Hotrun Siregar/Dimensi Politik Dalam Formulasi Kebijakan Publik/63-72
Militia: Jurnal
Komunikasi dan Politik
Dimensi
Publik
Politik
Dalam
Formulasi
ISSN: 2088-1274
Vol. 1│No. 1
Kebijakan
Hotrun Siregar*
*
Universitas Bung Karno, Jakarta
Article Info
Keywords:
Politics and public policy.
Corresponding Author:
[email protected]
Militia: Jurnal Komunikasi dan
Politik
Volume 1 Nomor 1
Januari-Juni 2015
Issn 2088-1274
Hh. 63-72
©2015 MJP. All Rights Reserved.
Abstract
Policy-making process as a matter of conflict, because the resources
and goods are not biased shared fairly and equitably. The main issue
in the study of the policy ultimately parallel with "the connotation of
who gets what, when and how. In its development, the elite theorists
encountered problems conceptualization framework. The difficulty
was actually originated from the ideas of classical elit teroritisi itself,
where different terminology is often used to refer to the same
concepts and terminology used is identical is not uncommon for the
concepts are quite different. The significance of the role of elite
groups had not previously stopped at ekspalansi a society that is at
the status quo. Understanding of the role of the group preformance
of a society that is undergoing change. The main assumption of this
work lies in the political purposes in modern society or industry
remains dependent on the actions and ideas of what he described as
elite-determinant. Because society is continuously differentiated and
focused on specific areas, the elite has doubled and continues to
grow is important.
Proses pengambilan kebijakan sebagai masalah konflik, karena
resources dan goods tidak bias dibagikan secara adil dan merata.
Persoalan utama dalam studi kebijakan akhirnya parallel dengan
“konotasi siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Dalam
perkembangannya, para teoritisi elit mengalami persoalan kerangka
kerja konseptualisasi. Kesulitan itu justru berawal dari gagasangagasan teroritisi elit klasik itu sendiri, dimana terminology yang
berbeda seringkali digunakan untuk menunjuk konsep yang sama
dan terminologi identik tidak jarang digunakan untuk konsepkonsep yang cukup berbeda. Makna penting dari peranan kelompok
elit sebelumnya tidak berhenti pada ekspalansi sebuah masyarakat
yang sedang berada pada status quo saja. Pemahaman terhadap
peran kelompok ini dalm suatu masyarakat yang tengah mengalami
perubahan. Asumsi utama karya ini terletak pada tujuan-tujuan
politik dalam masyarakat modern atau industri yang tetap
tergantung pada tindakan-tindakan dan ide-ide dari apa yang ia
sebut sebagai elit-penentu. Karena masyarakat secara terus
menerus berdiferensiasi dan terpusat pada bidang-bidang tertentu,
para elit ini telah berlipat ganda danb terus bertambah penting.
63
Militia: Jurnal Komunikasi dan Politik/Volume 1 Nomor 1 (Januari-Juni 2015)
Pendahuluan
memberi penjelasan tentang bentuk
Dalam
proses-proses
pengambilan
sebuah
kebijakan,
tentu mencangkup tindakan-tindakan
dan tingkah laku dari aktor-aktor
yang
terlibat
pengambilan
Anderson
sebuah
kebijakan
apapun.
dalam
mengatakan
sebagai
secara
dalam
Wahab
bahwa
langkah
sengaja
(1991)
“kebijakan
tindakan
yang
dilakukan
oleh
seorang aktor atau sejumlah aktor
berkenaan dengan adanya masalah
yang sedang dihadapi. Pada bagian
lain, ia memberi makna kebijakan
Negara
sebagai
dirumuskan
serta
kebijakan
oleh
yang
instansi-instansi
pejabat-pejabat
analisis yang sangat terkait dengan
sasaran yang dimaksudkan dalam
ini,
penelitian
yakni
“Analisis
Kebijakan
Retrospektif”,
yang
berorientasi
pada
atau
problem-oriented
penciptaan
masalah
analysis,
dan
yaitu
transportasi
informasi sesudah aksi kebijakan
dilakukan. Fungsinya adalah upaya
untuk
menerangkan
sebab-sebab
dari pengambilan sebuah kebijakan.
Dan kajian ini masuk dalam kategori
“formulasi kebijakan”, yang mencoba
menjawab
suatu
pertanyaan
kebijakan
mengapa
diambil
oleh
pemerintah.
Pemahaman di atas tampak
pemerintah.
Aktor-aktor di luar pemerintah tentu
memiliki
saja
dikaitkan dengan makna kebijakan
dapat
perumusan
mempengaruhi
kebijakan
tersebut
itu
konsistensi
sendiri.
Sebab,
apabila
kebijakan
(Wahab, 1991). Sementara proses
merupakan hasil dari serangkaian
pengambilan
sebagai
diskusi yang melibatkan kemauan
masalah konflik, karena resources
politik dan tujuan-tujuan yang ingin
dan goods tidak bias dibagikan
dicapai
secara
kebijakan
oleh
aktor-aktor
politik
dan
merata.
Jadi,
tersebut (Dunn, 2000). Yang menjadi
utama
dalam
studi
pertanyaan kemudian adalah siapa
kebijakan akhirnya parallel dengan
aktor politik yang terlibat dalam
“konotasi
sebuah
adil
persoalan
siapa
mendapat
apa,
proses
pengambilan
kapan dana bagaimana” (Santoso,
kebijakan. Ada empat aktor yang
1989; Gaffar, 2000).
terlibat dalam proses pembuatan
Sedangkan untuk keperluan
fokus pengamatan, Dunn (2000)
64
sebuah kebijakan, yakni golongan
inkrementalis, golongan rasionalis,
Hotrun Siregar/Dimensi Politik Dalam Formulasi Kebijakan Publik/63-72
golongan
teknisi,
reformis.
Golongan
lebih
dan
diidentikkan
golongan
inkrementalis
dengan
baru
berada
liberalisasi.
pada
tahap
Sebaliknya,
awal
Klinken
para
justru memandang bahwa Indonesia
politisi. Sebab, nilai-nilai yang terkait
telah bergerak lebih dari sekedar
dengan
metode
liberalisasi
adalah
masalah-maslaah
pendekatan
ini
yang
berhubungan dengan terpeliharanya
Tujuan
kebijakan
dianggap
sebagai konsekuensi dari adanya
tututan-tuntutan,
terutama
didorong
kebutuhan
oleh
karena
untuk
melakukan sesuatu yang baru. Gaya
inkrementalis ini dapat digolongkan
sebagai
pelaku
melakukan
mampu
tawar-menawar
bargaining
teratur
yang
yakni
dengan
menderngar
atau
secara
tuntutan,
menguji seberapa jauh intensitas
tuntutan tersebut dan menawarkan
rezim
otoriter
menuju transisi demokrasi tahap
awal (Budiman, 2000).
kestabilan dari system dan statusquo.
atas
Penjelasan Klinken tersebut
tampak kemudian tidak konsisten.
Sebab,
pada
bagian
lain
ia
mengatakan bahwa dalam tahan
transisi,
aturan-aturan
seharusnya
demi
hukum
dirundingkan
Pemilihan
kembali
Umum
yang
kompetitif, dan kekuasaan mungki
dibagi antara pendukung rezim lama
dan
demokrat-demokrat
baru.
Sementara, dalam perspektif Klinken
sendiri, pemerintah Habibie tidak
melakukan pembagian kekuasaan
kompromi.
dengan “kelompok oposisi”. Habibie
Transisi Politik dan Perspektif
justru
yang
elitisme
yang
Klinken
membantah
Alfred
Stepan menyangkut seberapa jauh
Indonesia telah berjalan dalam jalur
menuju
demokrasi
mundurnyan
sejak
Soeharto.
penilaian
Stepan
bahawa
pemerintah Habibie adalah rezim
non-demokratis
yang
baru
dalam
orang-orang
pemerintahan,
menunjukkan
bahwa
perubahan yang terjadi lebih bersifat
top-down yang dimaksudkan untuk
menambah
dukungan
terhadap
tatanan lama (Budiman, 2000).
Ia
menunjukkan ketidak sepakatannya
atas
memasukkan
merupakan
kelanjutan dari kekuasaan lama, dan
Dengan
merujuk
kepada
Bratton dan Van de Walle, Klinken
mengemukakan tiga jalur transisi
demokrasi yang diterima secara luas
dengan skema yang b erbasis pada
65
Militia: Jurnal Komunikasi dan Politik/Volume 1 Nomor 1 (Januari-Juni 2015)
actor. Ketiga jalur tersebut adalah
Charles Fourier (1772-1837) dan
perubahan politik dari atas (top-
Henri de Saint-Simon (1760-1825)
down),
Dario
berpendapat bahwa kepemimpinan
bawah (buttoom-up), dan perubahan
elit-ilmuan dan ekonomi merupakan
politik
format pemerintah yang dianggap
perubahan
politik
melalui
(negotiate),
perundingan
tergantung
apakah
ideal
dalam
sebuah
masyarakat
transisi dipimpin oleh elit Negara,
(Sherman
dan
Kolker,
1987).
oleh
Namun,
titik
tolak
bagi
kekuatan-kekuatan
oposisi,
atau oleh elit Negara dan oposisi
pengembangan pendekatan elitisme
secara bersama-sama. Dan transisi
bagi studi perbandingan politik, baru
demokrasi
menurut
dimulai pada awal abad XX, dan
adalah
diberikan oleh tiga ilmuan sosiologi
model
politik modern, yaitu Vilfredo Pareto
kesepakatan yang dinegosiasikan
(1848-1923), Gaetano Mosca (1858-
anatara elit Negara dan elit oposisi,
1941) dan Robert Michels (1876-
sehingga perubahan radikal tidak
1936) (Amal dan Budi Winarno).
di Indonesia
pandangan
Klinken
mengambil
jalur
dan
terjadi di Indonesia oleh karena
kalangan elit Negara diduga pasti
menolaknya (Budiman, 2000).
pengambilan
kebijakan
bukanlah sesuatu yang baru dalam
teori-teori
ilmu
politik.
Jauh sebelum pemikiran-pemikiran
politik kontemporer muncul, Plato
(428 SM), seorang filosuf Yunani
Kuno,
meyakini
pemerintahan
bahwa
aristocracy
sebuah
harus
dipimpin oleh seorang philosopherking,
yang
dapat
membawa
masyarakat ke arah yang lebih baik.
Kaum
66
sosialis-utopian,
teoritisi
perkembangannya,
elit
mengalami
kerangka
kerja
konseptualisasi. Kesulitan itu justru
Pendekatan elitism dikaitkan
khazanah
para
persoalan
elitisme dan Kebijakan
dengan
Dalam
seperti
berawal
dari
gagasan-gagasan
teroritisi elit klasik itu sendiri, dimana
terminology yang berbeda seringkali
digunakan untuk menunjuk konsep
yang sama dan terminologi identik
tidak
jarang
digunakan
untuk
konsep-konsep yang cukup berbeda.
Misalnya, Mosca secara berselangseling menunjuk pada gejala yang
sama seperti “kelas politik” “kelas
yang memerintah” dan “aristokrasi”,
sementara Michels mengkaitkannya
dengan
beberapa
arti
“oligarki”.
Hotrun Siregar/Dimensi Politik Dalam Formulasi Kebijakan Publik/63-72
Sementara
melihat
itu,
Hagopian
bahwa
total.
Berkembangnya
apa
yang
lembaga
disebut oleh Afan Gaffar sebagai
budaya dan ideology mempengaruhi
brooker atau middlemen (Gaffar,
peranan elit dalam sebuah rezim.
2000),
Berangkat dari ide dasar konstitusi ia
gambaran Hagopian tersebut.
membedakan
factor
(1978)
antara
pemerintah
diktator dan konstitusional, dengan
kesimpulan bahwa elit politik dalam
situasi tertentu berupaya memainkan
peranannya
yang
dijangkau
oleh
sulit
untuk
masyarakat.
Meskipun di dalam rezim konstitusi
modern menunjukkan adanya fungsi
lembaga
legislatif,
dan
presiden
(dalam system presidensial) sebagai
kepala Negara dan pemerintahan,
tetapi kekuasaannya tetap lebih luas
disbanding legislatif. Ini dibuktikan
melalui
pengamatannya
terhadap
model
presidensial
di
Amerika
dan
Negara-
Serikat,
Perancis
menunjukkan
Tanpa
untuk
kerja
dalam
konstribusi
para
adanya
menyepakati
konseptualisasi
pendekatan
ini,
tetapi
teoritisi
elit
kontemporer tampak pada acara
dalam membatasi elit secara luas
dan
longgar,
sehingga
non-elit
menjadi elit-elit baru. Setidaknya,
disamping “elit yang memerintah”,
gagasan-gagasan
tersebut
memperkenalkan
seperti
“elit
istilah-istilah
oposisi”
dan
“elit
strategis”.
Makna penting dari peranan
kelompok
negara Amerika Latin.
mengingkari
kesulitan
kerangka
relevansi
elit
sebelumnya
tidak
berhenti pada ekspalansi sebuah
Untuk
masa
konteks
Indonesia,
pemerintahan
Habibie
tampaknya tidak berlebihan untuk
dikatakan bahwa kristalisasi struktur
masyarakat
dengan
yang
ditunjukkan
polahubungan
patronage
atau patron-client baik dikalangan
pemerintah
maupun
ditengah
masyarakat pola hubungan yang
sangat
menonjol
pada
1990-an
tampaknya belum tersisihkan secara
masyarakat yang sedang berada
pada status quo saja. Pemahaman
terhadap peran kelompok ini dalm
suatu
masyarakat
yang
tengah
mengalami perubahan dikemukakan
oleh Keller (1995). Asumsi utama
karya ini terletak pada tujuan-tujuan
politik dalam masyarakat modern
atau industri yang tetap tergantung
pada tindakan-tindakan dan ide-ide
dari apa yang ia sebut sebagai elit67
Militia: Jurnal Komunikasi dan Politik/Volume 1 Nomor 1 (Januari-Juni 2015)
penentu. Karena masyarakat secara
segmen-segmen yang ada dalam
terus menerus berdiferensiasi dan
masyarakat.
terpusat
bidang-bidang
pembuatan suatu kebijakan memiliki
tertentu, para elit ini telah berlipat
korelasi dengan konteks lingkungan
ganda dan terus bertambah penting.
kebijakan
pada
Hubungan
antara
Pelaku
dan
berarti
(policy
proses
environment)
tertentu.
Karakter
Kebijakan
Ini
elit
dan
Model
Pembuatan Kebijakan
Makna penting dari perspektif
Berangkat dari upaya untuk
elitisme akan terlihat dalamkajiankajian yang menitik beratkan pada
formulasi
pengambilan
kebijakan.
Kekuasaan elit yang memerintah
hanya dapat dimengerti ketika ia
memainkan sebuah peranan dalam
system
politik
kebijakan
dimana
diputuskan.
terhadap
sebuah
Perhatian
lingkungan
yang
menunjukkan adanya faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pengambilan
proses
kebijakan
menjadi
penting disini. Menurut Dunn (2000),
suatu
system
system)
kebijakan
(policy
seluruh
pola
atau
institusional
dimana
didalamnya
kebijakan
dibuat,
mencakup
hubungan timbal balik di antara tiga
unsur, yaitu : kebijakan publik (public
policy), pelaku kebijakan (decision
making),
dan
lingkungan.
Sedangkan isu kebijakan, adalah
serangkaian
tindakan
pemerintah
yang aktual ataupun yang potensial
yang mengandung konflik di antara
68
menggambarkan
konfigurasi
konfigurasi-
elit
ke
tindakan-tindakan
menganalisis
politik
elit
merupakan tugas yang cukup sulit.
Selain
masalah
konseptualisasi,
kelemahan lain dari perspektif ini
terletak pada persoalan identifikasi
elit mana yang paling dominan
dalam
membuat
kebijakan.
Dari
sejumlah teknik yang ada, sbagian
ahli
memandang
keputusan”
efektif
“teknik
sebagai
dibanding
lainnya.
analisa
yang
dengan
Sebuah
pengambilan
lebih
teknik
proses
kebijakan
yang
menekankan pada aktor-aktor dalam
suatu system politik tertentu akan
mengalami
kesulitan
dalam
memberikan penjelasan yang lebih
konferehensif,
politis
dari
Sebab,
pelaku
karateristik
utama
juga
melibatkan sejumlah kelompok elit
yang
berfungsi
untuk
memberi
Hotrun Siregar/Dimensi Politik Dalam Formulasi Kebijakan Publik/63-72
konstribusi
kepada
aktor
utama
pembuat kebijakan.
Presiden
sebagai
bahwa proses pembuatan kebijakan
pelaku
utama diduga membentuk sebuah
jaringan yang melibatkan aktor-aktor
tertentu yang diidentifikasi ke dalam
beberapa
kelompok.
presidential
commission,
Pertama,
suatu
komite sementara yang dibentuk
untuk memberi informasi kepada
presiden
menyangkut
masalah
utama nasional dan mengusulkan
kebijakan baru yang harus diambil.
Kedua, policy discussion groups,
badan ekonomi dan urusan luar
negeri
yang
dibentuk
dengan
mengundang berbagai elit politik dan
ekonomi dari lembaga akademis dan
lembaga riset untuk membicarakan
masalah bantuan luar negeri dan
masalah yang hadapi masyarakat
demi
mencapai
tujuan
Interpretasi untuk itu adalah
nasional.
cenderung
hanya
kelompok-kelompok
melibatkan
elit
dengan
karateristik politik yang berbedabeda.
Kritik
pluralisme
elitism
dalam
terhadap
perspektif
kebijakan
sebagaimana
dikemukakan oleh Klingemann et al
(2000)
menjadi
dinyatakan
relevan
untuk
bahwa
mekanisme
“suatu
seolah-olah
sementara
mereka
berjalan,
memanipulasi
agenda sedemikian rupa sehingga
menjauh dari zona-zona kebijakan
yang bisa menabrak kepentingan
utama mereka. Untuk memahami
karateristik pengambilan kebijakan
tersebut, model proses pembuatan
kebijakan
yang
diterapkan
Orde
Baru penting untuk dijadikan sebagai
tolok ukur.
Ketiga, Policy analysis institutes atau
Ada
tiga
model
proses
think tanks, yang melakukan supali
pembuatan kebijakan yang menjadi
data dan penasehat ahli bagi policy
tradisi pada masa pemerintahan
discussion groups yang berafiliasi
Orde
dengan
bersifat
universitas-universitas
Baru,
yakni
proses
yang
teknokratik-birokratik,
terkemuka, yang biasanya dibiayai
klientelistik
oleh
yayasan,
Karakteristik terakhir tampak relevan
sumbangan individu atau dengan
dalam kajian ini, suatu kebijakan
kontrak penelitian dengan agen-
yang didasarkan pada kepentingan
agen pemerintah.
kelembagaan
kelompok
bisnis,
dan
bersifat
untuk
politik.
membina
kelompok pendukung, atau apabila
69
Militia: Jurnal Komunikasi dan Politik/Volume 1 Nomor 1 (Januari-Juni 2015)
proses itu memperlihatkan gejala
bagi politik luar negeri dan dalam
bargaining
di
negerinya. Syarat ini merupakan
antara beberapa aktor-aktor politik
pencerminan perubahan-perubahan
yang saling barsaing.
yang terjadi belum lama berselang
“tawar-menawar”
Formulasi Kebijakan Politik Luar
dalam sifat politik luar negeri suatu
Negara.
Negeri
Persepsi
seorang
pengambil kebijakan terhadap obyek
Relevansi perspektif tersebut
tampak dalam pernyataan Rosenau
(1979) bahwa kebijakan luar negeri
suatu Negara bersifat cenderung
bersifat
adaptif,
terutama
jika
menghadapi atau adanya perbedaan
lingkungan eksternal. Dalam arti ini,
kategori-kategori
yang
menyebabkan terjadinya perubahan
pengambilan kebijakan luar negeri,
yakni:
(1)
mekanisme
kerja
pemerintah, baik antara eksekutif
dan legislatif maupun intra eksekutif,
(2) perubahan dan perkembangan
kebijakan tampak sangat berperan.
Seorang presiden dalam mengelola
kebijakan luar negeri dan bagaimana
proses pengumpulan informasi untuk
mengambil
faktor
keputusan
psikologi
tersebut,
dari
seorang
presiden akan sangat membantu di
dalam mengamati munsulnya suatu
kebijakan
luar
negeri
Negara
bersangkutan. Dengan kata lain,
bahwa kebijakan politik luar negeri
merupakan keputusan sebagaimana
yang
dipersepsikan
oleh
para
pembuat keputusan
politik dalam negeri; (3) perubahan
gagasan-gagasan
yang
menyebabkan terjadinya perubahan
kebijakan,
dan
(4)
perubahan
lingkungan internasional.
bagi suatu pemerintahan tidaklah
cukup menggalang opini domestik
untuk membantu perumusan politik
negerinya.
bersangkutan
Pemerintah
harus
pula
memperoleh dukungan opini umum
(public opinion) Negara-negara lain
70
Jika
perspektif
dikaitkan
teoritis
maka
dengan
proses
pengambilan kebijakan itu tampak
Menurut Morgenthau (1990),
luar
Penutup
relevan dengan pandangan elitisme,
disamping
model
peralihan
kekuasaan yang terjadi, argumen –
argumen yang ditampilkan seolah
mengambil mekanisme demokrasi
dengan berpijak pada prinsip-prinsip
konstitusi.
Sementara
motivasi
pengambilan kebijakan itu sendiri
Hotrun Siregar/Dimensi Politik Dalam Formulasi Kebijakan Publik/63-72
tampak
berangkat
konteks
down
lingkungan
karena
adanya
bersifat politis.
tantangan
domestik
berupa
daripada
buttom-up
dan
Daftar Pustaka
derasnya tuntutan penegakan HAM
dan
perbaikan
ekonomi
dalam
negeri di satu sisi, dan tekanan
publik internasional berupa kecaman
pelanggaran
HAM
yang
menghubungkannya
dengan
program bantuan ekonomi di sisi
lain,
sehingga
pemerintah
menempatkan
untuk
kebijakan
mengambil
tersebut.
elitisme
kebijakan, selain ditunjukkan oleh
tahap-tahap
yang
inkrementalistik,
gradualistik-
yakni
terlebih
dahulu melihat intensitas tuntutan
yang sedang berkembang, substansi
kebijakan itu sendiri juga tampak
dikendalikan oleh pemerintah karena
dua opsi tersebut lebih didasarkan
pada persepsi yang dipandang akan
menguntungkan
bagi
pengambil
kebijakan.
pengambilan
kebijakan
hanya
seolah
berjalanya
tetapi
menjaga
dan
pihak
Proses
itu
tidak
menampilkan
mekanisme
pelaku
demokrasi
kebijakan
sedapat
tetap
mungkin
menghindari zona-zona yang dapat
melanggar kepentingannya sendiri.
Maka model pengambilan kebijakan
itu
lebih
Amal, Ichlasul dan Budi Winarno.
(Tanpa Tahun). Metodologi
Ilmu Politik. Yogyakarta:
PAU-Studi
Sosial
Universitas Gajah Mada.
mencerminkan
pola
Arief Budiman et al. 2000. Harapan
dan Kecemasan Menatap
Arah
Demokrasi
di
Indonesia.
Yogyakarta:
Bigraf Publishing.
Dunn, William N. 2000. Pengantar
Analisis Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Gaffar, Afan. 2000. Politik Indonesia:
Transisi Menuju Demokrasi.
Yogyakarta
:
Pustaka
Pelajar.
Hagopian, Mark N., dan Regimes.
1987. Movements, and
Ideologies.
New
York:
Logman.
Keller, Suzanne. 1995. Penguasa
dan Kelompok elit Peranan
elit:
Penentu
dalam
Masyarakat
Modern.
Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Klingemann, Hans-Dieter et al. 2000.
Partai,
Kebijakan
dan
Demokrasi. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Morgentahu, Hans J. 1990. Politik
Antar
Bangsa,
diterjemahkan S. Maimoen,
Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
kebijakan yang mengambil jalur top71
Militia: Jurnal Komunikasi dan Politik/Volume 1 Nomor 1 (Januari-Juni 2015)
Rosenau, James N. 1979. The Study
of Political Adaptation. New
York: Nicolas Publishing.
Kesepakatan
Demokrasi
Tercapai”,
dalam
Arief
Budiman et sl,. Harapan
dan Kecemasan Menatap
Arah
Demokrasi
di
Indonesia. Yogyakarta :
Bigraf Publishing.
Santoso, Amir. 1989. “Analisis
Kebijakan Publik : Masalah
dan Pendekatan”. Jurnal
Ilmu Politik (4)
Wahab,
Sherman, Arnold K. dan Aliza
Kolker. 1987. The Social
Bases of Politics. California:
Wadsworth, Inc.
Van
72
Klinken,
Gerry
“Bagaimana
(2000).
Sebuah
Solichin Abdul (1991).
Analisis Kebijakan : Dari
Formulasi ke Implementasi
Negara. Jakarta : Bumi
Aksara.