Academia.eduAcademia.edu

Dimensi Politik Dalam Formulasi Kebijakan Publik

2016

Hotrun Siregar/Dimensi Politik Dalam Formulasi Kebijakan Publik/63-72 Militia: Jurnal Komunikasi dan Politik Dimensi Publik Politik Dalam Formulasi ISSN: 2088-1274 Vol. 1│No. 1 Kebijakan Hotrun Siregar* * Universitas Bung Karno, Jakarta Article Info Keywords: Politics and public policy. Corresponding Author: [email protected] Militia: Jurnal Komunikasi dan Politik Volume 1 Nomor 1 Januari-Juni 2015 Issn 2088-1274 Hh. 63-72 ©2015 MJP. All Rights Reserved. Abstract Policy-making process as a matter of conflict, because the resources and goods are not biased shared fairly and equitably. The main issue in the study of the policy ultimately parallel with "the connotation of who gets what, when and how. In its development, the elite theorists encountered problems conceptualization framework. The difficulty was actually originated from the ideas of classical elit teroritisi itself, where different terminology is often used to refer to the same concepts and terminology used is identical is not uncommon for the concepts are quite different. The significance of the role of elite groups had not previously stopped at ekspalansi a society that is at the status quo. Understanding of the role of the group preformance of a society that is undergoing change. The main assumption of this work lies in the political purposes in modern society or industry remains dependent on the actions and ideas of what he described as elite-determinant. Because society is continuously differentiated and focused on specific areas, the elite has doubled and continues to grow is important. Proses pengambilan kebijakan sebagai masalah konflik, karena resources dan goods tidak bias dibagikan secara adil dan merata. Persoalan utama dalam studi kebijakan akhirnya parallel dengan “konotasi siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Dalam perkembangannya, para teoritisi elit mengalami persoalan kerangka kerja konseptualisasi. Kesulitan itu justru berawal dari gagasangagasan teroritisi elit klasik itu sendiri, dimana terminology yang berbeda seringkali digunakan untuk menunjuk konsep yang sama dan terminologi identik tidak jarang digunakan untuk konsepkonsep yang cukup berbeda. Makna penting dari peranan kelompok elit sebelumnya tidak berhenti pada ekspalansi sebuah masyarakat yang sedang berada pada status quo saja. Pemahaman terhadap peran kelompok ini dalm suatu masyarakat yang tengah mengalami perubahan. Asumsi utama karya ini terletak pada tujuan-tujuan politik dalam masyarakat modern atau industri yang tetap tergantung pada tindakan-tindakan dan ide-ide dari apa yang ia sebut sebagai elit-penentu. Karena masyarakat secara terus menerus berdiferensiasi dan terpusat pada bidang-bidang tertentu, para elit ini telah berlipat ganda danb terus bertambah penting. 63 Militia: Jurnal Komunikasi dan Politik/Volume 1 Nomor 1 (Januari-Juni 2015) Pendahuluan memberi penjelasan tentang bentuk Dalam proses-proses pengambilan sebuah kebijakan, tentu mencangkup tindakan-tindakan dan tingkah laku dari aktor-aktor yang terlibat pengambilan Anderson sebuah kebijakan apapun. dalam mengatakan sebagai secara dalam Wahab bahwa langkah sengaja (1991) “kebijakan tindakan yang dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah yang sedang dihadapi. Pada bagian lain, ia memberi makna kebijakan Negara sebagai dirumuskan serta kebijakan oleh yang instansi-instansi pejabat-pejabat analisis yang sangat terkait dengan sasaran yang dimaksudkan dalam ini, penelitian yakni “Analisis Kebijakan Retrospektif”, yang berorientasi pada atau problem-oriented penciptaan masalah analysis, dan yaitu transportasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Fungsinya adalah upaya untuk menerangkan sebab-sebab dari pengambilan sebuah kebijakan. Dan kajian ini masuk dalam kategori “formulasi kebijakan”, yang mencoba menjawab suatu pertanyaan kebijakan mengapa diambil oleh pemerintah. Pemahaman di atas tampak pemerintah. Aktor-aktor di luar pemerintah tentu memiliki saja dikaitkan dengan makna kebijakan dapat perumusan mempengaruhi kebijakan tersebut itu konsistensi sendiri. Sebab, apabila kebijakan (Wahab, 1991). Sementara proses merupakan hasil dari serangkaian pengambilan sebagai diskusi yang melibatkan kemauan masalah konflik, karena resources politik dan tujuan-tujuan yang ingin dan goods tidak bias dibagikan dicapai secara kebijakan oleh aktor-aktor politik dan merata. Jadi, tersebut (Dunn, 2000). Yang menjadi utama dalam studi pertanyaan kemudian adalah siapa kebijakan akhirnya parallel dengan aktor politik yang terlibat dalam “konotasi sebuah adil persoalan siapa mendapat apa, proses pengambilan kapan dana bagaimana” (Santoso, kebijakan. Ada empat aktor yang 1989; Gaffar, 2000). terlibat dalam proses pembuatan Sedangkan untuk keperluan fokus pengamatan, Dunn (2000) 64 sebuah kebijakan, yakni golongan inkrementalis, golongan rasionalis, Hotrun Siregar/Dimensi Politik Dalam Formulasi Kebijakan Publik/63-72 golongan teknisi, reformis. Golongan lebih dan diidentikkan golongan inkrementalis dengan baru berada liberalisasi. pada tahap Sebaliknya, awal Klinken para justru memandang bahwa Indonesia politisi. Sebab, nilai-nilai yang terkait telah bergerak lebih dari sekedar dengan metode liberalisasi adalah masalah-maslaah pendekatan ini yang berhubungan dengan terpeliharanya Tujuan kebijakan dianggap sebagai konsekuensi dari adanya tututan-tuntutan, terutama didorong kebutuhan oleh karena untuk melakukan sesuatu yang baru. Gaya inkrementalis ini dapat digolongkan sebagai pelaku melakukan mampu tawar-menawar bargaining teratur yang yakni dengan menderngar atau secara tuntutan, menguji seberapa jauh intensitas tuntutan tersebut dan menawarkan rezim otoriter menuju transisi demokrasi tahap awal (Budiman, 2000). kestabilan dari system dan statusquo. atas Penjelasan Klinken tersebut tampak kemudian tidak konsisten. Sebab, pada bagian lain ia mengatakan bahwa dalam tahan transisi, aturan-aturan seharusnya demi hukum dirundingkan Pemilihan kembali Umum yang kompetitif, dan kekuasaan mungki dibagi antara pendukung rezim lama dan demokrat-demokrat baru. Sementara, dalam perspektif Klinken sendiri, pemerintah Habibie tidak melakukan pembagian kekuasaan kompromi. dengan “kelompok oposisi”. Habibie Transisi Politik dan Perspektif justru yang elitisme yang Klinken membantah Alfred Stepan menyangkut seberapa jauh Indonesia telah berjalan dalam jalur menuju demokrasi mundurnyan sejak Soeharto. penilaian Stepan bahawa pemerintah Habibie adalah rezim non-demokratis yang baru dalam orang-orang pemerintahan, menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi lebih bersifat top-down yang dimaksudkan untuk menambah dukungan terhadap tatanan lama (Budiman, 2000). Ia menunjukkan ketidak sepakatannya atas memasukkan merupakan kelanjutan dari kekuasaan lama, dan Dengan merujuk kepada Bratton dan Van de Walle, Klinken mengemukakan tiga jalur transisi demokrasi yang diterima secara luas dengan skema yang b erbasis pada 65 Militia: Jurnal Komunikasi dan Politik/Volume 1 Nomor 1 (Januari-Juni 2015) actor. Ketiga jalur tersebut adalah Charles Fourier (1772-1837) dan perubahan politik dari atas (top- Henri de Saint-Simon (1760-1825) down), Dario berpendapat bahwa kepemimpinan bawah (buttoom-up), dan perubahan elit-ilmuan dan ekonomi merupakan politik format pemerintah yang dianggap perubahan politik melalui (negotiate), perundingan tergantung apakah ideal dalam sebuah masyarakat transisi dipimpin oleh elit Negara, (Sherman dan Kolker, 1987). oleh Namun, titik tolak bagi kekuatan-kekuatan oposisi, atau oleh elit Negara dan oposisi pengembangan pendekatan elitisme secara bersama-sama. Dan transisi bagi studi perbandingan politik, baru demokrasi menurut dimulai pada awal abad XX, dan adalah diberikan oleh tiga ilmuan sosiologi model politik modern, yaitu Vilfredo Pareto kesepakatan yang dinegosiasikan (1848-1923), Gaetano Mosca (1858- anatara elit Negara dan elit oposisi, 1941) dan Robert Michels (1876- sehingga perubahan radikal tidak 1936) (Amal dan Budi Winarno). di Indonesia pandangan Klinken mengambil jalur dan terjadi di Indonesia oleh karena kalangan elit Negara diduga pasti menolaknya (Budiman, 2000). pengambilan kebijakan bukanlah sesuatu yang baru dalam teori-teori ilmu politik. Jauh sebelum pemikiran-pemikiran politik kontemporer muncul, Plato (428 SM), seorang filosuf Yunani Kuno, meyakini pemerintahan bahwa aristocracy sebuah harus dipimpin oleh seorang philosopherking, yang dapat membawa masyarakat ke arah yang lebih baik. Kaum 66 sosialis-utopian, teoritisi perkembangannya, elit mengalami kerangka kerja konseptualisasi. Kesulitan itu justru Pendekatan elitism dikaitkan khazanah para persoalan elitisme dan Kebijakan dengan Dalam seperti berawal dari gagasan-gagasan teroritisi elit klasik itu sendiri, dimana terminology yang berbeda seringkali digunakan untuk menunjuk konsep yang sama dan terminologi identik tidak jarang digunakan untuk konsep-konsep yang cukup berbeda. Misalnya, Mosca secara berselangseling menunjuk pada gejala yang sama seperti “kelas politik” “kelas yang memerintah” dan “aristokrasi”, sementara Michels mengkaitkannya dengan beberapa arti “oligarki”. Hotrun Siregar/Dimensi Politik Dalam Formulasi Kebijakan Publik/63-72 Sementara melihat itu, Hagopian bahwa total. Berkembangnya apa yang lembaga disebut oleh Afan Gaffar sebagai budaya dan ideology mempengaruhi brooker atau middlemen (Gaffar, peranan elit dalam sebuah rezim. 2000), Berangkat dari ide dasar konstitusi ia gambaran Hagopian tersebut. membedakan factor (1978) antara pemerintah diktator dan konstitusional, dengan kesimpulan bahwa elit politik dalam situasi tertentu berupaya memainkan peranannya yang dijangkau oleh sulit untuk masyarakat. Meskipun di dalam rezim konstitusi modern menunjukkan adanya fungsi lembaga legislatif, dan presiden (dalam system presidensial) sebagai kepala Negara dan pemerintahan, tetapi kekuasaannya tetap lebih luas disbanding legislatif. Ini dibuktikan melalui pengamatannya terhadap model presidensial di Amerika dan Negara- Serikat, Perancis menunjukkan Tanpa untuk kerja dalam konstribusi para adanya menyepakati konseptualisasi pendekatan ini, tetapi teoritisi elit kontemporer tampak pada acara dalam membatasi elit secara luas dan longgar, sehingga non-elit menjadi elit-elit baru. Setidaknya, disamping “elit yang memerintah”, gagasan-gagasan tersebut memperkenalkan seperti “elit istilah-istilah oposisi” dan “elit strategis”. Makna penting dari peranan kelompok negara Amerika Latin. mengingkari kesulitan kerangka relevansi elit sebelumnya tidak berhenti pada ekspalansi sebuah Untuk masa konteks Indonesia, pemerintahan Habibie tampaknya tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa kristalisasi struktur masyarakat dengan yang ditunjukkan polahubungan patronage atau patron-client baik dikalangan pemerintah maupun ditengah masyarakat pola hubungan yang sangat menonjol pada 1990-an tampaknya belum tersisihkan secara masyarakat yang sedang berada pada status quo saja. Pemahaman terhadap peran kelompok ini dalm suatu masyarakat yang tengah mengalami perubahan dikemukakan oleh Keller (1995). Asumsi utama karya ini terletak pada tujuan-tujuan politik dalam masyarakat modern atau industri yang tetap tergantung pada tindakan-tindakan dan ide-ide dari apa yang ia sebut sebagai elit67 Militia: Jurnal Komunikasi dan Politik/Volume 1 Nomor 1 (Januari-Juni 2015) penentu. Karena masyarakat secara segmen-segmen yang ada dalam terus menerus berdiferensiasi dan masyarakat. terpusat bidang-bidang pembuatan suatu kebijakan memiliki tertentu, para elit ini telah berlipat korelasi dengan konteks lingkungan ganda dan terus bertambah penting. kebijakan pada Hubungan antara Pelaku dan berarti (policy proses environment) tertentu. Karakter Kebijakan Ini elit dan Model Pembuatan Kebijakan Makna penting dari perspektif Berangkat dari upaya untuk elitisme akan terlihat dalamkajiankajian yang menitik beratkan pada formulasi pengambilan kebijakan. Kekuasaan elit yang memerintah hanya dapat dimengerti ketika ia memainkan sebuah peranan dalam system politik kebijakan dimana diputuskan. terhadap sebuah Perhatian lingkungan yang menunjukkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan proses kebijakan menjadi penting disini. Menurut Dunn (2000), suatu system system) kebijakan (policy seluruh pola atau institusional dimana didalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik di antara tiga unsur, yaitu : kebijakan publik (public policy), pelaku kebijakan (decision making), dan lingkungan. Sedangkan isu kebijakan, adalah serangkaian tindakan pemerintah yang aktual ataupun yang potensial yang mengandung konflik di antara 68 menggambarkan konfigurasi konfigurasi- elit ke tindakan-tindakan menganalisis politik elit merupakan tugas yang cukup sulit. Selain masalah konseptualisasi, kelemahan lain dari perspektif ini terletak pada persoalan identifikasi elit mana yang paling dominan dalam membuat kebijakan. Dari sejumlah teknik yang ada, sbagian ahli memandang keputusan” efektif “teknik sebagai dibanding lainnya. analisa yang dengan Sebuah pengambilan lebih teknik proses kebijakan yang menekankan pada aktor-aktor dalam suatu system politik tertentu akan mengalami kesulitan dalam memberikan penjelasan yang lebih konferehensif, politis dari Sebab, pelaku karateristik utama juga melibatkan sejumlah kelompok elit yang berfungsi untuk memberi Hotrun Siregar/Dimensi Politik Dalam Formulasi Kebijakan Publik/63-72 konstribusi kepada aktor utama pembuat kebijakan. Presiden sebagai bahwa proses pembuatan kebijakan pelaku utama diduga membentuk sebuah jaringan yang melibatkan aktor-aktor tertentu yang diidentifikasi ke dalam beberapa kelompok. presidential commission, Pertama, suatu komite sementara yang dibentuk untuk memberi informasi kepada presiden menyangkut masalah utama nasional dan mengusulkan kebijakan baru yang harus diambil. Kedua, policy discussion groups, badan ekonomi dan urusan luar negeri yang dibentuk dengan mengundang berbagai elit politik dan ekonomi dari lembaga akademis dan lembaga riset untuk membicarakan masalah bantuan luar negeri dan masalah yang hadapi masyarakat demi mencapai tujuan Interpretasi untuk itu adalah nasional. cenderung hanya kelompok-kelompok melibatkan elit dengan karateristik politik yang berbedabeda. Kritik pluralisme elitism dalam terhadap perspektif kebijakan sebagaimana dikemukakan oleh Klingemann et al (2000) menjadi dinyatakan relevan untuk bahwa mekanisme “suatu seolah-olah sementara mereka berjalan, memanipulasi agenda sedemikian rupa sehingga menjauh dari zona-zona kebijakan yang bisa menabrak kepentingan utama mereka. Untuk memahami karateristik pengambilan kebijakan tersebut, model proses pembuatan kebijakan yang diterapkan Orde Baru penting untuk dijadikan sebagai tolok ukur. Ketiga, Policy analysis institutes atau Ada tiga model proses think tanks, yang melakukan supali pembuatan kebijakan yang menjadi data dan penasehat ahli bagi policy tradisi pada masa pemerintahan discussion groups yang berafiliasi Orde dengan bersifat universitas-universitas Baru, yakni proses yang teknokratik-birokratik, terkemuka, yang biasanya dibiayai klientelistik oleh yayasan, Karakteristik terakhir tampak relevan sumbangan individu atau dengan dalam kajian ini, suatu kebijakan kontrak penelitian dengan agen- yang didasarkan pada kepentingan agen pemerintah. kelembagaan kelompok bisnis, dan bersifat untuk politik. membina kelompok pendukung, atau apabila 69 Militia: Jurnal Komunikasi dan Politik/Volume 1 Nomor 1 (Januari-Juni 2015) proses itu memperlihatkan gejala bagi politik luar negeri dan dalam bargaining di negerinya. Syarat ini merupakan antara beberapa aktor-aktor politik pencerminan perubahan-perubahan yang saling barsaing. yang terjadi belum lama berselang “tawar-menawar” Formulasi Kebijakan Politik Luar dalam sifat politik luar negeri suatu Negara. Negeri Persepsi seorang pengambil kebijakan terhadap obyek Relevansi perspektif tersebut tampak dalam pernyataan Rosenau (1979) bahwa kebijakan luar negeri suatu Negara bersifat cenderung bersifat adaptif, terutama jika menghadapi atau adanya perbedaan lingkungan eksternal. Dalam arti ini, kategori-kategori yang menyebabkan terjadinya perubahan pengambilan kebijakan luar negeri, yakni: (1) mekanisme kerja pemerintah, baik antara eksekutif dan legislatif maupun intra eksekutif, (2) perubahan dan perkembangan kebijakan tampak sangat berperan. Seorang presiden dalam mengelola kebijakan luar negeri dan bagaimana proses pengumpulan informasi untuk mengambil faktor keputusan psikologi tersebut, dari seorang presiden akan sangat membantu di dalam mengamati munsulnya suatu kebijakan luar negeri Negara bersangkutan. Dengan kata lain, bahwa kebijakan politik luar negeri merupakan keputusan sebagaimana yang dipersepsikan oleh para pembuat keputusan politik dalam negeri; (3) perubahan gagasan-gagasan yang menyebabkan terjadinya perubahan kebijakan, dan (4) perubahan lingkungan internasional. bagi suatu pemerintahan tidaklah cukup menggalang opini domestik untuk membantu perumusan politik negerinya. bersangkutan Pemerintah harus pula memperoleh dukungan opini umum (public opinion) Negara-negara lain 70 Jika perspektif dikaitkan teoritis maka dengan proses pengambilan kebijakan itu tampak Menurut Morgenthau (1990), luar Penutup relevan dengan pandangan elitisme, disamping model peralihan kekuasaan yang terjadi, argumen – argumen yang ditampilkan seolah mengambil mekanisme demokrasi dengan berpijak pada prinsip-prinsip konstitusi. Sementara motivasi pengambilan kebijakan itu sendiri Hotrun Siregar/Dimensi Politik Dalam Formulasi Kebijakan Publik/63-72 tampak berangkat konteks down lingkungan karena adanya bersifat politis. tantangan domestik berupa daripada buttom-up dan Daftar Pustaka derasnya tuntutan penegakan HAM dan perbaikan ekonomi dalam negeri di satu sisi, dan tekanan publik internasional berupa kecaman pelanggaran HAM yang menghubungkannya dengan program bantuan ekonomi di sisi lain, sehingga pemerintah menempatkan untuk kebijakan mengambil tersebut. elitisme kebijakan, selain ditunjukkan oleh tahap-tahap yang inkrementalistik, gradualistik- yakni terlebih dahulu melihat intensitas tuntutan yang sedang berkembang, substansi kebijakan itu sendiri juga tampak dikendalikan oleh pemerintah karena dua opsi tersebut lebih didasarkan pada persepsi yang dipandang akan menguntungkan bagi pengambil kebijakan. pengambilan kebijakan hanya seolah berjalanya tetapi menjaga dan pihak Proses itu tidak menampilkan mekanisme pelaku demokrasi kebijakan sedapat tetap mungkin menghindari zona-zona yang dapat melanggar kepentingannya sendiri. Maka model pengambilan kebijakan itu lebih Amal, Ichlasul dan Budi Winarno. (Tanpa Tahun). Metodologi Ilmu Politik. Yogyakarta: PAU-Studi Sosial Universitas Gajah Mada. mencerminkan pola Arief Budiman et al. 2000. Harapan dan Kecemasan Menatap Arah Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta: Bigraf Publishing. Dunn, William N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Gaffar, Afan. 2000. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hagopian, Mark N., dan Regimes. 1987. Movements, and Ideologies. New York: Logman. Keller, Suzanne. 1995. Penguasa dan Kelompok elit Peranan elit: Penentu dalam Masyarakat Modern. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Klingemann, Hans-Dieter et al. 2000. Partai, Kebijakan dan Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Morgentahu, Hans J. 1990. Politik Antar Bangsa, diterjemahkan S. Maimoen, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. kebijakan yang mengambil jalur top71 Militia: Jurnal Komunikasi dan Politik/Volume 1 Nomor 1 (Januari-Juni 2015) Rosenau, James N. 1979. The Study of Political Adaptation. New York: Nicolas Publishing. Kesepakatan Demokrasi Tercapai”, dalam Arief Budiman et sl,. Harapan dan Kecemasan Menatap Arah Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta : Bigraf Publishing. Santoso, Amir. 1989. “Analisis Kebijakan Publik : Masalah dan Pendekatan”. Jurnal Ilmu Politik (4) Wahab, Sherman, Arnold K. dan Aliza Kolker. 1987. The Social Bases of Politics. California: Wadsworth, Inc. Van 72 Klinken, Gerry “Bagaimana (2000). Sebuah Solichin Abdul (1991). Analisis Kebijakan : Dari Formulasi ke Implementasi Negara. Jakarta : Bumi Aksara.