,9% dalam kondisi
rusak berat. Untuk daerah irigasi kewenangan
provinsi 46,59% dalam kondisi baik yaitu naik
7,59% dari tahun 2010; 16,45% dalam kondisi
rusak ringan; 16,52% dalam kondisi rusak
sedang; dan 20,44% dalam kondisi rusak berat.
Sementara untuk daerah irigasi kewenangan
pemerintah kabupaten/kota, hanya 40,95%
dalam kondisi baik (turun 7,04% dari tahun
2010), sedangkan sisanya 18,38% dalam
kondisi rusak ringan, 18,87% dalam kondisi
rusak sedang, dan 21,80% dalam kondisi rusak
berat. Dengan kondisi jaringan irigasi yang
banyak rusak, maka diperlukan rehabilitasi
jaringan irigasi .
Terkait dengan upaya mempertahankan
swasembada beras dan agar Indonesia tidak
impor beras lagi, maka diperlukan terobosan
dalam pengelolaan irigasi (Pasandaran 2007),
mengingat pasokan pangan sangat ditentukan
oleh ketersediaan air irigasi (Sumaryanto 2013).
Terkait hal tersebut Pasandaran (2007)
mengungkapkan bahwa beberapa pendekatan
yang diperlukan antara lain melalui eksplorisasi
kawasan yang dianggap layak membangun
infrastruktur irigasi. Pengembangan infrastruktur
irigasi hendaknya dapat dilakukan secara
bertahap termasuk pembangunan kelembagaan
Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 35 No. 2, Desember 2017: 91-105
pengelolaan air irigasi yang diperlukan. Dalam
hal ini jelas bahwa dalam pengembangan
irigasi, diperlukan persiapan kelembagaan yang
mengelola irigasi tersebut. Oleh karena itu
diperlukan tatanan kelembagaan yang baik
agar pengelolaan air irigasi efisien dan optimal
dalam melayani oncoran sesuai kebutuhan
tanaman di suatu wilayah yang tercakup dalam
daerah irigasi tertentu.
Hasil pembangunan/pengembangan irigasi
kecil menunjukkan kinerja hasil yang berbeda
antara sistem tender dan swakelola masyarakat.
Hasil kajian Rivai et al. (2008) menunjukkan
bahwa pembangunan irigasi yang melibatkan
partisipasi masyarakat (swadaya) setempat
memberikan kinerja lebih baik dibanding dengan
pembangunan irigasi yang dilakukan oleh
konsultan.
Hasil yang sama dikemukakan
Saliem et al. (2015) menunjukkan bahwa
pelaksanaan swakelola dalam rehabilitasi
jaringan irigasi tersier (RJIT) di lokasi UPSUS
Pajale di Wonogiri, Sukoharjo dan Klaten
berjalan lebih baik dibanding bila dilakukan
dengan sistem tender. Baik dari kelancaran
kegiatan maupun kualitas bangunan irigasi.
Pelajaran yang berharga bahwa potensi
partisipasi
masyarakat
dalam
kegiatan
pembangunan tidak bisa diabaikan, termasuk
pembangunan
irigasi
kecil.
Pendekatan
partisipatif yang dilakukan dalam kegiatan
investasi
pembangunan
pertanian
dan
perdesaan ini juga telah menggugah kesadaran
petani untuk memelihara aset yang dibangun
secara kolektif.
Pengembangan irigasi kecil sebagai salah
satu instrumen kebijakan dalam pembangunan
pertanian berfungsi untuk mencapai sasaran
antara dalam bentuk perubahan pola tanam
serta peningkatan intensitas tanam dan
produktivitas
dalam
rangka
mendukung
pencapaian sasaran akhir berupa peningkatan
produksi pertanian dan pendapatan petani.
Pengembangan irigasi kecil dengan fungsi
sebagai substitusi maupun sebagai suplesi
irigasi gravitasi meningkatkan secara nyata luas
lahan yang digarap petani. Terjadinya
peningkatan derajat ketersediaan air irigasi
sebagai output pengembangan irigasi kecil,
cenderung membuat petani tetap memilih
mengusahakan
padi
bahkan
mengganti
komoditas nonpadi dengan padi, sehingga
diversifikasi pertanian kurang berkembang
(Purwoto et al. 1999).
Dalam kondisi tertentu, petani biasanya
berusaha mendapatkan pelayanan irigasi untuk
kebutuhan usaha pertaniannya. Menurut
Saptana et al. (2001)
beberapa alasan
IRIGASI KECIL: KINERJA, MASALAH, DAN SOLUSINYA Tri Bastuti Purwantini, Rita Nur Suhaeti
kemandirian petani dalam mengembangkan
investasi irigasi kecil adalah: (1) salah satu cara
untuk mengurangi risiko usaha tani; (2)
pendukung utama keberhasilan usaha tani; (3)
untuk meningkatkan pendapatan usaha tani;
dan (4) berkembangnya beberapa komoditas
komersial seperti sayuran dan palawija.
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM
PENGEMBANGAN IRIGASI KECIL
Peran Pemerintah dalam Pengembangan
Irigasi
Kebijakan pemerintah yang terkait dengan
aturan penggunaan air dapat dicermati melalui
peraturan yang dituangkan dalam undangundang (UU).
Dalam perspektif sejarah
menurut Pasandaran (2015) bahwa Indonesia
mengalami 3 generasi UU terkait dengan air,
yaitu Algemeen Water Reglement tahun 1936,
UU No. 11 tahun 1974 tentang pengairan dan
UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Ketiga generasi UU tersebut dipicu oleh
berbagai faktor sebagai respon terhadap
berbagai kepentingan politik yang muncul.
Dalam uraian lebih lanjut Pasandaran (2015)
menjelaskan bahwa pelajaran berharga pada
UU generasi yang pertama adalah berhasil
membangun ribuan hektar irigasi dan kualitas
irigasi yang sangat baik. Proses perencanaan
dan uji coba UU ini selama hampir 20 tahun
membuat UU ini sangat implementatif. Pelajaran
penting dari UU pengairan generasi kedua,
yaitu UU No 11 tahun 1974 terkait dengan
proses koordinasi ditunjang oleh komitmen
politik yang kuat, dan berhasil mewujudkan
swasembada beras. Pengelolaan irigasi pada
zaman itu dilakukan secara sentralistik. UU
generasi ketiga, yaitu UU No 7 tahun 2004
dipicu oleh faktor krisis ekonomi, sehingga
manajemen irigasi diserahkan ke masyarakat.
Lebih banyak sekat birokrasi dibanding UU
sebelumnya, swasta lebih dominan dan akses
publik terbatas.
UU ini sarat dengan
kepentingan
politik,
yaitu
memperkuat
kewenangan birokrasi politik dan politik
anggaran
untuk
pembangunan
SDA.
Kelemahan UU air generasi ketiga ini adalah
masalah kooordinasi. Pertimbangan MK dalam
pembatalan UU No 7 tahun 2004 adalah: (1)
Setiap pengguna air tidak boleh mengganggu,
mengesampingkan dan meniadakan hak rakyat
atas air; (2) Negara memenuhi hak rakyat atas
air; (3) Mengingat kelestarian lingkungan hidup;
(4) Pengawasan dan pengendalian oleh negara
95
bersifat mutlak; dan (5) Prioritas pengusahaan
air oleh BUMN dan BUMD.
Terkait pembatalan MK terhadap UU air
generasi ketiga maka harus dipikirkan rencana
UU air generasi keempat yang merefleksikan
prinsip-prinsip Good Water Governance. Prinsip
-prinsip dalam membangun Good Water
Governance: (1) UU SDA harus mampu
berkontribusi dalam pengelolaan sumber daya
lingkungan (ecosystem service), (2) UU harus
mampu mendukung terwujudnya ketangguhan
sosial secara lintas batas, (3) UU harus mampu
membangun etika bisnis sehingga pengelolaan
air oleh swasta tidak bersifat eksploitasif. Untuk
itu diperlukan harmonisasi dengan UU yang lain
(koordinasi) dan ujicoba dalam skala yang
besar. Dalam upaya menciptakan pengelolaan
sumber daya air yang efisien dan merata dalam
pengalokasiannya
diperlukan
penyesuain
kelembagaan
baik
untuk
kelembagaan
pemerintah, swasta maupun petani (Rachman
2009).
Penggunaan air
dominan untuk
pertanian atau irigasi.
Semakin langkanya
sumber air untuk irigasi maka perlu diatur agar
pemanfaatan irigasi tersebut efisien.
Kebijakan
pemerintah
tentang
irigasi
merupakan salah satu faktor yang memengaruhi
kinerja/kondisi irigasi, hal ini sejalan dengan
perubahan peraturan perundang-undangan dan
kebijakan pemerintah tentang irigasi dan
implementasinya.
Terkait
dengan
pembangunan irigasi, menurut Pasandaran
(2005) ada beberapa pelajaran yang diperoleh
dalam upaya menghasilkan berbagai produk
kebijakan. Pertama, perlunya upaya rintisan
atau uji coba untuk mempelajari apakah sesuatu
instrumen kebijakan dapat dilaksanakan.
Kedua, perlunya evaluasi ‘ex post” terhadap
proses yang sedang berjalan, dan jika uji coba
tersebut berhasil, maka formalisasi kebijakan
dilakukan dan pada fase kedua dilanjutkan
dengan perluasan investasi. Ketiga, sejalan
dengan perluasan investasi irigasi, perlu
dilakukan merintis pembangunan kelembagaan
pengelolaan irigasi yang telah dimulai
pelaksanaannya sebelum kebijakan irigasi
diumumkan dan pada fase ketiga dapat
dianggap sebagai pemantapan, baik proses
pembangunan
prasarana
fisik
maupun
kelembagaan.
Peran pemerintah dalam pengembangan
irigasi kecil, seperti yang dikemukakan
Sumaryanto (2013) meliputi beberapa aspek
yaitu: (1) Pendanaan: bantuan pemerintah
dalam pendanaan pengembangan sistem irigasi
kecil sebaiknya tidak hanya ditujukan untuk
96
aspek pembangunan konstruksi baru, tetapi
juga mencakup pendanaan untuk rehabilitasi.
Dalam
rangka
meningkatkan
efisiensi
penggunaan
anggaran,
maka
skim
pendanaannya juga perlu disesuaikan dengan
kondisi obyektif di lapangan, bentuk Bansos
(bantuan cuma-cuma), bantuan bergulir dan
atau pinjaman lunak; (2) Bantuan teknis: bentuk
bantuan teknis yang diperlukan mencakup
aspek konstruksi irigasi, sistem operasi dan
pemeliharaan irigasi, sistem usaha tani, dan
kelembagaan pengelolaan irigasi.
Supaya
efisien, bantuan tersebut tidak perlu seragam
tetapi disesuaikan dengan kebutuhan di
lapangan. Khusus untuk bantuan teknis dalam
aspek kelembagaan, pendekatan yang lebih
sesuai adalah pendampingan dan mencakup
tahapan
sejak
perencanaan
sampai
pengelolaan irigasi yang orientasinya adalah
untuk mendukung sistem usaha tani yang
berkelanjutan;
(3)
Pelestarian
wilayah
tangkapan air, keberlanjutan sistem irigasi
sangat dipengaruhi oleh kelestarian wilayah
tangkapan air. Kondisi ini tidak hanya berlaku
untuk sistem irigasi besar, tetapi juga untuk
sistem irigasi kecil. Pada umumnya penerima
manfaat utama air irigasi adalah penduduk di
kawasan yang lebih hilir, disisi lain penduduk
yang bersentuhan langsung dengan wilayah
tangkapan air berada di hulu dan bukan
pemanfaat utama air irigasi. Dengan demikian,
maka peran pemerintah sangat diperlukan agar
konstribusi wilayah tangkapan air sebagai salah
satu determinan keberlanjutan irigasi tetap
terpelihara; (4) Pengelolaan konflik: jika sumber
sadapan untuk masing-masing unit berasal dari
satu lokasi yang sama maka ketika terjadi
kelangkaan air meningkat, potensi timbulnya
konflik akibat perebutan sumber daya juga
meningkat. Sampai saat ini sebagian besar
penyelesaian konflik akibat kondisi tersebut
dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri.
Namun demikian seiring dengan semakin
meningkat kelangkaan sumber daya air dan
tekanan hidup, maka potensi konflik sangat
mungkin terjadi. Institusi yang secara normatif
harus bertanggungjawab, mempunyai otorita
yang sah, dan memiliki instrumen untuk
menegakkan aturan untuk mengatasi konflik
seperti di atas adalah pemerintah. Untuk itu
implementasinya harus mengakomodasikan
nilai-nilai sosial budaya pihak-pihak yang terkait,
karena pendekatan berbasis hukum formal saja
belum tentu dapat digunakan secara efektif.
Dari
uraian
tersebut,
bahwa
dalam
pengembangan irigasi kecil peran pemerintah
masih sangat diperlukan. Dengan fasilitasi hal-
Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 35 No. 2, Desember 2017: 91-105
hal yang terkait dengan pengembangan irigasi
kecil dari hulu sampai hilir.
Kegiatan Program Pengembangan Irigasi
Kecil
Program Peningkatan Pendapatan Petani
Melalui Inovasi (P4MI) adalah suatu program
pemberdayaan masyarakat tani melalui inovasi
dan pengembangan infrastruktur pertanian yang
dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian,
Kementan bekerja sama dengan Bank
Pembangunan Asia (ADB).
Program ini
memperoleh dana pinjaman dari Asian
Development Bank (ADB), dimulai tahun 2003
sampai tahun 2008 di lima kabupaten, pada
empat provinsi, yaitu Jawa Tengah, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan
Sulawesi Tengah. Program ini memberikan
bantuan dana stimulus untuk pembangunan
infrastruktur pertanian, pelatihan dan bantuan
masukan fisik lainnya pada semua desa di lima
kabupaten. Sebagian besar infrastruktur yang
dibangun adalah pengembangan jaringan
irigasi. Melalui dana bantuan (stimulus) senilai
Rp 270 – Rp 290 juta/desa serta menggerakkan
partisipasi dan swadaya masyarakat yang
dipimpin oleh Komite Investasi Desa (KID),
dapat
dikembangkan
pengembangan
infrastruktur pertanian sampai bernilai 2 - 4 kali
lebih besar dari dana bantuan tersebut. Menarik
model pemberdayaan masyarakat seperti P4MI
ini
untuk
dijadikan
referensi
dalam
mengembangkan jaringan irigasi kecil berbasis
investasi masyarakat.
Keberlanjutan pengembangan irigasi kecil
ditunjang oleh manajemen yang efektif baik
secara kolektif (petani pemakai air) maupun
komersial individu atau kelompok usaha.
Dukungan kebijakan besar pengaruhnya
terhadap pengembangan dan keberlanjutan
irigasi kecil antara lain, adanya program UPJA,
bantuan
Jides,
pompanisasi,
akses
modal/kredit, dan perluasan areal pertanian.
Semua faktor tersebut dapat membangun
sistem irigasi kecil dengan asumsi sarana
prasarana pendukung tersedia di wilayah
pengembangan, seperti peralatan pompa dan
suku cadang, rancang bangun dan jaringan
irigasi.
Kebijakan
pemerintah
tentang
irigasi
merupakan salah satu faktor yang memengaruhi
kinerja/kondisi
irigasi,
sejalan
dengan
perubahan peraturan perundang-undangan dan
kebijakan pemerintah tentang irigasi dan
implementasinya.
Berdasarakan PP no 20
tahun
2006
menunjukkan
bahwa
pola
IRIGASI KECIL: KINERJA, MASALAH, DAN SOLUSINYA Tri Bastuti Purwantini, Rita Nur Suhaeti
penanganan
irigasi
berubah
dari
pola
penyerahan
kewenangan
irigasi
dalam
Pembaharuan
Kebijaksanaan
Pengelolaan
Irigasi (PKPI) menjadi pola Pengembangan dan
Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP).
Terkait dengan upaya itu semasa kabinet
Indonesia Bersatu jilid I dan II melalui Direktorat
Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air (PLA)
antara lain meluncurkan proyek rehabilitasi
Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani (JITUT) dan
Jaringan Irigasi Desa (JIDES) baik yang berasal
dari dana alokasi khusus maupun APBN. Dalam
Pedum Teknis Rehabilitasi JITUT dan JIDES
dikemukakan bahwa tujuan kegiatan tersebut
untuk meningkatkan kinerja JIDES dan JITUT
sehingga dapat meningkatkan fungsi layanan
irigasi, meningkatkan perluasan areal tanam,
indeks pertanaman dan produktivitas, serta,
membangun rasa memiliki terhadap jaringan
irigasi yang telah direhabilitasi (Direktorat
Pengelolaan Air, 2010).
Hasil kajian PSE-KP (2009) menunjukkan
bahwa dampak positip dari JITUT dan JIDES
adalah: (a) bertambahnya luas areal lahan, (b)
perubahan pola tanam, (c) peningkatan IP, dan
(d) penanaman komoditas baru. Namun
demikian perluasan areal memang tidak selalu
terjadi pada lokasi rehabilitasi JIDES/JITUT.
Lebih lanjut dikatakan bahwa dampak sosial
berupa berkurangnya konflik yang bersumber
pada air, dan timbulnya rasa kekeluargaan dari
masyarakat antardesa karena air dapat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di desa
lain yang tidak secara langsung mendapatkan
bantuan rehabilitasi jaringan. Dampak positif
lainnya dari JIDES/JITUT adalah meningkat nya
dinamika kelompok tani/P3A. Kondisi ini telah
menumbuhkan interaksi yang lebih intensif
antara lembaga Gabungan P3A, Pemerintah
Desa, dan PPL.
Perlu pengaturan pengembangan irigasi kecil
termasuk pompa air melalui Perda atau
kebijakan daerah agar sistem sewa atau iuran
penggunaan
air
berlaku
adil
antara
pemilik/penguasa dengan petani pemakai air
(Friyatno et al. 2004). Kebijakan pemerintah
untuk pengembangan irigasi kecil melalui
program Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana
Berbantuan, cukup efektif dan bermanfaat bagi
masyarakat,
hanya
saja
diperlukan
pemberdayaan kelembagaan petani penerima
agar manfaat dari bantuan berkelanjutan.
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa
kegiatan pembangunan atau rehabilitasi irigasi
kecil sasarannya relatif terbatas, hanya
menjangkau wilayah-wilayah tertentu, walaupun
berdampak positif, namun demikian yang
97
merasakan manfaatnya juga terbatas. Untuk
mendukung pencapaian swasembada pangan
dan keberlanjutannya pemerintah melalui
Kementan selama 2015-2016 (Kementan 2017)
telah merealisasikan Program Rehabilitasi
Jaringan Irigasi Tersier (RJIT) dengan layanan
oncoran sekitar 3,2 juta hektar. Selain itu juga
mengalokasikan pompa air irigasi tersier setara
dengan layanan 3,1 juta hektar sawah pada
tahun 2015. Sementara itu pada tahun 2016
terealisasi 468 ribu hektar sawah, atau selama
2015-2016 setara dengan 3,568 hektar,
sementara itu pada tahun pembangunan/
rehabilitasi 2018-2020 lebih fokus untuk
pembangunan sumber daya air: embung, dam
parit, dan pompa. Terdapat penurunan volume
kegiatan pada tahun 2016 untuk kegiatan RJIT
Terkait dengan pengembangan irigasi kecil,
Kementerian
PU
juga
mempunyai
Program Percepatan Peningkatan Tata Guna
Air Irigasi (P3-TGAI).
Pada tahun 2016,
terdapat 900 lokasi di 739 daerah irigasi yang
tersebar di 542 kecamatan dengan total
anggaran sebesar Rp 180 milyar untuk program
tersebut. Sementara untuk tahun 2017
ditargetkan
ada di 3.000 lokasi dengan
anggaran sebesar Rp 600 milyar.
Tujuan
program P3-TGAI adalah untuk mendukung
ketahanan pangan nasional dan upaya
peningkatan
kemampuan
ekonomi
serta
kesejahteraan
masyarakat
petani
dalam
perbaikan irigasi secara partisipatif. Kegiatan ini
merupakan kegiatan lanjutan dari
kegiatan
Bansos dari Program Percepatan dan Perluasan
Pembanguan Infrastruktur Sumber Daya Air
(P4-ISDA-IK). Mengingat lokasi irigasi kecil
sebagai
sasaran
untuk
pembangunan/
rehabilitasi sistem irigasi kecil antara Kemen PU
dan Kementan, maka diperlukan koordinasi
antar kedua Kementerian tersebut agar kegiatan
pengembangan irigasi kecil tersebut dapat
sinergi sehingga alokasi pelayanan irigasi kecil
lebih merata dan adil bagi pemanfaat air irigasi.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PENGEMBANGAN INVESTASI IRIGASI
KECIL
Sumaryanto
dan
Sudaryanto
(2001)
mengungkapkan
paradigma
baru
dalam
pendayagunaan sumber daya air pada
prinsipnya adalah bagaimana mendayagunakan
sumber daya tersebut secara bijaksana dengan
cara mengedepankan prinsip-prinsip pelestarian
sumber daya alam, demokrasi, dan efisiensi
sedemikian rupa sehingga kemakmuran dan
keadilan yang tercipta dapat dinikmati oleh
98
semua, untuk generasi sekarang dan generasi
mendatang.
Oleh karena sektor pertanian
merupakan pengguna air terbanyak, perubahan
paradigma tersebut mempunyai implikasi yang
luas terhadap strategi pendayagunaan sumber
daya air untuk pertanian, utamanya dalam
strategi pengembangan produksi pangan.
Selanjutnya Brown dan Nooter (1992)
menyatakan bahwa pengelolaan irigasi kecil
akan berhasil jika terdapat partisipasi penuh dan
sejak awal dari petani, teknologi yang
diterapkan bersifat murah, penerimaan yang
memadai dari pemanfaatan irigasi tersebut, dan
keberlanjutan ketersediaan airnya.
Pertumbuhan produksi pangan sangat
ditentukan oleh ketersediaan air irigasi. Sampai
dengan dasawarsa 1990-an, dari seluruh lahan
di dunia yang dapat digarap, sekitar 237 juta
hektar atau 18% diantaranya adalah lahan
pertanian beririgasi yang menghasilkan lebih
dari 33% produk pertanian dunia. Dari
keseluruhan areal pertanian beririgasi itu,
sekitar
71%
berada
di
negara-negara
berkembang, dimana 60% diantaranya berlokasi
di Asia (Postel, 1994 dalam Sumaryanto, 2006).
Upaya peningkatan produksi pangan akan
semakin terkendala dengan meningkatnya
kelangkaan air irigasi. Selain disebabkan oleh
meningkatnya kompetisi penggunaan air
antarsektor perekonomian, juga disebabkan
degradasi fungsi jaringan irigasi. Sumaryanto
(2006)
memberikan
jawaban
terhadap
tantangan dan permasalahan tersebut dengan
melakukan efisiensi penggunaan air irigasi.
Upaya
untuk
meningkatkan
efisiensi
penggunaan air irigasi dapat ditempuh melalui
perbaikan teknologi pemanfaatan air irigasi,
menciptakan insentif ekonomi, dan rekayasa
kelembagaan. Ketiganya perlu dilakukan secara
simultan. Pengembangan irigasi kecil adalah
merupakan salah satu perbaikan teknologi
pemanfaatan air irigasi.
Seiring dengan makin langkanya air irigasi,
peranan irigasi kecil dalam pengembangan
pertanian, khususnya tanaman pangan di
Indonesia semakin penting. Sampai tahun 1995
diperkirakan tak kurang dari 150.000 hektar
lahan sawah menggantungkan kecukupan air
irigasinya dalam sistem irigasi pompa. Dari
luasan tersebut, tak kurang dari 75% berupa
irigasi pompa yang dikembangkan sendiri oleh
petani dan kalangan swasta di perdesaan.
Irigasi pompa swadaya masyarakat itu
dikembangkan atas dasar motif bisnis dan atau
untuk memenuhi kebutuhan usaha tani garapan
sendiri (Sumaryanto et al. 1999). Irigasi kecil
seperti pompa,
pengembangannya terkait
dengan kualitas sumberdaya fisik (tanah dan
Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 35 No. 2, Desember 2017: 91-105
air) di masing-masing wilayah, namun karena
pengusahaan pompa air memerlukan biaya
mahal maka petani kecil memerlukan dukungan
modal (Friyatno et al. 2004).
Hasil
penelitian
Kusumartono
(2003)
menunjukkan bahwa dalam pengelolaan irigasi
terdapat sinergi modal sosial, modal fisik, modal
manusia dan modal alam. Pada dasarnya dalam
pengelolaan irigasi harus terjadi sinergi antar
modal tersebut untuk menghasilkan kinerja
jaringan yang semakin meningkat. Sinergi yang
paling kuat adalah antara modal sosial dengan
modal alam, sedangkan yang paling lemah
adalah sinergi modal sosial dengan modal
manusia.
Sinergi yang lemah tersebut
merupakan prioritas untuk diperkuat dalam
mewujudkan pengelolaan irigasi yang optimal,
dengan tidak meninggalkan penguatan sinergi
antar-modal lainnya. Oleh karena itu dalam
pengembangan
irigasi
kecil
perlu
mengindentifikasi faktor yang berpengaruh
terhadap keberlanjutan dan efisiensi dalam
pengembangan sistem irigasi kecil, baik dari
faktor ekonomi/finansial maupun faktor modal
sosial.
Faktor Penghambat Pengembangan Sistem
Irigasi Kecil
Beberapa indikator dalam perubahan iklim
seperti meningkatnya permukaan air laut, banjir,
kekeringan, beberapa permasalahan sumber
daya dan permasalahan dalam pengembangan
sumber daya air. Perubahan iklim global
berpengaruh terhadap temperatur , kelembaban
relatif, lama penyinaran matahari, kecepatan
angin, curah hujan dan debit sungai. Tingginya
intensitas curah hujan setelah terjadinya
perubahan iklim berdampak terhadap fluktuasi
debit sungai pada musim hujan dan kemarau
(Hukom et al. 2012). Dengan berkurangnya
debit sungai dan sumber daya air lainnya,
berpengaruh terhadap sistem irigasi sekitar
bahkan dapat berpengaruh terhadap degradasi
sistem irigasi. Oleh karena itu untuk
menghadapi
dampak
ekstrim
tersebut
diperlukan perencanaan pengelolaan irigasi
yang sistematis agar irigasi dapat dimanfaatkan
secara optimal dan dapat memberikan
keuntungan khususnya bagi petani.
Keterbatasan
sumber
daya
finansial
merupakan faktor penghambat utama dalam
pengembangan
irigasi
kecil
secara
individu/privat (Rivai et al. 2013). Salah satu
alternatif yang dapat dilakukan adalah
pengusahaan irigasi kecil melalui investasi yang
dilakukan secara kelompok, mengingat semakin
terbatasnya program bantuan dari pemerintah.
IRIGASI KECIL: KINERJA, MASALAH, DAN SOLUSINYA Tri Bastuti Purwantini, Rita Nur Suhaeti
Selain itu, pengembangan jaringan irigasi kecil
juga dapat ditempuh melalui bantuan kredit dari
Pemerintah untuk dana investasi.
Hal ini
sesuai dengan pendapat Ducrot (2014) bahwa:
(1) Jumlah irigasi skala kecil meningkat karena
intervensi bantuan kekeringan atau dari dana
pembangunan daerah yang dalam prakteknya
mensubsidi irigasi pribadi; (2) Keluarga
termiskin cenderung tidak terlayani oleh bantuan
irigasi kolektif sementara mereka tidak memiliki
akses terhadap dana pembangunan daerah
akibat adanya bias mekanisme alokasi; (3)
Pengaturan kepemilikan lahan yang oncorannya
irigasi kolektif terancam oleh pembangunan
irigasi swasta; dan (4) Masih diperlukan sebuah
analisis yang tepat dari profitabilitas ekonomi
irigasi skala kecil.
Bantuan pemerintah yang menggantikan
program dan kegiatan swadaya masyarakat,
menyebabkan
ketergantungan
masyarakat
terhadap pemerintah menjadi tinggi. Khususnya
kelembagaan swadaya masyarakat dalam
operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi,
menjadi hilang, karena menunggu bantuan
pemerintah (Rivai et al. 2013). Padahal
sebelumnya program dan kegiatan tersebut
sudah rutin dan turun temurun dilakukan oleh
masyarakat penerima manfaat dari adanya
jaringan irigasi. Oleh karena itu belajar dari
pengalaman dari ekses negatif yang terjadi
pada pengembangan
sistem kelembagaan
pengoperasian dan pemeliharaan sistem skala
besar
selama
ini,
Sumaryanto
(2013)
menyarankan agar intervensi pemerintah dalam
pengembangan kelembagaan operasi dan
pemeliharaan sistem irigasi skala kecil
diminimalkan.
Untuk
intervensi
dalam
pengembangan sistem irigasi kecil, pemerintah
juga harus mempertimbangkan kearifan lokal
setempat. Untuk dapat eksis kelembagaan
tersebut juga diperlukan kepemimpinan yang
amanah dalam mengelola irigasi tersebut,
karena tanpa kepimpinan yang baik maka
kelembagaan atau organisasi pengelola irigasi
tersebut tidak berjalan secara optimal. Bjornlund
et al. (2016), menyatakan empat kategori
hambatan dalam perbaikan kinerja irigasi kecil
untuk perbaikan produktivitas dan profitabilitas
yaitu: (1) hambatan kelembagaan; (2) hambatan
pasar dan rantai pasok; (3) hambatan
infrastruktur dan peralatan pertanian; dan (4)
hambatan produksi dan produktivitas air.
Faktor Pendorong Pengembangan Sistem
Irigasi Kecil
Dampak irigasi kecil dapat memberikan
pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan
produktivitas padi, karena ketersediaan air akan
99
lebih baik
sehingga memungkinkan petani
dapat
melakukan
intensifikasi
dalam
penggunaan input produksi. Ketersediaan air
irigasi yang cukup memungkinkan tersedianya
unsur hara bagi tanaman. . Pendapatan usaha
tani lahan beririgasi kecil merupakan sumber
utama pendapatan rumah tangga petani dengan
pangsa antara 43–84%. Kenyataan ini
menggambarkan ketergantungan pendapatan
rumah tangga terhadap ketersediaan irigasi
kecil. Risiko adanya gangguan terhadap
ketersediaan sumber air akan mempunyai
implikasi yang luas kepada masyarakat
pengguna air irigasi kecil (Pasaribu dan
Friyatno, 1999).
Dampak positif irigasi kecil
terhadap kinerja usaha tani terutama komoditas
padi, diantaranya meningkatkan produktivitas
dan
intensitas
pertanaman
(IP).
Pengembangan irigasi khususnya irigasi skala
kecil menjadi inspiratif bagi petani yang dapat
dikelola secara mandiri oleh masyarakat tani di
wilayah tertentu
Hasil penelitian Sudaryanto dan Hermanto
(1999) mendukung fenomema di atas, yang
menyimpulkan bahwa sistem irigasi kecil
dengan nyata dapat mendukung peningkatan
produksi
pangan.
Sistem
irigasi
kecil,
meningkatkan
intensitas
tanam
sebagai
perluasan areal panen secara vertikal. Dalam
kondisi dana pembangunan sangat terbatas
untuk perluasan areal tanam baru seperti saat
ini, peranan investasi masyarakat dalam
pengembangan irigasi kecil dapat dikatakan
sebagai terobosan yang layak. Terdapat dua
alasan penting mengapa irigasi kecil berbasis
investasi
masyarakat
(IKBIM)
layak
dikembangkan. Pertama adalah biaya investasi
dapat dijangkau oleh masyarakat, dan kedua
adanya manfaat yang dihasilkan (peningkatan
produksi yang sekaligus juga peningkatan
pendapatan petani) bersifat cepat petik (quick
yielding).
Kegiatan
program
atau
proyek
pembangunan rehabilitasi irigasi yang didanai
oleh pemerintah dengan melibatkan partisipasi
masyarakat lebih baik dibandingkan dengan
sistem tender tanpa melibatkan masyarakat
setempat. Hasil evaluasi di beberapa lokasi
diantaranya di Lombok Timur, NTB dan Blora,
Jawa Tengah (Rivai et al. 2013) hasilnya
melebihi biaya yang seharusnya, artinya peran
masyarakat (swadaya) cukup tinggi. Kondisi
yang sama juga ditemui pada lokasi sasaran
kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi primer
(RJIT) dalam program Upsus Pajale di Jawa
Tengah (Saliem et al. 2015). Hasil evaluasi
menunjukkan bahwa pembangunan RIJT yang
melibatkan partisipasi masyarakat tani
dan
100
dikelola oleh kelompok tani di sekitar daerah
irigasi, pada umumnya lebih baik dibandingkan
dengan sistem tender yang pelaksananya oleh
kontraktor
tanpa
melibatkan
masyarakat
setempat. Sementara itu pembangunan RJIT
yang diserahkan kepada masyarakat hasilnya
akan lebih baik karena pembangunan untuk
mereka sehingga rasa memilki tinggi dan ada
rasa malu bila tidak berpartisipasi, memberikan
hasil yang lebih baik.
Agar irigasi kecil menjadi berkelanjutan,
pembangunan perlu mengurangi investasi
eksternal sesuai dengan kemampuan ekonomi
masyarakat dan didukung petani (Sakaki dan
Koga 2013). Kemajuan yang paling mungkin
terjadi ketika masyarakat lokal memiliki hak
untuk memulai secara partisipatif berkelanjutan
dan berkeadilan dalam meningkatkan skema
produktivitas irigasi kecil. Dalam hal ini
masyarakat diberdayakan agar lebih mampu
mengidentifikasi dan mengadopsi teknologi
yang tepat, lebih praktis, kebijakan didukung
instansi pemerintah, dan skema swasta, seperti
pemanenan air hujan dan sumur. Hal seperti ini
penting karena masyarakat membutuhkan : (1)
investasi dan dukungan karena didorong dan
dibiayai oleh petani; (2) meningkatkan hasil
panen melalui irigasi yang tepat waktu; (3)
menggunakan minimal dan mudah untuk
mengelola teknologi; (4) menghindari isu
keberlanjutan jelas dalam sistem masyarakat;
dan (5) memungkinkan pergeseran bertahap
untuk pertanian komersial (de Fraiture &
Giordano 2014; Sakaki & Koga, 2013).
Faktor
kelembagaan
dan
organisasi
pengelola irigasi (seperti P3A dan sejenisnya)
sangat berperan dalam keberhasilan kinerja
sistem irigasi kecil. Rivai et al. (2013)
mengemukakan
bahwa
secara
umum
kelembagaan P3A untuk irigasi kecil penting
dalam
mengelola
air
irigasi
agar
pemanfaatannya merata dan adil. Oleh karena
itu eksistensi dan kinerja P3A yang baik akan
berpengaruh terhadap pengembangan irigasi
kecil. Dengan demikian diharapkan tidak terjadi
perselisihan dalam pemanfaatan air irigasi kecil
yang biasanya dipicu oleh keterbatasan air.
Kinerja P3A yang paling memuaskan petani
adalah pemerataan dalam pembagian air irigasi.
Dampak irigasi kecil dapat memberikan
pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan
produktivitas padi, karena ketersediaan air akan
lebih baik
sehingga memungkinkan petani
dapat
melakukan
intensifikasi
dalam
penggunaan input produksi. Ketersediaan air
irigasi yang cukup memungkinkan unsur hara
bagi
tanaman
menjadi
lebih
tersedia.
Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 35 No. 2, Desember 2017: 91-105
Pendapatan usaha tani lahan beririgasi kecil
merupakan sumber utama pendapatan rumah
tangga petani dengan pangsa antara 43–84%.
Kenyataan ini menggambarkan ketergantungan
pendapatan
rumah
tangga
terhadap
ketersediaan irigasi kecil. Risiko adanya
gangguan terhadap ketersediaan sumber air
akan mempunyai implikasi yang luas kepada
masyarakat pengguna air irigasi kecil (Pasaribu
dan Friyatno 1999). Dengan melihat dampak
positif irigasi kecil terhadap kinerja usaha tani
terutama komoditas padi,
diantaranya
meningkatkan produktivitas dan intensitas
pertanaman (IP) maka pengambangan irigasi
khususnya irigasi skala kecil menjadi inspiratif
bagi petani yang dapat dikelola secara mandiri
masyarakat tani di wilayah tertentu.
Hasil penelitian Sudaryanto dan Hermanto
(1999) mendukung fenoma di atas, yang
menyimpulkan bahwa sistem irigasi kecil
dengan nyata dapat mendukung peningkatan
produksi pangan. Dengan sistem irigasi kecil,
intensitas tanam dapat ditingkatkan, sehingga
merupakan perluasan areal panen secara
vertikal. Dalam kondisi dana pembangunan
sangat terbatas untuk perluasan areal tanam
baru seperti saat ini, peranan investasi
masyarakat dalam pengembangan irigasi kecil
dapat dikatakan sebagai terobosan yang layak.
Terdapat dua alasan penting mengapa IKBIM
layak dikembangkan. Pertama adalah biaya
investasi dapat dijangkau oleh masyarakat dan
manfaat yang dihasilkan (peningkatan produksi
yang sekaligus juga peningkatan pendapatan
petani) bersifat cepat petik (quick yielding).
Dalam kegiatan program atau proyek
pembangunan maupun rehabilitasi irigasi yang
didanai oleh pemerintah dengan melibatkan
partisipasi masyarakat lebih baik dibandingkan
dengan sistem tender tanpa melibatkan
masyarakat setempat. Hasil evaluasi di
beberapa lokasi diantaranya di Lombok Timur,
NTB dan Blora, Jawa Tengah (Rivai et al. 2013)
hasilnya melebihi biaya yang seharusnya,
artinya peran masyarakat (swadaya) cukup
tinggi. Kondisi yang sama juga ditemui pada
lokasi sasaran kegiatan rehabilitasi jaringan
irigasi primer (RJIT) dalam program Upsus
Pajale di Jawa Tengah (Saliem et al. 2015),
hasil
evaluasi
menunjukkan
bahwa
pembangunan RIJT yang melibatkan partisipasi
masyarakat tani yang dikelola oleh kelompok
tani di sekitar daerah irigasi tersebut pada
umumnya lebih baik dibandingkan dengan
sistem tender yang pelaksananya adalah
kontraktor
tanpa
melibatkan
masyarakat
setempat, bila ada hanya sebatas sebagai
buruh
pekerja
saja.
Sementara
itu
IRIGASI KECIL: KINERJA, MASALAH, DAN SOLUSINYA Tri Bastuti Purwantini, Rita Nur Suhaeti
pembangunan
RJIT
yang
diserahkan
masyarakat hasilnya lebih baik karena budaya
masyarakat bahwa pembangunan tersebut
untuk mereka, sehingga rasa memilki dan
budaya
malu
bila
tidak
berpartisipasi
memberikan hasil yang lebih baik.
Faktor
kelembagaan
dan
organisasi
pengelola irigasi (seperti P3A dan sejenisnya)
sangat berperan dalam keberhasilan kinerja
sistem irigasi kecil. Rivai et al. (2013)
mengemukakan
bahwa
secara
umum
kelembagaan P3A untuk irigasi kecil penting
dalam
mengelola
air
irigasi
agar
pemanfaatannya merata dan adil. Oleh karena
itu eksistensi dan kinerja P3A yang baik akan
berpengaruh terhadap pengembangan irigasi
kecil. Dengan demikian diharapkan tidak terjadi
perselisihan dalam pemanfaatan air irigasi kecil
yang terjadi terutama karena dipicu dengan
keterbatasan air. Kinerja P3A yang paling
memuaskan petani adalah pemerataan dalam
pembagian air irigasi.
Pengaruh Faktor Modal Sosial terhadap
Pengelolaan Irigasi
Sebagai mahluk sosial (homo homini socius),
manusia tidak akan dapat lepas dari
keterhubungannya dengan manusia lain. Suatu
hal yang pasti, pada kenyataannya perilaku
manusia memberikan pengaruh nyata pada
kegiatan ekonomi. Di pihak lain, perilaku itu
sendiri merupakan unsur dari budaya (culture)
yang biasanya berbeda antarwaktu dan
antarkomunitas. Perilaku yang dapat menjadi
kekuatan atau pendorong dan dapat digunakan
menjadi sumber energi sosial yang positif dalam
melaksanakan pembangunan disebut modal
sosial. Modal sosial merupakan resultante dari
berbagai hubungan yang tercipta dan normanorma yang membentuk kualitas dan kuantitas
hubungan sosial masyarakat dalam spektrum
yang luas. Fungsi modal sosial adalah sebagai
perekat sosial (social glue, social ridge, dan
social link) yang menjaga kesatuan anggota
masyarakat dari tingkat paling kecil atau rumah
tangga sampai ke tingkat nasional (bangsa)
secara bersama-sama. Modal sosial juga
diperlukan dalam pengelolaan irigasi kecil,
terutama yang berbasis investasi masyarakat.
Oleh karena itu modal sosial akan banyak
berperan khususnya untuk pengembangan
irigasi kecil yang berbasis investasi masyarakat.
Unsur terpenting dan dapat dipandang
sebagai syarat keharusan (necessary condition)
dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial
dari suatu masyarakat adalah kepercayaan
(trust). Adapun unsur-unsur yang dapat
101
dipandang
sebagai
syarat
kecukupan
(sufficiency condition) dari terbentuk atau
terbangunnya kekuatan modal sosial di suatu
masyarakat menurut Supriono et al. (2010)
adalah: (a) partisipasi dalam jaringan sosial
(participation and social net work), (b) saling
tukar kebaikan (reciprocity), (c) norma-norma
sosial (social norms), (d) nilai-nilai sosial (social
values), dan (e) tindakan yang proaktif.
Portes (1998) menunjukkan bahwa selain
modal sosial yang positif, juga terdapat modal
sosial negatif yang tentunya harus dihindari jika
diinginkan pelaksanaan pembangunan yang
bermanfaat secara seimbang bagi semua
lapisan
masyarakat.
Hasbullah
(2006)
menyatakan bahwa modal sosial berbeda
dengan modal manusia (human capital) yang
lebih berdasarkan pada kondisi individu. Modal
sosial lebih menekankan pada potensi kelompok
dan pola-pola hubungan antarindividu dalam
suatu kelompok dan antarkelompok sehingga
titik
perhatiannya
ada
pada
jaringan
sosial, norma,
nilai,
dan
kepercayaan
antaranggota komunitas dan menjadi norma
kelompok. Bagian terpenting dan berpengaruh
dari modal
sosial
adalah
kepercayaan
(trust) yang dapat memberikan andil yang besar
dalam
pembangunan,
termasuk
dalam
mengelola barang publik. Berbagai ikatan sosial
yang ada dalam komunitas akan rekat satu
sama lain dengan kepercayaan, sehingga
terbentuk kohesi sosial yang solid. Kohesi
sosial yang solid ini akan tercermin dengan
terjalinnya
kerja sama di antara anggota
komunitas atau organisasi, dalam hal ini antara
lain adalah komunitas yang mengelola irigasi
kecil berbasis investasi masyarakat. Dengan
demikian, kerja sama akan terbangun dengan
baik apabila berlandaskan kepercayaan di
antara
para
anggotanya. Jika
anggota
komunitas, dalam hal ini petani pelaku usaha
tani, akan bekerja sama dan saling percaya
berdasarkan nilai-nilai universal yang ada,
maka tidak akan muncul sikap saling curiga,
saling jegal, saling menindas dan sebagainya
sehingga kesenjangan yang ada akan dapat
dijembatani.
Hasil penelitian Rivai et al. (2013)
menunjukkan bahwa di lapangan modal sosial
baik di tingkat kelompok maupun masyarakat
sudah semakin berkurang.
Hal ini terjadi
sebagai akibat kebijakan pemerintah dalam
memberikan
bantuan
kepada
kelompok
masyarakat secara tidak langsung menggerus
berbagai nilai dan norma sosial seperti gotongroyong, rasa malu jika tidak mentaati aturan dan
sikap untuk selalu mendahulukan kepentingan
bersama. Modal sosial yang masih kuat
102
ditemukan di masyarakat Samin di Kabupaten
Blora. Dengan kepemimpinan yang kuat di
kalangan masyarakat Samin, modal sosial dapat
membangkitkan
energi
sosial
dalam
pelaksanaan pembangunan, termasuk dalam
pengembangan pengelolaan irigasi kecil di
wilayahnya.
Kasus
lainnya
adalah
pembangunan bendungan di Desa Jenggik
Utara, Lombok Timur, NTB, pada tahun 2007,
desa mendapat dana dari program PNPM
sebesar Rp250 juta untuk pembangunan
saluran irigasi dari embung/bendung sejauh 1,2
km. Partisipasi masyarakat berupa tenaga dan
bahan bangunan yang dikumpulkan nilainya
menjadi
Rp500
juta.
Keberhasilan
pembangunan tersebut tidak lepas dari peran
tokoh masyarakat Tuan Guru sebagai
pemimpin, motivator dan panutan mereka.
Pelaksanaan berbagai proyek pemerintah,
termasuk dalam penumbuhan dan pembinaan
P3A cenderung menggunakan pendekatan top
down, inisiatif pendanaan dari atas dan
kemajuan proyek didasarkan dari target.
Seharusnya hal tersebut diserahkan pada
partisipasi P3A dalam operasional dan
pengeloaan irigasi kecil dengan pendekatan
bottom
up,
misalnya
dalam
kegiatan
perencanaan dan pembangunan konstruksi
jaringan irigasi.
Dalam hal ini keberadaan
modal sosial dari kelembagaan P3A sangat
diperlukan untuk pengembangan kelembagaan
tersebut.
Mengingat selama ini pendanaan
dengan pendekatan top down, maka bila ada
kerusakan jaringan irigasi, kadang-kadang
petani atau kelompok petani yang tergabung
dalam P3A bersifat menunggu dari pemerintah,
kurang memanfaatkan modal sosial yang ada,
sehingga kemandirian petani dalam kegiatan
operasional dan pemeliharaan berkurang. Modal
sosial seperti kegiatan gotong royong dalam
rehabilitasi jaringan irigasi kecil sudah semakin
kurang. Oleh karena itu pemberdayaan P3A
dalam kegiatan tersebut perlu didorong.
PROSPEK PENGEMBANGAN IRIGASI KECIL
Sumaryanto (2013) menyatakan bahwa
dalam pembangunan irigasi skala besar banyak
dihadapkan berbagai kendala, bukan hanya
terletak pada aspek penyediaan dana investasi,
tetapi berkenaan juga dengan komplikasi
masalah dalam pembebasan lahan untuk
reservoar maupun infrastuktur fisik jaringan
irigasi serta pencetakan sawah. Lebih lanjut
mengemukakan bila orientasi utamanya untuk
perluasan areal baku sawah beririgasi, maka
Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 35 No. 2, Desember 2017: 91-105
pengembangan sistem irigasi skala kecil akan
lebih baik. Selain biaya irigasi per unitnya lebih
rendah, pendayagunaan nilai sosial budaya
sebagai basis pengembangan pengelolaan
irigasi juga lebih berhasil karena kohesi sosial
komunitas
petani
dalam
unit
yang
bersangkuatan lebih kuat. Kondisi demikian
selain kondusif untuk mendukung keberlanjutan
sistem irigasi, kondusif pula untuk mendukung
pengembangan kemampuan adaptasi terhadap
perubahan iklim.
Pada pengembangan sistem irigasi skala
kecil, partisipasi masyarakat lebih mudah
ditumbuhkembangkan, baik dalam hal fase
perencanaan, pendanaan maupun sistem
operasi dan pemeliharaannya (Sumaryanto
2013). Dalam hal ini peran pemerintah adalah
memfasilitasi kemudahan pengadaan biaya
investasi, bantuan teknis pemetaan, dan desain
teknis kegiatan, bimbingan teknis dalam budi
daya pertanian produktif dan terutama dalam
menjaga kelestarian sumber daya air yang
menjadi sumber sadapan untuk sistem irigasi
skala kecil yang bersangkutan.
Menurut Bjornlund et al. (2016) peluang
keberhasilan irigasi kecil dapat muncul dengan
meningkatkan partisipasi dan kerja sama petani
dengan berbagai pemangku kepentingan,
dengan melakukan identifikasi terhadap: (1)
hambatan partisipasi oleh individu dan
kelompok pengguna. Partisipasi petani juga
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: (a)
lingkungan fisik: sumber air, topografi, curah
hujan, air dalam tanah, luas tanam, jarak
dengan pasar dsb.; dan (b) lingkungan sosial
ekonomi: heterogenitas, keberadaan berbagai
organisasi lain, kepemimpinan dan sebagainya
(Meinzen-Dick 2000); (2) metode penyelesaian
konflik, memberikan kelompok mandat untuk
berkonsultasi, memobilisasi dan memecahkan
isu (de Fraiture et al. 2014); (3) kesempatan
untuk mengatur irigasi bagian i hulu dan
memanfaatkan kemampuan petani untuk secara
efektif mengatur sumber daya bersama dalam
prinsip-prinsip pasar (de Fraiture et al. 2014); (4)
hubungan menguntungkan antara peternakan
komersial besar dan petani skala kecil,
meningkatkan akses ke pasar input dan output
dan peralatan serta pentingnya pengakuan hak
milik (Meinzen-Dick 2014); (5) daerah di mana
produksi dapat disesuaikan dengan rantai
pasokan global (Markelova et al. 2009); (6)
pengurangan biaya transaksi dan akses yang
lebih baik ke informasi tentang pasar dan
teknologi baru,dan bagaimana untuk memasuki
pasar high-value (Markelova et al. 2009); (7)
penjadwalan air untuk mendukung hasil yang
IRIGASI KECIL: KINERJA, MASALAH, DAN SOLUSINYA Tri Bastuti Purwantini, Rita Nur Suhaeti
tinggi dan partisipasi; dan (8) strategi untuk
meningkatkan
pendapatan
dari
asosiasi,
termasuk denda dan layanan non-irigasi seperti
penyediaan pupuk dan benih, menyewa
peralatan, persiapan lahan dan organisasi pasar
(Shah et al. 2002).
103
kepentingan, diharapkan dapat memperbaiki
tingkat
pendapatan
petani,
memperluas
kesempatan kerja pada usaha tani maupun di
luar usaha tani, sumber pakan, peningkatan
derajat kesehatan karena perbaikan diet dan
akses
terhadap
pelayanan
kesehatan,
pencegahan kerusakan tanah dan lingkungan
serta pemilikan aset produktif.
PENUTUP
Kinerja irigasi kecil saat ini sangat
memprihatinkan. Kerusakan jaringan irigasi di
Indonesia cukup besar dan fenomena
perubahan
iklim akhir-akhir
ini
sangat
berpengaruh terhadap degradasi fungsi irigasi.
Sementara pertumbuhan produksi pangan
sangat ditentukan oleh ketersediaan air irigasi.
Terhadap hal ini peran pemerintah menjadi
sangat penting.
Langkah pemerintah dan
kebijakan yang harus diterapkan berperan
mendorong terwujudnya sarana irigasi yang
memadai.
Agar
irigasi
kecil
berfungsi
dan
berkelanjutan, pembangunan perlu mengurangi
investasi eksternal sebanyak mungkin, sesuai
dengan kemampuan ekonomi masyarakat dan
kemandirian yang didukung petani. Irigasi akan
berjalan baik bila partisipasi dan kerjasama
masyarakat dengan pemangku kepentingan
berjalan dengan baik. Sejalan dengan upaya
diatas maka peran modal sosial sangat
menentukan dalam pengelolaan irigasi kecil,
oleh karena itu peran modal sosial perlu
ditingkatkan. Fungsi modal sosial sebagai
perekat sosial akan menjaga kesatuan anggota
masyarakat dari tingkat paling kecil atau rumah
tangga sampai ke tingkat nasional atau bangsa
secara bersama-sama.
Dalam pembangunan dan pengembangan
irigasi sebaiknya mengikutsertakan patisipasi
petani dan P3A melalui swakelola bukan sistem
tender (yang biasanya berbelit-belit) dan
berorientasi target. Selain kinerjanya lebih baik,
sistem swakelola menumbuhkan rasa memiliki
kelompok
tani
atau
P3A
dan
rasa
tanggungjawab yang tinggi. Dengan demikian
akan tumbuh swadaya yang tinggi, sehingga
terjadi efisiensi, dan target dapat tercapai
bahkan kadang melebihi target Kelebihan
lainnya terjadi saling mengawasi dan control
silang antar anggota kelompok. Peran P3A
lebih ditingkatkan karena saat ini masih terbatas
dan belum mengarah kepada peningkatan
fungsi dan peran dalam pengembangan dan
pengelolaan irigasi, terutama irigasi kecil
Pengelolaan irigasi kecil yang baik dengan
melibatkan peran pemerintah dan pemangku
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Dewan Redaksi dan Redaksi Pelaksana
publikasi Forum Penelitian Agro Ekonomi serta
Mitra Bestari makalah ini, atas peran sertanya
dalam memberikan
masukan, melakukan
telaah, koreksi, dan perbaikan naskah sampai
siap diterbitkan.
DAFTAR PUSTAKA
Asayehegn
K. 2012. Irrigation versus rain-fed
agriculture: Driving for households’ income
disparity. A study from Central Tigray, Ethiopia.
Agric Sci Res J. [Internet] [cited 2015 Juni 08].
2(1):20-29. Available at http://www.resjournals.
com/ARJ ISSN-L: 2026-6073 ©2012 International
Research Journals
Bacha D, Namara R, Bogale A, Tesfaye A. 2009.
Impact of small scale irrigation on household
poverty: empirical evidence from The Ambo
District in Ethiopia. J Irrig and Drain. [Internet]
[cited 2015 Juni 08].
60:1–10. doi:
10.1002/ird.550
Bagson E, Kuuder CJW. 2013. Assessment of a
small-scale irrigation scheme on household food
security and leisure in Kokoligu, Ghana. Res
Human Soc Sci. 3(1):17-26.
Bjornlund H, van Rooyen A, Stirzaker R. 2017.
Profitability and productivity barriers and
opportunities in small-scale irrigation schemes. Int
J Water Res Dev. 33(5):690-704
Brown EP, Nooter R. 1992. Successful small-scale
irrigation at the Sahel. World Bank Technical
Paper Number 171. Washington DC (US): World
Bank.
Damayanti, L. 2012. Pengaruh irigasi terhadap
kesempatan kerja, kemiskinan dan ketahanan
pangan rumah tangga tani di Daerah Irigasi Parigi
Moutong. Desertasi. Yogyakata (ID): Universitas
Gajah Mada.
de Fraiture C, Giordano, M. 2013. Small private
irrigation: a thriving but overlooked sector. Agric.
Water Manage. [Internet]. [cited 2015 Juni 08].
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.agwat.
2013.07.005
104
Deribie M. 2015.Impact of Akaki small-scale irrigation
scheme on household food security. J Accoun
Marketing [Internet] [cited 2015 Juni 08]. 4:140.
Availabel from: doi:10.4172/2168-9601.1000140.
[Ditjen PSP] Direktorat Jenderal Prasarana dan
Sarana Pertanian. 2015.
Pedoman teknis
pengembangan jaringan irigasi APBN-Perubahan
TA. 2015. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian.
Direktorat Pengelolaan Air. 2010. Pedoman teknis
rehabilitasi jaringan tingkat usaha tani (JITUT) dan
jaringan irigasi desa (JIDES). Direktorat Jenderal
Pengelolaan Lahan dan Air. Jakarta (ID):
Departemen Pertanian.
Ducrot R. 2014. Is small-scale irrigation an efficient
propoor strategy in the upper Limpopo Basin In
Mozambique? Paper presented in the 15th Water
Net/WARFSA/GWP-SA, Lilongwe, Malawi from
29th – 31st October 2014.
Friyatno, S, Saliem HP, Rachman B, Supriyati. 2004.
Kelembagaan jasa alat mesin pertanian (Alsintan).
Prosiding Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usaha
tani berbagai Komoditas Pertanian di Lahan
Sawah. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 35 No. 2, Desember 2017: 91-105
for food, agriculture and the environment.
Washington (US): International Food Policy
Research Institute.
Meinzen-Dick R, Raju KV, Gulati A. 2000. What
affects organizations and collective action for
managing Resources? Evidence from canal
irrigation systems in India. Paper presented at 8th
Biennial Meeting of the International Association
for the Study of Common Property, Bloomington,
Indiana, May 31-June 4, 2000.
Mengistie D, Kidane D. 2016. Assessment of the
impact of small-scale irrigation on household
livelihood improvement at Gubalafto District, North
Wollo, Ethiopia. Agriculture. [Internet] [cited 2015
Juni 08] 6(27):1-22. Available from: www. mdpi.
com/journal/agriculture.doi:10.3390/agriculture603
0027
Pasandaran
E.
2015.
Menyoroti
sejarah
perkembangan undang-undang tentang air
pengairan dan sumber daya air. Forum Penel
Agro Ekon. 33(1):33-46.
Pasandaran E. 2007. Pengelolaan infrastruktur irigasi
dalam kerangka ketahanan pangan nasional. Anal
Kebijakan Pert. 5(2):126-149.
Gebrehiwot NT, Mesfin KA, Nyssen J. 2015. Smallscale irrigation: The driver for promoting
agricultural production and food security (The
Case of Tigray Regional State, Northern Ethiopia).
Irrigat Drainage Sys Eng. [Internet] [cited 2015
Juni 08]. 4(2). Available from: http://dx.doi.org/
10.4172/2168-9768.1000141.
Pasaribu SM, dan Friyatno S. 1999. Peranan petani
dan swasta dalam pengembangan irigasi kecil.
Prosiding “Perspektif Keswadayaan Petani Dalam
Pengembangan Irigasi Kecil”. Kerjasama Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford
Foundation. Jakarta (ID): Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian.
Hasbullah,
J.
2006. Sosial
capital
(menuju
keunggulan budaya manusia Indonesia). Jakarta
(ID): MR-United Press.
Portes A. 1998.
Sosial capital: Its origins and
applications in modern sociology.
Annu rev
sociol. 24:1-24.
Hukom E, Montarcih L, Adawayanti U.
2012.
Pengaruh perubahan iklim terhadap optimasi
ketersediaan air di Irigasi Way Mital Provinsi
Maluku. J Tek Pengairan 3(1):24-32.
Purwoto A, Zulham A, Purwantini TB. 1999. Dampak
pengembangan
irigasi
pompa
terhadap
peningkatan produksi pertanian dan pendapatan
petani. Prosiding Perspektif Keswadayaan Petani
dalam Pengembangan Irigasi kecil. Kerjasama
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian
dengan Ford Foundation. Jakarta (ID): Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2017. Pedoman
teknis rehabilitasi jaringan irigasi. Direktorat Jenderal
Prasarana dan Sarana, Kementerian Pertanian.
Jakarta (ID): Kementerian Pertanian.
Kusumartono, FXH. 2003. Sinergi modal sosial,
modal fisik, modal manusia dan modal alam
dalam
pengelolaan
jaringan
irigasi
oleh
Perkumpulan
Petani
Pemakai
Air
(P3A/GP3A/IP3A): Studi kasus Daerah Irigasi
Cihea, Kabupaten Cianjur. Tesis Kekhususan
Manajemen Pembangunan Sosial, Program Studi
Sosiologi, Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Markelova H, Meinzen-Dick R, Hellin J, Dohrn S.
2009. Collective action for smallholder market
access. Food Policy. 34:1-7.
Meinzen-Dick R, Pradhan R, Di Gregorio M. 2014.
Understanding property rights. in: Meinzen-Dick
R, Di Gregorio: Collective action and property
rights for sustainable development. 2020 Vision
Rachman, B. 2009. Kebijakan sistem kelembagaan
pengelolaan irigasi, kasus Provinsi Banten. Anal
Kebijakan Pert 7(1):1-19.
Rivai R, Suryani E, Purwantini TB.
2008.
Pengembangan
Prasarana Perdesaan (P2D)
Fase III ( 2001-2003) Melalui Loan JBIC IP-506
Evaluasi dampak P2D terhadap kesejahteraan
masyarakat
(Post Evaluation).
Laporan
Penelitian. Kerjasama Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dengan Japan
Bank International Coorporation. Bogor (ID):
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian.
Rivai, RS, Supriadi H, Suhaeti RN, Prasetyo B,
Purwantini TB . 2013. Kajian pengembangan
irigasi berbasis investasi masyarakat pada
agroekosistem lahan tadah hujan. Laporan
IRIGASI KECIL: KINERJA, MASALAH, DAN SOLUSINYA Tri Bastuti Purwantini, Rita Nur Suhaeti
penelitian. Bogor (ID): Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian.
Sakaki M, Koga K. 2013. An effective approach to
sustainable small-scale irrigation developments in
Sub-Saharan Africa. Paddy and Water Envir.
[Internet] [cited 2015 Juni 08].
11(1):1–14.
Available from: doi:10.1007/s10333-011-0287-x
Saliem HP, Saptana, Ariani M, Friyatno S, Winarso B,
Purwantini TB, Supriyati. 2015. Pelaksanaan
pendampingan program Upsus padi dan jagung
tahun 2015. Pokja IV Provinsi Jawa Tengah.
Laporan kegiatan UPSUS. Bogor (ID): Pusat
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Saptana, Hendiarto, Sunarsih dan Sumaryanto. 2001.
Tinjauan historis dan perspektif pengembangan
kelembagaan irigasi di era otonomi daerah.
Forum Penel Agro Ekon 19(2):50-65.
Shah T, van Koppen B, Merrey D, de Lange M,
Samad M. 2002. Institutional alternatives in
African smallholder irrigation: Lessons from
international
experience
with
irrigation
management transfer. Research Report No. 60.
Colombo, Sri Lanka: International Water
Management Institute (IWMI).
Soemarto CD, 1999, Hidrologi teknik.
Jakarta (ID): Erlangga.
Edisi 2.
Sudaryanto T, Hermanto, 1999. Kebijakan investasi
irigasi kecil di Indonesia. Prosiding “Perspektif
Keswadayaan Petani Dalam Pengembangan
Irigasi Kecil”, Kerjasama Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation.
Jakarta (ID): Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian.
Sumaryanto, Hermanto, Bahri S. 1999. Kinerja pasar
air irigasi kecil: Studi empiris pada sistem irigasi
kecil air permukaan di beberapa wilayah
perdesaan Indonesia. Prosiding “Perspektif
Keswadayaan Petani
dalam Pengembangan
105
Irigasi kecil”, Kerjasama Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation.
Jakarta (ID): Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian.
Sumaryanto, Pranadji T, Syahyuti, Supriyatna Y,
Suryadi M.
2016.
Studi kebijakan sistem
pengelolaan irigasi mendukung pencapaian dan
keberlanjutan swasembada pangan. Laporan
Penelitian. Bogor (ID): Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian.
Sumaryanto, Sudaryanto T. 2001.
Perubahan
paradigma pendayagunaan sumber daya air dan
implikasinya terhadap strategi pengembangan
produksi pangan.
Forum Penel Agro Ekon.
9(2):66-79.
Sumaryanto.
2006.
Peningkatan
efisiensi
penggunaan air irigasi melalui penerapan iuran
irigasi berbasis nilai ekonomi air irigasi. Forum
Penel Agro Ekon 24(2):77-91.
Sumaryanto. 2013. Perspektif pengembangan irigasi
skala kecil. Dalam: Pasandaran et al. editors.
2013. Kemadirian Pangan Indonesia dalam
Perspektif Kebijakan MP3EI. Jakarta (ID):
IAADRD Press.
Supriono A, Flassy DJ, Rais S. 2010. Unsur-unsur
pembentuk modal sosial. Makalah untuk Project
Management
Unit
(PMU)
Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus
(P2DTK) – Support for Poor Disadvantage Areas
Project. [Internet]. [diunduh 2013 Februari 12]
Tersedia dari: http://p2dtk.bappenas.go.id/artikel15-unsur unsur-pembentuk.html.
Yihdego AG, Gebru AA, dan Gelaye MT. 2015. The
impact of small-scale irrigation on income of rural
farm households: Evidence from Ahferom Woreda
in Tigray, Ethiopia. Inter J Business and Econ
Res. [Internet]. [cited 2015 Juni 08] 4(4): 217-228.
Available from: doi: 10.11648/j.ijber.20150404.14,
ISSN: 2328-756X