PENGETAHUAN DAN PERILAKU PEREMPUAN DALAM MENYIKAPI
PRODUK-PRODUK BERBAHAN DASAR KIMIA
Heli Siti HM, M.Si., Fitri Khoernunnisa, M.Si., dan Gun Gun Gumilar, M.Si.
Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI
Abstrak
Era globalisasi yang ditandai dengan derasnya arus informasi dan kemajuan di berbagai
bidang telah berdampak pada perubahan pola hidup masyarakat dan memicu
penyetaraan gender antara kaum perempuan dan laki-laki. Penyetaraan ini telah
menggeser perempuan yang tadinya hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang
menggantungkan hidup dari nafkah suami atau hanya mengerjakan pekerjaan domestik
semata menjadi seorang wanita karir. Data penelitian penyikapan perempuan diperoleh
melalui kuesioner dan angket skala sikap dengan subjek penelitian dalam studi kasus
adalah perempuan di Kota Bandung yang dibagi menjadi delapan kategori. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan, status/tingkat sosial, usia dan
daerah domisili turut mempengaruhi penyikapan perempuan terhadap berbagai produk
rumah tangga berbahan dasar kimia. Hal ini ditunjukkan dengan penyikapan yang baik
dari responden terhadap produk-produk berbahan dasar kimia dengan rata-rata
persentase sikap untuk setiap faktor berturut-turut adalah 75,22%, 75,17%, 75,03% dan
75,26%. Penyikapan baik yang ditunjukkan turut dikontribusi pula oleh maraknya
pemberitaan di media massa mengenai kandungan bahan kimia berbahaya dan produkproduk palsu yang beredar di masyarakat tanpa mereka menyadarinya.
Kata Kunci : sikap, produk rumah tangga berbahan dasar kimia, bahan kimia berbahaya.
1. PENDAHULUAN
Kemajuan pembangunan di berbagai
bidang terutama teknologi dan industri
secara langsung ataupun tidak langsung
telah mengubah pola hidup masyarakat
salah satunya ibu rumah tangga. Selain
itu adanya penyetaraan gender telah
menggeser peran wanita (ibu rumah
tangga)
untuk
tidak
hanya
menggantungkan hidup dari nafkah
suami atau mengerjakan urusan
domestik semata (mengurusi rumah
tangga saja) melainkan telah mengubah
berbagai perilaku, paradigma dan sikap
wanita dalam banyak hal salah satunya
dalam
mengkonsumsi
dan
menggunakan
berbagai
produk
berbahan dasar kimia untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Perlu disadari bersama bahwa derasnya
arus globalisasi telah mendorong
terjadinya perubahan pola hidup, salah
satunya pola makan penduduk terutama
di kota-kota besar. Jika dulu para ibu
rumah tangga memasak daging ataupun
sayur-sayuran segar yang dibeli dari
pasar tradisional yang relatif aman dari
bahan obat-obatan, hormon, sehingga
dagingnya bebas dari kandungan zat-zat
yang tidak alami. Begitu pula sayursayuran dan buah-buahan bebas dari
bahan-bahan kimia-pestisida. Namun
keadaan saat ini telah berubah, baik
daging, maupun sayuran dan buahbuahan sebagian besar merupakan hasil
489
olahan pabrik atau industri bahan
makanan yang dalam pengolahannya
tidak terlepas dari pencampuran bahanbahan kimia.
mengkonsumsi
suatu
produk,
diantaranya (a) regulasi pemerintah
yang masih lemah tentang standar baku
mutu makanan, minuman, kosmetika
atau produk kebutuhan rumah tangga
lainnya (b) tingkat pengawasan badan
terkait yang masih lemah terhadap
proses produksi dan pemasaran produk
kebutuhan rumah tangga tersebut (c)
transparansi
produsen
dalam
penggunaan
bahan
kimia
pada
produknya yang masih rendah serta (d)
tidak berdayanya lembaga pelayanan
konsumen dalam melindungi dan
memperjuangkan hak-hak konsumen.
Dorongan ambisi mengejar karir
menyebabkan sebagian perempuan
melupakan fungsi utamanya mengatur
rumah
tangga.
Mengatur
dan
melakukan pekerjaan rumah tangga
seperti menyiapkan menu makanan,
bukan lagi menjadi fungsi utama
sebagian wanita kota. Dengan uang
yang dimilikinya dan juga karena
dianggap praktis, mereka membeli
makanan cepat saji "fast food" yang
rasanya enak-gurih. Kini sebagian
makanan penduduk kelas menengah ke
atas merupakan hasil olahan pabrik
Makanan "fast food" pada hakekatnya
berbagai zat kimia yang sangat tidak
alami.
Kenyataan bahwa mayoritas kelompok
masyarakat yang banyak terkait dengan
dengan persoalan konsumen adalah
kaum perempuan sehingga disini peran
perempuan sentral. Peran perempuan
dalam menentukan produk atau bahan
yang akan dikonsumsi dan digunakan
dalam rumah tangga, merupakan faktor
utama
menjaga
dan
mencegah
terkontaminasinya kesehatan anggota
keluarga oleh bahan yang berbahaya.
Sikap yang bijaksana seorang ibu dalam
memilih dan menentukan produk yang
dipakai untuk keluarganya adalah
langkah awal penggunaan bahan atau
produk yang aman. Sikap ini tentunya
harus dilandasi oleh pengetahuan
praktis tentang jenis dan sifat bahan,
yang akan menuntun seorang ibu
menyikapi
keselarasan
antara
kebutuhan dan kemampuan keluarga.
Pola hidup serba cepat dan instan dalam
menggunakan
produk
makanan,
minuman dan atau kosmetika ternyata
mengancam kesehatan dan keselamatan
penggunanya. Sebagai contoh kasus
meninggalnya 28 orang di Indonesia
pada bulan Oktober 1989 karena
mengonsumsi
biskuit
yang
mengandung bahan kimia atau sodium
nitrit,
kasus
Supermie
yang
menewaskan beberapa orang di
Sumatera, kasus bakso mengandung
boraks,
kasus
Dancow,
kasus
Ajinomoto, kasus penggunaan formalin
sebagai pengawet mayat dalam bahan
makanan dan produk rumah tangga, dan
lain-lain.
Kasus-kasus
tersebut
merupakan dampak yang timbul akibat
penggunaan produk berbahan dasar
kimia.
Dengan mengetahui dan mengenal jenis
bahan kimia yang digunakan dalam
suatu produk rumah tangga diharapkan
seorang ibu dapat memilih produk yang
tepat dan aman. Hal ini dimaksudkan
agar penggunaan menjadi tepat sasaran,
berhasil guna dan berdaya guna.
Manfaat lain adalah dengan mengetahui
risiko dan efek negatif yang mungkin
ditimbulkan oleh bahan kimia dalam
Selain karena adanya pergeseran pola
hidup masyarakat, faktor lainnya yang
menyebabkan kerugian bagi konsumen
(keselamatan dan kesehatan) ketika
490
produk-produk tersebut, seperti risiko
keracunan pada anak, polusi terhadap
lingkungan, risiko terhadap kesehatan
serta efek karsinogen, seorang ibu akan
lebih berhati-hati dalam penggunaan
dan
penanganan
produk-produk
tersebut. Berbagai penyikapan positif
yang bisa dilakukan oleh para kaum
perempuan
diantaranya
dengan
mendidik lingkungan keluarga, generasi
muda dan masyarakat sekitar untuk
peduli dan mengenali berbagai produk
berbahan
dasar
kimia
yang
dikonsumsinya, menggunakan produkproduk yang aman bagi lingkungan.
menurut delapan kategori yaitu : (1)
Perempuan bekerja, (2) Perempuan
tidak
bekerja,
(3)
Perempuan
berpendidikan dasar, (4) Perempuan
berpendidikan
menengah,
(5)
perempuan
berpendidikan
tinggi,
(6) perempuan yang berdomisili di
pusat kota, dan (7) perempuan yang
berdomisili di pinggir kota, dan
(8) perempuan yang berdomisili di
desa. Masing-masing sampel diambil
secara acak pada satu daerah tertentu
yang masing-masing mewakili individu
kota bandung.
Instrumen Penelitian
Instrumen pengumpulan data
yang digunakan dalam menjawab
masalah penelitian ini diantaranya
menggunakan :
1) Kuesioner,
untuk
mengetahui
identitas
dan
pengetahuan
responden mengenai penentuan
pemilihan suatu produk dan
pengetahun terhadap bahan-bahan
berbahan dasar kimia.
2) Angket skala sikap dimana peneliti
membuat daftar pertanyaan secara
tertulis yang diajukan kepada
responden untuk mendapatkan
informasi mengenai pengetahuan
dan perilaku perempuan dalam
menyikapi
produk-produk
berbahan dasar kimia. Penyaringan
jawaban
terhadap
responden
digunakan kuesioner dengan teknik
skala Likert, skala pengukurannya
pada tingkat skala ordinal.
Dalam penelitian ini akan dikaji
bagaimana kontribusi pengetahuan dan
status sosial, terhadap sikap dan
perilaku perempuan dalam penggunaan
berbagai produk makanan, minuman,
kosmetika dan kebutuhan rumah tangga
lainnya yang berbahan dasar kimia.
Untuk menjawab
permasalahan
tersebut dalam penelitian ini dibuat
asumsi bahwa tingkat pendidikan, usia,
status sosial dan domisili tinggal
mempengaruhi sikap kaum perempuan
terhadap penggunaan produk-produk
kebutuhan rumah tangga berbahan
dasar kimia.
2. Metoda Penelitian
Desain Penelitian
Desain
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah analisis deskriptif,
dimana permasalahan pokok tentang
pengetahuan dan perilaku perempuan
dalam
menyikapi
produk-produk
berbahan dasar kimia dibahas dan
dianalisis berdasarkan data yang
dikumpulkan dari sumber data langsung
(data
primer)
yang
dijaring
menggunakan kuesioner.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan
data
dijaring
menggunakan instrumen penelitian
kemudian diolah secara deskriptif. Data
disajikan dalam bentuk tabel-tabel data
yang ditampilkan dalam bentuk angka
persentase,
dengan
senantiasa
membandingkan tingkat pendidikan,
Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah masyarakat
Kota Bandung yang diklasifikasikan
491
usia, status sosial, dan domisili domisili
dari responden.
Tabel 4.1. Skor Likert dan Persentase
Sebaran Sikap Perempuan berdasarkan
Tingkat Pendidikan
2.5. Teknik Analisis Data
Metode
yang
digunakan
untuk
menganalisis data adalah analisis
deskriptif. Dengan metode ini data yang
dianalisis akan disajikan dalam bentuk
tabel-tabel yang akan membandingkan
bagaimana penyikapan perempuan
dengan tingkat pendidikan, usia, status
sosial dan daerah domisili yang berbeda
terhadap produk-produk berbahan dasar
kimia. Pengolahan data kualitatif
(angket) yang diperoleh dilakukan
dengan cara menentukan persentase
angket setiap responden dengan
menggunakan rumusan berikut :
P
Tingkat
Pendidikan
Dasar
Menengah
Tinggi
Sikap
(skor Likert)
59,40
59,09
61,00
Persentase
Sikap (%)
75,89
73,60
76,30
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dinyatakan
bahwa secara umum tingkat pendidikan
perempuan memberikan kontribusi
positif terhadap penyikapan produk
berbahan dasar kimia dengan sebaran
persentase
untuk
setiap
tingkat
pendidikan di atas 70% atau rentang
sikap responden berdasarkan skala
Likert
lebih
besar
dari
50.
Kecenderungan lain yang ditemukan
pada tabel 4.1 adalah responden yang
memperoleh
pendidikan
tinggi
memiliki persentase sikap yang terbesar
(76,30%) dibandingkan responden
dengan responden yang memperoleh
pendidikan menengah ataupun dasar.
AJ
x 100%
JS
Keterangan :
P
= persentase jumlah jawaban responden
AJ = Jumlah jawaban responden
AJ = Jumlah jawaban maksimal
3. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data penelitian yang telah
dikumpulkan
melalui
instrumen
kuosioner dan angket skala sikap, pada
bagian ini akan dipaparkan secara
sistematis
tentang
hasil/temuan
kemudian data tersebut dianalisis untuk
menjawab permasalahan penelitian.
Adapaun beberapa hasil atau temuan
yang diperoleh sebagai berikut.
Hal ini menyiratkan bahwa sikap
seseorang terhadap suatu objek atau
fenomena dipengaruhi pula oleh
pengetahuan yang dimilikinya. Semakin
tinggi tingkat pengetahuan, semakin
positif sikap yang ditunjukkannya.
Namun demikian, bila dibandingkan
skor Likert ataupun persentase sikap
responden untuk semua kategori atau
jenis responden nampak perbedaannya
tidak terlalu besar hanya berselisih
sekitar
(0,5-2,0
%).
Hal
ini
menunjukkan bahwa pengetahuan yang
dimiliki oleh responden tidak hanya
diperoleh dari pendidikan formal saja
melainkan dimungkinkan juga dari
pendidikan informal seperti dari
keluarga dan lingkungannya.
3.1.Hubungan Tingkat Pendidikan
dengan Penyikapan Perempuan
Tabel 4.1. menunjukkan sebaran skor
Likert dan persentase penyikapan
perempuan terhadap produk-produk
berbahan dasar kimia berdasarkan
tingkat pendidikan perempuan meliputi
pendidikan dasar (SD), menengah
(SMP dan SMA) dan tinggi (Diploma
sampai Pasca sarjana).
Selain itu di era globalisasi ini,
informasi atau pengetahuan dapat
492
diperoleh dengan mudah melalui media
massa cetak dan elektronik. Kemajuan
yang pesat di bidang informasi dan
teknologi
ternyata
memberikan
kemudahan bagi responden dalam
memperoleh pengetahuan
terutama
yang berkaitan dengan pengenalan
bahan/ kandungan zat kimia dalam
suatu produk secara praktis, jelas dan
cukup detail. Sebagai contoh cukup
banyak
tayangan
televisi
yang
memberikan
pengetahuan
kepada
responden dalam hal bagaimana cara
memilih produk yang aman untuk
kesehatan akibat maraknya penipuan
produk terhadap konsumen yang cukup
banyak baik pada produk makanan,
minuman sampai kosmetika sekalipun
yang melibatkan penggunaan bahan
kimia berbahaya seperti formalin untuk
pengawetan makanan (ikan, daging
ayam dan sebagainya) dan zat pewarna
tekstil untuk memberikan warna palsu
pada makanan. Informasi – informasi
tersebut dapat meningkatkan tingkat
ketelitian responden dalam memilih,
membeli dan atau menggunakan
produk-produk untuk kebutuhan sehariharinya.
terhadap berbagai variabel yang
terdapat dalam suatu produk terutama
yang berkaitan dengan komposisi zat
kimia. Responden dikelompok usia 30 40 tahun menunjukkan respon sikap
yang lebih baik. Bila ditinjau dari
jenjang usia, rentang ini merupakan
masa dimana perempuan menjadi
pribadi dewasa dan produktif, sehingga
ketika yang bersangkutan dihadapkan
pada pilihan untuk membeli ataupun
menggunakan produk sudah bisa
mengambil keputusan dan penyikapan
yang tepat dengan pertimbangan yang
lebih matang. Temuan ini diperkuat
dengan data kuesioner responden,
dimana mereka menyatakan bahwa
ketika
akan
membeli
produk,
pertimbangan
utama
adalah
kegunaan/manfaat produk.
Pada kelompok usia yang lain (20 -30
tahun) nampak menunjukkan pemilikan
sikap dengan bobot yang baik (59,77).
Hal ini berarti responden sudah dapat
memberikan penyikapan yang baik
terhadap produk berbahan dasar kimia
walaupun rentang usia mereka masih
muda. Kondisi ini dimungkinkan
adanya pengaruh dari aspek lain seperti
pengetahuan yang mereka miliki.
Berdasarkan data identitas responden
yang diperoleh secara umum kelompok
usia ini memiliki tingkat pendidikan
yang lebih tinggi (mencapai pendidikan
tinggi) dengan persentase paling besar
dibandingkan kelompok usia yang
lainnya.
3.2.Hubungan Usia Perempuan
dengan Penyikapan Perempuan
Berdasarkan
Gambar 4.1 dapat
dinyatakan bahwa secara umum variasi
rentang usia perempuan
tidak
memberikan perbedaan yang cukup
berarti dalam penyikapannya terhadap
produk berbahan dasar kimia. Namun
secara umum semua kategori responden
memberikan respon sikap yang positif
dengan rata-rata skor skala Likert
mencapai 60 atau sekitar 75% dari skot
total ideal.
Selain itu untuk kelompok usia lainnya,
yakni
di atas 40 tahun pun
menunjukkan penyikapan yang baik
pula terhadap produk berbahan dasar
kimia. Hal ini dimungkinkan seiring
dengan bertambahnya usia faktor,
pengalaman
juga
memberikan
kontribusi yang cukup besar kepada
responden dalam memilih, membeli dan
Sikap perempuan yang positif terhadap
produk
berbahan
dasar
kimia
menunjukkan
adanya
tingkat
kepedulian yang tinggi dari responden
493
atau menggunakan suatu produk untuk
kebutuhan hidupnya. Pengalaman ini
akan meningkatkan tingkat kepedulian
terhadap dampak yang timbul dari suatu
produk dan tingkat ketelitian dalam
menggunakan produk tersebut. Dengan
demikian
sangat
dimungkinkan
kelompok responden ini akan memiliki
bobot sikap yang relatif sama dengan
kelompok responden lainnya.
dasar kimia. Hal ini ditunjukkan dengan
rata-rata skor Likert sekitar 60 atau
rata-rata presentase sekitar 75, 50 %.
Perempuan yang bekerja (tingkat sosial
yang lebih tinggi) cenderung akan
memiliki penyikapan yang berbeda
dibandingkan dengan perempuan yang
tidak bekerja karena lingkungan
pekerjaan
baik lingkungan fisik
maupun
lingkungan
nonfisik
dimungkinkan
dapat
memberikan
pengaruh yang besar terhadap pola
hidup dan pola sikap responden.
Atmosfer pekerjaan dan rekan sejawat
akan memberikan perubahan pola hidup
dan pola sikap responden .Tuntutan
beban
pekerjaan
menggiring
perempuan untuk cenderung memilih
cara yang serba praktis dan cepat
dalam menggunakan produk (misalnya
makanan) agar tidak mengganggu
aktivitas pekerjaan.
Pers entas e Penyikapan Perem puan te rhadap
Produk Berbahan Dasar Kimia
75.4
Pers entase (%)
75.2
75
74.8
74.6
74.4
74.2
Usia 1
Usia 2
Usia 3
Usia 4
Gambar 4.1. Sebaran Persentase Sikap
Responden berdasarkan Rentang Usia
Sebagai contoh dalam hal pola makan,
perempuan yang bekerja akan memiliki
peluang
lebih
banyak
untuk
mengkonsumsi makanan ”fast food”
atau makanan instan (mie, dll) yang
kadar gizinya tidak terlalu baik untuk
kesehatan dan sangat syarat dengan
penggunaan bahan kimia sebagai zat
aditif. Contoh lainnya, perempuan
bekerja cenderung untuk berpenampilan
lebih baik, karena dominan melakukan
aktivitas di luar rumah dan banyak
berhubugan dengan orang banyak
sehingga perempuan selalu ingin tampil
lebih menarik. Salah satu cara
memperbaiki
penampilan
adalah
menggunakan
kosmetika
yang
umumnya mengandung bahan kimia
dan ada sebagian kecil produk
kosmetika yang menggunakan bahan
kimia berbahaya seperi merkuri,
hidrokuinon, dan kadmium.
3.3.Hubungan Tingkat Sosial
terhadap Penyikapan
Perempuan
Tabel 4.2 menunjukkan sebaran skor
Likert dan persentase penyikapan
perempuan terhadap produk-produk
berbahan dasar kimia berdasarkan
perbedaan tingkat sosial responden,
dimana dalam penelitian ini responden
digolongkan ke dalam kelompok
bekerja dan tidak bekerja
Tabel 4.2. Skor Likert dan Persentase
Sebaran Sikap Perempuan berdasarkan
Tingkat Sosial
Tingkat sosial
Tidak bekerja
Bekerja
Sikap (skor
Likert)
60,36
59,71
Persentase
Sikap (%)
75,45
75,85
Berdasarkan tabel di atas, nampak
responden pada tingkat sosial yang
berbeda menunjukkan penyikapan yang
baik terhadap produk-produk berbahan
Dari uraian contoh di atas, dapat
dinyatakan bahwa perempuan yang
494
bekerja cenderung tidak terlalu teliti
dan tidak
menggunakan banyak
pertimbangan dalam memilih dan
menggunakan produk berbahan dasar
kimia, karena kecilnya peluang mereka
untuk memilih alternatif produk yang
lebih
aman.
Sedangkan
untuk
perempuan yang tidak bekerja, karena
dominan beraktifitas di rumah dan
memiliki waktu yang leluasa tanpa
dibebani pekerjaan, maka mereka
cenderung memiliki alternatif yang
lebih banyak untuk memilih produk
baik produk makanan, minuman atau
kosmetika sekalipun. Hal ini sejalan
dengan temuan dimana skor Likert
untuk perempuan yang tidak bekerja
relatif lebih besar dibandingkan
perempuan yang tidak bekerja .
berdomisili di pinggir kota atau desa.
Hal ini dimungkinkan karena bagi
responden yang berdomisili di kota,
fasilitas tersedia dengan lengkap dan
dapat diakses lebih mudah serta jenis
produk yang dijualpun lebih variatif,
sehingga responden selaku konsumen
memiliki peluang yang besar untuk
memilih, membeli dan menggunakan
produk berdasarkan pertimbangannya
karena tersedia banyak alternatif
dimana
responden
dapat
membandingkan terlebih dahulu dari
berbagai produk sejenis untuk memilih
baik dari segi kemasan, harga,
komposisi bahan, kandungan zat kimia,
batas kadaluarsa dan atau kegunaan
atau manfaat barang yang akan
digunakan. Dengan demikian responden
akan memiliki sikap yang lebih teliti
dalam memilih dan menggunakan
produk .
3.4.Hubungan
Domisili
dengan
Penyikapan Perempuan
Berdasarkan Gambar 4.2, responden
yang tersebar di tiga daerah domisili
memiliki penyikapan yang baik
terhadap produk berbahan dasar kimia
dengan persentase rata-rata di atas 70%.
Pola penyikapan yang hampir sama
untuk ketiga jenis responden ini,
dimungkinkan perbedaan karakteristik
yang dimiliki daerah domisili desa,
pinggir kota dan kota di wilayah kota
Bandung
tidak
berbeda
secara
signifikan mengingat kota Bandung
adalah ibukot propinsi. Namun bila
dilakukan studi lebih lanjut tentang
faktor domisili ini di daerah lain seperti
wilayah kabupaten sangat mungkin
akan ditemukan pola yang berbeda
secara signifikan akibat adanya
perbedaan karakteristik yang jelas
antara daerah desa, pinggir kota dan
kota.
Persentase Penyikapan Perempuan terhadap
Produk Berbahan Dasar Kimia
Persentase (%)
77
76
75
74
73
72
Desa
Pinggir kota
Kota
Gambar 4.2. Sebaran Persentase Sikap
Responden berdasarkan Daerah Domisili
Secara umum dari hasil kajian dapat
dinyatakan bahwa faktor tingkat
pendidikan, tingkat usia, tingkat sosial
dan sebaran domisili responden
memberikan kontribusi yang besar
terhadap penyikapan perempuan pada
berbagai produk berbahan dasar kimia.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan kajian
terhadap
data
temuan
dapat
disimpulkan
bahwa
penyikapan
perempuan terhadap produk-produk
berbahan dasar kimia dipengaruhi oleh
Selain itu dapat dinyatakan responden
yang berdomisili di kota memiliki
bobot sikap yang lebih baik (61,40%)
dibandingkan
responden
yang
495
beberapa
faktor
yaitu
tingkat
pendidikan, sosial, usia dan daerah
domisili. Berdasarkan keempat faktor
tersebut,
responden
menunjukkan
penyikapan yang baik terhadap produkproduk berbahan dasar kimia dengan
rata-rata persentase sikap untuk setiap
faktor berturut-turut adalah 75,22%,
75,17%, 75,03% dan 75,26%.
Winarno, F.G. (1997). Kimia Pangan
Dan Gizi. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama.
Ucapan Terima Kasih
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Depdiknas yang telah mendanai
penelitian ini.
Daftar Putaka
Apriyantono, Anton dkk. (1989).
Analisis Pangan. Bogor: IPB Press.
Anonim. (…). Pengawetan Dan Bahan
Kimia
Ii.
Tersedia:
http://www.iptek.net.id/ind/warinte
k/pengolahan_pangan_idc.php?doc
=6a4 [15 September 2004].
Depdiknas.
(2003).
Pedoman
Pengembangan Instrumen dan
Penilaian ranah Afektif. Jakarta :
Depdiknas.
Jayadi, A., (2002). Perlindungan
Konsumen dan Pemberdayaan
Perempuan.
Tersedia
:
http://situs.kesepro.info/gendervaw/
index.htm.
Sudarmadji, S. (1989). Analisa Bahan
Makanan
Dan
Pertanian.
Yogyakarta:
Penerbit
Liberty
Yogyakarta bekerjasama dengan
Pusat antara Universitas Pangan dan
Gizi UGM.
Winarno, F.G. (1980). Pengantar
Teknologi Pangan. Jakarta: Penerbit
PT Gramedia.
496
PEMANFAATAN BLONDO HASIL SAMPING PEMBUATAN VCO
SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN PEMBUATAN YOGURT
Yuni Rahmawati, Lailatul Mahmudah, Lahifatus Salimah,
Nindy Alfiatin, Rusmini
Jurusan Kimia/ FMIPA/Universitas Negeri Surabaya/Surabaya
Abstrak
Kelapa adalah tanaman tropis yang memiliki banyak manfaat salah satunya adalah
dapat menghasilkan VCO (Virgin Coconut Oil). Dalam pembuatan VCO diperoleh
hasil samping berupa blondo yang kaya akan kandungan protein. Untuk meningkatkan
nilai ekonomis blondo dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan yogurt.
Penelitian dilaksanakan dengan variabel bebas berupa variasi volume blondo yang
ditambahkan yaitu 5 ml, 10 ml, dan 15 ml. Sedangkan variabel terikatnya adalah kadar
protein dan mutu organoleptik yogurt yang dihasilkan. Pembuatan minyak VCO
dilakukan dengan metode pancingan. Sedangkan dalam pembuatan yogurt starter yang
digunakan adalah bakteri Lactobacillus Casei yang terdapat pada minuman probiotik
Yakult. Kadar protein dianalisis dengan metode Kjeldahl, dan diperoleh kadar protein
dengan penambahan blondo 5 ml, 10 ml, dan 15 ml berturut-turut adalah 11,45%;
13,19%; 16,8%. Berdasarkan uji organoleptik, diperoleh hasil bahwa yogurt yang
paling disukai adalah yogurt dengan penambahan 5 ml blondo. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa semakin banyak blondo yang ditambahkan maka kadar protein
yogurt yang dihasilkan akan semakin meningkat.
Kata kunci: VCO, blondo, yogurt, protein, mutu organoleptik
I. PENDAHULUAN
Indonesia termasuk negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati.
Salah satu sumber daya hayati yang melimpah di Indonesia adalah kelapa. Kelapa
dapat dijumpai di berbagai tempat baik di sepanjang pantai maupun di daerah
dataran tinggi di Indonesia. Banyak manfaat yang dapat diambil dari tanaman ini,
diantaranya buah kelapa dapat dibuat menjadi VCO (Virgin Coconut Oil). VCO
adalah minyak kelapa murni yang mempunyai banyak manfaat dan dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit. VCO saat ini memang sedang dalam
masa keemasan, banyak orang mulai membuat dan memproduksi VCO.
Komponen dari VCO adalah asam lemak jenuh sekitar 90% dan asam
lemak tak jenuh sekitar 10%. Tingginya kandungan asam lemak jenuh menjadikan
minyak kelapa sebagai sumber saturated fat. Asam lemak jenuh didominasi oleh
asam laurat dan memiliki rantai karbon 12. Minyak VCO bermanfaat untuk
melumpuhkan virus HIV, mengontrol diabetes, mengurangi resiko kanker,
mencegah kerusakan gigi
Proses pembuatan VCO cukup sederhana. Caranya, santan didiamkan
selama 2 jam sampai air dan kanil (bagian yang mengandung minyak) terpisah.
Selanjutnya kanil yang mengambang di air di tampung dalam panci besar lalu
497
dipancing dengan memasukkan minyak kelapa yang sudah jadi. Perbandingan tiga
bagian kanil dicampur satu bagian minyak. Setelah campuran diaduk selama 20
menit dibiarkan mengendap enam sampai tujuh jam. Endapan kemudian akan
terpisah menjadi tiga bagian. Endapan terbawah adalah air, endapan kedua
berwarna putih disebut blondo. Minyak kelapa ada di bagian endapan teratas
kemudian disaring sampai menghasilkan minyak kelapa murni berkualitas tinggi.
Pada proses pembuatannya, selain dihasilkan minyak VCO sebagai hasil
utama juga diperoleh hasil samping. Salah satu hasil samping dari produksi VCO
ini adalah blondo. Pembuatan blondo dapat dilakukan dengan membuat protein
yang ada dalam santan menjadi terdenaturasi. Denaturasi dapat diartikan suatu
perubahan atau modifikasi terhadap struktur sekunder, tertier dan kuarterner
terhadap molekul protein, tanpa memecah ikatan-ikatan kovalen (Winarno, 1986 :
68). Denaturasi protein dapat terjadi oleh terbatasnya keaktifan protein pada daerah
pH dan suhu tertentu (Girindra, 1986). Secara umum denaturasi terjadi pada suhu
400 C ke atas. Sedangkan denaturasi protein tergantung pada perubahan pH titik
isoelektriknya Blondo terkadang hanya dibuang begitu saja dan dapat mencemari
lingkungan. Padahal blondo dari hasil pembuatan VCO ini memiliki kandungan
protein yang tinggi. Banyaknya protein yang terdapat dalam blondo ini karena
protein dalam kanil terserap dalam blondo. Agar blondo menjadi bermanfaat dan
mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi, maka blondo dapat dimanfaatkan
menjadi bahan pembuat yogurt.
Yogurt merupakan olahan susu dengan cara mengasamkan melalui proses
fermentasi. Hasil olahan susu ini berupa seperti es krem atau bubur. Di Indonesia
yogurt juga mulai popular dan diminati orang. Yogurt dibuat dengan fermentasi
asam laktat melalui aktifitas bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus
thermophilluss dan mikroorganisme dalam produk akhirnya harus hidup aktif dan
berlimpah. Paduan kedua bakteri ini akan hidup dengan baik pada suhu 37 o C - 45o
C dan ditunjang dengan adanya unsur N yang cukup sebagai nutrisi bakteri. Unsur
N ini diperoleh dari protein yang terkandung dalam blondo yang ditambahkan
dalam proses pembuatan yogurt.
Proses pembuatan yogurt dilakukan melalui beberapa tahap yaitu
pemanasan (pasteurisasi), pendinginan, pemberian starter (inokulasi), pemeraman
(inkubasi) dan penyimpanan pada suhu rendah. Pemeraman adalah proses
perombakan laktosa susu oleh bakteri sterter menjadi asam laktat setelah proses
inokulasi, dengan suhu 45o C dan waktu tertentu. Tujuan dari pemeraman adalah
untuk memberikan kesempatan pada mikroorganisme untuk membentuk asam
laktat sehingga terjadi penurunan pH 4,4 - 4,5 (Rahayu, 1993).
Fermentasi oleh bakteri susu starter (Lactobacillus bulgaricus dan
Streptococus thermophilus atau Lactobasillus sp) selama pemeraman akan
menghasilkan rasa asam dan flavor yang khas terbentuk dari penguraian laktosa
oleh bakteri starter yang menghasilkan asam laktat. Menurut Rahayu (1993),
laktosa susu yang diubah menjadi asam laktat hanya 30% saja sehingga sisanya
masih dalam bentuk laktosa. Syarat yogurt berkualitas adalah flavor yang terbentuk
mengandung asetaldehid, keasaman yang terbentuk berkisar 0,9 - 1,35. Komposisi
protein, lemak, laktosa, vitamin dan nilai gizi yang terkandung didalamnya
meningkat. Peningkatan ini disebabkan oleh penambahan bahan-bahan tertentu
sebelum diproses dan juga selama proses fermentasi terjadi pemecahan senyawasenyawa kompleks dalam susu. Kenampakan yogurt adalah lembut, tidak berpasir
498
dan tidak berbuih serta mempunyai viskositas yang cukup tinggi, kokoh dan
kompak untuk diambil dan dimakan dengan sendok. Jenis dan kandungan
mikroorganisme adalah bakteri asam laktat sesuai dengan starter yang diinokulasi
(Rahayu, 1993).
Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai waktu inkubasi yogurt.
Menurut Rahayu (1993) waktu inkubasi adalah 3 - 5 jam dengan suhu 45o C tetapi
menurut Hariyanto (1998) lama inkubasinya 4 - 12 jam atau dapat dilanjutkan
besok paginya. Sedangkan menurut Suparno (1990) waktu inkubasinya 8 - 10 jam
dengan suhu 43o C.
Penelitian ini difokuskan pada pemanfaatan blondo hasil samping
pembuatan minyak VCO sebagai bahan tambahan dalam pembuatan yogurt,
perbandingan kadar protein yogurt yang dijual di pasaran dengan yogurt yang
diberi tambahan blondo dalam proses pembuatannya, dan mutu organoleptik yogurt
yang dibuat dengan penambahan blondo.
II. METODOLOGI
Blondo yang merupakan hasil samping pembuatan VCO digunakan sebagai
penambah kadar protein pada yogurt yang dihasilkan. VCO dibuat dengan metode
pancingan dengan perbandingan minyak pancingan dan santal kanil 1:3. Kemudian
didiamkan selama 7 jam sehingga diperoleh 3 lapisan dimana lapisan atas adalah
minyak VCO, lapisan tengah adalah blondo dan lapisan bawah adalah air. Blondo
yang diperoleh, dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan yogurt dengan
menambahkannya kedalam bahan pembuat yogurt.
Proses pembuatan yogurt dilakukan melalui beberapa tahap yaitu
pemanasan (pasteurisasi), pendinginan, pemberian starter (penginokulasian),
pemeraman (inkubasi) dan penyimpanan pada suhu rendah. Pada tahap pemanasan,
susu dipanaskan sampai suhu sebesar 70 0C. Hal ini bertujuan untuk mensterilkan
susu dari bakteri-bakteri yang tidak menguntungkan. Suhu 700C ini merupakan
suhu optimum dari susu. Jika pemanasan lebih dari 700C maka protein yang
terkandung dalam susu akan mengalami denaturasi. Penambahan gula pada proses
pembuatan, selain berfungsi sebagai pemberi rasa manis, juga sebagai nutrisi bagi
bakteri. Kemudian susu didinginkan sampai suhu 40-450C. Suhu tersebut
merupakan suhu optimum yang digunakan pada proses pemeraman. Selanjutnya
menambahkan starter ke dalam campuran tersebut. Starter yang digunakan adalah
bakteri Lactobacillus casei yang merupakan hasil isolasi dari susu fermentasi
Yakult. Dipilihnya bakteri ini karena pengembangbiakannya membutuhkan waktu
yang cepat. Selain itu, bakteri Lactobacillus casei berfungsi untuk mengurangi
senyawa penyebab gas dan menambah kualitas nutrisi. Bakteri Lactobacillus casei
merupakan bakteri “baik” yang dapat menghasilkan suatu zat yang dapat
menghambat racun yang diproduksi E.Coli. Dalam tahap ini, tiap satu liter susu
dimasukkan satu botol yakult.
Proses pemeraman dilakukan sampai susu menjadi asam kurang lebih
selama 20 jam. Tujuan dari pemeraman adalah untuk memberikan kesempatan pada
mikroorganisme untuk membentuk asam laktat sehingga terjadi penurunan pH 4,4 4,5. Bakteri asam laktat merupakan kontaminan alami pada susu karena tersedianya
substrat utamanya yaitu laktosa. Senyawa asam laktat bersifat anti mikroba bagi
bakteri jahat, sehingga sangat baik bagi tubuh. Pembentukan asam laktat tersebut
499
akan menyebabkan penggumpalan susu sehingga akan terbentuk lapisan – lapisan
yaitu lapisan lemak, yogurt dan starter. Kemudian tiap lapisan tersebut dipisahkan
sehingga diperoleh yogurt dengan kenampakan lembut, tidak berpasir dan tidak
berbuih serta mempunyai viskositas yang cukup tinggi, kokoh dan kompak. Yogurt
yang diperoleh tersebut kemudian diuji kadar protein dan mutu organoleptiknya.
Pada penelitian ini dilakukan pengujian terhadap kadar protein kasar yang
terkandung di dalam yogurt yang mengandung blondo dan yogurt tanpa blondo.
Metode yang digunakan adalah metode kjeldahl sedangkan uji mutu organoleptik
dilakukan kepada 17 orang panelis yang terdiri dari 3 dosen tata boga Fakultas
Teknik UNESA dan kepada 14 orang mahasiswa jurusan kimia terhadap aroma,
rasa, warna, dan kekentalan yogurt blondo.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Pembuatan VCO, Blondo, dan Yogurt
Pada penelitian yang berjudul “Pemanfaatan Blondo Hasil Samping
Pembuatan VCO Sebagai Bahan Pembuatan Yogurt” bertujuan untuk
memanfaatkan Blondo hasil samping pembuatan VCO sebagai bahan pembuatan
yogurt, membandingkan kadar protein yogurt yang dijual di pasaran dengan yogurt
yang diberi tambahan blondo dalam proses pembuatannya, serta mengetahui mutu
organoleptik yogurt yang dibuat dengan penambahan blondo. Penelitian ini terdiri
dari beberapa tahap, yaitu tahap pembuatan VCO, pembuatan yogurt, uji kadar
protein dan uji mutu organoleptik. Langkah awal dari penelitian ini adalah dengan
membuat VCO yang juga menghasilkan blondo sebagai hasil samping. Blondo
inilah yang selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan yogurt.
VCO dibuat dengan metode pancingan dengan perbandingan minyak
pancingan dan santal kanil 1:3. Kemudian didiamkan selama 7 jam sehingga
diperoleh 3 lapisan dimana lapisan atas adalah minyak VCO (jernih), lapisan
tengah adalah blondo (putih keruh) dan lapisan bawah adalah air (jernih tak
berwarna). Blondo yang diperoleh, dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan yogurt
dengan menambahkannya kedalam bahan pembuat yogurt.
Proses pembuatan yogurt dilakukan melalui beberapa tahap yaitu
pemanasan (pasteurisasi), pendinginan, pemberian starter (penginokulasian),
pemeraman (inkubasi) dan penyimpanan pada suhu rendah. Pada tahap pemanasan,
susu dipanaskan sampai suhu sebesar 70 0C. Hal ini bertujuan untuk mensterilkan
susu dari bakteri-bakteri yang tidak menguntungkan. Suhu 700C ini merupakan
suhu optimum dari susu. Jika pemanasan lebih dari 700C maka protein yang
terkandung dalam susu akan mengalami denaturasi. Penambahan gula pada proses
pembuatan, selain berfungsi sebagai pemberi rasa manis, juga sebagai nutrisi bagi
bakteri. Kemudian susu didinginkan sampai suhu 40-450C. Suhu tersebut
merupakan suhu optimum yang digunakan pada proses pemeraman. Selanjutnya
menambahkan starter ke dalam campuran tersebut. Starter yang digunakan adalah
bakteri Lactobacillus casei yang merupakan hasil isolasi dari susu fermentasi
Yakult. Dipilihnya bakteri ini karena pengembangbiakannya membutuhkan waktu
yang cepat. Selain itu, bakteri Lactobacillus casei berfungsi untuk mengurangi
senyawa penyebab gas dan menambah kualitas nutrisi. Bakteri Lactobacillus casei
merupakan bakteri “baik” yang dapat menghasilkan suatu zat yang dapat
menghambat racun yang diproduksi E.Coli. Dalam tahap ini, tiap satu liter susu
dimasukkan satu botol yakult.
500
Kemudian dilakukan proses pemeraman sampai susu menjadi asam kurang
lebih selama 20 jam. Tujuan dari pemeraman adalah untuk memberikan
kesempatan pada mikroorganisme untuk membentuk asam laktat sehingga terjadi
penurunan pH 4,4 - 4,5. Bakteri asam laktat merupakan kontaminan alami pada
susu karena tersedianya substrat utamanya yaitu laktosa. Senyawa asam laktat
bersifat anti mikroba bagi bakteri jahat, sehingga sangat baik bagi tubuh.
Pembentukan asam laktat tersebut akan menyebabkan penggumpalan susu sehingga
akan terbentuk lapisan – lapisan yaitu lapisan lemak, yogurt dan starter. Kemudian
tiap lapisan tersebut dipisahkan sehingga diperoleh yogurt dengan kenampakan
lembut, tidak berpasir dan tidak berbuih serta mempunyai viskositas yang cukup
tinggi, kokoh dan kompak. Yogurt yang diperoleh tersebut kemudian diuji kadar
protein dan mutu organoleptiknya.
Analisis uji kadar protein
Salah satu tujuan dari penelitian yang telah dilakukan adalah
membandingkan kadar protein yogurt yang dibuat dengan penambahan blondo
dengan yogurt yang dijual di pasaran. Pada penelitian ini dilakukan pengujian
terhadap kadar protein kasar yang terkandung di dalam yogurt yang mengandung
blondo dan yogurt tanpa blondo. Metode yang digunakan adalah metode kjeldahl.
Berdasarkan hasil uji protein diperoleh hasil akhir bahwa kadar protein yogurt
dengan penambahan blondo 5 mL, 10 mL, dan 15 mL berturut-turut adalah 11,45
%; 13,19%; dan 16,8%. Sedangkan kadar protein dalam yogurt tanpa blondo
diperoleh hasil 9,54%. Untuk yogurt yang dijual dipasaran rata-rata kadar
proteinnya adalah 10,48%.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan
blondo semakin tinggi kadar protein. Blondo yang ditambahkan pada proses
pembuatan yogurt ini berfungsi untuk menambah unsur N yang sangat dibutuhkan
sebagai nutrisi bakteri. Semakin banyak blondo yang ditambahkan, maka unsur N
yang terkandung akan semakin tinggi. Hal ini mendukung perkembangbiakan
bakteri starter, sehingga bakteri ini akan hidup aktif dan berlimpah. Dengan
berlimpahnya bakteri starter maka proses fermentasi dan pemecahan senyawasenyawa kompleks dalam susu menjadi lebih efektif. Demikian pula yang terjadi
pada laktosa yang merupakan salah satu senyawa kompleks dalam susu. Laktosa
susu yang diubah menjadi asam laktat pada yogurt umumnya hanya 30% saja,
sehingga sisanya masih dalam bentuk laktosa. Dengan penambahan blondo yang
mengakibatkan meningkatnya jumlah dan keaktifan bakteri, maka kadar laktosa
yang diubah menjadi asam laktat akan meningkat. Sehingga semakin banyak
blondo yang ditambahkan maka semakin tinggi kadar protein yogurt yang
dihasilkan.
Pengujian terhadap kadar protein kasar yang terkandung di dalam yogurt
yang mengandung blondo dan yogurt tanpa blondo. Metode yang digunakan adalah
metode kjeldahl. Data yang dihasilkan berupa % protein yang diperoleh dari
perhitungan dengan rumus :
% N = mL NaOH ( Blanko-sampel) x N NaOH x 14,008 x 100%
berat sampel (gram) x 1000
% Protein = % N x Faktor Konversi
501
Tabel 1. Hasil uji kadar protein kasar dalam yogurt
yang mengandung blondo dan tanpa blondo
No
Sampel
1.
2.
3.
4.
Yogurt tanpa blondo
Yogurt dengan 5 ml blondo
Yogurt dengan 10 ml blondo
Yogurt dengan 15 ml blondo
Kadar
Protein
9,54 %
11,45 %
13,19 %
16,8 %
Sedangkan kadar protein dalam yogurt tanpa blondo diperoleh hasil 9,54%.
Untuk yogurt yang dijual dipasaran rata-rata kadar proteinnya adalah 10,48%. Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan blondo semakin
tinggi kadar protein. Blondo yang ditambahkan pada proses pembuatan yogurt ini
berfungsi untuk menambah unsur N yang sangat dibutuhkan sebagai nutrisi bakteri.
Semakin banyak blondo yang ditambahkan, maka unsur N yang terkandung akan
semakin tinggi. Hal ini mendukung perkembangbiakan bakteri starter, sehingga
bakteri ini akan hidup aktif dan berlimpah. Dengan berlimpahnya bakteri starter
maka proses fermentasi dan pemecahan senyawa-senyawa kompleks dalam susu
menjadi lebih efektif. Demikian pula yang terjadi pada laktosa yang merupakan
salah satu senyawa kompleks dalam susu. Laktosa susu yang diubah menjadi asam
laktat pada yogurt umumnya hanya 30% saja, sehingga sisanya masih dalam bentuk
laktosa. Dengan penambahan blondo yang mengakibatkan meningkatnya jumlah
dan keaktifan bakteri, maka kadar laktosa yang diubah menjadi asam laktat akan
meningkat. Sehingga semakin banyak blondo yang ditambahkan maka semakin
tinggi kadar protein yogurt yang dihasilkan.
Analisis Uji organoleptik
Tabel 2. Hasil uji mutu organoleptik
Uji organoleptik
Hasil
Aroma
52,94% responden menyatakan suka terhadap
yogurt dengan penambahan 5 ml blondo
Rasa
41,18% responden menyatakan suka terhadap
yogurt dengan penambahan 5 ml blondo
Warna
41,18% responden menyatakan suka terhadap
yogurt dengan penambahan 5 ml blondo
Kekentalan
41,18% responden menyatakan suka terhadap
yogurt dengan penambahan 15 ml blondo
Uji mutu organoleptik dilakukan kepada 17 orang panelis yang terdiri dari 3
dosen tata boga Fakultas Teknik UNESA dan kepada 14 orang mahasiswa jurusan
kimia terhadap aroma, rasa, warna, dan kekentalan yogurt blondo. Untuk aroma
sebanyak 52,94% menyatakan suka terhadap aroma pada yogurt dengan
penambahan blondo 5 ml. Untuk rasa dan warna sebanyak 41,18% menyatakan
suka pada yogurt dengan penambahan blondo 5 ml. Sedangkan untuk kekentalan
sebanyak 41,18% menyatakan suka pada yogurt dengan penambahan blondo 15 ml.
502
IV. SIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa blondo dari hasil
samping pembuatan minyak VCO dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan
dalam pembuatan yogurt karena berdasarkan uji laboratoriun terhadap kadar protein
yang dikandungnya semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya blondo
yang ditambahkan, yaitu untuk yogurt dengan penambahan blondo 5 ml, 10 ml, dan
15 ml berturut-turut adalah 11,45%; 13,19%; 16,8%. Sedangkan berdasarkan hasil
uji organoleptik yang telah dilakukan pada 17 orang panelis menyatakan bahwa
untuk aroma sebanyak 52,94% menyatakan suka terhadap yogurt denngan
penambahan 5ml blondo. Sedangkan untuk rasa dan warna sebanyak 41,18%
menyatakan suka pada yogurt dengan penambahan blondo 5 ml. Sedangkan untuk
kekentalan sebanyak 41,18% menyatakan suka pada yogurt dengan penambahan
blondo 15 ml.
DAFTAR PUSTAKA
Girindra, Aisyah. 1990. Biokimia I. Jakarta : Gramedia
Handayani, Maylani Asri. 2001. Pengaruh Lama Inkubasi Terhadap Kadar Laktosa
dan Asam Laktat Pada Pembuatan Yogurt Susu Kambing. Skripsi yang tidak
dipublikasikan: UNESA
Haryoto. 1996. Susu dan Yogurt Kecipir. Yogyakarta : Kanisius
Rahmawati, Riris. 1996. Perbandingan Kadar Protein Blondo Hasil Samping
Pembuatan Minyak Kelapa Seara Tradisional dan Secara Fermentasi. Skripsi
yang tidak dipublikasikan : UNESA
Sudarmadji S, dkk. 1985. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan
Pertanian.Yogyakarta: Liberty
Winarno. 1986. Enzim Pangan. Jakarta: Gramedia
Winarno F.G. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
http://bubiboga.bloksot.com/2006/04/virgin-coconut-oil-VCO-benarkah.html
http://ms.wikipedia.org/wiki/kelapa
http://www.kimianet.lipi.go.id/utama.cgi?bacaforum&berita&1136862501&2
http://www.liputan6.com/view/0.10015,1,0,11487.html
http://www.minyakvco.com/
503
PROFIL FITOKIMIA DAN UJI EFEK HIPOGLIKEMIK EKSTRAK
METANOL DARI BIJI RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.) TERHADAP
MENCIT (Mus muculus L.) STRAIN DDY
Irma Ratna Kartika,* dan Zulhipri*
* Jurusan Kimia, Universitas Negeri Jakarta, Kampus B UNJ Jalan Pemuda 10
Rawamangun Jakarta Timur 13220, E-mail:
[email protected]
ABSTRAK
Penelitian pendahuluan yang mengkaji profil fitokimia dan aktivitas hipoglikemik
ekstrak metanol pada mencit jantan normal telah dilakukan. Hasil uji fitokimia
menunjukkan bahwa hanya ekstrak metanol biji rambutan yang mengandung senyawa
fenolik dan flavonoid. Mencit normal dibagi kedalam 5 kelompok (masing-masing
kelompok terdiri dari 4 ekor), yaitu Kelompok I atau kontrol negatif (suspensi Na CMC
0,5% 10 ml/kg BB), Kelompok II (Glucobay dosis 0,83.10-3 mg/g BB), Kelompok III
(ekstrak metanol 45x10-3 mg/g BB), Kelompok IV (ekstrak metanol 90x10-3 mg/g BB),
dan Kelompok V (ekstrak 180x10 -3 mg/g BB). Kadar glukosa darah puasa mencit (0
menit) diukur setelah 18 jam dipuasakan, kemudian diberi sukrosa 8 mg/g BB setelah
15 menit kemudian, dan diberi perlakuan yang berbeda secara oral pada masing-masing
kelompok. Darah diambil dari pembuluh darah ekor pada menit ke-0, 60, 120, 180 dan
240. Pengukuran kadar glukosa darah mencit dilakukan dengan alat Glukometer. Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa ekstrak metanol dosis 90x10-3 mg/g BB dan 180x10-3
mg/g BB menunjukkan aktivitas hipoglikemik pada menit ke-60 dibandingkan kontrol
negative. Mekanisme penurunan kadar glukosa darah dari ekstrak metanol biji
rambutan diasumsikan hampir sama dengan Glucobay.
Kata Kunci:
ekstrak metanol, fitokimia, biji rambutan, mencit, Mus muculus L., glukosa darah,
sukrosa, Glucobay, Nephelium lappaceum L., fenolik, flavonoid,
1. PENDAHULUAN
Salah satu tanaman yang telah digunakan secara tradisional dan turun temurun
untuk mencegah dan mengobati diabetes adalah rambutan (Nephelium lappaceum L.)
(Wijayakusuma, 1994). Rambutan merupakan tanaman yang hidup di dataran rendah.
Bagian tanaman rambutan yang digunakan sebagai obat antidiabetes adalah bijinya.
Biji rambutan terlebih dahulu dihaluskan hingga menjadi serbuk dan kemudian
disangrai. Setelah itu, serbuk tersebut diambil sebanyak 1-2 sendok makan, kemudian
diseduh dengan satu cangkir air panas, dan diminum sebanyak 1-2 kali sehari
(Wijayakusuma, 1994).
Penelitian secara ilmiah mengenai aktivitas antidiabetes ekstrak biji rambutan
hingga saat ini belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, dalam penelitian pendahuluan
ini akan dilakukan identifikasi fitokimia dan uji hipoglikemik ekstrak metanol biji
rambutan terhadap kadar glukosa darah mencit jantan normal strain DDY.
504
2. METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: Alat-alat gelas Pyrex, hot
plate, neraca analitik, evaporator Buchi, effendorf micropipette, vial sampel, oven,
penangas air, plat KLT, vortex, mortar, penyemprot, alumunium foil, inkubator,
spektrofotometer UV Hitachi U-2000, gunting, plat tetes, chamber KLT, box kandang,
kawat kandang, pakan, botol minum, dan glukometer GlucoDr.
Bahan penelitian yang digunakan adalah buah rambutan (Nephelium lappaceum L.)
yang berasal dari Parung Bogor. Buah rambutan tersebut diperoleh melalui pedagang
rambutan di Pasar Cengkareng. Bahan kimia dan pereaksi yang digunakan adalah
metanol, diklorometana, n-heksana, etil asetat, akuades, glukosa, asam asetat glasial,
bubuk magnesium, amil alkohol, FeCl3 1%, diklorometana:amoniak (9:1), H2SO 4 2 N,
pereaksi Mayer, anhidrida asam asetat, HCl pekat, Na2HPO4, NaH2PO 4, buffer fosfat
pH 7, p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida, Na2 CO3 0,2 M, enzim α-glukosidase, dimetil
sulfonat oksida (DMSO). Semua bahan kimia yang digunakan merupakan produk EMerck dengan kualifikasi p.a. kecuali metanol, diklorometana, dan n-heksana dengan
kualifikasi teknis, serta Na CMC dengan kualifikasi food grade. Selain itu, Acarbose
(Glucobay) yang digunakan merupakan produk Bayer Indonesia. Hewan uji yang
digunakan adalah mencit (Mus musculus) jantan galur DDY (Djerman Democratic
Yokohama) usia 2 bulan dengan berat 10-20 g yang dipelihara di Animal House Jurusan
Biologi FMIPA UNJ. Sebelum penelitian semua mencit diaklimatisasi selama dua
minggu.
2.2. Prosedur Penelitian
2.2.1. Ekstraksi
Biji rambutan diambil dari buah rambutan (Nephelium lappaceum L.) yang sudah
tua (matang). Biji rambutan segar dibersihkan dan digiling menjadi serbuk kemudian
dikeringkan hingga didapat 500 gram serbuk biji rambutan kering. Serbuk biji
rambutan kering tersebut diekstraksi secara maserasi (perendaman) selama 1-3 hari
sebanyak 3 kali. Pelarut yang digunakan pada maserasi, yaitu metanol. Setelah
maserasi, ekstrak selanjutnya disaring dan dikeringkan dengan menggunakan
evaporator sehingga diperoleh ekstrak kering.
2.2.2. Uji Fitokimia
Uji fitokimia dilakukan terhadap ekstrak metanol kering biji rambutan, yang meliputi
uji golongan alkaloid, flavonoid, fenolik, saponin, dan steroid dan triterpenoid. Untuk
pengujian
golongan
alkaloid,
ekstrak
sampel
ditambahkan
10
mL
diklorometana:amoniak (9:1), kemudian ditambahkan 20 tetes H 2SO4 2 N, dikocok dan
didiamkan hingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan bagian atas direaksikan dengan pereaksi
Mayer. Jika sampel mengandung alkaloid akan terbentuk endapan putih pada lapisan
bagian atas. Pengujian golongan flavonoid dilakukan melalui penambahan ekstrak
dengan sedikit bubuk magnesium, 1 mL HCl pekat dan 1 mL amil alkohol. Apabila
pada lapisan amil alkohol berwarna merah kuning atau jingga maka ekstrak sampel
mengandung flavonoid. Pengujian golongan fenolik dilakukan dengan menambahkan
ekstrak sampel dengan larutan FeCl3 1%. Apabila terbentuk warna biru atau biru ungu
maka ekstrak sampel mengandung fenolik. Pengujian golongan saponin yaitu
505
mengocok ekstrak sampel dengan kuat sehingga terbentuk busa. Apabila busa tersebut
tidak hilang selama 15 menit dan dengan penambahan 1 tetes HCl pekat, maka ekstrak
sampel mengandung saponin. Sementara pengujian golongan steroid dan triterpenoid
melalui penambahan ekstrak sampel dengan 10 mL diklorometana, kemudian
diteteskan pada plat tetes lalu dikeringkan. Selanjutnya ditambahkan 2-3 tetes anhidrida
asetat. Adanya steroid ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau-biru. Adanya
triterpenoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah-ungu, dan bila terdapat
keduanya akan terbentuk warna merah-biru-ungu dengan terbentuk cincin ditengahnya.
2.2.3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
KLT dilakukan dengan menggunakan variasi eluen dan penyemprot reagen yang
sesuai. Eluen yang digunakan adalah eluen tunggal (metanol, n-heksana, dan etil asetat)
dan eluen kombinasi (n-heksana dan etil asetat). Plat dibiarkan terelusi hingga eluen
mencapai batas atas sekitar 0,2 cm dari tepi bagian sisi atas plat. Selanjutnya plat
dikeluarkan dari chamber dan dikeringkan di udara terbuka, kemudian plat diamati di
bawah lampu UV dan noda yang nampak ditandai dengan pensil. Kemudian plat
disemprot dengan berbagai penampak noda yang sesuai yaitu larutan CeSO4 dan
larutan FeCl 3 1% untuk mengidentifikasi jumlah komponen serta golongannya.
2.2.4. Uji Aktivitas Hipoglikemik pada Mencit Normal
Uji aktivitas hipoglikemik pada mencit normal merupakan suatu uji pendahuluan
untuk mengetahui aktivitas hipoglikemik dari suatu sampel yang diduga berkhasiat
antidiabetes pada mencit normal. Pengujian ini dibagi menjadi bagian, antara lain:
penentuan dosis, preparasi larutan uji, serta pengujian pada mencit.
Kontrol positif (sebagai pembanding) yang digunakan adalah obat antidiabetes
Acarbose (Glucobay). Penetapan dosis Acarbose didasarkan pada dosis pengobatan
yang lazim untuk manusia yaitu 50-300 mg/hari (Depkes RI, 2001). Apabila 50 mg
diberikan kepada manusia yang mempunyai berat badan 60 kg (rata-rata manusia),
maka dosis Acarbose adalah 50 mg/60 kg BB = 0,83 mg/kg BB = 0,83.10 -3 mg/g BB.
Dosis ekstrak metanol ditentukan menurut pemakaian secara empiris sebagai obat
antidiabetes yaitu 1-2 sendok makan serbuk biji rambutan (Wijayakusuma, 1994).
Apabila pada penelitian ini digunakan 2 sendok makan biji rambutan (±18 g) dengan
rendemen ekstrak metanol sebesar 15%, maka jumlah ekstrak metanol yang digunakan
adalah 2,7 g. Apabila 2,7 g diberikan kepada manusia yang mempunyai berat badan 60
kg (rata-rata manusia), maka dosis ekstrak metanol biji rambutan adalah 2,7 g/60 kg
BB = 0,045 g/kg BB = 45.10-3 mg/g BB. Pada penelitian ini digunakan tiga variasi
dosis ekstrak metanol yaitu dosis 1x (45.10-3 mg/g BB), dosis 2x (90.10-3 mg/g BB),
dan dosis 4x (180.10-3 mg/g BB).
Pada penelitian ini dosis sukrosa yang digunakan adalah 8 mg/g BB. Larutan
sukrosa yang dibuat sesuai dengan batas maksimum dari berat mencit (±20 g) dan
volume cekok (0,4 mL). Oleh karena itu, konsentrasi larutan sukrosa
adalah
. Jadi, untuk membuat larutan sukrosa 8 mg/g
BB sebanyak 50 mL, 20 g sukrosa dilarutkan dengan air hingga 50 mL.
Suspensi Acarbose dibuat sesuai dengan batas maksimum dari berat mencit (±20 g)
dan volume cekok (0,4 mL). Oleh karena itu, konsentrasi suspensi Acarbose 0,83.10-3
506
mg/g BB adalah
= 41,5.10-3 mg/mL. Untuk membuat 25 mL
suspensi Acarbose dosis 0,83.10-3 mg/g BB, Acarbose sebanyak 1037,5 mg dilarutkan
dengan Na CMC 0,5% hingga 25 mL.
Suspensi ekstrak metanol dibuat sesuai dengan batas maksimum dari berat mencit
(±20 g) dan volume cekok (0,4 mL). Oleh karena itu, konsentrasi suspensi ekstrak
metanol 180.10-3 mg/g BB adalah
= 9 mg/mL. Untuk membuat
suspensi 10 mL ekstrak metanol 180.10-3 mg/g BB, ekstrak metanol sebanyak 90 mg
dilarutkan dengan Na CMC 0,5% hingga 10 mL.
Suspensi ekstrak metanol 90.10-3 mg/g BB dibuat melarutkan suspensi ekstrak
metanol 180.10 -3 mg/g BB sebanyak 5 mL dalam Na CMC 0,5% hingga 10 mL.
Suspensi ekstrak metanol 45.10-3 mg/g BB dibuat melarutkan suspensi ekstrak metanol
90.10-3 mg/g BB sebanyak 5 mL dalam Na CMC 0,5% hingga 10 mL
Pengujian pada mencit dilakukan terhadap ekstrak metanol biji rambutan. Hewan
uji yang digunakan adalah mencit (Mus musculus) jantan galur DDY (Djerman
Democratic Yokohama) yang berusia 2 bulan. Mencit ditimbang berat badannya, dan
dibagi secara acak menjadi lima kelompok yang terdiri atas empat ekor/kelompok.
Sebelum percobaan mencit dipuasakan selama 18 jam namun disediakan air minum.
Kadar glukosa darah puasa mencit (0 menit) diukur setelah 18 jam dipuasakan,
kemudian diberi sukrosa 8 mg/g BB setelah 15 menit kemudian, dan diberi perlakuan
yang berbeda secara oral pada masing-masing kelompok sebagai berikut.
Kelompok I
: larutan Na CMC 0,5% (kontrol negatif).
Kelompok II
: obat antidiabetes Acarbose (Glucobay) dalam Na CMC 0,5%
dengan dosis 0,83.10-3 mg/g BB (kontrol positif).
Kelompok III
: suspensi ekstrak metanol biji rambutan dalam Na CMC 0,5%
dengan dosis 45.10-3 mg/g BB.
Kelompok IV
: suspensi ekstrak metanol biji rambutan dalam Na CMC 0,5%
dengan dosis 90.10-3 mg/g BB.
Kelompok V
: suspensi ekstrak metanol biji rambutan dalam Na CMC 0,5%
dengan dosis 180.10-3 mg/g BB.
Setelah diberi perlakuan, pengambilan darah dilakukan melalui intravena kaudal
pada menit ke-60, 120, 180 dan 240. Sampel darah diteteskan pada strip uji dan diukur
dengan glukometer yang akan menunjukkan kadar glukosa dalam darah.
2.2.5. Pengorganisasian Data
Aktivitas hipoglikemik pada mencit normal berupa kadar glukosa darah disajikan
dalam bentuk tabel dan diagram batang. Kadar glukosa darah tersebut dianalisis secara
statistika menggunakan uji LSD (Least Significant Different) menggunakan software
SPSS 13.0 Kadar glukosa darah kelompok perlakuan dianggap berbeda bermakna
ketika nilai P kurang dari 0,05 yang dibandingkan dengan kontrol negatif.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Uji Fitokimia
507
Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak biji rambutan dengan pelarut metanol,
ditampilkan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa ekstrak metanol
mengandung senyawa fenolik dan flavonoid.
Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia pada Serbuk dan Ekstrak Biji Rambutan
Uji Golongan
Senyawa
Steroid
Triterpenoid
Alkaloid
Fenolik
Saponin
Flavonoid
Keterangan:
+
++
+++
Ekstrak Metanol
Biji Rambutan
–
–
–
+++
–
++
=
=
=
=
tidak ada kandungan
terdapat dalam jumlah rendah
terdapat dalam jumlah sedang
terdapat dalam jumlah tinggi
3.2. Kromatografi Lapis Tipis
KLT dilakukan terhadap ekstrak metanol dengan berbagai perbandingan nheksana:etil asetat, dimana pemisahan terbaik terjadi pada eluen etil asetat:n-heksana
(1:9). Oleh karena itu, lima noda yang nampak dianggap sebagai komponen yang ada
dalam ekstrak metanol. Kromatogram-kromatogram tersebut kemudian diidentifikasi
dengan penampak noda CeSO4 dan FeCl 3. CeSO4 digunakan untuk mengidentifikasi
noda-noda yang ada dalam ekstrak metanol (flavonoid dan fenolik) yang ditampilkan
pada Gambar 1.
Gambar 1. Kromatogram ekstrak metanol biji rambutan pada berbagai variasi eluen dengan
penyemprot CeSO4
Berdasarkan kromatogram pada Gambar 1, kromatogram dengan eluen etil asetat:nheksana (1:9) terlihat lima noda yang berwarna kuning kecoklatan, dan teridentifikasi
sebagai fenolik (flavonoid). Hal ini terjadi juga dengan penampak noda FeCl 3 1% untuk
mengidentifikasi adanya fenolik dimana pada kromatogram terlihat lima noda (Gambar
508
2). Kelima noda tersebut memilik nilai Rf yaitu 0,12, 0,41, 0,60, 0,78, dan 0,92. Oleh
karena demikian, kelima noda diperkirakan sebagai senyawa fenolik (flavonoid).
Gambar 2. Kromatogram ekstrak metanol biji rambutan pada berbagai variasi eluen dengan
penyemprot FeCl3 1%
Pada Gambar 2, ketika kepolaran eluen dinaikkan (etil asetat diperbesar) ditemukan
juga satu noda baru yang dapat diidentifikasi dengan FeCl 3, namun tak dapat
diidentifikasi dengan CeSO 4. Hal ini terjadi pada eluen etil asetat:n-heksana (5:5, Rf =
0,38), (6:4, Rf = 0,24), (7:3, Rf = 0,32), (8:2, R f = 0,5), dan (9:1, R f = 0,58). Oleh karena
demikian, satu noda baru tersebut diperkirakan sebagai senyawa fenolik bukan
flavonoid.
3.3. Uji Aktivitas Hipoglikemik pada Mencit Normal
Uji aktivitas hipoglikemik pada mencit normal dalam penelitian ini dilakukan
karena adanya senyawa fenolik dan flavonoid dalam ekstrak metanol yang dianggap
berpotensi sebagai obat antidiabetes (Eddouks et al, 2004; Lemhadri et al, 2004; dan Li
et al, 2004). Pada penelitian ini diperoleh kadar glukosa darah mencit pada menit ke-0,
60, 120, 180 dan 240 (Lampiran 1) yang ditampilkan dalam nilai rata-rata kadar
glukosa darah (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil Uji Aktivitas Hipoglikemik pada Mencit Normal
Kelompok
0
Kadar glukosa darah ± SD pada menit ke60
120
180
Kontrol negatif
64,50±23,84 151,25±35,19
94,50±23,07 119,25±14,97
(Na CMC 0,5%)
Acarbose dosis
56,50±12,77 115,25*±24,39 81,75±16,56 91,25*±13,23
0,83.10-3 mg/g BB
Ekstrak biji rambutan
47,25±16,48 124,75±18,10
69,25±34,45 81,00**±10,16
-3
dosis 45.10 mg/g BB
Ekstrak biji rambutan
55,25±12,37 115,25*±18,46 95,00±19,71 85,75**±24,13
dosis 90.10- 3 mg/g BB
Ekstrak biji rambutan
43,25±8,46
106,00*±12,03 76,50±14,18 66,75**±10,28
-3
dosis 180.10 mg/g BB
Keterangan: * = berbeda bermakna (P<0,05) dibandingkan kontrol negatif
** = berbeda bermakna (P<0,01) dibandingkan kontrol negatif
509
240
87,25±20,12
78,75±22,75
72,00±17,61
84,25±12,17
68,50±14,48
Pada menit ke-0 yang merupakan kadar glukosa darah puasa (selama 18 jam), kadar
glukosa darah mencit tidak berbeda bermakna (P<0,05) pada semua kelompok. Namun
demikian, kadar glukosa darah tiap kelompok menjadi meningkat pada menit ke-60
setelah pemberian sukrosa (Gambar 3). Peningkatan kadar glukosa darah terjadi karena
enzim sukrase dalam sistem pencernaan menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan
fruktosa sehingga dapat diabsorpsi oleh sistem pencernaan dan diedarkan melalui
darah. Dengan adanya pemberian acarbose, proses hidrolisis sukrosa dihambat melalui
mekanisme inhibisi reversibel kompetitif. Hal ini menyebabkan kadar glukosa darah
kelompok perlakuan acarbose (0,83.10-3 mg/g BB) menjadi lebih rendah yang berbeda
bermakna (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol negatif pada menit ke-60.
Pemberian ekstrak metanol juga memiliki kenaikan kadar glukosa darah yang lebih
rendah dibandingkan kontrol negatif pada menit ke-60. Hal ini menunjukkan bahwa
ekstrak metanol menunjukkan aktivitas hipoglikemik. Namun, hanya kelompok
perlakuan ekstrak metanol biji rambutan dosis 90.10-3 mg/g BB dan 180.10-3 mg/g BB
yang aktivitas hipoglikemik yang bermakna (P<0,05) dibandingkan kontrol negatif,
sedangkan pemberian dosis 45.10-3 mg/g BB menunjukkan aktivitas hipoglikemik yang
tak bermakna (P>0,05) dibandingkan kontrol negatif.
Gambar 3. Kadar Glukosa Darah Mencit pada Kontrol Negatif (Na CMC 0,5%) (A);
Acarbose dosis 0,83.10-3 mg/g BB (B); Ekstrak Biji Rambutan Dosis 45.10-3 mg/g BB (C);
90.10-3 mg/g BB (D); dan 180.10-3 mg/g BB (E)
(* P<0,05 dibandingkan kontrol negatif; ** P<0,01 dibandingkan kontrol negatif)
Pada menit ke-120, semua kelompok perlakuan mengalami penurunan kadar
glukosa darah. Hal tersebut terjadi karena penggunaan glukosa oleh mencit untuk
pembentukan energi dan terjadinya absorbsi glukosa darah ke dalam sel. Selain itu juga
karena pankreas mencit yang digunakan masih normal sehingga dapat mensekresi
insulin secara normal yang dapat membuat kadar glukosa darah menjadi normal
510
kembali. Penurunan kadar glukosa darah semua kelompok perlakuan pada menit ke120 tak memiliki perbedaan yang tak bermakna (P>0,05) dibandingkan kontrol negatif.
Pada menit ke-180, kadar glukosa darah mengalami peningkatan kembali pada
kelompok kontrol negatif, kelompok perlakuan acarbose dan kelompok perlakuan
ekstrak metanol biji rambutan dosis 45.10-3 mg/g BB. Sedangkan kelompok perlakuan
dosis 90.10-3 mg/g BB dan 180.10-3 mg/g BB mengalami penurunan dibandingkan
menit ke-120. Namun demikian, kelompok perlakuan acarbose (P<0,05), kelompok
perlakuan ekstrak metanol (45.10-3 mg/g BB, 90.10-3 mg/g BB, dan 180.10-3 mg/g BB)
(P<0,01) memiliki aktivitas hipoglikemik yang berbeda bermakna dibandingkan
dengan kontrol negatif (Gambar 3).
Pada menit ke-240, semua kadar glukosa darah kelompok perlakuan kembali
normal. Hal ini terlihat dengan kadar glukosa mencit yang normal pada semua
kelompok dan tak berbeda bermakna (P>0,05) dibandingkan kontrol negatif (Gambar
3).
Berdasarkan hasil uji aktivitas hipoglikemik pada mencit normal, ekstrak metanol
menunjukkan aktivitas hipoglikemik dibandingkan kontrol negatif. Hal ini dikarenakan
adanya senyawa fenolik dan flavonoid yang terkandung dalam biji rambutan yang
mempunyai aktivitas antidiabetes (Eddouks et al, 2004; dan Lemhadri et al, 2004) dan
telah digunakan sebagai obat antidiabetes (Li et al, 2004). Aktivitas hipoglikemik
ekstrak metanol pada mencit normal diperkirakan melalui peningkatan sekresi insulin
dan fungsi sel β pankreas (Li et al, 2004) sehingga dapat menyebabkan efek
hipoglikemik pada mencit. Berdasarkan hal ini, biji rambutan dapat dimanfaatkan
dalam pengobatan diabetes.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak metanol biji
rambutan mengandung senyawa fenolik dan flavonoid. Ekstrak metanol mengandung 6
komponen senyawa yang terdiri dari 5 fenolik (flavonoid) dan 1 fenolik bukan
flavonoid.
Ekstrak metanol dosis 90.10-3 mg/g BB dan 180.10-3 mg/g BB menunjukkan
aktivitas hipoglikemik pada menit ke-60 dibandingkan kontrol negatif. Mekanisme
penurunan kadar glukosa darah dari ekstrak metanol biji rambutan diasumsikan hampir
sama dengan Acarbose.
4.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka pada penelitian selanjutnya disarankan
untuk:
1. Mengisolasi senyawa murni yang terkandung dalam ekstrak metanol biji rambutan,
dan menentukan struktur molekulnya.
2. Uji in vitro dari ekstrak metanol biji rambutan, misalnya uji alpha-glucosidase
inhibitor, dan lain-lain.
3. Menguji aktivitas hipoglikemik (in vivo) ekstrak metanol biji rambutan pada hewan
uji diabetes tipe 1 dan 2.
4. Mencari mekanisme yang pasti dan spesifik dari ekstrak metanol biji rambutan.
5. Menguji aktivitas antioksidan ekstrak metanol biji rambutan (mengandung
flavonoid) yang berpotensi sebagai antioksidan.
511
5. DAFTAR PUSTAKA
Artanti, N. M. Hanafi, dan L. B. S. Kardono. 2002. Aktivitas Penghambatan Ekstrak Gambir
(Uncaria Gambir Roxb) dan Ekstrak Taxus sumatrana (Miquel) De Laubenfels Terhadap
Enzim α-Glukosidase. Prosiding Seminar Nasional V. “Kimia dalam Pembangunan”.
Depkes RI. 2001. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI). CV. Sagung Seto. Jakarta.
Eddouks, M. dan M. Maghrani. 2004. Philorizin-like Effect of Fraxinus Excelsior in Normal
and Diabetic Rats. Journal of Ethnopharmacology 94: 149-154.
Harborne, 1996. Metode Fitokimia. Penerbit ITB. Bandung.
Morota, T., Takeda, H., Sasaki, H., Sato, S. 1990. Aldose reductase inhibitors containing
phenols of Caesalpinia sappan. Japan Kokai Tokkyo Koho Patent, p. 7. Patent number:
JP 02264718.
IPTEKnet. Rambutan. http://www.iptek.net.id. 15 September 2006, pukul 17.00 WIB.
Kim, Y.M., Jeong Y.K., dan Wang M.H. 2004. Inhibitory Effect of Pine Extract on αGlucosidase Activity and Postprandial Hyperglycemia. Nutrition 21: 756-761.
Lemhadri, A. M. Eddouks, dan J.B. Michel. 2004. Caraway and Caper: potential antihyperglycaemics plants in diabetic rats. Journal of Ethnopharmacology 94: 143-148.
Li W.L., Zheng H.C., Bukuru J., dan De Kimpe N.. 2004. Natural medicines used in the
traditional Chinese medical system for therapy of Diabetes melitus. Journal of
Ethnopharmacology. 92: 1-21.
Mahisworo, Sutanto, K., dan Anung, A., 2006. Bertanam Rambutan. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Markham, 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Penerbit ITB. Bandung.
Marpaung, L. 1996. Analisa Komposisi Asam Lemak Dari Biji Buah Rambutan (Nephelium
Lappaceum L.) Dengan Kromatografi Gas. Jurnal Agrokimia 1: 43-47.
McCue, P.P., dan K. Shetty. 2004. Inhibitory Effects of Rosmarinic Acid Extracts on Porcine
Pancreatic Amylase In Vitro. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition 13 (1): 101-106.
Moningkey, S.I. 2000. Epidemiologi Diabetes Melitus dan Pengendaliannya. PT Grafiti
Medika Press. Jakarta.
Morton, J.F. 1987. Rambutan. Dalam: Fruits of warm climates. Miami: 262-265.
Nishimura, H., Kubo, M., Takeda, H., dan Chin, M. 1992. Flavone C-glycoside for treatment of
diseased associated with diabetes. Japan Kokai Tokkyo Koho (Patent), p. 7. Patent
number: JP 04059788.
Octa. 2006. Diabetes Melitus. Depkes RI Pusat. Jakarta.
512
Pranadji, D. K., D. H. Martianto, dan V. U. Subandriyo. 2005. Perencanaan Menu untuk
Penderita Diabetes Melitus. Penebar Swadaya. Jakarta.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB. Bandung.
Soegondo, S. 2005. Prinsip Pengobatan Diabetes, Insulin dan Obat Hipoglikemik Oral. Dalam:
Soegondo, S., P. Soewondo, dan I. Subekti (ed.) Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 111-130.
Soewondo, P. 2005. Pemantauan Pengendalian Diabetes Melitus. Dalam: Soegondo, S., P.
Soewondo, dan I. Subekti (ed.) Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta: 153-160.
Subroto, M. A., 2006. Ramuan Herbal untuk Diabetes Melitus. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sugiwati, S., L.B.S. Kardono, dan M. Bintang. 2006. α-Glucosidase Inhibitory Activity and
Hypoglicemic Effects of Phaleria macrocarpa Fruits Pericarp Extracts by Oral
Administration to Rats. Journal of Applied Sciences 6 (10): 2312-2316
Utami, P., dan Tim Lentera, 2003. Tanaman Obat untuk Mengatasi Diabetes Melitus. Penerbit
PT AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Thibodeau, dan Patton. 1996. Anatomy Physiology. Jilid III. Mosby. USA.
Waspadji, S. 2005. Diabetes Melitus: Mekanisme Dasar dan Pengelolaannya yang Rasional.
Dalam: Soegondo, S., P. Soewondo, dan I. Subekti (ed.) Penatalaksanaan Diabetes
Melitus Terpadu. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 29-42.
Widowati, L., Dzulkarnain, B., dan Sa’roni, 1997. Tanaman Obat Untuk Diabetes Melitus.
Cermin Dunia Kedokteran. 116: 53-60.
Wijayakusuma, H. 1994. Tanaman Berkhasiat Obat Indonesia. Pustaka Kartini. Jakarta.
Wikipedia. Acarbose. http://en.wikipedia.org. 25 Februari 2007, pukul 17.11 WIB.
Wikipedia. Glucose meter. http://en.wikipedia.org. 19 September 2006, pukul 17.49 WIB.
Wikipedia. Maltase. http://en.wikipedia.org. 1 Agustus 2007, pukul 14.00 WIB.
Wikipedia. Rambutan. http://en.wikipedia.org. 27 September 2006, pukul 11.21 WIB.
513
Lampiran 1.
Kelompok
I
II
III
IV
V
Data Pengamatan Uji Aktivitas Hipoglikemik Ekstrak Metanol Biji
Rambutan pada Mencit Normal
Label
A1
A2
A3
A4
B1
B2
B3
B4
C1
C2
C3
C4
D1
D2
D3
D4
E1
E2
E3
E4
Kadar glukosa darah (mg/dL) pada menit ke0
60
120
180
240
88
102
92
107
104
35
174
86
116
58
79
150
127
141
93
56
179
73
113
94
46
135
89
75
67
66
100
57
89
86
69
89
92
94
107
45
137
89
107
55
34
134
109
83
85
34
99
43
77
46
68
140
87
70
78
53
126
38
94
79
56
128
89
53
86
60
120
114
95
80
67
125
107
110
100
38
88
70
85
71
33
91
89
79
73
48
113
87
61
82
40
102
59
56
48
52
118
71
71
71
Keterangan:
Kelompok I
Kelompok II
: larutan Na CMC 0,5% (kontrol negatif)
: Suspensi Acarbose (Glucobay) dalam Na CMC 0,5% dosis 0,83.10-3
mg/g BB (kontrol positif)
Kelompok III : Suspensi ekstrak metanol biji rambutan dosis 45.10-3 mg/g BB dalam
Na CMC 0,5%
Kelompok IV : Suspensi ekstrak metanol biji rambutan dosis 90.10-3 mg/g BB dalam
Na CMC 0,5%
Kelompok V : Suspensi ekstrak metanol biji rambutan dosis 180.10-3 mg/g BB
dalam Na CMC 0,5%.
Lampiran 2.
Hasil Analisa Statistika Uji Aktivitas Hipoglikemik Ekstrak Metanol Biji
Rambutan pada Mencit Normal
1. Pada menit ke-0 (jam 0)
514
47
LSD
(I) label
1,00
(J) label
2,00
3,00
4,00
5,00
Mean
Difference
(I-J)
8,00000
17,25000
9,25000
21,25000
95% Confidence Interval
Std. Error
11,07888
11,07888
11,07888
11,07888
Sig.
,481
,140
,417
,074
Lower Bound
-15,6141
-6,3641
-14,3641
-2,3641
Upper Bound
31,6141
40,8641
32,8641
44,8641
Sig.
,043
,124
,043
,014
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
1,3265
70,6735
-8,1735
61,1735
1,3265
70,6735
10,5765
79,9235
2. Pada menit ke-60 (jam 1)
LSD
(I) label
1,00
(J) label
2,00
3,00
4,00
5,00
Mean
Difference
(I-J)
Std. Error
36,00000* 16,26755
26,50000
16,26755
36,00000* 16,26755
45,25000* 16,26755
* The mean difference is significant at the 0.05 level
3. Pada menit ke-120 (jam 2)
LSD
(I) label
1,00
2,00
(J) label
2,00
3,00
4,00
5,00
1,00
Mean
Difference
(I-J)
12,75000
25,25000
-,50000
18,00000
Std. Error
16,07223
16,07223
16,07223
16,07223
Sig.
,440
,137
,976
,280
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
-21,5072
47,0072
-9,0072
59,5072
-34,7572
33,7572
-16,2572
52,2572
Sig.
,021
,003
,008
,000
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
4,7454
51,2546
14,9954
61,5046
10,2454
56,7546
29,2454
75,7546
4. Pada menit ke-180 (jam 3)
LSD
(I) label
1,00
(J) label
2,00
3,00
4,00
5,00
Mean
Difference
(I-J)
Std. Error
28,00000* 10,91024
38,25000* 10,91024
33,50000* 10,91024
52,50000* 10,91024
* The mean difference is significant at the 0.05 level
5. Pada menit ke-240 (jam 4)
LSD
(I) label
1,00
(J) label
2,00
3,00
4,00
5,00
1,00
Mean
Difference
(I-J)
8,50000
15,25000
3,00000
18,75000
Std. Error
12,61117
12,61117
12,61117
12,61117
Sig.
,511
,245
,815
,158
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
-18,3801
35,3801
-11,6301
42,1301
-23,8801
29,8801
-8,1301
45,6301
2,00
Keterangan
label:
1,00 = Kelompok I, diberi larutan Na CMC 0,5% (kontrol negatif).
2,00 = Kelompok II, diberi Acarbose (Glucobay) dalam Na CMC 0,5% dengan dosis
0,83.10-3 mg/g BB (kontrol positif).
3,00 = Kelompok III, diberi suspensi ekstrak metanol biji rambutan dalam Na CMC
0,5% dengan dosis 45.10-3 mg/g BB.
4,00 = Kelompok IV, diberi suspensi ekstrak metanol biji rambutan dalam Na CMC
0,5% dengan dosis 90.10-3 mg/g BB.
5,00 = Kelompok V, diberi suspensi ekstrak metanol biji rambutan dalam Na CMC
0,5% dengan dosis 180.10-3 mg/g BB.
Lampiran 3. Nilai Rf Ekstrak Metanol Biji Rambutan
Penampak Noda
CeSO4
FeCl3
0,52
0,58
Eluen
Metanol
515
0,54
0,58
0
0,89
n-heksana
Etil asetat
etil asetat : n-heksana (1:9)
0,12
0,41
0,60
0,78
0,92
0,38
0,78
0,88
0,95
0,55
0,70
0,88
0,95
0,74
0,85
0,94
0,79
0,92
etil asetat : n-heksana (2:8)
etil asetat : n-heksana (3:7)
etil asetat : n-heksana (4:6)
etil asetat : n-heksana (5:5)
etil asetat : n-heksana (6:4)
0,82
0,92
etil asetat : n-heksana (7:3)
0,82
0,94
etil asetat : n-heksana (8:2)
0,82
0,92
etil asetat : n-heksana (9:1)
0,85
0,92
516
0,1
0,82
0,92
0,12
0,41
0,60
0,78
0,92
0,38
0,78
0,88
0,95
0,55
0,70
0,88
0,95
0,74
0,85
0,94
0,38
0,79
0,92
0,24
0,82
0,92
0,32
0,82
0,94
0,5
0,82
0,92
0,58
0,85
0,92
ISOLASI DAN ANALISA PEKTIN DARI
KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana. L)
DENGAN VARIASI KONSENTRASI HCl
Oleh : Taufan Hari Sugara
Dra. Nurul Hidayati M.Si
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Surabaya
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa
konsentrasi HCl optimum untuk isolasi pektin dari kulit buah manggis dengan
lama ekstraksi 120 menit dan suhu ekstraksi 90 0C. Selain itu dilakukan pula
analisa sifat pembentukan gel dan gugus fungsi dari pektin hasil akstraksi yang
selanjutnya dibandingkan dengan pektin standart. Metode penelitian meliputi
tahap persiapan bahan, ekstraksi, pengendapan, pencucian dan pengeringan
pektin. Variasi konsentrasi HCl yang digunakan adalah 0,02 M ; 0,04 M ; 0,06 M
; 0,08 M ; 0,1 M dan 0,12 M.
Dari hasil analisis kualitatif diperoleh hasil positif bahwa produk
yang dihasilkan dari ekstraksi kulit buah manggis adalah pektin. Hal ini diketahui
dari kecocokan gugus fungsi dan sifat pembentukan gel dari pektin standar
dengan pektin hasil isolasi. Pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer
Infra Merah menggambarkan munculnya puncak serapan pektin hasil isolasi
pada bilangan gelombang 3649,65 cm-1 yang menunjukkan streching O-H
alkohol, 2926,28 cm-1 yang menunjukkan streching C-H alkana, 1624,21 cm-1
yang menunjukkan streching C=O asam karboksilat, 1456,39 cm-1 yang
menunjukkan bending C-H, 1259,63 cm-1; 1101,45 cm-1; dan 1014,65 cm-1 yang
menunjukkan streching C-O ester. Pada ketiga uji sifat pembentukan gel, pektin
standart dan pektin hasil isolasi sama-sama membentuk larutan gelatin ketika
ditambahkan air (dengan pemansan), penambahan alkohol dan penambahan
NaOH 2N.
Dari hasil analisis kuantitatif diketahui bahwa konsentrasi HCl
optimum untuk isolasi pektin dari kulit buah manggis dengan lama ekstraksi 120
menit dan suhu ekstraksi 90 0C adalah 0,1 M, karena pada konsentrasi ini
diperoleh persen (%) rata-rata rendemen pektin paling tinggi yaitu sebesar
3,9758 %.
Kata kunci : Kulit buah manggis, Isolasi, Konsentrasi HCl.
LATAR BELAKANG
yakni perpaduan rasa manis, asam
Produk
manggis
adalah
utama
tanaman
buahnya.
Buah
manggis memiliki perpaduan warna
yang indah dan citarasa yang khas,
dan sepet yang tidak dimiliki oleh
rasa buah-buahan lain. Buah manggis
banyak
mengandung
gula
dan
vitamin C. Pada umumnya buah
1
manggis dikonsumsi langsung tanpa
industri di Indonesia, penggunaan
diolah
pektin semakin meningkat. Pektin
terlebih
manggis
dahulu.
dapat
diolah
Buah
menjadi
merupakan
bahan
baku
yang
dodol/lempong, serta minuman sari
diperlukan secara luas diberbagai
buah dan minuman anggur yang
bidang, antara lain pada industri
dapat diperoleh dari buah manggis.
obat-obatan,
Tidak seperti buah-buahan lain yang
industri tekstil, kertas dan industri
dikonsumsi
kosmetik (Sudibyo, 1975).
manusia,
persentase
industri
makanan,
Mengingat
daging buah manggis sangat kecil
dibandingkan kulit buahnya. Hanya
penggunaan
18,66 % berupa daging buah dan
bidang
bijinya sedangkan sisanya adalah
diusahakan
kulit buah (Heyne, 1991). Karena
pektin dunia khususnya di Indonesia.
kulit
belum
Untuk memenuhi kebutuhan pektin
dimanfaatkan, maka kulit buah ini
di dalam negeri, diperlukan suatu
berpotensi menjadi limbah organik
penelitian untuk mencari sumber
yang mengganggu.
pektin
buah
manggis
Seperti pada kulit buah
jeruk dan kulit buah markisa, kulit
pektin
banyaknya
di
industri,
berbagai
maka
peningkatan
lain
yang
perlu
produksi
jumlahnya
melimpah dan dari bahan baku yang
melimpah pula.
buah manggis juga mengandung
Pektin
secara
umum
pektin. Menurut Noller (1965) dalam
terdapat di dalam dinding sel primer
buah-buahan terdapat senyawa yang
tanaman, khususnya di sela-sela
tidak larut dalam air yang dinamakan
antara selulosa dan hemiselulosa.
protopektin.
parsial
Senyawa pektin berfungsi sebagai
protopektin akan menghasilkan asam
bahan perekat antara dinding sel
pektat dan asam pektinat yang juga
yang satu dengan dinding sel yang
dinamakan pektin.
lain.
Hidrolisis
Pektin merupakan suatu zat
Pada umumnya senyawa
pembentuk gel (gel agent) yang
pektin
banyak digunakan dalam kegiatan
menjadi 3 yaitu asam protopektin,
industri. Dengan semakin maju dan
asam pektinat (pektin) dan asam
berkembangnya
pektat. Komposisi kandungan asam
berbagai
macam
dapat
dikelompokkan
2
protopektin, pektin dan asam pektat
galakturonat saja, sedangkan asam
dalam buah sangat bervariasi dan
pektinat
tergantung pada derajat kematangan
karboksil (COOH) dari asam D-
buah. Protopektin merupakan isitlah
galakturonat
untuk senyawa-senyawa pektin yang
metil.
sebagian
besar
gugus
dalam bentuk
ester
tidak larut dalam air dan banyak
COOH
terdapat pada jaringan tanaman yang
masih
muda.
Selama
O
HO
proses
H
OH
pematangan
terjadi
H
H
perombakan
OH
H
protopektin (yang tidak larut dalam
H
OH
air) secara bertahap menjadi bentuk
Gambar a
yang lebih larut, hal ini akan
Asam-α-galakturonat
mempengaruhi
proses
tekstur
pematangan.
selama
Perubahan
COOCH 3
protopektin menjadi pektin (yang
O
HO
H
H
dapat terdispersi dalam air) juga
dapat
terjadi
apabila
OH
H
jaringan
H
tanaman dipanaskan di dalam air
OH
Gambar b
yang mengandung asam. Akibat dari
Metil-α-galakturonat
perlakuan ini, maka jaringan dalam
sayuran dan buah-buahan menjadi
lunak dan empuk apabila dimasak.
H
OH
COOCH3
COOH
O
HO
O
H
H
OH
Larutan asam yang biasa digunakan
O
H
OH
H
OH
H
H
adalah asam klorida dan asam sulfat.
H
H
OH
OH
Pektin merupakan suatu zat
Gambar c
pembentuk gel (gel agent) yang
merupakan
polimer
asam
galakturonat yang saling berikatan
dengan
ikatan
Ditinjau
dari
Pektin (Asam pektinat)
D-
Gambar 2. 3 : Struktur Pektin
Winarno, 2002)
(1,4)-glikosida.
strukturnya,
asam
H
H
Gugus ester metil disebut
pektat apabila dihidrolisis dengan
juga
enzim akan menghasilkan asam D-
Banyaknya gugus metoksikarbonil
gugus
metoksikarbonil.
3
akan
menentukan
kecepatan
ekstraksi 120 menit dan suhu
pembentukan gel.
Pektin
kulit buah manggis dengan lama
mempunyai
sifat
dapat larut dalam air dan tidak dapat
ekstraksi 90 0C.
2. Mengetahui sifat gel pektin yang
larut dalam alkohol. Sifat pektin
diisolasi
yang
manggis.
dapat
larut
dalam
air
dari
kulit
buah
disebabkan karena adanya gugus
3. Mengetahui karakteristik gugus
karboksil (COOH) dalam struktur
fungsi pektin hasil isolasi yang
pektin. Apabila pektin dilarutkan
diukur dengan spektrofotometer
dalam air, maka sebagian gugus
Infra Merah.
karboksilnya
akan
terionisasi
membentuk ion karboksilat dan ion
H+. Ion H+ ini akan berikatan dengan
H2O
membentuk
ion
+
H3O
METODE PENELITIAN
1. Proses persiapan bahan
(Trenggono, 1990 dalam Daniarsari,
Kulit buah manggis dipisahkan
2005).
hidrofil,
dari daging Bj,uah dan bijinya,
pektin dapat menyerap air. Pektin
kemudian dicuci dan diiris kecil-
dapat juga mengalami hidrolisis
kecil. Irisan kulit buah manggis
dengan asam dan alkali (Sakidja,
yang
1989). Selain itu pektin juga dapat
dikeringkan dalam oven pada
membentuk garam pektinat, karena
suhu 45-60 0C hingga kadar air
senyawa
besar
jaringan kurang lebih 13-12%.
tersusun dari asam poligalakturonat
Kulit buah manggis yang sudah
yang bersifat koloid.
kering
Sebagai
pektin
koloid
sebagian
Faktor-faktor yang mem-
telah
diiris
kemudian
kemudian
diblender
hingga berbentuk serbuk.
pengaruhi proses ekstraksi pektin
adalah suhu ekstraksi, lama ekstraksi
dan konsentrasi pelarut HCl.
Tujuan dari penelitian ini
adalah :
1. Menentukan konsentrasi HCl
optimum pada isolasi pektin dari
2. Proses ekstraksi pektin
Serbuk
kulit
buah
manggis
ditimbang sebanyak 50 gram
kemudian
dimasukkan
dalam
tiap-tiap labu dasar bulat yang
telah
berisi larutan
dengan konsentrasi
HCl
masing -
4
masing 0,02 M; 0,04 M; 0,06 M;
didinginkan hingga terbentuk gel
0,08 M; 0,1 M; 0,12 M. labu
yang kaku.
mulut tiga kemudian dirangkai
(-) 0,5 gram pektin dilarutkan
dengan
pendingin
refluks
dalam 5 ml air. 1 ml larutan
kemudian
dilakukan
ekstraksi
pektin yang dihasilkan kemudian
C selama 120
ditambahkan dengan 1 ml etanol
menit. Hasil ekstraksi kemudian
96% sampai terbentuk endapan
disaring dengan menggunakan
bening seperti gelatin.
kertas
(-)
pada suhu 90
0
saring
dalam
corong
1
ml
larutan
pektin
memisahkan
ditambahkan dengan 1 ml NaOH
filtrat dan residunya. Kedalam
2N sampai terbentuk endapan
filtrat
bening sperti gelatin.
buchner
untuk
kemudian
ditambahkan
alkohol 96% (sampai pH sekitar
3,7 -4) dengan tujuian untuk
mengendapkan pektin. Endapan
kemudian disaring dengan kertas
saring. Endapan kemudian dicuci
dengan
alkohol
96%
membersihkan
dari
untuk
zat-zat
pengotor lainnya. Endapan yang
diperoleh kemudian dikeringkan
dalam oven pada suhu 60-62 0C
4. Penentuan gugus fungsi pektin
Penentuan
gugus
fungsi
digunakan untuk membandingkan gugus fungsi pektin standart
dengan gugus fungsi pektin yang
dihasilkan pada proses ekstraksi.
Pada metode ini digunakan alat
spektrofotometer
Infra
Merah
(JASCO FT/IR-5300).
sampai diperoleh berat yang
konstan. Rendemen pektin yang
telah yang dihasilkan kemudian
ditimbang untuk mendapatkan
data berat kering pektin.
5. Uji kuantitatif
Berat rata-rata rendemen pektin
kering yang dihasilkan dari
ekstraksi kulit buah manggis
(gram) kemudian didistribusikan menjadi persen (%) rata-
3. Uji kualitatif
(-) 0,5 gram pektin dilarutkan
rata rendemen pektin dengan
dalam
menggunakan persamaan :
5
ml
air
kemudian
dipanaskan dalam penangas air.
Larutan
pektin
kemudian
5
Rendemen pektin (%) :
-
Berat ker ing pektin ( gram)
x 100 %
50 gram kulit buah manggis kering
Pektin pembanding dan pektin
hasil
ekstraski
juga sesuai dengan sifat pektin
Dari uji yang telah dilakukan
bahwa
yang tidak dapat larut dalam
produk
pelarut
tersebut adalah pektin. Hal ini
Alkohol
membentuk
dalam
larutan
pektin
seperti koloid. Hal ini sesuai
gugus
korboksilnya akan terionisasi
membentuk ion karboksilat.
(Tranggono,
1990
dalam
yang
-
O
O
H
hasil
ekstraksi
O
H
OH
H
O
H
H
+ H2O
H
OH
O
OH
O
H
manggis yang telah dilarutkan,
apabila ditambahkan NaOH 2 N
dan dibiarkan selama 15 menit
maka akan membentuk larutan
negatif
akan
penambahan ion Na+. Hal ini
disebabkan
karena
terjadinya
penetralan antara 2 muatan yang
H
H
H
H
O
OH
H
OH
O
+ H3O+
H
H
H
buah
COOCH3
COO-
OH
kulit
mengalami penggumpalan karena
H
H
H
O
terbentuknya
Pektin pembanding dan pektin
bermuatan
H
dan
COOCH3
COOH
OH
hidrofil
semi gel. Koloid hidrofil yang
Daniarsari, 2005).
O
senyawa
gumpalan seperti gelatin.
yang dapat larut dalam air
sebagian
sebagai
yakni
menyebabkan
dengan sifat umum pektin
maka
berfungsi
yang mengambil air dari koloid
kental
Bila pektin larut dalam air
terbentuknya
pendehidrasi,
air
dengan membentuk koloid.
akan
endapan dan terbentuknya gel.
sifat
tersebut antara lain :
larut
ketika
alkohol
menyebabkan
dari hasil ekstraksi dengan pektin
(Farmakope,
Sehingga
ditambahkan
sifat antara zat yang diperoleh
Kesamaan
organik
1995).
dapat diketahui dari persamaan
Pektin
membentuk
ditambahkan etanol 96 %. Hal ini
1. Uji Pembentukan Gel
-
akan
larutan bening seperti gel apabila
HASIL DAN PEMBAHASAN
pembanding.
buah
manggis yang telah dilarutkan,
sama-sama
menunjukkan
kulit
H
berlawanan, dimana ion Na+ dari
OH
6
NaOH akan terikat oleh gugus
-
zat
pengotor
karboksil (COO ) pada rantai
xantonin,
poligalakturonat pektin.
puncak
seperti
selain
itu
serapan
tanin
dan
pergeseran
juga
dapat
disebabkan oleh tingkat keasaman
pelarut HCl. Secara keseluruhan
2. Uji Spektrofotometer IR
Berikut ini merupakan bilangan
selisih pergeseran puncak serapan
gelombang
serapan
gugus fungsi pektin hasil isolasi
pektin
dengan pektin pembanding cukup
pembanding dan pektin hasil
kecil maka dapat dinyatakan bahwa
ekstraksi kulit buah manggis
serapan gugus fungsi pektin hasil
yang diwakili oleh spektra pektin
isolasi identik dengan serapan gugus
dengan konsentrasi HCl 0,1 M.
fungsi
spektra
N
o
1
2
3
4
5
infra
merah
Bilangan gelombang
(cm-1)
Pektin
Pektin
pembanding
hasil
ektraksi
3649,65
3364,16
Jenis Vibrasi
Streching
O-H Alkohol
Streching
C-H Alkana
Streching C=O
Asam Karboksilat
Bending C-H
Streching
C-O ester
Hasil
fotometer
puncak
menunjukkan
standart
yang
digunakan sebagai pembanding.
3. Uji Kuantitatif
Dari hasil perhitungan diperoleh
2935,92
2926,28
persen (%) rata-rata rendemen
1635,78
1624,21
pektin pada tabel di bawah ini :
1425,52
1151,61
1109,17
1026,22
1456,39
1259,63
1101,45
1014,65
pengukuran spektroInfra
pektin
Merah
adanya
diatas
pergeseran
puncak serapan pada masing-masing
gugus fungsi pektin hasil isolasi.
Berat pektin kering (%)
Konsentrasi
Pengulangan ke-
Pelarut HCl
Rata-
(M)
1
2
3
Jumlah
rata
0.02
1.7134
1.5258
2.2208
5.46
1.82
0.04
2.2978
2.723
2.5374
7.5582
2.5194
0.06
2.7142
2.6098
2.9098
8.2338
2.7446
0.08
3.835
3.673
3.4414
10.9494
3.6498
0.1
3.602
3.9534
4.372
11.9274
3.9758
0.12
3.2518
3.6178
3.5306
10.4002
3.4667
Pergeseran puncak serapan gugus
Persen (%) rata – rata rendemen
fungsi pektin paling tinggi terjadi
pektin yang diperoleh dari proses
pada streching O-H alkohol dan
ekstraksi
bending C-H yang disebabkan oleh
mengalami peningkatan mulai dari
penurunan tingkat kemurnian sampel
ekstraksi dengan menggunakan HCl
(pektin hasil isolasi) karena adanya
dengan konsentrasi 0,02 M sampai
kulit
buah
manggis
7
mencapai hasil maksimum pada
karena pada penambahan air
ekstraksi dengan konsentrasi HCl 0,1
(dengan
M. Meningkatnya konsentrasi HCl
penambahan
(keasaman), mengakibatkan proses
dan penambahan NaOH 2N
hidrolisis protopektin menjadi pektin
pektin hasil isolasi dan pektin
juga semakin tinggi. Pada ekstraksi
pembanding
selanjutnya dengan menggunakan
membentuk larutan gelatin.
pemanasan),
etanol
96 %
sama-sama
persen
3. Karakteristik gugus fungsi
rendemen pektin yang lebih rendah
pektin hasil isolasi identik
(menurun), meskipun telah dilakukan
dengan gugus fungsi pektin
3 kali pengulangan.
pembanding.
HCl
0,12
M,
diperoleh
Pengukuran
dengan
menggunakan
spektrofotometer Infra Merah
A. SIMPULAN
menggambarkan munculnya
Berdasarkan
data
penelitian dan analisa data yang
telah
dilakukan,
dapat
disimpulkan bahwa :
puncak serapan pektin hasil
isolasi
pada
gelombang
bilangan
3649,65
cm-1
yang menunjukkan streching
1. Konsentrasi HCl optimum
untuk ekstreaksi pektin dari
kulit buah manggis dengan
lama ekstraksi 120 menit dan
O-H alkohol, 2926,28 cm-1
yang menunjukkan streching
C-H alkana, 1624,21 cm-1
yang menunjukkan streching
0
suhu ekstraksi 90 C adalah
0,1 M. Hal ini disebabkan
karena pada pada konsentrasi
C=O
1456,39
asam
karboksilat,
cm-1
yang
menunjukkan bending C-H,
tersebut diperoleh persen (%)
1259,63 cm-1; 1101,45 cm-1;
rata-rata
dan 1014,65 cm-1
rendemen
pektin
paling tinggi yaitu sebesar
3,9758 %.
yang
menunjukkan streching C-O
ester.
2. Hasil analisis kualitatif pektin
menunjukkan bahwa sifat gel
pektin hasil isolasi dan pektin
pembanding
adalah
sama,
8
B. SARAN
1. Untuk mendapatkan pektin
kulit buah manggis yang
bebas pengotor seperti tanin
dan
xantonin,
rendemen
pektin harus dicuci dengan
etanol 96 % berulang kali.
Karena tanin dan xantonin
akan
larut
organik
dalam
pelarut
sedangkan
pektin
tidak.
2. Pada uji pembentukan gel
pektin
sebaiknya
diukur
tingkat kekentalannya dengan
menggunakan alat viskometer
sehingga data yang diperoleh
lebih akurat.
Daftar Pustaka
Amelia, dkk. 1996. pengembangan
pembuatan pektin dari sabut
kelapa. Komunikasi (154).
Manado.
BPPI.
Proyek
pengembangan dan pelayanan
teknologi industri Sulawsesi
Bagian Utara.
Chamidah. 2000. Pengaruh suhu dan
pH ektraski terhadap jumlah
pektin dari ekstraksi kulit buah
pisang mentah. Skripsi yang
tidak dipublikasikan. Surabaya.
UNESA.
Demand,
john.
1997.
Kimia
makanan edisi ke-2. Bandung.
Penerbit ITB.
Farmakope Indonesia. 1995. edisi
ke-4. Departemn Kesehatan
Republik Indonesia.
Heyne, K, 1991. Tumbuhan Berguna
Indonesia. Sarana Wana Jaya.
Jakarta.
Mc. Graw Hill. 1971. Encyklopedia
of science & technology jilid
13. New York. Mc. Graw Hill
Book Company Inc.
Meyer, L. H. 1960. Food Chemistry.
Reinhold
publishing
Connicticut.
Muhidin, dudung. 2001. Agrobisnis
papain dan pektin. Jakarta.
Penebar swadaya.
Noller, Carl, R, 1965. The Chemistry
of Organik Compouns 3rd
edition. Sounders Company.
Philadelphia.
Sakidja. 1989. Kimia Pangan.
Jakarta. P2LPTK. Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan.
Sudibyo, Roosmani. 1975. Pektin
dari
sisa-sisa
Hasil
Holtikultura. Warta pertanian,
52, (8-12). Jakarta.
Suhardi, 1991. Analisis Produk
Buah-buahan dan Sayuran.
PAU Pangan Dan Gizi
Universitas
Gajah
Mada.
Yogyokarta.
Suprapti, Iskandar Pereng & Norma.
1997.
Pengaruh
pelarut
terhadap kandungan pektin
kulit buah kakao. Majalah
Kimia. 57 (6-8).
Walter, H, 1991. The Chemistry And
Technology
of
Pectin.
Academic Press Inc. New
York.
Winarno, F. G. 1988. Kimia Pangan
Dan Gizi. Jakarta. Gramedia.
____________ 1995. Kimia Pangan
Dan Gizi. Jakarta. Gramedia.
____________ 2002. Kimia Pangan
Dan Gizi. Jakarta. Gramedia.
9