Secara umum, sebelum Indonesia menjadi sebentuk Negara bangsa proklamasi 1945, bentang sejarah negeri ini dapat digolongkan menjadi dua; pra kolonial dan kolonial. Masa pra kolonial meliputi kekuasaan kerajaan dan monopoli ekonomi VOC, sedang masa kolonial meliputi sistem kolonialis yang dijalankan Belanda. Keduanya bermuara pada satu kesamaan bagi rakyat kecil yakni pemerintahan yang totaliter di mana kesejahteraan individu rakyat diabaikan dengan pengutamaan pada kesejahteraan negara atau pihak swasta asing. Menurut Kahin (1980), Sutan Sjahrir memandang bahwa warisan feodal dan kolonial, yang membentuk dependensi rakyat terhadap penguasa, masih melekat dalam sosial kebudayaan masyarakat Indonesia. Oleh karenanya, dalam revolusi nasional perlu diikutkan di dalamnya revolusi sosial untuk membongkar warisan lama sekaligus memproduksi wacana sosialisme liberal yang berkonsentrasi pada kemakmuran masing-masing rakyat.[1]
Dalam era kerajaan, rakyat menempati posisi semata-mata sebagai penyangga atas kosmologi kerajaan yang bermuara pada raja sebagai pusat kehidupan. Feodalisme dimaknai dalam konteks penguasaan raja atas wilayah berikut rakyat dalam wilayah tersebut. Demikian, jejaring kekuasaan raja hingga sampai pada punggawa tingkat bawah yakni bekel (setingkat lurah) semata-mata sebagai barisan pendukung kosmologi tersebut. Demikian hal nya ketika kekuatan ekonomi eropa masuk ke nusantara melalui jejaring pedagang eropa VOC, wilayah politik ekonomi rakyat tidak bergeming dari posisi semula, bahkan cenderung eksploitatif ketika VOC memanfaatkan struktur kekuasaan kerjaan semata-mata untuk kepentingan ekonomi kongsi dagang. Pada wilayah ini, gugatan Sjahrir terletak pada feodalisme tradisional yang meniadakan hak politik ekonomi rakyat. Wilayah politik, rakyat tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan siapa yang berkuasa. Dalam wilayah ekonomi, wacana komunalisme sebagai identitas masyarakat indonesia kembali dipertanyakan, apakah komunalisme dibangun berdasarkan kesepakatan dengan mengandaikan kesetaraan. Ataukah komunalisme dibentuk hanya dalam koridor kosmologi kerajaan (patron-klien) di mana rakyat sebagai pendukung atas konsentrasi kekuatan ekonomi kerajaan dan kongsi dagang.
Kiranya, penyepakatan warisan sejarah bangsa bagi Sjahrir hanya melulu pada kekuatan komunalisme masyarakat, namun sebuah komunalisme bersyarat, di mana diandaikan terdapat kesetaraan dan sebuah penyepakatan yang egaliter di antara masing-masing individu rakyat. Jika tidak demikian, komunalisme hanyalah sebuah kekuatan manipulatif yang meniadakan keberagaman dan kepentingan masing-masing individu. Kesannya memang sangat liberal, namun begitulah adanya. Sjahrir khawatir jika suatu Indonesia merdeka mengalami pemerintahan otoriter dan Sjahrir secara gamblang menganggap bahwa konsep kerajaan di nusantara semata-mata merupakan cerminan pemerintahan otoritarianisme-totaliter.
Ketika kekuatan ekonomi VOC ambruk di akhir abad 18 akibat korupsi yang merajalela dan kebijakan keuangan yang ceroboh dalam membayar para pemegang saham rata-rata 18 persen setahun, daerah-daerah yang dikuasai VOC kemudian ditempatkan di bawah kekuasaan langsung Pemerintah Belanda.[2] Tiga dekade setelah kejathuan VOC, ide-ide liberal menandai gerak sejarah Indonesia. Kekuasaan kepala wilayah atas tanah ditiadakan dan tanah menjadi milik perseorangan rakyat. Anton Haryono[3] menyebut era ini sebagai era transisional dengan percobaan liberalisme awal yang ternyata gagal. Liberalisme awal ini semula terobsesi untuk mengikis warisan feodal kerajaan dan kumpeni menuju kebebasan rakyat dan kepastian hukum atas tanah bagi rakyat. Namun, usaha ini menuai kegagalan seiring dengan kegagalan stelse tanah dan defisit keuangan pemerintah kolonial.
Kemudian muncullah seorang de Bosh yang berusaha mengembalikan kekuasaan feodal kepala wilayah dengan program baru bernama cultuurstelsel atau yang akrab disapa Sistem Tanam Paksa (STP). Berbeda dengan strategi ekspoliatasi ala liberalisme awal, yang menarik pajak uang kepada rakyat, kini dengan payung program STP, seperlima dari tanah desa dan seperlima waktu kerja penduduk desa akan digunakan untuk keperluan penanaman tanaman ekspor yang telah ditentukan oleh pemerintah. Kepala desa menjadi berfungsi lagi, tak lain dan tak bukan sebagai koordinator atas penyerahan pajak tanaman sekaligus staff terbawah dari struktur pemerintahan kolonial. Menurut Prof Sartono yang dikutip oleh Haryono, pelaksanaan STP menggunakan organisasi desa, yang berarti ikatan-ikatan tradisional, komunal, dan feodal diperkuat lagi.[4]
Tiga dekade terakhir abad 19, liberalisme sedang merebak di seluruh dunia. Dalam parlemen belanda, kaum liberal mendesak agar pemerintah hindia belanda melakukan liberalisasi tanah jajahan dengan alasan bahwa sistem penjajahan ala feodalistik STP di nilai hanya menguntungkan pemerintah belanda saja, di sisi lain nasib rakyat hindia belanda semakin menyedihkan. Tanam paksa menuai berbagai kritik soal kemanusiaan, kesejahteraan masyarakat hindia belanda, dan ketertiban anggaran. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tahun 1854 maka koloni diatur secara liberal demi kemajuan koloni. Secara legalistik, UU Agraria 1870 selanjutnya menjadi legalitas atas konsep liberalisasi negara koloni hindia belanda.
Kemudian muncul tulisan Douwes Dekker atau Multatuli yang bertajuk ”Max Havelar” (1860) terlalu menusuk sensitifitas kemanusian pemerintah Belanda. Ide liberalisasi mendorong usaha perseorangan dan pemerintah tidak turut campur. Kedudukan pemerintah hanya sebagai penerima retribusi dari para pengusaha.[5] Dengan harapan tumbuhnya kesejahteraan masyarakat koloni sekaligus mengurangi penderitaan masyarakat koloni atas praktek kolonialisme konservatif berupa tanam paksa. Dalam periode ini, era liberalisasi sama artinya dengan era di mana kejayaan swasta asing diambang pintu. Sistem liberal secara tidak langsung mengajari masyarakat hindia belanda untuk berkegiatan ekonomi secara bebas, namun secara umum ternyata kebebasan yang ditawarkan hanyalah kebebasan semu, poros sumberdaya tetap pada pihak luar, dalam hal ini swasta asing. Ikatan komunal masyarakat desa sudah tidak lagi dipergunakan dalam kegiatan produksi. Masing-masing hubungan kerja dilakukan dengan jalan kontrak perseorangan. Apabila feodalisme dimanapun bertentangan dengan liberalisme maka dalam konteks itu, feodalisme kala itu sengaja akan diruntuhkan. Namun dalam ranah eksploitasi, rakyat dan sumberdaya hindia belanda tidak bergeming dari posisi semula, bahkan cenderung masif karena melibatkan pemodal asing yang memiliki kekuatan modal besar.
Dalam perjalanannya, muncul kritikan dari kaum sosialis terhadap sistem liberal. Liberalisasi dipandang sebagai ”perbudakan yang disyahkan”. Kesejahteraan masyarakat koloni tak kunjung tiba, janji perbaikan tidak terwujud, pemberontakan-pemberontakan petani abad 19 semakin menjamur, perang besar seperti perang diponegoro (1825 – 1830), perang padri, perang aceh ternyata menguras anggaran Belanda. Kaum sosialis belanda menyuarakan perlu adanya perbaikan ekonomi, tingkat pendidikan kaum bumiputra.
Zaman baru telah tiba, di mana politik etis digulirkan di belantara hindia belanda. Banyak program politik etis telah dilakukan oleh pemerintah, seperti perluasan pengajaran, penyuluhan pertanian, kredit murah untuk rakyat desa, perbaikan irigasi, transmigrasi ke luar Jawa, bantuan untuk industri rakyat, penggiatan koperasi, dan sebagainya.[6] Dalam konteks pembangunan ekonomi Jawa, politik etis yang sering disebut dengan politik kesejahteraan ini tergolong gagal. Memang, patut diakui bahwa angka ekspor komoditi yang ditanam orang Indonesia meningkat, namun kesejahteraan justru tertimpa pada pengusaha swasta asing terutama Cina dan beberapa dari Arab.[7] Hal ini dimungkinkan karena sektor perkebunan yang sedang marak diusahakan di luar Jawa berada di bawah suprastruktur sindikat besar dan kartel yang terkoordinasi, yang erat bekerjasama dengan pejabat pemerintah. Di sisi lain, upah buruh perkebunan bagi rakyat, di rasa sangat memprihatinkan. Dalam konteks politik, periode ”kesejahteraan” ini cukup memberikan warna segar bagi perjuangan rakyat Indonesia. Secara tidak langsung, pengembangan pendidikan bagi anak priyayi pribumi telah menciptakan intelektual-intelektual progresif yang nantinya akan berkiprah dalam periode pergerakan nasional.
Sutan Sjahrir yang lahir pada tanggal 5 maret 1909 di Padang Panjang, Sumatra Barat sebagai anak Moh. Rasad adalah bagian dari anak jamannya. Ia lahir ketika pemerintah Hindia Belanda mendapati konsekuensi pahit atas kebijakan pendidikan yang digelontorkan di mana muncul benih-benih perlawanan politis dari elit terpelajar Hindia Belanda. Pada dekade awal abad 20, di Hindia Belanda sudah mulai muncul benih kesadaran nasionalisme Indonesia.
Sosialisme ala Sjahrir berpijak kepada penghormatan nilai-nilai demokrasi dan humanisme. Menghargai dan mengutamakan kemerdekaan individu-individu masyarakat Indonesia. Oleh karenanya, Sjahrir berpendapat bahwa Revolusi Indonesia hendaknya melebarkan sayap jauh melampaui batas-batas kemerdekaan nasional untuk menanamkan kemajuan sosial-ekonomi yang berakar luas.[3] Pandangan humanismenya semakin kelihatan ketika ia berkali-kali mengungkapkan kecemasannya mengenai bahaya-bahaya dari suatu masa depan otoriter bagi bangsa Indonesia baik itu otoriarianisme kanan yang diwakili oleh golongan yang segaja mewarisi pemikiran feodal maupun otoritarianisme kiri yang diwakili oleh golongan komunis. Oleh Sjahrir, keduanya adalah sama-sama mencerminkan penegasian individu rakyat indonesia.
“Tugas penting anggauta-anggauta partai kami dewasa ini adalah pembentukan kader penganut-penganut sosialis sejati yang sepenuhnya memahami arti sosialisme, terutama tekanannya pada individu serta kesejahteraan individu dan bukan pada negara. Partai-partai massa dengan anggauta-anggauta tak terdidik yang dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang mengambil keputusan-keputusan sendiri mengenai seluruh politik partai merupakan bahaya besar yang mengancam dan mungkin saja menjurus ke arah fasisme atau organisasi totaliter bentuk lain. Warisan feodal masih terasa kuat di kalangan orang Indonesia. Artinya, mereka telah terbiasa menerima patokan-patokan politik dari atas, sehingga mereka selalu menunggu perintah para pemimpin dan mengikuti perintah pemimpin-pemimpin demikian tanpa sedikitpun berani mengambil prakarsa. Kaum komunis telah berhasil menyalahgunakan warisan feodal yang meliputi rakyat ini dengan mengadakan suatu partai yang kuat yang disusun berdasarkan garis-garis sistem totaliterisme. Rakyat Indonesia, justru oleh karena masih kuat merasakan warisan feodal ini, teristimewa peka terhadap bahaya dipimpin oleh suatu sistem totaliter. Sesungguhnya bahaya untuk secara politik dihimpun berdasarkan garis-garis totaliter, merupakan bahaya terbesar yang mengancam masyarakat Indonesia. Persoalan perebutan kemerdekaan dari bangsa Belanda hanya merupakan soal transisi jangka pendek. Persoalan utama, senantiasa mengancam dan meliputi jangka panjang adalah bahaya totaliterisme. Jika kaum sosialis mencapai bahkan hanya tujuan negatif pencegahan adanya sistem totaliter, mereka boleh dikatakan mencapai kemenangan gemilang yang tiada taranya. Hal ini harus mendapat prioritas di atas segala-galanya”.[4]
Ahli ilmu politik dan indonesianis terkemuka, Herbert Feith mengusulkan pengidentifikasian sosialisme Sjahrir sebagai Sosialisme Liberal, namun dengan penagandaian istilah “liberal” dalam pemakaian bahasa politik di Indonesia tidak terlanjur diasosiasikan dengan kapitalisme yang tak terkendali.[5] Pilihan identifikasi lain misalnya sosialisme demokratik menurut Feith tidaklah cocok mengingat Partai Sosialis Indonesia yang didirikan Sjahrir hanya memiliki sedikit pengikut dari massa rakyat biasa. Keanggotaannya lebih terbatas pada kalangan mengengah perkotaan yang berpendidikan tinggi, sementara pengaruh politiknya tidak diperoleh melalui cara-cara populer seperti rally politik atau mobilisasi. Menurut Feith, perhatian besar sosialisme Sjahrir begitupun juga Partai Sosialis Indonesia adalah pada kebebasan individu, keterbukaan yang leluasa terhadap paham-paham intelektual di dunia, serta penolakan tegas terhadap berbagai bentuk obskurantisme (kemasabodohan intelektual), chauvinisme, dan kultus pribadi.[6]
Pemikiran Sjahrir sungguh sangat humanis. Hal ini terbukti penghargaan dia yang sesungguh-sungguhnya atas kemerdekaan dan kebebasan individu. Kebebasan dalam pengertian Sjahrir bukan sekedar kebebasan politik, tetapi keluasan dan keleluasaan jiwa, yang memandang dunia dengan gembira tanpa prasangka, yang tidak terhambat oleh kekangan dan kecurigaan-kecurigaan yang sempit.[7] Rupanya Sjahrir terinspirasi oleh jiwa Yunani klasik yang ditemukan kembali pada renaisans Eropa barat akhir abad 14. Jadi kesejahteraan dan kebebasan individu oleh Sjahrir ditempatkan dalam konteks pengembangan kebudayaan oleh pribadi-pribadi yang bebas.
“Untuk jiwa klasik dunia akan serba luas dan bukan sempit dan picik,hidup itu mulia dan tak pernah hina, seni selalu indah dan tidak jahat, dan manusia adalah makhluk penuh bakat yang harus diolah dan dikembangkan. Kebudayaan akan dibuat abadi oleh jiwa-jiwa klasik ini, politik menjadi perkara yang luhur, dan ilmu pengetahuan akan terbuka cakrawalanya seluas kaki langit karena pikiran dan jiwa sanggup menerobos batas-batasnya sendiri.[8]
Kemerdekaan Individu hingga pembukaan peluang-peluang atas berkembangnya intelektualitas warga negara bagi Sjahrir merupakan syarat mutlak dalam revolusi nasional. Kiranya, nasionalisme menjadi tidak sedemikian absurd yang hanya melulu berbicara soal kesetiaan warga negara terhadap negaranya tanpa ada penjelasan penjelasan ilmiah yang masuk akal.
ada saat menghadiri acara siding penting di Yogyakarta antara Sjahrir dan para tokoh-tokoh lainnya, tiba-tiba listrik mati dan di luar terdengar suara-suara senjata api. Hal ini membuat semua orang terkejut, merangkak di atas lantai untuk mencari perlindungan. Tapi ternyata tidak ada apa-apa dan lampu menyala lagi, hanya Sjahrir sendiri saja yang ternyata masih duduk tenang di atas kursinya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kemmudian pada waktu Sjahrir diculik oleh gerombolan Tan Malaka di Solo, dimana disana banyak orang yang gelisah karena takut kalau Sjahrir benar-benar ditembak mati, tetapi beliau malah bersenda gurau dengan teman-temannya. Dan juga pada saat Sjahrir berpidato untuk menenangkan rakyat setelah peristiwa tersebut beliau tak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada para penculik karena sudah diberi “hari libur sebagai Perdana Menteri”.
Dari beberapa peristiwa di atas kita dapat membaca dan menangkap pemikiran dari sang tokoh bahwa dalam keadaan seperti apapun baik maupun buruk beliau selalu bersikap tenang untuk tidak panic seolah-olah tidak terjadi apa-apa di sekitarnya.Pada waktu Sjahrir tampil di depan untuk memimpin KNIP Bukan karena ia merebut kursi tetapi karena adanya dukungan dan kepercayaan dari kawan-kawannya. Dari sini dapat dilihat bahwa kualitas dari Sjahrir sudah tidak diragunakan lagi dan sudah diakui oleh para pemuda-pemuda pada saat itu. Dimana dalam menjalankan aksi-aksinya yang sering sembunyi-sembunyi atau bawah tanah telah dapat menghasilkan politik praktis pada saat itu.
Untuk mengetahui pribadi Sjahrir, baik sebagai politikus maupun sebagai manusia dimana ia menulis di sebuah karangan pendeknya dengan tenang dan jujur, kita melihat bukan hanya seorang pemikir yang abstrak, tapi seorang negarawan yang besar, ningrat yang merakyat, sosialis yang berkeyakinan kuat serta anti feudal dan fasis. Beliau adalah seorang yang berpikir dan selalu mengajak dan merangsang teman-temannya untuk berpikir, ia sendiri memang berhaluan sosialis bahkan beranggapan bahwa yang dituju oleh nasionalisme Indonesia pada saat ini adalah masyarakat sosialis. Seperti dalam tulisannya “Selama kita hidup di tengah-tengah dunia pengaruh kapitalistis, kita terpaksa menjaga agar kita tidak bermusuhan dengan dunia kapitalistis itu dan itu membawa kesimpulan bahwa kita harus membuka diri sebagai daerah berkarya mereka, akan tetapi dengan syarat bahwa kesejahteraan rakyat kita tidak dirugikan karenanya”.
Sjahrir adalah nasionalis tidak sempit yang melihat jauh ke depan: “Keluar, revolusi kita menampakkan diri sebagai revolusi nasional; ke dalam, revolusi kita sesuai dengan hokum-hukum demokrasi masyarakat, punya serat-serat sosialis. Jika kita tidak sadar mendalami kenyataan itu, maka apa yang ada pada saat ini perjuangan kita, hanyalah tetap tinggal revolusi nasional belaka, penuh pengertian palsu terhadap perubahan-perubahan yang sekarang sedang bekerja dan melaksanakan diri dalam masyarakat kita yang demokratis. Maka ada bahaya besar, kita lalu tidak mengenal kembali salah satu musuh kita yang mengambil bentuk yang cocok dengan bentuk-bentuk tertentu dari nasionalisme; sehingga nasionalisme kita lalu mendapat raut-raut muka dari sebentuk solidarisme, jelasnya solidarisme feodal atau hirarkis. Dengan kata lain: fasisme, musuh terbesar dari kemajuan semua bangsa di bumi ini”. Kemudian Sjahrir melanjutkan keterangan hal itu dengan beberapa ilustrasi situasi bangsa kita yang terpojok: “Kita hidup dalam satu dunia dimana tenaga atom sudah dimanfaatkan dengan suatu teknik, suatu organisasi dan ilmu pengetahuan yang sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan dunia di zaman Revolusi Perancis. Masyarakat kita sudah mengenal pembentukan-pembentukan trust dan kartel, dan kongsi-kongsi kapitalis minyak dan sebagainya yang membuktikan, bahwa kendatipun revolusi kita adalah revolusi rakyat, kita tidak boleh keliru dan menyamakannya dengan Revolusi Perancis. Perancis dan Revolusi Perancis merupakan barisan pelopor dan pandu-pandu dari dunia kapitalistis imperialistis.
Konsep nasionalisme milik Sjahrir yang tidak sempit sentimentil terpukau pada soal gengsi yang kurang dewasa dan yang langsung konsisten menunjuk pada isi revolusi nasional kita. Menurut teman-temannya, Sjahrir bukan hanya analis kemasyarakatan yang cerdas-rasionil melihat rakyat dari atas, melainkan benar-benar bisa menangis secara harfiah bila melihat keterbelakangan dan penderitaan orang kecil.
Sekali lagi disini bahwa Sjahrir dapat melihat penghalang paling gigih dari kaum buruh tani dan orang kecil umumnya yang ingin maju, bukan di luar tetapi di dalam tubuh bangsa kita sendiri, terutama dalam feodalisme yang masih menguasai daerah-daerah tani dan yang dipelihara oleh Pemerintah kolonial Belanda melalui tuan-tuan tanah besar, peraturan-peraturan penguasa, kerja paksa dan sumbangan-sumbangan wajib”. “Sedangkan kaum pemuda, terutama yang terpelajar tidak dapat memenuhi tugasnya sebagai perintis sesuai dengan apa yang kita kita cita-citakan.
Ketika angkasa Indonesia sedang gelap gulita, dimana disana sang Perdana Menteri Sjahrir sedang berpidato dengan sangat tenang dan jelas untuk mengajak kita ingat diri, meninjau ke dalam dan memandang jauh ke depan dengan mengutamakan akal daripada perasaan jangan sampai menyia-nyiakan daya. Revolusi perbuatan yang tidak didasari oleh revolusi jiwa pada akhirnya akan menjadi aksi anarki.
Menurut pendapat dari Roeslan Abdoelgani tentang pribadi Sjahrir ialah bahwa sesungguhnya ia kurang tepat kalau dianggap sebagai “Pahlawan Nasional” karena nasionalisme bagi Sjahrir hanyalah sebagai alat atau kendaraan dan RI adalah nama dari suatu revolusi yang lebih mendalam lagi. Akan lebih tepat dan cocok dengan pemberian title sebagai seorang “Pahlawan Kemerdekaan” karena ia adalah contoh manusia yang benar-benar merdeka dalam merintis suatu kemerdekaan bagi bangsanya. Kalau ada title semacam “Pahlawan Sosialis” bisa dibilang Sjahrir layak disebut demikian.
Apakah selama ini Sjahrir dalam bentuk-bentuk pemikirannya tidak pernah melesat atau salah. Tak ada gading yang tak retak. Meskipun beliau adalah termasuk salah satu diantara para pemimpin bangsa yang punya pemikiran yang sangat cemerlang yang kita miliki, tapi kita juga harus mengakui bahwa beliau juga manusia biasa seperti kita-kita yang setiap saat pasti akan melakukan kesalahan.
Diantaranya adalah penilaiannya terhadap gerakan kaum buruh Internasional atau tepatnya di blok Barat. Dimana ia masih mengira, bahwa kaum buruh disana merupakan sekutu yang dapat diajak bekerja sama untuk mengakhiri kapitalisme borjuis yang berperangai imperialistis tadi. Lalu yang kemudian ialah bahwa ia menilai bangsa dan pemerintah Belanda cukup masuk akal untuk mengatasi saat historis kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu Sjahrir menganggap bahwa hasil dari Konferensi Meja Bundar bukanlah merupakan suatu kemenangan tapi suatu kekalahan. Karena meskipun bendera Merah Putih benar-benar berkibar di Jakarta tapi seluruh daerah di Indonesia ini perekonomiannya masih dikuasai oleh Belanda.
Berikut ini merupakan perbedaan pandangan antara Ir. Soekarno dengan Sutan Sjahrir dalam membangun bangsa tercinta ini. Pertama: Soekarno adalah seorang nasionalis pertama-tama yang dimiliki bangsa kita ini, dimana dalam nasionalismenya beliau bercita-cita untuk membangun tata dunia baru yang sudah usang, Lalu ia adalah personifikasi seluruh cita-cita patriotic yang menghubungkan antara masa lampau dengan masa kini. Dalam konsep pemikirannya Soekarno ini berusaha untuk menyatukan atau kawin dengan dunia Barat. Dengan salah satu caranya beliau memobilisasi massa untuk bersatu membangun tanggul dan saluran pertahanan guna menghadang badai yang berusaha menerjang. Sedangkan Sutan Sjahrir adalah seorang humanis pertama yang berusaha untuk membuat dunia baru dengan menggunakan jiwa universalnya untuk perjuangannya. Sebenarnya Sjahrir ini merupakan tipe manusia masa depan yang keluar terlebih dahulu untuk mengatur masalah nasionalisme dan kemudian berusaha untuk menyatukan antara masa depan dengan masa kini dengan caranya sendiri. Bagi Sjahrir antara Barat dan Timur sudah tidak ada, ia hanya tersenyum dan mengajukan saran: Jadilah burung, betapapun kecilnya begitu kita lepas dari hokum alam atau rimba.
Kedua: Pada dasarnya pemikiran Sjahrir tentang nasionalisme sudah terlalu tinggi (abstrak), dimana dengan cara-caranya sendiri ia berusaha untuk mengenal manusia dan membuang jauh-jauh segala sifat kemunafikannya yang terselubung. Beliau tetap setia pada negeri tercinta ini. Dalam hal kebudayaan bangsa kita lebih dekat kepada Amerika atau Eropa daripada kebudayaan Timur. Apapun dasar budaya kita, Baratkah atau benih-benih kebudayaan feodal yang masih ada dalam masyarakat kita. Selain itu setelah beliau berkeliling Asia dengan penuh keheranan ia melihat dan menemukan bahwa bangsa kita ini merupakan bangsa yang paling banyak meniru bangsa Barat. Apakah kita pernah melihat Nehru, Gandhi, Ho Chi Minh atau Mao memakai jasa dengan gaya pakaian Barat, mereka masih setia kepada kebudayaan bangsanya. Di Negara kita ini seluruh kebudayaan dari luar yang ada langsung ditelan mentah-mentah tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu. Menurut ia juga bahwa standar ukuran nasional bangsa kita paling tidak berwatak dan dari sini mana mungkin akan tercipta rasa nasionalisme yang tinggi seperti bangsa-bangsa lain. Apakah kita harus memilih antara jadi budak dengan jadi tuan, mengapa kita harus memilih antara Barat dengan Timur. Kita tidak boleh atau perlu untuk mengambil salah satunya atau lainnya, kita bisa menolak kedua-duanya karena keduanya sudah ketinggalan jaman.