Academia.eduAcademia.edu

WARISAN BUDAYA

WARISAN BUDAYA Mata Kuliah: Teori Proses dan Sosial Budaya Dosen Pengampu: Soeparlan Kasyadi, Dr., M.M. Disusun oleh: Kelompok 2 Abdullah Ulwan Asih Cahyati Maryanto Hermawan Rayi Asyhada Wawat Ernawati (20207379079) (20207379026) (20207379015) (20207379073) (20207329079) FAKULTAS PASCA SARJANA ILMU PENDIDIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI DAFTAR ISI JUDUL ................................................................................................................................. 1 DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 2 BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 3 A. Latar Belakang ................................................................................................................ 3 B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4 C. Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 4 BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 5 A. Pengertian Warisan budaya............................................................................................. 5 B. Jenis Warisan budaya ...................................................................................................... 8 1. Warisan Budaya Tangible ......................................................................................... 9 2. Warisan Budaya Intangible ..................................................................................... 10 C. Perlindungan Hukum Terhadap Warisan Budaya di Indonesia .................................... 10 1. Perlindungan Secara Yuridis ................................................................................... 11 2. Hierarki Perlindungan Warisan Budaya .................................................................. 11 3. Cakupan Warisan Budaya ....................................................................................... 12 D. Pelestarian Warisan Budaya ......................................................................................... 13 1. Polemik Warisan Budaya ........................................................................................ 13 2. Peran Berbagai Pihak .............................................................................................. 14 E. Mengelola Warisan Budaya .......................................................................................... 16 1. Pengelolaan Sebagai Komoditi Pariwisata .............................................................. 16 2. Dampak Positif dan Negatif Pariwisata................................................................... 17 3. Cultural Heritage Community-based Management ................................................. 19 BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 21 A. Kesimpulan ................................................................................................................... 21 B. Saran .............................................................................................................................. 21 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 22 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Warisan budaya tidak lagi berakhir pada monumen dan koleksi benda-benda, warisan budaya juga termasuk dalam tradisi atau ekspresi hidup yang diwarisi dari nenek moyang dan diteruskan kepada keturunannya, seperti tradisi lisan, seni pertunjukan, praktik sosial, ritual, acara meriah, pengetahuan dan praktek tentang alam dan alam semesta atau pengetahuan dan keterampilan untuk menghasilkan kerajinan tradisional. Negara dan masyarakat pada hakikatnya mempunyai kewajiban yang sama, yakni melaksanakan kebijakan yang telah dimuat untuk memajukan kebudayaan secara utuh demi kemakmuran bersama. Serta untuk selalu menjaga eksistensi atas warisan budaya, yang berguna untuk pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia itu sendiri dan juga sebagai karya warisan budaya atau aktifitas manusia dimasa lampau, oleh karenanya warisan budaya merupakan hal yang penting untuk tetap dan selalu untuk dipertahankan. Selain itu upaya pelestarian dan pengelolaan bangunan dan kawasan cagar budaya harus ada beberapa nilai yang perlu diperhatikan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, mencakup nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Satu hal penting terkait signifikasi yang tidak terakomodasi dalam Undang-Undang adalah terkait signifikansi ekonomi. Warisan budaya dapat disebut sebagai kumpulan fenomena yang sangat esensial dan saling berkaitan seperti, aspek sosial, politik, estetika/arsitektural, pendidikan, dan tentu saja aspek ekonomi. Warisan budaya bendawi atau cagar budaya (sumber daya arkeologi) mempunyai sifat yang rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak dapat diperbaharui. Oleh karenanya perlu ada langkah untuk penyelamatan dengan segera dari pembangunan fisik. Maksudnya adalah mengingat pembangunan fisik dewasa ini tidak lagi memperhatikan lokasi dan apa yang ada lokasi. Sedangkan warisan budaya merupakan hal yang penting karena merupakan salah satu dari jati diri bangsa. Keseimbangan yang harus diperhatikan adalah antara kepentingan akademishistoris, ideologis, dan ekonomis. Jangan karena kepentingan salah satu, mengalahkan atau tidak memperhatikan kepentingan yang lain. Dan perlu diingat, bahwa warisan 3 budaya jangan dilihat sebagai sesuatu yang mati atau statis, melainkan adalah bagian yang terorganisir dalam tubuh budaya. Warisan budaya memiliki makna dan nilai, karena pernah hidup di tengah masyarakat, dan setelah ditinggalkan dia hidup kembali di tengah masyarakat sekarang ini. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian dari warisan budaya? 2. Apa saja jenis warisan budaya? 3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap warisan budaya di Indonesia? 4. Bagaimana pelestarian cagar budaya (benda warisan budaya)? 5. Bagaimana mengelola warisan budaya sebagai produk wisata? C. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan pengertian dari warisan budaya. 2. Mendeskripsikan jenis warisan budaya. 3. Menjelaskan perlindungan hukum terhadap warisan budaya di Indonesia. 4. Mendeskripsikan pelestarian cagar budaya di Indonesia. 5. Mendeskripsikan pengelolaan warisan budaya sebagai produk wisata. 4 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Warisan budaya Warisan budaya merupakan sebuah istilah yang telah mengalami perubahan arti, budaya mengalami pergeseran arti yang jauh berbeda dalam beberapa dekade terakhir. Sebagian besar perubahan tersebut karena adanya instrumen yang dikembangkan oleh UNESCO. Warisan budaya tidak lagi berakhir pada monumen dan koleksi benda-benda, warisan budaya juga termasuk dalam tradisi atau ekspresi hidup yang diwarisi dari nenek moyang dan diteruskan kepada keturunannya, seperti tradisi lisan, seni pertunjukan, praktik sosial, ritual, acara meriah, pengetahuan dan praktek tentang alam dan alam semesta atau pengetahuan dan keterampilan untuk menghasilkan kerajinan tradisional. Budaya adalah sistem (dari pola-pola tingkah laku yang diturunkan secara sosial) yang bekerja menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungan ekologi mereka. Adanya budaya, memberikan pemahaman dalam kedua proses transformasi antara alam dan manusia dan bentuk hasil transformasi antara alam dan manusia. Pelestarian pusaka budaya membantu masyarakat tidak hanya melindungi aset fisik bernilai ekonomis, tetapi juga melestarikan praktik, sejarah, dan lingkungan, dan rasa kontinuitas dan identitas. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan cipta, rasa dan karsa manusia 1 . Menurut Koentjaraningrat kebudayaan merupakan 2 : “………… keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar “. Menurut Roger M. Keesing, budaya adalah sistem (dari pola-pola tingkah laku yang diturunkan secara sosial) yang bekerja menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungan ekologi mereka 3 . Menurut Edward Burnett Tylor yang menyatakan budaya adalah bahwa keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan setiap kemampuan lain 1 Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta, Jakarta. Hlm. 181. Koentjaraningrat. 1981. Persepsi Tentang Kebudayaan Nasional. Tidak Diterbitkan. Hlm. 180-181 3 Roger M. Keesing. Teori-Teori Tentang Budaya. Kumpulan Tulisan Antropologi 50. Hlm. 3. 2 5 dan kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat 4 . Menurut Binford, budaya adalah semua cara yang bentuk-bentuknya tidak langsung berada di bawah kontrol genetik yang bekerja untuk menyesuaikan individu-individu dan kelompok ke dalam komuniti ekologi mereka5. Pendapat-pendapat diatas memiliki garis besar bahwa kebudayaan adalah berbagai bentuk hasil karya manusia baik berupa pola-pola ataupun sistem yang berwujud ataupun tidak berwujud dari hasil budi dan akal manusia yang diperoleh dari proses kehidupan untuk menghadapi lingkungannya dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dari zaman ke zaman. Kebudayaan merupakan sebuah ciri dari suatu bangsa dan sebagai bentuk warisan dari para pendahulu bangsa atau leluhur. UNESCO di dalam Draft Medium Term Plan 1990-1995, mendefinisikan warisan budaya sebagai6: … the entire corpus of material signs – either artistic or symbolic – handedon by the past to each culture and, therefore, to the whole of humankind. Asa constituent part of the affirmantion and enrichment of cultural identities, as a legacy belonging to all human kind, the culture heritage gives each particular place its recognizable features and is the storehouse of human experience. The preservation and the presentation of the cultural heritage are therefore a cornerstone of any cultural policy. Hal diatas, dapat diartikan bahwa warisan budaya sebagai penanda budaya sebagai suatu keseluruhan, baik dalam bentuk karya seni maupun simbolsimbol, yang merupakan materi yang terkandung di dalam kebudayaan yang dialihkan oleh generasi manusia di masa lalu kepada generasi muda berikutnya, merupakan unsur utama yang memperkaya dan menunjukkan ikatan identitas suatu generasi dengan generasi sebelumnya, merupakan pusaka bagi seluruh umat manusia. Warisan budaya memberikan penanda identitas kepada setiap tempat dan ruang, dan merupakan gudang yang menyimpan informasi tentang 4 Jokilehto. J. 2005. Definition od Cultural Heritage References to Documents in History. ICCROM Working Group “Heritage and Society”. Page 4. 5 Binford, L. 1968. Post-Pleistocene Adaptations. Dalam New Perspective in Archaelogy. ed. L.R. Binford dan S.R. Binford. Chicago: Aldine. Page 313. 6 Ibid. Hlm 4-5. 6 pengalaman manusia. Menurut Ardika, warisan budaya adalah warisan peninggalan masa lalu yang diwariskan dari generasi yang satu kepada generasi yang lain, yang tetap dilestarikan, dilindungi, dihargai dan dijaga kepemilikannya 7 . Warisan budaya (cultural heritage) yaitu sebagai harta pusaka budaya baik berwujud atau tidak berwujud dan bersumber dari masa lampau yang digunakan untuk kehidupan masyarakat sekarang dan kemudian diwariskan kembali untuk generasi yang akan datang secara berkesinambungan atau berkelanjutan. Heritage yaitu sejarah, tradisi, dan nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa atau Negara selama bertahuntahun dan dianggap sebagai bagian penting dari karakter bangsa tersebut. UNESCO memberikan definisi “heritage’’ sebagai warisan (budaya) masa lalu, yang seharusnya dilestarikan dari generasi ke generasi karena memiliki nilai-nilai luhur. Menurut situs resmi UNESCO, warisan budaya adalah monumen, kelompok bangunan atau situs sejarah, estetika, arkeologi, ilmu pengetahuan, etnologis atau antropologi nilai. Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan yaitu berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Warisan budaya telah diatur di dalam beberapa Konvesi UNESCO yaitu: 1. Convention on the Protection of Natural and Cultural Heritage 1972 2. Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage 2003 3. Convention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expressions 2005 Perlindungan warisan budaya sudah mulai dirasakan oleh masyarakat 7 Ardika, I Wayan. 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Pustaka Larasan, Denpasar. Hlm. 19 7 dunia, keinginan untuk melindungi warisan budaya makin berkembang, instrumen hukum internasional diikutsertakan sebagai peranan penting dalam perlindungan kekayaan budaya dunia. Warisan budaya adalah suatu tempat budaya dan alam serta benda yang berarti bagi umat manusia dan menjadi sebuah warisan bagi generasi berikutnya. Warisan budaya adalah bentuk warisan turuntemurun yang dimiliki setiap negara dalam bentuk budaya yang berbeda-beda, memiliki ciri khas masing-masing dan hanya dimiliki oleh satu negara tersebut dan perlu untuk dijaga dan dipertahankan kelestariannya. B. Jenis Warisan budaya Menurut United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization dalam Convention Concerning The Protection of The World Cultural and Natural Heritage (Adopted by the General Conference at its seventeenth session Paris, 16 november 1972), menyatakan dalam article 1 tentang Definition of The Cultural and Natural Heritage menjelaskan bahwa berikut ini yang dianggap sebagai warisan budaya adalah : 1. Monumen (monuments) Berupa karya arsitektur, karya patung monumental dan lukisan, elemenatau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu; 2. Kelompok bangunan (group of buildings) Kelompok yang terpisah atau bangunan terhubung yang, karena arsitektur mereka, homogenitas mereka atau tempat mereka di lanskap, adalah dari nilai-nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu; 3. Situs (sites) Karya manusia atau karya gabungan alam dan manusia, dan daerah termasuk situs arkeologi yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sejarah, estetika, titik etnologis atau antropologis pandang. Warisan budaya pada awalnya hanya berpusat pada bangunan, monumen, atau benda-benda peninggalan leluhur (nenek moyang) umat manusia yang nyata (tangible). Hal ini mulai bergeser dimana tidak semua warisan budaya berbentuk 8 tangible. Pada tahun 1990-an adanya perubahan konsep mengenai warisan budaya yaitu adanya warisan budaya tak benda (intangible). Pada tahun 2001, UNESCO mengadakan survei yang melibatkan berbagai negara dan organisasi internasional untuk mencapai kesepakatan mengenai cakupan World Intangible Cultural Heritage dan diresmikan tahun 2003 dalam bentuk Konvensi yaitu Convention for The Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage. 1. Warisan Budaya Tangible Warisan Budaya Tangible adalah warisan budaya benda atau warisan budaya fisik yang berwujud, dalam dokumen UNESCO tahun 1972 pada Warisan budaya, warisan diwujudkan dalam bentuk yang nyata, terutama bangunan dan situs bersejarah. Warisan budaya tangible diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu : a. Warisan budaya tidak bergerak (immovable heritage) Warisan budaya tidak bergerak biasanya berada di tempat terbuka terdiri dari situs, tempat-tempat bersejarah, bentang alam darat maupun air, bangunankuno dan / atau bersejarah, patung-patung pahlawan8. b. Warisan budaya bergerak (movable heritage) Warisan budaya bergerak biasanya berada di dalam ruangan dan terdiri dari: benda warisan budaya, karya seni, arsip, dokumen, dan foto, karya tulis cetak, audiovisual berupa kaset, video, dan film9. Sebuah warisan fisik atau nyata adalah salah satu yang dapat disimpan dan fisik menyentuh. Ini termasuk barang-barang yang diproduksi oleh kelompok budaya seperti pakaian tradisional, peralatan (seperti manikmanik, kapal air), atau kendaraan (seperti kereta lembu). Warisan tangible meliputi monumen besar seperti kuil, piramida, dan monumen publik. Meskipun warisan nyata dapat punah, umumnya lebih jelas bagaimana hal itu dapat dilestarikan dari warisan intangible yang memiliki risiko lebih besar dan bisa hilang untuk selamanya. Secara historis, kebijakan nasional baik di Indonesia dan dunia telah memberikan lebih banyak perhatian untuk melestarikan bangunan buatan leluhur terdahulu sebagai warisan berharga, 8 Galla. 2001. Guidebook for the Participation of Young People in Heritage Conservation. Hall and Jones Advertising, Brisbane. Hlm. 8 9 Ibid. Hlm 10 9 daripada mengelola konservasi dan pemanfaatan warisan budaya takbenda. 2. Warisan Budaya Intangible Warisan budaya intangible atau warisan budaya takbenda diwariskan dari generasi ke generasi dan terus-menerus, diciptakan kembali oleh masyarakat dan kelompok-kelompok, dalam menanggapi lingkungan mereka, interaksi mereka dengan alam, dan sejarah mereka. Hal ini yang memberikan rasa identitas dan keberlanjutan pada pewaris warisan budaya, dan mempromosikan penghormatan terhadap keanekaragaman budaya dan kreatifitas manusia. Warisan budaya takbenda adalah budaya yang ada intelektual dalam budaya. Ini bukan barang fisik atau nyata. Warisan budaya takbenda meliputi lagu, mitos, kepercayaan, takhayul, puisi lisan, serta berbagai bentuk pengetahuan tradisional seperti pengetahuan etnobotani. Etobotani adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan tumbuhan. The Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage mendefinisikan bahwa warisan budaya intangible adalah sebagai praktik, representasi, ekspresi, serta pengetahuan dan keterampilan (termasuk instrumen, obyek, artefak, ruang budaya), bahwa masyarakat, kelompok dan dalam beberapa kasus, individu mengakui sebagai bagian warisan budaya mereka. Bagi individu yang menyatakan dirinya sebagai warisan budaya disebut warisan budaya hidup. UNESCO mengklasifikasi warisan budaya intangible dengan beberapa kategori sebagai berikut : a. Tradisi lisan dan ekspresi, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budayatak benda b. Seni pertunjukan c. Praktek Sosial, Ritual dan Festival d. Pengetahuan dan praktek tentang alam dan alam semesta e. Keahlian tradisional. C. Perlindungan Hukum Terhadap Warisan Budaya di Indonesia Indonesia adalah negara yang terdiri dari adat, suku, dan budaya yang beraneka ragam dengan kreatifitas, kearifan lokal dan budaya adi luhur ini menyebabkan Indonesia sebagai negara yang kaya akan warisan budaya. 10 Keanekaragaman budaya Indonesia atau yang disebut dengan “cultural diversity” merupakan keanekaragaman budaya yang terjadi akibat adanya masyarakat yang majemuk. Budaya Indonesia adalah pertemuan dari berbagai kebudayaan dari kelompok suku bangsa yang berbeda-beda. Keanekaragaman kebudayaan tumbuh di dalam masyarakat yang mendiami wilayah dengan kondisi geografis yang berbeda-beda (bervariasi), mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, daratan rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Budaya Indonesia juga tidak lepas dari adanya akulturasi budaya, pertemuan-pertemuan budaya asli Indonesia dengan masuknya kebudayaan luar atau asing mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah keanekaragaman jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Cerminan dari keanekaragaman tersebut memberikan berbagai macam bentuk warisan budaya tangible maupun intangible. Keanekaragaman budaya di Indonesia perlu mendapat dilindungi dan dilestarikan dengan adanya perlindungan secara hukum baik di tingkat nasional maupun internasional. 1. Perlindungan Secara Yuridis Warisan budaya di Indonesia secara yuridis dilindungi oleh UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi negara. Pada pasal 32 angka 1 Undang- Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakanbahwa : a. Pasal 32 ayat 1 : negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya. b. Pasal 32 ayat 2 : negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. 2. Hierarki Perlindungan Warisan Budaya Bentuk produk hukum yang di keluarkan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, secara khusus Indonesia mengatur perlindungan warisan budaya di dalam dua perlindungan yaitu: a. Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (tangible) 11 b. Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for The Safeguarding og The Intangible Cultural Heritage (Konvensi Untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda) 3. Cakupan Warisan Budaya Definisi cagar budaya menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya berupa: a. Benda Cagar Budaya Adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagianbagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. b. Bangunan Susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. c. Struktur Cagar Budaya Susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia. d. Situs Cagar Budaya Lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. e. Kawasan Cagar Budaya Satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. 12 Perlindungan dan pelestarian dilakukan baik di darat dan atau di air sesuai dengan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. D. Pelestarian Warisan Budaya Negara sejatinya berperan dalam menempatkan, mengurus, dan melayani kebudayaan serta meningkatkan kualitas pelestarian dan pengelolaan Cagar Budaya. Di Indonesia sendiri, kriteria Cagar Budaya dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyebutkan bahwa usia obyek sekurangkurangnya telah melampaui 50 tahun. Ini menjadikan kekayaan warisan budaya kita terbentang luas melimpah di tanah air. Bentuk dan asalnya beragam; multietnis, multikepercayaan, serta multiperadaban terhitung sejak jaman megalitikum, kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, pendudukan Jepang hingga merdeka menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Eksistensi Cagar Budaya terutama bangunan, struktur, situs dan kawasan di kota-kota besar memang lebih banyak mendapat tantangan dari melonjaknya kebutuhan akan ruang-ruang baru bagi pembangunan industri, perdagangan dan jasa yang tak terhindarkan. Akhirnya, sebagian Cagar Budaya yang bertahan dari penghancuran harus sedikit bergeser nilainya ke arah bagaimana selain hanya ‘merepotkan’ dari segi perawatannya, ia juga bisa ‘menghasilkan’ secara produktif demi peningkatan nilai ekonomi. Bangunan bersejarah pun dimanfaatkan sebagai tempat makan populer seperti kafe, restoran, gerai, kantor badan usaha pemerintah maupun swasta, galeri seni, atau museum berbayar. Pemerintah dalam hal ini perlu membantu pemilik melalui pemberian insentif dan kompensasi demi mendukung perawatan, minimal menjaga masa gaya pada façade atau wujud luar bangunan. 1. Polemik Warisan Budaya Kota Tua Jakarta adalah contoh Kawasan Cagar Budaya Nasional yang mengandung Benda, Bangunan, dan Struktur Cagar Budaya di tengah hiruk pikuk pembangunan modern dan rekonstruksi kawasannya. Beberapa waktu lalu sempat diajukan ke dalam nominasi UNESCO World Heritage. Semangat ini juga paralel dengan proyek revitalisasi kawasan bersejarah di Banten Lama (2018) dan studi kembali Situs Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat. Namun 13 sayangnya, Kota Tua Jakarta pada akhirnya belum berhasil lulus uji nominasi. Tiga hal yang secara jelas dievaluasi dalam hasil laporan UNESCO (2018) antara lain terjadinya perubahan besar-besaran dengan ‘pembersihan’ Kampung Akuarium di kompleks Pasar Ikan Sunda Kelapa, hadirnya taman apung di sepanjang Kali Besar, hingga isu reklamasi 17 pulau di Teluk Pantai Jakarta. Faktor pembangunan ahistoris yang memudarkan otentisitas dan manajemen pelestarian menjadi sebab dan alasan pokoknya. Itu problem di tingkat nasional. Di tingkat lokal sendiri, implementasi UU No. 11 th. 2010 yang berjalan hampir genap 10 tahun ini juga belum dirasakan menyeluruh. Contohnya masih banyak kabupaten/kota yang belum memiliki Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) yang bertugas mengkaji dan merekomendasi penetapan Cagar Budaya. Perlu kita garis bawahi bahwa terkadang keputusan dan penerapan kebijakan terhalang faktorfaktor sosial-politik yang tidak menentu akibat pergantian kekuasaan atau kondisi mendesak. Tantangan mengakar lainnya ialah perbedaan persepsi dan tingkat kesadaran publik tentang pentingnya nilai Cagar Budaya. Masih terdapat publik maupun pemangku jabatan di daerah yang abai dan kurang melihat urgensi filosofis maupun manfaat praktis mempertahankan Cagar Budaya. 2. Peran Berbagai Pihak Polemik gagalnya Kawasan Cagar Budaya Kota Tua Jakarta dalam nominasi UNESCO World Heritage memberikan pelajaran berarti akan pentingnya sinkronisasi warisan budaya masa lampau dengan kehidupan masyarakat di masa kini. Warisan budaya berupa Historic Urban Landscape (HUL) tidak menjadikan pelestarian Cagar Budaya bersifat romantisasi atau mengisolasinya dari masyarakat. Justru, perlu hadir secara selaras di tengah hiruk pikuk masyarakat kekinian. Setidaknya, ada beberapa hal positif yang dapat kita petik pada giat dan geliat pelestarian khususnya dari para akademisi, tim ahli pelestari, serta masyarakat. Institusi pendidikan seperti universitas sebagai wadah kaum intelektual selama ini mampu menjadi inisiator kritis dalam pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat seputar Cagar Budaya. Dibeberapa kampus, beberapa dosen sengaja membuka kelas akademik yang relevan dengan aktivitas pelestarian untuk mahasiswa, seperti mata kuliah 14 Konservasi dan Preservasi, Arsitektur Pusaka, Bangunan Cagar Budaya, hingga program pascasarjana yang khusus mempelajari Cultural Resources Management (CRM). Teknik dokumentasi, inventarisasi, dan publikasi Cagar Budaya di tanah air juga telah menggunakan teknologi mutakhir. Sistem Register Nasional Cagar Budaya telah bisa diakses daring. Penggalian data arsip menjadi lebih mudah karena salinan dan pindaiannya kita dapat temukan di situs-situs resmi open access seperti Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), perpustakaan dan museum daring yang mengoleksi peta kartografi, gambar, foto, rancangan, lukisan, atau benda peninggalan sehingga memudahkan peneliti mengkaji obyek yang diduga Cagar Budaya. Maka, kemampuan melek teknologi informasi digital menjadi keharusan bagi aktor pelestari, selain melek ilmu masa lampau sebagai pengetahuan dasar Melalui pendekatan participatory action research, proses negosiasi, diskusi, dan tindakan penataan lingkung bangun sekitar tembok kota berlangsung secara gotong royong dan transparan, sehingga cara ini sukses melibatkan penduduk di sekitar Cagar Budaya demi menciptakan harmoni antara kebutuhan Pelindungan dengan hajat hidup komunitas sehari-hari. Hikmahnya ialah betapa pentingnya kita merangkul seluruh pihak yang berperan dalam pelestarian, baik aktor politik dan birokrat, akademisi dan kaum intelektual, pemerhati sosial-budaya, sejarawan, arkeolog, ahli pelestari, serta masyarakat sebagai bagian integral utuh dan tidak tersekat kepakaran dan kepentingan masing-masing. Era kompetisi telah lewat masanya dan saatnya kita memasuki era partisipatif. Pendekatan partisipasi berarti upaya menyejajarkan peran, hak dan kewajiban sehingga iklim pelestarian lebih akrab, cair, dan egaliter sehingga komunitas merasa memiliki dan turut merawat Cagar Budaya mereka. Lahirnya para aktor dan mitra pelestari berusia muda di tiap-tiap daerah menurut saya pribadi juga memberikan angin segar bagi proses pelestarian Cagar Budaya di Indonesia yang perjalanannya yang masih teramat panjang. Ke depan, kita terus berharap eksistensi obyek-obyek Cagar Budaya ini tidak hanya dianggap sebagai beban romantis yang membawa kenangan masa lampau belaka, namun ia justru bekal berharga yang mampu berperan dinamis di kehidupan masyarakat sepanjang waktunya 15 E. Mengelola Warisan Budaya Pengelolaan warisan budaya di Indonesia sebagian besar dikelola oleh Pemerintah Pusat, sementara keterlibatan masyarakat sangatlah terbatas. Pemerintah Indonesia masih menggunakan pendekatan “topdown” dalam mengelola warisan budaya. Pendekatan ini mengandung dilema, di satu pihak (dalam sudut pandang Pemerintah), pendekatan ini sangat baik karena dapat digunakan untuk memberi tekanan pada pemerintah daerah atau pemerintah yang lebih rendah untuk menerapkan kebijakan yang dihasilkannya. Tetapi dilain pihak (dalam sudut pandang masyarakat), sistem ini tidak banyak melibatkan partisipasi dari masyarakat, sehingga menciptakan gap atau jarak antara warisan budaya dan masyarakatnya. Oleh karena itu mendesak untuk dibuat suatu pendekatan baru dengan menggabungkan dua pendekatan tersebut dan memberikan ruang yang luas bagi partisipasi masyarakat dalam pelestarian bangunan cagar budaya (Yulita, et al 2011). 1. Pengelolaan Sebagai Komoditi Pariwisata Warisan budaya dapat dianggap sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dalam arti yang luas, baik untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, sosial, estetika, bahkan secara ekonomis dilihat sebagai daya tarik wisata dan komoditas serta faktor produksi (Tanudirdjo, tanpa tahun, 33). Menurut Brian Graham (2000), cultural heritage di dalam masyarakat modern seringkali dijadikan komoditas yang bernilai ekonomis khususnya untuk kepentingan industri pariwisata. Padahal nilai yang terkandung pada heritage sebenarnya lebih dari pada anggapan heritage sebagai sebuah barang dan jasa, akibatnya terjadilah eksploitasi heritage sebagai sebuah produk pariwisata, dan jika tidak dikelola secara bijaksana akhirnya heritage akan diperjualbelikan, distandarkan seperti layaknya sebuah barang yang berwujud. Tidak dapat diabaikan bahwa setiap heritage juga mengandung elemen intangible dan nilai yang tidak pernah dapat distandarkan dan dihitung nominalnya. Dengan kata lain yakni ketika heritage dan culture dianggap sebagai sumber daya ekonomi dan budaya modal, maka pada akhirnya alasan inilah yang dijadikan sebagai legitimasi untuk menjadikan budaya dan heritage sebagai sebuah produk dalam industri pariwisata. 16 Dalam konsep pengelolaan, terdapat dua perbedaan mendasar yang sulit ditemui titik keseimbangan yakni antara prinsip pengelolaan warisan budaya cenderung berdekatan dengan konservasi - serta prinsip pariwisata yang lebih cenderung mengarah pada industri. Kesulitan yang nyata terjadi ketika harus ditentukan berapa harga yang harus ditentukan untuk sebuah produk warisan budaya. Selain itu upaya pelestarian dan pengelolaan bangunan dan kawasan cagar budaya harus ada beberapa nilai yang perlu diperhatikan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, mencakup nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Satu hal penting terkait signifikasi yang tidak terakomodasi dalam Undang-Undang adalah terkait signifikansi ekonomi. Warisan budaya dapat disebut sebagai kumpulan fenomena yang sangat esensial dan saling berkaitan seperti, aspek sosial, politik, estetika/arsitektural, pendidikan, dan tentu saja aspek ekonomi. Secara strategis berbahaya jika tidak menyertakan pertimbangan ekonomi dalam kajian terhadap upaya konservasi. Upaya konservasi bangunan ataupun kawasan hendaknya juga dapat memberikan cara bagaimana mendatangkan keuntungan (benefit) secara ekonomi dalam bentuk pariwisata misalnya. Tantangan terbesar dalam pengembangan pariwisata budaya adalah menggunakan aset warisan budaya secara bijaksana agar terwujudnya keberhasilan produk pariwisata. Tujuan lebih jauh adalah untuk mengemas warisan budaya supaya bisa dikonsumsi oleh wisatawan dan dikelola oleh sektor non-publik maupun organisasi nirlaba. Pengelolaan warisan budaya dapat lebih ditekankan kepada hal-hal yang sifatnya non-fisik dan warisan budaya masyarakat yang bersifat lokal sebagai elemen inti dari pengelolaan tersebut (Lowenthal, 1996). 2. Dampak Positif dan Negatif Pariwisata Adanya pariwisata budaya akan membentuk suatu aktivitas bersama, sehingga terbentuk pola interaksi antara wisatawan dengan masyarakat setempat. Pengembangan wisata dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak dapat terjadi pada aspek sosial semisal penyimpangan sosial, pertukaran budaya dari wisatawan pada masyarakat sekitar tempat wisata, dan lainnya. Dampak di bidang ekonomi yang terlihat adalah peningkatan pendapatan masyarakat sekitar dengan berwirausaha maupun kesempatan 17 kerja yang tercipta. Dampak negatif sebagai keniscayaan pengembangan wisata adalah berupa pencemaran lingkungan terutama akibat aktifitas pengunjung berupa sampah yang seringkali menyebabkan lingkungan wisata menjadi tidak nyaman dilihat. Dampak lain yang mungkin terjadi adalah ledakan wisatawan atau overtourism Sebagai salah satu contohnya adalah kunjungan wisatawan ke Candi Borobudur yang sangat rentan dengan dampak overtourism ini. Sumber: https://images.app.goo.gl/odJDWMQWLzXhpXnY9 Dapat dibayangkan jika ribuan wisatawan lokal maupun turis mancanegara menjejali Borobudur setiap hari secara terus menerus. Data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang menyebutkan jumlah kunjungan wisatawan ke candi Borobudur tahun 2015 berjumlah 3,5 juta wisatawan (https://magelangkab.bps.go.id) dan jumlah ini meningkat menjadi 3,8 juta wisatawan pada tahun 2017, target kunjungan untuk tahun 2018 naik menjadi 4,7 juta wisawatan (https://id.beritasatu.com). Secara kasat mata kerusakannya mungkin tidak dapat dilihat, namun bukan berarti overtourism tidak memiliki dampak negatif. Banyak negara yang sudah mulai menyadari bahaya dari overtourism ini. Negeri India dengan ikon destinasi wisatanya, Taj Mahal bermasalah juga dengan dampak overtourism yang melanda bangunan bersejarah ikoniknya tersebut. Overtourism diduga telah menyebabkan kerusakan pada dinding, lantai marmer dan pondasi. Setiap tahun sekitar 6,5 juta wisatawan berkunjung ke Taj Mahal. Untuk mengantisipasi kerusakan lebih lanjut, pemerintah India mengeluarkan kebijakan dengan membatasi jumlah kunjungan wisatawan. Dalam hal ini yang berkepentingan terhadap pariwisata yaitu 18 pemerintah bersama pihak investor swasta, biasanya berorientasi pada keuntungan, sementara masyarakat tidak dilibatkan secara aktif, melainkan hanya menerima nilai residu dari kepentingan pariwisata (Kansar dan Sudirman, 1999). Hal itu membuat individu yang merasa tidak mempunyai kepentingan terhadap pariwisata melakukan tindakan yang tidak mendukung pariwisata sehingga menimbulkan tindakan yang merugikan pariwisata seperti meminta minta, mencopet, pemaksaan oleh penjual asongan, pemalakan hingga sweeping. 3. Cultural Heritage Community-based Management Pengelolaan warisan budaya berbasis masyarakat (Cultural Heritage Community-based management) sudah ideal digunakan dalam pengelolaan warisan budaya, terutama terkait pemanfaatannya untuk pariwisata. Memang perlu ada pembenahan untuk lebih baik lagi, tetapi pelibatan masyarakat secara langsung sehingga masyarakat memperoleh dampak secara langsung Metode semacam ini lebih efektif untuk menumbuhkan kesadaran (aware) kepada masyarakat. Perlu waktu dan upaya bertahap untuk menerapkan pola pengelolaan seperti ini. Beberapa contoh kasus di Bali sekiranya dapat dijadikan acuan. Destinasi desa wisata Tenganan Pegringsingan, wisata DAS Pakerisan, wisata Subak, wisata Museum Geopark Batur Kintamani, dan masih banyak lagi daftar pengelolaan wisata warisan budaya yang berbasis masyarakat. Pelibatan ide kreatif dan aktif generasi muda sekiranya dapat di manfaatkan dalam usaha diversifikasi wisata warisan budaya. Namun, apabila masyarakat ikut berpartisipasi dalam pengembangan (ilmu) arkeologi ataupun dalam bidang pengelolaan cagar budaya perlu diantisipasi dampak positif dan negatifnya. a. Dampak positif keterlibatan masyarakat antara lain publik akan melengkapi sejumlah interpretasi data arkeologi. Di samping itu, dalam pengelolaan cagar budaya, tampaknya pemerintah akan banyak diringankan tugasnya dalam bidang ini. Besarnya peranan masyarakat dalam bidang pengelolaan cagar budaya diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan sense of belonging masyarakat. b. Dampak negatif yang diperkirakan dapat terjadi adalah pelanggaran terhadap kode etik pengelolaan cagar budaya, terutama ancaman terhadap 19 pelestarian situs. Oleh karena itu, perlu adanya pendampingan oleh para ahli arkeologi agar pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat menjadi terarah sesuai dengan Undang Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan kode arkeologi. 20 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Pelestarian warisan budaya bangsa, merupakan ikhtiar untuk memupuk kebanggaan nasional dan memperkokoh jati diri bangsa. Langkah pelestarian warisan budaya tersebut, sangat besar artinya bagi kepentingan pembinaan dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, serta pemanfaatan lainnya dalam rangka memajukan kebudayaan bangsa demi kepentingan nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Warisan budaya memberikan semangat dan amanat bahwa kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui langkah pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Negara dan masyarakat pada hakikatnya mempunyai kewajiban yang sama, yakni melaksanakan kebijakan yang telah dimuat untuk memajukan kebudayaan secara utuh demi kemakmuran bersama. Serta untuk selalu menjaga eksistensi atas warisan budaya dan sumber daya arkeologi. Yang mana bernilai guna untuk pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia itu sendiri. Serta sebagai karya warisan budaya atau aktifitas manusia di masa lampau, oleh karenanya warisan budaya merupakan hal yang penting untuk tetap dan selalu untuk dipertahankan. B. Saran Hendaknya sikap pengelola warisan budaya saat ini menjadi lebih dinamis mengikuti perkembangan dan kepentingan masyarakat, dan orientasinya pun mulai diubah arahnya, yaitu dari hasil yang lebih mementingkan segi keilmuan atau kepentingan golongan pengelola warisan budaya (bersikukuh pada prinsip-prinsip yang statis) diubah menjadi pengelola warisan budaya yang lebih mementingkan kepentingan masyarakat. 21 DAFTAR PUSTAKA Ardika, I Wayan. (2007). Pusaka Budaya dan Pariwisata. Pustaka Larasan, Denpasar Binford, L. (1968). Post-Pleistocene Adaptations. Dalam New Perspective in Archaelogy. ed. L.R. Binford dan S.R. Binford. Chicago: Aldine. Fatimah, Endrawati. (2009). Kerjasama Pemanfaatan Ruang Antar Daerah Berbasis Potensi Lokal. Jakarta : Universitas Trisakti. Galla. (2001). Guidebook for the Participation of Young People in Heritage Conservation. Hall and Jones Advertising, Brisbane. Geriya, Wayan. (1996). Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional, Global. Bunga dalam Rampai Antropologi Pariwisata. Denpasar : Upada Sastra. Graham, Brian, G.J and Ashworth, J.E. Tunbridge. (2000). A Geography of Heritage: Power, Cultre and Economy. London : Arnold Publishers Graham, Brian, G.J. (2002). Heritage as Knowledge: Capital or Culture? dalam Urban Studies, 39 (5–6), hlm. 1003–1017. I Gusti Bagus, Rai Utama. (2015). Mengelola Warisan Budaya Sebagai Produk Pariwisata. 10.13140/ RG.2.1.1740.6568. Jokilehto. J. (2005). Definition od Cultural Heritage References to Documents in History. ICCROM Working Group “Heritage and Society”. Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta, Jakarta. Koentjaraningrat. (1981). Persepsi Tentang Kebudayaan Nasional. Tidak Diterbitkan. Laksmi, A.A. Rai Sita. (2014). Pengelolaan Warisan Budaya Pura Tanah Lot Sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan. Dalam Forum Arkeologi 27 (3): 207-218). Lowenthal, D. (1996). The Heritage Crusade and the Spoils of History. New York : The Free Press. Pendit, N.S. (1999). Ilmu Pariwisata: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pradnya Paramita. 22 Pramono, H.(1993). Dampak Pembangunan Pariwisata Terhadap Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dalam Cakrawala Pendidikan 12: 13-23. Roger M. Keesing. Teori-Teori Tentang Budaya. Kumpulan Tulisan Antropologi 50. Wardi, I Nyoman. (2008). Pengelolaan Warisan Budaya Berwawasan Lingkungan: Studi Kasus Pengelolaan Living Monument di Bali. Dalam Jurnal Bumi Lestari 8 (2): 193-204. Yulita, Titik S., Y Trihoni Nalesti Dewi, B. Tyas Susanti. (2011). Model Pengelolaan Bangunan Cagar Budaya Berbasis Partisipasi Masyarakat Sebagai Upaya Pelestarian Warisan Budaya. Dalam Seri Kajian Ilmiah 14 (11): 52-73 23 Copy protected with Online-PDF-No-Copy.com