Academia.eduAcademia.edu

Ketika Partai Politik Menjadi Sekedar Gerbong Indra Perwira

PARPOL secara umum dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang bergabung atas dasar adanya kesamaan visi, orientasi dan persepsi politik. Ketiga hal itu melahirkan suatu nilai tertentu yang lazim disebut sebagai "idiologi partai". Idiologi itu dituangkan dalam sebuah konstitusi partai yang di kita dikenal sebagai Anggaran Dasar (AD). AD tersebut kemudian dijabarkan lebih rinci dalam flatform perjuangan partai, yang semestinya tergambar dalam Anggaran Rumah Tangga (ART).

Ketika Partai Politik Menjadi Sekedar Gerbong Indra Perwira Indra Perwira, Kepala Pusat Studi Kebijakan Negara, FH UNPAD PARPOL secara umum dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang bergabung atas dasar adanya kesamaan visi, orientasi dan persepsi politik. Ketiga hal itu melahirkan suatu nilai tertentu yang lazim disebut sebagai ”idiologi partai”. Idiologi itu dituangkan dalam sebuah konstitusi partai yang di kita dikenal sebagai Anggaran Dasar (AD). AD tersebut kemudian dijabarkan lebih rinci dalam flatform perjuangan partai, yang semestinya tergambar dalam Anggaran Rumah Tangga (ART). Idiologi PARPOL merupakan sebuah nilai kolektif yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku para anggota, sehingga dari pendirian, sikap dan perilaku seseorang, semestinya kita dapat menduga dari parpol mana dia berasal. Tujuan PARPOL seperti kata Bung Karno tiada lain adalah meraih kekuasaan (machtvorming) sesuai dengan aturan main yang ada, dan lalu mengelola kekuasaan tersebut (machtanwending) selama mungkin. Kekuasaan, meski punya sifat cenderung bersalah guna, tetapi bukan suatu yang haram. Sejarah membuktikan, dengan kekusaan itu manusia membangun peradaban, atau sebaliknya menghancurkan peradaban. Parpol adalah sarana meraih kekuasaan secara elegan, tertib dan bermartabat. Sejalan dengan tujuan itu, fungsi ideal dari parpol, antara lain: pendidikan politik kepada masyarakat sesuai dengan plateform perjuangan parpol; menyiapkan kader pemimpin melalui sebuah program pembinaan yang terencana dan bertahap, dan menawarkan calon pemipin itu kepada rakyat; mengawasi jalannya pemerintahan, melalui kritik-kritik dan tawaran solusi alternatif; mengembangkan program-program konkrit di tingkat akar rumput sebagai stimulan perubahan sekaligus sebagai upaya menarik simpati rakyat. Satu hal yang harus diperhatikan, bahwa keberadaan itu parpol tidak terlepas dari demokrasi, sebab jika parpol ada dalam sistem totalitarian sudah pasti akan kehilangan makna. Dalam sistem totalitarian fungsi PARPOL hanya sebagai alat kontrol negara. Tentu kita harus menyadari, sama halnya dengan gejala di negara-negara lain yang baru belajar berdemokrasi, Harap maklum jika PARPOL di Indonesia menjadi bias fungsi. Tentu ini bukan alasan pemaaf dan membiarkan sampai PARPOL menyadari dan memperbaikinya. Sebab jika kesadaran politik di masyarakat madani (Civil Society) berkembang lebih cepat dari Parpol, maka besar kemungkinan Parpol akan ditinggalkan. Dalam hal ini perlehatan Pemilu, Pilkada, dan Pilpres akan sepi. Penulis sering berdialog dengan para elit dari berbagai PARPOL, dan menjadi yakin jika para elit PARPOL tersebut sudah mengatahui dan memahami peran dan fungsinya, tetapi kenapa dalam realitas politik PARPOL berfungsi tidak lebih dari sekedar gerbong kereta api? Fenomena ini dapat dilihat dan dibaca secaragambang dalam setiap perlehatan PILKADA di Indonesia. Fenomena pertama, seorang bakal calon kepala daerah yang tidak lolos dari konvensi parpolnya, bisa dengan mudah pindah tanpa rasa bersalah dan diusung PARPOL lain, seperti halnya pindah gerbong. Idiologi menjadi tidak penting, asal bakal calon yang bersangkutan sanggup membayar tiket, maka ia akan diterima di parpol manapun. Jika di negara-negara lain hal itu dianggap tidak bermoral, di Indonesia fenomena “kutu loncat” menjadi hal yang wajar. Fenomena kedua. seorang bakal calon kepala daerah bisa diperebutkan oleh beberapa PARPOL. PARPOL mana yang akhirnya mengusung sang bakal calon, biasanya diselesaikan dengan lelang harga tiket. Hal ini menunjukkan bahwa Parpol telah gagal membina kader dan tidak memiliki pola penyiapan pemimpin. Parpol cenderung mendukung figur yang bakal menang, dan potensi menang itu diukur dari sebarapa tebal kantong sang bakal calon. Fenomane ketiga, incumbent selalu tampil sebagai calon favorit, karena dinilai lebih unggul dalam pengusaan sumberdaya untuk pemenangan Pilkada. Parpol tidak pernah mengembangkan wacana untuk menilai keberhasilan incumbent selama menjabat sebagai kepada daerah. Oposisi meski sering dilontarkan, tetapi tidak pernah menjadi opsi. Budaya kritis tidak berkembang, semangat juang menjadi sirna, tetapi berganti dengan hedonisme. Parpol cencerung ikut dalam rangkaian gerbong, sekalipun itu cuma “gerbong butut”, tetapi menjadi bagian dari kereta kekuasaan. Fenomena keempat, beberapa partai yang kurang jumlah kursi untuk mengusung sendiri, mendadak “berkoalasi” untuk mengusung calon tertentu, yang anehnya bukan kader dari salah satu parpol yang “koalisi” tersebut. Tentu hal itu tidak masuk dalam pengertian “koalisi” menurut teori politik, yang artinya mengarah pada penggabungan partai karena adanya persamaan idiologi, persepsi atau garis perjuangan. Koalisi dalam Pilkada maknanya tidak lebih dari bagi-bagi rezeki. Oleh sebab itu rentan bubar manakala tidak terjadi kesepakatan soal porsi. Menjelang Pilgub Jabar fenomena tersebut tampak nyata sekali. Dalam penyiapan bakal calon, tampaknya hanya pendukung incumbent yang punya persiapan matang. Parpol lain kentara gamang. Ada yang hanya berani mengusung calon wagub dari kader sendiri dan nenawarkan posisi gubernur ke beberapa tokoh, tentu dengan harga tiket tertentu. Ada juga yang mendukung sana dan mendukung sisi, tergantung situasi dan konstelasi, yang penting jangan sampai ketinggalan kereta. Dari fenomena seperti itu, muncul segolongan “cerdik pandai” yang memanfaatkan situasi menjadi peluang ekonomi. Mereka para “calo politik” kerap menawarkan gerbong kepada para tokoh berkantung tebal, tetapi masih hijau dalam politik. Tidak tanggung-tanggung harga tiket bisa sampai Rp. 500 milyar. Bagi mereka yang “kere” tapi punya mimpi, para calo mengimingkan janji untuk menggaet donator bagi yang bersangkutan, dengan imbalan antara Rp. 160 juta sampai Rp. 500 juta. Jika akhirnya yang bersangkutan sadar telah ditipu, uniknya dia sungkan untuk menggugat atau menuntut karena akan sama halnya dengan membongkar kebodohan sendiri. Uang adalah segalanya, itulah paradigma yang menjadikan parpol sekedar sebagai gerbong. Sistem telah kita ubah tetapi pola pikir masih sama dengan Orde Baru. Demokrasi memang bukan hanya sekedar mekanisme politik, tetapi lebih dalam dari itu merupakan sebuah sistem nilai. Demokrasi hanya akan berjalan dalam tatanan masyarakat yang objektif, rasional dan egalitarian (madani), sebab hanya dalam tatanan masyarakat seperti itulah dapat terbangun ”public trust” atau masyarakat yang percaya pada sistem. Jika demokrasi berjalan dalam tatanan masyarakat yang subjektif, irasional dan paternalistik, maka yang terbangun bukanlah demokrasi, melainkan ”mabukrasi” alias ”orang mabuk yang kehilangan orientasi”. Sejak awal Undang-undang Partai Politik disusun dalam suasana ketidak percayaan. Akibatnya, akses parpol terhadap sumber-sumber keuangan dibatasi. Ditegaskan dalam undang-undang sumber keuangan parpol adalah dari iuran anggota; sumbangan dan usaha lain yang sah, tetapi dalam pasal lain dinyatakan bahwa sumbangan perongan tidak boleh lebih dari Rp15 juta dan dari perusahaan tidak boleh melebihi Rp 150 juta dalam satu tahun. Sumber dari ”usaha lain yang sah” dikunci dengan larangan Parpol untuk mendirikan badan usaha dan memiliki saham dalam suatu perusahaan. Sementara sumber dari bantuan APBN dan APBD jumlahnya ditentukan oleh perolehan suara. Meski ketentuan itu sebenarnya ditujukan bagi parpol tertentu yang pernah berkuasa pada masa Orde Baru, tetapi semua terima akibatnya. Jadi parpol kecil selamanya akan tetap menjadi kecil. Mungkin hal itu yang menjadi salah satu faktor pendorong parpol untuk memanfaatkan Pilkada sebagai momen penggalangan dana. Jika Parpol tidak segera berbenah diri, dalam waktu dekat kehidupan demokrasi kita bakal hancur. Apalagi nanti setelah calon perorangan muncul tanpa melalui Parpol. Jika Parpol punya instrumen kader sampai ke tingkat ranting, kira-kira instrumen apa yang akan digunakan oleh calon perorangan untuk menggalang dukungan? Jawaban yang paling mudah adalah Uang ! pada saat itu akan terjadi demoralisasi demokrasi menjadi ”mabukrasi”. Ada anekdot yang menyatakan, demokrasi tidak mungkin jalan pada masyarakat yang lapar, tetapi fakta menunjukkan sebaliknya. Ada bangsa yang sedang lapar, seperti India, tetapi bisa membangun demokrasi dan mencapai kemajuan melalui demokrasi. Sebab di sana ada sekelompok elit yang menjaga moral demokrasi. Mereka para elit parpol yang menjadi mesin pengerak demokrasi, dan yang terpenting mengembangkan dan menjaga moral politik (political etic), sehingga demokrasi menjadi bermakna. Jadi dalam demokrasi, marilah kita mulai dengan membangun kepercayaan publik (public trust). Parpol harus percaya bahwa masyarakat akan memilih calon-calon pemimpin yang terbaik., sebaliknya masyarakat harus percaya bahwa Parpol akan menyodorkan orang-orang terbaik. Alangkah indahnya jika momen Pilgub Jabar ini dijadikan ajang oleh Parpol untuk menampilkan calon-calon pemimpin baru, yang masih fresh, muda, cerdas, berkarakter kuat dan berani melakukan terobosan. Sayang kalau hanya, itu lagi itu lagi !