RETORIKA VISUAL DALAM PROSES KOMUNIKASI
LINGKUNGAN
Oleh
Melisa Indriana Putri
P
ermasalahan sampah plastik masih menjadi perhatian banyak negara. Permasalahan lingkungan dalam balutan #KrisisIklim masih menjadi konstrasi
dunia. Sebuah konferensi perubahan iklim telah diselenggarakan di Madrid
pada tahun 2019. Mongabay menjelaskan bahwa hasil konferensi tersebut justru
menunjukkan masih rendahnya komitmen negara-negara di dunia dalam mengurangi
jumlah emisi karbon (Greenpeace Indonesia, 2020).
Kondisi Indonesia dalam konteks tersebut pun hampir serupa. Indonesia
menjadi negara penyumbang sampah di lautan dalam urutan ke-dua terbesar di Asia
setelah China. Sebuah riset pada tahun 2015 yang dilakukan oleh Jenna R. Jambeck
menambahkan fakta bahwa sampah yang dihasilkan di lautan Indonesia mencapai
187,2 juta ton (Rosadi 2019: 17).
Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik
(BPS) juga merilis data yang mengindikasikan bahwa sampah plastik di Indonesia
mencapai 64 juta ton setiap tahun. Di antara jumlah tersebut, sebesar 3,2 juta ton turut
disumbangkan ke laut. Ironinya, produksi dan konsumsi plastik di Indonesia telah diperkirakan akan terus meningkat hingga tahun 2030 sebesar 3,8% (Fajrian, 2019; Indonesia.go.id, 2019).
Sampah plastik yang berada di laut bukanlah menjadi satu-satunya permasalahan sampah di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia menyebutkan sampah plastik hanya mengisi 5% dari keseluruhan komposisi
sampah di Indonesia. Komposisi sampah yang dihasilkan Indonesia terdiri dari 60%
sampah organik, seperti dedaunan, sisa makanan, ranting, rerumputan, dan sampahsampah sejenisnya yang menyangkut sisa makhluk hidup.
Jenis sampah lainnya adalah sampah kertas (9%), karet (5,5%), logam (4,3%),
kain (3,5%), kaca (1.7%), dan sampah lainnya (2.4%). Dari jumlah tersebut, hanya 9%
sampah plastik yang didaur ulang, sedangkan 12% yang lainnya dibakar. Selain itu, 79%
dari jumlah tersebut dibuang ke tempat penampungan ataupun sungai, bahkan bermuara ke lautan (Fajrian, 2019; Widowati, 2019).
Problematika mengenai lingkungan di Indonesia tidak hanya tercurah pada
sampah. Isu tentang polusi udara juga semakin menguat beberapa tahun belakangan,
terutama bagi kota-kota besar, termasuk Jakarta dan sekitarnya. Masifnya penggunaan
56
kendaraan pribadi oleh masyarakat Indonesia turut dituding menjadi salah satu
penyebab ganasnya polusi di perkotaan (Greenpeace Indonesia, 2020).
Pencemaran lingkungan baik berupa polusi udara maupun pengelolaan sampah yang tidak tepat tidak hanya dihasilkan oleh sektor industri, namun juga oleh
sektor rumah tangga. Polusi udara yang dihadirkan oleh sektor rumah tangga menyumbang angka kematian dini 3,8 juta per tahun. Korban sebesar 60% dari kasus tersebut adalah perempuan dan anak-anak (Jay, 2019).
Sementara, sampah sektor rumah tangga yang tidak dikelola dengan tepat
juga dapat menghasilkan pencemaran udara, tanah, dan air. Sampah Rumah Tangga
(SRT) merupakan hasil dari kegiatan sehari-hari rumah tangga yang di dalamnya tidak
termasuk tinja dan sampah spesifik (Badan Pusat Statistik, 2019).
Salah satu wilayah yang belum mampu mengelola hasil sampah rumah tangga
adalah Desa Tenjo, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Isu lingkungan di wilayah Bogor
bukanlah hal yang baru. Sebagian isu tersebut juga bercerita tentang permasalahan
sampah yang turut menjadi penyebab tersumbatnya aliran-aliran sungai di Bogor sehingga berujung pada banjir (Sudarno, 2019).
Desa Tenjo menjadi wilayah yang unik karena lokasi geografisnya berada di
antara 4 otoritas wilayah yang berbeda yakni Jakarta, Bogor, Tangerang dan Banten.
Namun, hal ini sekaligus menjadi masalah tersendiri bagi warga Desa Tenjo. Jarak Desa Tenjo dengan pusat pemerintahan Kabupaten Bogor, Cibinong, sejauh 91,5 kilometer. Warga Desa Tenjo mengaku membutuhkan waktu selama tiga jam untuk dapat
tiba di Cibinong untuk mengurus berbagai kebutuhan terkait administrasi
kependudukan dan kebutuhan lainnya. Kendaraan yang mudah dijangkau menuju Desa Tenjo ialah KRL Commuter Line menuju Rangkasbitung.
Mereka juga menuturkan bahwa jarang tersentuh oleh program pemerintah
Bogor, termasuk program mengenai pengelolaan sampah. Selama ini mereka mengelola sampah secara mandiri dengan keterbatasan pengetahuan dan fasilitas. Pada
akhirnya, penduduk setempat memilih mengelola sampah dengan teknik open dumpling, yakni mengumpulkan sampah rumah tangga pada suatu lahan hinga suatu saat
membakarnya sebagai langkah akhir pemusnahan sampah. Semua cara tersebut semakin meningkatkan risiko pencemaran (Badan Pusat Statistik 2019: 221; Fajar, 2019).
Sampah kaleng bekas maupun plastik atau bahkan residu sampah yang telah
dibakar dan tertinggal pada tanah tanpa dikelola lebih lanjut dapat tertimbun ke dalam
tanah. Kaleng bersifat sulit terurai dan dapat menimbulkan korosi yang mengandung
logam berat. Sedangkan sampah plastik di dalam tanah memerlukan waktu selama 20
hingga 500 tahun untuk dapat terurai (Jangan Menimbun Kaleng Bekas di dalam
Tanah, 2011; Rosadi 2019: 17; Setyowati dan Mulasari 2014: 564).
Pembakaran sampah menimbulkan dampak negatif yang dapat terjadi pada
masyarakat dan lingkungan hidup di Desa Tenjo. Salah satunya adalah kualitas udara
sekitar yang buruk dan dapat menjalar pada risiko kesehatan masyarakat, khususnya
57
pada masalah kesehatan pernafasan. Aktivitas pembakaran sampah juga berisiko menyebabkan kebakaran bagi rumah-rumah penduduk di Desa Tenjo yang dekat dengan
lokasi pembakaran sampah. Volume ataupun jenis sampah yang mudah terbakar akan
menambah kemungkinan segala risiko tersebut.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah Pasal 1 ayat 6 bahwa tempat penampungan sementara adalah tempat sebelum
sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu dan ayat 7 bahwa tempat pengolahan sampah terpadu adalah
tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.
Berdasarkan peraturan tersebut maka sampah yang dihasilkan oleh penduduk
Desa Tenjo seharusnya berada pada tempat penampungan sampah sementara sebelum
selanjutnya di bawa ke tempat pengelolaan sampah terpadu yang dikelola oleh
pemerintah. Namun, pada nyatanya aksi nyata pemerintah setempat dalam pengelolaan sampah di Desa Tenjo tidaklah berjalan seharusnya sehingga warga desa harus
membakar sampah yang tentu berpengaruh pada kesehatan diri maupun lingkungan.
Hal ini mengisyaratkan bahwa pengetahuan dan persepsi masyarakat Desa
Tenjo mengenai pengelolaan sampah perlu disesuaikan dengan prinsip pengolahan
sampah secara terpadu. Namun, hal tersebut memerlukan transformasi yang panjang
dan bertahap, salah satunya melalui proses komunikasi lingkungan. Pada dasarnya,
manusia memiliki kepercayaan, sikap, dan perilaku tertentu terhadap lingkungan yang
terbentuk dan membentuk bagaimana manusia berkomunikasi dan mengkomunikasikan lingkungan (Pezzullo dan Cox 2018: 41).
Proses komunikasi lingkungan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti
kampanye kepada publik maupun merancang dan menyampaikan pesan secara langsung kepada masyarakat sasaran. Almaskaty dan Habib (2016) menekankan bahwa
kegiatan kampanye pengelolaan lingkungan sebaiknya dibuat secara kreatif dengan
memuat pesan-pesan ajakan dengan menggunakan bahasa yang dekat dengan target
sasaran.
Segala untaian fakta tersebut mengantarkan dilakukannya kegiatan pengabdian kepada masyarakat oleh Universitas Pertamina yang berjudul “Program Pengelolaan Sampah dan Optimasi Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Desa Tenjo.”
Kegiatan sinergi antar kebidangan tersebut berupaya untuk mengoptimalkan pengelolaan sampah bagi masyarakat di Desa Tenjo dan memerlukan proses komunikasi lingkungan.
Rangkaian program tersbut memuat beberapa kegiatan, namun peneliti hanya
fokus pada kegiatan lomba mendesain tong sampah oleh warga. Proses komunikasi
lingkungan dalam program tersebut diperkaya dengan penggunaan aspek-aspek komunikasi visual dengan menggunakan bentuk, warna, gambar, dan narasi yang dikemas
melalui retorika visual.
58
Pada dasarnya, manusia memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap segala
sesuatu dan cenderung mengikuti hal yang terjadi pada keadaan sekitar. Persepsi
merupakan pemahaman, pengetahuan, dan sejenisnya yang diterima dengan cara merasakan ide khusus, konsep, maupun kesan atas informasi, terutama yang bersifat visual. Ketika manusia dikatakan mampu melakukan persepsi, maka pikiran manusia tersebut mampu menerima, memproses, memahami, dan menggunakan informasi visual
yang diterimanya (Harisah & Masiming, 2008: 30; Smith, Moriarty, Kenney, dan Barbatsis 2004: 45).
Hal ini mengerucut pada bagaimana persepsi didefinisikan sebagai pemahaman yang dimiliki oleh setiap individu atas teks tertentu. Persepsi masyarakata Desa
Tenjo dalam konteks pengelolaan sampah cukup bervariasi. Namun, persepsi umum
yang mereka miliki bahwa cara mengelola sampah adalah dengan cara dibakar langsung di suatu lahan ataupun dikumpulkan pada suatu lahan yang dianggap sebagai
tempat pembuangan sampah. Hal tersebut didukung dengan kondisi bahwa hampir
setiap rumah penduduk memiliki pekarangan rumah yang ukurannya memadai untuk
digunakan beraktivitas. Pekarangan atau kebun tersebut turut dimanfaatkan untuk
membakar sampah.
Pada saat program “Pengelolaan Sampah dan Optimasi Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Desa Tenjo,” tengah berjalan, anak-anak di Kampung Cipare,
Desa Tenjo menjadi peserta yang antusias. Anak-anak di Kampung Cipare mengikuti
tiga rangkaian kegiatan tersebut dan pada akhirnya saling mengajak teman sebaya
mereka. Oleh karenanya, peneliti tertarik untuk fokus melihat bagaimana persepsi
anak-anak di Kampung Cipare atas pesan komunikasi lingkungan terkait pengelolaan
sampah terpadu.
Teori Retorika Visual dalam Kajian Komunikasi Lingkungan
Keterhubungan antara manusia dengan lingkungan telah dimediasi oleh budaya, sejarah, ekonomi, dan teologi sejak lama. Mediasi dengan menggunakan simbol-simbol
tertentu dapat dilakukan untuk memantik kesadaran manusia yang sesungguhnya
selalu terkoneksi dengan lingkungannya. Pernyataan ini melahirkan keyakinan bahwa
komunikasi dapat digunakan untuk pemberdayaan lingkungan dengan penggunaan
simbol-simbol tertentu yang ditujukan untuk mempersuasi manusia (Muir dan
Veenendall, 1996).
Simbol-simbol yang diarahkan untuk tujuan pemeliharaan lingkungan menjadi bagian dari pesan yang dipertukarkan pada proses komunikasi lingkungan. Komunikasi lingkungan adalah proses integral pengaplikasian pendekatan, prinsip, strategi,
dan teknik komunikasi untuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan. Proses ini
memuat pertukaran antara beberapa aspek pesan komunikasi lingkungan, seperti informasi, pengetahuan, dan kebijakan seputar lingkungan pada berbagai tataran komunikasi untuk mencapai pemahaman bersama tentang lingkungan (Flor 2004: 4).
59
Pada akhirnya, manusia selalu terhubung dengan komunikasi lingkungan melalui pesan komunikasi verbal maupun non-verbal untuk merefleksikan bagaimana
manusia memposisikan diri terhadap lingkungan. Sehingga pendefinisian komunikasi
lingkungan pun memiliki cakupan yang luas. Penggunaan simbol-simbol pada pesan
tentang lingkungan pada dasarnya menjadi bentuk persuasi yang secara aktif menciptakan pemahaman dan makna tertentu terkait lingkungan (Pezzullo dan Cox 2018: 32,
34).
Pezzullo dan Cox (2018: 34-35) selanjutnya memfokuskan definisi tersebut
pada kerangka elemen-elemen komunikasi. Sehingga komunikasi lingkungan dapat
difokuskan pada bagaimana manusia mengekspresikan pesan-pesan melalui simbolsimbol tertentu dalam konteks lingkungan dengan menggunakan cara, medium, dan
bagi khalayak tertentu yang pada akhirnya mendapatkan konsekuensi tertentu atas
pesan komunikasi lingkungan yang dikirimkan.
Pezzullo dan Cox (2018: 37) mengidentifikasi tujuh pendekatan yang
digunakan dalam komunikasi lingkungan. Salah satunya adalah Environmental Rhetoric and Cultural Studies. Pendekatan retorika lingkungan dan cultural studies berfokus
pada penciptaan makna dan persuasi bagi audiens. Pendekatan ini dapat melibatkan
penggunaan bahasa, teks visual, lokasi, unsur budaya, kampanye, movement, pertunjukan, dan aktivitas serupa lainnya secara kreatif.
Tiga prinsip utama yang ditekankan dalam komunikasi lingkungan adalah: (1)
komunikasi antar manusia sebagai aksi simbolik, (2) penciptaan pengetahuan, keyakinan, nilai, pilihan, sikap, dan perilaku dalam menghadapi lingkungan, serta (3) public
spheres sebagai ruang-ruang yang mewadahi beragam pesan komunikasi lingkungan
yang berserak (Pezzullo dan Cox 2018: 38).
Salah satu bentuk komunikasi lingkungan adalah kampanye yang dalam penyampaiannya diperlukan perancangan pesan-pesan secara matang. Perancangan tersebut bertujuan agar pesan komunikasi lingkungan dapat diimplementasikan secara tepat pada target audiens tertentu. Penggunaan pesan, media, dan strategi tertentu ditujukan agar konsekuensi atau pengaruh pesan dapat diterima oleh target audiens yang
disasar (Flor 2004: 7-8).
Pada konteks ini, teori retorika visual sebagai salah satu teori yang bertujuan
untuk mempersuasi audiens memegang peranan kunci. Retorika visual sangat berkaitan langsung dengan pendekatan retorika lingkungan dan cultural studies dalam
komunikasi lingkungan. Retorika menjadi titik tolak berbicara dimana tindakan
tersebut memiliki tujuan yang ingin dicapai (misalnya memberikan informasi).
Namun, terlepas dari penyampaiannya secara lisan, retorika juga mampu disampaikan
secara tertulis. Maka dari itu retorika memiliki cakupan yang lebih luas. Retorika tidak
hanya sekedar berbicara di depan publik dengan menggunakan metode komunikasi
auditif saja tetapi juga dapat menggunakan metode komunikasi secara visual maupun
audio visual (Hendrikus 1991: 14).
60
Smith, Moriarty, Kenney, dan Barbatsis (2004: 141) menambahkan bahwa
retorika visual merupakan salah satu cara seseorang untuk mempengaruhi satu sama
lain yang melibatkan aktivitas pertukaran simbol secara strategis. Penggunaan strategi
retorika tidak hanya terbatas pada pemanfaatan gambar saja, tetapi juga dengan
komunikasi yang bersifat oral. Segala aktivitas penyampaian tersebut tentunya
melibatkan bahasa atau simbol.
Brummett menjelaskan bahwa retorika visual adalah “seperangkat fungsi
sosial yang mampu mempengaruhi dan mengolah makna.” Gambar atau simbol yang
digunakan dalam konteks tertentu dapat menghadirkan interpretasi makna yang
berkaitan erat dengan aktivitas penyampaian pesan pada target sasaran. Penerimaan
setiap individu terhadap objek visual akan berbeda-beda dikarenakan pengalaman
yang mereka miliki juga tidak sama (Smith, Moriarty, Kenney, dan Barbatsis 2004: 141142).
Teori retorika visual terbentuk dan mengambil fokus pada discursive
symbols (simbol yang acak atau tidak beraturan). Bahasa yang beragam atau acak
memiliki pemaknaan yang terbatas. Tidak semua objek visual merupakan retorika
visual. Suatu objek visual berubah menjadi artefak komunikatif yang mengandung
simbol dan dapat dipelajari sebagai retorika dengan memuat tiga karakteristik, yakni
(1) gambar harus memiliki makna simbolik, (2) melibatkan intervensi antar manusia,
dan (3) disampaikan kepada audiens untuk tujuan tertentu (Smith, Moriarty, Kenney,
dan Barbatsis 2004: 143).
Sama halnya dengan seluruh proses komunikasi, retorika visual adalah
sebuah sistem tanda yang memiliki sususan komponen-komponen yang tidak dapat di
pisahkan (symbolic action). Sebuah tanda dapat dikomunikasikan ketika tersambung
atau terhubung dengan objek lainnya. Sebuah rambu tanda dilarang berhenti
berhubungan dengan kendaraan yang lewat di kawasan rambu tersebut. Untuk
menandakan retorika visual bersifat simbolik, gambar harus menyajikan perannya
sebagai ‘tanda’ namun di luar itu harus tetap memperhatikan dari segi bentuk dan
warna yang telah disepakati secara kolektif untuk menghindari penyalahgunaan tanda
yang sewenang-wenang (Smith, Moriarty, Kenney, dan Barbatsis 2004: 143-144).
Selanjutnya retorika visual perlu melibatkan intervensi antar manusia
(human intervention). Manusia terlibat dalam retorika visual saat tergabung dalam
pemaknaan gambar. Keputusan maupun pilihan yang disadari perlu meliputi strategi
untuk digunakan dalam bidang-bidang seperti warna, ukuran, media dan sebagainya
(Smith, Moriarty, Kenney, dan Barbatsis 2004: 144).
Keterlibatan intervensi manusia disini juga dimakna sebagai proses
pemindahan pemaknaan non-retorika visual menjadi retorika visual. Artinya pada
mulanya orang menganggap bahwa suatu benda tidak memiliki pemaknaan atau nilainilai di dalamnya namun karena ada konteks dan penanaman nilai yang diyakini maka
benda tersebut menjadi memiliki nilai retorika secara visual (Smith, Moriarty,
61
Kenney, dan Barbatsis 2004: 144).
Sebagai contoh ketika datangnya hari raya Natal, orang-orang yang
merayakan biasanya akan menghias pohon cemara dengan lampu-lampu hias dan
meletakkan kado di sekeliling pohon tersebut. Makna simbolis tentang penciptaan
interpretasi yang terkandung di dalamnya berupa rasa bahagia dan suka cita
menyambut datangnya Natal dan tahun baru. Makna simbolis lainnya adalah sebagai
ungkapan rasa syukur karena dapat melewati satu tahun penuh dengan baik dan untuk
menyambut satu tahun yang akan datang (Smith, Moriarty, Kenney, dan Barbatsis
2004: 144).
Burke menjelaskan bahwa retorika visual didesain untuk mampu melakukan
komunikasi dengan audiens sekalipun audiens tersebut adalah seorang pencipta dari
gambar tersebut (presence of audience). Seorang pencipta pesan komunikasi visual
mampu menciptakan dunianya sendiri dan dunia audiensnya sehingga memiliki
pemaknaan yang sama karena di dalam gambar tersebut memiliki simbol-simbol yang
mampu membuat mereka menyukai karya dari sang penciptanya. Oleh karena itu
seolah-olah mereka mampu berkomunikasi lewat kemampuan sang pembuat karya
dalam mempengaruhi khalayak (Smith, Moriarty, Kenney, dan Barbatsis 2004: 144145).
Retorika visual memuat tiga aspek visual image atau visual data yang ada di
dalam perspektif critical analytical, yakni (1) nature of the image, (2) function of the
image, dan (3) evaluation of the image. Aspek nature of the image yang didefinisikan
sebagai cara mendeskripsikan dimana ada dua fokus utama yaitu presented elements
dan suggested elements. Presented elements mengacu pada berat atau ukuran gambar,
media, material yang membentuk gambar tersebut menjadi satu kesatuan (Smith,
Moriarty, Kenney, dan Barbatsis 2004: 146-147).
Lukisan yang terbuat dari material kain satin maka akan memiliki tekstur
yang lembut dan licin. Selain itu, terdapat bentuk dari gambar itu sendiri. Suggested
elements lebih mengarah pada konsep, ide, tema, makna kiasan sehingga lebih
mempertegas pesan di balik gambar tersebut dan mempermudah orang menangkap
pesan yang ingin disampaikan (Smith, Moriarty, Kenney, dan Barbatsis 2004: 146).
Aspek ke-dua adalah function of the image yang berfokus pada bagaimana
strategi yang digunakan untuk membuat objek visual dapat beroperasi dengan tepat
pada audiens. Hal ini dapat memuat detil yang harus diperhatikan untuk menimbulkan
kesan dramatis dan lebih hidup bagi audiens. Aspek ini muncul atas hasil interpretasi
audiens terhadap objek visual dengan mengabaikan apa intensi pembuatnya (Smith,
Moriarty, Kenney, dan Barbatsis 2004: 146-147).
Selanjutnya, aspek ke-tiga yaitu evaluation of the image. Aspek ini digunakan
untuk menilai apakah kedua aspek sebelumnya dapat digunakan untuk mencapai hasil
yang tepat dalam mempersuasi audiens (Smith, Moriarty, Kenney, dan Barbatsis 2004:
147).
62
Konsep Psikologi Garis, Bentuk, dan Warna pada Persepsi Visual
Retorika visual memuat artifak komunikatif yang mengandung serangkaian simbolsimbol yang digunakan untuk mempersuasi audiens. Sedangkan simbol-simbol yang
digunakan tersebut memiliki karakter psikologis untuk memengaruhi manusia. Dalam
kajian komunikasi visual, hal ini dibahas melalui persepsi visual. Teori Persepsi berbasis pada prinsip-prinsip psikologi yang berpengaruh pada bagaimana cara kerja otak
ketika menerima informasi dan selanjutnya memprosesnya sehingga mampu menciptakan makna yang menyertakan emosi di dalamnya (Lu, Suryanarayan, Adams, Li,
Newman, dan Wang, 2012; Smith, Moriarty, Kenney, dan Barbatsis 2004: 45, 141).
Secara biologis, mata menangkap artifak komunikatif dan mengirimkan sinyal
-sinyal penerimaan pesan tersebut pada otak. Keseluruhan proses tersebut terjadi
secara tanpa sengaja ataupun terkadang tidak melibatkan kesadaran penerima untuk
bermaksud memprosesnya secara psikologis untuk melahirkan emosi tertentu. Anakanak menjadi kategori penerima pesan yang cenderung lebih mudah mengolah pesan
dan menghasilkan respon emosi dibandingkan dengan orang dewasa. Proses tersebut
terjadi pada keseluruhan proses komunikasi visual (Smith, Moriarty, Kenney, dan Barbatsis 2004: 45).
Artifak komunikatif dalam retorika visual yang memuat simbol-simbol yang
bekerja pada persepsi manusia dapat berupa (1) garis dan bentuk, serta (2) warna. Segmen garis dan kontur tercipta dari setiap struktur visual atas objek. Secara sederhana,
setiap bentuk tersusun atas garis (Lu, Suryanarayan, Adams, Li, Newman, dan Wang,
2012).
Bentuk yang kompleks (complexity) melibatkan penggabungan berbagai bentuk sehingga memunculkan persepsi yang rumit dan tidak dapat diterima dengan cepat
oleh otak manusia, maupun emosi manusia. Sedangkan bentuk dengan komposisi sederhana (simplicity) dapat lebih mudah diterima secara emosi oleh audiens (Lu, Suryanarayan, Adams, Li, Newman, dan Wang, 2012).
Lengkungan adalah garis yang menentukan kebulatan sebuah objek visual.
Lengkungan digunakan sebagai dasar untuk menciptakan objek bulat, bundar, maupun
lingkaran. Bentuk lingkaran atau bulat menunjukkan emosi, seperti rasa marah maupun Bahagia. Lingkaran menstimuli munculnya rasa positif bagi yang melihatnya, seperti kenyamanan ataupun kesenangan. Hal ini berlawanan dengan karakter bentuk
tajam atau runcing yang memicu kewaspadaan. (Lu, Suryanarayan, Adams, Li, Newman, dan Wang, 2012).
Bentuk sudut tercipta karena pertemuan dua garis atau lebih. Julian
Hochberg menjelaskan bahwa jumlah garis-garis yang bertemu dapat digunakan untuk
menentukan pakah suatu bentuk memuat simiplicity ataukah complexity (Lu, Suryanarayan, Adams, Li, Newman, dan Wang, 2012).
Sementara, warna dapat dimaknai melalui beberapa aspek, yakni pengalaman,
63
kultur, dan konteks. Terdapat beberapa warna primer dalam psikologi warna, yakni
merah, biru, kuning, dan hijau. Warna-warna primer tersebut berkorelasi dengan keseimbangan antara tubuh, otak, dan respon emosi yang dimiliki oleh seseorang (Kolenda,
2016; Psychological Properties Of Colours, n.d.).
Warna merah dapat mempersuasi seseorang secara fisik, misalnya berupa
keberanian secara fisik, maupun memberikan kekuatan dan pertahanan. Warna merah
juga dapat memberikan rasa hangat, energi, keberanian, dan ketertarikan. Regan
melihat bahwa merah identik dengan feminitas karena di masa lampau, perempuan
juga bertugas untuk mengumpulkan makanan dari hutan. Karena hutan didominasi
dengan warna hijau maka cara pengumpul makanan mendapatkan buah-buahan adalah
dengan berfokus pada warna merah dan kuning. Selanjutnya, otak perempuan berevolusi untuk lebih mengenali warna merah dan mengasosiasikannya dengan perlindungan dan perawatan (Kolenda, 2016; Psychological Properties Of Colours, n.d.).
Warna biru berkaitan dengan aspek intelektual manusia dan banyak memberikan pengaruh pada kondisi mental seseorang. Warna biru menunjukkan kecerdasan, kemampuan berlogika, dan efisiensi. Biru juga mempersepsikan komunikasi,
kepercayaan, dedikasi, suasana aman, dan ketenangan. Hemphill menyatakan bahwa
warna biru identik dengan warna alam, seperti lautan dan langit. Cimbalo menemukan
bahwa anak-anak menganggap warna biru sebagai warna kebahagiaan (Psychological
Properties Of Colours, n.d.; Rider 2009).
Warna hijau diasosiasikan dengan keseimbangan dan harmoni. Selain itu,
Cimbalo juga mengatakan bahwa hijau juga memuat unsur kebahagiaan, penyegaran
dan peremajaan, kecintaan dan hubungan manusia dengan alam, kepekaan terhadap
alam, istirahat, dan kedamaian (Psychological Properties Of Colours, n.d.; Rider
2009).
Warna primer yang terakhir adalah kuning. Warna ini berkaitan dengan aspek
emosional, seperti keceriaan, optimisme, kepercayaan diri, kekuatan emosional,
keramahan, dan kreatititas. Warna kuning mengingatkan pada matahari dan kehangatannya yang membawa kecerahan pada manusia. Berman menambahkan bahwa warna
kuning juga bisa memberikan ketenangan dan bisa menarik perhatian (Psychological
Properties Of Colours, n.d.; Rider 2009).
Warna oranye adalah kombinasi antara merah dan kuning sehingga oranye
turut mewarisi karakter dari kombinasi kedua warna primer tersebut. Cimbalo dan
Berman mengatakan bahwa oranye mewarisi kekuatan warna kuning sehingga juga
sekaligus merepresentasikan ketenangan fisik, kehangatan, ketercukupan kebutuhan
ragawi seperti makanan, dan keamanan. Warna oranye juga bisa meningkatkan nafsu
makan. Selain itu, oranye juga melambangkan kesenangan, gairah, dan sensualitas.
(Psychological Properties Of Colours, n.d.; Rider 2009).
Sementara. warna merah muda (pink) masih mengandung unsur merah walaupun sudah tercampur dengan putih. Hal ini menyebabkan warna merah muda turut
64
memuat kesan kualitas feminin, seperti merawat, hangat, cinta, seksualitas, dan pertahanan hidup spesies makhluk hidup. Namun, lemahnya warna merah dalam warna
merah muda membuatnya diasosiasikan dengan kelemahan fisik. (Psychological Properties Of Colours, n.d.).
Warna hitam diasosiasikan dengan kemewahan dan perlindungan. Selain itu,
hitam juga menunjukkan kestabilan, termasuk kestabilan emosi. Hitam juga menunjukkan soliditas dan keseriusan. Warna putih menunjukkan kebersihan, kejernihan,
dan kemurnian. Putih juga merepresentasikan kesederhanaan. Namun, putih juga
mengesankan adanya jarak (Psychological Properties Of Colours, n.d.).
Warna abu-abu menunjukkan kenetralan. Namun, karena posisinya yang tidak jelas di antara hitam ataupun putih membuatnya diasosiasikan dengan kurangnya
kepercayaan diri atau energi (Psychological Properties Of Colours, n.d.).
Warna cokelat menunjukkan keseriusan seperti yang dimiliki warna hitam.
Namun, hal ini lebih terkait dengan keseriusan dan kehangatan yang berkaitan dengan
alam. Warna ungu menunjukkan spiritualitas, kontemplasi, dan ketenangan.
(Psychological Properties Of Colours, n.d.).
Aplikasi Tiga Karakteristik Retorika Visual
Artifak komunikatif berupa lomba mendesain tong sampah menekankan pada
bagaimana penyediaan tong sampah besi oleh pelaku program dapat dihias atau
didesain oleh anak-anak Kampung Cipare sebagai salah satu target audiens program
sesuai dengan imajinasi mereka. Sistem simbol dalam karakteristik symbolic action
ditunjukkan melalui penggunaan sistem tanda (Smith, Moriarty, Kenney, dan
Barbatsis 2004: 144).
Anak-anak Kampung Cipare menggunakan simbol-simbol yang mampu
mereka pahami sesuai usia dan latar mereka. Desain tempat sampah difokuskan pada
penggunaan gambar, warna, dan kata-kata yang bertujuan untuk memotivasi mereka
membuang sampah ke tong-tong sampah tersebut. Kesesuaian antara simbol yang
mereka pergunakan dalam mendesain atau melukis tong sampah dengan objek-objek
imajinasi yang mampu mereka pahami pada usia mereka membuat makna pada sistem
simbol yang terdapat pada tong sampah dapat mereka pahami dengan mudah.
Sehingga, pesan untuk membuang sampah pada tong-tong besi berlukis tersebut dapat
tersampaikan pada anak-anak.
Strategi penyelenggaraan lomba desain tempat sampah menciptakan emosi
bahwa mereka harus memikirkan bagaimana desain terbaik menurut mereka yang
harus dituangkan pada tempat sampah. Mereka mempergunakan simbol-simbol yang
dekat dengan diri mereka sendiri yang berkaitan dengan fungsi tong sampah sebagai
tempat pembuangan sampah. Pada akhirnya, mereka terlibat langsung dengan simbolsimbol yang telah mereka buat atau dibuat oleh peserta lomba yang lain melalui sebuah
kompetisi (Smith, Moriarty, Kenney, dan Barbatsis 2004: 144). Mereka sama-sama
65
menyadari bahwa tujuan pembuatan desain tersebut adalah untuk mendorong mereka
agar membuang sampah pada tong-tong sampah tersebut.
Hal tersebut berkaitan dengan karakteristik human intervention pada
retorika visual. Anak-anak yang mengikuti lomba tersebut dapat merasa dekat
(proximity) dan merasa memiliki tempat sampah yang telah mereka desain. Pada saat
mereka melihat objek sampah yang mereka temui di rumah masing-masing atau di
jalan sekitar rumah mereka, mereka dapat mengasosiasikan dengan tempat sampah
yang telah mereka desain. Hal ini membuat mereka ingin membuang sampah ke
tempat sampah yang telah dilukis, terutama yang dilukis oleh mereka sendiri.
Selain itu, saat anak-anak Kampung Cipare yang akan menggunakan tempat
sampah juga sekaligus sebagai perancang pesan visual tempat sampah tersebut. Hal
tersebut menguatkan karakter presence of audience pada artifak ini. Pada saat melukis
tempat sampah selama lomba, mereka juga mempertimbangkan bagaimana
penerimaan orang lain yang akan menilai hasil desain mereka, sekaligus
memperkirakan penerimaan orang lain yang melihat desain tempat sampah tersebut.
Hal ini mampu mempersuasi mereka untuk membuang sampah pada tong sampah
yang telah dilukis (Smith, Moriarty, Kenney, dan Barbatsis 2004: 144).
Nature of the Image
Aspek nature of the image digunakan untuk mendeskripsikan artifak
komunikasi. Nature of the image memiliki dua fokus sub-aspek yaitu presented
elements dan suggested elements. Presented elements mengacu pada identitas fisik
artifak komunikatif. Identitas fisik ini dapat terdiri dari material tong sampah yang
terbuat dari besi, serta penggunaan cat sebagai sarana melukis atau menggambar objek
visual pada tong sampah.
Selain itu, presented elements lainnya juga dilihat dari volume tempat sampah sebesar 100 liter. Tong sampah tersebut berukuran setinggi 42 sentimeter dengan
diameter 58 sentimeter. Bagi anak-anak, ukuran tersebut tergolong mampu menampung sampah harian yang rumah mereka hasilkan. Tong sampah seberat 9-10 kilogram
dipasang secara permanen dan tidak dapat dipindahkan pada sejumlah titik yang telah
diperhitungkan.
Pemasangan permanen tersebut juga disebabkan karena penyelenggara program telah memetakan lokasi-lokasi tertentu yang tepat dan reliabel untuk meletakkan
tempat sampah. Anak-anak Kampung Cipare mampu mengetahui dan menghafal dimana saja kah tong-tong besi tersebut diletakkan. Pada akhirnya, mereka memiliki
kecenderungan untuk membuang sampah pada tong yang lokasinya dekat dengan rumah mereka.
Namun, terkadang mereka juga mengunjungi tempat sampah pada lokasi
yang jauh karena tong sampah tersebut adalah hasil desain mereka pada saat perlombaan. Hal ini menunjukkan bahwa suggested element juga berperan dalam memper66
suasi mereka untuk membuang sampah pada tong-tong tersebut. Smith, Moriarty,
Kenney, dan Barbatsis (2004: 146-147) menggambarkan suggested element sebagai ide
-ide yang mempermudah penerimaan pesan. Dalam hal ini, sosok tong sampah yang
memiliki kedekatan dengan anak-anak Kampung Cipare.
Kedua sub-aspek pada aspek nature of the image membuat anak-anak merasa
dekat dengan tong sampah lukis. Namun, kedua sub-aspek tersebut bekerja dengan
cara berbeda. Sub aspek presented elements bekerja dengan cara membuat objek tempat sampah lukis dekat secara spasial dengan tempat tinggal mereka ataupun
keberadaan mereka sehingga mampu membuat mereka membuang sampah secara
spontan. Sedangkan sub-aspek suggested element membuat anak-anak teringat bahwa masih ada tong sampah lukis lainnya di beberapa titik yang jauh dari lokasi rumah
mereka. Meskipun jauh, semua tempat sampah lukis tersebut tetap mereka rasa boleh
untuk mereka gunakan karena mereka juga turut berpartisipasi dalam menghiasnya
atau melukisnya.
Function of the Image
Aspek function of the image dilihat dari pemaknaan audiens dengan
mengabaikan maksud dari pembuat artifak (Smith, Moriarty, Kenney, dan Barbatsis
2004: 146-147). Oleh karenanya, teori persepsi dan retorika visual berpadu pada aspek
ini. Pada bagian ini, objek visual dilihat hanya berdasarkan pada respon psikologis
anak-anak sesuai dengan reaksi kerja otak mereka. Function of the image menekankan
pada bagaimana simbol dapat bekerja secara psikologis pada benak anak-anak
penerima pesan lomba tong sampah beserta produk tempat sampah lukis yang telah
selesai dibuat.
Visual image atau visual data pada tong sampah lukis bermacam-macam.
Salah satunya adalah visual image yang menunjukkan sosok beberapa manusia yang
sedang bergandengan tangan. Anak-anak mempersepsikan visual image tersebut sebagai bentuk kebersamaan. Rasa kebersamaan tersebut selanjutnya membuat mereka
berpikir bahwa mereka perlu saling mengajak dan mengingatkan teman atau tetangga
mereka agar juga membuang sampah pada tong sampah lukis tersebut. Bahkan, terkadang saat mengunjungi tong sampah yang berlokasi jauh, mereka saling mengajak satu
sama lain. Aktivitas membuang sampah menjadi aktivitas bermain yang menyenangkan.
Visual data yang lain adalah sebuah bentuk yang mereka maknai sebagai matahari dengan warna dasar putih dengan dikelilingi cahaya kuning. Di tengah-tengah
matahari berwarna putih tersebut terdapat objek visual berwarna hitam dengan bentuk menyerupai manusia yang sedang membuang sampah. Anak-anak Kampung Cipare memiliki persepsi bahwa matahari berwarna putih tersebut sebagai kondisi siang
hari. Warna putih dengan semburat kuning menunjukkan bahwa sinar matahari sangat terang sehingga hal ini mereka persepsikan dengan waktu siang hari yang sangat
67
cerah. Selanjutnya, objek visual berwarna hitam mereka persepsikan sebagai manusia
yang sedang membuang sampah pada siang hari yang cerah.
Anak lainnya lebih fokus pada objek visual berupa gambar gunung dengan
warna hijau tua. Warna hijau dianggap sebagai warna yang bagus untuk dilihat pada
tong sampah. Saat diminta untuk menjelaskan, dirinya beranggapakan bahwa negara
Indonesia juga berwarna hijau jika dilihat dari ketinggian tertentu. Hal ini pernah dia
saksikan pada gambar peta ataupun pencitraan lainnya.
Hal ini sesuai dengan bagaimana warna turut dimaknai dan dipersepsikan berdasarkan pengalaman visual (Kolenda, 2016; Psychological Properties Of Colours,
n.d.). Pada tahapan ini, otak seseorang telah terbiasa mengasosiasikan warna hijau
dengan warna alam Indonesia yang selanjutnya dapat dia ingat melalui warna hijau tua
pada gambar gunung di tong sampah lukis.
Visual image lainnya adalah gambar bunga berwarna merah muda. Objek ini
dipersepsikan sebagai sosok yang memperindah. Selanjutnya, bunga yang mampu
memperindah tersebut dipersepsikan dengan harapan tentang bagaimana kebersihan
dan kemauan mereka membuang sampah pada tong sampah lukis dapat menumbuhkan keindahan, baik dalam bentuk bunga maupun kebersihan lingkungan.
Anak-anak juga melihat objek lain seperti bunga, bebek, bola dunia, atau objek
berbentuk segitiga berwarna merah dan biru. Mereka juga melihat warna lainnya, seperti warna orens. Namun, untuk objek-objek visual tersebut, mereka belum mampu
menjelaskan secara jelas mengapa mereka menyukai objek-objek tersebut. Persepsi
dominan yang mereka dapatkan adalah objek-objek dan warna-warna tersebut bagus
dan lucu, namun tidak mampu mengaitkan dengan pengalaman maupun kultur. Meskipun demikian, hal tersebut tetap membuat mereka terikat dekat dengan tong sampah lukis yang memuat gambar-gambar, bentuk, dan warna-warna tersebut.
Penutup
Persepsi atas retorika visual yang dimiliki oleh anak-anak Kampung Cipare dalam memaknai tong sampah lukis dan lomba mendesain tong sampah tidak memiliki
variasai yang timpang. Pergaulan yang erat dengan latar belakang usia dan kultur yang
sama membuat mereka memiliki persepsi yang secara umum hampir seragam pada
tong sampah lukis dan perubahan aktivitas membuang sampah pada tong sampah lukis
tersebut.
Unsur kedekatan menjadi persepsi dominan yang mereka miliki atas
keberadaan artifak lomba desain tempat sampah beserta produk yang dihasilkan. Unsur kedekatan atau perasaan memiliki dan rasa dekat dengan tong-tong sampah lukis
tersebut beroperasi melalui beberapa bagian, yakni (1) Penggunaan tiga karakteristik
retorika visual (symbolic action, human intervention, dan presence of audience), serta
(2) Aspek nature of the image.
Sementara aspek ke-dua berupa function of the image memungkinkan anak68
anak mempersepsikan secara bebas bagaimana mereka memaknai tempat sampah tersebut tanpa mempertimbangkan bahwa mereka juga terlibat dalam pembuatannya.
Hal ini pada akhirnya menunjukkan bahwa pengalaman dan kultur anak-anak Kampung Cipare tidak terpaku pada warna-warna primer.
DAFTAR PUSTAKA
Almaskaty, Habib. (2016). Gerakan Anak Muda, Media Sosial dan Permasalahan Lingkungan. Diakses pad a 30 Juli 2020 melalui https://
www.mongabay.co.id/2016/01/06/gerakan-anak-muda-media-sosial-danpermasalahan-lingkungan/.
Badan Pusat Statistik. (2019). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2019. Jakarta:
Badan Pusat Statistik.
Fajar, Jay. (2019). Hari Lingkungan Hidup 2019: 13 Fakta Pencemaran Udara Global
yang Mengkhawatirkan. Diakses pada 30 Juli 2020 melalui https://
www.mongabay.co.id/2019/06/06/hari-lingkungan-hidup-2019-13-faktapencemaran-udara-global-yang-mengkhawatirkan/.
Fajrian. (2019). Infografis: Sampah Plastik Indonesia dalam Angka. Diakses pada 30
Juli 2020 melalui https://www.cnnindonesia.com/gaya hidup/20190629110309-287-407543/infografis-sampah-plastik-indonesiadalam-angka.
Flor, Alexander G. (2004). Principles, Approaches and Strategies of Communication
Applied to Environmental Management. Quezon: UP Open University.
Greenpeace Indonesia. (2020). Tantangan Kita Bersama di Tahun 2020. Diakses pada
30 Juli 2020 melalui https://www.greenpeace.org/indonesia/cerita/4544/
tantangan-kita-bersama-di-tahun-2020/.
Harisah, A., & Masiming, Z. (2008). Persepsi Manusia Terhadap Tanda, Simbol, dan
Spasial. SMARTek, 6 (1).
Hendrikus, Dori Wuwur. (1991). Retorika: Terampil Berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi, Bernegosiasi. Yogyakarta: Kanisius.
Indonesia.go.id. (2019). Menenggelamkan Pembuang Sampah Plastik di Laut. Diakses
pada 30 Juli 2020 melalui https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalamangka/sosial/menenggelamkan-pembuang-sampah-plastik-di-laut.
Jangan Menimbun Kaleng Bekas di dalam Tanah. (2011). Diakses pada 30 Juli 2020
melalui https://health.detik.com/ulasan-khas/d-1539725/jangan-menimbunkaleng-bekas-di-dalam-tanah.
Kolenda, Nick. (2016). The Psychology of Color. Diakses pada 30 Juli 2020 melalui
https://www.nickkolenda.com/color-psychology/.
Lu, X., Suryanarayan, P., Adams, Jr., Li, J., Newman, M. G., dan Wang, J. Z. (2012). On
Shape and the Computability of Emotions. Prosiding 20th ACM International
69