n t
Forests and
Governance
Programme
e
r
f o r
I n t
e
r
n a
t
i o n a
l
F
o r
e
s
t
r
y
R e
s
e
Governance Brief
Adil Gender
Mengungkap Realitas Perempuan Jambi
Dede Wiliam de Vries dan Nurul Sutarti
Beberapa tahun belakangan ini istilah gender menjadi bahan perbincangan yang hangat di berbagai forum
dan media, formal maupun informal. Hampir setiap bidang pembangunan menganjurkan dilaksanakannya
analisis gender dalam komponen program. Namun, tidak sedikit pula yang masih menganggap bahwa
Gender adalah sama dengan jenis kelamin atau lebih sempit lagi, gender = perempuan. Hal ini tidak
mengherankan mengingat memang lebih banyak kaum perempuan yang mendapat dampak dari
ketidakadilan gender dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat, daripada kaum laki-laki. Sehingga,
ketika masalah gender diperbincangkan, seolah-olah hal tersebut telah identik dengan masalah kaum
perempuan.
Apa itu gender?
Robert Stoller (1968) memberi batasan pengertian gender untuk membedakan hal-hal yang
merupakan ciri biologis manusia dengan hal lain yang terkait dengan sosial budaya. Secara singkat,
Gender adalah perbedaan mengenai fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan yang dibentuk
oleh lingkungan tempat kita berada. Gender lebih berkaitan dengan anggapan dan kebiasaan yang
berlaku di suatu tempat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan dianggap sesuai atau tidak
sesuai (tidak lumrah) dengan tata nilai sosial dan budaya setempat. Dengan demikian, Gender dapat
berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
Kebanyakan orang masih mencampuradukkan pengertian Gender dengan Kodrat. Sebagai contoh,
jika perempuan mengerjakan pekerjaan yang dianggap merupakan pekerjaan laki-laki, maka
dianggap menyalahi ‘kodrat’. Sebenarnya, hal ini kurang tepat karena yang dimaksud kodrat
itu sendiri merupakan sifat biologis yang berasal dari Tuhan, bukan hasil bentukan sosial dari
lingkungan seperti halnya pekerjaan. Kodrat bersifat tetap dari waktu ke waktu dan fungsinya tidak
dapat diubah atau dipertukarkan. Kodrat seorang perempuan misalnya ia memiliki rahim, vagina
dan payudara, sedangkan laki-laki memiliki buah zakar, penis dan sperma. Adapun kemampuan
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, hak seseorang untuk memilih waktu, tempat, dan
jenis pekerjaan adalah berkaitan dengan gender.
Namun, sebagai akibat dari perbedaan kodrat tersebut, timbul anggapan dan kebiasaan umum
yang berkembang di masyarakat bahwa laki-laki mempunyai peran sosial tertentu yang berbeda
dengan perempuan. Selama beratus tahun perempuan dianalogikan dengan pekerjaan domestik
seperti memasak, membersihkan rumah, mengasuh anak, dll yang tidak dihargai sebagai suatu jenis
pekerjaan produktif, melainkan dianggap sebagai ‘kewajiban seorang perempuan’. Mereka yang
tidak punya jam istirahat dalam bekerja ini, dianggap ‘hanya’ berstatus ibu rumah tangga yang tidak
bekerja atau hanya berstatus ‘ikut suami’ saja. Rangkaian pekerjaan yang hampir 20 jam tersebut
menempatkan perempuan pada posisi lemah ekonomi, yang berpengaruh pada lemahnya posisi
perempuan untuk menguasai, mengakses dan mempengaruhi (baca: melakukan kontrol) dalam
proses pengambilan keputusan di rumah tangga maupun di masyarakat. Seandainya perempuan
a
r
c h
Januari 2006
Nomor 29b
C e
Governance Brief
Januari 2006
Nomor 29b
2
terkubur bersama suara perempuan akan
tergali dan termanfaatkan lebih efisien untuk
pembangunan di daerah. Bukankah proses
pembangunan akan bergerak lebih cepat jika
sumberdaya perempuan dan laki-laki mendapat
kesempatan yang sama untuk menyumbangkan
kemampuannya, daripada hanya laki-laki saja
yang berpartisipasi?
memiliki akses pun di rumah tangga, tidak
otomatis mampu melakukan fungsi kontrol
dalam pengambilan keputusan. Mengingat
kontrol tidak ada secara serta merta dengan
adanya akses.
Mengapa proses pembangunan
daerah harus adil gender?
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa
pembedaan perlakuan dari lingkungan
terhadap perempuan dan laki-laki tidak jarang
menyebabkan terjadinya berbagai bentuk
ketidakadilan gender, dimana kebanyakan yang
menjadi korban ketidakadilan tersebut adalah
kaum perempuan. Berdasarkan hasil diskusi dan
lokakarya Kabupaten Bungo dan Tanjung Jabung
Barat (Tanjabbar) yang diikuti dengan rangkaian
lokakarya di dua desa yaitu Sungai Telang dan
Lubuk Kambing, terungkap bahwa dalam realitas
kehidupan sehari-hari, perempuan mengalami
berbagai macam perlakuan ketidakadilan
gender. Hal ini secara langsung ataupun
tidak langsung telah memperlambat majunya
pembangunan di daerah. Sepertinya kurang
disadari pula bahwa dengan mempertahankan
budaya ‘patriarkhi’ yang mengesampingkan
relasi gender yang seimbang tersebut, telah
dengan sukses mematikan sumberdaya daerah
yang potensial (terutama perempuan) untuk
berperan lebih aktif menyumbangkan segenap
kemampuannya bagi terciptanya kehidupan
masyarakat yang lebih adil. Jika saja struktur
sosial yang ada di daerah memberi kesempatan
lebih terbuka pada perempuan untuk bersamasama mengikuti proses pengambilan keputusan
maupun kebijakan daerah secara aktif, maka
sudah dapat dipastikan akan lebih banyak
lagi potensi-potensi daerah yang selama ini
Dari hasil diskusi dengan beberapa instansi di
kedua kabupaten, Bungo dan Tanjabbar, tampak
jelas bahwa program dan proyek pembangunan
daerah belum sensitif gender. Peserta mengaku
bahwa analisis gender belum pernah dilakukan
untuk program-program pembangunan daerah.
Hampir 80% pegawai perempuan di jajaran
instansi pemkab Tanjabbar yang menghadiri
lokakarya ini, tidak mengetahui mengenai
program apa saja yang sedang berjalan di
instansinya masing-masing karena tidak pernah
terlibat dalam pengambilan keputusan ataupun
dalam pelaksanaan proyek di lapangan. Mereka
kebanyakan hanya staf administrasi dan
keuangan atau staf program yang berhubungan
dengan kegiatan yang memberi label negatif
bagi perempuan saja, seperti posyandu dan
PKK. Hal ini juga tergambar dari data nasional
hasil pemilu tahun 2004, dimana keterwakilan
perempuan di legislatif hanya 11,6% dan 19,8%
di DPD.
Ketidakadilan gender dalam lingkup rumah
tangga maupun dalam kegiatan bermasyarakat
dan bernegara, dapat menghambat proses
pembangunan
daerah.
Bentuk–bentuk
ketidakadilan gender yang sering terjadi antara
lain adalah sebagai berikut: 1) penomorduaan
(subordinasi), 2) pelabelan negatif (stereotype),
3) peminggiran, 4) beban kerja berlebih/multi
beban, dan 5) kekerasan.
Penomorduaan
terhadap
perempuan
(subordinasi) merupakan titik pangkal
terjadinya ketidakadilan gender. Ketika
penomorduaan tidak terjadi, maka bentukbentuk ketidakadilan gender berikutnya tidak
akan terjadi pula. Penomorduaan terjadi
karena segala sesuatunya dipandang dari
kaca mata/sudut pandang laki-laki. Artinya
menempatkan laki-laki sebagai nomor satu
atau lebih penting dibanding perempuan.
Sebaliknya, ketika terjadi penomorduaan
terhadap perempuan menimbulkan anggapan
bahwa perempuan menyandang ‘label’ lemah
dan laki-laki kuat. Akibatnya peran perempuan
dipinggirkan. Perempuan ditempatkan di ranah
domestik, sedangkan laki-laki di ranah publik.
Ketika perempuan harus bekerja di luar rumah
tangga, masih saja dibebani dengan pekerjaanpekerjaan domestik dan sosial tanpa dibarengi
dengan pembagian kerja yang adil antara
laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain
perempuan mengalami beban kerja yang lebih.
Selain itu, perempuan sangat rentan terhadap
kekerasan berbasis gender baik terjadi di rumah
tangga maupun publik. Bentuk ketidakadilan
yang terakhir ini sangat mudah dilihat.
Untuk lebih mendalami bagaimana bentukbentuk ketidakadilan gender tersebut terjadi di
dalam realitas kehidupan sehari-hari perempuan
di Jambi, yang mungkin juga merupakan
gambaran umum yang terjadi di daerah lainnya
di Indonesia, berikut adalah uraian singkat
mengenai kelima bentuk ketidakadilan gender
tersebut:
(1) Penomorduaan (subordinasi)
Terutama di kalangan masyarakat pedesaan, anak
laki-laki umumnya mendapatkan lebih banyak
prioritas dibandingkan dengan anak perempuan,
contohnya dalam bidang pendidikan. Data
nasional menyebutkan bahwa 65% anak yang
putus sekolah adalah perempuan. Demikian pula
halnya dengan realitas perempuan di dunia,
perempuan yang tidak sekolah (berumur di
atas 10 tahun) berjumlah dua kali lipat (11,5%)
dari laki-laki, dan dari 900 juta penduduk yang
tidak bisa membaca 65% nya adalah kaum
perempuan.
Dalam banyak tafsiran aturan adat, ajaran
agama, aturan masyarakat maupun dalam
aturan birokrasi masih menomorduakan kaum
perempuan. Beberapa studi dilakukan untuk
membahas bagaimana program pembangunan
di beberapa negara di Asia telah meminggirkan
sekaligus memiskinkan perempuan (Shiva 1997;
Mosse 1996) Seperti program revolusi hijau
yang menyingkirkan perempuan dari pekerjaan
memanen padi di sawah yang menggunakan aniani, karena revolusi hijau memperkenalkan jenis
padi unggul yang panennya menggunakan sabit.
Pekerjaan sebagai buruh panen di sawah lambat
laun bergeser menjadi pekerjaan yang identik
dengan laki-laki sehingga laki-laki mendapat
bayaran lebih besar.
Demikian pula halnya di Jambi, untuk jenis
pekerjaan yang sama, gaji harian perempuan
(Rp 20,000) lebih rendah dibandingkan upah
harian laki-laki (Rp 30,000). Padahal, tidak jarang
hasil pekerjaan perempuan lebih baik daripada
yang dikerjakan laki-laki. Hal ini didasarkan
pada konstruksi sosial telah bertahun-tahun
berkembang di masyarakat bahwa pekerjaan
perempuan lebih ringan daripada pekerjaan
laki-laki. Dan bahwa perempuan hanya sebagai
pencari nafkah ‘tambahan’ dengan demikian
tidak memerlukan bayaran sebesar pencari nafkah
utama, yang diterjemahkan pada laki-laki.
Subordinasi
perempuan
yang
‘lumrah’
berkembang dalam budaya patriarkhi tersebut,
menempatkan perempuan pada posisi yang
kurang menguntungkan baik dari segi sosial,
ekonomi maupun politik. Karena bagaimanapun,
posisi ekonomi yang lemah berpengaruh
signifikan terhadap proses komunikasi dan
negosiasi dalam forum pengambilan keputusan,
baik itu di rumah tangga ataupun di masyarakat
luas. Sebenarnya, secara sederhana bisa kita
analisa bahwa jika saja perempuan dan laki-laki
tidak lagi dibedakan peranan gendernya, maka
peningkatan ekonomi keluarga maupun skala
ekonomi makro di dalam pembangunan daerah
akan lebih cepat terwujud karena terbukanya
kesempatan yang sama bagi perempuan dan lakilaki dalam mendapatkan manfaat dan prioritas
dari hasil-hasil pembangunan.
(2) Pelabelan negatif (stereotype)
terhadap perempuan
Hampir 90% pelabelan negatif pendapat yang
terjaring dari hasil lokakarya Jambi menyebutkan
serentetan label negatif yang identik dengan
perempuan, diantaranya adalah:
● Perempuan dianggap emosional (1 pikiran, 9
emosi) dan tidak rasional jika secara lantang
mengemukakan ketidaksetujuannya atas
sesuatu atau mempertahankan pendapatnya,
sedangkan jika laki-laki jika berbuat serupa
disebut tegas.
● Perempuan dianggap lemah sehingga dianggap
tidak mampu memimpin. Lemah dalam arti
fisik, mental juga ekonomi. Sebagai contoh,
perempuan dianggap tidak ‘pantas’ menjadi
ninik mamak (pengurus adat). Padahal tidak
pernah disebutkan sekalipun bahwa syarat
menjadi ninik mamak adalah harus laki-laki.
Governance Brief
Januari 2006
Nomor 29b
3
Governance Brief
Januari 2006
Nomor 29b
4
laki yang berselingkuh tidak dikenakan aturan
yang serupa.
● Laki-laki adalah pencari nafkah dan penopang
utama rumah tangga. Hampir serentak dan
spontan dikemukakan oleh peserta lokakarya
di Jambi bahwa perempuan hanya pencari
nafkah ‘tambahan’ dalam keluarga. Padahal
dalam kenyataannya sehari-hari, hasil yang
diperoleh perempuan dari bekerja di luar
rumah juga menjadi sumber yang penting untuk
mencukupi kebutuhan rumah tangga. Bahkan
tidak jarang yang melebihi penghasilan lakilaki. Hal ini tentu saja tidak perlu dianggap
sebagai arena persaingan atau perbandingan
antar suami istri, anak perempuan atau
laki-laki, jika saja semua anggota keluarga
telah sadar gender dan memandang apapun
yang dikerjakan masing-masing orang adalah
penting dan tidak tergantung dari jenis
kelamin.
Syarat untuk menjadi ninik mamak itu sendiri
adalah orang yang berjalan lurus (jujur), paham
dan menjalankan aturan agama dan tata cara
adat, mengerti dan siap membantu anggota
masyarakatnya, dimana semua hal tersebut
bisa dilakukan oleh perempuan maupun lakilaki. Apakah tidak ada perempuan yang jujur
dan paham aturan adat/agama? Tentu saja
ada, banyak. Namun, karena telah berpuluh
tahun hal tersebut berlangsung, akhirnya
timbul anggapan bahwa ninik mamak adalah
‘mutlak’ bagian laki-laki.
● Perempuan tidak perlu hadir di pertemuan
adat. Logikanya, jika dalam kepengurusan
adat terdapat perempuan yang juga ikut
sebagai pengambil keputusan, tentu akan
lebih baik lagi karena kemudian masalahmasalah dan kepentingan perempuan yang
ada dalam lingkup adat tersebut juga
lebih diperhitungkan dan dianggap sebagai
kepentingan bersama (umum). Bukankah
perempuan yang lebih tahu tentang masalah
perempuan itu sendiri? Jika kemudian mereka
tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan
keputusan yang berhubungan dengan dirinya,
bukankah tidak mungkin apa yang dianggap
tidak penting oleh pengurus adat laki-laki
ternyata merupakan hal yang sangat penting
bagi perempuan? Dan bukan tidak mungkin juga
keputusan adat yang dibuat bisa merugikan
perempuan karena ketidakhadiran perempuan
di dalam forum untuk menyampaikan
pendapatnya. Salah satu contoh aturan
adat di Desa Sungai Telang yang merugikan
perempuan adalah sanksi yang dikenakan
hanya pada perempuan jika berselingkuh,
perempuan harus keluar dari rumah dan hanya
membawa kain yang menempel di badannya
saja dan harus diceraikan. Sementara laki-
(3) Peminggiran (marjinalisasi)
Kebiasaan masyarakat umum yang membedakan
peranan gender bagi perempuan dan lakilaki telah memilahkan pekerjaan domestik
(di dalam rumah tangga) untuk dibebankan
pada perempuan dan pekerjaan publik (diluar
rumah) menjadi pekerjaan laki-laki. Hal ini
menyebabkan perempuan lemah secara ekonomi
dan kurangnya akses terhadap informasi yang
berkembang di luar karena waktu, tenaga dan
pikiran mereka tersita habis di dalam rumah.
Sayangnya, perangkat hukum dan birokrasi
yang ada di negara kita saat ini juga semakin
memarginalkan perempuan dalam mengakses
sumber-sumber ekonomi seperti tanah, kredit
dan pasar. Sebagai contoh, dalam birokrasi
perbankan, perempuan tidak mungkin mendapat
kredit pinjaman usaha tanpa tanda tangan
dari suami. Demikian pula halnya dalam dunia
usaha dimana perempuan yang mengelola
usaha tertentu tidak bisa mendapatkan NPWP
(Nomor Pokok Wajib Pajak) dan ijin usaha
yang diperlukan untuk perluasan skala usaha
tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
suami sebagai ‘penanggung jawab’ keluarga.
Perangkat kebijakan pemerintahan kita jelas
belum adil gender karena perempuan menjadi
semakin termarginalkan dengan hilangnya akses
terhadap sumber-sumber usaha tersebut.
Hal yang umum terjadi di Jambi, sebagaimana
juga di provinsi lainnya di Indonesia, adalah
terpolanya program-program intensifikasi
pertanian yang hanya memfokuskan pada
petani laki-laki. Penyuluhan pertanian yang
diselenggarakan ke desa-desa kebanyakan
hanya mengundang kepala keluarga (yang
sudah terlanjur identik dengan laki-laki karena
telah digariskan dalam UU No. 1/1974 tentang
perkawinan) untuk mendapatkan informasi
dan juga bantuan-bantuan program pertanian
daerah, misalnya, kredit usaha tani. Padahal,
hampir 90% dari perempuan yang ada di desa
(Sungai Telang dan Lubuk Kambing contohnya)
mengakui bahwa merekalah yang paling banyak
bekerja di sawah dan ladang. Sementara, kaum
laki-laki banyak yang pergi ke hutan untuk
berbalok (mengambil kayu) selama beberapa
waktu dan meninggalkan lahan pertaniannya1.
Pada saat tersebut, perempuan secara otomatis
bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan, baik
di dalam maupun di luar rumah tangga. Jika
informasi tentang pertanian tersebut hanya
sampai pada kaum laki-laki, sementara si pelaku
utama (perempuan) tidak dilibatkan langsung
secara aktif, bagaimana mungkin sasaran program
pertanian akan berjalan dengan sukses?
(4) Beban kerja berlebih
(multy burdon)
Seperti pada umumnya perempuan di Indonesia,
beban kerja perempuan di Jambi tidak lebih
ringan. Perempuan yang berstatus ‘ibu rumah
tangga’ atau ‘ikut suami’ di Sungai Telang dan
Lubuk Kambing misalnya, mencatat sedikitnya
20 jenis pekerjaan yang harus dilakukan seorang
istri/ibu di rumah dalam sehari, belum termasuk
kegiatan-kegiatan sosial seperti gotong-royong,
yasinan, dan kerja sosial ‘non-ekonomi’ lainnya
dibebankan masyarakat pada perempuan di desa.
Jam tidur dan istirahat perempuan lebih pendek
dibanding laki-laki, akibatnya perempuan tidak
memiliki waktu lagi untuk membicarakan halhal di luar rutinitasnya seperti mengikuti rapat
desa, menggali informasi, atau hadir dalam
pertemuan-pertemuan penting di lembaga adat.
Seandainya saja beban pekerjaan yang sekian
banyak tersebut bisa dibagi secara adil diantara
anggota keluarga perempuan dan laki-laki, tentu
sang ibu akan mendapat banyak kesempatan
meningkatkan potensi dirinya di luar rutinitas
domestiknya. Ungkapan sederhana yang hampir
selalu terdengar diungkapkan partisipan lakilaki di lokakarya adalah ‘Jangan sampai karena
perempuan sadar gender kemudian menjadi lupa
membuatkan kopi untuk suaminya, sehingga
rumah tangga menjadi berantakan’. Terdengar
sepele, tapi sebetulnya menjelaskan pada kita
bahwa untuk pekerjaan seringan dan sekecil itu
pun - membuatkan kopi - seolah-olah merupakan
tugas dan kewajiban mutlak bagi perempuan.
Dan seolah-olah kebahagiaan rumah tangga,
kedamaian dan keutuhan keluarga adalah
kewajiban perempuan untuk menjaganya dalam
rumah tangga. Jika perempuan berubah menjadi
pintar, mandiri dan mampu memutuskan hal-hal
yang berguna bagi dirinya dan keluarganya,
dianggap berusaha menyaingi pasangannya
dan melampaui ‘kepatutan’ sebagai seorang
perempuan.
Konsep adil gender bukanlah bertujuan untuk
menempatkan posisi perempuan di atas lakilaki atau melakukan pembalasan atas perlakuan
tidak adil di masa lampau, melainkan untuk
terciptanya keseimbangan dan kesetaraan
dalam hubungan kedua belah pihak. Dengan
terciptanya relasi seimbang dan setara, baik
laki-laki maupun perempuan berhak untuk
memilih pekerjaan yang mereka sukai, berbagi
pekerjaan rumah yang hasilnya juga untuk
kebahagiaan bersama, mendapat kesempatan
untuk meningkatkan kemampuan dirinya dan ikut
serta secara aktif dalam pengambilan keputusan
yang juga akan berdampak pada dirinya.
(5) Kekerasan
Bentuk kekerasan yang terjadi pada perempuan
bisa bermacam-macam mulai dari bentuk
kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi baik
itu di ruang-ruang keluarga (Kekerasan Dalam
Rumah Tangga = KDRT), oleh suami, tetangga
atau saudara ataupun di ruang publik oleh
kultur, adat, masyarakat dan politik. Kekerasan
fisik bisa berbentuk perkosaan, pemukulan dan
penyiksaan, sedangkan kekerasan psikologis bisa
berupa pelecehan seksual, ancaman, dll sehingga
secara emosional terusik. Menurut Population
Report (1999), sekitar 10% –50% dari pasangan
suami istri di dunia, suami melakukan kekerasan
pada istrinya secara fisik. Prosentase ini belum
termasuk pada kekerasan psikis (mental) dan
seksual, yang tentunya menimbulkan dampak
lebih panjang dan kompleks bagi korban
kekerasan yang umumnya perempuan dan anakanak.
Governance Brief
Januari 2006
Nomor 29b
5
Governance Brief
Januari 2006
Nomor 29b
6
Hal yang sangat menarik muncul dalam forum
diskusi di desa Lubuk Kambing mengenai KDRT.
Diskusi menggambarkan bahwa informasi
mengenai Undang-undang KDRT2 yang telah
diundangkan sejak 22 September 2004 belum
pernah tersampaikan pada mereka. Undangundang tersebut dimaksudkan untuk melindungi
kaum yang lemah, terutama perempuan dan
anak-anak yang mendapat kekerasan dalam
rumah tangga. Dari proses belajar bersama dalam
lokakarya di desa tersebut, mereka menyimpulkan
bahwa dengan adanya perangkat hukum yang
melindungi perempuan dan anak-anak seperti
UU KDRT akan lebih mengingatkan mereka
untuk lebih memperhatikan dan menghargai
hak-hak perempuan dan anak-anak dalam
kegiatannya sehari-hari. Hal ini mencerminkan
bahwa masyarakat di desa sebenarnya sangat
haus informasi dan berkeinginan untuk belajar
ke arah yang lebih baik jika terfasilitasi secara
sistematis. Tentunya hal ini menjadi bahan
cerminan bagi pemerintah daerah dan nasional
dalam skala lebih luas, untuk lebih memberikan
prioritas terhadap penyebaran arus informasi
mengenai kebijakan ataupun hal-hal praktis
lainnya yang berhubungan dengan relasi gender
dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan
● Pembedaan gender yang merupakan hasil
bentukan sosial (budaya, agama, kebiasaan,
dll) seringkali membatasi perempuan
untuk mendapatkan akses dan manfaat
serta melakukan kontrol dalam proses
pembangunan di daerah. Hal ini dapat
diubah jika komponen-komponen yang ada di
masyarakat berkeinginan untuk menerapkan
adil gender dalam setiap aspek kehidupannya
yang didukung oleh perangkat hukum dan
kebijakan yang sadar gender.
● Peran sosial perempuan di Jambi masih
identik dengan hal-hal domestik. Tingkat
pendidikan, akses terhadap informasi, tingkat
mobilisasi dan posisi ekonomi perempuan di
dalam keluarga dan masyarakat menentukan
pola relasi yang seimbang bagi perempuan
dan lingkungannya.
● Program-program pembangunan daerah
pada umumnya masih belum adil gender.
Keterlibatan perempuan dalam pengambilan
kebijakan masih dilihat dari keberadaannya
saja dibandingkan dengan partisipasi aktifnya
dalam proses pengambilan keputusan.
Jumlah perempuan yang ikut dalam suatu
forum pengambilan keputusan, belum
tentu menggambarkan keterwakilan suara
perempuan dalam forum tersebut, jika pada
akhirnya program-program yang ada tetap
tidak berkeadilan gender.
Rekomendasi
Dari hasil lokakarya di kedua kabupaten (Bungo
dan Tanjabbar) dan di dua desa (Sungai Telang
dan Lubuk Kambing) dihasilkan beberapa
rekomendasi sebagai berikut:
● Kesepahaman mengenai kesetaraan dan
keadilan gender perlu disebarluaskan dan
diperkenalkan melalui metode interaktif dan
partisipatif sehingga dapat dipahami secara
lebih komprehensif dan holistik oleh seluruh
lapisan masyarakat. Metode konvensional
seperti presentasi atau penyebaran informasi
tertulis pada masyarakat tanpa menjelaskan
lebih lanjut akar permasalahannya dan
tidak disesuaikan dengan kondisi nyata di
masyarakat menjadi kurang efektif bagi proses
pembelajaran baik pihak pemerintah maupun
masyarakat itu sendiri. Penyebarluasan
informasi ini dapat dilakukan melalui:
- pertemuan
kelompok
masyarakat.
Contohnya: kelompok tani, kelompok
arisan, Pendidikan Keterampilan Keluarga
(PKK), kelompok yasinan (kegiatan
keagamaan), dll.
- Pertemuan di tingkat Adat, RT, Dusun, Desa
dan Kecamatan untuk memperkenalkan
Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam
rencana kerja pemerintahan lokal
setempat.
● Diperlukan pelatihan ataupun lokakarya
intensif yang mengulas lebih dalam
tentang peran dan posisi perempuan
dalam pengambilan keputusan untuk
kalangan pengambil keputusan di tingkat
kabupaten, kecamatan, desa dan lembaga
adat. Misalnya, pelatihan kepercayaan diri,
pelatihan kepemimpinan, pembahasan lebih
lanjut mengenai Hak Asasi Perempuan (HAP),
KDRT yang melibatkan perangkat hukum dan
pengambil kebijakan sehingga memungkinkan
untuk implementasi pengarusutamaan gender
di tingkat daerah.
● Pembuatan perangkat kebijakan yang relevan
mengenai pengarusutamaan gender dalam
pembangunan daerah yang dituangkan dalam
Perda dan tersedianya alokasi dana khusus
untuk PUG dalam APBD.
● Perlunya penyusunan data pilah di masingmasing instansi pemerintahan kabupaten yang
berguna bagi analisis gender dalam programprogram pembangunan daerah.
● Diperlukan pertemuan informal yang
dilakukan periodik yang membahas mengenai
PUG dalam program-program daerah. Dinasdinas yang terkait dengan pemberdayaan
masyarakat dan juga wakil dari legislatif akan
sangat membantu akselerasi PUG di tingkat
daerah.
● Perlunya revitalisasi PKK agar programnya
tidak lebih mendomestikkan perempuan,
akan tetapi lebih mengarah pada penguatan
posisi perempuan dalam pola relasi yang
setara dalam pengambilan keputusan.
● Mengubah pola pikir patriarkhi yang tidak
menganggap perlunya adil gender dalam
pembagian peranan sosial bagi perempuan dan
laki-laki. Misalnya, mengundang perempuan
dalam forum-forum penyuluhan dan bina
program dari pemerintah, mengalihkan waktu
pertemuan adat dan desa dari malam hari
menjadi sore hari sehingga perempuan bisa ikut
aktif menyumbangkan pikiran dan pendapatnya
dalam, menentukan skala prioritas program
desa yang diinginkan oleh masyarakat.
Dede Wiliam de Vries, salah satu peneliti CIFOR
dan Nurul Sutarti, fasilitator dari Yayasan Krida
Paramitha (YKP), menulis paper ini berdasarkan
hasil penelitian kolaboratif antara CIFOR dan
BAPPEDA Kab. Bungo dan Tanjabbar, Propinsi
Jambi, dengan judul proyek “Aksi Kolektif untuk
Mempertahankan Hak-hak Masyarakat Miskin:
suatu antisipasi terhadap dominasi elit dalam
sistem pengelolaan dan perolehan manfaat
sumberdaya alam”. Penelitian ini didanai oleh
BMZ melalui CAPRi, salah satu program CGIAR
tentang Aksi Kolektif dan Hak-hak Properti
(Systemwide Program on Collective Action and
Property Rights). Pendapat yang dinyatakan
dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi
dan tidak selalu mencerminkan pendapat
penyandang dana.
Footnotes
Seluruh data dan informasi yang disajikan
dalam tulisan ini bersumber dari data primer
yang dikumpulkan di Sungai Telang, Kab. Bungo
dan di Lubuk Kambing, Kab. Tanjabbar, Jambi
oleh Tim CIFOR-CAPRi (Yulia Siagian, Yentirizal
dan Neldysavrino) dan didukung hasil lokakarya
dan data sekunder yang dipersiapkan oleh
Tim CIFOR, Yayasan Krida Paramita (YKP) dan
Bappeda di kedua kabupaten tersebut.
2
Undang-undang No. 23/2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
1
Governance Brief
Januari 2006
Nomor 29b
7
CGIAR System-wide Program on
Collective Action and Property Rights
Center for International Forestry Research, CIFOR
Alamat kantor: Jalan CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang Bogor
Barat 16680, Indonesia.
Alamat surat: P.O. Box. 6596 JKPWB, Jakarta 10065
Indonesia
Tel: +62(251) 622 622 Fax: +62(251) 622 100
E-mail:
[email protected]
Website: www.cifor.cgiar.org
Foto-foto oleh Brihannala Morgan, Yulia Siagian dan Neldysavrino
Program Forests and Governance di CIFOR mengkaji cara pengambilan dan pelaksanaan keputusan berkenaan
dengan hutan dan masyarakat yang hidupnya bergantung dari hutan. Tujuannya adalah meningkatkan peran serta
dan pemberdayaan kelompok masyarakat yang kurang berdaya, meningkatkan tanggung jawab dan transparansi
pembuat keputusan dan kelompok yang lebih berdaya dan mendukung proses-proses yang demokratis dan inklusif
yang meningkatkan keterwakilan dan pengambilan keputusan yang adil di antara semua pihak.