Academia.eduAcademia.edu

Ketika Rahasia MIM Tersingkap

2020

Ketika Rahasia MIM Tersingkap

om t.c po gs lo .b do in a- ak st pu KHADIJAH: KETIKA RAHASIA ” TERSINGKAP Sibel Eraslan KAYSA MEDIA ” Apa Komentar Mereka? gs po t.c om Sedikit sekali yang kita tahu tentang Ibunda Khadijah r.a.. Kita merindukannya dengan malu-malu. Takut salah, takut tak sopan, takut dosa? Sampai, Sibel Eraslan menulis novel ini dan mengajari pembaca untuk mencintainya dengan ekspresif, revolusioner, dan heroik. Bahasa tutur novel ini membuat pembaca berhadapan langsung dengan Khadijah. Memahami betapa akbar peran beliau bagi sejarah kenabian.” in do .b lo - Tasaro GK (Pengarang 2 novel laris tentang Muhammad saw.: Lelaki Penggenggam Hujan dan Para Pengeja Hujan) pu st ak a- “Membaca kisah para ibu di zaman sebelum dan sesudah tahun hijriah, hati siapa pun di antara ummat-Nya niscaya akan tergetar. Sosok Ibunda Hajar yang begitu penuh pengorbanan telah menginspirasi para muslimah, bahkan hingga masa kini. Pun dengan Ibunda Khadijah yang senantiasa mengalirkan kekuatan mahadahsyat tatkala kita merasa terpuruk. Patutlah Khadijah r.a. menjadi cahaya kalbu Rasululah saw. karena kasih sayang, kecerdasan, kegeniusan, dan kebajikannya tiada yang bisa menandingi hingga akhir zaman. Buku yang wajib dimiliki para muslimah masa kini.” - Pipiet Senja (Penulis 124 buku) ii “Inilah kisah sosok yang jadi irst love seorang utusan Allah. Yang mendukung Rasulullah saw. dengan sepenuh daya dan cinta sampai embusan napas penghabisan.” t.c om - Ahmad Fuadi (Penulis Negeri 5 Menara dan Pendiri Komunitas Menara) gs po “Nikmat dibaca, menyentuh rasa, dan penuh spirit cinta. Novel bergizi sarat makna.” do .b lo - Abdul Hakim El Hamidy (Spiritual Motivator) ak a- in “Sarat makna cinta dengan pilihan bahasa yang indah dan pemikiran mendalam, namun mudah dipahami.” pu st - Ria Miranda (Young Muslim Fashion Designer) “Membacanya seperti masuk kembali ke masa ribuan tahun lalu. Setiap kata-katanya begitu menghadirkan keindahan ruang dan waktu kala itu. Buku yang cerdas, hangat, dan penuh cinta.” - Oki Setiana Dewi (Aktris Muslimah dan Penulis Best Seller) iii Khadijah: Ketika Rahasia Tersingkap Penulis: Sibel Eraslan Penerjemah: Ahmad Saefudin, Hyunisa Rahmanadia, Erwin Putra Penyunting: Koeh Perancang sampul: Zariyal Penata letak: Vidia Cahyani Penerbit: Kaysa Media (Grup Puspa Swara) Anggota Ikapi Redaksi Kaysa Media: Perumahan Jatijajar Estate Blok D12/No. 1 Depok, Jawa Barat, 16451 Telp. (021) 87743503 | Faks. (021) 87743530 Wisma Hijau Jl. Mekarsari Raya No. 15 Cimanggis Depok 16952 Telp. (021) 8729061, 87706021-22 | Faks. (021) 8712219 E-mail: [email protected] Web: www.puspa-swara.com FB: www.facebook.com/KAYSAMEDIA Twitt: @kaysamedia Terjemahan dari Çöl ve Deniz karya Sibel Eraslan Copyright (c) TİMAŞ Basim Sanayi Ticaret AS, 2009, İstanbul, Türkiye www.timas.com.tr Pemasaran: Jl. Gunung Sahari III/7 Jakarta-10610 Telp. (021) 4204402, 4255354 | Faks. (021) 4214821 Cetakan: I-Jakarta, 2013 Buku ini dilindungi Undang-Undang Hak Cipta. Segala bentuk penggandaan, penerjemahan, atau reproduksi, baik melalui media cetak maupun elektronik harus seizin penerbit, kecuali untuk kutipan ilmiah. C/33/II/13 Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Eraslan, Sibel Khadijah: ketika rahasia mim tersingkap/Sibel eraslan -Cet. 1—Jakarta: Kaysa Media, 2012 xxxii + 388 hlm.; 22 cm ISBN 978-979-1479-63-9 iv Prakata P ara ilsuf, seandainya tahu untuk mendaki gunung terjal harus mendaki jalan setapak dan menanjak, akankah saya tetap pergi ke Heidelberg? Setelah kuinjak-injak jutaan dedaunan yang terbakar, bersandar pada batu nisan Holderlin yang telah penuh dengan lumut, seraya kutanyakan pada ruh syair yang sudah tua renta itu; benarkah apa yang engkau katakan kalau puisi adalah hal yang paling maksum di dunia? Mengapa kemaksuman harus digubah di puncak gunung yang sulit dan curam rimanya. (Heidelberg, 2008) Seusai salat Subuh, rasa kantuk masih menyerang mataku. Berdasarkan apa yang kulihat di peta lama, hotel tempat tinggalku terletak di perkampungan Bani Hasyim yang bermukim di sini sekitar 1500 tahun lalu. Aku sengaja membiarkan pintu jendela sedikit terbuka agar saat tertidur diriku bisa menyusup ke Mekah. Aku hanya tidur sebentar dan memang sering terbangun. Terbangun oleh gemuruh suara lautan. Namun, saat berlari ke arah jendela dan memandangi sekitar, ternyata suara lautan yang baru saja kudengar itu tidak pernah dapat kutemukan. Mungkinkah suara ombak-ombaknya yang seperti karpet tergulung yang digelar secara serentak itu hanya sebuah ilusi? Ataukah ini sebuah anugerah dan pertanda bagiku? Lagi pula, aku adalah seorang pengembara. Apa pun yang menjadi anugerah bagiku, aku harus menerimanya. Entah padang pasir... atau laut... v pu st ak a- in do .b lo gs po t.c om Aku lupa semua puisi yang telah kuketahui saat memasuki Kakbah. Kemarin, saat berlari di antara Safa dan Marwah, saudara wanitaku berkata, “Aku bangga sekali kepada Bunda Hajar. Lihat saja, sejak ribuan tahun lalu semua orang mengikuti larinya.” Kakbah terlihat seperti samudra, tempat bermuaranya semua sungai yang ada. Percikan indah puisi dan lautan bagaikan kipas angin yang terpasang di dinding rumah Allah, dengan baling-balingnya yang usang dan penuh pedih berputar-putar. Aku pun tak mampu mengkhatamkan al-Fatihah sepanjang tawaf. “Aku hanya bisa membaca sampai lafaz Iyyakana’budu wa iyyaka nasta’in.” Setelah membaca ayat itu, aku selalu saja terpaku. Kami pun menangis saat bersama-sama berdoa di Hijr Ismail. Kami seperti merasakan perjuangan, cinta, dan keimanan Bunda Hajar dan Khadijah. Menikmati mereka sebagai guru yang mulia dan penuh kelembutan yang sedang memberikan pelajaran ke dalam ruh kami. Kami kembali mengenal dan bersaksi kepada Nabi Muhammad, utusan terakhir yang telah memberi contoh dengan kehidupan dan pengajaran Rabbaninya. Dengan bergeloranya iman, hati kami yang bagaikan padang pasir telah bermandikan lautan. Kakbah berada di tengah-tengah padang pasir ataukah di permukaan lautan? Bagaimana dengan hati? Digubah di pegunungan tinggi manakah rima kesuciannya? Aku bersedih atas nama para penyair dan ahli ilsafat, kehancuran puisi, tujuh gantungan yang terputus dari dinding Kakbah karena tidak satu rima pun mampu berlomba dengan lantunan kesucian cinta yang berpekik dari La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah... (Mekah, 2009). vi Anak-anakku berpikir kalau geometri tidak berhubungan dengan sastra. Padahal, sastra adalah seni geometri. Aku menggambarkan tiga titik yang tidak pararel di buku catatan. Jika masing-masing titik dihubungkan satu sama lain, pemahaman pertama matematika setiap anak di dunia ini adalah bangun segitiga, dengan rumus Pitagoras yang mengatakan bahwa “Angka pertama yang ada di planet adalah tiga”. Saya hitung luas bangun segitiga, entah mengapa masih mengingatkanku pada sebuah puisi. Rasulullah yang tercinta memiliki dua teman perjalanan. Yang satu seorang malaikat penghuni langit, yaitu Jibril, dan yang satunya lagi adalah putri dunia, Bunda Khadijah. Allah yang menyebut Rasulullah dengan habibi telah memberikan dua teman hidup untuk mendukungnya. Malaikat di langit dan wanita di bumi... “Engkau telah membahagiakanku dengan tiga hal di dunia ini.” Sabda Nabi : “Wanita, bau yang harum, dan cahaya mataku adalah salat…” Ketika membiarkan pekerjaan rumah geometriku demi memeluk anak-anakku, sekali lagi aku merasa sedih terhadap para penyair dan ilsuf. Aku kini tahu, yang telah mengubah padang pasir menjadi lautan cinta dengan rima yang paling indah dan paling suci akan kering dalam hati ibu... Semoga salam terlimpah untuk ibunda kita, Khadijah Kubra. (Istanbul, 2009) vii Prolog A wal sebelum masa mengenal hari-hari yang dilalui dengan jam pasir atau tergores dalam lembaranlembaran almanak Dialah yang Mahaada Dialah yang Mahaawal Dialah Allah Ibarat harta karun rahasia. Ia ingin untuk tidak diketahui. Dan atas keinginan-Nya ini, Ia berkeputusan untuk berirman. Firman, dari-Nya menjadi baris Sebelumnya, irmanlah yang memulai perjalanan “Kun” irman-Nya. Jadilah segala sesuatu dalam seketika Sementara itu, pena adalah pejalan kedua setelahnya Takdir pena adalah menulis yang lainnya Makna segala apa yang dikatakan dalam irman menjadi takdir bagi seluruh pengembara Bagaikan seseorang yang melihat dirinya pada cermin, cinta juga telah menakdirkan Kekasihnya Semua yang dicipta: segala yang kita sebut dengan sejarah dan masa depan, semua yang diketahui dan tidak diketahui, seluruh kebaikan dan kejelekan, hanyalah sebatas untuk lebih sedikit memperkilap cermin cinta ini Cermin cinta yang sempurna mengilapnya karena wajah Muhammad Al-Mustafa viii pu st ak a- in do .b lo gs po t.c om Dialah stempel cintanya Allah, Khatimul Anbiya-Nya Allah menyebutnya “Habibi”, “Kekasihku” Segala berita yang jelas maupun terselubung telah diberitahukan kepada kekasih-Nya karena ia adalah pembawa berita terakhir Allah Semua orang yang datang dan pergi, mulai dari manusia pertama hingga terakhir, akan dibangkitkan dengan surat terakhir yang dibaca kekasih-Nya Nama surat itu adalah Al-Quran, yang mengumpulkan, membangkitkan, menyatukan Firman sejak awal hingga akhir Firman yang awal dan akhir Utusan terakhir: tersumpah, terikat, terjanji Zat yang sangat mencintai kekasih-Nya pasti akan memberikan rumah terbaik di dunia ini Rumah-Nya adalah Rumah Wahyu Utusan terakhir haruslah tinggal di Rumah Wahyu Dan Tuhanlah yang telah membuatnya mencintai istrinya, bau wangi, dan salat yang menjadi cahaya matanya Wanita yang dibuat oleh-Nya dan dicintainya bernama Khadijah Khadijah seolah sama dengan wahyu, nikmat yang diberikan, disuguhkan, dan menjadi nasibnya Dalam hati Khadijah yang hangat akan diterangkan semangat kekasih Allah yang membara Khadijah adalah aroma samawi. Dialah yang akan memeluk utusan terakhir, manusia paling kamil, dengan pelukan tangannya yang hangat, penuh kasih sayang ix Di samping sebagai seorang ibu, ia juga seorang istri. Segala kebaikan yang ada di lingkungannya ia lahirkan Sang ibu yang penuh perjuangan Ia ibarat buaian, tempat kekasih Allah diamanahkan kepadanya. Hati Khadijah adalah rumah Rasulullah Hati Khadijah adalah baju baginya, pakaiannya Ia adalah tempat berteduh bagi kekasihnya, dermaga tempat berlabuh yang paling aman Hati Khadijah adalah tempat Allah menjadikannya kekasih bagi kekasih-Nya Khadijah adalah tempat dan peluang cinta bagi sang utusan Kekasih Allah akan terhangatkan di dalam rumah hati Khadijah. Allah telah menjadikan Khadijah seorang wanita yan menjadi rumah bagi kekasihnya Wahyu yang dibawa malaikat juga telah menjadikan Khadijah bagai selimut “Selimutilah diriku... selimutilah diriku....” Dia adalah wanita yang menjadi rumah bagi turunnya wahyu Dia adalah wanita yang menjadi selimutnya wahyu Dialah yang menenangkan dan kemudian menyelimuti sang kekasih Khadijah adalah Libasul Khatam Seorang wanita yang telah menjadi busana bagi penandanya Allah Seorang wanita yang menenangkan dan mendukung utusan-Nya, dialah Khadijah namanya x Dialah istri, rumah, dan tempat berteduh baginda Nabi Seorang panutan, tangga pertama dalam pelajaran cinta bagi utusan-Nya Khadijah adalah istri dan juga ibunya Khadijah berarti kekuatan muharrik atau yang mampu menghancurkan dan sekaligus kesabaran Khadijah berarti uluran tangan Adalah belaian dan uluran kepedulian Khadijah adalah kerja keras, sabar, cinta, dan usaha Surga yang dijadikan Allah di dunia bagi kekasih-Nya Kilau dari cermin cinta Bejana bagi lautan cinta Menjadi lentera, lampu pijar yang terbuat dari kristal Cangkir kristal untuk air bersih nan jernih Buaian yang hangat bagi bayi Alur bagi aliran sungai Bingkai bagi lukisan Baju yang melindungi punggung Rangka bagi pedang tajam Jilid umat bagi kitab yang sangat berharga Sapu tangan yang memberi dan menjaga rahasia Perban yang mengandung obat mujarab Ujung tombak yang setiap sisinya terbungkus Selimut yang menghentikan rasa dingin bagi ruh dan menyelimutinya dari udara terbuka… Khadijah adalah seorang wanita Kisahnya kisah Badan bagi badan, kulit bagi kulit Ruh bagi ruh Hati bagi jiwa xi Khadijah adalah puncak cinta di dunia Kekasih yang dijadikan kekasih bagi kekasih-Nya Suatu hari, mata Rasulullah berkaca-kaca seraya bersabda kepada para sahabat yang ada di sekitarnya: “Allah tidak pernah memberikanku wanita yang lebih mulia daripada Khadijah. Di saat manusia tidak percaya, dia sendiri yang percaya. Ketika semua orang mendustakan diriku, dia sendiri yang menerimaku. Ketika manusia berlarian dariku, ia mendukungku, baik ketika ada maupun tiada... Dan... Allah mengaruniaiku putra-putri bukan dari yang lain, melainkan darinya.” xii Gerbang K ota bagaikan pengantin wanita. Wajahnya merona menantikan dirimu jika saja engkau mengizinkan dirinya memaparkan kisah kehidupannya. Sama seperti manusia, setiap kota memiliki takdir dan pemahaman tersendiri. Seperti wajah seorang bayi, di sana akan tampak pertanda dari orangtuanya. Suatu hari, engkau akan menemukannya saat berani membuka kain kafan kota yang penuh derita. Saat pertama kali kadim hikayat kota diturunkan ke bumi, di sanalah kota itu tampak kaku dan sayu. Allah telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, sementara kota tentu saja lama setelah masa itu. Ia dinamakan kisah asatir walau sebenarnya tentang cerita kehidupan lampau. Hikayatnya, termasuk ruh sebuah kota, telah berembus dalam bisikan dari satu telinga ke telinga lainnya semenjak ia hadir sebagai kisah penuh hikmah selama berabad-abad. Meski suatu hari kiamat akan pecah, kenangan akan kota itu tetap hidup selamanya karena kisah adalah ruh bagi kota itu. Dan ruh, tentu saja, tidak akan pernah mati. Ia akan tetap abadi. Antara popok bayi dan kain kafan kota, keduanya tidak berbeda secara hakikat. Keduanya adalah cadar keindahan bagi pemakainya. Di balik cadar itu akan ada pengantin yang menunggunya. Ketika cadar pengantin ibu segala kota engkau buka, akan didapati ibunda kita, Hajar. Wajahnya pucat pasi, merona, dan penuh gelisah saat mendekap sang bayi, Ismail, sambil berlari di antara Safa dan Marwa demi xiii pu st ak a- in do .b lo gs po t.c om mendapatkan seteguk air. Ternyata, upaya pencarian air dengan berlari ini, dalam lembaran-lembaran sejarah yang dituliskan kemudian, setara dengan upaya ibunda Khadijah sebagai pahlawannya. Seolah takdir Mekah berada pada kedua ibunda yang mulia ini. Sebagaimana kedua gunung kota Mekah, Safa dan Marwa, yang menyimpan isyarat dari Allah, ibunda Hajar dan Khadijah yang mulia juga laksana kedua bukit yang kokoh menjaga Mekah sepanjang dunia masih berputar. xiv Babil S ebelum Istana Babil runtuh, cerita-cerita lama mengisahkan bahwa umat manusia berbicara dengan bahasa malaikat. Entah apa yang akhirnya terjadi. Umat manusia saat itu diliputi sifat sombong, serakah, takabur, dan hasut terhadap kekayaan orang lain. Mereka begitu congkak sampai tidak memercayai apa pun selain akal pikirannya. Tak pernah puas dengan nafsu syahwatnya dan selalu mengejar semua kesenangan. Manusia juga malas membantu sesama sehingga satu sama lain saling memangsa. Sepuluh macam dosa dan tujuh macam tindakan nista adalah syiar mereka. Bahkan, kecanggihan dalam bidang arsitektur dan bangunan membuat mereka sampai berani menantang langit. Babil adalah istana yang menjulang ke langit. Tinggi kakinya saja ratusan meter. Atapnya menghilang di antara kerumunan awan. Sungguh malang nasib sang arsitek. Ia diminta membangun, mendirikan, terus menjulang dengan tenaga manusia hingga tak berujung. Suara gemuruh para pekerja yang memukul-mukulkan palu, bodem, linggis, dan alat dari besi lainnya membuat kesadaran akan kehancuran kota akibat kiamat melanda lenyap. Babil telah dikuasai keserakahan. Mereka yang terbuai dalam syahwat di atas ketinggian menara-menaranya tidak akan pernah menyadari berlalunya waktu. Bahkan, para pengembara yang menghampiri mereka terlihat sayu oleh embusan udara yang menapak di jalannya. Mereka xv _ Babil pu st ak a- in do .b lo gs po t.c om tak sadar telah menghabiskan seribu tahun usia di antara semak-semak taman gantung Babil; bahu telah menjadi lemah, menua, dan embusan napasnya telah berakhir tanpa bisa tahu ke mana arah tujuan hidupnya. Jalan melingkar bagaikan spiral menjulang hingga ke angkasa menyangga Istana Babil. Pagar pematang di sepanjang jalan terbuat dari perak, sedangkan lantai balkonnya dari zamrud. Lanskap air terjun yang menghiasi setiap pinggir taman gantung tampak begitu indah memesona, dengan suara gemericik yang mengalir di antara zamrud yang diukir sedemikian cantik, seharusnya menggambarkan keriangan dan kebahagiaan para penghuninya. Namun, apa gerangan yang menyebabkan wajah setiap orang yang mengembuskan napasnya di Babil tampak seperti menderita. Hampir setiap pasang mata yang melepas ruhnya di antara gemerlap kekayaan dan kenyamanan fana membekaskan tanda-tanda kepedihan. Di saat para penduduk Babil harus berhadapan dengan Zat Yang Maha Mencipta karena telah lalai hingga melampaui batas, hidup tanpa pernah bersyukur dan tanpa kendali, luruhlah takdir yang mesti dijatuhkan. Firman Ilahi telah dititahkan. Kiamat pun berkemelut di istana hingga bangunan berhawa sedih yang sedang dalam pembangunan itu luluh-lantak dengan satu kalam Illahi. Rata dengan Bumi. Segalanya hanya berusia sebatas hirupan napas. Istana rata dalam sekejap, lebur dalam ketiadaan. Para raja agung, para ratu, dan punggawa Babil, serta siapa saja yang ada lumat ditelan bumi. Namun, para pengemis yang mengais xvi rezeki di depan pintu istana yang paling bawah, para tuna wisma, dan para wanita lansia berbusana kumal yang dilarang memasuki istana, serta para tamu penyair yang tidak dikehendaki kehadirannya di istana, tak tersentuh petaka kiamat itu. Mereka yang selamat itu pun ribuan kali menyesali sisa hidupnya. Mereka harus menanggung kutukan Tuhan yang pedih karena satu sama lain tidak lagi memahami bahasa mereka. Setiap ucapan dan kata menjadi asing. Setiap orang menjadi tuli atau bisu. Mereka tercerai-berai ke seluruh penjuru bumi. Ibu berpisah dengan anaknya dan saudara berpisah satu sama lain dalam keadaan murka. Ah, Namrud, Raja Babil yang teramat sombong! Beraninya ia melemparkan Nabi Ibrahim ke dalam unggun perapian? Bisa-bisanya ia berkeras membangun kuil Babil menjulang ke langit untuk menantang kekuatan Tuhannya Ibrahim? Namun, lihatlah apa yang terjadi! Di waktu pagi itu, saat Namrud dimabuk keserakahan membangun istana menjulang menembus awan, saat ia gila untuk mencoba melontarkan panah dari balkon istananya dan gembiranya ketika mendapati anak panah yang kembali dengan mata panah dipenuhi bercak darah, dengan dungu ia menyangka Tuhannya Ibrahim telah terluka –hasya. Padahal, Tuhanlah yang telah membuat api yang panas itu menjadi dingin bagi Ibrahim. Tuhan yang menjadikan mawar dari kilauan apinya itu telah menampakkan murkaNya dengan meluluhlantakkan istana kesombongan Namrud. Pada hari ini, kita tidak dapat lagi mengingat bahasa lama para malaikat. Hal tersebut, katanya, terjadi karena xvii _ Babil para penduduk yang menyaksikan Ibrahim dilemparkan ke dalam unggun perapian hanya terpaku bagaikan setan tak berlidah. Bulu kuduk mereka tak sedikit pun bergetar untuk berupaya menolongnya. Di hari Istana Babil diruntuhkan, seluruh umat manusia telah ikut andil di dalamnya. Mereka tercerai-berai dan tampak nestapa di seluruh penjuru dunia. Manusia terdampar ke mana-mana dengan bahasa berbeda dalam kabilah dan bangsa-bangsa yang tidak sama. Dan hamba yang dikasihi-Nya, ayah dari orang-orang miskin dan perantau, Abul Adyaf Nabiyullah Ibrahim, baik ketika di perjalanan, di tenda perkemahan, maupun di rumah tempat tinggalnya, menjadi masyhur dengan kedermawanannya. Ia mengumpulkan masyarakat dan menjamunya. Beliaulah yang mengumpulkan, menenangkan, memberi pencerahan, murah senyum, dan tidak pernah tebersit keputusasaan. Bersama sang istri yang sangat cantik, Sarah, beliau meninggalkan negara tempat Namrud berada. Sesampai di daratan Ninawa, peraturan aneh raja setempat membuat mereka berdua khawatir. Keduanya mengaku sebagai saudara. Pengakuan ini bukanlah dusta. Menurut syarat rukun agama yang diturunkan Tuhan yang Tunggal dan Esa, mereka memang bersaudara. Mereka sama-sama keturunan Adam sehingga bersatu dalam satu keturunan dan satu saudara dari Bani Adam. Raja Ninawa, Abimelekh, hanya mengizinkan orang memasuki daerah kekuasaannya dengan satu syarat, dan syarat itu adalah hukuman gantung. Karena itu, jika xviii memberi tahu bahwa mereka sudah menikah, hal itu tentu akan sangat membahayakan keselamatan Ibrahim. Namun, jika dikatakan bersaudara, peraturan tidak adil sang raja tidak dilanggar. Lebih dari itu, mereka berdua pun disambut dengan cara luar biasa sebagai tamu. Raja Abimelekh terpana oleh keindahan rupa Sarah. Namun, setiap berkeinginan hendak menikahi dan melangkahkan kaki untuk mendekatinya, setiap kali itu pula kedua kakinya terpaku dan menjadi lumpuh seketika. Kedua tangannya pun tiba-tiba menjadi kaku karenanya. Tidak hanya sekali… kedua kali… ketiga… Saat yang ketiga kalinya, pandangan sang raja tiba-tiba kelam. Mulutnya berbusa, kedua tangan terpaku, dan sekujur tubuh terasa tersayat-sayat. Ruhnya terhimpit dan dari dalam hatinya terembus rasa takut akan kematian. Apa gerangan semua ini, seorang ahli sihirkah wanita yang membuatnya ketakutan itu? Ataukah semua ini adalah kekuatan mistik yang dimilikinya, yang didengarnya dari para musair? “Aih,” mengaduh ia pada akhirnya. “Entah apa pun itu yang membuatku menjadi begini, tidakkah wanita itu indah bagi diriku?” Baru saja berpikir demikian, rasa takut kembali menjalar seketika. ”Al-Aman!” teriaknya. “Segera suruh kedua saudara ini untuk meninggalkan kota. Berikan kepada mereka harta benda yang banyak. Bawakan unta, kambing, dan domba. Jangan lupa pula berikan mereka pembantu yang paling rajin, Hajar. Berikan semua hadiah itu kepada mereka dan antar sampai ke jalan. Jangan sampai mereka meninggalkan xix _ Babil laknat. Semoga kedua mataku yang buta bisa melihat kembali, kedua tanganku dan kakiku yang lumpuh bisa sehat, dan punggungku yang bungkuk dapat tegak lagi.” Para punggawa Ninawa mematuhi perintah sang raja. Mulailah Ibrahim mengarungi perjalanan. Kini, bukan hanya berdua, melainkan bertiga. Angka tiga, bagi beberapa ilsuf, merupakan bilangan pertama. xx Lah Laha.. T aurat bagian ke-12 diawali dengan kata Lah Laha… Ini adalah perintah suci yang bermakna “pergilah untuk dirimu sendiri”. Ya, ini mengenai kepergian Nabiyullah Ibrahim dari Harran. Setelah perjalanan ini, beliau akan mendapatkan keturunan yang akan meneruskan garis keturunannya yang suci: Bani Ibrahim yang terkenal ke seluruh penjuru dunia. Lah Laha seolah perintah dan berita gembira bagi anak keturunan Ibrahim. Dalam catatan sejarah, garis keturunan suci dan pewaris agama samawi Ibrahim bermula dari perjalanan ini. Perjalanan tiga orang, yaitu Ibrahim bersama kedua ibunda kita. Pada kisah selanjutnya, berita gembira yang dinantinantikan datang lebih awal. Ismail lebih dulu menyapa dunia lewat kelahirannya dari rahim Ibunda Hajar. Setelah itu, Ibunda Sarah yang sudah berusia lanjut, dengan limpahan anugerah dari Allah, tak lama kemudian menjadi ibu. Anak yang lahir darinya diberi nama Ishak. Dalam Taurat, pada pembahasan ke-21 tentang “Ishak dan Ismail”, Ibunda Sarah diceritakan dengan pemaparan yang kasar. Lihatlah pada kata-kata “Usir jariah ini bersama dengan anaknya!” Di sini, Taurat menggambarkan seolah-olah Ibunda Sarah adalah seorang ratu berhati besi, yang memberi perintah begitu saja kepada Ibrahim. Tidak diragukan lagi, terlepas dari segala aspek yang melatarbelakangi, semua itu merupakan penyelewengan xxi _ Lah Laha.. makna dan tindakan yang melampaui batas terhadap Ibunda Sarah. Padahal, di dalam Alquran disebutkan bahwa kedua ibunda itu adalah penerus garis keturunan Ibrahim dengan sanjungan dan panjatan doa. Perjalanan Ibrahim bersama ibunda Hajar dan buah hatinya, Ismail, adalah ujian dari Allah untuk nabi-Nya. Mengenai Ismail, Ibrahim sebelumnya telah memohon diberikan putra. Setelah sang putra lahir, dengan berat hati kemudian ditinggalkan di tengah-tengah padang pasir yang teramat jauh. Itulah takdir. Keputusan Tuhan untuk meninggalkan mereka berdua di padang pasir di sekitar Bait al-Atik, Mekah, akan menjadi babak penting bagi “penyempurnaan sejarah besar” di kemudian hari. Dalam Taurat dikisahkan, sambil mengangkat bejana berisi air di punggungnya dan beberapa potong roti terbungkus di kain sebagai bekalnya, Hajar diantarkan ke padang pasir, yang disebut dengan istilah watata. Menurut para rabi, istilah ini bermakna “memulai perjalanan”, dan merupakan isyarat bagi tumbuhnya pohon silsilah yang akan melahirkan sang pembawa berita terakhir, yakni nabi terakhir. Nabi terakhir, Muhammad, adalah cucu yang lahir berabad-abad kemudian dari masa Ibunda Hajar yang ditinggalkan di tengah-tengah padang pasir. Dengan demikian, secara ironi, watata bukanlah bermakna “memulai perjalanan”, melainkan sebaliknya, yaitu “menemukan jalan”. Hanya saja, lewat orang-orang yang telah mengeras hatinya, istilah tersebut telah diubah maknanya. Perjalanan risalah yang bermula dengan perjalanan Hajar dari Al-Quds ke Mekah, lalu perjalanan Rasulullah xxii saat Israk-Mikraj yang menempuh perjalanan luar biasa dari Mekah menuju Masjid al-Aqsa, dengan sendirinya telah menyempurnakan garis perjalanan yang sesungguhnya. Dengan demikian, kata Lah Laha di dalam Taurat berarti garis keturunan Ibrahim dan kata watata mengacu kepada perjalanan Mikraj. Namun, kini kedua kata yang memiliki makna sangat dalam itu telah mengalami penyempitan, bahkan penyimpangan. xxiii Embusan Angin Sakinah S etelah Ibrahim dan Hajar meninggalkan al-Quds, keduanya harus menempuh perjalanan panjang mengarungi padang pasir. Di belakang mereka hanya ada satu teman perjalanan. Ia adalah “angin sakinah” yang berembus tidak terlalu kencang. Tiupan angin ini begitu sepoi, lembut membelai, seolah hendak mengungkapkan dukungannya kepada keluarga yang tunduk berserah diri itu. Setiap langkah yang diayunkan merupakan satu tataran terangkatnya derajat mereka karena mampu melewati ujian yang akan membuat keduanya dikenang sebagai hamba yang agung dalam sejarah. Selama berhari-hari, tanpa bicara, mereka terus berjalan. Sang ayah berada di depan, sementara sang ibu berada persis di belakangnya dengan seorang bayi mungil dalam pelukan. Sementara itu, “angin sakinah” menyelimuti mereka dalam tiupan lembut membelai dan terus mengiringi mereka berjalan... terus berjalan. Mereka kemudian berhenti di suatu bukit kecil yang banyak sisa reruntuhan. Tempat ini dinamakan Bait al-Atik, tempat yang dulu pernah ditinggali Adam, rumah paling tua di dunia yang saat itu dalam keadaan rusak dan reyot, dengan dinding hampir roboh karena hempasan angin dan berada sendirian di antara hamparan samudra padang pasir yang mengelilinginya. xxiv Hajar lalu bertanya kepada suami dan juga nabi yang diimaninya. “Akankah Kanda meninggalkan kami berdua di sini?” Tak ada jawaban, tak pernah ada jawaban… Sampai akhirnya sebuah pertanyaan yang terucap, “Ataukah semua ini adalah sebuah ujian yang diperintahkan Allah?” “Akankah Kanda meninggalkan kami berdua di sini?” Tak ada jawaban, tak pernah ada jawaban.. Ayahanda kita, Ibrahim, dengan wajah menanggung pedih namun berserah diri kepada takdir yang menimpanya berkata, “Iya, Dinda akan ditinggal di sini sebagai perintah dan ujian dari Allah.” Ibrahim pun melangkahkan kaki untuk meninggalkannya. Ibunda Hajar hanya seorang diri di tengah-tengah padang pasir dengan bayinya. Ibrahim meninggalkan mereka di Baitul Atik yang tinggal puing-puing bertimbun pasir. Perintah Allah telah menghendaki yang demikian sebagai ujian sehingga Ibunda Hajar pun menjadi “Hajar” yang sesungguhnya. xxv _ Embusan Angin Sakinah Hajar berarti batu Ia berarti pula ruangan buaian dan juga: mata Setelah sejenak memandangi hamparan padang pasir di panas terik tanpa ada tempat berteduh, tebersit perasaan papa dalam hati Hajar yang masih muda belia. Memang telah disampaikan jauh sebelumnya bahwa semua ini adalah sebatas ujian baginya. Namun, tetap saja hatinya tersayat dan semakin tersayat oleh langkah kaki sang suami yang semakin menjauh meninggalkannya. Inilah saat awal dimulainya rangkaian ujian. Ibrahim Khalilullah adalah satu-satunya tempat berteduh, seorang nabi yang diimani, seorang suami yang dicintai, tempat berbagi dan segalanya baginya. Kini, ibunda kita hanya seorang diri, sunyi di tengahtengah hamparan samudra padang pasir dalam usianya yang masih muda. Akankah hanya terus duduk dan menunggu? Ah… setidaknya Ismail masih ada di sisinya. Ismail adalah buaiannya. Tidaklah mungkin ia tahan terhadap terik padang pasir, haus yang melanda, dan panas mentari tanpa dipayungi yang dapat menghentikan detak jantungnya. Panik bercampur gelisah hati Hajar. Ia pun bersimpuh di hadapan buah hatinya, memerhatikan dengan penuh iba wajah bayinya yang pucat pasi karena berharihari dalam perjalanan. Wajah mungil itu lalu diusapnya dan kemudian ditutupi. xxvi “Duhai Allah, janganlah Engkau perlihatkan kematiannya kepadaku,” pintanya dalam pilu. Setelah bersimpuh merintih dalam tangisan, kembalilah sang ibunda kita dalam kesadaran. Ya, suaminya yang juga seorang nabi telah berpesan bahwa semua ini adalah serangkaian ujian. Untuk itu, ia tidak ingin melewati serangkaian ujian ini hanya dengan duduk menanti. Mungkin saja, seandainya hanya sendiri, akan ia kuatkan ujian ini dengan hanya menanti. Namun, sebagaimana jiwa seorang ibu, Hajar menyadari kalau kehidupannya tidak akan mungkin berlalu seorang diri. Ia pun kembali bangkit untuk sang buah hati. Demi anaknya, ia basuh wajahnya dari linangan air mata. Ibunda kita itu bangkit untuknya. Dengan cepat, ia berlari ke bukit Safa. Semakin jauh berlari, dalam pandangannya, bukit itu terlihat penuh dengan rerimbunan pepohonan. Hatinya penuh harap saat berlari ke sana. Benarkah yang ia lihat hanya mimpi? Ataukah itu hanya sebuah ilusi? Sesaat Hajar tertegun, tebersit merenungi tabir mimpi itu. Tabir mimpi itu mengentakkan jiwanya untuk berlari. Ia kumpulkan kembali tenaga untuk berlari; pelarian untuk mengejar iradah, harapan, dan kedekatan. Sesuatu yang penuh dengan jiwa yang terbakar, lesatan seorang ibunda ke dalam kobaran unggun perapian. Sesampai di Safa, matanya menyapu sekeliling bukit. Ia menerawang mencari kailah yang berlalu atau sumber air yang ada di kejauhan. Ia mencari dan terus mencari. Namun, semua itu tiada. Tidak ada sama sekali yang tersapu xxvii _ Embusan Angin Sakinah oleh pandangannya, baik jejak kaki maupun gerakan yang memberikan harapan. Kemudian, ia kembali berlari dengan cepat menuruni bukit. Ia terus menatap bukit yang lain dalam lesatan kaki berlari. Nama bukit itu adalah Marwa. Kali ini, hatinya penuh harap. Mungkin ia akan mendapati apa yang dicari dengan mendaki puncaknya. Berlari dan terus berlari sembari hatinya penuh dengan tangis, mendoa, dan merintih dengan kelembutan air susu ibu kepada Ilahi Rabbi Demikian seterusnya hingga genap tujuh kali ibunda kita naik turun di antara bentangan dua kaki bukit Safa dan Marwa dengan terus berlari. Berlari dan terus berlari sembari hatinya penuh dengan tangis, mendoa, dan merintih dengan kelembutan air susu ibu kepada Ilahi Rabbi. Ia bakar dirinya dengan api tazarru’ yang membara, seolah dirinya telah menjadi lilin yang berpijar nyala apinya. Dan Allah telah mengujinya dengan kesendirian. Perjuangannya telah menjadi mahkota ujian suci ini, yang pada akhirnya dijawab dengan air Zamzam yang terkumpul untuknya. xxviii Zamzam adalah air cinta, perjuangan, dan kemaksuman seorang ibu. Air telah menjadikan kehidupan baru bagi Hajar dan buah hatinya. Pun sebagai hadiah sebuah kota baru bagi umat manusia. Lesatan ibunda Hajar di antara bentangan dua bukit Safa dan Marwa bukan hanya bagi buah hatinya, melainkan juga bagi kota Mekah yang akan dibangun kemudian. Para penduduk Mekah selalu mengenang perjuangan ini dengan menaruh ke dalam keyakinan penghormatan atas dua bukit yang telah Allah jadikan sebagai isyarat. Hajar berupaya mengumpulkan air yang merembes dari dalam tanah dengan terus berkata “tunggu… tunggu”, seraya membendungi sekitarnya dengan tanah, dengan perasaan khawatir akan lenyap. “Tunggu… tunggu….” “Zamzam….” Lewat dirinyalah air bersejarah itu hingga kini memiliki nama. Tatkala tempat di sekitar sumur mulai hijau merimbun, saat burung-burung mulai beterbangan hinggap di sana, dengan menukik dari ketinggian terbangnya, hal itu menjadikan tanda adanya sumber air bagi para musair yang memandanginya dari kejauhan. Mereka pun mengikuti arah terbang burung-burung itu. Sesampainya di sana, di saat mereka dapati sebuah sumur dengan seorang ibu dan putranya, segeralah mereka berucap salam. Demikianlah, dengan persyaratan menjunjung hak Hajar dan putranya, para pengembara yang melewatinya satu per xxix _ Embusan Angin Sakinah satu ditawari menetap di sana. Mereka pun dengan senang hati memutuskan menetap di tempat itu. Kabilah Jurhum telah memenuhi janji untuk menjunjung hak Ibunda Hajar dan putranya. Mereka menetap di sana untuk menjadi saksi terbangunnya kota nan indah yang baru: “Bekah”. Para pengembara kaum badui sering melafalkan huruf b berdekatan dengan huruf m sehingga kaum Jurhum kemudian lebih terbiasa menyebut Bekah dengan Mekah. Lalu, tibalah masa putra Ibunda Hajar, Ismail, yang juga seorang nabi seperti ayahandanya, Ibrahim, menikah dengan salah satu putri penduduk Mekah dari al-Quds. Setelah berabad-abad kemudian, generasi yang berasal dari garis keturunan Jurhum, yaitu Qusay, yang juga menjadi pemimpin bagi kota Mekah, menjadikan garis keturunan nabi terakhir terhubung dari Nabi Ismail, Ibunda Hajar, hingga Nabiyullah Ibrahim. Buku ini tertulis dengan niat menjelaskan sosok ibunda mulia Khadijah al-Kubra, yang juga merupakan istri sang utusan terakhir, Muhammad, dan cucu dari Ibunda Hajar yang terlahir berabad-abad kemudian. Semoga Allah berkenan mencurahkan rida dan ridwanNya kepada mereka dan semoga kita yang mewarisinya mampu meneladani kehidupannya dalam guyuran limpahan safaatnya. xxx Daftar Isi Apa Komentar Mereka? ____________________ ii Prakata __________________________________ v Prolog __________________________________viii Gerbang ________________________________xiii Babil ___________________________________ xv Lah Laha... ______________________________xxi Embusan Angin Sakinah __________________xxiv Nama Adalah Takdir _______________________ 1 Jalan Kepedihan __________________________ 19 Tabir Mimpi _____________________________ 44 Pasar ___________________________________ 48 Musim Semi _____________________________ 93 Pertemuan _____________________________ 108 Merindukan Mimpi ______________________ 117 Rahasia Mim ( ) _______________________ 123 Penantian ______________________________ 127 Pernikahan _____________________________ 136 Khadijah Adalah Rumah Kita ______________ 145 Penghuni Rumah ________________________ 149 Jubah Sang Kekasih ______________________ 156 Barakah________________________________ 158 Kabar Gembira _________________________ 163 Sebuah Jejak Kaki________________________ 171 Hikayat Sebuah Kendi ____________________ 180 Al-Amin _______________________________ 199 Ayah dari Anak-Anak Wanita _____________ 206 Melihat Apa yang Tidak Terlihat ___________ 210 xxxi Kesedihan ______________________________ 217 Kisah Sebuah Kekerabatan ________________ 227 Yang Datang dan Tak Pergi ________________ 239 Mendaki Gunung Hira ___________________ 244 Kelahiran Fatimah _______________________ 254 Dan Wahyu Pun Turun ___________________ 264 Detik Kehidupan ________________________ 276 Hikayat Seekor Rusa _____________________ 279 Kisah Padang Pasir ______________________ 287 Wahyu yang Tertunda ____________________ 292 Wudu Pertama __________________________ 300 Salat Pertama ___________________________ 305 Seperti Lautan __________________________ 322 Yang Terdekat, Yang Terjauh ______________ 332 Kisah Empat Puluh Darwis ________________ 339 Matahari dan Bulan Menjadi Saksi _________ 346 Kapal Pertama dari Mekah ________________ 350 Kisah Sang Kunang-Kunang _______________ 361 Menggantikan Tujuh Puisi ________________ 366 Lautan Mekah __________________________ 376 Empat Garis ____________________________ 385 Tentang Penulis _________________________ 387 xxxii Nama Adalah Takdir Y ang pertama lahir, yang mula terbangun, yang awal melakukan perjalanan adalah kata-kata yang selalu diucapkan orang-orang kepadanya. Khuwaylid bin Asad dan Fatimah binti Zaidah juga tak henti-hentinya mengucapkan kata-kata tersebut untuk meluapkan rasa gembira saat membelai sang bayi yang baru lahir. Jabang bayi bernama Khadijah yang baru saja lahir adalah buah hati mereka yang pertama. Mereka berasal dari keluarga Hasyim yang bersambung dengan garis keturunan Qusay bin Kilab, Luay bin Galib: sebuah keluarga yang sangat terkenal di Mekah dengan jiwa kesatria dan dermawan. Saat Mekah dalam kondisi terpuruk, Qusay dan anak keturunannya mengirimkan berpuluhpuluh kuda ke al-Quds untuk membeli gandum yang akan dibagi-bagikan kepada masyarakat. Hasilnya, masyarakat pun terhindar dari bencana kelaparan. Sejak saat itu, nama keluarga ini selalu dikenang dan dipanjatkan dalam setiap doa. Keluarga yang namanya telah terhormat tersebut sebenarnya menantikan kelahiran seorang anak laki-laki yang bisa meneruskan budi baik dan keperkasaan keluarga tersebut. Khuwaylid dan Fatimah adalah sepasang suami dan istri yang sangat mencintai satu sama lain. Khadijah adalah hadiah yang dikaruniakan kepada mereka. Mereka pun tidak bersedih hati menerimanya. Tak pernah mereka canggung untuk memeluk dan membelai anaknya yang pertama itu. 1 _ Nama Adalah Takdir Seandainya masih bertahan dalam rahim beberapa lama, pastilah dia akan lahir ke dunia sebagai lelaki. Demikianlah apa yang diyakininya. Oleh karena itu pula dinamainya Khadijah… dan namanya telah menjadikannya Khadijah. Inilah guratan takdirnya: guratan takdir yang telah tertulis di telapak tangannya. Takdirlah yang menjadikannya tanggap sehingga dengan teman-teman sebaya laki-laki dirinya dapat bertindak lebih gesit, lebih dahulu. Keluarga yang namanya telah terhormat tersebut sebenarnya menantikan kelahiran seorang anak laki-laki yang bisa meneruskan budi baik dan keperkasaan keluarga tersebut. Khuwaylid dan Fatimah adalah sepasang suami dan istri yang sangat mencintai satu sama lain. Khadijah adalah hadiah yang dikaruniakan kepada mereka. Mereka pun tidak bersedih hati menerimanya. Tak pernah mereka canggung untuk memeluk dan membelai anaknya yang pertama itu. 2 Seorang yang bangun di awal waktu, sosok yang cekatan. Demikianlah Khadijah. Dari sang bunda, ia mewarisi jiwa kelembutan, terutama suka bederma kepada tamu. Lewat sang ayah, turun kepandaian berkuda, berhitung, dan aritmatika. Lebih dari itu, ia juga dengan mahir mewarisi kemampuan bertahan dalam terik dan badai padang pasir, keahlian untuk tetap bertahan sehingga dapat sampai tujuan. Ia adalah kesabaran Khadijah. Padang pasir merupakan medan kekalahan bagi siapa saja yang tidak sabar dalam mengarunginya. Siapa saja yang tidak ramah tindak-tanduknya, padang sahara tak akan membiarkan seorang pun hidup di atasnya. Hamparan padang pasir luas mengepul bagaikan tungku raksasa. Di sini tidak ada penanggalan lain selain penanggalan Matahari dan Bulan. Seandainya kata-kata tidak memiliki kekuatan sihirnya, kemungkinan besar jantungnya terhenti. Sabar dan berpuisi adalah dua warisan yang paling berharga dari mendiang ayahnya. Khuwaylid bin Asad adalah sosok yang tidak akan mungkin mudah menyerah terhadap aturan rimba padang pasir. “Bersabar bukan hanya sebatas bertahan terhadap segala rintangan. Sabar adalah tidak berbuat zalim meski mampu melakukannya,” kata para orang tua kepada anak-anaknya. “Kata-kata memiliki kekuatan bagaikan belati yang selalu penuh siaga di rangkanya.” Demikian pepatah ini selalu melekat seperti anting-anting yang menempel di telinga Khadijah. Seakan jawaban dari kata-kata puisi dan belati pada kejadian di sumur Zamzam di sekitar Baitul Atik saat jemparing diarahkan ke teman dekatnya, Abdul Muthalib, baru saja ia saksikan di hari kemarin. Hampir saja seluruh Mekah bersatu untuk melawan Abdul Muthalib. Saat orang-orang Mekah 3 _ Nama Adalah Takdir tidak menghendaki Abdul Muthalib sebagai pewaris kedua untuk membangun sumber kehidupan sumur Zamzam yang telah ditimbun pasir hingga ke permukaannya, ketika itulah para pemuka Mekah saling menghunuskan jemparing dan belatinya. Namun, ayahanda Khadijah, Khuwaylid, berhasil membendung amarah mereka dengan kilau belati yang terhunus dari puisinya yang terucap. “Keberanian bukanlah berarti tidak takut,” kata sang ayahanda kepadanya. ”Keberanian adalah sabar menanti pada tempat yang semestinya meski dalam keadaan takut sekalipun.” Padang pasir tidak akan pernah memberi hak hidup kepada orang yang tidak sabar. Demikianlah, sabar adalah sumber air kehidupan bagi penduduk padang pasir. “Duhai buah hati anak wanitaku yang terlahir lebih awal. Bangunlah di awal waktu dan segeralah bergegas menempuh perjalanan.” “Baiklah Ayahanda.” Dengan membawa nama yang telah bersemayam di hati padang sahara, Khadijah akan memulai awal langkah perjalanannya untuk menjadi ratu padang pasir. Begitulah apa yang ditakdirkan dengan namanya. Saat Khadijah lahir, Mekah adalah bunda semua kota. Semua orang yang datang ke sana dari pintu manapun akan selalu menceritakan setiap langkah kakinya saat menyusuri jalanannya sebagai suatu keberuntungan tersendiri saat kembali ke negaranya. Mereka semua, baik para kailah, pedagang, penyeru agama, pelancong, maupun saudagar, pasti akan mendapatkan apa yang mereka cari. 4 Mekah, yang pada waktu itu merupakan pusat (esperantos), baik bagi agama Yahudi, Nasrani, penyembah api, pagan, maupun Hanai, seolah merupakan batu akik di tengah-tengah cincin jalur perdagangan yang melalui jalur perjalanan India, Eropa, dan Laut Mediterania. Karena itulah Mekah juga sering disebut “kota di tengah-tengah dunia”. Selain bagi para musair yang mengetahui aturannya, padang pasir luas dan gunung-gunung yang mengitarinya merupakan benteng alami yang menjaga tanah Mekah. Hanya saja, orang-orang Yahudi yang menyebut jalur antara al-Quds dan Mekah sebagai jalur Hajar, jalur panjang yang mengharuskan ketabahan dan kesabaran itu, baru beberapa waktu yang lalu membantai para rombongan yang akan pergi ke Mekah. Para musair memang sering mendapatkan perlakukan keji dari bangsa Yahudi. Hal itu belum lagi ditambah dengan perampokan setelah menempuh perjalanan panjang yang penuh derita dan kelelahan. Atau tersesat di tengah jalan tanpa arah dan tujuan. Untung saja, Allah mempertemukan mereka dengan putra mahkota kaum badui, Fudeyh, yang berjiwa mulia, sehingga dapat sampai ke tanah Mekah dengan diiringi perlindungan darinya. Para pendeta yang membubuhkan catatan pada buku perjalanan mereka menyebut para kesatria badui sebagai penyembah berhala yang berjiwa pahlawan dan suka menerima tamu. Sebenarnya, mereka memang para pelindung adat mulia yang telah mengurat akar di padang sahara. Selama berabad-abad, tabiat padang pasir telah menjadikan manusianya keras dan tahan pukul. Seolah mereka adalah orang-orang yang berotot kawat dan bertulang besi karena kerasnya pekerjaan dan kehidupan 5 _ Nama Adalah Takdir yang dihadapi. Yang tidak keras tidak akan mungkin kuat bertahan hidup di tengah-tengah padang pasir. Kata-kata, bagi mereka, juga berarti kehormatan. Terhadap orangorang yang keras ini, mungkin, hanya kata-kata mulia satusatunya kekuatan yang dapat mengarahkan mereka pada kepribadian mulia. Tak heran, jika terjadi permasalahan, senjata untuk melawan mereka adalah pedang dan syair. Keempat saudara wanita Khadijah, yaitu Hala, Asma (Halidah), Hindun, dan Rukayah, serta ketiga saudara lakilakinya yang bernama Naufal, Awam, dan Hizam juga tumbuh menjadi dewasa dalam keadaan yang sama sebagai anakanak yang berpengetahuan dan berjiwa mulia. Anak-anak ini selalu menyaksikan ayahanda mereka yang sepenuhnya membela keadilan dan memperjuangkan hak-hak mereka yang teraniaya. Selain itu, dalam keluarga Khuwaylid tidak pernah ada keyakinan terhadap berhala, sebagaimana yang ada pada kaum badui. Mereka adalah keluarga yang terkenal dengan akhlak yang mulia, pemberani, dan setia menepati janji. Lebih dari itu, mereka tidak saja dihormati bangsa Quraisy, tapi juga yang paling penting oleh para raja di Habasyah, Yaman, Ajemistan; seperti Raja Kisra di sana yang juga menaruh hormat kepada mereka. Bahkan, dalam hubungan diplomatik, mereka dipandang sebagai utusan keluarga. Sejak masa kecil Khadijah, Raja Yaman Seyf bin Ziyazan pada bulan-bulan musim panas sering tinggal di rumah peristirahatan yang berada dalam pengelolaan Khuwaylid dan keluarganya. Dalam pandangan Khadijah dan keluarganya, Yaman merupakan tempat yang tidak begitu panas, 6 bercurah hujan cukup, dan banyak hutan hijau rimbun yang melambangkan surga bila dibandingkan dengan Mekah. Namun yang terjadi sepanjang sejarah, Yaman dan Mekah adalah dua negara yang selalu bersaing. Semenjak peristiwa itu, setiap kali disampaikan kepada Khadijah ungkapan “Musim panas sudah datang, kapan kita akan mengunjungi rumah peristirahatan yang ada di Yaman”, dirinya selalu teringat dengan kekejaman dan kebengisan serangan gajah.Pada waktu serangan itu terjadi, Khadijah masih berusia sekitar 15 tahun. Kepergian Khuwaylid dan keluarganya ke Yaman terjadi sekitar dua tahun setelah peristiwa “Serangan Pasukan Gajah”. Sebelumnya, baik bagi seluruh kaum Mekah maupun Khadijah, Yaman selalu tampak mengerikan terkait dengan peristiwa serangan itu. Semenjak peristiwa itu, setiap kali disampaikan kepada Khadijah ungkapan “Musim panas sudah datang, kapan kita akan mengunjungi rumah peristirahatan yang ada di Yaman”, 7 _ Nama Adalah Takdir dirinya selalu teringat dengan kekejaman dan kebengisan serangan gajah.Pada waktu serangan itu terjadi, Khadijah masih berusia sekitar 15 tahun. Yaman adalah negara bagian Habasyah (Etiopia) di bawah kepemimpinan Raja Nejasi Ashame. Jarak yang cukup jauh antara Habasyah dan Yaman dimanfaatkan oleh Abrahah, seorang wali yang serakah. Dirinya yang merasa memiliki kekuatan dalam berpolitik mulai tidak pernah lagi mendengarkan nasihat dari perdana menteri atau perintah dari negara pusatnya, Imperium Habasyah. Sejak saat itulah Abrahah mulai mengincar Mekah yang merupakan kota persimpangan jalur perdagangan. Untuk menggaet para saudagar dan peziarah yang selama ini pergi ke Mekah sebagai pusat perdagangan dan Kakbah sebagai pusat peribadahan, Abrahah membangun sebuah tempat ibadah megah yang diberinya nama Qullays yang terletak di pusat kota Sana’a. Sayang, harapannya tidak akan pernah tercapai. Sebagaimana Sana’a tidak mungkin menggantikan Mekah, tidak mungkin pula Qullays menggantikan Bait alAtik. Yang lebih parah, munculnya berita ke seantero jazirah bahwa seorang Badui bernama Nasaah dari Bani Fakim yang datang dari Mekah, dan menjadi terkenal, telah buang air besar di tengah-tengah tempat ibadah di dalam Qullays. Mendengar berita tersebut, wajah Abrahah merah padam. Ia bersumpah akan menghancurkan Mekah dan Bait al-Atik yang di dalamnya terdapat Kakbah. Sumpah telah terucap dan segeralah pasukan Abrahah yang tersusun atas tunggangan gajah-gajah paling beringas dan kuda-kuda paling lincah berangkat berduyun-duyun menuju Mekah. 8 Pasukan Perdana Menteri Yaman yang dipimpin Zumafar untuk menghalang-halangi agresi pasukan Abrahah ikut ditumpas di tengah-tengah perjalanan. Pasukan pun terus melaju, memorak-porandakan semua daerah yang dilaluinya hingga akhirnya pasukan gajah itu sampai di Mekah. Ayahanda Khadijah, Khuwaylid, dan sahabat dekatnya, Abdul Muthalib, merasa sangat khawatir dengan keadaan yang akan terjadi, apalagi para penduduk Mekah sama sekali tidak tahu-menahu jika penyerangan akan segera terjadi. Pasukan perang Abrahah mendirikan tenda-tenda di al-Mugammas, di sekitar Mina. Selain membuat perapian, mereka juga merampas ternak milik para penduduk Mekah. Dari perternakan Abdul Muthalib sendiri ada sekitar 200 unta yang dirampas, sementara dari peternakan milik Khuwaylid mungkin mencapai dua kali lipatnya. Pasukan besar Abrahah yang membuat perapian di lembah Mina telah menjadikan takut setiap jiwa. Dalam keadaan seperti ini, utusan Abrahah yang bernama Hunathah al-Himyariy datang ke Mekah untuk bertemu dengan para petinggi di sana. Di antara para petinggi Mekah yang ditemui adalah Khuwaylid dan Abdul Muthalib. Hanya satu pasal tawaran yang disampaikan kepada para petinggi Mekah, “Jika Anda sekalian ingin meninggalkan ibadah tawaf mengelilingi Kakbah, sang komandan perang Abrahah akan membiarkan mereka tetap hidup.” Himyariy juga menyampaikan alasan kedatangan mereka yang sama sekali tidak untuk berperang, tapi hanya untuk menghancurkan Kakbah! Terhadap permintaan yang disampaikan itu, para petinggi Mekah meminta waktu membuat keputusan. Segera setelah 9 _ Nama Adalah Takdir itu, mereka berkumpul di rumah Khuwaylid, tempat Khadijah dibesarkan. Dengan demikian, Khadijah ingat benar adanya perbedaan pendapat sebagaimana ingatnya akan hari ini. Para petinggi Mekah saling beradu argumen satu sama lain. Sebagian dari mereka ada yang langsung ingin menyerang pasukan Abrahah dengan semua kuda yang dimilikinya sembari melantunkan syair kepahlawanan satu sama lain. Sebagian yang lain lebih memilih bertindak penuh dengan pertimbangan. Abdul Muthalib memberikan pendapatnya agar para penduduk Mekah yang lemah, seperti kaum ibu, anak, dan orang lanjut usia pergi ke pegunungan untuk mengamankan diri. Akhirnya, muncul kabar bahwa kaum haif beberapa hari sebelumnya telah membuat keputusan untuk memihak Abrahah dengan syarat Tuhan mereka, Latta, tidak diganggu. Abdul Muthalib lebih memilih tetap tinggal di rumah Khuwaylid, sementara anak-anak dan para wanita dibawa ke pegunungan yang terletak di Barat kota Mekah dengan dipimpin oleh Khadijah. Semua orang, dari mulut ke mulut, saling berkata kalau ‘hati penduduk haif memihak leluhur mereka, namun pedang mereka memihak Abrahah’. 10 “Oleh karena itu, kita harus bertindak penuh dengan kehati-hatian,” kata Abdul Muthalib dan Khuwaylid. Ketika tidak ada keputusan, apalagi kesepakatan, para petinggi Mekah mulai meninggalkan rumah Khuwaylid satu demi satu. Abdul Muthalib lebih memilih tetap tinggal di rumah Khuwaylid, sementara anak-anak dan para wanita dibawa ke pegunungan yang terletak di Barat kota Mekah dengan dipimpin oleh Khadijah. Saat itu, Abdul Muthalib berkata dengan lantang, “Kita jangan berperang melawan pasukan ini. Di samping kekuatan yang tidak cukup, di sana ada Baitul Atik, Kakbah, yaitu rumahnya Allah. Hanya Allah sendiri yang akan menjaga rumah-Nya, tanah haram ini.” Saat kedua orang berteman dekat ini ingin melihat harta benda dan peternakan unta yang dijarah di sekitar Mina, para ibu dan anak-anak telah lama mendaki gunung dengan pemandunya, Khadijah binti Khuwaylid. Abrahah menaruh segan kepada Khuwaylid dan Abdul Muthalib. Ia menghargai keberanian dan pemikirannya yang masuk akal. Hanya saja, ketika pembicaraan telah memasuki perihal unta yang dijarah, Abrahah berkata, “Pada awalnya aku menaruh segan terhadap keberanian kalian berdua. Namun, ternyata kalian sekarang bukan ingin melindungi Kakbah, tapi justru malah mengurusi harta.” Abdul Muthalib memberikan jawaban kepada Abrahah. Sebuah jawaban yang sangat terkenal dan dikenang setiap mulut, “Aku hanyalah sebatas pemilik unta, sementara pemilik Kakbah adalah Dia. Dia sendirilah tentu yang akan menjaganya.” Abrahah menghargai jawaban ini seraya mengembalikan unta-unta milik kedua petinggi Mekah tersebut. 11 _ Nama Adalah Takdir Di saat pagi menjelang, para penduduk Mekah dikagetkan dengan gemuruh suara terompet dan genderang perang yang dibunyikan dengan segala amarahnya. Dalam linangan air mata sembari memanjatkan doa, mereka takut melihat akibat yang sebentar lagi menimpa Kakbah. Hati Khadijah juga terasa pedih mendapati semua kejadian ini. Kembali ia berdoa kepada Zat yang menguasai Kakbah. Khadijah teringat dengan kejadian ini saat berada di sebuah jendela rumah yang menghadap ke arah Yaman sembari memandangi awan-gemawan yang berarak-arakan di angkasa, yang tampak seperti sekawanan penggembala dengan biri-birinya. Para pemilik rumah peristirahatan yang memadati jalanan kota Mekah memberitakan telah datangnya musim panas. Hal ini membawa ingatan Khadijah kembali pada masa-masa di usianya yang kelima belas saat peristiwa gajah terjadi. Bahagia hati Khadijah muda saat memandangi para penggembala yang menggiring biri-biri gembalaannya dengan tongkat dan cemeti panjang di bawah bimbingan sang alim penggembala yang mengenakan jubah serbaputih namun lusuh. Kebahagiaan yang ia rasakan saat mendaki gunung menuju rumah peristirahatan telah membawanya pada pesona masa-masa kecilnya. Para wanita muda yang menabuh genderang melawat kepergian para penggembala dan iringan doa serta bacaan-bacaan syair dari kerumunan yang memadati sepanjang jalan telah membuat hati Khadijah berseri-seri karena teringat masa kecilnya. “Ah, seandainya saja pemuda yang sedang belajar menggembala biri-biri itu adalah diriku,” katanya. Dia juga berkhayal seandainya dirinya juga menjadi seperti mereka, bangun di pagi hari untuk memerah susu 12 dan mengaduknya. Seandainya saja dirinya ikut bersama anak-anak berlarian riang gembira di atas hamparan hijaunya rerumputan, bermain petak umpet di balik semak-semak di sela-sela menggiring gembalaan dengan cemetinya, serta sesekali memerhatikan biri-biri yang sedang menyusui. Seandainya saja ia bisa menemukan kembali suasana yang putih, jernih bagaikan air susu segar di bejana yang baru saja diperah dari kambing piaraannya. Seandainya saja ia bisa mendengarkan cerita tentang pegunungan dan bintangbintang dari mulut para penggembala yang selalu rajin bekerja keras…. Bukan karena lugu jika ia takut pada suara halilintar. Bukan hanya omong kosong jika dirinya lelah karena mendaki gunung yang terjal. Bukan pada majikan para budak seandainya dirinya merasa takut melainkan terhadap eraman raksasa. Bukan jamuan acara pesta dan senang-senang melainkan air susu murni dan roti yang ia inginkan. Bukan permadani berbalut bulu-bulu burung melainkan matras berisi kerikil tempat dirinya berbaring. Bukan di tengah-tengah keramaian pasar melainkan ke puncak pegunungan rimbun nan sunyi, yang berbatas dengan langit biru, tempatnya pergi. Bukan tanah tempat para penari gila, yang saat kaki para penarinya dihentakkan, syahwat para penonton menjadi sedemikian tergoda, melainkan hamparan tanah ladang gembur dengan gemercik aliran sungai di sekelilingnya. Bukan… bukannya…. 13 _ Nama Adalah Takdir Kerumunan para musair yang ia perhatikan dari jendela rumah peristirahatan itu makin membuat hatinya seperti tumpah oleh keinginan kuat untuk ikut pergi bersama mereka. Musim panas telah datang.... Ingin sekali dirinya meninggalkan kota dan membiarkan segalanya, untuk kemudian pergi bersama para pendaki menaiki gunung yang tinggi. Baginya, gunung-gunung merupakan tempat kebebasan, lepas dari beban kehidupan. Meski sudah berusia genap tiga puluh tahun dan telah menjadi ibunda masyarakat kota, adat kebiasaan kota yang serbamengumbar kesenangan telah membuatnya jenuh. Sebenarnya, dirinya tak sabar ingin segera mendengar berita kedatangan musim panas dari para rombongan musair dan untuk secepatnya mendaki gunung terjal dengan meniti jalan setapak. Demikianlah yang selalu ia rasakan, terutama di akhir-akhir ini. Ingin sekali hatinya, meski tubuhnya tetap berada di tengah kota, berada di puncak pegunungan. Saat Khadijah mengkhayalkan semua itu, tiba-tiba pintu diketuk dengan suara keras. Tanpa sadar, botol misik terjatuh dari tangannya hingga pecah. Ah…!!! Ternyata, yang hendak memasuki kamarnya adalah Maisaroh, sang pelayan. “Oh… mohon maaf Tuan Putri kalau tiba-tiba mengganggu ketenangan Anda.” “Apakah kamu ini pembawa berita utusan Abrahah, Maisaroh?” tanya Khadijah dengan tersenyum. Tanpa disadari, tangannya terluka saat mengumpulkan serpihan-serpihan botol kaca yang berserakan di lantai. “Tuan Putri, mohon maaf sekali, beribu-ribu maaf kalau saya sudah membuat kaget. Sungguh, saya tidak bermaksud 14 mengganggu. Saya hanya ingin menyampaikan kalau cucu paman Anda, Hamla, dan teman-temannya sudah datang dari Yaman. Mereka saya persilakan beristirahat di taman rumah tamu bagian dalam.” “Siapa? Hamla datang? Kesatria Hamla datang!?” “Ya Tuan Putri. Malah, mereka saling berkata kalau sudah waktunya membawa Anda ke rumah peristirahatan yang ada di Yaman.” “Saya juga sebenarnya sedang memandangi Yaman dari jendela. Kebetulan sekali. Tolong mereka dijamu dulu. Aku akan siap-siap sebelum ke sana.” Hamla adalah cucu paman Khadijah. Saat Seyf Zeyazan menjadi Raja Yaman, setelah Allah membinasakan Abrahah dan bala tentaranya dengan mengirimkan burung-burung ababil, ayahanda Hamla menjadi sangat disegani di sana. Di antara para rombongan utusan Mekah yang datang untuk memberikan ucapan selamat kepada Zeyazan adalah Khuwaylid dan sahabat karibnya, Abdul Muthalib. Setelah acara jamuan makan malam, Zeyazan berbagi rahasia kepada tamu mulianya. Rupanya, para petinggi Yaman telah membaca kitab mantera sihir yang bahasanya hanya diketahui para raja Yaman dan dilarang diketahui rakyat umum. Rahasianya, menurut kitab tersebut, pada masa-masa ini akan lahir seorang anak di daerah sekitar Tihamah. Pada punggung anak tersebut, di antara kedua tulang iga, ada tanda khusus yang menunjukkan bahwa dirinya adalah utusan, sebagai Khatimul Anbiya. Menurut penuturan sang raja di malam itu, anak yang dia sebutkan itu akan tumbuh sebagai anak yatim. Dia akan tumbuh bersama kakeknya, dan setelah itu akan dilindungi 15 _ Nama Adalah Takdir pamannya. Dia akan mengajarkan masyarakat menyembah kepada Allah yang Esa dan Tunggal serta mengajak umatnya untuk meninggalkan kekufuran dan kembali kepada agama Tauhid. Raja Zeyazan juga menambahkan, di saat anak ini lahir, para petinggi kerajaan Yaman akan tunduk kepada raja terakhir ini. Ketika Abdul Muthalib mengatakan kalau sang anak yang dimaksudkan tersebut bisa jadi cucunya sendiri, sang raja menjadi semakin kaget, seraya meminta agar berita tersebut dirahasiakan untuk sementara waktu demi keselamatan anak itu. Saat kembali ke Mekah, rombongan tersebut dibekali berbagai macam hadiah. Sejak saat itulah rumah peristirahatan, yang pada waktu itu masih ditempati Hamla, kemudian dihibahkan kepada keluarga Khuwaylid. “Sang kesatria Hamla, selamat datang! Semoga kehormatan selalu menyertaimu di rumah bibimu.” Anak muda tersebut sedemikian mirip dengan bibinya yang ia cium tangannya seraya berucap: “Ya Sayyidatun Nisa.” “Ya Sayyidatun Quraisy.” “Ya Dzurriya.” “Ya Tahira.” Khadijah binti Khuwaylid adalah bibinya. Sungguh, dirinya adalah ibunda para wanita, tuan putri bangsa Quraisy yang terkenal sebagai wanita yang bersih dan mulia. Sayang, meski beribu sanjungan telah diucapkan Hamla dan juga keinginan kuat untuk pergi, Khadijah berkeputusan tidak akan pergi ke Yaman. Sebelum rombongan pedagangnya yang dikirim ke Syam kembali ke Mekah, dirinya tidak akan mungkin pergi ke mana-mana. Khadijah memang harus 16 mengatur sendiri bisnisnya. Urusan bisnis ini di manamana selalu sama, penuh dengan perusuh. Hal itu memang menjadi tidak mudah bagi seorang janda. Seringkali para pedagang atau karyawan yang diminta mengurusi harta dagangannya justru membuatnya merugi. Selain itu, para perantara juga bisa bersekongkol dengan para pedagang untuk menipu. Penjualan yang mendatangkan keuntungan besar malah dilaporkan merugi. Hal inilah yang kadangkadang membuat hati Khadijah gundah. Khadijah memang harus mengatur sendiri bisnisnya. Urusan bisnis ini di mana-mana selalu sama, penuh dengan perusuh. Hal itu memang menjadi tidak mudah bagi seorang janda. Seringkali para pedagang atau karyawan yang diminta mengurusi harta dagangannya justru membuatnya merugi. Kepercayaan dan keamanan perdagangan di Mekah telah menurun di masa-masa ini. Situasi perdagangan dibuat untuk selalu memperkaya pihak-pihak yang memang sudah kaya dan semakin membuat miskin para penduduk miskin. 17 _ Nama Adalah Takdir Bahkan, pekerjaan yang dapat menghasilkan keuntungan dengan bekerja keras hanyalah menjadi penggembala. Sebenarnya, sudah sejak lama Khadijah mencari teman hidup yang dapat dipercaya, terutama dalam urusan perdagangan. Kebetulan, anak dari saudara kandung lakilakinya, Hizam, yang bernama Hakim, seorang yang cekatan dan juga dapat dipercaya. Dialah yang sering membantu Khadijah, terutama dalam menyelesaikan urusan dagang. Dialah yang kemudian mengurusi perdagangan di Mekah. Berita kedatangan Hamla juga disampaikan kepada Hakim sehingga suasana pun menjadi akrab di antara para saudara. Malam itu Mekah kedatangan tamu istimewa. Menyambut tamu bukan hanya sekadar kehormatan bagi suatu kalangan tertentu di Mekah. Para nenek moyang bangsa Mekah telah mewariskan budaya yang paling penting itu, yang telah membuat mereka terkenal sebagai sultannya padang pasir, yaitu budaya suka menjamu tamu. 18 Jalan Kepedihan J alan adalah wisuda bagi seorang wanita. Bagi ananda Khuwaylid, jalan itu penuh dengan kepedihan dan rintangan yang harus ditempuhnya. Kemarin, saat sedang tertegun dalam berkhayal, Maisaroh sang pelayan tiba-tiba memasuki kamarnya dan telah membuatnya kaget. Botol parfum misik yang ada di tangannya pun jatuh hingga pecah. Serpihan-serpihan kaca yang tersebar membuat jari tangannya terluka saat sedang mengumpulkannya. Ia memerhatikan tangannya yang terbungkus perban seraya bertanya kepada dirinya. “Serpihan kaca ataukah serpihan jiwa yang telah membuatnya terluka?” Kata sandi dari teka-teki perjalanan hidupnya tergenggam erat di tangannya. Ya, sejarah penciptaan dirinya tergenggam erat di tangannya. Di telapak tangannya terdapat dua tahi lalat kecil berwarna hijau dan merah. Letaknya berada tepat di tengah. Tanda ini seolah teman hidupnya yang telah ikut berbagi rahasia akan sebuah misi yang telah ditakdirkan kepadanya semenjak kecil. Kor Haiz, seorang ahli Taurat yang dikenalnya, pernah mengatakan bahwa dari garis keturunan Khadijah akan lahir dua pemuda kesatria yang memiliki nama depan berhuruf ‘ha’. Khadijah kecil selalu diusap rambutnya oleh para pendeta tua yang dihormati, yang datang dari Yastrib menuju Mekah setahun dua kali untuk mengadakan upacara 19 _ Jalan Kepedihan khataman. Saat dirinya tumbuh dewasa bagaikan indah gemulainya pohon palma, semua orang telah melupakan cerita ini sehingga banyak sekali orang yang ingin melamar Khadijah untuk mendapatkan berkah dari keindahan dan kesempurnaan budi pekertinya. Pernikahan pertamanya terjadi saat dirinya masih berusia muda. Ia menikah dengan Abu Hala bin Zurara, seorang saudagar bangsawan Mekah yang terkenal berakhlak mulia. Pernikahan ini menciptakan rumah tangga yang bahagia. Lahir pula dua anak bernama Hala dan Hindun. Khadijah yang telah mendapati kemuliaan jiwa sebagai seorang ibu tidak pernah mengizinkan anaknya dititipkan kepada pembantu yang menjadi adat di masa itu. Ia mengasuh dan mendidik sendiri kedua putranya. Pernikahan pertamanya terjadi saat dirinya masih berusia muda. Ia menikah dengan Abu Hala bin Zurara, seorang saudagar bangsawan Mekah yang terkenal berakhlak mulia. Pernikahan ini menciptakan rumah tangga yang bahagia. Lahir pula dua anak bernama Hala dan Hindun. 20 Hatinya selalu berdesir saat memikirkan anak-anaknya, apalagi saat suaminya menderita sakit sekembalinya dari Syam. Sang ibunda pun semakin pedih memikirkan nasib kedua anaknya. Kepada siapakah mereka akan diamanahkan apabila terjadi sesuatu? Dan terjadilah apa yang dikhawatirkannya. Takdir telah menitahkannya terjadi. Saudagar bangsawan dan ternama itu pergi ke alam baka dengan meninggalkan seorang istri dan dua anak. Sang suami berwasiat agar anaknya jangan diasuh orang lain. Selain itu, masalah perdagangan harus diteruskan oleh Khadijah sendiri. Meski teramat pedih, Khadijah tetap selalu mensyukuri pernikahannya. Seandainya saja kedua anaknya tidak ada, mungkin dirinya tidak akan kuat lagi menahan pedihnya ujian akibat kepergian ayahanda yang kemudian diikuti suami tercinta. Bahkan, kemungkinan, kematian juga akan menjemputnya. Dengan wasiat sang suami yang masih berada dalam ranjang sakaratul maut, Khadijah akan memulai kehidupan baru untuk berupaya keluar dari medan api ini. Ia akan memerhatikan anak-anak dan pekerjaannya dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Inilah tekad yang akan mengantarkannya menjadi ibunda kota Mekah. Saudagar wanita yang kuat dan kaya-raya dalam waktu singkat. Namun, pada usianya yang baru menginjak dua puluhan tahun itu, tentu saja kehidupan tidaklah sebatas kesuksesan dan kekayaan. Terlebih dalam pemahaman anak-anaknya. Mereka juga sangat butuh igur seorang ayah yang kuat, sebagaimana kebutuhan akan seorang ibu. Meskipun paman dan sepupunya tidak akan pernah meninggalkan kedua putra 21 _ Jalan Kepedihan Khadijah, pada malam hari para kerabat mereka tentu akan kembali ke rumahnya masing-masing, seraya menutup pintu rumahnya dan membiarkan keluarga Khadijah seorang diri. Benarlah apa yang dikhawatirkannya itu. Pada suatu malam, saat sang anak yang bernama Hindun sakit panas berkepanjangan, Khadijah begitu khawatir. Sekujur tubuhnya basah kuyup oleh cucuran keringat. Segala upaya telah dilakukannya, namun panas sang anak belum juga kunjung menurun. Semua usaha yang telah dilakukan kedua pelayannya juga tidak membuahkan hasil. “Ah…,” rintih Khadijah dalam pedih. “Seandainya saja ayahnya masih hidup, mungkin anak ini tidak sakit begini.” Segera ia perintahkan kemenakannya yang dipercaya untuk pergi mencari tabib. Namun, pada malam itu sang tabib sedang berada di Darrun-Nadwa. Ia sedang memimpin rapat di sana dan tidak mungkin bisa meninggalkan kota. Sungguh keadaan yang tidak diduga-duga. Akhirnya, bersama dengan Maisaroh, ia nekat membawa anaknya ke permukiman para tabib. Perjuangan ini tentu saja penuh kepedihan dan kekhawatiran. Bagaimana tidak, bagi seorang wanita, perjalanan tengah malam di Mekah tentu sangat membahayakan keselamatan. Peristiwa ini akan memberikan pelajaran tentang betapa susah dan berbahaya berjalan di tengah-tengah malam bagi seorang ibu yang hanya ditemani pelayan wanitanya sambil mendekap eraterat anaknya yang sedang sekarat. Bersama dengan kedua wanita ini tergambar suasana tengah kota yang begitu mencekam. Kota telah berubah karena aktivitas para berandal yang mabuk di mana-mana 22 dan menyangka mereka berdua adalah wanita malam sebagaimana umumnya. Para pemabuk itu menghalanghalangi perjalanan keduanya sambil mencerca dan menghina dengan kata-kata kotor. Dalam kepanikan dan ketakutan seperti itu, Khadijah bertanya kepada Maisaroh, “Inikah Mekah yang selama ini kita ketahui?” Ya, seolah setiap mata sudah buta oleh malam dan minuman keras yang diteguknya. Akal dan pikiran mereka pun sudah tidak dapat berpikir dan digunakan. Kedua wanita itu telah menjadi saksi kehidupan masyarakat yang begitu rusak. Hampir di setiap sudut kota, bahkan di tempat-tempat yang di waktu siang menjadi tempat suci karena ada persembahan untuk para berhala mereka, di malam harinya telah berubah sedemikian mencekam. Kota begitu memilukan dengan jeritan tawa para wanita tuna susila, wanita penghibur, dan para pemabuk. Kelam yang gulita telah menjadi malam bagi orang-orang yang suka melakukan tindak asusila, merampok, atau memaksa para wanita untuk melakukan perbuatan dosa. Dalam keadaan seperti inilah seorang laki-laki berbadan besar, pemarah, dan sempoyongan karena mabuk telah mencaci-maki Maisaroh seraya mencegatnya. Ia memegang tangannya sembari menyeret tubuhnya. Tubuh kecil dan kurus itu pun jatuh-bangun di atas jalanan. Karena tak kuat, ia terpaksa mengeluarkan perhiasan emas yang dimilikinya seraya berteriak, “Silakan ambil!” Untunglah ada yang mendengarkan teriakannya. Datanglah seorang penjaga patung-patung berhala. 23 _ Jalan Kepedihan “Tidak tahukah kalian bahwa melakukan perjalanan malam menyusuri jalanan ini akan sangat berbahaya bagi wanita? Memang benar, mereka para lelaki telah melampaui batas dalam perbuatan maksiatnya. Namun, kalian sungguh nekat melakukan perjalanan malam tanpa didampingi seorang lelaki!” Kata-kata itu bagaikan batu yang dilemparkan sangat keras dan mengenai kepala Ibunda Khadijah. Kata-kata itu seperti menyindir dirinya. Seolah terlahir ke dunia sebagai wanita merupakan sebuah kesalahan. Bahkan, pemahaman seperti ini pun berarti telah ikut mendukung kesalahan itu sendiri, berarti bekerja sama dengan orang-orang pembuat kesalahan? Berjalan di malam hari, benarkah merupakan perbuatan yang membuatnya berhak mendapatkan segala macam penghinaan dan hujatan? Saat Khadijah sampai ke pemukiman para tabib setelah menempuh perjalanan jauh dengan terus berlari cepat dan kedua tangan gemetar, waktu telah menjelang subuh. Ketika sang tabib mendengarkan apa yang telah dialaminya, dalam satu sisi ia sangat tercengang. Ia terus mendengarkan kisah yang dialami kedua wanita itu sambil mengobati sang anak dengan air panas berisi ramuan. Sesekali ia menyela dan berkata, “Syukurlah Anda sekalian adalah orang-orang ahli bersedekah. Mujur sekali Anda sekalian. Penjaga berhala itu pasti telah meminum air susu yang halal dari ibunya sehingga dirinya tidak sampai menyerahkan Anda sekalian ke tangan para lelaki pemabuk.” Mendengarkan kata-kata sang tabib, Maisaroh menyela, “Semua kemaksiatan ini terjadi di depan mata Latta dan 24 Uzza. Kalau tidak kepada penjaga patung-patung itu, lalu kepada siapa lagi saya akan meminta pertolongan.” Sang tabib yang sudah berusia tua itu meminumkan obat dan membalut anak yang sakit itu dengan handuk basah sembari tersenyum. “Bukankah di situlah ironinya, Maisaroh? Semua kemaksiatan itu dilakukan di depan mata Latta dan Uzza. Namun, tuhan-tuhan itu sama sekali tidak berbuat apaapa meski sebatas berkata. Meski demikian, menurut saya, berhala tanah liat yang disembah istri saya jauh lebih banyak berfungsi dan berguna daripada Latta dan Uzza. Di samping dapat Anda bawa ke mana-mana, ia juga dapat Anda bawa ketika mengadakan perjalanan malam. Kalau ada para pemabuk, Anda dapat gunakan untuk memukul mereka.” Tabib adalah seorang yang mampu menggunakan logika, di samping juga membuat kata-kata sindiran penuh makna. Saat berkata-kata, ia kerap tertawa terpingkal-pingkal. Istrinya sama sekali tidak menyukai sikapnya itu. Segera saja sang istri mengambil berhala yang terbuat dari tanah liat tungku dapur itu dan kemudian diletakkan di samping pintu masuk rumahnya, yaitu ke tempat yang dia anggap lebih layak untuknya. Kemudian, sang istri berkata, “Jangan sampai Anda dengarkan apa yang disampaikan lelaki lansia ini. Usia telah membuatnya kehilangan ingatan,” gerutu istrinya. “Selama 50 tahun terakhir ini hidupku berlalu untuk mengobati orang-orang sakit, mengapa engkau mesti marah kepadaku?” kata tabib itu kepada istrinya. “Seandainya engkau harus marah, marahlah kepada berhala yang sama sekali tidak mendatangkan manfaat maupun kerugian sama sekali,” lanjutnya menumpahkan semua isi hatinya. 25 _ Jalan Kepedihan Saat hari sudah menjelang pagi, ketika mereka kembali ke rumahnya, sisa perbuatan nista yang menodai malamnya kota perlahan mulai menghilang. Perjalanan satu malam itu membuat Khadijah dan Maisaroh mendapatkan pelajaran yang sangat penting: orang-orang Mekah hanya mau mendengarkan suara kaum laki-laki dan berhala–berhala yang disembah untuk mereka. Seolah kota Mekah telah menjadi kotanya berhala kaum lelaki. Pengalaman pahit yang dialami Khadijah malam itu telah menggerakkan hatinya mengenai kebutuhannya mencari pendamping hidup lagi. Mulailah ia kembali memikirkan ulang lamaran-lamaran yang pernah didengar melalui pelayan-pelayannya beberapa tahun lalu. Setelah bermusyawarah dengan keluarga dan kerabatnya, ia memutuskan kembali membina rumah tangga dengan seorang bangsawan terkenal bernama Atik bin Aziz. Meski pada dua tahun awal terbina keluarga yang bahagia dan bahkan dapat dikaruniai seorang putri, Atik adalah tipe laki-laki Mekah yang keras. Kekerasannya tidak hanya ditunjukkan kepada para budak dan pekerjanya, melainkan juga kepada anggota keluarga. Sering kali, terlebih di malammalam hari saat dirinya mabuk, anak-anak maupun orang tua tidak luput dari cercaan, bentakan, dan luapan kata-kata kasarnya. Dalam keadaan seperti itu, harapan awal Khadijah untuk mendapatkan seorang pendamping hidup agar dapat memikul amanah kedua anaknya justru mulai merindukan kembali masa-masa sepeninggal suaminya, setidaknya untuk melindungi anak-anaknya dari amukan ayah tirinya. 26 om Setiap kali Atik kembali ke rumah, ia sembunyikan anakanaknya ke kamar belakang. Keadaan seperti ini semakin menjadi-jadi, bahkan hingga pada akhir-akhir ini, seakan mengambil napas pun sudah dipermasalahkan seolah dirinya sudah menjadi beban bagi suaminya. Bukan hanya anaknya yang laki-laki saja yang sering menjadi sasaran, bayi wanitanya pun terkena dampaknya. Jika sampai ada anaknya yang menangis, dipastikan suasana rumah seperti kiamat. Seisi rumah pun pecah dan berantakan. pu st ak a- in do .b lo gs po t.c Setelah bermusyawarah dengan keluarga dan kerabatnya, ia memutuskan kembali membina rumah tangga dengan seorang bangsawan terkenal bernama Atik bin Aziz. Bagi Atik, keluarga adalah beban yang teramat berat. Atik adalah tipe lelaki yang tidak pernah puas meski telah melakukan pemaksaan kepada orang lain. Istrinya maupun para pelayan yang sering berganti-ganti juga tidak dapat memberikan kebahagiaan yang dicarinya. Setiap hari baru, setelah semalaman memuaskan dirinya dengan bermabukmabukan, merupakan hari yang seolah telah ditakdirkan berlalu dengan kepedihan bagi sang istri dan keluarganya. Setiap hari yang berlalu meninggalkan pula kekurangan dan rumpang yang baru. 27 _ Jalan Kepedihan Semua telah ia miliki apa yang dapat dimilikinya, namun tetap saja dirinya tidak bahagia. “Latta, Uzza, Manna, Hubal, mengapa engkau tidak memberikan kebahagiaan kepadaku. Untuk apa saja persembahan, sedekah, dan kurban yang telah aku berikan kepadamu?” umpatnya seraya terus mabuk dan mabuk. Apa lagi yang akan terjadi pada Khadijah, anak Khuwaylid itu!? Mengapa wanita sombong dan tidak tahu diri ini sering iba saat memandangi wajahnya, seolah dirinya setangguh gunung sehingga selalu membuatnya seperti terhimpit. Apa saja yang telah dilakukannya tetap tidak pernah dapat menindas wanita mulia itu. Tak pernah ia dapat menemukan cara untuk mengekangnya. Seandainya sekali saja ia mengikuti sikapnya untuk menjawab kata-katanya, mungkin hal itu akan membuat dirinya puas. Namun, Khadijah tetap berdiam diri? Diam seribu kata, tanpa pernah sekali pun berucap sambil menutup keras pintu seraya menyendiri di kamar? Meski banyak teman wanita dan para pelayan memadati rumahnya, bahkan dalam beberapa malam, meski dirinya tidak pulang ke rumah, Khadijah tetap berdiam diri dan bergeming. Tidak pernah sekalipun dirinya ikut menghadiri jamuan pesta minuman keras di taman depan halaman rumahnya. Seperti apa pun sikap sang suami yang melampaui batas dalam pemuasan kesenangan dan kenyamanan, Khadijah tetap bersikap dewasa. Ia tetap diam dan diam…. “Bukan banyak bicara, melainkan diamlah yang ditakuti dari seorang wanita!” 28 Dalam diam seorang wanita terdapat langkah aktif bagaikan detak butir jam pasir. Namun, setiap kali jam pasir yang ada di tangan dirusak olehnya, Khadijah justru malah menatanya kembali seluruh kehidupan di masa lalunya dengan penuh kesabaran. Setiap butir pasir laksana guru yang bijaksana terhadap setiap menit yang pedih, seraya menuturkan kalimat untuk tetap setia. Dalam diam seorang wanita, ia bicara dengan jam pasir yang ada di dalamnya. Dengannya, ia mengajarkan kehidupan kaum wanita di masa-masa sebelumnya. Diam, bagi seorang wanita, bukanlah tanpa arti. Sebaliknya, ia merupakan aksi ketidaktaatan seorang umat karena sebentar lagi akan unjuk bicara dan memulai sebuah perubahan. “Cukup!” kata Khadijah pada suatu pagi tanpa sedikit marah, tanpa berteriak. “Aku pergi sekarang…” Hanya sebatas itu saja. Bersama dengan dua putra dan bayinya, serta ditemani Maisaroh sang pelayan, ia pergi meninggalkan rumah Atik tanpa menimbulkan keretakan, meski setitik jarum. Kepergiannya adalah cara bicara Khadijah. Bagi Atik, cara seperti itu telah membuatnya sesak napas. Dadanya bagai tertindih gunung besar. Ya, memang begitu, tentu saja. Cerainya seorang wanita dari suami sama sekali tidak mungkin terjadi. Seluruh Mekah tentu akan guncang sekeras-kerasnya. Khadijah binti Khuwaylid dengan dua hal warisan mendiang sang ayah, bangun di awal waktu dan teguh dalam kesabaran yang telah menjadi pijakannya, membuat seluruh Mekah terheran-heran sekaligus kagum dengan tindakannya. 29 _ Jalan Kepedihan Tak ada satu kata pun yang akan menyalahkannya. Anak-anaknya. Tentu saja anak-anak adalah bagian dari belahan jiwanya yang teguh. Seluruh cerita yang akan diterangkan dalam perjalanan waktu menunjukkan bahwa putra-putranya tetap mewarisi jiwa ibundanya. Setelah saat ini, kehidupan adalah tiga tambah satu bagi Khadijah. Dia bagaikan planet tempat anak-anaknya terikat dengannya dan terus berputar laksana bintangnya. Tanpa mereka, kehidupannya ibarat bintang jatuh. Tidak, ia tidak akan terjatuh. Setidaknya, ia akan tetap bertahan hidup demi anak-anaknya seraya terus bercahaya. “Cukup!” kata Khadijah pada suatu pagi tanpa sedikit marah, tanpa berteriak. “Aku pergi sekarang.. Hanya sebatas itu saja. Bersama dengan dua putra dan bayinya, serta ditemani Maisaroh sang pelayan, ia pergi meninggalkan rumah Atik tanpa menimbulkan keretakan, meski setitik jarum. 30 Anak-anaknya adalah belahan jiwanya, pewaris jatuh bangun kehidupannya, penerus perjuangan hidupnya yang telah menjadi belahan jiwanya. Ia tak pernah berdebat dengan siapapun. Ia cukup menyiapkan anak-anaknya seraya pergi. Entah sudah berapa tahun berlalu sejak kejadian itu? Berapa tahun sudah ia meninggalkan pernikahannya, menutup pintu rumahnya? Entah enam atau tujuh tahunkah? “Setiap enam tahun sekali nasib manusia akan berganti.” Begitulah pepatah wanita Arab berbunyi, yang telah membuat Khadijah tersenyum saat merenungkannya. “Mengapa tidak?” kata Khadijah kepada dirinya. Tiba-tiba, akhir-akhir ini ia mendapati dalam dirinya tebersit keinginan kembali membina rumah tangga. Entah dari mana asal-usul pemikiran tentang perubahan nasib dan menikah ini? Senang sekali dirinya dengan rumah warisan mendiang ayahandanya, apalagi dengan balkon di lantai dua yang terhubungkan dengan tangga kayu untuk naik ke sana. Khadijah tertegun di keheningan malam. Seusai semua urusannya, setelah menidurkan anak-anak, sehabis para tamu diberikan jamuan dan disiapkan segala perlengkapan tidurnya, serta catatan akuntansi hari itu selesai ditulis, bermulalah saat-saatnya sendiri, saat-saat sunyi yang sangat ia sukai. Langit malam sungguh terang dengan sinar cahaya 31 _ Jalan Kepedihan rembulan berhias kerlap-kerlip bintang. Di atas matras buatan India yang dihamparkan di teras, Khadijah merebahkan badan di akhir-akhir waktu malam. Kantuk dan kelelahan seharian dengan lembut seolah memijatnya dalam tidur lelap. Khadijah binti Khuwaylid sedikit tidur. Nasihat ayahandanya telah membuatnya enggan terhadap kantuk, terutama pada saat-saat ini. Sebagaimana ia paham benar bahwa rajin adalah sifat mulia kaum ibu, sementara kantuk akan mengurangi usianya. Kemuliaan wanita terlihat pada bangun awalnya. Demikian petuah ratu padang pasir. Baik yang tinggal di rumah maupun yang berada di tendatenda, setiap wanita padang pasir harus berlomba dengan terbit mentari. Sebelum hari terpancang di atas langit, semua langkah harus sudah terayun. Semua persiapan harus sudah rapi. Atau kalau tidak, sampai datang waktu sebelum masuk asar, yang disebut waktu qailulah, waktu ketika semua orang harus tidur karena terik mentari yang menyengat, seorang wanita harus mati-matian menyelesaikan urusannya. Meski para generasi pendahulu sering mengatakan bahwa tidur adalah saudaranya kematian, embusan lembut ajakannya seolah belaian lembut bidadari bagi para kekasihnya. Dalam catatan almanak padang pasir, kebanyakan orang yang jatuh cinta, yang punya banyak utang, dan yang sedang menderita selalu berlari mengejar tidur. Kantuk, bagi Khadijah, adalah teman wanita yang sudah cukup usia untuk berbagi rahasia wanita. Apalagi, pada masa-masa ini, bagi wanita yang telah mencapai usia 30 tahun, menapaki hari apa yang dilihatnya dalam mimpi 32 merupakan penghormatan tersendiri. Bersama dengan saudara kematian, apalagi jika ia seorang wanita, mengapa tidak diajaknya turut bicara? Terlebih tempat-tempat tersembunyi di balik gumpalan awan mimpi tidak hanya menyimpan cerita-cerita kenangan semasa kecil, tapi juga akan memberikan peta perjalanan menuju kehidupan tanpa akhir yang akan membawanya mengunjungi ruangan dan kamar-kamarnya, bahkan ke koridor-koridor yang akan mengantarkannya pada perjalanan baru. “Saat masih muda, seorang manusia tidak memiliki banyak waktu untuk memandangi langit,” kata Khadijah begitu mendalam. Bagi seorang wanita yang telah merasakan keindahan kehidupan ini, minimal sebanyak kepedihan dan ketakutannya, tentu saja ia akan menyarankan kepada generasi muda setelahnya untuk memberikan porsi tersendiri dalam memandangi dan merenungi langit. Tak heran jika Khadijah sangat mencintai terasnya. Teras adalah tempat antara langit dan bumi, ketika segala harta benda dan kekayaan duniawi ia sejajarkan di bawah telapak kaki. Kini, ia mulai berharap pada lintasan takdir langit yang belum pernah terjamah olehnya. Khadijah mungkin janda bagi alam dunia, namun ia adalah gadis muda belia yang masih belum terungkap tabir wajahnya. Khadijah tak mendamba perhiasan-perhiasan indah yang dibawa para saudagar yang baru saja kembali dari berjualan di negeri jauh. Bukan pula cincin permata, kalung dari berlian dan mutiara, baju-baju lembut dari bulu-bulu burung tuti, serta rempah-rempah berkhasiat dan penyedap seribu rasa yang dibawa dari dataran India. Bukan, bukan semua itu yang diinginkannya! Bukan pula kuda arab yang 33 _ Jalan Kepedihan paling cerdik, bukan pula biri-biri dan kambing pilihan atau rerimbunan kebun kurma yang memenuhi padang Hudaibiyah. Pandangan putri Khuwaylid jauh melebihi harta benda yang dimilikinya. Akhir-akhir ini, para pelayan sering mendapati tuan putrinya sedang merenungi langit dari balkon yang terdapat di lantai dua rumah atau di teras yang terletak tepat di atasnya. Pelayan dan juga teman penjaga rahasianya, Maisaroh, suatu hari pernah tanpa sengaja bicara, “Pastilah setiap wanita akan menantikan harapan barunya bagi yang mampu mencapai usia empat puluh satu tahun.” Tentu saja putri Khuwaylid tahu dari mana asal suara itu. Asal suara itu adalah kepedihan dari kerunyaman hati, serangkaian kehidupannya sebagai wanita yang ditatanya dengan penuh kehati-hatian yang ia bungkam tanpa sepatah kata, yang ia lewatkan dengan setengah hati atau bahkan tak pernah dilewati, dan yang tidak akan pernah diperbarui. Semua itu terpatri rapat bagai goresan-goresan di sepucuk surat yang direkat rapi dengan lilin. Khadijah ibarat sepucuk surat yang terbungkus dengan begitu banyak luka. Karena berita yang dinanti-nantikannya tidak juga kunjung datang, ia pun rela pada takdir untuk mempelajarinya dari bangku sekolah tersulit: kantuk dan mimpi. Gurunya adalah seorang wanita tua yang juga disebut sebagai ‘saudara tidur’. Dan wanita ini tidak pernah bicara selain dengan bahasa lisannya. Mungkin karena inilah ia percaya mimpinya seperti segulung surat dalam selongsong yang terbuat dari intan dan diikat di kaki merpati pos untuk dibawanya. Khadijah, meski tidak diungkapkan, sejatinya sedang menantikan berita. Meski menurut pandangan Maisaroh 34 tidur adalah pembunuh waktu, Khadijah menganggap tidur adalah teman yang bisa diajak untuk mengungkap isi hatinya. “Tuan Putri, tidak mungkin menempuh jalan dengan tidur,” katanya singkat seraya terus berdiam diri. Akhir-akhir ini, para pelayan sering mendapati tuan putrinya sedang merenungi langit dari balkon yang terdapat di lantai dua rumah atau di teras yang terletak tepat di atasnya. Pelayan dan juga teman penjaga rahasianya, Maisaroh, suatu hari pernah tanpa sengaja bicara, “Pastilah setiap wanita akan menantikan harapan barunya bagi yang mampu mencapai usia empat puluh satu tahun.” Hampir tidak ada lagi cara yang belum ditempuh oleh pelayannya yang sangat setia itu demi membuat tuan putrinya tersenyum, meski hanya sesekali. Kurangkah ia mengundang teman-teman yang ahli membaca puisi-puisi dan memainkan alat-alat musik dari Barat. Mungkinkah dirinya belum menerangkan kisah-kisah baru yang dibawa para saudagar yang berdagang di Romawi. Belum 35 _ Jalan Kepedihan pernahkah dirinya mengundang para ahli sulap ajam yang mempertunjukkan atraksi makan api, dan –naudzubillah– haruskah dirinya mengundang para ahli sihir, ahli nujum, serta para peramal. Sungguh, tidak ada lagi ahli atau orang terkenal yang belum ia mintai pertolongan demi membuat tuan putrinya tersenyum. Sayang, mereka sama sekali tidak mampu! Khadijah masih bersedih hati, belum tenteram perasaannya dan masih pucat wajahnya. Pergantian hari hanya akan membuat keadaan Khadijah semakin bersedih hati. Diamnya mengisyaratkan bahwa dirinya memang ingin menyendiri. Selama beberapa malam, putri Khuwaylid itu selalu menjumpai mimpi yang sama. Ia dapati dirinya memandangi tetesan air yang jatuh ke tengah-tengah samudra. Entah bagaimana, tiba-tiba munculah wujud seperti Aladin dari sana. Badannya besar dan menjulang. Awalnya, ia merasa takut. Namun, setelah beberapa lama, sosok itu semakin mendekatinya dan seolah mampu mengembuskan udara kasih sayang ke dalam jiwanya. Khadijah pun menjadi iba. Lama ia tatapi wajahnya. Ia terlihat begitu sedih. Nyata dari raut mukanya kalau sosok itu sedang kesakitan. Dari gerakan tubuhnya, ia mengisyaratkan memohon bantuan kepadanya. Dengan memelas, ia memberi isyarat kepada Khadijah untuk diajak pergi ke suatu tempat. Setelah itulah perjalanan panjang bersamanya dimulai. Ia di depan, sementara Khadijah di belakangnya. Bersamanya, Khadijah terus berlari dan berlari. Tanpa disadari, ia bahkan mampu melewati lautan api dengan melompat bagai sambaran kilat. Kilatan-kilatan kecepatan itu memercikkan cahaya panjang, 36 menjulang bahkan sampai ke rasi bintang Banatunnaas. Demikianlah, setiap benda yang terkena percikannya, dalam sekejap bermandikan cahaya. Dari sanalah tampak gambaran berbagai kota dan negara. Namun, setelah itu keadaan menjadi dingin dalam seketika. Setiap tempat yang ia pijak terasa dingin bagai aliran sungai di musim salju. Di sanalah tempat mengalirnya berbagai anak sungai menuju suatu muara yang penuh dengan ikan. Di sana juga terdapat rimbunan tumbuhan dengan warna-warni bunga bermekaran dan buah-buahan yang menyegarkan. Entah mengapa, meski tidak pernah bisa berenang, dengan tenang ia bisa melewati aliran sungai yang seperti telaga itu. Mimpi ini dialaminya selama tiga hari berturut-turut. Pada hari ketiga, ia dapati sosok raksasa dan menakutkan itu tiba-tiba memandanginya dalam wajah yang sedih, seolah memelas kepada tuannya. Saat itulah ia menyadari kalau dirinya telah berada di Pulau Salam yang pernah disebutsebut oleh para penyair dalam kitab-kitab lama. Khadijah mendekati raksasa itu. Ia masih memohon dan seperti berada dalam kesakitan. Setelah beberapa lama, ia baru bisa berucap satu kata. Saat itulah tiba-tiba berembus udara yang seolah tertiup dari ketinggian Izam di Yastrib. Begitu lembut embusan itu hingga sekujur tubuhnya terguyur dalam kesegaran. Namun, sosok mirip Aladin itu masih juga bersedih, tampak seperti ingin berpamitan. Pulau Salam dipenuhi pepohonan anam di bagian tengah. Di sanalah ia mendapati sebuah istana yang sangat megah. Atapnya terbuat dari perak dan tembaga. Dindingnya tercipta dari mutiara, sementara tiangnya dari zamrud. Saat itulah Khadijah sadar mengenai alasan sosok raksasa itu yang sangat ingin membawanya ke tempat tersebut. 37 _ Jalan Kepedihan Khadijah menjadi semakin paham dengan makna tersirat dari mimpinya. Ia pun tertegun. Kepulauan Salam dengan bahasa lisannya yang seperti melodi embusan angin mengatakan kepadanya bahwa semua ini tak lain dan tak bukan adalah kisah cinta. Kepulauan itu kosong tanpa penghuni. Sama halnya dengan hati Khadijah. Namun, masih dalam keadaan samar, entah dirinya tahu atau tidak, mimpi itu adalah pembiasaan dari cermin hatinya. Khadijah lalu terbangun dalam keadaan terengahengah. Ia dapati Maisaroh sedang berdiri menunggunya sambil memegangi gayung perak dengan kedua tangannya yang lemah. “Tuan Putri, apakah Anda bermimpi lagi?” Segera Maisaroh mendekatinya untuk mengusap dahi Khadijah yang basah oleh linangan keringat, sambil kemudian meminumkan segelas air dari sumur Abwa. Khadijah tersenyum memandangi teman tempat berbagi rahasia itu. “Aku baru kembali dari Pulau Salam.” “Apakah yang Tuan Putri maksudkan itu adalah ‘kembali dari Jaziratul Salam’, tempat kediaman sang kekasih?” “Aku kira Pulau Salam hanya ada dalam khayalan para penyair yang tidak ada kenyataannya.” “Apakah sebenarnya ada, Tuan Putri?” “Saat kita dalam keadaan terjaga, dunia tempat kita hidup ini terlihat selalu sama, Maisaroh. Namun, saat di dalam mimpi, masing-masing dari kita akan mendapati alam lain yang berbeda.” 38 “Semua yang Tuan Putri tuturkan itu mirip dengan apa yang diucapkan kemenakan Anda, Waraqah. Sebenarnya, saya tidak bermaksud memotong cerita Tuan Putri, namun sekarang ada tamu yang datang dari Kinanah dan sedang menunggu di peLattaran taman rumah tamu.” Mimpi ini dialaminya selama tiga hari berturut-turut. Pada hari ketiga, ia dapati sosok raksasa dan menakutkan itu tiba-tiba memandanginya dalam wajah yang sedih, seolah memelas kepada tuannya. Dari Kinanah? Duhai Allah, Kinanah... benarkah, Maisaroh? Hati Khadijah merasa sangat senang berbalut kesedihan dalam seketika. Dengan segera ia bersiap-siap untuk menemui para tamu. Saat turun ke peLattaran taman, ia dapati satu rombongan kaum hawa yang datang dari keluarga Kinanah sedang menunggunya. Khadijah lalu menyalami dan memeluki mereka satu per satu. Saat mendapati seorang bernama Asma di antara mereka, sahabat dekat yang beberapa waktu lalu telah kehilangan ibundanya, dari hati Khadijah terluap rasa berkabung. Air mata pun mengalir. Ia tak kuasa menahan tangis. 39 _ Jalan Kepedihan Bagi wanita, setua dan sekuat apa pun, kehilangan seorang ibu adalah sebuah hal yang teramat menyedihkan. Lima tahun yang lalu, Khadijah berturut-turut kehilangan ayahanda dan ibundanya. Hal itulah yang membuat dirinya memeluk Asma erat-erat, seolah anak kecil yang masih berusia belia. Saat membelai rambut Asma yang terurai dengan kelembutan tangan seorang ibu, Khadijah menuturkan syair yang sering didengarnya di masa kecil. Anak wanita kecil, di mana kakakmu, sudah datangkah? Datang, datang. Kakakku sudah datang. Apa yang dibawanya? Mutiara dan marjan Untuk siapa? Untuk Hindun dan Zaid Untuk siapa lagi? Untuk tupai yang di pohon sana? Pohonnya untuk apa? Dipotong dengan kapak Kapaknya di mana? Jatuh ke air Airnya di mana? Diminum unta Untanya di mana? Naik ke gunung Gunungnya di mana? Terbakar jadi abu… 40 Syair anak-anak ini sudah cukup membuat para tamu berlinangan air mata. Kaum ibu Bani Kinanah memang berjiwa lembut. Mereka adalah kaum yang saat Perang Fijar sangat terkenal karena kehilangan anak-cucu dan suaminya, meski dalam bulan haram dilarang berperang dan meski orang-orang Mekah sudah mengingatkan mereka. Karena embusan itnah dari orang-orang Hawazin, mereka terpaksa terjun ke dalam perang yang berkobar. Dalam peperangan itu, Bani Kinanah ikut berperang melawan pasukan Hawazin. Demikianlah, para tamu itu kebanyakan adalah mereka yang kehilangan suami karena ikut berperang membela keluarga Khuwaylid. Masing-masing dari mereka juga mengenang putra-putra Khuwaylid yang wafat dalam peperangan saat memandangi wajah Ibunda Khadijah. Demikian pula saat Khadijah memandangi wajah mereka, teringat olehnya tempat paman mereka, putra-putra mereka, seperti Tuwaylib, Naufal, Habib, dan saudara laki-lakinya, Hizam. Ah, perang. Sungguh, para wanitalah yang paling dibuat sedih olehnya. Lebih dari itu, pertempuran Fijar yang kedua jauh lebih membuat para tamu wanita yang sedang duduk-duduk di sofa menjadi sedemikian marah. Dalam pertempuran yang berlangsung dalam kurun waktu empat tahun, Bani Kinanah bersekutu dengan Mekah untuk berperang melawan Bani Aylan. Dalam pertempuran yang sangat pedih itu, belum juga jasad dimakamkan, sudah berdatangan lagi korban yang baru. Belum juga air mata kepedihan mengering, sudah tiba kembali berita duka yang semakin membuat 41 _ Jalan Kepedihan linangan air mata menderas. Dalam pertempuran Fijar yang kedua ini, ayahanda Khadijah meninggal dunia. Sejak masamasa pertempuran itulah ibunya membawa pulang anakanaknya dalam keadaan tanpa ayahandanya. Peperangan Fijar yang berlangsung secara silih berganti telah membuat Khadijah kehilangan paman-pamannya, ayahandanya, dan saudaranya. Khadijah melewati hari-hari penuh penderitaan itu hingga ke hari ini. Saat ibunya menemui kesedihan yang datang silih berganti dan membuatnya tidak kuat menahan kepedihan itu, rumah Khuwaylid telah mengantarkan Khadijah menjadi ibu dan juga ayah bagi anak-anaknya. Kini, para tamu yang juga membawa keluarga ini menjadi sangat bersuka cita sehingga kesenangan mereka itu menjadikan suasana ikut gembira pula. Bahkan, dalam waktu bersamaan, semua orang yang telah wafat pun seolah memenuhi seisi rumah dalam suasana riang dan penuh kegembiraan. Dalam keadaan itulah, sekali lagi, Khadijah memeluk Asma. “Seolah ayah, ibu, dan saudaraku yang kesatria, Hizam, datang mengunjungi rumah ini,” katanya. Di wajahnya lalu terpancar keriangan lewat bibir yang tersenyum, hingga membuat dirinya bingung karena tidak tahu suguhan apa yang akan diberikan kepada para tamunya. Seakan rumah Khuwaylid tak akan mau melepas kedatangan mereka. Dan memang, kaum wanita dari Bani Kinanah juga tidak berhasrat untuk segera pergi. Mereka tinggal di rumah yang senang menjamu tamu ini 42 selama satu minggu. Di sini mereka dapat menyempatkan diri untuk saling mengenang masa lalu, di samping juga untuk menyampaikan keinginan mereka memperkenalkan Khadijah. Tentu saja Khadijah tahu kalau mereka mencintai dirinya seperti anak sendiri… Terhadap kebaikan mereka, Khadijah tidak lupa menghormatinya dengan memberikan bermacam-macam hadiah tanpa mengurangi besarnya kenangan. Persahabatan bukanlah suatu hal yang bisa dibeli maupun digantikan, meski dengan bekerja. Dalam pandangannya, para wanita sahabat sehatinya itu adalah warisan orang tua yang layak untuk dihormati dan dimuliakan. 43 Tabir Mimpi I a tersadar dari mimpinya dengan tiba-tiba. Dadanya penuh sesak. Napasnya memburu. ‘Ternyata hanya mimpi,” keluhnya seolah-olah seorang yang kehilangan kesempatan yang sudah ada di tangannya. Ia gusar bagaikan seorang raja yang kehilangan mahkotanya. Seandainya saja aku tidak bangun. Ah, lihatlah, badannya masih sama. Tempat tidurnya juga sama. Ia kemudian bangun seraya membuka gorden untuk melihat dari jendela. Ah... lihatlah, kotanya juga masih sama. Terbenam segalanya ke dalamnya. Hancur, dunia roboh, dari pandangan matanya. Namun, dari sedikit celah yang terbuka, ia dapati mentari belum juga terbit. Padahal, dalam mimpi yang baru saja dialami, ia dapati mentari berada di dalam rumahnya. “Pergi ke manakah mentari itu?” 44 Saat terbangun, Khadijah merasa terjatuh dari ketinggian langit sana. Ruhnya begitu keras kembali lagi ke badannya sehingga dirinya sangat kaget, seolah ia adalah manusia pertama yang diturunkan dari langit ke tempat tidurnya. Jantungnya masih berdetak kencang. Ia masih tidak sadarkan diri. Benarkah ia sudah bangun dari tidurnya? Mimpi yang luar biasa itu seperti sebuah kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang ada di dalam tidurnya. Namun, ia terbangun sudah, bagaikan belati yang telah kembali dimasukkan ke dalam rangka. Dalam mimpi yang ia jumpai menjelang pagi ini terdapat kata-kata yang sangat ia mengerti sejak masa kecil. Meski terbangun, ia merasa seolah masih dalam dunia mimpi. Saat melangkah menuju jendela, ia tidak yakin kalau kakinya menapak di lantai. Indra perasanya seolaholah begitu peka bagaikan cakar-cakar tajam seekor kucing yang menancap seraya menyibak perlahan gorden jendela. Namun, dari sedikit celah yang terbuka, ia dapati mentari belum juga terbit. Padahal, dalam mimpi yang baru saja dialami, ia dapati mentari berada di dalam rumahnya. “Pergi ke manakah mentari itu?” Mimpi yang dialami ibu muda itu sebenarnya merupakan perjalanan ke alam angkasa. Mulanya, ia mendapati bintang-bintang yang bersinar bagaikan kilatan perhiasan di atas langit yang biru kelam. Di saat merasakan seolah dirinya terbang atau terus berjalan di ketinggian udara, ia menyaksikan gugusan planet-planet di angkasa. Ia berpikir untuk menembus gugusan galaksi yang penuh dengan bintang-gemintang itu. Terbang dan terus terbang ke angkasa. Kemudian, ia mendapati mentari dalam lingkaran 45 _ Tabir Mimpi cahayanya. Ia termenung di sana. Tertegun memandangi indahnya pancaran cahaya merasuk ke dalam tubuh, menerangi hatinya. Sesampai di pusat sang surya, entah mengapa pengembaraannya terhenti. Mimpi yang dilihatnya telah menjadikan jiwanya merasakan sebuah perjumpaan. Bahkan, keindahan rasa perjumpaan itu meluap-luap setelah sekian lama menanti. Pancaran cahaya mentari semakin deras menyinari badannya yang seolah tembus cahaya, bagai cahaya yang terbiaskan dari prisma dan kemudian dipancarkan kembali dalam aneka warna. Pembiasan cahaya yang sedemikian luar biasa ini, dengan cahaya-cahaya yang saling berbenturan satu sama lain membentuk gugusan spiral, telah membuai hatinya ke dalam luapan kebahagiaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Semua warna yang dikenal maupun tidak ia dapati ada di sana, satu per satu memancar ke dalam ruhnya. Semua jenis warna yang ada sejak awal dan akhirnya jagat raya ini bagaikan huruf-huruf yang ditulis di papan tulis untuk diajarkan kepada seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis. Semuanya, satu per satu, menjelaskan diri kepadanya. Mentari yang terlihat di dalam mimpinya itu pada mulanya menuliskan huruf dan kemudian kata kepada Khadijah. “Di langit ataukah di bumi aku ini?” Ia merasakan dirinya seolah sedang berenang dalam ruang hampa udara yang terasa hangat. Angin lembut yang bertiup di sela-sela jari-jemarinya menyapu rambutnya dan seakan-akan seperti berada di dalam kolam sauna. Tubuhnya dibasahi siraman aroma dari kuncup bungabungaan dan daun wangi-wangian. Cangkir-cangkir terisi 46 penuh minuman yang paling disukainya telah tersedia di sampingnya. Di beberapa mangkuk terdapat kurma, sementara di tempat saji lain tersedia kismis, daun mint, dan segenggam biji gandum. Warna-warni hidangan minuman pun memberikan aroma menyengat, membawa Khadijah ke dalam keadaan mabuk, seakan-akan semua minuman ini dihidangkan kepadanya sebagai tamu khususnya. Mentari yang disuguhkan penuh dengan penghormatan dan senyuman… sungguh mengherankan! Setiap jenis minuman anggur yang tersaji dalam cangkir-cangkir zamrud itu mengeluarkan aroma yang khas. Belum juga tercicipi oleh lidah, rasanya sudah dapat dinikmati dalam angan-angan. ”Mungkinkah di dalam mimpi seseorang dapat merasakan rasa dan aroma?” tanyanya pada diri sendiri. “Lalu, apakah rahasia dari semua yang aku alami ini?” Ibu muda ini juga telah bersumpah bahwa mimpinya telah berbicara kepadanya. Namun, hal itu diucapkan dengan lidah berbeda, bukan dalam bentuk suara. Mungkinkah seperti tiupan aroma sebuah getaran pada setiap ritmenya. Sapaan dan kalimat-kalimatnya sangat mirip dengan tarikan napas, selalu mengalir lancar, tanpa terbentur suatu keadaan yang seakan-akan memenuhi kedalaman akal dan hati. Mentari telah terbit pada kening Khadijah, telah merasuk ke dalam sanubarinya. Seandainya kita perhatikan, mimpi tersebut sepertinya tanpa udara. Di sekelilingnya sama sekali tidak ada yang lain selain Khadijah. 47 Pasar S emua pelayan kaget dan bingung ketika mendapati Tuan Putri mereka terburu-buru keluar dari pintu gerbang tanpa menoleh atau bertutur sapa dengan mereka. Gerangan apa yang terjadi dengan Tuan Putri? Mungkinkah dirinya telah mendapat berita buruk di hari menjelang siang ini? Adakah orang yang berani menyakiti hatinya yang sangat mulia? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang timbul dari hati para pelayan Khadijah saat mendapati dirinya berlari dengan terburu-buru keluar dari rumah. Meski tidak berkata apaapa, semua orang telah dibuat bingung hingga berlarian tak tentu arah. Beberapa pelayan ada yang berlari mengejarnya seraya menunggu titah yang akan diberikan, sementara sebagian lagi ada yang membukakan pintu, memasangkan pelana kuda, menyiapkan tangga untuk naik kuda, serta ada yang berlari untuk membukakan pintu gerbang. Tanpa bicara, tanpa bertitah maupun memberi perintah, bahkan tanpa menoleh kepada para pelayannya, Khadijah dengan cepat melintasi taman bagian dalam dan kemudian pergi. Semua orang kaget dengan keadaan di pagi itu, termasuk kedua pelayannya yang membukakan pintu gerbang kayu yang sudah berusia ratusan tahun lebih namun belum pernah mendapati kegusaran seperti di pagi menjelang siang itu. Belum juga para pembantunya tahu hal yang telah membuat sang Tuan Putri terburu-buru, 48 Maisaroh dengan segera berlari di depan mereka untuk mengejarnya. Beberapa saat kemudian, Maisaroh kembali dengan wajah memberikan isyarat kalau sang Tuan Putri sedang tidak butuh untuk dibantu maupun ditemani. Melihat keadaannya yang seperti itu, semua pelayan tahu kalau Khadijah binti Khuwaylid sedang mendapatkan berita yang sangat penting, atau mungkin sedang dalam keadaan yang sangat mendesak, sangat genting! Seorang pelayan yang selalu siap sedia di samping kanan pintu gerbang rumah segera menyiapkan kuda tergesit dari Yaman dan dua unta untuk mengejar Tuan Putri. Ke manakah tujuan kepergiannya ini, sampai-sampai teman tempat berbagi rahasianya, Maisaroh, pun tidak diajak? Pasti Tuan Putri sedang ingin sendiri. Dan memang, pada akhir-akhir ini keadaan Tuan Putri terlihat lain dari biasanya. Tidak ada seorang pun yang dapat membuatnya bahagia, tidak ada yang mampu membuatnya gembira. Ia hanya selalu bersedih, selalu berdiam diri, hingga membuat semua pelayannya ikut pula merasakan. Dengan terburu-buru, Khadijah menyusuri gang berliku. Saat mencapai suatu tempat yang agak tinggi, ia seperti melengserkan diri dengan cepat ke wilayah Pasar Ukaz. Pasar besar yang terletak di antara rumah dua tingkat milik keluarga Khuwaylid dan Bait al-Atik ini sebelumnya adalah sebuah lembah. Namun, selang beberapa tahun kemudian, tempat itu berubah menjadi permukiman dan tempat pameran. Orang-orang dari kabilah sekitar datang ke Bait al-Atik untuk menunaikan ibadah haji. Setelah dari situ, mereka akan berbelanja tahunan. Nah, saat itulah mereka biasanya membuat ulah. Masalah-masalah sepele 49 _ Pasar seringkali dibesar-besarkan, bahkan sampai terjadi perang. Oleh karena itu, atas keputusan tetua Mekah yang dipercaya, mereka hanya boleh tinggal di Mekah dalam masa-masa tertentu saja. Peraturan seperti ini terus digencarkan, terutama setelah kejadian ‘Tahun Gajah’. Saat terjadi peristiwa serangan pasukan gajah, Khadijah putri Khuwaylid baru berusia lima belasan tahun. Ia pun menyaksikan kekejaman Gubernur Yaman yang menyerang Mekah dengan gajah-gajahnya. Pengalaman ini tentu saja tidak akan pernah terlupakan. Karena sedemikian luar biasa besarnya hingga tak mungkin untuk menandinginya, para penduduk Mekah mengikuti apa yang disarankan Abdul Muthalib, seorang yang selama ini mereka percayai, untuk meninggalkan kota. Mereka bermukim di perbukitan yang ada di sekitar Mekah. Awalnya, para petinggi Arab yang tidak mau meninggalkan kota dan memilih berperang kerena kesombongan mereka mau tidak mau membenarkan Abdul Muthalib setelah melihat seluruh pasukan gajah yang sebelumnya telah bersumpah untuk menghancurkan Mekah dan Bait al-Atik diluluhlantakkan oleh Allah. Apa yang telah terjadi sama persis dengan apa yang dikatakan Abdul Muthalib, “Allah yang memiliki Mekah dan Bait al-Atik. Allah juga yang akan melindunginya.” Memang demikianlah yang terjadi. Begitu pasukan gajah memasuki kota Mekah, mereka langsung mendapatkan petaka yang sangat luar biasa, aneh, dan belum pernah dijumpai sebelumnya. Mulut mereka mengeluarkan busa. Selain itu, wajah-wajah para prajurit itu menjadi hijau kegelapan dengan usus yang pecah di dalam perut pada waktu yang tidak lama. Saat itu pula burung-burung yang 50 belum pernah dijumpai di Mekah mulai menutupi langit. Pasukan gajah yang telah bersumpah untuk menghancurkan Kakbah justru malah hancur dibuatnya. Burung aneh yang kemudian namanya disebut ababil ini adalah burung-burung yang membawa amarah Allah kepada setiap pasukan. Tangan dan kaki mereka kaku, bahkan sang komandan pasukan yang dijuluki Abyad al-Kabir pun takluk bersama dengan gajah putih tangguh yang ditungganginya. Peristiwa ini membuat semua orang yakin kalau Mekah adalah kota yang dilimpahkan rahmat oleh Allah. Sekali lagi, orang-orang Mekah dan kabilah-kabilah di sekitarnya, para petinggi Mekah dan Badui, kembali hidup dengan damai sesuai dengan penanggalan bulan-bulan haram. Semua orang tahu tentang peraturan hidup, beribadah, berdagang, dan bersenang-senang. Selama kurun waktu damai selama tiga bulan, semenjak para kabilah saling menaati bulan-bulan tanpa perang yang telah ditetapkan, Pasar Ukaz semakin dipadati para penduduk. Tidak hanya ramai oleh para penduduk Mekah, tapi juga mereka yang datang dari haif dan Yaman ikut bermukim di sana. Para penduduk yang datang dari tempat jauh, seperti alQuds, Konstantinopel, Syam, Harran, dan Persia, juga ikut memanfaatkan keadaan baik di masa-masa ini. Setiap kali hati putri Khuwaylid merasa terhimpit, ia akan segera berlari ke Kakbah untuk menumpahkan segala isi perasaan kepada Rabbnya. Dan kali ini, ia juga ingin segera sampai di Kakbah untuk mengutarakan isi hatinya. Ingin sekali dirinya dapat segera melintasi Pasar Ukaz yang membatasi rumahnya dan Baitullah. Mimpi yang ia jumpai menjelang pagi ini telah membuat gundah-gulana hatinya. Jika dilihat dari luar, kehidupannya 51 _ Pasar memang tampak sangat sempurna. Meski demikian, ia tidak kunjung jua dapat memecahkan kekosongan hati yang menurutnya sulit untuk digambarkan. Ia tidak dapat berbagi deritanya dengan siapa pun. Ia tahu, kalau sampai dirinya berbagi perasaan dengan orang lain, sudah pasti pembicaraan itu akan sampai pada masalah kejandaannya. Hal inilah yang membuatnya enggan berbicara kepada orang lain. Dalam pandangannya, belum ada laki-laki kuat yang cocok untuk dirinya. Mimpi yang ia jumpai menjelang pagi ini telah membuat gundah-gulana hatinya. Jika dilihat dari luar, kehidupannya memang tampak sangat sempurna. Meski demikian, ia tidak kunjung jua dapat memecahkan kekosongan hati yang menurutnya sulit untuk digambarkan. Sebelum sampai ke Kakbah, jalanan panjang yang melintas di sepanjang pasar telah membuat dirinya terbuai. Kerumunan para pedagang, wisatawan, orang-orang yang datang untuk menunaikan ibadah dari perkampungan, para rahib, pendeta, dan pemuka agama yang ia dapati di sana telah memberikan suasana hati tersendiri. Keragaman 52 orang-orang yang menghuni Pasar Ukaz telah memberikan inspirasi bagi kegalauan hatinya. Segera Khadijah masuk ke dalam pasar melalui pintu yang biasanya dilalui para wisatawan. Ia segera tersenyum kepada seorang turis tua yang sedang mengamat-amati selembar peta tua yang terbuat dari sutra, yang ia yakini sebagai petunjuk harta karun. Orang tua itu membaca puisi dengan suara seperti orang menangis. Lewat suaranya yang keras, ia menuturkan kalau dirinya adalah seorang pemilik pemandian umum yang kaya raya. Namun, karena ia tidak memedulikan seorang pengemis yang menghampiri tempat usahanya, dirinya terkutuk menjadi miskin seperti pengemis itu. Berangsur-angsur seluruh hartanya terjual habis untuk membiayai keinginannya menemukan harta karun. Sayang, semuanya hanya dusta belaka. Kini, ia pun hanya memiliki selembar peta tua yang ada di tanganya. Seandainya saja tidak ada orang yang mau membeli peta tua itu, sebentar lagi ia tidak akan mampu membeli makanan sehingga tak lama lagi dirinya akan mati kelaparan. Mendapati keadaan seperti itu, Khadijah merasa iba. Segera ia mengambil beberapa keping uang emas dari sakunya untuk diberikan kepadanya seraya terus melanjutkan langkahnya. Saat memberikan beberapa keping uang itulah dalam hati Khadijah terlintas untuk berlindung dari kejinya kecanduan atas sesuatu. Semoga Allah menghindarkan hamba-Nya dari kepedihan menjadi budak karena tergila-gila atau kecanduan pada sesuatu. Saat dirinya melangkah ke kios-kios yang menjual minuman, ia mendapati tempat lain yang membuatnya terbuai. Tempat itu menjual berbagai macam minuman dan buah-buahan kering, seperti kurma dan kismis. 53 _ Pasar Pasar ini terlihat lebih sepi dibandingkan pasar tertutup lainnya. Namun, pasar ini berada dalam monopoli para saudagar bangsawan Mekah. Setiap hari, mereka melakukan transaksi penjualan surat-surat berharga. Biro-biro pasar bebas maupun kantor-kantor tempat para delegasi perdagangan juga ada di sana. Khadijah melewati pasar itu dengan sangat hati-hati. Berjalan cepat dan menutupi wajahnya dengan syal, sesegera mungkin dirinya berharap bisa meninggalkan tempat itu tanpa ada seorang pun yang tahu. Setelah beberapa langkah dari tempat tersebut, ia baru sadar tidak ada pengawal di sisinya seperti biasa. Ia memang tidak ingin mendengar lagi pembicaraan baru tentang dirinya dari mulut para saudagar bangsawan Mekah. Memang, kebanyakan dari mereka menginginkan putri Khuwaylid ini sebagai istrinya. Untungnya, tak satu orang pun tahu kalau seorang wanita yang berjalan cepat melewati tempat bisnis mereka dengan muka tertutup adalah Khadijah. Setiap hari, Pasar Ukaz dipenuhi pemandangan yang begitu pedih. Sebuah ironi kehidupan yang terjadi pada masa itu. Di tempat itu berkumpul para bangsawan dengan budaknya, jutawan dengan orang-orang miskin, serta penguasa dengan bawahannya. Yang tertawa dan menangis pun ada di sana. Di penghujung kios minuman, putri Khuwaylid menjumpai pemandangan yang sangat membuatnya sedih. Matanya tertuju ke arah pasar budak. Para majikan dengan keji meludahi, mencaci, bahkan mencambuki budak-budak dagangannya. Di sana terdapat budak-budak dagangan dari semua usia. Mereka dijajar untuk dipertontonkan kepada para calon pembeli. Tidak jarang mereka dipaksa menampilkan 54 berbagai kemampuannya dengan cara dicambuk berkali-kali. Di saat-saat itulah biasanya dipertontonkan budak wanita yang masih berusia sepuluh tahunan. Mereka berpakaian terbuka, membagikan minuman keras kepada para calon pembeli, dan tidak jarang memberikan pertunjukan untuk memerdaya nafsu syahwat mereka... meminum anggur sambil membaca puisi. “Seret budak wanita itu! Biar dia tahu pedihnya cambukan cemeti!” seru pedagang budak dengan lantang sambil tertawa terbahak-bahak. Para pesuruh si pedagang pun mulai mencambukkan cemeti ke tanah untuk menakut-nakutinya. Dengan seketika, ia tarik rambut para budak wanita untuk naik ke atas podium sambil mencambuknya dengan cemeti. Mau tidak mau, para budak itu harus menuruti permintaan majikannya untuk melayani pertunjukan tidak senonoh di depan mereka. Belum lagi di pertunjukan yang lain ada seorang budak wanita terlihat nyaris tanpa busana. Seorang majikan mendekatinya dengan tertawa puas. Saat hendak melepas pakaian budak itu yang hanya tinggal beberapa lembar, entah dari mana datangnya, tiba-tiba sebilah belati menusuknya bertubi-tubi. Majikan itu pun jatuh seketika. Tanpa sadar, nampan minuman keras yang dibawa budak peremuan itu juga jatuh ke lantai. Minuman keras itu pun tumpah berceceran ke mana-mana, sementara sang majikan masih tergeletak di tanah. Darah terus mengalir dari tubuhnya yang terluka. Gelas kristal yang ada di tangannya ikut jatuh dan pecah. Erang kesakitan muncul dari mulutnya. Wajahnya panik melihat darah yang mengalir deras dari lukanya. 55 _ Pasar Keadaan menjadi kacau dalam seketika. Anehnya, tidak ada orang yang berniat menolong sang majikan. Semua orang terlihat tidak begitu peduli pada kejadian seperti itu. Bahkan, dalam situasi seperti ini pun masih terdengar suara lantang seorang wanita lanjut usia yang tidak hentinya berkata-kata kotor karena seseorang telah mencuri ayamnya yang hendak ia jual di pasar hewan. Belum lagi ada seorang penjual karpet dari ajam yang dipukuli segerombolan orang yang ingin merampas barang dagangannya. Pedagang karpet itu kemudian berteriak-teriak sekeras-kerasnya sambil mengucapkan kata-kata sumpah agar diampuni oleh mereka. Ia katakan berkali-kali bahwa dirinya hanya ingin selamat dan tidak mau membuat keributan. Dan masih di sekitar Pasar Ukaz, seorang laki-laki yang dikenali sebagai kakak budak wanita dari haif didakwa sebagai orang yang telah menikam majikan yang hendak berbuat nista kepada adiknya. Dalam seketika, di tempat itu pula hukuman mati dijatuhkan kepadanya. Padang pasir haif yang sangat terkenal dengan kebrutalan orang-orangnya telah begitu sering menjadi saksi atas kejadian-kejadian seperti ini. Sering kali para wanita dan anak-anak wanita dijadikan alat tukar manakala terjadi masalah. Tak heran jika setiap ayah akan marah manakala mendapati bayinya terlahir sebagai wanita. Kesadaran bahwa kemungkinan besar anak wanitanya akan menjadi budak telah membuat jiwa sang ayah murka. Karena itulah banyak lelaki yang sering bergelut di medan perang akhirnya tega membunuh anak wanitanya karena takut di suatu masa ia akan mendapati anaknya dijadikan budak. Bahkan, ada pula dari mereka yang mengubur hidup-hidup anak wanitanya. 56 Banyak anak wanita yang dirayu ayahnya untuk diajak bepergian mengunjungi kerabatnya, padahal pembunuhan kepadanyalah yang terjadi setelahnya. Demikianlah, anak muda yang baru saja dibunuh di tengah-tengah keramaian atas suruhan sang majikan pengumpul upeti dan pedagang budak juga memiliki sejarah hidup yang teramat sangat pedih. Ayahnya yang kecanduan judi tidak henti-hentinya terus berjudi dan mabuk setiap hari. Setelah semua harta benda yang dimilikinya habis dalam meja judi dan belum puas juga berjudi, ia tega menjadikan anak wanitanya, Dujayah, sebagai taruhan. Sungguh, Dujayah sang anak sudah tidak lagi memiliki arti apa-apa di mata ayahnya selain sebagai barang yang bisa digunakan untuk taruhan. Barang yang bisa digunakan pula untuk membayar segala utang-utang ayahnya. Keadaan seperti inilah yang telah membuat kakaknya tidak tahan lagi. Meskipun makna dari namanya, Dujayah, adalah seorang yang terbebas, pada kenyataanya setelah usia kedelapan ia telah mulai menjalani hidup sebagai budak. Sudah bertahun-tahun ia tidak pernah dapat bertemu dengan keluarganya. Hingga pada akhirnya kakaknya datang untuk menyelamatkannya. Dia tidak tega melihat penyiksaan dan penderitaan yang harus diterima saudara wanitanya. Sayang, ia tertangkap. Dan atas keputusan para aristokrat di Pasar Ukaz, ia pun dibunuh seketika. Dujayah yang tidak tahu-menahu mengenai apa yang telah terjadi hanya bisa menangis, meratapi nasib kakaknya yang meninggal di tiang gantungan. Mendapati keadaan seperti itu, hati Khadijah meronta. Segera ia keluarkan satu kantong uang perak untuk menebus gadis itu. 57 _ Pasar Dujayah dilepas dari ikatannya. Ia kemudian ditunjukkan tuannya yang baru. Anak wanita yang malang itu pun langsung berlari mendekati Khadijah. Ia bersimpuh seraya mengungkapkan ucapan berisi ribuan terima kasih. Khadijah begitu memahamai perasaannya. Ia melepaskan syal yang digunakan untuk menutupi wajahnya dan diberikan kepada Dzujajah. Kemudian, segera ia bawa Dujayah keluar dari pasar itu. Betapa riang gembiranya hati Dujayah. Ia seperti sedang berlari sekencang-kencangnya meninggalkan bekas majikannya yang bengis itu. Khadijah pun segera meninggalkan pasar budak itu. Ia langsung pergi menuju Bait al-Atik yang tidak begitu jauh darinya. Kali ini, suasana begitu berbeda dengan pemandangan yang ia alami sebelumnya. Di sana terdapat para tabib jalanan yang sedang menunggu para pasien. Bau obatan-obatan menyengat tercium oleh setiap hidung yang melintasinya. Di sana juga terdapat para ahli nujum dan tak luput pula para peramal yang duduk berjajar menawarkan pelayanan kepada setiap orang yang mengunjunginya. Syukurlah, beberapa langkah lagi Khadijah telah sampai ke pintu gerbang al-Hayat. Pintu gerbang al-Hayat adalah pintu setengah lingkaran yang terbuat dari batu granit. Kedua tiangnya terbuat dari marmer utuh besar. Batu granit terukir begitu indah dan sempurna bak mahkota. Tepat di bawah pintu gerbang itulah tampak peminta-minta yang sedang mengadu nasib. Saking padatnya jalan itu oleh mereka, susah sekali Khadijah melewatinya, meski kepada setiap satu orang dari mereka ia berikan uang tembaga yang dapat digunakan untuk membeli setidaknya sepuluh buah kurma. 58 Kebanyakan dari peminta-minta itu memiliki kekurangan isik, seperti buta atau tak memiliki lengan dan kaki. Ada pula orang-orang miskin yang sangat menderita kehidupannya. Setiap kali mendapatakan uluran tangan belas kasihnya, terucap dari mulut mereka doa-doa yang dipanjatkan untuk sang ibunda kota Mekah itu. Ia juga tidak lupa memerhatikan seorang nenek yang sudah lanjut usia, yang gemeteran tubuhnya karena cuaca dingin yang merasuk ke sekujur tubuhnya dari kaki yang menganga tanpa alas. Ternyata, sosok itu masih lekat dalam ingatannnya. Nenek yang sudah lanjut usia itu pernah ia kenal sebelumnya. Ia pernah bersamanya saat masih berusia lima belasan tahun, ketika ia dan ibu susunya mengamankan diri dari serangan tentara Gajah. Ia adalah salah seorang peramal di masa itu. “Tuan Putri,” sapanya kepada Khadijah dengan suara merintih. “Mimpi yang Anda jumpai hanya akan Anda ceritakan kepada orang-orang yang bersih keyakinannya. Mereka yang terbuka mata hatinya dan tak dikotori gemerlap tipu daya dunia. Yang kata-kata bijaknya tidak dijual dengan imbalan harta dunia. Yang setia menepati janjinya. Namun, lihatlah keadaan diri kami ini. Kini, kata-kata bijak kami pun telah digunakan sebagai ladang mengais rezeki sehingga kami pun tidak henti-hentinya merana di belahan bumi seperti ini.” Tersentak hati Khadijah dalam seketika. Ia dengarkan kata-kata nenek itu dengan saksama. Jangan-jangan..., apakah nenek ini tahu mimpi yang aku alami di pagi ini? Bagaimana ia bisa mengetahui mimpi itu? Bahkan, ia juga seolah menjelaskan ciri-ciri seseorang yang bisa dijadikan tempat untuk mengadukan mimpi itu. Benar, seolah dirinya 59 _ Pasar telah menjelaskan sosok pamannya, Waraqah, yang akan ditujunya. Sudah bertahun-tahun Waraqah dengan kedua matanya yang buta tidak pernah memberi sedikit pun arti penting pada gemerlapnya dunia ini. Ia juga tidak seperti orang-orang Mekah yang menyembah berhala. Ia relakan segalanya untuk tetap berada dalam keyakinannya, beriman akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. “Mimpi yang Anda jumpai hanya akan Anda ceritakan kepada orang-orang yang bersih keyakinannya. Mereka yang terbuka mata hatinya dan tak dikotori gemerlap tipu daya dunia. Yang kata-kata bijaknya tidak dijual dengan imbalan harta dunia. Yang setia menepati janjinya. Mendengar penuturan itu, Khadijah langsung mendekat kepada nenek itu seraya menuntunnya untuk berdiri. Nenek itu pun dengan tergopoh-gopoh berusaha mengeluarkan tongkatnya. Khadijah juga tidak lupa menyalami tangan kanannya seraya memberikan beberapa keping uang emas kepadanya. 60 Bait al-Atik adalah tempat yang memegang arti penting kehidupan sepanjang sejarah manusia. Di sanalah manusia pertama, Adam, bertawaf memanjatkan doa-doa pertobatan. Di tempat itulah Adam sangat menyesali kesalahannya. Ia merintih dalam doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah. Sang Maha Pengampun menerima tobatnya dan seolaholah memberikan isyarat kepada hamba-Nya dengan mendirikan tiang tinggi menjulang dari bumi ke langit sebagai tanda di sanalah tempat akan dibangun rumah-Nya. Betapa senangnya Adam mendapati pertanda itu. Gembira hatinya setiap kali mengunjungi tempat yang menjadi pusat terhubungkan jiwanya ke alam surga. Terbuailah dirinya dalam cinta akan Tuhannya sehingga bertawaf membentuk sebuah lingkaran. Dengan pemahaman dan perenungan seperti inilah Khadijah memasuki Kakbah seraya berucap salam kepada Nabi dan juga manusia pertama. Tiada henti-hentinya Khadijah memanjatkan doa di sana. Berucap zikir dengan luapan permohonan belas kasih kepada Tuannya. Pedih hatinya meratapi jiwanya yang penuh rumpang, penuh penyesalan, dan berharap akan sebuah pertobatan. Sungguh, hatinya seakan telah gersang seperti sungai yang mengering di musim kemarau. Madd dan Jazir. Datang dan Pergi. Membubung tinggi dan kemudian turun kembali. Demikian ia tumpahkan isi hatinya dalam bahasa yang mampu diungkapkan maupun dalam kata-kata yang tidak mungkin terucap oleh mulutnya. Bagaikan lentera yang menyala remang, pasang surut oleh tipuan angin, perlahan- 61 _ Pasar lahan ia mulai masuk ke Tanah Haram untuk kemudian menuju Kakbah. Entah mengapa, untuk kali ini, setiap satu langkah memasuki Tanah Haram, hatinya terasa berdebardebar, seolah-olah baru kali itu memasukinya. Jiwanya tersentak oleh perasaan akan perjumpaan dengan sang Kekasih. Meski demikian, Khadijah merasakan senang di dalam hatinya karena memiliki tempat untuk mengadu. “Ya, Rabb... sungguh betapa mulia dan dermawannya diri-Mu,” ucapnya. “Sungguh senang sekali hatiku telah Engkau perkenankan memasuki rumah-Mu. Betapa berarti sekali pintu ini bagiku. Aku memohon kepada-Mu agar Engkau tidak akan pernah menutup pintu ini untukku. Sungguh, seandainya akan tertutup, hal itu hanya akan mungkin terjadi dengan kekuatan-Mu. Namun, janganlah Engkau berkenan menutupnya bagiku, bagi semua umat manusia. Pintu yang akan membuat hati mereka bermekaran cinta-Mu sehingga mereka tidak akan saling bermusuhan satu sama lain dan akan memberikan berbagai macam persembahan yang terbaik untuk-Mu. Seandainya cinta di dunia ini sudah tiada sama sekali, jangan pernah Engkau biarkan pintu ini tertutup. Meski hamparan padang pasir tidak lagi tersisa bulir pasirnya, atau perjalanan panjang sudah tidak lagi menyisakan tujuan, atau hamparan samudra mengering airnya, janganlah Engkau berkenan menutup pintu-Mu ini. Aku tahu, rumah-Mu ini ibarat setetes air dari hamparan samudra dan lautan abadinya rahmat-Mu. Aku tahu, pintu ini seperti embusan napas cinta yang membuat manusia terbuai, syahdu dalam penghambaan kepada-Mu. Dan 62 kini, aku kembali lagi bersimpuh, menghamba di hadapanMu, ya Rabb! Sungguh, berkenanlah Engkau mengampuni kesalahan-kesalahanku, berkenanlah Engkau menyelimuti, melindungi, dan mencintai hamba-Mu ini. Sungguh, diri ini sangat butuh perlindungan, cinta, dan belas kasihMu, serindu diriku untuk selalu mendekatkan diri dalam pertobatanku kepada-Mu. Duhai Allah, aku panjatkan pengaduan ini kepada-Mu. Aku mohon dengarkanlah isi hatiku. Tunjukkanlah jalan hidup ini ke arah yang menuju kepada-Mu. Limpahkanlah kebaikan dan keindahan, baik di dunia ini maupun di alam setelah kehidupanku.” Berlinanglah air mata Khadijah. Membara isi hatinya bagaikan air Zamzam yang memancar dari panasnya padang pasir. Semakin deras air matanya dalam pengaduan yang diutarakannya. Di saat kedua matanya mulai mengering dari air mata yang membasahi kedua pipinya, saat itulah ia berserah diri pada dinding Kakbah yang dikhususkan bagi kaum hawa. Ternyata, tidak sendirian ia di sana. Para wanita yang tadinya juga memanjatkan doa telah ikut mengamini doa yang dipanjatkannya. Di antara para wanita itu ada yang menderita karena ditinggalkan sang suami yang terbunuh di medan pertempuran. Ada juga yang berdoa untuk keselamatan dan kesehatan anak-anaknya. Dan ternyata, di antara mereka juga ada yang memiliki perasaan sama dengan dirinya, menantikan seseorang yang bisa menenangkan hatinya. Demikianlah, hampir semua orang, yang baik maupun jahat, menyandarkan seluruh kehidupan dan isi hatinya pada dinding Kakbah. 63 _ Pasar Di sinilah tempat untuk mengadu. Wahana menumpahkan segala perasaan yang diderita setiap hamba. Ruang untuk melantunkan kata-kata hati yang mendambakan cinta. Tempat untuk berteduh, berlindung dari suratan takdir yang digariskan atas manusia. Pintu inilah harapan bagi setiap insan. Ya, bagi setiap kehidupan di awal maupun akhirnya. Merintih dan menangis hati Khadijah. Bergetar hatinya dalam mulut yang terbatabata berucap doa. “Ya, Tuhanku... hamba datang kepada-Mu,” ucapnya. “Di pintu-Mu aku mengetuk, ya Tuhanku. Aku berharap Engkau berkenan melenyapkan perasaan hatiku yang selalu merasa kesepian. Ya Tuhanku, begitu sedikit sekali pengetahuanku untuk meniti jalan-Mu. Bahkan, dalam pengetahuanku yang sedikit itu pun seringkali aku ragu. Karena itu, tunjukkilah jalan yang benar, yang akan aku jalani untuk menuju kepada-Mu. Sungguh hanya kepada-Mu aku mengutarakan isi hatiku. Hanya diri-Mu Yang Maha Mendengar segala isi hati.” Sesaat Khadijah memerhatikan orang-orang yang ada di kanan-kirinya. Tertegun dirinya melihat kerumunan orang yang juga memanjatkan doa seperti yang ia mohonkan. Di situ memang menjadi tempat paling berkah untuk memanjatkan doa. Bagaikan lingkaran-lingkaran rumah lebah yang di tengah-tengahnya terdapat madu bening bercahaya, kembali tertegun hati Khadijah merenungi hakikat ini. Meneteslah air matanya dalam luapan hati yang penuh cinta memandangi Kakbah. “Semua orang datang ke sini dengan cermin hati mereka sendiri,” katanya. 64 Seolah-olah para wanita itu, dengan cermin hatinya yang retak, bersandar pada dinding Kakbah, berdoa untuk memperbaikinya. Setiap hati pasti memiliki permasalahan sendiri-sendiri yang hendak diutarakan kepada Tuhannya. Di sinilah semua doa yang dipanjatkan akan membubung tinggi ke angkasa. Tempat untuk menuliskan keinginan hati setiap manusia. Baitullah seakan-akan telah menjadi hamparan surat, tempat setiap hamba menuliskan segala isi hatinya dalam sujud maupun bersimpuh dengan kedua tangan terangkat kepada Tuhannya. Khadijah pun telah menghamparkan seluruh isi hatinya kepada Rabb-nya. Tidak sabar lagi dirinya untuk segera mendapatkan jawaban dari kegundahan yang ia rasakan selama ini, seperti tidak sabarnya siang yang menantikan malam. Namun, Khadijah juga tahu bahwa setiap gelap malam pasti dinantikan cerahnya cahaya di pagi hari. Inilah yang ia pinta dari Tuhannya. Meminta agar mentari yang ia jumpai dalam mimpinya di pagi ini terbit di dalam hatinya. Belum lama hatinya hening dalam ketenangan, ia telah kembali terusik dengan suara keramaian yang tiba-tiba terdengar lantang dari tempat sekitar. Ia saksikan para wanita di sekelilingnya mulai beranjak. Ada yang berteriak dengan kata-kata mengusir, ada juga yang mengumpulkan batu kerikil sambil dilemparkan kepada seseorang yang mencoba mendekati mereka. Laki-laki yang tidak kenal itu pun dihajar oleh kerikil-kerikil yang dilemparkan kepadanya. Ia gunakan kedua tangannya untuk melindungi diri seraya terus melangkah maju. Orang asing itu terus berjalan mendekat sehingga sebagian wanita yang ada di situ menghardiknya dengan suara keras. 65 _ Pasar “Pasti laki-laki itu orang Yahudi!” “Untuk apa dia pergi ke sini?!” “Betapa lancangnya laki-laki ini mengusik kerumunan wanita!” “Sebegitu jahilkah dia sampai tidak tahu kalau tempat ini dikhususkan untuk wanita!?” “Lihat saja, betapa beraninya dia terus mendekat ke arah kita.” “ Demi Lata dan Uzza, kita usir Yahudi itu!” “Kita usir dia!!!” Terhadap cercaan dan batu-batu kerikil yang dilemparkan kepadanya, laki-laki Yahudi itu berkata, “Wahai para wanita bangsa Quraisy! Aku beritahu kalian suatu hal. Seorang nabi terakhir tidak dimungkiri lagi akan datang dari tanah ini di masa-masa sekarang. Bilamana salah satu di antara kalian semua mendapati kesempatan untuk menjadi istri baginya, janganlah sampai kalian menyia-nyiakan kesempatan itu.” Sayang, orang itu tidak dapat meneruskan kata-katanya. Ia segera berlari meninggalkan tempat itu dengan luka akibat lemparan batu yang terus-menerus. Batu-batu yang telah dilemparkan oleh para wanita malang yang sama sekali tidak mengerti berita gembira akan terbitnya sang surya. Bahkan, mereka juga sama sekali tidak memedulikan apa yang telah dikatakan Yahudi asing itu. Kecuali satu orang! Dia adalah Khadijah. Seakan-akan kata-kata orang itu telah memecahkan telinganya karena sambaran petir. Memang, sebelumnya Khadijah telah banyak mendengar berita dari sepupu yang sudah dianggap sebagai pamannya, Waraqah bin Naufal, dan juga dari orang-orang yang baru 66 saja pulang dari berniaga. Ia juga sering mendengarkan berita yang mirip sekali dengan apa yang dikatakan laki-laki itu dari mulut para pendeta, para alim, ahli hakikat, atau orang-orang yang berziarah ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka sering memberitakan kedatangan nabi terakhir yang akan membenahi kerusakan moral yang telah meraja-lela. Kata-kata yang baru saja diucapkan orang Yahudi itu benar-benar telah melekat di hati Khadijah. Setelah beberapa lama memanjatkan doa di dinding Kakbah, ingin sekali Khadijah segera berlari ke rumah pamannya, Waraqah bin Naufal, untuk segera menyampaikan apa yang telah ia dapati dalam mimpinya. Meski berstatus sebagai sepupu, usia Waraqah hampir seumuran dengan mendiang ayahandanya. Karena itulah Khadijah menganggap Waraqah sebagai pamannya. Khadijah maupun Waraqah adalah orang yang paling terhormat dari nasab keluarganya. Waraqah telah menghabiskan usianya untuk pergi ke berbagai negeri demi mencari hakikat yang ia yakini. Sayang, kata-katanya telah dianggap aneh oleh para penduduk Mekah. Namun, bagi Khadijah, Waraqah adalah alim di matanya. Seorang ahli hakikat yang teramat ia segani. Waraqah memang seorang alim yang mampu menghafalkan Taurat dan Injil. Ia bahkan mampu pula berdebat dan memberi penjelasan tentang isinya kepada semua orang, baik Yahudi maupun Nasrani. Kedua matanya sampai buta karena selama bertahun-tahun jarang tidur dan terus membaca. Kedua matanya seolah-olah telah tertutup untuk gemerlapnya dunia. Meski demikian, mata hatinya masih tetap terbuka kepada Tuhannya. Lebih dari itu, ia juga 67 _ Pasar sangat mencintai Khadijah dan menganggapnya seperti putrinya sendiri. Ia selalu ingin membela dan melindungi pada setiap kejadian dan kepedihan yang dideritanya. Setiap kali bertemu dengannya, ia selalu memerhatikannya dengan mengucapkan kata-kata penuh makna yang akan dapat menenangkan hati ibunda kota Mekah itu. Demikian halnya dengan Khadijah. Ia selalu berupaya untuk dapat membahagiakan hati sang paman. Setiap kali mengunjunginya, ia tidak lupa membawakan berbagai macam hadiah yang sangat berharga. Begitu akan tiba di depan rumah Waraqah, sejenak dirinya berhenti. Ia baru sadar telah lupa membawa oleholeh untuk pamannya. “Benarkah aku lupa membawa oleh-oleh untuknya,” katanya dalam hati. “Mengapa aku bisa menjadi orang yang sedemikian pelupa?” Namun, pada saat itu pula ia merasa seakan-akan seluruh bunga terindah bermekaran di mana-mana. “Mengapa dunia ini semerbak dengan wangi bunga? Duhai Allah, apa yang sebenarnya telah terjadi pada diriku?” Kegelapan yang menyelimuti pandangan tiba-tiba berubah menjadi terang dalam seketika dengan keremangan cahaya lentera. Dirinya ternyata telah berada di pelataran rumah pamannya. “Ya, aku telah menemukannya. Dujayah…!” katanya dengan suara keras. “Aku akan memberi hadiah seorang budak wanita yang pada pagi hari ini kuselamatkan. Jika dirinya berkehendak, biarlah ia bebaskan atau biarlah ia menjadi pembantunya.” 68 Mendengar suara itu, para pelayan saling berlarian ke luar. Namun, dengan penuh ketenangan, Khadijah memberi isyarat kepada mereka untuk tidak bersuara. Seperti biasa, ia ingin memberi kejutan kepada pamannya dengan datang secara diam-diam. Ia ingin menutup mata pamannya dari belakang. Akan tetapi, kali ini Waraqah sedang duduk bersama para tamu. Khadijah pun kemudian berucap salam kepada mereka. Mendengar ucapan salam itu, Waraqah menyambutnya. “Khadijah? Kamukah itu? Benarkah mutiara kota Mekah telah datang kepadaku?” Khadijah pun kemudian bersimpuh, mencium tangannya. Ia pun menyempatkan diri untuk menyisir rambut pamannya yang semuanya telah memutih bagaikan kapas. “Bagaimana keadaan Paman? Baik-baik sajakah selama aku tidak ada? Bagaimana Paman bisa langsung mengenali suaraku?” Dengan terbatuk-batuk Waraqah berkata, “Setiap wanita terlihat jelas dari rambutnya. Aku mengenali setiap suara yang ditimbulkan dari rambut yang terkena empasan angin, Khadijah. Aku kenal gemersik suara rambutmu dari kejauhan. Namun, kali ini tidak hanya itu. Bahkan, aku juga mencium aroma bunga-bungaan yang bermekaran dari rambutmu. Sungguh, betapa wangi rambutnya. Lain halnya dengan Berenis. Kalau tidak percaya, lihat saja.” Tidak lupa Khadijah memberi salam kepada para tamu yang ada di situ. Mereka pun menjawab salamnya dengan berucap “selamat datang” kepadanya. “Coba perhatikan rambut Berenis. Empasan angin telah merusak rambutnya. Aku juga tahu sejarah kehidupannya. 69 _ Pasar Rambutnya dipangkas sampai akar-akarnya.” “Oh, Berenis itu wanitakah? Padahal, aku kira...” “Apakah kamu juga tidak tahu dari namanya? Tidakkah kamu ingat kisah yang pernah aku ceritakan kepadamu. Suatu waktu ada seorang wanita yang bernama Hulbe. Ia berdoa agar suaminya bisa kembali dari medan perang dengan selamat. Setelah berdoa, dia pun berjanji untuk memotong rambutnya hingga akar-akarnya sebagai bentuk pengorbanan. Nah, tokoh yang disebut Hulbe itu, kalau di daerah Sudan dan Habasyah, sering disebut dengan kata Berenis. Berenis bersama keluarganya dari Habasyah menjadi tamu di rumahku. Ayahnya dari kalangan Hawari dan juga ilmuwan dari nasab Azis Toma. Sewaktu kecil, aku sering tinggal di rumahnya. Waktu itu Berenis bahkan belum lahir.” “Selamat datang Berenis. Selamat datang para tamu yang mulia. Kami merasa sangat bahagia mendapati Anda sekalian bertamu di rumah keluarga Khuwaylid. Semua pintu rumah kami terbuka untuk Anda sekalian. Mohon berkenan pula berkunjung ke sana.” “O, jangan... tidak mungkin aku akan membiarkan para tamu ini pergi ke rumahmu. Aku masih ingin sekali mendengarkan banyak cerita dari mereka.” “Baiklah, para kaum hawa naik ke atas saja, biar berkumpul dengan para ibu. Silakan bicarakan seputar kaum hawa. Jika kita terus membahas apa yang dilakukan Khadijah sepanjang hidupnya, niscaya para lelaki bangsawan Mekah akan mengenakan jubah Abu Sufyan kepadanya. Sungguh, usiaku kini sudah hampir genap seratus tahun. Ribuan buku sudah kubaca. Semua kota sudah kukunjungi. 70 Semua gunung-gunung tinggi sudah kudaki. Namun, masih juga aku belum dapat tuntas menyelesaikan permasalahan kaum hawa. Oh ya, sampai di mana pembahasan kita tadi? Suhuf Idris? Para wanita ini tidak membuat kita nyaman berdiskusi. Khadijah!” “Ya, Paman….” “Aku lupa tanya oleh-oleh yang kamu lupakan?” “Oh, tidak mungkin saya lupa, Paman!” “Sepertinya kamu lupa bawa hadiah, tapi kamu tergesagesa ke sini karena engkau telah bermimpi sesuatu, bukan?” “Tapi, bagaimana mungkin Paman tahu kalau aku telah bermimpi?” “Bila seorang wanita datang ke sini sampai lupa membawa oleh-oleh, pasti dia terburu-buru dan pasti tanpa persiapan. Begitu bangun pagi, kamu langsung ke sini. Angin telah menceritakan semua ini kepadaku. Baiklah, silakan ke atas. Ceritakan saja semuanya kepada Berenis. Setelah makan, aku akan temui kamu. Hmm... sudah sampai mana pembicaraan kita. Sepertinya kita sedang membicarakan benih tumbuhan lada hitam?” Mereka pun naik ke lantai atas. Mereka saling bercerita satu sama lain di atas. Saling duduk bersimpuh berdekatan. Di kedua mata Berenis tampak linangan air mata. Usianya masih sangat muda, namun perjalanan hidupnya yang begitu penuh dengan derita telah menyentuh hati Khadijah. Air matanya terus mengalir membasahi wajahnya. Berenis mengusap dengan kedua tangannya yang bengkak karena kerap bekerja keras di bawah terik mentari. Khadijah pun memerhatikannya dengan penuh iba dan rasa kasih sayang. Ia lepaskan serban 71 _ Pasar pengikat kepala berwarna biru khas yang dipakai para kesatria padang pasir. Sungguh benar, rambutnya terpotong pendek bagaikan seorang anak laki-laki yatim. Saat baju rompi yang terbuat dari kulit domba yang terlihat terlalu tebal untuk cuaca di Mekah dilepaskan, tampak tubuh Berenis yang kurus dengan punggung cekung. Dalam seketika, Khadijah teringat dengan anak wanitanya, Hind. Tidak mungkin jiwa seorang ibu tega meninggalkan anak kandungnya dalam perjalanan mengarungi padang pasir berhari-hari. Kedua mata Berenis masih dipenuhi air yang sejuk. Khadijah mencoba menghapus dengan kelembutan tangannya. Pandangannya tertuju ke wajah Berenis dengan saksama. Ia paham wanita semuda itu pasti sangat merindukan kasih sayang sang ibu. Sayangnya, hal itu tak mungkin didapatkannya karena sang bunda berada di tempat yang sangat jauh. Khadijah memahami benar apa yang dirasakan Berenis. Wajahnya yang pucat semakin menggambarkan isi hatinya. Ada kelelahan yang dirasakan dan kerinduan yang didambakan. Khadijah mengerti dan memahami hal itu sehingga ia pun mengulurkan kasih sayangnya kepada wanita itu. “Bagaikan dua aliran sungai yang meluap airnya,” kata Khadijah menggambarkan keadaan Berenis. Berenis terdiam saat mendengar kata sungai yang menggambarkan dirinya. Ia tertegun membayangkan dua sungai, dua Nil yang mengalir di kampung halamannya sebagai sumber kehidupan. Sayang, kedua aliran sungai itu pun kini teramat jauh terbenam dalam kenangan masa lalu. Setelah tertegun untuk beberapa lama, Berenis menuturkan perasaannya. 72 “Tuan Putri, Anda mengibaratkan sungai kepada saya. Saat itulah hati saya kembali sangat merindukan kampung halaman. Ah, seandainya saja Anda berkenan pergi ke sana, menengok kampung halaman saya. Di sana, di bawah daerah Al-Mugan, di sebuah pulau kecil nan mungil, Anda akan mendapati segarnya dua aliran sungai yang mengumpulkan sumber kehidupan, bagaikan seorang ibu yang membentangkan kedua tangannya dengan berbagai macam pepohonan rimbun. Kehidupan yang penuh dengan ketenangan, harapan, makna, dan kasih sayang dalam aliran lembut Nil Biru dan Nil Putih yang menjadi penopang kehidupan di daratan Habasyah.” Tidak kuasa Berenis melanjutkan ceritanya. Ia kembali menangis tersedu-sedu menahan luapan rindu dalam hatinya. “Teruslah menangis, Berenis, anakku yang manis. Teruslah menangis hingga kedua sungaimu memancarkan sumber air kehidupannya. Biarlah terus mengalir. Namun, tahukah engkau ke mana aliran sungai itu akan bermuara?” “Aliran sungai akan mengalir menuju tempat yang dirindukannya, Tuan putri.” “Benar juga. Ternyata engkau adalah anak pintar yang memiliki pemahaman dan irasat begitu mendalam.” “Terima kasih Tuan Putri. Andalah yang membuka cadar sang pengantin wanita dengan penuh kelembutan perasaan sehingga saya tanpa sengaja membuka kain kafan yang menutupi mata yang yang tiada hentinya berlinangan air mata. Oh, ya Tuan Putri, perkenankan saya menceritakan kampung halaman saya lagi. Di saat kedua aliran Nil Biru dan Nil Putih menyatu ke dalam satu muara, orang-orang 73 _ Pasar kampung kemudian menyebutnya sebagai Muara Wahid. Demikianlah kedua aliran sungai itu telah sampai kepada perjumpaan yang sangat dirindukannya; manunggal ke dalam satu kesatuan, seraya semakin memberikan penghidupan. Di sana terhampar rimbun perkebunan buah delima, tersebar merata sesaknya tanaman susam dan meliuk-liuk tinggi menjulang hutan pepohonan kanada, seraya memberi senyuman manis bagaikan seorang pengantin wanita kepada kedua aliran sungai itu. Di samping mengaliri semua daratan yang dilintasinya dengan sumber kehidupan, ia juga mencurahkan kehangatan kerinduan kepada semua makhluk yang terbuai ke dalam embusan kesegaran cuacanya. Sungai juga bermacam-macam, Tuan Putri. Masingmasing dari mereka memiliki nama, warna, cerita, dan guratan takdir yang tertulis padanya. Saat kecil, saya sering mendengarkan cerita dari para orangtua tentang Nil Biru sebagai seorang pemuda gagah, tampan, dan muda belia, sementara Nil Putih sebagai tunangannya. Saya juga mengkhayalkan bahwa al-Mugan telah mempertemukan keduanya dalam luapan penuh kerinduan. Ya, ibarat perpaduan lantunan lagu cinta yang indah nan merdu dari seorang lelaki dan wanita, daratan al-Mugan, nama kampung halaman saya, telah menjadi saksi sebuah pesta pernikahan yang diiringi dengan genderang para malaikat yang turun ke bumi. Dari sanalah terlantun tembang-tembang merdu menyentuh kelembutan hati. Lama kemudian, semakin kami sadari arti pentingnya kedua aliran sungai itu, Tuan Putri. Ternyata, mereka tidak hanya memberikan kehidupan, tapi juga memikul suka-duka, penderitaan, kepedihan, dan juga kerinduan umat manusia. 74 Di masa-masa musim salju, hatinya tertegun bagaikan ruh manusia yang sedang mengasingkan diri. Memutih aliran airnya, tenang dalam ketabahan. Namun, manakala musim semi membangkitkannya, segera ia terbangun bermandikan berbagai macam warna kesegaran dan keindahan, menghanyutkan segala kesedihan dan kepedihan yang menyelimuti kehidupan. Belum lagi di masa-masa musim panas. Saat itu, kami juga ikut tersengat terik mentari yang juga merebus sumber airnya. Dengan serangkaian ujian inilah buah-buahan mulai menguning dan biji-bijian mulai memecah agar tersebar di dalam tanah sehingga tersimpan kehidupan baru bersamanya. Kelak, benih-benih itu akan tumbuh membesar sebagai pohon rindang yang akan kembali menemani kami, menyertai hari-hari kami dalam suka maupun duka. Di pematang aliran sungai itulah kamu dilahirkan, Tuan Putri.” Khadijah dan Berenis masih duduk bersimpuh berdekatan satu sama lain. Mereka terpana dengan semua yang diceritakan dan didengarkan. Terlebih hati Khadijah yang seolah telah mendapati teman untuk berbagi perasaan. Ia belai sekali lagi rambut Berenis yang dipotong pendek itu. Lembut terasa. Terbayang dalam pandangannya bahwa kehidupan kadang penuh dengan terpaan angin kencang yang menyambar. Untunglah Berenis dapat berlabuh dengan selamat dalam hantaman badai itu. “Benar juga apa yang telah dikatakan Paman Waraqah. Embusan angin kencang telah memangkas rambut Berenis.” Entah mengapa, begitu mendengar kata-katanya itu, secara tiba-tiba tubuh Berenis gemetar. Badannya seakan- 75 _ Pasar akan terkoyak kembali dengan ingatan mengenai badai kencang yang menyambar kehidupannya. “Oh, anakku yang manis. Janganlah engkau menangis!” “Tuan Putri,” katanya. “Jangan Anda memandang pada tubuh ini yang kurus sebatang kara. Pedih sekali terasa saat mengingatnya. Sewaktu di al-Mugan, saya pernah bertunangan. Hari-hari penuh kebahagiaan yang tidak akan pernah dapat saya lupakan. Dia adalah santri ayahku. Seorang yatim bernama Ursa. Rajin dan pintar orangnya. Ayah saya telah lama mengasuhnya, mengajarinya baca tulis, dan juga bertutur kata yang indah di hadapan para bangsawan. Dalam waktu yang sangat singkat, Ursa telah menjadi orang yang paling dicari untuk bertutur kata maupun menjadi penerjemah. Ah, Tuan Putri, siapa sangka pada akhirnya ia tega meninggalkan diri saya dengan sikap dan keadaan yang sangat menyakitkan hati. Tidak akan pernah saya melupakan kepedihan di hari-hari itu. Saya pun melepas kepergiannya tanpa sudi menatap wajah belangnya. Inilah hati wanita, tidak ingin sebutir debu pun menghinggapi hati kekasihnya. Dan ternyata, saya dengar ia telah menjalin hubungan dengan seorang putri bangsawan tempat dirinya membuat kesepakatan kerja. Saya masih ingat kejadian di malam itu. Ia melarikan diri dari saya tanpa ada seorang pun yang membela saya, apalagi hendak mengejar kepergiannya. Ursa telah membuat keputusan. Ia telah memilih apa yang dikehendakinya. Dan sayalah orang yang dicampakkannya.” “Jangan berkata begitu, Berenis. Setiap kejadian yang menimpa kehidupan ini telah tercatat dalam untaian garis takdir. Saat berpikir kalau diri kita yang dicampakkan, sesungguhnya takdir telah memilih kita untuk suatu hal 76 yang lainnya. Engkau bukanlah seorang yang dicampakkan. Namun, yakinlah bahwa Allah telah memilihmu untuk suatu hal yang lain di dunia ini.” “Ah, Tuan Putri. Memang benar apa yang Anda katakan. Namun, kuasakah hati mengatakan ini kepada dirinya sendiri. Di hari-hari penuh kelam pada masa itu, ke mana pun diri ini memandang, ke mana pun melangkahkan pijakan kaki, di sana pula selalu didapatkan bayangan Ursa. Ia telah membuat saya buta, telah membuat diri teperdaya. Bahkan, sampai-sampai terpikir apalah artinya kehidupan setelah ini. Ingin sekali saya mengakhiri kehidupan ini bersamaan dengan berakhirnya cinta di dalam hati. Kian hari kian menjadi kebencian kepada diri sendiri. Karena itulah, semenjak hari itu saya semakin menghujat diri sendiri. Karena saya seorang wanita, tidak berhakkah menentukan sendiri nasib di dunia ini? Untuk apa saya harus merias diri bila hanya kepedihan yang diratapi? Untuk apa merawat rambut agar tetap terurai hitam bila siksa cambukan tetap akan didapatkan? Pada hari itulah saya bersumpah. Bersumpah untuk memangkas rambut hingga ke akar-akarnya sebagai tanda kesetiaan kepada cinta. Diri ini memang tidak wafat, namun kematian rambut panjang ini menjadi saksi kewanitaan saya. Jangan sampai Ursa kembali lagi. Kalau dirinya memang cinta dan telah memutuskannya, sampai sejauh mana jalanan ini membentang, biarlah kesetiaan saya dan juga cintanya menjadi saksi. Sejak saat itulah saya memutuskan kabur dengan mengenakan pakaian ini, menempuh empat puluh satu hari perjalanan, tanpa bekal makanan dan minuman. Tidak mungkin saya menetap di al-Mugan. Tidak mungkin saya 77 _ Pasar berdiam diri di sana, di saat Nil menghanyutkan aliran darah. Sebagaimana Ursa, saya menempuh perjalanan ini dengan mengawalinya pada suatu malam yang gelap gulita.” Untuk mengecoh orang-orang yang mungkin akan mengikutinya, Berenis tidak mengambil jalan utama. Ia menyusuri gang-gang kecil melewati perkampungan selama tiga hari hingga pada akhirnya sampai ke Pelabuhan Tanjung Burnu. Setelah salah seorang pelayan yang menemaninya menuju pelabuhan telah pergi, segera ia membeli tiket kapal. Tidak ada satu orang pun yang tahu kalau dirinya adalah seorang wanita yang pernah bertunangan. Dengan cara menyamar, Berenis masuk ke dalam dunia para lelaki. Sayangnya, kapal yang ditumpanginya harus jatuh ke tangan bajak laut setelah terguncang oleh badai dan ombak selama berhari-hari. Untunglah para pembajak itu mengetahui kalau Berenis mahir baca tulis dan menggambar peta sehingga dirinya tidak dijual sebagai budak. Saat kapal yang ditumpanginya berlabuh di Dermaga Askalan, sebagian dari awak kapal keluar untuk bermukim di rumah warga. Keadaan yang seperti ini segera dimanfaatkan Berenis untuk melarikan diri. “Dalam pelarian ini, saya dibantu seorang nakhoda yang berasal dari Suaybe. Sungguh kasihan sekali dirinya. Ketika membantu pelarian ini, ia harus menderita luka di punggungnya. Saat itu, saya berniat mengunjungi rumahnya di Suaybe untuk mengembalikan berkas-berkas yang tertinggal. Setelah itu, saya merelakan diri menjadi buruh selama tujuh hari penuh agar dapat ikut kailah yang akan berangkat dari Askalan menuju Jeddah. Selama tujuh hari itu saya 78 dipekerjakan untuk melayani kawanan perampok berhati bengis untuk memuaskan segala kebutuhan makan dan minum mereka. Lebih dari itu, saya juga harus membayar tiga keping perak agar terdaftar sebagai rombongan karavan. Karena postur tubuh yang kecil, saya tercatat ke dalam rombongan dengan nama as-Sagir. Dalam perjalanan itu, saya kemudian dibayar rombongan Ajdadi Akbar untuk memenuhi kebutuhan mereka akan air. Namun, setelah salah satu pemimpin rombongan tersebut tahu bahwa saya mampu baca tulis, saya pun dipekerjakan sebagai sekretarisnya. Kebetulan, majikan saya seorang yang cukup berpengalaman dan memiliki ilmu yang banyak. Selama perjalanan mengarungi padang pasir selama dua tahun, hanya dirinya yang berhasil mengetahui kalau saya adalah seorang wanita.” Mendengar penuturannya ini, Khadijah menjadi semakin tertarik dan menyimaknya dengan saksama. “Sungguh luar biasa, Berenis. Usiamu masih sangat muda tetapi segudang pengalaman sudah kamu miliki. Ayolah ceritakan bagaimana akhirnya identitasmu bisa diketahui?” “Waktu itu, saat seharusnya sudah menenangkan untauntanya, badai pasir menerjang dengan tiba-tiba sehingga unta-unta berlarian. Saya yang seharusnya lari mengejar unta kuat dan galak, yang khusus untuk mengangkut perhiasan dan barang-barang berharga, malah keliru mengejar unta yang mengangkut parfum dan cermin. Padahal, unta yang saya kejar tersebut lebih lembek dan lebih jinak daripada yang semestinya dikejar. Selain itu, unta-unta pengangkut kekayaan memang ditugaskan khusus kepada para pekerja seperti saya. Dan saya sendiri juga tahu kalau tugas menjaga 79 _ Pasar unta ini bisa jadi melayangkan nyawa. Namun, lihatlah apa yang saya lakukan?” Dua wanita yang duduk bersimpuh berdekatan ini sangat menikmati perbincangan seraya sesekali saling tertawa, seakan-akan melepas beban berat yang sama-sama dipikul. “Coba bayangkan, Tuan Putri, saya malah berlari mengejar unta yang salah. Dari sanalah majikan saya tahu kalau diri ini adalah seorang wanita.” Sebenarnya Khadijah merasa geli mendengar kisah itu. Namun, ia yakin jika Berenis tampak layak dan lebih manis untuk tersenyum. Ia pun meluapkan kasih sayang yang lebih mendalam kepadanya. Segera ditawarkan jus kurma dingin yang ada di sampingnya. Karena sedemikian penuh isi hati Berenis, ia pun kembali menuturkan kisahnya. “Majikan saya telah mengetahui hal yang sebenarnya. Saat saya mulai menuturkan keadaan dengan sejujurnya, justru ia sendiri yang sangat bersedih. Ia memberi tahu kalau selama dua tahun ini ayah saya telah mengirimkan utusan untuk mencari saya. Kemudian, ia berkata, ‘Kamu adalah Berenis yang selama ini doa-doa dipanjatkan dan acara-acara kurban dipersembahkan.’ Begitu mendengar ia menyebut nama saya, setelah sekian lama diri ini kembali terbangun dari tidur. Sebelum sampai rahasia ini diketahui orang lain, majikan saya rela membawa saya ke kota Busra di Syam. Sesampai di sana, saya dititipkan kepada seorang pendeta pengasuh gereja bernama Nastura. Ia adalah seorang alim Nasrani. Demikan halnya dengan ayah saya yang terkenal sebagai alim di Habasyah. Dalam acara khataman Taurat dua kali dalam satu tahun, pendeta Nastura selalu mengundang para alim dari Habasyah dan Sudan. Ternyata, 80 pada acara khataman yang akan diselenggarakan tahun itu, para utusan setia ayah sayalah yang datang. Coba bayangkan Tuan Putri, bagaimana ekspresi mereka saat menemukan diri saya? Saking bahagianya, dalam satu malam mereka mengeluarkan sedekah yang cukup untuk membahagiakan seluruh orang fakir yang ada di seantero Syam. Nah, mereka yang sekarang berada di bawah itu adalah orang-orang yang telah menemukan saya.” Setelah begitu banyak bicara, bahkan tanpa bernapas, kini Berenis mulai terdiam. Ia tertegun untuk beberapa saat. Ya, setelah lama terdiam, Berenis seakan-akan menemukan media untuk menumpahkan semua isi hatinya. “Mohon maaf Tuan Putri, tanpa sadar saya sudah lancang karena begitu banyak bicara. Anda pun terpaksa mendengarkannya.” “Berenis, bukankah sebelumnya sudah aku katakan kepadamu kalau dirimu adalah orang yang terpilih? Perhatikan saja, setelah melalui perjalanan begitu panjang, engkau bisa sampai ke sini. Inilah suratan takdir. Sungguh, perjalanan hidup yang teramat besar maknanya. Kami di sini terlalu sederhana bila dibandingkan dengan kehidupanmu. Mungkin satu hal yang mesti kamu juga tahu bahwa dalam kisah hidup yang besar itu tentunya tidak ada satu hal sekecil apa pun yang sia-sia. Kisah yang digubah oleh Sang Pencipta teramat luas. Dan kita semua hanyalah sepenggal adegan kecil dalam kisah itu. Sebenarnya, Ursa tidaklah meninggalkanmu. Dia hanyalah lantaran sebab agar dirimu bisa sampai ke sini setelah menempuh perjalanan sepanjang ini. Semuanya hanya sebatas itu.” 81 _ Pasar Dalam pembicaraan yang hangat itu, mereka tidak tahu bagaimana waktu berlalu. Barulah mereka sadar dan kembali dalam suasana penuh riang ketika terdengar bunyi ketukan terompah yang disertai batuk kecil. Mereka kenal dengan suara itu. Itu pasti Waraqah. Sebagaimana akhlak sopan santun, ia tidak pernah memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. “Salam, semoga keselamatan untukmu Khadijah dan tamu muda kita.” “Silahkan masuk, Paman. Kebetulan, saya dan Berenis sedang duduk-duduk sambil menunggu kedatangan Anda.” Demikianlah Khadijah. Meski bertubi-tubi rintangan dan ujian menerpanya, ia adalah orang yang berjiwa besar, yang menyadari dirinya selalu menjadi tumpuan orangorang di sekitarnya. Tidak salah tebakan Waraqah. Berenis dapat menjadi teman curahan hati Khadijah. Meski kedua mata Waraqah tidak mampu melihat wajahnya, ia bisa merasakan adanya kebahagiaan yang berembus dari hati mereka berdua. “Khadijah adalah buah hati kami, tamu kecilku. Setiap kali ada kesusahan, dialah yang selalu tampil untuk membantunya,” katanya seraya duduk di sampingnya. Mungkin Waraqah sudah tahu perjalanan panjang dan cerita yang hendak disampaikan tamu wanita yang berambut cepak itu. Namun, ia masih sangat penasaran dengan cerita yang hendak disampaikan tamunya yang berambut panjang. Meski demikian, setiap rahasia harus tetap dikembalikan kepada orang yang menyimpannya. Karena itulah ia memberi tanda dengan mengundang Berenis ikut makan di ruang makan bersama para tamu lainnya. Dengan demikian, 82 Waraqah kini bisa berdua saja dengan kemenakan sekaligus sepupunya itu. Saat itulah Khadijah mulai menuturkan apa yang hendak ia ceritakan, seolah-olah mimpi yang baru saja dialami tadi pagi dirasakan lagi kembali. Ia pun menuturkan mimpi itu dengan penuh kesungguhan. Ia bahkan merasa masih berada dalam mimpi itu. Sesekali Waraqah menganggukkan kepalanya, seperti mengamini apa yang diceritakan kemenakannya itu. Setelah selesai bercerita, sang paman berkata bahwa mimpi yang dialami Khadijah adalah ‘sebuah hakikat’. Ia juga menyampaikan kepada Khadijah kalau kehidupan dunia ini tidak lain merupakan salah satu tabir mimpi. Seringkali ia mengulangi perkataannya bahwa ‘selama kita dalam keadaan tidur, kedua mata kita yang terpejam ternyata masih juga dapat melihat. Berarti, ada penglihatan di balik penglihatan itu sendiri’. “Anakku,” katanya, “engkau adalah amanah dari mendiang ayahku dan juga ayahmu. Aku tahu engkau telah melewatkan kehidupanmu dengan begitu banyak rintangan yang harus dihadapi. Aku sangat menghargai semua perjuanganmu ini. Engkau adalah wanita tangguh dengan kesabaran dan kecekatan dalam berpikir. hahirah, demikian semua orang menyebutmu. Itu berarti seorang wanita suci yang layak menjadi contoh bagi semua wanita di Mekah. Sebelumnya, aku juga pernah menyampaikan kepadamu bahwa dunia tempat kita hidup ini kini telah memasuki masa kebangkitan kembali. Sumber mata air kehidupan telah mulai memancar di tengah-tengah padang pasir dan di lereng-lereng urat nadi pegunungan. Mereka yang mampu merasakannya telah lama menantikan kedatangannya. Ya, kita semua telah 83 _ Pasar lama menantikan kedatangan seorang nabi terakhir. Apa yang engkau dapati adalah sebuah mimpi yang teramat sangat besar. Menurut pemahamanku, kelak engkau akan menjadi istri dari sang nabi terakhir. Hanya Allah sendiri Yang Mahatahu dengan apa yang sebenarnya akan terjadi.” Setelah berdiskusi, Khadijah kembali menemui Berenis. Sebelum meninggalkan rumah Waraqah, ia menanyakan apakah Berenis akan berpisah dengan saudara-saudaranya dari Habasyah atau tidak. Setelah selesai bercerita, sang paman berkata bahwa mimpi yang dialami Khadijah adalah ‘sebuah hakikat’. Ia juga menyampaikan kepada Khadijah kalau kehidupan dunia ini tidak lain merupakan salah satu tabir mimpi. Seringkali ia mengulangi perkataannya bahwa ‘selama kita dalam keadaan tidur, kedua mata kita yang terpejam ternyata masih juga dapat melihat. Berarti, ada penglihatan di balik penglihatan itu sendiri’. 84 “Ia masih akan tinggal bersama dengan mereka untuk beberapa saat,” katanya. Waraqah juga ingin memberi kabar kepada orangtua Berenis dengan menyuruh wanita itu menulis surat kepada keluarganya. “Semoga Berenis betah tinggal di sini dan kelak mendapat pekerjaan di sini.” Mereka bersama-sama turun ke lantai bawah. Di tempat itu sudah terlihat begitu banyak tamu. Mereka adalah para petinggi Mekah, teman-teman Waraqah. Khadijah pun menyempatkan diri berpamitan sebelum pergi. “Wah, sekarang orang-orang yang akan membuat masalah dengan para bangsawan Mekah sudah berkumpul di sini,” kata Waraqah. Ya, mereka yang duduk di sofa ruang tamu rumah Waraqah adalah orang-orang yang dianggap sebagai pembuat masalah bagi hierarki para bangsawan Mekah. Mereka adalah kaum para penentang. Bagaimana tidak? Para bangsawan Mekah yang berkuasa dalam urusan perdagangan dan peribadahan kian hari kian serakah. Mereka juga memimpin dengan menggunakan kekerasan. Sama sekali tidak peduli dengan penindasan dan perdagangan budak yang semakin merajalela. Bahkan, mereka ikut berperan dalam memperkeruh suasana, ikut mendukung pesta mabuk-mabukan, perzinaan, perampokan, dan penjarahan harta rakyat. Akibatnya, yang miskin semakin miskin dan yang tertindas semakin menderita. Keadaan perekonomian juga semakin terpuruk. Hal itu masih ditambah praktik perjudian, monopoli perdagangan, serta penindasan dengan mengenakan pajak dan bunga tanpa ukuran. 85 _ Pasar Belum lagi keadaan yang memiriskan hati di sekitar Baitul-Atik. Para tuhan berhala mereka hanya terpaku diam seribu kata mendapati segala macam kemaksiatan dan tindak kemusyrikan. “Lihat! Semua kemaksiatan dan tindak kebiadaban dilakukan di depan berhala Hubal. Namun, berhala yang buta, tuli, dan bisu itu hanya melotot tanpa sedikit pun melakukan apa-apa.” Semua orang yang berada di rumah Waraqah tidak henti-hentinya mencerca Hubal, salah satu berhala yang berbagai macam kurban selalu dipersembahkan untuknya. Di samping syirik, semua ritual itu telah dipergunakan oleh para bangsawan untuk mendulang kekayaan. Kisah tragis dialami seorang ibu yang sudah tua renta. Anaknya yang baru berusia lima tahun tuli dan buta. Segala upaya telah dilakukan. Dengan penuh harap, ia pergi bersama dengan sang anak ke Mekah. Perjalanan panjang telah ditempuhnya selama berhari-hari. Namun, sesampai di Mekah, ia dipaksa pelayan-pelayan para bangsawan yang menguasai tempat-tempat peribadahan untuk berkurban demi Hubal. Sang ibu yang malang ini sama sekali tidak memiliki cukup biaya untuk mengadakan upacara kurban. Ia pun dihardik mereka dengan cercaan dan siksaan. Penderitaanya tidak berhenti di situ. Ia masih harus berurusan dengan para peramal. Tidak kalah bengisnya dengan para penjaga tempat-tempat peribadahan yang selalu mabuk, para peramal pun memaksa sang ibu yang nahas itu untuk mengeluarkan kurban. “Sungguh, kebiadaban macam apa ini. Bagaimana mungkin tuhan meminta upeti, uang sogokan? Bagaimana 86 para pengabdi tuhan itu bahkan sampai menodai kehormatan para wanita, bahkan yang sudah lanjut usia!?” teriak Waraqah dan teman-temannya. Mereka memang merasa sangat risi dan terganggu dengan semua bentuk kebiadaban itu. Mereka tidak terima dengan perlakuan para berandal Mekah yang memanfaatkan orang-orang miskin dan papa. Berontak hati mereka mendapati tindakan tidak berperikemanusiaan itu. Memeras, merampas, dan memanfaatkan orang-orang yang memang sudah menderita dan berada dalam keadaan sangat membutuhkan. Mereka sudah tidak sabar melihat kondisi yang menimpa Mekah seperti ini. Di antara mereka itu adalah Zaid bin Amr, Waraqah bin Naufal, Utsman bin Huwairits, dan Ubaidillah bin Jahsy. Mereka berkumpul di rumah Waraqah untuk bahu-membahu mencari jalan keluar atas segala kejadian yang terjadi di depan mata berhala Hubal. Mereka juga bersama-sama mengucapkan sumpah berikut. “Kami bersumpah untuk bersatu, bahu-membahu, dan melindungi satu sama lain. Kaum kita berada dalam jalan yang salah. Mereka telah meninggalkan agama Nabi Ibrahim, dan bahkan malah menentangnya. Mereka telah menganut agama yang salah. Mereka dengan bodoh telah menyembah berhala yang tidak akan mendatangkan kebaikan maupun keburukan. Kita harus mencari agama yang lurus.” Setelah berucap sumpah itu, sebagian dari mereka mengikuti panggilan hati nurani untuk menelusuri agama yang benar. Waraqah dan Zaid bersama-sama pergi ke Syam. Di sanalah mereka bertemu dengan para alim agama Musawi. Mereka pun mengkaji dan mendiskusikan berbagai 87 _ Pasar pertanyaan. Setelah melalui proses penelitian yang panjang, Waraqah memutuskan memeluk agama Musawi, sementara Zaid tetap pada pendiriannya untuk terus mencari. Ia masih belum menemukan agama yang dapat memuaskan jiwanya. Sekembalinya ke Mekah, mereka masih sering bertemu untuk berdiskusi, bertafakur menelaah keadaan, seraya mencari jalan keluar. Bahkan, kadang mereka keluar kota untuk mengasingkan diri. Mereka memang selalu dipinggirkan bangsawan Mekah karena tidak mau mengikuti kehidupan yang penuh dengan kemaksiatan dan kemusyrikan. Waraqah juga sering mengadakan perjalanan panjang bersama dengan teman-temannya. Saat kembali, mereka membawa unta-unta yang penuh dengan buku-buku berharga. Dengan buku-buku tersebut, mereka mengadakan acara membaca dan berdiskusi bersama. Tak heran kalau dalam beberapa tahun saja mereka telah memiliki perpustakaan besar. Pada suatu waktu, ada seorang alim Nasrani yang datang ke Mekah. Zaid pun menerimanya sebagai tamu selama beberapa hari di rumahnya. Dari dirinyalah Waraqah mulai mengenal Injil. Selang beberapa lama, banyak hal yang ia dapatkan darinya. Bahkan, pada masa selanjutnya, ia memutuskan memeluk agama Nasrani. Kini, Waraqah telah menganut agama Nasrani, di samping juga menganut agama Musawi sejak masa sebelumnya. Hanya saja, teman dekatnya, Zaid, masih terus mencari dan mencari agama yang benar. Bahkan, suatu ketika dia pernah marah seraya berkata kepada para pendeta, “Tidak ada banyak perbedaan antara agama kalian 88 dengan agama kaumku. Kalian juga berbuat syirik kepada Allah. Satu-satunya hal yang membedakan antara agama kalian dan agama kami hanyalah sebatas kalian menyebut nama Allah.” Demikianlah, Zaid tidak pernah merasa puas dengan apa yang ia dengar maupun baca. Kritik-kritik tajam yang dilancarkan kepada para aristokrat kadang disebabkan permasalahan-permasalahan yang menyangkut ekonomi. Namun, sebagian besar karena dasar-dasar keyakinan. Kian hari, Mekah telah menjadi kota yang semakin jauh dari keyakinan yang lurus. Sejak hari didirikannya kota Mekah, sama sekali tidak pernah didapati badai kemusyrikan yang sedemikian parah seperti sekarang ini. Mungkinkah perjuangan Ibunda Hajar bersama dengan putranya, Ismail, dan jerih payah Ibrahim untuk mendirikan Kakbah hanya untuk menyaksikan semua kekotoran ini? Pertanyaan besar inilah yang membuat Waraqah dan keempat temannya yang lain sering berkumpul memikul penderitaan yang dialami Mekah. Di samping Waraqah dan keempat kawannya, ada beberapa orang lagi yang ikut memenuhi ruang tamu rumahnya. Mereka adalah Suwayd bin Amr, Waki bin Salama, Amr bin Jundub, Abu Kays, Zarb al-Adwani, Allaf bin Syihab, Umayyah al-Kinani, Zuhair bin Abu Salma, Gays al-Absi, Abdullah bin Kudai, dan Umayyah bin Abus Salt. Zaid bin Amr adalah salah satu di antara mereka yang paling bersemangat, meradang, dan menerjang. Saat keluar dari rumah Waraqah, Khadijah mendengar dirinya membaca puisi berikut. 89 _ Pasar Saat diriku melakukan sesuatu, Bukan atas seribu, Melainkan atas Tuhan yang satu, Aku menundukkan kepalaku Aku tinggalkan dia, Latta dan Uzza Seperti halnya bebatuan yang sama sekali tak berharga Inilah yang pantas dilakukan oleh para kesatria, Pegangan teguh bagi orang yang kuat dan bersabar. Karena itulah diriku, Tidak percaya kepada Uzza maupun yang lainnya. Tidak sudi baik pada tuhannya Bani Amr mapun Gunnam. Ah, Hubal! Tidak mungkin aku menghamba kepadamu! Meski ia telah mendakwahkan dirinya sebagai tuhan Di saat akalku belum sempurna Namun diriku bukan seorang bocah maupun orang gila. Meski telah berulang-ulang diingatkan untuk lebih berhati-hati agar ancaman para bangsawan Arab tidak membahayakan dirinya, kebersihan jiwa Zaid telah membuka semua pintu kebisuan dirinya. Benarlah apa yang telah dikhawatirkan itu. Setelah berseru kepada orang-orang Mekah di depan Kakbah agar meninggalkan perbuatan syirik dengan menyembah berhala, orang-orang Mekah berkeputusan untuk mengasingkannya di tengah-tengah padang pasir. Setelah beberapa lama, ia meninggal dunia di tangan para perampok. Demikianlah, Zaid bin Amr telah menjadi orang yang pertama kali berkorban demi keyakinan yang benar sebelum sampai datangnya Sang Utusan Terakhir. Sang Nabi pun telah menaruh hormat kepadanya, “Meski Zaid seorang diri, dia bagian satu umat.” 90 Tidak diragukan lagi, dirinya adalah contoh bagi para penerus ahli hakikat setelahnya. Sebenarnya orang-orang yang berkumpul dalam ruang tamu itu merupakan bentuk persaudaraan di tengah-tengah masa yang sedang kritis. Mereka adalah orang-orang yang mendapati agama Musawi dan Nasrani telah hancur dalam berbagai perubahan, sementara ajaran Islam masih belum datang dalam pekatnya malam. Teramat sangat berat ujian yang mereka derita. Sampai akhir hayat, mereka masih dalam pencarian hakikat dan kebenaran. Salah satu di antara mereka, Utsman bin Huwairits, bahkan telah pergi hingga ke Byzantium. Karena ketulusannya mencari hakikat dan kebenaran, ia diterima di istana Konstantinopel. Setelah mengikuti berbagai acara diskusi ilsafat dan agama di sana, ia akhirnya memeluk agama Nasrani. Meski demikian, perjalanannya untuk terus mencari tidak pernah berhenti. Ia kemudian mengembara hingga ke Habasyah. Di sana ia bertemu dengan sang raja yang juga beragama Nasrani, Aswad bin Asad. Sayang, ia didakwa sebagai mata-mata Konstantinopel sehingga harus menemui ajal di sana. Abdullah bin Jahsy mungkin yang paling menderita di antara mereka. Ia juga telah mengunjungi berbagai negara sebelum akhirnya menetapkan diri untuk memeluk agama Nasrani. Sebenarnya, ia telah mendapatkan kesempatan memeluk agama Islam dan beriman atas kenabian Sang Utusan Terakhir bersama dengan rombongan kaum muslim yang hijrah pertama kali ke Habasyah. Namun, kedekatannya dengan masyarakat Habasyah telah memaksa dirinya menetap di sana dan kembali memeluk agama Nasrani. Perjuangan mereka mencari dan mendapati serangkaian 91 _ Pasar ujian demi mendapatkan keyakinan yang benar bersamaan dengan bergeraknya masa kegelapan. Bumi telah terguncang, Mekah mulai bergerak merangkak menuju ke masa penuh akan cahaya, Mekah telah mengandung janin yang akan membawa berita gembira. 92 Musim Semi P ergantian musim di Mekah ibarat lagu yang rumpang liriknya. Lihatlah, musim panas datang begitu cepat diikuti musim gugur. Itu berarti akan datang saat mengambil jeda dalam menyanyikan sebuah lagu sebelum datang musim semi. Musim ketika penduduk kota Mekah dapat bernapas dengan lega. Namun, kedatangan musim semi di kota ini hanyalah sesaat. Bahkan, kedatangannya seolah tidak terasa. Ia datang tanpa memperlihatkan wajahnya yang begitu memesona. Wajahnya tampak pucat. Satu matanya tersenyum binar, sementara satu mata lainnya terlihat menangis. Demikian itulah sejatinya musim semi di kota Mekah. Ia menutup satu daun pintunya dari musim dingin dan membuka satu daun pintunya bagi musim panas dengan kedua tangannya yang gemetar. Karena itulah kehidupan di kota Mekah tidak pernah menyempatkan penduduknya hidup bermalasmalasan. Tidak pula untuk tersenyum ataupun menangis. Itulah ketentuan kehidupan di sana. Bahkan, saat berakhir musim dingin hingga bergantinya ke musim panas, mentari berlalu dengan begitu cepat sehingga setiap orang bingung dengan apa yang telah dialaminya, sementara kehidupan setelah itu akan berlalu dalam terik surya yang sedemikian pedih menyengat kehidupan. Ketika musim panas menyengat dengan tiba-tiba, saat itulah kerinduan akan musim semi selalu terbayang dalam 93 _ Musim Semi kehidupan Mekah. Ah, mentari, tidakkah engkau akan pernah membiarkan seberkas rahasia tertutupi di muka bumi ini? Padahal, banyak sekali rahasia yang masih terbenam di hamparan musim dingin sampai dengan berganti ke musim panas. Rahasia yang akan menjadikan benih-benih pengharapan berkecambah dengan lembapnya cuaca. Lalu, bagaimana dengan Mekah? Teriknya mentari tidak akan pernah mengizinkan musim semi berlalu dengan perlahan. Setiap rahasia dan kenangan yang tersimpan di musim semi, tanpa sadar, sudah tersengat teriknya mentari di musim panas sehingga rerumputan tidak akan mungkin bisa tumbuh di tengah-tengah padang pasir. Begitulah, padang pasir akan selalu menganga tanpa selimut di sepanjang musim. Rerumputan yang melambangkan cinta dan kehidupan tidak akan pernah tampak dalam kehidupan padang pasir. Meski demikian, kota tua ini telah memiliki cara tersendiri dalam menyimpan rahasia sejak zaman nenek moyang hingga ke generasi masa depan. Padang pasir memang tidak pernah mengenal musim semi dan rerumputan yang tumbuh di atasnya. Namun, ia tetap saja memiliki sejuta benih rahasia yang tersebar di seluruh hamparan pasirnya. Ia tak berselimut padang pasir karena selimutnya adalah dirinya sendiri. Dirinya sunyi tanpa musim semi. Setiap rahasia yang hendak terucap dari mulutnya selalu terhenti dalam hawa panas yang tersedak. Ia bagaikan kebisuan tanpa penghujung dan batas. Ia adalah padang pasir. Meski hanya sekejap, tetap saja dengan perasaan malumalu musim semi ingin membelai para wanita kota Mekah. Tak heran, bagi para wanita di kota itu, musim semi adalah 94 sebuah mimpi yang tidak pernah boleh ditabiri, bahkan dibagi. Meski tidak mengalaminya, setidaknya mereka sering mendengarkan cerita tentang musim semi. Misalnya, tidak jarang mereka mendengar tentang Yaman, negeri yang menurut mereka penuh dengan curahan hujan serta makmur, dengan limpahan tanaman gandum yang berbuah lebat. Belum lagi tentang kota tetangga mereka, haif. Mereka semua tahu keteduhan kota itu. Bentangan perkebunanperkebunan anggur dan berbagai macam tanaman buah telah membuat kota itu hijau di musim semi. Belum lagi Yastrib yang terkenal dengan perkebunan kurma. Dan kini, para wanita Mekah telah berbisik tentang keindahan kota Yastrib yang rimbun dengan kebun-kebun palma, dengan kelebatan buah kurma yang seolah menjadi mahkotanya. Lalu, bagaimana dengan karavan yang akan datang dari Bahrain? Atau perhiasan-perhiasan dari kerang dan mutiara yang akan dijajakan di awal-awal bulan April? Semua pembicaraan seperti ini mampu membuat seluruh penduduk Mekah semakin tersentak sehingga bermulalah perjalanan-perjalanan panjang yang menyenangkan. Untaunta dan kereta-kereta kuda penuh dengan perlengkapan telah dipersiapkan untuk mengadakan perjalanan panjang menuju Syam, Homs, Busra, dan daerah perbukitan Golan. Ya, karena kedatangan musim semi telah menjadikan unta-unta tidak sabar lagi untuk mengetukkan langkahlangkahnya menuju Syam. Meski musim semi datang dengan sembunyi-sembunyi, para wanita muda pasti akan tahu saat kedatangannya ke Mekah. Bagi mereka, kedatangan musim semi berarti awal persiapan untuk musim panas atau awal dimulainya 95 _ Musim Semi perjalanan panjang, awal masyarakat sibuk beraktivitas lagi. Bukankah setiap kesibukan itu akan mendatangkan berkah dan setiap keberkahan akan mengundang pesta tunangan dan pernikahan? Ya, para wanita muda tahu semua itu. Karena itulah mereka selalu menghitung hari. Menantikan kedatangannya sembari menyisir rambut, dan duduk di samping jendela. Bahkan, saat-saat itu mereka menjadi begitu rajin pergi-pulang mengambil air dari sumber mata air umum dengan wajah penuh senyum. Kaki mereka melangkah dengan berjingkat untuk menimbulkan suara gemerincing dari hiasan-hiasan yang terikat di pergelangan kedua kaki. Mereka memang mengetahui makna ayyam-i buhur, hari-hari di musim semi. Dalam pandangan mereka, para wanita muda, upacara tunangan dan pernikahan bergantung kepulangan para saudagar dari berdagang di tanah Syam. Semua kebutuhan menjelang pernikahan, seperti maskawin dan keperluan lain, dipersiapkan di sepanjang musim semi. Dan untuk semua ini, setiap wanita muda sangat bergantung pada kepulangan para saudagar dengan barang-barang bawaan mereka yang diangkut kereta dan unta. Ya, musim semi begitu berarti bagi mereka. Kedatangan musim semi bagaikan alarm jam yang telah dipasang di tengah-tengah kota Mekah. Musim yang akan menyulut pemuda-pemudi Mekah dengan semangat yang tak terhingga. Setiap sudut kota, jalan, dan gang-gang terbakar oleh atmosfer masa-masa itu. Mereka yang lanjut usia pun kembali berjiwa muda. Bahkan, orang-orang yang sedang dalam sekarat kembali ingin berbuat amal kebaikan untuk yang terakhir kalinya. 96 Demikianlah, hari-hari pada masa-masa itu berlalu begitu lembut. Menyenangkan bagaikan susu yang segar karena para ibu yang menuruni perbukitan dengan membawa air susu segar akan menuju pusat kota untuk mencari bayibayi yang baru lahir. Di masa-masa itulah keberuntungan para ibu susu akan ditentukan. Yang bernasib baik akan pulang membawa bayi mungil yang masih dalam buaian. Bani Sa’ad terkenal dengan wanitanya yang subur, tangantangan besar terampil, dan memiliki banyak ASI. Semua orang tahu soal keindahan dan kegembiraan batin dalam hati para calon ibu susu saat mereka menuruni lembah di antara dua bukit Safa dan Marwa untuk menuju pusat kota. Mereka turun dari perkampungannya di pucuk perbukitan dengan membawa keju dan susu kering yang mereka buat sendiri yang disebut dengan kisyk. Kudapan itu mereka bagi-bagikan di tengah pasar di sepanjang perjalanan. Para pedagang di pasar memandang para ibu susu yang baru saja turun dari pegunungan itu sebagai pembawa berkah di musim semi sehingga mereka pun menyambutnya seperti tamu kehormatan. Dan bermulalah segala macam persiapan yang diliputi semangat dan keriangan. Musim semi berarti suntikan darah segar bagi mereka. Para pembuat ember karet terlihat sangat bersemangat. Mereka bekerja siang malam agar dapat sesegera mungkin menghasilkan ember sebanyak-banyaknya. Demikian pula dengan para perajin sepatu kuda. Tenaga mereka tampak pulih. Tidak kenal lelah, mereka menempa besi dengan palu sekencang-kencangnya. Bengkel-bengkel milik pandai besi 97 _ Musim Semi Sehari-hari, Khadijah dibantu saudara wanitanya, Asma. Saudaranya itu bertugas menjadi pengawas agar tidak merugi. Tidak hanya itu, Asma juga kadang ikut menjadi komisioner agar bisa mengetahui perubahan harga maupun kecurangan-kecurangan yang bisa terjadi pada usaha dagangnya. Dari situlah ia mengetahui sosok Abu Thalib dan kemenakannya yang sudah yatim-piatu. Keduanya seolah menjadi tolok ukur dan referensi yang baik untuk usaha dagangnya. tidak pernah berhenti istirahat. Asap mengepul dan api membara. Para ahli pedang juga terlihat serius menggarap kerajinannya. Mengasah hasil kerja kerasnya dengan saksama. Mencoba ketajamannya dengan berulang kali menyambarkan ke udara. Para pemandu wisata juga semakin lantang menuturkan sejarah dengan memungut imbalan lebih dari biasanya. Hal ini sering membuat para pelancong marah dan sebal. Belum lagi para penjual karpet tenun yang semakin keras menyanyikan lagu-lagu daerah sembari berkeliling dengan gerobaknya. Tak luput para pelatih elang 98 yang terlihat sedang giat melatih burung piaraannya sambil mengajarinya menghafalkan rute perjalanan. Begitu pula para penipu dan perampok yang juga ikut beraksi di tengahtengah perjalanan. Singkatnya, semua orang menampakkan kehidupan baru, aktivitas baru. Mekah telah berhawa ayyam-i buhur. Tidak hanya para bangsawan yang memiliki harta banyak yang bergembira menyambut datangnya hari-hari di musim semi. Mereka yang tidak cukup punya modal pun sudah dapat untung dengan berdagang di dalam kota Mekah. Abu halib, misalnya. Ia adalah anak Abdul Muthalib, teman dekat ayahanda Khadijah. Ia dan Khadijah bergelut di usaha perdagangan. Sehari-hari, Khadijah dibantu saudara wanitanya, Asma. Saudaranya itu bertugas menjadi pengawas agar tidak merugi. Tidak hanya itu, Asma juga kadang ikut menjadi komisioner agar bisa mengetahui perubahan harga maupun kecurangan-kecurangan yang bisa terjadi pada usaha dagangnya. Dari situlah ia mengetahui sosok Abu halib dan kemenakannya yang sudah yatim-piatu. Keduanya seolah menjadi tolok ukur dan referensi yang baik untuk usaha dagangnya. Asma juga tidak jarang menuturkan kebaikan dan kejujuran usaha dagang paman dan kemenakannya ini, terutama saat perdagangan di kota Mekah dipenuhi dengan kecurangan. Hampir semua orang tidak bisa dipercaya. Setiap orang yang diberi amanat untuk menjaga karavan bisa melakukan kecurangan, bahkan menggelapkan barang dagangan. Kerusakan dunia perdagangan di Mekah juga tak luput menimpa usaha dagang Khadijah. Sudah berulang kali dirinya rugi besar setelah ditipu para makelar dan wakil dagangnya. 99 _ Musim Semi Dalam dunia perdagangan yang seperti inilah kini musim panas telah di ambang pintu. Menjelang dimulainya perjalanan dagang ke negaranegara tetangga, Khadijah ingin usaha dagang miliknya harus segera diamanahkan kepada orang yang bisa dipercaya. Berhari-hari keinginan itu memenuhi pikirannya. “Apa yang harus aku lakukan? Kepada siapa kepercayaan ini harus diberikan?” Ia pun segera memanggil Asma untuk ikut merundingkan hal tersebut. Asma rupanya juga kesulitan mencari orang yang tepat untuk diberikan amanah itu, sebelum akhirnya menyarankan untuk meminta bantuan kepada kerabat teman dekat ayahandanya, Abu halib dan kemenakannya. Sungguh, Khadijah memang sosok yang mumpuni dalam segala hal. Ia tidak akan terburu-buru dalam mengambil keputusan. Semuanya dipikirkan terlebih dahulu, dicari kelemahan dan sumber permasalahannya, baru kemudian berdiskusi dengan orang yang dipercaya. Orang-orang di sekelilingnya sering menyebutnya sebagai ahli tadabur. Seorang yang memiliki basirah. Setiap masalah akan dipahami terlebih dahulu sampai ke akar-akarnya sehingga setiap keputusan yang diambil benar-benar akurat, tepat, dan berumur panjang. Pembicaraan dan diskusi-diskusi dengan topik permasalahan yang hampir sama juga terjadi di rumah Abu halib. Ia menyampaikan kepada kemenakannya yang ia cintai seperti anaknya sendiri itu bahwa usia dirinya sudah lanjut. “Engkau tahu kalau diriku bukanlah seorang yang memiliki harta banyak. Engkau pun tahu kalau kehidupan di Mekah 100 semakin sulit. Saat ini kita sama sekali tidak memiliki cukup modal untuk memulai usaha dan tidak juga punya usaha yang bisa menutup pengeluaran hidup kita setiap hari. Lebih dari itu, musim panas sudah hampir tiba. Karavan-karavan yang hendak pergi ke Syam sudah hampir selesai melakukan persiapan. Unta, barang dagangan, dan segala macam kebutuhan selama di perjalanan sudah disiapkan. Mereka semua tinggal menunggu hari untuk memulai migrasi. Anak kerabat Khuwaylid sampai saat ini masih mencari orang yang bisa dipercaya untuk melanjutkan usaha dagangnya. Satu hal yang aku minta darimu adalah agar engkau pergi ke rumah Khuwaylid untuk menyampaikan kesediaan dirimu membantu mereka. Ingat, aku sudah terlalu tua. Kalau kita tidak melakukannya sekarang, aku takut suatu waktu aku pasti akan menyuruh seseorang melakukannya.” Sebagaimana biasanya, kemenakan Abu halib yang bernama Muhammad itu hanya tertunduk malu mendengar penuturan sang paman yang ia sudah anggap ayah kandungnya sendiri. Ia sendiri masih belum yakin untuk pergi ke sana melamar pekerjaan tanpa mereka yang memintanya. Dalam adatnya, ia tidak pernah menginginkan pekerjaan sebelum diminta. Meski demikian, ia juga paham bahwa apa yang disampaikan pamannya benar. Di usianya yang kedua puluh lima, bekerja sebagai penggembala biri-biri dan menjadi pembantu karavan dagang telah ia lakukan. Hari-hari penuh dengan peperangan, paceklik, dan kekeringan sehingga selembar rumput pun tidak tersisa di Mekah pernah pula dirasakan. Selain usaha dagang, hampir tidak ada sumber mata pencarian lain bagi dirinya dan semua pemuda di Mekah. 101 _ Musim Semi Di dunia ini, siapa saja yang ia cintai, yang ia ikuti untuk hidup bersama sebagai keluarga, satu per satu telah meninggalkan pemuda itu dalam usianya yang masih muda. Dengan perasaan seperti itulah Abu halib kembali menatap kemenakannya penuh dengan kepedihan. Ya, hampir setiap orang mengatakan bahwa Abu halib sangat mirip dengan ayahanda Muhammad yang telah meninggal dunia sebelum dirinya dilahirkan. Dan setelah ditinggalkan ibunda saat usianya enam tahun, kakeknya, Abdul Muthalib, telah menjadi tumpuhan hidupnya. Meski sang kakek telah mencurahkan segala perhatian dan kasih sayang, bahkan telah berupaya menjadi ayah dan ibu baginya, tetap saja ia sering mendapati cucunya larut dalam kesedihan. Setiap kali ada acara pesta atau makan-makan, sang cucu yang tumbuh tanpa ayah dan bunda itu tidak akan pernah datang jika tidak diundang. Bahkan, meskipun diundang, ia selalu tampak malu-malu untuk mengambil makanan. Ia pun tak pernah menampakkan diri atau mengambil tempat duduk dalam setiap acara dan pertemuan. Sang kakeklah yang selalu memahami dirinya. Tak heran jika sang kakek sering mengajaknya menyantap makanan di tempat tersendiri, seraya berkata kepada yang lain, “Jangan ganggu cucuku ini. Aku ingin makan bersama dengannya.” Demikianlah, sang kakek selalu berupaya membantu cucunya melupakan kepedihan karena ditinggalkan orang tua. Kini, sang paman juga tidak tega kalau sepeninggalnya tidak ada orang lain yang bisa mengasuh dan melindunginya. Sungguh, betapa mirip sekali dirinya dengan sang ayahanda. “Aku beri nama cucuku ini Muhammad karena aku ingin agar pada suatu hari ia menjadi orang yang layak dicintai 102 oleh Allah dan umat manusia di muka bumi,” demikianlah kata-kata yang sering sang kakek ulangi. Bahkan, sering pula sang kakek memanggilnya dengan menyebut namanya. Sang cucu pun selalu bersegera datang ke samping kakeknya seraya berkata, “Adakah hal yang bisa saya bantu, Kakek?” Begitu datang dan berada di sampingnya, Abdul Muthalib langsung membelainya. Tentulah ia tidak menginginkan sesuatu dari cucunya. Ia hanya ingin sang cucu berada dekat di sampingnya. “Betapa indah sekali namamu,” katanya. “Ini adalah anakku. Suatu hari dia akan menjadi orang besar,” kata sang kakek seraya mendudukkan cucunya ke tempat duduknya. Ingin sekali sang kakek melepaskan kepedihannya. Dan saat sang kakek meninggal dunia, barulah Muhammad kecil merasa hidup sebagai seorang yatim yang sebenarnya. Saat Barakah datang untuk membawanya ke rumah Abu halib, ia masih tidak kuasa menahan tangis seraya ingin tetap berada di kamar tempat sang kakek meninggal dunia. Siapa saja yang dicintainya di dunia ini, ia harus melawat kepergiannya.... Dan sekarang, sang pamannya yang juga ia cintai sebagaimana kakek dan ayahandanya sendiri telah bercucap, “Aku sudah cukup tua.” Begitu pedih perkataan ini, bagaikan belati ditusukkan ke dalam dadanya. Meskipun demikian, terhadap permintaan sang paman, ia tetap menganggukkan kepala menaatinya. Ia berkeputusan mendatangi rumah Khuwaylid untuk melamar pekerjaan. Sebelumnya, ia berdoa di sisi Kakbah mengarah ke Timur 103 _ Musim Semi agar Allah berkenan mengarahkannya ke jalan yang benar dan semoga dapat kembali dengan berita yang menggembirakan sang paman. Kepedihan yang ia alami sejak kecil telah membesarkan jiwanya sehingga dirinya sering berbicara dengan hatinya. Dari dalam hatinya ia utarakan segalanya kepada Tuhan yang ia imani Esa wujudnya. Ia adalah seorang yang sama sekali tidak ingin menjadi beban bagi orang lain. Tidak ingin dirinya menyakiti orang lain. Tidak ada pula kekuatan dalam dirinya untuk menyakiti orang lain. Karena itulah, sejak kecil, ia telah terbiasa bekerja dan senantiasa berakhlak mulia sehingga tidak seorang pun marah karenanya. Ia selalu membiasakan diri makan bersama yang lain, duduk bersama yang lain, dan tidak pernah berlebih-lebihan. Tidak pernah pula ia menyentuh kesenangan dunia, mabukmabukan, dan pesta-pesta seperti yang dilakukan orangorang seumurannya. Dari urat nadi yang tampak di bawah kelopak matanya, semua orang akan mengira kalau dirinya selalu menangis dalam waktu yang lama. Namun, dalam waktu yang bersamaan, setiap orang akan menjadi terheran-heran saat mendapati senyuman yang selalu menghiasi wajahnya. Tidak pernah ada orang yang mendengarnya bersuara keras. Tidak pernah dirinya berburu dengan menaiki kuda sebagaimana yang dilakukan orang-orang sebayanya. Saat dirinya menjadi penggembala biri-biri di pegunungan, tumbuh-tumbuhan dan hewan yang kesakitan telah menjadi saksi kasih sayangnya. Ia akan merawat hewan yang kesakitan penuh dengan kasih sayang. Orang-orang mengatakan kalau jiwanya mewarisi mendiang buyutnya, 104 Qusay. Saat berhari-hari beruzlah di perbukitan yang tinggi tanpa turun ke lembah, Qusay tetap tenang dan terus berdoa, meski makanan yang ada di telapak tangannya dimangsa burung-burung buas. Ia tetap tenang seraya dengan penuh perasaan kasih sayang membiarkan burungburung itu makan, bahkan sampai melukainya. Orang-orang juga sering mengisahkan kalau dirinya sering membalut kaki kijang yang terluka, mengobati burung-burung yang sayapnya patah, dan bahkan mampu berbicara dengan para serigala. Inilah keanehan seorang Qusay, sebagaimana yang diceritakan banyak orang. Sebagaimana mendiang buyutnya, Muhammad juga sering membelai dan mengobati anak biri-biri yang terluka. Ia sering juga menggendong anak biri-biri yang baru saja lahir. Ah, hari-hari saat menjadi penggembala. Betapa harihari itu adalah hari-hari yang sangat menggembirakan. Sayang, hari-hari itu telah lama tertinggal di belakang. Saat Muhammad muda dalam perjalanan menuju rumah Khuwaylid, sesekali ia memandangi bukit-bukit yang penuh dengan bunga-bungaan berwana ungu yang membentengi Mina. Seolah perbukitan itu memanggil-manggilnya dan mengajaknya untuk bermain di sana. Ia merenungkan indahnya kehidupan menjadi seorang penggembala, jauh dari kerumunan dan keramaian, namun dekat dengan keindahan Sang Pencipta. Kini, ia sudah menginjak usia kedua puluh lima. Membuat senang hati sang pamannya yang ia anggap sebagai ayahandanya sendiri merupakan utang budi baginya. Karena itulah, satu hal yang ia pinta dari Allah adalah lamarannya diterima sebagai karyawan dan dapat segera mengadakan 105 _ Musim Semi perjalanan dagang. Nantinya, ia akan kembali ke rumah pamannya dengan membawa hasil dagang yang halal. Sang kemenakan tahu, rumah sang paman cukup penuh dengan anggota keluarga. Semuanya ditanggung Abu halib seorang diri, yang dibantu kemenakannya yang masih muda belia. Mengapa sang paman akhir-akhir ini sering menyinggung masalah usianya yang telah lanjut? Kembali terbayang olehnya cinta dan kasih sayang Abu halib yang teramat dalam kepadanya. “Duhai Allah, berikanlah kesehatan kepada Pamanku. Berkenanlah Engkau memberikan imbalan yang setimpal atas kebaikannya.” Dengan perenungan seperti itulah ia melangkah ke rumah Khuwaylid. Sesampai di sana, ia disambut penuh penghormatan dan kegembiraan oleh seluruh pembantu yang ada. Sang Tuan Putri sendiri sedang duduk beristirahat di lantai dua. Ibunda seluruh kota Mekah yang terkenal begitu jujur, berhati bersih, dermawan, yang terhormat jiwanya sekaligus bersahaja. Dengan penuh perasaan malu dan hormat, pemuda itu menyapanya. Ia pun berdiri. Setelah menjawab salamnya dengan memberi isyarat anggukkan kepala, Khadijah kemudian mempersilakan dirinya yang datang dengan penuh sopan santun dan ketulusan untuk masuk. “Sebenarnya, seandainya Anda tidak datang ke sini, saya sendiri yang akan datang menemui Paman Anda. Syukurlah, Anda sudah datang lebih dahulu. Beberapa waktu lalu, saudara wanitaku, Asma, telah menceritakan banyak hal tentang kebaikan Anda dan Paman Anda.” 106 Khadijah mengakhiri pembicaraan dengan menyampaikan keadaan kehidupan perdagangan yang sudah tidak keruan. Itu sebabnya ia ingin meminta bantuan kepadanya yang memang masih memiliki hubungan kerabat. Khadijah mengakhiri pembicaraan dengan menyampaikan keadaan kehidupan perdagangan yang sudah tidak keruan. Itu sebabnya ia ingin meminta bantuan kepadanya yang memang masih memiliki hubungan kerabat. Sesaat sebelum kepergiannya, Khadijah menyampaikan kepadanya kalau ‘dirinya masih kerabat baginya’. Tentu saja ucapan seperti itu bukan kalimat sederhana, melainkan bernilai persetujuan dan tanda tangan. Kalimat yang menunjukkan kebutuhannya kepada seorang pembantu, terutama dalam usaha perdagangan. Apalagi, kondisi dalam dunia jual beli itu dalam keadaan serba tidak menentu. Tiada perundingan pada saat itu. Adat di Mekah pada umumnya sudah dimengerti. Wakil dagang akan mendapatkan upah sewajarnya. Lebih dari itu, manakala membawa keuntungan yang besar, wakil dagang juga akan mendapatkan imbalan ekstra atau bonus. 107 Pertemuan K hadijah adalah seorang wanita yang meniti jalannya di antara bentangan kesulitan. Hidup di dunia laki-laki, dengan segala peraturan ditentukan berdasarkan kekuatan, tentu sangat sulit bagi seorang wanita. Namun, Khadijah teguh melintasi segala rintangan itu. Tak peduli dirinya seorang wanita. Tak takut meskipun rintangan itu terlampau keras. Khadijah tidak terpuruk dengan kondisi seperti itu. Ia malah menjadi lebih dewasa di usianya yang masih muda. Bahkan, dirinya sangat tegar untuk melalui segala medan kehidupan, lebih yakin dan kuat dalam setiap langkahnya. Imbasnya, Maisaroh, sang pelayan, juga ikut menjadi kuat seperti tuannya. Bahkan, ia sudah dianggap bukan sekadar pelayan, melainkan saudara yang bisa diajak bicara dan berbagi rahasia. Maisaroh akan ditugaskan menggantikan dirinya mengikuti rombongan dagang. Dia akan bertindak sebagai juru warta untuk setiap kejadian, sekecil apa pun itu. Penugasan langsung dari tuan putrinya itu membuat dirinya sadar kalau tugas kali ini memiliki misi yang sangat penting. “Tidak hanya kepada seluruh kailah dagang! Engkau juga harus memerhatikan dengan saksama pemimpin baru kailah dagang. Dia adalah pemuda muda belia dari kerabat Abdul Muthalib. Aku akan meminta engkau melaporkan segala hal tentang dirinya. Ini sangat penting dan jangan sampai lalai. Di samping itu, engkau juga harus selalu membantunya saat diperlukan.” 108 Maisaroh memang sudah sedemikian dekat dengan Khadijah. Saking dekatnya, ia berani bertatap muka. Ia tidak pernah lupa dengan keseriusan wajah Khadijah saat itu. Dari mimiknya, ia benar-benar ingin mengetahui sosok pemuda itu. “Jangan lupa, dia adalah kerabat kita!” Apakah ini jawabannya. Ya, ini adalah jawabannya.... Setiap jawaban ibarat sebuah pintu. Setiap kali pintu ditutup, pastilah ia akan meninggalkan sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. Di samping sebagai penutup, sebenarnya pintu juga menjadi pembuka. Ia adalah kerabat kita. Semua persiapan telah dilakukan. Kailah dagang Khadijah yang diawasi Maisaroh dan kemenakannya, Hakim bin Hizam, kini telah menemukan pemimpin dagang yang sebenarnya. Dia adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Semua orang telah berkumpul untuk ikut melepas kepergian rombongan dagang itu. Teriring pula bacaanbacaan doa dan puisi. Para wanita yang menyaksikan upacara dari jendela-jendela rumah mereka melambai-lambaikan tangan. Rombongan beranjak pergi dengan menaiki kuda, keledai, dan unta. Mereka juga tak luput menaburkan bunga-bungaan dan daun kurma kering dari atas jendela. Para pengemis yang sengaja datang dari Madinah dan haif, khusus untuk hari-hari seperti ini, tidak henti-hentinya memanjatkan doa dengan suara yang paling lantang. Tanpa peduli, mereka terus menerjang ke arah rombongan sembari meminta sedekah. Mereka tidak mau menerima makanan 109 _ Pertemuan dan roti yang dilemparkan dari atas unta. Yang dipinta hanya satu: uang. Setiap kali rombongan menempuh perjalanan sepanjang lima puluh meter, sekerumunan orang akan bersoraksorai, diikuti lambaian para wanita seraya memberi salam, melawat kepergian mereka. Tidak hanya itu, di sana juga dibuat gunungan setinggi manusia yang dihiasi beraneka macam warna bunga, daun nanas dan kurma kering, bulu, serta tanduk kambing atau rusa. Gunungan ini kadang juga dibentuk menyerupai hewan yang difungsikan untuk melepas kepergian para kailah. Namun, hiasan-hiasan inilah yang selalu menjadi jarahan anak-anak. Suasana seperti ini yang selalu membuat seluruh kota menjadi riang gembira dalam seketika. Lain halnya dengan putri Khuwaylid. Ia hanya duduk tenang di balkon bersama dengan para tamu wanita. Saat rombongan yang menunggang kuda, unta, dan keledai melewati samping balkon tempat dirinya duduk, kailah dagang ini memberi salam kepadanya dengan mengibarkan bendera-bendera rombongan. Terhadap salam yang mereka sampaikan ini, Tuan Putri justru sedang mencari seseorang di tengahtengah kerumunan rombongan yang sebentar lagi akan menyeberangi jembatan. Ya, ia sedang mencari seorang pemuda dari kerabatnya. Dalam sapuan pandangannya, ia menemukan seorang pemuda itu bersinar bagaikan kilau perak di antara kerumunan ratusan orang. 110 Saat itulah hatinya berdebar-debar dalam seketika. Sungguh, kilaun cahaya yang terpancar dari dalam diri pemuda itu telah membawa Khadijah pada kesyahduan, kegembiraan tersendiri. Seolah kilau cahaya itu telah menjadi awan dan terbang memayungi atap rumahnya. Demikianlah, suasana hatinya menjadi teduh, tenang dalam seketika. Ia mendapati awan bergerak memayungi seorang pemuda dari kerabatnya. Dua orang malaikat selalu mengiringi jalannya. Ya, pemuda itu berada di sana. Saat itulah hatinya berdebar-debar dalam seketika. Sungguh, kilaun cahaya yang terpancar dari dalam diri pemuda itu telah membawa Khadijah pada kesyahduan, kegembiraan tersendiri. Seolah kilau cahaya itu telah menjadi awan dan terbang memayungi atap rumahnya. Demikianlah, suasana hatinya menjadi teduh, tenang dalam seketika. Ia mendapati awan bergerak memayungi seorang pemuda dari kerabatnya. Dua orang malaikat selalu mengiringi jalannya. 111 _ Pertemuan Sungguh, pemandangan seperti ini telah memberikan suasana nurani tersendiri dalam hatinya sehingga dirinya terbuai ke dalam atmosfer maknawiyah yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Suasana seperti ini juga tidak hanya terjadi sekali, melainkan setiap kali pemuda itu hendak mengadakan perjalanan jauh maupun pada saat kembali. Benarkah awan yang terbang itu hanya ilusi dari hatinya yang berdebar-debar? Ataukah awan itu merupakan wujud kasih dan sayang Ilahi? Mungkinkah awan itu merupakan lintasan isi hati sebelum ia terungkap ke dalam kata-kata? Ataukah awan itu merupakan sebuah lukisan yang disaput oleh kuas yang bernama cinta? Mungkinkah ini nikmat yang telah dilimpahkan Allah kepadanya? Ataukah ia merupakan lintasan cahaya yang terpancar dari wajah Muhammad sebagai pertanda kekasih Tuhannya? Benarkah awan itu mimpi yang pernah Khadijah jumpai sebelumnya? Ataukah hanya ilusi dari ungkapan doa yang dipanjatkannya dengan ketulusan hati penuh cinta? Apakah awan itu merupakan lantunan doa dari seorang wanita yang sedang jatuh cinta? Ataukah ibarat sebuah selimut yang akan dikerudungkan untuk kekasihnya dan merupakan titah cinta saat hendak menjadi wujud nyata dari sedikit percikan samudera cinta dan kasih sayang-Nya? Mungkinkah awan itu merupakan cinderamata yang akan mengikat isi hatinya kepada seorang kekasih yang dirindukannya atau mahkota hatinya? Meski tidak seorang pun memerhatikan. 112 Meski tiada yang peduli terhadap apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun telah disaksikannya dengan saksama. Barulah kemudian ia sadar tentang suatu hal. Jiwanya menjadi tenteram bagaikan genangan air yang tenang dalam seketika. Ketenangan yang sesekali menimbulkan riak kecil oleh embusan angin sepoi pada permukaan air. Ketenangan yang menimbulkan kesyahduan, keheningan di dalam jiwanya. Khadijah menyadari ini semua…. Saat itulah suasana hatinya menjadi begitu riang dan tak dapat diungkapkan kata-kata. Inikah tabir mimpi yang pernah ia jumpai berturut-turut dalam beberapa hari sebelumnya? Khadijah terkenal tangguh dan memiliki jiwa yang matang sehingga mampu melewati setiap rintangan yang menerpanya di setiap masa. Hal tersebut telah umum diketahui. Namun, bagi seorang wanita, pengetahuan umum tentang dirinya yang seperti itu bisa menjadi menjadi bumerang. Menjadi tersohor atau terkenal memaksa seseorang membungkam dirinya dalam kehidupan pribadi yang lebih kecil. Status yang biasa-biasa akan membuat kehidupan wanita lebih mudah. Seandainya saja kaum wanita tidak memberikan apa yang tersimpan di dalam dirinya kepada umum, niscaya sejarah kehidupan akan berlangsung dengan lebih mudah. Keseriusan seorang wanita akan jauh lebih mempermudah pemahaman setiap laki-laki kalau dirinya tidak bermasalah. Sepanjang wanita dapat setia dengan kewanitaannya, sepanjang itu pula dirinya akan mendapatkan penghormatan dan kemudahan. Kepribadian 113 _ Pertemuan Khadijah yang kuat bagaikan perisai baja yang melindungi dirinya. Namun, entah bagaimana keadaannya saat dirinya mengenali pemuda dari kerabatnya itu? Susunan masyarakat yang menganut garis keturunan ayah. Pernahkah dirinya menuliskan di dalam buku hariannya beberapa hal untuk ia yakinkan sendiri di dalam jiwanya seperti: • • • • • • • • • • • • • • • 114 Aku harus segera memperbaiki diri. Aku bukan seorang anak kecil lagi. Umurku sudah kepala tiga. Aku harus menutup diri agar rahasia hatiku tidak terbuka. Apakah putaran yang membuat pusing kepala itu akan ada lagi? Kalau bukan cahaya yang terbaca dari dahi, atau awanawan yang terbang di atas kepala, apa lagi? Mimpi-mimpi, kejadian alam, angin, khayalan, dan masih banyak lagi? Bukan seperti itu. Aku lelah beberapa hari ini. Aku susah tidur sekarang-sekarang ini. Aku juga tidak memerhatikan apa yang kumakan. Kelaparan. Bukan, bukan, semua itu karena bumbu-bumbu yang terlintas di kepalaku. Bukan-bukan, semua itu karena dupa-dupa yang dibakar Maisaroh. Karena udara… • • • • • Karena panas... Karena dingin... Menurutku seperti itu. Bukan, bukan. Aku tahu penyebabnya: itu semua karena Waraqah yang selalu memengaruhi pikiranku. “Berapa lama lagi mereka akan kembali dari Syam?” ucapnya ketika rombongan baru saja melewati depan rumahnya. Bertanya pada dirinya sendiri, menjawab pertanyaannya sendiri. Mereka tidak akan kembali dalam waktu tiga bulan. Oh Tuhanku! Seakan Gunung Arafat hancur di atas tubuhnya. Tiga bulan? Matanya berkaca-kaca, terkejut. Sekarang apa yang harus dia lakukan? Bagi Khadijah, sembilan puluh hari yang merupakan waktu kembalinya ‘anak paman’ merupakan kegembiraan sekaligus kesedihan, penuh dengan kegelapan dan keputusasaan, melewati sebuah musim yang sulit. Hari-hari berikutnya, meskipun tidak berkata apa-apa tentang sembilan puluh hari itu, di atas atap yang berlantai dua matanya menatap cahaya. Banyak orang berbicara tentang syair-syair yang dia baca untuk orang yang menunggu seseorang yang sedang dalam perjalanan. Mereka tak berbicara lebih dari itu, tidak lebih dari itu. Orang yang dia tunggu merupakan sosok terhormat dan dicintai. Karena itu, syair-syairnya selalu terbungkus dengan kebanggaan dan kehormatan. 115 _ Pertemuan Membungkus atau terbungkus? Yang pasti, apa yang telah Penulis Kehidupan putuskan, itulah jawabannya, baik terbungkus atau tidak terbungkus dalam waktu yang sama menurut kita. Tiga puluh hari pertama, Khadijah merupakan perempuan yang ditemukan dalam keadaan kedinginan di antara perempuan di seluruh dunia. 116 Merindukan Mimpi K hadijah merasakan tubuhnya kedinginan. Ia menginginkan selimut agar tubuhnya menjadi hangat. Entah mengapa dirinya mengigil dalam seketika. Hal apakah yang telah membuatnya demikian? Mungkinkah karena gejolak di dalam hatinya? Gejolak akan perasaan ingin mencintai dan dicintai. Hal inilah yang selalu membuatnya berada dalam dilema. Sebuah dilema yang menghunjam hatinya di saat-saat dirinya belum siap. Memang, selama bertahun-tahun berbagai rintangan sulit telah ia lalui dengan ketangguhan kepribadiannya. Ketangguhan inilah yang telah membuat semua orang menyebutnya sebagai ‘ahli kepedihan’. Ya, tidak salah apa yang dikatakan orang tentang dirinya. Kekokohan jiwa dalam kehidupan padang pasir yang menyuguhkan berbagai rintangan yang hanya akan mungkin dilalui oleh para lelaki yang kuat dan cerdik sungguh merupakan kepiawaian tersendiri yang memiliki banyak arti. Dengan kekokohan itulah dirinya tidak membutuhkan wali, tidak pula sandaran hidup. Hal itu hanya mungkin dicapai oleh para wanita yang mampu mengatasi semua pekerjaan dan permasalahannya sendiri. Di sisi yang lain, kekokohan jiwa merupakan predikat bagi wanita yang telah mencapai usia dewasa. Bayangkan, mulai dari ayah, suami, dan anak-anaknya telah meninggalkannya di medan pertempuran satu demi satu. Seolah-olah, berkabung adalah pakaian yang khas bagi para wanita. 117 _ Merindukan Mimpi Sebagaimana kehormatan, “kepedihan” juga telah menjadi citra yang ditinggalkan seorang wanita. Semakin banyak anggota keluarga yang meninggalkan seorang wanita, semakin lama hari-hari berkabungnya, menjadi semakin terhormat dan mulia dan memiliki hak untuk berada di dunia para lelaki. Sebagian wanita yang menyandang pakaian “berkabung” ini telah mencapai usia yang sudah tidak lagi muda. Mereka telah mencapai usia tua yang rentan dengan sakit-sakitan. Masa-masa yang penuh kesulitan juga diyakini oleh orangorang Mekah sebagai suatu tataran mencapai kehormatan tersendiri. Kehormatan menjadi seorang yang perkataannya mulai didengarkan, mulai dipercaya. Seseorang yang sudah mulai keluar dari dunia kewanitaannya dan mendapatkan kekuatan sebagaimana kaum lelaki. Ya, agar dapat memasuki dan dianggap memiliki kekuatan sebagaimana kaum lakilaki, seorang wanita harus berjuang. Perjuangan yang akan menambatkan ikatan pada dahinya yang menjadi simbol dan perolehan hak untuk unjuk bicara. Sementara itu, di samping memiliki kesemua fungsi itu, ikatan “berkabung” yang melilit di dahi Khadijah juga merupakan benteng yang melindungi dirinya. Meski sebagai seorang wanita yang mampu dan telah memasuki masa untuk menikah, dengan kata-katanya sendiri masamasa itu ia tutup rapat-rapat. Inilah benteng bagi dirinya, bagaikan hak imunitas dari wilayah hukum. Seperti tameng, perisai, dan juga mahkota baginya. Dengan perisai ini, ia bagai seorang ratu yang terhindar dari semua yang akan mendekatinya, baik sengaja maupun tidak. Namun, serangkaian peristiwa yang ia alami dalam masamasa akhir ini seolah-olah seperti tangan tersembunyi yang 118 tiba-tiba mengangkat perisai itu. Bagai jubah tebal pelindung yang terlepas sehingga dirinya kedinginan. Mungkin hal ini terjadi karena ia tiba-tiba menyadarinya. Dan apa yang ia sadari itu tentu saja tidak hanya sebatas lawan bicara atau kedatangan seseorang yang ia tunggutunggu dari perantauan. Bahkan, Khadijah juga mendapati dirinya pada cermin lawan bicaranya. Oleh karena itulah ia menggigil dalam seketika. Ia telah menjumpai perasaan cinta dan wajah yang sepertinya tidak asing baginya saat pemuda itu duduk di ruangannya. Sejak saat itulah perpisahan dan bentangan jarak yang memisahkan seolah telah sirna dalam seketika. Khadijah ingin tidur. Ia ingin segera tertidur dan terbungkus selimut yang tebal. Ia ingin menenangkan gejolak hatinya yang hampir saja memudarkan sikap yang selama ini ia pegang. Ia ingin segera tidur, minimal sampai semuanya kembali seperti sedia kala. Ya, Khadijah memahami kalau dirinya juga dicintai. Saat menyadari kalau dirinya dicintai, sungguh betapa sulit sekali hal baru ini. Ia merasakan bahwa jarak dan bentangan waktu yang selama ini bagaikan dinding pembatas telah begitu dekat adanya. Sungguh, menantikan sang kekasih telah menjadikan dirinya menggigil. Dan setiap kali merasa kedinginan, ia selalu ingin diselimuti. Sebenarnya, satu-satunya hal yang dapat menghangatkannya dari rasa dingin itu hanyalah kedekatan. Meskipun setiap kedekatan sebenarnya merupakan jarak 119 _ Merindukan Mimpi yang terbentang di antara dirinya dan kekasihnya. Meskipun setiap kedekatan sebenarnya tak ubahnya sebuah jarak bagi dirinya. Kini, ia berada di lantai dasar. Dalam ruangan yang menurut ilmu aritmetika adalah bilangan yang menyimpan rahasia. Bilangan ‘nol’. Bilangan di antara ada dan tiada. Ruangan yang terletak di dasar pertemuan antara garis vertikal dan horizontal. Keberadaannya di titik pertemuan inilah yang membuatnya menjadi semakin menggigil karena pada titik itu terentang jarak dari berbagai penjuru. Ya, Khadijah berada di kejauhan. Jarak yang seolah telah menghempaskannya dari surga menuju dunia. Jarak yang menjadikan isi hatinya bercampur antara takut dan tidak pasti. Perasaan yang membuatnya gugup, bingung. Bagai dalam kilatan akibat pergesekan saat langit bertitah untuk menyentuh bumi. Bagai percikan saat batu dijatuhkan ke dalam genangan air. Bagai setarik napas sebelum keluar kalimat pertama yang memecah kebisuan. Ia masih menggigil. Seolah semua perasaan yang ia alami semenjak dilahirkan kini berkumpul dalam satu hati. Seolah ia bangkit dalam kekagetan kiamat yang menyentakkan. Seolah sang malaikat penjaga hari kiamat telah meniup sangkakalanya sehingga semua yang ada di hatinya bangkit dalam seketika. 120 Seperti mendesirnya perasaan saat apa yang terbenam kembali muncul di permukaan. Seperti fatamorgana yang kembali membara saat hamparan padang pasir kembali menganga. Seperti sumur tua yang kembali memancarkan mata airnya setelah menggering dan ditinggalkan pergi selama bertahun-tahun. Keadaan seperti inilah yang menjadikan sekujur tubuhnya menggigil bagai terjangkit malaria. Ia kini merasakan seisi hatinya terkuak kembali oleh sebuah kekuatan yang tidak dimengerti wujudnya. Seolah sia-sialah segala daya dan upayanya untuk mengurai perasaan kesepian dan jarak yang membentangkannya. Bahkan, status sosial maupun keluasan jaringan sama sekali tidak bernilai apa-apa. Tidak pula tanggung jawab besar yang selama ini dipikulnya... tidak pula usaha dagang yang selama ini ia geluti. Keadaan seperti inilah yang menjadikan sekujur tubuhnya menggigil bagai terjangkit malaria. Ia kini merasakan seisi hatinya terkuak kembali oleh sebuah kekuatan yang tidak dimengerti wujudnya. Seolah siasialah segala daya dan upayanya untuk mengurai perasaan kesepian dan jarak yang membentangkannya. 121 _ Merindukan Mimpi Tidak ada satu pun yang bisa menenangkan gejolak di hatinya. Bagai kepedihan seorang ibu yang hendak melahirkan sesuatu dari dalam jiwanya, seolah dirinya terasa dibelah menjadi dua. Dan dalam keadaan yang seperti itu, ia masih tercengang tak sadarkan diri. Seolah perisai ‘keteguhan jiwa’ sudah tidak lagi mampu membentenginya. 122 Rahasia Mim ( ) K hadijah kembali harus berani melewatkan tiga puluh hari kedua yang memisahkan dirinya. Ia menemukan dirinya seolah dalam dunia aksara. Semua tentang dirinya ia dapati terangkum ke dalam satu huruf. Mim, namanya. Sebuah kata kunci, rumus, sandi, dan juga tanda tangan. Mim! Jika dilihat dari luar, ia memang masih aktif dengan kesibukan sehari-hari. Namun, apa yang bergejolak di dalam hatinya hanya satu, rahasia huruf mim. Sebuah huruf yang seolah ia tulis dengan sebatang lidi di atas permukaan pasir. Huruf yang tergores di dalam hatinya dengan tinta darah yang menetes dari bekas luka di jarinya. Sebuah huruf yang yang seolah tampak dalam bayangan di permukaan jus kurma yang mencair. Bunyi yang selalu dihafalkan oleh burung beo piaraannya. Suara gemeretak dari biji-bijian yang terjatuh dari dahan yang ia dengar saat berjemur di bawah panas mentari. Goresan yang tertera dalam cermin manakala ditiupkan udara panas di permukaannya. Huruf itu! Dan lagi, huruf itu. Seantero jagad, baik di bumi maupun langit, penuh dengan huruf itu. Mim... mim.... Dan kini, ia tidak mampu lagi mengucapkan nama sang kekasihnya. Tidak mungkin terucap penuh satu kata “Muhammad” dari mulutnya. 123 _ Rahasia Mim Seolah dirinya merasakan tubuhnya akan terbelah menjadi dua dalam guncangan gempa bilamana nama itu terucap dari bibirnya. Seolah seluruh bahasa di dunia akan kehilangan kata-kata, membisu terpaku sembari memandang dengan kosong. Sungguh, sedemikian nama itu menyimpan rahasia dan kekuatan sehingga ia tidak ingin kecolongan menyebutnya agar tidak terbongkar semuanya. Karena itulah ia selalu menggenggamnya erat-erat sebagai sebuah kunci rahasia. Singkatnya, ia hanya menyebut kekasihnya dengan huruf depannya saja: mim. Sedemikian luar biasanya huruf itu, hingga seandainya seluruh kata dari seluruh bahasa yang ada di dunia ini hilang dalam seketika, cukuplah huruf itu untuk mengungkapkan segala-galanya. Sebab, ia adalah isyarat layaknya titah pertama oleh Zat Yang Maha Mencipta. Semuanya diturunkan oleh huruf ‘mim’ ini dalam pandangan Khadijah. Ya, ia tak kuasa mengucapkan nama sang kekasih. Namun, ia selalu memuliakan siapa saja yang menyebutnya. Setiap orang yang menyinggung tentang dirinya, ia hormati seolah seperti kerabatnya sendiri. Bagi Khadijah, kini segala benda telah menuliskan huruf “mim”. Setiap benih bunga mawar yang ia tanam di taman, setiap anak biri-biri yang baru saja lahir di peternakannya, burung-burung yang sering hinggap di pekarangannya, ikanikan yang ada di kolam taman rumahnya, di sisirnya yang terbuat dari gading, di cincinya yang terbuat dari permata, di penanya, hingga pada air susu yang ia minum, madu yang ada di sarang, bintang-bintang di angkasa sana, bulan, dan mentari, semuanya berucap “mim” kepadanya. 124 Seluruh makhluk di jagad raya ini seolah telah menjadi seperti dirinya. Merindu, haus akan air segar ‘mim’... Bagi Khadijah, “mim” adalah oksigen, sekaligus air minumnya. Demikian pula saat menantikan kedatangan seorang pemuda yang melakukan perjalanan dagang dari tempat yang sangat jauh. Ia menuliskan huruf “mim” di udara. Seolaholah garis-garis di udara tampak seperti sebuah rerimbunan pulau yang menghijau. Bagai mentari atau bintang-bintang di angkasa; seperti rahasia yang kemudian menggambarkan mata kekasihnya. Demikian pula saat menantikan kedatangan seorang pemuda yang melakukan perjalanan dagang dari tempat yang sangat jauh. Ia menuliskan huruf “mim” di udara. Seolah-olah garis-garis di udara tampak seperti sebuah rerimbunan pulau yang menghijau. Bagai mentari atau bintang-bintang di angkasa; seperti rahasia yang kemudian menggambarkan mata kekasihnya. 125 _ Rahasia Mim Ya, “mim” adalah sebuah mata yang kini telah menjadi matanya. Mata sang kekasih yang meneteskan air mata, mengalir, membasahi pipi, hingga membentuk garis hurufnya. Air mata yang seakan-akan mengalir dari langit telah menetes, membasahi belahan jiwanya. Demikianlah saat ia berucap “mim”, ketika kedua bibirnya menutup rapat, seakan-akan udara yang ada dalam rongga mulutnya telah meniupkan cinta ke dalam hatinya. Ya, seperti tersedak saat menghirup udara yang terkumpul dalam huruf “mim”. Seolah-olah sekujur tubuhnya menjadi cair olehnya. Tertegun dalam jiwa yang penuh ketundukan. Seakan-akan, saat berucap “Mim”, tiba-tiba ruhnya terbang membubung hingga ke angkasa. 126 Penantian T ubuh Khadijah seakan-akan telah membatu, menantikannya di jalan. Menurut berita yang disampaikan para pembantunya, kailah dagang akan sampai di Mekah satu hari lagi. Atas berita itu, Khadijah semakin tidak sabar menanti. Segera ia kirim utusan yang terdiri atas beberapa orang penunggang kuda untuk menjemput mereka. Khadijah menunggu di balkon lantai atas rumahnya. Ia terus menatap ke kejauhan, berharap segera datang seseorang yang telah lama dinantikan. Meski di balkon ada para tamu wanita, saling ribut memperbincangkan panasnya cuaca, Khadijah hanya termangu. Pelayannya sesekali menggoyangkan kipas yang terbuat dari bambu untuk menyejukkan ruangan. Para tamu semakin asyik menikmati kesegaran beraneka macam buah-buahan, seperti anggur segar yang baru saja dipetik, jus kurma dingin, nanas yang berbau harum seperti misik, dan pisang yang menguning bagaikan emas. Semuanya serbasegar dan masih dalam tandannya. Belum lagi berbagai macam kacang-kacangan sebagai penambah riang suasana. Seolah-olah perjamuan ini merupakan pesta tahap awal sebelum kedatangan hari bahagia yang dinantikan. Hari ketika kailah dagang datang dengan cerita dan hasil dagangannya. Namun, siapa yang tahu kalau semua itu ternyata 127 _ Penantian Khadijah menunggu di balkon lantai atas rumahnya. Ia terus menatap ke kejauhan, berharap segera datang seseorang yang telah lama dinantikan. semakin membuat sang tuan rumah terpaku dengan anganangannya. Ia masih tegang. Mengkhawatirkan kailah yang dikabarkan akan segera datang. Entahlah. Mungkin saja dirinya merasa resah dengan para tamu yang bermanja dengan berbagai macam hidangan, sementara kailah yang ditunggu-tunggunya masih berada dalam perjalanan di bawah terik mentari yang menyengat. “Tidak...,” katanya tiba-tiba menyuruh pembantunya agar berhenti mengipasi dirinya seraya memberi isyarat dengan menampikkan tangan. Kipas pun terhenti dalam seketika. Dengan perlahan dan sembunyi-sembunyi, Khadijah menyendiri dari keramaian. Bahkan, tanpa sadar, tangannya terlihat meremas kuatkuat. Seandainya dirinya memiliki sayap, pastilah ia akan terbang secepat-cepatnya. Namun, semuanya seakan-akan telah membuat Khadijah terpaku. Waktu tidak juga kunjung berlalu. Ia merasa seluruh hamparan pasir yang tersebar di padang sahara telah menjadi jam pasir yang tidak akan pernah ada habis-habisnya meneteskan pasir. Mendapati keadaannya yang seperti itu, para tamu pun mendekatinya untuk menanyakan apa gerangan yang 128 membuatnya terus tertegun. Khadijah tampak gugup. Dari mululutnya seolah-olah akan terucap sebuah huruf yang mengawali sebuah kata, “mim”. Namun, tidak lama kemudian, dirinya kembali tersadar. Ia segera berupaya berbenah diri sambil berkata, “Maisaroh.... Maksudku… Maisaroh.” Ya, bukankah nama seseorang yang sedang ia nantinantikan juga berawal dengan huruf yang sama? “Aku sangat merindukan Maisaroh. Sudah lama aku tidak bisa tidur dengan tenang tanpa ada dirinya.” Namun, benarkah seorang Maisaroh yang dirindukannya? Bukankah orang-orang dulu sering berkata bahwa teman tempat berbagi rahasia juga merupakan kenangan dari sang kekasih. Terutama dalam masa tiga bulan terakhir ini, Khadijah semakin merasakan kedekatan dengan pembantunya, Maisaroh. Kepadanyalah kekasihnya diamanahkan. Dalam seketika, terbayanglah wajahnya. Maisaroh yang periang, suka tersenyum, cerdas, dan cepat tanggap dengan apa yang dimaksudkan Tuan Putrinya. Ah, Maisaroh... segeralah datang dan segeralah engkau wartakan kisah-kisah sepanjang perjalanan. Kailah yang sebentar lagi akan sampai ke tanah Mekah pun merasakan kegirangan yang tiada tara. Mereka semakin tidak sabar untuk segera memacu kuda dan mempercepat langkah agar sesegera mungkin sampai di tanah Mekah. 129 _ Penantian Apalagi, kali ini mereka kembali dengan keuntungan yang lumayan, bahkan melebihi dari yang diharapkan. Singkatnya, kali ini mereka pulang dengan penuh keberhasilan dan segudang kisah yang ingin segera diceritakan. Sebagaimana adat yang selama itu dilakukan oleh penduduk Mekah, kailah akan dijemput para penunggang kuda. Pemimpin kailah akan kembali lebih cepat bersama dengan rombongan penjemput tersebut. Kailah kali ini dipimpin kemenakan Abu halib, seorang pemimpin yang telah membawa kailahnya meraih prestasi gemilang. Kini, rombongan penjemput telah membawa pemimpin kailah tersebut ke dalam barisannya. Ia juga ingin segera sampai ke Mekah untuk segera mengunjungi rumah Khadijah binti Khuwaylid. Para penunggang kuda bersama dengan pemimpin kailah dagang berpamitan dengan Maisaroh dan berjanji akan kembali bertemu sesampainya di Mekah. Dengan berita baik yang dibawanya, mereka memacu kudanya sangat kencang agar dapat sesegera mungkin sampai ke Mekah. Kepulan debu-debu padang pasir akibat terpaan langkah-langkah kuda dan empasan angin yang bertiup kencang tidak dihiraukan rombongan para penjemput. Mereka sudah tak sabar dan akan kembali dengan membawa hadiah yang sangat berharga bagi para penduduk Mekah, seorang pemimpin kailah yang telah berhasil memimpin rombongan dagang meraih banyak keuntungan. Dialah cucu dari raja kailah Syam, Abdul Muthalib, yaitu Muhammad! Para penjemput telah membawa Muhammad di antara barisan kuda mereka. Satu kuda terus dipacu di depan rombongan sebagai penunjuk jalan dan diikuti tiga 130 penunggang kuda lain. Di tengah-tengah ketiga penunggang kuda tersebut terdapat pemimpin kailah. Di belakangnya lagi ada dua penunggang kuda sebagai penjaga. Sementara itu, di barisan paling belakang terdapat satu penunggang kuda yang berfungsi sebagai pengamat keadaan. Lengkap tujuh orang penunggang kuda. Saat mereka mulai memasuki suatu lembah di sekitar dataran tinggi Mekah, setelah melewati area luas tempat pemeliharaan unta-unta milik warga, para penduduk yang telah lama menantikan langsung tahu setelah melihat kepulan debu dalam barisan penunggang kuda yang membentuk bangun segi tiga. Rombongan penunggang kuda itu terus melaju dengan kencang bagai awan hujan yang datang dengan membawa keberkahan dan kebahagiaan. Seluruh penduduk pun bermandikan kegembiraan dalam seketika. Tiba-tiba, muncul suatu kejadian yang tampak aneh. Seorang penunggang kuda yang berada di barisan kedua memisahkan diri dari rombongan. Ia terlihat memacu kudanya ke arah Timur, menuju ke kediaman Khadijah binti Khuwaylid. Tidak lama kemudian, sang tuan rumah yang telah lama menantikan kedatangan tamunya sembari bersandar pada Dalam seketika, Khadijah menjadi gugup. Hatinya berdebar-debar. Air matanya hendak berlinang. 131 _ Penantian dipan kayu di lantai dua rumah segera tahu karena kepulan debu dari kejauhan sudah terlihat. Pandangan kedua matanya dengan cepat menangkap kemilau cahaya yang seolah-olah terpancar dari benda yang terbuat dari perak. Inilah wajah sang penunggang kuda itu. Seorang penunggang kuda dengan awan yang selalu mengikuti untuk memayungi kemuliaannya. Dalam seketika, Khadijah menjadi gugup. Hatinya berdebar-debar. Air matanya hendak berlinang. Benar, pemandangan yang disaksikannya pada waktu itu sama dengan apa yang telah diharapkan sebelumnya. Perasaan cintanya telah menangkap adanya dua burung yang terbang bagai kepakan sayap kedua malaikat yang selalu mengiringi lajunya. Seorang penunggang kuda yang sejak lama telah menjadi mahkota belahan jiwanya. Ya, mahkota belahan jiwanya. Sang kesatria penunggang kuda itu terus memacu kudanya dengan kencang tanpa menghiraukan kepulan debu-debu yang beterbangan untuk segera sampai di rumah Khadijah. Sesampai di dekat rumah, sang penungggang kuda melambaikan tangan untuk memberikan salam seraya memasuki gang dan kemudian memasuki rumah Khadijah dari pintu belakang. Tentu saja para pembantu, tukang kebun, dan penjaga pintu gerbang dibuat kaget dengan kedatangannya itu. Mereka berlarian bingung bercampur gembira dengan apa yang baru saja terjadi. Segera kesatria itu turun dan memberi salam kepada semua orang yang ada dan segera menambatkan kudanya. Tanpa berbicara dengan siapa pun, ia langsung melangkahkan kaki dengan cepat menuju ke dalam rumah. 132 Langkah yang sebelumnya terayun dengan perasaan malu, mungkin dengan berita gembira yang dibawa dari usaha perdagangannya, telah membuatnya berani untuk masuk menuju tangga ke lantai atas rumah. Segera ia menuju ke tempat kerja sang tuan rumah. Pintu ruang kerja kebetulan terbuka. Sang Tuan Putri juga tampak sudah menunggunya. Ia menunjukkan suasana gembira karena telah mengetahui keberhasilan kailah dagangnya. Tanpa segan, Khadijah menyampaikan rasa terima kasih dan mempersilakan sang tamu untuk duduk sejenak. Namun, entah karena sang tamu menyadari isyarat yang telah diberikan, terlihat Tuan Putri penuh penghormatan dan kebanggaan menyambutnya, meski dalam waktu yang sama dirinya terlihat hanya tertunduk menatap ke depan. Tidak mungkin ia berani sedikit pun melihat wajah sang tamu. Itu karena jiwanya sebagai wanita, terlebih jiwanya sebagai seorang Khadijah, telah memerintahkan demikian. Ia hanya memberikan isyarat sebagai bentuk ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya, sebagai ungkapan keinginannya untuk membalas semua prestasinya dengan kebaikan yang sebesar-besarnya. “Anda baru tiba dari perjalanan panjang dan pasti lelah. Silakan jika hendak beristirahat terlebih dahulu.” Demikian ungkapan yang terucap dari isyarat- isyarat yang ia berikan kepada sang tamu. Sang tamu pun tanpa kesulitan langsung memahami apa yang dimaksud Tuan Putri. Dengan pengungkapan yang sama, ia kemudian menginginkan undur diri. Kemungkinan, di dalam hati sang tamu ada perasaan yang sama. Ia juga ingin segera bertemu dengan sang paman untuk segera 133 _ Penantian menyampaikan berita gembira yang telah dibawanya. Ia ingin sekali untuk segera mencium tangannya agar dapat segera melihat kegembiraan pamannya yang memang menjadi tujuan utamanya. Baru setelah menjelang malam seluruh kailah dapat memasuki kota Mekah. Jalanan dipenuhi anak-anak dan pemuda yang berlarian ke sana kemari, bersorak sorai, menyambut kedatangan mereka dengan penuh kegembiraan. Diiringi bunyi-bunyian terompet, rebana, genderang, dan juga hujan bunga-bungaan, kailah semakin mendekat ke Ia hanya memberikan isyarat sebagai bentuk ucapan terima kasih yang setinggitingginya, sebagai ungkapan keinginannya untuk membalas semua prestasinya dengan kebaikan yang sebesar-besarnya. rumah Khadijah. Sebagian dari kailah segera menambatkan kuda, unta, dan keledai seraya menurunkan barangbarang yang dibawanya untuk segera beristirahat di tempat peristirahatan yang telah disediakan. Sebagian lagi ada yang kemudian berhamburan ke tempat-tempat penginapan terdekat untuk ikut berbagi kebahagiaan dengan para pengusaha penginapan di sekitarnya, setelah sebelumnya bendahara kailah mengumpulkan para pembantu kailah, seperti juru masak, kuli barang, pendiri tenda, tukang cuci 134 pakaian, pengurus hewan, penunjuk jalan, dan petugas keamanan untuk segera membagikan bagian dari jasa mereka selama mengikuti kailah dagang. Setelah waktu menginjak tengah malam, setelah keramaian kegembiraan para kailah telah meredam, Maisaroh pun bersiap tidur di atas matras yang terbuat dari bulu-buluan burung yang digelar di atas lantai di samping pintu kamar Khadijah. 135 Pernikahan D i hari yang penuh kegembiraan. Tempat tinggal Khuwaylid yang sudah sangat tua itu bersinar seperti cahaya lilin di malam hari. Obor dan lilin-lilin menghiasi halaman sampai atap rumah. Tempat tinggal Khadijah layaknya sebuah istana kristal. Saudara-saudara wanita dekatnya memenuhi halaman bagian dalam rumah. Mereka datang dengan tangan penuh hadiah ke tempat pernikahan. Dengan panduan Maisaroh, tamu-tamu wanita dipersilahkan menuju ke balkon yang luas di lantai dua. Sementara itu, para wanita yang bertugas untuk membantu pernikahan dibawa ke halaman dapur. Mereka menyiapkan persiapan terakhir dengan penuh kegembiraan. Ini merupakan upacara yang penting. Tidak boleh ada satu kekurangan pun. Di bagian dalam halaman rumah terdapat ruangan yang disediakan khusus untuk tamu laki-laki. Kebanyakan para tamu memakai pakaian formal. Jika orang-orang dari luar melihatnya, mereka akan tahu bahwa para tamu itu adalah pemimpin-pemimpin terhormat di Mekah. Yang tidak mengetahui akan menganggap mereka berkumpul untuk menandatangani perjanjian perdamaian. Bahkan, beberapa tamu laki-laki, karena datang dengan menampilkan wajah serius ketika menitipkan pedang di pintu masuk tempat pernikahan, mereka terlihat seakan-akan sebagai prajurit yang datang untuk menaklukkan benteng dengan paksa. 136 Seperti tamu dari pihak wanita, tamu dari pihak laki-laki pun datang ke tempat pernikahan dengan membawa hadiah dan jamuan. Abu halib dan Waraqah adalah dua leluhur yang wajahnya bersinar penuh dengan kegembiraan. Hati mereka penuh dengan kedamaian di hari pernikahan ini. Anak yatim Mekah dengan mutiara Mekah. Laki-laki tepercaya Mekah dengan wanita tersuci Mekah. Dan sebentar lagi akan ada pernikahan antara huruf “Kha” dan huruf “Mim”. Amru bin Asad adalah paman dari pihak pengantin wanita yang bisa dibilang orang tertua di penjuru Mekah. Dia dirias kedua keponakannya, Halah dan Khadijah. Rambut dan jenggotnya disisir dengan batu yakut dan di punggungnya terdapat hiasan yang memperlihatkannya seperti raja padang pasir. Paman Khadijah sangat gembira atas pernikahan ini. Namun, umurnya yang sudah tua membuatnya mudah mengantuk. Ketika suara tawa pecah dari para tamu undangan, dia akan sontak terbangun dan ikut tertawa, tapi dengan cepat akan tertidur kembali. Baginya, hidup seperti persinggahan di antara bangun dan tidur. Di hari bahagia Khadijah, keponakan yang sudah dianggap anaknya, meskipun tampak seperti seorang raja yang mengantuk, dari wajahnya terpancar keinginan untuk meramaikan pesta itu. Pada malam itu, ketika makanan telah disantap, perbincangan terus mengalir, dan saat keputusan sudah diambil, Abu halib mulai berdiri untuk berbicara. Setelah beberapa kali terbatuk ringan, semua orang terdiam. Orang- 137 _ Pernikahan orang yang ketika datang berwajah serius, kembali dengan wajah seriusnya. Para undangan yang sudah mengetahui acara ini dengan gugup terdiam untuk mendengarkan katakata Abu halib. “Segala puji bagi Allah!” kata Abu halib memulai pidatonya. “Segala puji bagi Allah karena kita diciptakan sebagai keturunan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, termasuk dalam kaum Maad seperti hasil tambang yang murni dan kaum Mudar yang suci. Allah telah memilih kita sebagai penjaga dan pelindung Baitul Atik, sebuah tempat ibadah yang sering diziarahi dan tempat melaksanakan haji. Allah telah menjadikan kita sebagai kaum penjaga Tanah Haram ini. Dengan cara inilah Allah memberi berkah kepada kita sebagai para pemimpin dan penguasa untuk rakyat kita. Hari ini, kalau ada seseorang yang ingin membandingkan dirinya dengan putra saudaraku, Muhammad bin Abdullah, pasti keponakankulah yang akan tampak paling pintar dan bijaksana, cekatan, serta sopan. Dia pasti akan menjadi unggulan. Siapapun yang ingin membandingkan kebaikannya dengan orang-orang di sekitarnya, Muhammad pasti akan menjadi yang teratas. Hartanya memang sedikit. Namun, kita tahu bahwa kekayaan itu pemberian di dunia dan dapat diambil dengan mudah, seperti sebuah bayangan yang akan cepat hilang. Harta benda adalah hal-hal yang tak patut dicintai. Kita semua sudah mengetahui bahwa Muhammad adalah keturunan dari keluarga Abdul Muthalib dan Hasyim yang masyhur dan terhormat. Untuk itu, atas nama Muhammad, saya datang ke tempat ini untuk meminang seorang Khadijah 138 binti Khuwaylid yang terhormat. Jika kalian menyetujui pernikahan ini dan bersedia menjadi saksi, lebih baik kita langsung bicarakan mahar dan melangsungkan pernikahan ini. Sebagai penutup, saya bersaksi atas nama Allah tentang berita besar yang akan terjadi pada keponakanku. Suatu saat, Muhammad akan menjadi orang besar yang lebih besar daripada yang besar. Termasyhur untuk kebaikan umat manusia.” Pidato pun selesai. Lamaran telah disampaikan. Sebuah panah seolah-olah telah dilesatkan ke sasarannya oleh seorang pemanah yang ulung. Sesudah Abu halib kembali di tempat duduknya, perwakilan dari pihak wanita, Waraqah bin Naufal, pun mulai berbicara. Dia terlihat gugup, tapi bersemangat, seperti segera menginginkan akad nikah ini segera diselesaikan. Tanpa menunggu dipersilakan, dia memulai berbicara. Sambil membenahi pakaiannya, dia berdiri di tengah-tengah para tamu. “Saya bersyukur kepada Allah!” Waraqah memulai ucapannya. “Saya besyukur kepada Allah karena diciptakan seperti yang telah Anda sampaikan. Kebaikan dan kebanggaan yang Anda sampaikan membuat kami merasa terhormat pula. Seperti apa yang telah disampaikan, Anda sekalian adalah orang-orang besar dan para pemimpin di negara Arab. Kami berterima kasih atas kehormatan ini. Anda sekalian dan kami semua adalah sama. 139 _ Pernikahan Tak ada yang bisa mengingkari kebaikan Anda dan juga tak ada yang bisa menyangkal kemanusian Anda sekalian. Betapa tingginya derajat keluarga Anda adalah suatu kenyataan yang tak bisa ditolak. Jalinan kekerabatan antara kami dan Anda adalah suatu kebanggan bagi kami.” Waraqah kemudian meninggikan suaranya. “Ya kaum Quraisy, jadilah saksi. Saya adalah Waraqah bin Naufal. Dengan mahar 400 dinar, dua belas ukiyah dan satu nashiyah emas, serta 20 unta muda, saya nikahkan Khadijah binti Khuwaylid dengan Muhammad bin Abdullah.” Pada saat itu, seakan akan turun burung-burung yang indah dari langit. Para tamu undangan menahan nafas agar burung-burung itu tidak terbang kembali. Semuanya terdiam. Suara juru bicara pengantin laki-laki kemudian memecah kesunyian. “Saya adalah milik kalian. Saya juga menginginkan yang terhormat Paman dari pengantin wanita, Amru bin Asad, untuk memberikan beberapa patah kata,” ucap Abu halib. Amru bin Asad terbangun setelah namanya disebut. Dia lalu berkata, “Ya kaum Quraisy, jadilah saksi! Aku nikahkan keponakanku Khadijah binti Khuwaylid dengan Muhammad bin Abdullah.” Para tamu wanita yang berada di lantai dua langsung bersorak dan berdendang bersama-sama. Melihat hal itu, kaum Quraisy yang berada di luar rumah telah paham bahwa akad nikah telah dilaksanakan. Langit dan bumi. Penghuni langit dan penghuni bumi. Semuanya mengucapkan selamat atas hari yang luar biasa ini. Bersama-sama merayakan sebuah pernikahan yang indah. 140 “Ya kaum Quraisy, jadilah saksi. Saya adalah Waraqah bin Naufal. Dengan mahar 400 dinar, dua belas ukiyah dan satu nashiyah emas, serta 20 unta muda, saya nikahkan Khadijah binti Khuwaylid dengan Muhammad bin Abdullah.” Pada saat itu juga, dua unta yang menjadi bagian dari mahar dikurbankan untuk dibagikan kepada janda, anakanak yatim, dan fakir miskin. Jamuan pernikahan yang akan dibagikan pada pagi harinya adalah sebuah tanda untuk awal yang baik. Tak hanya para malaikat dan kaum Quraisy yang bersuka cita atas pernikahan Kha dengan Mim. Kaum fakir, orangorang tak punya, para pengembara, dari majikan sampai budak, bahkan kucing-kucing sertai burung-burung pun merayakan pernikahan itu. Malam sudah mulai larut. Para tamu berpamitan dan meninggalkan tempat pernikahan. Ketika pengantin laki-laki beranjak dari tempat pernikahan bersama dengan saudarasaudaranya, pengantin wanita dengan sopan mengajak pengantin laki-laki tinggal di rumah baru mereka. 141 _ Pernikahan Semua terjadi seperti apa yang ada di dalam mimpi Khadijah. “Hidup adalah sebuah rumah yang akan menafsirkan mimpi-mimpi,” pikir Khadijah. Khadijah tak hanya melihat mimpi yang indah dan penuh dengan berkah. Dia juga berusaha mewujudkan dalam kehidupannya dan berhasil. Mimpi itu mengarahkannya untuk berniat dan menumbuhkan keinginan untuk mewujudkannya. Ruh Khadijahlah yang melihat mimpi, sementara keinginan dan kemauannya yang mewujudkan mimpi itu. Niat bagus yang tumbuh dan berbuah tindakan di tangan Khadijah sesungguhnya adalah sesuatu yang diinginkan Allah, seperti yang terjadi pada Khadijah dan Ibunda Hajar. Dengan ketekunan dan usaha, takdir yang tertulis di dalam diri kita harus dituangkan dalam perbuatan untuk mewujudkan tujuan kita dikirim ke dunia, dan agar ujian hidup dan tujuan hidup saling melengkapi. Sungguh, Allah adalah penulis buku takdir mulai dari awal sampai akhir. Walaupun berada di situasi yang paling buruk, berjalanlah, atau berlarilah dengan kasih sayang dan penuh keyakinan. Mim, simbol kasih sayang Allah. Mim, suatu harta karun tersembunyi yang diidamkan. Huruf Mim adalah bukti kasih sayang Allah. Allah adalah Awal dan Akhir, awal dan akhir segalanya. Salah satu sifat Allah adalah selalu melanjutkan apa yang Dia kerjakan tanpa ada halangan. Oleh karena itu, orang yang disebut sebagai kekasih-Nya adalah kekasih abadi-Nya. 142 Dan sekarang, Allah Yang Mahabesar memberikan rumah yang penuh berisikan kasih sayang seorang wanita kepada kekasihnya. Allah memilih Khadijah sebagi tempat dan penghias segel. Khadijah adalah “Pelindung Segel”. Maka pahamilah mengapa bentuk huruf “Kha” mengingatkan kita pada atap rumah! Dan mengapa tangan huruf Kha terbuka menghadap langit, pahamilah ini semua, bukalah hati nuranimu dan lihatlah tangan huruf Kha. Kamu akan menemukan tangan-tangan kasih sayang Khadijah yang ditugaskan untuk melindungi Kekasih Allah. Khadijah bukan hanya sepasang mata kasih sayang. Khadijah adalah dasar sungai. Bukan hanya lambang bendera. Khadijah juga berarti “tangan-tangan”. Tangan-tangan wanita yang diberi amanah berupa Kekasih Allah, tangan-tangan kasih sayang. Rumah kasih sayang. Atap wahyu. Idaman di sekelilingnya. Sumurnya Zamzam. Sahabat setia hidup. Tiram mutiara. Kotak harta karun. Baju hangat kekasihnya. Khadijah, cincin yang sempurna dan tak bersudut. Khadijah, nama pemilik yang selalu berbagi. Khadijah, pintu kasih sayang, tempat untuk kekasihnya. 143 _ Pernikahan Khadijah, alam semesta yang diciptakan-Nya. Khadijah memanjang sampai ke langit. Khadijah, tempat berteduh untuk huruf Mim. Mimpi Khadijah menjadi kenyataan. Matahari terbit di rumahnya. Rumah yang berada di antara bukit Safa dengan Marwa dan tepat di belakang pasar yang didirikan para penggembala adalah Rumah Kekasih-Nya yang akan menjadi nabi terakhir. 144 Khadijah Adalah Rumah Kita Setiap wanita menyimpan rumahnya dalam hati mereka Baik ketika hidup di tenda kecil yang dibangun di padang pasir atau di gunung-gunung maupun gedung-gedung dan istana Di rumah atau di belakang dusun Tersesat atau tak ada harapan Pendatang atau pengembara Tawanan atau terantai Kepala yang bermahkota atau kaki yang terbelenggu Tiada bedanya Setiap ruang wanita penuh dengan kesunyian Kekuatan dahsyat untuk membangun ruangan itu akan terus menyelimuti sekitarnya bahkan sampai mereka mati dan tulang-tulang menjadi tanah Karena wanita adalah bumi Wanita adalah dunia Kehidupan bukan hanya tempat melahirkan, tapi juga tempat mereka dikubur. Mereka berhati lembut layaknya serbuk bunga atau orang yang melakukan kebaikan dengan rendah hati, seperti tangan yang tekun atau lembut selembut bulu burung. Kekuatan wanita seperti kekuatan gaib yang menopang dunia Semua hal ini tak tertulis di buku legenda Hidup ditemani dengan air, sabun, dan tungku, bukan 145 _ Khadijah Adalah Rumah Kita dengan pedang. Pengetahuan tentang kehidupan rumah tangga layaknya detak-detak jantung Detak-detak jantung itu tidak mudah didengar dari luar... tapi detak-detak kecil itu adalah sumber kehidupan. Yang mendendangkan dengan runtutan simfoni alam semesta yang harmonis, sebuah rutinitas yang tidak akan bisa dibedakan dengan aliran air Selincah-lincahnya kucing bergerak adalah wanita Para wanita selalu bergerak, selalu bergerak maju tanpa beralih arah di setiap napasnya. Seperti suara, seperti napas, di setiap udara yang dihirup dan di setiap waktu yang terlewati, di setiap langkah mereka membawa rumah mereka. Setiap suara yang keluar, mereka membangun dan menatanya Setiap suara yang terdengar, mereka membangun dan menatanya Tanpa merasa bosan, mereka membangun rumah secepat kecepatan suara Rumah para wanita dibangun di atas suara-suara Kita bisa berpikir mereka tak memiliki rumah jika dilihat dari luar Padahal, wanita adalah rumah pertama ketika anak lakilaki lahir Rumah yang mereka tuju pula ketika akan kembali Mereka tahu bahwa tempat itu bersembunyi di dalam hati para wanita Wanita adalah rumah Tempat bernaung Aktif, memiliki visi, dan kreatif adalah kemampuan yang 146 dimiliki para wanita dalam membangun rumah tangganya Untuk orang-orang yang memahami, ini semua seperti sebuah ruh Seperti ingatan, kenangan, dan acuan Ketika kita lebih berhati-hati dalam melihat, semua yang berada di alam semesta ini saling melengkapi dengan kasih sayang dan gairah Saling tarik di lingkaran besar, dan pada saat itu kita akan melihat betapa pentingnya sumber kehidupan yang diungkapkan dengan kata ‘nisa’ Wanita adalah simfoni megah Setiap wanita memiliki kunci rahasia mengenai rumahnya Setiap wanita memiliki pengetahuan tentang rumah yang luas Begitulah takdirnya Wanita adalah bagian dari batin kebenaran. Wanita, seseorang yang setiap kata-katanya tak terbahas, dilupakan, dan hilang identitasnya Kita semua bergantung pada dunia, pada hidup, yang bertumpukan cerita hidup, dongeng-dongeng para wanita Kehidupan diturunkan ke dunia dengan dititipkan kekasihNya kepada Khadijah, terus mengalir dari bumi ke langit. Khadijah adalah istri Nabi Muhammad, ibu yang mengandung anak-anaknya, rumah untuk dirinya. Atap Khadijah terbuka menghadap langit. Itu sebabnya huruf Kha menghadap ke langit. Tempat terjadinya Mikraj Tempat berkumpulnya semua rahasia Kasih sayang Khadijah adalah dunia yang diberikan kepada kekasih-Nya. 147 _ Khadijah Adalah Rumah Kita Oleh karena itu, dia adalah ‘Kubra’ Khadijah yang pertama dan terakhir. Kasih sayang Khadijah adalah kerajaan Rasulullah (Salawat dan Salam untuknya ) Khadijah adalah ibu untuk rumah para umat Nabi Muhammad yang penuh berkah (Salawat dan Salam untuknya) 148 Penghuni Rumah A da tiga anak di antara para penyambut di rumah baru pengantin laki-laki. Dua anak laki-laki yang bernama Halah dan Hindun dan satu anak wanita bernama Hindun pula. Seperti sang bunda, mereka menyambut Sang Matahari dengan penuh antusias. Anak-anak itu sungguh sopan dan beradat. Sang bunda memang memberikan perhatian penuh dalam mendidik adat dan kesopanan. “Suami Sang Bunda adalah Ayahnya Rumah,” anggapan mereka. Di malam pernikahan, Halah, berusia 12, Hindun, berusia 10, dan Hindun, berusia 8, memakai pakaian paling bagus. Layaknya bunga-bunga yang sedang harum semerbak, mereka bermain dan berlari-lari di tengah ruangan. Mereka menyambut para tamu dengan penuh perhatian. Tentu saja, hal yang paling menarik perhatian mereka adalah suami baru ibunda mereka. Sering kali, secara terang-terangan atau diam-diam, mereka mencuri pandang kepada ayah baru mereka. Dalam pikiran mereka timbul pertanyaan bagaimana ayah baru akan menyambut mereka? Ayah baru? Apakah sang ayah baru juga bertanya-tanya bagaimana anak-anak itu akan menyambutnya? Sebagai orang yang memahami dan merasakan keyatiman 149 _ Penghuni Rumah dan tidak punya seorang ayah, akankah mereka menemukan hal yang sama di hatinya? Dan Halah.... Dia bersembunyi di balik pohon palem. Dengan jubah sutra putih dan serban hijau, dirinya tampak seperti burung beo lucu yang sedang memerhatikan ayah barunya. Seberapa rapatnya Halah bersembunyi di balik pohon palem, bulu merak yang tertancap di serbannya masih terlihat. Ia seakan-akan burung merak yang tak bisa bersembunyi seberapa pun kuat usaha dilakukan. Kadang-kadang, Halah mengeluarkan kepalanya untuk melihat sambil tersenyum, kemudian bersembunyi lagi di balik pohon. Kedua matanya tak bisa lepas dari pengantin laki-laki. Pengantin laki-laki, meskipun sibuk menyambut para tamu, pasti juga memerhatikan anak-anak itu. Dan ketika mata mereka bertemu, dia tersenyum kepada mereka. Pertama-tama, sang ayah baru mencoba mendekati anak laki-laki tertua, Halah, yang berada di lingkaran kecil di halaman dan memberikan sinyal bahwa mereka akan menjadi teman seperjalanan yang baik. Anak kedua, Hindun, rupanya menjadi anak pertama yang berani mendekati dan berbicara dengan ayah barunya. Dia membelai rambut putra mungil yang berbicara halus itu. Hindun kecil yang terbawa oleh keberanian kakaknya mengikuti kakak lelakinya untuk mendekati sang ayah baru dan seakan-akan ingin memperlihatkan apa yang dia pakai. Mengumpulkan seluruh keberaniannya, Halah keluar paling terakhir dari tempat persembunyian dan mendekati sang ayah. Halah memiliki kekuatan besar dibandingkan 150 anak-anak seumurnya. Dia mendekati sang ayah dengan sikap seperti orang besar. Setelah itu, sang ayah memangil namanya tiga kali... “Halah.... Halah... Ya Halah... sedang apa kamu?” Sang ayah selalu berhati-hati dalam berkata dan menghormati pendapat mereka. Wajar jika akhirnya sang ayah dengan cepat mendapatkan hati mereka. Ketika terbangun di pagi hari, sang ayah selalu berbaring di samping mereka, khususnya Halah. Halah adalah anak yang berharap badannya cepat tinggi. Karena itu, ketika tidur atau berdiri, dia selalu membandingkan tinggi tubuhnya dengan sang ayah. Dia juga selalu meniru dan mencontoh cara duduk, berdiri, dan berbicara sang ayah. Perbuatan itu ternyata menjadi bahan lelucon bagi yang melihatnya. Kadang, dia mencoba bergulat dengan sang ayah. Di pagi hari, dia suka membangunkan sang ayah dengan berlari di tempat tidurnya dan mengagetkannya. Sang ayah hanya berkata dengan perkataan yang sama: “Halah... Halah... Halah....” Mereka sudah memiliki seorang ayah yang bisa mereka temui saat berlari pulang ke rumah dari sekolah. Sementara itu, anak yang kedua memiliki ingatan kuat. Semua yang dia suka dengan cepat dapat dipahami. Karena sang ayah memahami perasaan anak-anak, dia selalu berhatihati agar tidak membedakan satu dengan yang lain. Mereka selalu mendapatkan kasih sayang yang sama walaupun memiliki bakat dan keinginan yang berbeda. Orang-orang Mekah pun mulai memanggil mereka ‘Rabibu Muhammad’ 151 _ Penghuni Rumah atau anak-anak yang beradab, terdidik, dan belajar dari Muhammad. Ya, mereka seakan-akan seperti bunga-bunga di kebun Khadijah yang dirawat oleh tukang kebun yang mahir. Di antara tiga bersaudara, yang paling kecillah yang sangat manja. Seluruh anggota keluarga menaruh perhatian khusus untuk sang bungsu karena dia sering sekali jatuh sakit. Namun, jauh dari perkiraan, keturunan yang terus berlanjut datang dari cucu-cucu anak bungsu ini. Menggunakan nama keluarga ibunya yang terkenal, ‘Bani Tahira’, garis keturunan yang terkenal itu tersemat pada Hindun. Apakah doa-doa sang ayah berperan besar terhadap kesehatan putri mungilnya itu? Tak terhitung berapa kali sang ayah membelai rambut dan berdoa untuk putrinya yang sering jatuh sakit ini. Hindun memiliki berkah atas nama Tahira sebagai garis keturunannya, disertai pula keberkahan dari doa-doa yang dipanjatkan sang ayah ketika putri mungil ini berbaring sakit di tempat tidurnya. Mereka adalah anak-anak yang mendapatkan berkahnya. Mereka menjadi anak-anak yang selalu setia. Suatu hari, ketika sang ayah ditugaskan untuk menjadi nabi terakhir, mereka adalah orang-orang yang pertama menyakini dan mengikutinya. Mereka selalu berada di sisinya dan mendukung sang ayah. Mereka ini akan menjadi teman perjalanan dan pendukung bersama-sama dengan para cucu dari putra-putrinya, seperti Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum, Fatimah, Ali, dan juga Hasan serta Husain. Mereka adalah putra-putri yang akan dikenang dalam sejarah sebagai Rabibu Rasulullah, murid-murid yang 152 mendapatkan pendidikan dari nabi terakhir. Murid-murid itulah yang akan memulai adat ‘Hilya’i Syarif, yang berarti menggambarkan cinta kasih sayang dengan kata-kata. Dalam lembaran-lembaran emas hadis, Hindun bin Abu Halah menjelaskan maknanya. Hasan bin Fatimah binti Rasulullah menceritakan bahwa suatu hari dirinya berkata kepada pamannya, Hindun bin Abu Halah. “Paman, tolong jelaskan kepadaku tentang Rasulullah?” Dia pun mengabulkan permintaan itu dan mulai bercerita tentang Rasulullah. “Rasulullah adalah orang yang menjunjung tinggi kehormatan dan selalu mengormati semua orang. Beliau adalah orang yang dihormati oleh semua orang. Wajahnya bersinar seperti bulan. Beliau bukanlah orang yang dibenci dan tak diinginkan dalam waktu yang lama. Semua orang langsung mencintainya. Wajahnya tampan dengan rambut yang panjang. Ketika rambutnya memanjang, Rasulullah merapikannya ke balik telinga. Namun, beliau sering merapikan rambutnya tak melebihi telinga bagian bawah. Kulitnya bersih dan bercahaya. Dahinya lebar dan bersinar. Badannya berotot. Di bagian ototnya terlihat urat-urat nadi. Hidungnya indah. Beliau memiliki keindahan yang sempurna dan bercahaya. Jenggotnya jarang dan pipinya putih bersih bersinar. Rasulullah juga memiliki badan yang tegap dan gagah. Dadanya lebar. Perutnya setara dengan dadanya. Bahunya lurus dan lebar, tulang-tulangnya kuat. Kakinya tegap. Langkahnya selalu harmonis dan gagah. Beliau berjalan langkah demi langkah seperti lembaran kertas buku. Ketika berjalan, seakan-akan beliau berjalan dari langit turun ke bawah. 153 _ Penghuni Rumah Beliau membalikkan seluruh badannya ketika menghadap ke arah seseorang. Padangannya lebih sering ke arah tanah dibandingkan ke langit. Rasulullah mengucapkan salam sebelum sahabat-sahabatnya ketika bertemu dengan salah satu sahabat.” Hasan lalu berkata, “Bisakah Paman menceritakan lebih banyak lagi.” Dia pun melanjutkan ceritanya. “Rasulullah biasanya terlihat sedih. Beliau tampak terbenam dalam pikirannya yang dalam. Selalu bertafakur. Dirinya selalu terdiam dan berbicara seperlunya. Ketika berbicara, ucapannya selalu pendek dan padat sehingga mudah dimengerti. Tak pernah berbicara tiada arti dan susah dimengerti. Ketika berbicara, dia tak pernah terbatabata. Ungkapannya fasih. Rasulullah sering memberikan jamuan dan hadiah. Beliau tak pernah menjelek-jelekkan pemberian. Rasulullah menjaga amarahnya seperti menjaga nafsu dan kesenangan duniawi. Tiga anak yang mendapatkan pendidikan bagus oleh ibunya ini akan selalu hidup penuh kasih sayang dan bersedekah untuk sang ayah yang akan menjadi nabi terakhir. 154 Rasulullah selalu berada di sisi dan mendukung yang benar. Ketika menunjukkan sesuatu, beliau tidak menunjuk dengan satu jari, tapi semua jari-jarinya. Ketika dia menyukai sesuatu, beliau selalu berbalik dan menjauhinya. Dia menutup matanya ketika bergembira. Senyumnya adalah tawanya,” kata sang paman. Tiga anak yang mendapatkan pendidikan bagus oleh ibunya ini akan selalu hidup penuh kasih sayang dan bersedekah untuk sang ayah yang akan menjadi nabi terakhir. Di antara anak-anaknya yang temasuk generasi pertama yang masuk Islam adalah Hindun. Dia akan hijrah ke Madinah bersama-sama dengan Rasulullah dan ikut dalam Perang Badar. 155 Jubah Sang Kekasih K hadijah adalah jubah, pakaian bagi orang-orang yang disayanginya. Pertama, dia memakaikan saudarasaudaranya dengan kasih sayangnya. Pengorbanan dirinya seakan-akan menyelimuti mereka layaknya sepasang pakaian. Kemudian, dia menyelimuti putri-putrinya penuh dengan kehangatan. Dan yang paling penting, dia menjadi ayah dan ibu untuk putra-putrinya. Kedewasaannya seperti baju hangat yang panjang. Di malam upacara pernikahan yang penuh sukacita dan disaksikan para malaikat, Khadijah menjadi ‘Jubah Nabi’. Cipataan-Nya yang menjadi kekasih Allah adalah sumber alam semesta. Khadijah telah dipilih menjadi jubah untuk Sang Kekasih. Cermin kasih sayang, baju hangat kasih sayang. Upacara pernikahan telah usai dan terukir di punggung Khadijah. Sebagian hidupnya setelah itu dia berikan untuk melindungi, mendukung, dan menyelimuti Sang Nabi. Seluruh harta milik Khadijah pun ikut diinfakkan. Khadijah adalah sebuah kebaikan yang dihadiahkan untuk KekasihNya oleh Allah. Dia adalah wanita yang benar-benar mengerti rasa cintanya. Keberadaan Khadijah seperti kerangka bagi hati, sumur yang memancarkan air, samudra, tanah untuk biji, unsur yang mengakhiri makna, dan kulit untuk ruh. 156 Khadijah seperti sepasang mata kasih sayang yang terus terbuka dan tak berkedip. Khadijah adalah sepasang mata kasih sayang. Khadijah adalah tangan-tangan kasih sayang. Khadijah, sumber kekaguman. Kebimbangan berubah menjadi kepastian. Kebimbangan mencair menjadi keyakinan dan pengorbanan. Khadijah, Sang Pencair… Dia adalah sumber kebahagian untuk Sang Nabi. Keberadaannya seperti jubah yang dipakaikan di punggung kekasih yang dia cintai. 157 Barakah P engantin laki-laki tidak sendiri datang ke rumah barunya. Dia datang bersama pengasuh tercinta yang merupakan bagian yang tak terpisahkan darinya. Namanya Barakah. Lengkapnya adalah Barakah binti Tsa’labah bin Amru bin Hishan bin Malik bin Salmah bin Amru bin Nu’man AlHabasyiyah. “Barakah adalah ibuku setelah ibu kandungku.” Begitulah Muhammad memperkenalkan pengasuhnya kepada penghuni rumah. “Barakah adalah warisan ayahku kepadaku. Setelah ibuku wafat, dialah yang merawat dan mengasuhku.” Cinta Barakah seperti bayangan hitam yang selalu mengikuti jiwa-jiwa ini pergi. Barakah adalah pantai yang membersihkan dan menyaring setiap kematian, perpisahan. Dan kepada dialah Muhammad diamanahkan oleh Allah. Barakah merasa sedih mengingat hari-hari yang dilewati Muhammad sebagai anak yatim tanpa melihat wajah sang ayah. Ketika Muhammad menangis saat sang ibu wafat, Barakah memeluk erat tubuhnya dan membelai rambutnya. Barakah pula yang memeluk dan menenangkan Muhammad kecil saat sang kakek, Abdul Mutalib, wafat. Saat itu, Kekasih Allah itu merasa dirinya seperti tertindas di bawah sebuah gunung. Muhammad kecil menangis sambil memegang erat ujung tempat tidur kakeknya. Dan setelah itu, Barakah tak pernah jauh dari sisinya. Ketika Muhammad 158 beranjak dewasa, dialah yang selalu berada di sisi Barakah dan tak pernah melepaskannya. Barakah memiliki sepasang mata yang mudah meneteskan air mata. Hatinya juga lembut. Ucapannya terbata-bata ketika sedang gembira. Belum lagi lisannya yang celat yang bisa membuat suasana sedih langsung hilang. Kecadelannya itu menjadi bahan pembicaraan, khususnya di lingkungan anakanak. Ketika tertawa, dia tertawa dengan gigi putihnya yang seperti mutiara. Barakah adalah pengasuh dan penghibur yang mahir. Dengan ninabobo dan doa-doanya, seketika anak-anak akan berhenti menangis dalam pelukannya. “Seakan-akan dia tercipta untuk anak-anak,” ucap orangorang yang mengenalnya. Tak ada anak yang tidak tertidur di pangkuannya. Tidak ada anak yang tak berhenti menangis. Tidak ada anak yang tidak dibuatnya bahagia. Tidak hanya Khadijah, putra-putrinya dan para pelayan pun bergembira dengan kedatangan Barakah ke rumah baru itu. Mereka dengan sukacita menyiapkan kamar untuknya. Kamar Halah dan kedua saudaranya tidak bisa menampung Barakah. Oleh karena itu, mereka menyiapkan tempat baru di dekat kamar anak-anak. Seperti biasa, Dujayah menghampiri Berenis dengan napas terengah-engah. “Berenis, sudahkah engkau berkenalan dengan pengasuh baru Nyonya Khadijah, Barakah?” “Dujayah, lagi-lagi kau dari rumah Nyonya!” 159 _ Barakah “Tuan Waraqah mengirimku ke sana untuk menanyakan apakah kantong-kantong air sudah dipasang atau belum.” “Ya aku tahu... aku tahu.... Kau juga lupa tentang kantongkantong air dan tidak sabar langsung pergi berkenalan dengan tamu baru itu, iya kan?” “Betapa manisnya pengasuh itu. Dan juga, ia berasal dari kota asalmu.” “Dari Habasyah?” “ Iya dari Habasyah.” “Dujayah, waktuku untuk pergi sudah datang.” “Apa yang kau katakan, Berenis? Aku mendengar ketika tuan Waraqah berbicara bahwa akan ada beberapa tamu.” “Aku seorang pengembara Dujayah. Aku tak pernah tinggal dalam waktu yang lama di suatu tempat.” “Aku mendengar pembicaraan tentangmu. Kamu mencari tunanganmu, iya kan?” “Anak yang bertelinga dua. Kerjaanmu itu memang hanya mendengarkan pembicaraan orang lain.” “Menurutku, mencari seseorang yang meninggalkanmu adalah suatu hal yang bodoh. Dia tidak berhak mendapatkan perlakuanmu seperti ini.” “Urusan ini sudah lama keluar dari permasalahan hak, Dujayah. Ini bukan urusan tentang pertunangan lagi. Urusan ini adalah urusanku. Ini adalah takdirku.” “Jika dia memang tidak berhati buruk, dia tidak akan pernah pergi meninggalkanmu.” “Wahai Dujayah, dalam kehidupan ini tidak akan ada sesuatu yang berlebihan. Semua musibah yang menimpa kita pasti ada hikmahya. Allah-lah yang mempertemukan gunung dengan gunung, jalan dengan jalan, langit dengan 160 langit. Sebelumnya, aku adalah pengembara. Sekarang, perjalananku menjadi petualanganku. Apa yang aku cari di sini? Aku pun tak tahu mengapa aku berhenti di sini. Namun, aku merasakan bahwa penggembaraanku menarikku seperti magnet. Seperti sungai yang ingin mengalir selamanya. Bagaimana bisa membuatnya berhenti jika kita tidak bisa mengendalikannya. Dan apa yang leluhur kita sebut sebagai cinta juga seperti itu. Jika kau tak pergi, dia yang akan membawamu.” “Kau berbicara seperti pedagang budak sekarang.” “Maksudmu?” “Para wanita yang satu rombongan denganku juga seperti itu. Kami berjalan berhari-hari tanpa pernah tahu ke mana akan dibawa. Tangan dan kaki kami terlilit rantai satu sama lain. Kami harus terus berjalan walaupun sudah tidak punya lagi kekuatan untuk berjalan. Ketika kamu berbicara, hal itulah yang aku ingat.” “Manusia adalah budak manusia kata almarhum tukang perahu yang kukenal.” “Semoga Allah tidak menjadikan seseorang sebagai budak.” “Jangan sampai.... tetapi kadang kala kita sendirilah yang memilih untuk menjadi budak. Contohnya, lihatlah para ibu. Mereka menjadi budak anak-anaknya. Atau coba ingat pengantin laki-laki dengan wanita di dongeng-dongeng cinta. Kadang manusia memilih perbudakan dengan hati terbuka, bahkan karena tak ada cara lain.” “Berenis, apakah kau seorang budak?” “Aku telah jatuh ke dalam lumpur cinta. Hanya Allah yang tahu apakah aku bisa melewati tebing ini.” 161 _ Barakah “Sekarang, kita memiliki rumah. Itu adalah hal yang paling membuatku senang Berenis.” “Rumah ada dalam diri kita Dujayah. Para pengembara membawa rumah di dalam diri mereka.” 162 Kabar Gembira A pakah ada batu-batu dan tanah yang tak berwajah tersenyum untuknya? Apakah ada pohon-pohon dan kolam yang tak berlidah berbicara untuknya? Tidak hanya Khadijah. Sejak mentari memancarkan sinar ke dalam rumah dan kamar-kamar, seluruh sudut tertawa, berbicara layaknya rumah besar. Ranting-ranting pohon palem yang menjulur ke tanah menjadi pertanda kegembiraan. Selendang dari Persia berwarna merah anggur mendaki sampai lantai dua, tanpa peduli dengan daun-daun berduri yang berani masuk ke dalam rumah lewat balkon. Lumut-lumut yang hidup di antara ikan salmon berwarna ungu pun mengetahui semua kegembiraan itu. Di setiap sela-sela kehidupan terpancar kegembiraan. Anak tangga tua yang sudah retak menyangga berat banyak orang seakan-akan ingin berubah menjadi daun. Temboktembok tersenyum. Pintu-pintu merentang tergesa-gesa. Pohon-pohon tampak seperti wanita yang sedang bersolek. Mereka seakan-akan ingin berjalan-jalan. Semua tampak gelisah. Jika mau, angin bisa saja mendengar apa yang kita ucapkan. Bulan dan mentari seakan-akan saling berkejaran untuk bisa terbit di rumah kebahagian ini. Matahari pun terbakar seperti bunga mawar, ketika malam tiba dengan 163 _ Kabar Gembira terang seperti arang, mendendangkan beribu-ribu lagu ke seluruh sudut rumah. Betapa besar cinta Khadijah atas sang suami. Apalagi kalau tidak ada perpisahan itu. Sang suami sudah mengambil alih semua urusan perdagangan. Dia sendiri yang mengurus semuanya, baik di musim panas maupun dingin. Permasalahan besar, perhitungannya pun besar. Pasti tidak mudah mengatur salah satu harta kekayaan terbesar di penjuru Mekah. Sejak perdagangan diambil alih sang suami, dari segi ekonomi terlihat ada perkembangan. Pendapatan mereka penuh berkah dan tersohor di penjuru Mekah. Di setiap perjalanan perdagangan yang dilakukan sang suami, Khadijah merasakan perpisahan. Jangankan berpisah berbulan-bulan, ketika duduk bersampingan pun Khadijah merasakan kerinduan untuk sang suami. Sang suami memang berbeda dengan semua orang. Sepasang matanya diam-diam sering memandang sang suami dari kejauhan, perasaan sedihnya adalah sesuatu yang sangat membebaninya, apalagi ketika mereka berpisah. Khadijah terlihat gelisah dibandingkan hari-hari biasa. Ketenangannya yang bergeming terbakar menjadi kesedihan. Dia pun tak bisa selalu melakukan perjalanan ke Irak untuk mengobati rasa rindunya. Dengan ketenangannya yang penuh misteri dan kerendahan hatinya, suami Khadijah sunguh berbeda dengan yang lain ketika bercampur dengan masyarakat. Dia tak pernah mengikuti pesta yang diadakan khusus untuk orangorang kaya. Dia tak suka ketika orang membicarakannya. Dalam kehidupan, dia tak pernah mengikuti hawa nafsunya. 164 Ada masa ketika terpancar dalam dirinya perasaan untuk bersatu dengan ruh laki-laki yang dia cintai itu. Dan ketika masa itu, dari kejauhan sang suami memandangnya. Termenung. Sedih. Menderita. Kadang pelupuk matanya terisi penuh oleh air bening. Biji matanya pun pucat karena terlalu cemas. Di dalam matanya terlihat urat-urat tipis yang sedang mencari jawaban atas pertanyaan yang sangat sulit. Setiap hari matanya terlihat berat. Di saat seperti itulah Khadijah mulai cemas. Dia menaruh masalah ini jauh di dalam dirinya hingga tak bisa ditempuh oleh suaminya. Semua yang ada dalam dirinya luntur dan mengubahnya menjadi seperti wanita muda yang kekanak-kanakan. Di masa seperti inilah Khadijah tak tahu apa yang harus dilakukan dan diucapkan untuk medekatkan jarak itu. Di saat seperti inilah dia berusaha keras untuk keluar dari tebing kehidupan suaminya. Khadijah adalah tali kehidupan yang mengikat suaminya. Seperti kapal yang selalu siap untuk berlabuh Seperti jangkar besi yang di lempar ke laut, Khadijah adalah rantai yang mengikat suaminya di pelabuhan. Dari hari ke hari, untuk pelabuhan manakah kapal ini disiapkan? Khadijah tidak tahu. Namun, satu yang pasti dia tahu, perilaku dan tingkah laku suaminya berbeda dengan semua orang. Belum lagi dengan cahaya yang terpancar di dahinya atau ucapan-ucapan yang setiap waktu didengar Khadijah bahwa 165 _ Kabar Gembira suaminya adalah penunjuk jalan ke alam lain. Suaminya diserupakan pemburu mutiara. Siapa yang tahu sedalam apa ia menyelam ke dalam laut atau di karang mutiara manakah ia berburu? Dengan sabar, dia menunggu suaminya di tepi kehidupan. Pada setiap kedatangan sang suami yang kembali dari laut yang dalam, sang suami menemukan Khadijah yang menunggunya dengan senyum dan kesabaran. Sambil tersenyum, dia menatap sang istri dan tak lupa memanggil namanya. Huruf-huruf namanya yang keluar dari bibir indah suaminya itu adalah hadiah yang paling besar di dunia untuknya. “Khadijah!” “Ya, Pangeran Hatiku.” Khadijah berpikir, jika sang suami memanggil “Khadijah” ketika melewati pemakaman, para Khadijah yang lahir dari masa Nabi Adam sampai sekarang pasti akan bangun dari tempat kubur mereka dan berkata “iya”. Di setiap panggilan “Khadijah” kepadanya, ketika dia menjawab “Silakan”, seluruh sel tubuh dan ruh di setiap titik selalu siap untuk Kekasihnya. Seakan-akan dia diciptakan pada saat itu. Seakan-akan dia diciptakan khusus untuk masa itu. Kekasihnyalah yang selalu memanggil Khadijah dengan namanya. Dan setiap kali memanggilnya, cintalah yang selalu ada. Khadijah. Untuk Khadijah. Pada Khadijah. Di Khadijah. Dari Khadijah. 166 Orang yang menjadikan nama Khadijah menjadi nama kasih sayang adalah lelaki yang menjadi suami dan kekasihnya. Lelaki itu adalah orang yang ketika berbicara pada masyarakat dan orang-orang di sekelillingnya dengan suara dan kata-kata yang lembut bersahabat. Dia memiliki rahasia yang menyatukan masyarakat dan dirinya dengan kemurahan hati, kasih sayang, dan perhatian. Semua orang mencintainya! Khadijah ingin menyalin sesuatu yang mirip dengannya, bagian darinya untuk dunia. Dirinya ingin memberikan hidupnya kepada suaminya, menghubungkan hidup milik dirinya dengan kehidupannya, mengeluarkan sebuah hati dari dalam dirinya, meperbanyak dengan cinta dan memberikan kepadanya. Menurut Khadijah, dua badan yang saling mencintai akan menjadi seperti rumah, gua, tempat berteduh untuk mereka. Cinta, layaknya dua sungai yang mengalir, bertemu dan bercampur di suatu pantai. Ketika dua menemukan rahasia untuk menjadi satu, Khadijah tahu bahwa di setiap bertambahnya umur, dia harus mengambil langkah yang pasti tentang hidup. Ketika dua sudah menjadi satu, saat itulah awal kata yang memulai segalanya keluar dari bijinya, dan dunia di saat itu kembali mulai diciptakan. Petir-petir bergelegar, hujan turun deras, terompet yang memanggil para pemburu mulai ditiup, dan kuda yang tak sabar untuk berlari dengan penuh semangat yang membara bergabung dalam antrean. Orang-orang yang bersuka cita ketika dua menjadi satu mengangkat bendera dengan 167 _ Kabar Gembira tombaknya ke arah langit, layaknya dua tentara gagah yang saling tak mau mengalah. Orang-orang yang bersuka cita ketika dua menjadi satu, setiap kali pena bergerak di atas kertas, tugasnya selesai dengan menuliskan kata-kata damai yang paling indah, sudut hiasan yang paling indah, coretan yang paling indah. Di satu hari dari beberepa hari seperti ini, pena itu menerakan sebuah puisi yang paling indah di selembar kertas. Puisi pertama itu berjudul Qasim. Di hari ketika nama Qasim dituliskan di rahim sang ibu, sosok Khadijah yang akan menjadi seorang bunda sudah semakin tampak. Bunda yang akan melahirkan. Penciptaan ditulis ulang dan tercatat di lembar kertas itu. Benih penciptaan itu diamanahkan kepada para wanita. Dan Khadijah adalah salah satu pembawa benih sempurna itu. Lembaran kertas itu telah menjadi surat yang indah. Ketika menerima kabar gembira tentang bayi yang ditunggu, terlihat bunga-bunga mawar berada di wajah cantiknya. Rasa cinta mereka semakin bertambah.. semakin mengalir. Ketika menerima kabar gembira tentang bayi yang ditunggu, terlihat bunga-bunga mawar berada di wajah cantiknya. Rasa cinta mereka semakin bertambah… semakin mengalir. 168 Sembilan bulan dilewati dengan penuh kecemasan dan kegembiraan. Bayi mungil bernama Qasim terlahir di tahun keempat pernikahan mereka dan menghadiahkan nama ‘Abu’l Qasim’ untuk sang ayah. Dua putra tertua, yang satu berusia 16 dan satunya 14, menjadi dua pemuda gagah yang ikut membantu urusan perdagangan bersama paman-pamannya. Mereka bak seorang pangeran. Begitu sampai dari Yaman, mereka berlari ke rumah untuk melihat saudara baru mereka. Putri yang paling bungsu, Hindun, tak mau berpisah walaupun satu menit. Dia memperlihatkan sifat keibuannya. Dia tak sabar untuk segera memasang pakaian rajutan yang terbuat dari bulu dan mengenakan kalung warna-warni yang terbuat dari batu Mekah untuk saudara barunya. Putri mungil itu pun memandangi Qasim yang tertidur, menimang ke ranjang, mendendangkan ninabobo untuknya. Dia mendengarkan ucapan para tamu wanita yang mengatakan bahwa Qasim mirip dengan dirinya. Dan hal itu adalah sesuatu yang paling disukai di dunia ini. Namun, hal yang seperti mimpi itu hanya bertahan tujuh hari. Menurut adat di masa itu, bayi yang baru lahir akan diberikan kepada ibu susu agar lebih sehat dan kuat. Sebelum Qasim dilahirkan, setelah melakukan pencarian yang lama, mereka memilih Salmah, budak wanita Shaiyyah, bibi Muhammad, untuk menjadi ibu susu Qasim. Salmah akan menjadi ibu susu bayi mungil itu. Pada hari ketujuh, di dalam rumah diadakan syukuran untuk sang bayi. Mereka memotong segenggam rambut lembut milik Qasim, membagikan sedekah berupa perak, dan menyelesaikan syukuran akikah itu dengan menyembelih 169 _ Kabar Gembira dua kambing yang sehat. Para tamu, pengembara, dan fakir menyantap jamuan yang disediakan. Ditemani dengan halwah dan kurma, mereka memukul rebana, mendendangkan lagu dan puisi. Hujan berkah dan kasih sayang turun dari langit di atas rumah-rumah. Wahai “sang ayah”? Sebutan itu sudah berganti menjadi Abu’l Qasim. Para pembesar Mekah tak bisa menemukan tempat yang bisa diberikan kepada ayahnya Qasim karena berhasil menjadi ‘ayah anak laki-laki’, ketenaran yang paling tinggi diberikan kepada mereka yang memiliki anak-anak lakilaki. Mereka memberikan mahkota untuknya. Menurut adat orang Mekah di masa itu, setiap orang yang memiliki anak laki-laki dianggap telah mendapatkan takhta kerajaan. Abu’l Qasim berterima kasih kepada semuanya yang telah memberikan ucapan selamat kepadanya. “Dengan izin Allah, aku bersyukur kepada Allah,” ucapnya. 170 Sebuah Jejak Kaki L agi-lagi Dujayah masuk sambil terengah-engah. “Berenis... Berenis... Apakah engkau sudah mendengar apa yang terjadi?” “Berhenti dulu. Pelan-pelan wahai Dujayah si telinga dua. Tenangkan dirimu. Engkau akan menumpahkan keranjangkeranjang itu!?” “Sungguh aku tak bisa diam. Ada berita besar, sangat besar!” “Apa yang terjadi wahai Dujayah sampai kau secemas. Apa yang terjadi? “Calon pengantin laki-laki Barakah telah datang.” “Ahha! Itu kabar yang sangat bagus menurutku. Minumlah susu yang berada di keranjang itu dan kemudian bawa keranjang-keranjang yang penuh dengan susu itu ke halaman, ayo!” “Aku bilang apa, kau bilang yang lain wahai Berenisku.” “Jika kita tak mendidihkan susu dan meragikan keju itu, kau akan menyesal nanti. Nyonya Waraqah akan memintamu untuk menceritakan kabar yang engkau ceritakan kepadaku. Ayo cepat! Lihat, masih saja engkau tetap berdiri di depanku.” “Kau hanya berdiri menunggu di sini. Lihatlah Barakah. Dia datang jauh dari Madinah, dan sekarang dia akan menjadi pengantin wanita untuk seorang laki-laki.” “Wahai Dujayah, aku adalah anak wanita ayahku yang percaya takdir.” 171 _ Sebuah Jejak Kaki “Wahai Berenisku, aku juga percaya dengan takdir yang ditulis oleh Allah. Dan mengapa kau langsung salah paham?” “Tadi kau bilang aku hanya berdiri menunggu di sini ya.” “Maafkan aku, Nyonya Berenis. Aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu.” “Lihatlah, setelah tahu kesalahanmu, kau langsung memanggilku ‘nyonya’....” “Demi Allah, aku tak bermaksud membuatmu sedih.” “Sudah berapa kali aku bilang kepadamu wahai anak nakal, jangan berkata sambil bersumpah.” “Wahai Berenisku, kau tahu kalau aku sungguh menyukai Barakah. Aku selalu mengatakan kepadamu bahwa cita-citaku yang paling besar adalah menjadi pengasuh yang dicintai banyak orang seperti Barakah. Namun, tak beruntungnya kita. Dia akan pergi meninggalkan kita. Malam ini, Ubaid bin Haris akan datang ke rumah. Pernikahan Barakah akan segera dilangsungkan.” “Semoga Allah memberikan kebahagian dan kelanggengan kepada mereka.” “Aaa... sebentar. Mengapa engkau menangis Berenis. Apakah aku membuatmu sedih lagi?” “Tidak, tidak apa-apa anak muda. Aku hanya rindu kepada ayahku.” “Betapa beruntungnya dirimu. Aku tak memiliki ayah dan ibu yang masih hidup yang bisa kurindui. Dan kau juga tahu apa yang mereka lakukan kepada kakakku. Mereka membunuhnya di depan mataku. Di dunia yang besar ini, aku tak memiliki siapa-siapa selain Nyonya Waraqah dan dirimu. Namun, aku sadar telah merepotkan dirimu. 172 Seharusnya akulah yang harus menangisi keadaaanku. Jangan menangis Berenis....” “Datanglah ke pelukanku, Angsaku yang manis. Sungguh wangi rambutmu, anakku yang cantik, Dujayahku. Suatu hari, kau akan dewasa. Kau akan menjadi pengantin dan memakai kerudung. Kau akan melahirkan banyak anak dan semua akan memamnggilmu ‘ibu’.” “Sudahlah, jangan menangis.” “Ya, lihatlah, aku sudah tidak menangis lagi.” “Berenis, menurutmu aku ini cantik atau tidak?” “Wahai Dujayahku si telinga dua, kau adalah wanita paling cantik di dunia, tapi kau anak yang paling nakal.” “Menurutku, kau juga sangat cantik. Lihatlah, kau juga punya rambut.” “Aku memang punya rambut dari dulu, wahai anak nakal!” “Kau potong rambutmu sampai akarnya, ya. Bahkan, kau bersumpah tak akan memanjangkan rambutmu sampai kau menemukan tunanganmu.” “Itu sudah lama berlalu wahai anak muda.” “Kalau begitu, mengapa kau diam-diam menangis. Engkau kira aku tak melihatnya?” “Masyaallah bagaimana kau tak melihatnya. Kau memiliki empat pasang mata, bukan dua. Namun, empat pasang mata itu selalu sibuk melihat hal-hal yang tak berguna.” “Akankah kita datang ke pernikahan itu, Berenis?” “Ke pernikahan Barakah maksudmu?” “Iya, aku mohon iya. Katakan iya, aku mohon katakan iya!” 173 _ Sebuah Jejak Kaki “Nyonya Khadijah memberikan tugas untuk membantu urusan mahar milik Barakah. Besok, wol yang telah dibeli untuk tempat tidur, selimut, dan bantal akan dicuci. Dan di hari berikutnya, ada pemasangan gorden.” “Wow... lihatlah mahar milik Barakah!” “Semua mahar ini dibuat Nyonya Khadijah. Wanita yang dianggap ibu oleh suamiku, dia ibuku juga, kata Nyonya Khadijah. Semua yang berada di rumah merasakan kegembiraan pernikahan itu. Akad nikah akan dilangsungkan malam ini, sementara perayaannya satu pekan kemudian.” “Hore.... Berarti kita akan datang ke upacara pernikahannya.” “Nyonya Waraqah juga memberikan tugas untukmu. Engkau diminta untuk memilih dupa yang kau suka dari Pasar Attarlar untuk dibakar di upacara pernikahan. Nyonya Waraqah yang akan membayarnya.” “Hebat! Hore! Ketika dewasa nanti, aku ingin menjadi penjual dupa.” “Engkau tidak akan menjadi pangasuh, penjual dupa, ataupun pawang ular sebelum kau angkat masuk keranjangkeranjang itu ke dalam!” “Pawang ular, kau tahu dari mana?” “Dari mana lagi? Siang hari ini datang pawang ular dari Ukazali ke rumah kita dan menanyakan kepada Nyonya Waraqah apakah pawang ular Dujayah tinggal di rumah ini. Kami susah payah mengusir mereka. Kau memesan ular dari orang itu dan mereka datang dengan membawa ular satu keranjang penuh.” “Katakanlah kalau pekerjaan malam hari ini adalah....” 174 “Jika malam ini tak memberikan hafalan tauratmu kepada Nyonya Waraqah, kau akan mendapat masalah besar nyonya kecil.” Keesokan pagi, Dujayah bangun dengan semangat. Tugas yang diberikan kepadanya untuk membeli keperluan dupa cukup membuatnya bersemangat. Dujayah melihat mimpi yang sama sampai pagi. Pasar Attalar luas memanjang tak berujung. Sejauh dia berjalan mengelilingi bagian dalam, ujungnya tak ditemukan. Di setiap putaran, jalannya dihabiskan dengan bermacammacam jenis bau dan agak masam. Setelah bangun, dia langsung memakai pakaian yang paling bagus. Berenis menyisir rambutnya dan berhati-hati memasang pita-pita. Dujayah pergi berjalan menuju pasar dengan membawa keranjang di tangan. Setiap sampai di tempat yang biasa dikunjungi Nyonya Waraqah, dia merasa pemilik toko tahu akan kedatangannya. Mereka menunjukkan beberapa contoh minyak wangi dan wewangian di pot kecil. Wanita muda itu terkesima dengan bau yang indah yang menunjukkan bahwa dunia ini adalah alam semesta yang tiada berujung. “Ini adalah ruh magnolia. Wanginya akan membawakan ketenteraman.” “Ini ranting buah kiraz untuk menghilangkan bau makanan.” “Ini mata kucing, melindungi dari sihir-sihir jahat.” “Ini bunga delima. Ketika dicampur dengan biji ara dan dibakar, orang yang ada di ruangan itu akan saling jatuh cinta.” 175 _ Sebuah Jejak Kaki “Ini rumput yuksuk. Ular tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya sedang dibakar rumput ini.” “Ini anamon yang dikeringkan. Tangisan anak-anak dapat diredakan dengan ini.” “Ini bunga serunai. Dibakar sebelum melakukan perjalanan.” “Ini rumput serabi, dupa di malam pertama. Jika dimakan dengan dicampur madu oleh pengantin wanita, bayi akan lahir sehat.” “Ini adalah tepung yang terbuat dari biji zaitun yang digiling. Uapnya akan membuka jiwa.” “Ini pohon linden. Kebahagiaan akan datang ke dalam rumah yang membakar pohon ini.” Kepala Dujayah pusing. Keranjangnya dia isi dengan semua wangian. Hal ini sama seperti mimpi yang dia lihat. Pasar yang membuatnya merasa tiada berujung. Inilah yang memaksanya untuk segera keluar dari pasar itu. Dia berencana melanjutkan perjalanan setelah menaruh keranjang yang berisi dupa di tempat pernikahan. Dia berjalan ke arah pintu keluar Marwah yang menurutnya lebih dekat ke jalan di belakang rumah. Banyak orang berkumpul di depan kios lesehan yang terletak di dekat pintu keluar Marwah. Di keramaian itu, dia hanya bisa melihat pasir basah yang diletakkan di atas tanah. Di tengah-tengahnya ada wanita tua yang berwajah mengerikan duduk di tempat seperti takhta. Dia berhatihati membungkukkan badan ke arah pasir. Dengan suara pelan, dia mengucapkan sesuatu kepada orang-orang di sekitar yang ingin tahu. 176 Wanita yang dikenal sebagai wanita yang memiliki ‘pengetahuan tentang pakaian dan jejak kaki’ ini adalah wanita paling tua yang pernah dilihat Dujayah selama hidupnya. Bahkan, menurut Dujayah, dia lebih mirip seperti hantu yang kembali hidup setelah lama mati. Dengan keranjang yang ditaruh di lengannya, Dujayah masuk ke dalam keramaian itu dan mendekati orang kerdil yang berada di dekatnya dan mulai bertanya, “Siapakah wanita tua ini?” Orang kerdil yang kaget itu menjawab dengan suara berat, “Dia adalah peramal paling tua yang memiliki pengatahuan tentang ‘pakaian dan jejak kaki’ di antara para peramal lain.” “Sementara kamu sendiri, apa yang kau lakukan di sini?” “Wanita itu adalah tuanku, gadis kecil.” “Tuanmu itu pasti berumur seribu tahun. Namun, pasti dia tak memberi makan untukmu. Lihatlah, dirimu kecil sekali.” “Menggunakan tubuh seseorang sebagai bahan cemoohan adalah petunjuk akhlak burukmu, gadis kecil.” “Saya minta maaf Tuan Muda. Apakah Anda akan menjawab pertanyaan saya jika saya bertanya tentang suatu hal?” “Tanyalah wahai anak nakal. Apa yang ingin kau ketahui? Jangan khawatir, apa yang aku ketahui lebih tinggi dibandingkan tinggi badanku!” “Apa maksud dari pengetahuan tentang pakaian dan jejak kaki?” “Pengetahuan yang bisa meramalkan keturunan keluarga, kondisi, dan apa yang akan terjadi dari bentuk wajah dan badan, telapak tangan, dan garis-garis telapak tangan.” 177 _ Sebuah Jejak Kaki “Dan itu adalah ramalan wanita tua itu.” “Bagus, kau sangat pintar gadis kecil. Hal ini adalah seni yang dimiliki oleh orang yang sudah lama melewati banyak kepahitan dunia dan mendengar banyak cerita.” “Apakah mereka melihat dari jejak kaki yang tertera di atas pasir basah itu?” “Iya, mereka ingin mencari jejak kaki yang hampir sama dengan jejak kaki Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai maqom Ibrahim yang berada di Kakbah di antara para pemuda Mekah. Tuanku berkata bahwa dia bisa memilih orang yang memiliki jejak kaki yang sama dengan Nabi Ibrahim dengan melihat jejak kaki orang-orang yang datang dan melewati pasir basah yang diletakkan di jalan pasar ini.” “Apakah mereka sudah menemukan orang itu?” “Belum, mereka belum menemukannya.” “Dujayah menerobos keramaian, keluar dari pintu Marwah, dan sampai di jalan yang terletak di belakang. Ketika sampai di depan rumah Adii bin Hamra yang terletak di samping rumah yang akan dijadikan tempat pernikahan, dia melihat persiapan terakhir telah usai. Para wanita yang ikut membantu tidak tahu apa yang harus mereka katakan ketika melihat Dujayah datang membawa keranjang yang penuh dengan banyak dupa. Dujayah merasakan sesuatu yang aneh setelah keluar dari pasar. Ketika wanita peramal tua itu memandangi jejak kaki yang berada di atas permukaan pasir basah itu, tibatiba wajahnya berubah. Sambil terbatuk-batuk, dia kembali duduk ke takhtanya. Setelah agak lama, dia bertanya kepada orang di sampingnya. “Jejak kaki yang berada di depan itu milik siapa?” 178 “Yang berada di bagian itu?” “Iya, jejak kaki itu.” “Itu milik Abu al-Qasim. Lelaki Mekah bernama Muhammad bin Abdullah. Dia memiliki akhlak yang bagus dan biasa dipanggil dengan sebutan al-Amin.” “Al-Amin!” “Ya, benar...” “Di antara kalian, orang yang paling sama dengan Nabi Ibrahim adalah dia.” 179 Hikayat Sebuah Kendi H ujan yang turun tidak berhenti dari hari ke hari setelah Barakah resmi menjadi istri Ubaid bin Haris. Hal itu membuat Khadijah cemas. Orang Mekah yang tidak terbiasa dengan hujan selalu menafsirkan itu sebagai pertanda. Hujan terakhir turun sekitar enam tahun lalu. Musim pernikahan menjadi saksi. Seakan-akan hujan yang turun kali ini bukanlah hujan biasa, melainkan sebuah pengampunan. Berdiri di antara para wanita yang berusaha untuk menutupi balkon dengan daun-daun pohon palem dan tongkat bambu, Khadijah memandangi gunung-gunung yang tertutup oleh hujan yang deras. Dia tampak gembira, tetapi seketika berubah menjadi cemas. Khadijah merasa khawatir dengan rombongan yang sedang melakukan perjalanan. “Nyonyaku, ada kabar bahwa telah terjadi banjir yang paling besar di Mekah yang mengalir ke arah sini.” “Sudahkah kalian beritahukan para pembantu untuk mengawasi peternakan.” “Mereka semua sudah ditugaskan untuk mengosongkan gudang dan memindahkan kurma, tepung, serta karungkarung jeli ke bukit-bukit yang aman dan tinggi. Hewanhewan gembala juga telah dibawa ke Bukit Ejyad. Untaunta telah dibawa ke kaki Gunung Abu Qubais di desa Bani Hasyim. Tetapi....” “Tetapi apa?” 180 “Ada berita yang mengabarkan bahwa dinding Baitul Atiq rusak karena banjir. Beberapa tembok serta balok juga rusak dan hancur.” “Tempat itu adalah rumah Allah, Maisaroh. Allah pasti akan melindungi rumahnya dan akan selalu terus melindunginya. Bagiku, kecemasanku sudah cukup.” “Apa yang Anda cemaskan Nyonya. Tolong beritahu kami. Kami semua siap melaksanakan semua persiapan yang Anda perintahkan. Jangan khawatir Nyonya.” “Maisarohku, kecemasanku bukan tentang harta kekayaan. Aku cemas dengan keadaan orang yang kucintai dalam perjalanan itu. Bagaimanakah keadaan rombongan yang sampai sekarang masih belum terlihat itu? Ini membuatku sedih.“ “Mari berdoa Nyonyaku. Semoga beliau datang kembali dalam keadaan sehat.” Untuk meredakan jiwa yang terselimuti kecemasan, Khadijah keluar menuju balkon. Dirinya sudah tak peduli dengan guyuran hujan. Kalau memang orang yang dia cintai tenggelam terbawa arus banjir dalam deras hujan yang seperti gelas penuh air ketika ditumpahkan, mengapa ia harus duduk di tempat yang nyaman dan hangat. “Aku bersumpah akan terus berada di bawah hujan ini sampai dia datang.” Awan-awan yang penuh dengan air hujan seakan seperti pepohonan yang memenuhi gunung. Masyarakat padang pasir berlarian tak tentu arah dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Kebahagian yang ditunggu-tunggu jutru tergantikan oleh malapetaka yang dimulai dengan kecemasan dalam waktu yang singkat. 181 _ Hikayat Sebuah Kendi Untuk meredakan jiwa yang terselimuti kecemasan, Khadijah keluar menuju balkon. Dirinya sudah tak peduli dengan guyuran hujan. Kalau memang orang yang dia cintai tenggelam terbawa arus banjir dalam deras hujan yang seperti gelas penuh air ketika ditumpahkan, mengapa ia harus duduk di tempat yang nyaman dan hangat. Butiran-butiran air hujan yang membawa bau tanah ke hidung dalam waktu satu jam berubah menjadi bau seram liang kubur. Banjir yang mengalir di jalan-jalan seakanakan seperti sungai yang memenuhi jalan sempit yang biasa dilewati, memenuhi rumah-rumah dari jendela-jendela. Arus banjir menghancurkan pintu-pintu dan mengalir ke depan membawa manusia, hewan, dan barang-barang yang berada di depannya. “Nyonya akan jatuh sakit jika terus berdiri di bawah hujan seperti ini. Dia tidak akan kuat,” ucap Maisaroh kepada pelayan wanita lainnya. Para wanita yang saling bertabrakan karena cemas itu tahu jika sang tuan tidak akan mendengarkan perkataan mereka. Mereka tahu bahwa Ibunda kota Mekah sudah 182 membiasakan diri sejak pernikahannya, jika suaminya dalam suatu perjalanan, dia akan menghukum dirinya dengan memikul beban perjalanan itu di punggungnya. “Ketika dia terbakar di panas padang pasir, menunggu kedatangannya di tempat yang sejuk menjadi haram hukumnya bagiku,” ucapnya. Kemudian, dia berjalan ke teras yang tak ada bayangan, berada di bawah terik sinar mentari yang panas. Beberapa kali Khadijah jatuh pingsan ketika menunggu suaminya di teras. Kendi usang yang retak diletakkan di sisinya pada hari seperti itu. Dia menolak meminum air dingin. Menolak diberikan barang yang bisa membuatnya berteduh atau membuat kesejukan, seperti payung atau kipas. Bahkan, mereka pun tak berani mendekatinya. Ketika terik panas mencapai puncaknya, dan saat akan pingsan karena kehausan, dia meminum seteguk air dari kendi yang airnya sudah hampir mendidih itu. “Ahh…,” ucapnya kepada kendi usang itu. “Kau pun kepanasan sepertiku.” Dia menunggu kekasihnya dengan tatapan jauh ke jalan yang tak ada akhirnya. Bibirnya tak lepas dari doa-doa, puisi, dan nyanyian untuk kekasihnya. Hari-hari seperti itu, ke arah mana pun memandang dan apa pun yang dipandang, akan mengingatkannya kepada sang kekasih. Cahaya mentari tenggelam yang terlihat dari puncak gunung dan menyinari granit serta memantulkan cahaya mirip seperti pantulan cahaya sang kekasih atau surat-surat yang ditulis kekasihnya. Seorang pengembara yang berjalan ke arahnya di koridor yang gelap atau wajah pucat bukit ketika matahari terbit 183 _ Hikayat Sebuah Kendi dengan puncaknya yang dipenuhi bunga berwarna ungu. Setiap kereta unta dari padang pasir yang berbalik arah menuju rumahnya. Burung yang berada di hatinya hinggap sambil berkicau, memandang setiap orang yang datang, hatinya pun tidak keruan. Burung gagak yang hinggap di ranting atau laba-laba yang bergelantung di jaringnya seperti pemain akrobat yang tiba-tiba turun ke balkon atau kucing yang berkeliaran, semua itu seakan-akan berubah menjadi sebuah pertanda yang membawa pesan dari kekasihnya. Burung-burung yang terbang dari arah perjalanan pulang disambutnya dengan doa-doa dan ucapan selamat datang. “Selamat datang para burung bangau. Selamat datang gadis-gadis langit. Apakah kalian membawa kabar dari Kekasihku? Katakanlah kepadaku bagaimana keadaannya?” Khadijah mengungkapkan perasaannya dengan katakata seperti mantra ketika menunggu suaminya di bawah terik panas padang pasir. “Kehidupanku, tumpuanku, pintu pengampunanku, langitku, perjanjianku, dambaanku, pujaanku, cintaku, laguku, apiku, cahayaku, kebanggaanku… Tamanku, penyatuku, keberuntunganku, alam barzahku, melodiku, berkahku, kekasihku, tepungku, hariku, kedewasaanku, bulbulku... Jiwaku, garis hidupku, sahabat jiwaku, surgaku, prajuritku, air terjunku, atapku, pintu keluarku, pohon cinarku, bungaku, kalimatku... 184 Gunungku, punggungku, bukuku, duniaku, obatku, samudraku, kedalamanku, keramahanku, bulan purnamaku, tembokku, hari kemarinku... Keluargaku, partikelku, tuanku, piramidaku, rotiku, budayaku, buah apelku, suamiku, rumahku, bulan Septemberku... Penulisku, peraturanku, pesonaku... Tujuan hidupku, syairku, kapalku, masa laluku, masa depanku, mahkota hatiku, kekuatanku, bunga mawarku, mentariku, tempat berlindungku, burung merpatiku, keindahanku, arah perjalananku... Hurufku, panenku, udaraku, hidupku, harta karunku, suku kataku, kegelisahanku, kesedihanku... Kekayaanku, tandaku, sungaiku, kesepianku, obatku, musim semiku, buah araku, harapanku, kesibukanku, kesabaranku... Embunku, akhlakku, detak nadiku... Potku, gelasku, Gunung Kafku, penaku, sayapku, darahku, kijangku, rezekiku, kalimatku, al-kautsarku, kiblatku, takdirku, tak seorang punku, bunga serunaiku, bukuku, busaku... Bunga tulipku, malam gelapku, tabirku, angin Barat Dayaku, bunga terataiku... Pengaruhku, guaku, hasilku, derajatku, isiku, ruangku, malaikatku, violetku, huruf mimku, mihrabku, perjanjianku, tamuku... Delimaku, apiku, nasibku, kepura-puraanku, kemanjaanku, bakungku, kesopananku, bunga terataiku, nikmatku, bulan Aprilku... 185 _ Hikayat Sebuah Kendi Tendaku, samudraku, tenda besarku, padangku, umurku, pakaianku, tidak berhijabku, jati diriku... Sultanku, jendelaku, pikiranku, angin Timur Lautku... Huruf ra-ku, rahmatku, bau wangiku, warnaku, gambarku, kemurahan hatiku, riwayatku, rohku, buku harianku, anginku... Samudera keselamatanku, pemilikku, kekuatanku, hari Selasaku, hitunganku, hartaku, kekasihku, sifatku, rahasiaku, tiga puluh burungku, musim gugurku, kataku, airku, ketenteramanku, puncakku, laguku, lautan Arabku, air terjunku, gulaku, kepala keluargaku... Kalenderku, keberuntunganku, keseluruhanku, manisanku, tanahku, peralihanku, serbukku... Omanku, perihalku, keinginanku, persahabatanku, harapanku, bangsaku, atas-atasku... Kesetiaanku, perwakilanku, wasiatku, pertemuanku... Hujanku, lukaku, kekasihku, tulisanku, kilauan tanganku, bintangku, jalanku... Waktuku, peganganku, air zamzamku, mukjizat batu zamrudku, peziarahku...” Dia melindungi al-Amin dengan kata-kata cinta yang terlantun seperti doa-doa zikir… ketika menunggunya.... Hujan turun dengan deras. Tetesnya yang sebesar kepala burung membuat semua orang cemas. Hujan kali ini takkan pernah terjadi untuk kedua kalinya dalam hidup mereka, seperti hari kiamat bagi orang Mekah. Hari Kiamat! Tetesan yang memberikan kehidupan. Tak ada tempat yang tidak diselimuti oleh kecemasan ketika tetesan itu 186 mencapai tahap yang membahayakan kehidupan. Bahkan, tempat beribadah yang berada di sekitar Kakbah pun hanyut dibawa air. Patung-patung besar maupun kecil satu per satu mulai hancur terbawa arus banjir. Keadaan Mekah setelah terjadi hujan membuka kekacauan. Patung-patung yang dibuat untuk mendekatkan diri mereka kepada Tuhan satu per satu terjatuh dan terbawa arus tanpa arah. Di saat itulah semua orang mulai merasakan takut. Orang Mekah menganggap bahwa patung yang seharusnya membawa kekuatan telah memberikan musibah untuk mereka. Tetapi Khadijah tak peduli dengan kecemasaan itu. Perhatiannya hanya untuk orang yang dia tunggu. Dia memandangi kendi usang yang menjadi temannya di balkon. Kendi itu penuh dengan air hujan, berusaha untuk bertahan dari air yang memenuhinya. Derasnya air hujan membuat kendi itu hampir pecah. “Ah, temanku!” ucap Khadijah ketika melihat kondisi kendi itu. “Aku tahu kalau hatimu juga retak dan sebentar lagi akan pecah.” Hatinya perih dan kemudian mendekati kendi usang itu. Dia merasakan bahwa kendi itu merupakan suatu tanda atau kenangan dari sang kekasih. Seakan-akan kendi usang itu tahu waktu ketika dia akan terbelah menjadi dua dan hancur berkeping-keping dan Khadijah tak percaya dengan apa yang terjadi. Seperti tersambar petir dari langit, badan Khadijah lemas dan kemudian jatuh ke tanah. Jatuh pingsan.... 187 _ Hikayat Sebuah Kendi Tetapi Khadijah tak peduli dengan kecemasaan itu. Perhatiannya hanya untuk orang yang dia tunggu. Dia memandangi kendi usang yang menjadi temannya di balkon. Para pelayan wanita yang berada di rumah membawa Khadijah ke tempat tidurnya. Suhu badannya sungguh sangat tinggi. Berhari-hari berada di bawah terik padang pasir dan ditambah dua jam di bawah air hujan membuat tubuhnya tak mampu untuk bertahan. Dia pun jatuh pingsan. Ketika kedua matanya terbuka, dia menemukan dirinya terbaring di tempat tidur. Hujan telah reda. Namun, kali ini langit dihujani keluhan masyarakat. Semua orang memikirkan sesuatu milik mereka yang tertelan banjir. Jalan-jalan dipenuhi tangisan. Seorang ibu tampak mencari anaknya. Seorang pemuda menanyakan keberadaan ayahnya. Seorang pengantin wanita terbawa arus banjir. Seorang pengembala muda mengejar kambing-kambingnya. Tukang perabotan menangisi tempat usahanya yang hancur. Seorang kimiawan memandangi seluruh hartanya yang tertelan arus banjir. Kerugian yang diterima masyarakat Mekah sungguh besar di malam hujan ini. Khadijah memandang sekeliling dengan kepala yang sedikit pening akibat suhu panas tubuhnya. Kemudian, dari 188 pecahan-pecahan kaca yang berembun, entah khayalan atau kenyataan.... Demam, mual, pusing. Dia menarik selimut menggunakan kekuatan tangannya yang tersisa ketika melihat Berenis duduk bersila. Berenis yang menyadari gerakan itu segera membetulkan letak tubuhnya dan menyambut Nyonya Khadijah dengan senyum di wajahnya. “Terima kasih ya Allah, Nyonya telah sadarkan diri.” “Berenis yang cantik, hujan suda reda?” “Jangan khawatir Nyonyaku. Dengan izin Allah, hujan berhenti seperti saat mulainya yang tiba-tiba.” “Kendiku....” Khadijah tak bisa menyelesaikan ucapannya. Dia mulai menangis tersedu-sedu, seakan-akan menemukan seseorang yang dapat memberikan ketenteraman jiwa kepadanya atas segala kejadian yang dialami. “Kendiku. Kendi usangku telah hancur Berenisku.” “Menangislah, Nyonyaku. Keluarkan semuanya. Tuangkan seluruh beban yang terkumpul bertahun-tahun dalam diri Nyonya, seperti langit yang menuangkan bebannya pada malam ini.” Di hadapan cinta, wanita yang berkemauan tinggi di seantero Mekah berubah menjadi seperti sepotong kain. Berenis kehabisan cara. Dia memutuskan melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan di dunia ini. Menceritakan dongeng! Di malam yang penuh dengan kesulitan ini, dia hanya bisa menenangkan Nyonya Khadijah dengan dongeng-dongeng. 189 _ Hikayat Sebuah Kendi “Kendi usang itu memiliki seorang pemilik Nyonya,” dia memulai perkataannya. Sambil membenamkan kain ke dalam cawan yang penuh dengan cuka, yang kemudian digunakan untuk membasuh dahi Khadijah yang panas, dia melanjutkan, “Sayap kendi itu patah karena berpisah dengan pemiliknya. Sekarang, pemiliknya telah mengambil dan membawa kendi itu di sampingnya.” “Namun, kendi itu adalah tanda cinta untukku. Penunggu kesabaranku. Sahabat dekatku yang mengetahui rahasia Khadijah yang seluruh Mekah tak mengetahuinya.” “Pernahkah Nyonya mendengar bahwa tanah kendi itu telah dilaknat oleh seorang raja, seorang wanita yang bertunangan, dan seorang tukang perabotan yang buta?” “Apakah kau bilang mendengar, wahai gadisku yang bijaksana?” “Ya, aku bilang mendengar Nyonyaku.” “Ah, Berenisku. Apakah aku ini dalam kondisi yang akan mendengarkan kendi usang itu? Akulah yang selalu berbicara dengannya. Semua ceritaku. Terus-menerus menceritakan semua permasalahanku. Satu hari pun aku tak mendengarkan kisah dari kendi sahabatku itu.” “Nyonyaku, kendi itu terbuat dari tanah seperti yang Anda tahu. Sama seperti Nyonya, saya, dan juga manusia lainnya. Sumber mineral dan diri kita berasal dari tanah. Ratusan tahun lalu, batu bata yang terbuat dari tanah itu digunakan untuk membangun kerajaan terkenal oleh seorang pangeran yang ingin membuktikan dirinya kepada ayahnya yang seorang raja. Ah, seandainya Nyonya tahu apa saja yang disaksikan batu bata tak berlidah itu. Sang 190 pangeran selalu membujuk ayahnya, tetapi tidak pernah berhasil meluluhkan hatinya. Bahkan, sang ayah tak pernah sekalipun mengunjungi kerajaan yang dibangunnya. Seiring waktu berlalu, pangeran menjadi seorang raja hebat yang dikenal di seluruh dunia. Jika Nyonya tahu apa saja yang batu bata saksikan dari belakang takhta selama waktu yang terlewati? Pengkhianatankah, kejayaankah, pedangpedang yang dihunus untuk keadilan dan politikkah, para penipukah, para pahlawankah. Semua disaksikannya satu demi satu. Suatu hari, kerajaan yang telah menguasai dunia selama bertahun-tahun ini diambil alih dan dihancurkan oleh seorang raja yang lebih kuat. Batu-batu bata hancur lebur di bawah reruntuhan yang penuh dengan kemarahan. Kerajaan dihiasi dengan reruntuhan bangunan dan hancur bersamaan dengan kicauan burung hantu. Raja yang datang dari keluarga terhormat itu mengembuskan napas terakhirnya tanpa bisa membuktikan dirinya kepada sang ayah. Laknat yang dia dirikan dengan seribu satu usaha di kerajaan itu hanya tertinggal sebagai suatu keinginan. Laknat dan keinginan itu berubah menjadi sebuah asap yang keluar dari ladang yang terbakar. Berabad-abad terlewati seperti ini, Nyonyaku. Beberapa waktu setelah cerita tragis sang raja yang terkubur di bawah tanah, ketidakberuntungan itu datang menghampiri hidup seorang gadis anak petani yang akan menjadi pengantin. Gadis itu terus menangis setelah tunangan yang sangat dicintainya meninggalkan dirinya. Sang ayah yang cemas dengan keadaan putrinya yang bisa menjadi buta karena terlalu banyak menangis menghadiahkan kalung yang terbuat dari tanah reruntuhan kerajaan. Di sekitar kalung itu 191 _ Hikayat Sebuah Kendi tertulis nama tunangannya. Ketika gadis itu merasa sedih, dia akan mengambil kalung itu dan mencium nama yang tertulis di situ. Hatinya pun menjadi tenang. Hari demi hari berganti, jiwa gadis yang penuh dengan rasa cinta berubah menjadi tipis. Begitu tipis sehingga banyak orang yang mempunyai permasalahan sepertinya datang dan meminta doanya. Masyarakat, yang mengeramatkan kalung cinta yang berada di leher gadis itu, percaya bahwa kesembuhan bukan datang dari Allah melainkan dari kalung itu dan berbalik dari Allah. Seorang tukang perabot sungguh menginginkan kalung itu setelah mendengar kesaktiannya. Dia pun mulai beranganangan. Seandainya memiliki kalung itu, matanya pasti akan sembuh dan hari-hari kejayaannya yang lama akan kembali lagi. Dia lalu mendapatkan kepercayaan sang gadis setelah berhari-hari berada di sampingnya dengan berpakaian seperti pengemis. Suatu malam, ketika sang gadis tertidur, dia memotong lehernya dan mengambil kalungnya. Namun, baru dua langkah pergi, dia mati tersambar petir. Keesokan hari, orang-orang yang ingin datang menemui sang gadis memutuskan membangun sebuah monumen setelah melihat leher sang gadis terpotong, sementara tukang perabot menjadi abu. Monumen ini berbentuk menara yang terbuat dari tanah. Beberapa tahun kemudian, menara itu hancur lebur dan menjadi sebuah bukit yang terbuat dari kumpulan tanah yang diambil oleh para ahli kendi. Itulah cerita tanah yang berumur lima ratus tahun yang Anda tangisi ‘kendiku, kendiku’. Di dalam kendi usang itu, para raja, gadis-gadis yang bertunangan, kalung-kalung, dan pisau-pisau menangis bersama-sama. 192 Mereka menangisi apa yang terjadi. Di sini adalah dunia, Nyonyaku. Semua serapah dan keinginan kita tertinggal di dunia ini, berada di dalam bulatan cerita. Dunia adalah sebuah kebohongan. Dia tak mempunyai seorang teman. Sekarang kita perlu melihat ke belakang kendi. Pemecah kendi usang itu adalah Allah, pemilik kendi adalah Nyonya. Allah Maha Menghendaki, Nyonyaku Dia menyukai hati yang retak. Dia tidak menyukai hati yang tertulis selain nama-Nya.” Khadijah bangkit dari tempat tidur dan mengangkat kedua tangannya seperti rahasia huruf Kha setelah membandingkan cerita cintanya dengan cerita kendi usang yang dia dengarkan dengan meneteskan air mata. “Ya Allah, dekatkanlah hambamu ini kepada-Mu dan kepada orang yang Kau cintai!” ucapnya. Khadijah melanjutkan ucapannya. “Berenisku, kau menjelaskan cinta seakan-akan seperti sebuah halangan dan sebuah kain penutup di cerita itu. Kau menjelaskan kepadaku sambil menutup gorden cinta dan dengan gorden yang sama aku akan menjelaskan cinta kepadamu. Sungguh, ayah dan anak, yang kedua-duanya merupakan seorang raja, adalah pertanda siang dan malam. Pada siang hari, dia melakukan pekerjaannya dengan semua barang yang terlihat jelas, sementara di malam hari hal-hal yang tak terlihat menjadi masalah. Dalam hal yang tersembunyi itu, dia mementingkan kebenaran di dalamnya. Kerajaan dan 193 _ Hikayat Sebuah Kendi bangunan yang dibangun di siang hari itu merupakan cerita yang menunjukkan bahwa kita ingin membuktikan diri. Namun, di malam hari, dengan undangan-undangan yang memiliki cahaya dan megah, dia melihat ke dalam, bukan keluar. Dengan begitu, kedua-duanya melihat benda yang sama tetapi dengan kebenaran yang berbeda. Sebenarnya, keduanya saling mencintai. Baik siang maupun malam, mereka saling berbagi, saling membawa ke dunia, saling menutupi, saling membuka. Siang dan malam, seperti dua raja itu, menciptakan dunia yang sama dan menghancurkan dunia yang sama. Kerajaan yang berada di dalam cerita ini merupakan kehidupan yang kita lalui. Yang melahirkan dan yang dilahirkan adalah sama. Sebetulnya, kebenaran itu hanya satu. Namun, karena terus dewasa, kita mengira bahwa kebenaran itu lebih dari satu. Sementara itu, wanita yang berada di cerita kedua menjelaskan kisah manusia pertama yang turun ke bumi dari surga yang penuh dengan keluhan. Manusia pertama yang turun ke bumi merupakan ciptaan pertama yang merasakan perpisahan dan pengasingan. Mencari kekasihnya yang terputus, terbelah, dan turun di tempat berbeda. Sang kekasih pun membuat kalung dan menghadiahkan kepadanya untuk menenangkan dirinya, dan itu merupakan wanita yang pertama. Wanita adalah ciptaan yang menghapuskan derita menjadi manusia pertama akan pengasingan, kesendirian, terputus, dan terbelah. Wanita adalah pelipur lara. Wanita adalah pengikat ke dunia. Wanita adalah proyeksi cintanya terhadap Tuhan di dunia. Kesukaan kita terhadap wanita terlihat dari senyum di wajah kita. Kita pun terhibur. Ketika diturunkan ke dunia, kita memakai kalung yang 194 bertuliskan nama-nama wanita. Wanita merupakan hal yang mengingatkan manusia pertama, yang belajar hidup di dunia berkat wanita, kepada Tuhan… dan juga disebut sebagai elemen pencipta cerita terbesar di muka bumi. Tukang perabotan buta yang kau ceritakan itu merupakan simbol ambisi kita di dunia ini. Tak ada hal baik yang kita dapatkan di dunia yang besar ini jika ambisi tidak mati. Takdir ambisi adalah membunuh dan mati. Meskipun leher sang gadis putus, cinta merupakan hal rahasia keabadian yang selalu dibahas oleh kemurnian. Menara yang dibangun masyarakat untuk mengingat sang gadis adalah simbol kehormatan kepada cinta dan kemurnian yang tidak ada batasnya selama dunia ini berputar. Sementara itu, ambisi merupakan kebalikan cinta. Dia selalu memotong-motong kebenaran cinta, seperti seekor ngengat. Namun, ambisi terbuat dari api dan pada akhirnya akan membakar dirinya sendiri, sementara cinta yang terpotong-potong menjadi sebuah legenda. Dan ketika hari telah tiba, baik dengan buruk, raja dengan rakyat, orang suci dengan pembunuh, atau cinta dengan ambisi, semua akan dikumpulkan dalam “selisih” yang sama dan akan kembali ke tempat asal mereka. Cerita panjang yang menceritakan kendi usang yang retak ini sebenarnya merupakan cerita “cinta” itu sendiri. Sebab, di dunia ini tidak ada sesuatu selain cinta. Meskipun tanganmu kuat dipukul dengan apa pun, kau akan menangisi sebuah perpisahan Berenisku. Perpisahan yang telah mengikis cinta akan menjadi sebuah luka yang takkan bisa disembuhkan jika tidak dihancurkan dan dirusakkan. Luka itu takkan pernah bisa sembuh tanpa 195 _ Hikayat Sebuah Kendi dihancurkan. Menara yang dibangun untuk mengenang gadis itu diruntuhkan menjadi satu dan menjadi sebuah timbunan tanah. Sebuah jiwa yang belum tersia-siakan untuk kekasih jangan berkata apa-apa tentang cinta!” Khadijah yang sudah mulai sadar di antara sinar mentari pagi. Dia memandangi kain bercuka yang digunakan untuk membasuh dahi dan pergelangan tangannya. Para pelayan yang menungguinya selama satu malam tertidur di tempat mereka duduk. Matanya mencari Berenis di antara mereka. “Di mana Berenis?” tanya Khadijah dengan semua kekuatan yang tersisa kepada Maisaroh. “Nyonya mencari Berenis? Dia tidak pernah datang.” “Apa kita tidak berbicara dengannya dari malam sampai pagi?” “Nyonya demam dan pingsan karena kedinginan berada di bawah derasnya hujan. İtu mungkin khayalan Nyonya saja.” Khadijah sangat lemah. Dia kemudian kembali tertidur. Kalau bukan dengan Berenis, dengan siapa dia berbicara? Berenis, yang kemudian muncul kembali ke dalam mimpi Khadijah, meneruskan pembicaraannya dan mengatakan sesuatu yang aneh kepada Khadijah. Dalam mimpi Khadijah, Berenis berkata seperti ini. “Saya melakukan pekerjaan yang berbahaya Nyonyaku: berkhayal, bercerita, dan menulis. Sebenarnya, mimpi yang Anda lihat pertama kali itu bukan milik Anda. Itu adalah mimpi yang saya bayangkan. Seberapa awal Anda dilahirkan, sebegitulah saya terlambat Nyonyaku. Percayalah, saya akan 196 dilahirkan 1422 tahun setelah Nyonya. Karena itu, orang yang sebenarnya melihat mimpi itu adalah saya bukan Anda. Jika saya tak melakukan hal yang berbahaya, bagaimana saya bisa masuk ke dalam cerita Anda, Nyonyaku? Saya mengetahui batasannya. Ini semua tentang keadaan cinta Anda. Saat keluar menuju balkon dan menyelami penantian Anda, hal itu begitu memesona. Puisi dan nyanyian cinta Anda begitu bercahaya untuk pengembara yang sedang dinantikan. Kami membicarakannya karena Anda tidak berbagi semua ini kepada siapa pun. Yang Anda lakukan adalah cinta, sementara yang kita lakukan adalah membicarakan Anda. Semua berasal dari cinta, Nyonyaku. Sekarang, Anda sedang bersatu dengan cinta. Anda adalah Khadijahnya Muhammad.” Khadijah tertidur, terbangun, tertidur, kemudian terbangun lagi. Para wanita tua, Bibi Saiyah, Jariyah Salma, Maisaroh, dan dua bidan yang menunggu Khadijah yang terguncang karena mimpi-mimpi dan cerita-cerita, memberikan ucapan selamat kepadanya. Khadijah mengandung! Terungkaplah penyebab pingsan, demam, pusing, dan mual-mual. Khadijah mengandung! 197 _ Hikayat Sebuah Kendi Khadijah mengandung bayi kedua. Khadijah mulai siuman setelah dua hari. Akhirnya, rombongan yang ditunggu ketika Mekah dilanda bencana banjir muncul bersama rombongan perjalanan dari Makbul. Berkumpul kembali dan kabar baik yang diberikan kepada Khadijah mengubah hari-hari penantian yang terlewati dengan demam dan perpisahan menjadi indah seperti kebun bunga mawar. 198 Al-Amin A hh.... Terjadi kebakaran di Mekah. Setelah bencana banjir, seluruh perhatian sekali lagi terarah ke Kakbah. Api datang dari lilin yang digunakan seorang wanita tua yang ingin membakar dupa. Rupanya, kobaran api cukup untuk membakar kain-kain Kakbah. Dalam waktu singkat, barangbarang yang terbuat dari kayu ludes dilalap api. Baitul Atiq pun rusak cukup parah. Saat itu, Mekah tidak diatur oleh seorang raja atau pemimpin. Semua urusan kota ditata oleh sebuah majelis bergaya feodal. Majelis ini lahir dari sekelompok pembesar Mekah yang bergabung dalam Dar al-Nadwa. Sistem ini dimulai dari masa Qusay sampai sekarang. Qusay sendiri merupakan kakek buyut Khadijah dan suaminya. Tenda majelis terbentuk kembali setelah bencana banjir dan kebakaran. Walid bin Mughirah mengumumkan hasil musyawarah yang disepakati para kepala suku kepada masyarakat Mekah. “Wahai Bani Quraisy! Anak-anak muda Mekah dan Baitul Atiq yang tercinta. Menurut hasil keputusan yang kami sepakati untuk perbaikan Baitul Atiq, kalian semua akan ikut dalam perbaikan sesuai dengan kemampuan kalian masing-masing. Wahai kaum Quraisy! Berhatihatilah dalam memberikan bantuan. Jangan kalian campur 199 _ Al-Amin adukkan dengan harta hasil bunga, pelacuran, perjudian, dan perampasan untuk perbaikan bangunan yang suci ini. Karena itu, saya sampaikan kepada kalian semua bahwa bantuan yang akan kalian berikan itu, baik harta peninggalan orang tua, suami, atau istri jangan sampai bersumber dari hal-hal yang dapat merusak kesucian Rumah ini!” Pengumuman itu terdengar sampai ke seluruh pelosok jalan-jalan di Mekah. Pada saat yang sama, kapal pengangkut batu dan kayu dari Mesir untuk pembangunan gereja di Yaman tenggelam di Shu’aybah, tepi Laut Merah, sekitar Jeddah. Untuk menutup kerugian, para pemilik barang menjual apa saja yang masih tersisa. Orang-orang Mekah yang menerima berita itu segera membentuk rombongan untuk melakukan perjalanan ke Jeddah. Mereka menginginkan barang-barang tersebut, yang menurut pandangan para ahli rancang bangun sangat kuat. Tak hanya barang-barang bangunan, mereka juga ternyata membawa Bakom, seorang arsitek ternama. Setelah urusan jual-beli itu selesai, mereka pun kembali ke Mekah. Di Mekah, masalah sangat besar sudah menanti mereka. Semua kabilah ingin mendapatkan bagian penting dalam kerja perbaikan itu. Sengketa pun terjadi di antara kabilah yang terlibat. Ini sekaligus membuktikan bahwa sistem pemerintahaan Mekah sangat kacau. Setiap orang di Mekah tahu bahwa urusan kekuasaan dan ekonomi dipegang orangorang yang memiliki pengetahuan agama yang luas. Pada kondisi ini, Mekah pun seakan-akan berubah menjadi meja catur. Mereka memandang perbaikan dan pembangunan Baitul Atiq sebagai pertarungan kekuatan politik. 200 Akhirnya, majelis kota memutuskan beberapa hal. Abdul Manaf dan Bani Zuhra akan memperbaiki Kakbah bagian depan dan pintu. Abdud Durar, Asad, dan Bani Adiyy akan memperbaiki Kakbah yang berada di sisi Syam. Taim dan Mahzum akan memperbaiki Kakbah yang berada di sisi Yaman. Sahm, Jumah, dan Bani Amir akan memperbaiki Kakbah yang berada dari sudut Yaman sampai bagian Hajar Aswad. Karena perbaikan ini merupakan suatu kehormatan untuk semua kabilah, pembagian tempat perbaikan itu pun dilakukan dengan cara diundi. Selanjutnya, para lelaki membentuk dua barisan untuk mengangkat batu, sementara yang wanita membawa perekat untuk mendirikan bangunan. Muhammad bin Abdullah berada di antara para pengumpul batu. Dia pun memberikan seluruh pendapatan yang bersih dan halal dengan murah hati untuk perbaikan Kakbah. Perbaikan dimulai dengan menghancurkan beberapa bagian Kakbah yang rusak akibat banjir dan kebakaran. Pekerjaan ini amat sulit karena tidak satu orang pun yang berani untuk menghancurkannya. Mereka takut terkena musibah jika berani menghancurkan bagian Kakbah. Situasi ini memang aneh. Meskipun Kakbah sudah diubah menjadi seperti rumah berhala, mereka rupanya masih percaya adanya Tuhan. Lihat dan dengarkanlah ketika penduduk Mekah mengucapkan sumpah atau bersaksi. Mereka akan memulainya dengan menyebut nama Allah. Meski demikian, keyakinan mereka tetap tidak berdasarkan tauhid. Orang-orang Mekah itu berpikir bahwa berhala yang diberi nama Latta, Uzza, Manaat, Hubal, dan nama-nama kecil lainnya itu akan mendekatkan mereka kepada Allah. 201 _ Al-Amin Kaum musyrik. Musyrik berarti berada di jalan keburukan. Orang yang tak tahu kebenaran. Meskipun percaya dengan banyak Tuhan, Kakbah merupakan bangunan yang penting. Bahkan, di atas segalagalanya. Sangat wajar jika mereka pada akhirnya tidak ingin menjadi orang pertama yang tercatat sebagai penghancur Kakbah, meskipun ditujukan untuk perbaikan. Situasi ini membuat perbaikan tersendat. Diskusi yang panjang pun terjadi. Mereka akhirnya memutuskan tidak menghancurkan Kakbah demi kebaikan dan keselamatan. Namun, Walid bin Mughirah kemudian berseru, “Umurku sudah terlalu tua. Kalaupun musibah menimpaku, akulah yang paling tua di antara kalian semua.” Dia lalu menghancurkan Kakbah dalam dua hari, dan itu merupakan awal dari perbaikan. Dua hari kemudian, setiap suku memulai pekerjaan sesuai dengan pembagian tugas yang mereka sepakati. Fondasi dasar Kakbah yang dibangun pada masa Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, terlihat. Tampak batubatu zamrud hijau yang bersinar saling tumpuk satu sama lain. Tak ada satu pun yang bisa mengangkat batu itu, bahkan meski tiga puluh orang berkumpul dan mencoba mengangkatnya. Batu-batu itu terlalu besar dan berat. Ketika seseorang dari Bani Quraisy mencoba mengangkat dengan memasukkan besi di antara batu-batu, petir bergelegar keras dan Mekah di guncang gempa. Mereka pun ketakutan dan segera berseru, “Jangan ada yang mencoba untuk mengangkat dan merusak barisan batu-batu itu!” Kemudian, mulai terdengar kabar bahwa para malaikatlah yang membangun fondasi dasar Kakbah di masa Ibrahim. 202 Orang-orang Quraisy menghormati kabar itu. Mereka pun memutuskan melakukan perbaikan di atas batu hijau tersebut. Masalah lain muncul lagi. Ketika batu yang dikenal sebagai Hajar Aswad akan dikembalikan ke tempatnya, diskusi kembali memanas. Semua kabilah ingin meletakkan Hajar Aswad ke tempat asalnya. Hajar Aswad dipercaya sebagai batu yang dibawa para malaikat dari surga untuk Nabi Ibrahim. Awalnya, batu itu berwarna putih dan bercahaya. Sejalan dengan waktu dan jumlah manusia yang terus bertambah, batu itu berubah warna menjadi gelap. Orang-orang percaya bahwa perubahan itu terjadi karena jumlah kejahatan yang semakin banyak. Salam diberikan kepada Hajar Aswad ketika akan memulai tawaf mengelilingi Kakbah. Orang-orang akan membalikkan badan ke arah batu ini dan memulai ibadah dari situ. Keistimewaan inilah yang membuat semua kabilah bersaing untuk meletakkan kembali batu yang mulia itu pada tempatnya. Pedang-pedang telah dihunus dan tubuh mereka juga sudah saling dorong. Untunglah, dalam keadaan genting itu mereka menyepakati usulan agar keputusan soal kabilah yang akan meletakkan Hajar Aswad diambil dari orang yang pertama kali masuk lewat Pintu Safa. Semua mata akhirnya tertuju pada pintu itu. Mereka menunggu dan terus menunggu. Kemudian, datanglah seseorang dengan wajah cemerlang melewati Pintu Safa. 203 _ Al-Amin Beban di hati orang-orang sirna setelah melihat wajah bagus milik orang itu. Seluruh perselisihan yang akan berujung perang tiba-tiba berhenti. Seakan-akan awan besar turun dari langit menaungi orang-orang itu. Dialah Muhammad bin Abdul Muthalib. “Al-Amin! Al-Amin!” Gelombang kebahagian menyelimuti tempat itu. “Muhammad, kau adalah orang jujur dan tepercaya. Keputusanmu paling benar. Kami setuju atas segala keputusan yang diambil olehmu,” ucap para pemimpin Quraisy, sambil menjelaskan permasalahan yang sedang terjadi. Seperti biasa, dengan suara yang teduh, dia berkata bahwa masing-masing kabilah bisa meletakkan Hajar Aswad bersama-sama. Ia pun meletakkan batu itu di atas kain yang besar. Setelah itu, masing-masing kabilah memegang ujung kain dan bersama-sama membawa batu itu pada tempatnya. Dengan cara ini, semua suku ikut meletakkan Hajar Aswad yang mulia itu. Malam itu, Khadijah mendengar kabar yang tersebar dari telinga ke telinga tentang suaminya yang berhasil mendamaikan para kabilah yang sedikit lagi akan berperang. 204 Sungguh, itulah jalan keluar yang bagus! Dia memiliki jiwa pendamai dan cerdas! Pedang-pedang pun kembali masuk ke sarungnya. Permusuhan digantikan oleh kebahagiaan dan persaudaraan. Malam itu, Khadijah mendengar kabar yang tersebar dari telinga ke telinga tentang suaminya yang berhasil mendamaikan para kabilah yang sedikit lagi akan berperang. Nama “sepupu” itu adalah al-Amin. ‘Abu al-Qasim’. Dan dengan izin Allah, dia akan menjadi seorang ayah lagi. 205 Ayah dari Anak-Anak Wanita D ujayah lagi-lagi datang dengan napas terengahengah. “Berenis... Berenis... Sudahkah kau mendengar kabar itu?” “Ambil napas dulu anak muda.” “Nyonya Khadijah baru saja melahirkan bayi wanita. Sudahkah kau mendengar hal itu?” “Segala puji bagi Allah. Semoga Allah memberikan kebahagian dan kesehatan kepada bayi itu.” “Aku pikir kamu tidak mendengarkan Berenisku. Aku bilang anak wanita telah lahir jika kau mengerti.” “Wahai anak mudaku yang memiliki dua telinga dan empat mata, tenangkan dirimu, kemudian ceritakan kepadaku.” “Mereka akan menamainya Zainab.” “Semoga Allah mengabadikan namanya dan menjadikan dia seseorang yang selalu diingat dengan baik.” “Semoga terjadi, amin. Semoga terjadi. Namun, aku bilang bayi wanita!” “Dujayah, lama-lama kau pun bertingkah seperti Barakah. Mengulang kata kata yang sama ketika sedang bahagia. Dari tadi kau selalu mengulang-ulang ‘bayi wanita dengarkah kau’, ‘bayi wanita dengarkah kau’. Segala puji bagi Allah, bayi itu terlahir sehat ke dunia. Selain bersyukur, apa yang bisa kita lakukan. Demi Allah, mengapa kau selalu mengucapkan ‘tapi 206 lahir bayi wanita, tapi lahir bayi wanita’ berulang-ulang.” “Maksudku, bayi yang lahir itu bukan laki-laki. Itulah yang aku mau katakan kepadamu, Berenisku.” “Mereka memiliki anak laki-laki dan sekarang Allah menghadiahkan anak wanita, sungguh Allah Mahabesar! Lihatlah betapa indahnya!” “Ah, Berenisku. Kau masih belum paham adat-adat Mekah. Keluar rumah saja tidak.” “Adat-adat Mekah apakah itu Tuan Mudaku?” “Jika punya sembilan anak laki-laki, yang kesepuluh jangan sampai wanita. Itulah yang para ibu di kota ini inginkan. Di sini, anak wanita adalah berita buruk untuk sang ayah. Dan aku bersumpah, para pembawa berita yang dikirim Khadijah pasti menyampaikan kabar itu dengan perasaan takut kepada Abu al-Qasim. Namun, ketika mendengar berita itu, wajah Abu al-Qasim tak berubah menjadi awan gelap. Beliau malah mengangkat kedua tanganya ke langit untuk berdoa dan bersyukur. Tak lupa pula sedekah dan zakat dibagikan kepada pembawa berita dan anak-anak yang berada di sekitarnya. Tahukah kau apa yang lelaki mulia itu lakukan kemudian?” “Apa yang dia lakukan wahai anak mudaku yang memiliki telinga indah dan mendengar semuanya?” “Dia pulang ke rumah sambil berlari dan tersenyum kepada para pembantu yang mencoba untuk menghindar karena takut ketika melihatnya naik ke lantai dua. Dia mengucapakan selamat kepada bayi dan ibu bayi itu dengan wajah tersenyum.” “Namanya adalah al-Amin. Dia adalah seseorang yang istimewa. Dia menjadi contoh yang baik untuk kita semua. 207 _ Ayah Dari Anak-anak Wanita Tak hanya kepada anak wanitanya saja, menurutku, dia adalah orang yang selalu tersenyum kepada semua anak wanita.” “Sungguh, betapa baik para ayah di dunia ini ketika aku melihat apa yang dia lakukan Berenisku.” “Semua ayah memang baik anakku.” “Tapi, ayahku tak seperti itu, Berenisku. Aku adalah anak wanitanya yang dijual kepada pedagang budak untuk menebus semua utang judinya! Sungguh memalukan anak wanita di sini. Mereka tak ada artinya selain menjadi beban.” “Itu semua adalah adat–adat buruk dunia. Dan ini akan segera berakhir seperti keburukan-keburukan yang lain. Suatu hari, utusan Allah yang ditunggu-tunggu akan datang dan mengubur adat-adat buruk ini ke dalam tanah yang terletak di bawah kedua kakinya. Percayalah kepadaku, anak mudaku. Kezaliman ini akan berakhir!” “Aku ingin menjadi saksi ketika utusan Tuhan itu datang. Utusan yang dikirim oleh Allah untuk menanyakan hak anak-anak wanita yang dikubur hidup-hidup dan dijual sebagai budak, wahai Berenisku.” “Insyaallah, kita semua menunggu hari-hari kedatangannya, sampai atau tak sampai. Kita menunggu kedatangannya, anakku.” Mereka yang terinjak-injak, yang mimpi dan harapannya telah dihancurkan, semua menunggu kedatangannya. Mereka menunggu kedatangan utusan terakhir yang akan membelah dan membukakan jalan keselamatan di lautan kezaliman di muka bumi ini. Utusan itu belum datang. Namun, tanda-tanda awal 208 mulai bersinar di langit Mekah. Di rumah Khadijah, harihari penuh kebahagian telah menghapus masa-masa berat yang telah mereka lewati bertahun-tahun. Seolah-olah tangan-tangan wahyu berkah yang belum datang itu sudah memenuhi rumah maupun ruh milik Khadijah. Seperti Qasim, kakaknya yang hanya berbeda satu tahun, bayi yang diberi nama Zainab itu juga dititipkan kepada ibu susu pada hari ketujuh kelahiran sang bayi. Tak lupa pula memotong rambutnya menyedekahkan perak kepada para tamu. Hewan kurban dipotong dan dibagikan kepada kerabat-kerabat, tetangga, pengembara, dan fakir miskin. Khadijah dan suaminya menyambut Zainab serta anakanak wanita yang akan lahir ke dunia dengan senyum dan ucapan syukur kepada Allah. Al-Amin adalah laki-laki yang memiliki wajah yang tak pernah sekalipun berubah gelap kepada anak-anak wanita. Para wanita, baik tua maupun muda, yang gemetar takut dengan ayah, suami, dan kakak, merasa aman di dekatnya. Khadijah merasa terhomat dengan perasaan aman yang didapat para wanita yang berada di sekeliling sumainya. Nenek-nenek, para ibu, dan anak-anak wanita selalu mencintainya. Sifat dapat dipercaya dan kesopanannya membekaskan kesan baik yang membuka jalan dunia bagi para wanita. Hal ini menjadi suatu kehormatan untuk Khadijah. “Aku adalah ayah dari anak-anak wanita,” kata al-Amin sambil tersenyum mengenalkan dirinya kepada orang-orang yang melakukan upacara penguburan anak wanita hiduphidup di padang pasir. 209 Melihat Apa yang Tidak Terlihat P andangan.... Khadijah menyadari bahwa suaminya memiliki pandangan yang luas ketika bertemu untuk pertama kalinya. Pandangan suaminya adalah hal yang paling disukai oleh Khadijah. Selalu tajam dan awas dengan “yang tak terlihat” di sekelilingnya. Ibarat mercusuar yang selalu memantau, pandangannya tak pernah ada yang terlewatkan. Bahkan, untuk hal-hal kecil dan tipis, detail, serta terperinci. Bukan untuk menginvestigasi atau menelisik, pandangan yang dimiliki suami Khadijah itu penuh dengan kebaikan dan pemahaman. Sepasang mata yang memandang semua orang dengan bersahabat itu membuat hati Khadijah terpesona. Jika menatap sesuatu, kalaupun dilakukannya, tak hanya menggunakan mata, tetapi membalik seluruh anggota badannya ke arah yang dipandangnya. Tak ada perbedaan, baik majikan atau budak, orang tua maupun anak-anak. Kerendahan hati yang dimiliki suaminya adalah hal yang memikat jiwa Khadijah. Para wanita menyukai orang-orang yang memiliki pandangan baik. Kasta-kasta yang terbentuk kuat seperti besi ditambah hukum masyarakat yang berdasarkan tingkat sosial telah 210 membuat mereka yang lemah menjadi semakin lemah, sementara yang kuat bertambah kuat. Tak aneh, jika yang terlihat, akan terus terlihat, sementara mereka yang tak terlihat seakan-akan seperti sesuatu yang tidak ada di lengkung lensa pekerjaan. Sifat dan karakter al-Amin yang mampu menjadi pembuka sekat di antara daerah-daerah yang bersengketa itu membuat hati Khadijah bahagia. Ketika dia berjalan, Khadijah memandang sang suami dari balik punggungnya. Anak-anak berlari-lari seperti lebah yang mengelilingi sebotol madu, para pembantu saling berkompetisi untuk melayaninya layaknya tangan-tangan para budak yang saling berebutan, para pengemis berbaris di jalan ketika melihat kedatangannya, orang-orang sakit menunggu pintu rumah mereka diketuk olehnya, dan para wanita tua yang mengamati anak muda ini mendengarkan dengan sabar masalah-masalah mereka. “Akhlaknya seperti madu,” ucap mereka kepada Khadijah untuk menilai kepribadian suaminya. Daerah belakang kota yang ditakuti dan tak pernah dikunjungi tanpa pengawal oleh para pembesar Mekah, didatangi suaminya tanpa pengawal dan tanpa membawa pedang. Tak ada satu pun jalan atau tempat yang tak pernah dikunjungi olehnya di kota Mekah. Hal inilah yang membuat para pembesar lain gelisah. “Tingkah lakunya akan membuat masalah buat kita suatu hari. Dia terlalu baik kepada orang miskin dan lemah,” keluh mereka. 211 _ Melihat Apa yang Tidak Terlihat Bahkan, mereka sering mengirim utusan kepada Khadijah untuk mengadukan perihal itu. Khadijah mendengarkan orang-orang yang datang mengeluh tanpa menyinggung perasaan. Dengan sopan, dia mencoba menjelaskan bahwa akhlak suaminya merupakan kehormatan bagi keluarga dan umat manusia Para budak dan fakir yang bertempat tinggal di daerah belakang kota hidup di dunia mereka sendiri. Di balik dinding yang tak berlubang itu, kehidupan yang mereka lewati di dunia lain itu tak pernah mendapatkan perhatian dari orang yang berada di tengah kota. Sebenarnya, hubungan di antara keduanya tak bisa dijelaskan. Menurut pandangan pembesar Mekah, keberadaan mereka itu seperti “sesuatu” yang mudah diganti. Mereka seperti daun layu dan tak penting, atau seperti udara yang mendorong pintu untuk terbuka atau tertutup, atau seperti tangan-tangan air yang kecil dan tak terlihat. Fakir, miskin, para pengemis, orang gila, yang ingin bunuh diri, yang aneh, yang sakit, yang tak punya keluarga, para janda, dan anak-anak yatim. Mereka adalah orang-orang yang hidup dan pergi tanpa menyentuh dan merepotkan orang lain. Suami Khadijah yang terhubung dengan kasih sayang adalah seseorang yang mendengar dengan jelas suara serak kehidupan ini. Dia menyentuh mereka dengan tingkah lakunya, menghormati masyarakat dari seluruh tingkatan. Dia adalah al-Amin. Yang paling tepercaya. Seperti sebuah kapal, dia membuka tempat di hatinya untuk semua. “Rumah Khadijah seperti surga,” ucap para budak dan pelayan. Semua berlomba untuk bekerja di rumahnya. 212 Meskipun berjumlah banyak atau sedikit, Khadijah tak pernah berlaku buruk terhadap wanita hamil, para budak, dan para pelayannya. Dia menghormati hak seseorang. Bahkan, dia kerap memerdekakan atau menikahkan mereka. “Rumah Khadijah seperti surga,” ucap para budak dan pelayan. Semua berlomba untuk bekerja di rumahnya. Meskipun berjumlah banyak atau sedikit, Khadijah tak pernah berlaku buruk terhadap wanita hamil, para budak, dan para pelayannya. Dia menghormati hak seseorang. Bahkan, dia kerap memerdekakan atau menikahkan mereka. Menurut pandangan mereka yang tersisih itu, tingkah laku al-Amin berada di depan semua orang Mekah. Tak hanya memperlakukan semua sesuai hukum, dia juga dekat dengan orang-orang tak mampu itu layaknya sahabat, tetangga, dan teman sekota. Dia memiliki pandangan yang baik. Ketika berbicara, dia mengarahkan seluruh badan dan ruhnya kepada mereka. Kekuatan pandangan yang dalam dan baik itu menjadi satu bagian dengan Khadijah. Mereka keluar membawa 213 _ Melihat Apa yang Tidak Terlihat kehormatan ke seluruh masyarakat. Tentunya, lingkaran cinta yang mulai bertambah besar di sekeliling al-Amin tak terlewatkan dari perhatian masyarakat. Yang dekat dengannya tidak hanya para budak atau mereka yang tak mampu seperti Ammar bin Yasir, Suhayb bin Sinan, atau Bilal bin Rabah, tetapi juga orang dari golongan kaya dan terhormat seperti Abu Bakar. Di sekitar tempat tinggal Khadijah, kelompok massa yang paling besar adalah para budak. Dari hari ke hari, jumlahnya semakin bertambah. Meskipun seluruh usaha sudah dilakukan, para budak itu tetap tidak diterima sebagai manusia dan masyarakat. Apa yang terjadi pada mereka tak dianggap penting dibandingkan kehilangan harta. Sekitar satu dekade ini perbudakan sudah menjadi hal umum. Setiap waktu semakin banyak orang menjadi budak karena ketidakadilan yang sudah merajalela. Bahkan, banyak orang yang rela untuk diasingkan. Daerah-daerah seperti Madinah dan Yaman menjadi tempat utama untuk berhijrah bagi orang-orang fakir Mekah. Setiap akhir pekan, banyak penganguran yang melakukan perjalanan dari Syu’aibah ke Jeddah untuk bekerja menjadi pelayan kamar di kapalkapal. Mereka adalah orang-orang yang tak mendapatkan tempat di kapal-kapal. Mereka tak memakai pakaian. Mereka adalah orang-orang yang pergi dan meninggal dengan mata terbuka karena tak mendapatkan apa yang mereka inginkan dari kehidupan ini. Mereka adalah orang-orang tertindas. 214 Struktur kebangsawanan di Mekah juga mendapatkan dukungan dari kekuatan otoritas agama. Tak heran jika mereka yang mengkritik ketidakadilan yang terjadi akan dianggap sebagai pembangkang agama. Nah, orang-orang tak mampu dan penganguran yang bersuara lantang terhadap ketidakadilan tidak hanya dianggap sebagai penyebar itnah, tetapi juga sebagai orang tak beragama. Orang kaya dan terhormat seperti Waraqah bin Naufal pun tak lepas dari itu semua. Dia dianggap sebagai “pengacau” karena mengatakan bahwa semua manusia sama kedudukannya di mata agama. Situasi itu membuat para pembesar Mekah berkongsi untuk membasmi setiap pembangkangan. Dinyatakanlah oleh mereka bahwa kaum bangsawan dan orang-orang kaya sebagai salah satu yang “tak terlihat”. Mereka pun menandai orang-orang yang mengkritik adat dan budaya pagan serta sistem kasta dengan kata-kata seperti sakit, gila, atau tukang sihir. Orang-orang seperti itu mereka lumpuhkan dengan cara tidak memedulikan setiap kritik dan perkataannya. Namun, semuanya tidak berjalan seperti yang diinginkan para pembesar Mekah. Mekah memang sudah menjadi kota yang memberikan hukuman kepada mereka yang bertanya dan mengkritik. Suara gemercik kritik memang tak terdengar dari lantai paling bawah, namun dari bagian lain. Awalnya dengan bergumam lirih. Selanjutnya, bisikan-bisikan kecil oposisi itu berubah menjadi suara gemerincing. Itu semua berkaitan dengan otoritas Mekah dalam hal struktur perdagangan. Bukan soal hasil produksi, melainkan sirkulasi barang dan uang. Dalam sepuluh tahun terakhir, kekuasaan perdagangan hanya berputar di tangan orang- 215 _ Melihat Apa yang Tidak Terlihat orang kaya yang jumlahnya kurang lebih tujuh sampai delapan saja. Dari hari ke hari, persaingan dan persengketaan yang terjadi di antara mereka semakin besar dan menuju arah perpecahan. Terutama antara Bani Abdul Manaf dan Bani Umayyah. Kondisi itu tentu saja merupakan kesempatan emas bagi lawan-lawan mereka di kota Mekah. Yang pasti, kekayaan milik Khadijah tak lepas dari perhatian Bani Umayyah. Mereka setiap waktu dengan hati-hati mengawasi siapa saja yang berada di sekeliling alAmin. 216 Kesedihan K hadijah memandang suaminya dengan mata penuh air mata. “Demamnya tidak turun….” Bayi mungil lelakinya sedang demam dengan suhu badan yang sangat tinggi. Khadijah merasakan ada pergerakan gunung besar di bawah kakinya. Tidak hanya bayi mungilnya, dia pun ikut merasakan badannya seperti terbakar api. Karena tidak tahu lagi harus berbuat apa, dia memandangi mata al-Amin dengan penuh pengharapan. “Aduh belahan jiwa kita... tak seorang tabib pun yang bisa menyembuhkannya.” “Tak satu obat pun yang bisa menurunkan panas badan belahan jiwaku, Suamiku.” “ Ahh… dia masih seorang laki-laki kecil.” “Dia masih seorang bayi Qasimku.” “Air susu di dadaku memadamkan api, anakku yang kepanasan.” Seakan-akan seluruh gunung di Mekah bergabung menjadi satu dan kemudian menaiki pundak Khadijah. Apakah gunung-gunung ini selalu sehitam saat ini dan tak berujung? Sejak kapan gunung-gunung ini berubah menjadi tempat pemakaman dan melantunkan lagu kematian? Sementara padang pasir? Padang pasir seperti malaikat pencabut nyawa yang bersandar di pintu rumah Khadijah, siap untuk memotong 217 _ Kesedihan jalan Qasim yang mungil. Bayi mungil itu seakan seperti lilin yang meleleh di dalam panasnya samudra api. Betapa lemahnya, betapa mungilnya, ah! Meleleh dari detik ke detik. Meski seorang tabib, seorang yang bertakwa, air mata seorang ibu, pandangan mata ayah yang sedih, tidak ada satu pun yang bisa meredakan panas di dahinya. Qasim meleleh... Qasim meleleh... Seperti api lilin yang akan segera padam. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, Qasim mungil ingin memeluk sang bunda. Kata-kata yang terlalu banyak untuk bisa dihitung dengan angka di dunia ini telah habis. Dia memilih kata “Ibu” di antara kesusahannya. Dia hanya bisa mengerang kata “ibu”... Dan Sang Ibu... Di hadapan sang putra, Khadijah yang sedang bersaing dengan gunung-gunung Mekah, yang agung, pemberani, dan terhormat, saat ini tidak tahu harus berbuat apa. Khadijah ingin memegang, menghalangi, dan menarik kepergian sang putra dengan tangannya. Namun, tak ada tali yang bisa mengikat alur hidup Qasim. Dan memang, tali-tali yang tidak begitu kuat milik Qasim sudah terputus. Qasim telah layu... Qasim telah tertarik... Jiwa Qasim telah terbang tinggi di atas langit bersama dengan sayap malaikat. Gunung-gunung bergetar, seakan kiamat telah datang bagi Sang Ibu. Teriakan “anakku” dari hatinya mengungkapkan kesedihan Khadijah. Putra mungilnya terbang seperti 218 Teriakan “anakku” dari hatinya mengungkapkan kesedihan Khadijah. Putra mungilnya terbang seperti kepompong yang telah berubah menjadi kupu-kupu, laksana air yang jatuh dari telapak tangan. kepompong yang telah berubah menjadi kupu-kupu, laksana air yang jatuh dari telapak tangan. Putra mungilnya jatuh dari telapak tangan Sang Ibu. “Rumah Khadijah” menangis darah. Dari atas sampai bawah, kediaman Khadijah diselimuti kesedihan yang sangat gelap. Para wanita memakai pakaian berkabung. Rumah dan ruang-ruang yang kosong berubah menjadi bayangan seekor burung gagak. Rumah, tanpa seorang bayi... Rumah, tanpa sepatah kata... Khadijah dan al-Amin, ibu susu Selma, bayi Zainab yang menangis di tempat tidurnya, serta sang kakak Hindun yang melepaskan pita di rambutnya dan menggantinya dengan selendang perkabungan. Para wanita dan para pelayan. Semua meneteskan air mata.... “Wahai anak pamanku (sepupuku), tulang punggung rumahku, sepasang mataku, jiwaku, tuanku, suamiku, hatiku terbakar. Sakit dan pedih ini tak bisa membuatku diam,” ucapnya dengan suara serak kepada al-Amin. 219 _ Kesedihan “Qasim, anak kita yang masih mungil. Ya Allah, biarkanlah dia menyelesaikan hari-hari susunya,” Khadijah memohon sambil menangis. Sang ayah pun tak menyadari butiran-butiran air mata telah mengumpul di pelepuk matanya. “Hati boleh bersedih, mata boleh berkaca-kaca,” ucapnya berulang-ulang dalam tangisan, “punya kita bukanlah penyesalan, melainkan kesedihan.” Hal ini diucapkan berkalikali, seakan-akan ingin meyakinkan dirinya. Namanya bukan Abu al-Qasim lagi. Riwayat hidupnya yang singkat tercatat di antara lembaran buku kehidupan mereka sebagai suatu kenangan perpisahan yang menyedihkan. Barakah yang merupakan pengasuh untuk semuanya, yang kehidupannya dilewati dengan perpisahan dan kesedihan akan kematian, memandangi Muhammad dengan hati terluka. “Perpisahan Kekasih Muhammad yang keberapakah ini?” Dia memandangi Muhammad yang telah dibesarkan dengan tangannya. Dia teringat satu per satu perpisahan Muhammad dengan ayahnya, ibunya, dan kakeknya ketika melihat lelaki dengan wajah bercahaya itu menangis diamdiam di samping keranjang bayinya. Al-Amin, sang simbol kesabaran, mengajak semua yang berada di ruangan untuk tenang. “Hari-hari susu Qasim inysaallah akan diselesaikan oleh Sang Pencipta,” hibur Muhammad kepada Khadijah. Mereka menggali makam kecil untuk sang bayi di pemakaman Ma’la yang berada di puncak Huj’. Melewati 220 makam-makam yang dihiasi pita dan kaca-kaca, diselimuti dengan kain lampin yang polos, mereka mengubur seorang teman baru dan mungil ke dalam tanah. Mereka mengantar Qasim ke tempat asal dia datang. Malam berganti malam... Kesedihan yang terlalu berkepanjangan. Hati Khadijah tertusuk-tusuk oleh luka. Rasa sakit ini berbeda dengan apa yang pernah dia rasakan. Rasa sakit itu membuatnya terpukul dan semakin tenggelam dalam kesedihan. Apakah air yang sedingin es mampu membakar? Kata-kata yang paling teduh dan tenang pun dapat membakarnya. Rumahnya seakan-akan tidak muat untuk menampung perahu. Dan ketika mentari terbenam, saat unta satu per satu berjalan pelan, kesedihan itu semakin bertambah. Matahari telah terbenam, malam telah datang, seluruh bayi burung berada di pangkuan induknya masingmasing... sementara burung mungilnya berada di kota yang tak berpenghuni... “Ya Allah, biarkanlah para malaikat memangku burung mungilku....” Di hari-hari penuh kesulitan ini, Khadijah dan al-Amin bertambah dekat. Muhammad memegang kedua tangan istrinya, mencium kedua matanya, dan selalu menghiburnya. Namun, jika tidak ada yang menemaninya, dia terlihat tertunduk sedih karena perpisahan dengan putranya. Memang, di matanya dunia tak pernah mendapatkan 221 _ Kesedihan keagungan, mengecil seukuran titik, sepasang mata yang siap untuk menerima cahaya tertidur lelap, lelap memandang sesuatu yang jauh. Teman dekat dan kerabatnya tak pernah jauh dari sisi Khadijah. Tetapi, ketika malam telah larut, pintu-pintu tertutup, kamar-kamar terkunci, semua telah tidur lelap lepas dari kehidupan. Dan rasa pedih sebenarnya terasa pada waktu itu. Sebenarnya tidak ada niat buruk jika para wanita tua dan berilmu tinggi Mekah menawarkan permohonan kepada Latta dan Uzza. Mereka terus berkata kepada Khadijah bahwa kesedihannya akan reda dan segala jenis kesialan menjauh. Namun, jawaban “Sang Ayah” sudah jelas untuk segala tawaran itu. Di antara kemarahan dan kesedihan, dengan suara keras dia berkata, “Ya Khadijahku! Sesungguhnya aku belum pernah menyembah Latta dan Uzza. Dan aku pun takkan pernah menyembahnya!” Kalimat tegas dan padat itu menggaung ke seluruh ruangan rumah dan cukup untuk memberikan pengaruh kepada orang yang mendengarkannya. Keseriusan dan ketegarannya telah membuat Khadijah menemukan kekuatan. “Kau berkata benar al-Amin. Kita tidak perlu Latta dan Uzza. Yang memberikan manfaat dan kerugian bukanlah patung-patung itu. Kita akan serahkan permasalahan kita kepada Allah. Hidup dan mati kita berada di tangan-Nya.” Ujian yang mereka hadapi seakan-akan telah membuat umur mereka berdua menjadi sepuluh tahun lebih tua. Akhirnya, semua kehilangan dan penderitaan mereka telah 222 berakhir. Kekurangdewasaan mereka pun padam dan pergi. Khadijah sering menanyakan hal ini kepada suaminya, “Suatu hari, apakah kita bisa melihat putra kita kembali? Apakah kita bisa bertemu dengannya?” Meskipun tidak tahu jawabannya, senyum yang terukir di wajah sang suami seakan-akan membuat Khadijah melihat mereka saling berpelukan dan bermain dengan putraputrinya di hari yang teduh dan di bawah bayangan pohon palem. Wajah suaminya seperti surga baginya. Khadijah menyamakan wajah suaminya dengan surga yang membuatnya kuat. Mungkin itulah penyebab mengapa dia memandang wajah suaminya lebih lama. Kesedihan atas perpisahan dengan putranya seakan-akan telah mengubah peran suami-istri itu. Dahulu, Khadijahlah yang selalu menghibur suaminya saat dalam kesedihan. Sekarang, suaminyalah yang memberikan kehidupan baginya. Kadang-kadang Khadijah membawa burung yang dia sukai ke rumah, kadang-kadang sebuah cermin, kadang-kadang lavender ungu yang dikeringkan, atau bunga-bunga wijen. Sambil menggendong putrinya, Zainab, mereka berjalanjalan ke Gunung Hira dan kemudian berbaring memandangi mentari yang terbenam dari atas puncak. Waraqah yang telah lanjut usia, sambil memegangi tongkat, selalu berkata hal yang sama ketika melihat kedatangan mereka. “Kita berasal dari Allah dan kita akan kembali kepadaNya.” Khadijah terhibur ketika mendengar ucapan itu. 223 _ Kesedihan Sementara itu, ucapan al-Amin lebih mendatangkan tenaga. Khadijah suka dengan kalimat itu. Ketika mendengar kata-kata yang benar, wajahnya bersinar penuh cahaya. Seberapa besar mereka ingin berbagi kesedihan itu, khususnya keturunan Abdul Muthalib dengan Bani Umayah yang mereka anggap sebagai pesaing, mereka menggunakan kesedihan yang dialami al-Amin dan Khadijah sebagai kesempatan emas dan mulai menyebarkan desas-desus. Sas sıs sus. Was wus... Was wus... “Lattalah yang telah mengambil putra kalian, dengarkah kalian?” “Uzza akan menghukum orang yang tidak menyembahnya, ucap leluhur kita. Dan itulah yang terjadi!” “Anak yatim Mekah menjadi anak yatim lagi. Dengarkah kalian, kesialannya telah membawa kesialan untuk Khadijah!” “Dan itulah yang terjadi jika pelit dan tak memberikan kurban kepada Manna! Kasihan Khadijah!” Pada masa itu, memiliki seorang anak laki-laki bukan hanya suatu keberuntungan dan kehormatan. Di mata para kabilah yang saling bermusuhan, anak laki-laki merupakan seorang prajurit, penjaga, dan pelindung yang membawa senjata. Pernikahan antara al-Amin dan Khadijah menjadi penyebab kecemburuan yang sangat besar di mata Bani Umayyah. Dan sekarang, menurut pandangan masyarakat, penderitaan yang dialami keluarga itu telah mengubah sebuah pisau bermata runcing menjadi busur panah yang tajam. 224 Pasangan itu menolak melakukan adat leluhur untuk menghapuskan kesedihan perpisahan dengan putra mereka. Bagi mereka, tak ada yang dapat dilakukan selain saling bergantung pada cinta dan kehormatan mereka. Pada hari ketika hati sedang bimbang, sepasang mata ‘Sang Ayah’ terpaku pada Zaid, budak yang dihadiahkan Khadijah. Khadijah juga mendapatkannya sebagai hadiah dari keponakannya. Perasaan cinta yang membara di dalam dirinya menuntunnya ke arah Zaid. Zaid bin Haritsah berusia kurang lebih delapan sampai sembilan tahun. Ia menjadi budak setelah sukunya kalah perang. Setelah beberapa kali berpindah tangan, dia telah berpisah dengan keluarga aslinya, seperti halnya Dujayah. Zaid adalah anak yang pintar, cerdik, dan cerdas. Itulah yang menjadi sebab mengapa dia selalu diinginkan sebagai pelayan. Keponakan Khadijah yang seorang hakim menghadiahkan budak kecil ini kepada Khadijah karena wajah Zaid yang tampan, serius, dan berperasaan lembut sehingga meluluhkan hatinya. Setelah hari-hari yang penuh dengan luka di hati, sambil memegang tangannya al-Amin membawa Zaid yang baru saja tiba di rumah menuju Kakbah. Setelah beberapa orang memerhatikan mereka, al-Amin memegang kedua lengan Zaid dan mengangkatnya ke udara sambil berkata dengan suara keras. “Wahai manusia, jadilah saksiku! Zaid adalah putraku! Dia adalah ahli warisku dan aku adalah ahli warisnya. Wahai kaum Quraisy, dengarkanlah! Zaid adalah putraku! Wahai manusia, dengarlah dan jadilah saksi, Zaid adalah putraku!” 225 _ Kesedihan Yang sedang bertawaf, yang sedang memotong kurban, yang sedang tawar-menawar, semuanya berlari menuju ke arah suara yang bagus itu. Mereka saling berebutan untuk memberikan ucapan selamat kepada al-Amin. Khadijah telah menemukan lagi satu kelebihan milik suaminya. Dia adalah seorang dengan hati yang luas untuk menerima Zaid sebagai putranya. Zaid yang menurut orangorang terhomat Mekah merupakan seseorang yang tak terlihat dari “yang tak terlihat”, tetapi di rumah itu dia selalu terlihat dari awal, terdengar, dan diketahui. Dan dia menjadi putra mereka. Al-Amin menjadi seorang ayah dan teman bagi putra-putrinya yang terlahir dari suami sebelumnya. Dia tidak menjadikan mereka anak angkatnya. Dia tidak membuat anak-anak tersebut menundukkan kepalanya. Khadijah pada dasarnya merupakan wanita yang selalu taat kepada hukum. Sebab itulah dia dihormati oleh semua orang. Namun, setelah melihat dan menjadi saksi atas penerapan akhlak yang bagus oleh suaminya, dia memutuskan menjadikan contoh-contoh perbuatan bagus itu sebagai tujuan hidupnya. Dia sekali lagi percaya kepadanya, sekali lagi jatuh cinta kepadanya setiap hari. Peristiwa “pengangkatan anak” membuat kedua pasangan itu menjadi sepasang sayap bagi Zaid yang butuh perlindungan. Di sisi lain, Zaid adalah penghibur sekaligus pengurang beban di hati Khadijah dan al-Amin. 226 Kisah Sebuah Kekerabatan P using, rasa kantuk, demam, nafsu makan yang tibatiba muncul, wangi yang terus tercium hidungnya, dan kemudian bau tanah yang tersiram air hujan. Semua itu beberapa waktu ini mulai dirasakannya. Kedua matanya baru saja terbuka dari tidur yang lelap. Pandangannya tertuju pada sang suami yang sudah terbangun, dengan tangan dan wajah yang telah terbasuh. Lelaki bergelar al-Amin itu tampak sedang menyisir rambut di depan kaca yang tertempel di tembok samping tempat tidur mereka. Khadijah sangat menyukai pemandangan seperti itu. Bersih. Al-Amin adalah orang yang sangat menjaga kebersihan. Di depan cermin, ia membelah rambutnya yang panjang sampai pundak menjadi dua bagian yang sama, lalu menyisirnya menjadi tiga bagian ke kanan dan tiga bagian ke kiri. Kadang, di malam hari, minyak zaitun yang bercampur wewangian tercium dari rambut suaminya. Khadijah mencium wangi itu seperti bau surga. Ketika memandangnya, dia akan ingat suatu kejadian tentang sebuah permainan kata-kata dengan putrinya, Zaynab, yang berhubungan dengan pohon zaitun. Dia mulai membisikkan sesuatu dalam keadaan setengah tertidur: Zaitunku, Zaitunku, Zaitunku yang tampan. Aku mengenalmu dan mengetahuimu dari surga. Zaitunku yang bagi Musa merupakan tongkat dan bagi Daud merupakan mahkota. 227 _ Kisah Sebuah Kekerabatan Penjaga rahasia bagi pengantin perempuan, surat bagi pengantin laki-laki Zaitunku.” Sang suami pun membalas ucapan istrinya dengan senyuman yang dipantulkan oleh cermin. Meskipun perasaan malas masih menyelimutinya, dia tetap bangun dan berdiri untuk menyiapkan sarapan pagi. Badan Khadijah goyah sesaat setelah berdiri. Dia terjatuh ke arah tempat tidurnya. Seketika itu pula al-Amin melempar sisirnya dan berlari cemas ke arah Khadijah. “Tak ada apa-apa, aku baik-baik saja. Jangan khawatir, aku baik-baik saja.” “Ada apa denganmu, Dinda?” “Aku pikir aku sedang mengandung….” Khadijah mengandung lagi. Kondisi Khadijah sebenarnya sangat lemah setelah Qasim wafat dan Zaynab lahir. Namun, semua itu hilang seketika setelah kedatangan berita bagus ini. Perempuan tua, tetapi kuat, yang datang ke tempat tinggal al-Amin dan Khadijah di siang hari menjadi berita bagus kedua yang menyebabkan kegembiraan mereka bertambahnya. Dialah Halimah, sang ibu susu. Keluarga Sa’ad bin Bakr yang berasal dari suku Hawazin dikenal di seluruh Mekah karena profesi ibu susu ini. Jalan lintas Kada’ yang terbelah di kanan-kirinya dengan lenganlengan yang kuat seakan-akan menjadi sebuah pelindung seperti “gunung-gunung putih” yang mengelilingi sebuah pulau. Kaum Hawazin menetap di puncak gunung yang 228 dikenal sebagai cerobong asap. Mereka adalah pelayannya. Mereka tinggal di tempat yang tinggi dan bersih. Tak pernah kekurangan angin dan kelembaban. Ini berbeda dengan kota Mekah yang padat. Tempat itu pun terkenal dengan kesehatan anak-anak dan para wanitanya. Khadijah mengandung lagi. Kondisi Khadijah sebenarnya sangat lemah setelah Qasim wafat dan Zaynab lahir. Namun, semua itu hilang seketika setelah kedatangan berita bagus ini. Dipenuhi dengan rerumputan, mata air yang bersembunyi di antara sumber-sumber air, warna-warni semak yang terulur dari pinggir-pinggir air, ranting-ranting pepohonan yang di ujungnya terdapat buah berwarna merah yang mirip dengan tangan-tangan sang kekasih di cerita dongeng, pepohonan berwarna ungu dan wangi, rerumputan yang diberi nama ‘benan’ karena mengingatkan pada kedua tangan ibu yang berdoa, meskipun namanya dikenang sebagai bantal bagi para penggembala, sebenarnya tanaman itu merupakan tumbuhan yang paling disukai domba, timun liar, bunga-bunga wijen yang berwarna ungu, serta rerumputan yang dikenal sebagai sejenis biji-biji kedelai yang mengingatkan pada dataran tinggi, tempat itu di bawah kekuasaan perempuan dan anak-anak. 229 _ Kisah Sebuah Kekerabatan Di hari yang panas pada bulan ini, masyarakat sekitar menginginkan bayi-bayi yang baru lahir disusui oleh para perempuan dari suku Sa’ad bin Bakr yang turun dan datang menuju pusat kota Mekah. Calon-calon ibu susu pun berada di tangan para kaum Hawazin layaknya perayaan sebuah pesta “hari-hari susu”. Kaum Hawazin adalah bangsa yang bebas. Gaya hidup yang tak terikat pada apa pun itu dipercaya orang-orang Mekah sebagai salah satu faktor penting dalam mendidik anak-anak mereka. Jika ingin menguasai bahasa Arab murni dan asli, para orang tua akan memberikan anak-anak mereka kepada para pendatang Hawzin atau para pengembara di musim semi. Para ibu susu itulah yang akan membuat anakanak menghafalkan puisi-puisi, syair-syair, dongeng, dan cerita-cerita. Dan wanita yang mengetuk pintu rumah Khadijah adalah ibu susu yang paling terkenal di antara Suku Hawazin. Perempuan yang menyusui al-Amin dan membesarkannya. Lagi-lagi Dujayah datang dengan napas tersengalsengal. “Berenis... Berenis... sudah dengarkah kau, Berenisku?” “Ada apa lagi, apa yang terjadi sekarang wahai wanita cantik yang bertelinga dua?” “Sudahkah kau dengar tentang kabar ibu susu yang datang ke tempat tinggal Nyonya Khadijah?” “Aku tak punya dua pasang telinga dan empat mata yang bisa untuk mendengar dan melihat itu semua.” 230 “Baiklah… baiklah. Jangan marah sayangku. Aku membawakan pesanan buah pir dan kurma dari rumah Nyonya Khadijah untukmu, sebagai jamuan makan malam untuk kedatangan ibu susu Halimah. Mereka juga ingin kita membuat satu kudapan, yaitu manisan sevik, dan mengirimkannya kepada mereka. Dan ada satu lagi.…” “Apa itu?” “Mereka mengatakan bahwa Nyonya Khadijah sedang mengandung. Bayi baru yang akan lahir.” “Kau sungguh anak yang baik, Dujayah. Lihatlah, untuk pertama kalinya aku sangat senang dengan ucapanmu. Semoga Allah memberikan yang terbaik. Tempat tinggal itu dilanda kesedihan selama dua tahun setelah Qasim wafat. Insyaallah, bayi itu akan melonggarkan hati mereka serta memberikan kesegaran, kebaikan, dan keindahan.” Resep Manisan Sevik Satu cangkir kapulaga dituang ke dalam dua mangkok penuh buah pir kering, lalu aduk dengan tangan sampai berbentuk seperti tepung. Aduk segengam kacang dan beberapa potong jahe ke dalam sepertiga mentega yang dicairkan dengan api yang besar. Terus aduk sampai kacang berwarna merah muda dan jahe berwarna ungu. Selanjutnya, tuang buah pir yang berbentuk tepung ke dalam panci berisi kacang dan jahe. Terus aduk dengan api yang besar. Kesabaran seorang perempuan dapat diukur dengan melihat adonan sevik yang tidak hangus. Ketika sudah terlihat padat dan keras--kepadatan itu merupakan resep rahasia para perempuan Mekah--tuangkan serbat yang sudah dihangatkan ke atas adonan. Biarkan manisan 231 _ Kisah Sebuah Kekerabatan yang dilapisi kain meleleh dengan sendirinya. Kemudian, tumbuk sampai berbentuk butiran-butiran pasir dan hidangkan dengan tambahan kayu manis. Rahasia halwa sevik terdapat pada kepadatannya! “Berenis, apa itu kepadatan?” “Padat dan keras merupakan sebuah ukuran Dujayah. Mengukur kemahiran, kesabaran, dan kekuatan untuk bangkit, dan semua itu diuji di sini.” “Aku pikir kau membuat resep halwa.” “Allah menakdirkan rasa manis dengan asin, kesedihan dengan kegembiraan, kesulitan dengan kemudahan dan menaruhnya ke dalam beban hati... terus-menerus... dan berurutan, Anak Mudaku. Takdir dan keberuntungan terus berputar, menunggu untuk mendatangi kita. Sebab, di sini adalah dunia. Kita tidak akan pernah tersenyum sebelum kita menangis, dan menangis sebelum kita tersenyum, Dujayahku.” “Menurutku, engkau ingin berkata bahwa kedatangan ibu susu Halimah ketika Nyonya Khadijah sedang mengandung merupakan waktu yang tepat.” “Lihatlah betapa pintarnya kau anak muda! Kau langsung mengerti apa yang kumaksud!” Semua yang berada di rumah seperti terbang melanglang buana karena gembira. “Ibuku... Ibuku datang,” ucap al-Amin. 232 Bunga-bunga mawar bermekaran di wajahnya. Khadijah pun merasakan kegembiraan yang sama. “Ibu al-Amin adalah ibuku juga. Selamat datang yang terhormat perempuan kaum Sa’ad bin Bakr yang paling baik.” Al-Amin menanyakan kabar teman-temannya yang dia kenal di masa kecilnya satu per satu. Kenangan masa kecil seakan-akan menghampirinya dengan kedatangan ibu susu Halimah. Khadijah juga sangat gembira. Anak-anak dan para perempuan yang ikut mendengarkan perbincangan dengan Halimah merasa seakan-akan seluruh permasalahan mereka hilang dan terhapus begitu saja. “Saat itu Tahun Gajah. Masyarakat Mekah menyambut dengan senang para calon ibu susu yang turun ke pusat kota di hari yang panas pada bulan itu. Semua saling berkompetisi untuk menjadi yang pertama di Pasar Ukaz. Mereka saling berlari untuk menjadi yang pertama dan mendapatkan anak orang kaya. Pada tahun itu, aku berada di urutan belakang di antara rombongan ibu susu. Tak dimungkiri, harapanku juga seperti harapan teman-temanku yang lain, mendapatkan anak orang kaya untuk disusui. Padahal, semua keluarga yang berada di sana sudah dipilih oleh teman-temanku. Ketika itu, Abdul Muthalib terlihat bingung sambil menggendong bayi yang tidak berayah. Ia khawatir karena tidak ada ibu susu yang mau mengambilnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kita semua tahu bahwa dia adalah orang kaya dan terhormat. Saat itu, aku pun berkata dalam hati untuk membawa pulang cucu Abdul Muthalib. Hal itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Ternyata, aku sungguh beruntung! 233 _ Kisah Sebuah Kekerabatan Sebenarnya, air susuku lebih sedikit jika dibandingkan para perempuan Hawazin lain. Namun, tiba-tiba air susuku menjadi banyak setelah mulai menyusui cucu Abdul Muthalib? Bahkan, jumlahnya sangat cukup untuk menyusui anakku sendiri yang menangis. Aku pun sangat senang. Bukan hanya aku saja yang air susunya menjadi banyak setelah kedatangan bayi baru itu. Kantong air susu unta kami pun penuh dengan air susu. Kami tidur sangat lelap setelah kenyang meminum susu hasil perasan dari unta kami. Ketika pagi menjelang, kami sadar bahwa bayi ini membawa kebaikan dan keberkahan. Hewan tunggangan kami yang tadinya lemah dan tua pun sudah tidak ada yang menandingi. Bahkan, para perempuan yang aku lewati dengan keledai tunganganku yang juga lemah dan tua bertanya, ‘Ya putri Abu Zuaib, pelan-pelanlah. Bukankah itu adalah hewan tungganganmu yang dulu?’ Selain itu, musim kemarau yang melanda wilayah Hawazin tahun itu membuat kami kekurangan air. Tanaman dan rerumputan pun kering. Hewan-hewan kami kehausan dan kelaparan. Tubuh mereka sangat kurus. Namun, setelah membawa bayi itu, kami menyaksikan awal dari perubahan. Semua kambing menjadi gemuk dan kantung susu penuh dengan air susu. Bahkan, para penduduk berkata, ‘Di mana kambing-kambing Abu Zuaib digembalakan, lepas kambingkambing kalian di sana.’ Allah menambahkan keberkahan kepada kita berkat Muhammad. Dia anak yang berakhlak baik.” Saat berbicara, ibu susu Halimah punya kebiasaan yang khas. Dia akan menaikkan dan menurunkan suaranya sehingga mampu menyihir semua yang berada di situ. Bait- 234 bait yang kadang dibaca olehnya sering dianggap sebagai legenda kuno kaum Badui yang kembali ke ingatan mereka. Halimah seperti pahlawan mistis berambut putih dengan kulit kambing yang menempel di punggungnya yang turun dari Gunung Kaf. Semuanya mendengarkannya tanpa mengambil napas. Kemudian, dia bertanya kepada para pendengarnya. “Muhammad, anakku. Pernahkah dia bercerita bagaimana dia hilang ketika masih anak kecil? Aku dan suamiku sangat khawatir. Kami mencari ke seluruh sisi, tetapi tak menemukannya. Dia mengembalakan domba dengan saudara susunya, Syaima. Kemudian, saat putriku pulang, saudara susunya tidak bersamanya. Mungkin dia tersesat jauh ketika mencari domba. Dia menemukanku dalam keadaan hampir gila ketika dirinya kembali. Walaupun masih muda, dia menceritakan kejadian yang dialaminya dengan penuh kedewasaan.” Menurut penjelasan ibu susu Halimah, satu rombongan yang berjumlah tiga orang mendekati anak susunya dan tak tahu penyebab mereka menjamu anak muda itu. “Muhammad, yang waktu itu masih kecil, menceritakan kepadaku dengan bahasa yang belum fasih. Katanya, tiga orang yang tak dikenal mendekatinya. Salah satu di antara mereka menggengam kendi perak dan cawan dari batu zamrud berwarna hijau yang penuh dengan es. Mereka berhati-hati membawanya ke puncak gunung. Kemudian, salah satu dari mereka membelah dadanya sampai ke perut. Dia tak merasakan apa pun. Tak ada rasa sakit atas semua yang menimpa dirinya. Mereka mengeluarkan usus-usunya sambil meletakkan tangannya di perut Muhammad dan 235 _ Kisah Sebuah Kekerabatan menaruh kembali usus-usus itu ke dalam perutnya setelah dicuci air es dengan gerakan yang sangat lembut. Kemudian, yang kedua berdiri dan berkata kepada orang pertama, ‘Kau telah melakukan apa yang diperintahkan kepadamu, sekarang berbaliklah.’ Ia kemudian mendekati Muhammad kecil. Dia mengeluarkan hatinya dan membelahnya menjadi dua. Dia mencari dan membuang noda-noda kehitaman. ‘Kekasih Allah, itu merupakan tangan setan yang menyentuhmu,’ ucapnya. Dia mengisi hati itu dengan sesuatu yang dibawa di sampingnya. Setelah meletakkan kembali hati itu ke tempatnya, dia mengecap hati itu dengan sesuatu yang berasal dari cahaya. Kesejukan cap itu masih dirasakan di nadinya dan sendi-sendinya. Sosok yang ketiga berdiri dan berkata, ‘Kalian telah melakukan apa yang diperintahkan. Sekarang, tolong menjauh.’ Dia mendekatinya. Dada Muhammad sampai kakinya disentuh dengan tangannya. ‘Timbanglah dia dengan sepuluh orang dari sukunya,’ katanya. Mereka lalu menimbangnya dan Muhammad lebih berat daripada mereka. ‘Lepaskan dia. Seberapa banyak pun kalian mengukurnya dengan seluruh masyarakat, dia akan lebih berat daripada mereka semua,’ ucapnya. Kemudian, dia memegang tangannnya dan menaruhnya di suatu tempat dengan sangat hati-hati. Mereka semua bersimpuh dan menciumnya. ‘Wahai Kekasih Allah! Engkau tidak akan pernah merasakan ketakutan. Engkau akan bahagia jika tahu apa saja yang telah disiapkan untukmu,’ kata mereka. Mereka pun meninggalkannya. Ketika Muhammad berbalik ke belakang, dia melihat mereka telah terbang ke langit. “Jika kamu mau, aku bisa menunjukkan tempat ke mana kami pergi!’” 236 Kisah yang diceritakan anak susunya itu apakah mungkin berasal dari dunia khayalannya yang luas? Atau mungkin dongeng yang diceritakan wanita tua kepadanya? Namun, mereka yang mendengarkan kisah itu tidak menanyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Puisi-puisi khas orangorang Mekah, perilaku yang menunjukkan rasa hormat, budaya yang menjunjung tinggi para legenda, serta kisah anak susunya itu tidak akan hilang dan akan selalu disampaikan selama berabad-abad. Setelah mendengarkan kisah itu, apakah kesedihan Khadijah berkurang? Apa yang akan diucapkan Halimah yang berambut putih dengan pengalaman yang bertahuntahun itu tentang Qasim? “Putriku, ketika api menyala, hati para ibu akan menjadi seperti arang yang berpencar. Jiwa para ibu terbakar oleh kesedihan anaknya. Kemudian, yang terbakar itu setiap hari akan padam seperti sebuah lilin. Satu lilin, dan ketika berkata satu lilin lagi, yang tersisa hanyalah abu. Lukamu masih baru. Setiap ucapan mungkin terasa berat bagimu sekarang. Obat lukamu adalah waktu. Waktu, walaupun dia tidak akan menyembuhkan lukamu sepenuhnya, dia sabar untuk membuat lukamu itu menjadi abu. Kau tidak akan melupakan Qasim sampai kau melupakannya. Abu di setiap kenanganmu itu akan terbakar. Berkat suami dan putra-putrimu, kau akan kembali lagi terhubung dengan kehidupan.” Kedatangan Halimah sungguh bagus untuk pasangan suami-istri yang hatinya sedang terluka oleh kesedihan perpisahan dengan putranya dalam dua tahun ini. Seakanakan dia mengembalikan kehidupan para pendengarnya 237 _ Kisah Sebuah Kekerabatan dengan kenangan-kenangan yang membuat anak-anak tertawa dan tersenyum. Al-Amin yang kerap berkata ‘Ibuku, Ibuku datang’ menyelimuti ibunya itu dengan kain sorban dan mencium kedua tangannya. Dia masih terlihat bingung memikirkan jamuan apa yang akan diberikan untuk wanita yang sudah dianggap ibunya sendiri itu. Pada saat itu, rasa cinta Khadijah bertambah saat menyaksikan suaminya kembali seperti anak kecil. Ucapan “ibu” yang keluar dengan kerinduan dari bibir suaminya membuat Khadijah bahagia. Hampir selama dua tahun, sepercik air hujan tidak turun di “gunung-gunung putih”. Ibu susu Halimah menceritakan kemiskinan dan kesulitan dalam kehidupan. Khadijah tentu saja tidak akan membiarkan “ibu kekasih hatinya” pulang dengan tangan kosong. Meskipun tidak bisa mengganti susu, dia menghadiahkan empat puluh lima kambing dan unta yang berkualitas bagus untuk kenyamanan dalam perjalanan kepada ibu susu Halimah. Anak yang selalu membawa keberkahan dan keberuntungan kepada Halimah telah dewasa dan menjadi seorang ayah dan tetap memberikan keberkahan kepadanya. Khadijah memandang Halimah, yang menerima unta dengan senang hati, dengan rasa kasih sayang dan ucapan terima kasih. Dia berjalan dengan tangan di atas perutnya. Dia berpikir bahwa bayi baru adalah suatu kegembiraan baru dan suatu awal yang baru. 238 Yang Datang dan Tak Pergi K hadijah memang dermawan. Dia memberikan semuanya ketika berbagi. Tidak semua orang memiliki hati yang luas seperti Khadijah. Mereka yang datang kepadanya tidak akan mau jauh darinya. Dia adalah seorang perempuan yang akan selalu dikenang. Meskipun hanya sekali dalam hidup, apa yang dilakukan untuk para tamunya, basa-basinya, jamuan-jamuannya, akan dikenang sampai mereka meninggal dunia, meskipun ketika berkunjung mereka yang pergi tidak akan pernah menjadi orang yang benar-benar pergi. Mereka tahu bahwa di hati Khadijah terdapat tempat untuk mereka semua. Sayapsayapnya sangat luas dan hangat. Khadijah pun disamakan dengan burung umay di dongeng-dongeng Persia. Sayapsayapnya memberikan keberuntungan bagi mereka yang dilanda kesedihan. Walaupun hanya sekali bertamu, mereka seakan-akan sudah merasa yang paling beruntung.. Salah satu dari mereka adalah Zubair bin Awwam. Bibi Muhammad, Saiyah, menikah dengan Awwam bin Khuwaylid, saudara laki-laki Khadijah. Zubair adalah putra dari pasangan yang saling mencintai itu. Ketika kehilangan ayahnya di umur yang masih muda, dia dibesarkan oleh Khadijah dan al-Amin. Zubair pun bersama dengan anakanak lainnya didaftarkan ke madrasah milik Khadijah. Akhlak mulia al-Amin dan tingkah laku sempurna milik Khadijah membuat Zubair seakan-akan seperti sebuah 239 _ Yang Datang Dan Tak Pergi mutiara yang bersinar di tangan penjual barang-barang mewah. Tidak hanya terbatas pada Zubair dan Zaid yang merupakan hasil didikan sepasang suami-istri yang saling menyayangi itu. Ali bin Abu halib juga merupakan setangkai bunga yang tumbuh di kebun bunga yang sama. Fatimah, istri Abu halib, menahan rasa sakit yang sangat untuk melahirkan. Saat itu, Abu halib sedang menempuh perjalanan dagang. Bagi al-Amin, Fatimah memiliki peran besar bagi kehidupannya, layaknya seorang ibu kandung baginya. Karena itu, ia segera menjumpai istrinya untuk memanggil bidan dan membantu keluarga itu. Ali adalah putra terakhir Abu halib. Setelah al-Amin keluar dari rumah sang paman dan tinggal bersama Khadijah, ia tidak pernah memutuskan hubungan dengan rumah itu. Muhammad menunggu kabar di depan pintu rumah. Ketika mendengar kabar gembira kelahiran Ali, bungabunga pun bermekaran di wajahnya. Dia lalu membagikan sedekah untuk masyarakat sekitar. Sang paman belum kembali dari perjalanan. Tiada yang tahu kapan Abu halib akan datang dan bertemu dengan putranya? Al-Amin segera masuk ke dalam rumah. Ia menggendong bayi yang baru lahir itu, menciumnya, dan kemudian memainkan kurma yang telah dikunyah ke langit-langit lidah sang bayi. Kenikmatan yang pertama kali didapatkan Ali setelah terlahir ke dunia adalah pujian dan harapan yang keluar dari mulut al-Amin yang tersembunyi di dalam kurma itu. Bayi mungil itu memerlukan ibu susu. Namun, setiap ibu susu yang di sarankan oleh Khadijah tidak sesuai untuk 240 sang bayi. Ibu bayi mungil, Fatimah, terdampar di lautan kesedihan. Air susu Fatimah sangat sedikit, sementara tidak ada ibu susu yang sesuai untuk sang bayi. Al-Amin terus memainkan kurma yang telah dikunyah di lidah Ali sampai bayi itu tertidur dan ibu susu untuknya ditemukan. Ketika al-Amin tinggal bersamanya, Abu halib memang sudah cukup tua. Saat itu rumahnya penuh dan ramai. Meja makannya pun sempit. Kadang, perdagangannya tidak berjalan lancar. Sang kemenakan merasa bahwa dirinya tidak akan bisa membayar semua utang budi yang telah dilakukan sang paman. Ia berpikir untuk mencari solusi yang bisa menenteramkan mereka. Di suatu malam, ia pun berbagi kepada sang istri, Khadijah. “Kau pasti tahu bahwa Pamanku punya peran yang sangat besar dalam membesarkan diriku dan juga pernikahanku. Beliau seperti ayah untukku. Beliau tak pernah membedakan diriku dengan anak-anaknya yang lain. Saat ini, beliau sudah sangat tua, sementara banyak anak yang perlu diberinya makan. Jika engkau setuju, aku ingin mengambil salah satu anaknya dan membesarkannya. Aku pikir itu akan sedikit meringankan bebannya. Bagaimana menurut Dinda?” “Pangeran hatiku, teman yang merupakan tempat berbagi permasalahan untuk orang tua, anak-anak, orang sakit, dan orang miskin, hatiku terbuka luas untukmu dan merupakan pintu yang tidak akan pernah tertutup untukmu. Jika itu yang menjadi keinginanmu dan menurutmu layak, aku setuju. Abu halib merupakan pembesar mekah yang terhormat. Anaknya juga seperti anak kita.” Keesokan hari, al-Amin mendatangi Abu halib bersama pamannya yang lain, Abbas. Setelah menjelaskan 241 _ Yang Datang Dan Tak Pergi keinginannya, al-Amin lalu membawa Ali, sedangkan Abbas membawa kakak Ali yang berumur empat tahun ke rumah mereka masing-masing. Dan kemudian, dua anak perempuan, Rukayah dan Ummu Kultsum, lahir ke dunia setelah Zainab. Zainab, Zaid, Zubair, Ali, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum yang tumbuh besar di bawah tangan Khadijah akan menorehkan sejarah di lembaran-lembaran halaman emas sebagai anak-anak yang berharga. Kepintaran dan kepandaian Ali yang bersinar seperti emas membuatnya menjadi siswa yang paling menonjol di sekolah Muhammad. Ali berada dalam sayap-sayap kasih sayang Khadijah. Muhammad yang sering mencium anak itu di antara kedua alisnya menyimpan penuh rahasia masa depan. Anak yang dicintai dan disayangi melebihi jiwa Khadijah dan al-Amin bersinar layaknya lilin yang menyinari seluruh sudut rumah. Ali belajar berenang, memanah, menunggang kuda dari al-Amin, sementara yang menyuapi dan memakaikan bajunya adalah Khadijah. Dari Khadijah pula Ali belajar membaca dan berhitung. Dia merupakan 242 sumber kebahagian rumah yang memiliki kepintaran yang cemerlang dan tak mau berpisah dari sisi al-Amin. Masyarakat Mekah membincangkan Ali yang tumbuh besar di tempat yang suci dan penuh dengan kebaikan serta penjaga kebun Khadijah dengan kalimat berikut, “Kata-kata baik dan bagus yang terucap oleh Muhammad terbang tinggi di atas kekayaan Khadijah dan pedang milik Ali….” Dan kemudian, dua anak perempuan, Rukayah dan Ummu Kultsum, lahir ke dunia setelah Zainab. Zainab, Zaid, Zubair, Ali, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum yang tumbuh besar di bawah tangan Khadijah akan menorehkan sejarah di lembaran-lembaran halaman emas sebagai anak-anak yang berharga. 243 Mendaki Gunung Hira A l-Amin yang sudah menginjak umur tiga puluh lima seakan-akan mulai menjauhkan diri dari masyarakat. Bahkan, Khadijah pun mencoba ikut meringankan tanggung jawab perdagangan yang dipikul suaminya setelah merasakan perubahan itu. Dengan dukungan keponakankeponakannya, ditambah Hindun dan Halah yang sudah remaja, Khadijah berhasil meringankan tanggung jawab suaminya. Langkah-langkah tafakur mulai dilakukan al-Amin. Pendakiannya ke puncak gunung dilakukan pagi hari, berdiam diri, dan kemudian kontemplasi yang dilakukan berjam-jam di tenggelamnya hari. Tebersit dalam batin Khadijah bahwa al-Amin memang senang berdiam diri. Sejak remaja, al-Amin memang tidak menyukai hiburan, pembicaraan sia-sia, lelucon kasar, dan hal-hal yang memicu perkelahian. Suatu hari, al-Amin menceritakan kisah hidupnya dan mengawalinya dengan frasa ketika aku masih remaja. “Ketika aku masih remaja, pada hari ketika aku masih menggembala, di pusat kota terdapat acara pernikahan yang besar. Kami memutuskan pergi ke acara itu bersama temantamanku. Ketika sudah hampir sampai ke tempat acara itu, seakan-akan terjadi sesuatu pada tubuhku. Aku tidak bisa menahan rasa kantuk. Kemudian, aku duduk di atas batu dan ingin beristirahat sebentar. Aku pun tertidur. Ketika 244 terbangun, aku sudah tidak melihat acara hiburan maupun pernikahan. Hal seperti itu kembali terjadi padaku. Rasa kantuk mengalahkanku. Mulai saat itulah aku memutuskan tidak pernah lagi pergi ke acara hiburan seperti itu.” Khadijah merasa bahwa satu-satunya tempat yang nyaman dan tenang untuk suaminya adalah berada di sisinya. Pada saat-saat ini, al-Amin yang selalu menghormati dan dekat dengan para tamu, kerabat, dan kaum musair mulai menjauhkan diri dari semua itu. Khadijah sebenarnya berusaha keras mengubah keadaan itu. Namun, karena menyaksikan sendiri betapa berat hari-hari yang dilewati alAmin, ia pun mulai sadar dengan kondisi tersebut. Dia sekarang ingin berdiam diri. Pada masa-masa ini, di Mekah banyak orang yang melakukan adat yang di lakukan oleh orang-orang tua yaitu tahannuts. Tahannuts merupakan ibadah yang bertujuan menjauhkan diri dari dosa dan keramaian. Bersama dengan Khadijah, al-Amin sering pergi mengunjungi orang-orang tua yang sedang melakukan pengasingan diri di gunung dan sibuk dengan puasa dan berdoa. Pada saat seperti itu, Khadijah akan menaruh makanan, seperti zaitun dan kurma, di keranjang yang ia bawa dan diberikannya kepada mereka yang berharihari berdiam diri di dalam gua. Setelah itu, Khadijah akan meminta didoakan oleh mereka. Al-Amin dan Khadijah sangat menyukai Gunung Hira dan gua yang mungil di sana. Perjalanan ke sana kurang lebih satu jam. Karena sudah mengetahui letak dan struktur gunung itu, mereka dengan mudah melewati rintanganrintangannya. Menurut mereka, tempat itu jauh dari 245 _ Mendaki Gunung Hira keramaian dan gelombang-gelombang kekerasaan dunia serta dekat dengan langit. Selain itu, dari tempat tersebut mereka bisa menyaksikan mentari yang sedang tenggelam. Khadijah mendaki gunung menemani suaminya yang bergetar penuh dengan keingintahuan. Setelah waktu yang mereka lewati dalam pendakian itu, dia merasakan seakanakan di setiap langkah ruhnya tercuci bersih dan batinnya bersinar terang. Jalan yang dia lewati bersama suaminya pun sudah menjadi jalan biasa untuk dirinya. Sebenarnya, di setiap bukit yang terbuat dari bebatuan itu memiliki sebuah lidah. Selain itu, gunung besar itu seakanakan mengenakan baju perang untuk melindungi dirinya dari keramaian. Namun, di balik tampilan yang keras itu, Gunung Hira hanya bisa ditaklukkan oleh orang-orang yang memiliki kesabaran dan keinginan untuk menjaga rahasia. Gunung Hira seolah-olah hanya memberikan hadiah kepada mereka yang menginginkan ketenteraman. Gunung Hira tidak mudah untuk didaki. Batu-batu besarnya mempersulit jalan. Belum lagi batu-batuan kecil dan kerikil membuat jalan menjadi licin dan membahayakan para pendaki. Gunung Hira memunculkan kenangan pada padang pasir yang halus, lembut, dan panjang. Warna cokelat keemasannya menampilkan kekokohan dengan otot-otot yang berjajaran satu sama lain, ditambah bauk dan misai yang mulai berwarna putih, seakan-akan tampak seperti prajurit perang yang memancarkan sinar mentari. Bagi Khadijah, Gunung Hira yang memberikan perasaan tidak berujung merupakan salah satu metode untuk menguji sang pendaki. Terdapat jajaran batuan yang memiliki panjang sepertiga dari setiap puncaknya, kemudian terdapat lagi jajaran yang bejarak setengah dari jalan menuju puncak 246 gunung. Bebatuan yang berukuran besar itu membuat para pendaki harus menahan napas mereka. Menurut Khadijah, salah satu dari bebatuan itu mirip dengan bulatan tembaga yang besar. Ketika sampai pada batu itu bersama dengan suaminya, dia seperti merasakan al-Amin memandangnya dengan tatapan mata yang penuh kasih sayang dan ucapan terima kasih. Khadijah mendaki gunung menemani suaminya yang bergetar penuh dengan keingintahuan. Setelah waktu yang mereka lewati dalam pendakian itu, dia merasakan seakan- akan di setiap langkah ruhnya tercuci bersih dan batinnya bersinar terang. Jalan yang dia lewati bersama suaminya pun sudah menjadi jalan biasa untuk dirinya. Mereka tidak berbicara. Mereka beristirahat sebentar sambil bersama-sama memandang kota-kota yang perlahan-lahan tertutup dengan embun. Khadijah menepuk batu yang mirip bulatan tembaga itu dan mengucapkan terima kasih kepada gua Hira atas pemandangan dihadiahkan kepada mereka. 247 _ Mendaki Gunung Hira Di tempat peristirahatan kedua di puncak yang kedua terdapat batu di antara jajaran bebatuan yang berada di ujung puncak, yang mengingatkan mereka dengan sebuah takhta. Warna hitam yang melapisinya membuat batu itu tampak agung, seakan-akan sebuah singgasana raja selama berabadabad. Di tempat istirahat yang kedua ini, ketika memandang ke arah kota Mekah, rumah-rumah di sana seperti kotakkotak kecil menurut pandangan Khadijah. Atap-atap rumah yang berjajaran seperti biji-biji kurma yang dijajarkan. Semakin ke atas, pemandangan kota tak terlihat sama sekali. Di mata Khadijah, kota yang ia kenal menjadi sesuatu yang tidak dia pahami. Dirinya terkagum-kagum ketika melihat kota Mekah dari atas. Ia pun berpikir bahwa kota itu besar dan megah, seberapapun terlihat kecil dan murni di matanya. Kemudian, mereka melanjutkan pendakian. AlAmin kadang berada di depan, kadang di samping, atau menggenggam tangannya. Namun, sekali lagi, tanpa mengucapkan satu kata... diam.… Mereka menemukan satu bahasa baru selama melakukan pendakian itu. Bahasa itu tak memiliki suara dan huruf. Mereka merupakan pasangan yang saling mengerti tanpa berbicara ketika berada di Hira. Seperti masa-masa Adam dan Hawa mengelilingi surga dengan saling memegang tangan dan tanpa bicara. Seperti manusia pertama yang melihat keagungan dan keindahan ciptaan Allah dan tidak menemukan kata-kata untuk diucapkan. Kekuatan hati dan cinta menjauhkan mereka dari bahasa dan bicara. Kehidupan mereka telah saling terbuka secara langsung. Merasakan cinta tanpa perlu ada tanggung jawab atas kata, 248 beban kalimat, dan rangkaian huruf. Seperti para perempuan lain, Khadijah tentu ingin mendengarkan apa yang dia cintai, sukai, dan akui. Namun, Gunung Hira mengajarkan sesuatu yang berbeda tentang cinta. Merasakan daripada mendengarkan. Saling memandang daripada berbicara. Dan itulah yang terjadi ketika mereka menapakkan setiap langkah pendakian di Gunung Hira. Khadijah sangat menyukai bebatuan kecil yang berjajar di sisi kanan dan kiri ketika mendaki satu puncak ke puncak lain. Ketika melewati jajaran batu-batu itu, ia ingin membelainya, mengucapkan salam kepada bunga-bunga kering berujung kuning yang seakan-akan bersembunyi di balik bebatuan kecil itu. Tanpa sadar, mereka telah tiba di gua-gua berbentuk bulat yang berada di Gunung Hira itu. Ketika menunduk dan masuk ke guoa kecil itu, muncul perasaan hangat dan tenteram. Khadijah menyukai gua ini yang seperti balkon di tepi gunung dan menghadap ke arah kota. “Ketika berada di atas, apa yang kita lihat bertambah banyak, tetapi apa yang diucapkan semakin berkurang,” ucapnya dalam hati. Matanya telah banyak menyaksikan kejadian tragis dan tak aman yang terjadi setiap hari di jalan-jalan di dalam kota. Perkelahian, ketidakadilan, atau pencurian. Semua itu kini menjadi terlihat kecil. Keindahan ciptaan-Nya terlihat besar. Khadijah memahami bahwa kebesaran dan keagungan Allah memancarkan sinarnya ke seluruh arah. Ke arah mana awan-awan pergi, bagaimana burungburung terbang, dari mana berasal sumber mata air yang mengalir seperti air mata di dalam gua? Siapa yang 249 _ Mendaki Gunung Hira meletakkan Matahari dan bintang-bintang di langit layaknya lilin-lilin tergantung? Mengapa malam dan pagi tak saling berebut hadir? Meskipun berada di luar kota, ke mana perginya orang-orang yang tidur di pemakaman yang semakin hari semakin dekat dengan pusat kota? Begitu banyak pertanyaan melintas dalam pikiran. Setiap kali Khadijah selalu mengulangi sesuatu yang sama. Semakin mendekati puncak, apa yang kita bicarakan semakin berkurang. “Bukan pertanyaan yang berada di tangan kita, melainkan siapa yang berbicara di dalam diriku? Siapakah yang mendengarkan pembicaraan tak berhuruf dan tak memerlukan kata-kata yang terus berlanjut ini?” Khadijah binti Khuwaylid sadar bahwa seseorang mendengarkan apa yang ia bicarakan. Dia merasakan bahwa Allah mendengarkannya dan mengetahui segalanya, terutama ketika orang-orang menjauhkan diri dari keramaian untuk mendaki Gunung Hira dan berdiam diri. Kadangkala, mata Khadijah berair tatkala memandangi bias cahaya, padang pasir yang membentang luas, dan ciptaan yang berbaris di depannya. Dan Kakbah... Baitul Atik... rumah yang paling tua... seakan-akan seperti sarang madu yang dikelilingi lebah ketika memandangnya dari Hira. Gua merupakan surga untuk Khadijah. Sendiri bersama dengan orang yang dia cintai, penuh dengan ketenteraman. Jauh dari kota dan bermacam kesibukan. Seperti teras yang tercuci bersih oleh sinar bulan, dua orang yang berada di telapak tangan tertutupi dengan rahasia-rahasia mereka sendiri. 250 Terselimuti. Tersembunyi. Terputus dengan waktu dan keramaian. Mereka kadang menyalakan dupa yang mereka bawa di dalam gua, lalu duduk bersama di atas syal yang diletakkan di atas tanah. Gua yang penuh bebatuan itu, dengan pancaran kasih sayang Khadijah, berubah menjadi kebun anggur. Seakan-akan mereka seperti berada di sebuah oase atau kebun buah-buahan. Khadijah mencium bau susu dan bau buah tin. Gua memberikan hadiah bermacam-macam aroma indah untuk mereka. Ketika malam tiba, mereka tidur berselimut selendang ungu muda. Setiap matanya terbuka, dia melihat al-Amin yang sedang berdoa di bawah sinar bulan dan memandang kejauhan. Bintang-bintang yang mendekat seakan-akan menyentuhnya. Di malam hari yang memudahkannya memilih serabut bulu di wajah sang bulan, hati Khadijah tersiram air hujan cinta. Ketika tiba waktunya untuk turun gunung, mereka juga bertemu dengan orang-orang yang melakukan tahannuts, terutama Zaid bin Amr. Karena tidak ingin membuatnya sedih, al-Amin selalu memberikan salam kepadanya. Ia juga memberikan makanan yang dibawanya. Al-Amin senang mendengarkan ajaran tentang tauhid, hidup, dan mati. Ketika al-Amin mendaki bersama dengan istrinya, ia pun menceritakan kisahnya bersama Zaid kepada istrinya. Pengalaman yang didapat di Gunung Hira menjadi penyebab Khadijah memahami suaminya lebih dalam. Dari Gua Hira itulah tumbuh kecintaan pada ibadah, berdoa, tafakur, dan khususnya semangat ketika memandang 251 _ Mendaki Gunung Hira Kakbah. Khadijah menganggap semua itu sebagai sebuah kebaikan. Bersamaan dengan itu, kasih sayang suaminya mengarahkan dirinya dan hatinya untuk selalu terbuka. Pada saat suaminya pergi mendaki, Khadijah sendiri atau pembantunya akan mengawasi al-Amin untuk mengontrol kesehatan dan kebutuhannya. Ketika beberapa kali tidak sabar menunggu, Khadijah akan pergi sendiri secara sembunyi-sembunyi. Dia tinggal di antara lubang gunung yang tak jauh dari gua tempat suaminya berada. Dia tidak pernah meninggalkan al-Amin sendiri... Batu-batu yang menjadi tempat bersandar kepala di malam hari seolah menjadi suaminya yang sedang dia peluk. Bagaimana jika mereka berbicara bahwa Khadijah malam ini berbaring dan tertidur di atasnya? Lidah-lidah yang berdiri dan kemudian berbicara agar kaki-kakinya tidak tenggelam, apakah mereka akan berbicara bahwa seorang wanita agung telah melewatinya? Bagaimana dengan bulan purnama? Wanita yang bersembunyi di antara bebatuan untuk menyaksikan suaminya secara diam-diam telah meredupkan sinarku. Akankah dia merasakan air mata Khadijah yang turun? Khadijah yakin kepada al-Amin. Kepercayaannya penuh. Ia berada di jalan yang benar. Namun, Khadijah adalah seorang wanita, seorang ibu, wanita yang tertutup kepalanya, pelindung, pemberi, wanita yang melebarkan sayapnya. Dia tidak bisa tidur di tempat tidurnya yang hangat ketika suaminya berada di gua. Walaupun tertidur, 252 hatinya tidak pernah tidur. Khadijah melihat seluruh wajah putra-putrinya ketika memandang wajah al-Amin... dia adalah seorang kekasih dan juga seorang ibu. Di malam yang lembut ini dia tidak bisa memilih? Seorang kekasih ataukah seorang ibu? Pohon ataukah gunung? Syal ataukah air? Dia sendiri pun tidak tahu Meleleh… meleleh… meleleh... dia meleleh karena cinta Muhammad…. 253 Kelahiran Fatimah S etelah melewati hari-hari yang panjang di Gua Hira, alAmin mulai bisa melihat dan mendengar hal-hal tidak biasa yang membuatnya tak nyaman. Ia mendengar suarasuara yang mengucapkan salam kepadanya ketika berjalan melewati sesuatu di sekitarnya. Saat itu, ia berpikir bahwa semua itu hanya khayalan, apalagi ketika tidak menemukan seorang pun di sekitar tempat itu. Bunga-bunga, pohonpohon, dan batu-batu yang mengucapkan salam kepadanya membuat dirinya ragu-ragu dengan apa yang ia pikirkan. Itu semua mengingatkannya kepada pekerjaan gaib yang tidak ia sukai. Ketika al-Amin menceritakan keadaan ini kepada istrinya, seperti biasa Khadijah menenangkan al-Amin dengan mengucapkan kata-kata yang lembut. “Engkau selalu menjaga amanah yang diberikan kepadamu dan selalu memberikan hak-hak kerabatmu. Engkau juga selalu bersilaturahmi kepada mereka.” “Engkau memiliki akhlak yang bagus dan berada di jalan yang benar. Apa yang engkau lihat adalah benar dan pasti ada alasan di balik semua itu.” “Jangan khawatir, Allah akan melindungi orang-orang yang berakhlak baik.” “Kami semua memanggilmu al-Amin. Engkau adalah orang yang disayangi dan dipilih oleh Allah. Namamu adalah Muhammad.” 254 “Engkau adalah orang yang selalu dikenang dengan kebaikan. Apa yang menimpa dirimu adalah sebuah kebaikan dan memiliki hikmah.” “Engkau adalah pemilik akhlak mulia. Engkau harus percaya kepada dirimu.” “Kekasihku, engkau adalah sosok ayah yang baik dan saudara yang memikirkan saudaranya. Semua kebaikan itu akan melindungimu dari segala kejahatan.” Pada masa itu, para wanita memang memiliki sebuah penilaian khusus jika seseorang telah menjauhkan diri dari lingkungan, menjaga jarak, banyak berpikir, serta banyak membaca dan berdoa. Mereka menyangka bahwa orang seperti itu telah kehilangan kesadaraan atau dirasuki makhluk gaib. Bahkan, orang-orang Yahudi dan Nasrani pun dipandang setengah waras. Sosok seperti Waraqah dan Zaid bin Amr telah dianggap sebagai pribadi yang telah sepenuhnya dirasuki makhluk gaib. Sebenarnya, ini merupakan naluri pembelaan diri yang bersumber dari pemikiran tradisional pagan Mekah. Sebuah tindakan dan perilaku yang tidak ingin menerima perbedaan dan tidak ingin mendengar pertanyaan yang memicu perubahan. Karena Khadijah tahu bahwa dirinya terhubung secara batin dan menjadi saksi atas perilaku baik suaminya, dia mulai memberikan dukungan yang lebih kepada sang suami. Sebagian tanggung jawab suaminya dalam hal perdagangan mulai ia ambil. Di samping itu, ia juga sangat perhatian pada kegiatan yang berkaitan dengan hari-hari ibadah sang suami. Kepedulian ini juga dimaksudkan agar putri-putrinya tidak merasakan kekosongan dari diri sang ayah. Apalagi, 255 _ Kelahiran Fatimah ayah dari Zainab, Rukayyah, dan Ummu Kultsum ini sedang melewati hari-hari yang penuh dengan kesulitan dan beban. Selain itu, saat tiba di rumah, al-Amin pun dalam keadaan sangat lelah. Semua itu dilakukan Khadijah untuk membantu suaminya melewati keadaan tersebut sehingga tidak memengaruhi jiwa anak-anak mereka. Kadang, sang suami berada di gua selama empat puluh hari. Pada saat seperti itu, Khadijah akan menugaskan orang kepercayaannya untuk mengawasi sang suami. Namun, suatu waktu dia sendiri yang akan mengawasi secara rutin tanpa menyakiti perasaan suaminya. Apalagi, saat itu banyak pembunuhan yang menimpa mereka yang sedang menjalankan ibadah akibat permusuhan yang terjadi dengan kaum Bani Umayyah. Hal itu tentu saja bisa juga menimpa suaminya. Karena Khadijah tahu bahwa dirinya terhubung secara batin dan menjadi saksi atas perilaku baik suaminya, dia mulai memberikan dukungan yang lebih kepada sang suami. Sebagian tanggung jawab suaminya dalam hal perdagangan mulai ia ambil. Di samping itu, ia juga sangat perhatian pada kegiatan yang berkaitan dengan hari-hari ibadah sang suami. 256 Menghadapi hal seperti itu, mereka harus bertindak cerdik dan pintar. Beberapa orang yang membantu Khadijah dalam permasalahan ini adalah Hakim, Zaid, Zubair yang terkenal berani, Ali yang sangat cerdas, dan beberapa pemuda yang memiliki hubungan keluarga dengan Bani Hasyim. Mereka semua adalah orang-orang yang sangat menghargai dan menghormati Khadijah. Tanpa menunggu permohonan dari Khadijah, mereka tahu apa yang harus dilakukan. Di samping itu, kehidupan al-Amin tidak hanya dilewatinya dengan berdiam diri dan tafakur. Ia tidak pernah duduk lama di satu tempat. Dirinya terus berjalan, mengalir dengan sendiri dan berarah. Masuk dalam fase kehidupan rohani dan memikul “beban berat”, pasti akan membuat jiwa seorang manusia terkejut dan menjadi pengalaman melelahkan. Masa sulit seperti itu tentu saja bukan hal yang mudah untuk dilalui, meskipun memiliki Khadijah yang selalu mencoba meringankan beban dan juga teman perjalanan hidup yang cerdas dan bertanggung jawab. Di masa-masa sulit seperti itu, Khadijah memikul beban dan tanggung jawab yang dipikul al-Amin sebagai seorang ayah dan laki-laki. Khadijah seakan-akan merupakan bentuk al-Amin di dunia ini, seperti lengan dan tangannya serta kesehariannya. Seakan-akan mereka memiliki wujud, ruh, dan tubuh yang sama. Ketika ruh al-Amin mengalami pengalaman itu, tubuh Khadijah pun merasakan bebannya. Dan memang, dalam arus kehidupan ini harus ada unsur keseimbangan. Hal itu, menurut Khadijah, terjadi jika kita merupakan seorang wanita, seorang ibu. 257 _ Kelahiran Fatimah Permasalahan anak perempuan mereka, Hindun binti Atik, yang saat itu sudah berada di usia untuk menikah merupakan salah satu contoh. Khadijah ikut memikirkan persiapan menikah, dengan siapa akan menikah, dan juga permasalahan-permasalahan rumah tangga yang akan dibangun. Sayi bin Umayyah, keponakannya, pernah meminang Hindun, tetapi Khadijah tidak terburu-buru memberikan keputusan. Ia memberitahu dan mendiskusikan masalah-masalah seperti itu kepada al-Amin pada saat suaminya tidak sibuk dan dalam kondisi yang nyaman. Meski al-Amin sedang mengerahkan jiwanya untuk beribadah, Khadijah tidak pernah mengambil keputusan sendiri tanpa bermusyawarah dengannya. Khadijah percaya dengan pengalaman hidupnya dan kecerdasaan al-Amin, dan itu merupakan bukti bahwa mereka saling melengkapi. Bahkan, Khadijah mampu meringankan beban ruhani yang dipikul oleh al-Amin. Khadijah tersenyum ketika al-Amin memanggil namanya, meskipun hanya pendek dan singkat. Perkataan dan ucapannya yang lemah lembut menyinari kehidupannya seperti air terjun yang mengalir. Bagi Khadijah, hal itu sangat berharga dibandingkan hidupnya. ”Khadijah... Khadijah... wahai Khadijah….” Ucapan-ucapan itu seakan seperti apa yang dia lihat dalam mimpinya: mentari yang terbit di dalam hatinya. Kasih sayang dan cinta al-Amin telah menghapus semua kelelahan dan kekhawatiran dalam hidupnya, yang membuat Khadijah bangkit dan bersemangat kembali. Dan salah satu hari dari hari-hari yang penuh dengan kekhawatiran dan kecemasan adalah saat ini empat puluh hari sudah al-Amin berdiam diri di Gua Hira. 258 Malam hari menjelang pagi, al-Amin mengetuk pintu rumah. Ia tiba di rumah dengan tubuh bermandikan peluh dan berwajah pucat, seakan-akan merasakan dingin yang luar biasa. Ketika membingkai tubuh suaminya dengan selimut, Khadijah memeluknya dengan penuh kasih sayang dan cinta. Keesokan hari, al-Amin menceritakan apa yang terjadi pada malam itu. Dirinya telah melewati empat puluh hari dengan berpuasa dan beribadah sebelum tiba di sisi istrinya. Saat itu, sebelum waktu berbuka tiba, ia terbangun setelah setengah tertidur dan melihat sebuah mimpi yang mengejutkan. Ia kemudian berlari menuju sisi istrinya. Dalam kondisi setengah tertidur, mimpi yang dilihatnya serasa nyata. “Wahai Muhammad, Allah mengirimkan salam untukmu. Dia memerintahkanmu bersiap diri menerima salam dan hadiah-Nya,” ucap suara kepadanya. Di tangan Mikail, nama malaikat yang datang menghampiri al-Amin, terdapat piring yang ditutupi kain sutra, yang isinya memancarkan sinar. Malaikat itu meminta al-Amin berbuka puasa dengan makanan yang ada di piring itu. Al-Amin lalu menyantap makanan itu dan kemudian meneguk minuman dingin yang diberikan kepadanya. Selanjutnya, malaikat itu meminta al-Amin menjumpai istrinya. Allah berirman akan menciptakan anak-cucu alAmin dari anak cucu yang bersih. Anak cucu yang bersih… Anak cucu yang bersih... Perasaan al-Amin penuh dengan kesucian. 259 _ Kelahiran Fatimah Di dalam maupun di luar terpancar sinar, seakan-akan seperti tubuh yang transparan. Kemudian, Khadijah menceritakan kisah selanjutnya kepada orang-orang yang dia cintai. “Aku sudah terbiasa dengan kesendirian pada waktu itu. Saat tengah malam tiba, aku menutupi kepalaku dan memakai pakaian lebar. Pintu-pintu kukunci. Setelah melakukan ibadah, obor pun kumatikan. Aku lalu berbaring di tempat tidur. Malam itu, aku setengah tertidur setengah terbangun. Tiba-tiba pintu diketuk. ‘Selain Muhammad tak ada yang mengetuk pintuku, siapa kau?’ ucapku. Dia, dengan suara yang lembut dan manis, berkata, ‘Buka pintunya, wahai Khadijah. Aku Muhammad!’ Aku pun membuka pintu. Dia lalu masuk ke dalam rumah. Aku bersumpah kepada Allah yang menciptakan langit dan yang mengeluarkan air dari tanah bahwa aku merasakan beban Fatimah di badanku sebelum suamiku menjauh dariku.” Al-Amin memberikan kabar gembira kepada Khadijah bahwa akan terlahir anak-cucu yang bersih. Mereka akan memberikan nama Fatimah kepada bayi mereka yang akan lahir. Bayi ini akan memiliki wajah dan tubuh yang sama dengan ayahnya. Dia akan tumbuh dan besar seperti sebuah bunga dengan kecerdasaan, kepintaran, dan akhlak yang bagus di bawah bimbingan ibundanya. Dia adalah Zahra, sebuah sungai yang kebenaran kata-katanya menurun dari ayahandanya, sementara usaha dan keberanian datang dari ibundanya. 260 Khadijah sadar bahwa ia akan menghadapi hari-hari penuh dengan ujian saat melahirkan putrinya. Kabar mengenai kesulitan Khadijah terdengar sampai ke telinga para wanita terhormat Mekah. Ia pun sangat terkejut ketika para wanita terhormat Mekah memalingkan wajah darinya. Khadijah sadar bahwa ia akan menghadapi hari-hari penuh dengan ujian saat melahirkan putrinya. Kabar mengenai kesulitan Khadijah terdengar sampai ke telinga para wanita terhormat Mekah. Ia pun sangat terkejut ketika para wanita terhormat Mekah memalingkan wajah darinya. “Engkau berkhianat dan tak mendengarkan perkataan kami. Seakan-akan menikah dengan Muhammad, anak yatim Abu halib yang tidak mempunyai kekayaan, tidak cukup untukmu lagi. Engkau dan keluargamu menghina dan tidak menghormati keyakinan nenek moyang kita. Kalian tidak mematuhi kami. Kalian membangkang dari adat-adat kita. Ucapan-ucapan kalian tidak akan kami dengar. Kami tidak akan datang ke tempat kalian! Kami tidak akan melakukan apa pun untuk meringankan beban kalian. Rasakan kesendirian kalian. Kalian berhak mendapatkannya!” 261 _ Kelahiran Fatimah Kata-kata yang berujung tajam, bersayap, dan yang tidak pantas untuk saudara dan tetangga. Kata-kata kotor dan menyakitkan. Akan tetapi, Khadijah memiliki sahabat-sahabat dan pembantu yang setia kepadanya karena Allah. Perasaan sakit yang ia rasakan ketika akan melahirkan, baik karena kesulitan, keterkejutan, maupun kekerasan hati. Saat orangorang yang menunggu kelahiran datang, ketika matanya terbuka dan tertutup, seakan-akan dirinya merasakan sepasang tangan yang menghapus keringat di dahinya dengan penuh kasih sayang. Bisikan suara terdengar di telinganya. “Kami adalah saudaramu.” Begitulah suara-suara yang didengarnya, seperti dari ruh para perempuan. “Wahai Khadijah! Jangan bersedih!” ucap suara-suara manis dan bersahabat itu. Mereka pun menceritakan kisah putri Imran, Maryam, dan putri Muzahim, Asiyah. Saat itu, seakan-akan tangantangan mereka menyentuh punggung, perut, dan pundak. Tiba-tiba, rasa sakit yang menghinggapinya terasa ringan. Dan seperti itulah qadar hidup yang seakan-akan terangkat ke udara oleh seekor burung. Ketika kesedihan dan beban Khadijah terlepas, proses kelahiran pun menjadi mudah. Di saat proses melahirkan, Khadijah jatuh pingsan. Cahaya pun terpancar dari kepala bayi yang lahir, seakanakan menyinari seluruh Mekah. Saat pingsan, Khadijah seperti mendengar suara-suara para perempuan, melihat mereka menggendong bayinya sambil tersenyum, serta menyaksikan bayi dimandikan dan dipakaikan kain 262 berwarna putih di tubuhnya. Suatu jendela seakan-akan terbuka untuk Khadijah ketika sedang melahirkan. Satu sisinya terlihat ke arah dunia, sementara sisi lainnya ke arah lain. Dalam dan luar, tempat ini dan tempat lain, satu sama lain saling bercampur tidak jelas pada saat itu. Para ruh perempuan mengucapkan selamat untuk Khadijah. Orangorang yang didekatnya, saudara wanitanya, para pelayan wanitanya, dan orang-orang lemah Mekah saling berebut untuk mengucapkan selamat kepadanya. Dan dalam waktu yang sama, air susu Khadijah mulai mengalir. Secara adat, bayi Fatimah seharusnya diberikan kepada ibu susu. Namun, tidak ada ibu susu yang cocok untuk Fatimah selain ibunya sendiri. Dia hanya akan dibesarkan dengan air susu ibunya. 263 DanWahyu Pun Turun “ K hadijah! Ketika beribadah di gua, aku melihat sebuah cahaya dan mendengar sebuah suara. Aku sangat cemas dengan diriku. Aku takut akan menjadi seorang peramal jika hal ini terus berlanjut. Aku bersumpah membenci berhala-berhala dan peramal-peramal yang tidak lebih dari segalanya.” “Wahai anak Pamanku! Jangan berkata seperti itu! Allah tidak akan pernah menyakitimu!” Ketika pembicaran seperti itu mulai semakin banyak terjadi, Khadijah yang merupakan teman rahasia dan juga pendukung al-Amin menceritakan keadaan itu kepada Abu Bakar, salah satu teman dekatnya. Abu Bakar dipilihnya karena ia adalah salah satu pembesar Mekah yang dipercaya dan sangat dicintai al-Amin. Kalau bukan Abu Bakar, ia tidak akan pernah menceritakan siapa pun tentang kecemasannya itu. “Jemput dia. Kemudian, pergilah menemui Waraqah bin Naufal. Mungkin ia bisa memberikan nasihat,” ucap Abu Bakar sambil memandang Khadijah dengan pandangan yang penuh dengan harapan dan ampunan. Abu Bakar memegang tangan al-Amin penuh dengan kasih sayang dan mengucapkan salam ketika bertemu dengannya di jalan. Tangannya melingkari lengan al-Amin. “Ayo, pergi bersamaku ke tempat Waraqah,” ucapnya dengan penuh keceriaan. 264 “Siapa yang memberi tahumu tentang apa yang terjadi padaku?” “Istrimu, Khadijah.” Setelah itu, mereka berdua melakukan perjalanan bersama ke tempat Waraqah. Di sana terdapat sebuah rumah yang selalu menyambut mereka dengan penuh kebaikan dan kegembiraan. Al-Amin menceritakan apa yang terjadi dengan dirinya kepada Waraqah. Abu Bakar dan Khadijah pun ikut mendengarkan. “Di tempat aku berdiam diri, tidak ada siapa pun selain diriku. Aku mendengar suara yang memanggil namaku dari balik badanku, ‘Wahai Muhammad, wahai Muhammad’. Aku mendengar suara itu, tapi tidak melihat siapa pun yang mengucapkannya.” Waraqah memberikan jawaban sambil mengelus jenggotnya. “Tidak akan ada sesuatu yang akan terjadi padamu dari suara itu.” “Ketika mendengar suara itu, aku menjauh sambil ketakutan. Aku pun pergi ke tempat lainnya.” “Jangan lakukan seperti itu! Ketika suara itu terdengar, sampai kau mendengar semua yang akan dikatakan padamu, kau harus duduk diam di sana! Kemudian, datanglah kepadaku dan ceritakan apa yang kau dengar di sana.” Agar tak memberikan banyak tekanan kepada al-Amin, Waraqah menegaskan kembali bahwa Muhammad adalah orang yang baik dan memiliki akhlak bagus. Seperti Khadijah, ia pun memberikan dukungan kepada keponakannya itu. Ia menjamu tamunya dengan minuman dingin dan buah- 265 _ Dan Wahyu Pun Turun buahan. Ia berusaha menjelaskan apa yang terjadi di dalam kehidupan. Setelah melakukan pembicaraan di rumah Waraqah, Khadijah kembali sadar bahwa dirinya harus memberikan seluruh kekuatannya untuk mendukung al-Amin. Ia lalu memutuskan tidak membiarkan al-Amin menanggung beban ini seorang sendiri. Khadijah menenangkannya. Ia memberikan air untuk membasahi bibir al-Amin yang pecah. Karena sudah terbiasa dengan ucapan-ucapan itu, ia tidak begitu fokus dengan mimpinya. Yang akan disaksikan al-Amin tidak lama kemudian akan mengejutkan apa yang selama ini ia alami. Sekali lagi, mereka bersama-sama mendaki Gunung Hira untuk beribadah. Saat malam tiba, mereka tertidur di antara jajaran bebatuan. Pada saat itulah al-Amin mendengar seseorang mengucapkan “iqra”, bacalah, di dalam mimpinya. Namun, ia tidak melihat satu orang pun yang mengucapkan kata itu. Ia lalu terbangun sambil terkejut. Khadijah yang ikut terbangun bertanya mengenai apa yang terjadi. 266 “Aku sadar bahwa kata-kata yang terucap di dalam mimpiku seakan-akan tertulis di dalam hatiku,” ucap alAmin. Khadijah menenangkannya. Ia memberikan air untuk membasahi bibir al-Amin yang pecah. Karena sudah terbiasa dengan ucapan-ucapan itu, ia tidak begitu fokus dengan mimpinya. Yang akan disaksikan al-Amin tidak lama kemudian akan mengejutkan apa yang selama ini ia alami. Kali ini, Khadijah tidak berada di sisinya. Al-Amin berada di Gua Hira sendiri. Di suatu hari di akhir hari-hari bulan Ramadan, ketika kembali bertafakur di Gua Hira dan terbenam dalam pikirannya yang dalam, dirinya seakan-akan melakukan perjalanan untuk menemukan jawaban atas pertanyaanpertanyaan yang menghantuinya. Ketika kepalanya terangkat, ia melihat sosok yang ia kenal dalam mimpinya sedang memandangnya. Al-Amin diselimuti perasaan takut dan cemas ketika berhadapan dengan sosok itu. Sosok itu pun kemudian berjalan mendekatinya perlahanlahan. Setelah menunduk, intonasi suaranya yang tegap dan menggetarkan batin manusia terdengar. “IQRA!” ucapnya. Suaranya seakan-akan ledakan yang datang dari langit. Di dalam gua, saat tak ada orang lain kecuali al-Amin, perintah “bacalah” di berikan kepadanya. Sosok yang memerintahkan itu persis berada di hadapannya dengan posisi menundukkan diri ke arah al-Amin. “Aku tidak bisa membaca,” jawab al-Amin dengan perasaan takut. Mendengar jawaban tersebut, sosok itu langsung memegang erat tubuh al-Amin. Ia pun merasakan tulangtulangnya tertekan. 267 _ Dan Wahyu Pun Turun “IQRA!” Karena himpitan yang sangat kuat, al-Amin kesulitan menghirup napas. Ia bahkan mengira dirinya akan tewas. “Aku tidak bisa membaca!” Sosok itu sekali lagi mencengkeram dengan kekuatan yang lebih besar. Kali ini, al-Amin merasakan tubuhnya seperti hancur berkeping-keping. Bacalah! Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan Menciptakan manusia dari segumpal darah Bacalah Dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya! Hati al-Amin sudah seperti sebuah kelereng dan ucapanucapan itu dituliskan di atas permukaan kelereng tersebut; penuh dengan kesakitan. Sangat berat, tetapi jelas dan tidak akan terhapuskan. Sosok yang telah dikenal di dalam mimpinya itu lalu pergi seusai mengucapkan kata-kata itu. Sekali lagi, al-Amin berada di gua sendiri.… Ketika menceritakan kejadian yang dialaminya, kata yang pertama keluar dari bibirnya adalah ketakutan. Ia menggambarkan betapa “beratnya beban” yang dipikul dirinya. Tubuhnya seakan-akan membeku karena perasaan takut. 268 Bacalah! Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan Menciptakan manusia dari segumpal darah Bacalah Dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya! Badannya masih bergetar, kakinya saling merapat dan terasa lemas untuk digunakan berjalan. Mungkin hal itu akibat cengkeraman erat sosok itu ke tubuh al-Amin. Jantungnya pun berdegup kencang naik turun. Allah mengajarkan ilmu tentang alam semesta kepada al-Amin yang tidak bisa membaca ketika di dalam gua. 269 _ Dan Wahyu Pun Turun Namun, ia sekarang memiliki kemampuan membaca dan menafsirkan makna-makna ilahi di dunia. Al-Amin turun menuruni Gunung Hira penuh dengan kecemasan. Tak tahu ke mana ia akan pergi, apa yang akan dikatakan, kepada siapa akan menjelaskan, dan bagaimana menjelaskan apa yang dialaminya? Saat tiba di sisi Khadijah, napasnya masih memburu. Tubuhnya pun penuh dengan peluh. Khadijah merupakan pantai keselamatan baginya.... “Selimuti aku, selimuti aku,” begitulah permintaan AlAmin saat masuk ke dalam rumah. Dengan penuh kasih sayang, Khadijah membantu alAmin yang cemas untuk berbaring di tempat tidurnya. Setelah mendengarkan kisah yang dialaminya, Khadijah mencoba menenangkan al-Amin dengan mengucapkan kata-kata yang benar. “Jangan berpikir buruk tentang dirimu. Bergembiralah! Aku bersumpah kepada Allah bahwa Dia tidak akan pernah membuatmu malu! Engkau telah melindungi dan memerhatikan kerabatmu. Engkau pun selalu berkata jujur dan membantu mereka yang membutuhkan. Engkau membantu orang-orang yang tidak memiliki apa-apa!” Khadijah tidak mengetahui bahwa makhluk yang mendatangi al-Amin adalah malaikat yang bernama Jibril. Dia juga tidak tahu bahwa suaminya telah terpilih menjadi seorang nabi. Dia juga tidak tahu tentang wahyu yang turun kepada alAmin. Sama sekali tidak tahu. 270 Namun, Allah yang memberikan wahyu dan mengajarkan al-Amin membaca telah menuliskan di hati dan pandangan Khadijah. Jibril adalah malaikat yang mengantarkan wahyu, sementara al-Amin penerima wahyu dan Khadijahlah yang mendukung kebenaran wahyu yang turun kepada suaminya. Tangan-tangan kasih sayang Khadijah dengan cepat menyelimuti tubuh al-Amin ketika ia berkata, “Selimuti aku!” Dan ucapan-ucapan Khadijah yang menenangkan alAmin merupakan ilham dan ampunan yang diberikan oleh Allah. Setelah tenang karena ucapan-ucapan Khadijah, mereka memutuskan berkunjung ke tempat Waraqah bersamasama. Waraqah yang mendengarkan napas kecemasan ketika mereka berada di depan rumahnya langsung menyadari bahwa keadaan saat ini berbeda dengan sebelumnya. Sepupu Khadijah itu mempersilakan mereka masuk dan duduk di ruang yang membuat mereka nyaman untuk berbicara. Ketika Waraqah mendengarkan semua kejadian yang dialami di Gua Hira dan wahyu pertama yang turun, dirinya mulai berteriak mengucapkan kata syukur. “Namus-u Akbar!” “Namus-u Akbar!” “Wahai Muhammad, makhluk yang kau lihat itu tidak lain adalah Namus-u Akbar yang juga mendatangi Musa. Kau akan menjadi seorang nabi. Ah! Seandainya aku bisa memenuhi ajakanmu dan di hari itu aku masih muda. Seandainya aku bisa berada di sisimu sebagai pendukung 271 _ Dan Wahyu Pun Turun ketika kau diusir dari Mekah.” Khadijah dan suaminya terkejut dengan ucapan dan sujud syukur yang Waraqah lakukan di depan mereka. “Berarti, suatu hari kaumku akan mengusirku dari Mekah, benarkah itu?” tanya al-Amin penuh dengan tanda tanya. Waraqah menjawab pertanyaan itu dengan nasihatnasihat yang keluar dari bibirnya. “Ini semua merupakan sebuah ujian yang dialami oleh nabi-nabi lainnya. Kekuatan kebatilan pasti menginginkan ucapan-ucapan yang benar untuk dibuat diam dan dijauhkan. Dan mulai detik ini, hari-hari yang sulit menanti kalian berdua. Tidak seorang pun yang tidak akan mendapatkan siksaan dan menghadapi masalah dengan apa yang akan kau Tangan-tangan kasih sayang Khadijah dengan cepat menyelimuti tubuh alAmin ketika ia berkata, “Selimuti aku!” Dan ucapan-ucapan Khadijah yang menenangkan al-Amin merupakan ilham dan ampunan yang diberikan oleh Allah. bawa ini. Bertahan dan bersabarlah!” Sebelum hari itu pun tiba, orang-orang di sekitar Muhammad sebenarnya sudah merasakan aura bahwa ia adalah pribadi yang dianggap sebagai “utusan terakhir yang ditunggu”. Namun, mereka tidak pernah menganggap serius. 272 Yang berada di dekatnya pun tidak pernah mendengar langsung harapan seperti itu dari bibir al-Amin. Karena kerendahan hati yang al-Amin miliki, ia tidak pernah berpikir seperti itu. Kejadian-kejadian yang tidak masuk akal yang ia alami selama tiga tahun sebelum menerima wahyu kenabian membuatnya lebih berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan. Ia tidak memercayai pikiran dan perasaan duniawinya. Bahkan, ia sering berpikir bahwa akalnya bisa menuntunnya ke jalan yang salah. Agar bisa memutuskan sesuatu yang ia alami dengan kepala dingin, ia tidak pernah membeda-bedakan dan merasa tinggi derajat. Dirinya justru lebih banyak berdoa dan berlindung kepada Allah dari bisikan-bisikan setan. Khadijah menghampiri Addas, seorang budak Nasrani milik Utbah bin Rabi’ah, untuk mengumpulkan informasi tentang Namus-u Akbar yang dibahas Waraqah. Addas merupakan pemeluk Nasrani yang berperilaku baik. Setelah mengunjuk salam dan menanyakan keadaannya, Khadijah mulai bertanya tentang Namus-u Akbar. Addas terkejut dengan pertanyaan yang diajukan Khadijah. Ia tidak pernah mengira ada seseorang yang mengetahui Namus-u Akbar di lingkungan pagan Mekah. Menurut penjelasan Addas, Namus-u Akbar merupakan malaikat yang memiliki derajat paling tinggi di antara malaikat lainnya. Sejauh ini, tidak ada orang yang melihatnya selain para nabi. “Kudus! Kudus!” teriak Addas sambil bergetar. “Dia berada di samping Musa ketika terluka di laut dan menemaninya mendaki Gunung Tsur. Nabi Isa juga 273 _ Dan Wahyu Pun Turun merupakan temannya. Ia adalah malaikat yang bernama Jibril!” Khadijah semakin tenggelam dalam kain penutupnya. Ia bergetar setelah mendengar kata-kata suci yang masuk ke dalam akalnya. Ia pun pergi untuk kembali menuju rumahnya. Ibunda kota Mekah lalu memohon kepada suaminya untuk memberitahukan dirinya jika kembali bertemu dengan malaikat. Khadijah takut dan cemas suaminya tertipu dengan bisik-bisikan setan dan jin. Suatu hari, Khadijah bertanya apa yang terjadi ketika mereka duduk di rumah dan melihat dahi al-Amin penuh dengan keringat dan bergetar, seakan-akan tertindih beban yang sangat berat. “Datang.… Malaikat datang....” Karena memiliki kecerdasan dan irasat, Khadijah memikirkan cara untuk menyakinkan al-Amin dan dirinya bahwa makhluk yang datang itu adalah malaikat. Ia Kemudian mendekati suaminya dan duduk di sisi kanannya. “Engkau masih melihatnya?” “Ya, aku masih melihatnya.” Ia kemudian berdiri dan duduk di samping kiri suaminya. “Masihkah kau melihatnya?” “Ya, aku masih melihatnya” Khadijah lalu pergi ke belakang tubuh sang suami dan memeluknya, seakan-akan menjadi selimut bagi al-Amin. Dan pada waktu itu pula penutup kepala Khadijah terbuka ke samping dan turun ke arah pundaknya. 274 “Engkau masih melihatnya?” “Tidak. Setelah engkau pergi ke belakangku, dia pergi.” Setelah mengalami pengalaman kecil itu, Khadijah binti Khuwaylid sadar bahwa makhluk yang datang itu bukan jin atau setan. Sosok itu pasti malaikat yang bernama Jibril, yang memiliki derajat paling tinggi di antara para malaikat, seperti yang diceritakan Waraqah dan Addas. Kemahraman laki-laki dan perempuanlah penyebab sosok itu pergi. Ketika Khadijah memeluk suaminya dan penutup kepalanya terbuka, sosok Jibril itu menjauh dari mereka. Namun, jika yang datang adalah jin atau setan, mereka tidak akan pergi dan tidak bosan dengan hal kemahraman. Penjelasan cerdas Khadijah membuat suaminya puas juga. Al-Amin mencium Khadijah di antara kedua matanya. Ia tak hanya besar karena kedermawanan dan kasih sayang, tetapi juga kecerdasaan, irasat, cahaya, dan visinya. Ia adalah wanita yang berhak dikenang dengan nama besarnya. Khadijah al-Kubra yang memiliki kecerdasan, kepintaran, dan pandangan yang luas. Al-Amin merasa semakin siap untuk bertemu dengan malaikat. Dirinya menunggu berita baru dari Allah. Ia selalu berusaha untuk mempersiapkan dirinya dengan baik secara jasmani dan rohani. 275 Detik Kehidupan K hadijah menjadi istri seorang nabi. Dia menjadi orang pertama yang menerima dan mendukung alAmin menjadi “utusan terakhir”. Tidak hanya sebatas memercayai kebenaran, tetapi juga menjadi pembantu yang setia, penolong, penenang, dan pendengar masalah dalam kesibukan duniawi. Khadijah seperti daun-daun pintu. Pada bagian dalam terdapat mutiaranya utusan terakhir, sementara di luar tampak arus-arus kehidupan yang mengalir. Ia adalah wanita dengan kemampuan seperti gapura megah yang berdiri kokoh, pemisah yang tipis di antara kedua sisi itu. Ia seperti gerbang besar yang terbuka dan tertutup di sebuah badai. Kadang, apa yang ada di dalam berada di luar atau yang berada di luar mengisi yang di dalam. Seorang ayah dan suami di luar, seorang nabi dan rasul di dalam. Dalam atau luar. Luar atau dalam. Khadijah menjadi seorang ahli yang menerima tugas untuk menyeimbangkan gejala alam yang terjadi dalam arus kehidupan. Meskipun suaminya seorang utusan terakhir, dalam waktu yang sama ia juga hidup di tengah kota. Ia merupakan manusia yang hidup dengan manusia lainnya di dunia ini. Ia bertugas menjelaskan dan mengajak manusia di sekitarnya pada kebenaran. Di samping itu, ia juga terhubung dengan 276 dunia sebagai seorang suami, ayah, saudara, atau tetangga. Ia memiliki tanggung jawab. Di sisi itulah Khadijah harus selalu berada di samping suami sekaligus rasul untuk membantunya bergerak seperti sebuah waktu yang berkerja tanpa kesalahan dalam hubungan-hubungan yang rumit dan konsisten. Detik Kehidupan! Tangan yang mengatur dan menyambungkan rasul dengan kehidupan adalah tangan Khadijah. Al-Amin sekali lagi berdiam diri, mengasingkan diri dengan kekasihnya, berada di gua, siang dan malam, mempersiapkan diri untuk kabar gembira dan kata-kata yang berat. Namun, kakinya juga menginjak ke dalam tanah kehidupan. Ia adalah seorang suami dan ayah. Khadijah menikahkan putrinya, Hindun binti Atik, dengan keponakannya, Sayi bin Umayyah. Selanjutnya, Khadijah pun menjadi seorang nenek. Hindun memberi nama putranya dengan nama al-Amin yang telah membesarkan dirinya dengan penuh kasih sayang: Muhammad. Hanya dengan melihat perilaku itu, kita bisa melihat bukti yang paling besar bahwa al-Amin adalah “sang ayah rumah tangga”. Dia mencium dan memeluk Muhammad kecil dengan penuh kasih sayang. Perempuan menjadi pusat nadi kehidupan di rumah. Jumlah perempuan di rumah semakin bertambah. Zainab, yang dikenal dengan kecantikannya, dan anak-anak lainnya, bahkan sekarang sudah menjadi calon istri seorang laki-laki Mekah. Apalagi, setelah kakak perempuannya menikah dan menjadi seorang ibu, jumlah calon ibu mertua pun semakin bertambah. 277 _ Detik Kehidupan Di samping kabar-kabar mukjizat suaminya dan permasalahan-permasalahan khusus yang semakin bertambah, di sisi lain kesibukan-kesibukan duniawi berbaris di depan Khadijah. Tanpa mempunyai waktu untuk mengeluh, ia terus berjalan tanpa kekurangan, seakan-akan konduktor okestra yang mengatur nada dengan mudahnya. Namun, Allah yang menurunkan hujan salju di seluruh gunung memberikan sebuah keinginan kepada Khadijah yang terbuat dari perak di dunia ini. Khadijah selalu berusaha menyelesaikan semuanya. Ia memang menyelesaikannya, karena terlahir lebih dulu dan yang berjalan lebih dulu. Anak laki-laki saudara perempuannya, Halah binti Khuwaylid, yang bernama Abu’l As adalah seorang remaja laki-laki yang segan kepada Khadijah karena kemampuannya dalam perdagangan dan memiliki pemikiran yang luas. Selain ikut membantu dalam urusan dagang, ia juga sebisa mungkin membantu memikul tanggung jawab yang dipikul Khadijah. Ia mengenal keadaan khusus saudara iparnya, alAmin, yang sudah berkelanjutan selama lima tahun ini. Ia pun sangat menghormati al-Amin. Abu’l As bin Rabi juga terpengaruh dengan kemampuan, akhlak, serta tingkah laku yang dimiliki Zainab. Khadijah yang memerhatikan secara dekat akan keadaan khusus suaminya merasa bahwa hal itu masih terlalu dini. Namun, setelah keinginan itu sudah bulat, dirinya memutuskan untuk membicarakannya dengan sang suami. Setelah bermusyawarah dengan suami dan putrinya, mereka menyetujui pernikahan itu meskipun masih terlalu dini. 278 Hikayat Seekor Rusa Z ainab binti Muhammad mulai melakukan persiapan pernikahan... Sebuah kekhawatiran yang akan dilewati berhari-hari. Mencuci wol, mengeringkannya, mempersiapkan kasur dan tempat tidur, membeli karpet-karpet yang akan diletakkan di rumah baru, menjahit baju-baju yang akan dipakai pengantin pria dan wanita, menyiapkan alat-alat rumah tangga yang akan dipakai di rumah baru, membangun rumah, serta membeli dupa dan tirai-tirai. Pastinya semua ini tidak mudah. Di antara orang-orang yang mencuci kain wol adalah Berenis dan Dujayah. Kolam yang bisa digunakan para wanita secara bersama-sama adalah sebuah oase yang berada di pesisir kota arah Hudaibiyah. Bukan hanya para pembantu wanita, murid-murid, dan orang-orang yang bekerja untuk sehari saja, melainkan juga banyak wanita terhormat yang ikut meramaikan pekerjaan itu, layaknya sebuah acara hiburan. Karena hanya sekumpulan wanita, hal itu membuat mereka nyaman bergerak dan beraktivitas. Diselingi dengan nyanyian dan sedikit acara wisata, mereka menyelesaikan persiapan mahar. Di samping itu, mereka juga mencoba menahan panas kain-kain wol yang membakar tubuh manusia dengan cara mendendangkan lagu-lagu penuh kebahagiaan. Baik gadis maupun janda, mereka menyelesaikan pekerjaan pencucian kain wol dengan penuh sukacita. 279 _ Hikayat Seekor Rusa Tempat itu jauh dari kesibukan rumah tangga mereka. Hari-hari pencucian kain wol seperti menyiapkan sebuah rumah musim panas. Lihatlah, mereka juga membawa alat-alat masak. Pada saat itu, mereka akan menjemur kainkain wol yang telah dicuci, melipat yang telah kering, serta membersihkan tempat tidur yang berat dan menghilangkan debu kasur. Tak lupa, mereka akan ditemani kopi-kopi yang berbau khas, biskuit, kue-kue, dan juga manisan. Berenis mendapat tugas menjahit karena dia lebih berpengalaman dibandingkan yang lain. Sementara itu, Dujayah menjadi pendamping Berenis dan bertugas memotong tali-tali menjadi tipis. Selain itu, ia juga bertugas mengikat kain-kain wol putih yang berbentuk bulat yang dikerjakan para nenek. Membentuk kain wol menjadi bulatan lebih kecil memang menjadi tugas para wanita muda. Di “hari kain wol” ini, para wanita dari bermacam umur diselimuti rasa khawatir yang manis. Di hari itu, dua pemburu asing datang menghampiri tenda para perempuan. Mereka datang di waktu yang berbeda. Berenis pun tidak mengetahui apa yang mereka inginkan dan membuat Dujayah tenggelam dalam kebingungan. Orang pertama adalah pemburu yang berburu di pesisir Mekah. Ia adalah seorang laki-laki Badui yang terkenal suka berburu burung. Ketika para wanita itu melihat sosok gelap dan hitam yang datang menghampiri, mereka bersiap-siap dan memilih salah satu dari mereka untuk menghampiri pemburu itu. Mereka juga memberi peringatan agar tidak terlalu dekat dengannya. Perempuan yang mendapat tugas menghampiri pemburu itu datang kembali membawakan cerita tentang rusa. 280 Rupanya, pemburu itu sangat terkejut dengan kejadian yang dia alami dan bersumpah tidak akan berburu lagi. “Aku mencari seorang pemuda bernama Muhammad alAmin. Aku tidak bisa pergi jauh darinya,” ucapnya. Perempuan yang bertugas itu langsung mengerti siapa yang pemburu itu maksud. Ia menyuruh pemburu itu pergi ke Gua Hira, tempat al-Amin melakukan pengasingan diri. Pemburu itu pun hilang dari pandangan, meninggalkan cerita yang seperti sebuah sihir. “Aku adalah seorang pemburu padang pasir yang terkenal karena kemampuanku membuat jebakan. Saat itu, aku menangkap seekor rusa yang memiliki titik-titik yang indah. Aku tak merasakan penyesalan ketika memandang mata tuanya, tanpa memerhatikan betapa banyak air susu di dadanya. Anak-anaknya yang akan mencari dirinya pun tidak terbesit di kepalaku. Aku meninggalkan rusa itu sendiri dan berburu hewan lain lagi. Setelah kepergianku, datang seorang pemuda yang menghampiri rusa itu karena mendengar tangisannya. Pemuda itu kemudian bertanya kepada rusa apa yang terjadi padanya ‘Mengapa engkau menangis?’ Rusa itu menjawab dengan bahasanya. ‘Ah, Ahmadku, jadilah penjaminku. Aku harus pergi ke puncak gunung dan menyusui anak-anakku yang kelaparan. Setelah itu, aku akan berlari kembali lagi ke jebakan ini.’ ‘Dengan senang hati,’ ucap pemuda yang memiliki hati yang besar dan penuh dengan kasih sayang itu. Pemuda itu lalu melepasakan jebakan yang mengikat di pergelangan kaki rusa dan memasangkan ke pergelangan 281 _ Hikayat Seekor Rusa kakinya. Dia menjadi penjamin bagi rusa dan membiarkan rusa itu menemui anak-anaknya. Saat kembali lagi, aku terkejut melihat pergelangan kaki pemuda itu terikat jebakanku. ‘Apa yang terjadi wahai anak Adam, siapa namamu dan apa pekerjaanmu? Aku seorang pemburu padang pasir dan mengapa engkau merusak jebakanku? Bawa kembali rusaku atau bayar dengan uang!’ seruku. Pemuda yang pergelangan kakinya terikat dengan jebakanku itu pun berdiri. ‘Aku Muhammad al-Amin. Itu adalah namaku. Rusa itu berjanji padaku akan kembali lagi. Kalau tidak kembali lagi ke sini, jadikanlah aku hasil jebakanmu,’ ucapnya. Tidak lama kemudian, rusa yang tadi terjebak datang kembali bersama anak-anaknya yang belum bisa berlari dengan benar. Mereka langsung mencium kaki pemuda yang menjadi penjamin itu. Sambil menangis, mereka mengucapkan “Rasulullahku” ke pemuda itu. Ternyata, induk rusa itu berpamitan dan membelai anak-anaknya setelah menyusui mereka. Namun, anak-anak rusa itu juga ingin ikut dan mencium kaki-kaki Rasulullah yang menjadi penjaminnya. Setelah melihat mereka mencium pergelangan kaki Muhammad al-Amin yang berdarah, aku bertobat dan beristigfar. Aku bersumpah tidak akan melakukan perburuan lagi. Itulah ceritaku. Aku kemudian mencari pemuda yang terjebak di perangkapku. Dan Rasulullah.... apakah aku di bumi atau di langit? Berhari-hari aku mencari jejak-jejak kakinya....” 282 Ketika para perempuan mendengarkan kisah yang diceritakan perempuan yang mendapat tugas itu, mereka menangis tersedu-sedu, sampai mereka tak sadar dengan kedatangan orang kedua yang berada di kejauhan berselimutkan debu. Kali ini, Berenislah yang menghampiri orang kedua yang datang setelah pemburu pertama melakukan perjalanan ke Gua Hira. Dia berlari dan kemudian loncat menunggangi unta yang berdiri di samping kolam tempat kain wol. Ia memakai penutup kepala yang menutupi mata dan pundaknya agar terlindung dari terik mentari dan terlihat menyakinkan di mata orang asing. Orang-orang yang melihat kepiawainnya dalam menaiki unta akan mengira bahwa dirinya adalah seorang laki-laki. Ia mengingatkan kita pada pahlawan padang pasir yang memakai jubah. Ia menghampiri orang itu dengan kecepatan yang setara dengan kuda. Kemudian, Berenis mengangkat tangan kanannya ke udara. Rombongan orang-orang berkuda itu pun berhenti ketika melihatnya. Mereka turun dari kudanya dan memberi salam. “Salam, tuan-tuan yang mulia!” “Salam, kalian para nyonya yang menyaksikan kami.” “Wahai pengembara, menjauhlah dari tenda yang sedang melakukan persiapan pernikahan. Hal itu merupakan adat perempuan Mekah dan kalian juga akan selamat di perjalanan kalian.” “Kami ingin melewati tempat ini tanpa melukai seseorang jika Anda menunjukan jalan ke Pasar Ukaz.” “Dari mana kalian datang dan ke mana kalian akan pergi wahai pengembara yang mulia?” 283 _ Hikayat Seekor Rusa “Kami adalah pengembara yang melakukan perjalanan dari Habasyah. Kami dari Bani Qurayza dan ingin menuju Pusat Ukaz di Mekah.” “Kalian berada di jalan yang benar wahai pengembara Qurayza. Terus berjalanlah lurus selama kurang lebih berjarak tiga hari perjalanan setelah melewati jembatan Hudaibiyah di belakang Anda.” “Sebelum pergi, bolehkah aku bertanya satu pertanyaan, wahai Nyonya?” “Pengembara memiliki hak untuk bertanya.” “Akankah kami bisa menemukan kaum yang bisa berbahasa Aram setelah kami sampai di Ukaz Mekah?” “Kekauman tidak berbahasa. Mereka berbicara dengan hati dan akhlak. Aku berbicara bahasa kalian karena melihat simbol milik Habas al-Mugan di tempat duduk kuda kalian. Bahasa Arab, Aram, atau Persia tidak jadi masalah. Mekah adalah sebuah kota yang memiliki masyarakat yang mampu berkomunikasi dengan bermacam-macam berbahasa.” “Jadi, Anda mengenal Habas dan al-Mugan?” “Kalian hanya mempunyai satu hak untuk bertanya. Sekarang giliranku. Sebenarnya kalian itu berasal dari mana?” “Aku adalah Ursa, putra Perk dari Habas al-Mugan!” Berenis seakan-akan tersambar petir dari langit.... Seakan-akan jawaban itu meledak bergema di padang pasir. Dia bergelut dengan badai pasir. “Ursa putra Perk...” “Ursa putra Perk...” “Ursa putra Perk...” 284 Berenis tidak berkata apa-apa. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Apakah dia benar-benar Ursa? Apakah orang yang berada di hadapannya adalah Ursa, pria yang dia cintai selama lima belas tahun saat pengasingan diri? Dia menyandarkan badan. Sambil mengangkat tangannya ke udara, ia memberikan tanda kepada para pengembara untuk pergi. Setelah itu, ia membalikkan badan... Ah, ada apa dengan Dujayah... Dan di waktu yang sama, seseorang berpakaian ungu menghampiri Berenis. Gadis kecil dan nakal, dengan suara yang dapat didengar seluruh penggembara. “Berenis... Berenis, mereka semua khawatir dengan keadaanmu. Mengapa engkau terlambat?” ucapnya sambil beteriak agar tidak mendekatinya! Berenis masih berada di pangkuan unta. Ketika akan berjanjak pergi, Ursa yang menyadari apa yang didengarnya segera memotong jalan Berenis. “Berenis... Berenis.... apakah ini benar-benar kamu?” Kali ini giliran Dujayah yang melangkah ke depan. “Menjauhlah darinya wahai pengembara. Dia adalah Nyonyaku. Dia adalah salah satu utusan Waraqah bin Naufal. Sekarang, menjauhlah dari jalan kami.” Gerakan yang dilakukan Dujayah dengan mengeluarkan pisau dan mengucapkan kata-kata untuk menakuti para pengembara itu menjadi bahan tertawaan. Ursa, tanpa memerhatikan ancaman Dujayah, bertanya. “Berenis, apakah ini kamu?” Sekali lagi Dujayah memotong pembicaraan dan menghujani Ursa dengan ejekan. 285 _ Hikayat Seekor Rusa “Bagaimana kau berbicara tak sopan dengan Nyonyaku, wahai pemburu tak tahu sopan santun! Lihat dirimu! Kau membunuh semua hewan, baik anak-anak rusa maupun kelinci. Darah mengalir di pedangmu! Lihat juga burungburung mati yang kau bawa. Pemburu tak tahu diri. Pergi urus sendiri urusanmu! Tak tahukah engkau bahwa Isa alMasih mengharamkan perburuan? Apakah engkau pernah menjawab pertanyaan yang diberikan kepada orang-orang yang melakukan hal yang dilarang Tuhan?” Tanpa berkata sepatah kata pun, ia segera pergi menjauh. Rombongan pengembara dari Qurayza yang menuju Ukaz berada di jalan mereka sendiri. Seakan-akan kuda yang ditunggangi Ursa berjalan dengan percikan darah mengalir ke padang pasir. Darah juga mengalir dari Ursa. Di antara kumpulan burung-burung yang mati, sebenarnya burung yang pertama kali mati adalah Berenis. 286 Kisah Padang Pasir K etika dia kembali pulang ke Mekah, Berenis memutuskan melakukan sesuatu hal yang sudah bertahun-tahun tidak dilakukannya. Ia mengunjungi Baitul Atik dan menceritakan semua penderitaan cintanya yang dipendamnya selama bertahun-tahun kepada pemilik Kakbah. Apa yang Khadijah katakan? “Ketika batinku tertekan, aku pergi ke Baitullah dan membuka hatiku kepada-Nya. Kemudian, aku memohon agar jalan hidupku dimudahkan kepada-Nya.” Benarkah? Oleh karena itu, ia harus mengunjungi Kakbah. Jika Sang Pemilik memang mendengarkan semua permasalahan orang-orang, sekarang apa yang harus dirinya lakukan? Kehidupan cintanya setelah meninggalkan kota asal dan hidup di kota yang asing baginya selama bertahuntahun dan Ursa yang telah meninggalkannya tiba-tiba muncul di hadapannya setelah bertahun-tahun. Apa yang harus dilakukannya? Batin Berenis kosong.... Jiwanya terbolak-balik. Tidak hanya bagian yang berderajat tinggi seperti ruh dan hati, tetapi juga sel-sel yang berada di tubuhnya ikut terlihat dari tempat dirinya tinggal. Baginya, Ursa itu apa? Bagi perempuan, laki-laki itu bermakna apa? Ia pun mengalami hari-hari kekeringan setelah masa287 _ Kisah Padang Pasir masa yang penuh dengan kelembapan dan air. Sekarang, apa yang harus ia lakukan? Ia pernah mendengar sebuah dongeng lama dari perempuan Mekah. Di Mekah terdapat sebuah gunung legenda yang bersentuhan dengan Gunung Kaf. Gunung ini tak terlihat, tetapi dipercaya dilindungi seseorang yang sangat penting menurut para perempuan tua. Semua orang tahu bahwa gunung itu menyimpan para ifrit, dajal, iblis, monster, jin, dan orang-orang yang melakukan kejahatan. Gunung itu terlindungi dari orang-orang yang jahat. Sekarang tebersit dalam dirinya jika semua kejahatan dan kebatilan yang dialami olehnya terkubur di gunung itu... jika terkubur seperti ayahnya... jika terkubur seperti seorang ulama, seperti seorang jenderal, seperti seorang nabi, dan juga terlindungi dari segala kejahatan.... Ah, sekali lagi terlintas dalam dirinya bahwa itu semua hanya sebuah dongeng. Ia menyingkirkan semua kehilangannya yang seperti sebuah hantu dari kehidupan nyatanya. Betapa lamanya dia sudah tidak merasakan cinta, betapa jauh tertinggal dari kehidupannya... sekarang ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ketika tiba di depan Kakbah, dirinya serasa ditarik oleh sebuah kekuatan magnet. Apakah ini Rumah Allah? Terlihat biasa di matanya. Namun, tiba-tiba hal biasa itu berubah menjadi sesuatu yang mengejutkan dengan bacaan-bacaan yang berada di dalamnya. Dia adalah Allah yang tidak memerlukan hiasan seperti sebuah istana atau benteng! Ya, rumah biasa ini adalah rumah-Nya! Rumah yang melihat orang-orang berdoa, tawaf, sujud, dan berzikir. Kemudian terdengar suara sebuah ombak yang terbentur 288 batu-batu di pesisir laut. Aku tidak salah dengar. Itu adalah suara lautan. Akan tetapi, bagaimana bisa ini terjadi di tengah-tengah pusat padang pasir? Kemudian, ia berpikir itu semua hanyalah imajinasinya karena rasa rindu dengan kota tempatnya terlahir. Namun, suara itu tidak berhenti. Saat memandang ke Baitul Atik, suara-suara ombak terdengar semakin kuat di telinganya, seperti karpet yang dilipat-lipat dan membentur sisi Baitul Atik yang kemudian mengalir ke arah kakinya. Suara-suara ombak di Rumah-Nya. “Itu sebuah puisi cinta,” ucap Khadijah. Suatu hari, ia mengunjungi Khadijah yang sedang duduk bersama tamu-tamu wanita tua. Mereka mendendangkan sebuah puisi dengan suara sedih dan mendalam. Terlintas sebuah “Laut Sad” yang terkenal di Mekah dalam puisi itu. Mereka berkata seperti ini tentang puisi yang didendangkan dengan tangisan air mata dan kesedihan. “Sad merupakan sebuah laut di Mekah. Tidak ada siang dan malam baginya. Langit Allah berada di atasnya.” Ketika itu Khadijah melihat Berenis mendengarkannya dengan rasa ketertarikan. “Sad merupakan sebuah Laut Cinta. Seluruh rasa cinta berusaha untuk bisa sampai di pesisirnya. Siang dan malam mereka berjalan untuk menemukannya. Kekasihnyalah yang membuat siang dan malam tercampur, Laut Sad. Untuk bisa tiba di Laut Sad, orang-orang harus bisa melebihi rasa cinta kepada-Nya dibandingkan dengan rasa cinta kita kepada orang-orang yang kita cintai. Dan seperti kata-kata yang indah itu,” ucap Khadijah. Ia adalah seorang Tuan Putri yang tahu secara dalam tentang legenda-legenda Mekah, sejarah, dan macam- 289 _ Kisah Padang Pasir macam puisi. Kemudian, “Mungkinkah itu suara laut Sad?” pikir Berenis. “Ataukah cinta bermain-main dengan pikiranku?” Ketika tenggelam dalam kesibukan berpikir, ia tersadar dengan kata-kata seorang pengemis. “Dengan begitu banyak pertanyaan, apakah hal itu akan bisa mengantarkanmu ke laut cinta? Apa makna yang bisa diambil dari kobaran lautan ketika lilin tidak bisa meleleh? Seberapapun kaca yang terdapat di masing-masing sisi? Seberapa cepat kamu memindahkan karung-karung? Wahai perempuan, menjauhlah dari pemburu itu, sebelum pemburu besar memburumu. Jangan menyia-nyiakan waktu “Sad merupakan sebuah Laut Cinta. Seluruh rasa cinta berusaha untuk bisa sampai di pesisirnya. Siang dan malam mereka berjalan untuk menemukannya. Kekasihnyalah yang membuat siang dan malam tercampur, Laut Sad. Untuk bisa tiba di Laut Sad, orang-orang harus bisa melebihi rasa cinta kepada-Nya dibandingkan dengan rasa cinta kita kepada orang-orang yang kita cintai. Dan seperti kata-kata yang indah itu,” ucap Khadijah. 290 di pemburu kecil itu.” Apa yang dikatakan pengemis itu kepada wanita yang sedang kebingungan itu? Siapa itu pemburu dan di mana kobaran lautan itu? Cermin, kecepatan, lilin.… Kemudian, cerita rusa yang membuatnya meneteskan air mata yang ia dengar di awal hari yang membukakan cahaya baginya. Bukankah hewan yang berada di karung Ursa adalah induk rusa dan anak-anaknya? Ia terkejut ketika menyadarinya. Apa yang terjadi dengan rusa yang sudah membuat seseorang beriman menenggelamkan hati Berenis? Bahkan, rusa pun berkata tentang al-Amin yang pergelangan kakinya terluka. Pemburu yang hatinya gelap seperti Ursa memutuskan perkataan itu. Siapa yang bisa berbicara.... Siapa yang tidak bisa berbicara... Ucap Berenis.... Benda-benda yang berada di sakunya ia tinggalkan di Baitul Atiq. Ia bisa membedakan suara-suara ombak yang bergelombang ke arah Kakbah. Apakah ia di dalam padang pasir atau laut.... Tidak! Dia tidak akan pergi dengan Ursa. Tempatnya adalah di sisi orang yang menjadi penjamin bagi sang rusa. Laut Cinta berada di sini: Muhammad al-Amin dan Khadijah al-Kubra! 291 Wahyu yang Tertunda P ernikahan Zainab, putri pertama Khadijah al-Kubra dan al-Amin, dengan putra dari saudara perempuan Khadijah, Halah binti Khuwaylid, cukup meramaikan Mekah. Padahal, menurut adat pada masa itu, ketika anak perempuan menikah, urutan pertama yang dimintai pendapat bukan dari sisi bibi, tetapi dari sisi paman. Tak heran jika Abu Lahab dan istrinya mencela tindakan tersebut. Saat datang ke pesta pernikahan itu, mereka langsung melamar kedua putri al-Amin: Rukiah dan Ummu Kultsum. Ahh! Mereka masih terlalu muda. “Tak apa-apa, kami akan menunggu,” ucap Ummi Jamil dengan tajam. Abu Lahab, yang merupakan paman dari sisi ayahnya, berlaku keras kepada al-Amin, seakan-akan terlahir dari keluarga yang terhormat dan kaya tidak cukup bagi mereka. Al-Amin dan Khadijah tertekan dengan fakta ini, menikah dengan putra dari sisi ibu. Mereka mencari solusi untuk menolak lamaran yang diajukan Abu Lahab dan keluarganya. “Menurut adat kita, kalian seharusnya bertanya kepada kami dulu,” ucap istri Abu Lahab terus-menerus. “Kalau begitu, nikahkan putri kalian yang lain dengan kedua putra kami, Utba dan Udaiba. Sesama garis keluarga 292 dengan keluarga, saudara dengan saudara, orang-kaya dengan orang kaya.” Adat… adat.… Adat-adat Mekah yang tidak bisa dikalahkan. “Putri-putri kami masih terlalu muda.…” “Tidak apa-apa, kami akan menunggunya. Sekarang kita lakukan saja pertunangan. Pernikahannya kemudian.” Keangkuhan dan kekasaran Abu Lahab yang bersatupadu dengan ketajaman kata-kata istrinya berubah menjadi tekanan yang besar. Al-Amin yang telah berniat menjauh dengan masyarakat dan melakukan pengasingan diri harus dihadapkan pada adat-adat seperti ini. Hal tersebut tak pelak membuatnya mual. Di samping itu, tidak ada alasan lagi selain perbedaan usia yang dapat dijadikan sebab untuk menolak lamaran itu. Kata-kata Khadijah hanya bisa memberhentikan keluarga Abu Lahab di tahap pertunangan. Al-Amin dan Khadijah adalah orang-orang yang berlindungi kepada Allah. Mereka meyakini bahwa Allah Mahatahu tentang segalanya. Semua ini terjadi berurutan. Kelahiran Fatimah, pernikahan Zainab setelah pernikahan Hindun, pertunangan Rukayah dan Ummu Kultsum, dan yang paling penting adalah wahyu pertama. Semuanya datang satu per satu, baik kesibukan duniawi maupun akhirat. Bercampur aduk. Seakan-akan menjadi sesuatu yang sulit untuk keluar darinya. Dan Al-Amin... Ia adalah mahkota hati Khadijah. 293 _ Wahyu Yang Tertunda Ia menunggu dengan gugup irman-irman-Nya di antara kerasnya kehidupan dunia ini. Hatinya semakin mengecil. Mengapa wahyu tidak kunjung datang? Mengapa irmanirman suci itu tidak berlanjut? Mereka yang mengetahui kedatangan wahyu pertama terus menciptakan gosip-gosip mengenai ketidakmunculan wahyu kedua dan seterusnya. Kejadian-kejadian gaib yang dialami dan disaksikan al-Amin menyebar dari telinga ke telinga. Namun, mereka yang tidak mendengar langsung dari mulutnya beranggapan bahwa kejadian-kejadian itu seharusnya tidak boleh tersebar, bahkan harus dilupakan. Hal seperti ini merupakan situasi yang tidak berhubungan dengan perselisihan Bani Umayyah dengan keluarga Abdul Muthalib. Ini adalah gosip yang tidak berdasar dan hanya rentetan kata-kata ejekan. Mereka tidak harus terlalu fokus dengan itu semua. Mereka juga telah mendengarkan dari para ulama yang datang dan pergi ke Mekah bahwa utusan terakhir akan tiba dan semua ulama Mekah telah melihat tanda-tanda itu. Semua telah mendengarkan perkataan itu dan perkataan seperti itu. Namun, orang-orang yang taat kepada berhala tidak membicarakan permasalahan ini dan menganggapnya sebagi sebuah bencana. Sudah hampir tiga tahun al-Amin tidak didatangi malaikat. Hari-hari penderitaan ini berlangsung sangat lama dan merupakan saat-saat sulit. Al-Amin khawatir karena tidak mendapatkan kabar. Ia pun meragukan dirinya. Di samping itu, ia juga kehilangan salah satu pendukung terbesarnya, Waraqah bin Naufal, yang pergi ke sisi dunia lain. Waraqah yang selalu berpegang teguh pada kebenaran keimanan selalu berada di sisinya, meskipun tidak bisa 294 merasakan hari-hari saat utusan terakhir memberikan ajakan. Al-Amin tenggelam dalam kesedihan. Ia menunggu kalimat-kalimat yang membukakan pangilan-pangilan Allah dan mempersiapkan dirinya secara maknawiah... menunggu... menunggu. Ketika kembali pulang dari Gunung Hira dengan wajah sedih, Khadijah menemaninya. “Bersabarlah wahai Kekasihku,” ucap Khadijah menenangkan suaminya. “Allah takkan melukai kalian.” Apa yang telah dilakukannya? Kesalahan apa yang membuat Allah tak menegurnya? Bahkan, al-Amin pernah menangis dan berkata, ”Ataukah Allah telah meninggalkanku.” Ketika berada dalam keadaan sedih, ada dua sosok yang selalu mendukungnya. Yang pertama adalah Khadijah, istrinya yang mencintainya dengan sepenuh hatinya Dan yang kedua adalah Malaikat Jibril, yang terlihat ketika alAmin berada dalam keadaan sedih. Mereka memberi salam kepadanya. Ketika dalam keadaan sedih dan sulit, dua malaikat ini selalu mendukung al-Amin. Khadijah al-Kubra yang memiliki hati malaikat dan Malaikat Jibril. Keduanya seperti sebuah obat bagi diri al-Amin. Malam itu, ketika al-Amin pulang terlambat, Khadijah mengirimkan orang-orang kepercayaannya untuk melihat keadaan sang suami. Beberapa waktu setelah utusan Khadijah berangkat menuju Gunung Hira, al-Amin tiba dengan bermandikan keringat. Dirinya telah terhubung dengan malaikat. 295 _ Wahyu Yang Tertunda Masa-masa sulit yang dilewati selama tiga tahun telah sirna. Ketika pergi dari Gua Hira, batin al-Amin dalam keadaan sedih sampai ia bertemu dengan Malaikat Jibril dan kini berada di hadapannya. Malaikat itu berada di sana ketika al-Amin melirik ke sisi kanan. Lagi-lagi, ia berada di sana ketika al-Amin melirik ke sisi kiri. Di atas... Dan di bawah... Di depan dan di belakang... Malaikat itu seakan-akan seperti sinar yang memancar menuju kedua matanya. “Kau adalah Rasulullah,” ucap sang malaikat. Al-Amin ketakutan. Kedua lututnya jatuh ke tanah dan pingsan. Ketika sadar, ia ingin melarikan diri ke rumah. Kakinya masih bergetar ketika sampai di sisi Khadijah. Sekali lagi.… “Selimuti aku... selimuti aku,” ucapnya dengan suara gemetar. Ia lalu berbaring di tempat tidurnya. Agar al-Amin tetap sadarkan diri, mereka membasuhnya dengan air sejuk. Namun, ia masih terus gemetar dan berkata kepada Khadijah, “Selimuti aku.” Dengan lembut, Khadijah berusaha menenangkannya. Khadijah berkata bahwa konidis ini akan terlewati dengan penuh berkah dan kebaikan. “Kabar bagus untukmu! Allah telah memberikan kebaikan kepadamu. Bertahanlah! Aku bersumpah atas nama Tuhanku bahwa kau adalah seorang nabi! Jangan khawatir 296 karena kau selalu melindungi saudaramu, menolong yang membutuhkan, membantu yang dalam kesulitan, dan selalu berada di sisi yang benar. Jangan bersedih!” Al-Amin dalam kondisi yang tidak mampu untuk mendengarkan itu. Padahal, yang datang adalah wahyu. Firman Allah.… Hai orang yang berselimut Hai orang yang berselimut Bangunlah, lalu berilah peringatan Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah Dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah.. 297 _ Wahyu Yang Tertunda Bangunlah, lalu berilah peringatan Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah Dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah... Setelah mendengarkan wahyu itu, Rasulullah segera melepaskan selimutnya dan bertakbir. “ALLAHUAKBAR…” Ketika mendengar al-Amin berteriak, Khadijah mengiringinya seperti sebuah bunyi gema. “ALLAHUAKBAR!”... Ketika kalimat syahadat keluar dari bibir Khadijah, ia adalah orang pertama yang mengulangi kalimat Nabi Muhammad al-Mustafa. Khadijah adalah orang pertama yang menerima kalimat itu. Suaminya telah menjadi Rasulullah. Khadijah adalah yang pertama mengimaninya. Ketika kalimat syahadat keluar dari bibir Khadijah, ia adalah orang pertama yang mengulangi kalimat Nabi Muhammad al-Mustafa. 298 Perintah “bangun dan peringatkan” seakan-akan seperti suara gelombang untuk memulai dakwah. Khadijah adalah orang pertama yang melakukan perintah pertama yang turun kepada suaminya. Firman itu sangat berat dan penuh beban. Bangun, berdakwah, mengajak, dan memperingatkan. Pertama, dia memulai dari orang-orang di rumahnya, anak-anaknya, dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Ali yang masih berumur muda akan terus mengikuti al-Amin yang seperti ayahnya dan Khadijah yang seperti ibunya.... 299 Wudu Pertama K edua mata mereka saling tersenyum. Mereka saling berhadapan satu sama lain. Mereka sangat gugup. Khadijah, siapkah kau? Bagaimana aku tidak siap? Seakan-akan seluruh hidupku terlewati untuk persiapan. Dengan nama Allah kita mulai. Dengan nama Allah kita mulai... Seakan-akan suara gema menggaung di ruangan mereka. Suara gaungan cinta. Yang satu mengucapkan dan yang satu mengikuti dan mengulangi. Mereka sangat gugup seperti burung-burung yang terbang untuk pertama kali. Ketika laki-laki membuka sayapnya, ia melihat hal itu tercipta untuk terbang. Suara kepakan sayap. Suara kepakan sayap... Terbang menuju kumpulan air. Terbang menuju kumpulan air... Kembali terlahir di dalam air. Kembali terlahir di dalam air... Apakah kedua suara itu berbeda di waktu itu. Waktu itu hanya ada satu suara, seakan-akan Allah berirman, “Jadilah.” Dan mereka pun berpaling ke arah suara irman Allah itu dan menjawab, “Ya.” 300 Mereka saling tersenyum satu sama lain. Mereka memandang wajah keduanya yang tampak di permukaan air. Seakan-akan mereka saling jatuh cinta kembali, setiap cinta tertulis di sebuah mata air. Sambil tersenyum, mereka memandang kedua telapak tangan mereka yang bersentuhan dengan percikan air. Mereka membungkuk dengan nama Allah. Mereka memandang air. Cinta mereka. Perjalanan mereka. Dan mereka bersumpah selalu. Mereka bersumpah di hadapan air. Air, air mata penyesalan Adam yang berubah menjadi Oman. Air, mengangkat kapal penyelamatan Nuh. Air, saudara api yang diperintahkan untuk menyejukkan Ibrahim. Air, hadiah abadi yang keluar dari telapak kaki Ismail. Air, panggilan Ishak. Air, jalan besar yang terbuka untuk Musa dan pengikutnya. Air, yang membawa keluar Yunus dari perut ikan paus. Air, menyembuhkan luka-luka Ayub yang menyebabkannya susah beribadah. Air, ilham untuk ucapan Daud. Air, prajurit Sulaiman. Air, puasa Zakaria. Air, ajakan Yahya. 301 _ Wudu Pertama Air, napas Isa yang turun ke dunia.... air, benih irman Allah yang tertanam di dalam diri Isa. Air, fondasi untuk dunia yang akan dibangun oleh utusan terakhir... air, nikmat yang keluar dari jemari utusan terakhir. Ketika Rasulullah menjulurkan kedua tangannya pada percikan air seperti yang diajarkan Jibril, Khadijah memandangnya sambil tersenyum. Seakan-akan mereka melakukan sebuah perjalanan. Ayo ikut, ucapnya. Kamu juga ikut, seperti itu. Engkau berkata, ayo datang, dan pernahkah aku tak datang? Tangan Khadijah menjulur ke dalam air sambil berkata “ya” dengan beribu-ribu percikan air di wajahnya. Sekarang, mereka melakukan wudu yang pertama kali, yang diajarkan kepada Muhammad di dunia ini. Pembersihan Penyegaran Pengingat Penyemangat Itu semua datang bersama dengan percikan air. Itu merupakan dasar seorang hamba. Mereka memulai dengan air tanpa melakukan kesalahan. Tangan-tangan menyentuh percikan air. Tangan-tangan menyentuh telinga. Tangan-tangan juga menyentuh kasih sayang keduanya. Mereka menjadi seorang muslim pertama bersama dengan air yang merupakan rumah kehidupan yang pertama. Ruh keduanya juga tertulis awal yang bersih. 302 Air memadamkan api. Air adalah berkah dan ampunan. Mereka akan diikuti berjuta-juta manusia sampai hari kiamat. Mereka berubah dari bentuk ke bentuk. Ketika waktu telah datang, mereka akan menguap dan pergi menuju langit. Khadijah memandang takjub suaminya di setiap proses wudu, seakan-akan seperti sebuah cinta. Pandangannya tidak lepas dari suaminya dan air. Aliran air Semangat air Perkenalan air Perjanjian air, kesetiaan air. Ketika melihat wajah Rasulullah, ia menjadi saksi pancaran sinar yang akan mengangkat irman-iman Allah. Huruf Kha menjadi saksi huruf Mim, sementara air menjadi saksi keduanya. Kekasihku Rasulullah, ucapnya. Khadijah juga merupakan kekasih kekasih-Nya. Air, sekali lagi, menjadi pertunangan dan pernikahan bagi mereka berdua. Rahasia-rahasia cinta mereka diberikan kepada air dan air mulai saat itu juga bersumpah takkan berbicara... Sekali lagi salah satu dari keduanya tersenyum. Pertama, lengan-lengannya, dan kemudian membasuh kedua pergelangan kakinya. Orang pertama yang memimpin, orang kedua yang mengamatinya dengan saksama. Dan orang kedua menjadi orang pertama yang menyelesaikan wudu pertama. 303 _ Wudu Pertama Wudu pertama yang diambil ini merupakan bagian dari laki-laki dan wanita. Umat yang pertama bernama Khadijah. Khadijah adalah orang yang terlahir awal, bangun awal, dan berjalan awal... Jika kedua orang saling mencintai karena Allah, pasti yang ketiga adalah ar-Rahman. 304 Salat Pertama R asulullah memandang Khadijah sambil tersenyum. Ia membuka kedua telapak tangannya, kemudian menggenggam tangan istrinya. Tangan-tangan itu adalah kekasih baginya. Tangan-tangan itu menjadi rumah baginya. Di dalam telapak tangan Khadijah terdapat rahasiarahasia kehidupan dengan kasih sayang bagi sang suami. Di dalamnya terdapat lembaran-lembaran halaman kehidupan seorang wanita, seorang ibu. Di sana terdapat pancaran martabat yang terbang jauh ke atas dengan cinta. Tangantangan ini menjadi tangan ibu yang mengelus pundak, menjadi tangan sahabat yang menjadi pendukung, dan menjadi tangan kekasih yang merangkul. Dengan tangan-tangan yang penuh keyakinan itu, mereka mengarahkan wajah ke arah kiblat. Mereka mengetahuinya dari dalam telapak tangan keduanya. Dan ibadah salat akan mengarahkannya dari dalam telapak tangan ke arah kiblat. Mereka adalah muslim pertama di dunia ini. Mereka berdiri untuk salat, membuka telapak tangan, dan mengucapkan salam ke arah kiblat. Tangan-tangan mereka menunjukkan penghambaan keduanya. Mereka ingin berada di sisi Allah. Mereka ingin berada di sisi Allah... Ya Allah, janganlah Engkau tinggalkan kami. Lihatlah tangan-tangan kami, jangan tinggalkan kami. 305 _ Salat Pertama Mereka bertakbir, Allahu Akbar... Allahu Akbar! Allah tak pernah membiarkan hamba-hambanya yang membuka telapak tangan untuknya. Bacaan takbir yang pertama kali, orang-orang yang beribadah salat pertama kali, orang-orang yang bertemu dengan kalimat Allah. Kemudian, Rasulullah memulai Takbiratul Ikhram. Ketika dia bertakbiratul ikhram, Khadijah merasakan seluruh alam semesta berhenti. Surat-surat yang keluar satu per satu dari bibir al-Amin terdengar ke seluruh dunia dan mengamininya. Dalam takbiratul ikhram, mereka seakan-akan menjadi dua gunung. Takbiratul ikhram menjadikan mereka seakanakan sebagai pengikat alam semesta. Khusyuk, siap, dan bahu-bahu mereka terbuka untuk melakukan perintah Allah. Allahu Akbar! Gunung-gunung beban seorang hamba luluh-lantak berkeping-keping dan berubah menjadi kemuliaan syahadat. Rasa takut yang meleburkan gunung-gunung menyatu dalam sifat-sifat mulia-Nya yang terpancar dalam namanama-Nya ke dalam takbiratul ikhram. Mereka menemukan kerendahan hati dan kehormatan dalam setiap ucapan, “Ya Rabb, aku mendengar dan taat kepadamu.” Mereka bersama-sama menancapkan tiang agama dalam takbiratul ikhram pertama itu. Mereka menjadi tiang-tiang itu sendiri. Seperti sebuah pohon surga yang berada di antara langit dan dunia, langit dan dunia menjadi satu dalam takbiratul ikhram. 306 Allahu Akbar! Allahu Akbar! Kemudian, dengan wajah bersinar karena rasa hormat, Utusan Terakhir membungkukkan badan ke depan. Khadijah mengira seakan-akan seluruh lembah-lembah beban seorang hamba yang bergetar dengan rasa takut berada di punggung Insan Kamil di saat itu. Tanpa bacaan subhana rabi’al ‘azhim yang khusyuk, penuh rasa hormat, dan penghormatan, tak ada yang bisa menyingkirkan beban berat itu. Mereka yang membungkuk dengan penyerahan diri adalah sebaik-baik manusia. Di dunia ini tak ada yang bisa membuat punggung bersentuhan dengan tanah selain penyerahan diri kepada Allah. Khadijah pun mengerti bahwa perjalanan itu akan di mulai dari sini. Kalimatkalimat seterusnnya akan melewati punggung suaminya yang membungkuk bagaikan sebuah jembatan dalam rukuk pertama di ibadah salat pertamanya. Ia menjadi orang pertama yang menjadikan punggungnya sebagai sebuah jembatan sambil mengucapkan bismillah. Seperti itulah rukuk pertama dalam salat pertamanya. Dan semerbak harum itu, semerbak wangi rukuk yang memanggil tujuh langit, berasal dari punggung Utusan Allah yang membungkuk ke depan. Dan itulah bau harum punggung sang Nabi. Semerbak harum pengorbanan yang datang dari punggung yang membungkuk dengan taat kepada Rabb. Semerbak wangi yang paling wangi di seluruh dunia. Karena itu adalah aroma kasih sayang, aroma sang Kekasih. Dua punggung yang membungkuk ke depan untuk Allah itu memberikan salam kepada punggung-punggung yang 307 _ Salat Pertama mengikutinya sampai Hari Kiamat nanti. Salam dari aroma wangi yang terpancar lewat punggung dan pinggang yang membungkuk karena Allah. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Rasulullah yang terlahir kembali dengan seribu satu permohonan. Khadijah menjadi pengikutnya yang terlahir kembali dengan seribu satu permohonan... Seperti malam dan pagi, hidup dan mati, saling berganti. Setiap takbiratul ikhram ditakdirkan dengan sebuah rukuk dan setiap rukuk ditakdirkan dengan sebuah takbiratul ikhram. Salat yang menggerakan pendulum kelahiran dan kematian adalah jam hati yang takkan pernah mati. Betapa bahagianya hamba-hamba yang mengatur jam-jam mereka untuk Rabb mereka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Khadijah pun mengikuti utusan Allah yang kemudian melakukan sujud. Mereka tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah. Sujud mengajarkan keduanya bahwa Allah menciptakan mereka dan kepada Allah-lah mereka kembali. Sujud adalah tanah. Tak hanya sekadar bersentuhan dengan tanah, salam yang disampaikan untuk Allah yang bersentuhan dengan tanah yang lembut. Seperti dahi yang tercium oleh sang ibu, kedua orang yang beribadah itu menyerahkan takdirnya kepada dunia. 308 Rasulullah bersujud untuk tempat terdekat kepada Allah. Rabb yang tak lain hanya berada di dalam hati hambahamba mukmin, dan pastinya Tuhan yang layak untuk disembah. Asmaul Husna, yang merupakan sembilan puluh sembilan nama, yang membuka semua rahasianya. Dia adalah Allah! Dia adalah Allah! Dengan gerakan yang diajarkan oleh malaikat, mereka jatuh bersujud dengan mengucapkan subhaana rabbi’al a’la!.... Jatuh seperti martir Jatuh seperti ke lembah cinta. Seperti butiran-butiran salju yang turun di wajah bumi. Seperti butiran tembaga-tembaga yang jatuh ke dalam air. Mereka jatuh ke dalam sujud. Ke dalam keberadaan Allah.... Satu Tunggal Tak ada yang menyamai Tak berpasangan Tak memerlukan apa-apa.... Tak bergantung.... Tak terlahirkan.... Tak melahirkan... Tak diperintah.... Ciptaan berasal dari-Nya... 309 _ Salat Pertama Dia mengajarkan kepada mereka dan mereka mengetahui nama-namanya. Diucapkan dalam setiap rukuk di salat mereka. Kalimat-kalimat itu adalah milik-Nya, ada karena Dia. Dan kalimat-kalimat itu bergema dalam salat ke penjuru dunia. Mereka salat. Salat menjadikan mereka sebagai seorang hamba. Sisi kanan dengan sisi kiri berubah menjadi jalan yang tak berujung: Assalamu’alaikum wa Rahmatullah. Assalamu’alaikum wa Rahmatullah.... …. Ali menyaksikan mereka dengan takjub. Keduanya senang ketika Ali bertanya tentang apa yang mereka lakukan. Tanpa memandang usia, mereka menjawab pertanyaan itu dengan membuka hati dan penuh dengan keseriuasan. Ali yang mendengarkan dengan teliti berkata, “Iya, ya Rasulullah.” Ali siap mengucapkan kalimat syahadat, dan di kemudian hari akan dikenal sebagai “tuannya anak muda”. Dia akan menjawab seperti ini tentang pertanyaan yang akan ditanyakan kepadanya pada suatu hari nanti. “Di setiap tempat yang di situ ada Rasulullah dan Khadijah, aku pun berada di sana menjadi orang ketiga. Dia menyaksikan wahyu dan irman secara langsung, dan aku mencium nubuwah.” 310 Aifah al-Kindi menceritakan: “Aku datang ke Mekah di masa jahiliyah. Aku pergi mengunjungi Abbas, putra Abdul Muthalib, untuk memintanya menjadi pendampingku dalam perdagangan. Ia sedang berada di samping Kakbah. Saat itu, datanglah seorang pemuda. Pemuda itu membalikkan badan ke arah Kakbah dan kemudian mengangkat kedua tangannya. Beberapa saat kemudian, seorang anak kecil datang berada di sisi pemuda itu dan melakukan hal yang sama. Beberapa saat kemudian, datang seorang perempuan berdiri di samping mereka dan melakukan hal yang sama. Mereka rukuk, kemudian sujud. ‘Ini adalah sesuatu yang hebat! Siapa mereka?’ tanyaku. ‘Ini memang sesuatu yang hebat! Pemuda yang kau lihat itu adalah Muhammad, putra saudaraku, Abdullah. Anak kecil itu adalah Ali, putra saudaraku Abu halib. Perempuan yang kau lihat itu adalah istri keponakanku. Namanya Khadijah binti Khuwaylid. Keponakanku, Muhammad, berkata kepada kita bahwa hanya ada satu Tuhan di langit dan bumi ini. Ia mengikuti agama Tuhan itu dan mengajak kita mengikuti agama itu. Sejauh ini, yang aku lihat hanya tiga orang itulah yang mengikuti agama itu.’ Setelah Abbas menjelaskan seperti itu, tebersit dalam batinku, ‘Seandainya orang keempat itu adalah aku.’” Para perempuan yang tinggal di rumah mereka pun akhirnya menjadi bagian dari orang-orang pertama yang masuk ke dalam agama Islam. 311 _ Salat Pertama Namun, ketika kita berpikir dari sisi struktur sosial masyarakat pagan Mekah, perintah “bangun dan peringatkan” yang datang kepada Rasulullah terlihat seperti hal sulit dilakukan. Dalam hal ini, Malaikat Jibril memperingatkan Rasulullah untuk sabar dan berani dalam memberikan ajakan. Khadijah merupakan pendukung terbesarnya. Malaikat dan wanitalah yang menjadi pendukung terbesar Rasulullah. Di salah satu hari, ketika Rasulullah bersama dengan malaikat di Gua Hira, malaikat melihat sinar yang terpancar dari jauh. Malaikat itu melihat Khadijah yang khawatir dengan suaminya mendaki Gunung Hira sambil membawa keranjang. “Ya Rasulullah, Khadijah datang,” kata malaikat itu. Rasulullah membalasnya dengan mengatakan bahwa Khadijah selalu berada di sisinya. “Ia berada di belakangmu, di balik batu itu. Ketika ia datang menghampirimu, sampaikan salam dari Allah dan dariku kepadanya. Allah memberikan kabar gembira sebuah tempat di surga yang jauh dari keramaian dan kelelahan.” Meskipun mendaki di bawah terik mentari, Khadijah tetap memberikan salam kepada suaminya dengan senyum terpancar di wajahnya. Ia selalu mendukung secara terbuka maupun sembunyi, saling menghormati, dan tak pernah membiarkan suaminya sendiri tanpa perhatian. Khadijah adalah teman perjalanan hidup suaminya. Tak pernah melepasakan dan putus asa. Dengan dahi penuh keringat dan matanya terkena silau mentari, Khadijah memandang Rasulullah dengan tersenyum. 312 “Salam bagimu, wahai Rasulullah!” Khadijah senang memanggil suaminya seperti itu seakan-akan merasakan bahwa gunung-gunung, pepohonan, bebatuan, bulan, dan sang surya bersama-sama mengucapkan salam itu, “Salam ya Rasulullah! Salam ya Rasulullah!” “Selamat datang Khadijah. Allah dan Jibril memberikan salam untukmu! Tiba-tiba Khadijah menjadi malu mendengar kata-kata itu. Ia menerima salam itu dengan menganggukkan kepala ke depan dengan rendah hati. “Allah adalah Salam. Salam dari-Nya. Salam bagimu dan juga temanmu Jibril dariku, ya Rasulullah!” Rasulullah tampak gugup saat awal berdakwah karena kaumnya bereaksi sangat keras. Rasulullah selalu bertanya kepada dirinya, malaikat, dan istrinya dari mana dia harus memulai dakwah ini. Akhirnya, mereka memutuskan mengundang para kerabat untuk makan malam. Pada saat itulah ia akan menjelaskan hakikat agama ini. Para paman, bibi, keponakan, saudara dekat, dan putraputri mereka, kurang lebih berjumlah tujuh puluh orang, satu per satu datang ke tempat tinggal Rasulullah. Para pelayan pun sibuk menyiapkan beraneka kudapan. Di antara mereka yang membantu itu terdapat Ali. Ia mengangkat baki dan membagi makanan. Setelah selesai acara menyantap kudapan, pemilik rumah mengucapkan salam kepada seluruh tamu undangan. “Dengan menyebut nama Allah, silakan mulai makan,” ucapnya. 313 _ Salat Pertama Rasulullah tampak gugup saat awal berdakwah karena kaumnya bereaksi sangat keras. Rasulullah selalu bertanya kepada dirinya, malaikat, dan istrinya dari mana dia harus memulai dakwah ini. Akhirnya, mereka memutuskan mengundang para kerabat untuk makan malam. Pada saat itulah ia akan menjelaskan hakikat agama ini. Setelah acara makan selesai, Ali membawa baki dan memberikan minuman yang ditunggu para tamu, yang ternyata susu. Masyarakat Mekah yang terbiasa melihat arak setelah makan tak menyangka bahwa yang diberikan kepada mereka adalah susu. Hawa tak menyenangkan mulai meruap di antara mereka. Namun, setelah Abu halib meminum gelas yang penuh dengan susu itu, Suasana kembali menjadi baik. Sebenarnya, para tamu sudah mendengar kabar bahwa keponakan mereka, Muhammad, telah mengikuti agama baru. Istrinya pun mengikutinya. Abu Lahab yang tak menyukai jamuan susu memotong pembicaraan yang akan dilakukan keponakannya. “Dia berusaha memengaruhi kita. Itu semua berlaku untuk diriku, kalian, dan juga keponakanku. Keponakanku, 314 kau harus melepaskan usaha itu. Kau tak memiliki kekuatan untuk melakukan itu. Lupakan itu semua!” Ucapan-ucapan kasar yang diucapkan Abu Lahab membuat suasana pertemuan menjadi dingin. Orang yang tak mengucapkan basmalah dan mengganggu acara yang belum dimulai itu adalah Abu Lahab. Namun, dia adalah paman kandung Rasulullah. Tamu-tamu undangan pergi... Kejadian itu sudah dituliskan untuknya. Pamannya sudah memotong jalannya dalam percobaan pertamanya. Namun, dia membutuhkan suara pendukung dari sang istri, Khadijah. Agar tak membuatnya sedih, mereka masih bisa mengundang para tamu itu dan kali ini tanpa mengundang Abu Lahab. Hal itu akan membuka kesempatan mereka mengajak kerabatnya ke dalam agama Islam. Mereka pun memberikan tugas kepada Ali. “Kamu akan mengundang para tamu kemarin, kecuali Abu Lahab.” Kecuali Abu Lahab, mereka semua datang. Mulai dari Abu halib dan para bibi, mereka mendoakan keberhasilan keponakan dan istri keponakannya. Walaupun tak ada yang menjadi muslim, mereka berjanji akan mendukung keponakannya dan istrinya Setelah keluarganya, giliran kaum Quraisy. Di suatu pagi, Rasulullah mendaki puncak bukit Safa dan memanggil orang-orang di sekitarnya. “Wahai Sabahah! Wahai Sabahah!” serunya. Ajakan dimulai! Semuanya terkejut. Mereka berkumpul dengan cemas di sekitar sisi Safa. 315 _ Salat Pertama Rasulullah bertanya kepada kumpulan orang-orang itu apakah mereka percaya jika dirinya berkata bahwa di balik gunung itu bersembunyi sekumpulan tentara musuh. Dia bernama al-Amin sehingga semua orang pasti percaya kepadanya. “Seperti teriakan ‘wahai sabaha’ yang aku ucapkan dan seperti orang yang ingin memperingtkan keluarganya, dengarkan aku dan perhatikan ucapan-ucapakanku!” Dia berkata dengan penuh percaya diri untuk meyakinkan orang-orang yang berkumpul seperti banjir. Sungguh indahnya kata-katanya, sungguh sopan bahasanya. Jika mereka percaya dengan apa yang Rasulullah ucapkan, ungkapan bahwa tiada Tuhan selain Allah pun harus dipercaya. “Oleh karena itu, dengarkan aku baik-baik! Aku memperingatkan kalian mengenai azab yang sangat berat. Aku mengajak kalian bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah. Jika kalian menerima ajakan ini, tempat kalian pergi adalah surga. Jika kalian tak percaya, aku tak bisa menyelematkan kalian dari azab yang akan menimpa kalian. Wahai kaum Quraisy! Selamatkanlah diri kalian dari neraka. Wahai Putra Ka’ab bin Luesy! Selamatkanlah diri kalian dari api neraka! Wahai Putra Murra bin Ka’ab! Selamatkan diri kalian dari neraka! Wahai Putra Abdul Syams! Selamatkan diri kalian dari neraka! Wahai Putra Abdul Manaf! Selamatkan diri kalian dari neraka! 316 Wahai Putra Abdul Muthalib! Wahai putri Muhammad, Fatimah! Wahai bibi Rasulullah, Saiyah! Serahkanlah diri kalian kepada Allah. Jika kalian tak membenahi diri kalian, aku tak bisa menyelamatkan kalian. Jika kalian menginginkan kekayaanku, akan aku berikan. Namun, kalian salah jika di hari kiamat nanti kita masih bersaudara. Hari itu manusia akan datang dengan amal-amal mereka. Kalian akan datang meminggul kebaikan-kebaikan yang telah kalian lakukan. Dan pada hari itu aku membalikkan wajahku dari kalian. Kalian akan memanggilku, ‘Ya Muhammad’ untuk memohon pertolongan. Namun, aku tak akan menjawab. Aku akan melakukan ini (saat itu dia membalikkan wajahnya ke arah lain). Sekali lagi kalian memanggil ‘Ya Muhammad’, dan sekali lagi aku akan melakukan seperti ini (sekali lagi membalikkan wajahnya).” Orang-orang Mekah terdiam di hadapan ajakan itu. Bagaimana ia melakukan ajakan ini? Baik, rendah hati, serta dengan ucapan satu satu per satu dan fasih. Sebuah ajakan yang seakan-akan penuh dengan ketegasan seorang raja dan penuh dengan kekuatan. Ucapan-ucapan al-Amin bekerja untuk orang-orang di barisan depan. Khadijah yang berada di barisan terakhir mendengarkan dengan penuh iman, kasih sayang, semangat, dan penuh perhatian. Orang-orang yang memanggilnya “anak yatim Mekah” berkata di atas puncak Safa menggunakan kata-kata yang menghancurkan gunung-gunung. 317 _ Salat Pertama Saat itu, Khadijah seakan-akan melihat Ismail bersama dengan Hajar, ibunya. Orang yang mengajak itu adalah utusan terakhir yang dari generasi Nabi Ismail. Bukit Safa, yang menjadi saksi, sekali lagi menjadi tempat suci beberapa abad kemudian. Kali ini dengan bahasa yang rendah hati, penuh ampunan, dan ketegasan yang mampu mendiamkan para raja. Bangga, bangga, bangga... syukur, syukur, syukur. Khadijah meneteskan air mata ketika mendengarkan pidatonya. Pada saat itu.... Ketika semua terdiam membeku mendengarkan ajakan terbuka, tiba-tiba Abu Lahab berteriak. “Kurang ajar. Kamu panggil kami hanya untuk mendengarkan omong kosong ini?” Kata-kata itu seperti batu besar yang dilemparkan kepada keponakannya. Kejadian itu menjadi sesuatu hal yang mengejutkan. Paman kandungnya sendiri memalukan keponakannya di hadapan semua orang. Para pendengar yang sebelumnya mendengarkan dengan hikmah dan penuh dengan keingintahuan mulai pergi satu per satu setelah mendengarkan ucapan Abu Lahab. Sekali lagi, Abu Lahab menghancurkan semuanya. Khadijah melihat kejadian ini dengan pandangan sedih. Ia adalah satu-satunya orang yang selalu berada di samping suaminya setelah orang-orang pergi menuju jalan mereka masing-masing. Khadijah berkata kepada suaminya agar tak sedih dan putus asa. Ya, kali ini dirinya harus membantu suaminya. Dan khususnya kepada para perempuan yang menyukai mereka. Oleh karena itu, mereka mengajak para perempuan. 318 Rupanya, orang-orang terhormat seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah, Ash bin Wail, dan Utbah bin Rabiah, juga tak suka dengan upaya yang dilakukan Khadijah. Mereka mencegah kedatangan para ibu, saudara perempuan, dan istrinya kepada Khadijah dan al-Amin. Namun, mereka adalah muslim pertama yang selalu yakin dan tegas dengan keputusan mereka, ibarat sebuah benteng yang sabar dan kokoh. Sebaliknya, orang-orang yang dikirim untuk mengubah keyakinan Khadijah malah kembali dalam keadaan terpengaruh. Kali ini mereka berkata, “Menjauhlah wanita dan para putri Khadijah.” “Agama ini adalah agama Allah, para malaikat, dan para nabi. Agama kakek moyang kita, Nabi Ibrahim. Allah mengutusku untuk berdakwah kepada seluruh umat manusia.” Dirinya adalah satu-satunya orang yang memangil dan berteriak dalam keramaian. Khadijah, Ali, Zaid, dan putriputrinya, kemudian Abu Bakar, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Utsman bin Afan, Saad bin Waqas, Talha bin Ubaidullah, Ammar bin Yasir, serta Bilal pun menjadi muslim. Hal yang menarik perhatian di antara keluarganya adalah keikutsertaan para wanita dalam perkumpulan laki-laki. Rumah Khadijah menjadi sebuah sekolah. Rumah itu ramai dengan para wanita yang belajar agama baru. Bibi Saiyah, Arwa, Umaimah, dan Atikah, anak-anak perempuan sang bibi, Sa’da binti Quraisy dan Arwa binti Quraisy, Hamna dan Zainab, serta istri pamannya Abbas, Lubabah, mereka ibarat sekumpulan lebah yang datang karena ajakan Khadijah. Mereka benar-benar pekerja keras yang tangguh. 319 _ Salat Pertama Sungguh, ajakan agama baru dan tauhid telah mengganggu keberlangsungan agama nenek moyang mereka. Apalagi, sebagian besar dari mereka adalah kaum pagan dan para pedagang. Mereka berpikir mengapa utusan terakhir datang dari garis Abdul Muthalib bukan dari mereka. Rumah Khadijah menjadi sebuah sekolah. Rumah itu ramai dengan para wanita yang belajar agama baru. Bibi Safiyah, Arwa, Umaimah, dan Atikah, anak-anak perempuan sang bibi, Sa’da binti Quraisy dan Arwa binti Quraisy, Hamna dan Zainab, serta istri pamannya Abbas, Lubabah, mereka ibarat sekumpulan lebah yang datang karena ajakan Khadijah. Mereka benar-benar pekerja keras yang tangguh. Abu Jahal berkata seperti ini kepada orang-orang dekatnya. “Kita selalu berkompetisi dengan kaum Abdul Manaf dan Syams di berbagai hal yang menyangkut kehormatan. Mereka menjamu makan, kita ikut menjamu. Mereka melakukan berbagai macam tugas, kita juga melakukannya. Mereka 320 memberi dan melakukan kebaikan, kita pun memberikan dan melakukan kebaikan. Mereka seperti orang-orang yang berkompetisi di atas unta dan selalu bertarung dengan kita. Sekarang, mereka berkata bahwa ada seorang nabi yang menerima wahyu dari langit. Bagimana bisa kita menerima semua ini? Bagaimana kita bisa memberikan perlawanan? Kita takkan pernah bisa menerimanya. Satu hal yang bisa kita lakukan, kita tak akan tunduk kepada generasi Abdul Manaf. Mengapa kenabian datang kepada anak yatim Mekah? Ketika semua kekayaan dan kebanggan berada di tangan kita, mengapa utusan terakhir diberikan kepadanya?” ucapnya dengan intonasi mengejek yang terasa menyakitkan bagi Khadijah dan suaminya. 321 Seperti Lautan S ejak lahir, kehidupan Khadijah seperti laut yang tidak pernah kurang ombaknya. Tidak ada pekerjaan yang datang secara bergantian. Setiap pekerjaan dan segala urusannya seperti sebuah magnet yang menarik dirinya, yang membuatnya selalu saja berada di antara banyak pekerjaan yang harus ditangani. Kebanyakan orang menginginkan kehidupan dengan lacilaci dan gantungan-gantungan yang tersusun rapi, jauh dari ricuh pertengkaran. Namun, kehidupannya justru jauh dari hal tersebut, seperti koper yang susah ditutup karena sudah sangat penuh. Kehidupan Khadijah adalah sebuah perjalanan panjang yang sebenarnya. Sebagai orang pertama yang mengimani agama yang baru, sekaligus sebagai salah satu penebar dakwah pertama, Khadijah banyak mendapat perlawanan tajam dari lingkungan maupun bangsawan Mekah. Di sisi lain, Khadijah juga berperan dalam masalah-masalah yang berlaku umum. Bisa dikatakan, dirinya hampir tidak pernah luput dari perhatian kehidupan duniawi. Contohnya ketika ia kembali mengandung buah hati. Seluruh ritme kehidupannya tiba-tiba menjadi seperti ratu lebah yang tiada henti mengurusi sarangnya yang terusmenerus berdengung. Di antara runtutan urusan-urusan itu adalah menyaksikan suaminya yang hari demi hari senantiasa bercengkerama dengan malaikat bernama Jibril, 322 meskipun dengan emosi yang kian hari kian memuncak dan hampir setiap waktu terjadi keributan di salah satu sudut kota. Di satu sisi, Khadijah setia mengamati putri-putrinya yang telah berumah tangga, sementara di sisi lain sibuk menyiapkan pernikahan bagi putri-putrinya yang telah bertunangan. Di sisi yang lain lagi, Khadijah mengisi harihari Fatimah kecil Sang Bunga Rumah, menyambut dan menjamu tamu-tamu yang datang, menyampaikan ajaranajaran agama kepada mereka, mengikuti perkembangan musim panen, perjalanan dagang, dan menghitung harta benda, memperbaiki bagian rumah yang rusak, mengurus taman, merawat unta-unta yang terserang penyakit, mengusir hama-hama yang sering muncul pada karungkarung kurma, menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa ikan yang mati di kolam pada pekan lalu adalah sebuah takdir, memberi perhatian khusus untuk Ali dan Zubair yang ketika itu tengah mengalami pubertas dengan segala kekhasannya, serta hadir dalam berbagai takziyah, akikah, dan perpisahan. Khadijah berdiri teguh di antara berbagai dera. Kadang, setelah semua telah tidur, ia memikirkan satu per satu keluarganya. Mengetahui bahwa semuanya sehat dan tertidur pulas di bawah atap yang sama adalah sebuah kebahagiaan yang tidak terkira. Dan pekerjaan yang harus ia kerjakan seolah bintang yang bertebaran di langit, begitu melekat kepada dirinya. Ketika ia akhirnya tertidur bersama bintang-bintang, kadang tidak tersisa satu mimpi pun untuk dilihat karena hidupnya sudah menyerupai mimpi: berlari… berlari… terus berlari… dalam dirinya bersemayam seorang gadis remaja. 323 _ Seperti Lautan Hari kelahiran Abdullah, putranya, mengukir kegembiraan di wajah semua orang. Bahkan, belum genap beristirahat di tempat tidur keibuannya, ia kembali beranjak untuk memulai lagi kehidupannya, meneruskan hidup yang bagaikan lautan berkecamuk ombak. Tak pernah merasa terbebani. Tak ada penyesalan. Tak pernah mengerutkan alis. Dia, adalah laut… adalah cinta. Kata cinta yang tertulis di dahinya membuat Khadijah selalu sigap dalam setiap kesempatan, setiap keadaan. Lengannya terbentang luas bagaikan samudra. Tangannya seperti tercipta dari air, rendah hati dan penyabar. Menjinakkan batu besar yang perkataannya kasar dengan belaian kasihnya. Adalah Kapal Risalah yang berlayar di atasnya, adalah ikan-ikan unik umatnya yang hidup di dalamnya. Dia adalah lautnya Mekah. Ketika menyusui Abdullah, ia menyimak dengan saksama hafalan ayat-ayat pertama putri kecilnya, Fatimah. Sementara itu, di bagian bawah rumahnya, para muslimah awal sudah tidak sabar untuk mendengarkan nasihat perihal agama darinya. Dari kasak-kusuk yang didengar dari para gadis yang ditugaskan menjamu tamu itu, Khadijah tahu bahwa keributan telah terjadi. Kabar buruk yang terdengar dari Pasar Dzu al-Majaz itu segera melesat bagai busur ke dadanya, bagai susu yang hendak mendidih, dan terdengar oleh Ibunda Khadijah. Menurut kabar yang beredar, kericuhan itu terjadi ketika suaminya yang juga sebagai Rasul Terakhir, mengajak orangorang di pasar untuk meninggalkan kegelapan dan menuju cahaya. 324 Ketika itu, Rasulullah bersabda, “Wahai sekalian manusia, katakanlah, sesungguhnya tiada tuhan selain Allah agar kamu sekalian selamat!” Abu Jahal, seperti biasa, dengan penuh olokan menolak ajakan tersebut. Bahkan, ia sempat mengambil segenggam tanah dan kemudian melemparkannya ke kepala suci Rasulullah. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Melemparkan tanah ke kepala seseorang, menurut adat Mekah, adalah hinaan terburuk yang pernah dilakukan. Abu Jahal merasa puas dengan kelakuannya itu dan berkata, “Hai sekalian Ketika menyusui Abdullah, ia menyimak dengan saksama hafalan ayatayat pertama putri kecilnya, Fatimah. Sementara itu, di bagian bawah rumahnya, para muslimah awal sudah tidak sabar untuk mendengarkan nasihat perihal agama darinya. manusia, orang ini ingin membelokkan kalian dari agama terhormat nenek moyang kalian. Janganlah kalian sekali-kali menaatinya! Dia menginginkan kalian untuk meninggalkan tuhan-tuhan kalian, meninggalkan Latta dan Uzza kalian. Jangan pernah kalian mendengarnya!” 325 _ Seperti Lautan Ucapan itu seperti meredupkan pancaran cahaya kalimatullah. Selanjutnya, kericuhan pun terjadi. Tubuh al-Amin berbalut debu. Rambut dan jenggotnya dipenuhi tanah. Pakaiannya pun terkoyak. Ibunda Khadijah yang mendengar kabar tidak sedap itu seperti terguncang. Segera saja air susu tidak keluar dari dadanya. Putra mungilnya, Abdullah, yang berada dalam pangkuannya bagai anak domba yang kebingungan mencaricari air susu. Tidak tega. “Bismillah.” Dadanya diperas seraya menyebut asma Allah. Tidak keluar air susu… Bismillah… Masih tidak keluar… “Ya Rabb, berilah pertolongan untuk rumah utusan-Mu. Bismillah….” rintihnya. Kali ketiga, karena begitu keras memeras, yang keluar adalah susu bercampur darah. “Mekah, betapa cepatnya kau berpaling dari kami,” ucapnya dalam hati. Khadijah harus tenang. Mengemban janji yang berat tentu akan berhadapan dengan ujian semacam ini. Harus kuat, ia harus kuat mengingat banyak orang yang menaruh harapan kepadanya. Abdullah segera ditidurkan ke ranjangnya. Ia lalu memberi selamat kepada Fatimah atas hafalannya. Saat turun ke bawah, Khadijah mencari wajah penuh senyum yang biasa ia tunjukkan kepada para tamu muslimah itu dari dalam dirinya. Dengan susah payah, ia akhirnya menemukannya dan memasang wajah penuh senyum itu. Oh… Khadijah, ibunda seluruh umat. 326 Di hari-hari sulit yang dilalui suaminya, bukan hanya kesabaran melainkan juga guyuran kesabaran yang ia harapkan. Bukan lagi sekadar sabar, melainkan hujan kesabaran yang ia inginkan. Menjelang malam, Zainab, putrinya yang menikah dengan putra dari saudara perempuannya menghampirinya. Ada kesedihan yang menggantung di wajah putrinya. Atau, adakah yang membuatnya bersedih di rumahnya? Dibelai rambut putrinya, dicium jemari yang berinai dan bercincin itu. Menantunya adalah seorang yang mengetahui besarnya arti nikmat, seorang pemuda yang berwibawa. Bagi Zainab, suaminya tak pernah meninggalkan matanya di belakang. Kalau begitu, apakah gerangan yang tidak Zainab ceritakan kepadanya? Mengapa wajahnya pucat? Ketika ditariknya ke belakang jilbab sutra yang menutupi kepala putrinya, ia terkejut menemukan penuh bekas luka. Zainab menutupinya, tak ingin ibunya tahu. Sang ibu pun berpurapura tidak melihat bekas luka itu. Ia berpura-pura melihat kalung yang dihadiahkan kepada putrinya saat pernikahan. Seraya ingin mengganti topik pembicaraan, sambil menelan ludah, Khadijah bertanya, “Kau suka hadiah ini, Zainab?” Beberapa tahun kemudian, di Perang Badar, hadiah itu akan menjadi jaminan keselamatan bagi suaminya. Kalung pemberian dari Ibunda Khadijah ini akan menjadi penolong bagi suami Zainab. Zainab, seolah sudah menunggu pertanyaan itu, tidak kuasa menahan dirinya. Ia menangis terisak. Kepala Ibunda Khadijah mendidih dibuatnya. Ataukah putrinya tidak nyaman berada di rumahnya sendiri? Ada apa dengan bekas luka di tengkuknya itu? 327 _ Seperti Lautan “Para pengantin boleh menangis begini. Namun, ibunda mereka adalah orang kepercayaan mereka. Bukan begitu, Zainab?” tutur Khadijah. Zainab tenggelam dalam pelukan ibundanya. Dengan terisak, ia mulai menuturkan kisahnya. Derita Zainab sebenarnya adalah ayahandanya. Hari ini, saat sedang berjalan dari pasar ke pasar, ia menemukan ayahandanya tengah berdakwah mengajak orang-orang menuju ke Agama yang Benar. Kata-katanya begitu sopan, begitu tulus dari lubuk hati terdalam. Ia memberi salam ke semua orang. Satu per satu dari mereka dijelaskan tentang keesaan Allah. Akhlaknya yang menjaga etika moralitas yang indah, arti dari pemilik segala kebaikan, dan pasar yang dikelilinginya demi menyampaikan pesan bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sementara belaka. Namun, telinga orang-orang itu tersumbat demi mendengar sabdanya. Kemudian, di depan ayahandanya berdiri orangorang yang menirukannya. Mereka juga yang melemparkan tanah ke kepalanya dan menjambak rambutnya. Kini, seluruh tubuhnya berbalut debu. Di antara caci maki dan hinaan, sang ayahanda masih saja gigih menyampaikan risalah ilahi, satu per satu seperti mutiara dengan penuh kesabaran. Makian demi makian semakin meningkat. Mereka mulai mengancam dan meneriakkan sumpah-sumpah akan menyiksa orang yang telah meremehkan tuhan-tuhan mereka. Hingga mentari merangkak naik ke puncaknya, Zainab masih mengawasi ayahnya dengan harapan kosong. Kemudian, seiring hari kian menuju puncak panasnya, orang-orang yang kasar lagi kurang ajar itu pun beringsut bubar, meninggalkan Rasulullah sendirian dengan tubuh 328 berbalut debu dan tanah. Agar tidak mengundang orangorang untuk mencacinya, ia pun menutup wajahnya dengan kain. Meskipun berada dalam balutan jubah dan syal, Rasulullah masih mengenali putrinya yang saat itu berjalan mendekatinya. “Kaukah itu, Zainab?” Zainab segera menyerahkan kendi berisi air yang ada di sampingnya kepada sang ayah. Dengan bibir yang berdarahdarah, seraya mengucap basmalah, sang ayah mulai meneguk air dari kendi itu. Setelah mencuci wajahnya, tampak sebagian dari air itu bercampur darah dan peluh. Ketika membersihkan pakaiannya yang berdebu, tersenyumlah ia kepada putrinya. Dan ketika Zainab tidak bisa menahan dirinya untuk menangis, seperti biasa, sang ayah akan mengelus kepala putrinya sembari berkata, “Zainab… oh Zainab.” “Wahai Putriku, jangan takut akan ayahmu. Yang menugaskan pekerjaan ini adalah Allah. Jangan takut, Zainabku,” lanjutnya menenangkan. Setelah berpisah dari ayahandanya, si wanita muda itu pun segera berlari meninggalkan pasar. Ia berusaha menghindar dari orang-orang kasar yang menyadari bahwa itu dirinya. Ketika berlari, kakinya tersandung sesuatu sehingga ia terjatuh. Kendi yang ia bawa pun pecah sehingga melukai tengkuknya. Sambil terisak, Khadijah berusaha menenangkan putrinya yang mengkhawatirkan hidup ayahnya. “Zainabku, jangan bersedih,” katanya. “Allah bersama Ayahmu!” 329 _ Seperti Lautan Sebuah kaca seperti yang meledak dalam dirinya. Pecah, dan serpihannya menyayat hatinya. Terluka di depan mata anaknya sendiri, ayah mana yang sanggup menanggungnya? Begitu pula, anak mana yang hatinya tidak tercabik-cabik melihat ayahnya sendiri dalam kondisi seperti itu? Namun, ia tentu saja tidak boleh mengatakan kepada anaknya. “Zainab sayang, lihatlah. Adikmu ingin membacakan ayat-ayat yang baru saja dia hafal kepadamu,” kata Khadijah sembari memberikan Fatimah yang dari tadi memamerkan pita-pita kepang rambutnya kepada sang kakak ke pangkuannya. “Bagaimana Halah, apakah ia baik-baik saja? Aku sangat merindukannya,” tanya Khadijah. Pada saat yang bersamaan, matanya sibuk mencari Zaid dan Ali. Ia harus segera mengirim mereka ke sisi Rasulullah. “Saudara-saudara yang hendak menunaikan salat Magrib di rumah kami, aku mencari Zaid dan Ali. Mereka harus menyiapkan kamar untuk tamu laki-laki kami,” kata Zainab. Begitu namanya dipanggil, Zaid segera melongokkan kepalanya ke pintu. “Para singaku.. ” kata Khadijah, “Lari dan susullah Rasulullah.” 330 “Zainab, kau tidurkan saja Fatimah. Aku segera datang. Bahkan, akan kupanggil juga mertuamu untuk datang. Kita salat bersama-sama. Kami tidak akan melepasmu secepat itu.” Meskipun mereka berusaha untuk tidak membuat para tamu wanita merasa khawatir, ternyata Khadijah mendapati para pemuda di rumah itu menjadi waspada. Bahkan, Ali, demi menyampaikan perihal kejadian itu kepada ayahnya, Abu halib, segera melesat menuju rumah lamanya. Zubair juga menarik pedang seukuran tinggi badannya seraya berkata, “Jika mereka hendak melakukan sesuatu terhadap Rasulullah, mereka akan menemukanku di hadapan mereka.” Ucapan pemuda kecil itu cukup membuat Khadijah tersenyum. “Para singaku….” kata Khadijah, “Lari dan susullah Rasulullah.” 331 Yang Terdekat, Yang Terjauh “Sungguh, Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.” (Q.s. Muzzammil: 5) U jian macam apa ini? Orang-orang terdekatnya, yang hingga kemarin masih bersama bahu-membahu dalam meraih kemenangan besar dan menjaga martabat, hari ini bergerak sendirisendiri seperti tidak saling kenal. Mereka yang hingga kemarin masih bersama-sama menikmati jamuan makan tanpa kurang suatu apa pun, hari ini menjadi musuh. Pihakpihak yang saling berbagi suka maupun duka sejak lahir sampai nanti mati, ada apa dengan mereka ini? Apakah semua ini karena mereka berikrar bahwa Allah itu satu? Apakah karena mengakui bahwa mereka adalah muslim sehingga layak untuk mengalami runtutan siksaan semacam ini? Sahabat lama yang memutus salam, memutus ucapan selamat pagi. Bahkan, segera saja pintu dan jendela dibanting dengan keras di depan wajah mereka. Atau segera memalingkan muka ketika melihat mereka. Dua tetangga rumah terdekat, Abu Lahab dan Ukbah bin Abu Mu’ait, sudah sejak dulu melancarkan siksaan-siksaan 332 yang tidak terbayangkan sebelumnya. Mereka kumpulkan duri dan semak untuk disebarkan ke jalanan yang dilalui kaum muslim. Sampah dan segala macam benda menjijikkan mereka buang ke depan pintu rumah-rumah kaum muslim. Menanggapi kejadian-kejadian yang mengejutkan ini, Khadijah dan suaminya hanya dapat berkata, “Apa ini yang kalian sebut bertetangga?” Tawa keras serta lemparan batu tidak jarang mereka dapati. Kadang, Rasulullah terpaksa bersembunyi di sebelah kiri pintu masuk “Penginapan Khuwaylid”, di belakang tempat menyimpan hewan tunggangan. Mereka begitu keras kepala, kasar, dan kurang ajar. Sejak Alquran turun kepada Sang Utusan Terakhir, seolah ada sesuatu yang berbeda yang terjadi pada hati mereka. Alquran sebenarnya adalah al-furqan (pembeda). Ketika Rasulullah mulai berbicara, muncullah perbedaanperbedaan itu. Semua orang melihat asal mereka, permata mereka, melalui cermin ini. Mereka yang terbuka dengan kebaikan, ketika mendengar seruan Utusan Terakhir, langsung berlari menuju kebaikan. Sebaliknya, mereka yang terbuka dengan keburukan akan berlari dengan cepat menuju kehinaan. Khadijah sendiri adalah wanita yang menjunjung tinggi hukum berkenaan dengan kekerabatan dan kehidupan bertetangga. Bukan hanya ia yang menjunjung tinggi hakikat-hakikat tersebut. Menaati dua hukum tersebut adalah salah satu dari peraturan-peraturan bermartabat penting di Mekah. Pepatah Arab menyebutkan, “Kekerabatan maupun kehidupan bertetangga bagaikan selubung benih di dalam tanah.” 333 _ Yang Terdekat Yang Terjadi “Benih tanpa selubung, mungkinkah ia bertahan? Bagi sebiji benih, untuk tumbuh menjadi tanaman berakar diperlukan selubung untuk bersandar. Nah, selubung benih itulah kekerabatan, itulah kehidupan bertetangga,” ucap Khadijah. Kerabat dan tetangga adalah kenangan. Kerabat dan tetangga adalah lingkungan. Kerabat dan tetangga adalah yang karib dan yang dekat. Hukum yang mengatur tentang kekerabatan dan kehidupan bertetangga bagi masyarakat Arab yang pada masa itu hidup tanpa raja, ratu, menteri, maupun pemimpin lainnya selama berabad-abad merupakan lembaga yang berprofesi sebagai pengawal benteng yang membuat minyak wangi. Lalu, apa yang berubah sekarang? Yang berubah tentu saja berhubungan dengan apa yang disampaikan Rasulullah, yaitu yang menghancurkan sistem kasta, yang bersandar pada tiang keadilan, persamaan di antara semua manusia, dan tidak diragukan lagi dari semua ini adalah krisis transisi menuju sistem baru yang berdasar pada pokok hukum. Ketika berbagai tanggapan itu dilontarkan, jarak diturunkannya ayat satu dengan yang lainnya merenggang lagi. Caci-maki dan hinaan semakin hari semakin bertambah. Orang yang melintas di sampingnya berceletuk, “Wahai Muhammad, adakah hari ini yang turun dari langit lalu berbincang denganmu?” Tak jarang pula mereka mengumpat yang ditujukan untuk para hamba sahaya yang memeluk Islam, “Harta karun Kisra dan kaisar apakah akan diberikan kepada mereka ini?” umpat mereka dengan tawa terbahak-bahak yang menyayat hati. 334 “Kisah masa lampau….” “Perkataan gila….” “Mantra-mantra sihir.…” Semua itu adalah ungkapan-ungkapan tentang hurufhuruf Allah atau Alquran yang para pengkhianat itu sebarkan ke sekeliling mereka. Dan ancaman pun masih datang silih berganti. Dengan suara kencang, mereka berkata, “Barang siapa yang mengunjungi Kakbah dan mendirikan salat, kami tahu apa yang harus dilakukan kepada mereka.” Bahkan, suatu ketika Abu Jahal pernah bersumpah di depan khalayak, “Jikalau mereka datang dan mendirikan salat, akan kuinjak tengkuknya dan kuseret wajahnya di tanah.” Suatu ketika, ia pernah hendak menginjak tengkuk Rasulullah ketika sedang sujud. Namun, belum sampai menginjak, ia kembali pulang. Saat ditanya perihal hal ini, ia pun menjawab, “Aku sudah akan menginjaknya. Namun, setiap kali akan melakukannya, aku melihat dinding dari api yang mengelilinginya.” Meskipun hidupnya selalu dipenuhi dengan ancaman, Khadijah tak pernah sekalipun melewatkan pergi ke Kakbah dan salat di sana bersama sang suami. Bahkan, meski ancaman kematian datang mendera, ia dengan gigih dan berani tidak beranjak selangkah pun dari sisi suaminya. Di antara segala tanggapan, baik dari segi keagamaan maupun sosial, kehilangan Abdullah kecil yang tengah mulai belajar berjalan secara tiba-tiba tidak pelak menambah berat kadar ujian yang harus dihadapi. Orang-orang berhati kotor dan bermulut buaya segera mengambil kesempatan 335 _ Yang Terdekat Yang Terjadi dari kesedihan mereka ini. Bahkan, mereka mulai menjuluki Rasulullah dengan sebutan “pohon yang rapuh cabangnya”. Suatu hari, seorang asing bertanya kepada ‘As bin Wail di Pasar Ukaz sambil menunjuk ke arah Rasulullah yang saat itu sedang sibuk menyerukan agama-Nya. “Siapakah gerangan orang yang berbicara dengan perlahan-lahan itu?” “Dia? Dia itu hanyalah seorang yang keturunannya terputus! Tak punya keturunan,” jawab ‘As penuh dendam, penuh benci. Dengan hati patah dan terluka, Rasul Allah itu pun kembali ke rumahnya. Ibunda Khadijah segera menenangkan diri. Ia mengajak suaminya berjalan mengelilingi satu per satu ruangan yang setiap sudutnya merupakan jejak turunnya wahyu, seraya mengingatkan kembali akan tempat-tempat saat dirinya pernah melihat Jibril. Dikenangkannya pula bahwa bukan rumah lain melainkan rumah beliaulah yang Jibril datangi. Meskipun hidupnya selalu dipenuhi dengan ancaman, Khadijah tak pernah sekalipun melewatkan pergi ke Kakbah dan salat di sana bersama sang suami. Bahkan, meski ancaman kematian datang mendera, ia dengan gigih dan berani tidak beranjak selangkah pun dari sisi suaminya. 336 “Engkau adalah Rasul utusan Allah Yang Maha Esa,” katanya menguatkan hati. Khadijah berkata dengan menatap mata Rasulullah dalam-dalam. Sembari melakukan hal yang sama, ia berkata lagi, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Ucapan itu begitu menyesakkan dada keduanya. Mereka penat dengan siksaan orang-orang sehingga keduanya pun tersungkur dalam sujud, membuka hati mereka untuk Allah. Rasulullah pun merintih dalam doanya. “Ya Rabbi! Tunjukkanlah kepadaku petunjuk-Mu yang akan memberi kekuatan bagi hatiku dan yang menghilangkan kesedihan ini dariku!” Di masa penuh ujian yang harus dilewatinya ini, Khadijah adalah satu-satunya sandaran, satu-satunya hiburan baginya… Khadijah tidak pernah barang sekejap pun ingkar dari imannya kepada Allah dan apa pun yang dikaruniakan kepada Rasul-Nya. Apa pun yang diwahyukan kepada Rasulullah diterimanya. Karena itu, ia hadapi setiap ujian berat yang dibebankan Allah kepadanya dengan penuh kesabaran. Berbagai macam orang, yang baik maupun buruk, pernah ditemui. Begitu berat dan sukar tugas sebagai seorang rasul yang diemban suaminya sehingga pertolongan dan tauik dari Allah saja yang mampu memberi kekuatan kepada para nabi sehingga tetap gigih mengembannya risalah-Nya. Khadijah, orang pertama yang mengimani Utusan Terakhir, sebagai wakilnya, satu-satunya penghibur buatnya, tidak diragukan lagi adalah yang terpilih untuk ikut berperan 337 _ Yang Terdekat Yang Terjadi dalam terlaksananya tugas berat ini dengan selamat. Ia pun adalah seorang yang mendapat dukungan langsung dari Allah. Kaum musyrik Quraisy dengan penuh keyakinan terus mengikuti perkembangan kedatangan wahyu. Jika wahyu itu terputus keluarlah kata-kata ejekan dari mereka, “Tuhannya pun meninggalkan Muhammad.” Khadijah, orang pertama yang mengimani Utusan Terakhir, sebagai wakilnya, satu-satunya penghibur buatnya, tidak diragukan lagi adalah yang terpilih untuk ikut berperan dalam terlaksananya tugas berat ini dengan selamat. Ia pun adalah seorang yang mendapat dukungan langsung dari Allah. Hujan hinaan dan duka karena kehilangan putra berkecamuk dalam dada mereka. Namun, kesabaran dan ketabahan jiwa mereka yang akan disempurnakan itu tak goyah meskipun didera berbagai macam bara api, meski segala macam kepahitan dunia telah mereka rasakan…. 338 Kisah Empat Puluh Darwis D i lantai atas, Ibunda Khadijah terbaring sakit dengan panas tinggi karena duka kehilangan putra kecilnya. Di lantai bawah, karena paham akan hakikat kematian, Berenis berbicara tentang hal tersebut di hadapan para tamu wanita yang berkumpul di penginapan itu untuk dalam rangka takziah atas wafatnya Abdullah. “Ketika melewati Gurun Tihamah, kami menjumpai gundukan yang tidak biasa. Ketika kepala rombongan memberi waktu untuk beristirahat, bersama Tuanku, Tuan Katip Tua, kami pergi mengunjungi gundukan itu. Di balik gundukan itu berjajar empat puluh makam yang saling berdampingan. Aku pun terkejut. Bulu kudukku berdiri. Di gurun pasir sesunyi ini, bagaimana mungkin ada empat puluh makam yang saling berdampingan seperti ini? Ada misteri apa di balik semua ini?. Seolah tahu apa yang kupikirkan, Tuanku menjelaskan, ‘Ketika empat puluh sahabat Allah tengah berzikir kepada Tuhannya, mereka menyerahkan nyawa mereka di sini...’ Aku yang merasa begitu dekat dengan Allah, waktu itu masih belum mengerti untuk apa Dia mencabut nyawa dengan sekali napas. Padahal, dalam hal mencintai, Allah jauh lebih cinta ketimbang hambanya. Selain memberi nyawa dan hidup, Allah juga mengambil nyawa, mematikan hidup. Dia Mahakuasa untuk melakukannya. Semua manusia dan segala sesuatu sudah ada derajatnya di sisi Allah. 339 _ Kisah Empat Puluhan Darwis Kematian seorang hamba mungkin adalah kedukaan dan perpisahan. Namun, bagi Allah, hal itu adalah pertemuan dengan sang hamba. Setiap yang mati akan pergi dengan membawa perintah, yakni untuk bertemu Rabb mereka.” Sambil berbincang, para pelayan menjamu tamu takziah itu dengan air dingin dan kudapan ringan. Khadijah masih berada di lantai atas. Air susu hangat mengalir dari dadanya. Panas tubuhnya masih tinggi. Ia sedang menyelam ke alam mimpi yang dalam. Dalam mimpinya, ia melihat Qasim dan Abdullah berlarian bertelangjang kaki di padang rumput yang luas. Keduanya memakai jubah berwarna hijau. Mereka begitu riang, jauh dari keramaian dan kesusahan. Dari jauh terlihat sebuah istana mutiara berhiaskan bunga cempaka. Lampu-lampu dari tiap jendelanya berkilau indah bak kristal. Dari setiap sisi padang rumput itu memancar mata air sejuk. Sang bunda berlari dengan jagoan-jagoan kecilnya. Berlari… berlari…. INSYIRAH, retak… “Brak! Brak! Brak!” Belum usai kunjungan para tamu takziah, malam itu tak biasanya terdengar suara pintu digedor dengan keras, sampai-sampai semua orang terbangun dari duduknya. Yang datang adalah juru bicara Abu Lahab. Mereka berdiri di ambang pintu dengan wajah hitam kelam berteriak-teriak seraya mengumumkan batalnya pertunangan dengan putriputri Rasulullah, Ruqayah dan Ummu Kultsum. Bahkan, Utaibah yang tadinya akan menjadi calon menantu Rasulullah mendorong para juru bicara itu hingga bisa masuk ke dalam rumah. 340 “Aku tidak menyukaimu, kau juga tidak menyukaiku. Aku tidak akan dan tidak ingin menjadikan putrimu sebagai istriku,” teriak Utaibah mencerca Rasul Allah. Rasulullah yang bersedih atas ucapannya kemudian berdoa, “Ya Allah, aku serahkan Utaibah kepada-Mu.” Sebenarnya, peristiwa ini terjadi akibat tekanan dari Ummu Jamil, istri Abu Lahab. Istri Abu Lahab ini adalah seseorang di antara kaum musyrik dan tercatat dalam sejarah Islam sebagai “pembawa kayu bakar”. Menurut mereka, pembatalan pertunangan itu akan membuat keluarga Rasulullah kecewa dan kisah-kisah atas nama keagamaan yang mereka dakwahkan terputus. Ummu Jamil adalah saudara perempuan dari pemimpin Bani Umayyah, Abu Sufyan. Bersama dengan istri kakaknya yang juga berlidah tajam seperti dirinya, Hindun, mereka bersekongkol siang-malam menyusun rencana untuk menyiksa keluarga Khadijah. Dan inilah penemuan terbaru mereka. Melukai, menginjak-injak, dan menghancurkan ajaran Muhammad melalui putri-putrinya. Lagi pula, pertunangan itu memang tidak pernah mendapat restu dari pihak keluarga sehingga pemutusan itu tidak terlalu membuat sedih hati. Namun, bagi “pihak wanita”, di kota yang sangat terikat dengan adat-istiadat seperti Mekah, pemutusan pertunangan tentu mencoreng martabat keluarga. Dan pengkhianatan yang ditujukan ke rumah yang menjadi tempat Alquran diturunkan juga dimaksudkan untuk tujuan yang sama. Tidak ada yang tidak mendengar teriakan itu. Hindun bin Abu Halah yang melihat semua lilin di rumah itu terbakar segera menggamit pedangnya, kemudian lari menuju rumah 341 _ Kisah Empat Puluhan Darwis ibunya. Ia tahu bahwa lagi-lagi telah terjadi sesuatu di depan rumah wahyu. Setibanya di rumah, dengan napas tersengal-sengal, ia mendapati ibunya tersungkur di lantai, berduka karena baru kehilangan putranya. Melihat hal demikian, Hindun terpukul. Belum sempat memasukkan pedang ke dalam sarungnya, ia berlari menemui Rasulullah, berlutut di hadapan beliau. Kepada Rasulullah yang telah dianggap sebagai ayahnya sendiri, ia menanyakan perihal kejadian yang menimpa saudara-saudaranya. Belum reda duka karena kehilangan putra tercintanya, dengan segala kekuatan yang ada ia berusaha menghibur putriputrinya. Ia menjadi dukungan bagi suaminya yang dijuluki sebagai “Ayah Para Putri”, dengan senantiasa menjadi teladan tak tertandingi sepanjang sejarah seluruh ibu. Tak ada guna putri-putrinya berduka karena Allah telah melindungi mereka dari keluarga yang buruk itu. 342 “Ya Rasulullah! Mengapa engkau izinkan Utbah dan Utaibah membuat saudara-saudaraku bersedih? Jika ada yang perlu kami lakukan, tolong katakan itu kepada kami.” Saat berkata demikian, tangan Hindun bin Abu Halah menggenggam gagang pedangnya sekuat tenaga yang tersisa. Tidak ada pengorbanan yang tidak dilakukan demi saudara-saudara perempuannya. Bisa saja ia pergi ke rumah Abu Lahab, mengobrak-abrik rumahnya atau bertarung satu lawan satu dengan Utbah dan Utaibah. Ya, keluarga ini sudah terlalu banyak mengalami kesulitan akibat ulah mereka. Ia pun menunggu perintah dari Tuannya. “Wahai putraku, Hindun bin Abu Halah, ternyata Rabbku hanya mengizinkan anak-anakku menikah dengan para ahli surga. Musuh Allah memang tak layak untuk menikahi anak-anakku.” Sebenarnya, tekanan yang sama juga dialami kemenakan Khadijah, Abu al-‘Ash bin Rabi. Para pembesar kaum musyrikin menjanjikan memberinya gadis Mekah manapun yang diinginkan jika bersedia menceraikan istrinya yang juga putri Rasulullah, Zainab. Namun, semua itu hanya siasia belaka. Abu al-‘Ash tetap setia mencintai Zainab dengan cinta yang besar, bahkan meski Zainab telah menjadi muslimah. Dalam hal ini, Khadijah ibarat saklar utama, tiang penahan yang diharapkan keruntuhannya melalui putri-putrinya. Ia kembangkan lengannya menjadi sayap untuk anak-anaknya. Ia kumpulkan anak-anaknya di rumah wahyu. Belum reda duka karena kehilangan putra tercintanya, dengan segala kekuatan yang ada ia berusaha menghibur putri-putrinya. 343 _ Kisah Empat Puluhan Darwis Ia menjadi dukungan bagi suaminya yang dijuluki sebagai “Ayah Para Putri”, dengan senantiasa menjadi teladan tak tertandingi sepanjang sejarah seluruh ibu. Tak ada guna putri-putrinya berduka karena Allah telah melindungi mereka dari keluarga yang buruk itu. Ketika taman mawar Rumah Wahyu ingin diporakporandakan, kekuatan kedewasaannya yang seperti sebuah rumah yang mulia, yang dipakainya sebagai tameng demi melindungi lingkungan sekitar keluarganya, sudah hampir mengering. Allah seolah membagi tugas kepada Jibril dan Khadijah sebagai kekuatan untuk menjaga taman mawar wahyu sebelum turun surat an-Nas dan al-Falaq untuk menjaga Rasulullah dan umatnya. Jadi, Rasulullah mendapat dukungan kekuatan dari malaikat dan seorang wanita. Dan… Tepat ketika mereka berkata, “Tuhannya pun meninggalkan Muhammad…” Dengan sokongan ayat-ayat baru yang akan membedah hati mereka, keluarga al-Amin akan keluar dari masalah yang datangnya bertubi-tubi ini. Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada pula benci kepadamu, (Ad-Dhuha) 344 Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu, Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Al-Insyirah) Ayat-ayat ini turun dari langit bak mukjizat… Ayat-ayat ini adalah keterangan yang menjelaskan kehidupan semua umat… Ayat-ayat ini adalah pesan-pesan bantuan ilahi yang mengangkat beban mereka… 345 Matahari dan Bulan Menjadi Saksi K aum musyrikin kota mendatangi Rasul Allah dan Khadijah. Mereka menyaksikan pengikut yang semakin bertambah jumlahnya. Tak bisa dibiarkan begitu saja, mereka kemudian memutuskan menjalankan siasat baru. Dikumpulkanlah anggota-anggota terhormat. Dengan tekad bulat, mereka memberi perintah untuk memperingatkan kemenakan Abu halib itu. Bahkan, dengan lantang mereka mengancamnya dengan kematian jika perlu. “Wahai, Abu halib! Engkau adalah salah satu dari para sesepuh dan pembesar kami. Engkau adalah seorang yang mendapat kehormatan di antara kami. Kami ingin dirimu memberi peringatan kepada kemenakanmu agar ia menghentikan apa yang dilakukannya. Namun, kau tidak mengindahkan permohonan kami ini. Engkau tidak bisa menghalangi kemenakanmu. Kami bersumpah tidak akan bisa menanggung lagi perbuatannya yang mengkritik tuhan-tuhan kami, lalu dengan bodohnya menyalahkan dan menghina tuhan-tuhan kami. Kesabaran kami sudah habis. Engkau hentikan kemenakanmu dari semua ini atau kita berperang sampai salah satu dari kita lenyap!” Sungguh sebuah ultimatum yang dahsyat. Paman Abu halib yang sudah menua terlihat sedih dan berduka. Khadijah mempersilakannya duduk di bantalan empuk dengan penuh hormat. 346 “Wahai, Paman. Demi Allah, seandainya matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (menyampaikan risalah), aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkan dakwah ini atau aku binasa karenanya.” “Pikirkanlah kemenakanku, aku, dan keluargaku. Janganlah kalian membebaniku dengan beban berat yang tak sanggup kutanggung.” Saat bayangan wajah saudaranya, Abdullah, dan cahaya jernih ayahnya, Abdul Muthalib, tersirat di wajah kemenakannya, lalu ketika menantunya, Khadijah, mengingatkannya akan bidadari-bidadari surga berada di depannya, pikiran yang baru saja hendak diluluhkan oleh para manusia haus darah itu kini membakar otaknya. Ia memang tak pernah membedakan kemenakan dan putranya sendiri. Hatinya yang penuh cinta dan kasih sayang tak pernah membedakan antara putranya, Ali, dan kemenakannya, Muhammad walau sebesar helai rambut. Di luar maupun di dalam diri Abu halib, keduanya senantiasa sama. Mata air kasih sayang yang mendidih 347 _ Matahari dan Bulan Menjadi Saksi untuk kemenakan dan keluarganya dapat terbaca jelas dari wajahnya. Pengabdiannya untuk mereka ibarat mata air zamzam yang memancar di tengah gurun pasir nan tandus. Gemetar tubuhnya akan Rumah Wahyu. Namun, di hadapannya sekarang ini bukan lagi “Anak Yatim Mekah”. Beliau adalah Rasul Allah. Rasulullah kemudian bangun dari duduknya. “Wahai, Paman. Demi Allah, seandainya matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (menyampaikan risalah), aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkan dakwah ini atau aku binasa karenanya.” Sabda sebesar gunung…. Kalimat-kalimat sarat kekuatan ini membuat Khadijah menangis. Keimanan kepada suaminya, sekali lagi, makin menguat. Abu halib pun melihat kegigihan yang ditunjukkan kemenakannya itu seperti kecemerlangan mata. Ia akhirnya meninggalkan mereka seraya berjanji untuk selalu berada di sisi mereka hingga ajal menjemput. Kalimat itu, secara tiba-tiba, telah mengubah kekhawatiran seorang ayah akan anaknya menjadi kepercayaan penuh dan ketenangan di dalam dirinya. Ia juga telah menyandarkan punggung kemenakannya ke sandaran yang benar. Ucapan yang diikrarkan itu penuh dengan kesungguhan dan kepercayaan. Khadijah memandang lelaki di sampingnya dengan penuh kebanggaan. Tak diragukan lagi, kekuatan yang telah membuat suaminya seteguh ini adalah imannya. 348 “Yang membuat ia berbicara demikian pastilah Allah,” pikirnya. Yang berada di hadapannya adalah seorang rasul. Jiwanya menunduk dengan penuh hormat di hadapan keimanan agung yang lebih memilih Allah daripada bulan dan matahari. Sungguh, tangan kanan dan kirinya, dengan amanahnya sebagai Utusan Terakhir Allah, jauh lebih mulia derajatnya dibandingkan matahari dan bulan. Matahari dan bulan kehilangan cahaya mereka di sisi iman dan cintanya kepada Allah. Beliau mendapat cahaya dan kekuatannya langsung dari Allah… 349 Kapal Pertama dari Mekah K etika wajah kekerasan menunjukkan diri secara langsung, terbuka, tanpa sekat, yang tebersit di pikiran pertama kali adalah melarikan diri darinya. Akan tetapi, kadang kita tidak bisa lari darinya. Tak bisa lari darinya. Bagi Khadijah, dengan usahanya yang memegang peranan penting ketika dihadapkan pada sebuah kekerasan, ia memiliki kepribadian kedua, yaitu mengamati sekelilingnya dan setiap saat selalu siap jika harus menjadi saksi. Dengan kepribadian ini, ia akan membusungkan dadanya penuh keberanian. Keberanian yang didengar dari ayahnya ketika masih gadis belia dan kemudian berkembang bersama kehidupan yang penuh dengan kaidah akhlak. Ia tetap bertahan dengan sabar dan pantang menyerah meskipun takut atau saat tertindas. Apakah wanita bernama Khadijah ini mengetahui bahwa ia pernah menjejakkan kakinya di hari-hari penuh perlawanan terlama di dunia? Tidak ada senjata apa pun yang ia miliki untuk menghadapi benteng kehidupannya. Yang ada hanyalah sebuah jalan bernama ‘penantian’ dengan usaha yang khas penuh kedewasaan dan kesederhanaan. Ia tidak akan diam yang berlumut kepasifan dan kegentaran. Ia akan mengambil sikap tegas penuh kemantapan yang mengarah pada usaha dan perjuangan. 350 Kaki-kakinya begitu kokoh berdiri. Tanpa merusak kuncup-kuncup harapan yang tumbuh di bawah hujan kesabaran. Ia akan menjaga kilau permata di dalam hatinya yang tak tersentuh tangan siapa pun itu agar tetap bersinar. Dirinya akan bersandar kepada Dia yang memberkati rumput teki yang lemah namun bisa meretakkan batu marmer. Atau ia akan melarikan diri kepada Dia yang telah menurunkan kebagiaan dengan memberi kehidupan lagi melalui bunga kardelen yang muncul di antara bongkahan gunung es. Berlari ke pelukan-Nya. Berlari ke pelukan Allah. Sekarang, ia sudah lebih memahami makna di balik harihari ketika suaminya mengasingkan diri ke gua bertahuntahun lamanya. Ia mengerti bahwa suaminya telah mendapat pendidikan khusus selama hari-hari itu. Namun, ketika ia mengenang kembali apa saja yang telah disaksikan dalam hidupnya, bukan berarti dirinya tidak menyadari telah dididik dengan pengajaran yang berbeda pula. Besi dan madu, berdampingan satu sama lain dalam dirinya. Adakah tersisa di dunia ini duka yang belum ia rasakan? Kesedihan yang berlalu tanpa terlebih dahulu singgah di sisinya? Hari-hari ketika sang suami pergi ke gua untuk mendapatkan pendidikan atas kesendiriannya, sementara pendidikan Khadijah selalu berlangsung di antara keramaian. Baginya, jejak kehidupan adalah kesabaran yang membuat dahinya berkeringat. Dalam lubuk hatinya bersemayam sebuah cermin mengilap: sebuah penantian. 351 _ Kapal Pertama Dari Mekah Ibarat lautan yang ombak-ombaknya tak akan tumpah ke seluruh tepian. Seperti ketika ia mengingat kembali harihari saat akan mengangkat kapal-kapal di pundaknya. Penantian. Dan… Kesiagaan. Seperti gunung-gunung yang tegap berdiri tanpa lelah dan tanpa pernah kaki-kakinya bergeser sedikit pun. Seperti ketika tiba waktunya memanaskan salju dengan sabar yang mencair di atasnya lalu diubahnya menjadi sungai-sungai yang kuat alirannya. Penantian… Membesar ketika menunggu, seperti bukit pasir yang terpanggang di bawah terik mentari, bertambah banyak ketika dipecah menjadi bagian-bagian, meluas, memanjang, memberi, dan selalu memberi. “Kasih tak bisa diberi sebelum ia hakiki,” tulis Siti Khadijah dalam buku kewanitaannya. Sebagai yang pertama dan yang terbesar dalam memberikan kasih tulus sepenuh jiwa, Khadijah menjadikan dirinya sebagai Kubra di jalan Muhammad. Dalam keadaan ada maupun tiada, dengan ucapan “Biarkanlah jiwa ini kukorbankan untukmu,” ia serahkan dirinya untuk Rasul Semesta Alam. Dan ia menyerahkannya kepada para pecintanya dengan apa pun yang ada maupun tiada. Penduduk kota yang tidak tampak pun akan terlihat hakikatnya, nama yang sudah dikenal. Para budak, budakbudak yang telah merdeka, fakir miskin, orang-orang yang sakit dan mereka yang dibuang ke luar kota, kaum lemah, 352 orang-orang yang hidup sebatang kara, kaum kusam, bahkan mereka yang di tingkatan paling bawah pun tidak mendapat tempat mulai keluar dari persembunyian lewat ajaran-ajaran yang mereka dapatkan dari Rumah Wahyu Khadijah serta merasakan makna dan harmoni kehidupan. Mereka adalah orang-orang yang mampu. Orang-orang yang dikaruniai nikmat. Mereka adalah orang-orang yang diakui keberadaannya sebagai kekhasan harga diri manusia karena mereka manusia. Ummu Ubais… Sumayyah… Zinnirah… Nahdiyah… Lubainah… Wanita-wanita lain, baik budak maupun yang sudah dimerdekakan… Mereka sudah beriman… Mereka telah menjadi teman dekat dan sahabat karib Khadijah. Mereka jualah wanita-wanita yang dianiyaya dengan siksaan-siksaan keras. Ada di antara wanita-wanita itu yang dicongkel matanya, disayat-sayat kulitnya, dipukuli hingga tulang-tulangnya retak, ada pula yang diikatkan ke lima unta yang berbeda hingga hancur tubuhnya. Mereka adalah teman-teman baik Khadijah ketika dipenjara dalam kamar tuli nan dingin ibarat es yang beku yang dapat dijamah dengan mudah oleh sistem sehingga layak tercatat sebagai muslimah-muslimah pertama. Namun, di sisi lain, mereka juga menjadi sasaran kemurkaan orang- 353 _ Kapal Pertama Dari Mekah orang terpandang yang tak mau menerima ajaran baru yang berasaskan persaudaraan dan persamaan hak. Bukan melarikan diri, menjauhi, atau menutup mata agar tidak melihat kekerasan yang semakin nyata, mereka justru berusaha melakukan seperti apa yang Khadijah lakukan. Rumah yang dulu di tamannya yang terdapat kolam tempat para hamba sahaya memainkan rebana sambil bersenandung riang kini berubah menjadi kamar dengan ranjang-ranjang yang berjajar penuh rintih kesedihan hingga tembus ke langit. Satu tangan Khadijah dan putrinya, Fatimah, memegang kendi, sedang tangan yang lain membawa bungkus bekas luka. Ia telah membuka pelukan dan rumahnya untuk mereka. Di hari-hari terakhir, ia kenang rumahnya seperti rumah sakit gurun pasir tandus bagi para wanita yang patah tangan dan kakinya atau yang dibutakan matanya. Rumah yang dulu di tamannya yang terdapat kolam tempat para hamba sahaya memainkan rebana sambil bersenandung riang kini berubah menjadi kamar dengan ranjang-ranjang yang berjajar penuh rintih kesedihan 354 hingga tembus ke langit. Satu tangan Khadijah dan putrinya, Fatimah, memegang kendi, sedang tangan yang lain membawa bungkus bekas luka. Mereka berkeliling di antara wanita-wanita yang menjerit kesakitan. Ada yang menemui tuan-tuan mereka untuk meminta kemerdekaan bagi para budak, namun kadang mereka membeli para budak dengan tebusan. Sebisa mungkin Khadijah merawat, mengawasi, dan memeriksa pasien-pasiennya. Suara-suara rintihan dari kamar-kamar dan taman itu membuatnya tak pernah merasakan kantuk hingga pagi menjelang. Karena wanita-wanita itu sudah menjadi saudara-saudara mereka… Mereka tak akan menelantarkan saudara-saudara mereka… Pada hari-hari ketika pisau bertumpu pada tulang… Setelah bertahan dalam waktu yang cukup lama, dibuatlah keputusan untuk berhijrah. Tidak ada lagi jaminan bagi kaum muslimin di Mekah untuk hidup aman dan tenteram. Apa lagi ancaman-ancaman yang semakin meningkat jumlahnya. Ketika kaum muslimin sibuk mencari jalan keluar, khususnya Ustman bin Afan yang berkali-kali memohon kepada Rasulullah, beliau memberi keputusan untuk berhijrah. Arah diputar ke Habasyah, ke negeri raja nan adil, Raja Najasyi. Mendengar jalan yang akan ditempuh para pemuda muslimin yang berhijrah dengan izin Rasulullah serta mengetahui putrinya, Ruqayyah, juga akan berada di antara mereka, Khadijah merasakan sesuatu yang sangat berat. Selain melewati jalan panjang gurun pasir di bawah pengawasan kaum musyrikin, masih ada jalan laut yang 355 _ Kapal Pertama Dari Mekah juga harus mereka lalui. Apa lagi, menyadari kapal yang akan mereka tumpangi akan menuju negeri yang tak dikenal sebelumnya. Hanya Allah yang tahu dengan apa dan bagaimana mereka akan disambut di sana. Apalah artinya meninggalkan tanah air, meninggalkan rumah, harta, dan benda? Seperti memasuki sebuah kamar yang dikelilingi jurang hingga harus meraba-raba karena setiap saat bisa saja terjatuh. Apalagi, isik Ruqayyah sangat lemah. Apakah dengan kekuatannya itu ia akan sanggup mengikuti perjalanan penuh rintangan ini? Dengan tubuh ringkihnya itu, sanggupkah ia memikul beban berat ini? Saat mendengar bahwa keputusan untuk berhijrah telah disepakati, rongga dada mereka seolah terbelah menjadi dua. Sebuah anak panah, anak panah perpisahan,seolah menguraikan isi di dalam dada. Perjalanan perpisahan yang belum pernah mereka alami dalam hidup ini sungguh mengusik lubuk hati. Ternyata, masih ada alam-alam lain di dunia ini yang belum diketahui, belum dirasakan? “Bumi ini kepunyaan Allah dan ditundukkan untuk hamba-hamba-Nya,” ungkap suaminya. Bayang-bayang akan bagaimana jika takdir ilahi menghendaki putrinya dan saudara-saudara sesama muslim yang lainnya hilang di bumi yang sama atau tidak pernah kembali lagi bergelayut menghantui… Seiring jantungnya berdetak kuat bagai pompa, hatinya pun terus mengelukan asma Allah. “Ya Allah, lindungilah kaum Muhajirin kami! Ke mana mereka pergi, bagaimana mereka pergi? Berapa hari mereka harus menempuh gurun, berapa hari mereka harus menempuh laut? Seperti apa pula tunggangan yang mereka sebut kapal itu?” 356 Kekhawatirannya yang muncul satu demi satu membuatnya tak pernah bisa tidur. Kapal… Kapal… Kapal… Seperti apa warnanya? Jika itu burung, tentulah ia mempunyai sayap. Jika itu unta, tentulah memiliki punuk. Ia dengar bahwa kapal itu memiliki layar yang jauh lebih lebar dari telinga gajah. Tunggangan itu akan berjalan mengarungi lautan tak bertepi layaknya gurun pasir yang luas dengan membaca bintang-bintang untuk menentukan arah ke mana akan pergi. Sementara itu, sejak kecil yang ia tahu adalah bahwa manusia haruslah menapakkan kakinya ke tanah. Baginya, laut mengalir di bawah kaki bumi. Rasanya mirip dengan air mata. “Berarti ada laut dalam diriku,” pikirnya. Layaknya semua ibu, di dalam dirinya adalah laut, di luarnya gurun. Mulanya terpanggang kemudian dicuci. Mulanya terpanggang kemudian dicuci… Tiap kali memikirkan hijrah, seolah-olah ia sedang membungkuk di depan keran kematian dan mengambil wudu di bawahnya. Ibarat pergi dan tak akan kembali lagi, kaum Muhajirin pertama itu datang mencium tangannya dan berpamitan secara diam-diam. Khadijah merasa dirinya harus tetap berdiri tegap dan penuh keberanian agar tidak menggoyahkan semangat mereka. Khadijah tampak seperti seorang pelaut yang berdiri di dek kapal dengan senyum yang tak pernah pudar. Kepada rombongan yang hendak berangkat hijrah itu ia ceritakan kisah Nabi Nuh 357 _ Kapal Pertama Dari Mekah dan kapalnya. Segala macam persiapan perjalanan, seperti bekal makanan, baju hangat, dan syal, diletakkan di bawah tempat duduk mereka. Ditepuknya pundak mereka seraya menyuntikkan keberanian. Tak lupa pula ia mendoakan mereka. Namun, ketika tiba giliran putrinya, Ruqayyah, memohon pamit, saat membelai rambutnya yang menebarkan semerbak wangi bunga, raga yang tadinya berdiri tegap di dek kapal itu seolah-olah hendak roboh. Ketika gelombang ombak menghempas dengan penuh amarah ke tubuh keibuan itu, seperti layar kapal yang terkembang lebar, dipeluknya Ruqayyah. Menangislah mereka berdua dalam diam. Lalu, ketika madu yang ada di dalam dirinya berubah menjadi baju besi, Khadijah berkata menguatkan, “Kau adalah putri Rasulullah. Jangan lupa akan itu!” Dengan ucapan itu, tiba waktunya untuk memakai baju perang dari besi yang sama, hanya saja kali ini berpindah ke putrinya. Kaum Muhajirin pertama. Oh! Inilah kapal pertama yang berangkat dari Mekah. Jalan yang pertama kali akan ditempuh kaum muslimin. Dari rumah Rasulullah, Zubair juga akan turut serta naik ke kapal hijrah itu. Belum lama ini ia mendapat himpitan yang keras dari kaum musyrikin. Tubuhnya dipukuli hingga bermandikan darah. Ia termasuk ke dalam daftar rombongan yang akan berangkat itu: 12 laki-laki, 5 perempuan. Jumlah mereka 17. 358 Satu yang menjadi masalah: keberangkatan mereka tidak boleh diketahui kaum musyrikin. Jika sampai itu terjadi, mereka akan menghalangi jalan dan menyandera kaum muslimin. Selain itu, bagi masyarakat gurun, perjalanan laut adalah sesuatu yang menakutkan. Kehadiran para perempuan dan anak-anak dalam rombongan kailah itu benar-benar membuat khawatir karib kerabat yang ditinggalkan. Setelah menempuh jalanan berliku tanpa meninggalkan jejak, mereka sudah hampir sampai ke Dermaga Syu’aibah. Namun, ketika tiba giliran putrinya, Ruqayyah, memohon pamit, saat membelai rambutnya yang menebarkan semerbak wangi bunga, raga yang tadinya berdiri tegap di dek kapal itu seolah-olah hendak roboh. Ketika gelombang ombak menghempas dengan penuh amarah ke tubuh keibuan itu, seperti layar kapal yang terkembang lebar, dipeluknya Ruqayyah. Menangislah mereka berdua dalam diam. 359 _ Kapal Pertama Dari Mekah Mahasuci Allah, sesampainya di dermaga, mereka menemukan dua buah kapal yang tengah bersandar di sana. Setelah tawar-menawar hingga turun menjadi setengah harga, naiklah mereka ke kapal itu. Kaum musyrikin Mekah yang mengikuti mereka dari belakang baru bisa mencapai dermaga setelah kapal menaikkan jangkarnya. Kuda-kuda yang mereka tunggangi untuk mencapai laut terpaksa harus kembali dengan tangan kosong. 360 Kisah Sang Kunang-Kunang B erenis… Dalam kisah yang diangkat dari suatu masa, yang seperti bulu burung yang tipis, yang bertahun-tahun tak pernah jelas keberadaanya, ia merasa telah tiba waktunya untuk kembali. Habbasyah adalah negerinya. Apa lagi laut, itu adalah jalan yang telah dipahaminya dengan baik. Ide untuk pergi bersama para Muhajirin membuatnya bersemangat. Hatinya diliputi kebanggaan karena berkesempatan menyaksikan kehidupan orang-orang besar dan berperan penting dengan mata kepalanya sendiri. “Inilah! Telah datang masanya untuk pergi, Dujayah.” “Dan juga merupakan masa ketika orang-orang yang telah datang sebelumnya bisa pergi kembali, Berenis.” “Sudah besar kau rupanya! Ucapanmu sudah berubah!” “Akankah mereka menerima kita untuk ikut bersama? Akankah mereka mengizinkan kita naik ke kapal itu?” “Bukankah kita memang berada di kapal itu?” “Kapal Rasulullah sangatlah luas, bukan begitu Berenis?” “Kapal Beliau hingga nanti hari kiamat tiba akan tetap berlabuh di dermaga menunggu penumpangnya.” “Kita akan sangat merindukan Khadijah, bukan begitu Berenis?” “Ia adalah laut. Lautan cinta. Lautnya Mekah. Ia adalah wanita yang mengeluarkan laut segar dari dalam gurun nan panas. Ia akan membawa serta kita bersamanya hingga hari kiamat kelak.” 361 _ Kisah Sang Kunang-kunang Andai ada harta benda yang mereka miliki untuk dibawa, mereka tentu akan mengemasnya dalam bungkusan kain atau peti kayu. Bertahun-tahun lamanya dalam kisah sepanjang ini, dengan kebanggaan bisa tinggal, meski hanya sementara, mereka bersiap secepat relek senyum yang terkembang di wajah. Mereka akan segera berangkat. Meski hanyalah sebuah bagian kecil, lebih kecil dari sebuah titik dalam sebuah kisah, mereka akan menaiki kapal dengan kenyataan bahwa ada dan tiadanya seolah tak berpengaruh bagi siapa pun. Mereka ibarat khyalan di atas khayalan. Berenis dan Dujayah bergandeng tangan dalam siluet tipis yang berubah menjadi warna tinta seiring langkah menuju kailah laut pertama yang hendak berangkat hijrah ke Habbasyah. Sepanjang perjalanan, Berenis menceritakan sebuah kisah tentang kunang-kunang. “Seorang pemimpi tua Negeri Kunang bertahun-tahun selalu bercerita tentang kisah sebuah lilin kepada murid-muridnya yang juga sangat disukai mereka. Seluruh murid menganggap diri mereka telah memahami dengan baik arti cinta yang disebut lilin itu. Seorang murid berdiri di depan kelas, kemudian mulai menceritakan semua pengalamannya yang berkaitan dengan lilin. Riuh redam tepuk tangan pun membanjirinya, dan ia pun dinobatkan sebagai juara sekolah. Namun, apa mau dikata, si tua sang pemimpin Negeri Kunang mengumumkan bahwa si murid berilmu itu tadi hanya dianggap sebagai “mengetahui”. Kemudian, bertanyalah sang pemimpin, ‘Wahai anakanakku, adakah di antara kalian yang pernah mengamati 362 lilin dari dekat?’ Karena tak ada tanggapan, seorang murid pemberani segera maju ke depan kelas dan berjanji akan mengamati lilin dari dekat di jendela sebuah penginapan. Sang pemimpin memberi selamat kepada sang murid. Akhirnya, sang murid memulai perjalanan penuh aral itu. Setelah menempuh bermacam-macam kesulitan dan marabahaya, sampailah ia ke sebuah penginapan. Murid itu pun akhirnya dapat memenuhi janjinya, mengamati lilin dari dekat. Setelah puas mengamati lilin yang menyala itu, ia memutuskan pulang. Begitu banyak hal yang ingin diceritakannya. Mereka yang belum pernah melihat lilin mendengarkan ceritanya sambil menahan napas. Mereka lalu mulai memberinya selamat yang teramat tulus dari lubuk hati. Namun, si tua pemimpin Negeri Kunang mengatakan bahwa si murid baru sampai pada tahapan ilmu “ainul yaqin”. Ia lalu bertanya kembali, ‘Adakah di antara kalian yang pernah berada di dekat lilin?’ Karena tak ada tanggapan, seorang murid pemberani segera maju ke depan kelas dan berjanji akan berada di sisi Lilin itu. Diiringi ungkapan selamat dari teman-temannya, ia pun memulai perjalanan berbahaya itu. Berhari-hari dan berbulan-bulan lamanya perjalanan penuh aral, halangan, dan cobaan ditempuhnya. Akhirnya, ketika sampai ke penginapan yang dimaksud, kunang-kunang kecil itu menyadari bahwa apa yang dikatakan teman-temannya itu benar. Lilin itu benar-benar indah. Dengan pancaran cahaya yang sempurna, lilin itu mengundang sang kunang-kunang ke dekatnya. Matanya yang dibutakan cinta sudah tak lagi melihat apa pun di dunia. 363 _ Kisah Sang Kunang-kunang Kunang-kunang itu pun jatuh menabrak lilin. Ia berusaha kembali menggapai sang lilin. Namun, yang terjadi adalah sayap dan tubuhnya terbakar habis. Ia menemui kesialan justru pada lilin yang dicintainya. Teman-temannya yang mengetahui kejadian itu menangisi kepergiannya akibat jatuh ke dalam lautan cinta itu. Si tua pemimpin Negeri Kunang kemudian mengatakan bahwa yang patut mendapat ungkapan selamat adalah teman mereka yang mati itu. ‘Nah, teman kalian inilah yang disebut memiliki pengetahuan “haqqul yaqin”. Di antara kita semua, dialah yang paling tahu dan benar pemahamannya atas perkara lilin itu. Ia telah melawan serta menghancurkan segenap hawa nafsunya untuk menemukan hakikat kekasihnya. Sebuah puntung saat bertemu dengan abunya. Kematian, bagi kita, adalah hari raya,’ kata sang pemimpin menutup pelajarannya.” Berenis pun mengakhiri ceritanya. Dujayah yang mendengarkan kisah itu dengan saksama bertanya, “Kita juga telah jatuh cinta pada lilin itu. Bukankah demikian, Berenis?” “Untuk berhasil mencapai hakikat cinta pada lilin itu, kita harus berkorban di jalannya, Dujayah.” “Apakah di antara kita yang tahu lilin itu dengan baik adalah Khadijah?” “Kita mencintai lilin dan mengungkapkan cinta kita kepadanya dari jauh, sedangkan beberapa orang melihatnya dari dekat dan menyaksikan keindahannya. Namun, ketika sampai pada Khadijah, ia terhempas bersama cinta. Ia korbankan dirinya sendiri demi cinta itu. Derajat cintanya sudah sampai pada haqqul yaqin.” 364 Namun, ketika sampai pada Khadijah, ia terhempas bersama cinta. Ia korbankan dirinya sendiri demi cinta itu. Derajat cintanya sudah sampai pada haqqul yaqin.” Sambil melanjutkan perbincangan, mereka mempercepat langkah agar bisa mencapai rombongan hijrah pertama yang akan segera berangkat dari Mekah. Berenis dan Dujayah ibarat dua kunang-kunang dalam kisah tadi yang bergandengan tangan menempuh perjalanan panjang menuju Jalan Cinta-Nya… Setelah menyalami Khadijah sang Laut Mekah, mereka pun segera menghilang dari pandangan. Hilang dari pandangan…. 365 Menggantikan Tujuh Puisi M asyarakat Mekah hidup dalam kerajaan kata. Kata-kata itu tajam ibarat pedang dan teramat berharga bagi semuanya. Karena itu, para penyair mendapat kehormatan tinggi di kalangan masyarakat Mekah. Ketika pertama kali Alquran dibacakan, yang terlintas pertama kali di kepala penduduk Mekah adalah bait-bait puisi. Karena itu, mereka mulai menjuluki Rasulullah dengan sebutan “gila”, “penyihir”, dan terakhir sebagai “penyair”. Mereka mencoba mengingkari irman ilahi yang Rasulullah emban. Begitulah, sungguh sia-sia segala daya upaya yang mereka lakukan. Utbah bin Rabi’ah, seseorang yang mereka utus untuk menghasut Rasulullah agar bersedia meninggalkan jalan rabbani, justru tersihir dengan apa yang didengarnya. Ya, kata-kata yang Rasulullah bacakan memang mirip puisi. Ayat-ayat yang dikumandangkan meretakkan neraca karya seni yang mereka bangun sendiri karena terlalu berat beban yang harus ditimbangnya. Kehilangan kata-katanya saat dihadapkan dengan ketinggian tingkat keindahan ayatayat tersebut. “Ya, mirip dengan puisi tingkat tinggi, tapi aku tak pernah mendengar yang seperti ini seumur hidupku. Yang dibacakan Muhammad jauh lebih tinggi tingkatannya daripada puisi,” kata Utbah bin Rabi’ah. 366 Orang-orang yang hatinya tertutup dari hakikat itu pun memutuskan berhenti mengirim utusan ke hadapan Rasulullah. Semuanya dilingkupi kedengkian dan ambisi. Suatu hari Rasulullah pergi mengunjungi Kakbah untuk menunaikan salat. Melihatnya bersujud sudah cukup memancing kemurkaan Uqbah bin Abu Mu’ith. Sambil menghunjamkan cacian, ia berjalan mendekati Rasulullah. Dililitkannyalah baju yang ia pakai ke leher Rasulullah dan mulai mencekiknya. Rahmat Semesta Alam itu pun bersabar. Rasulullah tak mengangkat sedikit pun dahinya dari posisi sujud. Dirinya tak menghiraukan apa pun yang menimpanya. Sahabatnya, Abu Bakar, tak tahan melihat kejadian tersebut. Ia pun segera berlari dan meraih tangan Uqbah. “Apa sedang kau lakukan? Apakah kau hendak membunuh orang karena ia mengatakan bahwa ia beriman kepada Allah?” cerca Abu Bakar. Paman Rasulullah yang berani, Hamzah, datang menerobos keramaian dengan busurnya yang terkenal selalu menghadirkan ketakutan ke dalam benak setiap orang. Abu Jahal dan kelompoknya lari tunggang langgang dan menyadari bahwa Rasulullah tidaklah sendiri. Kaum muslimin sudah semakin banyak. Sudah semakin banyak pengikut Bani Hasyim ini. Dengan membuat sebuah perjanjian, mereka menganggap hal itu sebagai cara paling ampuh untuk mengasingkan kaum muslimin. Mereka tulis perjanjian kotor itu. Mereka tulis perjanjian gelap itu. Dan mereka pun memutuskan menandatanganinya... 367 _ Menggantikan Tujuh Puisi Sampai pada hari itu, puisi-puisi terbaik tahun tersebut yang digantung di dinding Kakbah yang mendapat julukan Mu’allaqatul Sab’a (Tujuh Puisi yang Dipajang) adalah puisi-puisi dianggap yang memiliki ritme terkuat dan sajak terindah. Puisi adalah denyut nadi para pangeran gurun pasir dan detak jantung mereka. Berdasarkan kesepakatan yang diambil di Dar an-Nadwah yang telah berubah menjadi markas para pemimpin kaum musyrikin itu, puisi-puisi yang telah diturunkan dari dinding Kakbah hendak digantikan dengan sebuah “lembaran” lain. Ini adalah sebuah kesepakatan boikot. Semua hubungan dengan Bani Hasyim akan diputuskan hingga habislah ajaran Muhammad. Tahun ketujuh risalah… Bani Hasyim, kecuali Abu Lahab, yang berada di pihak kaum muslim dan Rasulullah menjalani pengasingan di dalam Mekah. Hari-hari berat telah menunggu mereka. Pria, wanita, anak-anak, orang tua. Semuanya. Sebuah embargo dan boikot yang akan berlangsung tiga tahun telah menanti orang-orang yang tertinggal di sana. Boikot yang dilakukan kaum musyrikin kepada kaum muslimin ini merupakan cara untuk menghukum, meruntuhkan pertahanan, dan menghasut mereka untuk meninggalkan keyakinannya. Sebenarnya, segala jenis rencana yang telah disusun kaum musyrikin tak ada satu pun yang membuahkan hasil. Ketangguhan iman umat Rasulullah terhadap berbagai hinaan, cacian, siksaan, aniaya, dan segala jenis usaha untuk merobohkannya sampai-sampai membuat majelis kota Mekah terheran-heran. 368 Meskipun segala upaya telah dilakukan, tetap saja agama Islam terus menyebar hingga ke pelosok. Para anggota majelis akhirnya memutuskan membuat satu kelompok baru dan mengirimkan mereka ke kediaman Abu halib. Mereka menjanjikan Abu halib untuk memilih pemuda terbaik manapun untuk ia angkat sebagai anaknya dengan syarat harus bersedia melepaskan Muhammad, kemenakannya. Abu halib yang sadar dengan tindakan yang semakin keras itu menjadi khawatir dengan kemenakan dan keluarganya. Gelisah. Ia melewati malam itu dengan gelisah. “Mereka benar-benar telah merusak akal orang-orang itu. Jangan sampai mereka berbuat sesuatu yang membahayakan,” katanya dengan hati yang sakit sepanjang malam. Pagi hari, saat menjenguk kemenakannya, ia tak melihat siapa pun selain menantunya, Khadijah, dan cucunya, Fatimah. Sekeras apa pun usaha menyembunyikan kekhawatirannya, kegelisahannya justru semakin terlihat. Bagaimana jika tiba-tiba mereka menghadangnya di jalan dan berbuat hal yang buruk kepada Rasulullah? Atau, terlambatkah ia? Abu halib kemudian mengumpulkan keluarga Bani Hasyim. Semua lelaki yang memegang senjata dikerahkan untuk mencari Rasulullah. Sepanjang jalan yang mereka lalui, lontaran sumpah serapah terdengar dengan suara keras. “Jika sampai terjadi sesuatu dengan Muhammad, biarlah Abu Jahal dan kroni-kroninya memikirkan akibatnya!” jerit Abu halib. Dalam kepanikan mencari al-Amin, mereka bertemu dengan Zaid. Ia mengabarkan sesuatu yang tidak membuat 369 _ Menggantikan Tujuh Puisi mereka takut. Meski demikian, bukan berarti Abu halib telah lupa dengan kegigihannya kemarin saat utusan musyrikin mendatanginya. Bersama serombongan pemuda Bani Hasyim di belakangnya, mereka berbondong-bondong menuju Kakbah. Ketika sampai ke dekat Rumah Allah itu, kepada Abu Jahal yang ditemuinya di jalan ia katakan bahwa Bani Hasyim akan menghukum semuanya jika sampai terjadi sesuatu dengan kemenakannya. Selagi berkata demikian, para pemuda Bani Hasyim sudah bersiap menghunuskan pedang mereka. Sebenarnya, sebagian besar Bani Hasyim pada saat itu belum masuk Islam. Namun, berhubung Nabi Muhammad adalah salah seorang kerabat mereka, memberi perlindungan pada dirinya sama saja dengan menjunjung martabat mereka sendiri. Abu Jahal dan kawan-kawan tidak berniat menjawab tantangan yang disaksikan seluruh Mekah itu. Mereka segera berkumpul dan memutuskan menghukum seluruh Bani Hasyim, tanpa membedakan apakah muslim atau bukan. Selain Abu Lahab, semua penduduk Bani Hasyim akan diasingkan dari tempat tinggalnya dan akan mendapat boikot ekonomi. Apa yang mereka perdagangkan tidak akan dibeli dan apa yang mereka kehendaki untuk dibeli tidak akan diberikan. Salam akan diputus dan perjanjian perkawinan pun dibatalkan. Boikot ini akan berakhir hanya apabila Rasulullah berhenti berdakwah. Mereka bersumpah dan menuliskan kesepakatan itu di atas kertas. Naskah nista itu kemudian dipajang di dinding Kakbah. 370 Masa-masa ini, yang para sejarawan sebut sebagai “tragedi selebaran,” hingga tiga tahun setelahnya menjadi hari-hari terberat bagi penyebaran ajaran Quran. Keadaan kaum muslim yang diasingkan ke Lembah Abu halib tak ubahnya seperti kamp pengungsian. Ada yang meninggalkan rumahnya lalu mengungsi ke kebun milik saudaranya sendiri. Ada yang mendirikan tenda di celahcelah bukit. Dan ada pula yang bersembunyi di balik batubatu besar. Asap kemiskinan, kelaparan, dan kesendirian, mengepul dari Lembah Abu halib. Mereka kelaparan… Kehausan… Kalaupun ada yang memberi uang, tak ada yang mau menjual apa pun kepada mereka. Bahkan, memberi salam pun kepada mereka dilarang. Pengawasannya sangat ketat. Mereka mengancam dengan kematian bagi siapa pun yang mencoba mengacaukan boikot itu. Setiap rombongan kabilah yang melewati kawasan itu akan dicecar dengan berbagai macam pertanyaan. Kelaparan telah mencapai tingkatan yang tidak bisa ditoleransi. Untuk bisa bertahan hidup, mereka terpaksa memakan apa pun yang ditemukan di tanah, seperti butiran gandum, akar-akar tanaman, dedaunan, atau biji kurma. Suara tangis bayi yang kelaparan membahana di langit Mekah. Ibunda kaum muslim, Khadijah, selama hari-hari yang sulit ini berusaha membagikan apa pun yang ia miliki untuk kaum muslimin. Ia memberi makan dan merentangkan tangannya untuk mereka. Kekayaan peternakannya terkuras habis dalam waktu tiga tahun karena boikot tersebut. 371 _ Menggantikan Tujuh Puisi Kulit seorang wanita kaya dan bermartabat seperti Khadijah, di harihari terakhir pemboikotan itu, memucat. Pakaian yang menutupi tubuhnya sudah lusuh dan terlihat rusak di sanasini. Dan ketika menemui Rasulullah dengan keadaan seperti itu, suaminya pun tak kuasa menahan tangis. Hari-hari pertama pemboikotan, Rasulullah mengerahkan semua berlian, emas, permata, perak yang menumpuk menggunung di depannya untuk kaum muslimin. Namun, di akhir tahun ketiga, harta yang dimiliki Khadijah al-Kubra, yang katanya “mampu membeli seluruh Mekah”, pun habis tak bersisa. Meskipun begitu, ia tetap tidak mau menerima makanan yang dibawakan kemenakannya, Hakim bin Hizam, secara diam-diam untuknya. Kulit seorang wanita kaya dan bermartabat seperti Khadijah, di hari-hari terakhir pemboikotan itu, memucat. Pakaian yang menutupi tubuhnya sudah lusuh dan terlihat rusak di sana-sini. Dan ketika menemui Rasulullah dengan keadaan seperti itu, suaminya pun tak kuasa menahan tangis. Khadijah tahu bahwa Rasulullah menangisi keadaannya. Namun, sang istri justru menjawabnya dengan senyuman lebar. Dalam keadaan yang lemah dan kurus seperti itu 372 pun, sosoknya tetap saja bak lentera kasih. Saat tertawa, matanya ikut tertawa dan Rasulullah selalu menemukan cinta dan kebahagiaan di sana. Mata itu bagaikan surga bagi Rasulullah, ketika tak ada manusia yang menghiraukannya. Diusapnya mata sang suaminya dan juga jenggotnya. “Sepupu…,” katanya. Ucapan itu telah menjadi kata kunci cintanya, segel kasihnya, kepercayaannya, dan kesetiaannya. Ya, ucapan “Sepupu…” Sebuah ungkapan kecil saja cukup membuat Khadijah makin terpesona pada suaminya, tambatan hatinya. Khadijah duduk di samping sang suami. Mereka duduk berdampingan di depan sebuah tembok. Tak berbicara. Dalam masa-masa seperti ini, saat mereka berkomunikasi dengan bahasa Gua Hira, dunia seolah mengosongkan isinya, seakan tak tersisa lagi manusia yang duduk berdampingan seperti mereka berdua. Disandarkanlah punggungnya ke dinding. Selama dua puluh lima tahun kehidupan rumah tangganya yang dilalui bersama seorang lelaki yang kini duduk di sampingnya itu, tak pernah sedetik pun ia menyesal atas semua yang terjadi selama itu. Rasulullah mengamati gamis istrinya yang warnanya telah pudar. Tak ada lagi pakaian tersisa di penginapan itu. Semuanya telah habis dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sprei, selimut, sampai gorden telah diinfakkan untuk mereka yang membutuhkan dan yang sakit. Dialah Khadijah, Sang Sultan para wanita. Dirinyalah yang membuka lebar tangan menyambut karavan-karavan terpilih dari Syam yang datang membawa barang-barang 373 _ Menggantikan Tujuh Puisi bernilai tinggi. Bahkan, ia pula yang menjadi pelanggan pertama mereka. Dialah Khadijah, pemilik penginapan yang dulunya kerap dijadikan tempat singgah kereta-kereta yang membawa beludru dan sutra yang sangat berharga di dunia pada masanya. Dialah Khadijah, pemilik unta yang jumlahnya sedemikian banyak hingga Lembah Ajyad tak kuasa lagi menampung mereka. Dan semua harta yang luar biasa banyaknya itu habis diinfakkan untuk kaum mukminin selama hari-hari pemboikotan berlangsung. Khadijah adalah pakaian para dermawan. Saat tak seorang pun mempercayai Rasulullah, ia percaya. Saat tak satu pun manusia mendukungnya, ia mendermakan seluruh harta yang dimiliki. Saat semua orang menutup pintunya, wanita suci itu menjadi rumah bagi Rasulullah, juga bagi seluruh kaum muslimin. Rasulullah kembali mengamati gamis istrinya yang warnanya telah pudar. Gamis yang mengingatkannya pada sebuah selendang atau muka bumi, yang seolah-olah membungkus semua umat muslim. 374 Khadijah adalah pakaian para dermawan. Saat tak seorang pun mempercayai Rasulullah, ia percaya. Saat tak satu pun manusia mendukungnya, ia mendermakan seluruh harta yang dimiliki. Saat semua orang menutup pintunya, wanita suci itu menjadi rumah bagi Rasulullah, juga bagi seluruh kaum muslimin. Ketika pertama kali menjumpai seorang muslim yang hidup miskin dan kelaparan, kaum musyrikin tertawa mengolok-oloknya. Mereka berkata, “Andai saja Muhammad itu seorang nabi, mungkinkah Allah membiarkannya hidup dalam kehinaan dan kesengsaraan semacam ini?” Jawaban itu muncul lewat ayat-ayat dari suci Surat Hud yang diturunkan pada hari-hari itu. “Dan bersabarlah karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Ayat 115) “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan…” (Ayat 15 dan 16) 375 Lautan Mekah B oikot tak berperikemanusiaan itu akhirnya berakhir. Ultimatum yang ditempel di dinding Kakbah pun ditemukan sudah habis dimakan ngengat dan hanya menyisakan lafaz “Allah”. Surat keputusan boikot memang sudah dihapus. Namun, di waktu yang bersamaan, Khadijah bagaikan sebuah lilin yang meleleh. Rasulullah, suami yang ia berikan semua yang dimilikinya, bergeming di samping tempatnya berbaring. Putri kecilnya, Fatimah, yang juga berada di sampingnya, mengusap butiran keringat yang menetes di dahi ibunya dengan tangan mungilnya. Ia seakan-akan sedang mengumpulkan tulisantulisan yang mengalir ke dahi sang ibu. Khadijah jatuh sakit. Tiba-tiba saja ia jatuh ke pembaringannya. Tanpa menunggu masa tua dan sangat tiba-tiba. Apakah tempat tidurnya yang menenggelamkannya atau kehidupan keras yang ia jalani? Namun, ia adalah hamba yang rida dengan semua itu. Ikhlas dan melakukannya karena cinta. Ia adalah manusia yang mampu menghidupkan gurun pasir dan laut, besi dan madu sekaligus, yang mampu mengubah api menjadi air dan air menjadi api dalam satu waktu. 376 Ia adalah sang penjaga air kehidupan yang memancar dari tengah gurun pasir yang tandus, pembangkit semangat kuat besi dari manisnya madu. Zamzam milik Hajar memberi kehidupan bagi gurun yang tandus… Rasul milik Khadijah memberi kehidupan bagi kemanusiaan… Besi yang tunduk pada Nabi Daud, yang bersandar pada madu di dalam hati istrinya, adalah pedang yang ada di genggaman Sang Utusan Terakhir. Hajar dan Khadijah… Dua wanita ini adalah wanita-wanita yang menghadirkan laut di tengah gurun panas. Adalah besi yang terbuat dari madu. Apalah daya, lelah sudah raga itu… Tak pernah puas ia memandang wajah sang pujaan hatinya. Dari tempatnya berbaring, ditatapnya wajah itu. Ia ingin mengenggam tangan-tangan itu dengan kekuatan terakhir yang ia miliki. Menyentuh… Memegang… Seolah setelah badai berhari-hari lamanya, kini Khadijah bagai mengapung di atas air laut yang tenang ibarat ombak lemah yang ingin menggapai tepian pantai. Tangannya berusaha meraih tangan kekasihnya. Fatimah mendekap erat kaki ibunya, menangis tanpa suara. Diusaplah rambut putrinya itu. Ia lalu meminta air. Adakah waktu tersisa untuk air? Namun, ia memintanya kepada Fatimah. Jelaslah, bahwa setelah ini Fatimahlah yang akan membawakan air. Seperti wasiat yang turun-temurun diberikan dari Hajar ke Khadijah, dan kini dari Khadijah ke Fatimah. 377 _ Lautan Mekah AIR. Setelah Fatimah keluar untuk mengambil air, Khadijah memandang suaminya. Tiba-tiba ilm kehidupannya diputar kembali di depan matanya. Terbebas dari belenggu beban kehidupan, sebuah perasaan ringan yang manis. Kebahagiaan, ketenangan, dan kedamaian. Sebuah bayangan yang menyejukkan. Dipandangnya lelaki yang dikasihinya itu dan dengan cinta yang dalam ia ucapkan nama-nama ini di wajahnya. Abdullah, abdi Allah. Abid, yang mengabdi, beribadah kepada Allah. Adil, yang adil, bijaksana, yang tak pernah meninggalkan yang hak dan yang benar. Ahmad, yang paling dipuji, yang dicintai. Akhsan, yang paling indah, sangat indah. Ali, yang sangat mulia. Alim, yang berpengetahuan, yang berilmu. Allama, yang berpengetahuan luas, yang dikaruniai ilmu ilahi. Amil, yang beramal saleh, seorang yang berusaha dan bertindak. Aziz, yang sangat mulia dan bermartabat. Dan nama Bashir pun bersinar di wajah kekasihnya, pemberi kabar gembira. Burhan, yang kesaksiannya terkuat dari kesaksian yang kuat. Dan tentu saja Jabbar, yang memiliki kekuatan dalam setiap keputusannya dan yang mempunyai pengaruh kuat. Jawad, yang sangat dermawan, senang memberi, dan senang berinfak. 378 Akram, yang paling bermartabat, berderajat, dan pemilik kehormatan tertinggi. Al-Amin, yang paling benar dan yang paling dapat dipercaya. Fadillah, hamba Allah yang paling murah hati, berwibawa, berakhlak mulia, dan yang menjadi teladan. Faruk, nama yang juga memancarkan sinar terang di wajah sang kekasihnya itu yang berarti dapat membedakan antara yang hak dan yang batil. Fattah, yang menenangkan, yang menghidupkan kembali hati yang mati, yang membuang hal-hal yang menghalangi di jalan. Dan Galib, yang memiliki pemahaman paling baik dalam menjunjung hak umat. Gani, yang berjiwa besar. Dan tentunya Habib, kekasih Allah, kekasih kaum muslimin, kekasih Khadijah, yang teramat dicintai. Hadi, yang senang memberi hadiah, yang memberi hadiah berupa jalan kebenaran bagi kemanusiaan. Haizh, seorang muhaizh dan pelindung, yang bagian bawah sayapnya menjadi tempat berlindung. Halil, seorang sahabat sejati bagi Khadijah. Halim, salah satu nama-nama lain beliau, yakni yang akhlaknya menjadi wasiat bagi umatnya, teramat baik, dan berhati lembut. Dan Khalis, yang jernih, bersih, berkilau. Hamid, yang banyak bersyukur, memuja Tuhan-nya, yang matanya selalu basah oleh rasa syukur yang mendalam. Hanif, yang mendekap erat hakikat. Kekasihnya juga adalah Qamar, rembulan, yang wajahnya bersinar. 379 _ Lautan Mekah Qayyim, yang melihat dan mengamati, bahkan di saat semua orang terlelap ia akan tetap bersiaga dan melindungi orang-orang di sekitarnya. Karim, dermawan, sangat pemurah, dan bermartabat tinggi. Sekali lagi wajah tampan sang suami dilihatnya untuk terakhir kali. Dari sana dibaca nama-nama yang berawalan huruf mim. Majid, Rasulullah yang mulia dan berderajat tinggi. Mahmud, yang banyak dipuji dan menjadi teladan. Mansur, yang didukung kemenangan-kemenangan, yang menemui keberhasilan. Maksum, tak bersalah, tanpa dosa. Madani, berilmu pengetahuan, terdidik, dan beradab. Mahdi, yang memberi hidayah bagi kemanusiaan, yang menuntut ke jalan yang benar, sang penunjuk jalan. Makki, tentunya, penduduk Mekah. Marhum, yang dibekali rahmat. Mas’ud, yang suci, yang berada dalam puncak kebahagiaan dan kebebasan. Matin, yang kokoh. Dirinya dan ucapannya adalah benar, bagaikan benteng tempat berlindung. Mu’alim, juga nama lain bagi kekasihnya, yang berarti guru. Dan Muhammad, Muhammad, Muhammad, namanya, salawat Allah semoga senantiasa tercurah untuknya. Di langit dan di bumi, beliaulah yang paling sering dipuji. Mukthada, pemimpin yang dipatuhi, yang dicari pengikutnya. 380 Muslih, yang mendidik, memperbaiki. Dan Mustafa, Mustafa, Mustafa namanya… yang menarik dirinya terbebas dari beban duniawi kotornya dunia, benarbenar berada dalam kemurnian yang suci. Muthi, juga salah satu julukannya, yang taat kepada Yang Mahabenar. Mu’thi, yang senang memberi, berakhlak mulia. Muzafar, yang dermawan, berderajat tinggi, mulia, suci, lagi memiliki kehormatan tinggi. Kekasihnya juga seorang Munir, bersinar, seakan tercipta dari cahaya, yang mendapat pancaran cahaya sekaligus menerangi sekitarnya. Mursal, tentunya, yang diamanahi dengan kenabian. Murtaza’, yang disukai dan terpilih. Mustaqim, yang telah mencapai jalan yang lurus. Mushawir, nama lain yang ditujukannya kepada manusia yang ditatapnya dengan penuh cinta itu, yang mengusung makna orang yang pantas dijadikan tempat mencurahkan permasalahan umat, seorang yang pandai. Naqi, yang benar-benar bersih. Naqib, yang paling terhormat di antara masyarakat. Nashih, yang memberi nasihat. Nathiq, khotib paling sempurna yang menyampaikan khotbahnya dengan perlahan namun jelas dan mudah dimengerti. Dan tentulah, Nabi, utusan Allah. Najiyullah, penjaga rahasia Allah. Najm, bintang. Nashib, keturunan keluarga yang terpandang. Bagi Khadijah, kekasihnya itu adalah Nazir. Beliau adalah kebaikan, pemberian, dan kebahagian. 381 _ Lautan Mekah Nur, cahaya dan penerangan Allah memancar melalui dahi beliau. Dan Rai’, yang makin tinggi derajatnya ketika mengajak orang-orang di sekitarnya untuk menuju kebenaran. Ragib, yang siang dan malam selalu memohon, meminta kepada Tuhannya untuk kebaikan umatnya. Rahim, sungguh besar rasa rasa cintanya kepada umat muslim, rela menahan sakit dan menderita demi umat. Radzi, yang menerima, yang merasa cukup. Rasul, utusan Allah. Rasyid, pandai, dewasa, pembawa umat ke jalan yang benar. Dan Shabir, yang bersabar, tabah menghadapi cobaan, yang kuat pertahanan dan usahanya. Sadullah, hamba Allah nan suci Shadiq, yang benar, yang nyata. Safat, yang murni, tak terikat, yang dihormati. Shahib, seorang teman, teman berbincang. Shalih, baik lagi indah perbuatannya. Salam, damai dan tepercaya, aman dan selamat. Syaifullah, pedang Allah, yang mampu membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Sayyid, yang berwibawa. Syai’, yang memberi kemudahan, pemberi syafaat. Syakir, yang banyak bersyukur. Dan sudah barang tentu, bagi Khadijah, suaminya adalah juga seorang Syams, matahari baginya… haha, juga termasuk dalam nama-nama yang ia baca, sebuah nama dari Alquranul Karim yang ditujukannya untuk Sang Rasul, suaminya tercinta. 382 hahir, sangat bersih, benar-benar bersih. Taqi, pemilik takwa, yang menghidari segala sesuatu yang haram. hayyib, halal, bersih, indah, dan menyenangkan. Wai’, pemilik kesetiaan, yang menepati janji-janjinya, tak pernah mengingkarinya. Wa’iz, yang memberi nasihat. Washil, berwasilah, yang menuntun umat kembali ke jalan lurus Tuhannya. Dan tentu saja seorang Wali, teman bagi orang-orang yang hidup sebatang kara, memiliki dan menjadi penopang bagi mereka, menjadi sahabat yang baik. Yasin, julukan untuk beliau yang tertulis dalam Alquran yang bermakna manusia sejati, insan bijaksana. Zahid, yang membalikkan punggungnya, melepaskan, serta memalingkan wajahnya dari hal-hal duniawi. Zakir, yang siang dan malamnya tak henti mengingat Allah, hatinya terbakar dan tersayat-sayat mengingat Allah. Zaki, salah satu nama yang ia suka, yang bermakna jernih, bersih, dan pandai. Khadijah terus-menerus memberi salam kepada suaminya dengan menyebutkan nama-nama indahnya, baik yang ia ketahui maupun tidak. Semua nama indah itu seolah terukir di wajahnya. Mimpi yang dilihatnya bertahuntahun yang lalu menjadi kenyataan. Semua nama indah di dunia bersatu dengan paras wajahnya yang bersinar bak mentari memancarkan cahaya ilahi. Sekarang, mentari yang menyinari kamarnya sebentar lagi akan menyinari Mekah dan juga dunia. 383 _ Lautan Mekah “Sepupu…,” katanya lirih. “Maafkanlah aku…” “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Terdiam! Semesta seolah terdiam bersamanya. Lautnya Mekah akhirnya membuka tabir rahasia itu… Awalnya Khadijah… Akhirannya Kubra… Bersatu menjadi Khadijah Kubra… 384 Empat Garis K epergian sang pelindung besar, Abu halib dan Khadijah, hanya berselang tiga hari. Rasulullah lagi-lagi hidup sendiri, sebatang kara. “Perkara yang mana yang harus aku tangisi?” tanyanya kepada orang-orang di sekitarnya. Mereka menyebut tahun itu sebagai “Sanatu’l Hazan”, tahun duka cita. Setelah itu, Rasulullah acap kali memberi perhatian khusus kepada beberapa wanita. Jika ditanya, ia akan menjawab, “Wanita ini adalah teman dekat Khadijah.” Beberapa tahun setelah menjalani hijrah, seperti yang juga dijalani rasul-rasul sebelumnya, Rasulullah kembali ke kotanya sebagai Pembebas Mekah. Dan di sana, Rasulullah hendak mendirikan markas besar pasukan tepat di seberang Gunung Hajun. “Khadijah, Khadijah sedang berbaring di sini…,” demikian beliau akan memberi jawaban jika ditanya sebabnya. Kemudian, suatu hari, dengan penuh kesedihan, Rasulullah mengoreskan empat buah garis ke tanah dengan cabang pohon kurma. “Tahukah kalian apa arti empat garis ini?” “Rasul Allah pastilah tahu yang sebenar-benarnya,” jawab mereka. “Empat garis ini menggambarkan empat wanita ahli surga yang paling mulia. 385 _ Empat Garis Khadijah putri Khuwailid. Fatimah putri Muhammad. Istri Firaun, putri Mudzahim, Asiyah. Dan Maryam, putri Imran. Semoga Allah meridai mereka…” (Agustus 2009, malam penuh Berkah) 386 Tentang Penulis SIBEL ERASLAN Lahir di Uskudar, Istanbul, 1967. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Istanbul ini giat beraktivitas dalam bidang hak asasi manusia, pendidikan, pemberian jaminan kerja, dan hak-hak kaum hawa. Aktif menulis dalam majalah Teklif, Imza, Dergah, Mostar, dan Heje. Sampai sekarang tercatat sebagai kolumnis di koran Star. BEBERAPA KARYANYA: Fil Yazilari Balik ve Tango Can Parcasi Hz Fatimah Kadin Sultanlar Kadin Oradaydi icinde “Zuleyha” Cennet Kadinlarinin Sultani “Siret-i Meryem” Nil’in Melikesi 387 Sayangilah orang-orang yang Anda cintai dengan menghadiahkan mereka buku-buku terbitan kami. Dapatkan di toko-toko buku terdekat atau hubungi pemasaran kami via email: [email protected] atau (021) 8729060, 4204402 Kunjungi juga situs kami di: www.puspa-swara.com 388