Academia.eduAcademia.edu

STUDI HADIS

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya makalah ini dapat penulis selesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi Muhammad SAW, karena berkat jasa beliau, kita dapat menjadi masyarakat yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan bermoral. Makalah ini berjudul " Studi Hadis" membahas tentang studi hadis, langkah awal yang akan dibahas mencakup pada pengertian hadis, sunnah, sanad, matan, rawi, perkembangan awal Studi Hadis, pendekatan utama dalam Studi Hadis, perkembangan Mutakhir dan kritik terhadap Studi Hadis, serta referensi Utama dalam Studi Hadis. Makalah ini masih sedarhana membahas tentang studi Hadis, kendatipun demikian. makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca memahami makalah ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan karena penulis masih dalam tahap pembelajaran. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada para pembaca khususnya Allah SWT karena dapat membuat makalah ini sampai dengan selesai. Kebenaran dan kesempurnaan itu datangnya dari Allah SWT.

STUDI HADIS Disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Studi Islam Multidisipliner Nama NIM OLEH : Ernayanti : 2150500011 DOSEN PENGAMPU Dr. Anas Habibi Ritonga, M.A NIP. 19840403 201503 1 004 PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANGSIDIMPUAN 2021 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya makalah ini dapat penulis selesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi Muhammad SAW, karena berkat jasa beliau, kita dapat menjadi masyarakat yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan bermoral. Makalah ini berjudul “ Studi Hadis” membahas tentang studi hadis, langkah awal yang akan dibahas mencakup pada pengertian hadis, sunnah, sanad, matan, rawi, perkembangan awal Studi Hadis, pendekatan utama dalam Studi Hadis, perkembangan Mutakhir dan kritik terhadap Studi Hadis, serta referensi Utama dalam Studi Hadis. Makalah ini masih sedarhana membahas tentang studi Hadis, kendatipun demikian. makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca memahami makalah ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan karena penulis masih dalam tahap pembelajaran. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada para pembaca khususnya Allah SWT karena dapat membuat makalah ini sampai dengan selesai. Kebenaran dan kesempurnaan itu datangnya dari Allah SWT. Padangsidimpuan, 27 Oktober 2021 Penulis i DAFTAR ISI Hlm KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1 A. Latar Belakang ........................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 1 C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 1 BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 2 A. Pengertian Hadis dan Sunnah .............................................................................. 2 B. Unsur-Unsur Pokok Hadis ........................................................................ 7 C. Perkembangan Awal Studi Hadis ........................................................................ 8 D. Pendekatan Utama dalam Studi Hadis .............................................................. 14 E. Perkembangan Mutakhir (Tahun 1900 s.d Sekarang) dan Kritik terhadap Studi Hadis ....................................................................... 18 F. Referensi Utama Dalam Studi Hadis ................................................................. 20 BAB II PENUTUP ............................................................................................ 23 A. Kesimpualan ........................................................................................... 23 DAFTAR PUSTAKA ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hadis adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Alquran. Selain sebagai sumber, hadis juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Alquran. Berdasarkan hal tersebut, maka kajian tentang hadis memiliki kedudukan yang penting di dalam studi ilmu-ilmu sumber dalam Islam. Sepeninggalnya Rasulullah SAW., perhatian terhadap hadis terus berkembang, dimulai periwayatan secara lisan, ditulis serta dibukukan, mengisnad dan sampai pada klasifikasi dan susunan dari kitab-kitab hadis. Seiring dengan perkembangan hal di atas, muncul pula hadis-hadis palsu, yang melatarbelakangi kegiatan pemeliharaan hadis, sehingga sangat perlu dilakukan studi hadis. Dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan tentang studi hadis, langkah awal yang akan dibahas mencakup pada pengertian hadis, sunnah, sanad, matan, rawi, perkembangan awal Studi Hadis, pendekatan utama dalam Studi Hadis, perkembangan Mutakhir dan kritik terhadap Studi Hadis, serta referensi Utama dalam Studi Hadis. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengertian hadis, sunnah, sanad, matan, dan rawi? 2. Bagaimana perkembangan awal studi hadis? 3. Bagaimana pendekatan utama dlam studi hadis? 4. Bagaimana perkembangan mutakhir dan kritik terhadap studi hadis? 5. Apa referensi Utama dalam Studi Hadis? C. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah ini untuk: 1. Mengetahui pengertian hadis, sunnah, sanad, matan, dan rawi. 2. Mengetahui perkembangan awal Studi Hadis. 3. Mengetahui pendekatan utama dlam studi hadis. 4. Mengetahui perkembangan mutakhir dan kritik terhadap studi hadis. 5. Mengetahui referensi utama dalam studi hadis. 1 BAB II PEMBAHASAN STUDI HADIS A. Pengertian Hadis dan Sunnah 1. Hadis Secara etimologi, hadis adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdis yang berarti pembicaraan. Kata hadits mempunyai beberapa arti; yaitu : 1) “Jadid” (baru), sebagai lawan dari kata”qadim” (terdahulu). Dalam hal ini yang dimaksud qadim adalah kitab Allah, sedangkan yang dimaksud jadid adalah hadis Nabi SAW.1 Namun dalam rumusan lain mengatakan bahwa Al-Qur‟an disebut wahyu yang matluw karena dibacakan oleh Malaikat Jibril, sedangkan hadis adalah wahyu yang ghair matluw sebab tidak dibacakan oleh malaikat Jibril. Nah, kalau keduanya sama-sama wahyu, maka dikotomi, yang satu qadim dan lainnya jadid tidak perlu ada.2 2) “Qarib”, yang berarti dekat atau dalam waktu dekat belum lama. 3) “Khabar”, yang berarti warta berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang. Hadis selalu menggunakan ungkapan ‫ و أنبأنا‬,‫حدثنا‬, ‫( أخبرنا‬megabarkan kepada kami, memberitahu kepada kami dan menceritakan kepada kami. Dari makna terakhir inilah diambil perkataan “hadits Rasulullah” yang jamaknya “ahadits”.3 1 Subhi As-shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 22. Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 2 3 Shubhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuh, (Beirut: Dar al-„Ilm li al- Malayin, 1969), hlm. 4. 2 2 Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan defenisi hadis, yaitu:4 1) Ulama hadis pada umumnya menyatakan, hadis adalah segala ucapan, perkataan, taqrir (pengakuan) dan keadaan Nabi. 2) Ulama ushul fiqih mengatakan bahwa hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi, yang berkaitan dengan hukum. 3) Sebagian ulama, seperti al-Thibbi menyatakan bahwa hadis adalah perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi, perkataan, perbuatan dan taqrir Sahabat, perkataan, perbuatan dan taqrir Tabi‟in. 4) „Abd al-Wahhab Ibn Shubhi dalam Matn al-Jami, al-Jawami’ menyatakan bahwa hadis adalah segala perkataan dan perbuatan Nabi SAW. Sementara itu, sebab terjadinya perbedaan para Muhadditsin dalam mendefenisikan hadis adalah karena obyek peninjauan mereka juga berbedabeda pula. a. Ahli Hadis Obyek peninjauan ahli hadis adalah pribadi Rasul yang dijadikan sebagai teladan bagiumat. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa biografinya, akhlaknya, beritanya, perkataan, dan perbuatannya, baik yang ada hubungannya dengan hukum atau tidak, dikategorikan sebagai haidis. b. Ahli Ushul Obyek peninjauan mereka adalah pribadi Nabi sebgai pengatur undangundang dalam menciptakan dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid, yang datang sesudahnya, menjelaskan kepada umat manusia tentang aturan hidup, yang oleh karena itu membatasi diri dengan hal-hal yang bersangkut paut dengan hukum saja. 4 M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits,(Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm.1. 3 c. Ahli Fiqih (Fuqaha) Obyek peninjauannya adalah pribadi Nabi sebagai seorang yang seluruh perbuatannya, atau seluruh perkataannnya menunjuk kepada suatu hukum Syari‟. Olah karena itu, mereka membahas tentang hukum wajib, haram, makruh dan sebagainya.5 Dari pengertian yang diberikan oleh ahli ushul fiqih di atas, berarti informasi tentang kehidupan Nabi ketika masih kecil, kebiasaan, kesukaan makan dan pakaian yang tidak ada relevansinya dengan hukum, maka tidak disebut sebagai hadis. Sehubungan dengan istilah yang dikemukakan oleh ulama hadis di atas, Dr. Muhammad Abdul Rauf menyimpulkan unsur yang terdapat dalam pengertian hadis ada 3 kategori yaitu:6 1) Perkataan, yaitu sesuatu yang pernah diucapkan oleh Nabi bersangkut paut dengan syara‟, mengandung hukum, akhlak, pendidikan dan sebagainya. 2) Perbuatan, yaitu perbuatan yang pernah dikerjakan Nabi yang mengandung syara‟, adakalanya perbuatan Nabi tersebut merupakan penjelasan praktis terhadap ketentuan-ketentuan/perbuatan-perbuatan syara‟ yang belum jelas secara pelaksanaannya. 3) Taqrir, yaitu keadaan Nabi mendiamkan tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui yang telah dilakukan oleh Sahabatnya. Misalnya Nabi telah membiarkan Khalid bin Walid makan daging biawak, sedang beliau sendiri tidak memakannya, karena tidak senang dengan daging biawak tersebut. 5 6 Ibid., hlm 2. Ibid., hlm. 3 4 2. Sunnah Sunnah menurut bahasa artinya “jalan”, baik terpuji maupun tercela. Sunnah dapat juga diartikan sebagi tradisi apabila sesuatu perbuatan telah biasa dikerjakannya, walaupun perbuatan itu tidak baik, disebut juga dengan sunnah. Kedua pengertian tersebut digunakan dalam hadis Nabi sebagai berikut.7 “Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakanya hingga hari kiamat. Dan barang siapa yang mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk maka atasnya dosa membuat orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat.” (H.R.Bukhari Muslim)”. Pengertian Sunnah secara terminologi menjadi beragam di kalangan para pengkaji syari‟at, sesuai dengan spesialisasi dan tujuan masing-masing. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah hadits. a. Sunnah menurut ahli hadis ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW., menjadi Rasul, maupun sesudahnya. b. Sunnah menurut ahli ushul ialah segala yang dinukilkan dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (pengakuan) yang mempunyai hubungan dengan hukum. c. Sunnah menurut ahli fiqih ialah segala sesuatu dari Nabi yang perbuatanperbuatan beliau menunjukkan ketentuan syara‟. Meraka mengkaji hukum syara‟ berkenaan dengan perbuatan manusia, baik dari segi wajib, haram, mubah atau yang lain. d. Menurtu Dr. Tawfiq Shidqi, sunnah ialah jalan yang dipraktekkan oleh Nabi secara terus-menerus dan diikuti oleh para sahabatnya. 7 Ibid.,hlm 8. 5 e. Menurut T.M Hasbi Ash- Sihiddieqy, sunnah adalah sesuatu yang dilaksanakan oleh Nabi yang terus-menerus dinukilkan kepada kita dari zaman ke zaman denga jalan mutawatir. Nabi bersama para sahabat melaksanakannya, kemudian pelaksanaan itu diteruskan olah para Sahabat, para Tabiin dan seterusnya dari generasi ke generasi, sampai pada masa kita sekarang.8 3. Perbedaan pengertian Istilah Hadis dengan Sunnah Ada beberapa pendapat ulama tentang perbadaan hadis dan sunnah: a) Menurut Ibn Taimiyyah, istilah hadis bila tidak dikaitkan dengan lafaz yang lain berarti segala yang diriwayatkan dari Nabi, baik perkataan, perbuatan, maupun pengakuannya istilah sunnah, bila tidak dikaitkan dengan lafaz lain berarti, tradisi yang berulangkali dilakukan oleh masyarakat, baik dipandang ibadah maupun tidak. b) Menurut Dr. Tawfiq Shidqi, hadis ialah pembicaraan yang diriwayatkan oleh satu orang, atau dua orang, kemudian hanya mereka saja yang mengetahuinya (tidak menjadi amalan yang umum). Sedangkan sunnah ialah suatu jalan yang dipraktekkan oleh Nabi secara terus-menerus dan diikuti oleh Sahabat beliau. c) Menurut Sulaiman al-Nadwi, hadis ialah segala peristiwa yang dinisbahkan kepada Nabi SAW walaupun hanya satu kali saja dikerjakan dan walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan sunnah adalah nama dari sesuatu yang kita terima dengan jalan kutawatir dari Nabi SAW. (nabi melakukannya di hadapan para sahabat, kemudian para Sahabat juga melakukannya, kemudian Tabi‟in juga melakukannya seperti yang dilaksanakan oleh para Sahabat tersebut dan seterusnya). d) Menurut Dr. Abdul Kadir Hasan, hadis ialah sesuatu yang diriwayatkan Nabi berupa ilmu pengetahuan teori (bersifat teoritis). Sedangkan sunnah adalah suatu tradisi yang sudah tetap dikerjakan oleh Nabi SAW berupa perkara yang bersifat amalan. 8 Ibid. 6 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Perbedaan hadis dan sunnah, jika penyandaran sesuatu kepada Nabi walaupun baru satu kali dikerjakan bahkan masih berupa azam menurut sebagian ulama disebut hadis bukan sunnah. Sunnah harus sudah berulang kali atau menjadi kebiasaan yang telah dilakukan Rasul. Perbedaan lain, Hadis menurut sebagian ulama ushul fiqih identik dengan sunnah qauliyah saja, karena melihat hadis hanya berbentuk perkataan sedangkan sunnah berbentuk tindakan atau perbuatan yang telah mentradisi.9 B. Unsur-Unsur Pokok Hadis 1. Sanad Sanad menurut lughah, ialah: “sesuatu yang kita bersandar kepadanya, baik tembok atau selainnya”. Sedangkan menurut istilah, sanad adalah: ‫طريق متن الحديث‬ “Jalan yang menyampaikan kita kepada matan Hadis” Ringkasnya sanad Hadis ialah yang disebut sebelum matan Hadis. Sedangkan isnad secara lughah ialah menyandarkan sesuatu kepada yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah: ‫رفع الحديث الىقائله او ناقله‬ “Mengangkat Hadis kepada yang mengatakanya atau yang menukilkannya”. Sedangkan pengertian sanad secara terminologis adalah : ‫سلسلة الرجال المىصلة للمتن‬ “Silsilah orang-orang yang menghubungkan Hadis” Sisilah orang-orang maksudnya adalah susunan atau rangkaian orangorang perawi Hadis yang menyampaikan materi Hadis sejak mukharrij sampai kepada perawi terakhir yang bersambung kepada Nabi saw.10 2. Matan Matan menurut lughat ialah jalan tengah, punggung bumi atau bumi yang keras dan tinggi. Sedangkan menurut istilah, matan Hadis ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diover oleh sanad yang 9 Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (Yogyakarta: IAIN PO Press, 2018), hlm.9. Ibid, hlm. 16-17. 10 7 terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah SAW, sahabat ataupun Tabi‟in. Baik pembicaraan itu tentang Nabi atau taqrir Nabi. Menurut Ath Thibi, matan ialah: ‫ألفاظ الحديث التي تتقىم بها المعانى‬ “lafadz-lafadz Hadis yang dengan lafadz-lafadz itulah terbentuk makna”. Sedang menurt Ibnu Jama‟ah matan ialah: ‫ما ينتهى إليه السند غاية السند‬ “Sesuatu yang kepadanya berakhir sanad (perkataan yang disebut sesuatu berakhir sanad.11 3. Rawi Yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya). Bentuk jamaknya adalah ruwah dan perbuatannya menyampaikan Hadis disebut meriwayatkan Hadis.12 Sebuah Hadis sampai kepada kita dalam bentuknya yang sudah terdewan dalam dewan-dewan Hadis, melalui beberapa rawi dan sanad. Seorang pengarang bila hendak menguatkan suatu Hadis yang ditakhrijkan dari suatu kitab Hadis pada umumnya membubuhkan nama rawi terakhirnya pada akhir matan Hadis. C. Perkembangan Awal Studi Hadis Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis bertujuan untuk mengangkat fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, kemudian secara periodik pada masa-masa sahabat dan tabi‟in serta masa-masa berikutnya. Diantara para ulama terdapat perbedaan dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan perkembangan hadis ini, ada yang membaginya dalam tiga periode saja, yaitu masa Rasulullah SAW, sahabat dan 11 M. Hasbi Ash Shidiqi, Pokok-Pokok Ilmu Diroyah Hadis, vol.1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1987) hlm. 45 12 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al Hadits, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1974), hlm. 217. 8 tabi‟in, namun ada yang membaginya dalam periodesasi lain yang lebih terperinci, yaitu lima hingga tujuh periode dengan spesifikasi yang cukup jelas. Berbicara tentang asal mula dan perkembangan Hadis tidak terlepas dari awal mula dan tumbuh serta berkembangnya periwayatan Hadis itu sendiri. Akan tetapi, ilmu-ilmu tersebut belum terlembaga menjadi satu disiplin ilmu khusus. Ia menampakkan dirinya lebih jelas lagi setelah Rasul wafat. 1. Periode Pertama; Perkembangan Hadis pada Masa Rasulullah SAW Apabila membicarakan hadis pada masa Rasulullah SAW, berarti membicarakan hadis pada awal pertumbuhannya. Ada suatu keistimewaan pada masa Rasulullah SAW yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah SAW, sebagai sumber hadis, tidak ada jarak atau penghambat yang dapat menghalangi bertemu dengan Rasulullah SAW.13 Dalam riwayat Bukhari, disebutkan Ibnu Mas‟ud pernah bercerita bahwa Rasulullah SAW, menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya, dan tidak mengalami kejenuhan. Ada beberapa cara Rasulullah SAW dalam menyampaikan hadis kepada sahabat, yaitu Pertama, melalui para jamaah yang berada dipusat pembinaan atau majelis al-ilmi. Kedua, Rasulullah SAW menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya pada orang lain. Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasulullah SAW dalam menyampaikan hadis adalah melalui ceramah tau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada‟.14 Pada masa Rasulullah SAW, kepandaian baca tulis dikalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis dikalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghafal, memahami, memelihara, mematerikan dan memantapkan hadis dalam amalan sehari-hari, serta menyampaikannya pada orang lain. Tidak ditulisnya hadis pada Rasulullah SAW, bukan berarti tidak ada sahabat yang 13 14 Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 87-88. Ibid, hlm. 88-89. 9 menulis hadis. Dalam sejarah penulisan hadis terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadis, diantaranya, Abdullah Ibn Amr Ibn „Ash, Shahifahnya disebut As-Shadiqah, selanjutnya Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadis tentag hukum diyat, hukum keluarga dan lain-lain, kemudian Anas Ibn Malik. 15 2. Periode Kedua; Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa’ ArRasyidin (11 H – 40H) Periode ini disebut masa membatasi dan menyedikitkan riwayat. Nabi SAW wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Alquran dan Hadis yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas, penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi, bahkan saat itu Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Alquran.16 Kondisi pada masa sahabat besar (Khulafaur Rasidin), perhatian mereka masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur‟an. Dengan demikian maka penulisan hhadis belum begitu berkembang, bahkan mereka membatasi periwayatan dan menjauhi penulisan hadis tersebut. Oleh karena itu masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau memperketat periwayatan. Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan hadis yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan atas nama Rasul saw., karena hadis adalah sumber ajaran setelah Al-Qur‟an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafaur Rasidin sahabat-sahabat lainnya, seperti az Zubair, Ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan, penulisan dan penerimaan hadis.17 15 M.Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 16 Ibid, hlm. 35. Khusniati Rofiah, Op.Cit., hlm. 76-77. hlm. 34. 17 10 3. Periode Ketiga; Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in. Periode ini disebut, masa berkembang dan meluasnya periwayata, hadis. Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerahdaerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis. Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga hadis di berbagai daerah di seluruh negeri. Diantara bendaharawan hadis yang banyak menerima, menghafal dan mengembangkan atau meriwayatkan hadis adalah: a) Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi beliau meriwayatkan 5.347 hadis, sedangkan menurut Al-Kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadis. b) „Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadis c) „Aisyah, Istri Rasulullah SAW, meriwayatkan 2.276 hadis d) „Abdullah Ibn „Abbas meriwayatkan 1.660 hadis e) Jabir Ibn „Abdullah meriwayatkan 1.540 hadis f) Abu Sa‟id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadis.18 Tercatat beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai tempat tujuan para tabi‟in dalam mencari hadis, yaitu Madinah Al-Munawarah, Mekah Al-Mukaramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghrib dan Andalas, Yaman dan Khurasan. Pusat pembinaan pertama adalah Madinah karena disinilah Rasulullah SAW, disini pula Rasulullah SAW membina masyarakat Islam yang terdiri dari Muhajirin dan Anshor. 19 Beberapa Tokoh penting dalam pengembangan, hadis pada lembagalembaga pembinaan periwayatan hadis diantaranya adalah sebagai berikut:20 1) Madinah, Tokohnya adalah : Abu Bakar, Umar, Alu, Abu Hurairah, „Aisyah, Ibn Umar, Sa‟id Al-Khudri, Zaid Ibn Tsabit (dari kalangan sahabat), Urwah, Sa‟id Az-Zuhri, Abdullah Ibn Umar, Al-Qasim Ibn 18 Ibid, hlm. 35. Mudasir, Op.Cit., hlm. 101-102. 20 Solahuddin,Op.Cit., hlm. 37-38. 19 11 Muhammad Ibn Abi Bakar, Nafi‟, Abu Bakar Ibn Abd Al-Rahman Ibn Hisyam, dan Abu Zinab (dari kalangan tabi‟in). 2) Mekah, Tokohnya adalah : Ali, „Abdullah Ibn Mas‟ud, Sa‟ad Ibn Abi Waqas, Sa‟id Ibn Zaid, Khabbah Ibn A‟Arat, Salman Alfarisi, Abu Juhaifat (Sahabat), Masruq, Ubaididah, Al-Aswad, Syuraih, Ibrahim, Sa‟id Ubn Jubair, Amir Ibn Syurahil, Asy-Sya‟bi (tabiin). 3) Basrah, Tokohnya adalah : Anas Ibn Malik, „Utbah, Imran Ibn Husain, Abu Barzah, Ma‟qil Ibn Yasar, Abu Bakrah, Abd Ar-Rahman Ibn Sumirah, dll. 4) Syam, Tokohnya adalah : Mu‟adz Ibn Jabbal, Ubaidah Ibn Tsamit, Abu Darda (sahabat), Abu Idris al-Khaulani, Qasibah Ibn Dzuaib,Makhul, Raja‟ Ibn Haiwah (tabiin). 5) Mesir, Tokohnya adalah : „Abdullah Ibn Amr, Uqbah Ibn Amir, Kharijah, dll. Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orangorang yang tidak bertanggungjawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali RA, pada masa ini umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syiah. Kedua, golongan Khawarij, yang menentang Ali, Ketiga, golongan Jumhur (golongan pemerintah pada masa itu). 21 4. Periode Keempat; Perkembangan Hadis Pada Abad II dan III Hijriah Dapat kita simpulkan bahwa pada periode pertama sampai ketiga hadis diriwayatkan hanya melalalui mulut ke mulut dan masing-masing perawi meriwayatkan berdasarkan kekuatan hafalan-hafalan. Kemudian pada periode keempat ini, dimana kekhalifahan dipegang oleh khalifah Umar Ibn Abdul Aziz dari dinasti amawiyah, hadis mulai dibukukan. Orang yang dipercaya waktu itu adalah Abu Bakar Ibn Hazm dan buku hadis tertulis pertama kali adalah tulisan beliau. Sedangkan kitab yang paling tua dewasa ini dan masih ada adalah kitab al-Muwatha‟ karangan Imam Malik. Sistem 21 Ibid. 12 pembukuan pada periode ini masih bersifat temporer, yakni masih berbaur antara Sunnah Nabi SAW., fatwa-fatwa sahabat, juga fatwa-fatwa tabi‟in sehingga muncullah istilah hadis marfu‟, mauquf, dan maqthu‟.22 Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah ini adalah Malik, Yahya Ibn Sa‟id Al-Qaththan, Waki Ibn al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu‟bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman Ibn Mahdi, Al-Auza‟I, Al-Laits, Abu Hanifah dan Asy-Syafi‟i.23 5. Periode Kelima; Masa Men-tashih-kan Hadis dan Penyusunan Kaidahkaidahnya Pada periode ini para Ulama Hadis mulai memisahkan mana hadis dan mana fatwa sahabat dan tabiin, demikian juga memilah dan memilih mana hadis shahih, hasan maupun yang dhaif . Disamping itu juga menerapkan kaidah-kaidah hadis, ilat-ilat hadis dan tafsir sejumlah perawi-perawi hadis sehingga muncullah Ilmu Dirayah hadis yang banyak macamnya disamping Ilmu Riwayah hadis.24 Ulama hadis yang mula-mula menyaring dan membedakan hadis-hadis yang shahih dari yang palsu dan yang lemah adalah Ishaq Ibn Rahawaih, seorang Imam hadis yang sangat termasyhur.Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan oleh Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jamius Shahih. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap shahih, kemudian usaha Al-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim. Tokoh-tokoh hadis yang lahir dalam masa ini adalah : Ali Ibnul Madany, Abu Hatim Ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Muhammad Ibn Sa‟ad, Ishaq Ibnu Ruhawaih, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa‟I, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibu Qutaibah AdDainuri. 25 22 Ibid. Muhaimin, Studi Islam, Dalam Ragam Dimensi & Pendekatan (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 150. 24 Ibid., hlm. 151. 25 Solahuddin, Op.Cit., hlm. 43-44. 23 13 6. Periode Keenam; Dari Abad IV hingga Tahun 656 H Para Muhaddisin yang hidup pada abad kedua dan ketiga dinamakan “mutaqaddimin” sedang yang hidup pada abad keempat dinamakan “mutaakhirin” dan kebanyakan hadis yang mereka kumpulkan adalah dari petikan atau nukilan dari kitab-kitab mutaqaddimin.26 Pada Periode keenam ini muncul kitab-kitab shahih yang tidak terdapat dalam kitab shahih abad ketiga. Kitab-kitab ini antara lain : As-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah, At-Taqsim wa Anwa‟, susunan Ibnu Hibban, AlMustadrok, susunan Al-Hakim, Ash-Shalih, susunan Abu „Awanah, AlMuntaqa, susunan Ibnu Jarud, Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibnu Abdul Wahid Al Maqdisy.27 Sistematika susunan hadis pada periode ini laebih baik dari periode sebelumnya, karena upaya ulama pada periode ini bukan mencari, namun hanya mengumpulkan dan selanjutnya mensistematisasi menurut kehendak pengarang sendiri. Ada yang mensistematisasi dengan mendahulukan bab thaharah, wudhu, kemudian shalat dan seterusnya, ada juga yang mensistematisasi denga bagian-bagian, yaitu bagian seruan, larangan, khabar, ibadah dan af‟al. Demikian pula ada yang menyusun berdasarkan abjad hijaiyah, seperti kitab al-Jami‟ shaghir oleh al-Syuyuthi.28 D. Pendekatan Utama dalam Studi Hadis Perhatian umat Islam cukup besar terhadap hadis Nabi Saw., sejak masa sahabat mereka berusaha mengumpulkannya semaksimal mungkin dan menyampaikannya kepada orang lain sebagaimana mestinya. Oleh karena itu hadis yang disampaikan tersebut harus benar-benar terjaga kesahihannya. Dalam studi hadis ada beberapa pendekatan dan metodologi yang ditempuh, yakni pendekatan dari segi sanad dan matan. Kedudukan sanad dalam riwayat hadis sangat penting sekali, sehingga para ulama hadis tidak akan menerima sebuah berita yang dinyatakan sebagai hadis apabila tidak ada 26 Muhaimin, Op.Cit., hlm.153. Solahuddin, Op.Cit., hlm. 45-46. 28 Muhaimin, Op.Cit., hlm. 153. 27 14 sanadnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Abd.Allah Ibn al-Mubarak (w.181 H/ 797 M) seperti yang dikutip oleh Nawir Yuslem, bahwa : Sanad hadis merupakan bahagian dari Agama. Sekiranya sanad hadis tidak ada, maka siapa saja akan dapat mengatakan (atas nama Nabi SAW) apa saja yang dikehendakinya.29 Penelitian matan pada dasarnya dapat dilakukan dengan pendekatan dari segi kandungan hadis dengan menggunakan rasio, sejarah, dan prinsip- prinsip ajaran Islam. Sedangkan pendekatan sanad dilakukan karena keadaan dan kualitas sanad merupakan hal yang pertama diperhatikan dan dikaji oleh para ulama hadis dalam melakukan penelitian. Dari kedua unsur inilah –sanad dan matan- menjadi sebagai pendekatan utama dalam studi hadis yang nantinya akan menimbulkan cabang ilmu yang banyak. Sanad, sebagaimana telah dijelaskan defenisinya terdahulu, adalah tempat bersandarnya suatu hadis. Tanpa sanad, maka hadis itu akan tertolak keabsahannya. Sedangkan matan adalah lafal-lafal hadis yang dikandung, yang memiliki makna-makna tertentu. Upaya mengetahui kualitas hadis melalui dua unsur ini, dapat dilakukan berbagai pendekatan, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan Ilmu Hadis Riwayah Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita, secara bahasa Ilmu hadis riwayah berarti ilmu hadis yang berupa periwayatan. Para ulama berbedabeda dalam mendefenisikan ilmu hadis riwayah, namun yang paling terkenal diantara defenisi-defenisi tersebut adalah defenisi Ibnu Al-Akhfani, yaitu : Ilmu Hadis Riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW., periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya.30 Dengan kata lain, ilmu hadis riwayah adalah ilmu tentang hadis itu sendiri. Tokoh perintis pertama dari ilmu hadis riwayah ini adalah Muhammad bin Shihab al-Zuhri (w. 124 H). 29 Nawir Yuslem, Metodologi Penelitian Hadis (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008), hlm. 4. 30 Solahuddin, Op.Cit.,hlm. 106. 15 2. Pendekatan Ilmu Hadis Dirayah Dirayah artinya mengetahui, atau ilmu untuk mengetahui bagaimana kedudukan hadis, Hasbi Ash-Shidiqi dalam karyanya yang berjudul Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, sebagaimana dikutip oleh Totok Jumantara, Ilmu Hadis Dirayah adalah Ilmu untuk mengetahui keadaan sanad dan matan dari jurusan diterima atau ditolak dan yang bersangkut paut dengan itu.31 Dengan kata lain ilmu Hadis Dirayah merupakan kumpulan kaidah untuk mengetahui dan mengkaji permasalahan sanad dan matan serta yang berkaitan dengan kualitasnya. Tujuannya adalah untuk mengetahui hadis yang dapat diterima dari hadis yang ditolak. Ilmu ini mulai dirintis dalam garis-garis besar sejak pertengahan abad ke-3. Kemudian sekitar abad ke-4 ilmu ini dibukukan sejajar dengan ilmu-ilmu lain. Ilmu hadis dirayah bersama dengan ilmu hadis riwayah adalah merupakan ilmu utama yang digunakan dalam studi hadis. 3. Pendekatan Ilmu Rijalul Hadis Ilmu ini mempelajari hal ihwal para perawi, baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun generasi sesudahnya. Ilmu ini mempelajari sejarah kehidupan para rawi, akhlaknya, keadaannya dalam menerima hadis serta mazhab yang dianutnya dan sebagainya yang terkait dengan rijal yang dilakukan secara mendalam. Ilmu ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ranah kajian ilmu hadis karena kajian ilmu hadis pada dasarnya terletak pada dua hal, yaitu sanad dan matan. Ilmu Rijal al-hadis mengambil tempat yang khusus mempelajari persoalan-persoalan sekitar sanad maka mengetahui keadaan rawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan.32 4. Pendekatan Ilmu Jarh dan Ta’dil Secara Bahasa kata jarh artinya cacat atau luka, ta’dil artinya mengadilkan atau menyamakan.33 Jadi Ilmu Jarh dan ta’dil yaitu ilmu yang secara khusus mempelajari keadaan perawi hadis dari segi sifat-sifat baik 31 Totok Jumantara, Kamus Ilmu Hadis (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 40-41. Solahuddin, Op.Cit., hlm. 111-112. 33 Ibid. 32 16 dan sifat jeleknya, serta kuat tidak hafalannya yang akan mempengaruhi diterima atau ditolak periwayatannya. 5. Pendekatan Ilmu Gharib al-Hadis Gharib al-Hadis adalah ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui maknanya dan jarang terpakai oleh umum. 34 Yang dimaksudkan dalam ilmu hadis ialah bertujuan untuk menjelaskan satu hadis yang dalam matan-nya terdapat lafaz yang pelik, dan yang susah untuk dipahami, karena jarang dipakai (lafal-lafalnya sudah terlalu lama sehingga tidak lagi digunakan oleh masyarakat Arab), sehingga ilmu ini akan membantu dalam memahami hadis tersebut. Orang yang pertama menyusun dalam gharib al-hadis adalah Abu Ubaidah Ma‟mar ibn al-Mutsanna (w. 210 H). 6. Pendekatan Ilmu ‘Illah al-Hadits ‘Illah menurut istilah ahli hadis adalah suatu sebab yang tersembunyi yang dapat mengurangi status kesahihan hadis padahal dhahirnya tidak nampak ada cacat. Ilmu ini membahas sebab-sebab tersembunyinya yang dapat menyebabkan cacatnya hadis secara lahiriah mungkin tidak kelihatan. Oleh karena itu, ilmu ini mempunyai cara-cara pembahasan yang lebih halus dan mendalam. 7. Pendekatan Ilmu Asbab al-Wurud Asbab al-Wurud menjadi sangat penting dalam memahami hadis. Karena, terkadang Nabi mengeluarkan hadisnya sebagai jawaban atas masalah-masalah tertentu. Sehingga ia memberikan pemahaman khusus, yakni berkaitan dengan masalah itu. 8. Pendekatan Ilmu Nasikh dan Mansukh Ilmu Nasikh wa mansukh yaitu ilmu yang membahas hadis-hadis yang antara satu dengan lainnya saling bertentangan maknanya yang tidak mungkin dapat dikompromikan. Karena itu ilmu ini mempelajari manakah hadis-hadis tersebut yang lebih dahulu datang dan mana yang kemudian. 34 Ibid, hlm. 117. 17 Hadis yang lebih dahulu datang dinyatakan tidak berlaku lagi (mansukh) dan kedudukannya digantikan dengan hadis yang kemudian (nasikh).35 E. Perkembangan Mutakhir (Tahun 1900 s.d Sekarang) dan Kritik terhadap Studi Hadis Berbeda dengan Alquran, keotentikan hadis seringkali dipersoalkan. Sejumlah kritikan ditujukan kepada hadis dan bahkan ada yang menolaknya. Kendatipun telah sekian lama melengkapi sumber ajaran Islam (Alquran), hadis sekiranya masih perlu diuji keabsahan dan validitasnya. Satu diantara beberapa penyebabnya adalah selain tidak adanya jaminan yang tegas tentang kesahihannya, juga akibat keterlambatan penulisan hadis itu sendiri. Sehingga sangat mungkin diduga periwayatan hadis banyak yang palsu. Mengapa kritik hadis itu perlu dilakukan, karena banyak silang pendapat, perbedaan, serta konflik di tengah kehidupan masyarakat muslim akibat hadis-hadis yang mengundang interpretatif, baik dari sanad maupun matan-nya. Sebenarnya kritik Hadis telah dilakukan sejak dahulu, yakni dengan menyelidiki otentisitas berita yang bersumber dari Nabi saw. Hanya saja kritik yang dilakukan hanya terbatas pada kritik matan saja. Kriteria otentisitas Hadis dirumuskan kemudian dengan menetapkan bahwa Hadis dikatakan otentik apabila memenuhi empat syarat, yaitu diriwayatkan dengan sanad yang bersambung, sanad dari orang yang takwa dan kuat ingatannya, materi Hadis tidak berlawanan dengan Alquran dan hadis lain yang lebih unggul kulitasnya dan tidak mengandung unsur-unsur kecacatan. Persyaratan tersebut yang diterapkan ahli Hadis dalam menyeleksi dan mengkritik hadis sejak abad pertama sampai pada abad ke-13 H. Satu hal yang mengherankan adalah bahwa banyak diantara para orientalisme yang belomba-lomba untuk mengkaji Islam, salah satunya adalah studi tentang Hadis. Hal yang patut dipuji dan dicontoh sebenarnya, karena para orientalis ini begitu tekun dan uletnya meneliti tentang Islam. Namun ada satu hal yang juga harus diperhatikan bahwa dalam meneliti tentang Islam, tujuan mereka bukan hanya semata-mata untuk mengetahui atau untuk 35 Ibid, hlm. 119. 18 memperoleh ilmu pengetahuan sekaligus untuk menambah khazanah keilmuan, tetapi lebih dari itu seringkali para orientalis ini meneliti tentang Islam dengan tujuan untuk mengetahui kelemahan Islam sendiri. Salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh orientalis Goldziher dan Schacht. Pada tahun 1980 Masehi, dunia penelitian Hadis dikejutkan dengan munculnya metode baru dalam kritik hadis, yakni setelah terbitnya buku yang berjudul Muhammadanische Student yang ditulis oleh Ignaz Goldziher dan Joseph Schacth dengan teori projecthing back-nya, dimana mereka menolak otentisitas Hadis seperti yang telah disebutkan di atas. Back Goldziher maupun Schacth berpendapat bahwa Hadis bukan berasal dari Muhammad saw, melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua. Dengan kata lain, Hadis merupakan hasil karya para ulama abad pertma dan kedua Hijrah. Ulama-ulama kontemporer menyangkal teori Goldziher maupun Schacth. Mereka adalah as-Sunnah Muhammatuhu fi at-Tasyri al-Islam, Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam bukunya as-Sunnah Qabla at-Tadwin. Dan Muhammad Musthafa Zami dalam bukunya Studies in Early Hadisth Literature. Referensi klasik dan modern dalam studi Hadis. Pada masa tabi‟in ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu Hadis adalah Muhammad bin Shihab az-Zuhri pada perkembangan berikutnya, kaedah-kaedah tersebut dikembangkan oleh ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Kemudian lahir ulama Mudawwin Hadis, Malik bin Anas, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibn Majah, namun karya mereka masih dalam bentuk-bentuk risalah. Dalam sejarah perkembangan Hadis, ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu Hadis dalam satu disiplin ilmu secara lengkap adalah ulama Sunni yang bernama al-Qadi Abu Muhammad al-Hasan bin Abdur rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi. Selain ar-Ramahurmuzi terdapat al-Hakim Abu Abdillah an-Naisaburi dengan kitabnya Ma‟rifah Ulum al-Hadis. Di samping kitab-kitab klasik di atas, kitab-kitab modern di atas dapat dijadikan referensi dalam studi Hadis 19 diantarannya kitab Ulum al-Hadis wa Musthalah oleh Subhi as-Shalih, Muhammad Ajjaj al-Khatib dengan kitabnya Ushul al-Hadis : Ulumuhu wa Musthalahuhu, Tadrib ar-Rawi fi Syarah Taqrib an-Nawawi oleh as-Suyuti dan lain-lain.36 F. Referensi Utama dalam Studi Hadis Untuk melakukan studi hadis, tentunya dibutuhkan referensi dan literatur yang akan mendukung setiap aspek dari pengkajian yang dilakukan. Referensi utama yang digunakan pada pengkajian dan studi hadis, tentu adalah kitabkitab hadis itu sendiri. Cukup banyak kitab-kitab hadis yang banyak ditemukan dalam khasanah kajian Islam, beberapa diantaranya adalah kitab-kitab hadis yang sudah sangat populer bagi umat Islam karena digunakan di banyak lembaga pendidikan Islam seperti di Pondok Pesantren serta di madrasah-madrasah pendidikan agama Islam lainnya, seperti: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tarmidzi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Al-Muwaththa’ Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Musnad Abu Daud Sulaiman al-Tayalisi (133 – 203 H), Al-Kabir; Al-Wasith, Al-Shaghir ketiganya karya Imam atTabrani, Al-Mustadrak Imam al-Hakin al-Naisaburi, Al-Mustakhraj Abu Bakar al-Isma’ili, Syu’abul Iman al-Baihaqi; dll. Karya-karya adalah: 1. terkenal lainnya dalam ilmu musthalah al-hadits 37 Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i, karya al-Qadhi Abu Musa al-Hasan bin Abd al-Rahman bin Khallad al- Ramahurmuzy (w. 360 H), tetapi tidak mencakup semua pembahasan musthalah. 2. Ma’rifatu’Ulum al-Hadits, karya Abu Abdillah, Muhammad bin Abdillah al-Hakim al-Naisabury (w. 405 H), hanya saja pembahasanpembahasannya belum diperbaiki dan tidak disusun dengan menarik dan sistematik. 36 37 Ali Musthafa Ya’kub, Kritik Hadis (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000), hlm.13. Solahuddin, Op.Cit., hlm. 127 20 3. Al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifati ‘Ulumil Hadits, karya Abu Nu‟aim Ahmad bin Abdillah al-Ashbahani (w. 430 H), di dalamnya ia melengkapi apa yang ditulis oleh al-Hakim al-Naisaburi dalam kitabnya Ma’rifatu ‘Ulum al-Hadits. 4. Al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayah, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdadi yang mashur (w. 463 H). 5. Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adabi al-Sami’, karya al-Khatib alBaghdadi. 6. Al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul al-Riwayah wa Taqyidu al-Sami’, karya alQadhi „Iyadh bin Musa al-Yakhshuby (w. 544 H). 7. Maa Laa Yasa’u al-Muhadditsu Jahluhu, karya Abu Hafsh Umar bin Abd al-Majid al-Mayanji (w. 580 H). 8. Ulum al-Hadits, karya Abu Amr Utsman bin Abd al-Rahman alSyahrazuri yang masyhur dengan sebutan Ibn al-Shalah (w. 634 H), dan kitabnya terkenal dengan nama “Muqaddimah Ibn al-Shalah”, yang merupakan kitab terbaik dalam ilmu mushtalah. Dalam kitab ini, penyusun mengumpulkan apa yang terpisah dalam karya al-Khatib dan ulama sebelumnya. Kitab ini kemudian menjadi pedoman bagi para ulama sesudahnya. 9. Al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifati Sunan al-Basyiri wa al-Nadzir, karya Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi (w. 676 H). 10. Perkembangan kajian ilmu Hadis mencapai puncaknya ketika Abu Amr Usman bin Abd al-Rahman al-Syahrazuri. Nama yang terakhir disebut ini lebih populer dengan nama Ibnu Shalah (w. 643 H) yang menulis karya ilmiah sangat monumental dan fenomenal, berjudul Ulum al-Hadis, yang kemudian kondang dengan sebutan Muqaddimah Ibn alShalah. Kitab ini merupakan upaya yang sangat maksimal dalam melengkapi kelemahan di sana-sini karya-karya sebelumnya, seperti karyakarya al-Khatib dan ulama lainnya. Dalam kitabnya itu, ia menyebutkan 21 secara lengkap 65 cabang ilmu Hadis dan menuangkan segala sesuatunya dengan detail.38 38 Ali Mustafa Yaqub (Guru Besar Ilmu Hadis IIQ Jakarta dan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta), dari situs http://www.idhamlim.com/2009/09/perkembangan-ilmu-hadis.html,diakses pada 27 Oktober 2021. 22 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Ada 3 pengertian hadis 1. Perkataan, yaitu sesuatu yang pernah diucapkan oleh Nabi bersangkut paut dengan syara‟, mengandung hukum, akhlak, pendidikan dan sebagainya. 2. Perbuatan, yaitu perbuatan yang pernah dikerjakan Nabi yang mengandung syara‟, adakalanya perbuatan Nabi tersebut merupakan penjelasan praktis terhadap ketentuan-ketentuan/perbuatan-perbuatan syara‟ yang belum jelas secara pelaksanaannya. 3. Taqrir, yaitu keadaan Nabi mendiamkan tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui yang telah dilakukan oleh Sahabatnya. Misalnya Nabi telah membiarkan Khalid bin Walid makan daging biawak, sedang beliau sendiri tidak memakannya, karena tidak senang dengan daging biawak tersebut. Sunnah menurut ahli hadis ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW., menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Studi hadis tidak terlepas dari berbagai pendekatan sebagai ilmu bantu ke arah pengkajian intensif. Beberapa di antara pendekatan dan ilmu bantu tersebut adalah: ilmu hadis dirayah, ilmu hadis riwayah, ilmu rijalul hadis, ilmu jarh dan ta‟dil, gharibul hadis, nasikh dan mansukh, mukhtaliful hadis, dll. Kemudian yang perlu dipahami adalah bahwa semua ilmu tersebut terkonsentrasi pada dua unsur pokok hadis, yaitu sanad dan matan. 23 Daftar Pustaka Ali Musthafa Ya‟kub, Kritik Hadis, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000. Ali Mustafa Yaqub, http://www.idhamlim.com/2009/09/perkembangan-ilmuhadis.html. Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al Hadits, Bandung: Al-Ma‟arif, 1974 Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, Yogyakarta: IAIN PO Press, 2018. Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2005. Muhaimin, Studi Islam dalam Ragam Dimensi & Pendekatan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012. Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003. M. Hasbi Ash Shidiqi, Pokok-Pokok Ilmu Diroyah Hadis, vol.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1987. M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008. Nawir Yuslem, Metodologi Penelitian Hadis, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008. Subhi As-shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta:Pustaka Firdaus, 1995. Ulum al-Hadis wa Musthalahuh, Beirut: Dar al-„Ilm li al- Malayin, 1969. Totok Jumantara, Kamus Ilmu Hadis, Jakarta: Bumi Aksara, 1997. 24