Academia.eduAcademia.edu

Aku Bersembunyi di Dalam Terang

I. MENCINTAI DAN MERAIH DUNIA BENDA 1. Bapa:

AKU BERSEMBUNYI DI DALAM TERANG (Sebuah bahan perenungan untuk menemukan dan mengenal hakekat Aku) Tidak dimaksud untuk keperluan masyarakat umum Kata Pengantar 1. Untuk Siapa Buku ini ditulis 2. Sebuah bahan perenungan 3. Pengetahuan Luhur 4. Bagaiman membaca buku ini 5. Cara menyampaikan bahan perenungan 6. Harapan dan Rasa Syukur Penulis Bab: I. KEBIMBANGAN DAN USAHA SIA-SIA 1. Mencintai dan meraih dunia benda 2. Belajar dan mempelajari - Mempelajari ilmu pengetahuan - Mempelajari Filsafat - Mempelajari ilmu Ketuhanan - Mempelajari Ilmu Kebathinan 1 - Mempelajari Ilmu Tenaga Gaib 3. Membenci dan menolak dunia benda Bab: II. PENELITIAN PEMUNCAKAN AKAL DAN PERENUNGAN MELALUI 1. Ketidak-tahuan (Kebodohan) 2. Kenyataan dan bukan Kenyataan 3. Hakekat :AKU” dan Kenyataan Esa 4. Benar dan Keliru 5. Hubungan saling bergantung dan tata susunan pikiran 6. Penderitaan dan Kebahagiaan 7. Hidup dan Mati 8. Jalan Kebangkitan dan usaha Penyelamatan sendiri 9. Siswa, guru, dan ajaran Bab: III. MENYELAMI SENDIRI PENGETAHUAN LUHUR 1. Kodrat peyelamatan diri 2. Disiplin dan pencapaian peyelamatan diri 3. Buah hasil penyelamatan diri 2 KATA PENGANTAR 1. Untuk siapa buku ini ditulis Tiada seorangpun akan memerlukan buku ini, jikalau tidak karena mereka yang merasa hidup tercekam oleh penderitaan didalam kehidupan duniawi ini. Dan lagi, tiada seorangpun akan memerlukan buku ini, jikalau tidak karena mereka yang hampir-hampir berputus-asa oleh sebab kegagalan usahanya yang bersungguh-sungguh didalam menemukan Kebenaran dan Kenyataan yang sungguh memberikan pembebasan kepada mereka dari beban penderitaan mereka. Untuk mereka itulah buku ini saya tulis, yaitu untuk mereka yang bertanya dan mencari dengan kesungguhan hati untuk dapat ”menemukan” jalan pembebadan dari penderitaan. Buku ini akan membantu mereka didalam memberikan jawaban atas apa yang sesungguhnya mereka tanyakan, dan memberikan petunjuk dan penerangan atas apa yang sesungguhnya mereka cari dan mereka perlukan. Buku ini bukan saya tulis untuk keperluan masyarakat umum yang tidak bertanya akan mencari Kebenaran dan Kenyataan; dan buku ini juga bukan saya tulis untuk mereka yang merasa dirinya telah mengetahui dan mengenali akan kebenaran dan kenyataan. Bagi mereka dari kedua golongan yang saya sebut terakhir ini, kiranya terbitnya buku ini tidak perlu menimbulkan kehebohan dan perdebatan yang tidak membawakan manfaat. Dan, barangkali adalah terlebih baik bagi mereka, jikalau buku ini 3 dikesampingkan saja, atau bahkan, dibuang saja, jikalau dipandang perlu, daripada hanya akan menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran dengan sia-sia untuk berdebat dan bersilat lidah. 2. Sebuah bahan perenungan Inilah sebuah buku bahan perenungan! Buku ini saya tulis hanyalah sebagai bahan perenungan sematamata, dan bukan merupakan buku pelajaran (text book) yang akan memberikan pelajaran tentang sesuatu ilmu, falsafat, credo, ataupun kepercayaan agama, Tidak! Buku ini hanyalah merupakan perwujudan dari pengutaraan pikiran semata-mata, yang tidak membawakan maksud, tujuan, cita-cita, ataupun keinginan untuk mengikat dan memaksakan seseorang untuk mau menerima dan mempercayainya. Buku ini hanyalah merupakan suatu daya upaya untuk melukiskan dan menggambarkan tentang hakekat Kebenaran dan kenyataan kepada para penanya dan pencari, yang tentunya buku ini bukanlah kebenaran dan kenyataan itu sendiri. Kebenaran dan kenyataan itu sendiri tidak dapat ditemukan di dalam buku ini! Sebagai sebuah buku bahan perenungan, maka buku ini adalah bagaikan jari tangan yang menunjuk, kearah mana para penanya dan pencari itu harus melihat dan menemukan sendiri kebenaran dan kenyataan itu. Dan jangan sampai keliru dengan 4 menganggap, bahwa jari tangan yang menunjuk itu adalah Kebenaran dan Kenyataan yang ditunjukkan itu sendiri. 3. Pengetahuan-luhur Buku ini akan menerangkan kepada para penanya dan pencari, mengenai Pengetahuan Luhur, yaitu Kebijaksanaan Luhur atau Keinsyafan Luhur; suatu Keinsyafan ilahiah yang tidak dapat dicapai melalui pikiran-berpikir (thinking mind) dan kecerdasan akal pikiran (intellectual mind). Pengetahuan Luhur didalam wujudnya sebagai suatu keinsyafan ilahiah tidak dapat ditemukan didalam dunia luar (external world), melainkan hanya dapat diselami sendiri atau direalisasi sendiri (self realized) didalam lubuk kesadaran yang paling dalam dan terahasiah. Pengetahuan Luhur adalah ”Keadaan” Esa yang menjadi ”awal” dan ”akhir” segala hal, dan sebagai ”tempat” yang membawakan kodrat (kuasa) untuk menghapuskan semua bentuk kebodohan, kesalahan, dan penderitaan manusia. Pengetahuan Luhur, itu hanya da[at dicapai oleh seseorang anak manusia sekarang dan disini, didalam keadaan hidup bertubuh ini, jikalau saja ia tahu dan menurut akan ”hukum” Pengetahuan Luhur, yaitu ”Hukum” ke-esaan. Oleh karena itu, maka mengerti dengan cara yang benar akan ”hukum” itu akan merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk mempersiapakan diri didalam menyelami kodrat Pengetahuan Luhur 5 4. Bagaimana Membaca Buku Ini. Sudah dijelaskan, bahwa Pengetahuan Luhur itu adalah Keinsyafan Ilahiah yang tidak dapat ditemukan didalam dunia luar, melainkan hanya dapat diselami sendiri oleh seseorang anak manusia didalam lubuk kesadarannya yang paling dalam dan terrahasia. Ini berarti, bahwa didunia luar tidak terdapat “contoh” yang dapat menyamai Pengetahuan Luhur. Buku bahan perenungan mengenai Pengetahuan Luhur ini disampaikan kepada para penanya dan pencari melalui pernyataan kata-kata yang sudah diberikan arti-arti tertentu, dimana kata-kata itu sendiri didalam kodratnya adalah merupakan bagian daripada dunia luar sama seperti halnya bendabenda dan obyek-obyek lahiriah lainnya. Karena demikian, maka dengan kata-kata yang berkodrat dunia luar itu seseorang tidak akan dapat mencapai Pengetahuan Luhur yang bukan berkodrat dunia luar. Oleh karena itu, maka didalam membaca buku bahan perenungan ini hendaknya para penanya dan pencari tidak melibatkan diri dalam menganalisa Pengetahuan Luhur melalui pengertian harfiah daripada katakata yang digunakan. Sambil membaca apa yang tersurat didalam buku bahan perenungan ini, hendaknya para penanya dan pencari berusaha untuk berpikir sendiri dan merenungkan sendiri akan maksud dan artinya yang terkandung didalamnya, sehingga maknanya yang sejati dapat ditembusi dan terlihat dengan terang. 6 Membaca dengan teliti dan berulang-ulang, sambil menggunakan dan memuncakkan akal sehat yang bebas, akan sangat membantu para penanya dan pencari untuk dapat menyelami makna yang sejati, yang tersembunyi di balik kata-kata yang dipergunakan didalam buku ini. Ada satu hal yang sangat penting, yang perlu diketahui oleh para penanya dan pencari, jikalau ia ingin berhasil menyelami maknanya yang sejati daripada apa yang disuratkan didalam buku bahan perenungan ini! Yaitu, hendaknya para penanya dan pencari tidak berbekal dengan konsepsikonsepsi, pendapatpendapat, faham-faham, dan kepercayaan-kepercayaan yang bukan berasal dari pemikiran sendiri (yang mungkin telah menjadi kebiasaan yang berurat dan berakar turun temurun dari sejak zaman nenek moyang), untuk dipertentangkan dengan bahan perenungan ini. Untuk sementara lepaskanlah itu semua dari ingatan, dan mulailah untuk berpikir sendiri yang sehat dan bebas tanpa prasangka, dan hanya akan berusaha untuk mengerti akan apa yang dimaksudkan oleh penulis bahan perenungan ini dengan tidak disertai “pro” atau “kontra” lebih dahulu. Sebab, pro dan kontra (setuju atau tidak setuju), tanpa mengerti dengan sungguhsungguh lebih dahulu, itu adalah menyesatkan. 5. Cara menyampaikan bahan perenungan Cara (methode) yang dipergunakan didalam menyampaikan bahan perenungan ini kepada para penanya dan pencari adalah 7 cara Tanya jawab (dialogue) dengan mempergunakan kata-kata sehari-hari yang mudah dimengerti dan yang mudah dikenal. Methode Tanya jawab ini mengarahkan kepada manfaat ganda bagi para penanya dan pencari Kebenaran fan Kenyataan, yaitu: Ke-1. Kepada para penanya dan pencari diberikan kebebasan untuk menyatakan pikiran dan pengalamannya sendiri secara terus terang dan terbuka, dan diberikan kesempatan untuk menanyakan apa saja yang ditanyakan oleh para penanya dan pencari, tidak diberikan jawabanya secara langsung, melainkan kepadanya justru diajukan pertanyaan-pertanyaan kembali, sedemikian rupa, sehingga dari jawabannya sendiri itu, maka para penanya dan pencari akan memperoleh jawaban yang pasti dan meyakinkan atas apa yang ditanyakannya. Dengan cara demikian, maka apa yang di tanyakannya, akan di jawabnya sendiri secara tidak langsung. Cara ini adalah suatu cara untuk melatih para penanya dan pencari untuk berpikir sendiri dengan akal yang sehat dan bebas, dan tidak biasa menyerah dan percaya begitu saja atas segala bentuk ajaran dan pendirian yang disampaikan oleh orang lain. Ke-2. Dengan pertanyaan-pertanyaan kembali yang diajukan kepada para penanya dan pencari itu, maka mereka akan dapat mencapai pengertian-pengertian yang diusahakan dan digalinya 8 sendiri, dan perlahan-lahan akan “ditarik” keatas sampai dapat mencapai pengertian-pengertian yang lebih luhur, dan yang akhirnya akan dapat menemukannya sendiri apa yang sebetulnya mereka cari dan mereka perlukan. Cara ini adalah cara untuk memupuk kepercayaan pada diri sendiri, disamping memupuk kebiasaan untuk menghindar dari kepercayaan yang membuta tulikan dan bersifat takhayul. 6. Harapan dan rasa syukur penulis Buah hasil yang akan dicapai oleh para penanya dan pencari dari buku bahan perenungan ini adalah pengertian benar, yaitu pengertian yang diperoleh karena berpikir sendiri secara bebas melalui akal sehat yang dipuncakkan. Dengan pengertian benar itu, saya berharap para penanya dan pencari Kebenaran dan Kenyataan akan mempunyai keyakinan yang mantap dan tekad yang kuat untuk merealisasi sendiri denga suka rela kodrat Pengetahuan Luhur yang bersemayam didalam lubuk kesadarannya yang paling dalam dan teramat rahasia. Sebagai akhir kata pengantar ini, saya menyatakan rasa syukur dan terimakasih saya yang sedalam-dalamnya kepada semua kawan-kawan baik saya yang rasanya tak mungkin dapat saya sebutkan namanya satu demi satu, yaitu kawan-kawan baik yang telah bersedia mengorbankan apa saja yang ada pada mereka untuk dapat mewujudkan terbitnya buku bahan perenungan ini,, sehingga pada akhirnya bisa sampai di tangan para penanya dan 9 pencari kebenaran dan kenyataan yang bersungguh-sungguh hati. Berbahagialah mereka yang mempunyai cukup kekuatan kemauan untuk merealisasikan sendiri kodrat kenyataan pengetahuan luhur, karena disitulah “tempat” kebahagiaan melimpah-limpah tanpa kekurangan apapun, dimana segala kesalahan, kekuarangan, cacat cela, dan penderitaan manusia terhapus. SEMOGA!!! 10 BAB I KEBIMBANGAN DAN USAHA SIA-SIA Demikian inilah yang kudenger sendiri! Suatu percakapan asyik dan bersungguh-sungguh, didalam nada dan gaya persaudaraan yang sangat akrab, bebas, dan bersahabat telah terjadi diantara dua orang. Tampaknya, mereka sedang mempercakapkan tentang Pengetahuan Luhur, yaitu Kebenaran dan Kenyataan yang tidak dapat dijangkau oleh kecerdasan pikir berpikir dan para pujangga. Seorang diantaranya, menilik akan corak dan caranya ia berbicara, tampaknya ia sangat jauh lebih muda didalam pengetahuan dan pengalamannya dibidang kerohanian, dibandingkan dengan seorang yang lain. Terdenger ia memanggil kepada yang lebih tua daripadanya itu dengan sebutan ”Bapa” sedangkan yang lebih tua itu memanggil ”Ananda” kepada yang muda. Rupanya, banyak hal yang telah mereka percakapkan sebelumnya, namun yang sangat jelas terdengar dari apa yang mereka percakapkan itu adalah demikian: 11 I. MENCINTAI DAN MERAIH DUNIA BENDA 1. Bapa: Ananda, dengan sesungguhnya aku berkata kepadamu, bahwa engkau dan aku ini sebetulnya adalah satu waris, dan satu keturunan, yaitu waris dan keturunan darah suci dan darah luhur yang sama. Oleh karena itu, Ananda, diantara engkau dan aku ini, tidak terdapat jurang perpisahan dan perbedaan. Pergaulan kita ini, Ananda, seharusnya berlandaskan kebebasan dan kesamaan; saling hormat menghormati, saling harga menghargai, dan saling bantu membantu didalam mengenapkan dan menyempurnakan tugas kewajiban kita masing-masing, yaitu tugas kewajiban yang telah diserahkan kepada kita masingmasing oleh pewaris kita yang sama itu. Maka karena itu, Ananda, cobalah engkau sekarang berusaha dengan sungguhsungguh untuk berbicara spontan, wajar, dan terus terang kepadaku, supaya aku dapat lebih mudah membantumu! Bukalah hatimu, Ananda, jangan ada lagi yang harus kau rahasiakan, walau hanya setitik! Ketahuilah, Ananda, bahwa keagungan dan kebenaran para suci dan para sempurna dari segala zaman, baik dahulu, sekarang, maupun yang akan dating, adalah justru terletak didalam wujud kesederhanaan, kewajaran, keterbukaan, dan keterus terangan mereka. Marilah, Ananda, teruskan cerita lelakon hidupmu itu dengan spontan, wajar, terus terang kepadaku! 12 2. Ananda: Aduh, Bapa……! (terdengerlah isak tangis Ananda, yang rupanya hatinya terharu dan kagum, karena mendengar perkataan nasehat Bapa yang begitu lemah lembut dan sabar…. Dan kemudian berkatalah ia pelahan-lahan kepada Bapa demikian) Bapa, aku merasa bersalah! Hatiku terharu, dan kagum mendenger perkataan nasehat Bapa yang begitu lemah lembut mengena itu. Rasanya Bapa telah dapat membaca dan mengetahui seluruh isi hatiku, bahwasanya aku ini adalah pembohong dan penipu diri sendiri dan suka menyimpan rahasia kebodohan dan kedunguan, sambil berlagak pinter dan bijak untuk menyombongkan kehormatan dan harga diri sendiri. Bapa, maafkanlah daku! 3, Bapa: Hah, sudahlah, Ananda, lupakan itu semua! Tenangkan hatimu, duduklah yang baik, dan teruskanlah cerita tentang lelakon hidupmu! 4. Ananda: Bapa, dengan terus terang aku katakan kepada Bapa, bahwa saat ini hatiku bimbang, ragu, dan takut menghadapi dunia keadaan dan dunia benda ini. Kebimbangan, keraguan, dan ketakutanku itulah Bapa yang menyebabkan aku sekarang jadi menderita! 5. Bapa: 13 Mengapa engkau harus takut kepada dunia benda ini, Ananda? Engkau telah takut kepada sesuatu yang tidak seharusnya engkau takuti! Apanya yang kau takuti, Ananda? 6. Ananda: Didalam kehidupan dunia ini aku menghendaki kepuasan dan kebahagiaan, Bapa, Artinya, aku menghendaki cukup sandang, cukup pangan, cukup tempat tinggal, cukup sehat, cukup terpandang didalam pergaulan, dan cukup akan alat-alat kesenangan dan hiburan. Tetapi, apa yang aku kehendaki itu, Bapa, selalu tidak dapat memberikan kepuasan dengan tetap kepadaku. Sebagai contoh misalnya, kali ini aku menginginkan sebuah baju, dan atas usahaku, baju itu telah dapat ku peroleh. Untuk sementara waktu, memang baju itu dapat memberikan kepuasan kepadaku. Namun sesudah itu, baju itu tidak dapat lagi memberikan kepuasan kepadaku, karena ia ternyata telah berubah menjadi lusuh, tua, sehingga membosankan daku. Lalu inginlah aku akan baju yang lain. Maka demikian itu pulalah sifatnya baju yang lain itu! Ia segera berubah, dan menyebabkan aku menjadi bosan lagi. Seperti itu pulalah halnya dengan kebutuhan-kebutuhanku yang lain. Pangan, tempat tinggal, kesehatan, pergaulan, dan alat-alat hiburan, kesemunya itu selalu serba berubah, sehingga tidak lagi 14 mampu memberikan kepuasan dan kesenangan kepadaku dengan tetap. Pendek kata, Bapa, dunia benda ini ternyata tidak bersedia memberikan kepuasan dan kesenangan kepadaku dengan tetap, karena sifatnya yang selalu bergerak dan berubah. Celakalah aku ini, Bapa! Disatu pihak, aku membutuhkan dan menginginkan benda-benda didunia ini untuk dapat memenuhi kesenangan dan kepuasanku untuk hidup, dan rasanya ingin aku mempertahankannya supaya ia tetap memberikan kesenangan dan kepuasan itu tidak dapat aku pertahankan dengan tetap, karena benda-benda itu segera berubah dengan serta merta. Aku takut kehilangan kesenangan dan kepuasan akan bendabenda di dunia ini, namun benda-benda itu telah memaksa aku dengan cara diam-diam untuk melenyapkan kesenangan dan kepuasanku. Aku bimbang, ragu, dan takut menghadapi dunia benda ini, Bapa, sehingga aku menjadi menderita karenanya. Banyak hal telah kucoba untuk menghentikan penderitaanku ini, namun rasanya segala usahaku itu telah gagal dan sia-sia belaka. Itulah sebabnya, mengapa sekarang ini aku datang kepada Bapa untuk bertanya dan mencari akan jalan keluarnya. 15 Tolonglah, Bapa, limpahkanlah belas kasihan dan kasih sayangmu kepadaku, dan tunjukkanlah kepadaku akan jalan keluar yang dapat menghentikan penderitaanku ini! 7. Bapa: Baik, baik, Ananda, Baik! Cobalah sekarang pusatkan perhatianmu, bahwa pada saat ini hatimu bimbang, ragu, dan takut menghadapi dunia keadaan atau dunia benda ini. Dan lagi, engkau telah menyatakan, bahwa banyak hal telah kau coba untuk menghentikan penderitaanmu, namun segala usahamu telah gagal dan sia-sia. Nah, sekarang coba terangkan kepadaku, Ananda, apakah yang pertamatama telah kau coba untuk menghentikan penderitaanmu itu? 8. Ananda: Bapa, sebagai seorang manusia biasa yang hidup di dalama dunia keadaan ini, maka rasanya sudah selayaknya, jikalau aku harus berpikir, berbuat, dan berusaha untuk memperoleh bendabenda guna mempertahankan hidup di dunia ini. Barangkali hal seperti ini adalah merupakan hal yang sudah jamak dan lumrah, karena faktanya, benda-benda memang sangat diperlukan didalam kehidupan ini. Begitulah didalam perjalanan hidupku ini, ada saatnya dimana aku telah meyakinkan diriku sendiri, bahwa dunia benda ini adalah tempatku hidup, dan adalah satu-satunya yang dapat memberikan kepuasan dan kebahagiaan kepadaku. 16 Mulailah aku mencintai dunia benda ini dengan penuh gairah dan semangat, dan benda-benda sebanyak-banyaknya, dengan suatu harapan, supaya didalam hidup ini aku tidak menderita sengsara. Siang dan malam, tiada henti-hentinya aku berpikir dan bekerja dengan tiada menghitung-hitung lagi akan waktu, tempat, dan keadaan tenagaku untuk dapat meraih benda-benda yang sangat menggairahkan hatiku itu. Bagaikan seorang pejaka yang gandrung dan jatuh cinta kepada seorang gadis cantik jelita, maka begitu itu pulalah halnya aku menjadi gandrung dan jatuh cinta kepada dunia benda ini. Dengan nafsuku yang bergejolak, mulailah aku meraih-raih, meraba-raba, mencumbu, dan merayu-rayu dunia benda ini, dengan penuh harapan, kiranya dunia benda, sang kekasih ini, dapat aku miliki secara pasti dan tetap, sehingga ia sudi memberi kepuasan dan kebahagiaan kepadaku. Tiba-tiba terperanjatlah aku, Bapa! Bagaikan bertepuk sebelah tangan! Cintaku kepada dunia benda ini tiada terbalas, karena ia memudar, dan meninggalkan aku dengan diam-diam! Ternyata, Bapa, dunia benda yang sangat aku gandrungi dan aku cintai itu tidak lain hanyalah penipu dan pemerdaya manusia belaka. Wataknya selalu bergerak berubah, susah dipegang dengan tetap, dan tidak sanggup diam, walau hanya sekejab. Tetapi, Bapa, meskipun aku sudah mengetahui, bahwa dunia benda ini adalah penipu dan pemerdaya manusia, mengapa aku 17 ini masih bersikeras untuk tetap mencintainya dan tak sanggup melupakannya? 9. Bapa: Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa dunia benda ini adalah penipu dan pemerdaya manusia, karena waktaknya yang selalu bergerak berubah, susah di pengang dengan tetap, dan tidak sanggup diam, walau hanya sekejab. Meskipun demikian, demikian katamu, engkau masih tetap bersikeras untuk tetap mencintainya dan tak sanggup melupakannya. Dalam keadaan yang demikian itu, lalu apa yang telah kau lakukan Ananda? 10. Ananda: Pada waktu aku berada dalam keadaan seperti itu, Bapa, maka pada waktu itu pernah terlintas didalam pikiranku suatu pemikiran demikian: ”seandainya aku dapat mengetahui dari manakah ”ASALNYA” dunia benda ini, dan seandainya aku dapat mengetahui akan ”RAHASIA” kelemahan dan kekuatannya, maka akan mungkin sekali aku dapat menudukkan dan menjinakkan dunia benda ini, sehingga mau tak mau ia akan bersedia untuk memberikan kepuasan dan kebahagiaan kepadaku secara tetap dan pasti!” Dan pada waktu itu terpikir pula suatu pertanyaan didalam pikiranku demikian: “Tetapi, bagaimanakah caranya untuk dapat mengetahui akan asal mula dan rahasia dunia benda ini? 18 Ooo..., inilah jawabanya, pikirku: Aku harus bertanya, dan belajar lebih dahulu kepada seorang guru!” Maka setelah jawab itu membuat pikiranku mantap, bertekadlah aku mencari seorang guru untuk maksud belajar kepadanya. 19 2. BELAJAR DAN MEMPELAJARI 11. Bapa: Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa untuk dapat mengetahui akan asal mula dan rahasianya dunia benda ini, maka engkau harus belajar kepada seoarang guru. Coba terangkanlah kepadaku, apakah yang pertama-tama kau pelajari Ananda? 12. Ananda: Aku telah belajar dan memperlajari ilmu pengetahuan Bapa. Bertahuntahun aku telah belajar dan mempelajari ilmu pengetahuan eksakta, maupun apa yang dinamakan ilmu pengatahuan sosial. 13. Bapa: Ananda, dapatkah engkau menerangkan kepadaku, apakah yang dikatakan oleh ilmu pengetahuan tentang asal mula dan rahasia dari pada dunia benda ini? 14. Anda: Setelah bertahun-tahun belajar dan memepelajari ilmu pengetahuan, Bapa, maka ternyata, bahwa ilmu pengetahuan tidak memberikan jawab dan petunjuk apapun mengenai apa yang ku tanya dan ku cari, yaitu mengenai asal mula dan rahasia daripada dunia benda ini. Ilmu pengetahuna hanyalah mempelajari gejala-gejala yang terdapat didalam dunia keadaan ini, yaitu gejala-gejala yang 20 dapat dilihat, di tanggapi, dan dirasakan, sebagai suatu data yang ”memang harus begitu, dan tidak bisa lain”. Bidang ilmu pengetahuan ternyata hanyalah berputar-putar saja dengan tidak dapat melampaui batas-batas sifat dan perwatakan daripada dunia benda itu sendiri. Dan bahkan, ilmu pengetahuan telah mengajak dan mendorongdorong aku untuk mengherani dan mentakjubi alam benda dengan segala kodrat gerak perubahannya itu sebagai sesuatu yang ajaib, dan wajib diterima dengan tidak perlu mengusut dan meneliti akan rahasia asal mulanya. Dengan menyadari, bahwa ilmu pengetahuan tidak akan pernah mampu mengungkapkan rahasia asal mula dunia benda yang telah membuat aku menderita ini, Bapa, maka dengan penuh rasa kecewa ilmu pengetahuan terpaksa aku tunggalkan tanpa memperoleh penghargaan apapun daripadanya, baik ijazah, ataupun gelar kesarjanaan, kecuali ”stempel” sebagai seorang yang bodoh dan tidak terpelajar, seperti adanya aku yang sekarang ini. 15. Bapa: Baiklah, Ananda, ilmu pengetahuan telah kau tinggalkan, karena ia tidak akan pernah mampu mengungkapkan rahasia asal mula dunia benda ini. Ilmu pengetahuan hanyalah mempelajari tentang gejala-gejala yang dapat dilihat, dirasakan, dan ditangani didalam dunia keadaan ini, sedang ia tidak akan pernah dapat mencapai apa yang ”berada” dibalik benda-benda dan keadaan ini. 21 Dan sesudah ilmu pengetahuan engkau tinggalkan, lalu apa yang kaulakukan, Ananda? 16. Ananda: Pendirianku masih tetap, Bapa! Dunia benda ini adalah dunia yang telah membuat aku menderita. Tetapi, sekiranya aku dapat mengetahui akan asal mula dan rahasia kekuatan dan kelemahannya, maka kemungkinan yntyk memperoleh kepuasan dan kebahagiaan dari dunia benda ini masih ada. Oleh karena itu, maka aku masih tetap ingin belajar asal mula dan rahasia dunia benda ini. Mulailah aku belajar lagi! Bukan belajar ilmu pengetahuan, Bapa, melainkan belajar filsafat, yaitu apa yang dibilang oleh sementara orang sebagai “ilmunya” ilmu-ilmu, atau pandangan yang menjadi pokok dasar ladangan ilmu-ilmu. 17. Bapa: Lalu apa yang diajarkan oleh filsafat kepadamu, Ananda? Dan apa pula yang kau peroleh dari ajaran filsafat itu? Coba, terangkanlah kepadaku! 18. Ananda: Ada berbagai-bagai aliran didalam ajaran filsafat yang diajarkan oleh para pujangga, Bapa! 22 Tetapi, bagaimanapun banyaknya aliran-aliran yang timbul dari ajaran filsafat itu, namun pangkal tolak semua ajaran filsafat itu adalah sama, yakni: Ke. 1. bahwa adanya sesuatu itu adalah karena adanya kegiatan (action) yang menimbulkan sebab akibat; dan oleh karenanya, maka tiap-tiap ajaran filsafat cenderung untuk mencari, menemukan, dan menerangkan tentang adanya “sebab pertama”; Ke.2. bahwa dengan adanya kegiatan yang menimbulkan sebab dan akibat, maka semua ajaran filsafat berlandaskan pengertian serba dua (dualistic) yang tunduk kepada hukum sebab akibat (Belanda: De Wet van Corsaak en Gevolg) 19. Bapa: Ananda, engkau telah mengatakan, bahwa dengan belajar dan mempelajari filsafat, bengkau berharap akan bisa mengungkapkan akan asal mula dan rahasia daripada dunia benda ini. Lalu, mengenai asal mulanya dunia benda ini, Ananda, apakah yang diajarkan oleh filsafat kepadamu? 20. Ananda: Sudah aku katakan kepada Bapa, bahwa cara berpikir para pujangga dengan filsafatnya itu adalah berlandasan kepada: - adanya “sebab pertama” berupa kegaiatan (action) yang menimbulkan sebab dan akibat; - pengertian tentang hal-hal yang serba dua (dualistic), yang tunduk kepda hukum sebab akibat; 23 Cara berpikir yang tersalur melalui pengertian dan uraian sebab akibat ini, Bapa, yang dikatakan oleh para pujangga sebagai ”berpikir logis” (logic thinking). Bapa, didalam hubungannya dengan menjelaskan mengenai asal mula terjadinya dunia benda itu, ada seorang pujangga yang menjelaskan demikia; - bahwa dunia keadaan ini terjadi karena adanya ”sebab pertama” (prima causa); - bahwa adanya “sebab pertama” itu adalah tanpa sebab, dan dinamakan zat-mula-mula-tanpa-sebab (causeless basic substance); - bahwa zat-mula-mula-tanpa-sebab itu sudah mengandung didalam dirinya “sebab gerak”; - bahwa “sebab gerak” itu sendiri tidak bergerak, namun mempunyai kuasa untuk menggerakkan zat-mula-mula-tanpasebab itu; Dikatakan selanjutnya oleh sang pujangga demikian: “Zat-mulamulatanpa-sebab itu selalu bergerak, karena di gerakkan oleh ‘sebab gerak’ yang tidak begerak, maka lalu terjadi unsur-unsur (elements) penyusun kepribadian dan dunia keadaan sekitarnya”. 21. Bapa: Lalu, bagaimanakan pendapatmu sendiri, Ananda, mengenai apa yang diajarkan oleh sang pujangga itu? 24 Dapatkah ajaran itu masuk di akalmu? Coba terangkan jawabanmu! 22. Ananda: Setelah lama sekali aku renung-renungkan dengan bepikir bebas dan menggunakan akal sehat, maka ternyata olehku, bahwa ajaran filsafat sang pujangga mengenai asal mula terjadinya dunia keadaan itu tampak tidak masuk akal, tidak logis, dan bersifat takhayul! 23. Bapa: Mengapa begitu, Ananda? Dan dimanakah letak keterangan yang kau anggap tidak masuk akal, dan tidak logis itu? 24. Ananda: Perihal terjadinya dunia keadaan, Bapa, sang mengyatakan, bahwasanya :sebab-pertama” itu ada. pujangga Dari penyataannya itu berarti bahawa “sebab” itu memang ada Tetapi dilain fihak, perihal adanya “sebab pertama” itu, menurut sang pujangga adalah tanpa sebab. Dari pernyataan itu berarti, bahwa “sebab” itu tidak ada. Dari kedua perangkat pernyataan perihal “sebab pertama” itu lalu dapat disimpulkan, bahwa menurut sang pujangga, ada itu sama dengan tidak ada. Ini adalah pernyataan yang tidak dapat masuk diakal, Bapa, Tidak Logis! 25 25. Bapa: Memang, Ananda, pernyataan yang menyatakan bahwa “ada” itu sama dengan “tidak-ada”, itu adalah pernyataan yang tidak logis! 26. Ananda: Dan lagi, Bapa, jikalau sang pujangga menyatakan bahwa adanya “sebab pertama” itu tanpa sebab, maka pernyataan itu akan berarti, bahwa dari tidak apa-apa lalu bisa timbul apa-apa. Pernyataan ini juga tidak masuk akal dan tidak logis! Sebab, sesuatu yang ada, itu pasti timbul dari sesuatu yang lain, yang memang sudah ada sebelumnya, tidak peduli bagaimanapin bentuk dan sifatnya. 27. Bapa: Tetapi, Ananda, bagaimanakah misalnya, jikalau ada orang menyatakan kepadamu, bahwa apa yang ”ada” itu timbul dari yang ”tidak”, dan yang ”tidak” itu adalah ”gaib”? 28. Ananda: Jikalau dinyatakan, bahwa yang ”ada” itu timbul dari yang ”gaib”, itu sama saja dengan menyatakan, bahwa yang ”ada” itu timbul dari apa yang ”ada”, dan bukannya yang ”ada: itu timbul dari apa yang ”tidak ada”. 29. Bapa: Lalu, Ananda, bagaimanakah pendapatmu tentang teori ”sebab gerak” yang di kemukakan oleh sang pujangga itu? 26 30. Ananda: Teori sang pujangga mengenai ”sebab gerak” itupun tidak masuk akal, dan tidak logis, Bapa! Disatu pihak, sang pujangga mengatakan, bahwa ”sebab gerak” itu ada di dalam zat mula-mula, dan ”sebab gerak” itu tiada bergerak. Dari pernyataan itu akan berarbti, bahwa disitu tidak ada gerak. Tetapi dilain pihak, sang pujangga mengatakan, bahwa ”sebab gerak” itu mempunyai kuasa untuk menggerakan zat mula-mula. Dari pernyataan itu akan berarti, bahwa disitu ada gerak yang menggerakkan. Mari kedua perangkat pernyataan sang pujangga perihal ”sebab garak” itu, maka dapat disimpulkan, bahwa sang pujangga menyatakan: gerak itu sama dengan tidak gerak. Pernyataan itu tidak dapat masuk diakal, dan tidak logis, Bapa! 31. Bapa: Setelah ternyata, bahwa ajaran filsafat itu tidak dapat masuk di akalmu, Ananda, lalu bagaimana sikapmu selanjutnya? 32. Ananda: Teori tentang ”sebab pertama”, Zat mula-mula tanpa sebab”, :sebab gerak”, ”ada” dan ”tidak ada” yang semuanya itu merupakan azas ajaran (doctrine) filsafat yang tidak dapat masuk diakalku, dan aku anggap berbau takhayul belaka, karena hanya 27 merupakan kepercayaan membuta tuli yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut akal sehat dan pemikiran bebas, maka dengan penuh kekecewaan terpaksa sang pujangga dengan ajaran filsafatnya itu harus aku tinggalkan. Dari ajaran filsafat aku tidak dapat memperoleh penghargaan apapun, dan aku tidak dapat dianggap sebagai murid yang setia bagi sang pujangga dan filsafat.. 33. Bapa: Engkau hendak mengetahui akan rahasia asal mula dunia benda ini dengan belajar dan mempelajari ajaran daripada para guru, Ananda, sedangkan ilmu pengetahuan dan ajaran filsafat telah endkau tinggalkan. Lalu apa yang kau lakukan selanjutnya sesudah itu, Ananda? 34. Ananda: Belajar dan mempelajari ajaran seorang guru untuk mengetahui akan asal mula daripada dunia benda ini masih tetap menjadi keyakinanku pada waktu itu, Bapa! Oleh karena itu, maka aku masih bertekad akan belajar lagi kepada seorang guru. Ada sementara orang yang pada waktu itu aku anggap mempunyai cukup pengetahuan, telah menyatakan kepadaku, bahwa dunia benda ini berasal mula dari Sang Pencipta, yaitu yang sudah sangat terkenal dengan sebutan: ALLAH, Tuhan yang Maha Esa. 28 Maka setelah saya menemukan seorang guru, yang menamakan dirinya sebagai ”guru agama”, mulailah aku belajar kepadanya mengenai ilmu Ke-Tuhanan. 35. Bapa: Perihal asal mula dari pada benda-benda ini, Anada, apakah yang dinyatakan oleh guru agama itu kapadamu? Coba terangkan kepadaku! 36. Ananda: Sang guru agama menyatakan kepadaku, Bapa, bahwa langit, bumi, dan segala isinya yang ada ini adalah ciptaan Allah, Tuhan yang Maha Esa. Jikalau Allah hendak menciptakan sesuatu, demikian kata sang guru, maka cukuplah ia berkata: “Jadilah! Maka segala sesuatu menjadi ada, dan terjadi dengan seketika”. Maka bertanyalah aku kepada sang guru tentang apa atau siapakah Allahm Tuhan yang Maha Esa itu. Pertanyaan ini aku ajukan kepada sang guru, sebab, jukalau memang benar, bahwa segala sesuatu yang ada ini berasal mula dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa, maka mengenal dengan sejela-jelasnya akan apa atau siapakah Allah itu sebetulnya, adalah merupakan langkah pertama yang paling penting. 37. Bapa: Lalu apa yang diterangkan oleh sang guru agama itu mengenai Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu, Ananda? 29 38. Ananda: Dikatakan oleh sang guru itu akan salah satu sifat daripada Allah itu demikian: “Tiada Tuhan yang lain, kecuali Allah; Allah itu Esa, artinya: satu dan sendiri, tiada kawan, sekutu, ataupun tandingan bagi Allah itu”. Atas jawaban itu, maka bertanyalah aku kepada sang guru: “Jikalau Allah itu satu dan sendiri, tiada kawan, sekutu, ataupun tandingan bagi Nya, lalu bagaimankah kedudukan Allah itu terhadap manusia dan segala ciptaan Nya yang lain-lain itu?” Kemudian sang guru agama menjawab: “Allah berkedudukan sebgai ‘yang menciptakan’, sedangkan manusia dan segala ciptaan Nya yang lain-lain itu berkedudukan sebgai ‘yang diciptakan’”. Atas jawaban itu, maka bertanyalah aku selanjutnya kepada sang guru: “Kalau demikian halnya, maka Allah bukanlah sendiri lagi, dan bukannya tiada tandingan lagi, sebab disamping ‘yang menciptakan’, disitu masih ada yang lain, yaitu ‘yang diciptakan’! bukankah ‘ang diciptakan’ itu lalu menjadi tandingan bagi Allah ‘yang menciptakan’ itu? Lalu bagaimankah mempertanggung jawabkan Ke-Esaan Allah itu, guru?” 39. Bapa: Kemudian, bagaiman cara sang guru mempertanggung jawabkan keterangan tentang Ke-Esaan Allah itu, Ananda? 30 40. Ananda: Sang guru agama itu tidak memberikan pertanggungan jawab apa-apa terhadap keterangan itu, Bapa, kecuali menghardik aku dengan mengatakan: “Pokoknya, didalam ajaran agama engkau harus percaya kepada apa yang sudah tersurat didalam Kitab Suci, dan jangan terlalu banyak bertanya yang bernadakan membantah dan tidak percaya!” Maka, terdiamlah aku sementara, karena hardikan itu. Tampaknya sang guru menjadi marah, karena kebingungannya tak dapat menjawab pertanyaanku itu. 41. Bapa: Apakah dengan hardikan itu engkau sudah tidak mengajukan pendapat ataupun mengajukan pertanyaan lagi, Ananda? 42. Ananda: Tidak, Bapa, dengan hardikan itu aku tidak merasa berkecil hati, dan aku masih mengajukan pertanyaan lagi, yang aku anggap sebagai suatu pertanyaan yang sangat penting dan mendasar. Bertanyalah aku kepada sang guru agama itu demikian: “guru, apakah Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu sungguh-sungguh ada? Jikalau Allah itu sungguh-sungguh ada maka dimanakah ‘singgasana-Nya’?” Pertanyaanku itu dijawab oleh sang guru: “Allah itu sungguh-sungguh ada! Allah itu Yang Awal, Yang Akhir, Yang Lahir, dan Yang Bathin, dan telah bersama engkau, dimana 31 saja engkau berada. Allah oti lebih dekat kepdamu daripada urat batang lehermu! Allah itu tidak dapat dilihat dengan mata, dan hanya dapat didekati melalui sembahyang, doa, dan permohonan !” 43. Bapa: Bagaimana, Ananda, puaskah engkau dengan jawaban sang guru itu? Coba terangkan jawabmu kepadaku! 44. Ananda: Belum, Bapa, aku belum puas dengan jawaban sang guru itu, karena aku belum dapat memahami apa yang ia maksudkan. Maka aku bertanya lagi kepada sang guru, sembil memberikan pendapatku demikian: “Jikalau Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu dinyatakan sebagai ‘ada’, guru, maka Allah itu adalah sesuatu keadaan. Dan sebagai suatu keadaan, maka tentunya Allah itu akan mempunyai sifat yang sama dengan ‘yang disiptakannya’. Padahal Allah itu, menurut guru, adalah berkedudukan sebgai ‘yang menciptakan’. Bagaimana jelasnya, guru?” “Pokoknya, kamu harus percaya kepada apa yang tersurat didalam Kitab Suci, bahwa Allah itu ‘ada’. Dan tentang bagaimana ‘ada-Nya’ Allah itu tidaklah perlu kamu persoalkan, Yang penting, kamu dekati Allah dengan sembahyang, doa, dan permohonan!” Tetapi, guru, demikian aku bertanya lagi, bagaimana mungkin aku 32 menyembah Allah (bersembahyang) dengan doa dan permohonan, selama aku belum dapat mengenali dengan jelas akan apa atau siapakah Allah itu, dan aku juga belum dapat mengenali dengan jelas akan dimana ‘singgasana Allah’ atau ; tempat beredaNya Allah’ itu? Bukankah bersembahyang, berdoa, dan memohon dengan cara yang serba tidak jelas itu akan menimbulkan kesalahankesalahan dan kesesatan? Menanggapi pertanyaan dan pendapatku ini, Bapa, rupanya sang guru agama itu menjadi sangat marah dan tersinggung, dan dianggapnya aku ini sebagai seorang pembantah. Ternyata, Bapa, bahwa sang guru agama itu tidak mampu memberikan petunjuk dan penerangan kepadaku akan hal yang sangat penting dan mendasar yang aku perlukan. Sang guru tidak mampu menerangkan kepadaku akan apa atau siapakah Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu sesungguhnya; dan ia pun tidak mempu menunjukkan kepadaku dengan cara yang dapat diterima oleh akal sehat dan meyakinkan tentang dimanakan ‘singgasana’ Allah itu, serta bagaimana cara mendekati dan menghadap kehadirat Allah itu. Karena alas an-alasan itulah, Bapa, maka sang guru agama dengan IlmuKe-Tuhanan-Nya itu terpaksa harus aku tinggalkan dengan penuh rasa kecewa dan tak puas. Dari ilmu Ke-Tuhanan itu aku tidak memperoleh penghargaan apapun, kecuali umpatan sebagai ‘anak stan’ yang terlaknat, dan sebagai seorang “atheis” yang tidak mau beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. 33 45. Bapa: Ya, ya, ya! Baiklah, Ananda, engkau telah berani berbicara spontan, wajar, dan terus terang menurut apa adanya kepadaku mengenai pengalaman hidupmu. Nah, lalu apa yang kau lakukan sesudah itu, Ananda? Masihkah engkau berusaha belajar lagi kepada seorang guru untuk dapat mengetahui akan asal mulanya sunia benda ini? 46. Ananda: Benar, Bapa, sesudah sang guru agama dengan ilmu KeTuhanan-nya itu aku tinggalkan tanpa memperoleh hasil apapun, maka mulailah aku belajar lagi kepada seorang guru yang lain. Waktu itu, aku mulai belajar Ilmu Kebathinan, Bapa! 47. Bapa: Mengenai asal mulanya dunia benda ini, Ananda, apakah yang diajarkan oleh ilmu Kebathinan kepadamu? 48. Ananda Sehubungan dengan asal mulanya dunia benda ini, Bapa, sang guru ilmu Kebathinan itu menyatakan, bahwa segala apa yang ada ini berasal dari Hidup. Maka bertanyalah aku kepada sang guru itu tentang apa atau siapakah Hidup itu, yang kemudian di jawabnya demikian: 34 “Hidup, itu adalah Roh Tuhan Yang Maha Esa, dan Hidup itu sendiri adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang mempunyai kuasa untuk menciptakan dan menghidupkan segala apa yang ada ini. Hidup itu satu atau tunggal; ada dimana-mana, dan meliputi seluruh alam yang tek terbatas ini. Hidup itu kekal selamalamanya, tidak pernah mati, tidak ada awalnya, dan tidak ada akhirnya. Hidup itu suci dan bersih dari nafsu”. Selanjutnya aku bertanya lagi kepada sang guru tentang dimanakah ”singgasana” Sang Hidup, yang dikatakannya sebagai mempunyai kuasa untuk menciptakan dan menghidupkan segala apa yang ada ini, dan aku tanyakan pula tentang cara untuk mendekati dan menghadapi kepada Sang Hidup itu. 49. Bapa Lalu, bagaimanakah penjelasannya mengenai ”singgasana” dan cara pendekatan kepada apa yang dinamakan sebagai Sang Hidup itu Ananda? 50. Ananda Mengenai ”singgasana” dan cara mendekati dan menghadap kepada Sang Hidup itu, maka sang guru ilmu Kebathinan itu menjelaskan kepdaku demikian: ”Hidup itu ”bersemayam” didalam hati (bathin) manusia. Dan oleh karena Hidup itu suci dan bersih dari nafsu , maka manusia yang hatinya suci dan bersih dari nafsu sajalah yang dapat ‘menenmukan’ dan menghadap Sang Hidup didalam 35 hatinya sendiri”. Dan kemudian daripada itu, Bapa, aku bertanya lagi kepada Sang Guru tentang apa yang harus aku lakukan, supaya hatiku (bathiniku) menjadi suci dan bersih dari nafsu, sehingga semungkinkan aku ‘menemukan’ dan menghadap Sang Hidup didalam hatiku sendiri. Maka jawablah oleh Sang Guru, bahwa aku harus mengusahakan dua hal yang sangat penting, Yaitu: - Pertama, bahwa didalam kehidupan sehari-hari, aku harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengendalikan hawa nafsu, dan - Kedua, bahwa pada malam hari, aku harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukan “meditasi” dengan duduk diam untuk mengosongkan pikiran. 51. Bapa: Lalu bagaimana, Ananda, apakah semua petunjuk sang gutu itu sudah kau jalankan? Apa yang kaulakukan untuk mengendalikan hawa nafsu, Ananda? 52. Ananda: Tentu saja semua petunjuk sang guru aku jalankan, Bapa, karena aku mempunyai niat dan tekad yang sungguh-sungguh untuk dapat “menemukan” dan menghadap Sang Hidup, yang dikatakan 36 oleh sang guru sebagai asal mula daripada segala hal yang ada ini. Didalam ajaran mengenalikan nafsu, maka kepadaku diwajibkan untuk berpikir, berbuat dan berbicara yang baik-baik saja, dan supaya dihindarkan yang buruk-buruk. Hal ini aku usahakan dengan sungguh-sungguh, penuh kesabaran, ketekunan, dan ketaatan, sesuai dengan petinjuk sang guru. Tetapi, Bapa, telah ternyata didalam praktek pelaksanaannya, ajaran pengendalian nafsu seperti yang di ajarkan oleh sang guru kebathinan itu amat sulit dijalankan, jikalau tidak hendak aku katakan sebagai tidak mungkin bisa dijalankan. 53. Bapa: Mengapa harus begitu, Ananda, coba jelaskan apa yang engkau maksud! 54. Ananda: Didalam praktek, Bapa, aku sudah berusaha berpikir tentang yang baikbaik menurut ukuran dan penilaianku sendiri, namun sementara dengan serta merta dan tidak aku sengaja, pikiranpikiran tentang yang buruk-buruk segera muncul didalam pikiranku. Hal semacam ini selalu tidak dapat ku hindari, Bapa, sebab aku tidak akan pernah berpikir tentang yang baik, jikalau aku tidak pernah berpikir tentang apa yang buruk. Pikiran-pikiran tentang yang baik dan yang buruk itu melulu muncul berganti-ganti didalam pikiranku dengan tidak dapat aku kendalikan. 37 Jadi, berpikir tentang yang baik-baik saja, itu rasanya tidak mungkin bisa dilakukan didalam praktek. Tentang kesulitan ini sudah aku kemukakan kepada sang guru, namun sang guru itu sendiri tidak mampu memberikan suatu cara, bagaimana supaya aku ini bisa berpikir tentang yang baikbaik saja. Sang guru hanya menyatakan kepadaku, supaya pikiran yang baik saja yang diwujudkan didalam perbuatan dan ucapan. Sedangkan pikiran yang buruk jangan diwujudkan didalam perbuatan dan ucapan. Bapa, mewujudkan perbuatan dan ucapan yang baik, itupun rasanya sulit dijalankan didalam praktek, jikalau tidak hendak aku katakan sebagai tidak mungkin dijalankan, selama tidak diketahui lebih dahulu akan apakah makna yang sebetulnya daripada ”baik” dan ”buruk” itu. 55. Bapa: Apakah yang dinyatakan oleh Ilmu Kebathinan ”perbuatan baik” dan ”perbuatan buruk” itu, Ananda? tentang 56. Ananda: Banyak keterangan yang diberikan oleh sang guru Kebathinan itu kepadaku mengenai penggolongan perbuatan, yaitu mana yang digolongkan sebagai ”perbuatan baik” dan mana yang digolongkan sebagai ”perbuatan buruk”. Namun dasar ukurannya yang dipakai didalam penggolongan itu tidak dapat diterima dengan meyakinkan oleh akal sehatku. 38 Sebab, fakta kehidupan ini menunjukka kepadaku, bahwa ”perbuatan baik” itu bisa berubah menjadi :perbuatan buruk”, dan sebaliknya, ”perbuatan buruk” itu bisa berubah menjadi ”perbuatan baik”. Tergantung kepada waktu, tempat dan keadaan. Pendek kata, ajaran pengendalian nafsu dengan mengendalikan nafsu dengan mengendalikan pikiran, perbuatan, dan ucapan, seperti yang diajarkan pleh sang guru ilmu Kebathinan itu tidak mungkin dijalankan didalam praktek, dan akan merupakan usaha yang sia-sia belaka. 57. Bapa: Bagaiman halnya dengan ”meditasi”, Ananda? Apakah yang di ajarkan oleh Ilmu Kebathinan kepadamu? 58. Ananda: Menurut sang guru, Bapa, ”meditasi” itu adalah duduk diam (still sitting), dan ”mengosongkan” pikiran. Dengan tata cara ”meditasi” yang telah ditunjukkan oleh sang guru kepadaku, tiap-tiap malam aku melakukan ”meditasi” dengan cara duduk diam. Dengan mengosongkan pikiran, demikian kata sang guru, maka seseorang akan mencapai hati (bathin) yang suci dan bersih dari nafsu, dan dengan cara demikian itu seseorang akan dapat ”menemukan” dan ”menghadap” kepada Hidup didalam hatinya. Tetapi, Bapa, usaha untuk mengosongkan pikiran dengan tata cara yang diajarkan oleh sang guru itu, kiranya sangat sulit dilakukan didalam praktek. 39 59. Bapa: Apa dan bagaimana kesulitannya, Ananda? Coba, terangkan pengalammu itu! 60. Ananda: Makin aku berusaha untuk mengosongkan pikiran, Bapa, maka aku memperoleh dua buah pengalaman yang tidak menguntungkan, yaitu: Pertama, pernah aku berusaha untuk tidak berpikir apa-apa, kecuali berpikir tentang ”kosongnya” pikiran saja, sambil menunggu-nunggu munculnya Sang Hidup. Dengan cara ini, pikiranku bukannya menjadi ”kosong”, malah justru sebaliknya, yaitu aku malah lebih banyak berpikir tentang Sang Hidup yang membayangkan begini dan begitu. Usaha ini ternyata hanya merupakan usaha yang sia-sia dan melelahkan. Pengalaman yang kedua ialah, bahwa pernah aku berusaha untuk melupakan pemikiran-pemikiran tentang apa-apa yang telah pernah terjadi didunia ini. Usaha ini ternyata telah membawa aku kedalam keadaan terlupa, dan akhirnya tertidur dan bermimpi tentang hal-hal yang anehaneh, tanpa berhasil untuk ”menemukan” sang hidup. Perihal kedua macam pengalaman ini pernah aku kemukakan kepada sang guru, Bapa, namun ia tidak memberikan petunjuk apa-apa, kecuali mengharapkan supaya aku terus berusaha, sambil :menemukan cara” sendiri 40 untuk ”mengosongkan” pikiran. 61. Bapa: Lalu, Ananda, apakah engkau sudah berhasil ”menemukan cara” sendiri untuk ”mengosongkan pikiran” itu? 62. Ananda: Tidak, Bapa, aku tidak pernah berhasil didalam menemukan cara untuk ”mengosongkan” pikiran itu! Karena telah ternyata, bahwa sang guru ilmu Kebathinan itu tidak mampu untuk memberikan petunjuk yang jelas yang dapat diterima oleh akal sehat, dan iapun tidak mampu memberikan bimbingan praktek ”pengendalian nafsu” dan ”meditasi” dengan cara yang meyakinkan, maka dengan penuh rasa kecewa dan tak puas sang guru terpaksa aku tinggalkan tanpa hasil apapun. Aku ternyata bukan murid yang baik untuk Ilmu Kebathinan. 63. Bapa: Dan sesudah ilmu Kebathinan engkau tinggalkan, Ananda, apakah yang kau usahakan? Masih belajar lagi kepada seorang guru-kah? 64. Ananda: Benar, Bapa, untuk dapat mengetahui akan asal mula saripada dunia benda ini, aku masih belajar kepada seorang guru yang lain lagi. Waktu itu aku belajar ilmu Tenaga Gaib. 65. Bapa: 41 Apakah yang di maksudkan dengan ilmu tenaga Gain itu, Ananda? Dan apa pula yang diajarkan oleh ilmu itu kepadamu? 66. Ananda: Ada seseorang yang mengatakan kepadaku, Bapa, bahwa dunia benda itu terjadi dan berasal dari tenaga Gaib, yaitu ”Gerak Sendirinya” yang berada diluar kemauan dan pengertian akal manusia. Namun demikian, begitulah kata orang itu, Tenaga Gaib itu dapat ”didatangkan” dengan penyerahan diri dan permohonan, sehingga dengan cara demikian, maka manusia akan memiliki ”mujijat” yang mengherankan dunia ini. Berdasarkan atas keterangan itulah, Bapa, maka mulailah aku belajar kepada seorang guru ilmu tenaga Gaib itu. Oleh sang guru diajarkan kepadaku tentang tata cara penyerahan diri dan memohon kepada Tenaga Gaib itu. Selanjutnya sang guru mengatakan, bahwa dengan mengambil sikap badan yang tertentu, dan mengucapkan didalam hati akan doa-doa tertentu, maka aku akan mengalami ”gerak sendirinya” yang membawakan ”mujijat”. Ini merupakan disiplin, dan harus dilatih terus menerus secara teratur, demikian kata sang guru. 67. Bapa: Lalu, apa hasilnya, Ananda? 42 68. Ananda: Menurut pengalaman didalam melakukan ”latihan gerak” itu, Bapa, maka ternyata, bahwa apa yang dinamakan ”gerak sendirinya” itu tidak lebih daripada gerak-gerak reflex yang timbul dari luapan-luapan rangsangan perasaan (emotional excitements), oleh sebab penggambaran-penggambaran khayal rekaanku sendiri. Dan ternyata, Bapa, bqhwa apa yang diajarkan oleh sang guru ilmu Tenaga Gaib itu tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang sedang kutanyakan dan kucari, yaitu tentang asal mula daripada dunia benda ini. Ilmu Tenagan Gaib yang di ajarkan oleh sang guru ternyata tidak dapat melampaui sifat dan perwatakan dunia benda itu sendiri, dan bahkan, sehariharinya sang guru hanya mengherani ”hasilhasil” duniawi yang di capai melalui apa yang dinamakan sebagai ”Latihan Gerak” itu, dan tidak putus-putusnya sang guru mengherani ”ilmunya” itu. Bagi sang guru ilmu tenaga Gaib, Bapa, asal mula dunia benda ini tidak dijadikan permasalahan, dan tetap merupakan rahasia yang tek terungkapkan; dan oleh karena itu ilmu Tenaga Gaib tidak berjalan selaras dengan apa yang hendak ku cari. Dan lagi, sang guru ilmu Tenaga Gaib yang sendirinya heran atas ”ilmunya” itu, hanyalah menunjukkan, bahwa sang gurutidak mempunyai pengetahuan yang benar, kecuali takhayul belaka. 43 Itulah sebabnya, mengapa sang guru ilmu Tenaga Gaib dengan segala ajarannya itu terpaksa aku tinggalkan dengan penuh rasa kecewa dan tak puas. 69. Bapa: Lalu, belajar dan berguru apa lagi, Ananda, setelah ilmu Tenaga Gaib engkau tinggalkan? 44 3. MEMBENCI DAN MENOLAK DUNIA BENDA 70. Ananda: Tidak, Bapa, sejak itu aku sudah tidak belajar dan berguru lagi. Aku sudah merasa puas dengan ketidak puasanku terhadap guru-guru dan ilmuilmu, karena tidak ada satupun diantara guruguru dan ilmu-ilmu itu yang sanggup menunjkkan kepadaku dengan cara yang dapat diterima oleh akal sehat dan menyakinkan akan asal mula dan rahasia daripada dunia benda yang sudah membuat akau menderita ini. Dengan rasa yang setengah putus asa, Bapa, pada waktu itu terpikirlah olehku, bahwa dunia benda ini sungguh-sungguh tidak layak untuk diraih dan disintai, bahkan, barang kali yang paling tepat menghadapi dunia benda ini adalah menolak dan membencinya! Pada waktu itu, Bapa, sudah tetaplah rasanya pendirianku, yaitu aku hendak mengacuhkan, membenci, dan menolak dunia benda ini. 71. Bapa: Coba, Ananda, terangkan kepadaku, bagaimana caramu mengacuhkan, membenci, dan menolak dunia benda ini! 72. Ananda: Pada waktu itu, Bapa, mulailah aku menyendiri, dan mengasingkan diri dari keramaian pergaulan masyarakat. Aku tidak melakukan pekerjaan apa-apa. 45 Aku mulai mengabaika makan, minum, pakaian, kebersihan, dan kesehatan tubuhku, bahkan, aku membenci tubuku sendiri, yang aku anggap sebagai ”sarang” tempatnya perasaan menderita karena dunia benda ini. Waktu itu aku berpikir, bahwa justru aku hidup bertubuh inilah yang menjadikan sebab, mengapa aku ini lalu bisa merasakan tak puas dan menderita. Maka sepintas telah terpikir olehku untuk melakukan bunuh diri sja dengan mengantungkan diri diatas pohon dengan tali pengikat pada leher. Namun, sebelum hal itu aku lakukan, masih sempat pula aku berpikir lagi demikian: Jikalau aku ini mati dengan bunuh diri, lalu siapakah yang bakal merasakan perasaan puas dan bahagia yang di cari-cari itu? Mungkinkah aku ini akan merasa puas dan bahagia disorga sesudah mati? Tetapi, sorga itu apa? Dan dimana? Akh, membingungkan! Sementara itu, Bapa, sebagai akibat daripada tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur, badanku menjadi lemas lunglai, tak berdaya apa-apa, jatuh sakit keras, dan akhirknya tidak sadar diri. Setelah ditolong oleh orang lain, dan sadar diri kembali, maka mulailah aku insyaf, bahwa mengacukan, menolak, dan membenci tubuh serta dunia benda ini bukannya memndatangkan kepuasan dan kebahagiaan, bahkan sebaliknya, 46 justru mendatangkan kesakitan dan penderitaan. Bapa, hatiku makin bimbang, ragu, dan takut tak terperikan menghadapi dunia benda ini. Tak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan sekarang, sebab segala usaha telah aku lakukan untuk berusaha menghentikan ketidak puasan dan penderitaanku ini. Tolonglah, Bapa, tnjukan jalan keluar kepadaku! 47 BAB II PENENLITIAN DAN PERENUNGAN MELALUI PEMUNCAKAN AKAL 1. KETIDAK TAHUAN (KEBODOHAN) 73. Bapa: Baik, baik, Ananda, baik! Sekarang, coba pusatkan perhatianmu, sambil dengarkan baikbaik akan apa yang aku katakan ini, karena aku hendak mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Dan cobalah engkau menjawab pertanyaanku ini dengan secara spontan, sederhana, dan wajar saja, dan jangan takut-takut salah! Ananda, coba katakanlah kepadaku, apakah yang menarik perhatianmu, tatkala engkau untuk pertama kalinya melihat, bertemu, dan berbicara dengan aku? 74. Ananda: Pada saat pertama kali aku berjumpa dan berbicara dengan Bapa, maka aku melihat sinar cahaya kemuliaan berwarna-warni yang memancar keluar dari seluruh kepribadian Bapa. Dari pandangan mata, ucapan kata-kata, gerakan tangan, dan mimik wajah Bapa telah memancar sinar sahaya yang menerangkan dan menenteramkan hati. 48 Melihat sinar cahaya itu, Bapa, hatiku menjadi tenteram, sehingga aku merasa senang dan berbahagia. 75. Bapa: Nah, Ananda, coba sekarang katakan kepadaku, apakah yang melihat, apakah yang menanggapi perasaan tenteram, dan siapakah yang mengalami perasaan senang itu? 76. Ananda: Bapa, begitu mataku melihat kepribadian Bapa, maka pikiranku menanggapi perasaan tenteram, dan kemudian aku mengalami perasaan senang. 77. Bapa: Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa begitu matamu melihat kepribadianku, maka pikirankmu menanggapi perasaan tenteram, dan kemudian engkau mengalami perasaan senang. Dari pernyataan itu, Ananda, maka mungkin bisa terjadi halyang sebaliknya, yaitu karena matamu melihat, pikiranmu menanggapi, maka engkau mengalami perasaan susah, Apakah begitu, Ananda? 78. Ananda: Benar, Bapa, memang demikian itulah, dan tidak bisa lain! Sebab, jikalau tidak karena mata melihat, dan pikiran menanggapi, maka tentunya aku tidak akan mengalami perasaan senang ataupun susah. 49 79.Bapa: Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa pada saat ini engkau sedang dalam keadaan menderita susah. Dan lagi, engkau telah menyatakan, bahwa engkau dapat mengalami susah itu adalah oleh matamu melihat, dan pikiranmu menanggapi. Seandainya, Ananda, engkau dapat mengetahui dan menguasai sumber yang memberikan penglihatan dan sumber yang menyebabkan pikiranmu menanggapi, maka dapat dipastikan, bahwa engkau akan dapat dengan mudah menghentikan kesusahanmu. Sebab, dengan tidak mengetahui sumber yang memberikan penglihatan, dan tidak mengetahui akan sumber yang menyebabkan pikiran menanggapi, maka engkau tidak mungkin dapat menghentikan kesusahan dan penderitaanmu. Hal ini, Ananda, dapat diperumpamakan dengan seorang tuan rumah yang disusahkan oleh tikus-tikus yang menggerogoti makanan dan merusak pakaiannya setiap malam dirumahnya. Kesusahan tuan rumah yang disebabkan oleh tikus-tilus itu akan dapat dihentikan, seandainya tuan rumah itu mengetahui akan tempat persembunyiannya tikus-tikus yang merugikan itu! Dan sekarang, Ananda, aku hendak bertanya kepadamu! Tahukah engkau, penglihatan itu? dimanakah sumber yang memberikan 50 80. Ananda: Aku tahu, Bapa, seperti halnya setiap orang pun juga tahu, bahwa sumber yang memberikan penglihatan itu adalah Mata. 81. Bapa: Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa sumber yang memberikan pengkihatan itu adalah mata. Dan sekarang, Ananda, tahukah engkau dimanakah beradanya mata itu? 82. Ananda: Sumber yang memberikan penglihatan adalah mata, dan mata itu berada pada pemukaan wjah, Bapa! 83. Bapa: Bagus, Ananda, mata berada pada permukaan wajah. Tetapi, Ananda, benarkah bahwa mata itu adalah sumber memberikan penglihatan? Jikalau benar demikian, maka aku hendak bertanya kepadamu, Anaada. Dengan mata yang terpejam, Ananda, terlihatkah kursi yang berada disudut kamar itu? 84. Ananda: Dengan mata terpejam, Bapa, tentu saja kursi yang berada disudut kamar itu tidak dapat terlihat. Sebab, yang memberikan 51 penglihatan itu bukanlah mata yang terpejam, melainkan mata yang terbuka. 85. Bapa: Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa mata yang terpejam tidak dapat memberikan penglihatan. Hanya mata penglihatan. yang terbukalah yang dapat memberikan Sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda! Seandainya, Ananda, ruangan dimana kita ini berada, aku tutup semua jendelajendela dan pintunya, dan aku padamkan semua lampu-lampu yang menyala itu, sehingga ruangan ini menjadi gelap gulita, maka dapatkah kursi itu terlihat oleh mata terbuka? 86. Bapa: Tentu saja tidak terlihat, Bapa! Salam keadaan gelap gulita yang tiada cahaya, kursi itu tiada terlihat oleh mata yang terbuka. Kalau demikian halnya, Bapa, maka yang dapat memberikan penglihatan itu adalah mata terbuka yang diberi syarat cahaya. 87. Bapa: Engkau telah meyatakan, Ananda, bahwa yang memberikan penglihatan itu adalah mata terbuka yang diberi syarat cahaya. 52 Jikalau benar demikian, Ananda, maka aku sekarang bertanya kepadamu! Bagaimanakah kiranya, jikalau engkau tertidur dengan matamu terbuka, sedangkan disitu semua lampu-lampu bersinar dengan cahayanya yang terang? Dapatkah mata itu memberikan penglihatan? 88. Ananda: Didalam keadaan tertidur, Bapa, maka mata yang terbuka tidak dapat memberikan penglihatan, meskipun disitu terdapat sinar lampu yang terang. 89. Bapa: Apa sebabnya demikian, Ananda? Coba terangkan jawabmu! 90. Ananda: Didalam keadaan tertidur, mata terbuka yang telah diberi syarat cahaya, tidak dapat memberikan penglihatan, karena didalam keadaan tertidur, pikiraku tidak menanggapi apa-apa. 91. Bapa. Kalau begitu, Ananda, lalu apakah yang memberikan penglihatan itu? Mata terbuka yang telah diberi syarat cahayakah? 92. Ananda: 53 Bukan, Bapa, mata terbuka yang telah diberi syarat cahaya tidak dapat memberikan penglihatan apa-apa. Yang dapat memberikan penglihatan adalah: mata terbuka yang telah diberi syarat cahaya, dan pikiran yang menanggapi! 93. Bapa: Baik, Ananda, engkau telah meyatakan, bahwa yang memberikan penglihatan itu adalah mata terbuka yang telah diberi syarat sahaya, dan pikiran menanggapi. Jadi, karena mata terbuka, dalam keadaan ada cahaya, dan pikiranmu menanggapi benda-benda, obyek-obyek, dan orangorang itu lalu terlihat. Nah, jikalau memang benar, Ananda, bahwa yang memberikan penglihatan itu adalah mata terbuka, yang diberi syarat adanya cahaya,dan pikiran menanggapi, maka sekarang coba pejamkan matamu! Apakah yang kau lihat, Ananda? 94. Ananda: Aku tidak dapat melihat apa-apa, kecuali gelap gulita yang hitam kelam itu, Bapa! 95. Bapa: Jadi, Ananda, didalam mata terpejam, dan disitu ada cahaya, meskipun benda-benda, obyek-obyek, dan orang-orang tidak dapat terlihat, namun gelap gulita ang hitam kelam itu masih dapat terlihat juga, bukan? 96. Ananda: 54 Benar, Bapa, gelap gulita yang hitam kelam itu dapat terlihat juga, meskipun mata dipejamkan, dan disitu ada cahaya. 97. Bapa: Kalau demikian halnya, Ananda, maka apakah sebetulnya yang memberikan itu? Mata kah? Cahaya kah? Atau pikiran menanggapi kah? 98. Ananda: Dari hasil penelitian itu tadi, Bapa, maka telah ternyata, bahwa yang memberikan penglihatan itu bukanlah mata, dan juga bukan cahaya, melainkan yang memberikan penglihatan itu adalah pikiranku yang menanggapi itu! 99. Bapa: Bail! Engkau telah menyatakan, bahwa yang memberikan penglihatan itu adalah pikiranmu yang menanggapi itu. Nah, jikalau memang benar, Ananda, bahwa yang memberikan penglihatan itu adalah pikiramu yang menanggapi itu, maka sekarang aku hendak bertanya kepadamu! Tahukah engkau, Ananda, dimanakah gerangan tempat beradanya pikiranmu yang menanggapi, yang dapat memberikan penglihatan itu? 100. Ananda: Bapa, kepribadianku unu terdiri dari tubuh dan pikiran, tubuhku dan pikiranku selalu bekerja sama dalam keselarasan, dan tak 55 dapat dipisahkan yang satu dari yang lain, karena faktanya, apa yang dirasakan oleh tubuhku, itulah yang di tanggapi oleh pikiranku. Atau sebaliknya, apa yang di tanggapi oleh pikiranku, itulah yang dirasakan oleh tubuhku. Oleh karena demikian, Bapa, maka pertanyaan tentang dimanakah tempat beradanya pikiranku yang menanggapi itu, dengan jelas dapat dijawab, bahwa pikiranku yang menanggapi itu berasda bersama-sama dengan tubuhku, dan tidak bisa lain! 101. Bapa: Baik, Ananda engkau telah menyatakan, bahwa pikiran-mu yang menanggapi itu berada bersama-sama dengan tubuhmu, karena tubuhmu dan pikiranmu itu selalu bekerja sama dalam keselarasan, dan tidak dapat dipisahkan yang satu dari yang lain. Ananda, apakah yang kaumaksudkan dengan ”bersama-sama” dengan tubuh itu? Berada dalam salah satu anggota tubuhkkah? Atau mungkin mungkin meliputi seluruh tubuhkah? 102. Ananda: Pikiranku yang menanggapi, dan yang memberikan penglihatan itu berada diotak didalam tubuhku, Bapa! 103. Bapa: Jikalau benar, Ananda, bahwa pikiranmu yang menanggapi, dan yang memberikan penglihatan itu berada di otak didalam 56 tubuhmu, maka dengan demikian tentunya pikiramu itu dapat melihat apa yang berada didalam tubuhmu. Isi perutmu, misalnya! Atau mungkin jantungmu! Bagaimana, Ananda, dapatkan pikiranmu itu melihat isi perutmu atau jantungmu? 104. Ananda: Faktanya tidak demikian, Bapa! Pikiranku tidak dapat melihat isi perutku ataupun jantungku yang berada didalam tubuhku. 105. Bapa: Kalau begitu Ananda, maka jelaslah, bahwa pikiramu itu tidak berada di otak, didalam tubuhmu! 106. Ananda: O, mungkin pikiranku yang menanggapi itu berada meliputi seluruh tubuhku, Bapa! 107. Bapa: Jikalau benar, Ananda, bahwa pikiranmu yang menanggapi itu berada meliputi seluruh tubuhmu, maka seandainya aku memukul kepalamu, niscaya kaki mu pun akan merasakan perasaan sakit! Dan lagi, seandainya benar, bahwa pikiranmu yang menanggapi itu berada meliputi seluruh tubuhmu, maka jikalau aku memukul salah satu anggota tubuhmu, seluruh tubuhmu akan merasakan perasaan sakit, dan engkau tidak 57 akan tahu bagian manakah dari tubuhmu yang aku pukul itu. Bagaimana, Ananda, apakah memang demikian itu faktanya? 108. Ananda: Tidak, Bapa, faktanya adalah tidak demikian! Kalau begitu, jelaslah, bahwa pikiranku yang menanggapi itu tidak berada meliputi tubuhku. Atau mungkin pikiraku yang menanggapi itu berada ”diantara” luar dan dalam daripada tubuhku, Bapa! 109. Bapa: Baiklah! Jikalau seandainya benar, Ananda, bahwa pikiramu yang menanggapi dan dapat memberikan penglihatan itu berada ”diantara” luar dan dalam daripada tubuhmu, maka aku hendak bertanya kepadamu! Kemanakah menghadapnya pikiranmu itu? Kearah luar tubuhkah, atau kearah dalam tubuh kah? Jikalau pikiramu itu menghadap kearah luar tubuhmu, maka pikiranmu itu tidak akan bisa melihat kaki ataupun tanganmu sendiri. Dan jikalau pikiranmu itu menghadap kearah dalam tubuhmu, maka pikiranmu itu akan dapat melihat apaapa yang berada didalam tubuhmu sendiri itu. Apakah memang demikian itu faktanya, Ananda? 110. Ananda: 58 Tidak, Bapa. Tetapi, Bapa, yang aku maksudkan dengan ”diantara” luar dan dalam daripada tubuhku, itu bukanlah didalam arti seperti itu. Yang aku maksudkan adalah, bahwa pikiranku yang menanggapi itu berada pada mata, dimana mata itu berada ”diantara: luar dan dalam daripada tubuhku. 111. Bapa: Baiklah! Jikalai benar, Ananda, bahwa pikiranmu yang menanggapi itu berada pada matamu, dan yang hal itu akan berarti berada ”diantara: luar dan dalam daripada tubuhmu, maka sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda! Jikalau seandainya aku mencubit pahamu, Ananda, maka tentunya pahamu tidak akan merasakan sakit apa-apa, sebab pikiramu yang menanggapi itu berada pada mata! Apakah memang begitu faktanya, Ananda? 112. Ananda: Tidak, Bapa, faktanya tidaklah demikian! Kalau begitu, Bapa, maka ternyata, bahwa pikiranku yang menaggapi itu tidaklah berada pada mata, dan tidak berasa ”diantara” luar dan dalam daripada tubuhku. 113. Bapa: Ananda, mungkikah pikiramu yang menanggapi, dan yang dapat memberikan penglihatan itu berada di luar tubuhmu? 59 114. Ananda: Tidak mungkin, Bapa, pikiranku yang menanggapi itu tidak mungkin berada diluar tubuhku, sebab diantara tubuhku dan pikiranku terdapat kerja sama yang selaras, dan tak terpisahkan satu dengan yang lain. Dan lagi, jikalau pikiranku itu berada diluar tubuhku, niscaya tubuhku tidak akan dapat merasakan perasaan apa-apa lagi. 115. Bapa: Bagus! Lalu, mungkinkah pikiranmu itu berasa meliputi seluruh alam semesta yang tak terbatas ini? 116. Ananda: Itupun tidak mungkin, Bapa, pikiranku tidak mungkin berasa meliputi seluruh alam semesta ini. Sebab, jikalau seandainya pikiranku yang menanggapi itu berada meliputi seluruh alam semesta ini, maka tentunya tubuhku akan menjadi sebesar alam semesta yang tak terbatas ini juga. Padahal faktanya, tubuhku ini besarnya terbatas! 117. Bapa: Ananda, sidalam usahamu untuk mengetahui akan asal mulanya yang memberikan penglihatan, maka engkau telah menemukan, bahwa yang memberikan penglihatan itu bukanlah mata, melainkan yang memberikan penglihatan itu adalah pikiranmu yang menanggapi. 60 Jadi, dari apa yang sudah dapat kau temukan itu ternyata, bahwa yang memberikan penglihatan dan tanggapan itu adalah pikiranmu. Apakah bukan begitu, Ananda? 47 118. Ananda: Benar, Bapa, yang memberikan penglihatan dan tanggapan itu adalah pikiranku! Jadi, dalam hubungannya dengan timbulnya kesusahan, maka lalu dapat di nyatakan, bahwa oleh sebab pikiranku melihat, dan pikiranku menanggapi, maka aku lalu mengalami perasaan susah. 119. Bapa: Ananda, engkau talah menyatakan, bahwa oleh sebab pikiran mu melihat, dan pikiranmu menanggapi, maka engkau lalu mengalami perasaan susah. Sekarang aku hendak bertanya kepadamu, Ananda! Tahukah engkau akan apa atau siapakah ”engkau sendiri” yang dapat mengalami perasaan susah itu? Coba terangkan jawabmu! 120. Ananda 61 Bapa, jikalau misalnya Bapa mengajukan sesuatu pertanyaan kepadaku, maka pertanyaan Bapa itu baru aku jawab, setelah menanggapi pertanyaan Bapa itu. Aku menanggapi pertanyaan Bapa itu dengan mengunakan pikiranku, dan kemudian pikiranku menanggapi. Pikiranku lalu bekerja memikirkan pertanyaan Bapa itu dengan mengunakan alatalat pertimbangan, untuk kemudian pertanyaan Bapa itu aku jawab. Proses ini menunjukkan, bahwa ”aku sendiri” dan ”pikiranku” itu adalah satu dan sama, tidak ada bedanya. Aku sendiri (myself) adalah pikiranku, Bapa, tidak bisa lain! 121. Bapa: Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa ”engkau sendiri” itu adalah ”pikiranmu”. Baiklah! Maka sekarang dengarkan, aku hendak bertanya kepadamu! Ananda, jikalau engkau berbicara perihal ”pikiranmu”, maka bukankah hal itu menunjukkan sangat jelas, bahwa ”pikiranmu” itu bukan ”engkau sendiri”, dan hanya menrupakan obyek yang berada disamping atau diluar ”engkau sendiri”? Seperti halnya jikalau engkau berbicara perihal ”ayahmu” atau ”ibumu”, maka jelas sekali, bahwa ”ayahmu” atau ”ibumu” itu bukanlah ”engkau sendiri”. 62 Jadi, Ananda, pernyataan ”aku sendiri” adalah ”pikiranku”, itu adalah suatu pernyataan yang tidak dapat diterima oleh akal sehat! 122. Ananda: Lalu, Bapa, apa lagi yang harus dianggap sebagai ”aku sendiri” itu, kalau bukan ”pikiranku” itu? ”Pikiran ku” adalah satu-satunya milik ku yang dapat memberikan penglihatan dan tanggapan. Dan jikalau ” aku sendiri” ini bukan ”pikiranku” itu, maka apa lagi yang harus tertinggal, karena ” aku sendiri” lalu tidak bisa melihat dan menanggapi apa-apa! 123. Bapa: Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa ”pikiranmu” itu adalah satusatunya milikmu yang dapat memberikan penglihatan dan tanggapan! Mengapa engkau harus mengakui ”pikiranmu” itu sebagai satusatunya milikmu yang dapat memberikan penglihatan dan tanggapan, Ananda, padahal engkau sendiri tidak mengetahui dimanakah beradanya pikiranmu itu? Apakah manfaatnya mengaku mempunyai milik, tetapi tidak mengetahui akan apa, bagaimana, dan dimana beradanya milik itu? 124. Ananda: Bapa, sekarang aku mengaku bodoh, dan mengaku dosa (salah)! 63 Aku mengaku bodoh, karena aku tidak mengetahui akan apa atau siapakah sebetulnya ”aku sendiri” ini! Aku mengaku bodoh, karena aku mengaku memiliki ”pikiran” yang dapat memberikan penglihatan dan tanggapan, namun aku tidak mengetahui akan apa, bagaimana, dan dimanakah beradanya ”pikiranku” itu! Bapa, aku mengaku menderita sudah, tanpa mengetahui akan siapakah ”aku sendiri” yang menderita sudah itu, dan tanpa mengetahui akan apa, bagaimana, dan di manakah sumber asal mulanya kesusahan itu. Betapa bodohnya aku ini, karena ketidak tahuanku sendiri, Bapa! Aku mengaku dosa (salah), karena kebodohan dan ketidak tahuan ku sendiri. Sebab, kebodohan dan ketidak tahuan itu, Bapa, tidak laun hanya akan menimbulkan kesalahan-kesalahan, dan kekeliruan-kekeliruan belaka! Celakalah aku ini, karena kebodohan dan kesalahanku sendiri! Tolonglah, Bapa, tunjukkan kepadaku akan jalan keluarnya!. 64 2. KENYATAAN DAN BUKAN KENYATAAN 125. Bapa: Baik, baik, Ananda, Baik! Memang benar katamu itu, Ananda, karena kebodohan dan ketidak tahuan, maka disitu hanya akan timbul kesalahankesalahan, dan kekeliruan-kekeliruan belaka. Ananda, hal semacam itu bukan hanya terjadi pada dirimu saja, melainkan juga terjadi pada kebanyakan manusia yang hidup di dunia benda ini. Banyak manusia didunia ini yang mengaku dirinya bijak, berpengetahuan, pandai, dan terpelajar, namun mereka tidak menyadari, bahwa mereka itu sebetulnya adalah orang-orang bodoh, tidak berpengetahuan, dan tidak sadar. Dikatakan tidak sadar, karena mereka tidak kenal akan hakekat dirinya; dan dikatakan bodoh dan tidak berpengetahuan, karena mereka tidak mengerti dan tidak mengetahui akan apa yang mereka lihat dan apa yang mereka tanggapi. Tetapi, Ananda, engkau tidak perlu berkecil hati, dan tidak perlu menyusahi atas keridak tahuan akan kesalahan-kesalahanmu yang terjadi pada masa yang lalu. Lupakanlah itu semua! Dan sekarang, pusatkanlah perhatianmu, dengarkan baikbaik akan apa yang akan kukatakan ini, karena aku hendak bertanya lagi kepadamu. Ananda, dikala matamu kau pejamkan, apakah yang kau lihat? 65 126. Ananda: Dikala matamu kupejamkan, Bapa, maka aku bisa melihat juga, yaitu melihat gelap yang hitam kelam. 127. Bapa: Ananda, didalam keadaan mata terpeja, engkau melihat ”gelap” yang warnanya ”hitam”. ”Gelap”, itu bukan benda; demikian pula halnya dengan warna ”hitam”, itupun bukan benda. Apa yang kaunamakan sebagai ”gelap”, dan apa yang kaunamakan sebagai ”hitam”, itu semua sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali sebagai gagasan (mind conception) yang tergambar atau terbayang didalam pikiran, dan yang kodratnya adalah maya atau semu, bagaikan perwujudan yang terlihat dalam mimpi. Gagasan, itu timbul dari pikiran itu sendiri, dan gagasan itu tidak dapat dipegang ataupun diraba, namu terlihat oleh pikiran itu sendiri. Nah, sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda! Melihat sesuatu gagasan, Ananda, apakah itu dapat dikatakan sebagai melihat kenyataan, atau melihat gambaran khayal? 128. Ananda: Melihat sesuatu gagasan, Bapa, itu tidak dapat dikatakan sebagai melihat kenyataan, melainkan melihat gambaran khayal. 66 129. Bapa: Bagus sekali, Ananda! Melihat suatu gagasan, itu adalah bukan melihat kenyataan, melainkan melihat gambaran khayal. Gagasan, Ananda, sebagai gambaran khayal, kodratnya adalah maya, semu, bukan kenyataan, dan palsu (unreal). Oleh karena itu lalu dapat dikatakan, bahwa gagasan itu berkodrat khayalan palsu. Melihat gagasan, atau melihat khayalan palsu, itu bukanlah melihat kenyataan, melainkan berkhayal.. Ananda, kebayakan manusia yang hidup didunia benda ini menyatakan, bahwa ”gelap” dan ”hitam” itu adalah kenyataan yang sungguh-sungguh, dan berada diluar pikiran. Mereka tidak mengenali, dan tidak menyadari dengan terang, bahwa ”gelap” dan ”hitam” itu sebetulnya tidak lain kecuali sebagai perwujudan gambar pikiran, dan timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. Jadi, jelaskah disini, Ananda, bahwa ”penglihatan” dan ”tanggapan” itu adalah berasal mula dan bersumber dari pikiran itu sendiri. Tetapi, Ananda, dimanakah gerangan beradanya pikiran itu? 130. Ananda: Bapa, justru pertanyaan tentang dimanakah beradanya pikiran, itulah suatu pertanyaan yang sampai saat ini belum aku temukan jawabannya! 67 Sebab, semua tempat sudah aku selidiki, namun kesemuanya itu bukanlah tempat dimana pikiran itu berada. Dari hasil penelitian yang cermat dimuka tadi, maka telah ternyata, bahwa pikiran iru bukan berada didalam tubuh, bukan berada di luat tubuh, bukan berada pada sebagian daripada tubuh (diotak ataupun di mata), bukan berada meliputi seluruh tubuh, dan juga bukan berada meliputi seluruh alam semesta. Pendek kata, semua tempat bukanlah tempat beradanya pikiran ! 131. Bapa: Ananda, jikalau telah ternyata, bahwa semua tempat tidak dapat dinyatakan sebagai tempat beradanya pikiran, lalu apa yang hendak kau nyatakan tentang tempat beradanya pikiran itu? Pikiran itu mengambil tempatkah, atau pikiran itu tidak mengambil tempatkah? 132. Ananda: Oleh karena semua tempat tidak satu pun yang dapat dinyatakan sebagai tempat beradanya pikiran, Bapa, maka dengan akal sehat sudah dapat dipastikan, bahwa pikiran itu tidak mengambil tempat. 133. Bapa: Bagus, bagus, bagus sekali, Ananda! Pikiran itu tidak mengambil tempat, dan tidak membutuhkan tempat. 68 Nah, sekarang bagaimanakah kiranya pendapatmu, Ananda, apakah pikiran yang tidak mengambil tempat itu sesuatu kenyataan ataukah bukan kenyataan? 134. Ananda: Tentu saja pikiran itu bukan suatu kenyataan, Bapa! Pikiran itu tidak dapat dilihat, tidak dapat diraba, dan tidak mengambil tempat; bagaimana bisa dianggap sebagai kenyataan? Bukankah begitu, Bapa? 135. Bapa: Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa pikiran itu bukan suatu kenyataan, karena tidak dapat dilihat, tidak dapat diraba, dan tidak mengambil tempat. Jikalau benar, Ananda, bahwa pikiran itu bukan kenyataan, lalu bagaimanakah mungkin pikiran itu dapat memberikan penglihatan? Bukankah penglihatan itu dapat kau sadari sendiri kebenarannya? Masakah bukan kenyataan bisa memberikan kenyataan penglihatan !? 136. Ananda: O, ya, benar juga, Bapa! Pikiran adalah kenyataan, karena pikiran itu dapat memberikan kenyataan penglihatan yang dapat aku sadari sendiri kebenarannya. 69 137. Bapa: Nah, Ananda, sekarang sudah cukup jelas, bahwa pikiran itu adalah kenyataan yang tidak mengambil tempat, namun bisa memberikan kenyataan penglihatan. Dan, kalau demikian halnya, Ananda, maka aku sekarang hendak bertanya kepadamu! Kenyataan penglihatan itu mengambil tempat ataukah tidak mengambil tempat, Ananda? 138. Ananda: Kenyataan penglihatan itu berasal mula dan bersumber dari kenyataan pikiran yang tidak mengambil tempat. Dan oleh karena kenyataan pikiran itu tidak mengambil tempat, Bapa, maka kenyataan penglihatan itupu juga tidak mengambil tempat. 139. Bapa: Bagus, Ananda, bagus! Pikiran, itu adalah kenyataan yang tidak mengambil tempat, dan demikian juga penglihatanm itupun adalah kenyataan yang tidak mengambil tempat. Ananda, bukankah kenyataan ini menunjukan, bahwa ”pikiran” itu tidak lain adalah ”penglihatan” itu sendiri? 140. Ananda: 70 Benar, Bapa, pikiran, itu adalah penglihatan itu sendiri! Pikiran dan penglihatan itu adalah kenyataan yang satu, dan tidak mengambil tempat. 141. Bapa: Bagus sekali, Ananda! Pikiran dan penglihatan itu adalah kenyataan yang satu, dan yang tidak mengambil tempat. Dan oleh karena Pikiran dan Penglihatan itu adalah Kenyataan yang satu, dan sama, maka barangkali tidak ada salahnya, jikalau Pikiran dan Penglihatan itu aku sebut dengan satu sebutan saja, yaitu PIKIRAN MELIHAT. Nah, sekarang aku hendak bertanya lagi kepadamu, Ananda! Jikalau pikiran, atau penglihatan, atau Pikiran Melihat itu adalah Kenyataan, sedangkan Kenyataan itu tidak mengambil tempat, lalu apakah yang dapat kau katakan tentang benda-benda dan orang-orang yang mengambil tempat itu, Ananda? Apakah benda-benda dan orang-orang yang mengambil tempat itu harus kaunyatakan sebagai Kenyataan ataukah sebagai Bukan Kenyataan? 142. Ananda: Jikalau ternyata sudah jelas, bahwa kenyataan itu tidak mengambil tempat, Bapa, maka sebagai konsekwensinya, segala hal yang mengambil tempat itu, seperti halnya dengan bendabenda dan orang-orang, seharusnya dinyatakan sebagai Bukan Kenyataan. 71 Tetapi, Bapa, bagaimanakah bisa jadi, bahwa segala hal yang mengambil tempat itu harus dinyatakan sebagai bukan kenyataan? Padahal, benda-benda dan orang-orang yang mengambil tempat itu memang sungguh-sungguh ada, berwujud, dapat dilihat, dan dapat diraba! Rasanya hal ini susah dapat dimengerti! Bagaimanakah jelasnya, Bapa? 143. Bapa Benar. Ananda, segala hal yang mengambil tempat itu memang benar ada, berwujud, dapat dilihat, dan dapat diraba. Itu benar, benar sekali, dan tidak salah! Tetapi, itu semua harus digolongkan sebagai bukan Kenyataan, Ananda! Nah, sekarang dengarkan, karena aku akan membuat suatu perumpamaan, dan kemudian bertanya kepadamu! Seandainya, Ananda, engkau semalam tidur, dan bermimpidigigit macan, dan merasa kesakitan. Didalam keadaan tidur dan bermimpi itu, Ananda, apakah engkau betul-betul melihat ”adanya” macan, dan betul-betul merasakan perasaan sakit? 144. Ananda: 72 Tentu saja, Bapa, didalam keadaan tidur, dan bermimpi, aku betul-betul melihat ”adanya” macan itu, dan aku betul-betul mengalami sakit itu. 145. Bapa: Tetapi, Ananda, sewaktu engkau terbangun, dan sudah bangkit dari tidurmu, apakah macan tadi itu seekor macan yang sungguhsungguh ataukah bukan sungguh-sungguh? 56 146. Ananda: Sewaktu aku terbangun, dan sudah bangkit dari tidurku, Bapa, maka ternyata, bahwa macan tadi bukanlah seekor macan yang sungguh-sungguh, melainkan macan khayal atau macan palsu! 147. Bapa: Baik! Nah, sekarang, Ananda, didalam keadaan bangun dan bangkit dari tidur, apakah macan khayal itu tadi masih dapat dilihat kembali didalam ingatan pikiranmu? Dan apakah kesan perasaan sakit itu masih dapat dimunculkan kembali didalam ingatan pikiranmu? 148. Ananda: Masih dapat, Bapa, didalam keadaan bangun dan bangkit dari tidur bermimpi, maka macan khayal itu masih dapat dilihat kembali didalam ingatan pikiranku; demikian pula kesan perasaan sakit itu masih dapat dimunculkan kembali didalam ingatan pikiranku. 73 149. Bapa: Ananda, didalam keadaan tidak bermimpi, apakah engkau pada saat itu merasa sadar? 150. Ananda: Pada saat didalam keadaan tidur bermimpi, Bapa, maka didalam mimpi itu aku merasa betul-betul sadar! 151. Bapa: Lalu, apakah yang dapat kaukatakan setelah engkau bangun dan bangkit dari tidurmu, Ananda? Apakah didalam meadaan tidur bermimpi itu engkau betul-betul sadar atau tidak sadar? Coba terangkan jawabanmu! 57 152. Ananda: Memang, Bapa pada saat sedang dalam keadaan tidur bermimpi aku merasa betul-betul sadar. Tetapi, begitu aku bangun, dan bangkit dari tidurku, maka tahulah aku, bahwa didalam keadaan tidur itu aku sama sekali tidak sadar. Dikatakan tidak sadar, karena apa yang terlihat seolah-olah sebagai kenyataan didalam mimpi, ternyata bukan kenyataan apa-apa, kecuali gambaran khayal belaka! 153. Bapa: 74 Ananda, kebanyakan manusia yang hidup didalam dunia benda ini menyatakan dirinya sebagai sadar; padahal, sebetulnya mereka itu tidak sadar. Mereka dalam keadaan bagaikan mimpi! Dikatakan tidak sadar, karena mereka tidak mengenali akan hakekat dirinya. Dan lagi, mereka tidak mengenali akan hakekat benda-benda dan orangorang yang mereka lihat itu. Mereka menyatakan, bahwa benda-benda dan orang-orang yang mengambil bentuk, rupa, dan tempat itu sebagai banyaknya dan macamnya kenyataankenyataan yang sungguh-sungguh, dan berada di luar pikiran. Padahal,sebetulnya benda-benda dan orang-orang yang mereka lihat sebagai mengambil tempat itu adalah bukan Kenyataan apaapa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. Pikiran-Melihat, itulah Kenyataan; dan kenyataan itu tidak mengambil tempat. Bagaimana, Ananda, cukup jelaskah sekarang, mengapa segala hal yang mengambil tempat itu harus dinyatakan sebagai bukan Kenyataan? 154. Ananda: Kiranya cukup jelas, Bapa! Jadi, pikiran, atau penglihatan, atau Pikiran-Melihat, itulah Kenyataan; dan Kenyataan itu tidak mengambil tempat. Adapun 75 segala hal yang mengambil tempat itu, sebetulnya tidak lain hanyalah gagasan yang berkodrat khayalanpalsu, dan adalah perwujudan dan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. 155. Bapa: Bagus sekali, Ananda! Nah, sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda! Apakah yang dapat kau katakan tentang segala hal yang tampak sebagai ada, berwujud, dan mengambil tempat itu, Ananda? Apakah mereka itu terlihat sebagai kenyataan ataukah mereka itu dikhayalkan sebagai kenyataan? 156. Ananda: Oleh karena segala hal yang tampak sebagai ada, berwujud, dan mengambil tempat itu tidak lain hanyalah berupa gagasan yang berkodrat khayalan-palsu, dan hanya merupakan perwujudan gambar-pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri, Bapa, maka segala hal itu sebetulnya bukannya terlihat sebagai kenyataan, melainkan terlihat dalam khayalan atau dikhayalkan. 157. Bapa: Bagus sekali, Ananda! Nah, sekarang, Ananda, bagaimanakah pendapatmu mengenai Kenyataan itu? Apakah Kenyatakan itu terlihat, ataukah tidak terlihat? 76 158. Ananda: Bapa, sekarang sudah cukup jelas, bahwa segala yang tampak sebagai ada, berwujud, dan mengambil tempat itu sebetulnya bukan-kenyataan, kecuali perwujudan gambar-pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. Sedangkan Kenyataan yang sesungguhnya, itu adalah pikiran-melihat, atau Pikiran, atau penglihatan itu sendiri. Tetapi, Bapa, sampai saat ini aku masih belum dapat mengenali akan apa atau siapakah sebetulnya aku sendiri ini, atau dengan lain perkataan, aku belum dapat mengenal akan hakekat diriku! Lalu apakah hubungannya diantara aku sendiri ini dengan Penglihatan itu, Bapa? 77 3. HAKEKAT ”AKU” DAN KENYATAAN ESA 161. Bapa: Baiklah, Ananda, tetapi hendaklah engkau bersabar dulu! Sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, maka aku masih hendak mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Ananda, jikalau sudah jelas bagimu, bahwa Kenyataan itu tidak mengambil tempat, maka lalu bagaimanakah pendapatmu tentang Kenyataan itu, Ananda? Apakah kenyataan tidak mengambil tempat itu mempunyai zat ataukah tidak mempunyai zat (substance)? 162. Ananda: Sesuatu yang mempunyai zat, Bapa, itu pasti akan mengambil tempat. Dan oleh karena Pikiran Melihat itu adalah kenyataan yang tidak mengambil tempat, maka dapat dipastikan, bahwa Pikiran Melihat itu tidak mempunyai zat. 163. Bapa: Bagus sekali, Ananda! Pikiran Melihat, sebagai kenyataan yang tidak mengambil tempat. Itu tidak mempunyai zat. Artinya, Pikiran Melihat itu hampa zat. Nah, jikalau Pikiran Melihat itu hampa zat, Ananda, apakah Pikiran Melihat itu mempunyai bentuk dan rupa? 164. Ananda: 78 Segala sesuatu yang mempunyai bentuk dan rupa, Bapa, maka pastilah ia mempunyai zat. Dan oleh karena Pikiran Melihat itu hampa zat, maka dapat dipastikan, bahwa Pikiran Melihat itu hampa bentuk dan hampa rupa. 165. Bapa: Nah, sekarang,, Ananda, Pikiran Melihat yang hampa bentuk, dan hampa rupa itu, apakah ia itu terlahir ataukah tidak terlahirkan, Ananda? 166. Ananda: Segala sesuatu yang terlahir, Bapa, maka dapat dipastikan, bahwa ia itu mempunyai bentuk dan rupa. Tetapi, karena Pikiran Melihat itu hampa bentuk dan hampa rupa, maka tentunya Pikiran Melihat itu adalah hampa kelahiran. 167. Bapa: Bagus sekali, Ananda! Pikiran Melihat itu hampa kelahiran, artinya: tidak melahirkan, dan juga tidak dilahirkan. Lalu, Ananda, apakah Pikiran Melihat ang hampa kelahiran itu bisa mengalami kematian? 168. Ananda: Tentu saja tidak, Bapa! Pikiran Melihat yang hampa kelahiran itu tak akan pernah mengalami kematian. 79 Bagaimana bisa mati, Bapa, terlahir saja tidak! 169. Bapa: Bagus, ananda! Lalu, bagaimana kiranya pendapatmu, ananda, apakah pikiran melihat itu berbeda-beda dan dapat dibedakan menurut ciri-ciri perorangan. 170. Ananda: Sudah cukup jelas, Bapa, bahwa pikiran melihat itu adalah hampa zat, hampa bentuk, dan hampa rupa. Karena demikian, maka jelas pula, bahwa pikiran melihat itu bukan perorangan (non personal) yang berbeda-beda, dan tidak dapat dibeda-bedakan menurut ciri-ciri perorangan. 171. Bapa: Tepat sekali, ananda! Pikiran melihat, itu bukan perorangan yang berbeda-beda, dan tidak dapat dibeda-bedakan menurut ciri-ciri perorangan. Singkatnya, pikiran melihat itu hampa perorangan, hampa pembedaan, hampa pencirian. Nah, didalam hubungannya dengan pikiran melihat atau pengelihatan yang hampa perorangan dan hampa pembedaan itu, ananda, apakah pikiran melihat itu dapat dinyatakan sebagai milik, memiliki, atau dimiliki? 172. Ananda: 80 Tidak Bapa, pikiran melihat atau pengelihatan itu tidak dapat dinyatakan sebagai milik, tidak dapat dinyatakan sebagai memiliki, dan tidak juga dapat dikatakan sebagai dimiliki, sebab pikiran melihat itu adalah hampa perorangan dan hampa pembedaan. 173. Bapa: Nah, ananda, dari apa yang engkau teliti dengan cermat melalui akal sehat yang telah dipuncakkan itu maka ternyata, bahwa pikiran melihat, atau pikiran, atau pengelihatan itu adalah hampa pembedaan. Ini artinya ialah, bahwa pikiran melihat itu adalah Kenyataan Tunggal, atau Kenyataan Esa, yaitu kenyataan satusatunya, yang tiada kenyataan yang lain, kecuali yang satusatunya itu. Ananda, engkau sudah mengetahui, bahwa pikiran melihat, atau pengelihatan itu bukannya dilihat, melainkan dihayati dan disadari. Bagaimana ananda, engkau sadari dan engkau hayatikah pengelihatan itu? 174. Ananda: Benar Bapa, aku menyadari dan menghayati pengelihatan itu, dan oleh karena itu aku melihat. 175. Bapa: Bagus! Engkau telah mengenali ananda, bahwa pikiran melihat itu adalah satu-satunya kenyataan yang memberikan pengelihatan. Ini berarti, bahwa pikiran melihat itu melihat. 81 Dan ananda, engkau telah membuktikan sendiri, bahwa pikiran melihat, atau pengelihatan itu adalah kenyataanyang kau hayati sendiri dan kau sadari sendiri. Ini berarti, bahwa engkau sendiri itu melihat. Nah, perhatikan hal ini ananda! Pikiran melihat itu melihat, dan engkau sendiri itu melihat! Tahukah engkau sekarang ananda, apa atau siapakah sebetulnya engkau sendiri (your self) itu? 176. Ananda: Aku tahu, Bapa, bahwa pikiran melihat itu melihat, sedangkan aku sendiri ini menyadari, bahwa aku sendiri ini melihat. Kalau demikian halnya Bapa, maka kiranya tidak dapat disangsikan lagi, bahwasanya aku sendiri (my self) ini tidak lain adalah pikiran melihat, atau pikiran, atau pengelihatan itu sendiri. Bukankah begitu Bapa? 177. Bapa: Bagus, bagus, bagus sekali ananda! Melalui akal yang dipuncakkan, maka engkau sekarang telah mengenali, bahwa engkau sendiri (your self) itu adalah pikiran melihat itu sendiri, ya pikiran itu sendiri, ya pengelihatan itu sendiri. Dan oleh karena pikiran melihat itu adalah Kenyataan Esa, maka tidak dapat disangsikan lagi, ananda, bahwa engkau sendiri itu adalah Kenyataan Esa itu sendiri, yaitu engkau sendiri yang 82 hampa ciri-ciri perorangan, dan hampa pembedaan, dan yang disebut dengan nama: ”AKU”! Jadi, ananda, ”AKU” itu adalah nama dari Kenyataan Esa, dan bukannya penamaan bagi perorangan seperti misalnya Amat, Badu, Polan dan sebagainya itu. Singkatnya, ”AKU” adalah Kenyataan Esa! 178. Ananda: Bapa, sekarang aku sudah dapat mengenali bahwa segala hal yang terlihat sebagai ”ada” dan ”berwujud” itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. Kalau demikian Bapa, apakah hal itu dapat diartikan, bahwa pikiran itu adalah sumber asal mula dan pencipta daripada dunia benda ini? 83 4. BENAR DAN KELIRU 179. Bapa: Ananda, bahwa segala hal itu sebetulnya bukan kenyataan apaapa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri, itu adalah pernyataan yang benar! Tetapi ananda, hendaknya engkau jangan terburu-buru mengambil kesimpulan, bahwa pikiran itu adalah menjadi sumber asal mula dan pencipta daripada dunia benda ini, sebelum diadakan penelitian yang cermat! Nah, sebelum menjawab pertanyaanmu itu, ananda, maka aku hendak mengajukan pertanyaan lebih dahulu kepadamu! Jikalau benar, ananda, bahwa pikiran itu adalah sumber asal mula dan pencipta daripada dunia benda yang ”ada” dan ”berwujud” ini, maka pikiran itu tentunya dapat dinyatakan sebagai ”ada”, karena, apa yang ”ada” itu berasal daripada apa yang ”ada”. Apakah pikiran itu dapat dinyatakan sebagai ”ada” ananda? 180. Ananda: Pikiran, itu adalah Kenyataan yang hampa zat, Bapa! Dan oleh karena hampa zat, maka pikiran itu bukanlah keadaan. Dan apa yang bukan keadaan itu tidak dapat dinyatakan sebagai ”ada” atau ”tidak ada”. 84 Kalau demikian halnya Bapa, maka ternyata bahwa pikiran itu tidak dapat dinyatakan sebagai sumber asal mula dan pencipta daripada dunia benda ini. 181. Bapa: Bagus sekali ananda! Pikiran, sebagai Kenyataan Esa yang hampa zat, itu tidak dapat dinyatakan sebagai ”ada” atau ”tiada”, dan demikian pula, pikiran itu tidak dapat dinyatakan sebagai sumber asal mula dan pencipta daripada dunia benda ini. 182. Ananda: Lalu hubungan apakah yang dapat dinyatakan diantara pikiran sebagai kenyataan disatu pihak dan dunia benda sebagai bukan kenyataan dilain pihak itu, bapa? Agaknya hal ini belum dapat aku mengerti dengan jelas! 183. Bapa: Baiklah ananda, coba sekarang renungkan dalam-dalam perumpamaan yang aku buat ini dan jawablah pertanyaanku! Jikalau seandainya, ananda, engkau berdiri di depan sebuah cermin, maka apakah yang kau lihat, ananda? 184. Ananda: Jikalau aku berdiri di depan sebuah cermin, Bapa, maka aku melihat bayanganku sendiri! 185. Bapa: 85 Nah, sekarang aku bertanya kepadamu ananda! Apakah yang dapat kau katakan tentang bayangan yang ada dan berwujud di dalam cermin itu ananda? Apakah bayangan itu diciptakan atau dijadikan olehmu ataukah bayangan itu terlihat olehmu? 186. Ananda: Bayangan di dalam cermin itu ada dan berwujud, bukanlah oleh sebab aku ciptakan atau aku jadikan Bapa, sebab aku tidak pernah berusaha dan berbuat apa-apa untuk menciptakan atau menjadikannya. Bayangan yang ada dan berwujud didalam cermin itu hanyalah terlihat semata-mata olehku seperti demikian itu. 187. Bapa: Bagus! Apa yang ada dan berwujud itu hanyalah terlihat atau terbayang seperti demikian itu oleh sebab kodrat daripada cermin itu. Nah, seperti demikian itu pulalah halnya, ananda, hubungan yang terdapat diantara pikiran sebagai kenyataan disatu pihak, dan dunia benda sebagai bukan kenyataan dilain pihak. Ananda, pikiran itu kenyataan! Sedangkan segala hal yang ada dan berwujud itu sebetulnya bukanlah kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan terlihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. Singkatnya, apa dan bagaimanapun sesuatu yang dinyatakan sebgai ada dan berwujud itu, sebetulnya tidak lain hanyalah 86 pikiran itu sendiri, dan tidak ada kenyataan apapun diluar pikiran itu sendiri. Jadi, ananda, pikiran itu bukanlah menciptakan atau menjadikan apa yang ada dan berwujud ini, melainkan apa yang ada dan berwujud ini tidak lain hanyalah apa yang terlihat atau terbayang oleh pikiran itu sendiri. Bagaimana, ananda, sudah cukup jelaskah? 188. Ananda; Sudah cukup jelas Bapa! Jadi, tegasnya adalah, bahwa tidak pernah ada apa atau siapapun yang diciptakan atau dijadikan, demikian pula tidak pernah ada apa ataupun siapa yang menciptakan atau menjadikan. Bukankah begitu Bapa? 189. Bapa: Benar, ananda, benar! Benda-benda, orang-orang, dan objek-objek itu bukanlah ”ciptaan’ yang diciptakan atau dijadikan oleh apa atau siapapun! Sebab, kenyataan yang sebetulnya adalah bahwa benda-benda, orang-orang, dan objek-objek itu tidak lain adalah gambar perwujudan pikiran yang timbul dari pikiran dan terlihat oleh pikiran itu sendiri. Tetapi, ananda, oleh sebab ketidak tahuan atau kebodohan manusia, maka benda-benda, orang-orang, dan objek-objek itu dikiranya sebagai ”ciptaan” yang diciptakan oleh ”Sang 87 Pencipta”!, dan berbeda-beda serta dibeda-bedakan menurut banyaknya dan macamnya seolah-olah bendabenda, orangorang, dan objek-objek itu adalah kenyataan-kenyataan yang sungguh-sungguh, dan berada diluar pikiran itu sendiri. 190. Ananda: Aku menyela pertanyaan sebentar, Bapa, karena ada suatu istilah yang belum aku mengerti maknanya dengan jelas! Bapa telah mengatakan tentang ”ketidak tahuan manusia”. Apa atau siapakah sebetulnya yang dimaksud dengan istilah ”manusia’ itu? 191. Bapa: Manusia ananda, itu adalah pikiran berpikir, yaitu si pemikir. Pikiran berpikir (thinking mind), itu adalah pikiran yang melihat, membeda-bedakan, membanding-bandingkan, mempertimbangkan nilai-nilai, dan memilih-milih gambar-gambar pikiran (image) yang timbul dari pikiran itu sendiri, seolaholah sebagai banyaknya dan macamnya kenyataan-kenyataan yang berada diluar dari pikiran itu sendiri. Dan oleh karena asas dasar pikiran berpikir itu adalah pembedaan-pembedaan, maka pikiran berpikir itu dapat disebut juga sebagai pikiran membedakan (discriminating mind). Singkatnya, ananda, manusia = si pemikir = pikiran berpikir = pikiran membedakan. Bagaimana, cukup jelas, ananda, apa yang dimaksud dengan sebutan ”manusia” itu? 192. Ananda: 88 Sudah, sudah cukup jelas, Bapa! 193. Bapa: Baik! Sekarang aku teruskan dengan apa yang hendak aku katakan tadi itu. Ananda, karena ketidak tahuan manusia, maka benda-benda, orang-orang dan objek-objek itu dikiranya sebagai ”ciptaan” yang diciptakan oleh ”sang pencipta”. Dan kemudian benda-benda, orang-orang, dan objek-objek itu dilihatnya sebagai berbeda-beda dan dapat dibeda-bedakan menurut banyaknya dan macamnya, seolah-olah benda-benda, orang-orang dan objek-objek itu adalah kenyataan-kenyataan yang sesungguhnya, dan berada diluar pikiran itu sendiri. Ini adalah suatu kekeliruan! Dan kekeliruan ini timbul oleh sebab ketidak tahuan, yaitu tidak tahu akan asas kenyataan, bahwasanya segala apa yang ada dan berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. Nah, jikalau demikian halnya ananda, maka aku hendak bertanya kepadamu! Tahukah engkau mana yang harus dinyatakan sebagai k e l i r u, dan mana pula yang harus dinyatakan sebagai b e n a r? 194. Ananda: Tidak tahu akan asas Kenyataan, Bapa, itu akan menyatakan kesalahankesalahan dan kekeliruan-kekeliruan. Tetapi sebaliknya, tahu akan asas kenyataan, itu akan menyatakan kebenaran. 89 Menyatakan kenyataan sebagai bukan kenyataan, dan menyatakan bukan kenyataan sebagai kenyataan, itu harus dinyatakan sebagai keliru. Tetapi, menyatakan kenyataan sebagai kenyataan, dan menyatakan bukan kenyataan sebagai bukan kenyataan, itu harus dinyatakan sebagai benar. 195. Bapa. Bagus sekali, ananda! Jadi, ”Ukuran” daripada benar atau keliru, itu adalah terletak kepada tahu atau tidak tahunya mengenai kenyataan yang hampa pembedaan itu. Ketidak tahuan manusia akan kenyataan yang hampa pembedaan itu, maka manusia akan melakukan kekeliruan, seolah-olah apa yang dibedabedakannya itu adalah banyaknya dan macamnya kenyataan-kenyataan. Padahal kenyataan itu bukannya banyak dan bermacam-macam, melainkan satu, tunggal atau Esa. Nah, sekarang aku bertanya kepadamu, ananda! Apakah membedakan mana yang kenyataan dan mana yang bukan kenyataan itu harus dinyatakan sebagai keliru juga? Terangkan jawabmu! 196. Ananda Melakukan pembedaan diantara mana yang kenyataan, dan mana yang bukan kenyataan, Bapa, itu tidak dapat dinyatakan sebagai keliru! Sebab, jikalau seseorang melakukan pembedaan diantara mana yang kenyataan dan 90 mana yang bukan kenyataan, maka hal itu akan berarti, bahwa ia tahu mana sesungguhnya kenyataan itu, dan mana sesungguhnya bukan kenyataan itu. Tetapi sebaliknya, jikalau seseorang tidak tahu bedanya, mana sesungguhnya kenyataan itu, dan mana sesungguhnya bukan kenyataan itu, maka hal itu akan berarti, bahwa ia tidak tahu kedua-duanya. 197. Bapa Bagus sekali jawabanmu, ananda! Melakukan pembedaan, dengan mengetahui bedanya mana yang sesungguhnya kenyataan, dan mana yang sesungguhnya bukan kenyataan tidak dapat dinyatakan sebagai keliru, melainkan harus dinyatakan sebagai benar. Pembedaan seperti ini, ananda, disebut sebagai pembedaan benar! Sebaliknya, melakukan pembedaan-pembedaan terhadap apa yang ada dan berwujud, seolah-olah apa yang ada dan berwujud itu adalah kenyataan70 kenyataan, itu harus dinyatakan sebagai keliru. Dan pembedaan seperti ini disebut sebagai pembedaan keliru. 198. Ananda Dimuka telah dinyatakan, Bapa, bahwa azas dasar pikiran berpikir adalah pembedaan, dan tidak semua pembedaan itu adalah keliru karena ada pembedaan benar dan ada pula pembedaan keliru. Kalau demikian itu halnya, bapa, maka akan dapat ditarik kesimpulan, bahwa berpikir diatas dasar pembedaan benar 91 haruslah dinyatakan sebagai berpikir benar, sedangkan berpikir diatas dasar pembedaan keliru haruslah dinyatakan sebagai berpikir keliru. Apakah bukan begitu, Bapa? 199. Bapa Benar, ananda, memang benar demikian! Ananda, mengerti, bahwasanya segala apa yang ada dan berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri, maka pengertian semacam itu disebut sebagai: ”pengertian – benar”. Diatas landasan pengertian-benar, ananda, maka engkau akan dapat berpikir-benar; dan sebaliknya, diatas landasan pengertiankeliru engkau akan berpikir-keliru. Berpikir keliru adalah berpikir dengan melakukan pembedaanpembedaan keliru atau pembedaan-pembedaan khayal. Dikatakan pembedaan khayal, karena pembedaan dilakukan datas hal-hal yang kodratnya khayalan-palsu. 200. Ananda Bapa, aku sudah mengerti melalui pengertian-benar, bahwa ketidaktahuan itu telah menmbulkan kekeliruan-kekeliruan dengan melakukan pembedaanpembedaan khayal. Dan aku telah mengerti, Bapa, rasanya terlalu sulit bagiku, kalau tidak hendak aku katakan sebagai tidak mungkin, untuk tidak melakukan pembedaan-pembedaan terhadap apa yang ada dan berwujud 92 didalam kehidupan dunia-keadaan ini. Sudikah Bapa menerangkan, apakah kiranya yang menjadi sebabmusababnya? 201. Bapa Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa melakukan pembedaanpembedaan khayal itu adalah keliru, dan harus segera dibetulkan. Tetapi, engkau telah menyatakan pula, bahwa rasanya terlalu sulit bagian untuk tidak melakukan pembedaanpembedaan didalam dunia-keadaan ini. Untuk menjawab pertanyaan ini, ananda, maka aku hendak bertanya lebih dulu kepadamu! Ananda, apakah yang menjadi makanan-baku bagimu seharihari? 202. Ananda Sehari-hari aku makan ubi pohon (singkong) sebagai makanan baku, Bapa. 203. Bapa Sejak kapan engkau telah mulai makan singkong sebagai makanan-baku, Ananda? 204. Ananda Aku makan singkong sebagai makanan baku sudah dari sejak kecil,Bapa, dari sejak masa kanak-kanak! 205. Bapa 93 Ananda, mengertikah engkau, bahwa nasi itu sebetulnya lebih menyehatkan daripada singkong? 72 206. Ananda Mengerti, Bapa! Aku mengerti, bahwa nasi adalah lebih menyehatkan jikalau dibandingkan dengan singkong. 207. Bapa Jikalau engkau sudah mengerti, Ananda, bahwa nasi itu lebih menyehatkan daripada singkong, mengapakah engkau tidak beralih saja dari makan singkong kepada makan nasi? 208. Ananda Rasanya berat bagiku untuk beralih dari makan singkong kepada makan nasi, Bapa, sebab aku sudah terlalu biasa dengan makan singkong itu. Dan lagi, bagiku makan singkong itu terasa lebih memberikan kenikmatan daripada makan nasi. 209. Bapa Ananda, engkau telah menyatakan mengerti, bahwa nasi adalah lebih menyehatkan daripada singkong. Tetapi engkau merasa berat untuk beralih dari makan singkong kepada makan nasi, justru karena engkau merasa telah terlalu biasa dengan makan singkong, sehingga singkong engkau rasakan sebagai lebih memberikan kenikmatan daripada nasi. 94 Dari pengalaman dan penghayatanmu itu sendiri, Ananda, engkau telah dapat mengenali, bahwa kebiasaan itu ternyata mempunyai kekuatan untuk mengalahkan PENGERTIAN. Nah, seprti demikian pulalah halnya dengan pembedaanpembedaan itu, Ananda! Kebiasaan untuk menanggapi pembedaan-pembedaan itu ternyata mempunyai kekuatan untuk mengalahkan pengertianmu, bahwa pembedaan khayal itu seharusnya tidak dilakukan, ananda. Kebiasaan itu ternyata mempunyai kekuatan yang cukup besar justru karena kebiasaan itu engkau pupuk dan engkau pelihara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama. Ananda, karena kebiasaan melakukan pembedaan-pembedaan terhadap apa yang ada dan berwujud ini sebagai banyaknya dan macamnya kenyataan-kenyataan, maka kebiasaan itu menjadi berurat dan berakar didalam pikiran, sehingga akhirnya pikiran menjadi melekat (attached) kepada kebiasaan tanggapannya sendiri. 210. Ananda Bapa, tahulah aku sekarang, bahwa kekeliruan-kekeliruan dan kesalahankesalahan itu berakar dari ketidak tahuan, pembedaan, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan pikiran kepada khayalan palsu. Bukankah benar demikian, Bapa? 211. Bapa Tepat sekali, Ananda! Memang kekeliruan dan kesalahan itu timbul dari ketidaktahuan (kebodohan), pembedaan-pembedaan 95 khayal, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan pikiran kepada khayalan palsu. Ananda, karena dosanya (kekeliruannya) sendiri, maka manusia terpaksa harus menanggung sengsara dan menderita seperti: kesedihan, ratap tangis, kesakitan, kecelakaan, ketuaan, kelapukan dan kematian (maut). Karena kekeliruannya sendiri, Ananda, maka manusia terpaksa harus mengikuti putaran roda kelahiran dan kematian terus menerus dengan tak berdaya apa-apa, dan tetap menanggung sengsara dan menderita selamalamanya. Jadi, Ananda, kesengsaraan dan penderitaan itu tidak akan dapat berakhir, jikalau dosa (kekeliruan) itu tidak diakhiri. Dan kekeliruan itu tidak akan berakhir, selama ketidak tahuan, pembedaan-pembedaan khayal, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan itu tidak diakhiri. Dan, Ananda, ketidaktahuan, pembedaan-pembedaan khayal, kebiasaan tanggapan, dan kemelakatan itu tidak akan bisa berakhir, selama belum ditembusi dan diselami sendiri pengetahuan dan pengertian benar. Oleh karena itu, Ananda, untuk menghentikan kesengsaraan dan penderitaan, maka langkah pertama yang harus di tempuh adalah mengaku dosa (keliru), dan segera setelah itu lalu berusaha untuk menghentikan kekeliruan itu melalui pengetahuan dan pengertian benar. Melalui pengertian benar, Ananda, engkau akan dapat mengenali, manakah yang benar, dan manakah yang keliru itu. 212. Ananda: 96 Tampaknya dunia benda yang serba gerak dan berubah ini telah banyak menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, karena tidak dikenali dengan cara yang benar akan apa sebetulnya dunia keadaan ini, dan bagaimanakah sebab musabab timbulnya. Sehubungan dengan itu, Bapa, sudikah Bapa menerangkan dengan cara yang lebih jelas akan sebab musabab timbulnya dunia benda ini? 97 5. HUBUNGAN SALING BERGANTUNG DAN TATA SUSUNAN PIKIRAN 213. Bapa: Sudah cukup jelas bagimu, ananda, bahwa dunia benda ini bukanlah ”cipataan” yang di ciptakan oleh ”sang pencipta”. Demikian pula sudah cukup jelas kiranya, bahwa dunia benda sebagai perwujudan gambar pikiran itu bukanlah ”ciptaan” yang diciptakan oleh Pikiran, dan juga bukan ”kejadian” yang dijadikan oleh Pikiran itu. Dunia benda ini tidak lain kecuali perwujudan gambar pikiran yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. Nah, kalau demikian itu halnya, ananda, maka sekarang aku hendak bertanya kepadamu! Apakah diantara Pikiran dan perwujudannya itu ada hubungan ”sebab” dan ”akibat”, ananda? 214. Ananda: Oleh karena segala hal itu bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan terlihat oleh pikiran itu sendiri, Bapa, maka Pikiran dan perwujudannya itu bukanlah dua hal yang berpisah dan berbeda, melainkan pikiran dan perwujudannya itu adalah satu dan sama, yaitu Pikiran itu sendiri. Dan oleh karena Pikiran dan perwujudannya itu adalah Pikiran itu sendiri, Bapa, maka diantara Pikiran dan perwujudannya itu tidak ada hubungan ”sebab” dan ”akibat”. 215. Bapa: 98 Tepat, dan benar sekali jawabanmu, ananda! Pikiran dan perwujudannya itu tidak mempunyai hubungan sebagai ”sebab” dan ”akibat”. Nah, kalau demikian itu halnya, ananda, maka bagaimanakah pendapatmu tentang ”sebab” dan ”akibat” itu? Apakah ”sebab” dan ”akibat” itu kenyataan atau bukan kenyataan, ananda? Coba terangkan jawabmu! 216. Ananda: ”Sebab” dan ”akibat”, bapa, itu bukanlah kenyataan yang sesungguhnya daripada dua hal yang berpisah dan berbeda, sebab disitu tidak akan pernah diketahui pada saat yang manakah berakhirnya sesuatu ”sebab”, dan pada saat yang manakah dimulainya sesuatu ”akibat”. Dan jikalau ”sebab” dan ”akibat” itu tampak seolah-olah sebagai dua buah kenyataan yang berpisah dan berbeda, bapa, maka hal itu hanyalah disebabkan oleh pembedaan-pembedaan khayal yang dilakukan oleh pikiran terhadap perwujudannya sendiri. 217. Bapa: Bagus sekali, Ananda! ”Sebab” dan ”akibat” itu bukanlah Kenyataan, dan mereka itu timbul hanya oleh sebab pembedaan-pembedaan khayal yang dilakukan oleh Pikiran terhadap perwujudannya sendiri. Tegasnya, ananda, ”sebab” dan ”akibat” itu bukanlah kenyataan apa-apa, kecuali gagasan pikkiran (mind conception) yang timbul dari pikiran itu sendiri. 99 Ananda, oleh sebab kemelekatan pikiran kepada kebiasaan, menanggapi pembedaan-pembedaan khayal mengenai sebabsebab, rupa, dan nama-nama, maka duania keadaan ini lalu tampak seolah-olah sebagai terdiri dari bendabenda, orangorang, dan obyek-obyek yang mempunyai zat sendiri (selfsubstance) dan kkodrat sendiri (self nature). Dikatakan sebagai mempunyai tempat, dan dikatakan sebagai mempunyai kodrat sendiri, karena mereka itu tampak sebagai bergerak-gerak dan berubah sendiri. 218. Ananda: Bapa, apakah yang dimaksud dengan pembedaan khayal mengenai rupa dan nama itu? 219. Bapa: Yang dimaksud dengan rupa, ananda, itu adalah perwujudan gambar pikiran yang muncul melalui lima alat-alat perasaan, yang umumnya disebut sebagai lima alat-alat penginderaan (five sense organs), yaitu: mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit. Apa yang terlihat melalui mata, terdengar melalui telinga, terbau melalui hidung, tercicip melalui lidah, dan teraba melalui kulit, itulah yang dimaksudkan dengan rupa itu. Banyaknya dan macamnya rupa itu, ananda, dibeda-bedakan secara khayal oleh pikiran membedakan (discriminating mind) dan diberikan sebutan dengan kata-kata untuk menunjukkan ciriciri perorangan daripada masingmasing rupa itu. Inilah yang dimaksud dengan memberikan nama! 100 Nama-nama itu, ananda, dikhayalkan sebgai kenyataankenyataan yang seolaholah ”memiliki” rupa dan zat sendiri, sehingga seseorang lalu berkata: ”Jikalau demikian itu namanya, maka begitu itulah bendanya, tidak bisa lain!” Rupa dan nama, ananda, itu sebetulnya tidak lebih daripada gagasangagasan pikiran (mind conceptins) yang dibayangkan oleh pikiran sebagai banyaknya dan macamnya perorangan (individu) yang mempunyai kodrat sendiri. Nama, itu timbul dari pembedaan kata-kata: sedangkan kata-kata, itu bukan kenyataan apa-apa, kecuali suara-suara angin tenggorokan yang kepadanya diberikan arti-arti khayal semaunya saja. Bagaimana, ananda, cukup jelaskan mengenai rupa dan nama itu? 220. Ananda: Sudah, sudah cukup jelas, Bapa! Nah, sekarang kembali kepada soal gerak perubahan itu tadi, bapa! Sudihkan Bapa menerangkan tentang kodrat dan sebab musabab timbulnya gerak perubahan itu? 221. Bapa: Ananda, dunia keadaan ini tampak sebagai mengalami gerak perubahan terus menerus dengan taka ada henti-hentinya. Karena hal yang demikian itu, ananda, maka para pujangga lalu 101 memastikan, bahwa gerak perubahan itu timbul dari adanya sebab dan syarat, dan yang tunduk kepada Hukum Sebab Akibat. Spekulasi para pujangga itu timbul, ananda, oleh sebab mereka tidak mengenali azas dasar kenyataan, bahwasanya segala apa yang ada dan berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat seta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. Dan mereka tidak mengenali kodrat dan makna yang sebenarnya daripada ”ada” dan ”tidak ada”, dan juga tidak mengenali kodrat dan makna yang sebanrnya daripada ”terjadi” dan ”tidak terjadi” itu adalah hal-hal nyata yang sebab dua, dan tunduk kepada hukum sebab akibat. Karena tidak dapat mengenali, bahwa soal ”ada” dan ”tidak ada”, ”terjadi” dan ”tidak terjadi” itu adalah hal-hal khayal yang timbul dari pembedaan-pembedaan yang dilakukan oleh pikiran terhadap perwujudannya sendiri sebagai sebab musababnya. Ananda, oleh sebab pembedaan-pembedaan yang dilakukan oleh pikiran membedakan mengenai sebagai rupa dan nama itu berlangsung terus-menerus, berganti-ganti, dan tak pernah ada henti-hentinya, maka disitu lalu timbul pengertian-pengertian perwujudan gambar pikiran, yang sebentar muncul, dan sebentar lagi lenyap, terus menerus, dengan tak ada henti-hentinya pula. Muncul dan lenyapnya gambar-gambar pikiran didalam pikiran itu sendiri, ananda, yang lalu terlihat oleh pikiran sebagai gerak perubahan daripada benda-benda, orangorang, dan obyek-obyek itu. 102 Tegasnya, ananda, gerak perubahan itu sebetulnya bukan kenyataan apaapa, kecuali perwujudan (manufestasi) daripada pembedaan-pembedaan khayal yang dilakukan oleh pikiran terhadap perwujudannya sendiri. 222. Ananda: Kalau demikian halnya, bapa, maka nyatalah, bahwa bendabenda, orangorang, dan obyek-obyek itu sebetulnya adalah hampa kodrat sendiri. Dan merasa itu tempat sebagai bergerak dan berubah bukanlah oleh sebab adanya sebabsebab dan syarat-syarat yang berada diluar pikiran, melainkan gerak perubahan itu adalah pencerminan yang menerangkan sendiri tentang kegiatan pikiran yang melakukan pembedaanpembedaan khayal itu. Bukankah begitu, Bapa? 223. Bapa: Tepat sekali katamu itu, ananda! Benda-benda, orang-orang, dan obyek-obyek itu adalah hampa kodrat sendiri; dan gerak perubahan itu adalah pencerminan yang menerangkan sendiri tentang kegiatan pikiran yang melalkukan pembedaan-pembedaan khayal. Ananda, oleh karena kebiasaan pikiran didalam menanggapi pembedaanpembedaan, maka didalam pikiran itu sendiri lalu di kentarakan dan dipetakan gambaran-gambaran yang berkodrat khayalan palsu, dimana pikiran lalu melekat kepada khayalan paslsu itu, seolah-olah kesemuannya itu adalah 103 kenyataankenyataan rupa dan nama yang berada diluar pikiran dan mempunyai zat sendiri dan kodrat sendiri. Oleh sebab kemelekatan pikiran kepada kebiasaan menanggapi pembedaan-pembedaan sebab, rupa, dan nama, ananda, maka pikiran itu sendiri lalu membentuk suatu sistem berpikir perorangan yang sangat rumit (complex) berlandaskan pengertian-pengertian dan pandangan serba dua yang dinamakan: SISTEM PIKIRAN. Sistem pikiran ini, ananda, dapat dicirikan secara khas sebagai sarana untuk membentuk dan mempertahankan kepribasian perorangan dan dunia keadaan sekitarnya. Jadi jelas, ananda, bahwa dunia benda ini ada dan berwujud bukanlah oleh sebab diciptakan atau dijadikan oleh ”Sang Pencipta” ataupun ”Sang Pikiran”, tidak, tidak demikian! Dunia benda ini ada dan berwujud hanyalah olehsebab kemelekatan pikiran kepada kebiasaan menanggapi pembedaanpembedaan khayal.. 224. Ananda: Telah dikatakan, Bapa, bahwa pikiran itu sendiri telah membentuk apa yang dinamakan sistim pikiran, dan dengan sistem pikiran itu pikiran lalu membentuk dan mempertahankan kepribadian perorangan dan dunia keadaan sekitarnya. Sudikah bapa menerangkan, apakah yang dimaksud dengan kepribadian perorangan itu? 104 225. Bapa: Ananda, oleh sebab kemelakatan pikiran kepada khayalan palsu maka tampaknya kepribadian perorangan itu sebagai terdiri dari 5 unsur penyusunan kepribadian, yaitu bentuk, perasaan, penglihatan, pembedaan, dan kesadaran. Kelima usur sebetulnya hanyalah berkodrat khayal, karena mereka itu timbul dari pembedaan-pembedaan khayal sebagai sebab musababnya. Unsur bentuk, Ananda, itu dalah sesuatu yang dikhayalkan sebagai terbuat dari zat, dengan tidak peduli akan apa dan bagaimanakah sifat zat itu, sperti padat, cair,etheris, dan api. Unsur bentuk ini dapat dilihat, diraba, atau dirasakan adanya. Adapun empat unsur lainya, Ananda, itu sebenarnya tidak dapat dinyatakan sebagai unsur, sebab mereka bercampur baur menjadi satu, dan tidak dapat dilihat dan diraba, meskipun dapat dinyatakan adanya oleh sebab akibat-akibat yang ditimbulkannya Kelima unsur ini dinyatakan sebagai unsur penyusun kepribadian, Ananda, karena suatu alasan, bahwasanya seseorang pribadi itu mempunyai bentuk, dapat menyatakan perasaan, dapat melihat, dapat membeda-bedakan, dan dapat menyadari perorangannya (personalitasnya). Unsur bentuk, itu adalah unsur yang mewakili apa yang dinamakan keadaan lahiriah seseorang. Sedangkan unsur-unsur perasaan, penglihatan, pembedaan, dan kesadaran, itu adalah unsur yang mewakilkan apa yang dinamakan keadaan bathiniah seseorang. Singkatnya, Ananda, kepribadian seseorang itu lalu 105 terdiri dari keadaan-keadaan lahiriah dan bathiniah. Dan keadaan bathiniah yang terdiri dari unsur-unsur perasaan, penglihatan, pembedaan, dan kesadaran inilah, Ananda, yang dinyatakan oleh pikiran berpikir sebagai kenyataan yang dapat menyatakan diri selaku aku-pribadi (ego). Ananda, bagaimana pendapatmu tentang keadaan lahiriah dan keadaan bathiniah itu? Apakah mereka itu benar-benar merupakan kenyataan? 226. Ananda: Apa yang dinamakan keadaan lahiriah atau bathiniah itu sebenarnya bukan kenyataan apa-apa, Bapa, sebab mereka itu timbul dari pembedaan-pembedaan khayal sebagai sebab musababnya. Apa yang dinamakan sebagai keadaan lahiriah dan bathiniah itu tidak lain hanyalah konsepsi pikiran (mind conception) yang timbul dari pikiran itu sendiri. 227. Bapa: Bagus, Ananda, apa yang dinamakan lahiriah dan banthiniah itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, keculai gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri! Lalu bagaimana halnya dengan aku pribadi (ego) itu, Ananda? 228. Ananda: Mengenai apa yang dinamakan aku pribadi (ego), Bapa, itupun bukan kenyataan, sebab ia timbul dari gagasan-gagasan yang berkodrat khayal mengenai apa yang dinamakan 5 unsur-unsur penyusun kepribadian perorangan. 106 229. Bapa: Bagus! Ananda, kepribadian perorangan, yang seolah-olah terdiri dari 5 unsur penyusun kepribadian, dan yang kemudian di kelompokan menjadi unsur lahiriah dan unsur bathiniah, itu adalah buah hasil yang dibentuk dan dipertahankan oleh apa yang dinamakan tata sususnan pikiran atau sistem pikiran itu. Dan engkau mengenali, ananda, bahwa tata susunan pikiran atau sistem pikiran itu sendiri hanyalah timbul oleh sebab proses berpikir perorangan yang berlandaskan pembedaanpembedaan serba dua yang berkodrat khayal. Dengan singkat dapat dinyatakan, Ananda, bahwa kepribadian perorangan dan dunia keadaan sekitarnya itu ada dan berwujud bukan karena diciptakan atau dijadikan oleh siap-siapa, melainkan ia ada dan berwujud oleh sebab proses berpikir perorangan yang tersalur melalui tata susunan pikiran atau sistem pikiran, dan yang bersumber dari ketidak tahuan, pembedaanpembedaan khayal, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan. Bagaiman, ananda, sudah dapat terjawab dengan cukup jelaskah pertanyaanmu mengenai sebab musabab timbulnya dunia benda itu? 230. Ananda: Cukup jelas, Bapa! Dunia benda ini ada dan berwujud bukan sebagai ciptaan ataupun sebagai kejadian, melainkan dunia benda ini ada dan berwujud oleh sebab proses berpikir perorangan yang tersalur melalui tata susunan pikiran, dan yang 107 bersumber dari ketidak tahuan, pembedaan khayal, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan. Bapa, dapatkah kiranya dijelaskan dengan cara yang lebih terang mengenai proses bekerjanya tata susunan pikiran itu? 231. Bapa: Ananda, tata sususna pikiran itu terdiri dari 5 alat-alat perasaan (mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit tubuh), dan perasaanperasaan pikiran (senses) yang mengikutinya (penglihatan, pendengaran, pembauan, pencicipan, dan perabaan), yang kesemuanya itu di persatukan didalam pikiran membedakan (discriminating mind), dan yang berhubungan dengan dunia benda atau dunia luar (external world). Tata susunan pikiran, Ananda, itu timbul dari kegiatan bathin (mental activity) yang memisahkan pikiran dari perwujudannya sendiri, dan yang selanjutnya mebeda-bedakan perwujudannya sendiri itu sebagai banyaknya dan macamnya kenyataankenyataan rupa dan nama yang mempunyai kodrat sendiri, dimana rupa dan nama itu dibayangkan sebagai keadaan lahiriah. Didalam proses bekerjanya tata susunan pikiran, Ananda, keadaan lahiriah dan keadaa bathiniah itu merupakan dua unsur atau dua faktor yang saling bersyarat, dan saling bergantung. Artinya, unsur lahiriah ditentukan dan bergantung kepada unsur bathiniah, dan sebaliknya, unsur bathiniah ditentukan dan bergantung kepada unsur lahiriah. Pertama-tama, Ananda, oleh sebab kodrat ketidak tahuan, maka pikiran lalu melakukan pembedaan-pembedaan terhadap 108 perwujudannya sendiri, sehingga dengan demikian secara serempak dan bersama-sama lalu timbul dan terlihat ”adanya: berbagai bentuk dan rupa, seperti halnya matahari yang timbul serempak dan bersama-sama dengan sinarnya. Pada saat itu pula, Ananda, maka terjadilah ”kontak” diantara alat-alat perasaan dengan dunia bentuk dan rupa, yang lalu diikuti oleh bekerjanya perasaanperasaan pikiran didalam menanggapi berbagai bentuk dan rupa itu sebagai kenyataan-kenyataan dunia luat yang seungguh-sungguh ada dan berwujud. Perasaan-perasaan pikiran (senses) itu lalu mengalir kedalam pikiran membedakan, dan mengadakan kerjasama dengan cara yang paling erat didalam menimbulkan gambaran-gambaran (images) dan daripada berbagai bentuk dan rupa itu. Putusan atas arti dan nilai ”baik” atau ”buruk:nya berbagai bentuk dan rupa itu, Ananda, dipegang teguh dan dikukuhi oleh perasaan pikiran sebagai kenyataan yang memang harus begitu, dan tidak bisa lain, da akhirnya menjadi kebiasaan tanggapan. Kebiasaan tanggapan itu, Andan, lalu disimpan dan ditimbun didalam pikiran itu sendiri dabagai banyaknya dan macamnya benda-benda, orang-orang, obyekobyek dengan segala arti dan nilainya yang ”baik” ataupun yang ”buruk”. Oleh sebab pembedaan-pembedaan khayal berjalan terus, Ananda, maka berbafai gambaran dan gagasan-gagasan pikiran lalu timbul dan lenyap bergantiganti, terus menerus, dengan tak ada henti-hentinya, sehingga benda-benda, orang-orang, obyekobyek, lahiriah itu lalu terlihat sebagai bergerak-gerak dan berubah, seolah-olah mereka itu bergerak berubah karena 109 adanya seba-sebab dan syarat-syarat yang berada diluar pikiran itu sendiri. Pikiran membedakan tidak menyadari dengan terang, bahwa gerak perubahan daripada berbagai bentuk dan rupa itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali pencerminan yang menerangkan kegiatannya sendiri yang melakukan pembedaanpembedaan khayal itu. Ananda, proses seperti itu berjalan terus tak ada putus-putusnya! Hal-hal lihiriah menjadi sebab dan syarat adanya gambarangambaran dan gagasan-gagasan yang berkodrat bathiniah, sedangkan hal-hal bathiniah, oleh sebab kebiasaan tanggapan, lalu terlihat oleh pikiran debagai bentuk dan rupa yang berkodrat lahiriah. Dengan cara yang demikian itu, Ananda, maka bendabenda, orangorang, dan obyek-obyek lahiriah itu lalu tampak seolah-olah mepunyai adal mula kejadian (genensis), yaitu dijadikan dan diciptakan oleh sesuatu ”penyebab”, dan yang dikiranya ”penyebab” itu adalah ”Sang Pencipta”. Ini semua, Ananda, adalah buah pekerjaan tata susunan pikiran yang membentuk dan mempertahankan proses berpikir perorangan. Nah, Ananda,setelah engkau mengenali, bahawa diantara keadaan lahiriah dan bathiniah itu terdapat suatu hubungan saling bersyarat dan saling bergantung, maka apakah hubungan semacam itu dapat kau nyatakan sebagai hubungan ”sebab” dan ”akibat”? Coba terangkan Jawabamu! 232. Ananda: 110 Bapa, diantara apa yang dinamakan keadaan lahiriah dan keadaan bathiniah terdapat suatu hubungan saling bersyarat dan saling bergantung. Hubungan semacam itu tentu saja tidak dapat dinyatakan sebagai hubungan ”sebab” dan ”akibat”, karena apa yang diartikan sebagai hubungan ”sebab” dan ”akibat”’ itu adalah khayalan tentang adanya hubungan diantara dua kenyataan yang berpisah dan berbeda kodratnya. Sedangkan sebetulnya, ”sebab” dan ”akibat” itu bukanlah kenyataan apa-apa, kecuali kosepsi pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri. 233. Bapa: Bagus! Jadi, Ananda, jikalau dunia benda ini tampak sebagai bergerakgerak dan berubah, maka gerak perubahan itu bukanlah merupakan hasil bekerjanya sebab akibat, tidak, tidak demikian! Gerak perubahan itu timbul karena bekerjanya tata susunan pikiran yang melakukan pembedaan-pembedaan khayal, dan yang tunduk kepada hukum hubungan sebab musabab yang saling bergantung diantara hal-hal lahiriah dan bathiniah. Dunia benda sebagai bentuk dan rupa yang berkodrat lahiriah tergantung kepada gambaran-gambaran dan gagasan-gagasan pikiran yang berkodrat bathiniah, dan sebaliknya, gambarangambaran dan gagasan-gagasan pikiran yang berkodrat bathiniah bergantung kepada bentuk dan rupa yang berkodrat lahiriah. 111 Tetapi itu semua adalah bergantung kepada ketidak tahuan, pembedaanpembedaan khayal, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan pikiran kepada rupa dan nama. Nah, setelah dikenali akan kebenaran daripada Hukum Hubungan Sebab Musabab yang saling bergantung itu, Ananda, maka apakah yang dapat kaunyatakan tentang ”perbuatan-perbuatan” itu? Apakah ”perbuatan-perbuatan” itu suatu kenyataan ataukah bukan kenyataan? Terangkan Jawabmu! 234. Ananda: Apa yang dinamakan ”perbuatan”, Bapa, itu adalah gerak perubahan yang terputus-putus; sebab, jikalau tidak terjadi pemutusan gerak perubahan, maka disitu tidak akan tampak adanya ”perbuatan”. Adapun gerak perubahan, itu timbul dari bekerjanya tata susunan pikiran yang tak pernah putus-putusnya didalam melakukan pembedaan-pembedaan khayal yang bersyarat hal-hal lahiriah dan bathiniah yang saling bergantung. Ini berarti, bahwa gerak perubahan itu sebetulnya adalah suatu kelangsungan kegiatan yang tak pernah terputus. Dan oleh karena demikian, Bapa, maka apa yang dinamakan ”perbuatan-perbuatan, itu adalah bukan kenyataan! 235. Bapa: Tepat sekali, Ananda! Gerak perubahan, itu adalah merupakan pencerminan dari pada kegitaran tata susunan pikiran didalam melakukan pembedaanpembedaan khayal. Dan oleh karena kegiatan tata susunan 112 pikiran didalam melakukan pembedaanpembedaan khyal itu berlangsung terus dengan tidak ada putus-putusnya, maka gerak perubahan itu sendiri sebagai pencerminannya, tentunya juga tidak akan terputus-putus. Gerak perubahan daripada dunia keadaan ini, Ananda, itu bukanlah banyaknya dan macamnya ”perbuatan-perbuatan”., melainkangerak perubahan daripada dunia keadaan ini adalah suatu kelangsungan kegiatan, bagaikan hubungan mata rantai yang sambung menyambung menjadi satu rangkaian yang tak pernah ada putusnya. 236. Ananda: Bapa, selama ini akau menyenangi dan menyusahkan apa yang seharusnya tidak perlu aku senangi dan aku susahkan. Aku telah menyenangi dan menyusahkan sebagai rupa dan nama dengan arti-arti dan nilai-nilai baik atau buruk, dengan tidak menyadari secara terang, bahwa kesemuanya itu sebetulanya bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta di tanggapi oleh pikiran itu sendiri. 237. Bapa: Ananda, karena tidak mengenali akan hakekat daripada rupa dan nama dengan segala arti-arti dan nilai-nilai lahiriah yang berkodrat khayal mengenai apa yang baik dan apa yang buruk itu, sikap-sikap, perbuatan-perbuatan, dan kata-kata. 113 Nah, setelah engkai mengenali akan apakah sebetulnya sikapsikap, perbuatanperbuatan, dan kata-kata itu, Ananda, maka semestinya engkau tidak perlu menderita lagi. Bukankah begitu, Ananda? 238. Ananda: Ya, semestinya memang begitu, Bapa! Tetapi, apakah sebetulnya penderitaan itu, Bapa? 114 6. PENDERITAAN DAN KEBAHAGIAAN 239. Bapa: Ananda, penderitaan itu adalah khayalan palsu yang ditanggapi oleh perasaan pikiran sebagai kenyataan rupa dan nama yang mempunyai arti dan nilai baik ataupun buruk. Singkatnya, penderitaan itu adlaah tanggapan khayal, Ananda! Lalu bagaimana pendapatmu kesusahan itu, Ananda? tentang kesenangan dan Manakah yang tergolong sebagai penderitaan? 240. Ananda: Kedua-duanya, Bapa! Baik kesenangan, maupun kesusahan, kedua-duanya adalah tergolong sebagai penderitaan, karena kedua-duanya adalah tanggapan khayal daripada perasaan pikiran terhadap rupa dan nama yang mempunyai arti dan nilai baik ataupun buruk. 241. Bapa: Benar, Ananda, baik kesenangan, maupun kesusahan, keduaduanya tiu adalah tergolong penderitaan. Kesenangan dan kesusahan adalah penderitaan yang hanya berbeda didalama kemendalamannya (intensitasnya) saja. Kesenangan adalah penderitaan dengan intensitas yang lebih ringan jikalua dibandingkan dengan kesusahan. Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari misalnya, penghasilan Rp. 1.000,- sehari bagi abang tukang becak, 115 mungkin merupakan kesenangan luar biasa, namun bagi sang pengusaha besar, penghasilan Rp. 1.000,- sehari tiu mungkin merupakan kegagalan yang sangat menderitakan. 242. Ananda: Lalu apakah bedanya atara kesehangan dan kebahagiaan, Bapa? 243. Bapa: ”Kesenangan: dan ”Kebahagiaan” itu apa? Bukankah ”kesenangan” dan ”kebahagiaan” itu hanya istilah atau nama yang berasal dari pembedaanpembedaan kata-kata untuk memberikan ciri (tanda) dan arti kepada sesuatu keadaan? Menurut kebiasaan, Ananda, kebahagiaan itu diberikan arti sama dengan kesenangan, itu boleh saja, dan tak ada halangan apaapa! Tetapi, istilah ”kebahagiaan”, itu boleh juga dipakai untuk menyatakan sesuatu arti yang berbeda daripada kesenangan, yaitu untuk menyatakan berhentinya penderitaan. Dan berhentinya penderitaan, itu berarti berhentinya kesenangan dan kesusahan! 244. Ananda: Telah dikatakan, Bapa, bahwa kebahagiaan itu adalah berhentinya penderitaan; dan berhentinya penderitaan berarti berhentinya kesenangan dan kesusahan. Pengertian ini, Bapa, agaknya membingungkan, dan sukar difahami, karena jikalau kesenangan dan kesusahan itu terhenti, 116 bukankah itu akan berarti suatu kematian? Dan jikalau seseorang itu sudah mati, bagaimanakah kebahagiaan itu dapat dirasakannya? Bagaimanakah jelasnya, Bapa? 245. Bapa: Ananda, engkau sudah mengenali, bahwa kesenangan dan kesusahan itu adalah penderitaaan; dan penderitaan itu adalah tanggapan khayal. Ini berarti, bahwa kesenangan dan kesusahan itupun tanggapan khayal pula. Maksudnya, kesenangan dan kesusahan itu adalah khayalan palsu yang di tanggapi oleh perasaan pikiran sebagai kenyataan-kenyataan rupa dan nama yang mempunyai arti dan nilai baik ataupun buruk. Kesenangan dan kesusahan, Ananda, sebagai khayalan palsu, kodratnya adalah bagaikan apa yang terlihat dalam mimpi. Dan itu bukanlah kenyataan apa-apa, kecuali gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri. Sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda! Jikalau engkau menanggapi kesenangan dan kesusahan itu sebagai kenyataankenyataan yang sungguh-sungguh, Ananda, apakah engkau didalam keadaan bangun dan sadar te rang, ataukah engkau didalam keadaan tidur bermimpi dan tidak sadar terang? 246. Ananda: Pada saat aku menanggapi kesenangan dan kesusahan sebagai kenyataankenyataan yang sungguh-sungguh, Bapa, maka pada 117 saat itu sebetulnya aku berada didalam keadaan tidur bermimpi dan tidak sadar terang. 247. Bapa: Bagus! Nah, didalam keadaan bangun dari tidur dan sadar terang, Ananda, apakah engkau masih perlu menyibuki kesenangan dan kesusahan yang berkodrat impian itu? 248. Ananda: Tentu saja tidak, Bapa! Didalam keadaan bangun dan sadar terang aku tidak memerlukan lagi kesenangan-kesenagnan dan kesusahan-kesusahan yang hanya ada didalam mimpi itu, Bapa. 249. Bapa: Nah, kalau demikain itu halnya, Ananda, maka jelaslah, bahwa didalam keadaan bangun dan bangkit dari tidur bermimpi, dan didalam keadaan sadar terang, semua kesenangan dan kesusahan itu terhenti. Ini berarti, bahwa kesenangan dan kesusahan itu berhenti pada saat engkau bangkit dan sadar terang. Ananda, apakah bangkit dan sadar terang itu suatu kematian? 250. Ananda: Ya, ya, Bapa, sekarang aku mengerti! Kesenangan dan kesusahan itu aku sibuki dan aku nikmati didalam keadaan tidak sadar terang, karena aku berada dalam keadaan tidur bermimpi. Begitu aku bangkit dan sadar terang, 118 maka disitu kesenangan dan kesusahan menjadi terhenti. Jadi, kesenangan dan kesusahan itu berhenti pada saat aku bangkut dan sadar terang. Sedangkan bangkit dan sadar terang itu bukanlah berarti kematian, karena kematian itu ada dalam keadaan tidaka sadar terang. Bukankah begitu, Bapa? 251. Bapa: Bagus, dan benar, Ananda! Memang, kesenangan dan kesusahan itu terhenti didalam kebangkitan dan sadar-terang. Kebangkitan (=kiyamat), dan sadar terang (enlightened) itulah, Ananda, yang dimaksudkan dengan kebahagiaan itu. Kebahagiaan itu, Ananda, tidak ada sangkut pautnya dengan perasaan-perasaan pikiran yang berkodrat perorangan. Artinya, kebangkitan itu tidak dapat dicapai dan dihayati oleh perorangan dengan kesadaran ”aku-pribadi” (kesadaran-ego). Kebahagiaan adalah ”milik” seseorang yang sadar-terang, yaitu sadar terang akan hakekat ”dirinya” sebagai Kenyataan Esa yang hampa-zat, hampapembedaan, hampa-sebutan, dan hampaperbuatan. Singkatnya, Ananda, kebahagiaan itu adalah terhentinya penderitaan; dan berhentinya penderitaan itu adalah sadar terang. Menghentikan penderitaan, Ananda, itu adalah mencapai dan merealisasi sendiri (menyelami sendiri) sadar terang itu. 119 Menghentikan penderitaan itu bukanlah ”berbelok” dan memasuki jalan mencari kesenangan-kesenangan rupa dan nama dengan segala arti dan nilai-nilai ”baik” atau ”buruk” yang berkodrat khayalan-palsu itu. 252. Ananda: Bapa, didalam rangka usaha untuk mencari dan merealisasi sendiri (menyelami sendiri) sadar terang itu, yaitu merealisasi berhentinya penderitaan, maka jalan apakah yang seharusnya aku tempuh? Sudikah Bapa memberikan penerangan yang sejelas-jelasnya? 253. Bapa: Ananda, jikalau engkau mengatakan, bahwa engkau hendak berusaha untuk menghentikan penderitaan, bukankah itu suatu tanda yang menunjukkan bahwasanya engkau sadar dalam keadaan menderita? Bagaimana, bukankah begitu, Ananda? 92 254. Ananda: Benar, Bapa, jikalau aku menyatakan, bahwa aku hendak berusaha menghentikan penderitaan, maka perbyataan itu menunjukkan bahwasanya aku saat ini sadar dalam keadaan menderita. Dan memang benar, Bapa, aku menderita di dunia ini! 255. Bapa: 120 Dan sebaliknya, Ananda, jikalau engkau hendak berusaha mencari kebahagiaan, bukankah itu suatu tanda yang menunjukkan bahwasanya engkau belum memperoleh kebahagiaan? Bagaimana, bukankah begitu, Ananda? 256. Ananda: Benar, Bapa, jikalau aku menyatakan, bahwa aku hendak berusaha mencari kebahagiaan, maka pernyataan itu menunjukkan bahwasanya aku saat ini belum memperoleh kebahagiaan. Dan memang benar, Bapa, aku belum memperolehkebahagiaan, karena aku sedang menderita didunia ini! 257. Bapa: Jadi tegasnya, Ananda, apakah engkau menyatakan hendak menghentikan penderitaan, ataukah engkau menyatakan hendak mencari kebahagiaan, keduadua pernyataan itu hanya menunjukkan satu fakta saja, yaitu: engkau sedang menderita didunia sekaran ini! Ananda, penderitaan itu adalah fakta kehidupan duniawi; yaitu fakta kehidupan yang dialami oleh semua manusia yang hidup didalam dunia keadaan ini, tanpa kecualinya. Meskipun hampir semua manusia dengan mudah mengucapkan pernyataan: ”Aku berusaha menghentikan penderitaan”, atau ”Aku berusaha mencari kebahagiaan”, namun tidak semua manusia mengerti 121 akan makna yang sebenarnya daripada apa yang sedang mereka ucapkan itu! Kebayankan manusia mengucapkan apa yang mereka tidak mengerti! 258. Ananda: Telah dinyatakan, Bapa, bahwa kebanyakan manusia mengucapkan apa yang mereka tidak mengerti. Aku kurang dapat memahami akan apa yang dimaksudkan oleh pernyataan itu, Bapa! Bagaimana jelasnya, Bapa? 259. Bapa: Ananda, jikalau seseorang mengatakan: ”Aku menderita di dunia ini”, tetapi tidak mengerti akan apa atau siapakah ”aku” itu, tidak mengerti akan apakah ”dunia” itu, dan tidak mengerti akan apakah ”penderitaan” itu, bukankah hal itu akan berarti, bahwa ia tidak mengerti akan apa yang ia ucapkan? Dan lagi, Ananda, jikalau seseorang mengatakan: Aku mencari kebahagian di dunia ini”, tetapi tidak mengerti akan apa atau diapakah ”aku” itu, tidak mengerti akan apakah ”dunia” itu, dan tidak mengerti akan apakah ”kebahagiaan: itu, bukankah hal itu akan berarti, bahwa ia tidak mengerti akan apa yang ia ucapkan? 260. Anada: O, sekarang aku dapa memahami akan apa yang dimaksud oleh pernyataan ”manusia mengucapkan apa yang mereka tidak mengerti” itu, Bapa! 261. Bapa: 122 Jadi, Ananda, jikalau engkau hendak menghentikan penderitaan didalam kehidupan dunia ini, maka pertama-tama engkau harus mempunyai pengertian yang benar, tegas, dan jelas tentang hal ikhwalnya tiga hal, yaitu: pertama, engkau harus mengerti akan apa atau siapakah hakekatnya ”engkau-sendiri”, yang biasa kau sebutkan sebagai ”aku” itu; kedua, engkau harus mengerti akan apakah hakekatnya ”duniakeadaan”, yang biasa kausebut sebagai keadaan ”lahiriah” dan keadaan ”bathiniah” itu; dan ketiga, engkau harus mengerti akan apakah hakekatnya ”penderitaan”, yang biasa kausebutkan sebagai ”kesenangan” dan ”kesusahan” itu. Ananda, kiranya dari hasil penelitian dan perenungan sendiri melalui akal yang dipuncakkan, engkau sekarang telah dapat mengerti dan mengenali akan hakekat ketiga hal tersebut itu tadi. Coba nyatakan pengertianmu tentang ketiga hal itu, Ananda! 262. Ananda: Pertama-tama tentang hakekat ”aku-sendiri”, yang biasanya disebutkan sebagai ”aku”, Bapa! ”AKU” adalah pikiran melihat, yaitu pikiran itu sendiri, sebagai satu-satunya Kenyataan Esa yang hampa zat, hampa pembedaan, hampa sebutan, hampa kelahiran, dan hampa kematian. Yang kedua tentang ”dunia kenyataa”! 123 Apa yang ada dan berwujud itu, baik yang lahiriah, maupun yang bathiniah, itu semua bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. Atau dengan lain perkataan dapat dinyatakan, bahwa segala apa yang ada dan berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan bayangan ku yang timbul daripada-ku, dan terlihat olehku sendiri. Dan yang ketiga tentang „penderitaan“! Penderitaan, itu adalah tanggapan khayal yang timbul dari tata susunan pikiran yang melakukan proses berpikir perorangan. Dan berhentinya pendertiaan, itu adalah Kebahagiaan, yaitu kebangkitan dan sadar terang. Demikianlah, Bapa, pengertian tentang hakekat ”Aku”, dunia keadaan, dan penderitaan itu! 263. Bapa: Bagus, bagus, bagus sekali, Ananda! Dan jikalau engkau bertanya mengenai Jalan yang harus ditempuh untuk merealisasi sendiri (menyelami sendiri) sadar terang, yatu merealisasi sendiri berhentinya penderitaan, Ananda, maka terlebih dahulu engkau harus mengerti dan mengenali akan sebab musabab yang menimbulkan penderitaan itu. Dan sekarang engkau sudah dapat mengenalinya. Coba, Ananda, terangkan apa yang menjadi sebab musabab timbulnya penderitaan itu! 124 264. Ananda: Sebab musabab timbulnya penderitaan adalah ketidaktahuan (kebodohan), Bapa! Karena kodrat ketidak tahuan itu, maka pikiran lalu melakukan kekeliruan yang besar lagi mendasar, yaitu dengan menyusun proses berpikir perorangan yang berwujud sebagai apa yang dinamakan tata susunan pikiran. Tata susunan pikiran itu, Bapa, yang dapat dicirikan secara khas sebagai pembentuk proses perorangan, melakukan kegiatannya berlandaskan pembedaan-pembedaan, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan kepada rupa dan nama yang diberi arti dan nilai-nilai yang serba dua. Dengan singkat dapat dikatakan, Bapa, bahwa sebab musabab timbulnya penderitaan adalah ketidak tahuan, dimana ketidak tahuan itu berwujud sebagai tata susunan pikiran yang membentuk proses perorangan melalui pembedaan, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan. 265. Bapa: Bagus sekali, Ananda! Nah, setelah sebab musabab timbulnya penderitaan itu dikenali, Ananda, maka Jalan yang harus ditempuh untuk merealisasi berhentinya penderitaan lalu menjadi jelas. Jalan yang harus ditempuh untuk menghentikan penderitaan adalah menghentikan ketidak tahuan; menghentikan ketidaktahuan adalah menghentikan bekerjanya tata susunan 125 pikiran; menghentikan bekerjanya tata susunan pikirana adalah menghentikan kemelekatan kepada kebiasaan menanggapi pembedaan-pembedaan khayal. Jadi, Ananda, untuk menghentikan penderitaan, yang berarti merealisasi sadar terang atau kebahagiaan penderitaan, yang berarti merealisasi sadar terang atau kebahagiaan itu adalah dengan menempuh jalan menghentikan kemelekatan kepada kebiasaan menanggapi pembedaan-pembedaan khayal. 266. Ananda: Telah dikatakan, Bapa, bahwa berhentinya penderitaan, itu adalah berhentinya kesenangan, maupun kesusahan, itu adalah penderitaan itu juga. Dan aku pernah berpendapat, Bapa, bahwa berhentinya kesenangan dan kesusahan itu berarti kematian. Tetapi ternyata, bahwa berhentinya kesenangan dan kesusahan itu bukanlah kematian, melainkan berhentinya kesenangan dan kesusahan itu adalah kebangkitan dan sadar terang. Dalam hubungan itu, Bapa, lalu apakah makna daripada ”kematian”itu sendiri? Dan bagaimanakah hubungannya dengan”tubuh” dan ”jiwa” atau ”sukma” itu? Sudikah Bapa menjelaskan? 126 7. HIDUP DAN MATI 267. Bapa: Sebelum menjawab pertanyaanmu tentang apakah sebetulnya makna daripada apa yang dinamakan ”kematian” itu, Ananda, maka aku hendak bertanya lebih dahulu kepadamu! Ananda, menurut pengertian benar, apakah ”tubuh” itu Kenyataan atau bukan kenyataan? 268. Ananda: ”Tubuh” itu ada dan terwujud, Bapa, dan oleh karena itu, ”tubuh” tergolong sebagai kebenaran rupa dan nama. Sebagaimana kebenaran rupa dan nama yang berkodrat khayalan palsu, Bapa, maka ”tubuh” itu bukan kenyataan apa apa, kecuali perwujudan gambar-pikiran yang timbul dari pikiran,dan dilihat setaditanggapi oleh pikiran itu sendiri. 269. Bapa: Bagus! Lalu bagaimanakah pendapatmu tentang ”tubuh” itu, Ananda? Dapakah ”tubuh” itu dirusak dan dihancurkan? 270. Ananda: Karena ”tubuh” itu bukan kenyataan apa-apa, kecuali gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri, Bapa, maka ”tubuh” itu tidak dapat dirusak dan dihancurkan! 271. Bapa: 127 Tetapi, Ananda, menurt fakta duniawi, bukankah ”tubuh” itu dapat rusak dan hancur? Bagaimanakah keteranganmu tentang hal itu, Ananda? 272. Ananda: Benar, Bapa, menurut fakta duniawi ”tubuh” itu dapat rusak dan hancur. Tetapi, Bapa, apa yant terlihat sebagai ”rusak” dan ”hancur” itu sebetulnya tidak lain adalah gerak perubahan; sedangkan gerak perubahan itu sendiri sebetulnya bukanlah kenyataan apa-apa, kecuali pencerminan yang menerangkan sendiri tentang timbul dan tenggelamnya pergantian-pergantian gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri oleh sebab pembedaan-pembadaan khayal. 273. Bapa: Bagus sekali, Ananda! Memang, ”tubuh” itu tidak dapat dirusak dan dihancurkan, karena apa yang terlihat sebagai kerusakan dan kehancuran itu tidak lain hanyalah perwujudan daripada timbul dan tenggelamnya pergantian-pergantian gagasan pikiran oleh sebab pembedaanpembedaan khayal. Hanya karena kemelekatan pikiran kepada kebiasaan menanggapi pembedaan-pembedaan khayal itulah, maka lalu terlihat seolah-olah ”tubuh” itu adalah kenyataan yang dapat rusak dan hancur! Nah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu tentang apa yang dinamakan ”Jiwa”, atau ”sukma” itu, Ananda! Bagaimana menurut pendapatmu, Ananda, apakah ”Jiwa” atau ”Sukma” itu kenyataan, ataukah bukan kenyataan? 128 274. Ananda: Menurut sementara pujangga, Bapa, ”Jiwa” atau ”Sukma” itu adalah kenyataan Esa yang tak pernah terlahir, tak pernah mati, dan kekal selama-lamanya sebagai sebab pertama yang menjadikan dan menghidupkan segala apa yang ada dan berwujud ini. Bapa, jikalau ”jiwa” atau ”sukma” dispekulasikan sebagai ”sebab pertama” yang menjadikan dan menghidupkan segala apa yang ada dan berwujud ini, maka pengertian ”jiwa” atau ”sukma” semacam itu tidak dapat aku terima sebagai kenyataan! Sebabnya adalah, bahwa ”sebab pertama” itu tidak lain hanyalah gagasa pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri oleh sebab kemelekatannya kepada pembedaan-pembedaa serba dua mengenai ”sebab” dan ”akibat” Dan jikalau ”jiwa” atau ”sukma” itu dispekulasikan sebagai kenyataan esa yang mempunyai kodrat sendiri untuk melakukan perbuatan menjadikan dan menghidupkan, maka pengertian ”Jiwa” atau ”sukma” semacam itu pun tidak dapat aku terima sebagai kenyataan! Sebabnya adalah, bahwa ”kodrat sendiri” itu tidak lain hanyalah gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri oleh sebab kemelekatannya kepada rupa, nama dan perbuatan-perbuatan. Tetapi, Bapa, jikalau ”jiwa” atau ”sukma” itu diartikan sebagai kenyataan Esa yang hampa zat, hampa pembedaan, hampa sebutan, dan hampa perbuatan, dan yang oleh karenanya lalu berarti hampa sebab dan hampa kodrat sendiri, maka pengertian 129 ”jiwa” atau ”sukma” seperti itu dapat aku terima sebagai Kenyataan. 276. Bapa: Bagus, bagus, Ananda, bagus! “Jiwa” atau “sukma” yang dispekulasikan oleh sementara pujangga sebagai “sebab pertama” yang mempunyai “kodrat sendiri” untuk melakukan perbuatan menjadikan dan menghidupkan, itu bukan kenyataan apa-apa, kecuali gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri. Dan oleh karena itu, maka “jiwa” atau “sukma” seperti itu adalah berkodrat khayalan palsu. Ananda, sekarang kembali kepada pertanyaanmu tentang apa yang dinamakan ”kematina” itu! ”Kematian, Ananda, jikalau diartikan sebagai ”kerusakan” atau ”kehancuran” daripada ”tubuh”, maka ”kematian” seperti itu tidak lain hanyalah gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri, dan yang kodratya adalah khayalan palsu. 276. Ananda: Dan jikalau ”kematian” itu di artikan sebagai perginya ”jiwa” atau ”sukma” yang meninggalkan tubuh, Bapa, lalu bagaimana? 277. Bapa: Ananda, apakah ”tubuh” itu suatu tempat, atau suatu yang memerlukan tempat? 278. Ananda: 130 Karena ”tubuh” itu hanyalah gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri, Bapa, tentunya ”tubuh” itu bukan suatu tempat, dan bukan pula sesuatu yang memerlukan tempat. 279. Bapa: Nah. Ananda, jikalau telah ternyata, bahwa ”tubuh” itu bukan suatu tempat, dan juga bukan sesuatu yang memerlukan tempat, apakah ada sesuatu yang dapat meninggalkan :tubuh” itu? 100 280. Ananda: Tentu saja tidak, Bapa! Kalau begitu jelas, Bapa, bahawa ”jiwa atau ”sukma” itu bukanlah kenyataan yang :pernha datang kepada ” tubuh” atau pergi meninggalkan ”tubuh”. Datang dan perginya ”Jiwa” atau ”sukma” itu tidak lain hanyalah gagasan pikiran yang timbul dari kemelekatan pikiran kepada ruap, nama, dan kodrat sendiri. 281. Bapa: Ananda, manusia dengan kesadaran ”aku pribadi” (kesadaran ego) itu mempunyai cara berpikir yang tersalur melalui tata susunan pikiran yang berkodrat perorangan, dan melekat kepada berbagai rupa dan nama yang dikiranya mempunyai zat sendiri dan kodrat sendiri. Oleh karena demikian, Ananda, maka manusia dengan kesadaran ”aku Pribadi” (kesadaran ego) lalu takut kepada 131 kerusakan tubuh, takut kepada kehancuran tubuh, takut kehilangan jiwa, takut kehilangan sukma, takut kehilangan nyawa, taku kehilangan roh, pendek kata: mereka takut sakit dan taku mati. Mereka ingin dan berusaha untuk mempertahankan hidup perorangannya, yang dikiranya sebagai terdidi dari ”tubuh” dan ”jiwa” yang mempunyai zat sendiri dan kodrat sendiri, dan berkelana kemana-mana untuk mencari kesenangankesenangan rupa dan nama. Mereka lalu melekat kepada sikap-sikap, perbuatan-perbuatan, kata-kata, kecakapan-kecakapan, pandangan-pandangan filsafat, dan hal yang serba dua, seolah-olah kesemuannya itu adalah banyaknya dan macamnya kenyataankenyataan. Mereka tidak dapat menyadari dengan terang, bahwa kesemuanya itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali buah hasil proses berpikir perorangan yang berkodrat khayalan palsu, yang di bentuk dan dipertahankan oleh tata susunan pikiran. Jadi, Ananda, selama tata susunan pikira itu belum terhenti, maka disitu akan selalu terdapat kesadaran ”aku pribadi”; dan selama masih terdapat kesadaran ”aku pribadi”, maka disitu manusia hidup dalam dunia gambaran khayal yang kodratnya bagaikan tidur bermimpi, dan tidak dapat merealisasi sendiri sadar terang. Sebaliknya, Ananda, jikalau tata susunan pikiran itu berhenti bekerja, maka disitu terdapat ”pembalikan”” dari kesadaran ”aku pribadi” kepada kesadaran ”Aku Kenyataan Esa” (kesadaran 132 esa); dan dalam kesadaran esa, manusia hidup dalam realisasi kebagkitan dan sadar terang. Tegasnya, Ananda, didalam kesadaran ego, maka manusia itu berada didalam kodrat tidur bermimpi, dan tidak sadar terang. Didalam kodrat tidur bermimpi dan tidak sadar terang inilah, Ananda, makna dan arti yang sebetulnya mengenai apa yang disebut sebagai maut dan mati itu. Dan didalam kesadaran esa, Ananda, maka manusia berada dalam kodrat kebangkitan dan sadar terang. Didalam kodrat kebangkitan dan sadar terang (enlightened) inilah, Ananda, makna dan arti yang sebetulnya mengenai apa yang di sebut sebagai Hidup Kekal yang tiada kematian. 282. Ananda: Mengertilah aku sekarang, Bapa, bahwa soal mati dan hidup itu bukanlah soal pembedaan-pembedaan rupa dan nama, melainkan soal realisasi sadar terang. Tidak sadar terang itu artinya tidak tahu mana yang kenyataan, dan mana yang bukan kenyataan; tidak tahu mana yang kenyataan dan manya yang bukan kenyataan itu artinya tidak tahu apa-aoa; dan tidak tahu apa-apa itulah pikiran ”tertidur” dan ”mimpi” atau mati. Sebaliknya, sadar terang itu artinya tahu nama yang sesungguhnya kenyataan, dan mana yang sesungguhnya bukan kenyataan,; tahu mana yang sesungguhya kenyataan, dan mana yang sesungguhnya bukan kenyataan itu artinya sungguhsungguh bangun dan bangkit dari ”tidak bermimpi”; dan 133 sungguh-sungguh bangundan bangkit dari ”tidur bermimpi” itulah bangkit dari kematian atau hidup. Bukan begitu, Bapa? 283. Bapa: Benar, Ananda, memang begitu! Jadi selama pikiran terpenjara didalam tata susunan pikiran hasil rekaannya sendiri, Ananda, maka disitu pikiran lalu ”tertidur: dan tidak sadar terang. Itulah kematian atau maut! Dan begitu pikiran melepaskan diri dari kemelekatannya kepada tata susunan pikiran, maka disitu pikiran lalu ”bangkit” dan sadar terang. Itulah bangkit dari kematian (kiyamat) atau hidup! 284. Ananda Telah dikatakan, Bapa, bahwa begitu pikiran melepaskan diri dari kemelekatannya kepada tata susunan pikiran, maka pikiran lalu ”bangkit” dan sadar terang. Ini berarti, bahwa melepaskan kemelekatan pikiran kepada tata susuana pikiran, itu adalah jalan menuju kebangkitan dan sadar terang, atau jalan menuju hidup. Tetapi, Bapa, meskipun jalan sudah diketahui, namun jikalau cara menempuh jalan itu belum diketahui, maka hal itu mungkin akan menyebabkan kegagalan untuk dapat sampai kepada tujuan. Sudikah Bapa emnerangkan mengenai cara menempuh jelan kebagkitan yang menuju kepada hidup itu? 134 8. JALAN KEBANGKITAN DAN USAHA PENYELAMAN-SENDIRI 285. Bapa: Ananda, engkau telah mengenali, bahwa kesadaran ego adalah kematian; dan ”pembalikan” pikiran dari kesadaran ego kepada kesadaran esa adalah bangkit dari kematian, dan hidup sadar terang. Dan ”pembalikan” itu terjadi, Ananda, ketika tata susunan pikiran berhenti melakukan kegiatannya. Untuk dapat mengeti akan cara bagaimanakah merealisasi berhentinya tata susunan pikiran, Ananda, bagi yang belum pernah menyelami sendiri sadar terang, maka masih diperlukan bantuan berupa petunjuk dan ajaran. Ananda, jikalau kita berbicara perihal petunjuk dan ajaran, maka disitu terdapat dua hal yang saling berkaitan, dan yang kodratnya harus dimengerti dengan sungguh-sungguh, yaitu mengenai katakata dan arti. Ajaran, Ananda, disampaikan untuk menunjukkan arti dari pada kenyataan, supaya kodrat kenyataan itu dapat dikenali. Dan menunjukkan arti, Ananda, dilakukan dengan menggunakan katakata yang dijadikan nama-nama, sebab tanpa menggunakan kata-kata dan nama-nama, maka arti itu tidak dapat dinyatakan dan tidak dapat ditunjukkan. Untuk lebih jelasnya, Ananda, inilah sebuah perumpamaan! Misalnya saja, Ananda, aku hendak menunjukkan kepadamu akan arti daripada madu, yang belum pernha kaukenali sebelumnya. Kemudian aku berbicara kepadamu: ”Ananda, madu itu manis”. 135 Sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda! Apakah dengan kata-kata yang bunyinya ”madu itu manis” engkau sudah dapat mengenali kesungguhan daripada madu yang manis itu, Anada? 286. Ananda: Tentu saja belum, Bapa! Hanya dengan mendengar bunyi katakata “madu itu manis”, Bapa, belum berarti, bahwasanya aku sudah dapat mengenali kesugguhan daripada madu manis itu. 287. Bapa: Betul! Jadi hanya mengenal akan bunyi kata-kata “madu itu manis”, belum berarti bahwasanya engkau telah mengenali akan kesungguhan arti daripada madu yang manis itu. Lalu, untuk dapat mengenali kesungguhan arti daripada madu yang manis itu, Ananda, apakah yang seharusnya kau lakukan? 288. Ananda: Untuk dapa mengenali kesungguhan arti daripada madu yang manis itu, Bapa, maka aku harus mencicipi sendiri madu itu! 289. Bapa: Benar, Ananda! Untuk mengenali kesungguhan arti daripada madu yang manis itu, maka engkau harus mencicipi sendiri madu itu, dan engkau harus menghayati dan merealisasi sendiri (menyelami sendiri). Arti daripada kenyataan, itu tidak dapat dikenali melalui peryataan kata-kata dan nama-nama. Arti, Ananda, itu berdiri sendiri, 136 dan tidak bergantung kepada apa atau siapapun; arti tidak bergantung kepada kata-kata dan nama-nama yang digunakan. Arti adalah hampa syarat dan hampa pembedaan! Itulah kodratnya arti. 290. Ananda: Lalu bagaimanakah kondratnya kata-kata dan nama-nama itu, Bapa? 291. Bapa: Ananda, nama-nama itu bergantung kepada kata-kata; sedangkan kata-kata itu timbul dari pembedaan-pembedaan sebagai sebab musababnya. Kata-ktaa, Ananda, dibeda-bedakan secara khayal menurut bentuknya dan bunyinya huruf-huruf. Kata-kata itu timbul dari pembedaan-pembedaan suara yang dikhayalkan oleh tata susunan pikiran sebagai kenyataan rupa, yang kemudian diberikan arti dan nilai-nilai khayal ”begini” atau ”begitu” seolaholah kata-kata itu sama dengan benda. Kata-kata, Ananda, yang sudah diberikan arti-arti dan nilai-nilai khayal, itulah yang disebut nama. Nama-nama itu dikhayalkan oleh tata susunan pikiran sebagai benda-benda yang mempunyai zat sendiri dan kodrat sendiri, sehingga akhirnya seseorang lalu berkata: ”Jikalau begitu itu namanya, maka begitu itulah bendanya”. 137 Singkatnya, Ananda, kata-kata dan nama-nama itu adalah kebenaran rupa yang kodratnya khayalan palsu, dan timbul dibawah syarat pembedaan-pembedaan khayal. Bagaimana, Ananda, cukup jelaskah mengenai kodrat arti dan kodrat kata-kata dan nama-nama? 292. Ananda: Cukup jelas, Bapa! Mengenai arti daripada daripada kenyataan itu tidak sama dengan mengenal arti daripada kata-kata dan nama-nama, karena kenyataan itu tidak sama dengan kata-kata dan namanama. Mengenal arti daripada kenyataan itu hanya dapat dicapai dengan cara merealisasi sendiri atau menyelami sendiri kenyataan itu dan mengenal arti daripada kenyataan itu tidak dapat dicapai dengan cara mengenal arti kata-kata. 293. Bapa: Bagus sekali, Ananda! Mengenai arti daripada Kenyataan, itu hanya dapat diusahakan dengan merealisasi sendiri atau menyelami sendiri Kenyatan itu! Ingat baik-baik hal ini! Mengenai arti daripada Kenyataan tidak dapat diusahakan dengan hanya mengerti arti kata-kata (literal meaning), karena kata-kata bukanlah Kenyataan itu sendiri. 138 Kata-kata, Ananda, hanyalah bagaikan papan penunjuk jalan yang menunjukkan kiblat (arah), kearah mana seharusnya engkau menghadapkan perhatianmu dan kemudia berjalan agar supaya engkau mengerti dan tidak tersesat jalan. Tetapi, Ananda, untuk dapat mencapai dan menemukan tujuanmu, maka engkau harus berusaha sendiri untuk berjalan sendiri menempuh jalan itu. Sebagai perumpamaan, Ananda, engkau boleh saja mengerti apa yang diterangkan oleh papan penunjuk jalan itu, bahwa jarak Jakarta ke Surabaya itu adalah 800 kilometer, dan di Surabaya itu terdapat sebuah tugu pahlawan, tetapi jikalau papan penunjuk jalan itu hanya kau baca dan kau mengerti saja dengan tidak mau berusaha sendiri untuk berjalan sendiri menempuh jalan 800 kilometer itu, maka engkau tidak akan pernah sampai di Surabaya, Ananda, dan engkau tidak akan pernah melihat sendiri tugu pahlawan itu! Demikian pula halnya dengan Kenyataan, Ananda! Engkau boleh mengerti dengan segala kekuatannya arti kata-kata dan pengertian benar mengenai kenyataan Sadar Terang, tetapi jikalau engkau tidak mau berusahan sendiri untuk merealisasi sendiri atau menyelami sendiri arti daripada Kenyataan dan Sadar Terang itu, maka engkau tidak bakal sampai kepada Kenyataan dan Sadar Terang. Ananda, aku sekarang hendak menerangkan kepadamu tentang cara menmpuh jalan kebangkitan menuju kepada Sadar Terang dengan menggunakan katakata! Tetapi, hati-hatilah, hendaknya engkau tidak terlibat didalam menganalisa dan menguraikan arti kata-kata daripada kata-kata 139 yang aku gunakan! Cobalah engkau berusaha sendiri untuk mengerti dengan menembusi arti daripada Kenyataan! 294. Ananda: Bagaimanakah tegasnya, Bapa, mengerti dengan menembusi arti daripada Kenyataan itu? 295. Bapa: Ananda, mengerti dengan menembusi arti daripada Kenyataan, itu adalah mengerti, bahwa segala rupa dan nama itu ”ada” hanya sebagai gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri, dan bukan Kenyataan dunia luar. Dan menyelami sendiri arti daripada Kenyataan itu, Ananda, adalah memperlakukan segala rupa dan nama itu sebagai perwujudan ”engkau-sendiri”, dan tidka memperlakukan segala rupa dan nama itu sebagai dunia luar yang mempunyai zat sendiri dan kodrat sendiri. Bagaimana, Ananda, cukup jelas? 296. Ananda: Cukup Jelas, Bapa! Sekarang, sudikah Bapa meruskan penerangan mengenai cara menempuh jalan kebangkitan yang menuju kepada Sadar Terang itu? 297. Bapa: Ananda, jikalau engkai sudah hampir dapat memuncakkan akalmu, sehingga engkau dapat mengerti, bahwasanya segala rupa dan nama yang ada dan berwujud ini adalah bukan 140 kenyataan apa-apa, kecuali wujudan pikiran yang timbul dari pikiran, dan dilihat oleh pikiran itu sendiri, maka disitu dikatakan, bahwa engkau sudah dapat mencapai Pengertian - Benar. Mencapai pengertian benar itu, Ananda, dapat diperumpamakan sebagai seseorang yang ”terbangun” dari tidur dan impiannya. Ananda, sebagai biasanya orang yang ”terbangun” dari tidurnya, ia tidak segera ”bangkit” dan berjalan meninggalkan tempat tidurnya, melainkan masih saja menggolek-golek bagannya disitu. Dalam keadaan setengah sadar ia mengenangkan kembali apaapa yang telah terjadi didamal impiannya dengan segala kesenangan dan kesusahannya. Nah, disini terjadi dua kemungkinan, Ananda, yaitu jatuh ”tertidur” lagi, atau ”bangkit” lalau berjalan meninggalkan tempat tidurnya. Didalam hal dia yang bermimpi tentang peristiwa-peristiwa menakutkan dan menyusahkan, Ananda, maka pada saat ia :terbangun” dari mimpinya bertanyalah ia pada dirinya sendiri: ”Apakah yang terjadi tadi itu sungguhsungguh ataukah bukan sungguh-sungguh? Setelah disadari, bahwa apa yang terjadi dalam mimpi tadi itu bukan sungguh-sungguh, dan hanya sia-sia belaka, maka ”bangkit”-lah ia dan berjalan meninggalkan tempat tidurnya. Tetapi, sebaliknya, bagi dia yang bermimpi tentang hal-hal yang serba menyenangkan, Ananda, maka pada saat ia ”terbangun” ia tidak bertanya apaapa lagi, bahkan justru ingin meneruskan impiannya. Nah, seperti demikian itu pulalah halnya, Ananda, bagi mereka yang sudah dapat mencapai pengertian benar. Ia mengerti, 141 bahwa kepribadian aku dan dunia lahiriah sekitarnya itu bukan kenyataan apa-apa, namun karena begitu kuatnya kemelekatannya kepada kebiasaannya menanggapi rupa dan nama sebagai banyaknya dan macamnya kenyataan-kenyataan yang diperlukan dan dibutuhkan didalam kehidupan ini, maka ia tidak mempunyai cukup kekuatan kemauan untuk segera ”bangkit” dan berjalan merealisasi sendiri Kenyataan untuk segera ”bangkit” dan berjalan merealisasi sendiri Kenyataan Sadar Terang. Ia tetap tinggal bergolek-golek di ”tempat tidur” pembedaanpembedaan rupa dan nama, sambil terus menerus berkata-kata tentang berbagai segi (aspek) daripada pengertian benar. Ananda, engkau telah mengenali, bahwa jalan menuju kebangkitan sadar terang, itu adalah menghentikan kegiatan bekerjanya tata susunan pikiran. Tetapi engkau tidak akan dapat menghentikan kegiatan bekerjanya tata susunan pikiran, jikalau engkau tidak menghentikan sesuatu yang menyangga hidupnya tata susunan pikiran itu, Ananda! 298. Ananda: Lalu, apakah ”sesuatu” yang menyangga hidupnya tata susunan pikiran itu, Bapa? 299. Bapa: Ada dua cara, Ananda, bagaiman tata susunan pikiran itu berhenti melakukan kegiatannya, yaitu: pertama, dengan memutuskan ”kontak” diantara alat-alat perasaan dengan dunia luar; dan kedua, dengan menghentikan pembedaanpembedaan 142 rupa dan nama. Ananda, tatkala ”kontak” diantara ala-ala perasaan dan dunia luar diputuskan, maka disitu tidak timbul perasaan-perasaan pikiran; dan dengan tidak timbulnya perasaan-perasaan pikiran, maka disitu kebiasaan tanggapan menjadi terhenti. Dengan berhentinya kebiasaan tanggapan, Ananda, maka pembedaanpembedaan rupa dan nama terhenti pula. Dan oleh karena pembedaanpembedaan ruap dan nama terhenti, maka disitu tugas (fungsi) berpikir perorangan terhenti pula, yang ini berati kegiatan tata susunan pikiran menjadi terhenti. Dengan berhentinya kegiatan tata susunan pikiran, maka terjadilah ”pembalikan” dari kesadaran ego kepada kesadaran kenyataan esa, yaitu kebangkitan pikiran dari kematiannya. Maka dengan demikian terealisasihlah sadar terang atau hidup kekal yang tak berkematian itu! Yang kedua, Ananda, tata susunan pikiran itu terhenti, tatkala pembedaanpembedaan rupa dan nama itu dihentikan. Ananda, setelah dimengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa rupa dan nama itu adalah pengertian-pengertian timbul dan tenggelamnya gagasan-gagasan pikiran terus-menerus dengan tak pernah terputus-putus, maka gerak perubahan daripada dunia lahiriah ini tidak dilihat lagi sebagai banyaknya dan macamnya rupa dan nama yang mempunyai kodrat sendiri, melainkan gerak perubahan dunia lahiriah ini terlihat sebagai kelangsungan kegiatan yang tak pernah terputus. Dan setelah dunia lahiriah ini terlihat sebagai kelangsungan kegiatan semata-mata, Ananda, maka disitu berhentilah pembedaan-pembedaan perorangan dengan segala sikap-sikap dan perbuatan-perbuatannya, baik 143 yang dinilai sebagai baik, maupun yang dinilai sebagai buruk. Dan dengan berhentinya pembedaan-pembedaan rupa dan nama yang berkodrat perorangan dan serba dua itu, Ananda, maka berhenti pulalah kegiatan bekerjanya tata susunan pikiran. Dengan berhentinya kegiatan tata susunan pikiran itu, maka terealisasilah kebangkitan dan sadar terang atau hidup kekal yang tek berkematian itu! Ananda, kebangkitan dan sadar terang itu tidak dapat dicapai melalui khotbahkhotbah, pidato-pidato, ajaran-ajaran arti katakata, dan pengertian-pengertian serba dua, tidak, tidak dapat dicapai dengan cara begitu itu! Kebangkitan dan sadar terang haya dapat dicapai dengan diusahakan sendiri, dan direalisasi sendiri melalui penyelaman diri, yaitu ”membalikkan” kesadaran ego kepada kesadaran esa dengan cara menghentikan kegiatan bekerjanya tata susunan pikiran yang berkodrat perorangan. 300. Ananda: Tadi telah dikatakan, Bapa, bahwa mencapai pengertian benar itu dapat diperumpamakan sebagai seseorang yang ”terbangun” dari tidur mimpinya. Dan bagi seseorang yang sudah ”terbangun”, barulah terbuka kemungkinan untuk ”bangkit” dan berjalan meninggalkan tempat tidurnya. Dan seperti itu pulalah halnya dengan realisasi kebangkitan dan sadar terang. Bagi seseorang yang sudah dapat mencapai pengertian benar, maka barulah terbuka kemungkinan baginya untuk menrealisasi kebangkitan dan sadar terang. 144 Menurut faktanya, Bapa, pengertian benar itu dicapai oelh seseorang dengan melalui batuan orang lain berupa petunjuk dan ajaran. Tetapi, mengapakah lalu dikatakan, bahwa kebangkitan dan sadar terang itu tidak dapat dicapai melalui ajaran? 145 9. SISWA, GURU, DAN AJARAN 301. Bapa: Ananda, ajaran dari seorang guru itu perlu bagi seseorang yang membutuhkan pengertian, dan karena membutuhkan pengertian, maka seseorang lalu bertanya. Jadi, bertanya, itu adalah ”tanda” bagi seseorang yang membutuhkan pengertian. Tetapi, didalam hubungannya dengan kebangkitan dan sadar terang, Ananda, yang diperlukan oleh seseorang bukanlah pengertian arti katakata atau pengertian harfiah (literal meaning), melainkan pengertian benar, yaitu mengerti, bahwa segala apa yang ada dan berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apaapa, kecuali perwujudan gambar pikiran yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. Sebagai contoh misalnya, jikalau seseorang hendak pergi ke Surabaya, dandisana ia hendak melihat tugu pahlawan, maka terlebih dahulu ia memerlukan pegertian tentang hal ikhwalnya bepergian ke Surabaya itu. Dan oleh karena ia memerlukan pengertian tentang hal ikhwalnya bepergian ke Surabaya itu, maka ia lalu bertanya kepada seseorang lain yang sudah pernah pergi kesana untuk mendapatkan petunjuk dan ajaran. Dan setelah pengertian itu dicapai dan diperolehnya, Ananda, maka soal perginya atau tidak perginya ke Surabaya itu sendiri, bukanlah persoalannya seseorang yang memberikan petunjuk dan ajaran itu, dan juga bukanlah persoalan petunjuk dan ajaran itu sendiri, melainkan persoalan usaha sendiri, dan realisasi – sendiri daripada orang yang sudah mencapai pengertian itu. 146 Begitu pulalah halnya dengan kebangkitan dan sadar terangnitu, Ananda! Setelah seseorang mencapai pengertian benar, Ananda, maka soal mau bangkit dan dan merealisasikan sadar terang atau tidak mau bangkit merealisasikan sadar terang, itu bukanlah persoalan orang yang memberikan petunjuk dan ajaran, dan juga bukanlah persoalan ajaran dan pengertian benar itu sendiri, melainkan persoalan usaha-sendiri dan merealisasi-sendiri (penyelamansendiri) daripada orang yang sudah mencapai pengertian benar itu. Dan itulah sebabnya, mengapa lalu dikatakan, bahwa kebangkitan dan sadar terang itu tidak dapat dicapai melalui ajaran, apa lagi melalui ajaran arti kata-kata (words teaching). Bagaimana, Ananda, cukup terangkah? 302. Ananda: Sudah, sudah cukup terang, Bapa! Jadi, pengertian benar itu dicapai oleh seseorang siswa melalui bantuan seorang guru berupa petunjuk dan ajaran. Tetapi, soal mencapai kebangkitan dan sadar terang, itu bukanlah persoalan guru, dan juga bukan persoalan ajaran, melainkan persoalan usaha sendiri dan penyelamatan sendiri dari siswa yang bersangkutan. 303. Bapa: Bagus! Ananda, jikalau kita berbicara soal pengertian benar, maka disitu terdapat 3 hal yang saling berkaitan, yaitu soal sisea, guru, dan 147 ajaran. Guru memberikan ajaran tentang pengertian benar kepada siswa, sedangkan siswa menerima ajaran tentang pengertian benar dari guru. Nah, dalam hubungan itu, Ananda, maka aku hendak bertanya kepadamu! Karena guru itu memberikan ajaran kepada siswa, maka bagaimanakah pendapatmu tentang guru itu, Ananda? Dapatkah guru itu membuat siswa itu mengerti? Coba terangkan jawabmu! 304. Ananda: Guru dapat memberikan ajaran kepada siswa, Bapa, namun guru tidak dapat membuat siswa itu mengerti! Siswa dapat mengerti karena usahanya sendiri, karena yang berfikir, yang merenungkan, yang mempertimbangkan, dan yang memutuskan adalah siswa itu sendiri. 305. Bapa: Bagus! ”Mengerti” itu tidak dapat dibuat oleh seorang guru, dan ”mengerti” itu tidak dapat diberikan oleh seoarang guru kepada seorang siswa. ”Mengerti” itu dicapai oleh seseorang siswa atas usahanya sendiri. Jadi, Ananda, Jelaslah, bahwa tugas (fungsi) seorang guru itu adalah sematamata menyampaikan dan mengutarakan petunjuk dan ajaran dengan cara yang seterang-terangnya, namun tiada hak dan kewajiban seorang guru untuk memaksakan apapun kepada siswa, karena seorang guru tidak mungkin dapat membuat dan meberikan ”mengerti” kepada siswa. 148 306. Ananda: Untuk menghindarkan diri dari kekeliruan, dan supaya dapat mengenali dengan cara yang benar, sudilah Bapa menjelaskan tentang kodrat daipada siswa, guru, dan ajaran itu? 307. Bapa: Biasanya, Ananda, karena kesusahan, kesakitan, dan lain-lain hal yang sangat mencekam perasaan perorangannya, maka seseirang biasanya lalu bertanya kepada dirinya sendiri, dan berusaha untuk maencari dan menemukan hakekat dirinya dan dunia lahiriah sekitarnya, dengan harapan akan dapat melepaskan diri dari cekaman perasaan susah dan sakut itu. Dan jikalau ia ternyata tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri itu, dan tidak dapat menemukan apa yang ia cari, maka mulaikah ia bertanya kepada orang lain, yang dianggapnya sebgai ”guru” yang akan dapat memberikan ”ajaran” kepadanya sebagai seorang ”siswa. Jelaslah, Ananda, bahwa karena bertanya, maka disitu lalu timbul apa yang dinamakan guru, siswa, dan ajaran. Dan jikalau pertanyaan itu di tujukan kepada orang lain, maka gurunya adalah ”seorang” pribadi; ia sendiri sebagai siswa adalah ”seorang” pribadi; dan ajarannya adalah berupa kata-kata dan namanama. Ananda, jikalau seseorang sudah mulai bertanya akan hakekat penderitaannya, atau hakekat dirinya, atau hakekat dunia lahiriah sekitarnya, maka ”pertanyaan” itu dapat dikatakan sebagai ”tanda” bahwa seseorang itu sudah mulai akan ”bangun” dari tidur dari mimpinya. 149 Nah, dengan penjelasan itu, Ananda, maka sekarang aku hendak bertanya kepadamu! Ananda, tatkala seseorang telah menunjukkan ”tanda-tanda” akan ”bangun”, maka bagaimanakah kodrat daripada siswa, guru, dan ajaran itu? 308. Ananda: Tatkala seseorang sudah mulai bertanya dan mencari akan halhal yang hakiki mengenai pederitaannya, atau mengenai dirinya sendiri, atau mengenai dunia lahiriah sekitarnya, maka hal itu adalah merupakan ”tanda”, bahwa orang itu sudah akan ”bangun”. Dalam hal demikian, Bapa, maka kodrat siswa dan guru adalah perorangan, sedangkan kodrat ajarannya adalah himpunan kata-kata dan nama. Bukankah demikian, Bapa? 309. Bapa: Bagus sekali, Ananda, memang demikianitulah! Nah, setelah seseorang benarbenar ”bangun”, Ananda, artinya: setelah seseorang benar-benar mencapai pengertian benar, yaitu benarbenar mengerti, bahwasanya segala apa yang ada dan berwujud itu tidak lain hanyalan perwujudan pikiran yang timbul dari pikiran dan dilihat oleh pikiran itu sendiri, maka disitu timbullah perubahan (transformation) kodrat daripada pengertian siswa, guru, dan ajaran. 310. Ananda: Timbul perubahan kodrat yang bagaimanakah, Bapa, setelah seseorang itu mencapai pengertian benar? 311. Bapa: 150 Ananda, setelah seseorang mencapai pengertian benar, maka mulailah ia mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa ”diri”-nya sendiri itu sebetulnya bukanlah kenyataan perorangan yang mempunyai rupa dan nama, tetapi ia itu adalah pikiran berpikir dalam kodratnya yang benar, yaitu pikiran berpikir benar. Dan ia mengerti pula, Ananda, bahwa gurunya itu sebetulnya bukanlah kenyataan perorangan yang mempunyai rupa dan nama, tetapi gurunya itu adalah ”tujuan” yang hendak dicapai sendiri, yaitu pikiran itu sendiri dalam kodratnya yang sadar terang tanpa bayang; gurunya adalah Pikiran Sadar Terang. Demikian pula ia mengerti, Ananda, bahwa ajarannya itu sebetulnya bukanlah himpunan kata-kata dan nama-nama, tetapi ajarannya adalah realisasi sendiri (penyelaman sendiri) naluri Sadar-Terang. Demikianlah, Ananda, perubahan kodrat daripada siswa, guru, dan ajaran, yang tumbuk tatkala seseorang telah mencapai pengertian benar, atau telah ”bangun” itu. Tetapi, Ananda, seperti halnya seseorang yang baru saja ”bangun” dari tidur dan mimpinya tidak mau segera ”bangkit” dan berjalan meninggalkan temapt tidurnya, tetapi masih saja tetap tinggal bergolek-golek disitu sembil mengenangkan impianimpiannya yang telah berlalu, maka seperti demikian itu pulalah halnya dengan seseorang yang baru saja mencapai pengertianbenar. Seseorang yang baru saja mencapai pengertian benar, Ananda, biasanya tidak mau dengan segera ”bangkit: dan merealisasisendiri naluri Sadar-Terang, melaikan bergolek-golek saja dengan 151 banyak berkata-kata dan berbicara tentang ajaran mengenai pengertian benar. Dan celakannya, Ananda, meskipun ia sangat fasih berkata-kata dan berbicara tentang pengertian benar, namu pikirannya tetap melekat kepada kebutuhan-kebutuhan dan kepentingankepentingan dunia rupa dan nama yang berkodrat perorangan. Hal ini menunjukkan, bahwa setelah ia ”bangun”, maka ia lalu jatuh ”tertidur” lagi! Ingat baik-baik hal ini, Annada, supaya engkau tidak jatuh ”tertidur” kembali setelah engkau ”bangun”! 312. Ananda: Bapa, jikalau seorang siswa sudah ”bangun” lalu ”bangkit”, dan sudah merealisasi sendiri (menyelami-sendiri) naluri SadarTerang, lalu bagaimankah kodrat daripada siswa, guru, dan ajaran itu? 313. Bapa: Ananda, sebelum dicapai pengertian-benar, maka pengertianpengertian mengenai siswa, gurum dan ajaran adalah pengertian=pengertian dalam kodrat perorangan; artinya: disitu terdapat siswa perorangan, guru peroarangan, dan ajaran katakata dan nama-nama. Dan sesudah dicapai pengertian benar, maka pengertianpengertian mengenai siswa, guru, dan ajaran lalu berubah dari kodrat perorangan kepada kodratnya yang sejati; artinya: disitu tidak terdapat lagi siswa perorangan, guru perorangan, dana ajaran kata-kata dan nama-nama, melainkan disitu terdapat Siswa-Sejati (= pikiran berpikir benar), Guru-Sejati (= pikiran 152 sadar terang), Ajaran-Sejati (= realisasi sendiri naluri Sadar Terang). Sesudah dicapai pengertian-benar, Ananda, maka Siswa-Sejati berubah menyelaraskan-diri dengan Guru-Sejati dengan cara merealisasi-sendiri naluri Sadar-Terang yang ada pada GuruSejati itu. Inilah yang dimaksud dengan menempuh Jalan Kebangkitan, atau menempuh Jalan Sadar-Terang itu. Menempuh Jalan Kebangkitan atau menempuh Jalan Sadar Terang inilah, Ananda, yang dikatakan sebagai ”berguru” kepada Guru-Sejati, atau ”berguru” kepada Guru-Jagad itu. Ananda, tatkala Siswa-Sejati sudah sampai pada Akhir-Jalan (= Akhirat), artinya Siswa-Sejati telah merealisasi-sendiri (menyelami-sendiri) naluri Sadar-Terang, maka genap dan sempurnalah tugas-tugas kesiswaan, keguruan, dan pengajaran itu, dan tidak ada pekerjaan lagi yang harus diselesaikan. 314. Ananda: Bapa, apakah yang dimaksudkan dengan ”tidak ada pekerjaan lagi yang harus diselesaikan”, itu? Apakah hal itu berarti, bahwa Siswa-Sejati setelah merealisasikan-sendiri Naluri Sadar-Terang itu ia tinggal diam dan menganggur? 153 BAB III MENYELAMI-SENDIRI PENGETAHUAN LUHUR 1. KODRAT PENYELAMAN DIRI 315. Bapa: Ananda, tatkala naluri sadar terang itu sudah diselami sendiri didalam kodratnya yang sejati, maka sampailah Siswa-sejati pada akhir tujuannya selaku siswa. Ini berarti, bahwa bagi siswa sejati, tugas pekerjaannya selaku siswa terhadap gurunya telah digenapkan dan disempurnakan. Ia sekarang bukan lagi berkodrat sebagai Siswa Sejati, karena ia telah sama dengan Guru Sejati; ia sekarang sudah menjadi Guru Sejati itu sendiri. Setelah dialami perubahan kodrat dari Siswa Sejati kepada Kodrat Guru Sejati, Ananda, maka kodrat kesiswaan, keguruan, dan ajaran telah menjadi satu didalam Pikiran Sadar Terang itu sendiri. Dan pada saat itu, Ananda, maka terjadilah ”pembalikan” didalam lubuk kesadarannya, dimana ia menginsyafi suatu kehidupan yang satu dengan semuannya. Dan ketika terjadi ”pembalikan” didalam lubuk kesadarannya itu, Ananda, maka ia menghayati suatu kehidupan bebas dan berbahagia yang tidak bersyaratkan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan perorangan akan dunia rupa dan nama. Kasih sayang yang tak terbatas telah meliputi seluruh kehidupannya, sehingga ia tidak lagi membeda-bedakan rupa dan nama sebagai hal-hal yang baik atau buruk, dan memperlakukan semua manusia sebagai meperlakukan dirinya sendiri. 154 Ananda, ketika naluri sadar terang sudah diselami sendiri didalam kodrat yang sejati, maka Siswa Sejati bukanlah lalu berdiam diri dan menganggur, melainkan didalam kodratnya yang baru sebagai Guru Sejati ia bahkan lebih giat mengambil peranan didalam membagi-bagikan jasanya kepada seluruh umat manusia supaya mereka dapat ikut serta menikmati pembebasan dan kebahagiaan yang akan melepaskan mereka dari belenggu penderitaan. 316. Ananda: Telah dikanali, Bapa, bahwa kodrat Guru Sejati sebagai Pikiran Sadar Terang bukan perorangan, tetapi bagaimana bisa jadi ia lalu mengambil kegiatan didalam membagi-bagikan jasanya kepada umat manusia untuk pembebasan mereka? Agaknya hal ini sulit dimengerti! Sudikah Bapa menerangkan tentang kodrat daripada Guru Sejati dengan cara yang lebih jelas lagi? 317. Bapa: Guru Sejati, Ananda, didalam kodratnya sebagai Pikiran Sadar Terang, itu adalah pikiran yang menyadari, bahwa Terang tanpa bayangan (hampa gambaran) itu adalah Kodratnya Sendiri. Dengan menyadari, bahwa Terang itu adalah Kodratnya sendiri, Ananda, maka didalam Pikiran Sadar Terang itu sendiri ternyata masih terdapat pembedaan diantara Pikiran dan bidang Kesadarannya. Meskipun Pikiran Sadara Terang itu sendiri bukan perorangan, dan tidak dapat diperorangan, Ananda, namun karena pengetahuannya tentang pembedaan dan pencirian itu, maka hal ini menunjukkan, bahwa Pikiran Sadar Terang itu sendiri 155 belumlah merupakan tahapan Kenyataan Esa yang hampa Zat, hampa pembendaan, hampa sebutan, dan hampa perbuatan. Ini berarti, bahwa diatas Pikiran Sadar Terang, Ananda, disitu masih terdapat sesuatu yang terlebih luhur, yaitu Kenyataan Esa yang aku sebutkan sebagai Pikiran Semesta (Universal Mind) atau Pikiran Menunggal (Unitive Mind) Ananda, karena pengetahuannya mengenai pembendaan dan pencirian akan mana yang Kenyataan dan mana yang bukan Kenyataan, maka Pikiran Sadar Terang dapat dinyatakan sebagai pintu yang menghubungkan dianatara tata susunan pikiran yang kodratnya rendah, yaitu pikiran perasaan (sense mind) atau pikiran fana (mortal mind), dengan Pikiran Semesta yang kodratnya suci murni dan hampa gambaran (imagelessness). Dan didalam tugasnya (fungsinya) sebagai pintu penghubung yang menghubungkan diantara pikiran fana dan Pikiran Semesta, Ananda, maka Pikiran Sadar Terang disatu fihak mengambil peranan duniawi didalam membagi-bagikan jasanya berupa petunjuk dan ajaran kepada umat manusia supaya mereka dapat mencapai pembebasan, dan dilain fihak Pikiran Sadar Terang melekat dan bergantung kepada Pikiran Semesta didalam kodrat inti sarinya yang suci murni dan hampa gambaran itu. Melalui Pikiran Sadar Terang, Ananda, mka Pikiran Semesta yang hampa pencurahan (devoid of out flowing) itu lalu bisa terwujud dan terlaksana. Ini berarti, bahwa jikalau tidak karena Pikiran Sadar Terang, maka dunia rupa dan nama itu tidak akan ada dan tidak akan terwujud. Ananda, Pikiran Sadar Terang itu dapat diperumpamakan sebagai seorang Dalang bijaksana yang mementaskan suatu 156 lakon wayang pada layar putih pedalangan lengkap dengan wayang-wayang sebagai pemain-pemainnya. Sang Dalang ikut serta didalam kehidupan fana daripada wayang-wayang itu dengan segala kesenangan dan kesusahannya, namun sementara itu Sang Dalang selalu dapat merenungkan betapa hampa dan sia-sianya kehidupan wayang-wayang itu, karena ia menyadari dengan terang, bahwa apa yang tampaknya seolaholah sebagai perbuatan-perbuatan dan pembicaraanpembicaraan wayang-wayang itu tidak lain kecuali hasil kegiatannya sendiri. 318. Ananda: Bapa, didalam perumpamaan itu Guru Sejati atau Pikiran Sadar Terang telah diperumpamakan sebagai Sang Dalang bijaksana yang mementaskan suatu lakon wayang. Dalam hubungan itu, Bapa, diperumpamakan sebagai apakah Pikiran Semesta dan pikiran berpikir itu? 319. Bapa: Ananda, Pikiran Semesta dapat diperumpamakan sebagai seorang Maha Raja yang akan menyelenggarakan suatu keramaian, dimana penyelenggaraannya diserahkan sepenuhnya kepada Sang Dalang. Tidak banyak yang dapat aku jelaskan kepadamu tentang Sang Maha Raja itu, Ananda, sebab Sang Maha Raja adalah Pikiran Semesta yang kodratnya tiak terucapkan (ineffable). Sang Maha Raja Yang Maha Tahu itu hanya duduk didinggasana kebesaran dan keangungannya sambil menetapkan apa yang boleh terjadi 157 dan apa yang bisa terjadi; dan apa yang ditetapkannya itu tak dapat diperkirakan terlebih dahulu (upredictable). Adapun Pikiran berpikir, Ananda, yang diperumpamakan sebagai penonton, itu adalah siswa-siswa bagi Sang Guru atau Sang Dalang. Dan sebagai layaknya para penonton, disitu terdapat penonton-penonton yang bodoh dan tidak berpengetahuan, dan ada pula penonton yang bijaksana dan berpengetahuan. Bagi penonton bodoh, Ananda, ia sama sekali tidak mengerti, bahwa wayangwayang yang dimainkan oleh Sang Dalang itu bukannya kenyataan yang sungguh-sungguh, melainkan hanya sebagai permainan dan sandiwara belaka. Penonton yang bodoh tidak mengerti sama sekali tugasnya yang benar sebagai penonton, yang seharusnya menonton sematamata akan apa yang dimainkan oleh Sang Dalang. Ananda, karena ketidak-tahuannya, maka penonton bodoh sebentar-sebentar tertawa dan menari-nari kegirangan, dan sebentar-sebentar lagi menangis dalam kesedihan melihat apa yang dikirannya sebagai perbuatan-perbuatan dan pembicaraanpembicaraan wayang-wayang yang mempunyai kodrat sendiri. Ia takut, menyesal, dan susah akan kehilangan wayang-wayang yang disenanginya, dan takut, menyesal, dan susah pula akan kehadiran wayang-wayang yang tidak disenanginya. Selamalamanya ia mengerang didalam kesengsaraan dan penderitaan, karena tidak mengerti, bahwa lelakon wayang-wayang itu bukannya sungguh-sungguh, melainkan sandiwara dan permainan belaka. Penonton yang bodoh inilah, Ananda, merupakan perumpamaan 158 bagi siswa yang bodoh, yaitu pikiran berpikir keliru yang tidak mempunyai pengertian benar. Sebaliknya, bagi penonton yang berpengetahuan, Ananda, ia mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa apa yang tampaknya sebagai perbuatan-perbuatan dan pembicaraan-pembicaraan wayang-wayang itu sebetulnya bukanlah kegiatan daripada pencerminan kegiatan Sang Dalang yang berkodrat sandiwara dan manina semata-mata. Oleh karena itu ia tidak pernah takut, menyesali, dan menyusahkan apa yang terjadi pada lelakon wayang-wayang itu, dan ia tetap tinggal tenang selaku penonton yang benar, yaitu menonton semata-mata. Penonton yang bijaksana inilah, Ananda, merupakan perumapamaan bagi siswa sejati, yatu pikiran berpikir benar yang telah mencapai pengertian benar. Jikalau saja, Ananda, engkau dapat merealisasi dirimu sebagai penonton yang benar, dan menjalankan tugas pekerjaanmu sebagai penonton semata-mata tanpa merasa tersinggung dan memberikan reaksi menurut dorongan perasaan perorangan (impulive reaction) terhadap dunia rupa dan nama ini, maka engkau akan menjadi penonton yang sempurna. Dan tatkala engkau sudah mencapai pengertian yang mendalam, dan dapat melihat, bahwasanya dunia ini sebetulnya tidak lain daripada suatu kelangsungan semata-mata, maka disitu engkau akan dapat menjadi penonton yang sempurna. Dan siapakah penonton yang sempurna itu, Ananda? 159 Pikiran yang sempurna tidak lain adalah Pikiran Melihat, yaitu Pikiran Sadar Terang yang dicirikan dengan berbagai sebutan seperti Guru Sejati atau Dalang Jagad itu! Tegasnya, Ananda, penonton yang sempurna hanya dapat dicapai oleh siswasiswa yang mau berusaha sendiri dengan sungguh-sungguh untuk menghentikan kesadaran ego nya, dan memasuki kodrat penyelaman diri didalam Pikiran Melihat atau Pikiran Sadar Terang. 320. Ananda: Bapa, syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi oleh seorang siswa Pengetahuan Luhur supaya ia dapat dengan degera memasuki kodrat penyelaman diri? 160 2. DISIPLIN DAN PENCAPAIAN PENYELAMAN DIRI 321. Bapa: Tiga syarat yang harus dipenuhi oleh seorang siswa Pengetahuan Luhur, jikalau ia hendak memasuki kodrat penyelaman diri. Syarat pertama adalah pengertian benar. Ia harus mencapai pengertian yang jelas dan tegas, dan yakin tanpa ragu-ragu lagi akan kebenaran: Ke-1. Bahwa segala hal yang ada dan berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan pikiran yang timbul dari pikiran dan dilihat oleh pikiran itu sendiri; Ke-2. Bahwa segala hal yang ada dan berwujud itu pada hakekatnya hampa zat, hampa kelahiran, hampa ego, dan hampa kodrat sendiri; Ke-3. Bahwa Kenyataan itu terealisasi didalam kodrat penyelaman diri, dimana didalam kodrat penyelaman diri itu tidak ada apa-apa yang hadir, tidak ada apaapa yang pergi, dan juga tidak ada gagasan-gagasan, gambaran-gambaran, dan cita-cita apa-apa yang dapat dipersamakan dengan pengalaman pancaindera atau perasaan-perasaan-pikiran. Syarat kedua adalah berkehidupan benar (laku utama). Yang dimaksud dengan berkehidupan benar (laku utama) ialah, bahwa ia harus berikhtiar dan berusaha sungguh-sungguh dengan penuh kesabaran, ketekunan, dan kewaspadaan supaya selalu dapat berpikir benar, berbicara benar, dan berbuat benar, yaitu berpikit, berbicara, dan berbuat yang selaras dengan pengertian benar yang telah dicapainya. 161 Ini artinya ialah: Ke-1. Bahwa ia harus memupuk kebiadan berpikir dengan caracara benar sebagaimana seorang Dalan bijaksana yang berpikir tentang wayangwayangnya, dan yang memikirkan kepentingan para penontonnya supaya mereka memperoleh bagaian kebahagiaan didalam terang; Ke-2. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan berbicara dengan cara-cara yang benar sebagaimana seorang Dalang bijaksana yang berbicara dan mendengarkan suaranya sendiri yang tercurah melalui wayang-wayangnya didalam berbagai nada dan irama, yang berusaha untuk memberikan penerangan dan petunjuk kepada para penontonnya supaya mereka memperoleh pengertian benar yang akan membawanya kearah menempuh jalan terang dan kebahagiaan; Ke-3. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan melakukan perbuatan dengan caracara yang benar sebagaiman seorang Dalang bijaksana yang melakukan perbuatan melalui wayangwayangnya, dan melihat gerak-gerak berbagai wayang-wayng itu sebagai suatu kelangsungan yang mencerminkan kegiatan Sang Dalang itu sendiri. Adapun syarat ketiga, Ananda, adalah perenungan memusat (concntrative meditation). Yang dimaksud dengan perenungan memusat itu ialah: Ke-1. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan untuk memusatkan pikirannya ”kedalam” untuk dapat ”menemukan” hakekat Kenyataan dirinya sendiri yang bersemayan didalam lubuk kesadaran yang paling dalam dan terahasia, sebagai 162 ganti daripada kebiasaan melihat ”keluar” kepada dunia rupa dan nama dengan pikiran menyebar kemana-mana dengan tak menentu; Ke-2. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan untuk menghampakan kepribadiannya sendiri, dan secara naluriah memusatkan kepercayaannya yang penuh dan tak bersyarat hanya kepada kodrat Sadar-Terang yang hampa pembendaan, hampa sebutan, dan hampa gambaran (imagelessness); Ke-3. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan untuk secara berkala pada waktuwaktu tertentu menyisih ketempat yang sunyi dan tenang, dan membiarkan pikirannya menyendiri untuk melihat dan bercermin kepada kodrat inti sarinya sendiri yang terluhur. Demikian itulah tida syarat yang harus dipenuhi oleh seiswa Pengetahuan Luhur (Siswa Sejati), jikalau ia hendak memasuki kodrat penyelaman diri. Bagaiman, Ananda, sudah cukup jelas? 322. Ananda: Sudah, sudah cukup jelas, Bapa! Jad singkatnya, untuk dapat memasuki kodrat penyelaman diri, maka seseorang siswa pengetahuan luhur harus memenuhi tiga syarat, yakni: pengertian benar, didiplin kehidupan benar (laku utama), dan disiplin perenungan memusat (concentrative meditatation). 163 Dan sesudah tiga syarat tersebut dipenuhi, Bapa, maka bagaimanakah kiranya keadaan seorang siswa yang telah mencapai keadaan penyelaman diri itu? Sudikah Bapa menerangkannya? 323. Bapa: Ananda, tatkala hal-hal yang menyangkut kesiswaan, keguruan, dan filsafat (ajaran) telah dimengerti dengan sungguh-sungguh dan telah diselami sendiri didalam kodratnya yang sejati, maka disitu terjadilah ”pembalikan” didalam lubuk kesadaran seseorang siswa yang tersembunyi sangat dalam dan terahasia. ”Pembalikan” itu terjadi mendadak sontak dan seketika itu juga seperti halnya seseorang yang dengan mendadak sontak dan seketika itu juga dapat melihat dengan terang bayangan mukanya sendiri didalam air yang sangat jernih dan tenang. Bahwa apa yang selama ini ditinggapinya sebagai kepribadiankepribadian ”aku”, ”engkau”, dan ”dia”, itu semua tidak lain adalah dunia maya, dunia impian, dan merupakan perwujudan dan bayangannya sendiri. Ini adalah tahap pertama didalam keadaan penyelaman diri. Didalam tahpa ini ia telah mencapai pembuktian sendiri dan kesaksian langsung akan kesamaan inti sari segala hal. Disitu ia merasakan suatu suasana kelegaan dan kebahagiaan bathiniah yang belum pernah ditemuinya didalam dunia pengalaman penginderaan. Dalam keadaan seperti itu sedikit banyaknya ia masih menyadari akan diri perorangannya yang sedang mengalami kebahagian itu, 164 dan pada saat itu perasaan belas kasihan terhadap sesama manusia telah timbul, karena ia mengetahui, bahwa mereka oleh sebab ketidak tahuan dan kekeliruannya belum dapat menikmati pembebasan seperti yang dialaminya sendiri. Sementara itu, Ananda, kasih sayang yang tak terbalas dan tak bersyarat sebagai ciri khas didalam keadaan penyelaman diri lalu muncul didalam bathinnya, yang kemudian diikuti oleh suatu tekad yang bulat, yang merupakan ikrar dan janji didalam kodratnya sendiri untuk memashurkan dan menyampaikan kebenaran pengetahuan luhur kepada umat manusia, supaya mereka dapat memasuki jalan pembebasan yang akan membawanya kearah pelepasan penderitaan mereka. 324. Ananda: Bapa, apakah keadaan “pembalikan” kesadaran itu terjadi pada saat-saat dimana seseorang berada didalam keadaan perenungan memusat (concentrative meditation), ataukah terjadi pada saat-saat didalam seseorang berada dalam keadaan kegiatan kehidupan sehari-hari? 325. Bapa: Ananda, “pembalikan” itu terjadi pada saat pikiran berada didalam keadaan terpusat pada satu titik sasaran tertentu, dimana pikiran telah berhenti dari tugas (fungsi) berpikir. Ini artinya ialah, bahwa pikiran telah berhenti untuk sementara dari kemelekatannya kepada pembedaan-pembedaan khayal yang menimbulkan berbagai gagasan dan gambaran-gambaran. 165 Dengan kata lain, Ananda, “pembalikan” itu terjadi pada saat seseorang siswa berada dalam keadaan perenungan memusat. Dan didalam keadaan perenungan memusat itu, Ananda, pikiran untuk sementara melepaskan pemikiran-pemikiran tentan dunia lahiriah, sehingga keadaan menjadi tenang, dan tidak bergejolak ileh sebab keinginan-keinginan akan kepentingan-kepentingan perorangan. 326. Ananda: Kalau begitu, Bapa, apakah penyelaman diri yang sempurna itu dapat dipercepat pencapaiannya dengan menumpas dan menghentikan sama sekali fungsi berpikir? 327. Bapa: Ananda, sudah aku katakan, bahwa ”pembalikan” pada tahap pertama itu terjadi pada saat seorang siswa berada didalam keadaan perenungan yang terpusat. Dan tatkala siswa tersebut menghentikan kegiatannya dari perenungan yang dipusatkan itu, maka tentunya ia akan kembali dalam keadaan berpikir lagi seperti halnya apa yang dilakukan oleh tata susunan pikiran. Didalam hubungannya dengan pencapaian penyelaman diri yang sempurna, Ananda, boleh jadi seseorang siswa akan berpendapat, bahwa penyelaman diri yang sempurna itu dapat dipercepat pencapaiannya dengan menumpas sama sekali tata susunan pikiran yang selalu mengadakan ”kontak” dengan dunia luar (external world). Sebab, mungkin siswa itu yakin, bahwa selama tata susunan 166 pikiran masih mengadakan ”kontak” dengan dunia luar, maka dengan disadari atau tidak disadari, tata susunan pikiran itu masih akan selalu menimbulkan fungsi berpikir, dimana disitu akan timbul berbagai gagasan dan gambarangambaran yang akan menghalang-halangi tercapainya penyelaman yang sempurna. Tetapi, Ananda, pendapat seperti itu adalah keliru! Sebab, penyelaman diri yang sempurna itu bukanlah harus dicapai melalui penghentian fungsi berpikir, karena penghentian fungsi berpikir itu berarti diam dan menganggur. Ananda, untuk mencapai penyelaman diri yang sempurna, itu hanya tercapai dengan menghentikan kemelekatan kepada kebiasaan menanggapi pembedaanpembedaan khayal, dan bukannya dengan menghentikan sama sekali fungsi berpikir. Didalam kodrat penyelaman diri, Ananda, fungsi berpikir itu masih tetap ada dan berlaku, tetapi bukannya fungsi berpikir yang melandaskan pembedaan – pembedaan, melainkan fungsi bepikir yang terpusat kepada satu titik sasaran yang tetap, yaitu terpusat kepada Kenyataan Esa yang hampa pembedaan. Tatkala seseorang siswa sedang didalam melakukan disiplin perenungan memusat dengan memutuskan ”kontak” dengan dunia luar, dan pikirannya telah benar-benar terpusat kepada satu titik sasaran, maka disitu fungsi berpikir yang menanggapi dunia luar memang terhenti untuk sementara. Dan pada saat itu, Ananda, seseorang siswa mengalami suatu penghayatan didalam kesadarannyatentang berhentinya kemelekatan dan pembedaanpembedaan. 167 Tetapi, Ananda, berhentinya fungsi berpikir yang menimbulkan pengalaman penghayatan tentang berhentinya kemelekatan dan pembedaan-pembedaan itu bukanlah merupakan tujuan didalam mencapai penyelamatan diri yang sempurna. Meskipun seseorang siswa telah pernah mengalami penghayatan tentang berhentinya kemelekatan dan pembedaan-pembedaan melalui penghentian fungsi berpikir, namun hal itu belumlah berarti, bahwa siswa tersebut telah bebas sama sekali dari kemelekatan dan pembedaan-pembedaan. Kebiasaan lama didala mengingat dan menanggapi berbagai macam gagasan, gambaran-gambaran, kata-kata, perbuatanperbuatan, dan keinginan-keinginan, itu semua masih merupakan benih-benih kemelekatan yang belum di bersihkan sama sekali. Dan pembersihannya dapat dilakukan dengna perlahan-lahan dan berangsurangsur melalui perlaksanaan disiplin kehidupan benar (laku utama) dengan sabar, tekun, terus menerus, dan penuh kewaspadaan. Itulah sebabnya, mengapa lalu dikatakan, bahwa disiplin perenungan memusat dan disiplin kebidupan benar merupakan dua macam disiplin yang tak dapat dipisahkan satu sama lain, dan saling menunjang. 328. Ananda: Bapa, mengertilah aku sekarang, bahwa untuk dapat memasuki kodrat penyelaman diri yang sempurna, itu bukanlah harus menghentikan Fungsi berpikir, melainkan harus direalisasi dengna menghentikan kemelekan kepada kebiasaan melakukan pembedaan-pembedaan khayal. 168 Sedangkan untuk menghentikan kemelekatan kepada kebiasaan melakukan pembedaan-pembedaan khayal itu direalisasi dengan melalui dua macam disiplin yang berlandaskan pengertian benar, yaitu disiplin kehidupan benar dan disiplin perenungan memusat (concentrative meditation). Tadi telah dikatakan, Bapa, bahwa tatkala seseorang siswa melakukan disiplin perenungan memusat dengan memutuskan ”kontak” dengan dunia luar, maka ia akan memperoleh suatu pengalaman penghayatan didalam kesadarannya tentan berhentinya kemelekatan dan pembedaan-pembedaan. Lalu apakah gunanya pengalaman penghayatan itu, Bapa, jikalau harus dikaitkan dengan pencapaian penyelaman diri yang sempurna? 329. Bapa: Ananda, didalam hubungannya dengan pencapaian penyelaman diri yang sempurna, seperti talah aku katakan tadi, melakukan disiplin perenungan memusat dengan memutuskan ”kontak” dengna dunia luar saja tidaklah cukup, sebab didalam pikiran masih terdapat benih-benih kemelekatan yang belum dibersihkan secara tuntas. Untuk membersihkannya, maka disiplin perenungan memusat itu harus ditunjang oleh disiplin kehidupan benar. Didalam hal seseorang siswa mentaati pelaksanaan disiplin perenungan memusat, dan ia telah sering mengalami penghayatan tentang berhentinya kemelekatan dan pembedaanpembedaan, maka pengalaman itu akan meniggalkan kesan didalam ingatan dan kesadarannya, didalam kesan kesadaran169 nya itu akan dibawanya didalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, maka pelaksanaan disiplin kehidupan benar akan menjadi lebih mantap, karena disangga oleh kesan kesadaran yang sewaktu-waktu dapat dimunculkan kembali dengan mudah. Ananda, dengan teraturnya pelaksanaan disiplin perenungan memusat, maka kesan kesadaran dari seseorang siswa akan menjadi lebih mantap dan tidak berubah-ubah. Sambil menjalankan tugas-tugas kehidupan duniawi sehari-hari seperti biasa, siswa tersebut memunculkan kesan kesadarannya yang sudah mantap itu sebagai pusat sasaran perenungannya. Didalam tampaknya, memang siswa tersebut ikut serta didalam kegiatan kehidupan duniawi seperti biasa, namun sebetulnya siswa tersebut sudah tidak lagi melekat kepada dunia rupa dan nama itu. Inilah yang dikatakan oleh para bijaksana zaman dahulu sebagai ”melakukan kegiatan, tetapi tidak berbuat apaapa” itu. Tetapi, Ananda, dengan dicapainya kesan kesadaran yang sudah mantap itu, belumlah berarti bahwa siswa tersebut sudah dapat mencapai penyelaman diri yang sempurna dan penuh. Mengapa? Sebabnya adalah, bahwa didalam pikirannya masih terdapat ”kotoran” berupa kesan; dan kesan itu harus diusahakannya supaya lenyap sama sekali, sehingga pikiran dapat kembali didalam kodrat inti sarinya yang semula, yaitu suci dan bersih dari segaal jenis kebiasaaan tanggapan. 330. Ananda: Bapa, apakah yang harus diusahakan oleh seorang siswa yang sudah mencapai kesan kesadaran yang sudah mantap, agar 170 supaya ia dapat memasuki kodrat penyelaman diri yang sempurna dan penuh? 331. Bapa: Ananda, bagi seseorang siswa Pengetahuan Luhur yang sudah dapat mencapai kesan kesadaran yang mantap dan tidak berubah-rubah maka ia masih tetap melakukan disiplin kehidupan benar dan disiplin perenungan memusat. Tetapi kodrat perenungannya bukan lagi dengan ”duduk diam”, melakukan dengan mengambil kegiatan ”kerja” sehari-hari, sambil memusatkan pikirannya kepada kesan kesadarannya yang sudah dicapai sebagai titik sasaran pemusatannya. Dengan cara demikian, Ananda, maka pada sesuatu hari kesan kesadarannya akan ”berbalik” menjadi kesadaran terang penuh, dimana pada saat seperti itu seseorang siswa berpengetahuan lhur lalu menerima kodrat Kecerdasan Bathin Luhur (Transcendental Intellegence) daripada Pikiran Menunggal (Pikiran Semesta), dan disitulah penyelaman diri yang sempurna dan penuh telah tercapai! 332. Ananda: Bapa, jikalau ada sesuatu pencapaian, tentunya disitu harus ada buah hasil yang dapat dipetik. Nah, didalam hal seorang siswa telah mencapai penyelaman diri yang sempurna dan penuh, lalu buah hasil apakah yang dapat di petik daripadanya? 171 3. BUAH HASIL PENYELAMAN DIRI 333. Bapa: Ananda, bagi seorang siswa Pengetahuan Luhur yang telah mencapai penyelaman diri yang sempurna dan penuh, maka seluruh dunia rupa dan nama ini (termasuk personalitasnya sendiri) tidak lagi terlihat sebagai banyaknya dan macamnya kenyataan-kenyataan yang terlahir dengan ke-aku-an (selfhood) dan kodrat sendiri, melainkan seluruh dunia rupa dan nama ini hanyalah terlihat sebagai impiannya sendiri yang telah berlalu. Dan dengan menginsyafi, bahwa dunia rupa dan nama ini adalah impiannya sendiri yang telah berlalu, maka ia tidak lagi berusaha secara pereorangan untuk mencari penyesuaian diri dengan gerak kehidupan duniawi ini; dan ia juga tidak memandang dunia rupa dan nama ini sebagai banyaknya dan macamnya hal yang harus diberi nilai dan penilaian baik ataupun buruk, enak ataupun menyakitkan. Didalam keadaan penyelaman diri yang sempurna dan penuh, Ananda, maka seorang siswa Pengetahuan Luhur ada didalam keadaan pembebasan penuh tak bersyarat. Ia dengan sangat mudah merubah dirinya dari sesuatu perwujudan kepada perwujudan yang lain seperti mudahnya mengenal dan sesuatu adegan impian yang satu kepada adegan impian yang lain. Dan lagi, ia dapat memperbanyak perwujudannya ditempat-tempat yang berbeda pada saat yang sama, dan merubah tubuhnya yang kasar menjadi tubuh yang halus untuk membagibagikan jasanya kepada semua makhluk 172 didalam menggenapkan pekerjaan mereka yang tidak dapat di mengertinya. Ananda, didalam keadaan penyelaman diri yang sempurna dan penuh seseorang siswa Pengetahuan Luhur dapat dengan mudah menembus seluruh alam, baik alam benda, alam pikiran, maupun alam menunggal. Sementara kesadarannya berada dialam yang terluhur, sedikitpun ia tidak pernah terlena dan tidak pernah kehilangan keinsyafan dan keseimbangannya dialam yang lebih rendah dengan segala kodratnya. Artinya, didalam perwujudannya sebagai manusia bertubuh kasar ia mengambil kegiatan duniawi biasa dengan segala macam perasaannya, namun kesadaran pikirannya dapat pergi jauh tak terbatas dan menembusi berbagai macam perwujudan tanpa penghalang apapun, dan dapat pula menembusi kesadaran tata susunan pikiran siswa-siswa biasa, dan bahkan, dapat menembusi kesadaran ilahiah daripada Pikiran Semesta. Pendek kata, Ananda, mujijat dan kebesaran telah timbul pada seorang anak manusia! Tetapi bukannya ”mujijat” dan ”keheranan-heranan” yang dipertontonkan secara tubuh dihadapan perasan pikiran manusia, Ananda, merupakan mujijat daripada pengenalan. Seorang anak manusia telah dapat mengenal ”sesuatu” yang luar biasa, yang tidak dapat, bahkan tidak mungkin dapat dikenal oleh seseorang dengan caracara manusiawi biasa. Hal-hal yang mustahil dan tak mungkin bisa terjadi bagi pertimbangan pikiran yang berakal budi (intellectual reasoning mind) menjadi serba mungkin dan serba bisa terjadi bagi siswa Pengetahuan Luhur 173 yang berada didalam keadaan penyelaman diri yang sempurna dan penuh. Memang benar, Ananda, mungkin saja seorang anak manusia yang berada didalam keadaan penyelaman diri yang sempurna kadang-kadang menampakkan mujijat dan keheran-heranan secara tubuh, namun hal seperti itu sangat jarang terjadi. Mengapa? Karena di dalam kodratnya yang luhur, siswa Berpengetahuan Luhur di dalam membagi-bagikan bantuan dan jasanya kepada semua makhluk sangat menyukai kerahasiaan ilahiah, dan tidak membutuhkan kesaksian-kesaksian inderawi cara manusia, dan juga tidak membutuhkan ketenaran perorangan yang akan menjadi penyebab kesesatan dan keaniayaan siswa-siswa biasa. Ananda, boleh jadi engkau menjumpai seseorang yang suka memamerkan dan mendemonstrasikan perbuatan-perbuatan mujijat. Hal seperti itu, Ananda, barulah membuktikan, bahwa perbuatan mujijat itu memang ada, tetapi hal seperti itu belumlah merupakan suatu bukti, bahwa orang yang melakukan perbuatan mujijat itu sudah benar-benar dapat bernapas didalam Kebenaran dan Kenyataan Esa yang kodratnya Sadar Terang Penuh. 334. Ananda: Bapa, tadi telah dikatakan, bahwa setelah penyelaman diri yang sempurna dan penuh tercapai, maka seorang siswa Pengetahuan Luhur dapat memetik buah hasil yang timbul daripadanya, seperti misalnya: perubahan tubuh kasar kepada tubuh halus, perubahan dari perwujudan yang satu kepada perwujudan yang lain, 174 memperbanyak perwujudan ditempat yang berbeda pada saat yang sama, dan menembusi kesadaran diseluruh alam. Lalu bagaimana halnya, Bapa, apakah tidak seharusnya buah hasil yang dapat dipetik dari penyelaman diri yang sempurna itu dinikmati? 335. Bapa: Ananda, perbuatan-perbuatan mujijat dan keheranan-heranan cara tubuh itu adalah perbuatan-perbuatan besar, tetapi ada yang terlebih besar daripada itu, Ananda! Menyelami sendiri dan mengenali langsung kodrat Sadar Terang Penuh didalam Pikiran Menunggal itulah yang terlebih besar daripada perbuatan-perbuatan mujijat itu. Dan itulah sebenarbenarnya mujijat yaitu mujijat daripada penyelama diri dan pengenalan! Bagi sisawa Pengetahuan Luhur, Ananda, perbuatan-perbuatan mujijat itu bukanlah tujuan, melainkan sekedar sebagai ”hasil sampingan” yang timbul dengan serta-merta oleh sebab kodrat penyelaman diri yang sempurna dan penuh. Hal ini dapt diperumpamakan sebagai seseorang yang membuat minyak goreng dari santan kelapa yang direbus; dari santan kelapa yang direbus keluarlah minyak goreng yang jernih dan murni, dan ampasnya santan merupakan ”hasil sampingan” yang dapat dikonsumsi sebagai makanan. Oleh karena itu, Ananda, kiranya engkau tidak perlu mencitacitakan suatu perbuatan mujijat, sebab mujijat yang sebenarnya itu hanyalah timbul dengan serta merta dari dalam penyelaman 175 diri yang sempurna dan penuh. Cita-cita akan memperoleh dan melakukan perbuatan mujijat, Ananda, itu hanya akan merupakan salib penghalang yang akan menghalang-halangi Jalanmu menuju kepada kodrat Sadar Terang Penuh. 336. Ananda: Tadi telah dikatakan, Bapa, bahwa didalam penyelaman diri, seorang siswa Pengetahuan Luhur dapat mengalami perubahan tubuh, dari tubuhnya yang kasar kepada tubuh halus dengan bebas tak bersyarat. Sudikah Bapa menerangkan tentang kodrat daripada tubuh halus itu? 337. Bapa: Ananda, perubahan tubuh adalah merupakan kodrat yang sejati daripada penyelaman diri. Artinya, didalam penyelaman diri terjadilah perubahan dari tubuh yang kasar kepada tubuh yang halus. Tubuh halus itu, Ananda, dapat juga disebutkan sebagai kepribadian bathin. Dan kepribadian bathin (tubuh halus) itu dapat digolong-golongkan kedalam tiga macam tingkatan, yakni: Kepribadian Bathin tingkat pertama, Kepribadian Bathin tingkat kedua, dan kepribadian Bathin tingkat ketiga. Kepribadian Bathin tingkat pertama, Ananda, itu timbul ketika seseorang siswa Pengetahuan Luhur berada didalam keadaan terpusat pada satu titik sasaran perenungan, dimana pikirannya cenderung untuk menjadi tenang dan tidak bergoyang-goyang. Pada saat seperti itu, Ananda, ia merasakan suatu suasana yang sangat tenteram, melegakan, dan membahagiakan, bagaikan seseorang yang baru saja meninggalkan suasana kota yang panas, ramai, dan hiruk pikuk, kemudian memasuki hutan yang 176 teduh, sunyi, dan tenang, dengan udaranya yang sejuk menyegarkan. Perasaan tiada bertubuh kasar timbul, tetapi ia masih menyadari kepribadian perorangannya yang berhubungan dengan perasaanperasaan duniawi. Suasana didalam Kepribadian Bathin tingkat yang pertama ini, Ananda, merupakan suatu suasana bathiniah yang sangat mempersona dan menggiurkan kenikmatannya, sebab didunia luar tidak pernah ada kenikmatan yang sama dengan itu. 338. Ananda: Lalu apakah yang hharus diperbuat selanjutnya oleh seorang sisea Pengetahuan Luhur yang sudah mencapai kepribadian bathin tingkat yang pertama itu, Bapa? 339. Bapa: Ananda, suasana kenikmatan didalam kepribadian bathin tingkat yang pertama ini, Ananda, mengandung segi yang membahayakan juga bagi siswa-siswa yang kurang kokoh pengertian benarnya. Bagi siswa yang kurang kokoh pengertian benarnya, ia mengira, bahwa kenikmatan yang diperolehnya didalam kepribadian bathin tingkat yang pertama ini adalah kenikmatan yang paling puncak, dan oleh karena itu ia lalu sangat asyik disitu, sambil bercumbucumbuan dengan nikmatnya perenungan memusat. Hal seperti ini dapat diperumpamakan sebagai seseorang yang menempuh suatu perjalanan ke sesuatu kota, dan ditengah perjalanan, karena terlalu payah berjalan lalu masuk kedalam kedai minuman, dan beristirahat disitu. Karena nikmatnya suasana 177 didalam kedai minuman itu, dan mengingat akan susah payahnya perjalanan yang baru saja ditempuhnya itu, maka ia lalu ”mogok” tidak mau meneruskan perjalanannya, dan asyik beristirahat didalam kedai minuman itu. Keasyikan dengan kenikmatan didalam kepriadian bathin tingkat yang pertama ini, dan ”mogok” tidak mau meneruskan perjalanan itu, biasanya disenangi oleh siswa-siswa yang membenci tubuh kasarnya, dan memandang tubuh kasarnya sebagai sesosok kerangka busuk yang jahat yang menimbulkan kesengsaraan. Oleh karena pengertiannya yang keliru itu, maka ia lalu menyenangi hidup tanpa tubuh dan tanpa bentuk, dan dikirannya kepribadian bathin tingkat pertama ini sebagai ”sorga” tempat tujuannya yang terakhir. Ananda, bagi siswa Pengetahuan Luhur yang telah kokoh pengertian benarnya, ia tidak harus beristirahat terus menerus di alam kepribadian bathin tingkat yang pertama itu, sebab hal seperti itu berarti berhenti, diam, dan menganggur, dan tidak mempunyai jasa apa-apa kepada dunia umat manusia ini. Dengan berhenti dialam Kepribadian bathin tingkat yang pertama itu berarti memikirkan kepentingan diri sendiri, mencari enaknya sendiri, dan masuk kedala ”sorga”-nya sendiri, dengan tidak mau tahu akan kesengsaraan dan penderitaan umat manusia yang masih memerlukan bantuan akan jasa-jasanya. Tidak, Ananda, tidak! Siswa Pengetahuan Luhur tidak harus berhenti didalam kepribadian bathin tingkat yang pertama! Ia harus berjalan terus, sampai tercapai tujuan akhir! 340. Ananda: 178 Bapa, dalam hal yang bagaimanakah seseorang siswa Pengetahuan Luhur memasuki kepribadian bathin tingkat yang kedua, dan bagaiman pula kodratnya? 341. Bapa: Ananda, setelah seorang siswa Pengetahuan Luhur merealisasi kepribadian bathin tingkat yang pertama, dan ia terus berusaha untuk memusatkan tingkat yang pertama, dan ia terus berusaha untuk memusatkan pikirannya lebih dalam sedemikian rupa, sehingga pikirannya menjadi diam dan tidak bergerak sama sekali, maka disitu muncullah Kepribadian Bathin tingkat kedua. Pada saat seperti itu, Ananda, pikirannya tidak lagi melekat kepada keadaan dunia benda, dan ia mulai insyaf dan sadar terang, karena pembuktian dan kesaksiaannya sendiri, bahwa segal hal itu mempunyai kodrat inti sari yang satu dan sama, dan merupakan perwujudannya sendiri. Inilah keadaan Kebangkitan, bagaikan seorang yang telah bangun dan bangkit dari tidurnya dengan segala impiannya yang berkodrat khayal. Didalam Kepribadian Bathin tingkat yang kedua ini, Ananda, ia mulai mendegar suara sunyi daripada bisikan kalbu, dan mulai menerima Kecerdasan Bathin Luhur yang menjadi milik daripada Pikiran Menunggal. Ia menjadi sadar terang, dan menginsyafi dengan sepenuhnya, bahwa dunia keadaan itu ”ada” dan berwujud karena kegiatannya sendiri, dan melalui kecerdasan Bathin Luhur ia tahu, bahwa ia adalah utusan daripada Pikiran Menunggal untuk mewujudkan pencurahan daripada hal-hal yang hampa pembedaan dan tak terucap daripada Pikiran Manunggal, sehingga menjadi terwujud dan terlaksana. 179 Ananda, kepribadian Bathin tingkat yang keduda adalah merupakan tubuh, dan kecerdasan Bathin Luhur daripada Pikiran Menunggal merupakan darah daripada Sang Suci, Sang Guru Jagad yang kau nanti-nantikan kedatangannya. Jangan salah paham, Ananda, Sang Suci atau Sang Guru Jagad itu bukan datang kepadamu sebagai perorangan, dan bukannya harus di tunggu kedatangannya sebagai perorangan! Sang Guru Jagad itu datang, jikalau engkau sendiri mau berusaha untuk merealisasi sendiri kodratnya dengan penyerahan diri mutlak dan kepercayaan penuh kepadanya, yaitu makan tubuhnya dan minum darahnya. Artinya, Sang Guru Jagad itu akan identik dengan engkau sendiri, jikalau engkau sendiri telah merealisasi sendiri kepribadian bathin tingkat yang kedua, dan engkau sendiri telah menerima Kecerdasan Bathin Luhur daripada Pikiran Semesta. 342. Ananda: Lalu, bagaimankah halnya dengan kepribadian bathin tingkat yang ketiga itu, Bapa? 343 Bapa: Kepribadian Bathin tingkat yang ketiga, Ananda, itu adalah keadaan penyelaman diri yang sempurna dan penuh, yaitu sunyi senyap dan hampa gambaran (imagelessness) yang tak terucapkan. Ketika segala sesuatu yang menyangkut kesiswaan, keguruan, dan filsafat (ajaran) telah di mengerti dengan sempurna, dan telah diselami sendiri didalam kodrat inti sarinya yang murni, maka muncullah kepribadian bathin tingkat yang ketiga dengan kecerdasan bathin 180 luhur yang berada didalam pangkuan Pikiran Semesta atau Pikiran Menunggal. Inilah yang diterjemahkan oleh para bijaksana zaman dahulu kedalam berbagai bahasa kata-kata, seperti misalnya: Kenyataan Terluhur, Inti Sari Pikiran, Kebenaran yang tek Terucap, Pembebasan Mutlak, intisari pengetahuan luhur, dan sebagainya. 344. Ananda: Bapa, kiranya sudah tidak ada lagi yangharus aku tanyakan kepada Bapa, karena hal-hal yang pokok dan hakiki telah Bapa terangkan secara garis besar kepadaku dengan cukup jelas. Apakah kiranya masih ada hal-hal lain yang hendak Bapa pesankan kepadaku, sebelum aku mengundurkan diri dari hadapan Bapa? 345. Bapa: Ananda, semua apa yang sudah aku sampaikan kepadamu itu adalah bagian karangan bunga yang aku pertunjukan kepadamu. Warna-warni yang aku peroleh dari dalam yang aku tempuh denga susah payah, dan dengan tebusantebusan darah, air mata, keringat, dan corengan-corengan kotoran debu. Oleh karen itu, Ananda, biarkanlah karangan bunga ku tetap seperti itu, jangan kau lepas-lepas, jangan kau rubah-rubah, dan jangan pula kau rusak. Pandang saja dia, jikalau engkau hendak melihat keindahannya, sebab, itu adalah karangan bunga hasil pekerjaan ku. Biarkanlah hasil pekerjaan orang, sebab orang yang bekerja akan memperoleh upah sebagai haknya. Dan biarkalah pula orang yang percaya, karena kepercayaannya itu 181 bukannya diperoleh sebagai hak, melainkan diperolehnya sebagai karunia dari Dia yang ada diatasnya. Ananda, fajar sudah akan menyingsing! Cepat-cepat engkau kembali ke-kemahmu, dan mulailah engkau bekerja didalam Nama Sang Guru Jagad untuk kepentingan keselamatan dan kebahagiaan dunia umat manusia! Demikian itulah yang kudengar sendiri tentang apa yang dipercakapkan oleh ”Bapa” dan ”Ananda” mengenai Pengetahuan Luhur, yaitu Kebenaran dan Kenyataan yang tidak dapat dijelaskan oleh kecerdasan pikiran berpikir dan para pujangga. Semoga yang mempunyai mata dapat melihat, dan yang mempunyai telinga dapat mendengar.! ========== SELESAI ========== 182