om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
KHADIJAH:
KETIKA RAHASIA ”
TERSINGKAP
Sibel Eraslan
KAYSA MEDIA
”
Apa Komentar Mereka?
gs
po
t.c
om
Sedikit sekali yang kita tahu tentang Ibunda Khadijah r.a..
Kita merindukannya dengan malu-malu. Takut salah, takut
tak sopan, takut dosa? Sampai, Sibel Eraslan menulis novel
ini dan mengajari pembaca untuk mencintainya dengan
ekspresif, revolusioner, dan heroik. Bahasa tutur novel ini
membuat pembaca berhadapan langsung dengan Khadijah.
Memahami betapa akbar peran beliau bagi sejarah
kenabian.”
in
do
.b
lo
- Tasaro GK (Pengarang 2 novel laris tentang Muhammad saw.: Lelaki
Penggenggam Hujan dan Para Pengeja Hujan)
pu
st
ak
a-
“Membaca kisah para ibu di zaman sebelum dan sesudah
tahun hijriah, hati siapa pun di antara ummat-Nya
niscaya akan tergetar. Sosok Ibunda Hajar yang begitu
penuh pengorbanan telah menginspirasi para muslimah,
bahkan hingga masa kini. Pun dengan Ibunda Khadijah
yang senantiasa mengalirkan kekuatan mahadahsyat
tatkala kita merasa terpuruk. Patutlah Khadijah r.a.
menjadi cahaya kalbu Rasululah saw. karena kasih sayang,
kecerdasan, kegeniusan, dan kebajikannya tiada yang bisa
menandingi hingga akhir zaman. Buku yang wajib dimiliki
para muslimah masa kini.”
- Pipiet Senja (Penulis 124 buku)
ii
“Inilah kisah sosok yang jadi irst love seorang utusan Allah.
Yang mendukung Rasulullah saw. dengan sepenuh daya dan
cinta sampai embusan napas penghabisan.”
t.c
om
- Ahmad Fuadi
(Penulis Negeri 5 Menara dan Pendiri Komunitas Menara)
gs
po
“Nikmat dibaca, menyentuh rasa, dan penuh spirit cinta.
Novel bergizi sarat makna.”
do
.b
lo
- Abdul Hakim El Hamidy (Spiritual Motivator)
ak
a-
in
“Sarat makna cinta dengan pilihan bahasa yang indah dan
pemikiran mendalam, namun mudah dipahami.”
pu
st
- Ria Miranda (Young Muslim Fashion Designer)
“Membacanya seperti masuk kembali ke masa ribuan tahun
lalu. Setiap kata-katanya begitu menghadirkan keindahan
ruang dan waktu kala itu. Buku yang cerdas, hangat, dan
penuh cinta.”
- Oki Setiana Dewi (Aktris Muslimah dan Penulis Best Seller)
iii
Khadijah:
Ketika Rahasia Tersingkap
Penulis: Sibel Eraslan
Penerjemah: Ahmad Saefudin, Hyunisa Rahmanadia, Erwin Putra
Penyunting: Koeh
Perancang sampul: Zariyal
Penata letak: Vidia Cahyani
Penerbit: Kaysa Media (Grup Puspa Swara) Anggota Ikapi
Redaksi Kaysa Media:
Perumahan Jatijajar Estate Blok D12/No. 1
Depok, Jawa Barat, 16451
Telp. (021) 87743503 | Faks. (021) 87743530
Wisma Hijau
Jl. Mekarsari Raya No. 15 Cimanggis Depok 16952
Telp. (021) 8729061, 87706021-22 | Faks. (021) 8712219
E-mail:
[email protected]
Web: www.puspa-swara.com
FB: www.facebook.com/KAYSAMEDIA
Twitt: @kaysamedia
Terjemahan dari Çöl ve Deniz karya Sibel Eraslan
Copyright (c) TİMAŞ Basim Sanayi Ticaret AS, 2009, İstanbul, Türkiye
www.timas.com.tr
Pemasaran:
Jl. Gunung Sahari III/7 Jakarta-10610
Telp. (021) 4204402, 4255354 | Faks. (021) 4214821
Cetakan: I-Jakarta, 2013
Buku ini dilindungi Undang-Undang Hak Cipta. Segala bentuk penggandaan,
penerjemahan, atau reproduksi, baik melalui media cetak maupun elektronik harus
seizin penerbit, kecuali untuk kutipan ilmiah.
C/33/II/13
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Eraslan, Sibel
Khadijah: ketika rahasia mim tersingkap/Sibel eraslan
-Cet. 1—Jakarta: Kaysa Media, 2012
xxxii + 388 hlm.; 22 cm
ISBN 978-979-1479-63-9
iv
Prakata
P
ara ilsuf, seandainya tahu untuk mendaki gunung terjal
harus mendaki jalan setapak dan menanjak, akankah
saya tetap pergi ke Heidelberg? Setelah kuinjak-injak jutaan
dedaunan yang terbakar, bersandar pada batu nisan Holderlin
yang telah penuh dengan lumut, seraya kutanyakan pada
ruh syair yang sudah tua renta itu; benarkah apa yang
engkau katakan kalau puisi adalah hal yang paling maksum
di dunia? Mengapa kemaksuman harus digubah di puncak
gunung yang sulit dan curam rimanya. (Heidelberg, 2008)
Seusai salat Subuh, rasa kantuk masih menyerang
mataku. Berdasarkan apa yang kulihat di peta lama, hotel
tempat tinggalku terletak di perkampungan Bani Hasyim
yang bermukim di sini sekitar 1500 tahun lalu. Aku sengaja
membiarkan pintu jendela sedikit terbuka agar saat tertidur
diriku bisa menyusup ke Mekah. Aku hanya tidur sebentar
dan memang sering terbangun. Terbangun oleh gemuruh
suara lautan. Namun, saat berlari ke arah jendela dan
memandangi sekitar, ternyata suara lautan yang baru saja
kudengar itu tidak pernah dapat kutemukan. Mungkinkah
suara ombak-ombaknya yang seperti karpet tergulung yang
digelar secara serentak itu hanya sebuah ilusi? Ataukah ini
sebuah anugerah dan pertanda bagiku? Lagi pula, aku adalah
seorang pengembara. Apa pun yang menjadi anugerah
bagiku, aku harus menerimanya. Entah padang pasir... atau
laut...
v
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
Aku lupa semua puisi yang telah kuketahui saat
memasuki Kakbah. Kemarin, saat berlari di antara Safa dan
Marwah, saudara wanitaku berkata, “Aku bangga sekali
kepada Bunda Hajar. Lihat saja, sejak ribuan tahun lalu
semua orang mengikuti larinya.” Kakbah terlihat seperti
samudra, tempat bermuaranya semua sungai yang ada.
Percikan indah puisi dan lautan bagaikan kipas angin yang
terpasang di dinding rumah Allah, dengan baling-balingnya
yang usang dan penuh pedih berputar-putar. Aku pun
tak mampu mengkhatamkan al-Fatihah sepanjang tawaf.
“Aku hanya bisa membaca sampai lafaz Iyyakana’budu wa
iyyaka nasta’in.” Setelah membaca ayat itu, aku selalu saja
terpaku. Kami pun menangis saat bersama-sama berdoa di
Hijr Ismail. Kami seperti merasakan perjuangan, cinta, dan
keimanan Bunda Hajar dan Khadijah. Menikmati mereka
sebagai guru yang mulia dan penuh kelembutan yang sedang
memberikan pelajaran ke dalam ruh kami. Kami kembali
mengenal dan bersaksi kepada Nabi Muhammad, utusan
terakhir yang telah memberi contoh dengan kehidupan dan
pengajaran Rabbaninya.
Dengan bergeloranya iman, hati kami yang bagaikan
padang pasir telah bermandikan lautan.
Kakbah berada di tengah-tengah padang pasir ataukah
di permukaan lautan? Bagaimana dengan hati? Digubah di
pegunungan tinggi manakah rima kesuciannya?
Aku bersedih atas nama para penyair dan ahli ilsafat,
kehancuran puisi, tujuh gantungan yang terputus dari
dinding Kakbah karena tidak satu rima pun mampu berlomba
dengan lantunan kesucian cinta yang berpekik dari La ilaha
illallah, Muhammad Rasulullah... (Mekah, 2009).
vi
Anak-anakku berpikir kalau geometri tidak berhubungan
dengan sastra. Padahal, sastra adalah seni geometri. Aku
menggambarkan tiga titik yang tidak pararel di buku
catatan. Jika masing-masing titik dihubungkan satu sama
lain, pemahaman pertama matematika setiap anak di dunia
ini adalah bangun segitiga, dengan rumus Pitagoras yang
mengatakan bahwa “Angka pertama yang ada di planet
adalah tiga”. Saya hitung luas bangun segitiga, entah mengapa
masih mengingatkanku pada sebuah puisi. Rasulullah yang
tercinta memiliki dua teman perjalanan. Yang satu seorang
malaikat penghuni langit, yaitu Jibril, dan yang satunya lagi
adalah putri dunia, Bunda Khadijah. Allah yang menyebut
Rasulullah dengan habibi telah memberikan dua teman
hidup untuk mendukungnya.
Malaikat di langit dan wanita di bumi...
“Engkau telah membahagiakanku dengan tiga hal di
dunia ini.”
Sabda Nabi : “Wanita, bau yang harum, dan cahaya
mataku adalah salat…”
Ketika membiarkan pekerjaan rumah geometriku demi
memeluk anak-anakku, sekali lagi aku merasa sedih terhadap
para penyair dan ilsuf. Aku kini tahu, yang telah mengubah
padang pasir menjadi lautan cinta dengan rima yang paling
indah dan paling suci akan kering dalam hati ibu...
Semoga salam terlimpah untuk ibunda kita, Khadijah
Kubra. (Istanbul, 2009)
vii
Prolog
A
wal sebelum masa mengenal hari-hari yang dilalui
dengan jam pasir atau tergores dalam lembaranlembaran almanak
Dialah yang Mahaada
Dialah yang Mahaawal
Dialah Allah
Ibarat harta karun rahasia. Ia ingin untuk tidak
diketahui. Dan atas keinginan-Nya ini, Ia berkeputusan
untuk berirman.
Firman, dari-Nya menjadi baris
Sebelumnya, irmanlah yang memulai perjalanan
“Kun” irman-Nya. Jadilah segala sesuatu dalam
seketika
Sementara itu, pena adalah pejalan kedua setelahnya
Takdir pena adalah menulis yang lainnya
Makna segala apa yang dikatakan dalam irman menjadi
takdir bagi seluruh pengembara
Bagaikan seseorang yang melihat dirinya pada cermin,
cinta juga telah menakdirkan Kekasihnya
Semua yang dicipta: segala yang kita sebut dengan sejarah
dan masa depan, semua yang diketahui dan tidak diketahui,
seluruh kebaikan dan kejelekan, hanyalah sebatas untuk
lebih sedikit memperkilap cermin cinta ini
Cermin cinta yang sempurna mengilapnya karena wajah
Muhammad Al-Mustafa
viii
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
Dialah stempel cintanya Allah, Khatimul Anbiya-Nya
Allah menyebutnya “Habibi”, “Kekasihku”
Segala berita yang jelas maupun terselubung telah
diberitahukan kepada kekasih-Nya karena ia adalah
pembawa berita terakhir Allah
Semua orang yang datang dan pergi, mulai dari manusia
pertama hingga terakhir, akan dibangkitkan dengan surat
terakhir yang dibaca kekasih-Nya
Nama surat itu adalah Al-Quran, yang mengumpulkan,
membangkitkan, menyatukan
Firman sejak awal hingga akhir
Firman yang awal dan akhir
Utusan terakhir: tersumpah, terikat, terjanji
Zat yang sangat mencintai kekasih-Nya pasti akan
memberikan rumah terbaik di dunia ini
Rumah-Nya adalah Rumah Wahyu
Utusan terakhir haruslah tinggal di Rumah Wahyu
Dan Tuhanlah yang telah membuatnya mencintai
istrinya, bau wangi, dan salat yang menjadi cahaya
matanya
Wanita yang dibuat oleh-Nya dan dicintainya bernama
Khadijah
Khadijah seolah sama dengan wahyu, nikmat yang
diberikan, disuguhkan, dan menjadi nasibnya
Dalam hati Khadijah yang hangat akan diterangkan
semangat kekasih Allah yang membara
Khadijah adalah aroma samawi. Dialah yang akan
memeluk utusan terakhir, manusia paling kamil, dengan
pelukan tangannya yang hangat, penuh kasih sayang
ix
Di samping sebagai seorang ibu, ia juga seorang istri.
Segala kebaikan yang ada di lingkungannya ia lahirkan
Sang ibu yang penuh perjuangan
Ia ibarat buaian, tempat kekasih Allah diamanahkan
kepadanya.
Hati Khadijah adalah rumah Rasulullah
Hati Khadijah adalah baju baginya, pakaiannya
Ia adalah tempat berteduh bagi kekasihnya, dermaga
tempat berlabuh yang paling aman
Hati Khadijah adalah tempat Allah menjadikannya
kekasih bagi kekasih-Nya
Khadijah adalah tempat dan peluang cinta bagi sang
utusan
Kekasih Allah akan terhangatkan di dalam rumah hati
Khadijah.
Allah telah menjadikan Khadijah seorang wanita yan
menjadi rumah bagi kekasihnya
Wahyu yang dibawa malaikat juga telah menjadikan
Khadijah bagai selimut
“Selimutilah diriku... selimutilah diriku....”
Dia adalah wanita yang menjadi rumah bagi turunnya
wahyu
Dia adalah wanita yang menjadi selimutnya wahyu
Dialah yang menenangkan dan kemudian menyelimuti
sang kekasih
Khadijah adalah Libasul Khatam
Seorang wanita yang telah menjadi busana bagi
penandanya Allah
Seorang wanita yang menenangkan dan mendukung
utusan-Nya, dialah Khadijah namanya
x
Dialah istri, rumah, dan tempat berteduh baginda Nabi
Seorang panutan, tangga pertama dalam pelajaran cinta
bagi utusan-Nya
Khadijah adalah istri dan juga ibunya
Khadijah berarti kekuatan muharrik atau yang mampu
menghancurkan dan sekaligus kesabaran
Khadijah berarti uluran tangan
Adalah belaian dan uluran kepedulian
Khadijah adalah kerja keras, sabar, cinta, dan usaha
Surga yang dijadikan Allah di dunia bagi kekasih-Nya
Kilau dari cermin cinta
Bejana bagi lautan cinta
Menjadi lentera, lampu pijar yang terbuat dari kristal
Cangkir kristal untuk air bersih nan jernih
Buaian yang hangat bagi bayi
Alur bagi aliran sungai
Bingkai bagi lukisan
Baju yang melindungi punggung
Rangka bagi pedang tajam
Jilid umat bagi kitab yang sangat berharga
Sapu tangan yang memberi dan menjaga rahasia
Perban yang mengandung obat mujarab
Ujung tombak yang setiap sisinya terbungkus
Selimut yang menghentikan rasa dingin bagi ruh dan
menyelimutinya dari udara terbuka…
Khadijah adalah seorang wanita
Kisahnya kisah
Badan bagi badan, kulit bagi kulit
Ruh bagi ruh
Hati bagi jiwa
xi
Khadijah adalah puncak cinta di dunia
Kekasih yang dijadikan kekasih bagi kekasih-Nya
Suatu hari, mata Rasulullah berkaca-kaca seraya
bersabda kepada para sahabat yang ada di sekitarnya:
“Allah tidak pernah memberikanku wanita yang lebih
mulia daripada Khadijah. Di saat manusia tidak percaya,
dia sendiri yang percaya. Ketika semua orang mendustakan
diriku, dia sendiri yang menerimaku. Ketika manusia
berlarian dariku, ia mendukungku, baik ketika ada maupun
tiada...
Dan...
Allah mengaruniaiku putra-putri bukan dari yang lain,
melainkan darinya.”
xii
Gerbang
K
ota bagaikan pengantin wanita. Wajahnya merona
menantikan dirimu jika saja engkau mengizinkan dirinya
memaparkan kisah kehidupannya. Sama seperti manusia,
setiap kota memiliki takdir dan pemahaman tersendiri.
Seperti wajah seorang bayi, di sana akan tampak pertanda
dari orangtuanya. Suatu hari, engkau akan menemukannya
saat berani membuka kain kafan kota yang penuh derita.
Saat pertama kali kadim hikayat kota diturunkan ke
bumi, di sanalah kota itu tampak kaku dan sayu. Allah telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, sementara
kota tentu saja lama setelah masa itu. Ia dinamakan kisah
asatir walau sebenarnya tentang cerita kehidupan lampau.
Hikayatnya, termasuk ruh sebuah kota, telah berembus
dalam bisikan dari satu telinga ke telinga lainnya semenjak
ia hadir sebagai kisah penuh hikmah selama berabad-abad.
Meski suatu hari kiamat akan pecah, kenangan akan kota itu
tetap hidup selamanya karena kisah adalah ruh bagi kota itu.
Dan ruh, tentu saja, tidak akan pernah mati. Ia akan tetap
abadi.
Antara popok bayi dan kain kafan kota, keduanya tidak
berbeda secara hakikat. Keduanya adalah cadar keindahan
bagi pemakainya. Di balik cadar itu akan ada pengantin
yang menunggunya. Ketika cadar pengantin ibu segala kota
engkau buka, akan didapati ibunda kita, Hajar. Wajahnya
pucat pasi, merona, dan penuh gelisah saat mendekap sang
bayi, Ismail, sambil berlari di antara Safa dan Marwa demi
xiii
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
mendapatkan seteguk air. Ternyata, upaya pencarian air
dengan berlari ini, dalam lembaran-lembaran sejarah yang
dituliskan kemudian, setara dengan upaya ibunda Khadijah
sebagai pahlawannya. Seolah takdir Mekah berada pada
kedua ibunda yang mulia ini.
Sebagaimana kedua gunung kota Mekah, Safa dan
Marwa, yang menyimpan isyarat dari Allah, ibunda Hajar
dan Khadijah yang mulia juga laksana kedua bukit yang
kokoh menjaga Mekah sepanjang dunia masih berputar.
xiv
Babil
S
ebelum Istana Babil runtuh, cerita-cerita lama
mengisahkan bahwa umat manusia berbicara dengan
bahasa malaikat. Entah apa yang akhirnya terjadi. Umat
manusia saat itu diliputi sifat sombong, serakah, takabur,
dan hasut terhadap kekayaan orang lain. Mereka begitu
congkak sampai tidak memercayai apa pun selain akal
pikirannya. Tak pernah puas dengan nafsu syahwatnya dan
selalu mengejar semua kesenangan.
Manusia juga malas membantu sesama sehingga satu
sama lain saling memangsa. Sepuluh macam dosa dan
tujuh macam tindakan nista adalah syiar mereka. Bahkan,
kecanggihan dalam bidang arsitektur dan bangunan
membuat mereka sampai berani menantang langit.
Babil adalah istana yang menjulang ke langit. Tinggi
kakinya saja ratusan meter. Atapnya menghilang di antara
kerumunan awan. Sungguh malang nasib sang arsitek. Ia
diminta membangun, mendirikan, terus menjulang dengan
tenaga manusia hingga tak berujung.
Suara gemuruh para pekerja yang memukul-mukulkan
palu, bodem, linggis, dan alat dari besi lainnya membuat
kesadaran akan kehancuran kota akibat kiamat melanda
lenyap. Babil telah dikuasai keserakahan. Mereka yang
terbuai dalam syahwat di atas ketinggian menara-menaranya
tidak akan pernah menyadari berlalunya waktu. Bahkan,
para pengembara yang menghampiri mereka terlihat sayu
oleh embusan udara yang menapak di jalannya. Mereka
xv
_ Babil
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
tak sadar telah menghabiskan seribu tahun usia di antara
semak-semak taman gantung Babil; bahu telah menjadi
lemah, menua, dan embusan napasnya telah berakhir tanpa
bisa tahu ke mana arah tujuan hidupnya.
Jalan melingkar bagaikan spiral menjulang hingga
ke angkasa menyangga Istana Babil. Pagar pematang di
sepanjang jalan terbuat dari perak, sedangkan lantai
balkonnya dari zamrud. Lanskap air terjun yang menghiasi
setiap pinggir taman gantung tampak begitu indah
memesona, dengan suara gemericik yang mengalir di
antara zamrud yang diukir sedemikian cantik, seharusnya
menggambarkan keriangan dan kebahagiaan para
penghuninya.
Namun, apa gerangan yang menyebabkan wajah setiap
orang yang mengembuskan napasnya di Babil tampak
seperti menderita. Hampir setiap pasang mata yang melepas
ruhnya di antara gemerlap kekayaan dan kenyamanan fana
membekaskan tanda-tanda kepedihan.
Di saat para penduduk Babil harus berhadapan dengan
Zat Yang Maha Mencipta karena telah lalai hingga
melampaui batas, hidup tanpa pernah bersyukur dan tanpa
kendali, luruhlah takdir yang mesti dijatuhkan. Firman Ilahi
telah dititahkan. Kiamat pun berkemelut di istana hingga
bangunan berhawa sedih yang sedang dalam pembangunan
itu luluh-lantak dengan satu kalam Illahi. Rata dengan
Bumi.
Segalanya hanya berusia sebatas hirupan napas. Istana
rata dalam sekejap, lebur dalam ketiadaan. Para raja agung,
para ratu, dan punggawa Babil, serta siapa saja yang ada
lumat ditelan bumi. Namun, para pengemis yang mengais
xvi
rezeki di depan pintu istana yang paling bawah, para tuna
wisma, dan para wanita lansia berbusana kumal yang
dilarang memasuki istana, serta para tamu penyair yang
tidak dikehendaki kehadirannya di istana, tak tersentuh
petaka kiamat itu.
Mereka yang selamat itu pun ribuan kali menyesali sisa
hidupnya. Mereka harus menanggung kutukan Tuhan yang
pedih karena satu sama lain tidak lagi memahami bahasa
mereka. Setiap ucapan dan kata menjadi asing. Setiap orang
menjadi tuli atau bisu. Mereka tercerai-berai ke seluruh
penjuru bumi. Ibu berpisah dengan anaknya dan saudara
berpisah satu sama lain dalam keadaan murka.
Ah, Namrud, Raja Babil yang teramat sombong! Beraninya
ia melemparkan Nabi Ibrahim ke dalam unggun perapian?
Bisa-bisanya ia berkeras membangun kuil Babil menjulang
ke langit untuk menantang kekuatan Tuhannya Ibrahim?
Namun, lihatlah apa yang terjadi!
Di waktu pagi itu, saat Namrud dimabuk keserakahan
membangun istana menjulang menembus awan, saat ia gila
untuk mencoba melontarkan panah dari balkon istananya
dan gembiranya ketika mendapati anak panah yang kembali
dengan mata panah dipenuhi bercak darah, dengan dungu
ia menyangka Tuhannya Ibrahim telah terluka –hasya.
Padahal, Tuhanlah yang telah membuat api yang panas
itu menjadi dingin bagi Ibrahim. Tuhan yang menjadikan
mawar dari kilauan apinya itu telah menampakkan murkaNya dengan meluluhlantakkan istana kesombongan
Namrud.
Pada hari ini, kita tidak dapat lagi mengingat bahasa
lama para malaikat. Hal tersebut, katanya, terjadi karena
xvii
_ Babil
para penduduk yang menyaksikan Ibrahim dilemparkan ke
dalam unggun perapian hanya terpaku bagaikan setan tak
berlidah. Bulu kuduk mereka tak sedikit pun bergetar untuk
berupaya menolongnya.
Di hari Istana Babil diruntuhkan, seluruh umat manusia
telah ikut andil di dalamnya. Mereka tercerai-berai dan
tampak nestapa di seluruh penjuru dunia. Manusia
terdampar ke mana-mana dengan bahasa berbeda dalam
kabilah dan bangsa-bangsa yang tidak sama.
Dan hamba yang dikasihi-Nya, ayah dari orang-orang
miskin dan perantau, Abul Adyaf Nabiyullah Ibrahim,
baik ketika di perjalanan, di tenda perkemahan, maupun
di rumah tempat tinggalnya, menjadi masyhur dengan
kedermawanannya. Ia mengumpulkan masyarakat dan
menjamunya. Beliaulah yang mengumpulkan, menenangkan,
memberi pencerahan, murah senyum, dan tidak pernah
tebersit keputusasaan.
Bersama sang istri yang sangat cantik, Sarah, beliau
meninggalkan negara tempat Namrud berada. Sesampai di
daratan Ninawa, peraturan aneh raja setempat membuat
mereka berdua khawatir. Keduanya mengaku sebagai
saudara. Pengakuan ini bukanlah dusta. Menurut syarat
rukun agama yang diturunkan Tuhan yang Tunggal dan Esa,
mereka memang bersaudara. Mereka sama-sama keturunan
Adam sehingga bersatu dalam satu keturunan dan satu
saudara dari Bani Adam.
Raja Ninawa, Abimelekh, hanya mengizinkan orang
memasuki daerah kekuasaannya dengan satu syarat,
dan syarat itu adalah hukuman gantung. Karena itu, jika
xviii
memberi tahu bahwa mereka sudah menikah, hal itu tentu
akan sangat membahayakan keselamatan Ibrahim. Namun,
jika dikatakan bersaudara, peraturan tidak adil sang raja
tidak dilanggar. Lebih dari itu, mereka berdua pun disambut
dengan cara luar biasa sebagai tamu.
Raja Abimelekh terpana oleh keindahan rupa Sarah.
Namun, setiap berkeinginan hendak menikahi dan
melangkahkan kaki untuk mendekatinya, setiap kali itu pula
kedua kakinya terpaku dan menjadi lumpuh seketika. Kedua
tangannya pun tiba-tiba menjadi kaku karenanya.
Tidak hanya sekali… kedua kali… ketiga…
Saat yang ketiga kalinya, pandangan sang raja tiba-tiba
kelam. Mulutnya berbusa, kedua tangan terpaku, dan sekujur
tubuh terasa tersayat-sayat. Ruhnya terhimpit dan dari dalam
hatinya terembus rasa takut akan kematian. Apa gerangan
semua ini, seorang ahli sihirkah wanita yang membuatnya
ketakutan itu? Ataukah semua ini adalah kekuatan mistik
yang dimilikinya, yang didengarnya dari para musair?
“Aih,” mengaduh ia pada akhirnya.
“Entah apa pun itu yang membuatku menjadi begini,
tidakkah wanita itu indah bagi diriku?”
Baru saja berpikir demikian, rasa takut kembali menjalar
seketika.
”Al-Aman!” teriaknya. “Segera suruh kedua saudara ini
untuk meninggalkan kota. Berikan kepada mereka harta
benda yang banyak. Bawakan unta, kambing, dan domba.
Jangan lupa pula berikan mereka pembantu yang paling
rajin, Hajar. Berikan semua hadiah itu kepada mereka dan
antar sampai ke jalan. Jangan sampai mereka meninggalkan
xix
_ Babil
laknat. Semoga kedua mataku yang buta bisa melihat
kembali, kedua tanganku dan kakiku yang lumpuh bisa
sehat, dan punggungku yang bungkuk dapat tegak lagi.”
Para punggawa Ninawa mematuhi perintah sang raja.
Mulailah Ibrahim mengarungi perjalanan. Kini, bukan
hanya berdua, melainkan bertiga.
Angka tiga, bagi beberapa ilsuf, merupakan bilangan
pertama.
xx
Lah Laha..
T
aurat bagian ke-12 diawali dengan kata Lah Laha…
Ini adalah perintah suci yang bermakna “pergilah
untuk dirimu sendiri”. Ya, ini mengenai kepergian Nabiyullah
Ibrahim dari Harran. Setelah perjalanan ini, beliau akan
mendapatkan keturunan yang akan meneruskan garis
keturunannya yang suci: Bani Ibrahim yang terkenal ke
seluruh penjuru dunia. Lah Laha seolah perintah dan berita
gembira bagi anak keturunan Ibrahim.
Dalam catatan sejarah, garis keturunan suci dan pewaris
agama samawi Ibrahim bermula dari perjalanan ini.
Perjalanan tiga orang, yaitu Ibrahim bersama kedua ibunda
kita. Pada kisah selanjutnya, berita gembira yang dinantinantikan datang lebih awal. Ismail lebih dulu menyapa dunia
lewat kelahirannya dari rahim Ibunda Hajar. Setelah itu,
Ibunda Sarah yang sudah berusia lanjut, dengan limpahan
anugerah dari Allah, tak lama kemudian menjadi ibu. Anak
yang lahir darinya diberi nama Ishak.
Dalam Taurat, pada pembahasan ke-21 tentang “Ishak
dan Ismail”, Ibunda Sarah diceritakan dengan pemaparan
yang kasar. Lihatlah pada kata-kata “Usir jariah ini
bersama dengan anaknya!” Di sini, Taurat menggambarkan
seolah-olah Ibunda Sarah adalah seorang ratu berhati
besi, yang memberi perintah begitu saja kepada Ibrahim.
Tidak diragukan lagi, terlepas dari segala aspek yang
melatarbelakangi, semua itu merupakan penyelewengan
xxi
_ Lah Laha..
makna dan tindakan yang melampaui batas terhadap Ibunda
Sarah. Padahal, di dalam Alquran disebutkan bahwa kedua
ibunda itu adalah penerus garis keturunan Ibrahim dengan
sanjungan dan panjatan doa.
Perjalanan Ibrahim bersama ibunda Hajar dan buah
hatinya, Ismail, adalah ujian dari Allah untuk nabi-Nya.
Mengenai Ismail, Ibrahim sebelumnya telah memohon
diberikan putra. Setelah sang putra lahir, dengan berat
hati kemudian ditinggalkan di tengah-tengah padang pasir
yang teramat jauh. Itulah takdir. Keputusan Tuhan untuk
meninggalkan mereka berdua di padang pasir di sekitar
Bait al-Atik, Mekah, akan menjadi babak penting bagi
“penyempurnaan sejarah besar” di kemudian hari.
Dalam Taurat dikisahkan, sambil mengangkat bejana
berisi air di punggungnya dan beberapa potong roti
terbungkus di kain sebagai bekalnya, Hajar diantarkan ke
padang pasir, yang disebut dengan istilah watata. Menurut
para rabi, istilah ini bermakna “memulai perjalanan”, dan
merupakan isyarat bagi tumbuhnya pohon silsilah yang
akan melahirkan sang pembawa berita terakhir, yakni nabi
terakhir.
Nabi terakhir, Muhammad, adalah cucu yang lahir
berabad-abad kemudian dari masa Ibunda Hajar yang
ditinggalkan di tengah-tengah padang pasir. Dengan
demikian, secara ironi, watata bukanlah bermakna “memulai
perjalanan”, melainkan sebaliknya, yaitu “menemukan jalan”.
Hanya saja, lewat orang-orang yang telah mengeras hatinya,
istilah tersebut telah diubah maknanya.
Perjalanan risalah yang bermula dengan perjalanan
Hajar dari Al-Quds ke Mekah, lalu perjalanan Rasulullah
xxii
saat Israk-Mikraj yang menempuh perjalanan luar biasa dari
Mekah menuju Masjid al-Aqsa, dengan sendirinya telah
menyempurnakan garis perjalanan yang sesungguhnya.
Dengan demikian, kata Lah Laha di dalam Taurat berarti
garis keturunan Ibrahim dan kata watata mengacu kepada
perjalanan Mikraj. Namun, kini kedua kata yang memiliki
makna sangat dalam itu telah mengalami penyempitan,
bahkan penyimpangan.
xxiii
Embusan Angin Sakinah
S
etelah Ibrahim dan Hajar meninggalkan al-Quds,
keduanya harus menempuh perjalanan panjang
mengarungi padang pasir. Di belakang mereka hanya ada
satu teman perjalanan. Ia adalah “angin sakinah” yang
berembus tidak terlalu kencang. Tiupan angin ini begitu
sepoi, lembut membelai, seolah hendak mengungkapkan
dukungannya kepada keluarga yang tunduk berserah diri
itu. Setiap langkah yang diayunkan merupakan satu tataran
terangkatnya derajat mereka karena mampu melewati ujian
yang akan membuat keduanya dikenang sebagai hamba
yang agung dalam sejarah.
Selama berhari-hari, tanpa bicara, mereka terus berjalan.
Sang ayah berada di depan, sementara sang ibu berada persis
di belakangnya dengan seorang bayi mungil dalam pelukan.
Sementara itu, “angin sakinah” menyelimuti mereka dalam
tiupan lembut membelai dan terus mengiringi mereka
berjalan... terus berjalan.
Mereka kemudian berhenti di suatu bukit kecil yang
banyak sisa reruntuhan. Tempat ini dinamakan Bait al-Atik,
tempat yang dulu pernah ditinggali Adam, rumah paling
tua di dunia yang saat itu dalam keadaan rusak dan reyot,
dengan dinding hampir roboh karena hempasan angin dan
berada sendirian di antara hamparan samudra padang pasir
yang mengelilinginya.
xxiv
Hajar lalu bertanya kepada suami dan juga nabi yang
diimaninya.
“Akankah Kanda meninggalkan kami berdua di sini?”
Tak ada jawaban, tak pernah ada jawaban…
Sampai akhirnya sebuah pertanyaan yang terucap,
“Ataukah semua ini adalah sebuah ujian yang diperintahkan
Allah?”
“Akankah Kanda meninggalkan kami
berdua di sini?”
Tak ada jawaban, tak pernah ada
jawaban..
Ayahanda kita, Ibrahim, dengan wajah menanggung
pedih namun berserah diri kepada takdir yang menimpanya
berkata, “Iya, Dinda akan ditinggal di sini sebagai perintah
dan ujian dari Allah.”
Ibrahim
pun
melangkahkan
kaki
untuk
meninggalkannya.
Ibunda Hajar hanya seorang diri di tengah-tengah
padang pasir dengan bayinya. Ibrahim meninggalkan
mereka di Baitul Atik yang tinggal puing-puing bertimbun
pasir. Perintah Allah telah menghendaki yang demikian
sebagai ujian sehingga Ibunda Hajar pun menjadi “Hajar”
yang sesungguhnya.
xxv
_ Embusan Angin Sakinah
Hajar berarti batu
Ia berarti pula ruangan
buaian
dan juga: mata
Setelah sejenak memandangi hamparan padang pasir di
panas terik tanpa ada tempat berteduh, tebersit perasaan
papa dalam hati Hajar yang masih muda belia. Memang
telah disampaikan jauh sebelumnya bahwa semua ini adalah
sebatas ujian baginya. Namun, tetap saja hatinya tersayat
dan semakin tersayat oleh langkah kaki sang suami yang
semakin menjauh meninggalkannya.
Inilah saat awal dimulainya rangkaian ujian. Ibrahim
Khalilullah adalah satu-satunya tempat berteduh, seorang
nabi yang diimani, seorang suami yang dicintai, tempat
berbagi dan segalanya baginya.
Kini, ibunda kita hanya seorang diri, sunyi di tengahtengah hamparan samudra padang pasir dalam usianya yang
masih muda.
Akankah hanya terus duduk dan menunggu?
Ah… setidaknya Ismail masih ada di sisinya.
Ismail adalah buaiannya. Tidaklah mungkin ia tahan
terhadap terik padang pasir, haus yang melanda, dan panas
mentari tanpa dipayungi yang dapat menghentikan detak
jantungnya. Panik bercampur gelisah hati Hajar. Ia pun
bersimpuh di hadapan buah hatinya, memerhatikan dengan
penuh iba wajah bayinya yang pucat pasi karena berharihari dalam perjalanan. Wajah mungil itu lalu diusapnya dan
kemudian ditutupi.
xxvi
“Duhai Allah, janganlah Engkau perlihatkan kematiannya
kepadaku,” pintanya dalam pilu.
Setelah bersimpuh merintih dalam tangisan, kembalilah
sang ibunda kita dalam kesadaran. Ya, suaminya yang
juga seorang nabi telah berpesan bahwa semua ini adalah
serangkaian ujian. Untuk itu, ia tidak ingin melewati
serangkaian ujian ini hanya dengan duduk menanti.
Mungkin saja, seandainya hanya sendiri, akan ia kuatkan
ujian ini dengan hanya menanti. Namun, sebagaimana jiwa
seorang ibu, Hajar menyadari kalau kehidupannya tidak
akan mungkin berlalu seorang diri.
Ia pun kembali bangkit untuk sang buah hati. Demi
anaknya, ia basuh wajahnya dari linangan air mata. Ibunda
kita itu bangkit untuknya.
Dengan cepat, ia berlari ke bukit Safa. Semakin jauh
berlari, dalam pandangannya, bukit itu terlihat penuh
dengan rerimbunan pepohonan. Hatinya penuh harap saat
berlari ke sana.
Benarkah yang ia lihat hanya mimpi? Ataukah itu hanya
sebuah ilusi?
Sesaat Hajar tertegun, tebersit merenungi tabir mimpi
itu. Tabir mimpi itu mengentakkan jiwanya untuk berlari.
Ia kumpulkan kembali tenaga untuk berlari; pelarian untuk
mengejar iradah, harapan, dan kedekatan. Sesuatu yang
penuh dengan jiwa yang terbakar, lesatan seorang ibunda ke
dalam kobaran unggun perapian.
Sesampai di Safa, matanya menyapu sekeliling bukit.
Ia menerawang mencari kailah yang berlalu atau sumber
air yang ada di kejauhan. Ia mencari dan terus mencari.
Namun, semua itu tiada. Tidak ada sama sekali yang tersapu
xxvii
_ Embusan Angin Sakinah
oleh pandangannya, baik jejak kaki maupun gerakan yang
memberikan harapan.
Kemudian, ia kembali berlari dengan cepat menuruni
bukit. Ia terus menatap bukit yang lain dalam lesatan kaki
berlari. Nama bukit itu adalah Marwa. Kali ini, hatinya
penuh harap. Mungkin ia akan mendapati apa yang dicari
dengan mendaki puncaknya.
Berlari dan terus berlari sembari
hatinya penuh dengan tangis, mendoa, dan
merintih dengan kelembutan air susu ibu
kepada Ilahi Rabbi
Demikian seterusnya hingga genap tujuh kali ibunda
kita naik turun di antara bentangan dua kaki bukit Safa
dan Marwa dengan terus berlari. Berlari dan terus berlari
sembari hatinya penuh dengan tangis, mendoa, dan merintih
dengan kelembutan air susu ibu kepada Ilahi Rabbi. Ia bakar
dirinya dengan api tazarru’ yang membara, seolah dirinya
telah menjadi lilin yang berpijar nyala apinya.
Dan Allah telah mengujinya dengan kesendirian.
Perjuangannya telah menjadi mahkota ujian suci ini, yang
pada akhirnya dijawab dengan air Zamzam yang terkumpul
untuknya.
xxviii
Zamzam adalah air cinta, perjuangan, dan kemaksuman
seorang ibu.
Air telah menjadikan kehidupan baru bagi Hajar dan
buah hatinya. Pun sebagai hadiah sebuah kota baru bagi
umat manusia. Lesatan ibunda Hajar di antara bentangan
dua bukit Safa dan Marwa bukan hanya bagi buah hatinya,
melainkan juga bagi kota Mekah yang akan dibangun
kemudian.
Para penduduk Mekah selalu mengenang perjuangan
ini dengan menaruh ke dalam keyakinan penghormatan
atas dua bukit yang telah Allah jadikan sebagai isyarat.
Hajar berupaya mengumpulkan air yang merembes dari
dalam tanah dengan terus berkata “tunggu… tunggu”, seraya
membendungi sekitarnya dengan tanah, dengan perasaan
khawatir akan lenyap.
“Tunggu… tunggu….”
“Zamzam….”
Lewat dirinyalah air bersejarah itu hingga kini memiliki
nama.
Tatkala tempat di sekitar sumur mulai hijau merimbun,
saat burung-burung mulai beterbangan hinggap di sana,
dengan menukik dari ketinggian terbangnya, hal itu
menjadikan tanda adanya sumber air bagi para musair yang
memandanginya dari kejauhan. Mereka pun mengikuti
arah terbang burung-burung itu. Sesampainya di sana, di
saat mereka dapati sebuah sumur dengan seorang ibu dan
putranya, segeralah mereka berucap salam.
Demikianlah, dengan persyaratan menjunjung hak Hajar
dan putranya, para pengembara yang melewatinya satu per
xxix
_ Embusan Angin Sakinah
satu ditawari menetap di sana. Mereka pun dengan senang
hati memutuskan menetap di tempat itu. Kabilah Jurhum
telah memenuhi janji untuk menjunjung hak Ibunda Hajar
dan putranya. Mereka menetap di sana untuk menjadi saksi
terbangunnya kota nan indah yang baru: “Bekah”.
Para pengembara kaum badui sering melafalkan huruf
b berdekatan dengan huruf m sehingga kaum Jurhum
kemudian lebih terbiasa menyebut Bekah dengan Mekah.
Lalu, tibalah masa putra Ibunda Hajar, Ismail, yang juga
seorang nabi seperti ayahandanya, Ibrahim, menikah dengan
salah satu putri penduduk Mekah dari al-Quds.
Setelah berabad-abad kemudian, generasi yang berasal
dari garis keturunan Jurhum, yaitu Qusay, yang juga menjadi
pemimpin bagi kota Mekah, menjadikan garis keturunan
nabi terakhir terhubung dari Nabi Ismail, Ibunda Hajar,
hingga Nabiyullah Ibrahim.
Buku ini tertulis dengan niat menjelaskan sosok ibunda
mulia Khadijah al-Kubra, yang juga merupakan istri sang
utusan terakhir, Muhammad, dan cucu dari Ibunda Hajar
yang terlahir berabad-abad kemudian.
Semoga Allah berkenan mencurahkan rida dan ridwanNya kepada mereka dan semoga kita yang mewarisinya
mampu meneladani kehidupannya dalam guyuran limpahan
safaatnya.
xxx
Daftar Isi
Apa Komentar Mereka? ____________________ ii
Prakata __________________________________ v
Prolog __________________________________viii
Gerbang ________________________________xiii
Babil ___________________________________ xv
Lah Laha... ______________________________xxi
Embusan Angin Sakinah __________________xxiv
Nama Adalah Takdir _______________________ 1
Jalan Kepedihan __________________________ 19
Tabir Mimpi _____________________________ 44
Pasar ___________________________________ 48
Musim Semi _____________________________ 93
Pertemuan _____________________________ 108
Merindukan Mimpi ______________________ 117
Rahasia Mim ( ) _______________________ 123
Penantian ______________________________ 127
Pernikahan _____________________________ 136
Khadijah Adalah Rumah Kita ______________ 145
Penghuni Rumah ________________________ 149
Jubah Sang Kekasih ______________________ 156
Barakah________________________________ 158
Kabar Gembira _________________________ 163
Sebuah Jejak Kaki________________________ 171
Hikayat Sebuah Kendi ____________________ 180
Al-Amin _______________________________ 199
Ayah dari Anak-Anak Wanita _____________ 206
Melihat Apa yang Tidak Terlihat ___________ 210
xxxi
Kesedihan ______________________________ 217
Kisah Sebuah Kekerabatan ________________ 227
Yang Datang dan Tak Pergi ________________ 239
Mendaki Gunung Hira ___________________ 244
Kelahiran Fatimah _______________________ 254
Dan Wahyu Pun Turun ___________________ 264
Detik Kehidupan ________________________ 276
Hikayat Seekor Rusa _____________________ 279
Kisah Padang Pasir ______________________ 287
Wahyu yang Tertunda ____________________ 292
Wudu Pertama __________________________ 300
Salat Pertama ___________________________ 305
Seperti Lautan __________________________ 322
Yang Terdekat, Yang Terjauh ______________ 332
Kisah Empat Puluh Darwis ________________ 339
Matahari dan Bulan Menjadi Saksi _________ 346
Kapal Pertama dari Mekah ________________ 350
Kisah Sang Kunang-Kunang _______________ 361
Menggantikan Tujuh Puisi ________________ 366
Lautan Mekah __________________________ 376
Empat Garis ____________________________ 385
Tentang Penulis _________________________ 387
xxxii
Nama Adalah Takdir
Y
ang pertama lahir, yang mula terbangun, yang awal
melakukan perjalanan adalah kata-kata yang selalu
diucapkan orang-orang kepadanya. Khuwaylid bin Asad dan
Fatimah binti Zaidah juga tak henti-hentinya mengucapkan
kata-kata tersebut untuk meluapkan rasa gembira saat
membelai sang bayi yang baru lahir. Jabang bayi bernama
Khadijah yang baru saja lahir adalah buah hati mereka yang
pertama.
Mereka berasal dari keluarga Hasyim yang bersambung
dengan garis keturunan Qusay bin Kilab, Luay bin Galib:
sebuah keluarga yang sangat terkenal di Mekah dengan jiwa
kesatria dan dermawan. Saat Mekah dalam kondisi terpuruk,
Qusay dan anak keturunannya mengirimkan berpuluhpuluh kuda ke al-Quds untuk membeli gandum yang akan
dibagi-bagikan kepada masyarakat. Hasilnya, masyarakat
pun terhindar dari bencana kelaparan. Sejak saat itu, nama
keluarga ini selalu dikenang dan dipanjatkan dalam setiap
doa.
Keluarga yang namanya telah terhormat tersebut
sebenarnya menantikan kelahiran seorang anak laki-laki
yang bisa meneruskan budi baik dan keperkasaan keluarga
tersebut. Khuwaylid dan Fatimah adalah sepasang suami dan
istri yang sangat mencintai satu sama lain. Khadijah adalah
hadiah yang dikaruniakan kepada mereka. Mereka pun tidak
bersedih hati menerimanya. Tak pernah mereka canggung
untuk memeluk dan membelai anaknya yang pertama itu.
1
_ Nama Adalah Takdir
Seandainya masih bertahan dalam rahim beberapa lama,
pastilah dia akan lahir ke dunia sebagai lelaki. Demikianlah
apa yang diyakininya. Oleh karena itu pula dinamainya
Khadijah… dan namanya telah menjadikannya Khadijah.
Inilah guratan takdirnya: guratan takdir yang telah tertulis di
telapak tangannya. Takdirlah yang menjadikannya tanggap
sehingga dengan teman-teman sebaya laki-laki dirinya dapat
bertindak lebih gesit, lebih dahulu.
Keluarga yang namanya telah
terhormat tersebut sebenarnya menantikan
kelahiran seorang anak laki-laki yang bisa
meneruskan budi baik dan keperkasaan
keluarga tersebut. Khuwaylid dan
Fatimah adalah sepasang suami dan
istri yang sangat mencintai satu sama
lain. Khadijah adalah hadiah yang
dikaruniakan kepada mereka. Mereka
pun tidak bersedih hati menerimanya. Tak
pernah mereka canggung untuk memeluk
dan membelai anaknya yang pertama itu.
2
Seorang yang bangun di awal waktu, sosok yang cekatan.
Demikianlah Khadijah. Dari sang bunda, ia mewarisi jiwa
kelembutan, terutama suka bederma kepada tamu. Lewat
sang ayah, turun kepandaian berkuda, berhitung, dan
aritmatika. Lebih dari itu, ia juga dengan mahir mewarisi
kemampuan bertahan dalam terik dan badai padang pasir,
keahlian untuk tetap bertahan sehingga dapat sampai tujuan.
Ia adalah kesabaran Khadijah.
Padang pasir merupakan medan kekalahan bagi siapa
saja yang tidak sabar dalam mengarunginya. Siapa saja yang
tidak ramah tindak-tanduknya, padang sahara tak akan
membiarkan seorang pun hidup di atasnya. Hamparan
padang pasir luas mengepul bagaikan tungku raksasa. Di sini
tidak ada penanggalan lain selain penanggalan Matahari dan
Bulan. Seandainya kata-kata tidak memiliki kekuatan sihirnya,
kemungkinan besar jantungnya terhenti.
Sabar dan berpuisi adalah dua warisan yang paling
berharga dari mendiang ayahnya. Khuwaylid bin Asad adalah
sosok yang tidak akan mungkin mudah menyerah terhadap
aturan rimba padang pasir.
“Bersabar bukan hanya sebatas bertahan terhadap segala
rintangan. Sabar adalah tidak berbuat zalim meski mampu
melakukannya,” kata para orang tua kepada anak-anaknya.
“Kata-kata memiliki kekuatan bagaikan belati yang selalu
penuh siaga di rangkanya.” Demikian pepatah ini selalu melekat
seperti anting-anting yang menempel di telinga Khadijah.
Seakan jawaban dari kata-kata puisi dan belati pada kejadian
di sumur Zamzam di sekitar Baitul Atik saat jemparing
diarahkan ke teman dekatnya, Abdul Muthalib, baru saja ia
saksikan di hari kemarin. Hampir saja seluruh Mekah bersatu
untuk melawan Abdul Muthalib. Saat orang-orang Mekah
3
_ Nama Adalah Takdir
tidak menghendaki Abdul Muthalib sebagai pewaris kedua
untuk membangun sumber kehidupan sumur Zamzam
yang telah ditimbun pasir hingga ke permukaannya, ketika
itulah para pemuka Mekah saling menghunuskan jemparing
dan belatinya.
Namun, ayahanda Khadijah, Khuwaylid, berhasil
membendung amarah mereka dengan kilau belati yang
terhunus dari puisinya yang terucap.
“Keberanian bukanlah berarti tidak takut,” kata sang
ayahanda kepadanya. ”Keberanian adalah sabar menanti
pada tempat yang semestinya meski dalam keadaan takut
sekalipun.”
Padang pasir tidak akan pernah memberi hak hidup
kepada orang yang tidak sabar. Demikianlah, sabar adalah
sumber air kehidupan bagi penduduk padang pasir.
“Duhai buah hati anak wanitaku yang terlahir lebih awal.
Bangunlah di awal waktu dan segeralah bergegas menempuh
perjalanan.”
“Baiklah Ayahanda.”
Dengan membawa nama yang telah bersemayam di
hati padang sahara, Khadijah akan memulai awal langkah
perjalanannya untuk menjadi ratu padang pasir. Begitulah
apa yang ditakdirkan dengan namanya.
Saat Khadijah lahir, Mekah adalah bunda semua kota.
Semua orang yang datang ke sana dari pintu manapun akan
selalu menceritakan setiap langkah kakinya saat menyusuri
jalanannya sebagai suatu keberuntungan tersendiri saat
kembali ke negaranya. Mereka semua, baik para kailah,
pedagang, penyeru agama, pelancong, maupun saudagar,
pasti akan mendapatkan apa yang mereka cari.
4
Mekah, yang pada waktu itu merupakan pusat
(esperantos), baik bagi agama Yahudi, Nasrani, penyembah
api, pagan, maupun Hanai, seolah merupakan batu akik di
tengah-tengah cincin jalur perdagangan yang melalui jalur
perjalanan India, Eropa, dan Laut Mediterania. Karena itulah
Mekah juga sering disebut “kota di tengah-tengah dunia”.
Selain bagi para musair yang mengetahui aturannya,
padang pasir luas dan gunung-gunung yang mengitarinya
merupakan benteng alami yang menjaga tanah Mekah.
Hanya saja, orang-orang Yahudi yang menyebut jalur
antara al-Quds dan Mekah sebagai jalur Hajar, jalur panjang
yang mengharuskan ketabahan dan kesabaran itu, baru
beberapa waktu yang lalu membantai para rombongan
yang akan pergi ke Mekah. Para musair memang sering
mendapatkan perlakukan keji dari bangsa Yahudi. Hal itu
belum lagi ditambah dengan perampokan setelah menempuh
perjalanan panjang yang penuh derita dan kelelahan. Atau
tersesat di tengah jalan tanpa arah dan tujuan. Untung saja,
Allah mempertemukan mereka dengan putra mahkota kaum
badui, Fudeyh, yang berjiwa mulia, sehingga dapat sampai
ke tanah Mekah dengan diiringi perlindungan darinya.
Para pendeta yang
membubuhkan catatan pada
buku perjalanan mereka menyebut para kesatria badui
sebagai penyembah berhala yang berjiwa pahlawan dan
suka menerima tamu. Sebenarnya, mereka memang para
pelindung adat mulia yang telah mengurat akar di padang
sahara. Selama berabad-abad, tabiat padang pasir telah
menjadikan manusianya keras dan tahan pukul. Seolah
mereka adalah orang-orang yang berotot kawat dan
bertulang besi karena kerasnya pekerjaan dan kehidupan
5
_ Nama Adalah Takdir
yang dihadapi. Yang tidak keras tidak akan mungkin kuat
bertahan hidup di tengah-tengah padang pasir. Kata-kata,
bagi mereka, juga berarti kehormatan. Terhadap orangorang yang keras ini, mungkin, hanya kata-kata mulia satusatunya kekuatan yang dapat mengarahkan mereka pada
kepribadian mulia. Tak heran, jika terjadi permasalahan,
senjata untuk melawan mereka adalah pedang dan syair.
Keempat saudara wanita Khadijah, yaitu Hala, Asma
(Halidah), Hindun, dan Rukayah, serta ketiga saudara lakilakinya yang bernama Naufal, Awam, dan Hizam juga tumbuh
menjadi dewasa dalam keadaan yang sama sebagai anakanak yang berpengetahuan dan berjiwa mulia. Anak-anak
ini selalu menyaksikan ayahanda mereka yang sepenuhnya
membela keadilan dan memperjuangkan hak-hak mereka
yang teraniaya. Selain itu, dalam keluarga Khuwaylid tidak
pernah ada keyakinan terhadap berhala, sebagaimana yang
ada pada kaum badui. Mereka adalah keluarga yang terkenal
dengan akhlak yang mulia, pemberani, dan setia menepati
janji.
Lebih dari itu, mereka tidak saja dihormati bangsa
Quraisy, tapi juga yang paling penting oleh para raja di
Habasyah, Yaman, Ajemistan; seperti Raja Kisra di sana
yang juga menaruh hormat kepada mereka. Bahkan, dalam
hubungan diplomatik, mereka dipandang sebagai utusan
keluarga.
Sejak masa kecil Khadijah, Raja Yaman Seyf bin Ziyazan
pada bulan-bulan musim panas sering tinggal di rumah
peristirahatan yang berada dalam pengelolaan Khuwaylid dan
keluarganya. Dalam pandangan Khadijah dan keluarganya,
Yaman merupakan tempat yang tidak begitu panas,
6
bercurah hujan cukup, dan banyak hutan hijau rimbun yang
melambangkan surga bila dibandingkan dengan Mekah.
Namun yang terjadi sepanjang sejarah, Yaman dan Mekah
adalah dua negara yang selalu bersaing.
Semenjak peristiwa itu, setiap kali
disampaikan kepada Khadijah ungkapan
“Musim panas sudah datang,
kapan kita akan mengunjungi rumah
peristirahatan yang ada di Yaman”,
dirinya selalu teringat dengan kekejaman
dan kebengisan serangan gajah.Pada
waktu serangan itu terjadi, Khadijah
masih berusia sekitar 15 tahun.
Kepergian Khuwaylid dan keluarganya ke Yaman terjadi
sekitar dua tahun setelah peristiwa “Serangan Pasukan
Gajah”. Sebelumnya, baik bagi seluruh kaum Mekah maupun
Khadijah, Yaman selalu tampak mengerikan terkait dengan
peristiwa serangan itu.
Semenjak peristiwa itu, setiap kali disampaikan kepada
Khadijah ungkapan “Musim panas sudah datang, kapan kita
akan mengunjungi rumah peristirahatan yang ada di Yaman”,
7
_ Nama Adalah Takdir
dirinya selalu teringat dengan kekejaman dan kebengisan
serangan gajah.Pada waktu serangan itu terjadi, Khadijah
masih berusia sekitar 15 tahun.
Yaman adalah negara bagian Habasyah (Etiopia) di
bawah kepemimpinan Raja Nejasi Ashame. Jarak yang
cukup jauh antara Habasyah dan Yaman dimanfaatkan oleh
Abrahah, seorang wali yang serakah. Dirinya yang merasa
memiliki kekuatan dalam berpolitik mulai tidak pernah lagi
mendengarkan nasihat dari perdana menteri atau perintah
dari negara pusatnya, Imperium Habasyah.
Sejak saat itulah Abrahah mulai mengincar Mekah yang
merupakan kota persimpangan jalur perdagangan. Untuk
menggaet para saudagar dan peziarah yang selama ini pergi
ke Mekah sebagai pusat perdagangan dan Kakbah sebagai
pusat peribadahan, Abrahah membangun sebuah tempat
ibadah megah yang diberinya nama Qullays yang terletak
di pusat kota Sana’a. Sayang, harapannya tidak akan pernah
tercapai. Sebagaimana Sana’a tidak mungkin menggantikan
Mekah, tidak mungkin pula Qullays menggantikan Bait alAtik. Yang lebih parah, munculnya berita ke seantero jazirah
bahwa seorang Badui bernama Nasaah dari Bani Fakim yang
datang dari Mekah, dan menjadi terkenal, telah buang air
besar di tengah-tengah tempat ibadah di dalam Qullays.
Mendengar berita tersebut, wajah Abrahah merah
padam. Ia bersumpah akan menghancurkan Mekah dan
Bait al-Atik yang di dalamnya terdapat Kakbah. Sumpah
telah terucap dan segeralah pasukan Abrahah yang tersusun
atas tunggangan gajah-gajah paling beringas dan kuda-kuda
paling lincah berangkat berduyun-duyun menuju Mekah.
8
Pasukan Perdana Menteri Yaman yang dipimpin Zumafar
untuk menghalang-halangi agresi pasukan Abrahah ikut
ditumpas di tengah-tengah perjalanan. Pasukan pun terus
melaju, memorak-porandakan semua daerah yang dilaluinya
hingga akhirnya pasukan gajah itu sampai di Mekah.
Ayahanda Khadijah, Khuwaylid, dan sahabat dekatnya,
Abdul Muthalib, merasa sangat khawatir dengan keadaan
yang akan terjadi, apalagi para penduduk Mekah sama sekali
tidak tahu-menahu jika penyerangan akan segera terjadi.
Pasukan perang Abrahah mendirikan tenda-tenda di
al-Mugammas, di sekitar Mina. Selain membuat perapian,
mereka juga merampas ternak milik para penduduk Mekah.
Dari perternakan Abdul Muthalib sendiri ada sekitar 200
unta yang dirampas, sementara dari peternakan milik
Khuwaylid mungkin mencapai dua kali lipatnya. Pasukan
besar Abrahah yang membuat perapian di lembah Mina
telah menjadikan takut setiap jiwa.
Dalam keadaan seperti ini, utusan Abrahah yang bernama
Hunathah al-Himyariy datang ke Mekah untuk bertemu
dengan para petinggi di sana. Di antara para petinggi Mekah
yang ditemui adalah Khuwaylid dan Abdul Muthalib. Hanya
satu pasal tawaran yang disampaikan kepada para petinggi
Mekah, “Jika Anda sekalian ingin meninggalkan ibadah tawaf
mengelilingi Kakbah, sang komandan perang Abrahah akan
membiarkan mereka tetap hidup.”
Himyariy juga menyampaikan alasan kedatangan mereka
yang sama sekali tidak untuk berperang, tapi hanya untuk
menghancurkan Kakbah!
Terhadap permintaan yang disampaikan itu, para petinggi
Mekah meminta waktu membuat keputusan. Segera setelah
9
_ Nama Adalah Takdir
itu, mereka berkumpul di rumah Khuwaylid, tempat Khadijah
dibesarkan. Dengan demikian, Khadijah ingat benar adanya
perbedaan pendapat sebagaimana ingatnya akan hari ini.
Para petinggi Mekah saling beradu argumen satu sama lain.
Sebagian dari mereka ada yang langsung ingin menyerang
pasukan Abrahah dengan semua kuda yang dimilikinya
sembari melantunkan syair kepahlawanan satu sama lain.
Sebagian yang lain lebih memilih bertindak penuh dengan
pertimbangan. Abdul Muthalib memberikan pendapatnya
agar para penduduk Mekah yang lemah, seperti kaum ibu,
anak, dan orang lanjut usia pergi ke pegunungan untuk
mengamankan diri. Akhirnya, muncul kabar bahwa kaum
haif beberapa hari sebelumnya telah membuat keputusan
untuk memihak Abrahah dengan syarat Tuhan mereka,
Latta, tidak diganggu.
Abdul Muthalib lebih memilih
tetap tinggal di rumah Khuwaylid,
sementara anak-anak dan para wanita
dibawa ke pegunungan yang terletak
di Barat kota Mekah dengan
dipimpin oleh Khadijah.
Semua orang, dari mulut ke mulut, saling berkata kalau
‘hati penduduk haif memihak leluhur mereka, namun
pedang mereka memihak Abrahah’.
10
“Oleh karena itu, kita harus bertindak penuh dengan
kehati-hatian,” kata Abdul Muthalib dan Khuwaylid. Ketika
tidak ada keputusan, apalagi kesepakatan, para petinggi
Mekah mulai meninggalkan rumah Khuwaylid satu demi
satu.
Abdul Muthalib lebih memilih tetap tinggal di rumah
Khuwaylid, sementara anak-anak dan para wanita dibawa
ke pegunungan yang terletak di Barat kota Mekah dengan
dipimpin oleh Khadijah. Saat itu, Abdul Muthalib berkata
dengan lantang, “Kita jangan berperang melawan pasukan
ini. Di samping kekuatan yang tidak cukup, di sana ada
Baitul Atik, Kakbah, yaitu rumahnya Allah. Hanya Allah
sendiri yang akan menjaga rumah-Nya, tanah haram ini.”
Saat kedua orang berteman dekat ini ingin melihat harta
benda dan peternakan unta yang dijarah di sekitar Mina,
para ibu dan anak-anak telah lama mendaki gunung dengan
pemandunya, Khadijah binti Khuwaylid.
Abrahah menaruh segan kepada Khuwaylid dan Abdul
Muthalib. Ia menghargai keberanian dan pemikirannya yang
masuk akal. Hanya saja, ketika pembicaraan telah memasuki
perihal unta yang dijarah, Abrahah berkata, “Pada awalnya
aku menaruh segan terhadap keberanian kalian berdua.
Namun, ternyata kalian sekarang bukan ingin melindungi
Kakbah, tapi justru malah mengurusi harta.”
Abdul Muthalib memberikan jawaban kepada Abrahah.
Sebuah jawaban yang sangat terkenal dan dikenang setiap
mulut, “Aku hanyalah sebatas pemilik unta, sementara
pemilik Kakbah adalah Dia. Dia sendirilah tentu yang akan
menjaganya.”
Abrahah menghargai jawaban ini seraya mengembalikan
unta-unta milik kedua petinggi Mekah tersebut.
11
_ Nama Adalah Takdir
Di saat pagi menjelang, para penduduk Mekah dikagetkan
dengan gemuruh suara terompet dan genderang perang
yang dibunyikan dengan segala amarahnya. Dalam linangan
air mata sembari memanjatkan doa, mereka takut melihat
akibat yang sebentar lagi menimpa Kakbah.
Hati Khadijah juga terasa pedih mendapati semua
kejadian ini. Kembali ia berdoa kepada Zat yang menguasai
Kakbah.
Khadijah teringat dengan kejadian ini saat berada di
sebuah jendela rumah yang menghadap ke arah Yaman
sembari memandangi awan-gemawan yang berarak-arakan
di angkasa, yang tampak seperti sekawanan penggembala
dengan biri-birinya. Para pemilik rumah peristirahatan
yang memadati jalanan kota Mekah memberitakan telah
datangnya musim panas. Hal ini membawa ingatan Khadijah
kembali pada masa-masa di usianya yang kelima belas saat
peristiwa gajah terjadi. Bahagia hati Khadijah muda saat
memandangi para penggembala yang menggiring biri-biri
gembalaannya dengan tongkat dan cemeti panjang di bawah
bimbingan sang alim penggembala yang mengenakan jubah
serbaputih namun lusuh. Kebahagiaan yang ia rasakan
saat mendaki gunung menuju rumah peristirahatan telah
membawanya pada pesona masa-masa kecilnya. Para wanita
muda yang menabuh genderang melawat kepergian para
penggembala dan iringan doa serta bacaan-bacaan syair dari
kerumunan yang memadati sepanjang jalan telah membuat
hati Khadijah berseri-seri karena teringat masa kecilnya.
“Ah, seandainya saja pemuda yang sedang belajar
menggembala biri-biri itu adalah diriku,” katanya.
Dia juga berkhayal seandainya dirinya juga menjadi
seperti mereka, bangun di pagi hari untuk memerah susu
12
dan mengaduknya. Seandainya saja dirinya ikut bersama
anak-anak berlarian riang gembira di atas hamparan hijaunya
rerumputan, bermain petak umpet di balik semak-semak di
sela-sela menggiring gembalaan dengan cemetinya, serta
sesekali memerhatikan biri-biri yang sedang menyusui.
Seandainya saja ia bisa menemukan kembali suasana yang
putih, jernih bagaikan air susu segar di bejana yang baru saja
diperah dari kambing piaraannya. Seandainya saja ia bisa
mendengarkan cerita tentang pegunungan dan bintangbintang dari mulut para penggembala yang selalu rajin
bekerja keras….
Bukan karena lugu jika ia takut pada suara halilintar.
Bukan hanya omong kosong jika dirinya lelah karena
mendaki gunung yang terjal.
Bukan pada majikan para budak seandainya dirinya merasa
takut melainkan terhadap eraman raksasa.
Bukan jamuan acara pesta dan senang-senang melainkan
air susu murni dan roti yang ia inginkan.
Bukan permadani berbalut bulu-bulu burung melainkan
matras berisi kerikil tempat dirinya berbaring.
Bukan di tengah-tengah keramaian pasar melainkan ke
puncak pegunungan rimbun nan sunyi, yang berbatas
dengan langit biru, tempatnya pergi.
Bukan tanah tempat para penari gila, yang saat kaki para
penarinya dihentakkan, syahwat para penonton menjadi
sedemikian tergoda, melainkan hamparan tanah ladang
gembur dengan gemercik aliran sungai di sekelilingnya.
Bukan… bukannya….
13
_ Nama Adalah Takdir
Kerumunan para musair yang ia perhatikan dari jendela
rumah peristirahatan itu makin membuat hatinya seperti
tumpah oleh keinginan kuat untuk ikut pergi bersama
mereka. Musim panas telah datang....
Ingin sekali dirinya meninggalkan kota dan membiarkan
segalanya, untuk kemudian pergi bersama para pendaki
menaiki gunung yang tinggi. Baginya, gunung-gunung
merupakan tempat kebebasan, lepas dari beban kehidupan.
Meski sudah berusia genap tiga puluh tahun dan telah
menjadi ibunda masyarakat kota, adat kebiasaan kota yang
serbamengumbar kesenangan telah membuatnya jenuh.
Sebenarnya, dirinya tak sabar ingin segera mendengar berita
kedatangan musim panas dari para rombongan musair dan
untuk secepatnya mendaki gunung terjal dengan meniti
jalan setapak. Demikianlah yang selalu ia rasakan, terutama
di akhir-akhir ini. Ingin sekali hatinya, meski tubuhnya tetap
berada di tengah kota, berada di puncak pegunungan. Saat
Khadijah mengkhayalkan semua itu, tiba-tiba pintu diketuk
dengan suara keras. Tanpa sadar, botol misik terjatuh dari
tangannya hingga pecah. Ah…!!!
Ternyata, yang hendak memasuki kamarnya adalah
Maisaroh, sang pelayan.
“Oh… mohon maaf Tuan Putri kalau tiba-tiba
mengganggu ketenangan Anda.”
“Apakah kamu ini pembawa berita utusan Abrahah,
Maisaroh?” tanya Khadijah dengan tersenyum.
Tanpa disadari, tangannya terluka saat mengumpulkan
serpihan-serpihan botol kaca yang berserakan di lantai.
“Tuan Putri, mohon maaf sekali, beribu-ribu maaf kalau
saya sudah membuat kaget. Sungguh, saya tidak bermaksud
14
mengganggu. Saya hanya ingin menyampaikan kalau cucu
paman Anda, Hamla, dan teman-temannya sudah datang
dari Yaman. Mereka saya persilakan beristirahat di taman
rumah tamu bagian dalam.”
“Siapa? Hamla datang? Kesatria Hamla datang!?”
“Ya Tuan Putri. Malah, mereka saling berkata kalau sudah
waktunya membawa Anda ke rumah peristirahatan yang ada
di Yaman.”
“Saya juga sebenarnya sedang memandangi Yaman dari
jendela. Kebetulan sekali. Tolong mereka dijamu dulu. Aku
akan siap-siap sebelum ke sana.”
Hamla adalah cucu paman Khadijah. Saat Seyf Zeyazan
menjadi Raja Yaman, setelah Allah membinasakan Abrahah
dan bala tentaranya dengan mengirimkan burung-burung
ababil, ayahanda Hamla menjadi sangat disegani di sana.
Di antara para rombongan utusan Mekah yang datang
untuk memberikan ucapan selamat kepada Zeyazan adalah
Khuwaylid dan sahabat karibnya, Abdul Muthalib. Setelah
acara jamuan makan malam, Zeyazan berbagi rahasia kepada
tamu mulianya. Rupanya, para petinggi Yaman telah membaca
kitab mantera sihir yang bahasanya hanya diketahui para raja
Yaman dan dilarang diketahui rakyat umum. Rahasianya,
menurut kitab tersebut, pada masa-masa ini akan lahir
seorang anak di daerah sekitar Tihamah. Pada punggung
anak tersebut, di antara kedua tulang iga, ada tanda khusus
yang menunjukkan bahwa dirinya adalah utusan, sebagai
Khatimul Anbiya.
Menurut penuturan sang raja di malam itu, anak yang
dia sebutkan itu akan tumbuh sebagai anak yatim. Dia akan
tumbuh bersama kakeknya, dan setelah itu akan dilindungi
15
_ Nama Adalah Takdir
pamannya. Dia akan mengajarkan masyarakat menyembah
kepada Allah yang Esa dan Tunggal serta mengajak umatnya
untuk meninggalkan kekufuran dan kembali kepada agama
Tauhid. Raja Zeyazan juga menambahkan, di saat anak ini
lahir, para petinggi kerajaan Yaman akan tunduk kepada raja
terakhir ini.
Ketika Abdul Muthalib mengatakan kalau sang anak yang
dimaksudkan tersebut bisa jadi cucunya sendiri, sang raja
menjadi semakin kaget, seraya meminta agar berita tersebut
dirahasiakan untuk sementara waktu demi keselamatan
anak itu. Saat kembali ke Mekah, rombongan tersebut
dibekali berbagai macam hadiah. Sejak saat itulah rumah
peristirahatan, yang pada waktu itu masih ditempati Hamla,
kemudian dihibahkan kepada keluarga Khuwaylid.
“Sang kesatria Hamla, selamat datang! Semoga
kehormatan selalu menyertaimu di rumah bibimu.”
Anak muda tersebut sedemikian mirip dengan bibinya
yang ia cium tangannya seraya berucap:
“Ya Sayyidatun Nisa.”
“Ya Sayyidatun Quraisy.”
“Ya Dzurriya.”
“Ya Tahira.”
Khadijah binti Khuwaylid adalah bibinya. Sungguh,
dirinya adalah ibunda para wanita, tuan putri bangsa Quraisy
yang terkenal sebagai wanita yang bersih dan mulia.
Sayang, meski beribu sanjungan telah diucapkan Hamla
dan juga keinginan kuat untuk pergi, Khadijah berkeputusan
tidak akan pergi ke Yaman. Sebelum rombongan pedagangnya
yang dikirim ke Syam kembali ke Mekah, dirinya tidak akan
mungkin pergi ke mana-mana. Khadijah memang harus
16
mengatur sendiri bisnisnya. Urusan bisnis ini di manamana selalu sama, penuh dengan perusuh. Hal itu memang
menjadi tidak mudah bagi seorang janda. Seringkali para
pedagang atau karyawan yang diminta mengurusi harta
dagangannya justru membuatnya merugi. Selain itu, para
perantara juga bisa bersekongkol dengan para pedagang
untuk menipu. Penjualan yang mendatangkan keuntungan
besar malah dilaporkan merugi. Hal inilah yang kadangkadang membuat hati Khadijah gundah.
Khadijah memang harus mengatur
sendiri bisnisnya. Urusan bisnis ini di
mana-mana selalu sama, penuh dengan
perusuh. Hal itu memang menjadi tidak
mudah bagi seorang janda. Seringkali
para pedagang atau karyawan yang
diminta mengurusi harta dagangannya
justru membuatnya merugi.
Kepercayaan dan keamanan perdagangan di Mekah telah
menurun di masa-masa ini. Situasi perdagangan dibuat
untuk selalu memperkaya pihak-pihak yang memang sudah
kaya dan semakin membuat miskin para penduduk miskin.
17
_ Nama Adalah Takdir
Bahkan, pekerjaan yang dapat menghasilkan keuntungan
dengan bekerja keras hanyalah menjadi penggembala.
Sebenarnya, sudah sejak lama Khadijah mencari teman
hidup yang dapat dipercaya, terutama dalam urusan
perdagangan. Kebetulan, anak dari saudara kandung lakilakinya, Hizam, yang bernama Hakim, seorang yang cekatan
dan juga dapat dipercaya. Dialah yang sering membantu
Khadijah, terutama dalam menyelesaikan urusan dagang.
Dialah yang kemudian mengurusi perdagangan di Mekah.
Berita kedatangan Hamla juga disampaikan kepada
Hakim sehingga suasana pun menjadi akrab di antara para
saudara.
Malam itu Mekah kedatangan tamu istimewa. Menyambut
tamu bukan hanya sekadar kehormatan bagi suatu kalangan
tertentu di Mekah. Para nenek moyang bangsa Mekah telah
mewariskan budaya yang paling penting itu, yang telah
membuat mereka terkenal sebagai sultannya padang pasir,
yaitu budaya suka menjamu tamu.
18
Jalan Kepedihan
J
alan adalah wisuda bagi seorang wanita. Bagi ananda
Khuwaylid, jalan itu penuh dengan kepedihan dan
rintangan yang harus ditempuhnya. Kemarin, saat sedang
tertegun dalam berkhayal, Maisaroh sang pelayan tiba-tiba
memasuki kamarnya dan telah membuatnya kaget. Botol
parfum misik yang ada di tangannya pun jatuh hingga
pecah. Serpihan-serpihan kaca yang tersebar membuat
jari tangannya terluka saat sedang mengumpulkannya. Ia
memerhatikan tangannya yang terbungkus perban seraya
bertanya kepada dirinya.
“Serpihan kaca ataukah serpihan jiwa yang telah
membuatnya terluka?”
Kata sandi dari teka-teki perjalanan hidupnya tergenggam
erat di tangannya. Ya, sejarah penciptaan dirinya tergenggam
erat di tangannya. Di telapak tangannya terdapat dua tahi
lalat kecil berwarna hijau dan merah. Letaknya berada tepat
di tengah. Tanda ini seolah teman hidupnya yang telah ikut
berbagi rahasia akan sebuah misi yang telah ditakdirkan
kepadanya semenjak kecil.
Kor Haiz, seorang ahli Taurat yang dikenalnya, pernah
mengatakan bahwa dari garis keturunan Khadijah akan
lahir dua pemuda kesatria yang memiliki nama depan
berhuruf ‘ha’. Khadijah kecil selalu diusap rambutnya oleh
para pendeta tua yang dihormati, yang datang dari Yastrib
menuju Mekah setahun dua kali untuk mengadakan upacara
19
_ Jalan Kepedihan
khataman. Saat dirinya tumbuh dewasa bagaikan indah
gemulainya pohon palma, semua orang telah melupakan
cerita ini sehingga banyak sekali orang yang ingin melamar
Khadijah untuk mendapatkan berkah dari keindahan dan
kesempurnaan budi pekertinya.
Pernikahan pertamanya terjadi saat dirinya masih berusia
muda. Ia menikah dengan Abu Hala bin Zurara, seorang
saudagar bangsawan Mekah yang terkenal berakhlak mulia.
Pernikahan ini menciptakan rumah tangga yang bahagia.
Lahir pula dua anak bernama Hala dan Hindun. Khadijah
yang telah mendapati kemuliaan jiwa sebagai seorang ibu
tidak pernah mengizinkan anaknya dititipkan kepada
pembantu yang menjadi adat di masa itu. Ia mengasuh dan
mendidik sendiri kedua putranya.
Pernikahan pertamanya terjadi saat
dirinya masih berusia muda. Ia
menikah dengan Abu Hala bin
Zurara, seorang saudagar bangsawan
Mekah yang terkenal berakhlak mulia.
Pernikahan ini menciptakan rumah
tangga yang bahagia. Lahir pula dua
anak bernama Hala dan Hindun.
20
Hatinya selalu berdesir saat memikirkan anak-anaknya,
apalagi saat suaminya menderita sakit sekembalinya
dari Syam. Sang ibunda pun semakin pedih memikirkan
nasib kedua anaknya. Kepada siapakah mereka akan
diamanahkan apabila terjadi sesuatu? Dan terjadilah apa
yang dikhawatirkannya. Takdir telah menitahkannya terjadi.
Saudagar bangsawan dan ternama itu pergi ke alam baka
dengan meninggalkan seorang istri dan dua anak. Sang
suami berwasiat agar anaknya jangan diasuh orang lain.
Selain itu, masalah perdagangan harus diteruskan oleh
Khadijah sendiri.
Meski teramat pedih, Khadijah tetap selalu mensyukuri
pernikahannya. Seandainya saja kedua anaknya tidak ada,
mungkin dirinya tidak akan kuat lagi menahan pedihnya
ujian akibat kepergian ayahanda yang kemudian diikuti
suami tercinta. Bahkan, kemungkinan, kematian juga akan
menjemputnya. Dengan wasiat sang suami yang masih
berada dalam ranjang sakaratul maut, Khadijah akan
memulai kehidupan baru untuk berupaya keluar dari medan
api ini. Ia akan memerhatikan anak-anak dan pekerjaannya
dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Inilah tekad
yang akan mengantarkannya menjadi ibunda kota Mekah.
Saudagar wanita yang kuat dan kaya-raya dalam waktu
singkat.
Namun, pada usianya yang baru menginjak dua puluhan
tahun itu, tentu saja kehidupan tidaklah sebatas kesuksesan
dan kekayaan. Terlebih dalam pemahaman anak-anaknya.
Mereka juga sangat butuh igur seorang ayah yang kuat,
sebagaimana kebutuhan akan seorang ibu. Meskipun paman
dan sepupunya tidak akan pernah meninggalkan kedua putra
21
_ Jalan Kepedihan
Khadijah, pada malam hari para kerabat mereka tentu akan
kembali ke rumahnya masing-masing, seraya menutup pintu
rumahnya dan membiarkan keluarga Khadijah seorang diri.
Benarlah apa yang dikhawatirkannya itu. Pada suatu
malam, saat sang anak yang bernama Hindun sakit panas
berkepanjangan, Khadijah begitu khawatir. Sekujur
tubuhnya basah kuyup oleh cucuran keringat. Segala upaya
telah dilakukannya, namun panas sang anak belum juga
kunjung menurun. Semua usaha yang telah dilakukan kedua
pelayannya juga tidak membuahkan hasil.
“Ah…,” rintih Khadijah dalam pedih.
“Seandainya saja ayahnya masih hidup, mungkin anak ini
tidak sakit begini.”
Segera ia perintahkan kemenakannya yang dipercaya
untuk pergi mencari tabib. Namun, pada malam itu sang
tabib sedang berada di Darrun-Nadwa. Ia sedang memimpin
rapat di sana dan tidak mungkin bisa meninggalkan kota.
Sungguh keadaan yang tidak diduga-duga. Akhirnya,
bersama dengan Maisaroh, ia nekat membawa anaknya ke
permukiman para tabib. Perjuangan ini tentu saja penuh
kepedihan dan kekhawatiran. Bagaimana tidak, bagi
seorang wanita, perjalanan tengah malam di Mekah tentu
sangat membahayakan keselamatan. Peristiwa ini akan
memberikan pelajaran tentang betapa susah dan berbahaya
berjalan di tengah-tengah malam bagi seorang ibu yang
hanya ditemani pelayan wanitanya sambil mendekap eraterat anaknya yang sedang sekarat.
Bersama dengan kedua wanita ini tergambar suasana
tengah kota yang begitu mencekam. Kota telah berubah
karena aktivitas para berandal yang mabuk di mana-mana
22
dan menyangka mereka berdua adalah wanita malam
sebagaimana umumnya. Para pemabuk itu menghalanghalangi perjalanan keduanya sambil mencerca dan menghina
dengan kata-kata kotor.
Dalam kepanikan dan ketakutan seperti itu, Khadijah
bertanya kepada Maisaroh, “Inikah Mekah yang selama ini
kita ketahui?”
Ya, seolah setiap mata sudah buta oleh malam dan
minuman keras yang diteguknya. Akal dan pikiran mereka
pun sudah tidak dapat berpikir dan digunakan.
Kedua wanita itu telah menjadi saksi kehidupan
masyarakat yang begitu rusak. Hampir di setiap sudut kota,
bahkan di tempat-tempat yang di waktu siang menjadi tempat
suci karena ada persembahan untuk para berhala mereka, di
malam harinya telah berubah sedemikian mencekam. Kota
begitu memilukan dengan jeritan tawa para wanita tuna
susila, wanita penghibur, dan para pemabuk. Kelam yang
gulita telah menjadi malam bagi orang-orang yang suka
melakukan tindak asusila, merampok, atau memaksa para
wanita untuk melakukan perbuatan dosa.
Dalam keadaan seperti inilah seorang laki-laki berbadan
besar, pemarah, dan sempoyongan karena mabuk telah
mencaci-maki Maisaroh seraya mencegatnya. Ia memegang
tangannya sembari menyeret tubuhnya. Tubuh kecil dan
kurus itu pun jatuh-bangun di atas jalanan. Karena tak kuat,
ia terpaksa mengeluarkan perhiasan emas yang dimilikinya
seraya berteriak, “Silakan ambil!”
Untunglah ada yang mendengarkan teriakannya.
Datanglah seorang penjaga patung-patung berhala.
23
_ Jalan Kepedihan
“Tidak tahukah kalian bahwa melakukan perjalanan
malam menyusuri jalanan ini akan sangat berbahaya bagi
wanita? Memang benar, mereka para lelaki telah melampaui
batas dalam perbuatan maksiatnya. Namun, kalian sungguh
nekat melakukan perjalanan malam tanpa didampingi
seorang lelaki!”
Kata-kata itu bagaikan batu yang dilemparkan sangat
keras dan mengenai kepala Ibunda Khadijah. Kata-kata itu
seperti menyindir dirinya. Seolah terlahir ke dunia sebagai
wanita merupakan sebuah kesalahan. Bahkan, pemahaman
seperti ini pun berarti telah ikut mendukung kesalahan itu
sendiri, berarti bekerja sama dengan orang-orang pembuat
kesalahan?
Berjalan di malam hari, benarkah merupakan perbuatan
yang membuatnya berhak mendapatkan segala macam
penghinaan dan hujatan?
Saat Khadijah sampai ke pemukiman para tabib setelah
menempuh perjalanan jauh dengan terus berlari cepat dan
kedua tangan gemetar, waktu telah menjelang subuh. Ketika
sang tabib mendengarkan apa yang telah dialaminya, dalam
satu sisi ia sangat tercengang. Ia terus mendengarkan kisah
yang dialami kedua wanita itu sambil mengobati sang anak
dengan air panas berisi ramuan. Sesekali ia menyela dan
berkata, “Syukurlah Anda sekalian adalah orang-orang ahli
bersedekah. Mujur sekali Anda sekalian. Penjaga berhala
itu pasti telah meminum air susu yang halal dari ibunya
sehingga dirinya tidak sampai menyerahkan Anda sekalian
ke tangan para lelaki pemabuk.”
Mendengarkan kata-kata sang tabib, Maisaroh menyela,
“Semua kemaksiatan ini terjadi di depan mata Latta dan
24
Uzza. Kalau tidak kepada penjaga patung-patung itu, lalu
kepada siapa lagi saya akan meminta pertolongan.”
Sang tabib yang sudah berusia tua itu meminumkan obat
dan membalut anak yang sakit itu dengan handuk basah
sembari tersenyum.
“Bukankah di situlah ironinya, Maisaroh? Semua
kemaksiatan itu dilakukan di depan mata Latta dan Uzza.
Namun, tuhan-tuhan itu sama sekali tidak berbuat apaapa meski sebatas berkata. Meski demikian, menurut saya,
berhala tanah liat yang disembah istri saya jauh lebih banyak
berfungsi dan berguna daripada Latta dan Uzza. Di samping
dapat Anda bawa ke mana-mana, ia juga dapat Anda bawa
ketika mengadakan perjalanan malam. Kalau ada para
pemabuk, Anda dapat gunakan untuk memukul mereka.”
Tabib adalah seorang yang mampu menggunakan logika,
di samping juga membuat kata-kata sindiran penuh makna.
Saat berkata-kata, ia kerap tertawa terpingkal-pingkal.
Istrinya sama sekali tidak menyukai sikapnya itu. Segera
saja sang istri mengambil berhala yang terbuat dari tanah
liat tungku dapur itu dan kemudian diletakkan di samping
pintu masuk rumahnya, yaitu ke tempat yang dia anggap
lebih layak untuknya.
Kemudian, sang istri berkata, “Jangan sampai Anda
dengarkan apa yang disampaikan lelaki lansia ini. Usia telah
membuatnya kehilangan ingatan,” gerutu istrinya.
“Selama 50 tahun terakhir ini hidupku berlalu untuk
mengobati orang-orang sakit, mengapa engkau mesti marah
kepadaku?” kata tabib itu kepada istrinya. “Seandainya
engkau harus marah, marahlah kepada berhala yang sama
sekali tidak mendatangkan manfaat maupun kerugian sama
sekali,” lanjutnya menumpahkan semua isi hatinya.
25
_ Jalan Kepedihan
Saat hari sudah menjelang pagi, ketika mereka kembali
ke rumahnya, sisa perbuatan nista yang menodai malamnya
kota perlahan mulai menghilang.
Perjalanan satu malam itu membuat Khadijah dan
Maisaroh mendapatkan pelajaran yang sangat penting:
orang-orang Mekah hanya mau mendengarkan suara kaum
laki-laki dan berhala–berhala yang disembah untuk mereka.
Seolah kota Mekah telah menjadi kotanya berhala kaum
lelaki.
Pengalaman pahit yang dialami Khadijah malam itu telah
menggerakkan hatinya mengenai kebutuhannya mencari
pendamping hidup lagi. Mulailah ia kembali memikirkan
ulang lamaran-lamaran yang pernah didengar melalui
pelayan-pelayannya beberapa tahun lalu.
Setelah bermusyawarah dengan keluarga dan kerabatnya,
ia memutuskan kembali membina rumah tangga dengan
seorang bangsawan terkenal bernama Atik bin Aziz.
Meski pada dua tahun awal terbina keluarga yang bahagia
dan bahkan dapat dikaruniai seorang putri, Atik adalah
tipe laki-laki Mekah yang keras. Kekerasannya tidak hanya
ditunjukkan kepada para budak dan pekerjanya, melainkan
juga kepada anggota keluarga. Sering kali, terlebih di malammalam hari saat dirinya mabuk, anak-anak maupun orang
tua tidak luput dari cercaan, bentakan, dan luapan kata-kata
kasarnya. Dalam keadaan seperti itu, harapan awal Khadijah
untuk mendapatkan seorang pendamping hidup agar dapat
memikul amanah kedua anaknya justru mulai merindukan
kembali masa-masa sepeninggal suaminya, setidaknya untuk
melindungi anak-anaknya dari amukan ayah tirinya.
26
om
Setiap kali Atik kembali ke rumah, ia sembunyikan anakanaknya ke kamar belakang. Keadaan seperti ini semakin
menjadi-jadi, bahkan hingga pada akhir-akhir ini, seakan
mengambil napas pun sudah dipermasalahkan seolah
dirinya sudah menjadi beban bagi suaminya. Bukan hanya
anaknya yang laki-laki saja yang sering menjadi sasaran, bayi
wanitanya pun terkena dampaknya. Jika sampai ada anaknya
yang menangis, dipastikan suasana rumah seperti kiamat.
Seisi rumah pun pecah dan berantakan.
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
Setelah bermusyawarah dengan
keluarga dan kerabatnya, ia
memutuskan kembali membina rumah
tangga dengan seorang bangsawan
terkenal bernama Atik bin Aziz.
Bagi Atik, keluarga adalah beban yang teramat berat.
Atik adalah tipe lelaki yang tidak pernah puas meski telah
melakukan pemaksaan kepada orang lain. Istrinya maupun
para pelayan yang sering berganti-ganti juga tidak dapat
memberikan kebahagiaan yang dicarinya. Setiap hari baru,
setelah semalaman memuaskan dirinya dengan bermabukmabukan, merupakan hari yang seolah telah ditakdirkan
berlalu dengan kepedihan bagi sang istri dan keluarganya.
Setiap hari yang berlalu meninggalkan pula kekurangan dan
rumpang yang baru.
27
_ Jalan Kepedihan
Semua telah ia miliki apa yang dapat dimilikinya, namun
tetap saja dirinya tidak bahagia.
“Latta, Uzza, Manna, Hubal, mengapa engkau tidak
memberikan kebahagiaan kepadaku. Untuk apa saja
persembahan, sedekah, dan kurban yang telah aku berikan
kepadamu?” umpatnya seraya terus mabuk dan mabuk.
Apa lagi yang akan terjadi pada Khadijah, anak Khuwaylid
itu!?
Mengapa wanita sombong dan tidak tahu diri ini sering
iba saat memandangi wajahnya, seolah dirinya setangguh
gunung sehingga selalu membuatnya seperti terhimpit.
Apa saja yang telah dilakukannya tetap tidak pernah dapat
menindas wanita mulia itu. Tak pernah ia dapat menemukan
cara untuk mengekangnya. Seandainya sekali saja ia
mengikuti sikapnya untuk menjawab kata-katanya, mungkin
hal itu akan membuat dirinya puas. Namun, Khadijah tetap
berdiam diri? Diam seribu kata, tanpa pernah sekali pun
berucap sambil menutup keras pintu seraya menyendiri
di kamar? Meski banyak teman wanita dan para pelayan
memadati rumahnya, bahkan dalam beberapa malam, meski
dirinya tidak pulang ke rumah, Khadijah tetap berdiam
diri dan bergeming. Tidak pernah sekalipun dirinya ikut
menghadiri jamuan pesta minuman keras di taman depan
halaman rumahnya. Seperti apa pun sikap sang suami
yang melampaui batas dalam pemuasan kesenangan dan
kenyamanan, Khadijah tetap bersikap dewasa. Ia tetap diam
dan diam….
“Bukan banyak bicara, melainkan diamlah yang ditakuti
dari seorang wanita!”
28
Dalam diam seorang wanita terdapat langkah aktif
bagaikan detak butir jam pasir. Namun, setiap kali jam pasir
yang ada di tangan dirusak olehnya, Khadijah justru malah
menatanya kembali seluruh kehidupan di masa lalunya
dengan penuh kesabaran. Setiap butir pasir laksana guru
yang bijaksana terhadap setiap menit yang pedih, seraya
menuturkan kalimat untuk tetap setia. Dalam diam seorang
wanita, ia bicara dengan jam pasir yang ada di dalamnya.
Dengannya, ia mengajarkan kehidupan kaum wanita di
masa-masa sebelumnya.
Diam, bagi seorang wanita, bukanlah tanpa arti.
Sebaliknya, ia merupakan aksi ketidaktaatan seorang umat
karena sebentar lagi akan unjuk bicara dan memulai sebuah
perubahan.
“Cukup!” kata Khadijah pada suatu pagi tanpa sedikit
marah, tanpa berteriak. “Aku pergi sekarang…”
Hanya sebatas itu saja.
Bersama dengan dua putra dan bayinya, serta ditemani
Maisaroh sang pelayan, ia pergi meninggalkan rumah Atik
tanpa menimbulkan keretakan, meski setitik jarum.
Kepergiannya adalah cara bicara Khadijah.
Bagi Atik, cara seperti itu telah membuatnya sesak napas.
Dadanya bagai tertindih gunung besar.
Ya, memang begitu, tentu saja. Cerainya seorang wanita
dari suami sama sekali tidak mungkin terjadi. Seluruh
Mekah tentu akan guncang sekeras-kerasnya. Khadijah
binti Khuwaylid dengan dua hal warisan mendiang sang
ayah, bangun di awal waktu dan teguh dalam kesabaran
yang telah menjadi pijakannya, membuat seluruh Mekah
terheran-heran sekaligus kagum dengan tindakannya.
29
_ Jalan Kepedihan
Tak ada satu kata pun yang akan menyalahkannya.
Anak-anaknya.
Tentu saja anak-anak adalah bagian dari belahan jiwanya
yang teguh. Seluruh cerita yang akan diterangkan dalam
perjalanan waktu menunjukkan bahwa putra-putranya tetap
mewarisi jiwa ibundanya. Setelah saat ini, kehidupan adalah
tiga tambah satu bagi Khadijah. Dia bagaikan planet tempat
anak-anaknya terikat dengannya dan terus berputar laksana
bintangnya. Tanpa mereka, kehidupannya ibarat bintang
jatuh. Tidak, ia tidak akan terjatuh. Setidaknya, ia akan tetap
bertahan hidup demi anak-anaknya seraya terus bercahaya.
“Cukup!” kata Khadijah pada suatu
pagi tanpa sedikit marah, tanpa berteriak.
“Aku pergi sekarang..
Hanya sebatas itu saja.
Bersama dengan dua putra dan bayinya,
serta ditemani Maisaroh sang pelayan,
ia pergi meninggalkan rumah Atik tanpa
menimbulkan keretakan, meski setitik jarum.
30
Anak-anaknya adalah belahan jiwanya, pewaris jatuh
bangun kehidupannya, penerus perjuangan hidupnya yang
telah menjadi belahan jiwanya.
Ia tak pernah berdebat dengan siapapun.
Ia cukup menyiapkan anak-anaknya seraya pergi.
Entah sudah berapa tahun berlalu sejak kejadian itu?
Berapa tahun sudah ia meninggalkan pernikahannya,
menutup pintu rumahnya?
Entah enam atau tujuh tahunkah?
“Setiap enam tahun sekali nasib manusia akan berganti.”
Begitulah pepatah wanita Arab berbunyi, yang telah
membuat Khadijah tersenyum saat merenungkannya.
“Mengapa tidak?” kata Khadijah kepada dirinya.
Tiba-tiba, akhir-akhir ini ia mendapati dalam dirinya
tebersit keinginan kembali membina rumah tangga. Entah
dari mana asal-usul pemikiran tentang perubahan nasib dan
menikah ini?
Senang sekali dirinya dengan rumah warisan mendiang
ayahandanya, apalagi dengan balkon di lantai dua yang
terhubungkan dengan tangga kayu untuk naik ke sana.
Khadijah tertegun di keheningan malam. Seusai semua
urusannya, setelah menidurkan anak-anak, sehabis para
tamu diberikan jamuan dan disiapkan segala perlengkapan
tidurnya, serta catatan akuntansi hari itu selesai ditulis,
bermulalah saat-saatnya sendiri, saat-saat sunyi yang sangat
ia sukai.
Langit malam sungguh terang dengan sinar cahaya
31
_ Jalan Kepedihan
rembulan berhias kerlap-kerlip bintang. Di atas matras
buatan India yang dihamparkan di teras, Khadijah
merebahkan badan di akhir-akhir waktu malam. Kantuk dan
kelelahan seharian dengan lembut seolah memijatnya dalam
tidur lelap.
Khadijah binti Khuwaylid sedikit tidur. Nasihat
ayahandanya telah membuatnya enggan terhadap kantuk,
terutama pada saat-saat ini. Sebagaimana ia paham benar
bahwa rajin adalah sifat mulia kaum ibu, sementara kantuk
akan mengurangi usianya. Kemuliaan wanita terlihat pada
bangun awalnya. Demikian petuah ratu padang pasir.
Baik yang tinggal di rumah maupun yang berada di tendatenda, setiap wanita padang pasir harus berlomba dengan
terbit mentari. Sebelum hari terpancang di atas langit, semua
langkah harus sudah terayun. Semua persiapan harus sudah
rapi. Atau kalau tidak, sampai datang waktu sebelum masuk
asar, yang disebut waktu qailulah, waktu ketika semua orang
harus tidur karena terik mentari yang menyengat, seorang
wanita harus mati-matian menyelesaikan urusannya.
Meski para generasi pendahulu sering mengatakan
bahwa tidur adalah saudaranya kematian, embusan
lembut ajakannya seolah belaian lembut bidadari bagi
para kekasihnya. Dalam catatan almanak padang pasir,
kebanyakan orang yang jatuh cinta, yang punya banyak
utang, dan yang sedang menderita selalu berlari mengejar
tidur.
Kantuk, bagi Khadijah, adalah teman wanita yang sudah
cukup usia untuk berbagi rahasia wanita. Apalagi, pada
masa-masa ini, bagi wanita yang telah mencapai usia 30
tahun, menapaki hari apa yang dilihatnya dalam mimpi
32
merupakan penghormatan tersendiri. Bersama dengan
saudara kematian, apalagi jika ia seorang wanita, mengapa
tidak diajaknya turut bicara? Terlebih tempat-tempat
tersembunyi di balik gumpalan awan mimpi tidak hanya
menyimpan cerita-cerita kenangan semasa kecil, tapi juga
akan memberikan peta perjalanan menuju kehidupan tanpa
akhir yang akan membawanya mengunjungi ruangan dan
kamar-kamarnya, bahkan ke koridor-koridor yang akan
mengantarkannya pada perjalanan baru.
“Saat masih muda, seorang manusia tidak memiliki
banyak waktu untuk memandangi langit,” kata Khadijah
begitu mendalam. Bagi seorang wanita yang telah merasakan
keindahan kehidupan ini, minimal sebanyak kepedihan
dan ketakutannya, tentu saja ia akan menyarankan kepada
generasi muda setelahnya untuk memberikan porsi
tersendiri dalam memandangi dan merenungi langit. Tak
heran jika Khadijah sangat mencintai terasnya.
Teras adalah tempat antara langit dan bumi, ketika
segala harta benda dan kekayaan duniawi ia sejajarkan di
bawah telapak kaki. Kini, ia mulai berharap pada lintasan
takdir langit yang belum pernah terjamah olehnya. Khadijah
mungkin janda bagi alam dunia, namun ia adalah gadis muda
belia yang masih belum terungkap tabir wajahnya.
Khadijah tak mendamba perhiasan-perhiasan indah
yang dibawa para saudagar yang baru saja kembali dari
berjualan di negeri jauh. Bukan pula cincin permata, kalung
dari berlian dan mutiara, baju-baju lembut dari bulu-bulu
burung tuti, serta rempah-rempah berkhasiat dan penyedap
seribu rasa yang dibawa dari dataran India. Bukan, bukan
semua itu yang diinginkannya! Bukan pula kuda arab yang
33
_ Jalan Kepedihan
paling cerdik, bukan pula biri-biri dan kambing pilihan
atau rerimbunan kebun kurma yang memenuhi padang
Hudaibiyah. Pandangan putri Khuwaylid jauh melebihi
harta benda yang dimilikinya.
Akhir-akhir ini, para pelayan sering mendapati tuan
putrinya sedang merenungi langit dari balkon yang terdapat
di lantai dua rumah atau di teras yang terletak tepat di
atasnya. Pelayan dan juga teman penjaga rahasianya,
Maisaroh, suatu hari pernah tanpa sengaja bicara, “Pastilah
setiap wanita akan menantikan harapan barunya bagi yang
mampu mencapai usia empat puluh satu tahun.”
Tentu saja putri Khuwaylid tahu dari mana asal suara
itu. Asal suara itu adalah kepedihan dari kerunyaman hati,
serangkaian kehidupannya sebagai wanita yang ditatanya
dengan penuh kehati-hatian yang ia bungkam tanpa sepatah
kata, yang ia lewatkan dengan setengah hati atau bahkan tak
pernah dilewati, dan yang tidak akan pernah diperbarui.
Semua itu terpatri rapat bagai goresan-goresan di sepucuk
surat yang direkat rapi dengan lilin. Khadijah ibarat sepucuk
surat yang terbungkus dengan begitu banyak luka.
Karena berita yang dinanti-nantikannya tidak juga kunjung
datang, ia pun rela pada takdir untuk mempelajarinya dari
bangku sekolah tersulit: kantuk dan mimpi. Gurunya adalah
seorang wanita tua yang juga disebut sebagai ‘saudara tidur’.
Dan wanita ini tidak pernah bicara selain dengan bahasa
lisannya. Mungkin karena inilah ia percaya mimpinya
seperti segulung surat dalam selongsong yang terbuat dari
intan dan diikat di kaki merpati pos untuk dibawanya.
Khadijah, meski tidak diungkapkan, sejatinya sedang
menantikan berita. Meski menurut pandangan Maisaroh
34
tidur adalah pembunuh waktu, Khadijah menganggap
tidur adalah teman yang bisa diajak untuk mengungkap isi
hatinya.
“Tuan Putri, tidak mungkin menempuh jalan dengan
tidur,” katanya singkat seraya terus berdiam diri.
Akhir-akhir ini, para pelayan sering
mendapati tuan putrinya sedang merenungi
langit dari balkon yang terdapat di lantai
dua rumah atau di teras yang terletak
tepat di atasnya. Pelayan dan juga
teman penjaga rahasianya, Maisaroh,
suatu hari pernah tanpa sengaja bicara,
“Pastilah setiap wanita akan menantikan
harapan barunya bagi yang mampu
mencapai usia empat puluh satu tahun.”
Hampir tidak ada lagi cara yang belum ditempuh oleh
pelayannya yang sangat setia itu demi membuat tuan
putrinya tersenyum, meski hanya sesekali. Kurangkah ia
mengundang teman-teman yang ahli membaca puisi-puisi
dan memainkan alat-alat musik dari Barat. Mungkinkah
dirinya belum menerangkan kisah-kisah baru yang
dibawa para saudagar yang berdagang di Romawi. Belum
35
_ Jalan Kepedihan
pernahkah dirinya mengundang para ahli sulap ajam yang
mempertunjukkan atraksi makan api, dan –naudzubillah–
haruskah dirinya mengundang para ahli sihir, ahli nujum,
serta para peramal.
Sungguh, tidak ada lagi ahli atau orang terkenal yang
belum ia mintai pertolongan demi membuat tuan putrinya
tersenyum. Sayang, mereka sama sekali tidak mampu!
Khadijah masih bersedih hati, belum tenteram perasaannya
dan masih pucat wajahnya.
Pergantian hari hanya akan membuat keadaan Khadijah
semakin bersedih hati. Diamnya mengisyaratkan bahwa
dirinya memang ingin menyendiri.
Selama beberapa malam, putri Khuwaylid itu selalu
menjumpai mimpi yang sama. Ia dapati dirinya memandangi
tetesan air yang jatuh ke tengah-tengah samudra. Entah
bagaimana, tiba-tiba munculah wujud seperti Aladin dari
sana. Badannya besar dan menjulang. Awalnya, ia merasa
takut. Namun, setelah beberapa lama, sosok itu semakin
mendekatinya dan seolah mampu mengembuskan udara
kasih sayang ke dalam jiwanya. Khadijah pun menjadi iba.
Lama ia tatapi wajahnya. Ia terlihat begitu sedih. Nyata
dari raut mukanya kalau sosok itu sedang kesakitan. Dari
gerakan tubuhnya, ia mengisyaratkan memohon bantuan
kepadanya. Dengan memelas, ia memberi isyarat kepada
Khadijah untuk diajak pergi ke suatu tempat. Setelah
itulah perjalanan panjang bersamanya dimulai. Ia di depan,
sementara Khadijah di belakangnya. Bersamanya, Khadijah
terus berlari dan berlari. Tanpa disadari, ia bahkan mampu
melewati lautan api dengan melompat bagai sambaran kilat.
Kilatan-kilatan kecepatan itu memercikkan cahaya panjang,
36
menjulang bahkan sampai ke rasi bintang Banatunnaas.
Demikianlah, setiap benda yang terkena percikannya,
dalam sekejap bermandikan cahaya. Dari sanalah tampak
gambaran berbagai kota dan negara. Namun, setelah itu
keadaan menjadi dingin dalam seketika. Setiap tempat
yang ia pijak terasa dingin bagai aliran sungai di musim
salju. Di sanalah tempat mengalirnya berbagai anak sungai
menuju suatu muara yang penuh dengan ikan. Di sana juga
terdapat rimbunan tumbuhan dengan warna-warni bunga
bermekaran dan buah-buahan yang menyegarkan. Entah
mengapa, meski tidak pernah bisa berenang, dengan tenang
ia bisa melewati aliran sungai yang seperti telaga itu.
Mimpi ini dialaminya selama tiga hari berturut-turut.
Pada hari ketiga, ia dapati sosok raksasa dan menakutkan itu
tiba-tiba memandanginya dalam wajah yang sedih, seolah
memelas kepada tuannya. Saat itulah ia menyadari kalau
dirinya telah berada di Pulau Salam yang pernah disebutsebut oleh para penyair dalam kitab-kitab lama.
Khadijah mendekati raksasa itu. Ia masih memohon dan
seperti berada dalam kesakitan. Setelah beberapa lama, ia
baru bisa berucap satu kata. Saat itulah tiba-tiba berembus
udara yang seolah tertiup dari ketinggian Izam di Yastrib.
Begitu lembut embusan itu hingga sekujur tubuhnya
terguyur dalam kesegaran. Namun, sosok mirip Aladin itu
masih juga bersedih, tampak seperti ingin berpamitan.
Pulau Salam dipenuhi pepohonan anam di bagian tengah.
Di sanalah ia mendapati sebuah istana yang sangat megah.
Atapnya terbuat dari perak dan tembaga. Dindingnya
tercipta dari mutiara, sementara tiangnya dari zamrud. Saat
itulah Khadijah sadar mengenai alasan sosok raksasa itu
yang sangat ingin membawanya ke tempat tersebut.
37
_ Jalan Kepedihan
Khadijah menjadi semakin paham dengan makna
tersirat dari mimpinya. Ia pun tertegun. Kepulauan Salam
dengan bahasa lisannya yang seperti melodi embusan angin
mengatakan kepadanya bahwa semua ini tak lain dan tak
bukan adalah kisah cinta.
Kepulauan itu kosong tanpa penghuni. Sama halnya
dengan hati Khadijah.
Namun, masih dalam keadaan samar, entah dirinya
tahu atau tidak, mimpi itu adalah pembiasaan dari cermin
hatinya. Khadijah lalu terbangun dalam keadaan terengahengah.
Ia dapati Maisaroh sedang berdiri menunggunya sambil
memegangi gayung perak dengan kedua tangannya yang
lemah.
“Tuan Putri, apakah Anda bermimpi lagi?”
Segera Maisaroh mendekatinya untuk mengusap
dahi Khadijah yang basah oleh linangan keringat, sambil
kemudian meminumkan segelas air dari sumur Abwa.
Khadijah tersenyum memandangi teman tempat berbagi
rahasia itu.
“Aku baru kembali dari Pulau Salam.”
“Apakah yang Tuan Putri maksudkan itu adalah ‘kembali
dari Jaziratul Salam’, tempat kediaman sang kekasih?”
“Aku kira Pulau Salam hanya ada dalam khayalan para
penyair yang tidak ada kenyataannya.”
“Apakah sebenarnya ada, Tuan Putri?”
“Saat kita dalam keadaan terjaga, dunia tempat kita hidup
ini terlihat selalu sama, Maisaroh. Namun, saat di dalam
mimpi, masing-masing dari kita akan mendapati alam lain
yang berbeda.”
38
“Semua yang Tuan Putri tuturkan itu mirip dengan apa
yang diucapkan kemenakan Anda, Waraqah. Sebenarnya,
saya tidak bermaksud memotong cerita Tuan Putri, namun
sekarang ada tamu yang datang dari Kinanah dan sedang
menunggu di peLattaran taman rumah tamu.”
Mimpi ini dialaminya selama
tiga hari berturut-turut. Pada
hari ketiga, ia dapati sosok raksasa
dan menakutkan itu tiba-tiba
memandanginya dalam wajah yang
sedih, seolah memelas kepada tuannya.
Dari Kinanah?
Duhai Allah, Kinanah... benarkah, Maisaroh?
Hati Khadijah merasa sangat senang berbalut kesedihan
dalam seketika. Dengan segera ia bersiap-siap untuk
menemui para tamu. Saat turun ke peLattaran taman, ia
dapati satu rombongan kaum hawa yang datang dari keluarga
Kinanah sedang menunggunya. Khadijah lalu menyalami
dan memeluki mereka satu per satu. Saat mendapati seorang
bernama Asma di antara mereka, sahabat dekat yang
beberapa waktu lalu telah kehilangan ibundanya, dari hati
Khadijah terluap rasa berkabung. Air mata pun mengalir. Ia
tak kuasa menahan tangis.
39
_ Jalan Kepedihan
Bagi wanita, setua dan sekuat apa pun, kehilangan
seorang ibu adalah sebuah hal yang teramat menyedihkan.
Lima tahun yang lalu, Khadijah berturut-turut kehilangan
ayahanda dan ibundanya. Hal itulah yang membuat
dirinya memeluk Asma erat-erat, seolah anak kecil yang
masih berusia belia. Saat membelai rambut Asma yang
terurai dengan kelembutan tangan seorang ibu, Khadijah
menuturkan syair yang sering didengarnya di masa kecil.
Anak wanita kecil, di mana kakakmu, sudah
datangkah?
Datang, datang. Kakakku sudah datang. Apa yang
dibawanya?
Mutiara dan marjan
Untuk siapa?
Untuk Hindun dan Zaid
Untuk siapa lagi?
Untuk tupai yang di pohon sana?
Pohonnya untuk apa?
Dipotong dengan kapak
Kapaknya di mana?
Jatuh ke air
Airnya di mana?
Diminum unta
Untanya di mana?
Naik ke gunung
Gunungnya di mana?
Terbakar jadi abu…
40
Syair anak-anak ini sudah cukup membuat para tamu
berlinangan air mata. Kaum ibu Bani Kinanah memang
berjiwa lembut. Mereka adalah kaum yang saat Perang Fijar
sangat terkenal karena kehilangan anak-cucu dan suaminya,
meski dalam bulan haram dilarang berperang dan meski
orang-orang Mekah sudah mengingatkan mereka. Karena
embusan itnah dari orang-orang Hawazin, mereka terpaksa
terjun ke dalam perang yang berkobar. Dalam peperangan itu,
Bani Kinanah ikut berperang melawan pasukan Hawazin.
Demikianlah, para tamu itu kebanyakan adalah mereka
yang kehilangan suami karena ikut berperang membela
keluarga Khuwaylid. Masing-masing dari mereka juga
mengenang putra-putra Khuwaylid yang wafat dalam
peperangan saat memandangi wajah Ibunda Khadijah.
Demikian pula saat Khadijah memandangi wajah mereka,
teringat olehnya tempat paman mereka, putra-putra mereka,
seperti Tuwaylib, Naufal, Habib, dan saudara laki-lakinya,
Hizam.
Ah, perang.
Sungguh, para wanitalah yang paling dibuat sedih
olehnya.
Lebih dari itu, pertempuran Fijar yang kedua jauh lebih
membuat para tamu wanita yang sedang duduk-duduk di
sofa menjadi sedemikian marah. Dalam pertempuran yang
berlangsung dalam kurun waktu empat tahun, Bani Kinanah
bersekutu dengan Mekah untuk berperang melawan Bani
Aylan. Dalam pertempuran yang sangat pedih itu, belum
juga jasad dimakamkan, sudah berdatangan lagi korban
yang baru. Belum juga air mata kepedihan mengering,
sudah tiba kembali berita duka yang semakin membuat
41
_ Jalan Kepedihan
linangan air mata menderas. Dalam pertempuran Fijar yang
kedua ini, ayahanda Khadijah meninggal dunia. Sejak masamasa pertempuran itulah ibunya membawa pulang anakanaknya dalam keadaan tanpa ayahandanya. Peperangan
Fijar yang berlangsung secara silih berganti telah membuat
Khadijah kehilangan paman-pamannya, ayahandanya, dan
saudaranya.
Khadijah melewati hari-hari penuh penderitaan itu
hingga ke hari ini. Saat ibunya menemui kesedihan yang
datang silih berganti dan membuatnya tidak kuat menahan
kepedihan itu, rumah Khuwaylid telah mengantarkan
Khadijah menjadi ibu dan juga ayah bagi anak-anaknya.
Kini, para tamu yang juga membawa keluarga ini
menjadi sangat bersuka cita sehingga kesenangan mereka
itu menjadikan suasana ikut gembira pula. Bahkan, dalam
waktu bersamaan, semua orang yang telah wafat pun seolah
memenuhi seisi rumah dalam suasana riang dan penuh
kegembiraan. Dalam keadaan itulah, sekali lagi, Khadijah
memeluk Asma.
“Seolah ayah, ibu, dan saudaraku yang kesatria, Hizam,
datang mengunjungi rumah ini,” katanya.
Di wajahnya lalu terpancar keriangan lewat bibir yang
tersenyum, hingga membuat dirinya bingung karena
tidak tahu suguhan apa yang akan diberikan kepada para
tamunya.
Seakan rumah Khuwaylid tak akan mau melepas
kedatangan mereka. Dan memang, kaum wanita dari
Bani Kinanah juga tidak berhasrat untuk segera pergi.
Mereka tinggal di rumah yang senang menjamu tamu ini
42
selama satu minggu. Di sini mereka dapat menyempatkan
diri untuk saling mengenang masa lalu, di samping juga
untuk menyampaikan keinginan mereka memperkenalkan
Khadijah.
Tentu saja Khadijah tahu kalau mereka mencintai dirinya
seperti anak sendiri…
Terhadap kebaikan mereka, Khadijah tidak lupa
menghormatinya dengan memberikan bermacam-macam
hadiah tanpa mengurangi besarnya kenangan. Persahabatan
bukanlah suatu hal yang bisa dibeli maupun digantikan,
meski dengan bekerja. Dalam pandangannya, para wanita
sahabat sehatinya itu adalah warisan orang tua yang layak
untuk dihormati dan dimuliakan.
43
Tabir Mimpi
I
a tersadar dari mimpinya dengan tiba-tiba.
Dadanya penuh sesak.
Napasnya memburu.
‘Ternyata hanya mimpi,” keluhnya seolah-olah seorang
yang kehilangan kesempatan yang sudah ada di tangannya. Ia
gusar bagaikan seorang raja yang kehilangan mahkotanya.
Seandainya saja aku tidak bangun. Ah, lihatlah, badannya
masih sama. Tempat tidurnya juga sama. Ia kemudian bangun
seraya membuka gorden untuk melihat dari jendela. Ah...
lihatlah, kotanya juga masih sama. Terbenam segalanya ke
dalamnya. Hancur, dunia roboh, dari pandangan matanya.
Namun, dari sedikit celah yang
terbuka, ia dapati mentari belum juga
terbit. Padahal, dalam mimpi yang
baru saja dialami, ia dapati mentari
berada di dalam rumahnya.
“Pergi ke manakah mentari itu?”
44
Saat terbangun, Khadijah merasa terjatuh dari ketinggian
langit sana. Ruhnya begitu keras kembali lagi ke badannya
sehingga dirinya sangat kaget, seolah ia adalah manusia
pertama yang diturunkan dari langit ke tempat tidurnya.
Jantungnya masih berdetak kencang. Ia masih tidak sadarkan
diri. Benarkah ia sudah bangun dari tidurnya?
Mimpi yang luar biasa itu seperti sebuah kehidupan
yang sesungguhnya, kehidupan yang ada di dalam tidurnya.
Namun, ia terbangun sudah, bagaikan belati yang telah
kembali dimasukkan ke dalam rangka.
Dalam mimpi yang ia jumpai menjelang pagi ini terdapat
kata-kata yang sangat ia mengerti sejak masa kecil.
Meski terbangun, ia merasa seolah masih dalam dunia
mimpi. Saat melangkah menuju jendela, ia tidak yakin
kalau kakinya menapak di lantai. Indra perasanya seolaholah begitu peka bagaikan cakar-cakar tajam seekor kucing
yang menancap seraya menyibak perlahan gorden jendela.
Namun, dari sedikit celah yang terbuka, ia dapati mentari
belum juga terbit. Padahal, dalam mimpi yang baru saja
dialami, ia dapati mentari berada di dalam rumahnya.
“Pergi ke manakah mentari itu?”
Mimpi yang dialami ibu muda itu sebenarnya merupakan
perjalanan ke alam angkasa. Mulanya, ia mendapati
bintang-bintang yang bersinar bagaikan kilatan perhiasan
di atas langit yang biru kelam. Di saat merasakan seolah
dirinya terbang atau terus berjalan di ketinggian udara, ia
menyaksikan gugusan planet-planet di angkasa. Ia berpikir
untuk menembus gugusan galaksi yang penuh dengan
bintang-gemintang itu. Terbang dan terus terbang ke
angkasa. Kemudian, ia mendapati mentari dalam lingkaran
45
_ Tabir Mimpi
cahayanya. Ia termenung di sana. Tertegun memandangi
indahnya pancaran cahaya merasuk ke dalam tubuh,
menerangi hatinya.
Sesampai di pusat sang surya, entah mengapa
pengembaraannya terhenti. Mimpi yang dilihatnya telah
menjadikan jiwanya merasakan sebuah perjumpaan.
Bahkan, keindahan rasa perjumpaan itu meluap-luap setelah
sekian lama menanti. Pancaran cahaya mentari semakin
deras menyinari badannya yang seolah tembus cahaya,
bagai cahaya yang terbiaskan dari prisma dan kemudian
dipancarkan kembali dalam aneka warna. Pembiasan cahaya
yang sedemikian luar biasa ini, dengan cahaya-cahaya yang
saling berbenturan satu sama lain membentuk gugusan
spiral, telah membuai hatinya ke dalam luapan kebahagiaan
yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Semua warna yang dikenal maupun tidak ia dapati ada
di sana, satu per satu memancar ke dalam ruhnya. Semua
jenis warna yang ada sejak awal dan akhirnya jagat raya
ini bagaikan huruf-huruf yang ditulis di papan tulis untuk
diajarkan kepada seorang anak yang sedang belajar membaca
dan menulis. Semuanya, satu per satu, menjelaskan diri
kepadanya. Mentari yang terlihat di dalam mimpinya itu
pada mulanya menuliskan huruf dan kemudian kata kepada
Khadijah.
“Di langit ataukah di bumi aku ini?”
Ia merasakan dirinya seolah sedang berenang dalam
ruang hampa udara yang terasa hangat. Angin lembut yang
bertiup di sela-sela jari-jemarinya menyapu rambutnya
dan seakan-akan seperti berada di dalam kolam sauna.
Tubuhnya dibasahi siraman aroma dari kuncup bungabungaan dan daun wangi-wangian. Cangkir-cangkir terisi
46
penuh minuman yang paling disukainya telah tersedia
di sampingnya. Di beberapa mangkuk terdapat kurma,
sementara di tempat saji lain tersedia kismis, daun mint, dan
segenggam biji gandum. Warna-warni hidangan minuman
pun memberikan aroma menyengat, membawa Khadijah
ke dalam keadaan mabuk, seakan-akan semua minuman ini
dihidangkan kepadanya sebagai tamu khususnya. Mentari
yang disuguhkan penuh dengan penghormatan dan
senyuman… sungguh mengherankan! Setiap jenis minuman
anggur yang tersaji dalam cangkir-cangkir zamrud itu
mengeluarkan aroma yang khas. Belum juga tercicipi oleh
lidah, rasanya sudah dapat dinikmati dalam angan-angan.
”Mungkinkah di dalam mimpi seseorang dapat merasakan
rasa dan aroma?” tanyanya pada diri sendiri.
“Lalu, apakah rahasia dari semua yang aku alami ini?”
Ibu muda ini juga telah bersumpah bahwa mimpinya telah
berbicara kepadanya. Namun, hal itu diucapkan dengan lidah
berbeda, bukan dalam bentuk suara. Mungkinkah seperti
tiupan aroma sebuah getaran pada setiap ritmenya. Sapaan
dan kalimat-kalimatnya sangat mirip dengan tarikan napas,
selalu mengalir lancar, tanpa terbentur suatu keadaan yang
seakan-akan memenuhi kedalaman akal dan hati. Mentari
telah terbit pada kening Khadijah, telah merasuk ke dalam
sanubarinya.
Seandainya kita perhatikan, mimpi tersebut sepertinya
tanpa udara. Di sekelilingnya sama sekali tidak ada yang lain
selain Khadijah.
47
Pasar
S
emua pelayan kaget dan bingung ketika mendapati Tuan
Putri mereka terburu-buru keluar dari pintu gerbang
tanpa menoleh atau bertutur sapa dengan mereka. Gerangan
apa yang terjadi dengan Tuan Putri? Mungkinkah dirinya
telah mendapat berita buruk di hari menjelang siang ini?
Adakah orang yang berani menyakiti hatinya yang sangat
mulia?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang timbul dari hati para
pelayan Khadijah saat mendapati dirinya berlari dengan
terburu-buru keluar dari rumah. Meski tidak berkata apaapa, semua orang telah dibuat bingung hingga berlarian tak
tentu arah. Beberapa pelayan ada yang berlari mengejarnya
seraya menunggu titah yang akan diberikan, sementara
sebagian lagi ada yang membukakan pintu, memasangkan
pelana kuda, menyiapkan tangga untuk naik kuda, serta ada
yang berlari untuk membukakan pintu gerbang.
Tanpa bicara, tanpa bertitah maupun memberi perintah,
bahkan tanpa menoleh kepada para pelayannya, Khadijah
dengan cepat melintasi taman bagian dalam dan kemudian
pergi. Semua orang kaget dengan keadaan di pagi itu,
termasuk kedua pelayannya yang membukakan pintu
gerbang kayu yang sudah berusia ratusan tahun lebih
namun belum pernah mendapati kegusaran seperti di pagi
menjelang siang itu. Belum juga para pembantunya tahu
hal yang telah membuat sang Tuan Putri terburu-buru,
48
Maisaroh dengan segera berlari di depan mereka untuk
mengejarnya. Beberapa saat kemudian, Maisaroh kembali
dengan wajah memberikan isyarat kalau sang Tuan Putri
sedang tidak butuh untuk dibantu maupun ditemani.
Melihat keadaannya yang seperti itu, semua pelayan tahu
kalau Khadijah binti Khuwaylid sedang mendapatkan berita
yang sangat penting, atau mungkin sedang dalam keadaan
yang sangat mendesak, sangat genting!
Seorang pelayan yang selalu siap sedia di samping kanan
pintu gerbang rumah segera menyiapkan kuda tergesit
dari Yaman dan dua unta untuk mengejar Tuan Putri. Ke
manakah tujuan kepergiannya ini, sampai-sampai teman
tempat berbagi rahasianya, Maisaroh, pun tidak diajak?
Pasti Tuan Putri sedang ingin sendiri.
Dan memang, pada akhir-akhir ini keadaan Tuan Putri
terlihat lain dari biasanya. Tidak ada seorang pun yang dapat
membuatnya bahagia, tidak ada yang mampu membuatnya
gembira. Ia hanya selalu bersedih, selalu berdiam diri, hingga
membuat semua pelayannya ikut pula merasakan.
Dengan terburu-buru, Khadijah menyusuri gang berliku.
Saat mencapai suatu tempat yang agak tinggi, ia seperti
melengserkan diri dengan cepat ke wilayah Pasar Ukaz.
Pasar besar yang terletak di antara rumah dua tingkat
milik keluarga Khuwaylid dan Bait al-Atik ini sebelumnya
adalah sebuah lembah. Namun, selang beberapa tahun
kemudian, tempat itu berubah menjadi permukiman dan
tempat pameran. Orang-orang dari kabilah sekitar datang
ke Bait al-Atik untuk menunaikan ibadah haji. Setelah dari
situ, mereka akan berbelanja tahunan. Nah, saat itulah
mereka biasanya membuat ulah. Masalah-masalah sepele
49
_ Pasar
seringkali dibesar-besarkan, bahkan sampai terjadi perang.
Oleh karena itu, atas keputusan tetua Mekah yang dipercaya,
mereka hanya boleh tinggal di Mekah dalam masa-masa
tertentu saja.
Peraturan seperti ini terus digencarkan, terutama setelah
kejadian ‘Tahun Gajah’. Saat terjadi peristiwa serangan
pasukan gajah, Khadijah putri Khuwaylid baru berusia lima
belasan tahun. Ia pun menyaksikan kekejaman Gubernur
Yaman yang menyerang Mekah dengan gajah-gajahnya.
Pengalaman ini tentu saja tidak akan pernah terlupakan.
Karena sedemikian luar biasa besarnya hingga tak mungkin
untuk menandinginya, para penduduk Mekah mengikuti
apa yang disarankan Abdul Muthalib, seorang yang selama
ini mereka percayai, untuk meninggalkan kota. Mereka
bermukim di perbukitan yang ada di sekitar Mekah. Awalnya,
para petinggi Arab yang tidak mau meninggalkan kota dan
memilih berperang kerena kesombongan mereka mau tidak
mau membenarkan Abdul Muthalib setelah melihat seluruh
pasukan gajah yang sebelumnya telah bersumpah untuk
menghancurkan Mekah dan Bait al-Atik diluluhlantakkan
oleh Allah. Apa yang telah terjadi sama persis dengan apa
yang dikatakan Abdul Muthalib, “Allah yang memiliki Mekah
dan Bait al-Atik. Allah juga yang akan melindunginya.”
Memang demikianlah yang terjadi. Begitu pasukan gajah
memasuki kota Mekah, mereka langsung mendapatkan
petaka yang sangat luar biasa, aneh, dan belum pernah
dijumpai sebelumnya. Mulut mereka mengeluarkan busa.
Selain itu, wajah-wajah para prajurit itu menjadi hijau
kegelapan dengan usus yang pecah di dalam perut pada
waktu yang tidak lama. Saat itu pula burung-burung yang
50
belum pernah dijumpai di Mekah mulai menutupi langit.
Pasukan gajah yang telah bersumpah untuk menghancurkan
Kakbah justru malah hancur dibuatnya. Burung aneh yang
kemudian namanya disebut ababil ini adalah burung-burung
yang membawa amarah Allah kepada setiap pasukan.
Tangan dan kaki mereka kaku, bahkan sang komandan
pasukan yang dijuluki Abyad al-Kabir pun takluk bersama
dengan gajah putih tangguh yang ditungganginya.
Peristiwa ini membuat semua orang yakin kalau Mekah
adalah kota yang dilimpahkan rahmat oleh Allah. Sekali lagi,
orang-orang Mekah dan kabilah-kabilah di sekitarnya, para
petinggi Mekah dan Badui, kembali hidup dengan damai
sesuai dengan penanggalan bulan-bulan haram.
Semua orang tahu tentang peraturan hidup, beribadah,
berdagang, dan bersenang-senang. Selama kurun waktu
damai selama tiga bulan, semenjak para kabilah saling
menaati bulan-bulan tanpa perang yang telah ditetapkan,
Pasar Ukaz semakin dipadati para penduduk. Tidak hanya
ramai oleh para penduduk Mekah, tapi juga mereka yang
datang dari haif dan Yaman ikut bermukim di sana.
Para penduduk yang datang dari tempat jauh, seperti alQuds, Konstantinopel, Syam, Harran, dan Persia, juga ikut
memanfaatkan keadaan baik di masa-masa ini.
Setiap kali hati putri Khuwaylid merasa terhimpit, ia
akan segera berlari ke Kakbah untuk menumpahkan segala
isi perasaan kepada Rabbnya. Dan kali ini, ia juga ingin
segera sampai di Kakbah untuk mengutarakan isi hatinya.
Ingin sekali dirinya dapat segera melintasi Pasar Ukaz yang
membatasi rumahnya dan Baitullah.
Mimpi yang ia jumpai menjelang pagi ini telah membuat
gundah-gulana hatinya. Jika dilihat dari luar, kehidupannya
51
_ Pasar
memang tampak sangat sempurna. Meski demikian, ia
tidak kunjung jua dapat memecahkan kekosongan hati
yang menurutnya sulit untuk digambarkan. Ia tidak dapat
berbagi deritanya dengan siapa pun. Ia tahu, kalau sampai
dirinya berbagi perasaan dengan orang lain, sudah pasti
pembicaraan itu akan sampai pada masalah kejandaannya.
Hal inilah yang membuatnya enggan berbicara kepada
orang lain. Dalam pandangannya, belum ada laki-laki kuat
yang cocok untuk dirinya.
Mimpi yang ia jumpai menjelang pagi
ini telah membuat gundah-gulana hatinya.
Jika dilihat dari luar, kehidupannya
memang tampak sangat sempurna.
Meski demikian, ia tidak kunjung jua
dapat memecahkan kekosongan hati yang
menurutnya sulit untuk digambarkan.
Sebelum sampai ke Kakbah, jalanan panjang yang
melintas di sepanjang pasar telah membuat dirinya terbuai.
Kerumunan para pedagang, wisatawan, orang-orang yang
datang untuk menunaikan ibadah dari perkampungan,
para rahib, pendeta, dan pemuka agama yang ia dapati di
sana telah memberikan suasana hati tersendiri. Keragaman
52
orang-orang yang menghuni Pasar Ukaz telah memberikan
inspirasi bagi kegalauan hatinya.
Segera Khadijah masuk ke dalam pasar melalui pintu
yang biasanya dilalui para wisatawan. Ia segera tersenyum
kepada seorang turis tua yang sedang mengamat-amati
selembar peta tua yang terbuat dari sutra, yang ia yakini
sebagai petunjuk harta karun. Orang tua itu membaca puisi
dengan suara seperti orang menangis. Lewat suaranya yang
keras, ia menuturkan kalau dirinya adalah seorang pemilik
pemandian umum yang kaya raya. Namun, karena ia tidak
memedulikan seorang pengemis yang menghampiri tempat
usahanya, dirinya terkutuk menjadi miskin seperti pengemis
itu. Berangsur-angsur seluruh hartanya terjual habis untuk
membiayai keinginannya menemukan harta karun. Sayang,
semuanya hanya dusta belaka. Kini, ia pun hanya memiliki
selembar peta tua yang ada di tanganya. Seandainya saja tidak
ada orang yang mau membeli peta tua itu, sebentar lagi ia
tidak akan mampu membeli makanan sehingga tak lama lagi
dirinya akan mati kelaparan. Mendapati keadaan seperti itu,
Khadijah merasa iba. Segera ia mengambil beberapa keping
uang emas dari sakunya untuk diberikan kepadanya seraya
terus melanjutkan langkahnya. Saat memberikan beberapa
keping uang itulah dalam hati Khadijah terlintas untuk
berlindung dari kejinya kecanduan atas sesuatu. Semoga
Allah menghindarkan hamba-Nya dari kepedihan menjadi
budak karena tergila-gila atau kecanduan pada sesuatu.
Saat dirinya melangkah ke kios-kios yang menjual
minuman, ia mendapati tempat lain yang membuatnya
terbuai. Tempat itu menjual berbagai macam minuman dan
buah-buahan kering, seperti kurma dan kismis.
53
_ Pasar
Pasar ini terlihat lebih sepi dibandingkan pasar tertutup
lainnya. Namun, pasar ini berada dalam monopoli para
saudagar bangsawan Mekah. Setiap hari, mereka melakukan
transaksi penjualan surat-surat berharga. Biro-biro
pasar bebas maupun kantor-kantor tempat para delegasi
perdagangan juga ada di sana. Khadijah melewati pasar
itu dengan sangat hati-hati. Berjalan cepat dan menutupi
wajahnya dengan syal, sesegera mungkin dirinya berharap
bisa meninggalkan tempat itu tanpa ada seorang pun yang
tahu. Setelah beberapa langkah dari tempat tersebut, ia baru
sadar tidak ada pengawal di sisinya seperti biasa. Ia memang
tidak ingin mendengar lagi pembicaraan baru tentang dirinya
dari mulut para saudagar bangsawan Mekah. Memang,
kebanyakan dari mereka menginginkan putri Khuwaylid ini
sebagai istrinya. Untungnya, tak satu orang pun tahu kalau
seorang wanita yang berjalan cepat melewati tempat bisnis
mereka dengan muka tertutup adalah Khadijah.
Setiap hari, Pasar Ukaz dipenuhi pemandangan yang
begitu pedih. Sebuah ironi kehidupan yang terjadi pada
masa itu. Di tempat itu berkumpul para bangsawan dengan
budaknya, jutawan dengan orang-orang miskin, serta
penguasa dengan bawahannya. Yang tertawa dan menangis
pun ada di sana.
Di penghujung kios minuman, putri Khuwaylid
menjumpai pemandangan yang sangat membuatnya sedih.
Matanya tertuju ke arah pasar budak. Para majikan dengan
keji meludahi, mencaci, bahkan mencambuki budak-budak
dagangannya. Di sana terdapat budak-budak dagangan dari
semua usia. Mereka dijajar untuk dipertontonkan kepada para
calon pembeli. Tidak jarang mereka dipaksa menampilkan
54
berbagai kemampuannya dengan cara dicambuk berkali-kali.
Di saat-saat itulah biasanya dipertontonkan budak wanita
yang masih berusia sepuluh tahunan. Mereka berpakaian
terbuka, membagikan minuman keras kepada para calon
pembeli, dan tidak jarang memberikan pertunjukan untuk
memerdaya nafsu syahwat mereka... meminum anggur
sambil membaca puisi.
“Seret budak wanita itu! Biar dia tahu pedihnya cambukan
cemeti!” seru pedagang budak dengan lantang sambil tertawa
terbahak-bahak.
Para pesuruh si pedagang pun mulai mencambukkan
cemeti ke tanah untuk menakut-nakutinya. Dengan
seketika, ia tarik rambut para budak wanita untuk naik ke
atas podium sambil mencambuknya dengan cemeti. Mau
tidak mau, para budak itu harus menuruti permintaan
majikannya untuk melayani pertunjukan tidak senonoh
di depan mereka. Belum lagi di pertunjukan yang lain ada
seorang budak wanita terlihat nyaris tanpa busana. Seorang
majikan mendekatinya dengan tertawa puas. Saat hendak
melepas pakaian budak itu yang hanya tinggal beberapa
lembar, entah dari mana datangnya, tiba-tiba sebilah belati
menusuknya bertubi-tubi. Majikan itu pun jatuh seketika.
Tanpa sadar, nampan minuman keras yang dibawa budak
peremuan itu juga jatuh ke lantai. Minuman keras itu pun
tumpah berceceran ke mana-mana, sementara sang majikan
masih tergeletak di tanah. Darah terus mengalir dari
tubuhnya yang terluka. Gelas kristal yang ada di tangannya
ikut jatuh dan pecah. Erang kesakitan muncul dari mulutnya.
Wajahnya panik melihat darah yang mengalir deras dari
lukanya.
55
_ Pasar
Keadaan menjadi kacau dalam seketika. Anehnya, tidak
ada orang yang berniat menolong sang majikan. Semua
orang terlihat tidak begitu peduli pada kejadian seperti
itu. Bahkan, dalam situasi seperti ini pun masih terdengar
suara lantang seorang wanita lanjut usia yang tidak hentinya
berkata-kata kotor karena seseorang telah mencuri ayamnya
yang hendak ia jual di pasar hewan. Belum lagi ada seorang
penjual karpet dari ajam yang dipukuli segerombolan orang
yang ingin merampas barang dagangannya. Pedagang
karpet itu kemudian berteriak-teriak sekeras-kerasnya
sambil mengucapkan kata-kata sumpah agar diampuni oleh
mereka. Ia katakan berkali-kali bahwa dirinya hanya ingin
selamat dan tidak mau membuat keributan.
Dan masih di sekitar Pasar Ukaz, seorang laki-laki yang
dikenali sebagai kakak budak wanita dari haif didakwa
sebagai orang yang telah menikam majikan yang hendak
berbuat nista kepada adiknya. Dalam seketika, di tempat itu
pula hukuman mati dijatuhkan kepadanya.
Padang pasir haif yang sangat terkenal dengan
kebrutalan orang-orangnya telah begitu sering menjadi saksi
atas kejadian-kejadian seperti ini. Sering kali para wanita
dan anak-anak wanita dijadikan alat tukar manakala terjadi
masalah. Tak heran jika setiap ayah akan marah manakala
mendapati bayinya terlahir sebagai wanita. Kesadaran bahwa
kemungkinan besar anak wanitanya akan menjadi budak
telah membuat jiwa sang ayah murka. Karena itulah banyak
lelaki yang sering bergelut di medan perang akhirnya tega
membunuh anak wanitanya karena takut di suatu masa ia
akan mendapati anaknya dijadikan budak. Bahkan, ada pula
dari mereka yang mengubur hidup-hidup anak wanitanya.
56
Banyak anak wanita yang dirayu ayahnya untuk diajak
bepergian mengunjungi kerabatnya, padahal pembunuhan
kepadanyalah yang terjadi setelahnya.
Demikianlah, anak muda yang baru saja dibunuh di
tengah-tengah keramaian atas suruhan sang majikan
pengumpul upeti dan pedagang budak juga memiliki sejarah
hidup yang teramat sangat pedih. Ayahnya yang kecanduan
judi tidak henti-hentinya terus berjudi dan mabuk setiap hari.
Setelah semua harta benda yang dimilikinya habis dalam meja
judi dan belum puas juga berjudi, ia tega menjadikan anak
wanitanya, Dujayah, sebagai taruhan. Sungguh, Dujayah
sang anak sudah tidak lagi memiliki arti apa-apa di mata
ayahnya selain sebagai barang yang bisa digunakan untuk
taruhan. Barang yang bisa digunakan pula untuk membayar
segala utang-utang ayahnya. Keadaan seperti inilah yang
telah membuat kakaknya tidak tahan lagi. Meskipun makna
dari namanya, Dujayah, adalah seorang yang terbebas, pada
kenyataanya setelah usia kedelapan ia telah mulai menjalani
hidup sebagai budak. Sudah bertahun-tahun ia tidak
pernah dapat bertemu dengan keluarganya. Hingga pada
akhirnya kakaknya datang untuk menyelamatkannya. Dia
tidak tega melihat penyiksaan dan penderitaan yang harus
diterima saudara wanitanya. Sayang, ia tertangkap. Dan atas
keputusan para aristokrat di Pasar Ukaz, ia pun dibunuh
seketika.
Dujayah yang tidak tahu-menahu mengenai apa yang
telah terjadi hanya bisa menangis, meratapi nasib kakaknya
yang meninggal di tiang gantungan. Mendapati keadaan
seperti itu, hati Khadijah meronta. Segera ia keluarkan satu
kantong uang perak untuk menebus gadis itu.
57
_ Pasar
Dujayah dilepas dari ikatannya. Ia kemudian ditunjukkan
tuannya yang baru. Anak wanita yang malang itu pun
langsung berlari mendekati Khadijah. Ia bersimpuh seraya
mengungkapkan ucapan berisi ribuan terima kasih. Khadijah
begitu memahamai perasaannya. Ia melepaskan syal yang
digunakan untuk menutupi wajahnya dan diberikan kepada
Dzujajah. Kemudian, segera ia bawa Dujayah keluar dari
pasar itu. Betapa riang gembiranya hati Dujayah. Ia seperti
sedang berlari sekencang-kencangnya meninggalkan bekas
majikannya yang bengis itu.
Khadijah pun segera meninggalkan pasar budak itu.
Ia langsung pergi menuju Bait al-Atik yang tidak begitu
jauh darinya. Kali ini, suasana begitu berbeda dengan
pemandangan yang ia alami sebelumnya. Di sana terdapat
para tabib jalanan yang sedang menunggu para pasien. Bau
obatan-obatan menyengat tercium oleh setiap hidung yang
melintasinya. Di sana juga terdapat para ahli nujum dan tak
luput pula para peramal yang duduk berjajar menawarkan
pelayanan kepada setiap orang yang mengunjunginya.
Syukurlah, beberapa langkah lagi Khadijah telah sampai ke
pintu gerbang al-Hayat.
Pintu gerbang al-Hayat adalah pintu setengah lingkaran
yang terbuat dari batu granit. Kedua tiangnya terbuat dari
marmer utuh besar. Batu granit terukir begitu indah dan
sempurna bak mahkota. Tepat di bawah pintu gerbang
itulah tampak peminta-minta yang sedang mengadu nasib.
Saking padatnya jalan itu oleh mereka, susah sekali Khadijah
melewatinya, meski kepada setiap satu orang dari mereka ia
berikan uang tembaga yang dapat digunakan untuk membeli
setidaknya sepuluh buah kurma.
58
Kebanyakan dari peminta-minta itu memiliki
kekurangan isik, seperti buta atau tak memiliki lengan dan
kaki. Ada pula orang-orang miskin yang sangat menderita
kehidupannya. Setiap kali mendapatakan uluran tangan
belas kasihnya, terucap dari mulut mereka doa-doa yang
dipanjatkan untuk sang ibunda kota Mekah itu. Ia juga tidak
lupa memerhatikan seorang nenek yang sudah lanjut usia,
yang gemeteran tubuhnya karena cuaca dingin yang merasuk
ke sekujur tubuhnya dari kaki yang menganga tanpa alas.
Ternyata, sosok itu masih lekat dalam ingatannnya. Nenek
yang sudah lanjut usia itu pernah ia kenal sebelumnya. Ia
pernah bersamanya saat masih berusia lima belasan tahun,
ketika ia dan ibu susunya mengamankan diri dari serangan
tentara Gajah. Ia adalah salah seorang peramal di masa itu.
“Tuan Putri,” sapanya kepada Khadijah dengan suara
merintih. “Mimpi yang Anda jumpai hanya akan Anda
ceritakan kepada orang-orang yang bersih keyakinannya.
Mereka yang terbuka mata hatinya dan tak dikotori gemerlap
tipu daya dunia. Yang kata-kata bijaknya tidak dijual dengan
imbalan harta dunia. Yang setia menepati janjinya. Namun,
lihatlah keadaan diri kami ini. Kini, kata-kata bijak kami pun
telah digunakan sebagai ladang mengais rezeki sehingga
kami pun tidak henti-hentinya merana di belahan bumi
seperti ini.”
Tersentak hati Khadijah dalam seketika. Ia dengarkan
kata-kata nenek itu dengan saksama. Jangan-jangan...,
apakah nenek ini tahu mimpi yang aku alami di pagi ini?
Bagaimana ia bisa mengetahui mimpi itu? Bahkan, ia juga
seolah menjelaskan ciri-ciri seseorang yang bisa dijadikan
tempat untuk mengadukan mimpi itu. Benar, seolah dirinya
59
_ Pasar
telah menjelaskan sosok pamannya, Waraqah, yang akan
ditujunya. Sudah bertahun-tahun Waraqah dengan kedua
matanya yang buta tidak pernah memberi sedikit pun arti
penting pada gemerlapnya dunia ini. Ia juga tidak seperti
orang-orang Mekah yang menyembah berhala. Ia relakan
segalanya untuk tetap berada dalam keyakinannya, beriman
akan adanya Tuhan Yang Maha Esa.
“Mimpi yang Anda jumpai
hanya akan Anda ceritakan kepada
orang-orang yang bersih keyakinannya.
Mereka yang terbuka mata hatinya
dan tak dikotori gemerlap tipu daya
dunia. Yang kata-kata bijaknya tidak
dijual dengan imbalan harta dunia.
Yang setia menepati janjinya.
Mendengar penuturan itu, Khadijah langsung mendekat
kepada nenek itu seraya menuntunnya untuk berdiri. Nenek
itu pun dengan tergopoh-gopoh berusaha mengeluarkan
tongkatnya. Khadijah juga tidak lupa menyalami tangan
kanannya seraya memberikan beberapa keping uang emas
kepadanya.
60
Bait al-Atik adalah tempat yang memegang arti penting
kehidupan sepanjang sejarah manusia. Di sanalah manusia
pertama, Adam, bertawaf memanjatkan doa-doa pertobatan.
Di tempat itulah Adam sangat menyesali kesalahannya. Ia
merintih dalam doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah.
Sang Maha Pengampun menerima tobatnya dan seolaholah memberikan isyarat kepada hamba-Nya dengan
mendirikan tiang tinggi menjulang dari bumi ke langit
sebagai tanda di sanalah tempat akan dibangun rumah-Nya.
Betapa senangnya Adam mendapati pertanda itu. Gembira
hatinya setiap kali mengunjungi tempat yang menjadi pusat
terhubungkan jiwanya ke alam surga. Terbuailah dirinya
dalam cinta akan Tuhannya sehingga bertawaf membentuk
sebuah lingkaran.
Dengan pemahaman dan perenungan seperti inilah
Khadijah memasuki Kakbah seraya berucap salam kepada
Nabi dan juga manusia pertama. Tiada henti-hentinya
Khadijah memanjatkan doa di sana. Berucap zikir dengan
luapan permohonan belas kasih kepada Tuannya. Pedih
hatinya meratapi jiwanya yang penuh rumpang, penuh
penyesalan, dan berharap akan sebuah pertobatan. Sungguh,
hatinya seakan telah gersang seperti sungai yang mengering
di musim kemarau.
Madd dan Jazir.
Datang dan Pergi.
Membubung tinggi dan kemudian turun kembali.
Demikian ia tumpahkan isi hatinya dalam bahasa yang
mampu diungkapkan maupun dalam kata-kata yang tidak
mungkin terucap oleh mulutnya. Bagaikan lentera yang
menyala remang, pasang surut oleh tipuan angin, perlahan-
61
_ Pasar
lahan ia mulai masuk ke Tanah Haram untuk kemudian
menuju Kakbah. Entah mengapa, untuk kali ini, setiap satu
langkah memasuki Tanah Haram, hatinya terasa berdebardebar, seolah-olah baru kali itu memasukinya. Jiwanya
tersentak oleh perasaan akan perjumpaan dengan sang
Kekasih.
Meski demikian, Khadijah merasakan senang di dalam
hatinya karena memiliki tempat untuk mengadu.
“Ya, Rabb... sungguh betapa mulia dan dermawannya
diri-Mu,” ucapnya.
“Sungguh senang sekali hatiku telah Engkau perkenankan
memasuki rumah-Mu. Betapa berarti sekali pintu ini
bagiku. Aku memohon kepada-Mu agar Engkau tidak akan
pernah menutup pintu ini untukku. Sungguh, seandainya
akan tertutup, hal itu hanya akan mungkin terjadi dengan
kekuatan-Mu. Namun, janganlah Engkau berkenan
menutupnya bagiku, bagi semua umat manusia. Pintu yang
akan membuat hati mereka bermekaran cinta-Mu sehingga
mereka tidak akan saling bermusuhan satu sama lain dan
akan memberikan berbagai macam persembahan yang
terbaik untuk-Mu. Seandainya cinta di dunia ini sudah
tiada sama sekali, jangan pernah Engkau biarkan pintu ini
tertutup. Meski hamparan padang pasir tidak lagi tersisa
bulir pasirnya, atau perjalanan panjang sudah tidak lagi
menyisakan tujuan, atau hamparan samudra mengering
airnya, janganlah Engkau berkenan menutup pintu-Mu ini.
Aku tahu, rumah-Mu ini ibarat setetes air dari hamparan
samudra dan lautan abadinya rahmat-Mu. Aku tahu, pintu
ini seperti embusan napas cinta yang membuat manusia
terbuai, syahdu dalam penghambaan kepada-Mu. Dan
62
kini, aku kembali lagi bersimpuh, menghamba di hadapanMu, ya Rabb! Sungguh, berkenanlah Engkau mengampuni
kesalahan-kesalahanku, berkenanlah Engkau menyelimuti,
melindungi, dan mencintai hamba-Mu ini. Sungguh, diri
ini sangat butuh perlindungan, cinta, dan belas kasihMu, serindu diriku untuk selalu mendekatkan diri dalam
pertobatanku kepada-Mu. Duhai Allah, aku panjatkan
pengaduan ini kepada-Mu. Aku mohon dengarkanlah isi
hatiku. Tunjukkanlah jalan hidup ini ke arah yang menuju
kepada-Mu. Limpahkanlah kebaikan dan keindahan, baik di
dunia ini maupun di alam setelah kehidupanku.”
Berlinanglah air mata Khadijah. Membara isi hatinya
bagaikan air Zamzam yang memancar dari panasnya padang
pasir. Semakin deras air matanya dalam pengaduan yang
diutarakannya.
Di saat kedua matanya mulai mengering dari air mata
yang membasahi kedua pipinya, saat itulah ia berserah diri
pada dinding Kakbah yang dikhususkan bagi kaum hawa.
Ternyata, tidak sendirian ia di sana. Para wanita yang
tadinya juga memanjatkan doa telah ikut mengamini doa
yang dipanjatkannya. Di antara para wanita itu ada yang
menderita karena ditinggalkan sang suami yang terbunuh
di medan pertempuran. Ada juga yang berdoa untuk
keselamatan dan kesehatan anak-anaknya. Dan ternyata, di
antara mereka juga ada yang memiliki perasaan sama dengan
dirinya, menantikan seseorang yang bisa menenangkan
hatinya. Demikianlah, hampir semua orang, yang baik
maupun jahat, menyandarkan seluruh kehidupan dan isi
hatinya pada dinding Kakbah.
63
_ Pasar
Di sinilah tempat untuk mengadu. Wahana menumpahkan
segala perasaan yang diderita setiap hamba. Ruang untuk
melantunkan kata-kata hati yang mendambakan cinta.
Tempat untuk berteduh, berlindung dari suratan takdir
yang digariskan atas manusia.
Pintu inilah harapan bagi setiap insan. Ya, bagi setiap
kehidupan di awal maupun akhirnya. Merintih dan menangis
hati Khadijah. Bergetar hatinya dalam mulut yang terbatabata berucap doa.
“Ya, Tuhanku... hamba datang kepada-Mu,” ucapnya.
“Di pintu-Mu aku mengetuk, ya Tuhanku. Aku berharap
Engkau berkenan melenyapkan perasaan hatiku yang selalu
merasa kesepian.
Ya Tuhanku, begitu sedikit sekali pengetahuanku untuk
meniti jalan-Mu. Bahkan, dalam pengetahuanku yang sedikit
itu pun seringkali aku ragu. Karena itu, tunjukkilah jalan
yang benar, yang akan aku jalani untuk menuju kepada-Mu.
Sungguh hanya kepada-Mu aku mengutarakan isi hatiku.
Hanya diri-Mu Yang Maha Mendengar segala isi hati.”
Sesaat Khadijah memerhatikan orang-orang yang ada di
kanan-kirinya. Tertegun dirinya melihat kerumunan orang
yang juga memanjatkan doa seperti yang ia mohonkan.
Di situ memang menjadi tempat paling berkah untuk
memanjatkan doa. Bagaikan lingkaran-lingkaran rumah
lebah yang di tengah-tengahnya terdapat madu bening
bercahaya, kembali tertegun hati Khadijah merenungi
hakikat ini. Meneteslah air matanya dalam luapan hati yang
penuh cinta memandangi Kakbah.
“Semua orang datang ke sini dengan cermin hati mereka
sendiri,” katanya.
64
Seolah-olah para wanita itu, dengan cermin hatinya
yang retak, bersandar pada dinding Kakbah, berdoa untuk
memperbaikinya. Setiap hati pasti memiliki permasalahan
sendiri-sendiri yang hendak diutarakan kepada Tuhannya.
Di sinilah semua doa yang dipanjatkan akan membubung
tinggi ke angkasa. Tempat untuk menuliskan keinginan
hati setiap manusia. Baitullah seakan-akan telah menjadi
hamparan surat, tempat setiap hamba menuliskan segala
isi hatinya dalam sujud maupun bersimpuh dengan kedua
tangan terangkat kepada Tuhannya. Khadijah pun telah
menghamparkan seluruh isi hatinya kepada Rabb-nya. Tidak
sabar lagi dirinya untuk segera mendapatkan jawaban dari
kegundahan yang ia rasakan selama ini, seperti tidak sabarnya
siang yang menantikan malam. Namun, Khadijah juga tahu
bahwa setiap gelap malam pasti dinantikan cerahnya cahaya
di pagi hari. Inilah yang ia pinta dari Tuhannya. Meminta
agar mentari yang ia jumpai dalam mimpinya di pagi ini
terbit di dalam hatinya.
Belum lama hatinya hening dalam ketenangan, ia telah
kembali terusik dengan suara keramaian yang tiba-tiba
terdengar lantang dari tempat sekitar. Ia saksikan para
wanita di sekelilingnya mulai beranjak. Ada yang berteriak
dengan kata-kata mengusir, ada juga yang mengumpulkan
batu kerikil sambil dilemparkan kepada seseorang yang
mencoba mendekati mereka. Laki-laki yang tidak kenal
itu pun dihajar oleh kerikil-kerikil yang dilemparkan
kepadanya. Ia gunakan kedua tangannya untuk melindungi
diri seraya terus melangkah maju. Orang asing itu terus
berjalan mendekat sehingga sebagian wanita yang ada di
situ menghardiknya dengan suara keras.
65
_ Pasar
“Pasti laki-laki itu orang Yahudi!”
“Untuk apa dia pergi ke sini?!”
“Betapa lancangnya laki-laki ini mengusik kerumunan
wanita!”
“Sebegitu jahilkah dia sampai tidak tahu kalau tempat ini
dikhususkan untuk wanita!?”
“Lihat saja, betapa beraninya dia terus mendekat ke arah
kita.”
“ Demi Lata dan Uzza, kita usir Yahudi itu!”
“Kita usir dia!!!”
Terhadap cercaan dan batu-batu kerikil yang dilemparkan
kepadanya, laki-laki Yahudi itu berkata, “Wahai para wanita
bangsa Quraisy! Aku beritahu kalian suatu hal. Seorang nabi
terakhir tidak dimungkiri lagi akan datang dari tanah ini di
masa-masa sekarang. Bilamana salah satu di antara kalian
semua mendapati kesempatan untuk menjadi istri baginya,
janganlah sampai kalian menyia-nyiakan kesempatan itu.”
Sayang, orang itu tidak dapat meneruskan kata-katanya.
Ia segera berlari meninggalkan tempat itu dengan luka
akibat lemparan batu yang terus-menerus. Batu-batu yang
telah dilemparkan oleh para wanita malang yang sama sekali
tidak mengerti berita gembira akan terbitnya sang surya.
Bahkan, mereka juga sama sekali tidak memedulikan apa
yang telah dikatakan Yahudi asing itu.
Kecuali satu orang!
Dia adalah Khadijah. Seakan-akan kata-kata orang itu
telah memecahkan telinganya karena sambaran petir.
Memang, sebelumnya Khadijah telah banyak mendengar
berita dari sepupu yang sudah dianggap sebagai pamannya,
Waraqah bin Naufal, dan juga dari orang-orang yang baru
66
saja pulang dari berniaga. Ia juga sering mendengarkan
berita yang mirip sekali dengan apa yang dikatakan laki-laki
itu dari mulut para pendeta, para alim, ahli hakikat, atau
orang-orang yang berziarah ke Mekah untuk menunaikan
ibadah haji. Mereka sering memberitakan kedatangan nabi
terakhir yang akan membenahi kerusakan moral yang telah
meraja-lela.
Kata-kata yang baru saja diucapkan orang Yahudi itu
benar-benar telah melekat di hati Khadijah.
Setelah beberapa lama memanjatkan doa di dinding Kakbah,
ingin sekali Khadijah segera berlari ke rumah pamannya,
Waraqah bin Naufal, untuk segera menyampaikan apa yang
telah ia dapati dalam mimpinya. Meski berstatus sebagai
sepupu, usia Waraqah hampir seumuran dengan mendiang
ayahandanya. Karena itulah Khadijah menganggap Waraqah
sebagai pamannya. Khadijah maupun Waraqah adalah orang
yang paling terhormat dari nasab keluarganya. Waraqah
telah menghabiskan usianya untuk pergi ke berbagai negeri
demi mencari hakikat yang ia yakini. Sayang, kata-katanya
telah dianggap aneh oleh para penduduk Mekah.
Namun, bagi Khadijah, Waraqah adalah alim di matanya.
Seorang ahli hakikat yang teramat ia segani. Waraqah
memang seorang alim yang mampu menghafalkan Taurat
dan Injil. Ia bahkan mampu pula berdebat dan memberi
penjelasan tentang isinya kepada semua orang, baik
Yahudi maupun Nasrani. Kedua matanya sampai buta
karena selama bertahun-tahun jarang tidur dan terus
membaca. Kedua matanya seolah-olah telah tertutup untuk
gemerlapnya dunia. Meski demikian, mata hatinya masih
tetap terbuka kepada Tuhannya. Lebih dari itu, ia juga
67
_ Pasar
sangat mencintai Khadijah dan menganggapnya seperti
putrinya sendiri. Ia selalu ingin membela dan melindungi
pada setiap kejadian dan kepedihan yang dideritanya. Setiap
kali bertemu dengannya, ia selalu memerhatikannya dengan
mengucapkan kata-kata penuh makna yang akan dapat
menenangkan hati ibunda kota Mekah itu.
Demikian halnya dengan Khadijah. Ia selalu berupaya
untuk dapat membahagiakan hati sang paman. Setiap kali
mengunjunginya, ia tidak lupa membawakan berbagai
macam hadiah yang sangat berharga.
Begitu akan tiba di depan rumah Waraqah, sejenak
dirinya berhenti. Ia baru sadar telah lupa membawa oleholeh untuk pamannya.
“Benarkah aku lupa membawa oleh-oleh untuknya,”
katanya dalam hati. “Mengapa aku bisa menjadi orang yang
sedemikian pelupa?”
Namun, pada saat itu pula ia merasa seakan-akan seluruh
bunga terindah bermekaran di mana-mana.
“Mengapa dunia ini semerbak dengan wangi bunga?
Duhai Allah, apa yang sebenarnya telah terjadi pada
diriku?”
Kegelapan yang menyelimuti pandangan tiba-tiba
berubah menjadi terang dalam seketika dengan keremangan
cahaya lentera. Dirinya ternyata telah berada di pelataran
rumah pamannya.
“Ya, aku telah menemukannya. Dujayah…!” katanya
dengan suara keras.
“Aku akan memberi hadiah seorang budak wanita yang
pada pagi hari ini kuselamatkan. Jika dirinya berkehendak,
biarlah ia bebaskan atau biarlah ia menjadi pembantunya.”
68
Mendengar suara itu, para pelayan saling berlarian ke
luar. Namun, dengan penuh ketenangan, Khadijah memberi
isyarat kepada mereka untuk tidak bersuara. Seperti biasa,
ia ingin memberi kejutan kepada pamannya dengan datang
secara diam-diam. Ia ingin menutup mata pamannya dari
belakang. Akan tetapi, kali ini Waraqah sedang duduk
bersama para tamu. Khadijah pun kemudian berucap salam
kepada mereka.
Mendengar ucapan salam itu, Waraqah menyambutnya.
“Khadijah? Kamukah itu? Benarkah mutiara kota Mekah
telah datang kepadaku?”
Khadijah pun kemudian bersimpuh, mencium tangannya.
Ia pun menyempatkan diri untuk menyisir rambut pamannya
yang semuanya telah memutih bagaikan kapas.
“Bagaimana keadaan Paman? Baik-baik sajakah selama
aku tidak ada? Bagaimana Paman bisa langsung mengenali
suaraku?”
Dengan terbatuk-batuk Waraqah berkata, “Setiap wanita
terlihat jelas dari rambutnya. Aku mengenali setiap suara
yang ditimbulkan dari rambut yang terkena empasan
angin, Khadijah. Aku kenal gemersik suara rambutmu dari
kejauhan. Namun, kali ini tidak hanya itu. Bahkan, aku juga
mencium aroma bunga-bungaan yang bermekaran dari
rambutmu. Sungguh, betapa wangi rambutnya. Lain halnya
dengan Berenis. Kalau tidak percaya, lihat saja.”
Tidak lupa Khadijah memberi salam kepada para tamu
yang ada di situ. Mereka pun menjawab salamnya dengan
berucap “selamat datang” kepadanya.
“Coba perhatikan rambut Berenis. Empasan angin telah
merusak rambutnya. Aku juga tahu sejarah kehidupannya.
69
_ Pasar
Rambutnya dipangkas sampai akar-akarnya.”
“Oh, Berenis itu wanitakah? Padahal, aku kira...”
“Apakah kamu juga tidak tahu dari namanya? Tidakkah
kamu ingat kisah yang pernah aku ceritakan kepadamu.
Suatu waktu ada seorang wanita yang bernama Hulbe.
Ia berdoa agar suaminya bisa kembali dari medan perang
dengan selamat. Setelah berdoa, dia pun berjanji untuk
memotong rambutnya hingga akar-akarnya sebagai bentuk
pengorbanan. Nah, tokoh yang disebut Hulbe itu, kalau
di daerah Sudan dan Habasyah, sering disebut dengan
kata Berenis. Berenis bersama keluarganya dari Habasyah
menjadi tamu di rumahku. Ayahnya dari kalangan Hawari
dan juga ilmuwan dari nasab Azis Toma. Sewaktu kecil,
aku sering tinggal di rumahnya. Waktu itu Berenis bahkan
belum lahir.”
“Selamat datang Berenis. Selamat datang para tamu yang
mulia. Kami merasa sangat bahagia mendapati Anda sekalian
bertamu di rumah keluarga Khuwaylid. Semua pintu rumah
kami terbuka untuk Anda sekalian. Mohon berkenan pula
berkunjung ke sana.”
“O, jangan... tidak mungkin aku akan membiarkan
para tamu ini pergi ke rumahmu. Aku masih ingin sekali
mendengarkan banyak cerita dari mereka.”
“Baiklah, para kaum hawa naik ke atas saja, biar
berkumpul dengan para ibu. Silakan bicarakan seputar
kaum hawa. Jika kita terus membahas apa yang dilakukan
Khadijah sepanjang hidupnya, niscaya para lelaki bangsawan
Mekah akan mengenakan jubah Abu Sufyan kepadanya.
Sungguh, usiaku kini sudah hampir genap seratus tahun.
Ribuan buku sudah kubaca. Semua kota sudah kukunjungi.
70
Semua gunung-gunung tinggi sudah kudaki. Namun, masih
juga aku belum dapat tuntas menyelesaikan permasalahan
kaum hawa. Oh ya, sampai di mana pembahasan kita tadi?
Suhuf Idris? Para wanita ini tidak membuat kita nyaman
berdiskusi. Khadijah!”
“Ya, Paman….”
“Aku lupa tanya oleh-oleh yang kamu lupakan?”
“Oh, tidak mungkin saya lupa, Paman!”
“Sepertinya kamu lupa bawa hadiah, tapi kamu tergesagesa ke sini karena engkau telah bermimpi sesuatu, bukan?”
“Tapi, bagaimana mungkin Paman tahu kalau aku telah
bermimpi?”
“Bila seorang wanita datang ke sini sampai lupa membawa
oleh-oleh, pasti dia terburu-buru dan pasti tanpa persiapan.
Begitu bangun pagi, kamu langsung ke sini. Angin telah
menceritakan semua ini kepadaku. Baiklah, silakan ke atas.
Ceritakan saja semuanya kepada Berenis. Setelah makan, aku
akan temui kamu. Hmm... sudah sampai mana pembicaraan
kita. Sepertinya kita sedang membicarakan benih tumbuhan
lada hitam?”
Mereka pun naik ke lantai atas.
Mereka saling bercerita satu sama lain di atas. Saling
duduk bersimpuh berdekatan. Di kedua mata Berenis
tampak linangan air mata. Usianya masih sangat muda,
namun perjalanan hidupnya yang begitu penuh dengan
derita telah menyentuh hati Khadijah. Air matanya terus
mengalir membasahi wajahnya. Berenis mengusap dengan
kedua tangannya yang bengkak karena kerap bekerja keras
di bawah terik mentari. Khadijah pun memerhatikannya
dengan penuh iba dan rasa kasih sayang. Ia lepaskan serban
71
_ Pasar
pengikat kepala berwarna biru khas yang dipakai para kesatria
padang pasir. Sungguh benar, rambutnya terpotong pendek
bagaikan seorang anak laki-laki yatim. Saat baju rompi yang
terbuat dari kulit domba yang terlihat terlalu tebal untuk
cuaca di Mekah dilepaskan, tampak tubuh Berenis yang
kurus dengan punggung cekung. Dalam seketika, Khadijah
teringat dengan anak wanitanya, Hind. Tidak mungkin jiwa
seorang ibu tega meninggalkan anak kandungnya dalam
perjalanan mengarungi padang pasir berhari-hari.
Kedua mata Berenis masih dipenuhi air yang sejuk.
Khadijah mencoba menghapus dengan kelembutan
tangannya. Pandangannya tertuju ke wajah Berenis
dengan saksama. Ia paham wanita semuda itu pasti sangat
merindukan kasih sayang sang ibu. Sayangnya, hal itu
tak mungkin didapatkannya karena sang bunda berada di
tempat yang sangat jauh. Khadijah memahami benar apa
yang dirasakan Berenis. Wajahnya yang pucat semakin
menggambarkan isi hatinya. Ada kelelahan yang dirasakan
dan kerinduan yang didambakan. Khadijah mengerti dan
memahami hal itu sehingga ia pun mengulurkan kasih
sayangnya kepada wanita itu.
“Bagaikan dua aliran sungai yang meluap airnya,” kata
Khadijah menggambarkan keadaan Berenis.
Berenis terdiam saat mendengar kata sungai yang
menggambarkan dirinya. Ia tertegun membayangkan dua
sungai, dua Nil yang mengalir di kampung halamannya
sebagai sumber kehidupan. Sayang, kedua aliran sungai itu
pun kini teramat jauh terbenam dalam kenangan masa lalu.
Setelah tertegun untuk beberapa lama, Berenis
menuturkan perasaannya.
72
“Tuan Putri, Anda mengibaratkan sungai kepada saya.
Saat itulah hati saya kembali sangat merindukan kampung
halaman. Ah, seandainya saja Anda berkenan pergi ke
sana, menengok kampung halaman saya. Di sana, di bawah
daerah Al-Mugan, di sebuah pulau kecil nan mungil,
Anda akan mendapati segarnya dua aliran sungai yang
mengumpulkan sumber kehidupan, bagaikan seorang ibu
yang membentangkan kedua tangannya dengan berbagai
macam pepohonan rimbun. Kehidupan yang penuh dengan
ketenangan, harapan, makna, dan kasih sayang dalam aliran
lembut Nil Biru dan Nil Putih yang menjadi penopang
kehidupan di daratan Habasyah.”
Tidak kuasa Berenis melanjutkan ceritanya. Ia kembali
menangis tersedu-sedu menahan luapan rindu dalam
hatinya.
“Teruslah menangis, Berenis, anakku yang manis.
Teruslah menangis hingga kedua sungaimu memancarkan
sumber air kehidupannya. Biarlah terus mengalir. Namun,
tahukah engkau ke mana aliran sungai itu akan bermuara?”
“Aliran sungai akan mengalir menuju tempat yang
dirindukannya, Tuan putri.”
“Benar juga. Ternyata engkau adalah anak pintar yang
memiliki pemahaman dan irasat begitu mendalam.”
“Terima kasih Tuan Putri. Andalah yang membuka cadar
sang pengantin wanita dengan penuh kelembutan perasaan
sehingga saya tanpa sengaja membuka kain kafan yang
menutupi mata yang yang tiada hentinya berlinangan air
mata. Oh, ya Tuan Putri, perkenankan saya menceritakan
kampung halaman saya lagi. Di saat kedua aliran Nil Biru
dan Nil Putih menyatu ke dalam satu muara, orang-orang
73
_ Pasar
kampung kemudian menyebutnya sebagai Muara Wahid.
Demikianlah kedua aliran sungai itu telah sampai kepada
perjumpaan yang sangat dirindukannya; manunggal ke dalam
satu kesatuan, seraya semakin memberikan penghidupan.
Di sana terhampar rimbun perkebunan buah delima,
tersebar merata sesaknya tanaman susam dan meliuk-liuk
tinggi menjulang hutan pepohonan kanada, seraya memberi
senyuman manis bagaikan seorang pengantin wanita
kepada kedua aliran sungai itu. Di samping mengaliri semua
daratan yang dilintasinya dengan sumber kehidupan, ia juga
mencurahkan kehangatan kerinduan kepada semua makhluk
yang terbuai ke dalam embusan kesegaran cuacanya.
Sungai juga bermacam-macam, Tuan Putri. Masingmasing dari mereka memiliki nama, warna, cerita, dan
guratan takdir yang tertulis padanya. Saat kecil, saya sering
mendengarkan cerita dari para orangtua tentang Nil Biru
sebagai seorang pemuda gagah, tampan, dan muda belia,
sementara Nil Putih sebagai tunangannya. Saya juga
mengkhayalkan bahwa al-Mugan telah mempertemukan
keduanya dalam luapan penuh kerinduan. Ya, ibarat
perpaduan lantunan lagu cinta yang indah nan merdu dari
seorang lelaki dan wanita, daratan al-Mugan, nama kampung
halaman saya, telah menjadi saksi sebuah pesta pernikahan
yang diiringi dengan genderang para malaikat yang turun
ke bumi. Dari sanalah terlantun tembang-tembang merdu
menyentuh kelembutan hati.
Lama kemudian, semakin kami sadari arti pentingnya
kedua aliran sungai itu, Tuan Putri. Ternyata, mereka tidak
hanya memberikan kehidupan, tapi juga memikul suka-duka,
penderitaan, kepedihan, dan juga kerinduan umat manusia.
74
Di masa-masa musim salju, hatinya tertegun bagaikan ruh
manusia yang sedang mengasingkan diri. Memutih aliran
airnya, tenang dalam ketabahan. Namun, manakala musim
semi membangkitkannya, segera ia terbangun bermandikan
berbagai macam warna kesegaran dan keindahan,
menghanyutkan segala kesedihan dan kepedihan yang
menyelimuti kehidupan. Belum lagi di masa-masa musim
panas. Saat itu, kami juga ikut tersengat terik mentari yang
juga merebus sumber airnya. Dengan serangkaian ujian
inilah buah-buahan mulai menguning dan biji-bijian mulai
memecah agar tersebar di dalam tanah sehingga tersimpan
kehidupan baru bersamanya. Kelak, benih-benih itu akan
tumbuh membesar sebagai pohon rindang yang akan
kembali menemani kami, menyertai hari-hari kami dalam
suka maupun duka. Di pematang aliran sungai itulah kamu
dilahirkan, Tuan Putri.”
Khadijah dan Berenis masih duduk bersimpuh
berdekatan satu sama lain. Mereka terpana dengan semua
yang diceritakan dan didengarkan. Terlebih hati Khadijah
yang seolah telah mendapati teman untuk berbagi perasaan.
Ia belai sekali lagi rambut Berenis yang dipotong pendek
itu. Lembut terasa. Terbayang dalam pandangannya bahwa
kehidupan kadang penuh dengan terpaan angin kencang
yang menyambar. Untunglah Berenis dapat berlabuh dengan
selamat dalam hantaman badai itu.
“Benar juga apa yang telah dikatakan Paman Waraqah.
Embusan angin kencang telah memangkas rambut
Berenis.”
Entah mengapa, begitu mendengar kata-katanya itu,
secara tiba-tiba tubuh Berenis gemetar. Badannya seakan-
75
_ Pasar
akan terkoyak kembali dengan ingatan mengenai badai
kencang yang menyambar kehidupannya.
“Oh, anakku yang manis. Janganlah engkau menangis!”
“Tuan Putri,” katanya. “Jangan Anda memandang pada
tubuh ini yang kurus sebatang kara. Pedih sekali terasa
saat mengingatnya. Sewaktu di al-Mugan, saya pernah
bertunangan. Hari-hari penuh kebahagiaan yang tidak akan
pernah dapat saya lupakan. Dia adalah santri ayahku. Seorang
yatim bernama Ursa. Rajin dan pintar orangnya. Ayah saya
telah lama mengasuhnya, mengajarinya baca tulis, dan juga
bertutur kata yang indah di hadapan para bangsawan.
Dalam waktu yang sangat singkat, Ursa telah menjadi
orang yang paling dicari untuk bertutur kata maupun
menjadi penerjemah. Ah, Tuan Putri, siapa sangka pada
akhirnya ia tega meninggalkan diri saya dengan sikap dan
keadaan yang sangat menyakitkan hati. Tidak akan pernah
saya melupakan kepedihan di hari-hari itu. Saya pun melepas
kepergiannya tanpa sudi menatap wajah belangnya. Inilah
hati wanita, tidak ingin sebutir debu pun menghinggapi
hati kekasihnya. Dan ternyata, saya dengar ia telah menjalin
hubungan dengan seorang putri bangsawan tempat dirinya
membuat kesepakatan kerja. Saya masih ingat kejadian di
malam itu. Ia melarikan diri dari saya tanpa ada seorang pun
yang membela saya, apalagi hendak mengejar kepergiannya.
Ursa telah membuat keputusan. Ia telah memilih apa yang
dikehendakinya. Dan sayalah orang yang dicampakkannya.”
“Jangan berkata begitu, Berenis. Setiap kejadian yang
menimpa kehidupan ini telah tercatat dalam untaian garis
takdir. Saat berpikir kalau diri kita yang dicampakkan,
sesungguhnya takdir telah memilih kita untuk suatu hal
76
yang lainnya. Engkau bukanlah seorang yang dicampakkan.
Namun, yakinlah bahwa Allah telah memilihmu untuk suatu
hal yang lain di dunia ini.”
“Ah, Tuan Putri. Memang benar apa yang Anda katakan.
Namun, kuasakah hati mengatakan ini kepada dirinya
sendiri. Di hari-hari penuh kelam pada masa itu, ke mana
pun diri ini memandang, ke mana pun melangkahkan
pijakan kaki, di sana pula selalu didapatkan bayangan Ursa.
Ia telah membuat saya buta, telah membuat diri teperdaya.
Bahkan, sampai-sampai terpikir apalah artinya kehidupan
setelah ini. Ingin sekali saya mengakhiri kehidupan ini
bersamaan dengan berakhirnya cinta di dalam hati. Kian
hari kian menjadi kebencian kepada diri sendiri.
Karena itulah, semenjak hari itu saya semakin menghujat
diri sendiri. Karena saya seorang wanita, tidak berhakkah
menentukan sendiri nasib di dunia ini? Untuk apa saya
harus merias diri bila hanya kepedihan yang diratapi? Untuk
apa merawat rambut agar tetap terurai hitam bila siksa
cambukan tetap akan didapatkan? Pada hari itulah saya
bersumpah. Bersumpah untuk memangkas rambut hingga
ke akar-akarnya sebagai tanda kesetiaan kepada cinta. Diri
ini memang tidak wafat, namun kematian rambut panjang ini
menjadi saksi kewanitaan saya. Jangan sampai Ursa kembali
lagi. Kalau dirinya memang cinta dan telah memutuskannya,
sampai sejauh mana jalanan ini membentang, biarlah
kesetiaan saya dan juga cintanya menjadi saksi.
Sejak saat itulah saya memutuskan kabur dengan
mengenakan pakaian ini, menempuh empat puluh satu
hari perjalanan, tanpa bekal makanan dan minuman. Tidak
mungkin saya menetap di al-Mugan. Tidak mungkin saya
77
_ Pasar
berdiam diri di sana, di saat Nil menghanyutkan aliran
darah. Sebagaimana Ursa, saya menempuh perjalanan ini
dengan mengawalinya pada suatu malam yang gelap gulita.”
Untuk mengecoh orang-orang yang mungkin akan
mengikutinya, Berenis tidak mengambil jalan utama. Ia
menyusuri gang-gang kecil melewati perkampungan selama
tiga hari hingga pada akhirnya sampai ke Pelabuhan Tanjung
Burnu. Setelah salah seorang pelayan yang menemaninya
menuju pelabuhan telah pergi, segera ia membeli tiket
kapal. Tidak ada satu orang pun yang tahu kalau dirinya
adalah seorang wanita yang pernah bertunangan. Dengan
cara menyamar, Berenis masuk ke dalam dunia para lelaki.
Sayangnya, kapal yang ditumpanginya harus jatuh ke tangan
bajak laut setelah terguncang oleh badai dan ombak selama
berhari-hari. Untunglah para pembajak itu mengetahui
kalau Berenis mahir baca tulis dan menggambar peta
sehingga dirinya tidak dijual sebagai budak. Saat kapal yang
ditumpanginya berlabuh di Dermaga Askalan, sebagian
dari awak kapal keluar untuk bermukim di rumah warga.
Keadaan yang seperti ini segera dimanfaatkan Berenis untuk
melarikan diri.
“Dalam pelarian ini, saya dibantu seorang nakhoda
yang berasal dari Suaybe. Sungguh kasihan sekali dirinya.
Ketika membantu pelarian ini, ia harus menderita luka di
punggungnya. Saat itu, saya berniat mengunjungi rumahnya
di Suaybe untuk mengembalikan berkas-berkas yang
tertinggal.
Setelah itu, saya merelakan diri menjadi buruh selama
tujuh hari penuh agar dapat ikut kailah yang akan berangkat
dari Askalan menuju Jeddah. Selama tujuh hari itu saya
78
dipekerjakan untuk melayani kawanan perampok berhati
bengis untuk memuaskan segala kebutuhan makan dan
minum mereka. Lebih dari itu, saya juga harus membayar
tiga keping perak agar terdaftar sebagai rombongan karavan.
Karena postur tubuh yang kecil, saya tercatat ke dalam
rombongan dengan nama as-Sagir.
Dalam perjalanan itu, saya kemudian dibayar rombongan
Ajdadi Akbar untuk memenuhi kebutuhan mereka akan air.
Namun, setelah salah satu pemimpin rombongan tersebut
tahu bahwa saya mampu baca tulis, saya pun dipekerjakan
sebagai sekretarisnya. Kebetulan, majikan saya seorang yang
cukup berpengalaman dan memiliki ilmu yang banyak.
Selama perjalanan mengarungi padang pasir selama dua
tahun, hanya dirinya yang berhasil mengetahui kalau saya
adalah seorang wanita.”
Mendengar penuturannya ini, Khadijah menjadi semakin
tertarik dan menyimaknya dengan saksama.
“Sungguh luar biasa, Berenis. Usiamu masih sangat muda
tetapi segudang pengalaman sudah kamu miliki. Ayolah
ceritakan bagaimana akhirnya identitasmu bisa diketahui?”
“Waktu itu, saat seharusnya sudah menenangkan untauntanya, badai pasir menerjang dengan tiba-tiba sehingga
unta-unta berlarian. Saya yang seharusnya lari mengejar unta
kuat dan galak, yang khusus untuk mengangkut perhiasan
dan barang-barang berharga, malah keliru mengejar unta
yang mengangkut parfum dan cermin. Padahal, unta yang
saya kejar tersebut lebih lembek dan lebih jinak daripada
yang semestinya dikejar. Selain itu, unta-unta pengangkut
kekayaan memang ditugaskan khusus kepada para pekerja
seperti saya. Dan saya sendiri juga tahu kalau tugas menjaga
79
_ Pasar
unta ini bisa jadi melayangkan nyawa. Namun, lihatlah apa
yang saya lakukan?”
Dua wanita yang duduk bersimpuh berdekatan ini sangat
menikmati perbincangan seraya sesekali saling tertawa,
seakan-akan melepas beban berat yang sama-sama dipikul.
“Coba bayangkan, Tuan Putri, saya malah berlari
mengejar unta yang salah. Dari sanalah majikan saya tahu
kalau diri ini adalah seorang wanita.”
Sebenarnya Khadijah merasa geli mendengar kisah itu.
Namun, ia yakin jika Berenis tampak layak dan lebih manis
untuk tersenyum. Ia pun meluapkan kasih sayang yang lebih
mendalam kepadanya. Segera ditawarkan jus kurma dingin
yang ada di sampingnya. Karena sedemikian penuh isi hati
Berenis, ia pun kembali menuturkan kisahnya.
“Majikan saya telah mengetahui hal yang sebenarnya.
Saat saya mulai menuturkan keadaan dengan sejujurnya,
justru ia sendiri yang sangat bersedih. Ia memberi tahu
kalau selama dua tahun ini ayah saya telah mengirimkan
utusan untuk mencari saya. Kemudian, ia berkata, ‘Kamu
adalah Berenis yang selama ini doa-doa dipanjatkan dan
acara-acara kurban dipersembahkan.’ Begitu mendengar ia
menyebut nama saya, setelah sekian lama diri ini kembali
terbangun dari tidur. Sebelum sampai rahasia ini diketahui
orang lain, majikan saya rela membawa saya ke kota Busra
di Syam. Sesampai di sana, saya dititipkan kepada seorang
pendeta pengasuh gereja bernama Nastura. Ia adalah seorang
alim Nasrani. Demikan halnya dengan ayah saya yang
terkenal sebagai alim di Habasyah. Dalam acara khataman
Taurat dua kali dalam satu tahun, pendeta Nastura selalu
mengundang para alim dari Habasyah dan Sudan. Ternyata,
80
pada acara khataman yang akan diselenggarakan tahun itu,
para utusan setia ayah sayalah yang datang. Coba bayangkan
Tuan Putri, bagaimana ekspresi mereka saat menemukan
diri saya? Saking bahagianya, dalam satu malam mereka
mengeluarkan sedekah yang cukup untuk membahagiakan
seluruh orang fakir yang ada di seantero Syam. Nah, mereka
yang sekarang berada di bawah itu adalah orang-orang yang
telah menemukan saya.”
Setelah begitu banyak bicara, bahkan tanpa bernapas,
kini Berenis mulai terdiam. Ia tertegun untuk beberapa saat.
Ya, setelah lama terdiam, Berenis seakan-akan menemukan
media untuk menumpahkan semua isi hatinya.
“Mohon maaf Tuan Putri, tanpa sadar saya sudah
lancang karena begitu banyak bicara. Anda pun terpaksa
mendengarkannya.”
“Berenis, bukankah sebelumnya sudah aku katakan
kepadamu kalau dirimu adalah orang yang terpilih?
Perhatikan saja, setelah melalui perjalanan begitu panjang,
engkau bisa sampai ke sini. Inilah suratan takdir. Sungguh,
perjalanan hidup yang teramat besar maknanya. Kami di sini
terlalu sederhana bila dibandingkan dengan kehidupanmu.
Mungkin satu hal yang mesti kamu juga tahu bahwa dalam
kisah hidup yang besar itu tentunya tidak ada satu hal
sekecil apa pun yang sia-sia. Kisah yang digubah oleh Sang
Pencipta teramat luas. Dan kita semua hanyalah sepenggal
adegan kecil dalam kisah itu. Sebenarnya, Ursa tidaklah
meninggalkanmu. Dia hanyalah lantaran sebab agar dirimu
bisa sampai ke sini setelah menempuh perjalanan sepanjang
ini. Semuanya hanya sebatas itu.”
81
_ Pasar
Dalam pembicaraan yang hangat itu, mereka tidak tahu
bagaimana waktu berlalu. Barulah mereka sadar dan kembali
dalam suasana penuh riang ketika terdengar bunyi ketukan
terompah yang disertai batuk kecil. Mereka kenal dengan
suara itu. Itu pasti Waraqah. Sebagaimana akhlak sopan
santun, ia tidak pernah memasuki ruangan tanpa mengetuk
pintu terlebih dahulu.
“Salam, semoga keselamatan untukmu Khadijah dan
tamu muda kita.”
“Silahkan masuk, Paman. Kebetulan, saya dan Berenis
sedang duduk-duduk sambil menunggu kedatangan Anda.”
Demikianlah Khadijah. Meski bertubi-tubi rintangan
dan ujian menerpanya, ia adalah orang yang berjiwa besar,
yang menyadari dirinya selalu menjadi tumpuan orangorang di sekitarnya. Tidak salah tebakan Waraqah. Berenis
dapat menjadi teman curahan hati Khadijah. Meski kedua
mata Waraqah tidak mampu melihat wajahnya, ia bisa
merasakan adanya kebahagiaan yang berembus dari hati
mereka berdua.
“Khadijah adalah buah hati kami, tamu kecilku. Setiap
kali ada kesusahan, dialah yang selalu tampil untuk
membantunya,” katanya seraya duduk di sampingnya.
Mungkin Waraqah sudah tahu perjalanan panjang dan
cerita yang hendak disampaikan tamu wanita yang berambut
cepak itu. Namun, ia masih sangat penasaran dengan cerita
yang hendak disampaikan tamunya yang berambut panjang.
Meski demikian, setiap rahasia harus tetap dikembalikan
kepada orang yang menyimpannya. Karena itulah ia
memberi tanda dengan mengundang Berenis ikut makan di
ruang makan bersama para tamu lainnya. Dengan demikian,
82
Waraqah kini bisa berdua saja dengan kemenakan sekaligus
sepupunya itu.
Saat itulah Khadijah mulai menuturkan apa yang hendak
ia ceritakan, seolah-olah mimpi yang baru saja dialami tadi
pagi dirasakan lagi kembali. Ia pun menuturkan mimpi
itu dengan penuh kesungguhan. Ia bahkan merasa masih
berada dalam mimpi itu. Sesekali Waraqah menganggukkan
kepalanya, seperti mengamini apa yang diceritakan
kemenakannya itu. Setelah selesai bercerita, sang paman
berkata bahwa mimpi yang dialami Khadijah adalah ‘sebuah
hakikat’. Ia juga menyampaikan kepada Khadijah kalau
kehidupan dunia ini tidak lain merupakan salah satu tabir
mimpi. Seringkali ia mengulangi perkataannya bahwa
‘selama kita dalam keadaan tidur, kedua mata kita yang
terpejam ternyata masih juga dapat melihat. Berarti, ada
penglihatan di balik penglihatan itu sendiri’.
“Anakku,” katanya, “engkau adalah amanah dari mendiang
ayahku dan juga ayahmu. Aku tahu engkau telah melewatkan
kehidupanmu dengan begitu banyak rintangan yang harus
dihadapi. Aku sangat menghargai semua perjuanganmu
ini. Engkau adalah wanita tangguh dengan kesabaran dan
kecekatan dalam berpikir. hahirah, demikian semua orang
menyebutmu. Itu berarti seorang wanita suci yang layak
menjadi contoh bagi semua wanita di Mekah. Sebelumnya,
aku juga pernah menyampaikan kepadamu bahwa dunia
tempat kita hidup ini kini telah memasuki masa kebangkitan
kembali. Sumber mata air kehidupan telah mulai memancar
di tengah-tengah padang pasir dan di lereng-lereng urat
nadi pegunungan. Mereka yang mampu merasakannya
telah lama menantikan kedatangannya. Ya, kita semua telah
83
_ Pasar
lama menantikan kedatangan seorang nabi terakhir. Apa
yang engkau dapati adalah sebuah mimpi yang teramat
sangat besar. Menurut pemahamanku, kelak engkau akan
menjadi istri dari sang nabi terakhir. Hanya Allah sendiri
Yang Mahatahu dengan apa yang sebenarnya akan terjadi.”
Setelah berdiskusi, Khadijah kembali menemui Berenis.
Sebelum meninggalkan rumah Waraqah, ia menanyakan
apakah Berenis akan berpisah dengan saudara-saudaranya
dari Habasyah atau tidak.
Setelah selesai bercerita, sang paman
berkata bahwa mimpi yang dialami
Khadijah adalah ‘sebuah hakikat’. Ia
juga menyampaikan kepada Khadijah
kalau kehidupan dunia ini tidak lain
merupakan salah satu tabir mimpi.
Seringkali ia mengulangi perkataannya
bahwa ‘selama kita dalam keadaan
tidur, kedua mata kita yang terpejam
ternyata masih juga dapat melihat.
Berarti, ada penglihatan di balik
penglihatan itu sendiri’.
84
“Ia masih akan tinggal bersama dengan mereka untuk
beberapa saat,” katanya. Waraqah juga ingin memberi kabar
kepada orangtua Berenis dengan menyuruh wanita itu
menulis surat kepada keluarganya.
“Semoga Berenis betah tinggal di sini dan kelak mendapat
pekerjaan di sini.”
Mereka bersama-sama turun ke lantai bawah. Di tempat
itu sudah terlihat begitu banyak tamu. Mereka adalah para
petinggi Mekah, teman-teman Waraqah. Khadijah pun
menyempatkan diri berpamitan sebelum pergi.
“Wah, sekarang orang-orang yang akan membuat
masalah dengan para bangsawan Mekah sudah berkumpul
di sini,” kata Waraqah.
Ya, mereka yang duduk di sofa ruang tamu rumah
Waraqah adalah orang-orang yang dianggap sebagai
pembuat masalah bagi hierarki para bangsawan Mekah.
Mereka adalah kaum para penentang. Bagaimana tidak? Para
bangsawan Mekah yang berkuasa dalam urusan perdagangan
dan peribadahan kian hari kian serakah. Mereka juga
memimpin dengan menggunakan kekerasan. Sama sekali
tidak peduli dengan penindasan dan perdagangan budak
yang semakin merajalela. Bahkan, mereka ikut berperan
dalam memperkeruh suasana, ikut mendukung pesta
mabuk-mabukan, perzinaan, perampokan, dan penjarahan
harta rakyat. Akibatnya, yang miskin semakin miskin dan
yang tertindas semakin menderita. Keadaan perekonomian
juga semakin terpuruk. Hal itu masih ditambah praktik
perjudian, monopoli perdagangan, serta penindasan dengan
mengenakan pajak dan bunga tanpa ukuran.
85
_ Pasar
Belum lagi keadaan yang memiriskan hati di sekitar
Baitul-Atik. Para tuhan berhala mereka hanya terpaku
diam seribu kata mendapati segala macam kemaksiatan dan
tindak kemusyrikan.
“Lihat! Semua kemaksiatan dan tindak kebiadaban
dilakukan di depan berhala Hubal. Namun, berhala yang
buta, tuli, dan bisu itu hanya melotot tanpa sedikit pun
melakukan apa-apa.”
Semua orang yang berada di rumah Waraqah tidak
henti-hentinya mencerca Hubal, salah satu berhala yang
berbagai macam kurban selalu dipersembahkan untuknya.
Di samping syirik, semua ritual itu telah dipergunakan oleh
para bangsawan untuk mendulang kekayaan.
Kisah tragis dialami seorang ibu yang sudah tua renta.
Anaknya yang baru berusia lima tahun tuli dan buta.
Segala upaya telah dilakukan. Dengan penuh harap, ia pergi
bersama dengan sang anak ke Mekah. Perjalanan panjang
telah ditempuhnya selama berhari-hari. Namun, sesampai
di Mekah, ia dipaksa pelayan-pelayan para bangsawan yang
menguasai tempat-tempat peribadahan untuk berkurban
demi Hubal. Sang ibu yang malang ini sama sekali tidak
memiliki cukup biaya untuk mengadakan upacara kurban.
Ia pun dihardik mereka dengan cercaan dan siksaan.
Penderitaanya tidak berhenti di situ. Ia masih harus
berurusan dengan para peramal. Tidak kalah bengisnya
dengan para penjaga tempat-tempat peribadahan yang
selalu mabuk, para peramal pun memaksa sang ibu yang
nahas itu untuk mengeluarkan kurban.
“Sungguh, kebiadaban macam apa ini. Bagaimana
mungkin tuhan meminta upeti, uang sogokan? Bagaimana
86
para pengabdi tuhan itu bahkan sampai menodai kehormatan
para wanita, bahkan yang sudah lanjut usia!?” teriak Waraqah
dan teman-temannya.
Mereka memang merasa sangat risi dan terganggu
dengan semua bentuk kebiadaban itu. Mereka tidak
terima dengan perlakuan para berandal Mekah yang
memanfaatkan orang-orang miskin dan papa. Berontak
hati mereka mendapati tindakan tidak berperikemanusiaan
itu. Memeras, merampas, dan memanfaatkan orang-orang
yang memang sudah menderita dan berada dalam keadaan
sangat membutuhkan. Mereka sudah tidak sabar melihat
kondisi yang menimpa Mekah seperti ini. Di antara mereka
itu adalah Zaid bin Amr, Waraqah bin Naufal, Utsman bin
Huwairits, dan Ubaidillah bin Jahsy. Mereka berkumpul di
rumah Waraqah untuk bahu-membahu mencari jalan keluar
atas segala kejadian yang terjadi di depan mata berhala
Hubal. Mereka juga bersama-sama mengucapkan sumpah
berikut.
“Kami bersumpah untuk bersatu, bahu-membahu, dan
melindungi satu sama lain. Kaum kita berada dalam jalan
yang salah. Mereka telah meninggalkan agama Nabi Ibrahim,
dan bahkan malah menentangnya. Mereka telah menganut
agama yang salah. Mereka dengan bodoh telah menyembah
berhala yang tidak akan mendatangkan kebaikan maupun
keburukan. Kita harus mencari agama yang lurus.”
Setelah berucap sumpah itu, sebagian dari mereka
mengikuti panggilan hati nurani untuk menelusuri agama
yang benar. Waraqah dan Zaid bersama-sama pergi ke
Syam. Di sanalah mereka bertemu dengan para alim agama
Musawi. Mereka pun mengkaji dan mendiskusikan berbagai
87
_ Pasar
pertanyaan. Setelah melalui proses penelitian yang panjang,
Waraqah memutuskan memeluk agama Musawi, sementara
Zaid tetap pada pendiriannya untuk terus mencari. Ia masih
belum menemukan agama yang dapat memuaskan jiwanya.
Sekembalinya ke Mekah, mereka masih sering bertemu
untuk berdiskusi, bertafakur menelaah keadaan, seraya
mencari jalan keluar. Bahkan, kadang mereka keluar
kota untuk mengasingkan diri. Mereka memang selalu
dipinggirkan bangsawan Mekah karena tidak mau
mengikuti kehidupan yang penuh dengan kemaksiatan dan
kemusyrikan.
Waraqah juga sering mengadakan perjalanan panjang
bersama dengan teman-temannya. Saat kembali, mereka
membawa unta-unta yang penuh dengan buku-buku
berharga. Dengan buku-buku tersebut, mereka mengadakan
acara membaca dan berdiskusi bersama. Tak heran
kalau dalam beberapa tahun saja mereka telah memiliki
perpustakaan besar.
Pada suatu waktu, ada seorang alim Nasrani yang datang
ke Mekah. Zaid pun menerimanya sebagai tamu selama
beberapa hari di rumahnya. Dari dirinyalah Waraqah mulai
mengenal Injil. Selang beberapa lama, banyak hal yang
ia dapatkan darinya. Bahkan, pada masa selanjutnya, ia
memutuskan memeluk agama Nasrani.
Kini, Waraqah telah menganut agama Nasrani, di
samping juga menganut agama Musawi sejak masa
sebelumnya. Hanya saja, teman dekatnya, Zaid, masih
terus mencari dan mencari agama yang benar. Bahkan,
suatu ketika dia pernah marah seraya berkata kepada para
pendeta, “Tidak ada banyak perbedaan antara agama kalian
88
dengan agama kaumku. Kalian juga berbuat syirik kepada
Allah. Satu-satunya hal yang membedakan antara agama
kalian dan agama kami hanyalah sebatas kalian menyebut
nama Allah.”
Demikianlah, Zaid tidak pernah merasa puas dengan apa
yang ia dengar maupun baca.
Kritik-kritik tajam yang dilancarkan kepada para
aristokrat kadang disebabkan permasalahan-permasalahan
yang menyangkut ekonomi. Namun, sebagian besar karena
dasar-dasar keyakinan. Kian hari, Mekah telah menjadi kota
yang semakin jauh dari keyakinan yang lurus. Sejak hari
didirikannya kota Mekah, sama sekali tidak pernah didapati
badai kemusyrikan yang sedemikian parah seperti sekarang
ini.
Mungkinkah perjuangan Ibunda Hajar bersama dengan
putranya, Ismail, dan jerih payah Ibrahim untuk mendirikan
Kakbah hanya untuk menyaksikan semua kekotoran ini?
Pertanyaan besar inilah yang membuat Waraqah dan
keempat temannya yang lain sering berkumpul memikul
penderitaan yang dialami Mekah.
Di samping Waraqah dan keempat kawannya, ada
beberapa orang lagi yang ikut memenuhi ruang tamu
rumahnya. Mereka adalah Suwayd bin Amr, Waki bin
Salama, Amr bin Jundub, Abu Kays, Zarb al-Adwani, Allaf
bin Syihab, Umayyah al-Kinani, Zuhair bin Abu Salma, Gays
al-Absi, Abdullah bin Kudai, dan Umayyah bin Abus Salt.
Zaid bin Amr adalah salah satu di antara mereka yang
paling bersemangat, meradang, dan menerjang. Saat keluar
dari rumah Waraqah, Khadijah mendengar dirinya membaca
puisi berikut.
89
_ Pasar
Saat diriku melakukan sesuatu,
Bukan atas seribu,
Melainkan atas Tuhan yang satu,
Aku menundukkan kepalaku
Aku tinggalkan dia, Latta dan Uzza
Seperti halnya bebatuan yang sama sekali tak berharga
Inilah yang pantas dilakukan oleh para kesatria,
Pegangan teguh bagi orang yang kuat dan bersabar.
Karena itulah diriku,
Tidak percaya kepada Uzza maupun yang lainnya.
Tidak sudi baik pada tuhannya Bani Amr mapun Gunnam.
Ah, Hubal! Tidak mungkin aku menghamba kepadamu!
Meski ia telah mendakwahkan dirinya sebagai tuhan
Di saat akalku belum sempurna
Namun diriku bukan seorang bocah maupun orang gila.
Meski telah berulang-ulang diingatkan untuk lebih
berhati-hati agar ancaman para bangsawan Arab tidak
membahayakan dirinya, kebersihan jiwa Zaid telah
membuka semua pintu kebisuan dirinya. Benarlah apa yang
telah dikhawatirkan itu. Setelah berseru kepada orang-orang
Mekah di depan Kakbah agar meninggalkan perbuatan
syirik dengan menyembah berhala, orang-orang Mekah
berkeputusan untuk mengasingkannya di tengah-tengah
padang pasir. Setelah beberapa lama, ia meninggal dunia di
tangan para perampok.
Demikianlah, Zaid bin Amr telah menjadi orang yang
pertama kali berkorban demi keyakinan yang benar sebelum
sampai datangnya Sang Utusan Terakhir. Sang Nabi pun
telah menaruh hormat kepadanya, “Meski Zaid seorang diri,
dia bagian satu umat.”
90
Tidak diragukan lagi, dirinya adalah contoh bagi para
penerus ahli hakikat setelahnya.
Sebenarnya orang-orang yang berkumpul dalam ruang
tamu itu merupakan bentuk persaudaraan di tengah-tengah
masa yang sedang kritis. Mereka adalah orang-orang yang
mendapati agama Musawi dan Nasrani telah hancur dalam
berbagai perubahan, sementara ajaran Islam masih belum
datang dalam pekatnya malam. Teramat sangat berat ujian
yang mereka derita. Sampai akhir hayat, mereka masih
dalam pencarian hakikat dan kebenaran. Salah satu di
antara mereka, Utsman bin Huwairits, bahkan telah pergi
hingga ke Byzantium. Karena ketulusannya mencari hakikat
dan kebenaran, ia diterima di istana Konstantinopel. Setelah
mengikuti berbagai acara diskusi ilsafat dan agama di sana,
ia akhirnya memeluk agama Nasrani. Meski demikian,
perjalanannya untuk terus mencari tidak pernah berhenti.
Ia kemudian mengembara hingga ke Habasyah. Di sana ia
bertemu dengan sang raja yang juga beragama Nasrani,
Aswad bin Asad. Sayang, ia didakwa sebagai mata-mata
Konstantinopel sehingga harus menemui ajal di sana.
Abdullah bin Jahsy mungkin yang paling menderita di
antara mereka. Ia juga telah mengunjungi berbagai negara
sebelum akhirnya menetapkan diri untuk memeluk agama
Nasrani. Sebenarnya, ia telah mendapatkan kesempatan
memeluk agama Islam dan beriman atas kenabian Sang
Utusan Terakhir bersama dengan rombongan kaum muslim
yang hijrah pertama kali ke Habasyah. Namun, kedekatannya
dengan masyarakat Habasyah telah memaksa dirinya
menetap di sana dan kembali memeluk agama Nasrani.
Perjuangan mereka mencari dan mendapati serangkaian
91
_ Pasar
ujian demi mendapatkan keyakinan yang benar bersamaan
dengan bergeraknya masa kegelapan.
Bumi telah terguncang,
Mekah mulai bergerak merangkak menuju ke masa
penuh akan cahaya,
Mekah telah mengandung janin yang akan membawa
berita gembira.
92
Musim Semi
P
ergantian musim di Mekah ibarat lagu yang rumpang
liriknya.
Lihatlah, musim panas datang begitu cepat diikuti
musim gugur. Itu berarti akan datang saat mengambil jeda
dalam menyanyikan sebuah lagu sebelum datang musim
semi. Musim ketika penduduk kota Mekah dapat bernapas
dengan lega.
Namun, kedatangan musim semi di kota ini hanyalah
sesaat. Bahkan, kedatangannya seolah tidak terasa. Ia datang
tanpa memperlihatkan wajahnya yang begitu memesona.
Wajahnya tampak pucat. Satu matanya tersenyum binar,
sementara satu mata lainnya terlihat menangis. Demikian
itulah sejatinya musim semi di kota Mekah. Ia menutup
satu daun pintunya dari musim dingin dan membuka satu
daun pintunya bagi musim panas dengan kedua tangannya
yang gemetar. Karena itulah kehidupan di kota Mekah tidak
pernah menyempatkan penduduknya hidup bermalasmalasan. Tidak pula untuk tersenyum ataupun menangis.
Itulah ketentuan kehidupan di sana. Bahkan, saat berakhir
musim dingin hingga bergantinya ke musim panas, mentari
berlalu dengan begitu cepat sehingga setiap orang bingung
dengan apa yang telah dialaminya, sementara kehidupan
setelah itu akan berlalu dalam terik surya yang sedemikian
pedih menyengat kehidupan.
Ketika musim panas menyengat dengan tiba-tiba, saat
itulah kerinduan akan musim semi selalu terbayang dalam
93
_ Musim Semi
kehidupan Mekah. Ah, mentari, tidakkah engkau akan
pernah membiarkan seberkas rahasia tertutupi di muka bumi
ini? Padahal, banyak sekali rahasia yang masih terbenam
di hamparan musim dingin sampai dengan berganti ke
musim panas. Rahasia yang akan menjadikan benih-benih
pengharapan berkecambah dengan lembapnya cuaca.
Lalu, bagaimana dengan Mekah?
Teriknya mentari tidak akan pernah mengizinkan musim
semi berlalu dengan perlahan. Setiap rahasia dan kenangan
yang tersimpan di musim semi, tanpa sadar, sudah tersengat
teriknya mentari di musim panas sehingga rerumputan tidak
akan mungkin bisa tumbuh di tengah-tengah padang pasir.
Begitulah, padang pasir akan selalu menganga tanpa
selimut di sepanjang musim.
Rerumputan yang melambangkan cinta dan kehidupan
tidak akan pernah tampak dalam kehidupan padang pasir.
Meski demikian, kota tua ini telah memiliki cara tersendiri
dalam menyimpan rahasia sejak zaman nenek moyang
hingga ke generasi masa depan. Padang pasir memang
tidak pernah mengenal musim semi dan rerumputan yang
tumbuh di atasnya. Namun, ia tetap saja memiliki sejuta
benih rahasia yang tersebar di seluruh hamparan pasirnya.
Ia tak berselimut padang pasir karena selimutnya adalah
dirinya sendiri. Dirinya sunyi tanpa musim semi. Setiap
rahasia yang hendak terucap dari mulutnya selalu terhenti
dalam hawa panas yang tersedak. Ia bagaikan kebisuan
tanpa penghujung dan batas. Ia adalah padang pasir.
Meski hanya sekejap, tetap saja dengan perasaan malumalu musim semi ingin membelai para wanita kota Mekah.
Tak heran, bagi para wanita di kota itu, musim semi adalah
94
sebuah mimpi yang tidak pernah boleh ditabiri, bahkan
dibagi. Meski tidak mengalaminya, setidaknya mereka
sering mendengarkan cerita tentang musim semi. Misalnya,
tidak jarang mereka mendengar tentang Yaman, negeri yang
menurut mereka penuh dengan curahan hujan serta makmur,
dengan limpahan tanaman gandum yang berbuah lebat.
Belum lagi tentang kota tetangga mereka, haif. Mereka
semua tahu keteduhan kota itu. Bentangan perkebunanperkebunan anggur dan berbagai macam tanaman buah
telah membuat kota itu hijau di musim semi. Belum lagi
Yastrib yang terkenal dengan perkebunan kurma. Dan kini,
para wanita Mekah telah berbisik tentang keindahan kota
Yastrib yang rimbun dengan kebun-kebun palma, dengan
kelebatan buah kurma yang seolah menjadi mahkotanya.
Lalu, bagaimana dengan karavan yang akan datang dari
Bahrain? Atau perhiasan-perhiasan dari kerang dan mutiara
yang akan dijajakan di awal-awal bulan April?
Semua pembicaraan seperti ini mampu membuat seluruh
penduduk Mekah semakin tersentak sehingga bermulalah
perjalanan-perjalanan panjang yang menyenangkan. Untaunta dan kereta-kereta kuda penuh dengan perlengkapan
telah dipersiapkan untuk mengadakan perjalanan panjang
menuju Syam, Homs, Busra, dan daerah perbukitan Golan.
Ya, karena kedatangan musim semi telah menjadikan
unta-unta tidak sabar lagi untuk mengetukkan langkahlangkahnya menuju Syam.
Meski musim semi datang dengan sembunyi-sembunyi,
para wanita muda pasti akan tahu saat kedatangannya ke
Mekah. Bagi mereka, kedatangan musim semi berarti
awal persiapan untuk musim panas atau awal dimulainya
95
_ Musim Semi
perjalanan panjang, awal masyarakat sibuk beraktivitas lagi.
Bukankah setiap kesibukan itu akan mendatangkan berkah
dan setiap keberkahan akan mengundang pesta tunangan
dan pernikahan? Ya, para wanita muda tahu semua itu.
Karena itulah mereka selalu menghitung hari. Menantikan
kedatangannya sembari menyisir rambut, dan duduk di
samping jendela. Bahkan, saat-saat itu mereka menjadi
begitu rajin pergi-pulang mengambil air dari sumber mata
air umum dengan wajah penuh senyum. Kaki mereka
melangkah dengan berjingkat untuk menimbulkan suara
gemerincing dari hiasan-hiasan yang terikat di pergelangan
kedua kaki. Mereka memang mengetahui makna ayyam-i
buhur, hari-hari di musim semi.
Dalam pandangan mereka, para wanita muda, upacara
tunangan dan pernikahan bergantung kepulangan para
saudagar dari berdagang di tanah Syam. Semua kebutuhan
menjelang pernikahan, seperti maskawin dan keperluan lain,
dipersiapkan di sepanjang musim semi. Dan untuk semua
ini, setiap wanita muda sangat bergantung pada kepulangan
para saudagar dengan barang-barang bawaan mereka yang
diangkut kereta dan unta. Ya, musim semi begitu berarti
bagi mereka.
Kedatangan musim semi bagaikan alarm jam yang telah
dipasang di tengah-tengah kota Mekah. Musim yang akan
menyulut pemuda-pemudi Mekah dengan semangat yang
tak terhingga. Setiap sudut kota, jalan, dan gang-gang
terbakar oleh atmosfer masa-masa itu. Mereka yang lanjut
usia pun kembali berjiwa muda. Bahkan, orang-orang yang
sedang dalam sekarat kembali ingin berbuat amal kebaikan
untuk yang terakhir kalinya.
96
Demikianlah, hari-hari pada masa-masa itu berlalu begitu
lembut. Menyenangkan bagaikan susu yang segar karena
para ibu yang menuruni perbukitan dengan membawa air
susu segar akan menuju pusat kota untuk mencari bayibayi yang baru lahir. Di masa-masa itulah keberuntungan
para ibu susu akan ditentukan. Yang bernasib baik akan
pulang membawa bayi mungil yang masih dalam buaian.
Bani Sa’ad terkenal dengan wanitanya yang subur, tangantangan besar terampil, dan memiliki banyak ASI. Semua
orang tahu soal keindahan dan kegembiraan batin dalam
hati para calon ibu susu saat mereka menuruni lembah di
antara dua bukit Safa dan Marwa untuk menuju pusat kota.
Mereka turun dari perkampungannya di pucuk perbukitan
dengan membawa keju dan susu kering yang mereka buat
sendiri yang disebut dengan kisyk. Kudapan itu mereka
bagi-bagikan di tengah pasar di sepanjang perjalanan. Para
pedagang di pasar memandang para ibu susu yang baru
saja turun dari pegunungan itu sebagai pembawa berkah di
musim semi sehingga mereka pun menyambutnya seperti
tamu kehormatan.
Dan bermulalah segala macam persiapan yang diliputi
semangat dan keriangan. Musim semi berarti suntikan
darah segar bagi mereka.
Para pembuat ember karet terlihat sangat bersemangat.
Mereka bekerja siang malam agar dapat sesegera mungkin
menghasilkan ember sebanyak-banyaknya. Demikian pula
dengan para perajin sepatu kuda. Tenaga mereka tampak
pulih. Tidak kenal lelah, mereka menempa besi dengan palu
sekencang-kencangnya. Bengkel-bengkel milik pandai besi
97
_ Musim Semi
Sehari-hari, Khadijah dibantu saudara
wanitanya, Asma. Saudaranya itu
bertugas menjadi pengawas agar tidak
merugi. Tidak hanya itu, Asma juga
kadang ikut menjadi komisioner agar bisa
mengetahui perubahan harga maupun
kecurangan-kecurangan yang bisa terjadi
pada usaha dagangnya. Dari situlah
ia mengetahui sosok Abu Thalib dan
kemenakannya yang sudah yatim-piatu.
Keduanya seolah menjadi tolok ukur dan
referensi yang baik untuk usaha dagangnya.
tidak pernah berhenti istirahat. Asap mengepul dan api
membara. Para ahli pedang juga terlihat serius menggarap
kerajinannya. Mengasah hasil kerja kerasnya dengan
saksama. Mencoba ketajamannya dengan berulang kali
menyambarkan ke udara. Para pemandu wisata juga semakin
lantang menuturkan sejarah dengan memungut imbalan
lebih dari biasanya. Hal ini sering membuat para pelancong
marah dan sebal. Belum lagi para penjual karpet tenun
yang semakin keras menyanyikan lagu-lagu daerah sembari
berkeliling dengan gerobaknya. Tak luput para pelatih elang
98
yang terlihat sedang giat melatih burung piaraannya sambil
mengajarinya menghafalkan rute perjalanan. Begitu pula
para penipu dan perampok yang juga ikut beraksi di tengahtengah perjalanan. Singkatnya, semua orang menampakkan
kehidupan baru, aktivitas baru. Mekah telah berhawa
ayyam-i buhur.
Tidak hanya para bangsawan yang memiliki harta banyak
yang bergembira menyambut datangnya hari-hari di musim
semi. Mereka yang tidak cukup punya modal pun sudah
dapat untung dengan berdagang di dalam kota Mekah. Abu
halib, misalnya. Ia adalah anak Abdul Muthalib, teman
dekat ayahanda Khadijah. Ia dan Khadijah bergelut di
usaha perdagangan. Sehari-hari, Khadijah dibantu saudara
wanitanya, Asma. Saudaranya itu bertugas menjadi pengawas
agar tidak merugi. Tidak hanya itu, Asma juga kadang ikut
menjadi komisioner agar bisa mengetahui perubahan harga
maupun kecurangan-kecurangan yang bisa terjadi pada usaha
dagangnya. Dari situlah ia mengetahui sosok Abu halib dan
kemenakannya yang sudah yatim-piatu. Keduanya seolah
menjadi tolok ukur dan referensi yang baik untuk usaha
dagangnya. Asma juga tidak jarang menuturkan kebaikan
dan kejujuran usaha dagang paman dan kemenakannya ini,
terutama saat perdagangan di kota Mekah dipenuhi dengan
kecurangan. Hampir semua orang tidak bisa dipercaya.
Setiap orang yang diberi amanat untuk menjaga karavan
bisa melakukan kecurangan, bahkan menggelapkan barang
dagangan. Kerusakan dunia perdagangan di Mekah juga tak
luput menimpa usaha dagang Khadijah. Sudah berulang
kali dirinya rugi besar setelah ditipu para makelar dan wakil
dagangnya.
99
_ Musim Semi
Dalam dunia perdagangan yang seperti inilah kini musim
panas telah di ambang pintu.
Menjelang dimulainya perjalanan dagang ke negaranegara tetangga, Khadijah ingin usaha dagang miliknya
harus segera diamanahkan kepada orang yang bisa dipercaya.
Berhari-hari keinginan itu memenuhi pikirannya.
“Apa yang harus aku lakukan? Kepada siapa kepercayaan
ini harus diberikan?”
Ia pun segera memanggil Asma untuk ikut merundingkan
hal tersebut. Asma rupanya juga kesulitan mencari orang
yang tepat untuk diberikan amanah itu, sebelum akhirnya
menyarankan untuk meminta bantuan kepada kerabat
teman dekat ayahandanya, Abu halib dan kemenakannya.
Sungguh, Khadijah memang sosok yang mumpuni dalam
segala hal. Ia tidak akan terburu-buru dalam mengambil
keputusan. Semuanya dipikirkan terlebih dahulu, dicari
kelemahan dan sumber permasalahannya, baru kemudian
berdiskusi dengan orang yang dipercaya. Orang-orang di
sekelilingnya sering menyebutnya sebagai ahli tadabur.
Seorang yang memiliki basirah. Setiap masalah akan
dipahami terlebih dahulu sampai ke akar-akarnya sehingga
setiap keputusan yang diambil benar-benar akurat, tepat,
dan berumur panjang.
Pembicaraan dan diskusi-diskusi dengan topik
permasalahan yang hampir sama juga terjadi di rumah Abu
halib. Ia menyampaikan kepada kemenakannya yang ia
cintai seperti anaknya sendiri itu bahwa usia dirinya sudah
lanjut.
“Engkau tahu kalau diriku bukanlah seorang yang memiliki
harta banyak. Engkau pun tahu kalau kehidupan di Mekah
100
semakin sulit. Saat ini kita sama sekali tidak memiliki cukup
modal untuk memulai usaha dan tidak juga punya usaha
yang bisa menutup pengeluaran hidup kita setiap hari. Lebih
dari itu, musim panas sudah hampir tiba. Karavan-karavan
yang hendak pergi ke Syam sudah hampir selesai melakukan
persiapan. Unta, barang dagangan, dan segala macam
kebutuhan selama di perjalanan sudah disiapkan. Mereka
semua tinggal menunggu hari untuk memulai migrasi. Anak
kerabat Khuwaylid sampai saat ini masih mencari orang
yang bisa dipercaya untuk melanjutkan usaha dagangnya.
Satu hal yang aku minta darimu adalah agar engkau pergi ke
rumah Khuwaylid untuk menyampaikan kesediaan dirimu
membantu mereka. Ingat, aku sudah terlalu tua. Kalau kita
tidak melakukannya sekarang, aku takut suatu waktu aku
pasti akan menyuruh seseorang melakukannya.”
Sebagaimana biasanya, kemenakan Abu halib
yang bernama Muhammad itu hanya tertunduk malu
mendengar penuturan sang paman yang ia sudah anggap
ayah kandungnya sendiri. Ia sendiri masih belum yakin
untuk pergi ke sana melamar pekerjaan tanpa mereka yang
memintanya. Dalam adatnya, ia tidak pernah menginginkan
pekerjaan sebelum diminta. Meski demikian, ia juga paham
bahwa apa yang disampaikan pamannya benar.
Di usianya yang kedua puluh lima, bekerja sebagai
penggembala biri-biri dan menjadi pembantu karavan
dagang telah ia lakukan. Hari-hari penuh dengan peperangan,
paceklik, dan kekeringan sehingga selembar rumput pun
tidak tersisa di Mekah pernah pula dirasakan. Selain usaha
dagang, hampir tidak ada sumber mata pencarian lain bagi
dirinya dan semua pemuda di Mekah.
101
_ Musim Semi
Di dunia ini, siapa saja yang ia cintai, yang ia ikuti
untuk hidup bersama sebagai keluarga, satu per satu telah
meninggalkan pemuda itu dalam usianya yang masih
muda. Dengan perasaan seperti itulah Abu halib kembali
menatap kemenakannya penuh dengan kepedihan. Ya,
hampir setiap orang mengatakan bahwa Abu halib sangat
mirip dengan ayahanda Muhammad yang telah meninggal
dunia sebelum dirinya dilahirkan. Dan setelah ditinggalkan
ibunda saat usianya enam tahun, kakeknya, Abdul Muthalib,
telah menjadi tumpuhan hidupnya. Meski sang kakek telah
mencurahkan segala perhatian dan kasih sayang, bahkan
telah berupaya menjadi ayah dan ibu baginya, tetap saja ia
sering mendapati cucunya larut dalam kesedihan. Setiap
kali ada acara pesta atau makan-makan, sang cucu yang
tumbuh tanpa ayah dan bunda itu tidak akan pernah datang
jika tidak diundang. Bahkan, meskipun diundang, ia selalu
tampak malu-malu untuk mengambil makanan. Ia pun tak
pernah menampakkan diri atau mengambil tempat duduk
dalam setiap acara dan pertemuan. Sang kakeklah yang
selalu memahami dirinya. Tak heran jika sang kakek sering
mengajaknya menyantap makanan di tempat tersendiri,
seraya berkata kepada yang lain, “Jangan ganggu cucuku ini.
Aku ingin makan bersama dengannya.”
Demikianlah, sang kakek selalu berupaya membantu
cucunya melupakan kepedihan karena ditinggalkan orang
tua. Kini, sang paman juga tidak tega kalau sepeninggalnya
tidak ada orang lain yang bisa mengasuh dan melindunginya.
Sungguh, betapa mirip sekali dirinya dengan sang
ayahanda.
“Aku beri nama cucuku ini Muhammad karena aku ingin
agar pada suatu hari ia menjadi orang yang layak dicintai
102
oleh Allah dan umat manusia di muka bumi,” demikianlah
kata-kata yang sering sang kakek ulangi.
Bahkan, sering pula sang kakek memanggilnya dengan
menyebut namanya. Sang cucu pun selalu bersegera datang
ke samping kakeknya seraya berkata, “Adakah hal yang bisa
saya bantu, Kakek?”
Begitu datang dan berada di sampingnya, Abdul Muthalib
langsung membelainya. Tentulah ia tidak menginginkan
sesuatu dari cucunya. Ia hanya ingin sang cucu berada dekat
di sampingnya.
“Betapa indah sekali namamu,” katanya. “Ini adalah
anakku. Suatu hari dia akan menjadi orang besar,” kata sang
kakek seraya mendudukkan cucunya ke tempat duduknya.
Ingin sekali sang kakek melepaskan kepedihannya.
Dan saat sang kakek meninggal dunia, barulah
Muhammad kecil merasa hidup sebagai seorang yatim yang
sebenarnya. Saat Barakah datang untuk membawanya ke
rumah Abu halib, ia masih tidak kuasa menahan tangis
seraya ingin tetap berada di kamar tempat sang kakek
meninggal dunia.
Siapa saja yang dicintainya di dunia ini, ia harus melawat
kepergiannya....
Dan sekarang, sang pamannya yang juga ia cintai
sebagaimana kakek dan ayahandanya sendiri telah bercucap,
“Aku sudah cukup tua.” Begitu pedih perkataan ini, bagaikan
belati ditusukkan ke dalam dadanya.
Meskipun demikian, terhadap permintaan sang paman, ia
tetap menganggukkan kepala menaatinya. Ia berkeputusan
mendatangi rumah Khuwaylid untuk melamar pekerjaan.
Sebelumnya, ia berdoa di sisi Kakbah mengarah ke Timur
103
_ Musim Semi
agar Allah berkenan mengarahkannya ke jalan yang benar dan
semoga dapat kembali dengan berita yang menggembirakan
sang paman.
Kepedihan yang ia alami sejak kecil telah membesarkan
jiwanya sehingga dirinya sering berbicara dengan hatinya.
Dari dalam hatinya ia utarakan segalanya kepada Tuhan
yang ia imani Esa wujudnya. Ia adalah seorang yang sama
sekali tidak ingin menjadi beban bagi orang lain. Tidak ingin
dirinya menyakiti orang lain. Tidak ada pula kekuatan dalam
dirinya untuk menyakiti orang lain. Karena itulah, sejak
kecil, ia telah terbiasa bekerja dan senantiasa berakhlak
mulia sehingga tidak seorang pun marah karenanya. Ia
selalu membiasakan diri makan bersama yang lain, duduk
bersama yang lain, dan tidak pernah berlebih-lebihan.
Tidak pernah pula ia menyentuh kesenangan dunia, mabukmabukan, dan pesta-pesta seperti yang dilakukan orangorang seumurannya.
Dari urat nadi yang tampak di bawah kelopak matanya,
semua orang akan mengira kalau dirinya selalu menangis
dalam waktu yang lama. Namun, dalam waktu yang
bersamaan, setiap orang akan menjadi terheran-heran saat
mendapati senyuman yang selalu menghiasi wajahnya.
Tidak pernah ada orang yang mendengarnya bersuara
keras. Tidak pernah dirinya berburu dengan menaiki kuda
sebagaimana yang dilakukan orang-orang sebayanya. Saat
dirinya menjadi penggembala biri-biri di pegunungan,
tumbuh-tumbuhan dan hewan yang kesakitan telah
menjadi saksi kasih sayangnya. Ia akan merawat hewan
yang kesakitan penuh dengan kasih sayang. Orang-orang
mengatakan kalau jiwanya mewarisi mendiang buyutnya,
104
Qusay. Saat berhari-hari beruzlah di perbukitan yang tinggi
tanpa turun ke lembah, Qusay tetap tenang dan terus
berdoa, meski makanan yang ada di telapak tangannya
dimangsa burung-burung buas. Ia tetap tenang seraya
dengan penuh perasaan kasih sayang membiarkan burungburung itu makan, bahkan sampai melukainya. Orang-orang
juga sering mengisahkan kalau dirinya sering membalut
kaki kijang yang terluka, mengobati burung-burung yang
sayapnya patah, dan bahkan mampu berbicara dengan para
serigala. Inilah keanehan seorang Qusay, sebagaimana yang
diceritakan banyak orang.
Sebagaimana mendiang buyutnya, Muhammad juga
sering membelai dan mengobati anak biri-biri yang terluka.
Ia sering juga menggendong anak biri-biri yang baru saja
lahir. Ah, hari-hari saat menjadi penggembala. Betapa harihari itu adalah hari-hari yang sangat menggembirakan.
Sayang, hari-hari itu telah lama tertinggal di belakang.
Saat Muhammad muda dalam perjalanan menuju rumah
Khuwaylid, sesekali ia memandangi bukit-bukit yang penuh
dengan bunga-bungaan berwana ungu yang membentengi
Mina. Seolah perbukitan itu memanggil-manggilnya dan
mengajaknya untuk bermain di sana. Ia merenungkan
indahnya kehidupan menjadi seorang penggembala, jauh
dari kerumunan dan keramaian, namun dekat dengan
keindahan Sang Pencipta.
Kini, ia sudah menginjak usia kedua puluh lima.
Membuat senang hati sang pamannya yang ia anggap sebagai
ayahandanya sendiri merupakan utang budi baginya. Karena
itulah, satu hal yang ia pinta dari Allah adalah lamarannya
diterima sebagai karyawan dan dapat segera mengadakan
105
_ Musim Semi
perjalanan dagang. Nantinya, ia akan kembali ke rumah
pamannya dengan membawa hasil dagang yang halal. Sang
kemenakan tahu, rumah sang paman cukup penuh dengan
anggota keluarga. Semuanya ditanggung Abu halib seorang
diri, yang dibantu kemenakannya yang masih muda belia.
Mengapa sang paman akhir-akhir ini sering menyinggung
masalah usianya yang telah lanjut? Kembali terbayang
olehnya cinta dan kasih sayang Abu halib yang teramat
dalam kepadanya.
“Duhai Allah, berikanlah kesehatan kepada Pamanku.
Berkenanlah Engkau memberikan imbalan yang setimpal
atas kebaikannya.”
Dengan perenungan seperti itulah ia melangkah ke
rumah Khuwaylid. Sesampai di sana, ia disambut penuh
penghormatan dan kegembiraan oleh seluruh pembantu
yang ada. Sang Tuan Putri sendiri sedang duduk beristirahat
di lantai dua. Ibunda seluruh kota Mekah yang terkenal
begitu jujur, berhati bersih, dermawan, yang terhormat
jiwanya sekaligus bersahaja.
Dengan penuh perasaan malu dan hormat, pemuda itu
menyapanya.
Ia pun berdiri.
Setelah menjawab salamnya dengan memberi isyarat
anggukkan kepala, Khadijah kemudian mempersilakan
dirinya yang datang dengan penuh sopan santun dan
ketulusan untuk masuk.
“Sebenarnya, seandainya Anda tidak datang ke sini, saya
sendiri yang akan datang menemui Paman Anda. Syukurlah,
Anda sudah datang lebih dahulu. Beberapa waktu lalu,
saudara wanitaku, Asma, telah menceritakan banyak hal
tentang kebaikan Anda dan Paman Anda.”
106
Khadijah mengakhiri pembicaraan
dengan menyampaikan keadaan
kehidupan perdagangan yang sudah tidak
keruan. Itu sebabnya ia ingin meminta
bantuan kepadanya yang memang masih
memiliki hubungan kerabat.
Khadijah mengakhiri pembicaraan dengan menyampaikan
keadaan kehidupan perdagangan yang sudah tidak keruan.
Itu sebabnya ia ingin meminta bantuan kepadanya yang
memang masih memiliki hubungan kerabat.
Sesaat sebelum kepergiannya, Khadijah menyampaikan
kepadanya kalau ‘dirinya masih kerabat baginya’.
Tentu saja ucapan seperti itu bukan kalimat sederhana,
melainkan bernilai persetujuan dan tanda tangan.
Kalimat yang menunjukkan kebutuhannya kepada
seorang pembantu, terutama dalam usaha perdagangan.
Apalagi, kondisi dalam dunia jual beli itu dalam keadaan
serba tidak menentu.
Tiada perundingan pada saat itu. Adat di Mekah
pada umumnya sudah dimengerti. Wakil dagang akan
mendapatkan upah sewajarnya. Lebih dari itu, manakala
membawa keuntungan yang besar, wakil dagang juga akan
mendapatkan imbalan ekstra atau bonus.
107
Pertemuan
K
hadijah adalah seorang wanita yang meniti jalannya di
antara bentangan kesulitan. Hidup di dunia laki-laki,
dengan segala peraturan ditentukan berdasarkan kekuatan,
tentu sangat sulit bagi seorang wanita. Namun, Khadijah
teguh melintasi segala rintangan itu. Tak peduli dirinya
seorang wanita. Tak takut meskipun rintangan itu terlampau
keras. Khadijah tidak terpuruk dengan kondisi seperti itu. Ia
malah menjadi lebih dewasa di usianya yang masih muda.
Bahkan, dirinya sangat tegar untuk melalui segala medan
kehidupan, lebih yakin dan kuat dalam setiap langkahnya.
Imbasnya, Maisaroh, sang pelayan, juga ikut menjadi kuat
seperti tuannya. Bahkan, ia sudah dianggap bukan sekadar
pelayan, melainkan saudara yang bisa diajak bicara dan
berbagi rahasia. Maisaroh akan ditugaskan menggantikan
dirinya mengikuti rombongan dagang. Dia akan bertindak
sebagai juru warta untuk setiap kejadian, sekecil apa pun
itu. Penugasan langsung dari tuan putrinya itu membuat
dirinya sadar kalau tugas kali ini memiliki misi yang sangat
penting.
“Tidak hanya kepada seluruh kailah dagang! Engkau juga
harus memerhatikan dengan saksama pemimpin baru kailah
dagang. Dia adalah pemuda muda belia dari kerabat Abdul
Muthalib. Aku akan meminta engkau melaporkan segala hal
tentang dirinya. Ini sangat penting dan jangan sampai lalai.
Di samping itu, engkau juga harus selalu membantunya saat
diperlukan.”
108
Maisaroh memang sudah sedemikian dekat dengan
Khadijah. Saking dekatnya, ia berani bertatap muka. Ia tidak
pernah lupa dengan keseriusan wajah Khadijah saat itu. Dari
mimiknya, ia benar-benar ingin mengetahui sosok pemuda
itu.
“Jangan lupa, dia adalah kerabat kita!”
Apakah ini jawabannya.
Ya, ini adalah jawabannya....
Setiap jawaban ibarat sebuah pintu. Setiap kali pintu
ditutup, pastilah ia akan meninggalkan sesuatu yang
tersembunyi di dalamnya. Di samping sebagai penutup,
sebenarnya pintu juga menjadi pembuka.
Ia adalah kerabat kita.
Semua persiapan telah dilakukan. Kailah dagang
Khadijah yang diawasi Maisaroh dan kemenakannya,
Hakim bin Hizam, kini telah menemukan pemimpin dagang
yang sebenarnya. Dia adalah Muhammad bin Abdullah bin
Abdul Muthalib.
Semua orang telah berkumpul untuk ikut melepas
kepergian rombongan dagang itu. Teriring pula bacaanbacaan doa dan puisi. Para wanita yang menyaksikan upacara
dari jendela-jendela rumah mereka melambai-lambaikan
tangan. Rombongan beranjak pergi dengan menaiki kuda,
keledai, dan unta. Mereka juga tak luput menaburkan
bunga-bungaan dan daun kurma kering dari atas jendela.
Para pengemis yang sengaja datang dari Madinah dan haif,
khusus untuk hari-hari seperti ini, tidak henti-hentinya
memanjatkan doa dengan suara yang paling lantang. Tanpa
peduli, mereka terus menerjang ke arah rombongan sembari
meminta sedekah. Mereka tidak mau menerima makanan
109
_ Pertemuan
dan roti yang dilemparkan dari atas unta. Yang dipinta
hanya satu: uang.
Setiap kali rombongan menempuh perjalanan sepanjang
lima puluh meter, sekerumunan orang akan bersoraksorai, diikuti lambaian para wanita seraya memberi salam,
melawat kepergian mereka. Tidak hanya itu, di sana juga
dibuat gunungan setinggi manusia yang dihiasi beraneka
macam warna bunga, daun nanas dan kurma kering, bulu,
serta tanduk kambing atau rusa. Gunungan ini kadang
juga dibentuk menyerupai hewan yang difungsikan untuk
melepas kepergian para kailah. Namun, hiasan-hiasan inilah
yang selalu menjadi jarahan anak-anak. Suasana seperti ini
yang selalu membuat seluruh kota menjadi riang gembira
dalam seketika.
Lain halnya dengan putri Khuwaylid. Ia hanya duduk
tenang di balkon bersama dengan para tamu wanita. Saat
rombongan yang menunggang kuda, unta, dan keledai
melewati samping balkon tempat dirinya duduk, kailah
dagang ini memberi salam kepadanya dengan mengibarkan
bendera-bendera rombongan.
Terhadap salam yang mereka sampaikan ini, Tuan
Putri justru sedang mencari seseorang di tengahtengah kerumunan rombongan yang sebentar lagi akan
menyeberangi jembatan.
Ya, ia sedang mencari seorang pemuda dari kerabatnya.
Dalam sapuan pandangannya, ia menemukan seorang
pemuda itu bersinar bagaikan kilau perak di antara
kerumunan ratusan orang.
110
Saat itulah hatinya berdebar-debar
dalam seketika. Sungguh, kilaun cahaya
yang terpancar dari dalam diri pemuda
itu telah membawa Khadijah pada
kesyahduan, kegembiraan tersendiri. Seolah
kilau cahaya itu telah menjadi awan
dan terbang memayungi atap rumahnya.
Demikianlah, suasana hatinya menjadi
teduh, tenang dalam seketika. Ia
mendapati awan bergerak memayungi
seorang pemuda dari kerabatnya. Dua
orang malaikat selalu mengiringi jalannya.
Ya, pemuda itu berada di sana.
Saat itulah hatinya berdebar-debar dalam seketika.
Sungguh, kilaun cahaya yang terpancar dari dalam diri
pemuda itu telah membawa Khadijah pada kesyahduan,
kegembiraan tersendiri. Seolah kilau cahaya itu telah menjadi
awan dan terbang memayungi atap rumahnya. Demikianlah,
suasana hatinya menjadi teduh, tenang dalam seketika. Ia
mendapati awan bergerak memayungi seorang pemuda dari
kerabatnya. Dua orang malaikat selalu mengiringi jalannya.
111
_ Pertemuan
Sungguh, pemandangan seperti ini telah memberikan
suasana nurani tersendiri dalam hatinya sehingga dirinya
terbuai ke dalam atmosfer maknawiyah yang tidak pernah
dirasakan sebelumnya. Suasana seperti ini juga tidak hanya
terjadi sekali, melainkan setiap kali pemuda itu hendak
mengadakan perjalanan jauh maupun pada saat kembali.
Benarkah awan yang terbang itu hanya ilusi dari hatinya
yang berdebar-debar?
Ataukah awan itu merupakan wujud kasih dan sayang
Ilahi?
Mungkinkah awan itu merupakan lintasan isi hati
sebelum ia terungkap ke dalam kata-kata? Ataukah awan
itu merupakan sebuah lukisan yang disaput oleh kuas yang
bernama cinta?
Mungkinkah ini nikmat yang telah dilimpahkan Allah
kepadanya? Ataukah ia merupakan lintasan cahaya yang
terpancar dari wajah Muhammad sebagai pertanda kekasih
Tuhannya?
Benarkah awan itu mimpi yang pernah Khadijah jumpai
sebelumnya? Ataukah hanya ilusi dari ungkapan doa yang
dipanjatkannya dengan ketulusan hati penuh cinta?
Apakah awan itu merupakan lantunan doa dari seorang
wanita yang sedang jatuh cinta? Ataukah ibarat sebuah
selimut yang akan dikerudungkan untuk kekasihnya dan
merupakan titah cinta saat hendak menjadi wujud nyata dari
sedikit percikan samudera cinta dan kasih sayang-Nya?
Mungkinkah awan itu merupakan cinderamata yang
akan mengikat isi hatinya kepada seorang kekasih yang
dirindukannya atau mahkota hatinya?
Meski tidak seorang pun memerhatikan.
112
Meski tiada yang peduli terhadap apa yang sebenarnya
telah terjadi.
Namun telah disaksikannya dengan saksama.
Barulah kemudian ia sadar tentang suatu hal. Jiwanya
menjadi tenteram bagaikan genangan air yang tenang dalam
seketika. Ketenangan yang sesekali menimbulkan riak kecil
oleh embusan angin sepoi pada permukaan air. Ketenangan
yang menimbulkan kesyahduan, keheningan di dalam
jiwanya.
Khadijah menyadari ini semua….
Saat itulah suasana hatinya menjadi begitu riang dan
tak dapat diungkapkan kata-kata. Inikah tabir mimpi yang
pernah ia jumpai berturut-turut dalam beberapa hari
sebelumnya?
Khadijah terkenal tangguh dan memiliki jiwa yang matang
sehingga mampu melewati setiap rintangan yang menerpanya
di setiap masa. Hal tersebut telah umum diketahui. Namun,
bagi seorang wanita, pengetahuan umum tentang dirinya
yang seperti itu bisa menjadi menjadi bumerang. Menjadi
tersohor atau terkenal memaksa seseorang membungkam
dirinya dalam kehidupan pribadi yang lebih kecil.
Status yang biasa-biasa akan membuat kehidupan
wanita lebih mudah. Seandainya saja kaum wanita tidak
memberikan apa yang tersimpan di dalam dirinya kepada
umum, niscaya sejarah kehidupan akan berlangsung
dengan lebih mudah. Keseriusan seorang wanita akan jauh
lebih mempermudah pemahaman setiap laki-laki kalau
dirinya tidak bermasalah. Sepanjang wanita dapat setia
dengan kewanitaannya, sepanjang itu pula dirinya akan
mendapatkan penghormatan dan kemudahan. Kepribadian
113
_ Pertemuan
Khadijah yang kuat bagaikan perisai baja yang melindungi
dirinya. Namun, entah bagaimana keadaannya saat dirinya
mengenali pemuda dari kerabatnya itu? Susunan masyarakat
yang menganut garis keturunan ayah.
Pernahkah dirinya menuliskan di dalam buku hariannya
beberapa hal untuk ia yakinkan sendiri di dalam jiwanya
seperti:
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
114
Aku harus segera memperbaiki diri.
Aku bukan seorang anak kecil lagi.
Umurku sudah kepala tiga.
Aku harus menutup diri agar rahasia hatiku tidak
terbuka.
Apakah putaran yang membuat pusing kepala itu akan
ada lagi?
Kalau bukan cahaya yang terbaca dari dahi, atau awanawan yang terbang di atas kepala, apa lagi?
Mimpi-mimpi, kejadian alam, angin, khayalan, dan
masih banyak lagi?
Bukan seperti itu.
Aku lelah beberapa hari ini.
Aku susah tidur sekarang-sekarang ini.
Aku juga tidak memerhatikan apa yang kumakan.
Kelaparan.
Bukan, bukan, semua itu karena bumbu-bumbu yang
terlintas di kepalaku.
Bukan-bukan, semua itu karena dupa-dupa yang dibakar
Maisaroh.
Karena udara…
•
•
•
•
•
Karena panas...
Karena dingin...
Menurutku seperti itu.
Bukan, bukan.
Aku tahu penyebabnya: itu semua karena Waraqah yang
selalu memengaruhi pikiranku.
“Berapa lama lagi mereka akan kembali dari Syam?”
ucapnya ketika rombongan baru saja melewati depan
rumahnya.
Bertanya pada dirinya sendiri, menjawab pertanyaannya
sendiri.
Mereka tidak akan kembali dalam waktu tiga bulan.
Oh Tuhanku!
Seakan Gunung Arafat hancur di atas tubuhnya.
Tiga bulan? Matanya berkaca-kaca, terkejut.
Sekarang apa yang harus dia lakukan?
Bagi Khadijah, sembilan puluh hari yang merupakan
waktu kembalinya ‘anak paman’ merupakan kegembiraan
sekaligus kesedihan, penuh dengan kegelapan dan
keputusasaan, melewati sebuah musim yang sulit.
Hari-hari berikutnya, meskipun tidak berkata apa-apa
tentang sembilan puluh hari itu, di atas atap yang berlantai
dua matanya menatap cahaya. Banyak orang berbicara
tentang syair-syair yang dia baca untuk orang yang
menunggu seseorang yang sedang dalam perjalanan. Mereka
tak berbicara lebih dari itu, tidak lebih dari itu. Orang yang
dia tunggu merupakan sosok terhormat dan dicintai. Karena
itu, syair-syairnya selalu terbungkus dengan kebanggaan dan
kehormatan.
115
_ Pertemuan
Membungkus atau terbungkus?
Yang pasti, apa yang telah Penulis Kehidupan putuskan,
itulah jawabannya, baik terbungkus atau tidak terbungkus
dalam waktu yang sama menurut kita.
Tiga puluh hari pertama, Khadijah merupakan
perempuan yang ditemukan dalam keadaan kedinginan di
antara perempuan di seluruh dunia.
116
Merindukan Mimpi
K
hadijah merasakan tubuhnya kedinginan.
Ia menginginkan selimut agar tubuhnya menjadi
hangat. Entah mengapa dirinya mengigil dalam seketika.
Hal apakah yang telah membuatnya demikian?
Mungkinkah karena gejolak di dalam hatinya? Gejolak
akan perasaan ingin mencintai dan dicintai. Hal inilah yang
selalu membuatnya berada dalam dilema. Sebuah dilema
yang menghunjam hatinya di saat-saat dirinya belum siap.
Memang, selama bertahun-tahun berbagai rintangan
sulit telah ia lalui dengan ketangguhan kepribadiannya.
Ketangguhan inilah yang telah membuat semua orang
menyebutnya sebagai ‘ahli kepedihan’. Ya, tidak salah apa
yang dikatakan orang tentang dirinya. Kekokohan jiwa
dalam kehidupan padang pasir yang menyuguhkan berbagai
rintangan yang hanya akan mungkin dilalui oleh para lelaki
yang kuat dan cerdik sungguh merupakan kepiawaian
tersendiri yang memiliki banyak arti. Dengan kekokohan
itulah dirinya tidak membutuhkan wali, tidak pula sandaran
hidup. Hal itu hanya mungkin dicapai oleh para wanita yang
mampu mengatasi semua pekerjaan dan permasalahannya
sendiri.
Di sisi yang lain, kekokohan jiwa merupakan predikat bagi
wanita yang telah mencapai usia dewasa. Bayangkan, mulai
dari ayah, suami, dan anak-anaknya telah meninggalkannya
di medan pertempuran satu demi satu. Seolah-olah,
berkabung adalah pakaian yang khas bagi para wanita.
117
_ Merindukan Mimpi
Sebagaimana kehormatan, “kepedihan” juga telah
menjadi citra yang ditinggalkan seorang wanita. Semakin
banyak anggota keluarga yang meninggalkan seorang wanita,
semakin lama hari-hari berkabungnya, menjadi semakin
terhormat dan mulia dan memiliki hak untuk berada di
dunia para lelaki.
Sebagian wanita yang menyandang pakaian “berkabung”
ini telah mencapai usia yang sudah tidak lagi muda. Mereka
telah mencapai usia tua yang rentan dengan sakit-sakitan.
Masa-masa yang penuh kesulitan juga diyakini oleh orangorang Mekah sebagai suatu tataran mencapai kehormatan
tersendiri. Kehormatan menjadi seorang yang perkataannya
mulai didengarkan, mulai dipercaya. Seseorang yang sudah
mulai keluar dari dunia kewanitaannya dan mendapatkan
kekuatan sebagaimana kaum lelaki. Ya, agar dapat memasuki
dan dianggap memiliki kekuatan sebagaimana kaum lakilaki, seorang wanita harus berjuang. Perjuangan yang akan
menambatkan ikatan pada dahinya yang menjadi simbol
dan perolehan hak untuk unjuk bicara.
Sementara itu, di samping memiliki kesemua fungsi
itu, ikatan “berkabung” yang melilit di dahi Khadijah juga
merupakan benteng yang melindungi dirinya. Meski
sebagai seorang wanita yang mampu dan telah memasuki
masa untuk menikah, dengan kata-katanya sendiri masamasa itu ia tutup rapat-rapat. Inilah benteng bagi dirinya,
bagaikan hak imunitas dari wilayah hukum. Seperti tameng,
perisai, dan juga mahkota baginya. Dengan perisai ini, ia
bagai seorang ratu yang terhindar dari semua yang akan
mendekatinya, baik sengaja maupun tidak.
Namun, serangkaian peristiwa yang ia alami dalam masamasa akhir ini seolah-olah seperti tangan tersembunyi yang
118
tiba-tiba mengangkat perisai itu. Bagai jubah tebal pelindung
yang terlepas sehingga dirinya kedinginan.
Mungkin hal ini terjadi karena ia tiba-tiba
menyadarinya.
Dan apa yang ia sadari itu tentu saja tidak hanya sebatas
lawan bicara atau kedatangan seseorang yang ia tunggutunggu dari perantauan. Bahkan, Khadijah juga mendapati
dirinya pada cermin lawan bicaranya.
Oleh karena itulah ia menggigil dalam seketika.
Ia telah menjumpai perasaan cinta dan wajah yang
sepertinya tidak asing baginya saat pemuda itu duduk di
ruangannya. Sejak saat itulah perpisahan dan bentangan
jarak yang memisahkan seolah telah sirna dalam seketika.
Khadijah ingin tidur.
Ia ingin segera tertidur dan terbungkus selimut yang
tebal. Ia ingin menenangkan gejolak hatinya yang hampir
saja memudarkan sikap yang selama ini ia pegang. Ia ingin
segera tidur, minimal sampai semuanya kembali seperti
sedia kala.
Ya, Khadijah memahami kalau dirinya juga dicintai.
Saat menyadari kalau dirinya dicintai, sungguh betapa
sulit sekali hal baru ini. Ia merasakan bahwa jarak dan
bentangan waktu yang selama ini bagaikan dinding
pembatas telah begitu dekat adanya. Sungguh, menantikan
sang kekasih telah menjadikan dirinya menggigil.
Dan setiap kali merasa kedinginan, ia selalu ingin
diselimuti. Sebenarnya, satu-satunya hal yang dapat
menghangatkannya dari rasa dingin itu hanyalah
kedekatan.
Meskipun setiap kedekatan sebenarnya merupakan jarak
119
_ Merindukan Mimpi
yang terbentang di antara dirinya dan kekasihnya.
Meskipun setiap kedekatan sebenarnya tak ubahnya
sebuah jarak bagi dirinya.
Kini, ia berada di lantai dasar. Dalam ruangan yang
menurut ilmu aritmetika adalah bilangan yang menyimpan
rahasia.
Bilangan ‘nol’. Bilangan di antara ada dan tiada.
Ruangan yang terletak di dasar pertemuan antara garis
vertikal dan horizontal.
Keberadaannya di titik pertemuan inilah yang
membuatnya menjadi semakin menggigil karena pada titik
itu terentang jarak dari berbagai penjuru.
Ya, Khadijah berada di kejauhan.
Jarak yang seolah telah menghempaskannya dari surga
menuju dunia. Jarak yang menjadikan isi hatinya bercampur
antara takut dan tidak pasti. Perasaan yang membuatnya
gugup, bingung.
Bagai dalam kilatan akibat pergesekan saat langit bertitah
untuk menyentuh bumi.
Bagai percikan saat batu dijatuhkan ke dalam genangan
air.
Bagai setarik napas sebelum keluar kalimat pertama yang
memecah kebisuan.
Ia masih menggigil.
Seolah semua perasaan yang ia alami semenjak dilahirkan
kini berkumpul dalam satu hati. Seolah ia bangkit dalam
kekagetan kiamat yang menyentakkan.
Seolah sang malaikat penjaga hari kiamat telah meniup
sangkakalanya sehingga semua yang ada di hatinya bangkit
dalam seketika.
120
Seperti mendesirnya perasaan saat apa yang terbenam
kembali muncul di permukaan.
Seperti fatamorgana yang kembali membara saat
hamparan padang pasir kembali menganga.
Seperti sumur tua yang kembali memancarkan mata
airnya setelah menggering dan ditinggalkan pergi selama
bertahun-tahun.
Keadaan seperti inilah yang menjadikan sekujur tubuhnya
menggigil bagai terjangkit malaria. Ia kini merasakan seisi
hatinya terkuak kembali oleh sebuah kekuatan yang tidak
dimengerti wujudnya. Seolah sia-sialah segala daya dan
upayanya untuk mengurai perasaan kesepian dan jarak
yang membentangkannya. Bahkan, status sosial maupun
keluasan jaringan sama sekali tidak bernilai apa-apa. Tidak
pula tanggung jawab besar yang selama ini dipikulnya...
tidak pula usaha dagang yang selama ini ia geluti.
Keadaan seperti inilah yang menjadikan
sekujur tubuhnya menggigil bagai terjangkit
malaria. Ia kini merasakan seisi hatinya
terkuak kembali oleh sebuah kekuatan yang
tidak dimengerti wujudnya. Seolah siasialah segala daya dan upayanya untuk
mengurai perasaan kesepian dan jarak
yang membentangkannya.
121
_ Merindukan Mimpi
Tidak ada satu pun yang bisa menenangkan gejolak
di hatinya. Bagai kepedihan seorang ibu yang hendak
melahirkan sesuatu dari dalam jiwanya, seolah dirinya terasa
dibelah menjadi dua. Dan dalam keadaan yang seperti itu, ia
masih tercengang tak sadarkan diri.
Seolah perisai ‘keteguhan jiwa’ sudah tidak lagi mampu
membentenginya.
122
Rahasia Mim ( )
K
hadijah kembali harus berani melewatkan tiga puluh
hari kedua yang memisahkan dirinya. Ia menemukan
dirinya seolah dalam dunia aksara. Semua tentang dirinya
ia dapati terangkum ke dalam satu huruf. Mim, namanya.
Sebuah kata kunci, rumus, sandi, dan juga tanda tangan.
Mim!
Jika dilihat dari luar, ia memang masih aktif dengan
kesibukan sehari-hari. Namun, apa yang bergejolak di
dalam hatinya hanya satu, rahasia huruf mim. Sebuah huruf
yang seolah ia tulis dengan sebatang lidi di atas permukaan
pasir. Huruf yang tergores di dalam hatinya dengan tinta
darah yang menetes dari bekas luka di jarinya. Sebuah huruf
yang yang seolah tampak dalam bayangan di permukaan
jus kurma yang mencair. Bunyi yang selalu dihafalkan oleh
burung beo piaraannya. Suara gemeretak dari biji-bijian
yang terjatuh dari dahan yang ia dengar saat berjemur di
bawah panas mentari. Goresan yang tertera dalam cermin
manakala ditiupkan udara panas di permukaannya.
Huruf itu!
Dan lagi, huruf itu.
Seantero jagad, baik di bumi maupun langit, penuh
dengan huruf itu.
Mim... mim....
Dan kini, ia tidak mampu lagi mengucapkan nama
sang kekasihnya. Tidak mungkin terucap penuh satu kata
“Muhammad” dari mulutnya.
123
_ Rahasia Mim
Seolah dirinya merasakan tubuhnya akan terbelah
menjadi dua dalam guncangan gempa bilamana nama
itu terucap dari bibirnya. Seolah seluruh bahasa di dunia
akan kehilangan kata-kata, membisu terpaku sembari
memandang dengan kosong. Sungguh, sedemikian nama
itu menyimpan rahasia dan kekuatan sehingga ia tidak ingin
kecolongan menyebutnya agar tidak terbongkar semuanya.
Karena itulah ia selalu menggenggamnya erat-erat sebagai
sebuah kunci rahasia.
Singkatnya, ia hanya menyebut kekasihnya dengan huruf
depannya saja: mim.
Sedemikian luar biasanya huruf itu, hingga seandainya
seluruh kata dari seluruh bahasa yang ada di dunia ini hilang
dalam seketika, cukuplah huruf itu untuk mengungkapkan
segala-galanya. Sebab, ia adalah isyarat layaknya titah pertama
oleh Zat Yang Maha Mencipta. Semuanya diturunkan oleh
huruf ‘mim’ ini dalam pandangan Khadijah.
Ya, ia tak kuasa mengucapkan nama sang kekasih.
Namun, ia selalu memuliakan siapa saja yang menyebutnya.
Setiap orang yang menyinggung tentang dirinya, ia hormati
seolah seperti kerabatnya sendiri.
Bagi Khadijah, kini segala benda telah menuliskan huruf
“mim”. Setiap benih bunga mawar yang ia tanam di taman,
setiap anak biri-biri yang baru saja lahir di peternakannya,
burung-burung yang sering hinggap di pekarangannya, ikanikan yang ada di kolam taman rumahnya, di sisirnya yang
terbuat dari gading, di cincinya yang terbuat dari permata,
di penanya, hingga pada air susu yang ia minum, madu yang
ada di sarang, bintang-bintang di angkasa sana, bulan, dan
mentari, semuanya berucap “mim” kepadanya.
124
Seluruh makhluk di jagad raya ini seolah telah menjadi
seperti dirinya. Merindu, haus akan air segar ‘mim’...
Bagi Khadijah, “mim” adalah oksigen, sekaligus air
minumnya.
Demikian pula saat menantikan kedatangan seorang
pemuda yang melakukan perjalanan dagang dari tempat yang
sangat jauh. Ia menuliskan huruf “mim” di udara. Seolaholah garis-garis di udara tampak seperti sebuah rerimbunan
pulau yang menghijau. Bagai mentari atau bintang-bintang
di angkasa; seperti rahasia yang kemudian menggambarkan
mata kekasihnya.
Demikian pula saat menantikan
kedatangan seorang pemuda yang
melakukan perjalanan dagang dari tempat
yang sangat jauh. Ia menuliskan huruf
“mim” di udara. Seolah-olah garis-garis
di udara tampak seperti sebuah rerimbunan
pulau yang menghijau. Bagai mentari
atau bintang-bintang di angkasa; seperti
rahasia yang kemudian menggambarkan
mata kekasihnya.
125
_ Rahasia Mim
Ya, “mim” adalah sebuah mata yang kini telah menjadi
matanya.
Mata sang kekasih yang meneteskan air mata, mengalir,
membasahi pipi, hingga membentuk garis hurufnya. Air
mata yang seakan-akan mengalir dari langit telah menetes,
membasahi belahan jiwanya.
Demikianlah saat ia berucap “mim”, ketika kedua
bibirnya menutup rapat, seakan-akan udara yang ada dalam
rongga mulutnya telah meniupkan cinta ke dalam hatinya.
Ya, seperti tersedak saat menghirup udara yang terkumpul
dalam huruf “mim”.
Seolah-olah sekujur tubuhnya menjadi cair olehnya.
Tertegun dalam jiwa yang penuh ketundukan.
Seakan-akan, saat berucap “Mim”, tiba-tiba ruhnya
terbang membubung hingga ke angkasa.
126
Penantian
T
ubuh Khadijah seakan-akan telah membatu,
menantikannya di jalan. Menurut berita yang
disampaikan para pembantunya, kailah dagang akan sampai
di Mekah satu hari lagi. Atas berita itu, Khadijah semakin
tidak sabar menanti. Segera ia kirim utusan yang terdiri
atas beberapa orang penunggang kuda untuk menjemput
mereka.
Khadijah menunggu di balkon lantai atas rumahnya.
Ia terus menatap ke kejauhan, berharap segera datang
seseorang yang telah lama dinantikan. Meski di balkon ada
para tamu wanita, saling ribut memperbincangkan panasnya
cuaca, Khadijah hanya termangu. Pelayannya sesekali
menggoyangkan kipas yang terbuat dari bambu untuk
menyejukkan ruangan. Para tamu semakin asyik menikmati
kesegaran beraneka macam buah-buahan, seperti anggur
segar yang baru saja dipetik, jus kurma dingin, nanas yang
berbau harum seperti misik, dan pisang yang menguning
bagaikan emas. Semuanya serbasegar dan masih dalam
tandannya. Belum lagi berbagai macam kacang-kacangan
sebagai penambah riang suasana. Seolah-olah perjamuan
ini merupakan pesta tahap awal sebelum kedatangan hari
bahagia yang dinantikan. Hari ketika kailah dagang datang
dengan cerita dan hasil dagangannya.
Namun, siapa yang tahu kalau semua itu ternyata
127
_ Penantian
Khadijah menunggu di balkon lantai
atas rumahnya. Ia terus menatap
ke kejauhan, berharap segera datang
seseorang yang telah lama dinantikan.
semakin membuat sang tuan rumah terpaku dengan anganangannya. Ia masih tegang. Mengkhawatirkan kailah yang
dikabarkan akan segera datang.
Entahlah. Mungkin saja dirinya merasa resah dengan
para tamu yang bermanja dengan berbagai macam hidangan,
sementara kailah yang ditunggu-tunggunya masih berada
dalam perjalanan di bawah terik mentari yang menyengat.
“Tidak...,” katanya tiba-tiba menyuruh pembantunya agar
berhenti mengipasi dirinya seraya memberi isyarat dengan
menampikkan tangan.
Kipas pun terhenti dalam seketika. Dengan perlahan dan
sembunyi-sembunyi, Khadijah menyendiri dari keramaian.
Bahkan, tanpa sadar, tangannya terlihat meremas kuatkuat. Seandainya dirinya memiliki sayap, pastilah ia akan
terbang secepat-cepatnya. Namun, semuanya seakan-akan
telah membuat Khadijah terpaku. Waktu tidak juga kunjung
berlalu. Ia merasa seluruh hamparan pasir yang tersebar
di padang sahara telah menjadi jam pasir yang tidak akan
pernah ada habis-habisnya meneteskan pasir.
Mendapati keadaannya yang seperti itu, para tamu
pun mendekatinya untuk menanyakan apa gerangan yang
128
membuatnya terus tertegun. Khadijah tampak gugup.
Dari mululutnya seolah-olah akan terucap sebuah huruf
yang mengawali sebuah kata, “mim”. Namun, tidak lama
kemudian, dirinya kembali tersadar. Ia segera berupaya
berbenah diri sambil berkata, “Maisaroh.... Maksudku…
Maisaroh.”
Ya, bukankah nama seseorang yang sedang ia nantinantikan juga berawal dengan huruf yang sama?
“Aku sangat merindukan Maisaroh. Sudah lama aku tidak
bisa tidur dengan tenang tanpa ada dirinya.”
Namun,
benarkah
seorang
Maisaroh
yang
dirindukannya?
Bukankah orang-orang dulu sering berkata bahwa
teman tempat berbagi rahasia juga merupakan kenangan
dari sang kekasih. Terutama dalam masa tiga bulan
terakhir ini, Khadijah semakin merasakan kedekatan
dengan pembantunya, Maisaroh. Kepadanyalah kekasihnya
diamanahkan. Dalam seketika, terbayanglah wajahnya.
Maisaroh yang periang, suka tersenyum, cerdas, dan cepat
tanggap dengan apa yang dimaksudkan Tuan Putrinya. Ah,
Maisaroh... segeralah datang dan segeralah engkau wartakan
kisah-kisah sepanjang perjalanan.
Kailah yang sebentar lagi akan sampai ke tanah Mekah
pun merasakan kegirangan yang tiada tara. Mereka semakin
tidak sabar untuk segera memacu kuda dan mempercepat
langkah agar sesegera mungkin sampai di tanah Mekah.
129
_ Penantian
Apalagi, kali ini mereka kembali dengan keuntungan yang
lumayan, bahkan melebihi dari yang diharapkan. Singkatnya,
kali ini mereka pulang dengan penuh keberhasilan dan
segudang kisah yang ingin segera diceritakan.
Sebagaimana adat yang selama itu dilakukan oleh
penduduk Mekah, kailah akan dijemput para penunggang
kuda. Pemimpin kailah akan kembali lebih cepat bersama
dengan rombongan penjemput tersebut. Kailah kali ini
dipimpin kemenakan Abu halib, seorang pemimpin yang
telah membawa kailahnya meraih prestasi gemilang. Kini,
rombongan penjemput telah membawa pemimpin kailah
tersebut ke dalam barisannya. Ia juga ingin segera sampai
ke Mekah untuk segera mengunjungi rumah Khadijah binti
Khuwaylid.
Para penunggang kuda bersama dengan pemimpin
kailah dagang berpamitan dengan Maisaroh dan berjanji
akan kembali bertemu sesampainya di Mekah. Dengan
berita baik yang dibawanya, mereka memacu kudanya
sangat kencang agar dapat sesegera mungkin sampai ke
Mekah. Kepulan debu-debu padang pasir akibat terpaan
langkah-langkah kuda dan empasan angin yang bertiup
kencang tidak dihiraukan rombongan para penjemput.
Mereka sudah tak sabar dan akan kembali dengan membawa
hadiah yang sangat berharga bagi para penduduk Mekah,
seorang pemimpin kailah yang telah berhasil memimpin
rombongan dagang meraih banyak keuntungan. Dialah cucu
dari raja kailah Syam, Abdul Muthalib, yaitu Muhammad!
Para penjemput telah membawa Muhammad di
antara barisan kuda mereka. Satu kuda terus dipacu di
depan rombongan sebagai penunjuk jalan dan diikuti tiga
130
penunggang kuda lain. Di tengah-tengah ketiga penunggang
kuda tersebut terdapat pemimpin kailah. Di belakangnya
lagi ada dua penunggang kuda sebagai penjaga. Sementara
itu, di barisan paling belakang terdapat satu penunggang
kuda yang berfungsi sebagai pengamat keadaan. Lengkap
tujuh orang penunggang kuda.
Saat mereka mulai memasuki suatu lembah di sekitar
dataran tinggi Mekah, setelah melewati area luas tempat
pemeliharaan unta-unta milik warga, para penduduk yang
telah lama menantikan langsung tahu setelah melihat kepulan
debu dalam barisan penunggang kuda yang membentuk
bangun segi tiga. Rombongan penunggang kuda itu terus
melaju dengan kencang bagai awan hujan yang datang
dengan membawa keberkahan dan kebahagiaan. Seluruh
penduduk pun bermandikan kegembiraan dalam seketika.
Tiba-tiba, muncul suatu kejadian yang tampak aneh.
Seorang penunggang kuda yang berada di barisan kedua
memisahkan diri dari rombongan. Ia terlihat memacu
kudanya ke arah Timur, menuju ke kediaman Khadijah binti
Khuwaylid.
Tidak lama kemudian, sang tuan rumah yang telah lama
menantikan kedatangan tamunya sembari bersandar pada
Dalam seketika, Khadijah menjadi
gugup. Hatinya berdebar-debar. Air
matanya hendak berlinang.
131
_ Penantian
dipan kayu di lantai dua rumah segera tahu karena kepulan
debu dari kejauhan sudah terlihat.
Pandangan kedua matanya dengan cepat menangkap
kemilau cahaya yang seolah-olah terpancar dari benda yang
terbuat dari perak. Inilah wajah sang penunggang kuda
itu. Seorang penunggang kuda dengan awan yang selalu
mengikuti untuk memayungi kemuliaannya.
Dalam seketika, Khadijah menjadi gugup. Hatinya
berdebar-debar. Air matanya hendak berlinang. Benar,
pemandangan yang disaksikannya pada waktu itu sama
dengan apa yang telah diharapkan sebelumnya. Perasaan
cintanya telah menangkap adanya dua burung yang terbang
bagai kepakan sayap kedua malaikat yang selalu mengiringi
lajunya. Seorang penunggang kuda yang sejak lama telah
menjadi mahkota belahan jiwanya.
Ya, mahkota belahan jiwanya.
Sang kesatria penunggang kuda itu terus memacu
kudanya dengan kencang tanpa menghiraukan kepulan
debu-debu yang beterbangan untuk segera sampai di rumah
Khadijah. Sesampai di dekat rumah, sang penungggang
kuda melambaikan tangan untuk memberikan salam seraya
memasuki gang dan kemudian memasuki rumah Khadijah
dari pintu belakang.
Tentu saja para pembantu, tukang kebun, dan penjaga
pintu gerbang dibuat kaget dengan kedatangannya itu.
Mereka berlarian bingung bercampur gembira dengan apa
yang baru saja terjadi.
Segera kesatria itu turun dan memberi salam kepada
semua orang yang ada dan segera menambatkan
kudanya. Tanpa berbicara dengan siapa pun, ia langsung
melangkahkan kaki dengan cepat menuju ke dalam rumah.
132
Langkah yang sebelumnya terayun dengan perasaan malu,
mungkin dengan berita gembira yang dibawa dari usaha
perdagangannya, telah membuatnya berani untuk masuk
menuju tangga ke lantai atas rumah. Segera ia menuju ke
tempat kerja sang tuan rumah.
Pintu ruang kerja kebetulan terbuka.
Sang Tuan Putri juga tampak sudah menunggunya.
Ia menunjukkan suasana gembira karena telah
mengetahui keberhasilan kailah dagangnya.
Tanpa segan, Khadijah menyampaikan rasa terima
kasih dan mempersilakan sang tamu untuk duduk sejenak.
Namun, entah karena sang tamu menyadari isyarat yang
telah diberikan, terlihat Tuan Putri penuh penghormatan dan
kebanggaan menyambutnya, meski dalam waktu yang sama
dirinya terlihat hanya tertunduk menatap ke depan. Tidak
mungkin ia berani sedikit pun melihat wajah sang tamu.
Itu karena jiwanya sebagai wanita, terlebih jiwanya sebagai
seorang Khadijah, telah memerintahkan demikian. Ia hanya
memberikan isyarat sebagai bentuk ucapan terima kasih
yang setinggi-tingginya, sebagai ungkapan keinginannya
untuk membalas semua prestasinya dengan kebaikan yang
sebesar-besarnya.
“Anda baru tiba dari perjalanan panjang dan pasti lelah.
Silakan jika hendak beristirahat terlebih dahulu.” Demikian
ungkapan yang terucap dari isyarat- isyarat yang ia berikan
kepada sang tamu.
Sang tamu pun tanpa kesulitan langsung memahami apa
yang dimaksud Tuan Putri. Dengan pengungkapan yang
sama, ia kemudian menginginkan undur diri. Kemungkinan,
di dalam hati sang tamu ada perasaan yang sama. Ia juga
ingin segera bertemu dengan sang paman untuk segera
133
_ Penantian
menyampaikan berita gembira yang telah dibawanya. Ia
ingin sekali untuk segera mencium tangannya agar dapat
segera melihat kegembiraan pamannya yang memang
menjadi tujuan utamanya.
Baru setelah menjelang malam seluruh kailah dapat
memasuki kota Mekah. Jalanan dipenuhi anak-anak dan
pemuda yang berlarian ke sana kemari, bersorak sorai,
menyambut kedatangan mereka dengan penuh kegembiraan.
Diiringi bunyi-bunyian terompet, rebana, genderang, dan
juga hujan bunga-bungaan, kailah semakin mendekat ke
Ia hanya memberikan isyarat sebagai
bentuk ucapan terima kasih yang setinggitingginya, sebagai ungkapan keinginannya
untuk membalas semua prestasinya dengan
kebaikan yang sebesar-besarnya.
rumah Khadijah. Sebagian dari kailah segera menambatkan
kuda, unta, dan keledai seraya menurunkan barangbarang yang dibawanya untuk segera beristirahat di tempat
peristirahatan yang telah disediakan. Sebagian lagi ada yang
kemudian berhamburan ke tempat-tempat penginapan
terdekat untuk ikut berbagi kebahagiaan dengan para
pengusaha penginapan di sekitarnya, setelah sebelumnya
bendahara kailah mengumpulkan para pembantu kailah,
seperti juru masak, kuli barang, pendiri tenda, tukang cuci
134
pakaian, pengurus hewan, penunjuk jalan, dan petugas
keamanan untuk segera membagikan bagian dari jasa
mereka selama mengikuti kailah dagang.
Setelah waktu menginjak tengah malam, setelah
keramaian kegembiraan para kailah telah meredam,
Maisaroh pun bersiap tidur di atas matras yang terbuat dari
bulu-buluan burung yang digelar di atas lantai di samping
pintu kamar Khadijah.
135
Pernikahan
D
i hari yang penuh kegembiraan.
Tempat tinggal Khuwaylid yang sudah sangat tua
itu bersinar seperti cahaya lilin di malam hari. Obor dan
lilin-lilin menghiasi halaman sampai atap rumah. Tempat
tinggal Khadijah layaknya sebuah istana kristal.
Saudara-saudara wanita dekatnya memenuhi halaman
bagian dalam rumah. Mereka datang dengan tangan penuh
hadiah ke tempat pernikahan. Dengan panduan Maisaroh,
tamu-tamu wanita dipersilahkan menuju ke balkon yang
luas di lantai dua. Sementara itu, para wanita yang bertugas
untuk membantu pernikahan dibawa ke halaman dapur.
Mereka menyiapkan persiapan terakhir dengan penuh
kegembiraan. Ini merupakan upacara yang penting. Tidak
boleh ada satu kekurangan pun.
Di bagian dalam halaman rumah terdapat ruangan yang
disediakan khusus untuk tamu laki-laki. Kebanyakan para
tamu memakai pakaian formal. Jika orang-orang dari luar
melihatnya, mereka akan tahu bahwa para tamu itu adalah
pemimpin-pemimpin terhormat di Mekah. Yang tidak
mengetahui akan menganggap mereka berkumpul untuk
menandatangani perjanjian perdamaian. Bahkan, beberapa
tamu laki-laki, karena datang dengan menampilkan wajah
serius ketika menitipkan pedang di pintu masuk tempat
pernikahan, mereka terlihat seakan-akan sebagai prajurit
yang datang untuk menaklukkan benteng dengan paksa.
136
Seperti tamu dari pihak wanita, tamu dari pihak laki-laki
pun datang ke tempat pernikahan dengan membawa hadiah
dan jamuan.
Abu halib dan Waraqah adalah dua leluhur yang
wajahnya bersinar penuh dengan kegembiraan. Hati mereka
penuh dengan kedamaian di hari pernikahan ini.
Anak yatim Mekah dengan mutiara Mekah.
Laki-laki tepercaya Mekah dengan wanita tersuci
Mekah.
Dan sebentar lagi akan ada pernikahan antara huruf
“Kha” dan huruf “Mim”.
Amru bin Asad adalah paman dari pihak pengantin
wanita yang bisa dibilang orang tertua di penjuru Mekah.
Dia dirias kedua keponakannya, Halah dan Khadijah.
Rambut dan jenggotnya disisir dengan batu yakut dan di
punggungnya terdapat hiasan yang memperlihatkannya
seperti raja padang pasir.
Paman Khadijah sangat gembira atas pernikahan ini.
Namun, umurnya yang sudah tua membuatnya mudah
mengantuk. Ketika suara tawa pecah dari para tamu
undangan, dia akan sontak terbangun dan ikut tertawa, tapi
dengan cepat akan tertidur kembali. Baginya, hidup seperti
persinggahan di antara bangun dan tidur. Di hari bahagia
Khadijah, keponakan yang sudah dianggap anaknya,
meskipun tampak seperti seorang raja yang mengantuk, dari
wajahnya terpancar keinginan untuk meramaikan pesta itu.
Pada malam itu, ketika makanan telah disantap,
perbincangan terus mengalir, dan saat keputusan sudah
diambil, Abu halib mulai berdiri untuk berbicara. Setelah
beberapa kali terbatuk ringan, semua orang terdiam. Orang-
137
_ Pernikahan
orang yang ketika datang berwajah serius, kembali dengan
wajah seriusnya. Para undangan yang sudah mengetahui
acara ini dengan gugup terdiam untuk mendengarkan katakata Abu halib.
“Segala puji bagi Allah!” kata Abu halib memulai
pidatonya.
“Segala puji bagi Allah karena kita diciptakan sebagai
keturunan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, termasuk dalam
kaum Maad seperti hasil tambang yang murni dan kaum
Mudar yang suci. Allah telah memilih kita sebagai penjaga
dan pelindung Baitul Atik, sebuah tempat ibadah yang
sering diziarahi dan tempat melaksanakan haji. Allah telah
menjadikan kita sebagai kaum penjaga Tanah Haram ini.
Dengan cara inilah Allah memberi berkah kepada kita
sebagai para pemimpin dan penguasa untuk rakyat kita.
Hari ini, kalau ada seseorang yang ingin membandingkan
dirinya dengan putra saudaraku, Muhammad bin Abdullah,
pasti keponakankulah yang akan tampak paling pintar dan
bijaksana, cekatan, serta sopan. Dia pasti akan menjadi
unggulan. Siapapun yang ingin membandingkan kebaikannya
dengan orang-orang di sekitarnya, Muhammad pasti akan
menjadi yang teratas.
Hartanya memang sedikit. Namun, kita tahu bahwa
kekayaan itu pemberian di dunia dan dapat diambil dengan
mudah, seperti sebuah bayangan yang akan cepat hilang.
Harta benda adalah hal-hal yang tak patut dicintai.
Kita semua sudah mengetahui bahwa Muhammad adalah
keturunan dari keluarga Abdul Muthalib dan Hasyim yang
masyhur dan terhormat. Untuk itu, atas nama Muhammad,
saya datang ke tempat ini untuk meminang seorang Khadijah
138
binti Khuwaylid yang terhormat.
Jika kalian menyetujui pernikahan ini dan bersedia
menjadi saksi, lebih baik kita langsung bicarakan mahar dan
melangsungkan pernikahan ini.
Sebagai penutup, saya bersaksi atas nama Allah tentang
berita besar yang akan terjadi pada keponakanku. Suatu
saat, Muhammad akan menjadi orang besar yang lebih
besar daripada yang besar. Termasyhur untuk kebaikan
umat manusia.”
Pidato pun selesai.
Lamaran telah disampaikan. Sebuah panah seolah-olah
telah dilesatkan ke sasarannya oleh seorang pemanah yang
ulung.
Sesudah Abu halib kembali di tempat duduknya,
perwakilan dari pihak wanita, Waraqah bin Naufal, pun
mulai berbicara. Dia terlihat gugup, tapi bersemangat, seperti
segera menginginkan akad nikah ini segera diselesaikan.
Tanpa menunggu dipersilakan, dia memulai berbicara.
Sambil membenahi pakaiannya, dia berdiri di tengah-tengah
para tamu.
“Saya bersyukur kepada Allah!” Waraqah memulai
ucapannya.
“Saya besyukur kepada Allah karena diciptakan seperti
yang telah Anda sampaikan. Kebaikan dan kebanggaan yang
Anda sampaikan membuat kami merasa terhormat pula.
Seperti apa yang telah disampaikan, Anda sekalian adalah
orang-orang besar dan para pemimpin di negara Arab.
Kami berterima kasih atas kehormatan ini. Anda sekalian
dan kami semua adalah sama.
139
_ Pernikahan
Tak ada yang bisa mengingkari kebaikan Anda dan juga
tak ada yang bisa menyangkal kemanusian Anda sekalian.
Betapa tingginya derajat keluarga Anda adalah suatu
kenyataan yang tak bisa ditolak. Jalinan kekerabatan antara
kami dan Anda adalah suatu kebanggan bagi kami.”
Waraqah kemudian meninggikan suaranya.
“Ya kaum Quraisy, jadilah saksi. Saya adalah Waraqah bin
Naufal. Dengan mahar 400 dinar, dua belas ukiyah dan satu
nashiyah emas, serta 20 unta muda, saya nikahkan Khadijah
binti Khuwaylid dengan Muhammad bin Abdullah.”
Pada saat itu, seakan akan turun burung-burung yang
indah dari langit. Para tamu undangan menahan nafas
agar burung-burung itu tidak terbang kembali. Semuanya
terdiam.
Suara juru bicara pengantin laki-laki kemudian memecah
kesunyian.
“Saya adalah milik kalian. Saya juga menginginkan yang
terhormat Paman dari pengantin wanita, Amru bin Asad,
untuk memberikan beberapa patah kata,” ucap Abu halib.
Amru bin Asad terbangun setelah namanya disebut. Dia
lalu berkata, “Ya kaum Quraisy, jadilah saksi! Aku nikahkan
keponakanku Khadijah binti Khuwaylid dengan Muhammad
bin Abdullah.”
Para tamu wanita yang berada di lantai dua langsung
bersorak dan berdendang bersama-sama. Melihat hal itu,
kaum Quraisy yang berada di luar rumah telah paham
bahwa akad nikah telah dilaksanakan.
Langit dan bumi.
Penghuni langit dan penghuni bumi.
Semuanya mengucapkan selamat atas hari yang luar biasa
ini.
Bersama-sama merayakan sebuah pernikahan yang indah.
140
“Ya kaum Quraisy, jadilah saksi.
Saya adalah Waraqah bin Naufal.
Dengan mahar 400 dinar, dua belas
ukiyah dan satu nashiyah emas,
serta 20 unta muda, saya nikahkan
Khadijah binti Khuwaylid dengan
Muhammad bin Abdullah.”
Pada saat itu juga, dua unta yang menjadi bagian dari
mahar dikurbankan untuk dibagikan kepada janda, anakanak yatim, dan fakir miskin. Jamuan pernikahan yang akan
dibagikan pada pagi harinya adalah sebuah tanda untuk awal
yang baik.
Tak hanya para malaikat dan kaum Quraisy yang bersuka
cita atas pernikahan Kha dengan Mim. Kaum fakir, orangorang tak punya, para pengembara, dari majikan sampai
budak, bahkan kucing-kucing sertai burung-burung pun
merayakan pernikahan itu.
Malam sudah mulai larut. Para tamu berpamitan dan
meninggalkan tempat pernikahan. Ketika pengantin laki-laki
beranjak dari tempat pernikahan bersama dengan saudarasaudaranya, pengantin wanita dengan sopan mengajak
pengantin laki-laki tinggal di rumah baru mereka.
141
_ Pernikahan
Semua terjadi seperti apa yang ada di dalam mimpi
Khadijah.
“Hidup adalah sebuah rumah yang akan menafsirkan
mimpi-mimpi,” pikir Khadijah.
Khadijah tak hanya melihat mimpi yang indah dan penuh
dengan berkah. Dia juga berusaha mewujudkan dalam
kehidupannya dan berhasil. Mimpi itu mengarahkannya
untuk berniat dan menumbuhkan keinginan untuk
mewujudkannya. Ruh Khadijahlah yang melihat mimpi,
sementara keinginan dan kemauannya yang mewujudkan
mimpi itu. Niat bagus yang tumbuh dan berbuah tindakan
di tangan Khadijah sesungguhnya adalah sesuatu yang
diinginkan Allah, seperti yang terjadi pada Khadijah dan
Ibunda Hajar.
Dengan ketekunan dan usaha, takdir yang tertulis di
dalam diri kita harus dituangkan dalam perbuatan untuk
mewujudkan tujuan kita dikirim ke dunia, dan agar ujian
hidup dan tujuan hidup saling melengkapi. Sungguh, Allah
adalah penulis buku takdir mulai dari awal sampai akhir.
Walaupun berada di situasi yang paling buruk, berjalanlah,
atau berlarilah dengan kasih sayang dan penuh keyakinan.
Mim, simbol kasih sayang Allah.
Mim, suatu harta karun tersembunyi yang diidamkan.
Huruf Mim adalah bukti kasih sayang Allah.
Allah adalah Awal dan Akhir, awal dan akhir segalanya.
Salah satu sifat Allah adalah selalu melanjutkan apa yang
Dia kerjakan tanpa ada halangan.
Oleh karena itu, orang yang disebut sebagai kekasih-Nya
adalah kekasih abadi-Nya.
142
Dan sekarang, Allah Yang Mahabesar memberikan
rumah yang penuh berisikan kasih sayang seorang wanita
kepada kekasihnya.
Allah memilih Khadijah sebagi tempat dan penghias
segel. Khadijah adalah “Pelindung Segel”.
Maka pahamilah mengapa bentuk huruf “Kha”
mengingatkan kita pada atap rumah!
Dan mengapa tangan huruf Kha terbuka menghadap
langit, pahamilah ini semua, bukalah hati nuranimu dan
lihatlah tangan huruf Kha.
Kamu akan menemukan tangan-tangan kasih sayang
Khadijah yang ditugaskan untuk melindungi Kekasih Allah.
Khadijah bukan hanya sepasang mata kasih sayang.
Khadijah adalah dasar sungai.
Bukan hanya lambang bendera.
Khadijah juga berarti “tangan-tangan”.
Tangan-tangan wanita yang diberi amanah berupa
Kekasih Allah, tangan-tangan kasih sayang.
Rumah kasih sayang.
Atap wahyu.
Idaman di sekelilingnya.
Sumurnya Zamzam.
Sahabat setia hidup.
Tiram mutiara.
Kotak harta karun.
Baju hangat kekasihnya.
Khadijah, cincin yang sempurna dan tak bersudut.
Khadijah, nama pemilik yang selalu berbagi.
Khadijah, pintu kasih sayang, tempat untuk kekasihnya.
143
_ Pernikahan
Khadijah, alam semesta yang diciptakan-Nya.
Khadijah memanjang sampai ke langit.
Khadijah, tempat berteduh untuk huruf Mim.
Mimpi Khadijah menjadi kenyataan.
Matahari terbit di rumahnya.
Rumah yang berada di antara bukit Safa dengan
Marwa dan tepat di belakang pasar yang didirikan para
penggembala adalah Rumah Kekasih-Nya yang akan
menjadi nabi terakhir.
144
Khadijah Adalah Rumah Kita
Setiap wanita menyimpan rumahnya dalam hati mereka
Baik ketika hidup di tenda kecil yang dibangun di padang
pasir atau di gunung-gunung maupun gedung-gedung dan
istana
Di rumah atau di belakang dusun
Tersesat atau tak ada harapan
Pendatang atau pengembara
Tawanan atau terantai
Kepala yang bermahkota atau kaki yang terbelenggu
Tiada bedanya
Setiap ruang wanita penuh dengan kesunyian
Kekuatan dahsyat untuk membangun ruangan itu akan
terus menyelimuti sekitarnya bahkan sampai mereka mati
dan tulang-tulang menjadi tanah
Karena wanita adalah bumi
Wanita adalah dunia
Kehidupan bukan hanya tempat melahirkan, tapi juga
tempat mereka dikubur. Mereka berhati lembut layaknya
serbuk bunga atau orang yang melakukan kebaikan dengan
rendah hati, seperti tangan yang tekun atau lembut selembut
bulu burung.
Kekuatan wanita seperti kekuatan gaib yang menopang
dunia
Semua hal ini tak tertulis di buku legenda
Hidup ditemani dengan air, sabun, dan tungku, bukan
145
_ Khadijah Adalah Rumah Kita
dengan pedang. Pengetahuan tentang kehidupan rumah
tangga layaknya detak-detak jantung
Detak-detak jantung itu tidak mudah didengar dari luar...
tapi detak-detak kecil itu adalah sumber kehidupan.
Yang mendendangkan dengan runtutan simfoni alam
semesta yang harmonis, sebuah rutinitas yang tidak akan
bisa dibedakan dengan aliran air
Selincah-lincahnya kucing bergerak adalah wanita
Para wanita selalu bergerak, selalu bergerak maju tanpa
beralih arah di setiap napasnya. Seperti suara, seperti
napas, di setiap udara yang dihirup dan di setiap waktu
yang terlewati, di setiap langkah mereka membawa rumah
mereka.
Setiap suara yang keluar, mereka membangun dan
menatanya
Setiap suara yang terdengar, mereka membangun dan
menatanya
Tanpa merasa bosan, mereka membangun rumah secepat
kecepatan suara
Rumah para wanita dibangun di atas suara-suara
Kita bisa berpikir mereka tak memiliki rumah jika dilihat
dari luar
Padahal, wanita adalah rumah pertama ketika anak lakilaki lahir
Rumah yang mereka tuju pula ketika akan kembali
Mereka tahu bahwa tempat itu bersembunyi di dalam hati
para wanita
Wanita adalah rumah
Tempat bernaung
Aktif, memiliki visi, dan kreatif adalah kemampuan yang
146
dimiliki para wanita dalam membangun rumah tangganya
Untuk orang-orang yang memahami, ini semua seperti
sebuah ruh
Seperti ingatan, kenangan, dan acuan
Ketika kita lebih berhati-hati dalam melihat, semua yang
berada di alam semesta ini saling melengkapi dengan kasih
sayang dan gairah
Saling tarik di lingkaran besar, dan pada saat itu kita
akan melihat betapa pentingnya sumber kehidupan yang
diungkapkan dengan kata ‘nisa’
Wanita adalah simfoni megah
Setiap wanita memiliki kunci rahasia mengenai rumahnya
Setiap wanita memiliki pengetahuan tentang rumah yang
luas
Begitulah takdirnya
Wanita adalah bagian dari batin kebenaran.
Wanita, seseorang yang setiap kata-katanya tak terbahas,
dilupakan, dan hilang identitasnya
Kita semua bergantung pada dunia, pada hidup, yang
bertumpukan cerita hidup, dongeng-dongeng para wanita
Kehidupan diturunkan ke dunia dengan dititipkan kekasihNya kepada Khadijah, terus mengalir dari bumi ke langit.
Khadijah adalah istri Nabi Muhammad, ibu yang
mengandung anak-anaknya, rumah untuk dirinya.
Atap Khadijah terbuka menghadap langit. Itu sebabnya
huruf Kha menghadap ke langit.
Tempat terjadinya Mikraj
Tempat berkumpulnya semua rahasia
Kasih sayang Khadijah adalah dunia yang diberikan kepada
kekasih-Nya.
147
_ Khadijah Adalah Rumah Kita
Oleh karena itu, dia adalah ‘Kubra’
Khadijah yang pertama dan terakhir.
Kasih sayang Khadijah adalah kerajaan Rasulullah
(Salawat dan Salam untuknya )
Khadijah adalah ibu untuk rumah para umat Nabi
Muhammad yang penuh berkah
(Salawat dan Salam untuknya)
148
Penghuni Rumah
A
da tiga anak di antara para penyambut di rumah baru
pengantin laki-laki. Dua anak laki-laki yang bernama
Halah dan Hindun dan satu anak wanita bernama Hindun
pula.
Seperti sang bunda, mereka menyambut Sang Matahari
dengan penuh antusias. Anak-anak itu sungguh sopan dan
beradat. Sang bunda memang memberikan perhatian penuh
dalam mendidik adat dan kesopanan.
“Suami Sang Bunda adalah Ayahnya Rumah,” anggapan
mereka.
Di malam pernikahan, Halah, berusia 12, Hindun, berusia
10, dan Hindun, berusia 8, memakai pakaian paling bagus.
Layaknya bunga-bunga yang sedang harum semerbak,
mereka bermain dan berlari-lari di tengah ruangan. Mereka
menyambut para tamu dengan penuh perhatian. Tentu saja,
hal yang paling menarik perhatian mereka adalah suami
baru ibunda mereka. Sering kali, secara terang-terangan
atau diam-diam, mereka mencuri pandang kepada ayah
baru mereka. Dalam pikiran mereka timbul pertanyaan
bagaimana ayah baru akan menyambut mereka?
Ayah baru?
Apakah sang ayah baru juga bertanya-tanya bagaimana
anak-anak itu akan menyambutnya?
Sebagai orang yang memahami dan merasakan keyatiman
149
_ Penghuni Rumah
dan tidak punya seorang ayah, akankah mereka menemukan
hal yang sama di hatinya?
Dan Halah....
Dia bersembunyi di balik pohon palem. Dengan jubah
sutra putih dan serban hijau, dirinya tampak seperti
burung beo lucu yang sedang memerhatikan ayah barunya.
Seberapa rapatnya Halah bersembunyi di balik pohon palem,
bulu merak yang tertancap di serbannya masih terlihat.
Ia seakan-akan burung merak yang tak bisa bersembunyi
seberapa pun kuat usaha dilakukan. Kadang-kadang, Halah
mengeluarkan kepalanya untuk melihat sambil tersenyum,
kemudian bersembunyi lagi di balik pohon. Kedua matanya
tak bisa lepas dari pengantin laki-laki.
Pengantin laki-laki, meskipun sibuk menyambut para
tamu, pasti juga memerhatikan anak-anak itu. Dan ketika
mata mereka bertemu, dia tersenyum kepada mereka.
Pertama-tama, sang ayah baru mencoba mendekati
anak laki-laki tertua, Halah, yang berada di lingkaran kecil
di halaman dan memberikan sinyal bahwa mereka akan
menjadi teman seperjalanan yang baik.
Anak kedua, Hindun, rupanya menjadi anak pertama
yang berani mendekati dan berbicara dengan ayah barunya.
Dia membelai rambut putra mungil yang berbicara halus
itu.
Hindun kecil yang terbawa oleh keberanian kakaknya
mengikuti kakak lelakinya untuk mendekati sang ayah baru
dan seakan-akan ingin memperlihatkan apa yang dia pakai.
Mengumpulkan seluruh keberaniannya, Halah keluar
paling terakhir dari tempat persembunyian dan mendekati
sang ayah. Halah memiliki kekuatan besar dibandingkan
150
anak-anak seumurnya. Dia mendekati sang ayah dengan
sikap seperti orang besar. Setelah itu, sang ayah memangil
namanya tiga kali... “Halah.... Halah... Ya Halah... sedang apa
kamu?”
Sang ayah selalu berhati-hati dalam berkata dan
menghormati pendapat mereka. Wajar jika akhirnya sang
ayah dengan cepat mendapatkan hati mereka.
Ketika terbangun di pagi hari, sang ayah selalu berbaring
di samping mereka, khususnya Halah. Halah adalah anak
yang berharap badannya cepat tinggi. Karena itu, ketika tidur
atau berdiri, dia selalu membandingkan tinggi tubuhnya
dengan sang ayah.
Dia juga selalu meniru dan mencontoh cara duduk,
berdiri, dan berbicara sang ayah. Perbuatan itu ternyata
menjadi bahan lelucon bagi yang melihatnya. Kadang,
dia mencoba bergulat dengan sang ayah. Di pagi hari, dia
suka membangunkan sang ayah dengan berlari di tempat
tidurnya dan mengagetkannya. Sang ayah hanya berkata
dengan perkataan yang sama: “Halah... Halah... Halah....”
Mereka sudah memiliki seorang ayah yang bisa mereka
temui saat berlari pulang ke rumah dari sekolah.
Sementara itu, anak yang kedua memiliki ingatan kuat.
Semua yang dia suka dengan cepat dapat dipahami. Karena
sang ayah memahami perasaan anak-anak, dia selalu berhatihati agar tidak membedakan satu dengan yang lain. Mereka
selalu mendapatkan kasih sayang yang sama walaupun
memiliki bakat dan keinginan yang berbeda. Orang-orang
Mekah pun mulai memanggil mereka ‘Rabibu Muhammad’
151
_ Penghuni Rumah
atau anak-anak yang beradab, terdidik, dan belajar dari
Muhammad. Ya, mereka seakan-akan seperti bunga-bunga
di kebun Khadijah yang dirawat oleh tukang kebun yang
mahir.
Di antara tiga bersaudara, yang paling kecillah yang
sangat manja. Seluruh anggota keluarga menaruh perhatian
khusus untuk sang bungsu karena dia sering sekali jatuh sakit.
Namun, jauh dari perkiraan, keturunan yang terus berlanjut
datang dari cucu-cucu anak bungsu ini. Menggunakan
nama keluarga ibunya yang terkenal, ‘Bani Tahira’, garis
keturunan yang terkenal itu tersemat pada Hindun. Apakah
doa-doa sang ayah berperan besar terhadap kesehatan putri
mungilnya itu?
Tak terhitung berapa kali sang ayah membelai rambut
dan berdoa untuk putrinya yang sering jatuh sakit ini.
Hindun memiliki berkah atas nama Tahira sebagai garis
keturunannya, disertai pula keberkahan dari doa-doa yang
dipanjatkan sang ayah ketika putri mungil ini berbaring
sakit di tempat tidurnya.
Mereka adalah anak-anak yang mendapatkan berkahnya.
Mereka menjadi anak-anak yang selalu setia.
Suatu hari, ketika sang ayah ditugaskan untuk menjadi
nabi terakhir, mereka adalah orang-orang yang pertama
menyakini dan mengikutinya. Mereka selalu berada di sisinya
dan mendukung sang ayah. Mereka ini akan menjadi teman
perjalanan dan pendukung bersama-sama dengan para
cucu dari putra-putrinya, seperti Zainab, Ruqayah, Ummu
Kultsum, Fatimah, Ali, dan juga Hasan serta Husain.
Mereka adalah putra-putri yang akan dikenang dalam
sejarah sebagai Rabibu Rasulullah, murid-murid yang
152
mendapatkan pendidikan dari nabi terakhir. Murid-murid
itulah yang akan memulai adat ‘Hilya’i Syarif, yang berarti
menggambarkan cinta kasih sayang dengan kata-kata.
Dalam lembaran-lembaran emas hadis, Hindun bin Abu
Halah menjelaskan maknanya. Hasan bin Fatimah binti
Rasulullah menceritakan bahwa suatu hari dirinya berkata
kepada pamannya, Hindun bin Abu Halah.
“Paman, tolong jelaskan kepadaku tentang Rasulullah?”
Dia pun mengabulkan permintaan itu dan mulai bercerita
tentang Rasulullah.
“Rasulullah adalah orang yang menjunjung tinggi
kehormatan dan selalu mengormati semua orang. Beliau
adalah orang yang dihormati oleh semua orang. Wajahnya
bersinar seperti bulan. Beliau bukanlah orang yang dibenci
dan tak diinginkan dalam waktu yang lama. Semua orang
langsung mencintainya. Wajahnya tampan dengan rambut
yang panjang. Ketika rambutnya memanjang, Rasulullah
merapikannya ke balik telinga. Namun, beliau sering
merapikan rambutnya tak melebihi telinga bagian bawah.
Kulitnya bersih dan bercahaya. Dahinya lebar dan bersinar.
Badannya berotot. Di bagian ototnya terlihat urat-urat
nadi. Hidungnya indah. Beliau memiliki keindahan yang
sempurna dan bercahaya. Jenggotnya jarang dan pipinya
putih bersih bersinar.
Rasulullah juga memiliki badan yang tegap dan gagah.
Dadanya lebar. Perutnya setara dengan dadanya. Bahunya
lurus dan lebar, tulang-tulangnya kuat. Kakinya tegap.
Langkahnya selalu harmonis dan gagah. Beliau berjalan
langkah demi langkah seperti lembaran kertas buku. Ketika
berjalan, seakan-akan beliau berjalan dari langit turun ke
bawah.
153
_ Penghuni Rumah
Beliau membalikkan seluruh badannya ketika menghadap
ke arah seseorang. Padangannya lebih sering ke arah tanah
dibandingkan ke langit. Rasulullah mengucapkan salam
sebelum sahabat-sahabatnya ketika bertemu dengan salah
satu sahabat.”
Hasan lalu berkata, “Bisakah Paman menceritakan lebih
banyak lagi.”
Dia pun melanjutkan ceritanya.
“Rasulullah biasanya terlihat sedih. Beliau tampak
terbenam dalam pikirannya yang dalam. Selalu bertafakur.
Dirinya selalu terdiam dan berbicara seperlunya. Ketika
berbicara, ucapannya selalu pendek dan padat sehingga
mudah dimengerti. Tak pernah berbicara tiada arti dan
susah dimengerti. Ketika berbicara, dia tak pernah terbatabata. Ungkapannya fasih.
Rasulullah sering memberikan jamuan dan hadiah.
Beliau tak pernah menjelek-jelekkan pemberian. Rasulullah
menjaga amarahnya seperti menjaga nafsu dan kesenangan
duniawi.
Tiga anak yang mendapatkan
pendidikan bagus oleh ibunya ini akan
selalu hidup penuh kasih sayang dan
bersedekah untuk sang ayah yang akan
menjadi nabi terakhir.
154
Rasulullah selalu berada di sisi dan mendukung yang
benar. Ketika menunjukkan sesuatu, beliau tidak menunjuk
dengan satu jari, tapi semua jari-jarinya. Ketika dia menyukai
sesuatu, beliau selalu berbalik dan menjauhinya.
Dia menutup matanya ketika bergembira. Senyumnya
adalah tawanya,” kata sang paman.
Tiga anak yang mendapatkan pendidikan bagus oleh
ibunya ini akan selalu hidup penuh kasih sayang dan
bersedekah untuk sang ayah yang akan menjadi nabi
terakhir. Di antara anak-anaknya yang temasuk generasi
pertama yang masuk Islam adalah Hindun. Dia akan hijrah
ke Madinah bersama-sama dengan Rasulullah dan ikut
dalam Perang Badar.
155
Jubah Sang Kekasih
K
hadijah adalah jubah, pakaian bagi orang-orang yang
disayanginya. Pertama, dia memakaikan saudarasaudaranya dengan kasih sayangnya. Pengorbanan dirinya
seakan-akan menyelimuti mereka layaknya sepasang
pakaian. Kemudian, dia menyelimuti putri-putrinya penuh
dengan kehangatan. Dan yang paling penting, dia menjadi
ayah dan ibu untuk putra-putrinya. Kedewasaannya seperti
baju hangat yang panjang.
Di malam upacara pernikahan yang penuh sukacita dan
disaksikan para malaikat, Khadijah menjadi ‘Jubah Nabi’.
Cipataan-Nya yang menjadi kekasih Allah adalah sumber
alam semesta. Khadijah telah dipilih menjadi jubah untuk
Sang Kekasih. Cermin kasih sayang, baju hangat kasih
sayang.
Upacara pernikahan telah usai dan terukir di punggung
Khadijah. Sebagian hidupnya setelah itu dia berikan untuk
melindungi, mendukung, dan menyelimuti Sang Nabi.
Seluruh harta milik Khadijah pun ikut diinfakkan. Khadijah
adalah sebuah kebaikan yang dihadiahkan untuk KekasihNya oleh Allah. Dia adalah wanita yang benar-benar
mengerti rasa cintanya.
Keberadaan Khadijah seperti kerangka bagi hati, sumur
yang memancarkan air, samudra, tanah untuk biji, unsur
yang mengakhiri makna, dan kulit untuk ruh.
156
Khadijah seperti sepasang mata kasih sayang yang terus
terbuka dan tak berkedip.
Khadijah adalah sepasang mata kasih sayang.
Khadijah adalah tangan-tangan kasih sayang.
Khadijah, sumber kekaguman.
Kebimbangan berubah menjadi kepastian.
Kebimbangan mencair menjadi keyakinan dan
pengorbanan.
Khadijah, Sang Pencair…
Dia adalah sumber kebahagian untuk Sang Nabi.
Keberadaannya seperti jubah yang dipakaikan di
punggung kekasih yang dia cintai.
157
Barakah
P
engantin laki-laki tidak sendiri datang ke rumah barunya.
Dia datang bersama pengasuh tercinta yang merupakan
bagian yang tak terpisahkan darinya. Namanya Barakah.
Lengkapnya adalah Barakah binti Tsa’labah bin Amru bin
Hishan bin Malik bin Salmah bin Amru bin Nu’man AlHabasyiyah.
“Barakah adalah ibuku setelah ibu kandungku.”
Begitulah Muhammad memperkenalkan pengasuhnya
kepada penghuni rumah.
“Barakah adalah warisan ayahku kepadaku. Setelah ibuku
wafat, dialah yang merawat dan mengasuhku.”
Cinta Barakah seperti bayangan hitam yang selalu
mengikuti jiwa-jiwa ini pergi. Barakah adalah pantai yang
membersihkan dan menyaring setiap kematian, perpisahan.
Dan kepada dialah Muhammad diamanahkan oleh Allah.
Barakah merasa sedih mengingat hari-hari yang dilewati
Muhammad sebagai anak yatim tanpa melihat wajah sang
ayah. Ketika Muhammad menangis saat sang ibu wafat,
Barakah memeluk erat tubuhnya dan membelai rambutnya.
Barakah pula yang memeluk dan menenangkan
Muhammad kecil saat sang kakek, Abdul Mutalib, wafat.
Saat itu, Kekasih Allah itu merasa dirinya seperti tertindas di
bawah sebuah gunung. Muhammad kecil menangis sambil
memegang erat ujung tempat tidur kakeknya. Dan setelah
itu, Barakah tak pernah jauh dari sisinya. Ketika Muhammad
158
beranjak dewasa, dialah yang selalu berada di sisi Barakah
dan tak pernah melepaskannya.
Barakah memiliki sepasang mata yang mudah meneteskan
air mata. Hatinya juga lembut. Ucapannya terbata-bata ketika
sedang gembira. Belum lagi lisannya yang celat yang bisa
membuat suasana sedih langsung hilang. Kecadelannya itu
menjadi bahan pembicaraan, khususnya di lingkungan anakanak. Ketika tertawa, dia tertawa dengan gigi putihnya yang
seperti mutiara. Barakah adalah pengasuh dan penghibur
yang mahir. Dengan ninabobo dan doa-doanya, seketika
anak-anak akan berhenti menangis dalam pelukannya.
“Seakan-akan dia tercipta untuk anak-anak,” ucap orangorang yang mengenalnya.
Tak ada anak yang tidak tertidur di pangkuannya.
Tidak ada anak yang tak berhenti menangis. Tidak ada
anak yang tidak dibuatnya bahagia. Tidak hanya Khadijah,
putra-putrinya dan para pelayan pun bergembira dengan
kedatangan Barakah ke rumah baru itu.
Mereka dengan sukacita menyiapkan kamar untuknya.
Kamar Halah dan kedua saudaranya tidak bisa menampung
Barakah. Oleh karena itu, mereka menyiapkan tempat baru
di dekat kamar anak-anak.
Seperti biasa, Dujayah menghampiri Berenis dengan
napas terengah-engah.
“Berenis, sudahkah engkau berkenalan dengan pengasuh
baru Nyonya Khadijah, Barakah?”
“Dujayah, lagi-lagi kau dari rumah Nyonya!”
159
_ Barakah
“Tuan Waraqah mengirimku ke sana untuk menanyakan
apakah kantong-kantong air sudah dipasang atau belum.”
“Ya aku tahu... aku tahu.... Kau juga lupa tentang kantongkantong air dan tidak sabar langsung pergi berkenalan
dengan tamu baru itu, iya kan?”
“Betapa manisnya pengasuh itu. Dan juga, ia berasal dari
kota asalmu.”
“Dari Habasyah?”
“ Iya dari Habasyah.”
“Dujayah, waktuku untuk pergi sudah datang.”
“Apa yang kau katakan, Berenis? Aku mendengar ketika
tuan Waraqah berbicara bahwa akan ada beberapa tamu.”
“Aku seorang pengembara Dujayah. Aku tak pernah
tinggal dalam waktu yang lama di suatu tempat.”
“Aku mendengar pembicaraan tentangmu. Kamu
mencari tunanganmu, iya kan?”
“Anak yang bertelinga dua. Kerjaanmu itu memang hanya
mendengarkan pembicaraan orang lain.”
“Menurutku, mencari seseorang yang meninggalkanmu
adalah suatu hal yang bodoh. Dia tidak berhak mendapatkan
perlakuanmu seperti ini.”
“Urusan ini sudah lama keluar dari permasalahan hak,
Dujayah. Ini bukan urusan tentang pertunangan lagi. Urusan
ini adalah urusanku. Ini adalah takdirku.”
“Jika dia memang tidak berhati buruk, dia tidak akan
pernah pergi meninggalkanmu.”
“Wahai Dujayah, dalam kehidupan ini tidak akan ada
sesuatu yang berlebihan. Semua musibah yang menimpa
kita pasti ada hikmahya. Allah-lah yang mempertemukan
gunung dengan gunung, jalan dengan jalan, langit dengan
160
langit. Sebelumnya, aku adalah pengembara. Sekarang,
perjalananku menjadi petualanganku. Apa yang aku cari di
sini? Aku pun tak tahu mengapa aku berhenti di sini. Namun,
aku merasakan bahwa penggembaraanku menarikku seperti
magnet. Seperti sungai yang ingin mengalir selamanya.
Bagaimana bisa membuatnya berhenti jika kita tidak bisa
mengendalikannya. Dan apa yang leluhur kita sebut sebagai
cinta juga seperti itu. Jika kau tak pergi, dia yang akan
membawamu.”
“Kau berbicara seperti pedagang budak sekarang.”
“Maksudmu?”
“Para wanita yang satu rombongan denganku juga seperti
itu. Kami berjalan berhari-hari tanpa pernah tahu ke mana
akan dibawa. Tangan dan kaki kami terlilit rantai satu sama
lain. Kami harus terus berjalan walaupun sudah tidak punya
lagi kekuatan untuk berjalan. Ketika kamu berbicara, hal
itulah yang aku ingat.”
“Manusia adalah budak manusia kata almarhum tukang
perahu yang kukenal.”
“Semoga Allah tidak menjadikan seseorang sebagai
budak.”
“Jangan sampai.... tetapi kadang kala kita sendirilah yang
memilih untuk menjadi budak. Contohnya, lihatlah para
ibu. Mereka menjadi budak anak-anaknya. Atau coba ingat
pengantin laki-laki dengan wanita di dongeng-dongeng
cinta. Kadang manusia memilih perbudakan dengan hati
terbuka, bahkan karena tak ada cara lain.”
“Berenis, apakah kau seorang budak?”
“Aku telah jatuh ke dalam lumpur cinta. Hanya Allah
yang tahu apakah aku bisa melewati tebing ini.”
161
_ Barakah
“Sekarang, kita memiliki rumah. Itu adalah hal yang
paling membuatku senang Berenis.”
“Rumah ada dalam diri kita Dujayah. Para pengembara
membawa rumah di dalam diri mereka.”
162
Kabar Gembira
A
pakah ada batu-batu dan tanah yang tak berwajah
tersenyum untuknya?
Apakah ada pohon-pohon dan kolam yang tak berlidah
berbicara untuknya?
Tidak hanya Khadijah. Sejak mentari memancarkan sinar
ke dalam rumah dan kamar-kamar, seluruh sudut tertawa,
berbicara layaknya rumah besar.
Ranting-ranting pohon palem yang menjulur ke tanah
menjadi pertanda kegembiraan. Selendang dari Persia
berwarna merah anggur mendaki sampai lantai dua, tanpa
peduli dengan daun-daun berduri yang berani masuk ke
dalam rumah lewat balkon. Lumut-lumut yang hidup di
antara ikan salmon berwarna ungu pun mengetahui semua
kegembiraan itu.
Di setiap sela-sela kehidupan terpancar kegembiraan.
Anak tangga tua yang sudah retak menyangga berat banyak
orang seakan-akan ingin berubah menjadi daun. Temboktembok tersenyum. Pintu-pintu merentang tergesa-gesa.
Pohon-pohon tampak seperti wanita yang sedang bersolek.
Mereka seakan-akan ingin berjalan-jalan.
Semua tampak gelisah.
Jika mau, angin bisa saja mendengar apa yang kita
ucapkan. Bulan dan mentari seakan-akan saling berkejaran
untuk bisa terbit di rumah kebahagian ini. Matahari pun
terbakar seperti bunga mawar, ketika malam tiba dengan
163
_ Kabar Gembira
terang seperti arang, mendendangkan beribu-ribu lagu ke
seluruh sudut rumah.
Betapa besar cinta Khadijah atas sang suami.
Apalagi kalau tidak ada perpisahan itu. Sang suami sudah
mengambil alih semua urusan perdagangan. Dia sendiri
yang mengurus semuanya, baik di musim panas maupun
dingin.
Permasalahan besar, perhitungannya pun besar. Pasti
tidak mudah mengatur salah satu harta kekayaan terbesar di
penjuru Mekah. Sejak perdagangan diambil alih sang suami,
dari segi ekonomi terlihat ada perkembangan. Pendapatan
mereka penuh berkah dan tersohor di penjuru Mekah.
Di setiap perjalanan perdagangan yang dilakukan sang
suami, Khadijah merasakan perpisahan. Jangankan berpisah
berbulan-bulan, ketika duduk bersampingan pun Khadijah
merasakan kerinduan untuk sang suami. Sang suami
memang berbeda dengan semua orang.
Sepasang matanya diam-diam sering memandang sang
suami dari kejauhan, perasaan sedihnya adalah sesuatu yang
sangat membebaninya, apalagi ketika mereka berpisah.
Khadijah terlihat gelisah dibandingkan hari-hari biasa.
Ketenangannya yang bergeming terbakar menjadi kesedihan.
Dia pun tak bisa selalu melakukan perjalanan ke Irak untuk
mengobati rasa rindunya.
Dengan ketenangannya yang penuh misteri dan
kerendahan hatinya, suami Khadijah sunguh berbeda dengan
yang lain ketika bercampur dengan masyarakat. Dia tak
pernah mengikuti pesta yang diadakan khusus untuk orangorang kaya. Dia tak suka ketika orang membicarakannya.
Dalam kehidupan, dia tak pernah mengikuti hawa
nafsunya.
164
Ada masa ketika terpancar dalam dirinya perasaan untuk
bersatu dengan ruh laki-laki yang dia cintai itu.
Dan ketika masa itu, dari kejauhan sang suami
memandangnya.
Termenung.
Sedih.
Menderita.
Kadang pelupuk matanya terisi penuh oleh air bening. Biji
matanya pun pucat karena terlalu cemas. Di dalam matanya
terlihat urat-urat tipis yang sedang mencari jawaban atas
pertanyaan yang sangat sulit. Setiap hari matanya terlihat
berat. Di saat seperti itulah Khadijah mulai cemas. Dia
menaruh masalah ini jauh di dalam dirinya hingga tak bisa
ditempuh oleh suaminya. Semua yang ada dalam dirinya
luntur dan mengubahnya menjadi seperti wanita muda yang
kekanak-kanakan. Di masa seperti inilah Khadijah tak tahu
apa yang harus dilakukan dan diucapkan untuk medekatkan
jarak itu. Di saat seperti inilah dia berusaha keras untuk
keluar dari tebing kehidupan suaminya.
Khadijah adalah tali kehidupan yang mengikat
suaminya.
Seperti kapal yang selalu siap untuk berlabuh
Seperti jangkar besi yang di lempar ke laut, Khadijah
adalah rantai yang mengikat suaminya di pelabuhan.
Dari hari ke hari, untuk pelabuhan manakah kapal ini
disiapkan?
Khadijah tidak tahu.
Namun, satu yang pasti dia tahu, perilaku dan tingkah
laku suaminya berbeda dengan semua orang.
Belum lagi dengan cahaya yang terpancar di dahinya atau
ucapan-ucapan yang setiap waktu didengar Khadijah bahwa
165
_ Kabar Gembira
suaminya adalah penunjuk jalan ke alam lain. Suaminya
diserupakan pemburu mutiara. Siapa yang tahu sedalam apa
ia menyelam ke dalam laut atau di karang mutiara manakah
ia berburu? Dengan sabar, dia menunggu suaminya di tepi
kehidupan.
Pada setiap kedatangan sang suami yang kembali dari
laut yang dalam, sang suami menemukan Khadijah yang
menunggunya dengan senyum dan kesabaran. Sambil
tersenyum, dia menatap sang istri dan tak lupa memanggil
namanya. Huruf-huruf namanya yang keluar dari bibir
indah suaminya itu adalah hadiah yang paling besar di dunia
untuknya.
“Khadijah!”
“Ya, Pangeran Hatiku.”
Khadijah berpikir, jika sang suami memanggil “Khadijah”
ketika melewati pemakaman, para Khadijah yang lahir dari
masa Nabi Adam sampai sekarang pasti akan bangun dari
tempat kubur mereka dan berkata “iya”.
Di setiap panggilan “Khadijah” kepadanya, ketika dia
menjawab “Silakan”, seluruh sel tubuh dan ruh di setiap titik
selalu siap untuk Kekasihnya. Seakan-akan dia diciptakan
pada saat itu. Seakan-akan dia diciptakan khusus untuk
masa itu. Kekasihnyalah yang selalu memanggil Khadijah
dengan namanya. Dan setiap kali memanggilnya, cintalah
yang selalu ada.
Khadijah.
Untuk Khadijah.
Pada Khadijah.
Di Khadijah.
Dari Khadijah.
166
Orang yang menjadikan nama Khadijah menjadi
nama kasih sayang adalah lelaki yang menjadi suami dan
kekasihnya.
Lelaki itu adalah orang yang ketika berbicara pada
masyarakat dan orang-orang di sekelillingnya dengan
suara dan kata-kata yang lembut bersahabat. Dia memiliki
rahasia yang menyatukan masyarakat dan dirinya dengan
kemurahan hati, kasih sayang, dan perhatian. Semua orang
mencintainya!
Khadijah ingin menyalin sesuatu yang mirip dengannya,
bagian darinya untuk dunia. Dirinya ingin memberikan
hidupnya kepada suaminya, menghubungkan hidup milik
dirinya dengan kehidupannya, mengeluarkan sebuah
hati dari dalam dirinya, meperbanyak dengan cinta dan
memberikan kepadanya.
Menurut Khadijah, dua badan yang saling mencintai
akan menjadi seperti rumah, gua, tempat berteduh untuk
mereka. Cinta, layaknya dua sungai yang mengalir, bertemu
dan bercampur di suatu pantai. Ketika dua menemukan
rahasia untuk menjadi satu, Khadijah tahu bahwa di setiap
bertambahnya umur, dia harus mengambil langkah yang
pasti tentang hidup.
Ketika dua sudah menjadi satu, saat itulah awal kata yang
memulai segalanya keluar dari bijinya, dan dunia di saat itu
kembali mulai diciptakan.
Petir-petir bergelegar, hujan turun deras, terompet yang
memanggil para pemburu mulai ditiup, dan kuda yang tak
sabar untuk berlari dengan penuh semangat yang membara
bergabung dalam antrean. Orang-orang yang bersuka
cita ketika dua menjadi satu mengangkat bendera dengan
167
_ Kabar Gembira
tombaknya ke arah langit, layaknya dua tentara gagah yang
saling tak mau mengalah.
Orang-orang yang bersuka cita ketika dua menjadi satu,
setiap kali pena bergerak di atas kertas, tugasnya selesai
dengan menuliskan kata-kata damai yang paling indah,
sudut hiasan yang paling indah, coretan yang paling indah.
Di satu hari dari beberepa hari seperti ini, pena itu
menerakan sebuah puisi yang paling indah di selembar
kertas. Puisi pertama itu berjudul Qasim. Di hari ketika
nama Qasim dituliskan di rahim sang ibu, sosok Khadijah
yang akan menjadi seorang bunda sudah semakin tampak.
Bunda yang akan melahirkan. Penciptaan ditulis ulang
dan tercatat di lembar kertas itu. Benih penciptaan itu
diamanahkan kepada para wanita. Dan Khadijah adalah
salah satu pembawa benih sempurna itu. Lembaran kertas
itu telah menjadi surat yang indah.
Ketika menerima kabar gembira tentang
bayi yang ditunggu, terlihat bunga-bunga
mawar berada di wajah cantiknya.
Rasa cinta mereka semakin bertambah..
semakin mengalir.
Ketika menerima kabar gembira tentang bayi yang
ditunggu, terlihat bunga-bunga mawar berada di wajah
cantiknya. Rasa cinta mereka semakin bertambah… semakin
mengalir.
168
Sembilan bulan dilewati dengan penuh kecemasan dan
kegembiraan. Bayi mungil bernama Qasim terlahir di tahun
keempat pernikahan mereka dan menghadiahkan nama
‘Abu’l Qasim’ untuk sang ayah.
Dua putra tertua, yang satu berusia 16 dan satunya 14,
menjadi dua pemuda gagah yang ikut membantu urusan
perdagangan bersama paman-pamannya. Mereka bak
seorang pangeran. Begitu sampai dari Yaman, mereka berlari
ke rumah untuk melihat saudara baru mereka.
Putri yang paling bungsu, Hindun, tak mau berpisah
walaupun satu menit. Dia memperlihatkan sifat keibuannya.
Dia tak sabar untuk segera memasang pakaian rajutan yang
terbuat dari bulu dan mengenakan kalung warna-warni
yang terbuat dari batu Mekah untuk saudara barunya. Putri
mungil itu pun memandangi Qasim yang tertidur, menimang
ke ranjang, mendendangkan ninabobo untuknya. Dia
mendengarkan ucapan para tamu wanita yang mengatakan
bahwa Qasim mirip dengan dirinya. Dan hal itu adalah
sesuatu yang paling disukai di dunia ini.
Namun, hal yang seperti mimpi itu hanya bertahan tujuh
hari. Menurut adat di masa itu, bayi yang baru lahir akan
diberikan kepada ibu susu agar lebih sehat dan kuat. Sebelum
Qasim dilahirkan, setelah melakukan pencarian yang lama,
mereka memilih Salmah, budak wanita Shaiyyah, bibi
Muhammad, untuk menjadi ibu susu Qasim. Salmah akan
menjadi ibu susu bayi mungil itu.
Pada hari ketujuh, di dalam rumah diadakan syukuran
untuk sang bayi. Mereka memotong segenggam rambut
lembut milik Qasim, membagikan sedekah berupa perak,
dan menyelesaikan syukuran akikah itu dengan menyembelih
169
_ Kabar Gembira
dua kambing yang sehat. Para tamu, pengembara, dan
fakir menyantap jamuan yang disediakan. Ditemani
dengan halwah dan kurma, mereka memukul rebana,
mendendangkan lagu dan puisi.
Hujan berkah dan kasih sayang turun dari langit di atas
rumah-rumah.
Wahai “sang ayah”?
Sebutan itu sudah berganti menjadi Abu’l Qasim.
Para pembesar Mekah tak bisa menemukan tempat
yang bisa diberikan kepada ayahnya Qasim karena berhasil
menjadi ‘ayah anak laki-laki’, ketenaran yang paling tinggi
diberikan kepada mereka yang memiliki anak-anak lakilaki. Mereka memberikan mahkota untuknya. Menurut
adat orang Mekah di masa itu, setiap orang yang memiliki
anak laki-laki dianggap telah mendapatkan takhta kerajaan.
Abu’l Qasim berterima kasih kepada semuanya yang telah
memberikan ucapan selamat kepadanya.
“Dengan izin Allah, aku bersyukur kepada Allah,”
ucapnya.
170
Sebuah Jejak Kaki
L
agi-lagi Dujayah masuk sambil terengah-engah.
“Berenis... Berenis... Apakah engkau sudah
mendengar apa yang terjadi?”
“Berhenti dulu. Pelan-pelan wahai Dujayah si telinga dua.
Tenangkan dirimu. Engkau akan menumpahkan keranjangkeranjang itu!?”
“Sungguh aku tak bisa diam. Ada berita besar, sangat
besar!”
“Apa yang terjadi wahai Dujayah sampai kau secemas.
Apa yang terjadi?
“Calon pengantin laki-laki Barakah telah datang.”
“Ahha! Itu kabar yang sangat bagus menurutku.
Minumlah susu yang berada di keranjang itu dan kemudian
bawa keranjang-keranjang yang penuh dengan susu itu ke
halaman, ayo!”
“Aku bilang apa, kau bilang yang lain wahai Berenisku.”
“Jika kita tak mendidihkan susu dan meragikan keju
itu, kau akan menyesal nanti. Nyonya Waraqah akan
memintamu untuk menceritakan kabar yang engkau
ceritakan kepadaku. Ayo cepat! Lihat, masih saja engkau
tetap berdiri di depanku.”
“Kau hanya berdiri menunggu di sini. Lihatlah Barakah.
Dia datang jauh dari Madinah, dan sekarang dia akan
menjadi pengantin wanita untuk seorang laki-laki.”
“Wahai Dujayah, aku adalah anak wanita ayahku yang
percaya takdir.”
171
_ Sebuah Jejak Kaki
“Wahai Berenisku, aku juga percaya dengan takdir
yang ditulis oleh Allah. Dan mengapa kau langsung salah
paham?”
“Tadi kau bilang aku hanya berdiri menunggu di sini ya.”
“Maafkan aku, Nyonya Berenis. Aku tak bermaksud
menyinggung perasaanmu.”
“Lihatlah, setelah tahu kesalahanmu, kau langsung
memanggilku ‘nyonya’....”
“Demi Allah, aku tak bermaksud membuatmu sedih.”
“Sudah berapa kali aku bilang kepadamu wahai anak
nakal, jangan berkata sambil bersumpah.”
“Wahai Berenisku, kau tahu kalau aku sungguh menyukai
Barakah. Aku selalu mengatakan kepadamu bahwa cita-citaku
yang paling besar adalah menjadi pengasuh yang dicintai
banyak orang seperti Barakah. Namun, tak beruntungnya
kita. Dia akan pergi meninggalkan kita. Malam ini, Ubaid
bin Haris akan datang ke rumah. Pernikahan Barakah akan
segera dilangsungkan.”
“Semoga Allah memberikan kebahagian dan kelanggengan
kepada mereka.”
“Aaa... sebentar. Mengapa engkau menangis Berenis.
Apakah aku membuatmu sedih lagi?”
“Tidak, tidak apa-apa anak muda. Aku hanya rindu
kepada ayahku.”
“Betapa beruntungnya dirimu. Aku tak memiliki ayah
dan ibu yang masih hidup yang bisa kurindui. Dan kau juga
tahu apa yang mereka lakukan kepada kakakku. Mereka
membunuhnya di depan mataku. Di dunia yang besar
ini, aku tak memiliki siapa-siapa selain Nyonya Waraqah
dan dirimu. Namun, aku sadar telah merepotkan dirimu.
172
Seharusnya akulah yang harus menangisi keadaaanku.
Jangan menangis Berenis....”
“Datanglah ke pelukanku, Angsaku yang manis. Sungguh
wangi rambutmu, anakku yang cantik, Dujayahku. Suatu
hari, kau akan dewasa. Kau akan menjadi pengantin dan
memakai kerudung. Kau akan melahirkan banyak anak dan
semua akan memamnggilmu ‘ibu’.”
“Sudahlah, jangan menangis.”
“Ya, lihatlah, aku sudah tidak menangis lagi.”
“Berenis, menurutmu aku ini cantik atau tidak?”
“Wahai Dujayahku si telinga dua, kau adalah wanita
paling cantik di dunia, tapi kau anak yang paling nakal.”
“Menurutku, kau juga sangat cantik. Lihatlah, kau juga
punya rambut.”
“Aku memang punya rambut dari dulu, wahai anak
nakal!”
“Kau potong rambutmu sampai akarnya, ya. Bahkan, kau
bersumpah tak akan memanjangkan rambutmu sampai kau
menemukan tunanganmu.”
“Itu sudah lama berlalu wahai anak muda.”
“Kalau begitu, mengapa kau diam-diam menangis.
Engkau kira aku tak melihatnya?”
“Masyaallah bagaimana kau tak melihatnya. Kau memiliki
empat pasang mata, bukan dua. Namun, empat pasang mata
itu selalu sibuk melihat hal-hal yang tak berguna.”
“Akankah kita datang ke pernikahan itu, Berenis?”
“Ke pernikahan Barakah maksudmu?”
“Iya, aku mohon iya. Katakan iya, aku mohon katakan
iya!”
173
_ Sebuah Jejak Kaki
“Nyonya Khadijah memberikan tugas untuk membantu
urusan mahar milik Barakah. Besok, wol yang telah dibeli
untuk tempat tidur, selimut, dan bantal akan dicuci. Dan di
hari berikutnya, ada pemasangan gorden.”
“Wow... lihatlah mahar milik Barakah!”
“Semua mahar ini dibuat Nyonya Khadijah. Wanita
yang dianggap ibu oleh suamiku, dia ibuku juga, kata
Nyonya Khadijah. Semua yang berada di rumah merasakan
kegembiraan pernikahan itu. Akad nikah akan dilangsungkan
malam ini, sementara perayaannya satu pekan kemudian.”
“Hore.... Berarti kita akan datang ke upacara
pernikahannya.”
“Nyonya Waraqah juga memberikan tugas untukmu.
Engkau diminta untuk memilih dupa yang kau suka dari
Pasar Attarlar untuk dibakar di upacara pernikahan. Nyonya
Waraqah yang akan membayarnya.”
“Hebat! Hore! Ketika dewasa nanti, aku ingin menjadi
penjual dupa.”
“Engkau tidak akan menjadi pangasuh, penjual dupa,
ataupun pawang ular sebelum kau angkat masuk keranjangkeranjang itu ke dalam!”
“Pawang ular, kau tahu dari mana?”
“Dari mana lagi? Siang hari ini datang pawang ular dari
Ukazali ke rumah kita dan menanyakan kepada Nyonya
Waraqah apakah pawang ular Dujayah tinggal di rumah ini.
Kami susah payah mengusir mereka. Kau memesan ular
dari orang itu dan mereka datang dengan membawa ular
satu keranjang penuh.”
“Katakanlah kalau pekerjaan malam hari ini adalah....”
174
“Jika malam ini tak memberikan hafalan tauratmu kepada
Nyonya Waraqah, kau akan mendapat masalah besar nyonya
kecil.”
Keesokan pagi, Dujayah bangun dengan semangat.
Tugas yang diberikan kepadanya untuk membeli
keperluan dupa cukup membuatnya bersemangat.
Dujayah melihat mimpi yang sama sampai pagi. Pasar
Attalar luas memanjang tak berujung. Sejauh dia berjalan
mengelilingi bagian dalam, ujungnya tak ditemukan. Di
setiap putaran, jalannya dihabiskan dengan bermacammacam jenis bau dan agak masam.
Setelah bangun, dia langsung memakai pakaian yang
paling bagus. Berenis menyisir rambutnya dan berhati-hati
memasang pita-pita. Dujayah pergi berjalan menuju pasar
dengan membawa keranjang di tangan. Setiap sampai di
tempat yang biasa dikunjungi Nyonya Waraqah, dia merasa
pemilik toko tahu akan kedatangannya. Mereka menunjukkan
beberapa contoh minyak wangi dan wewangian di pot kecil.
Wanita muda itu terkesima dengan bau yang indah yang
menunjukkan bahwa dunia ini adalah alam semesta yang
tiada berujung.
“Ini adalah ruh magnolia. Wanginya akan membawakan
ketenteraman.”
“Ini ranting buah kiraz untuk menghilangkan bau
makanan.”
“Ini mata kucing, melindungi dari sihir-sihir jahat.”
“Ini bunga delima. Ketika dicampur dengan biji ara dan
dibakar, orang yang ada di ruangan itu akan saling jatuh
cinta.”
175
_ Sebuah Jejak Kaki
“Ini rumput yuksuk. Ular tidak akan masuk ke rumah
yang di dalamnya sedang dibakar rumput ini.”
“Ini anamon yang dikeringkan. Tangisan anak-anak dapat
diredakan dengan ini.”
“Ini bunga serunai. Dibakar sebelum melakukan
perjalanan.”
“Ini rumput serabi, dupa di malam pertama. Jika dimakan
dengan dicampur madu oleh pengantin wanita, bayi akan
lahir sehat.”
“Ini adalah tepung yang terbuat dari biji zaitun yang
digiling. Uapnya akan membuka jiwa.”
“Ini pohon linden. Kebahagiaan akan datang ke dalam
rumah yang membakar pohon ini.”
Kepala Dujayah pusing. Keranjangnya dia isi dengan
semua wangian. Hal ini sama seperti mimpi yang dia lihat.
Pasar yang membuatnya merasa tiada berujung. Inilah yang
memaksanya untuk segera keluar dari pasar itu.
Dia berencana melanjutkan perjalanan setelah menaruh
keranjang yang berisi dupa di tempat pernikahan. Dia
berjalan ke arah pintu keluar Marwah yang menurutnya
lebih dekat ke jalan di belakang rumah.
Banyak orang berkumpul di depan kios lesehan yang
terletak di dekat pintu keluar Marwah. Di keramaian itu,
dia hanya bisa melihat pasir basah yang diletakkan di atas
tanah. Di tengah-tengahnya ada wanita tua yang berwajah
mengerikan duduk di tempat seperti takhta. Dia berhatihati membungkukkan badan ke arah pasir. Dengan suara
pelan, dia mengucapkan sesuatu kepada orang-orang di
sekitar yang ingin tahu.
176
Wanita yang dikenal sebagai wanita yang memiliki
‘pengetahuan tentang pakaian dan jejak kaki’ ini adalah
wanita paling tua yang pernah dilihat Dujayah selama
hidupnya. Bahkan, menurut Dujayah, dia lebih mirip seperti
hantu yang kembali hidup setelah lama mati. Dengan
keranjang yang ditaruh di lengannya, Dujayah masuk ke
dalam keramaian itu dan mendekati orang kerdil yang
berada di dekatnya dan mulai bertanya, “Siapakah wanita
tua ini?”
Orang kerdil yang kaget itu menjawab dengan suara berat,
“Dia adalah peramal paling tua yang memiliki pengatahuan
tentang ‘pakaian dan jejak kaki’ di antara para peramal lain.”
“Sementara kamu sendiri, apa yang kau lakukan di sini?”
“Wanita itu adalah tuanku, gadis kecil.”
“Tuanmu itu pasti berumur seribu tahun. Namun, pasti
dia tak memberi makan untukmu. Lihatlah, dirimu kecil
sekali.”
“Menggunakan tubuh seseorang sebagai bahan cemoohan
adalah petunjuk akhlak burukmu, gadis kecil.”
“Saya minta maaf Tuan Muda. Apakah Anda akan
menjawab pertanyaan saya jika saya bertanya tentang suatu
hal?”
“Tanyalah wahai anak nakal. Apa yang ingin kau
ketahui? Jangan khawatir, apa yang aku ketahui lebih tinggi
dibandingkan tinggi badanku!”
“Apa maksud dari pengetahuan tentang pakaian dan jejak
kaki?”
“Pengetahuan yang bisa meramalkan keturunan keluarga,
kondisi, dan apa yang akan terjadi dari bentuk wajah dan
badan, telapak tangan, dan garis-garis telapak tangan.”
177
_ Sebuah Jejak Kaki
“Dan itu adalah ramalan wanita tua itu.”
“Bagus, kau sangat pintar gadis kecil. Hal ini adalah seni
yang dimiliki oleh orang yang sudah lama melewati banyak
kepahitan dunia dan mendengar banyak cerita.”
“Apakah mereka melihat dari jejak kaki yang tertera di
atas pasir basah itu?”
“Iya, mereka ingin mencari jejak kaki yang hampir sama
dengan jejak kaki Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai maqom
Ibrahim yang berada di Kakbah di antara para pemuda
Mekah. Tuanku berkata bahwa dia bisa memilih orang yang
memiliki jejak kaki yang sama dengan Nabi Ibrahim dengan
melihat jejak kaki orang-orang yang datang dan melewati
pasir basah yang diletakkan di jalan pasar ini.”
“Apakah mereka sudah menemukan orang itu?”
“Belum, mereka belum menemukannya.”
“Dujayah menerobos keramaian, keluar dari pintu
Marwah, dan sampai di jalan yang terletak di belakang.
Ketika sampai di depan rumah Adii bin Hamra yang terletak
di samping rumah yang akan dijadikan tempat pernikahan,
dia melihat persiapan terakhir telah usai. Para wanita yang
ikut membantu tidak tahu apa yang harus mereka katakan
ketika melihat Dujayah datang membawa keranjang yang
penuh dengan banyak dupa.
Dujayah merasakan sesuatu yang aneh setelah keluar
dari pasar. Ketika wanita peramal tua itu memandangi jejak
kaki yang berada di atas permukaan pasir basah itu, tibatiba wajahnya berubah. Sambil terbatuk-batuk, dia kembali
duduk ke takhtanya. Setelah agak lama, dia bertanya kepada
orang di sampingnya.
“Jejak kaki yang berada di depan itu milik siapa?”
178
“Yang berada di bagian itu?”
“Iya, jejak kaki itu.”
“Itu milik Abu al-Qasim. Lelaki Mekah bernama
Muhammad bin Abdullah. Dia memiliki akhlak yang bagus
dan biasa dipanggil dengan sebutan al-Amin.”
“Al-Amin!”
“Ya, benar...”
“Di antara kalian, orang yang paling sama dengan Nabi
Ibrahim adalah dia.”
179
Hikayat Sebuah Kendi
H
ujan yang turun tidak berhenti dari hari ke hari setelah
Barakah resmi menjadi istri Ubaid bin Haris. Hal itu
membuat Khadijah cemas. Orang Mekah yang tidak terbiasa
dengan hujan selalu menafsirkan itu sebagai pertanda. Hujan
terakhir turun sekitar enam tahun lalu. Musim pernikahan
menjadi saksi. Seakan-akan hujan yang turun kali ini
bukanlah hujan biasa, melainkan sebuah pengampunan.
Berdiri di antara para wanita yang berusaha untuk
menutupi balkon dengan daun-daun pohon palem dan
tongkat bambu, Khadijah memandangi gunung-gunung
yang tertutup oleh hujan yang deras. Dia tampak gembira,
tetapi seketika berubah menjadi cemas. Khadijah merasa
khawatir dengan rombongan yang sedang melakukan
perjalanan.
“Nyonyaku, ada kabar bahwa telah terjadi banjir yang
paling besar di Mekah yang mengalir ke arah sini.”
“Sudahkah kalian beritahukan para pembantu untuk
mengawasi peternakan.”
“Mereka semua sudah ditugaskan untuk mengosongkan
gudang dan memindahkan kurma, tepung, serta karungkarung jeli ke bukit-bukit yang aman dan tinggi. Hewanhewan gembala juga telah dibawa ke Bukit Ejyad. Untaunta telah dibawa ke kaki Gunung Abu Qubais di desa Bani
Hasyim. Tetapi....”
“Tetapi apa?”
180
“Ada berita yang mengabarkan bahwa dinding Baitul
Atiq rusak karena banjir. Beberapa tembok serta balok juga
rusak dan hancur.”
“Tempat itu adalah rumah Allah, Maisaroh. Allah
pasti akan melindungi rumahnya dan akan selalu terus
melindunginya. Bagiku, kecemasanku sudah cukup.”
“Apa yang Anda cemaskan Nyonya. Tolong beritahu
kami. Kami semua siap melaksanakan semua persiapan yang
Anda perintahkan. Jangan khawatir Nyonya.”
“Maisarohku, kecemasanku bukan tentang harta
kekayaan. Aku cemas dengan keadaan orang yang kucintai
dalam perjalanan itu. Bagaimanakah keadaan rombongan
yang sampai sekarang masih belum terlihat itu? Ini
membuatku sedih.“
“Mari berdoa Nyonyaku. Semoga beliau datang kembali
dalam keadaan sehat.”
Untuk meredakan jiwa yang terselimuti kecemasan,
Khadijah keluar menuju balkon. Dirinya sudah tak peduli
dengan guyuran hujan. Kalau memang orang yang dia cintai
tenggelam terbawa arus banjir dalam deras hujan yang
seperti gelas penuh air ketika ditumpahkan, mengapa ia
harus duduk di tempat yang nyaman dan hangat.
“Aku bersumpah akan terus berada di bawah hujan ini
sampai dia datang.”
Awan-awan yang penuh dengan air hujan seakan seperti
pepohonan yang memenuhi gunung. Masyarakat padang
pasir berlarian tak tentu arah dan tidak tahu apa yang
harus mereka lakukan. Kebahagian yang ditunggu-tunggu
jutru tergantikan oleh malapetaka yang dimulai dengan
kecemasan dalam waktu yang singkat.
181
_ Hikayat Sebuah Kendi
Untuk meredakan jiwa yang terselimuti
kecemasan, Khadijah keluar menuju
balkon. Dirinya sudah tak peduli dengan
guyuran hujan. Kalau memang orang
yang dia cintai tenggelam terbawa arus
banjir dalam deras hujan yang seperti
gelas penuh air ketika ditumpahkan,
mengapa ia harus duduk di tempat yang
nyaman dan hangat.
Butiran-butiran air hujan yang membawa bau tanah ke
hidung dalam waktu satu jam berubah menjadi bau seram
liang kubur. Banjir yang mengalir di jalan-jalan seakanakan seperti sungai yang memenuhi jalan sempit yang biasa
dilewati, memenuhi rumah-rumah dari jendela-jendela.
Arus banjir menghancurkan pintu-pintu dan mengalir ke
depan membawa manusia, hewan, dan barang-barang yang
berada di depannya.
“Nyonya akan jatuh sakit jika terus berdiri di bawah
hujan seperti ini. Dia tidak akan kuat,” ucap Maisaroh kepada
pelayan wanita lainnya.
Para wanita yang saling bertabrakan karena cemas itu
tahu jika sang tuan tidak akan mendengarkan perkataan
mereka. Mereka tahu bahwa Ibunda kota Mekah sudah
182
membiasakan diri sejak pernikahannya, jika suaminya dalam
suatu perjalanan, dia akan menghukum dirinya dengan
memikul beban perjalanan itu di punggungnya.
“Ketika dia terbakar di panas padang pasir, menunggu
kedatangannya di tempat yang sejuk menjadi haram
hukumnya bagiku,” ucapnya.
Kemudian, dia berjalan ke teras yang tak ada bayangan,
berada di bawah terik sinar mentari yang panas. Beberapa
kali Khadijah jatuh pingsan ketika menunggu suaminya di
teras. Kendi usang yang retak diletakkan di sisinya pada
hari seperti itu. Dia menolak meminum air dingin. Menolak
diberikan barang yang bisa membuatnya berteduh atau
membuat kesejukan, seperti payung atau kipas. Bahkan,
mereka pun tak berani mendekatinya. Ketika terik panas
mencapai puncaknya, dan saat akan pingsan karena
kehausan, dia meminum seteguk air dari kendi yang airnya
sudah hampir mendidih itu.
“Ahh…,” ucapnya kepada kendi usang itu. “Kau pun
kepanasan sepertiku.”
Dia menunggu kekasihnya dengan tatapan jauh ke jalan
yang tak ada akhirnya. Bibirnya tak lepas dari doa-doa, puisi,
dan nyanyian untuk kekasihnya.
Hari-hari seperti itu, ke arah mana pun memandang dan
apa pun yang dipandang, akan mengingatkannya kepada
sang kekasih. Cahaya mentari tenggelam yang terlihat dari
puncak gunung dan menyinari granit serta memantulkan
cahaya mirip seperti pantulan cahaya sang kekasih atau
surat-surat yang ditulis kekasihnya.
Seorang pengembara yang berjalan ke arahnya di koridor
yang gelap atau wajah pucat bukit ketika matahari terbit
183
_ Hikayat Sebuah Kendi
dengan puncaknya yang dipenuhi bunga berwarna ungu.
Setiap kereta unta dari padang pasir yang berbalik arah
menuju rumahnya. Burung yang berada di hatinya hinggap
sambil berkicau, memandang setiap orang yang datang,
hatinya pun tidak keruan.
Burung gagak yang hinggap di ranting atau laba-laba
yang bergelantung di jaringnya seperti pemain akrobat yang
tiba-tiba turun ke balkon atau kucing yang berkeliaran,
semua itu seakan-akan berubah menjadi sebuah pertanda
yang membawa pesan dari kekasihnya.
Burung-burung yang terbang dari arah perjalanan pulang
disambutnya dengan doa-doa dan ucapan selamat datang.
“Selamat datang para burung bangau. Selamat datang
gadis-gadis langit. Apakah kalian membawa kabar dari
Kekasihku? Katakanlah kepadaku bagaimana keadaannya?”
Khadijah mengungkapkan perasaannya dengan katakata seperti mantra ketika menunggu suaminya di bawah
terik panas padang pasir.
“Kehidupanku, tumpuanku, pintu pengampunanku,
langitku, perjanjianku, dambaanku, pujaanku, cintaku,
laguku, apiku, cahayaku, kebanggaanku…
Tamanku,
penyatuku,
keberuntunganku,
alam
barzahku, melodiku, berkahku, kekasihku, tepungku, hariku,
kedewasaanku, bulbulku...
Jiwaku, garis hidupku, sahabat jiwaku, surgaku,
prajuritku, air terjunku, atapku, pintu keluarku, pohon
cinarku, bungaku, kalimatku...
184
Gunungku, punggungku, bukuku, duniaku, obatku,
samudraku, kedalamanku, keramahanku, bulan purnamaku,
tembokku, hari kemarinku...
Keluargaku, partikelku, tuanku, piramidaku, rotiku,
budayaku, buah apelku, suamiku, rumahku, bulan
Septemberku...
Penulisku, peraturanku, pesonaku...
Tujuan hidupku, syairku, kapalku, masa laluku, masa
depanku, mahkota hatiku, kekuatanku, bunga mawarku,
mentariku, tempat berlindungku, burung merpatiku,
keindahanku, arah perjalananku...
Hurufku, panenku, udaraku, hidupku, harta karunku,
suku kataku, kegelisahanku, kesedihanku...
Kekayaanku, tandaku, sungaiku, kesepianku, obatku,
musim semiku, buah araku, harapanku, kesibukanku,
kesabaranku...
Embunku, akhlakku, detak nadiku...
Potku, gelasku, Gunung Kafku, penaku, sayapku,
darahku, kijangku, rezekiku, kalimatku, al-kautsarku,
kiblatku, takdirku, tak seorang punku, bunga serunaiku,
bukuku, busaku...
Bunga tulipku, malam gelapku, tabirku, angin Barat
Dayaku, bunga terataiku...
Pengaruhku, guaku, hasilku, derajatku, isiku, ruangku,
malaikatku, violetku, huruf mimku, mihrabku, perjanjianku,
tamuku...
Delimaku,
apiku,
nasibku,
kepura-puraanku,
kemanjaanku, bakungku, kesopananku, bunga terataiku,
nikmatku, bulan Aprilku...
185
_ Hikayat Sebuah Kendi
Tendaku, samudraku, tenda besarku, padangku, umurku,
pakaianku, tidak berhijabku, jati diriku...
Sultanku, jendelaku, pikiranku, angin Timur Lautku...
Huruf ra-ku, rahmatku, bau wangiku, warnaku,
gambarku, kemurahan hatiku, riwayatku, rohku, buku
harianku, anginku...
Samudera keselamatanku, pemilikku, kekuatanku,
hari Selasaku, hitunganku, hartaku, kekasihku, sifatku,
rahasiaku, tiga puluh burungku, musim gugurku, kataku,
airku, ketenteramanku, puncakku, laguku, lautan Arabku,
air terjunku, gulaku, kepala keluargaku...
Kalenderku,
keberuntunganku,
keseluruhanku,
manisanku, tanahku, peralihanku, serbukku...
Omanku, perihalku, keinginanku, persahabatanku,
harapanku, bangsaku, atas-atasku...
Kesetiaanku, perwakilanku, wasiatku, pertemuanku...
Hujanku, lukaku, kekasihku, tulisanku, kilauan tanganku,
bintangku, jalanku...
Waktuku, peganganku, air zamzamku, mukjizat batu
zamrudku, peziarahku...”
Dia melindungi al-Amin dengan kata-kata cinta yang
terlantun seperti doa-doa zikir… ketika menunggunya....
Hujan turun dengan deras. Tetesnya yang sebesar kepala
burung membuat semua orang cemas. Hujan kali ini takkan
pernah terjadi untuk kedua kalinya dalam hidup mereka,
seperti hari kiamat bagi orang Mekah. Hari Kiamat!
Tetesan yang memberikan kehidupan. Tak ada tempat
yang tidak diselimuti oleh kecemasan ketika tetesan itu
186
mencapai tahap yang membahayakan kehidupan. Bahkan,
tempat beribadah yang berada di sekitar Kakbah pun hanyut
dibawa air. Patung-patung besar maupun kecil satu per satu
mulai hancur terbawa arus banjir.
Keadaan Mekah setelah terjadi hujan membuka
kekacauan. Patung-patung yang dibuat untuk mendekatkan
diri mereka kepada Tuhan satu per satu terjatuh dan
terbawa arus tanpa arah. Di saat itulah semua orang mulai
merasakan takut. Orang Mekah menganggap bahwa patung
yang seharusnya membawa kekuatan telah memberikan
musibah untuk mereka.
Tetapi Khadijah tak peduli dengan kecemasaan itu.
Perhatiannya hanya untuk orang yang dia tunggu. Dia
memandangi kendi usang yang menjadi temannya di balkon.
Kendi itu penuh dengan air hujan, berusaha untuk bertahan
dari air yang memenuhinya. Derasnya air hujan membuat
kendi itu hampir pecah.
“Ah, temanku!” ucap Khadijah ketika melihat kondisi
kendi itu.
“Aku tahu kalau hatimu juga retak dan sebentar lagi akan
pecah.”
Hatinya perih dan kemudian mendekati kendi usang itu.
Dia merasakan bahwa kendi itu merupakan suatu tanda
atau kenangan dari sang kekasih. Seakan-akan kendi usang
itu tahu waktu ketika dia akan terbelah menjadi dua dan
hancur berkeping-keping dan Khadijah tak percaya dengan
apa yang terjadi.
Seperti tersambar petir dari langit, badan Khadijah lemas
dan kemudian jatuh ke tanah.
Jatuh pingsan....
187
_ Hikayat Sebuah Kendi
Tetapi Khadijah tak peduli dengan
kecemasaan itu. Perhatiannya hanya
untuk orang yang dia tunggu. Dia
memandangi kendi usang yang
menjadi temannya di balkon.
Para pelayan wanita yang berada di rumah membawa
Khadijah ke tempat tidurnya. Suhu badannya sungguh sangat
tinggi. Berhari-hari berada di bawah terik padang pasir dan
ditambah dua jam di bawah air hujan membuat tubuhnya
tak mampu untuk bertahan. Dia pun jatuh pingsan.
Ketika kedua matanya terbuka, dia menemukan dirinya
terbaring di tempat tidur. Hujan telah reda. Namun, kali
ini langit dihujani keluhan masyarakat. Semua orang
memikirkan sesuatu milik mereka yang tertelan banjir.
Jalan-jalan dipenuhi tangisan. Seorang ibu tampak mencari
anaknya. Seorang pemuda menanyakan keberadaan ayahnya.
Seorang pengantin wanita terbawa arus banjir. Seorang
pengembala muda mengejar kambing-kambingnya. Tukang
perabotan menangisi tempat usahanya yang hancur. Seorang
kimiawan memandangi seluruh hartanya yang tertelan arus
banjir. Kerugian yang diterima masyarakat Mekah sungguh
besar di malam hujan ini.
Khadijah memandang sekeliling dengan kepala yang
sedikit pening akibat suhu panas tubuhnya. Kemudian, dari
188
pecahan-pecahan kaca yang berembun, entah khayalan atau
kenyataan....
Demam, mual, pusing.
Dia menarik selimut menggunakan kekuatan tangannya
yang tersisa ketika melihat Berenis duduk bersila. Berenis
yang menyadari gerakan itu segera membetulkan letak
tubuhnya dan menyambut Nyonya Khadijah dengan senyum
di wajahnya.
“Terima kasih ya Allah, Nyonya telah sadarkan diri.”
“Berenis yang cantik, hujan suda reda?”
“Jangan khawatir Nyonyaku. Dengan izin Allah, hujan
berhenti seperti saat mulainya yang tiba-tiba.”
“Kendiku....”
Khadijah tak bisa menyelesaikan ucapannya. Dia mulai
menangis tersedu-sedu, seakan-akan menemukan seseorang
yang dapat memberikan ketenteraman jiwa kepadanya atas
segala kejadian yang dialami.
“Kendiku. Kendi usangku telah hancur Berenisku.”
“Menangislah, Nyonyaku. Keluarkan semuanya.
Tuangkan seluruh beban yang terkumpul bertahun-tahun
dalam diri Nyonya, seperti langit yang menuangkan
bebannya pada malam ini.”
Di hadapan cinta, wanita yang berkemauan tinggi di
seantero Mekah berubah menjadi seperti sepotong kain.
Berenis kehabisan cara. Dia memutuskan melakukan hal
terbaik yang bisa dilakukan di dunia ini.
Menceritakan dongeng!
Di malam yang penuh dengan kesulitan ini, dia hanya bisa
menenangkan Nyonya Khadijah dengan dongeng-dongeng.
189
_ Hikayat Sebuah Kendi
“Kendi usang itu memiliki seorang pemilik Nyonya,” dia
memulai perkataannya.
Sambil membenamkan kain ke dalam cawan yang penuh
dengan cuka, yang kemudian digunakan untuk membasuh
dahi Khadijah yang panas, dia melanjutkan, “Sayap kendi
itu patah karena berpisah dengan pemiliknya. Sekarang,
pemiliknya telah mengambil dan membawa kendi itu di
sampingnya.”
“Namun, kendi itu adalah tanda cinta untukku. Penunggu
kesabaranku. Sahabat dekatku yang mengetahui rahasia
Khadijah yang seluruh Mekah tak mengetahuinya.”
“Pernahkah Nyonya mendengar bahwa tanah kendi
itu telah dilaknat oleh seorang raja, seorang wanita yang
bertunangan, dan seorang tukang perabotan yang buta?”
“Apakah kau bilang mendengar, wahai gadisku yang
bijaksana?”
“Ya, aku bilang mendengar Nyonyaku.”
“Ah, Berenisku. Apakah aku ini dalam kondisi yang
akan mendengarkan kendi usang itu? Akulah yang selalu
berbicara dengannya. Semua ceritaku. Terus-menerus
menceritakan semua permasalahanku. Satu hari pun aku
tak mendengarkan kisah dari kendi sahabatku itu.”
“Nyonyaku, kendi itu terbuat dari tanah seperti yang
Anda tahu. Sama seperti Nyonya, saya, dan juga manusia
lainnya. Sumber mineral dan diri kita berasal dari tanah.
Ratusan tahun lalu, batu bata yang terbuat dari tanah
itu digunakan untuk membangun kerajaan terkenal oleh
seorang pangeran yang ingin membuktikan dirinya kepada
ayahnya yang seorang raja. Ah, seandainya Nyonya tahu
apa saja yang disaksikan batu bata tak berlidah itu. Sang
190
pangeran selalu membujuk ayahnya, tetapi tidak pernah
berhasil meluluhkan hatinya. Bahkan, sang ayah tak pernah
sekalipun mengunjungi kerajaan yang dibangunnya. Seiring
waktu berlalu, pangeran menjadi seorang raja hebat yang
dikenal di seluruh dunia. Jika Nyonya tahu apa saja yang
batu bata saksikan dari belakang takhta selama waktu
yang terlewati? Pengkhianatankah, kejayaankah, pedangpedang yang dihunus untuk keadilan dan politikkah, para
penipukah, para pahlawankah. Semua disaksikannya satu
demi satu. Suatu hari, kerajaan yang telah menguasai dunia
selama bertahun-tahun ini diambil alih dan dihancurkan
oleh seorang raja yang lebih kuat. Batu-batu bata hancur
lebur di bawah reruntuhan yang penuh dengan kemarahan.
Kerajaan dihiasi dengan reruntuhan bangunan dan hancur
bersamaan dengan kicauan burung hantu. Raja yang
datang dari keluarga terhormat itu mengembuskan napas
terakhirnya tanpa bisa membuktikan dirinya kepada sang
ayah. Laknat yang dia dirikan dengan seribu satu usaha di
kerajaan itu hanya tertinggal sebagai suatu keinginan. Laknat
dan keinginan itu berubah menjadi sebuah asap yang keluar
dari ladang yang terbakar.
Berabad-abad terlewati seperti ini, Nyonyaku. Beberapa
waktu setelah cerita tragis sang raja yang terkubur di bawah
tanah, ketidakberuntungan itu datang menghampiri hidup
seorang gadis anak petani yang akan menjadi pengantin.
Gadis itu terus menangis setelah tunangan yang sangat
dicintainya meninggalkan dirinya. Sang ayah yang cemas
dengan keadaan putrinya yang bisa menjadi buta karena
terlalu banyak menangis menghadiahkan kalung yang
terbuat dari tanah reruntuhan kerajaan. Di sekitar kalung itu
191
_ Hikayat Sebuah Kendi
tertulis nama tunangannya. Ketika gadis itu merasa sedih,
dia akan mengambil kalung itu dan mencium nama yang
tertulis di situ. Hatinya pun menjadi tenang. Hari demi hari
berganti, jiwa gadis yang penuh dengan rasa cinta berubah
menjadi tipis. Begitu tipis sehingga banyak orang yang
mempunyai permasalahan sepertinya datang dan meminta
doanya. Masyarakat, yang mengeramatkan kalung cinta
yang berada di leher gadis itu, percaya bahwa kesembuhan
bukan datang dari Allah melainkan dari kalung itu dan
berbalik dari Allah.
Seorang tukang perabot sungguh menginginkan kalung
itu setelah mendengar kesaktiannya. Dia pun mulai beranganangan. Seandainya memiliki kalung itu, matanya pasti akan
sembuh dan hari-hari kejayaannya yang lama akan kembali
lagi. Dia lalu mendapatkan kepercayaan sang gadis setelah
berhari-hari berada di sampingnya dengan berpakaian
seperti pengemis. Suatu malam, ketika sang gadis tertidur,
dia memotong lehernya dan mengambil kalungnya. Namun,
baru dua langkah pergi, dia mati tersambar petir.
Keesokan hari, orang-orang yang ingin datang menemui
sang gadis memutuskan membangun sebuah monumen
setelah melihat leher sang gadis terpotong, sementara tukang
perabot menjadi abu. Monumen ini berbentuk menara yang
terbuat dari tanah. Beberapa tahun kemudian, menara itu
hancur lebur dan menjadi sebuah bukit yang terbuat dari
kumpulan tanah yang diambil oleh para ahli kendi.
Itulah cerita tanah yang berumur lima ratus tahun yang
Anda tangisi ‘kendiku, kendiku’. Di dalam kendi usang itu,
para raja, gadis-gadis yang bertunangan, kalung-kalung, dan
pisau-pisau menangis bersama-sama.
192
Mereka menangisi apa yang terjadi.
Di sini adalah dunia, Nyonyaku.
Semua serapah dan keinginan kita tertinggal di dunia ini,
berada di dalam bulatan cerita.
Dunia adalah sebuah kebohongan.
Dia tak mempunyai seorang teman.
Sekarang kita perlu melihat ke belakang kendi.
Pemecah kendi usang itu adalah Allah, pemilik kendi
adalah Nyonya.
Allah Maha Menghendaki, Nyonyaku
Dia menyukai hati yang retak.
Dia tidak menyukai hati yang tertulis selain nama-Nya.”
Khadijah bangkit dari tempat tidur dan mengangkat
kedua tangannya seperti rahasia huruf Kha setelah
membandingkan cerita cintanya dengan cerita kendi usang
yang dia dengarkan dengan meneteskan air mata.
“Ya Allah, dekatkanlah hambamu ini kepada-Mu dan
kepada orang yang Kau cintai!” ucapnya.
Khadijah melanjutkan ucapannya.
“Berenisku, kau menjelaskan cinta seakan-akan seperti
sebuah halangan dan sebuah kain penutup di cerita itu.
Kau menjelaskan kepadaku sambil menutup gorden cinta
dan dengan gorden yang sama aku akan menjelaskan cinta
kepadamu.
Sungguh, ayah dan anak, yang kedua-duanya merupakan
seorang raja, adalah pertanda siang dan malam. Pada siang
hari, dia melakukan pekerjaannya dengan semua barang
yang terlihat jelas, sementara di malam hari hal-hal yang tak
terlihat menjadi masalah. Dalam hal yang tersembunyi itu,
dia mementingkan kebenaran di dalamnya. Kerajaan dan
193
_ Hikayat Sebuah Kendi
bangunan yang dibangun di siang hari itu merupakan cerita
yang menunjukkan bahwa kita ingin membuktikan diri.
Namun, di malam hari, dengan undangan-undangan yang
memiliki cahaya dan megah, dia melihat ke dalam, bukan
keluar. Dengan begitu, kedua-duanya melihat benda yang
sama tetapi dengan kebenaran yang berbeda. Sebenarnya,
keduanya saling mencintai. Baik siang maupun malam,
mereka saling berbagi, saling membawa ke dunia, saling
menutupi, saling membuka. Siang dan malam, seperti dua
raja itu, menciptakan dunia yang sama dan menghancurkan
dunia yang sama. Kerajaan yang berada di dalam cerita ini
merupakan kehidupan yang kita lalui. Yang melahirkan
dan yang dilahirkan adalah sama. Sebetulnya, kebenaran
itu hanya satu. Namun, karena terus dewasa, kita mengira
bahwa kebenaran itu lebih dari satu.
Sementara itu, wanita yang berada di cerita kedua
menjelaskan kisah manusia pertama yang turun ke bumi dari
surga yang penuh dengan keluhan. Manusia pertama yang
turun ke bumi merupakan ciptaan pertama yang merasakan
perpisahan dan pengasingan. Mencari kekasihnya yang
terputus, terbelah, dan turun di tempat berbeda. Sang kekasih
pun membuat kalung dan menghadiahkan kepadanya untuk
menenangkan dirinya, dan itu merupakan wanita yang
pertama. Wanita adalah ciptaan yang menghapuskan derita
menjadi manusia pertama akan pengasingan, kesendirian,
terputus, dan terbelah. Wanita adalah pelipur lara. Wanita
adalah pengikat ke dunia. Wanita adalah proyeksi cintanya
terhadap Tuhan di dunia. Kesukaan kita terhadap wanita
terlihat dari senyum di wajah kita. Kita pun terhibur.
Ketika diturunkan ke dunia, kita memakai kalung yang
194
bertuliskan nama-nama wanita. Wanita merupakan hal
yang mengingatkan manusia pertama, yang belajar hidup
di dunia berkat wanita, kepada Tuhan… dan juga disebut
sebagai elemen pencipta cerita terbesar di muka bumi.
Tukang perabotan buta yang kau ceritakan itu merupakan
simbol ambisi kita di dunia ini. Tak ada hal baik yang kita
dapatkan di dunia yang besar ini jika ambisi tidak mati.
Takdir ambisi adalah membunuh dan mati. Meskipun leher
sang gadis putus, cinta merupakan hal rahasia keabadian
yang selalu dibahas oleh kemurnian. Menara yang dibangun
masyarakat untuk mengingat sang gadis adalah simbol
kehormatan kepada cinta dan kemurnian yang tidak ada
batasnya selama dunia ini berputar. Sementara itu, ambisi
merupakan kebalikan cinta. Dia selalu memotong-motong
kebenaran cinta, seperti seekor ngengat. Namun, ambisi
terbuat dari api dan pada akhirnya akan membakar dirinya
sendiri, sementara cinta yang terpotong-potong menjadi
sebuah legenda.
Dan ketika hari telah tiba, baik dengan buruk, raja dengan
rakyat, orang suci dengan pembunuh, atau cinta dengan
ambisi, semua akan dikumpulkan dalam “selisih” yang sama
dan akan kembali ke tempat asal mereka. Cerita panjang
yang menceritakan kendi usang yang retak ini sebenarnya
merupakan cerita “cinta” itu sendiri. Sebab, di dunia ini tidak
ada sesuatu selain cinta. Meskipun tanganmu kuat dipukul
dengan apa pun, kau akan menangisi sebuah perpisahan
Berenisku.
Perpisahan yang telah mengikis cinta akan menjadi sebuah
luka yang takkan bisa disembuhkan jika tidak dihancurkan
dan dirusakkan. Luka itu takkan pernah bisa sembuh tanpa
195
_ Hikayat Sebuah Kendi
dihancurkan. Menara yang dibangun untuk mengenang
gadis itu diruntuhkan menjadi satu dan menjadi sebuah
timbunan tanah. Sebuah jiwa yang belum tersia-siakan
untuk kekasih jangan berkata apa-apa tentang cinta!”
Khadijah yang sudah mulai sadar di antara sinar mentari
pagi. Dia memandangi kain bercuka yang digunakan untuk
membasuh dahi dan pergelangan tangannya. Para pelayan
yang menungguinya selama satu malam tertidur di tempat
mereka duduk. Matanya mencari Berenis di antara mereka.
“Di mana Berenis?” tanya Khadijah dengan semua
kekuatan yang tersisa kepada Maisaroh.
“Nyonya mencari Berenis? Dia tidak pernah datang.”
“Apa kita tidak berbicara dengannya dari malam sampai
pagi?”
“Nyonya demam dan pingsan karena kedinginan berada
di bawah derasnya hujan. İtu mungkin khayalan Nyonya
saja.”
Khadijah sangat lemah. Dia kemudian kembali tertidur.
Kalau bukan dengan Berenis, dengan siapa dia
berbicara?
Berenis, yang kemudian muncul kembali ke dalam mimpi
Khadijah, meneruskan pembicaraannya dan mengatakan
sesuatu yang aneh kepada Khadijah.
Dalam mimpi Khadijah, Berenis berkata seperti ini.
“Saya melakukan pekerjaan yang berbahaya Nyonyaku:
berkhayal, bercerita, dan menulis. Sebenarnya, mimpi yang
Anda lihat pertama kali itu bukan milik Anda. Itu adalah
mimpi yang saya bayangkan. Seberapa awal Anda dilahirkan,
sebegitulah saya terlambat Nyonyaku. Percayalah, saya akan
196
dilahirkan 1422 tahun setelah Nyonya. Karena itu, orang yang
sebenarnya melihat mimpi itu adalah saya bukan Anda. Jika
saya tak melakukan hal yang berbahaya, bagaimana saya bisa
masuk ke dalam cerita Anda, Nyonyaku? Saya mengetahui
batasannya. Ini semua tentang keadaan cinta Anda. Saat
keluar menuju balkon dan menyelami penantian Anda, hal
itu begitu memesona. Puisi dan nyanyian cinta Anda begitu
bercahaya untuk pengembara yang sedang dinantikan.
Kami membicarakannya karena Anda tidak berbagi semua
ini kepada siapa pun. Yang Anda lakukan adalah cinta,
sementara yang kita lakukan adalah membicarakan Anda.
Semua berasal dari cinta, Nyonyaku. Sekarang, Anda
sedang bersatu dengan cinta. Anda adalah Khadijahnya
Muhammad.”
Khadijah tertidur, terbangun, tertidur, kemudian
terbangun lagi.
Para wanita tua, Bibi Saiyah, Jariyah Salma, Maisaroh,
dan dua bidan yang menunggu Khadijah yang terguncang
karena mimpi-mimpi dan cerita-cerita, memberikan ucapan
selamat kepadanya.
Khadijah mengandung!
Terungkaplah penyebab pingsan, demam, pusing, dan
mual-mual.
Khadijah mengandung!
197
_ Hikayat Sebuah Kendi
Khadijah mengandung bayi kedua.
Khadijah mulai siuman setelah dua hari.
Akhirnya, rombongan yang ditunggu ketika Mekah
dilanda bencana banjir muncul bersama rombongan
perjalanan dari Makbul.
Berkumpul kembali dan kabar baik yang diberikan
kepada Khadijah mengubah hari-hari penantian yang
terlewati dengan demam dan perpisahan menjadi indah
seperti kebun bunga mawar.
198
Al-Amin
A
hh....
Terjadi kebakaran di Mekah. Setelah bencana
banjir, seluruh perhatian sekali lagi terarah ke Kakbah. Api
datang dari lilin yang digunakan seorang wanita tua yang
ingin membakar dupa. Rupanya, kobaran api cukup untuk
membakar kain-kain Kakbah. Dalam waktu singkat, barangbarang yang terbuat dari kayu ludes dilalap api. Baitul Atiq
pun rusak cukup parah.
Saat itu, Mekah tidak diatur oleh seorang raja atau
pemimpin. Semua urusan kota ditata oleh sebuah majelis
bergaya feodal. Majelis ini lahir dari sekelompok pembesar
Mekah yang bergabung dalam Dar al-Nadwa. Sistem ini
dimulai dari masa Qusay sampai sekarang. Qusay sendiri
merupakan kakek buyut Khadijah dan suaminya. Tenda
majelis terbentuk kembali setelah bencana banjir dan
kebakaran.
Walid bin Mughirah mengumumkan hasil musyawarah
yang disepakati para kepala suku kepada masyarakat
Mekah.
“Wahai Bani Quraisy! Anak-anak muda Mekah dan
Baitul Atiq yang tercinta. Menurut hasil keputusan yang
kami sepakati untuk perbaikan Baitul Atiq, kalian semua
akan ikut dalam perbaikan sesuai dengan kemampuan
kalian masing-masing. Wahai kaum Quraisy! Berhatihatilah dalam memberikan bantuan. Jangan kalian campur
199
_ Al-Amin
adukkan dengan harta hasil bunga, pelacuran, perjudian,
dan perampasan untuk perbaikan bangunan yang suci ini.
Karena itu, saya sampaikan kepada kalian semua bahwa
bantuan yang akan kalian berikan itu, baik harta peninggalan
orang tua, suami, atau istri jangan sampai bersumber dari
hal-hal yang dapat merusak kesucian Rumah ini!”
Pengumuman itu terdengar sampai ke seluruh pelosok
jalan-jalan di Mekah.
Pada saat yang sama, kapal pengangkut batu dan kayu dari
Mesir untuk pembangunan gereja di Yaman tenggelam di
Shu’aybah, tepi Laut Merah, sekitar Jeddah. Untuk menutup
kerugian, para pemilik barang menjual apa saja yang masih
tersisa.
Orang-orang Mekah yang menerima berita itu segera
membentuk rombongan untuk melakukan perjalanan ke
Jeddah. Mereka menginginkan barang-barang tersebut, yang
menurut pandangan para ahli rancang bangun sangat kuat.
Tak hanya barang-barang bangunan, mereka juga ternyata
membawa Bakom, seorang arsitek ternama. Setelah urusan
jual-beli itu selesai, mereka pun kembali ke Mekah.
Di Mekah, masalah sangat besar sudah menanti mereka.
Semua kabilah ingin mendapatkan bagian penting dalam
kerja perbaikan itu. Sengketa pun terjadi di antara kabilah
yang terlibat. Ini sekaligus membuktikan bahwa sistem
pemerintahaan Mekah sangat kacau. Setiap orang di Mekah
tahu bahwa urusan kekuasaan dan ekonomi dipegang orangorang yang memiliki pengetahuan agama yang luas. Pada
kondisi ini, Mekah pun seakan-akan berubah menjadi meja
catur. Mereka memandang perbaikan dan pembangunan
Baitul Atiq sebagai pertarungan kekuatan politik.
200
Akhirnya, majelis kota memutuskan beberapa hal.
Abdul Manaf dan Bani Zuhra akan memperbaiki Kakbah
bagian depan dan pintu. Abdud Durar, Asad, dan Bani Adiyy
akan memperbaiki Kakbah yang berada di sisi Syam. Taim
dan Mahzum akan memperbaiki Kakbah yang berada di sisi
Yaman. Sahm, Jumah, dan Bani Amir akan memperbaiki
Kakbah yang berada dari sudut Yaman sampai bagian Hajar
Aswad. Karena perbaikan ini merupakan suatu kehormatan
untuk semua kabilah, pembagian tempat perbaikan itu pun
dilakukan dengan cara diundi.
Selanjutnya, para lelaki membentuk dua barisan untuk
mengangkat batu, sementara yang wanita membawa perekat
untuk mendirikan bangunan.
Muhammad bin Abdullah berada di antara para
pengumpul batu. Dia pun memberikan seluruh pendapatan
yang bersih dan halal dengan murah hati untuk perbaikan
Kakbah.
Perbaikan dimulai dengan menghancurkan beberapa
bagian Kakbah yang rusak akibat banjir dan kebakaran.
Pekerjaan ini amat sulit karena tidak satu orang pun yang
berani untuk menghancurkannya. Mereka takut terkena
musibah jika berani menghancurkan bagian Kakbah.
Situasi ini memang aneh. Meskipun Kakbah sudah
diubah menjadi seperti rumah berhala, mereka rupanya
masih percaya adanya Tuhan. Lihat dan dengarkanlah ketika
penduduk Mekah mengucapkan sumpah atau bersaksi.
Mereka akan memulainya dengan menyebut nama Allah.
Meski demikian, keyakinan mereka tetap tidak berdasarkan
tauhid. Orang-orang Mekah itu berpikir bahwa berhala yang
diberi nama Latta, Uzza, Manaat, Hubal, dan nama-nama
kecil lainnya itu akan mendekatkan mereka kepada Allah.
201
_ Al-Amin
Kaum musyrik. Musyrik berarti berada di jalan
keburukan. Orang yang tak tahu kebenaran.
Meskipun percaya dengan banyak Tuhan, Kakbah
merupakan bangunan yang penting. Bahkan, di atas segalagalanya. Sangat wajar jika mereka pada akhirnya tidak ingin
menjadi orang pertama yang tercatat sebagai penghancur
Kakbah, meskipun ditujukan untuk perbaikan.
Situasi ini membuat perbaikan tersendat. Diskusi yang
panjang pun terjadi. Mereka akhirnya memutuskan tidak
menghancurkan Kakbah demi kebaikan dan keselamatan.
Namun, Walid bin Mughirah kemudian berseru, “Umurku
sudah terlalu tua. Kalaupun musibah menimpaku,
akulah yang paling tua di antara kalian semua.” Dia lalu
menghancurkan Kakbah dalam dua hari, dan itu merupakan
awal dari perbaikan. Dua hari kemudian, setiap suku
memulai pekerjaan sesuai dengan pembagian tugas yang
mereka sepakati.
Fondasi dasar Kakbah yang dibangun pada masa Nabi
Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, terlihat. Tampak batubatu zamrud hijau yang bersinar saling tumpuk satu sama
lain. Tak ada satu pun yang bisa mengangkat batu itu,
bahkan meski tiga puluh orang berkumpul dan mencoba
mengangkatnya. Batu-batu itu terlalu besar dan berat.
Ketika seseorang dari Bani Quraisy mencoba mengangkat
dengan memasukkan besi di antara batu-batu, petir
bergelegar keras dan Mekah di guncang gempa. Mereka pun
ketakutan dan segera berseru, “Jangan ada yang mencoba
untuk mengangkat dan merusak barisan batu-batu itu!”
Kemudian, mulai terdengar kabar bahwa para malaikatlah
yang membangun fondasi dasar Kakbah di masa Ibrahim.
202
Orang-orang Quraisy menghormati kabar itu. Mereka
pun memutuskan melakukan perbaikan di atas batu hijau
tersebut.
Masalah lain muncul lagi. Ketika batu yang dikenal
sebagai Hajar Aswad akan dikembalikan ke tempatnya,
diskusi kembali memanas. Semua kabilah ingin meletakkan
Hajar Aswad ke tempat asalnya.
Hajar Aswad dipercaya sebagai batu yang dibawa para
malaikat dari surga untuk Nabi Ibrahim. Awalnya, batu
itu berwarna putih dan bercahaya. Sejalan dengan waktu
dan jumlah manusia yang terus bertambah, batu itu
berubah warna menjadi gelap. Orang-orang percaya bahwa
perubahan itu terjadi karena jumlah kejahatan yang semakin
banyak.
Salam diberikan kepada Hajar Aswad ketika akan
memulai tawaf mengelilingi Kakbah. Orang-orang akan
membalikkan badan ke arah batu ini dan memulai ibadah
dari situ. Keistimewaan inilah yang membuat semua kabilah
bersaing untuk meletakkan kembali batu yang mulia itu
pada tempatnya.
Pedang-pedang telah dihunus dan tubuh mereka juga
sudah saling dorong. Untunglah, dalam keadaan genting
itu mereka menyepakati usulan agar keputusan soal kabilah
yang akan meletakkan Hajar Aswad diambil dari orang yang
pertama kali masuk lewat Pintu Safa.
Semua mata akhirnya tertuju pada pintu itu. Mereka
menunggu dan terus menunggu.
Kemudian, datanglah seseorang dengan wajah cemerlang
melewati Pintu Safa.
203
_ Al-Amin
Beban di hati orang-orang sirna setelah melihat wajah
bagus milik orang itu. Seluruh perselisihan yang akan
berujung perang tiba-tiba berhenti. Seakan-akan awan besar
turun dari langit menaungi orang-orang itu.
Dialah Muhammad bin Abdul Muthalib.
“Al-Amin! Al-Amin!”
Gelombang kebahagian menyelimuti tempat itu.
“Muhammad, kau adalah orang jujur dan tepercaya.
Keputusanmu paling benar. Kami setuju atas segala
keputusan yang diambil olehmu,” ucap para pemimpin
Quraisy, sambil menjelaskan permasalahan yang sedang
terjadi.
Seperti biasa, dengan suara yang teduh, dia berkata
bahwa masing-masing kabilah bisa meletakkan Hajar Aswad
bersama-sama. Ia pun meletakkan batu itu di atas kain yang
besar. Setelah itu, masing-masing kabilah memegang ujung
kain dan bersama-sama membawa batu itu pada tempatnya.
Dengan cara ini, semua suku ikut meletakkan Hajar Aswad
yang mulia itu.
Malam itu, Khadijah mendengar kabar
yang tersebar dari telinga ke telinga tentang
suaminya yang berhasil mendamaikan para
kabilah yang sedikit lagi akan berperang.
204
Sungguh, itulah jalan keluar yang bagus!
Dia memiliki jiwa pendamai dan cerdas!
Pedang-pedang pun kembali masuk ke sarungnya.
Permusuhan digantikan oleh kebahagiaan dan
persaudaraan.
Malam itu, Khadijah mendengar kabar yang tersebar
dari telinga ke telinga tentang suaminya yang berhasil
mendamaikan para kabilah yang sedikit lagi akan
berperang.
Nama “sepupu” itu adalah al-Amin.
‘Abu al-Qasim’.
Dan dengan izin Allah, dia akan menjadi seorang ayah
lagi.
205
Ayah dari Anak-Anak Wanita
D
ujayah lagi-lagi datang dengan napas terengahengah.
“Berenis... Berenis... Sudahkah kau mendengar kabar
itu?”
“Ambil napas dulu anak muda.”
“Nyonya Khadijah baru saja melahirkan bayi wanita.
Sudahkah kau mendengar hal itu?”
“Segala puji bagi Allah. Semoga Allah memberikan
kebahagian dan kesehatan kepada bayi itu.”
“Aku pikir kamu tidak mendengarkan Berenisku. Aku
bilang anak wanita telah lahir jika kau mengerti.”
“Wahai anak mudaku yang memiliki dua telinga dan
empat mata, tenangkan dirimu, kemudian ceritakan
kepadaku.”
“Mereka akan menamainya Zainab.”
“Semoga Allah mengabadikan namanya dan menjadikan
dia seseorang yang selalu diingat dengan baik.”
“Semoga terjadi, amin. Semoga terjadi. Namun, aku
bilang bayi wanita!”
“Dujayah, lama-lama kau pun bertingkah seperti Barakah.
Mengulang kata kata yang sama ketika sedang bahagia. Dari
tadi kau selalu mengulang-ulang ‘bayi wanita dengarkah kau’,
‘bayi wanita dengarkah kau’. Segala puji bagi Allah, bayi itu
terlahir sehat ke dunia. Selain bersyukur, apa yang bisa kita
lakukan. Demi Allah, mengapa kau selalu mengucapkan ‘tapi
206
lahir bayi wanita, tapi lahir bayi wanita’ berulang-ulang.”
“Maksudku, bayi yang lahir itu bukan laki-laki. Itulah
yang aku mau katakan kepadamu, Berenisku.”
“Mereka memiliki anak laki-laki dan sekarang Allah
menghadiahkan anak wanita, sungguh Allah Mahabesar!
Lihatlah betapa indahnya!”
“Ah, Berenisku. Kau masih belum paham adat-adat
Mekah. Keluar rumah saja tidak.”
“Adat-adat Mekah apakah itu Tuan Mudaku?”
“Jika punya sembilan anak laki-laki, yang kesepuluh jangan
sampai wanita. Itulah yang para ibu di kota ini inginkan.
Di sini, anak wanita adalah berita buruk untuk sang ayah.
Dan aku bersumpah, para pembawa berita yang dikirim
Khadijah pasti menyampaikan kabar itu dengan perasaan
takut kepada Abu al-Qasim. Namun, ketika mendengar
berita itu, wajah Abu al-Qasim tak berubah menjadi awan
gelap. Beliau malah mengangkat kedua tanganya ke langit
untuk berdoa dan bersyukur. Tak lupa pula sedekah dan
zakat dibagikan kepada pembawa berita dan anak-anak yang
berada di sekitarnya. Tahukah kau apa yang lelaki mulia itu
lakukan kemudian?”
“Apa yang dia lakukan wahai anak mudaku yang memiliki
telinga indah dan mendengar semuanya?”
“Dia pulang ke rumah sambil berlari dan tersenyum
kepada para pembantu yang mencoba untuk menghindar
karena takut ketika melihatnya naik ke lantai dua. Dia
mengucapakan selamat kepada bayi dan ibu bayi itu dengan
wajah tersenyum.”
“Namanya adalah al-Amin. Dia adalah seseorang yang
istimewa. Dia menjadi contoh yang baik untuk kita semua.
207
_ Ayah Dari Anak-anak Wanita
Tak hanya kepada anak wanitanya saja, menurutku, dia
adalah orang yang selalu tersenyum kepada semua anak
wanita.”
“Sungguh, betapa baik para ayah di dunia ini ketika aku
melihat apa yang dia lakukan Berenisku.”
“Semua ayah memang baik anakku.”
“Tapi, ayahku tak seperti itu, Berenisku. Aku adalah
anak wanitanya yang dijual kepada pedagang budak untuk
menebus semua utang judinya! Sungguh memalukan
anak wanita di sini. Mereka tak ada artinya selain menjadi
beban.”
“Itu semua adalah adat–adat buruk dunia. Dan ini akan
segera berakhir seperti keburukan-keburukan yang lain.
Suatu hari, utusan Allah yang ditunggu-tunggu akan datang
dan mengubur adat-adat buruk ini ke dalam tanah yang
terletak di bawah kedua kakinya. Percayalah kepadaku, anak
mudaku. Kezaliman ini akan berakhir!”
“Aku ingin menjadi saksi ketika utusan Tuhan itu datang.
Utusan yang dikirim oleh Allah untuk menanyakan hak
anak-anak wanita yang dikubur hidup-hidup dan dijual
sebagai budak, wahai Berenisku.”
“Insyaallah,
kita
semua
menunggu
hari-hari
kedatangannya, sampai atau tak sampai. Kita menunggu
kedatangannya, anakku.”
Mereka yang terinjak-injak, yang mimpi dan harapannya
telah dihancurkan, semua menunggu kedatangannya.
Mereka menunggu kedatangan utusan terakhir yang akan
membelah dan membukakan jalan keselamatan di lautan
kezaliman di muka bumi ini.
Utusan itu belum datang. Namun, tanda-tanda awal
208
mulai bersinar di langit Mekah. Di rumah Khadijah, harihari penuh kebahagian telah menghapus masa-masa berat
yang telah mereka lewati bertahun-tahun. Seolah-olah
tangan-tangan wahyu berkah yang belum datang itu sudah
memenuhi rumah maupun ruh milik Khadijah.
Seperti Qasim, kakaknya yang hanya berbeda satu tahun,
bayi yang diberi nama Zainab itu juga dititipkan kepada
ibu susu pada hari ketujuh kelahiran sang bayi. Tak lupa
pula memotong rambutnya menyedekahkan perak kepada
para tamu. Hewan kurban dipotong dan dibagikan kepada
kerabat-kerabat, tetangga, pengembara, dan fakir miskin.
Khadijah dan suaminya menyambut Zainab serta anakanak wanita yang akan lahir ke dunia dengan senyum dan
ucapan syukur kepada Allah. Al-Amin adalah laki-laki
yang memiliki wajah yang tak pernah sekalipun berubah
gelap kepada anak-anak wanita. Para wanita, baik tua
maupun muda, yang gemetar takut dengan ayah, suami,
dan kakak, merasa aman di dekatnya. Khadijah merasa
terhomat dengan perasaan aman yang didapat para wanita
yang berada di sekeliling sumainya. Nenek-nenek, para
ibu, dan anak-anak wanita selalu mencintainya. Sifat dapat
dipercaya dan kesopanannya membekaskan kesan baik yang
membuka jalan dunia bagi para wanita. Hal ini menjadi
suatu kehormatan untuk Khadijah.
“Aku adalah ayah dari anak-anak wanita,” kata al-Amin
sambil tersenyum mengenalkan dirinya kepada orang-orang
yang melakukan upacara penguburan anak wanita hiduphidup di padang pasir.
209
Melihat Apa yang Tidak Terlihat
P
andangan....
Khadijah menyadari bahwa suaminya memiliki
pandangan yang luas ketika bertemu untuk pertama
kalinya.
Pandangan suaminya adalah hal yang paling disukai oleh
Khadijah.
Selalu tajam dan awas dengan “yang tak terlihat” di
sekelilingnya. Ibarat mercusuar yang selalu memantau,
pandangannya tak pernah ada yang terlewatkan. Bahkan,
untuk hal-hal kecil dan tipis, detail, serta terperinci. Bukan
untuk menginvestigasi atau menelisik, pandangan yang
dimiliki suami Khadijah itu penuh dengan kebaikan dan
pemahaman. Sepasang mata yang memandang semua orang
dengan bersahabat itu membuat hati Khadijah terpesona.
Jika menatap sesuatu, kalaupun dilakukannya, tak hanya
menggunakan mata, tetapi membalik seluruh anggota
badannya ke arah yang dipandangnya. Tak ada perbedaan,
baik majikan atau budak, orang tua maupun anak-anak.
Kerendahan hati yang dimiliki suaminya adalah hal yang
memikat jiwa Khadijah.
Para wanita menyukai orang-orang yang memiliki
pandangan baik.
Kasta-kasta yang terbentuk kuat seperti besi ditambah
hukum masyarakat yang berdasarkan tingkat sosial telah
210
membuat mereka yang lemah menjadi semakin lemah,
sementara yang kuat bertambah kuat. Tak aneh, jika yang
terlihat, akan terus terlihat, sementara mereka yang tak
terlihat seakan-akan seperti sesuatu yang tidak ada di
lengkung lensa pekerjaan.
Sifat dan karakter al-Amin yang mampu menjadi
pembuka sekat di antara daerah-daerah yang bersengketa
itu membuat hati Khadijah bahagia. Ketika dia berjalan,
Khadijah memandang sang suami dari balik punggungnya.
Anak-anak berlari-lari seperti lebah yang mengelilingi
sebotol madu, para pembantu saling berkompetisi untuk
melayaninya layaknya tangan-tangan para budak yang
saling berebutan, para pengemis berbaris di jalan ketika
melihat kedatangannya, orang-orang sakit menunggu pintu
rumah mereka diketuk olehnya, dan para wanita tua yang
mengamati anak muda ini mendengarkan dengan sabar
masalah-masalah mereka.
“Akhlaknya seperti madu,” ucap mereka kepada Khadijah
untuk menilai kepribadian suaminya.
Daerah belakang kota yang ditakuti dan tak pernah
dikunjungi tanpa pengawal oleh para pembesar Mekah,
didatangi suaminya tanpa pengawal dan tanpa membawa
pedang. Tak ada satu pun jalan atau tempat yang tak pernah
dikunjungi olehnya di kota Mekah. Hal inilah yang membuat
para pembesar lain gelisah.
“Tingkah lakunya akan membuat masalah buat kita suatu
hari. Dia terlalu baik kepada orang miskin dan lemah,” keluh
mereka.
211
_ Melihat Apa yang Tidak Terlihat
Bahkan, mereka sering mengirim utusan kepada Khadijah
untuk mengadukan perihal itu. Khadijah mendengarkan
orang-orang yang datang mengeluh tanpa menyinggung
perasaan. Dengan sopan, dia mencoba menjelaskan bahwa
akhlak suaminya merupakan kehormatan bagi keluarga dan
umat manusia
Para budak dan fakir yang bertempat tinggal di daerah
belakang kota hidup di dunia mereka sendiri. Di balik dinding
yang tak berlubang itu, kehidupan yang mereka lewati
di dunia lain itu tak pernah mendapatkan perhatian dari
orang yang berada di tengah kota. Sebenarnya, hubungan
di antara keduanya tak bisa dijelaskan. Menurut pandangan
pembesar Mekah, keberadaan mereka itu seperti “sesuatu”
yang mudah diganti. Mereka seperti daun layu dan tak
penting, atau seperti udara yang mendorong pintu untuk
terbuka atau tertutup, atau seperti tangan-tangan air yang
kecil dan tak terlihat. Fakir, miskin, para pengemis, orang
gila, yang ingin bunuh diri, yang aneh, yang sakit, yang tak
punya keluarga, para janda, dan anak-anak yatim. Mereka
adalah orang-orang yang hidup dan pergi tanpa menyentuh
dan merepotkan orang lain.
Suami Khadijah yang terhubung dengan kasih sayang
adalah seseorang yang mendengar dengan jelas suara serak
kehidupan ini. Dia menyentuh mereka dengan tingkah
lakunya, menghormati masyarakat dari seluruh tingkatan.
Dia adalah al-Amin. Yang paling tepercaya. Seperti sebuah
kapal, dia membuka tempat di hatinya untuk semua.
“Rumah Khadijah seperti surga,” ucap para budak dan
pelayan. Semua berlomba untuk bekerja di rumahnya.
212
Meskipun berjumlah banyak atau sedikit, Khadijah tak
pernah berlaku buruk terhadap wanita hamil, para budak, dan
para pelayannya. Dia menghormati hak seseorang. Bahkan,
dia kerap memerdekakan atau menikahkan mereka.
“Rumah Khadijah seperti surga,”
ucap para budak dan pelayan. Semua
berlomba untuk bekerja di rumahnya.
Meskipun berjumlah banyak atau
sedikit, Khadijah tak pernah berlaku
buruk terhadap wanita hamil, para budak,
dan para pelayannya. Dia menghormati
hak seseorang. Bahkan, dia kerap
memerdekakan atau menikahkan mereka.
Menurut pandangan mereka yang tersisih itu, tingkah
laku al-Amin berada di depan semua orang Mekah. Tak
hanya memperlakukan semua sesuai hukum, dia juga dekat
dengan orang-orang tak mampu itu layaknya sahabat,
tetangga, dan teman sekota. Dia memiliki pandangan yang
baik. Ketika berbicara, dia mengarahkan seluruh badan dan
ruhnya kepada mereka.
Kekuatan pandangan yang dalam dan baik itu menjadi
satu bagian dengan Khadijah. Mereka keluar membawa
213
_ Melihat Apa yang Tidak Terlihat
kehormatan ke seluruh masyarakat. Tentunya, lingkaran
cinta yang mulai bertambah besar di sekeliling al-Amin
tak terlewatkan dari perhatian masyarakat. Yang dekat
dengannya tidak hanya para budak atau mereka yang tak
mampu seperti Ammar bin Yasir, Suhayb bin Sinan, atau
Bilal bin Rabah, tetapi juga orang dari golongan kaya dan
terhormat seperti Abu Bakar.
Di sekitar tempat tinggal Khadijah, kelompok massa
yang paling besar adalah para budak. Dari hari ke hari,
jumlahnya semakin bertambah. Meskipun seluruh usaha
sudah dilakukan, para budak itu tetap tidak diterima sebagai
manusia dan masyarakat. Apa yang terjadi pada mereka tak
dianggap penting dibandingkan kehilangan harta.
Sekitar satu dekade ini perbudakan sudah menjadi hal
umum. Setiap waktu semakin banyak orang menjadi budak
karena ketidakadilan yang sudah merajalela. Bahkan, banyak
orang yang rela untuk diasingkan. Daerah-daerah seperti
Madinah dan Yaman menjadi tempat utama untuk berhijrah
bagi orang-orang fakir Mekah. Setiap akhir pekan, banyak
penganguran yang melakukan perjalanan dari Syu’aibah
ke Jeddah untuk bekerja menjadi pelayan kamar di kapalkapal.
Mereka adalah orang-orang yang tak mendapatkan
tempat di kapal-kapal.
Mereka tak memakai pakaian.
Mereka adalah orang-orang yang pergi dan meninggal
dengan mata terbuka karena tak mendapatkan apa yang
mereka inginkan dari kehidupan ini.
Mereka adalah orang-orang tertindas.
214
Struktur kebangsawanan di Mekah juga mendapatkan
dukungan dari kekuatan otoritas agama. Tak heran jika
mereka yang mengkritik ketidakadilan yang terjadi akan
dianggap sebagai pembangkang agama. Nah, orang-orang
tak mampu dan penganguran yang bersuara lantang terhadap
ketidakadilan tidak hanya dianggap sebagai penyebar itnah,
tetapi juga sebagai orang tak beragama. Orang kaya dan
terhormat seperti Waraqah bin Naufal pun tak lepas dari itu
semua. Dia dianggap sebagai “pengacau” karena mengatakan
bahwa semua manusia sama kedudukannya di mata agama.
Situasi itu membuat para pembesar Mekah berkongsi
untuk membasmi setiap pembangkangan. Dinyatakanlah
oleh mereka bahwa kaum bangsawan dan orang-orang kaya
sebagai salah satu yang “tak terlihat”. Mereka pun menandai
orang-orang yang mengkritik adat dan budaya pagan serta
sistem kasta dengan kata-kata seperti sakit, gila, atau tukang
sihir. Orang-orang seperti itu mereka lumpuhkan dengan
cara tidak memedulikan setiap kritik dan perkataannya.
Namun, semuanya tidak berjalan seperti yang diinginkan
para pembesar Mekah. Mekah memang sudah menjadi kota
yang memberikan hukuman kepada mereka yang bertanya
dan mengkritik. Suara gemercik kritik memang tak terdengar
dari lantai paling bawah, namun dari bagian lain. Awalnya
dengan bergumam lirih. Selanjutnya, bisikan-bisikan kecil
oposisi itu berubah menjadi suara gemerincing.
Itu semua berkaitan dengan otoritas Mekah dalam hal
struktur perdagangan. Bukan soal hasil produksi, melainkan
sirkulasi barang dan uang. Dalam sepuluh tahun terakhir,
kekuasaan perdagangan hanya berputar di tangan orang-
215
_ Melihat Apa yang Tidak Terlihat
orang kaya yang jumlahnya kurang lebih tujuh sampai delapan
saja. Dari hari ke hari, persaingan dan persengketaan yang
terjadi di antara mereka semakin besar dan menuju arah
perpecahan. Terutama antara Bani Abdul Manaf dan Bani
Umayyah. Kondisi itu tentu saja merupakan kesempatan
emas bagi lawan-lawan mereka di kota Mekah.
Yang pasti, kekayaan milik Khadijah tak lepas dari
perhatian Bani Umayyah. Mereka setiap waktu dengan
hati-hati mengawasi siapa saja yang berada di sekeliling alAmin.
216
Kesedihan
K
hadijah memandang suaminya dengan mata penuh
air mata.
“Demamnya tidak turun….”
Bayi mungil lelakinya sedang demam dengan suhu badan
yang sangat tinggi.
Khadijah merasakan ada pergerakan gunung besar di
bawah kakinya. Tidak hanya bayi mungilnya, dia pun ikut
merasakan badannya seperti terbakar api. Karena tidak
tahu lagi harus berbuat apa, dia memandangi mata al-Amin
dengan penuh pengharapan.
“Aduh belahan jiwa kita... tak seorang tabib pun yang bisa
menyembuhkannya.”
“Tak satu obat pun yang bisa menurunkan panas badan
belahan jiwaku, Suamiku.”
“ Ahh… dia masih seorang laki-laki kecil.”
“Dia masih seorang bayi Qasimku.”
“Air susu di dadaku memadamkan api, anakku yang
kepanasan.”
Seakan-akan seluruh gunung di Mekah bergabung
menjadi satu dan kemudian menaiki pundak Khadijah.
Apakah gunung-gunung ini selalu sehitam saat ini dan tak
berujung? Sejak kapan gunung-gunung ini berubah menjadi
tempat pemakaman dan melantunkan lagu kematian?
Sementara padang pasir?
Padang pasir seperti malaikat pencabut nyawa yang
bersandar di pintu rumah Khadijah, siap untuk memotong
217
_ Kesedihan
jalan Qasim yang mungil. Bayi mungil itu seakan seperti
lilin yang meleleh di dalam panasnya samudra api. Betapa
lemahnya, betapa mungilnya, ah! Meleleh dari detik ke
detik. Meski seorang tabib, seorang yang bertakwa, air mata
seorang ibu, pandangan mata ayah yang sedih, tidak ada
satu pun yang bisa meredakan panas di dahinya.
Qasim meleleh...
Qasim meleleh...
Seperti api lilin yang akan segera padam.
Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, Qasim mungil
ingin memeluk sang bunda. Kata-kata yang terlalu banyak
untuk bisa dihitung dengan angka di dunia ini telah habis.
Dia memilih kata “Ibu” di antara kesusahannya.
Dia hanya bisa mengerang kata “ibu”...
Dan Sang Ibu...
Di hadapan sang putra, Khadijah yang sedang bersaing
dengan gunung-gunung Mekah, yang agung, pemberani,
dan terhormat, saat ini tidak tahu harus berbuat apa.
Khadijah ingin memegang, menghalangi, dan menarik
kepergian sang putra dengan tangannya. Namun, tak ada
tali yang bisa mengikat alur hidup Qasim. Dan memang,
tali-tali yang tidak begitu kuat milik Qasim sudah terputus.
Qasim telah layu...
Qasim telah tertarik...
Jiwa Qasim telah terbang tinggi di atas langit bersama
dengan sayap malaikat.
Gunung-gunung bergetar, seakan kiamat telah datang
bagi Sang Ibu.
Teriakan “anakku” dari hatinya mengungkapkan
kesedihan Khadijah. Putra mungilnya terbang seperti
218
Teriakan “anakku” dari hatinya
mengungkapkan kesedihan Khadijah.
Putra mungilnya terbang seperti
kepompong yang telah berubah menjadi
kupu-kupu, laksana air yang jatuh dari
telapak tangan.
kepompong yang telah berubah menjadi kupu-kupu, laksana
air yang jatuh dari telapak tangan.
Putra mungilnya jatuh dari telapak tangan Sang Ibu.
“Rumah Khadijah” menangis darah.
Dari atas sampai bawah, kediaman Khadijah diselimuti
kesedihan yang sangat gelap. Para wanita memakai pakaian
berkabung. Rumah dan ruang-ruang yang kosong berubah
menjadi bayangan seekor burung gagak.
Rumah, tanpa seorang bayi...
Rumah, tanpa sepatah kata...
Khadijah dan al-Amin, ibu susu Selma, bayi Zainab yang
menangis di tempat tidurnya, serta sang kakak Hindun yang
melepaskan pita di rambutnya dan menggantinya dengan
selendang perkabungan. Para wanita dan para pelayan.
Semua meneteskan air mata....
“Wahai anak pamanku (sepupuku), tulang punggung
rumahku, sepasang mataku, jiwaku, tuanku, suamiku, hatiku
terbakar. Sakit dan pedih ini tak bisa membuatku diam,”
ucapnya dengan suara serak kepada al-Amin.
219
_ Kesedihan
“Qasim, anak kita yang masih mungil. Ya Allah, biarkanlah
dia menyelesaikan hari-hari susunya,” Khadijah memohon
sambil menangis.
Sang ayah pun tak menyadari butiran-butiran air mata
telah mengumpul di pelepuk matanya.
“Hati boleh bersedih, mata boleh berkaca-kaca,” ucapnya
berulang-ulang dalam tangisan, “punya kita bukanlah
penyesalan, melainkan kesedihan.” Hal ini diucapkan berkalikali, seakan-akan ingin meyakinkan dirinya.
Namanya bukan Abu al-Qasim lagi. Riwayat hidupnya
yang singkat tercatat di antara lembaran buku kehidupan
mereka sebagai suatu kenangan perpisahan yang
menyedihkan.
Barakah yang merupakan pengasuh untuk semuanya,
yang kehidupannya dilewati dengan perpisahan dan
kesedihan akan kematian, memandangi Muhammad dengan
hati terluka.
“Perpisahan Kekasih Muhammad yang keberapakah
ini?”
Dia memandangi Muhammad yang telah dibesarkan
dengan tangannya. Dia teringat satu per satu perpisahan
Muhammad dengan ayahnya, ibunya, dan kakeknya ketika
melihat lelaki dengan wajah bercahaya itu menangis diamdiam di samping keranjang bayinya.
Al-Amin, sang simbol kesabaran, mengajak semua yang
berada di ruangan untuk tenang.
“Hari-hari susu Qasim inysaallah akan diselesaikan oleh
Sang Pencipta,” hibur Muhammad kepada Khadijah.
Mereka menggali makam kecil untuk sang bayi di
pemakaman Ma’la yang berada di puncak Huj’. Melewati
220
makam-makam yang dihiasi pita dan kaca-kaca, diselimuti
dengan kain lampin yang polos, mereka mengubur seorang
teman baru dan mungil ke dalam tanah. Mereka mengantar
Qasim ke tempat asal dia datang.
Malam berganti malam...
Kesedihan yang terlalu berkepanjangan.
Hati Khadijah tertusuk-tusuk oleh luka. Rasa sakit ini
berbeda dengan apa yang pernah dia rasakan. Rasa sakit
itu membuatnya terpukul dan semakin tenggelam dalam
kesedihan.
Apakah air yang sedingin es mampu membakar?
Kata-kata yang paling teduh dan tenang pun dapat
membakarnya. Rumahnya seakan-akan tidak muat untuk
menampung perahu. Dan ketika mentari terbenam, saat
unta satu per satu berjalan pelan, kesedihan itu semakin
bertambah. Matahari telah terbenam, malam telah datang,
seluruh bayi burung berada di pangkuan induknya masingmasing... sementara burung mungilnya berada di kota yang
tak berpenghuni...
“Ya Allah, biarkanlah para malaikat memangku burung
mungilku....”
Di hari-hari penuh kesulitan ini, Khadijah dan al-Amin
bertambah dekat. Muhammad memegang kedua tangan
istrinya, mencium kedua matanya, dan selalu menghiburnya.
Namun, jika tidak ada yang menemaninya, dia terlihat
tertunduk sedih karena perpisahan dengan putranya.
Memang, di matanya dunia tak pernah mendapatkan
221
_ Kesedihan
keagungan, mengecil seukuran titik, sepasang mata yang
siap untuk menerima cahaya tertidur lelap, lelap memandang
sesuatu yang jauh.
Teman dekat dan kerabatnya tak pernah jauh dari sisi
Khadijah. Tetapi, ketika malam telah larut, pintu-pintu
tertutup, kamar-kamar terkunci, semua telah tidur lelap
lepas dari kehidupan.
Dan rasa pedih sebenarnya terasa pada waktu itu.
Sebenarnya tidak ada niat buruk jika para wanita tua dan
berilmu tinggi Mekah menawarkan permohonan kepada
Latta dan Uzza. Mereka terus berkata kepada Khadijah
bahwa kesedihannya akan reda dan segala jenis kesialan
menjauh.
Namun, jawaban “Sang Ayah” sudah jelas untuk segala
tawaran itu. Di antara kemarahan dan kesedihan, dengan
suara keras dia berkata, “Ya Khadijahku! Sesungguhnya aku
belum pernah menyembah Latta dan Uzza. Dan aku pun
takkan pernah menyembahnya!”
Kalimat tegas dan padat itu menggaung ke seluruh
ruangan rumah dan cukup untuk memberikan pengaruh
kepada orang yang mendengarkannya.
Keseriusan dan ketegarannya telah membuat Khadijah
menemukan kekuatan.
“Kau berkata benar al-Amin. Kita tidak perlu Latta dan
Uzza. Yang memberikan manfaat dan kerugian bukanlah
patung-patung itu. Kita akan serahkan permasalahan kita
kepada Allah. Hidup dan mati kita berada di tangan-Nya.”
Ujian yang mereka hadapi seakan-akan telah membuat
umur mereka berdua menjadi sepuluh tahun lebih tua.
Akhirnya, semua kehilangan dan penderitaan mereka telah
222
berakhir. Kekurangdewasaan mereka pun padam dan
pergi.
Khadijah sering menanyakan hal ini kepada suaminya,
“Suatu hari, apakah kita bisa melihat putra kita kembali?
Apakah kita bisa bertemu dengannya?”
Meskipun tidak tahu jawabannya, senyum yang terukir di
wajah sang suami seakan-akan membuat Khadijah melihat
mereka saling berpelukan dan bermain dengan putraputrinya di hari yang teduh dan di bawah bayangan pohon
palem.
Wajah suaminya seperti surga baginya.
Khadijah menyamakan wajah suaminya dengan surga
yang membuatnya kuat. Mungkin itulah penyebab mengapa
dia memandang wajah suaminya lebih lama. Kesedihan atas
perpisahan dengan putranya seakan-akan telah mengubah
peran suami-istri itu. Dahulu, Khadijahlah yang selalu
menghibur suaminya saat dalam kesedihan. Sekarang,
suaminyalah yang memberikan kehidupan baginya.
Kadang-kadang Khadijah membawa burung yang dia sukai
ke rumah, kadang-kadang sebuah cermin, kadang-kadang
lavender ungu yang dikeringkan, atau bunga-bunga wijen.
Sambil menggendong putrinya, Zainab, mereka berjalanjalan ke Gunung Hira dan kemudian berbaring memandangi
mentari yang terbenam dari atas puncak.
Waraqah yang telah lanjut usia, sambil memegangi
tongkat, selalu berkata hal yang sama ketika melihat
kedatangan mereka.
“Kita berasal dari Allah dan kita akan kembali kepadaNya.”
Khadijah terhibur ketika mendengar ucapan itu.
223
_ Kesedihan
Sementara itu, ucapan al-Amin lebih mendatangkan
tenaga. Khadijah suka dengan kalimat itu. Ketika mendengar
kata-kata yang benar, wajahnya bersinar penuh cahaya.
Seberapa besar mereka ingin berbagi kesedihan itu,
khususnya keturunan Abdul Muthalib dengan Bani Umayah
yang mereka anggap sebagai pesaing, mereka menggunakan
kesedihan yang dialami al-Amin dan Khadijah sebagai
kesempatan emas dan mulai menyebarkan desas-desus.
Sas sıs sus.
Was wus...
Was wus...
“Lattalah yang telah mengambil putra kalian, dengarkah
kalian?”
“Uzza akan menghukum orang yang tidak menyembahnya,
ucap leluhur kita. Dan itulah yang terjadi!”
“Anak yatim Mekah menjadi anak yatim lagi. Dengarkah
kalian, kesialannya telah membawa kesialan untuk
Khadijah!”
“Dan itulah yang terjadi jika pelit dan tak memberikan
kurban kepada Manna! Kasihan Khadijah!”
Pada masa itu, memiliki seorang anak laki-laki bukan
hanya suatu keberuntungan dan kehormatan. Di mata para
kabilah yang saling bermusuhan, anak laki-laki merupakan
seorang prajurit, penjaga, dan pelindung yang membawa
senjata. Pernikahan antara al-Amin dan Khadijah menjadi
penyebab kecemburuan yang sangat besar di mata Bani
Umayyah. Dan sekarang, menurut pandangan masyarakat,
penderitaan yang dialami keluarga itu telah mengubah
sebuah pisau bermata runcing menjadi busur panah yang
tajam.
224
Pasangan itu menolak melakukan adat leluhur untuk
menghapuskan kesedihan perpisahan dengan putra mereka.
Bagi mereka, tak ada yang dapat dilakukan selain saling
bergantung pada cinta dan kehormatan mereka.
Pada hari ketika hati sedang bimbang, sepasang mata
‘Sang Ayah’ terpaku pada Zaid, budak yang dihadiahkan
Khadijah. Khadijah juga mendapatkannya sebagai hadiah
dari keponakannya. Perasaan cinta yang membara di dalam
dirinya menuntunnya ke arah Zaid.
Zaid bin Haritsah berusia kurang lebih delapan sampai
sembilan tahun. Ia menjadi budak setelah sukunya kalah
perang. Setelah beberapa kali berpindah tangan, dia telah
berpisah dengan keluarga aslinya, seperti halnya Dujayah.
Zaid adalah anak yang pintar, cerdik, dan cerdas.
Itulah yang menjadi sebab mengapa dia selalu diinginkan
sebagai pelayan. Keponakan Khadijah yang seorang hakim
menghadiahkan budak kecil ini kepada Khadijah karena
wajah Zaid yang tampan, serius, dan berperasaan lembut
sehingga meluluhkan hatinya.
Setelah hari-hari yang penuh dengan luka di hati, sambil
memegang tangannya al-Amin membawa Zaid yang baru
saja tiba di rumah menuju Kakbah. Setelah beberapa orang
memerhatikan mereka, al-Amin memegang kedua lengan
Zaid dan mengangkatnya ke udara sambil berkata dengan
suara keras.
“Wahai manusia, jadilah saksiku! Zaid adalah putraku!
Dia adalah ahli warisku dan aku adalah ahli warisnya. Wahai
kaum Quraisy, dengarkanlah! Zaid adalah putraku! Wahai
manusia, dengarlah dan jadilah saksi, Zaid adalah putraku!”
225
_ Kesedihan
Yang sedang bertawaf, yang sedang memotong kurban,
yang sedang tawar-menawar, semuanya berlari menuju ke
arah suara yang bagus itu. Mereka saling berebutan untuk
memberikan ucapan selamat kepada al-Amin.
Khadijah telah menemukan lagi satu kelebihan milik
suaminya. Dia adalah seorang dengan hati yang luas untuk
menerima Zaid sebagai putranya. Zaid yang menurut orangorang terhomat Mekah merupakan seseorang yang tak
terlihat dari “yang tak terlihat”, tetapi di rumah itu dia selalu
terlihat dari awal, terdengar, dan diketahui. Dan dia menjadi
putra mereka. Al-Amin menjadi seorang ayah dan teman
bagi putra-putrinya yang terlahir dari suami sebelumnya.
Dia tidak menjadikan mereka anak angkatnya. Dia tidak
membuat anak-anak tersebut menundukkan kepalanya.
Khadijah pada dasarnya merupakan wanita yang
selalu taat kepada hukum. Sebab itulah dia dihormati
oleh semua orang. Namun, setelah melihat dan menjadi
saksi atas penerapan akhlak yang bagus oleh suaminya,
dia memutuskan menjadikan contoh-contoh perbuatan
bagus itu sebagai tujuan hidupnya. Dia sekali lagi percaya
kepadanya, sekali lagi jatuh cinta kepadanya setiap hari.
Peristiwa “pengangkatan anak” membuat kedua
pasangan itu menjadi sepasang sayap bagi Zaid yang butuh
perlindungan. Di sisi lain, Zaid adalah penghibur sekaligus
pengurang beban di hati Khadijah dan al-Amin.
226
Kisah Sebuah Kekerabatan
P
using, rasa kantuk, demam, nafsu makan yang tibatiba muncul, wangi yang terus tercium hidungnya,
dan kemudian bau tanah yang tersiram air hujan. Semua itu
beberapa waktu ini mulai dirasakannya.
Kedua matanya baru saja terbuka dari tidur yang
lelap. Pandangannya tertuju pada sang suami yang sudah
terbangun, dengan tangan dan wajah yang telah terbasuh.
Lelaki bergelar al-Amin itu tampak sedang menyisir rambut
di depan kaca yang tertempel di tembok samping tempat tidur
mereka. Khadijah sangat menyukai pemandangan seperti
itu. Bersih. Al-Amin adalah orang yang sangat menjaga
kebersihan. Di depan cermin, ia membelah rambutnya yang
panjang sampai pundak menjadi dua bagian yang sama, lalu
menyisirnya menjadi tiga bagian ke kanan dan tiga bagian
ke kiri.
Kadang, di malam hari, minyak zaitun yang bercampur
wewangian tercium dari rambut suaminya. Khadijah
mencium wangi itu seperti bau surga. Ketika memandangnya,
dia akan ingat suatu kejadian tentang sebuah permainan
kata-kata dengan putrinya, Zaynab, yang berhubungan
dengan pohon zaitun. Dia mulai membisikkan sesuatu
dalam keadaan setengah tertidur:
Zaitunku, Zaitunku, Zaitunku yang tampan.
Aku mengenalmu dan mengetahuimu dari surga.
Zaitunku yang bagi Musa merupakan tongkat dan bagi
Daud merupakan mahkota.
227
_ Kisah Sebuah Kekerabatan
Penjaga rahasia bagi pengantin perempuan, surat bagi
pengantin laki-laki Zaitunku.”
Sang suami pun membalas ucapan istrinya dengan
senyuman yang dipantulkan oleh cermin.
Meskipun perasaan malas masih menyelimutinya, dia
tetap bangun dan berdiri untuk menyiapkan sarapan pagi.
Badan Khadijah goyah sesaat setelah berdiri. Dia terjatuh ke
arah tempat tidurnya.
Seketika itu pula al-Amin melempar sisirnya dan berlari
cemas ke arah Khadijah.
“Tak ada apa-apa, aku baik-baik saja. Jangan khawatir,
aku baik-baik saja.”
“Ada apa denganmu, Dinda?”
“Aku pikir aku sedang mengandung….”
Khadijah mengandung lagi. Kondisi Khadijah sebenarnya
sangat lemah setelah Qasim wafat dan Zaynab lahir. Namun,
semua itu hilang seketika setelah kedatangan berita bagus
ini.
Perempuan tua, tetapi kuat, yang datang ke tempat
tinggal al-Amin dan Khadijah di siang hari menjadi berita
bagus kedua yang menyebabkan kegembiraan mereka
bertambahnya. Dialah Halimah, sang ibu susu.
Keluarga Sa’ad bin Bakr yang berasal dari suku Hawazin
dikenal di seluruh Mekah karena profesi ibu susu ini. Jalan
lintas Kada’ yang terbelah di kanan-kirinya dengan lenganlengan yang kuat seakan-akan menjadi sebuah pelindung
seperti “gunung-gunung putih” yang mengelilingi sebuah
pulau. Kaum Hawazin menetap di puncak gunung yang
228
dikenal sebagai cerobong asap. Mereka adalah pelayannya.
Mereka tinggal di tempat yang tinggi dan bersih. Tak pernah
kekurangan angin dan kelembaban. Ini berbeda dengan
kota Mekah yang padat. Tempat itu pun terkenal dengan
kesehatan anak-anak dan para wanitanya.
Khadijah mengandung lagi. Kondisi
Khadijah sebenarnya sangat lemah
setelah Qasim wafat dan Zaynab
lahir. Namun, semua itu hilang seketika
setelah kedatangan berita bagus ini.
Dipenuhi dengan rerumputan, mata air yang bersembunyi
di antara sumber-sumber air, warna-warni semak yang
terulur dari pinggir-pinggir air, ranting-ranting pepohonan
yang di ujungnya terdapat buah berwarna merah yang mirip
dengan tangan-tangan sang kekasih di cerita dongeng,
pepohonan berwarna ungu dan wangi, rerumputan yang
diberi nama ‘benan’ karena mengingatkan pada kedua
tangan ibu yang berdoa, meskipun namanya dikenang
sebagai bantal bagi para penggembala, sebenarnya tanaman
itu merupakan tumbuhan yang paling disukai domba,
timun liar, bunga-bunga wijen yang berwarna ungu, serta
rerumputan yang dikenal sebagai sejenis biji-biji kedelai
yang mengingatkan pada dataran tinggi, tempat itu di bawah
kekuasaan perempuan dan anak-anak.
229
_ Kisah Sebuah Kekerabatan
Di hari yang panas pada bulan ini, masyarakat sekitar
menginginkan bayi-bayi yang baru lahir disusui oleh para
perempuan dari suku Sa’ad bin Bakr yang turun dan datang
menuju pusat kota Mekah. Calon-calon ibu susu pun berada
di tangan para kaum Hawazin layaknya perayaan sebuah
pesta “hari-hari susu”.
Kaum Hawazin adalah bangsa yang bebas. Gaya hidup
yang tak terikat pada apa pun itu dipercaya orang-orang
Mekah sebagai salah satu faktor penting dalam mendidik
anak-anak mereka. Jika ingin menguasai bahasa Arab murni
dan asli, para orang tua akan memberikan anak-anak mereka
kepada para pendatang Hawzin atau para pengembara di
musim semi. Para ibu susu itulah yang akan membuat anakanak menghafalkan puisi-puisi, syair-syair, dongeng, dan
cerita-cerita.
Dan wanita yang mengetuk pintu rumah Khadijah adalah
ibu susu yang paling terkenal di antara Suku Hawazin.
Perempuan yang menyusui al-Amin dan membesarkannya.
Lagi-lagi Dujayah datang dengan napas tersengalsengal.
“Berenis... Berenis... sudah dengarkah kau, Berenisku?”
“Ada apa lagi, apa yang terjadi sekarang wahai wanita
cantik yang bertelinga dua?”
“Sudahkah kau dengar tentang kabar ibu susu yang
datang ke tempat tinggal Nyonya Khadijah?”
“Aku tak punya dua pasang telinga dan empat mata yang
bisa untuk mendengar dan melihat itu semua.”
230
“Baiklah… baiklah. Jangan marah sayangku. Aku
membawakan pesanan buah pir dan kurma dari rumah
Nyonya Khadijah untukmu, sebagai jamuan makan malam
untuk kedatangan ibu susu Halimah. Mereka juga ingin
kita membuat satu kudapan, yaitu manisan sevik, dan
mengirimkannya kepada mereka. Dan ada satu lagi.…”
“Apa itu?”
“Mereka mengatakan bahwa Nyonya Khadijah sedang
mengandung. Bayi baru yang akan lahir.”
“Kau sungguh anak yang baik, Dujayah. Lihatlah, untuk
pertama kalinya aku sangat senang dengan ucapanmu.
Semoga Allah memberikan yang terbaik. Tempat tinggal itu
dilanda kesedihan selama dua tahun setelah Qasim wafat.
Insyaallah, bayi itu akan melonggarkan hati mereka serta
memberikan kesegaran, kebaikan, dan keindahan.”
Resep Manisan Sevik
Satu cangkir kapulaga dituang ke dalam dua mangkok
penuh buah pir kering, lalu aduk dengan tangan sampai
berbentuk seperti tepung. Aduk segengam kacang dan
beberapa potong jahe ke dalam sepertiga mentega yang
dicairkan dengan api yang besar. Terus aduk sampai
kacang berwarna merah muda dan jahe berwarna ungu.
Selanjutnya, tuang buah pir yang berbentuk tepung ke
dalam panci berisi kacang dan jahe. Terus aduk dengan
api yang besar. Kesabaran seorang perempuan dapat diukur
dengan melihat adonan sevik yang tidak hangus. Ketika
sudah terlihat padat dan keras--kepadatan itu merupakan
resep rahasia para perempuan Mekah--tuangkan serbat
yang sudah dihangatkan ke atas adonan. Biarkan manisan
231
_ Kisah Sebuah Kekerabatan
yang dilapisi kain meleleh dengan sendirinya. Kemudian,
tumbuk sampai berbentuk butiran-butiran pasir dan
hidangkan dengan tambahan kayu manis. Rahasia halwa
sevik terdapat pada kepadatannya!
“Berenis, apa itu kepadatan?”
“Padat dan keras merupakan sebuah ukuran Dujayah.
Mengukur kemahiran, kesabaran, dan kekuatan untuk
bangkit, dan semua itu diuji di sini.”
“Aku pikir kau membuat resep halwa.”
“Allah menakdirkan rasa manis dengan asin, kesedihan
dengan kegembiraan, kesulitan dengan kemudahan dan
menaruhnya ke dalam beban hati... terus-menerus... dan
berurutan, Anak Mudaku. Takdir dan keberuntungan terus
berputar, menunggu untuk mendatangi kita. Sebab, di sini
adalah dunia. Kita tidak akan pernah tersenyum sebelum
kita menangis, dan menangis sebelum kita tersenyum,
Dujayahku.”
“Menurutku, engkau ingin berkata bahwa kedatangan ibu
susu Halimah ketika Nyonya Khadijah sedang mengandung
merupakan waktu yang tepat.”
“Lihatlah betapa pintarnya kau anak muda! Kau langsung
mengerti apa yang kumaksud!”
Semua yang berada di rumah seperti terbang melanglang
buana karena gembira.
“Ibuku... Ibuku datang,” ucap al-Amin.
232
Bunga-bunga mawar bermekaran di wajahnya. Khadijah
pun merasakan kegembiraan yang sama.
“Ibu al-Amin adalah ibuku juga. Selamat datang yang
terhormat perempuan kaum Sa’ad bin Bakr yang paling
baik.”
Al-Amin menanyakan kabar teman-temannya yang dia
kenal di masa kecilnya satu per satu. Kenangan masa kecil
seakan-akan menghampirinya dengan kedatangan ibu susu
Halimah. Khadijah juga sangat gembira. Anak-anak dan para
perempuan yang ikut mendengarkan perbincangan dengan
Halimah merasa seakan-akan seluruh permasalahan mereka
hilang dan terhapus begitu saja.
“Saat itu Tahun Gajah. Masyarakat Mekah menyambut
dengan senang para calon ibu susu yang turun ke pusat kota
di hari yang panas pada bulan itu. Semua saling berkompetisi
untuk menjadi yang pertama di Pasar Ukaz. Mereka saling
berlari untuk menjadi yang pertama dan mendapatkan anak
orang kaya. Pada tahun itu, aku berada di urutan belakang di
antara rombongan ibu susu. Tak dimungkiri, harapanku juga
seperti harapan teman-temanku yang lain, mendapatkan
anak orang kaya untuk disusui. Padahal, semua keluarga
yang berada di sana sudah dipilih oleh teman-temanku.
Ketika itu, Abdul Muthalib terlihat bingung sambil
menggendong bayi yang tidak berayah. Ia khawatir karena
tidak ada ibu susu yang mau mengambilnya. Ia tidak tahu
apa yang harus dilakukan. Kita semua tahu bahwa dia adalah
orang kaya dan terhormat. Saat itu, aku pun berkata dalam
hati untuk membawa pulang cucu Abdul Muthalib. Hal itu
lebih baik daripada tidak sama sekali.
Ternyata, aku sungguh beruntung!
233
_ Kisah Sebuah Kekerabatan
Sebenarnya, air susuku lebih sedikit jika dibandingkan
para perempuan Hawazin lain. Namun, tiba-tiba air
susuku menjadi banyak setelah mulai menyusui cucu
Abdul Muthalib? Bahkan, jumlahnya sangat cukup untuk
menyusui anakku sendiri yang menangis. Aku pun sangat
senang. Bukan hanya aku saja yang air susunya menjadi
banyak setelah kedatangan bayi baru itu. Kantong air susu
unta kami pun penuh dengan air susu. Kami tidur sangat
lelap setelah kenyang meminum susu hasil perasan dari
unta kami. Ketika pagi menjelang, kami sadar bahwa bayi
ini membawa kebaikan dan keberkahan. Hewan tunggangan
kami yang tadinya lemah dan tua pun sudah tidak ada yang
menandingi. Bahkan, para perempuan yang aku lewati
dengan keledai tunganganku yang juga lemah dan tua
bertanya, ‘Ya putri Abu Zuaib, pelan-pelanlah. Bukankah
itu adalah hewan tungganganmu yang dulu?’
Selain itu, musim kemarau yang melanda wilayah
Hawazin tahun itu membuat kami kekurangan air. Tanaman
dan rerumputan pun kering. Hewan-hewan kami kehausan
dan kelaparan. Tubuh mereka sangat kurus. Namun, setelah
membawa bayi itu, kami menyaksikan awal dari perubahan.
Semua kambing menjadi gemuk dan kantung susu penuh
dengan air susu. Bahkan, para penduduk berkata, ‘Di mana
kambing-kambing Abu Zuaib digembalakan, lepas kambingkambing kalian di sana.’
Allah menambahkan keberkahan kepada kita berkat
Muhammad. Dia anak yang berakhlak baik.”
Saat berbicara, ibu susu Halimah punya kebiasaan yang
khas. Dia akan menaikkan dan menurunkan suaranya
sehingga mampu menyihir semua yang berada di situ. Bait-
234
bait yang kadang dibaca olehnya sering dianggap sebagai
legenda kuno kaum Badui yang kembali ke ingatan mereka.
Halimah seperti pahlawan mistis berambut putih dengan
kulit kambing yang menempel di punggungnya yang turun
dari Gunung Kaf. Semuanya mendengarkannya tanpa
mengambil napas. Kemudian, dia bertanya kepada para
pendengarnya.
“Muhammad, anakku. Pernahkah dia bercerita
bagaimana dia hilang ketika masih anak kecil? Aku dan
suamiku sangat khawatir. Kami mencari ke seluruh sisi,
tetapi tak menemukannya. Dia mengembalakan domba
dengan saudara susunya, Syaima. Kemudian, saat putriku
pulang, saudara susunya tidak bersamanya. Mungkin dia
tersesat jauh ketika mencari domba. Dia menemukanku
dalam keadaan hampir gila ketika dirinya kembali. Walaupun
masih muda, dia menceritakan kejadian yang dialaminya
dengan penuh kedewasaan.”
Menurut penjelasan ibu susu Halimah, satu rombongan
yang berjumlah tiga orang mendekati anak susunya dan tak
tahu penyebab mereka menjamu anak muda itu.
“Muhammad, yang waktu itu masih kecil, menceritakan
kepadaku dengan bahasa yang belum fasih. Katanya, tiga
orang yang tak dikenal mendekatinya. Salah satu di antara
mereka menggengam kendi perak dan cawan dari batu
zamrud berwarna hijau yang penuh dengan es. Mereka
berhati-hati membawanya ke puncak gunung. Kemudian,
salah satu dari mereka membelah dadanya sampai ke perut.
Dia tak merasakan apa pun. Tak ada rasa sakit atas semua
yang menimpa dirinya. Mereka mengeluarkan usus-usunya
sambil meletakkan tangannya di perut Muhammad dan
235
_ Kisah Sebuah Kekerabatan
menaruh kembali usus-usus itu ke dalam perutnya setelah
dicuci air es dengan gerakan yang sangat lembut.
Kemudian, yang kedua berdiri dan berkata kepada orang
pertama, ‘Kau telah melakukan apa yang diperintahkan
kepadamu, sekarang berbaliklah.’ Ia kemudian mendekati
Muhammad kecil. Dia mengeluarkan hatinya dan
membelahnya menjadi dua. Dia mencari dan membuang
noda-noda kehitaman. ‘Kekasih Allah, itu merupakan
tangan setan yang menyentuhmu,’ ucapnya. Dia mengisi
hati itu dengan sesuatu yang dibawa di sampingnya. Setelah
meletakkan kembali hati itu ke tempatnya, dia mengecap
hati itu dengan sesuatu yang berasal dari cahaya. Kesejukan
cap itu masih dirasakan di nadinya dan sendi-sendinya.
Sosok yang ketiga berdiri dan berkata, ‘Kalian telah
melakukan apa yang diperintahkan. Sekarang, tolong
menjauh.’ Dia mendekatinya. Dada Muhammad sampai
kakinya disentuh dengan tangannya. ‘Timbanglah dia
dengan sepuluh orang dari sukunya,’ katanya. Mereka lalu
menimbangnya dan Muhammad lebih berat daripada
mereka. ‘Lepaskan dia. Seberapa banyak pun kalian
mengukurnya dengan seluruh masyarakat, dia akan lebih
berat daripada mereka semua,’ ucapnya. Kemudian, dia
memegang tangannnya dan menaruhnya di suatu tempat
dengan sangat hati-hati. Mereka semua bersimpuh dan
menciumnya. ‘Wahai Kekasih Allah! Engkau tidak akan
pernah merasakan ketakutan. Engkau akan bahagia jika tahu
apa saja yang telah disiapkan untukmu,’ kata mereka.
Mereka pun meninggalkannya. Ketika Muhammad
berbalik ke belakang, dia melihat mereka telah terbang ke
langit. “Jika kamu mau, aku bisa menunjukkan tempat ke
mana kami pergi!’”
236
Kisah yang diceritakan anak susunya itu apakah mungkin
berasal dari dunia khayalannya yang luas? Atau mungkin
dongeng yang diceritakan wanita tua kepadanya? Namun,
mereka yang mendengarkan kisah itu tidak menanyakan
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Puisi-puisi khas orangorang Mekah, perilaku yang menunjukkan rasa hormat,
budaya yang menjunjung tinggi para legenda, serta kisah anak
susunya itu tidak akan hilang dan akan selalu disampaikan
selama berabad-abad.
Setelah mendengarkan kisah itu, apakah kesedihan
Khadijah berkurang? Apa yang akan diucapkan Halimah
yang berambut putih dengan pengalaman yang bertahuntahun itu tentang Qasim?
“Putriku, ketika api menyala, hati para ibu akan menjadi
seperti arang yang berpencar. Jiwa para ibu terbakar oleh
kesedihan anaknya. Kemudian, yang terbakar itu setiap
hari akan padam seperti sebuah lilin. Satu lilin, dan ketika
berkata satu lilin lagi, yang tersisa hanyalah abu. Lukamu
masih baru. Setiap ucapan mungkin terasa berat bagimu
sekarang. Obat lukamu adalah waktu. Waktu, walaupun
dia tidak akan menyembuhkan lukamu sepenuhnya, dia
sabar untuk membuat lukamu itu menjadi abu. Kau tidak
akan melupakan Qasim sampai kau melupakannya. Abu
di setiap kenanganmu itu akan terbakar. Berkat suami dan
putra-putrimu, kau akan kembali lagi terhubung dengan
kehidupan.”
Kedatangan Halimah sungguh bagus untuk pasangan
suami-istri yang hatinya sedang terluka oleh kesedihan
perpisahan dengan putranya dalam dua tahun ini. Seakanakan dia mengembalikan kehidupan para pendengarnya
237
_ Kisah Sebuah Kekerabatan
dengan kenangan-kenangan yang membuat anak-anak
tertawa dan tersenyum.
Al-Amin yang kerap berkata ‘Ibuku, Ibuku datang’
menyelimuti ibunya itu dengan kain sorban dan mencium
kedua tangannya. Dia masih terlihat bingung memikirkan
jamuan apa yang akan diberikan untuk wanita yang sudah
dianggap ibunya sendiri itu. Pada saat itu, rasa cinta Khadijah
bertambah saat menyaksikan suaminya kembali seperti anak
kecil. Ucapan “ibu” yang keluar dengan kerinduan dari bibir
suaminya membuat Khadijah bahagia.
Hampir selama dua tahun, sepercik air hujan tidak turun
di “gunung-gunung putih”. Ibu susu Halimah menceritakan
kemiskinan dan kesulitan dalam kehidupan.
Khadijah tentu saja tidak akan membiarkan “ibu kekasih
hatinya” pulang dengan tangan kosong. Meskipun tidak
bisa mengganti susu, dia menghadiahkan empat puluh lima
kambing dan unta yang berkualitas bagus untuk kenyamanan
dalam perjalanan kepada ibu susu Halimah. Anak yang
selalu membawa keberkahan dan keberuntungan kepada
Halimah telah dewasa dan menjadi seorang ayah dan tetap
memberikan keberkahan kepadanya.
Khadijah memandang Halimah, yang menerima unta
dengan senang hati, dengan rasa kasih sayang dan ucapan
terima kasih. Dia berjalan dengan tangan di atas perutnya.
Dia berpikir bahwa bayi baru adalah suatu kegembiraan
baru dan suatu awal yang baru.
238
Yang Datang dan Tak Pergi
K
hadijah memang dermawan. Dia memberikan
semuanya ketika berbagi. Tidak semua orang
memiliki hati yang luas seperti Khadijah. Mereka yang
datang kepadanya tidak akan mau jauh darinya. Dia adalah
seorang perempuan yang akan selalu dikenang.
Meskipun hanya sekali dalam hidup, apa yang dilakukan
untuk para tamunya, basa-basinya, jamuan-jamuannya, akan
dikenang sampai mereka meninggal dunia, meskipun ketika
berkunjung mereka yang pergi tidak akan pernah menjadi
orang yang benar-benar pergi. Mereka tahu bahwa di hati
Khadijah terdapat tempat untuk mereka semua. Sayapsayapnya sangat luas dan hangat. Khadijah pun disamakan
dengan burung umay di dongeng-dongeng Persia. Sayapsayapnya memberikan keberuntungan bagi mereka yang
dilanda kesedihan. Walaupun hanya sekali bertamu, mereka
seakan-akan sudah merasa yang paling beruntung..
Salah satu dari mereka adalah Zubair bin Awwam.
Bibi Muhammad, Saiyah, menikah dengan Awwam bin
Khuwaylid, saudara laki-laki Khadijah. Zubair adalah putra
dari pasangan yang saling mencintai itu. Ketika kehilangan
ayahnya di umur yang masih muda, dia dibesarkan oleh
Khadijah dan al-Amin. Zubair pun bersama dengan anakanak lainnya didaftarkan ke madrasah milik Khadijah.
Akhlak mulia al-Amin dan tingkah laku sempurna milik
Khadijah membuat Zubair seakan-akan seperti sebuah
239
_ Yang Datang Dan Tak Pergi
mutiara yang bersinar di tangan penjual barang-barang
mewah. Tidak hanya terbatas pada Zubair dan Zaid yang
merupakan hasil didikan sepasang suami-istri yang saling
menyayangi itu.
Ali bin Abu halib juga merupakan setangkai bunga yang
tumbuh di kebun bunga yang sama.
Fatimah, istri Abu halib, menahan rasa sakit yang sangat
untuk melahirkan. Saat itu, Abu halib sedang menempuh
perjalanan dagang. Bagi al-Amin, Fatimah memiliki peran
besar bagi kehidupannya, layaknya seorang ibu kandung
baginya. Karena itu, ia segera menjumpai istrinya untuk
memanggil bidan dan membantu keluarga itu.
Ali adalah putra terakhir Abu halib. Setelah al-Amin
keluar dari rumah sang paman dan tinggal bersama Khadijah,
ia tidak pernah memutuskan hubungan dengan rumah itu.
Muhammad menunggu kabar di depan pintu rumah.
Ketika mendengar kabar gembira kelahiran Ali, bungabunga pun bermekaran di wajahnya. Dia lalu membagikan
sedekah untuk masyarakat sekitar.
Sang paman belum kembali dari perjalanan. Tiada yang
tahu kapan Abu halib akan datang dan bertemu dengan
putranya? Al-Amin segera masuk ke dalam rumah. Ia
menggendong bayi yang baru lahir itu, menciumnya, dan
kemudian memainkan kurma yang telah dikunyah ke
langit-langit lidah sang bayi. Kenikmatan yang pertama kali
didapatkan Ali setelah terlahir ke dunia adalah pujian dan
harapan yang keluar dari mulut al-Amin yang tersembunyi
di dalam kurma itu.
Bayi mungil itu memerlukan ibu susu. Namun, setiap
ibu susu yang di sarankan oleh Khadijah tidak sesuai untuk
240
sang bayi. Ibu bayi mungil, Fatimah, terdampar di lautan
kesedihan. Air susu Fatimah sangat sedikit, sementara tidak
ada ibu susu yang sesuai untuk sang bayi. Al-Amin terus
memainkan kurma yang telah dikunyah di lidah Ali sampai
bayi itu tertidur dan ibu susu untuknya ditemukan.
Ketika al-Amin tinggal bersamanya, Abu halib memang
sudah cukup tua. Saat itu rumahnya penuh dan ramai. Meja
makannya pun sempit. Kadang, perdagangannya tidak
berjalan lancar. Sang kemenakan merasa bahwa dirinya
tidak akan bisa membayar semua utang budi yang telah
dilakukan sang paman. Ia berpikir untuk mencari solusi
yang bisa menenteramkan mereka. Di suatu malam, ia pun
berbagi kepada sang istri, Khadijah.
“Kau pasti tahu bahwa Pamanku punya peran yang sangat
besar dalam membesarkan diriku dan juga pernikahanku.
Beliau seperti ayah untukku. Beliau tak pernah membedakan
diriku dengan anak-anaknya yang lain. Saat ini, beliau sudah
sangat tua, sementara banyak anak yang perlu diberinya
makan. Jika engkau setuju, aku ingin mengambil salah satu
anaknya dan membesarkannya. Aku pikir itu akan sedikit
meringankan bebannya. Bagaimana menurut Dinda?”
“Pangeran hatiku, teman yang merupakan tempat berbagi
permasalahan untuk orang tua, anak-anak, orang sakit, dan
orang miskin, hatiku terbuka luas untukmu dan merupakan
pintu yang tidak akan pernah tertutup untukmu. Jika itu yang
menjadi keinginanmu dan menurutmu layak, aku setuju.
Abu halib merupakan pembesar mekah yang terhormat.
Anaknya juga seperti anak kita.”
Keesokan hari, al-Amin mendatangi Abu halib
bersama pamannya yang lain, Abbas. Setelah menjelaskan
241
_ Yang Datang Dan Tak Pergi
keinginannya, al-Amin lalu membawa Ali, sedangkan Abbas
membawa kakak Ali yang berumur empat tahun ke rumah
mereka masing-masing.
Dan kemudian, dua anak perempuan,
Rukayah dan Ummu Kultsum, lahir
ke dunia setelah Zainab. Zainab, Zaid,
Zubair, Ali, Ruqayyah, dan Ummu
Kultsum yang tumbuh besar di bawah
tangan Khadijah akan menorehkan
sejarah di lembaran-lembaran halaman
emas sebagai anak-anak yang berharga.
Kepintaran dan kepandaian Ali yang bersinar seperti
emas membuatnya menjadi siswa yang paling menonjol di
sekolah Muhammad. Ali berada dalam sayap-sayap kasih
sayang Khadijah. Muhammad yang sering mencium anak
itu di antara kedua alisnya menyimpan penuh rahasia masa
depan. Anak yang dicintai dan disayangi melebihi jiwa
Khadijah dan al-Amin bersinar layaknya lilin yang menyinari
seluruh sudut rumah. Ali belajar berenang, memanah,
menunggang kuda dari al-Amin, sementara yang menyuapi
dan memakaikan bajunya adalah Khadijah. Dari Khadijah
pula Ali belajar membaca dan berhitung. Dia merupakan
242
sumber kebahagian rumah yang memiliki kepintaran yang
cemerlang dan tak mau berpisah dari sisi al-Amin.
Masyarakat Mekah membincangkan Ali yang tumbuh
besar di tempat yang suci dan penuh dengan kebaikan serta
penjaga kebun Khadijah dengan kalimat berikut, “Kata-kata
baik dan bagus yang terucap oleh Muhammad terbang tinggi
di atas kekayaan Khadijah dan pedang milik Ali….”
Dan kemudian, dua anak perempuan, Rukayah dan
Ummu Kultsum, lahir ke dunia setelah Zainab. Zainab, Zaid,
Zubair, Ali, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum yang tumbuh
besar di bawah tangan Khadijah akan menorehkan sejarah
di lembaran-lembaran halaman emas sebagai anak-anak
yang berharga.
243
Mendaki Gunung Hira
A
l-Amin yang sudah menginjak umur tiga puluh lima
seakan-akan mulai menjauhkan diri dari masyarakat.
Bahkan, Khadijah pun mencoba ikut meringankan
tanggung jawab perdagangan yang dipikul suaminya setelah
merasakan perubahan itu. Dengan dukungan keponakankeponakannya, ditambah Hindun dan Halah yang sudah
remaja, Khadijah berhasil meringankan tanggung jawab
suaminya.
Langkah-langkah tafakur mulai dilakukan al-Amin.
Pendakiannya ke puncak gunung dilakukan pagi hari,
berdiam diri, dan kemudian kontemplasi yang dilakukan
berjam-jam di tenggelamnya hari.
Tebersit dalam batin Khadijah bahwa al-Amin memang
senang berdiam diri. Sejak remaja, al-Amin memang tidak
menyukai hiburan, pembicaraan sia-sia, lelucon kasar, dan
hal-hal yang memicu perkelahian.
Suatu hari, al-Amin menceritakan kisah hidupnya dan
mengawalinya dengan frasa ketika aku masih remaja.
“Ketika aku masih remaja, pada hari ketika aku masih
menggembala, di pusat kota terdapat acara pernikahan yang
besar. Kami memutuskan pergi ke acara itu bersama temantamanku. Ketika sudah hampir sampai ke tempat acara itu,
seakan-akan terjadi sesuatu pada tubuhku. Aku tidak bisa
menahan rasa kantuk. Kemudian, aku duduk di atas batu
dan ingin beristirahat sebentar. Aku pun tertidur. Ketika
244
terbangun, aku sudah tidak melihat acara hiburan maupun
pernikahan. Hal seperti itu kembali terjadi padaku. Rasa
kantuk mengalahkanku. Mulai saat itulah aku memutuskan
tidak pernah lagi pergi ke acara hiburan seperti itu.”
Khadijah merasa bahwa satu-satunya tempat yang
nyaman dan tenang untuk suaminya adalah berada di
sisinya. Pada saat-saat ini, al-Amin yang selalu menghormati
dan dekat dengan para tamu, kerabat, dan kaum musair
mulai menjauhkan diri dari semua itu. Khadijah sebenarnya
berusaha keras mengubah keadaan itu. Namun, karena
menyaksikan sendiri betapa berat hari-hari yang dilewati alAmin, ia pun mulai sadar dengan kondisi tersebut.
Dia sekarang ingin berdiam diri.
Pada masa-masa ini, di Mekah banyak orang yang
melakukan adat yang di lakukan oleh orang-orang tua yaitu
tahannuts. Tahannuts merupakan ibadah yang bertujuan
menjauhkan diri dari dosa dan keramaian.
Bersama dengan Khadijah, al-Amin sering pergi
mengunjungi orang-orang tua yang sedang melakukan
pengasingan diri di gunung dan sibuk dengan puasa dan
berdoa. Pada saat seperti itu, Khadijah akan menaruh
makanan, seperti zaitun dan kurma, di keranjang yang
ia bawa dan diberikannya kepada mereka yang berharihari berdiam diri di dalam gua. Setelah itu, Khadijah akan
meminta didoakan oleh mereka.
Al-Amin dan Khadijah sangat menyukai Gunung Hira
dan gua yang mungil di sana. Perjalanan ke sana kurang
lebih satu jam. Karena sudah mengetahui letak dan struktur
gunung itu, mereka dengan mudah melewati rintanganrintangannya. Menurut mereka, tempat itu jauh dari
245
_ Mendaki Gunung Hira
keramaian dan gelombang-gelombang kekerasaan dunia
serta dekat dengan langit. Selain itu, dari tempat tersebut
mereka bisa menyaksikan mentari yang sedang tenggelam.
Khadijah mendaki gunung menemani suaminya yang
bergetar penuh dengan keingintahuan. Setelah waktu yang
mereka lewati dalam pendakian itu, dia merasakan seakanakan di setiap langkah ruhnya tercuci bersih dan batinnya
bersinar terang. Jalan yang dia lewati bersama suaminya
pun sudah menjadi jalan biasa untuk dirinya.
Sebenarnya, di setiap bukit yang terbuat dari bebatuan itu
memiliki sebuah lidah. Selain itu, gunung besar itu seakanakan mengenakan baju perang untuk melindungi dirinya
dari keramaian. Namun, di balik tampilan yang keras itu,
Gunung Hira hanya bisa ditaklukkan oleh orang-orang yang
memiliki kesabaran dan keinginan untuk menjaga rahasia.
Gunung Hira seolah-olah hanya memberikan hadiah kepada
mereka yang menginginkan ketenteraman. Gunung Hira
tidak mudah untuk didaki. Batu-batu besarnya mempersulit
jalan. Belum lagi batu-batuan kecil dan kerikil membuat
jalan menjadi licin dan membahayakan para pendaki.
Gunung Hira memunculkan kenangan pada padang
pasir yang halus, lembut, dan panjang. Warna cokelat
keemasannya menampilkan kekokohan dengan otot-otot
yang berjajaran satu sama lain, ditambah bauk dan misai
yang mulai berwarna putih, seakan-akan tampak seperti
prajurit perang yang memancarkan sinar mentari.
Bagi Khadijah, Gunung Hira yang memberikan perasaan
tidak berujung merupakan salah satu metode untuk menguji
sang pendaki. Terdapat jajaran batuan yang memiliki
panjang sepertiga dari setiap puncaknya, kemudian terdapat
lagi jajaran yang bejarak setengah dari jalan menuju puncak
246
gunung. Bebatuan yang berukuran besar itu membuat para
pendaki harus menahan napas mereka. Menurut Khadijah,
salah satu dari bebatuan itu mirip dengan bulatan tembaga
yang besar. Ketika sampai pada batu itu bersama dengan
suaminya, dia seperti merasakan al-Amin memandangnya
dengan tatapan mata yang penuh kasih sayang dan ucapan
terima kasih.
Khadijah mendaki gunung menemani
suaminya yang bergetar penuh dengan
keingintahuan. Setelah waktu yang
mereka lewati dalam pendakian itu,
dia merasakan seakan- akan di setiap
langkah ruhnya tercuci bersih dan
batinnya bersinar terang. Jalan yang
dia lewati bersama suaminya pun sudah
menjadi jalan biasa untuk dirinya.
Mereka tidak berbicara.
Mereka beristirahat sebentar sambil bersama-sama
memandang kota-kota yang perlahan-lahan tertutup
dengan embun. Khadijah menepuk batu yang mirip bulatan
tembaga itu dan mengucapkan terima kasih kepada gua Hira
atas pemandangan dihadiahkan kepada mereka.
247
_ Mendaki Gunung Hira
Di tempat peristirahatan kedua di puncak yang kedua
terdapat batu di antara jajaran bebatuan yang berada di ujung
puncak, yang mengingatkan mereka dengan sebuah takhta.
Warna hitam yang melapisinya membuat batu itu tampak
agung, seakan-akan sebuah singgasana raja selama berabadabad. Di tempat istirahat yang kedua ini, ketika memandang
ke arah kota Mekah, rumah-rumah di sana seperti kotakkotak kecil menurut pandangan Khadijah. Atap-atap rumah
yang berjajaran seperti biji-biji kurma yang dijajarkan.
Semakin ke atas, pemandangan kota tak terlihat sama
sekali. Di mata Khadijah, kota yang ia kenal menjadi sesuatu
yang tidak dia pahami. Dirinya terkagum-kagum ketika
melihat kota Mekah dari atas. Ia pun berpikir bahwa kota
itu besar dan megah, seberapapun terlihat kecil dan murni
di matanya.
Kemudian, mereka melanjutkan pendakian. AlAmin kadang berada di depan, kadang di samping, atau
menggenggam tangannya. Namun, sekali lagi, tanpa
mengucapkan satu kata... diam.…
Mereka menemukan satu bahasa baru selama melakukan
pendakian itu. Bahasa itu tak memiliki suara dan huruf.
Mereka merupakan pasangan yang saling mengerti tanpa
berbicara ketika berada di Hira. Seperti masa-masa Adam
dan Hawa mengelilingi surga dengan saling memegang
tangan dan tanpa bicara. Seperti manusia pertama yang
melihat keagungan dan keindahan ciptaan Allah dan tidak
menemukan kata-kata untuk diucapkan. Kekuatan hati
dan cinta menjauhkan mereka dari bahasa dan bicara.
Kehidupan mereka telah saling terbuka secara langsung.
Merasakan cinta tanpa perlu ada tanggung jawab atas kata,
248
beban kalimat, dan rangkaian huruf. Seperti para perempuan
lain, Khadijah tentu ingin mendengarkan apa yang dia
cintai, sukai, dan akui. Namun, Gunung Hira mengajarkan
sesuatu yang berbeda tentang cinta. Merasakan daripada
mendengarkan. Saling memandang daripada berbicara.
Dan itulah yang terjadi ketika mereka menapakkan setiap
langkah pendakian di Gunung Hira.
Khadijah sangat menyukai bebatuan kecil yang berjajar
di sisi kanan dan kiri ketika mendaki satu puncak ke
puncak lain. Ketika melewati jajaran batu-batu itu, ia ingin
membelainya, mengucapkan salam kepada bunga-bunga
kering berujung kuning yang seakan-akan bersembunyi di
balik bebatuan kecil itu.
Tanpa sadar, mereka telah tiba di gua-gua berbentuk
bulat yang berada di Gunung Hira itu. Ketika menunduk
dan masuk ke guoa kecil itu, muncul perasaan hangat dan
tenteram. Khadijah menyukai gua ini yang seperti balkon di
tepi gunung dan menghadap ke arah kota.
“Ketika berada di atas, apa yang kita lihat bertambah
banyak, tetapi apa yang diucapkan semakin berkurang,”
ucapnya dalam hati.
Matanya telah banyak menyaksikan kejadian tragis dan
tak aman yang terjadi setiap hari di jalan-jalan di dalam kota.
Perkelahian, ketidakadilan, atau pencurian. Semua itu kini
menjadi terlihat kecil. Keindahan ciptaan-Nya terlihat besar.
Khadijah memahami bahwa kebesaran dan keagungan Allah
memancarkan sinarnya ke seluruh arah.
Ke arah mana awan-awan pergi, bagaimana burungburung terbang, dari mana berasal sumber mata air
yang mengalir seperti air mata di dalam gua? Siapa yang
249
_ Mendaki Gunung Hira
meletakkan Matahari dan bintang-bintang di langit
layaknya lilin-lilin tergantung? Mengapa malam dan pagi
tak saling berebut hadir? Meskipun berada di luar kota, ke
mana perginya orang-orang yang tidur di pemakaman yang
semakin hari semakin dekat dengan pusat kota? Begitu
banyak pertanyaan melintas dalam pikiran.
Setiap kali Khadijah selalu mengulangi sesuatu yang
sama. Semakin mendekati puncak, apa yang kita bicarakan
semakin berkurang.
“Bukan pertanyaan yang berada di tangan kita,
melainkan siapa yang berbicara di dalam diriku? Siapakah
yang mendengarkan pembicaraan tak berhuruf dan tak
memerlukan kata-kata yang terus berlanjut ini?”
Khadijah binti Khuwaylid sadar bahwa seseorang
mendengarkan apa yang ia bicarakan. Dia merasakan
bahwa Allah mendengarkannya dan mengetahui segalanya,
terutama ketika orang-orang menjauhkan diri dari keramaian
untuk mendaki Gunung Hira dan berdiam diri.
Kadangkala, mata Khadijah berair tatkala memandangi
bias cahaya, padang pasir yang membentang luas, dan
ciptaan yang berbaris di depannya.
Dan Kakbah... Baitul Atik... rumah yang paling tua...
seakan-akan seperti sarang madu yang dikelilingi lebah
ketika memandangnya dari Hira.
Gua merupakan surga untuk Khadijah.
Sendiri bersama dengan orang yang dia cintai, penuh
dengan ketenteraman.
Jauh dari kota dan bermacam kesibukan.
Seperti teras yang tercuci bersih oleh sinar bulan, dua
orang yang berada di telapak tangan tertutupi dengan
rahasia-rahasia mereka sendiri.
250
Terselimuti.
Tersembunyi.
Terputus dengan waktu dan keramaian.
Mereka kadang menyalakan dupa yang mereka bawa di
dalam gua, lalu duduk bersama di atas syal yang diletakkan
di atas tanah. Gua yang penuh bebatuan itu, dengan
pancaran kasih sayang Khadijah, berubah menjadi kebun
anggur. Seakan-akan mereka seperti berada di sebuah oase
atau kebun buah-buahan. Khadijah mencium bau susu dan
bau buah tin. Gua memberikan hadiah bermacam-macam
aroma indah untuk mereka.
Ketika malam tiba, mereka tidur berselimut selendang
ungu muda. Setiap matanya terbuka, dia melihat al-Amin
yang sedang berdoa di bawah sinar bulan dan memandang
kejauhan. Bintang-bintang yang mendekat seakan-akan
menyentuhnya. Di malam hari yang memudahkannya
memilih serabut bulu di wajah sang bulan, hati Khadijah
tersiram air hujan cinta.
Ketika tiba waktunya untuk turun gunung, mereka juga
bertemu dengan orang-orang yang melakukan tahannuts,
terutama Zaid bin Amr. Karena tidak ingin membuatnya
sedih, al-Amin selalu memberikan salam kepadanya. Ia juga
memberikan makanan yang dibawanya. Al-Amin senang
mendengarkan ajaran tentang tauhid, hidup, dan mati.
Ketika al-Amin mendaki bersama dengan istrinya, ia pun
menceritakan kisahnya bersama Zaid kepada istrinya.
Pengalaman yang didapat di Gunung Hira menjadi
penyebab Khadijah memahami suaminya lebih dalam. Dari
Gua Hira itulah tumbuh kecintaan pada ibadah, berdoa,
tafakur, dan khususnya semangat ketika memandang
251
_ Mendaki Gunung Hira
Kakbah. Khadijah menganggap semua itu sebagai sebuah
kebaikan.
Bersamaan dengan itu, kasih sayang suaminya
mengarahkan dirinya dan hatinya untuk selalu terbuka.
Pada saat suaminya pergi mendaki, Khadijah sendiri atau
pembantunya akan mengawasi al-Amin untuk mengontrol
kesehatan dan kebutuhannya. Ketika beberapa kali tidak
sabar menunggu, Khadijah akan pergi sendiri secara
sembunyi-sembunyi. Dia tinggal di antara lubang gunung
yang tak jauh dari gua tempat suaminya berada. Dia tidak
pernah meninggalkan al-Amin sendiri...
Batu-batu yang menjadi tempat bersandar kepala di
malam hari seolah menjadi suaminya yang sedang dia peluk.
Bagaimana jika mereka berbicara bahwa Khadijah malam
ini berbaring dan tertidur di atasnya? Lidah-lidah yang
berdiri dan kemudian berbicara agar kaki-kakinya tidak
tenggelam, apakah mereka akan berbicara bahwa seorang
wanita agung telah melewatinya? Bagaimana dengan bulan
purnama? Wanita yang bersembunyi di antara bebatuan
untuk menyaksikan suaminya secara diam-diam telah
meredupkan sinarku. Akankah dia merasakan air mata
Khadijah yang turun?
Khadijah yakin kepada al-Amin. Kepercayaannya
penuh. Ia berada di jalan yang benar. Namun, Khadijah
adalah seorang wanita, seorang ibu, wanita yang tertutup
kepalanya, pelindung, pemberi, wanita yang melebarkan
sayapnya. Dia tidak bisa tidur di tempat tidurnya yang
hangat ketika suaminya berada di gua. Walaupun tertidur,
252
hatinya tidak pernah tidur. Khadijah melihat seluruh wajah
putra-putrinya ketika memandang wajah al-Amin... dia
adalah seorang kekasih dan juga seorang ibu.
Di malam yang lembut ini dia tidak bisa memilih?
Seorang kekasih ataukah seorang ibu?
Pohon ataukah gunung?
Syal ataukah air?
Dia sendiri pun tidak tahu
Meleleh… meleleh… meleleh... dia meleleh karena cinta
Muhammad….
253
Kelahiran Fatimah
S
etelah melewati hari-hari yang panjang di Gua Hira, alAmin mulai bisa melihat dan mendengar hal-hal tidak
biasa yang membuatnya tak nyaman. Ia mendengar suarasuara yang mengucapkan salam kepadanya ketika berjalan
melewati sesuatu di sekitarnya. Saat itu, ia berpikir bahwa
semua itu hanya khayalan, apalagi ketika tidak menemukan
seorang pun di sekitar tempat itu. Bunga-bunga, pohonpohon, dan batu-batu yang mengucapkan salam kepadanya
membuat dirinya ragu-ragu dengan apa yang ia pikirkan. Itu
semua mengingatkannya kepada pekerjaan gaib yang tidak
ia sukai. Ketika al-Amin menceritakan keadaan ini kepada
istrinya, seperti biasa Khadijah menenangkan al-Amin
dengan mengucapkan kata-kata yang lembut.
“Engkau selalu menjaga amanah yang diberikan
kepadamu dan selalu memberikan hak-hak kerabatmu.
Engkau juga selalu bersilaturahmi kepada mereka.”
“Engkau memiliki akhlak yang bagus dan berada di jalan
yang benar. Apa yang engkau lihat adalah benar dan pasti
ada alasan di balik semua itu.”
“Jangan khawatir, Allah akan melindungi orang-orang
yang berakhlak baik.”
“Kami semua memanggilmu al-Amin. Engkau adalah
orang yang disayangi dan dipilih oleh Allah. Namamu adalah
Muhammad.”
254
“Engkau adalah orang yang selalu dikenang dengan
kebaikan. Apa yang menimpa dirimu adalah sebuah kebaikan
dan memiliki hikmah.”
“Engkau adalah pemilik akhlak mulia. Engkau harus
percaya kepada dirimu.”
“Kekasihku, engkau adalah sosok ayah yang baik dan
saudara yang memikirkan saudaranya. Semua kebaikan itu
akan melindungimu dari segala kejahatan.”
Pada masa itu, para wanita memang memiliki sebuah
penilaian khusus jika seseorang telah menjauhkan diri
dari lingkungan, menjaga jarak, banyak berpikir, serta
banyak membaca dan berdoa. Mereka menyangka bahwa
orang seperti itu telah kehilangan kesadaraan atau dirasuki
makhluk gaib. Bahkan, orang-orang Yahudi dan Nasrani
pun dipandang setengah waras. Sosok seperti Waraqah
dan Zaid bin Amr telah dianggap sebagai pribadi yang
telah sepenuhnya dirasuki makhluk gaib. Sebenarnya, ini
merupakan naluri pembelaan diri yang bersumber dari
pemikiran tradisional pagan Mekah. Sebuah tindakan dan
perilaku yang tidak ingin menerima perbedaan dan tidak
ingin mendengar pertanyaan yang memicu perubahan.
Karena Khadijah tahu bahwa dirinya terhubung secara
batin dan menjadi saksi atas perilaku baik suaminya, dia
mulai memberikan dukungan yang lebih kepada sang suami.
Sebagian tanggung jawab suaminya dalam hal perdagangan
mulai ia ambil. Di samping itu, ia juga sangat perhatian
pada kegiatan yang berkaitan dengan hari-hari ibadah sang
suami.
Kepedulian ini juga dimaksudkan agar putri-putrinya
tidak merasakan kekosongan dari diri sang ayah. Apalagi,
255
_ Kelahiran Fatimah
ayah dari Zainab, Rukayyah, dan Ummu Kultsum ini sedang
melewati hari-hari yang penuh dengan kesulitan dan
beban. Selain itu, saat tiba di rumah, al-Amin pun dalam
keadaan sangat lelah. Semua itu dilakukan Khadijah untuk
membantu suaminya melewati keadaan tersebut sehingga
tidak memengaruhi jiwa anak-anak mereka.
Kadang, sang suami berada di gua selama empat puluh
hari. Pada saat seperti itu, Khadijah akan menugaskan orang
kepercayaannya untuk mengawasi sang suami. Namun,
suatu waktu dia sendiri yang akan mengawasi secara rutin
tanpa menyakiti perasaan suaminya. Apalagi, saat itu
banyak pembunuhan yang menimpa mereka yang sedang
menjalankan ibadah akibat permusuhan yang terjadi dengan
kaum Bani Umayyah. Hal itu tentu saja bisa juga menimpa
suaminya.
Karena Khadijah tahu bahwa dirinya
terhubung secara batin dan menjadi saksi
atas perilaku baik suaminya, dia mulai
memberikan dukungan yang lebih kepada
sang suami. Sebagian tanggung jawab
suaminya dalam hal perdagangan mulai
ia ambil. Di samping itu, ia juga sangat
perhatian pada kegiatan yang berkaitan
dengan hari-hari ibadah sang suami.
256
Menghadapi hal seperti itu, mereka harus bertindak cerdik
dan pintar. Beberapa orang yang membantu Khadijah dalam
permasalahan ini adalah Hakim, Zaid, Zubair yang terkenal
berani, Ali yang sangat cerdas, dan beberapa pemuda yang
memiliki hubungan keluarga dengan Bani Hasyim. Mereka
semua adalah orang-orang yang sangat menghargai dan
menghormati Khadijah. Tanpa menunggu permohonan dari
Khadijah, mereka tahu apa yang harus dilakukan.
Di samping itu, kehidupan al-Amin tidak hanya
dilewatinya dengan berdiam diri dan tafakur. Ia tidak pernah
duduk lama di satu tempat. Dirinya terus berjalan, mengalir
dengan sendiri dan berarah. Masuk dalam fase kehidupan
rohani dan memikul “beban berat”, pasti akan membuat
jiwa seorang manusia terkejut dan menjadi pengalaman
melelahkan. Masa sulit seperti itu tentu saja bukan hal
yang mudah untuk dilalui, meskipun memiliki Khadijah
yang selalu mencoba meringankan beban dan juga teman
perjalanan hidup yang cerdas dan bertanggung jawab.
Di masa-masa sulit seperti itu, Khadijah memikul beban
dan tanggung jawab yang dipikul al-Amin sebagai seorang
ayah dan laki-laki.
Khadijah seakan-akan merupakan bentuk al-Amin di
dunia ini, seperti lengan dan tangannya serta kesehariannya.
Seakan-akan mereka memiliki wujud, ruh, dan tubuh yang
sama. Ketika ruh al-Amin mengalami pengalaman itu, tubuh
Khadijah pun merasakan bebannya.
Dan memang, dalam arus kehidupan ini harus ada unsur
keseimbangan. Hal itu, menurut Khadijah, terjadi jika kita
merupakan seorang wanita, seorang ibu.
257
_ Kelahiran Fatimah
Permasalahan anak perempuan mereka, Hindun binti
Atik, yang saat itu sudah berada di usia untuk menikah
merupakan salah satu contoh. Khadijah ikut memikirkan
persiapan menikah, dengan siapa akan menikah, dan juga
permasalahan-permasalahan rumah tangga yang akan
dibangun. Sayi bin Umayyah, keponakannya, pernah
meminang Hindun, tetapi Khadijah tidak terburu-buru
memberikan keputusan. Ia memberitahu dan mendiskusikan
masalah-masalah seperti itu kepada al-Amin pada saat
suaminya tidak sibuk dan dalam kondisi yang nyaman.
Meski al-Amin sedang mengerahkan jiwanya untuk
beribadah, Khadijah tidak pernah mengambil keputusan
sendiri tanpa bermusyawarah dengannya. Khadijah percaya
dengan pengalaman hidupnya dan kecerdasaan al-Amin,
dan itu merupakan bukti bahwa mereka saling melengkapi.
Bahkan, Khadijah mampu meringankan beban ruhani yang
dipikul oleh al-Amin.
Khadijah tersenyum ketika al-Amin memanggil
namanya, meskipun hanya pendek dan singkat. Perkataan
dan ucapannya yang lemah lembut menyinari kehidupannya
seperti air terjun yang mengalir. Bagi Khadijah, hal itu sangat
berharga dibandingkan hidupnya.
”Khadijah... Khadijah... wahai Khadijah….”
Ucapan-ucapan itu seakan seperti apa yang dia lihat
dalam mimpinya: mentari yang terbit di dalam hatinya. Kasih
sayang dan cinta al-Amin telah menghapus semua kelelahan
dan kekhawatiran dalam hidupnya, yang membuat Khadijah
bangkit dan bersemangat kembali. Dan salah satu hari dari
hari-hari yang penuh dengan kekhawatiran dan kecemasan
adalah saat ini empat puluh hari sudah al-Amin berdiam diri
di Gua Hira.
258
Malam hari menjelang pagi, al-Amin mengetuk pintu
rumah. Ia tiba di rumah dengan tubuh bermandikan peluh
dan berwajah pucat, seakan-akan merasakan dingin yang
luar biasa. Ketika membingkai tubuh suaminya dengan
selimut, Khadijah memeluknya dengan penuh kasih sayang
dan cinta.
Keesokan hari, al-Amin menceritakan apa yang terjadi
pada malam itu.
Dirinya telah melewati empat puluh hari dengan berpuasa
dan beribadah sebelum tiba di sisi istrinya. Saat itu, sebelum
waktu berbuka tiba, ia terbangun setelah setengah tertidur
dan melihat sebuah mimpi yang mengejutkan. Ia kemudian
berlari menuju sisi istrinya. Dalam kondisi setengah tertidur,
mimpi yang dilihatnya serasa nyata.
“Wahai Muhammad, Allah mengirimkan salam untukmu.
Dia memerintahkanmu bersiap diri menerima salam dan
hadiah-Nya,” ucap suara kepadanya.
Di tangan Mikail, nama malaikat yang datang
menghampiri al-Amin, terdapat piring yang ditutupi kain
sutra, yang isinya memancarkan sinar. Malaikat itu meminta
al-Amin berbuka puasa dengan makanan yang ada di piring
itu. Al-Amin lalu menyantap makanan itu dan kemudian
meneguk minuman dingin yang diberikan kepadanya.
Selanjutnya, malaikat itu meminta al-Amin menjumpai
istrinya. Allah berirman akan menciptakan anak-cucu alAmin dari anak cucu yang bersih.
Anak cucu yang bersih…
Anak cucu yang bersih...
Perasaan al-Amin penuh dengan kesucian.
259
_ Kelahiran Fatimah
Di dalam maupun di luar terpancar sinar, seakan-akan
seperti tubuh yang transparan.
Kemudian, Khadijah menceritakan kisah selanjutnya
kepada orang-orang yang dia cintai.
“Aku sudah terbiasa dengan kesendirian pada waktu
itu. Saat tengah malam tiba, aku menutupi kepalaku dan
memakai pakaian lebar. Pintu-pintu kukunci. Setelah
melakukan ibadah, obor pun kumatikan. Aku lalu berbaring
di tempat tidur. Malam itu, aku setengah tertidur setengah
terbangun. Tiba-tiba pintu diketuk.
‘Selain Muhammad tak ada yang mengetuk pintuku,
siapa kau?’ ucapku.
Dia, dengan suara yang lembut dan manis, berkata, ‘Buka
pintunya, wahai Khadijah. Aku Muhammad!’
Aku pun membuka pintu. Dia lalu masuk ke dalam
rumah. Aku bersumpah kepada Allah yang menciptakan
langit dan yang mengeluarkan air dari tanah bahwa aku
merasakan beban Fatimah di badanku sebelum suamiku
menjauh dariku.”
Al-Amin memberikan kabar gembira kepada Khadijah
bahwa akan terlahir anak-cucu yang bersih. Mereka akan
memberikan nama Fatimah kepada bayi mereka yang akan
lahir.
Bayi ini akan memiliki wajah dan tubuh yang sama
dengan ayahnya. Dia akan tumbuh dan besar seperti sebuah
bunga dengan kecerdasaan, kepintaran, dan akhlak yang
bagus di bawah bimbingan ibundanya. Dia adalah Zahra,
sebuah sungai yang kebenaran kata-katanya menurun dari
ayahandanya, sementara usaha dan keberanian datang dari
ibundanya.
260
Khadijah sadar bahwa ia akan menghadapi hari-hari
penuh dengan ujian saat melahirkan putrinya. Kabar
mengenai kesulitan Khadijah terdengar sampai ke telinga
para wanita terhormat Mekah. Ia pun sangat terkejut ketika
para wanita terhormat Mekah memalingkan wajah darinya.
Khadijah sadar bahwa ia akan
menghadapi hari-hari penuh dengan
ujian saat melahirkan putrinya. Kabar
mengenai kesulitan Khadijah terdengar
sampai ke telinga para wanita terhormat
Mekah. Ia pun sangat terkejut
ketika para wanita terhormat Mekah
memalingkan wajah darinya.
“Engkau berkhianat dan tak mendengarkan perkataan
kami. Seakan-akan menikah dengan Muhammad, anak yatim
Abu halib yang tidak mempunyai kekayaan, tidak cukup
untukmu lagi. Engkau dan keluargamu menghina dan tidak
menghormati keyakinan nenek moyang kita. Kalian tidak
mematuhi kami. Kalian membangkang dari adat-adat kita.
Ucapan-ucapan kalian tidak akan kami dengar. Kami tidak
akan datang ke tempat kalian! Kami tidak akan melakukan apa
pun untuk meringankan beban kalian. Rasakan kesendirian
kalian. Kalian berhak mendapatkannya!”
261
_ Kelahiran Fatimah
Kata-kata yang berujung tajam, bersayap, dan yang tidak
pantas untuk saudara dan tetangga. Kata-kata kotor dan
menyakitkan.
Akan tetapi, Khadijah memiliki sahabat-sahabat dan
pembantu yang setia kepadanya karena Allah. Perasaan
sakit yang ia rasakan ketika akan melahirkan, baik karena
kesulitan, keterkejutan, maupun kekerasan hati. Saat orangorang yang menunggu kelahiran datang, ketika matanya
terbuka dan tertutup, seakan-akan dirinya merasakan
sepasang tangan yang menghapus keringat di dahinya
dengan penuh kasih sayang.
Bisikan suara terdengar di telinganya.
“Kami adalah saudaramu.”
Begitulah suara-suara yang didengarnya, seperti dari ruh
para perempuan.
“Wahai Khadijah! Jangan bersedih!” ucap suara-suara
manis dan bersahabat itu.
Mereka pun menceritakan kisah putri Imran, Maryam,
dan putri Muzahim, Asiyah. Saat itu, seakan-akan tangantangan mereka menyentuh punggung, perut, dan pundak.
Tiba-tiba, rasa sakit yang menghinggapinya terasa ringan.
Dan seperti itulah qadar hidup yang seakan-akan terangkat
ke udara oleh seekor burung. Ketika kesedihan dan beban
Khadijah terlepas, proses kelahiran pun menjadi mudah.
Di saat proses melahirkan, Khadijah jatuh pingsan.
Cahaya pun terpancar dari kepala bayi yang lahir, seakanakan menyinari seluruh Mekah. Saat pingsan, Khadijah
seperti mendengar suara-suara para perempuan, melihat
mereka menggendong bayinya sambil tersenyum, serta
menyaksikan bayi dimandikan dan dipakaikan kain
262
berwarna putih di tubuhnya. Suatu jendela seakan-akan
terbuka untuk Khadijah ketika sedang melahirkan. Satu
sisinya terlihat ke arah dunia, sementara sisi lainnya ke arah
lain. Dalam dan luar, tempat ini dan tempat lain, satu sama
lain saling bercampur tidak jelas pada saat itu. Para ruh
perempuan mengucapkan selamat untuk Khadijah. Orangorang yang didekatnya, saudara wanitanya, para pelayan
wanitanya, dan orang-orang lemah Mekah saling berebut
untuk mengucapkan selamat kepadanya. Dan dalam waktu
yang sama, air susu Khadijah mulai mengalir.
Secara adat, bayi Fatimah seharusnya diberikan kepada
ibu susu. Namun, tidak ada ibu susu yang cocok untuk
Fatimah selain ibunya sendiri. Dia hanya akan dibesarkan
dengan air susu ibunya.
263
DanWahyu Pun Turun
“
K
hadijah! Ketika beribadah di gua, aku melihat
sebuah cahaya dan mendengar sebuah suara.
Aku sangat cemas dengan diriku. Aku takut akan menjadi
seorang peramal jika hal ini terus berlanjut. Aku bersumpah
membenci berhala-berhala dan peramal-peramal yang tidak
lebih dari segalanya.”
“Wahai anak Pamanku! Jangan berkata seperti itu! Allah
tidak akan pernah menyakitimu!”
Ketika pembicaran seperti itu mulai semakin banyak
terjadi, Khadijah yang merupakan teman rahasia dan juga
pendukung al-Amin menceritakan keadaan itu kepada Abu
Bakar, salah satu teman dekatnya. Abu Bakar dipilihnya
karena ia adalah salah satu pembesar Mekah yang dipercaya
dan sangat dicintai al-Amin. Kalau bukan Abu Bakar, ia tidak
akan pernah menceritakan siapa pun tentang kecemasannya
itu.
“Jemput dia. Kemudian, pergilah menemui Waraqah bin
Naufal. Mungkin ia bisa memberikan nasihat,” ucap Abu
Bakar sambil memandang Khadijah dengan pandangan
yang penuh dengan harapan dan ampunan.
Abu Bakar memegang tangan al-Amin penuh dengan
kasih sayang dan mengucapkan salam ketika bertemu
dengannya di jalan. Tangannya melingkari lengan al-Amin.
“Ayo, pergi bersamaku ke tempat Waraqah,” ucapnya
dengan penuh keceriaan.
264
“Siapa yang memberi tahumu tentang apa yang terjadi
padaku?”
“Istrimu, Khadijah.”
Setelah itu, mereka berdua melakukan perjalanan
bersama ke tempat Waraqah. Di sana terdapat sebuah rumah
yang selalu menyambut mereka dengan penuh kebaikan dan
kegembiraan.
Al-Amin menceritakan apa yang terjadi dengan dirinya
kepada Waraqah. Abu Bakar dan Khadijah pun ikut
mendengarkan.
“Di tempat aku berdiam diri, tidak ada siapa pun selain
diriku. Aku mendengar suara yang memanggil namaku dari
balik badanku, ‘Wahai Muhammad, wahai Muhammad’.
Aku mendengar suara itu, tapi tidak melihat siapa pun yang
mengucapkannya.”
Waraqah memberikan jawaban sambil mengelus
jenggotnya.
“Tidak akan ada sesuatu yang akan terjadi padamu dari
suara itu.”
“Ketika mendengar suara itu, aku menjauh sambil
ketakutan. Aku pun pergi ke tempat lainnya.”
“Jangan lakukan seperti itu! Ketika suara itu terdengar,
sampai kau mendengar semua yang akan dikatakan padamu,
kau harus duduk diam di sana! Kemudian, datanglah
kepadaku dan ceritakan apa yang kau dengar di sana.”
Agar tak memberikan banyak tekanan kepada al-Amin,
Waraqah menegaskan kembali bahwa Muhammad adalah
orang yang baik dan memiliki akhlak bagus. Seperti Khadijah,
ia pun memberikan dukungan kepada keponakannya itu.
Ia menjamu tamunya dengan minuman dingin dan buah-
265
_ Dan Wahyu Pun Turun
buahan. Ia berusaha menjelaskan apa yang terjadi di dalam
kehidupan.
Setelah melakukan pembicaraan di rumah Waraqah,
Khadijah kembali sadar bahwa dirinya harus memberikan
seluruh kekuatannya untuk mendukung al-Amin. Ia lalu
memutuskan tidak membiarkan al-Amin menanggung
beban ini seorang sendiri.
Khadijah menenangkannya. Ia
memberikan air untuk membasahi bibir
al-Amin yang pecah. Karena sudah
terbiasa dengan ucapan-ucapan itu, ia
tidak begitu fokus dengan mimpinya.
Yang akan disaksikan al-Amin tidak
lama kemudian akan mengejutkan apa
yang selama ini ia alami.
Sekali lagi, mereka bersama-sama mendaki Gunung Hira
untuk beribadah. Saat malam tiba, mereka tertidur di antara
jajaran bebatuan. Pada saat itulah al-Amin mendengar
seseorang mengucapkan “iqra”, bacalah, di dalam mimpinya.
Namun, ia tidak melihat satu orang pun yang mengucapkan
kata itu. Ia lalu terbangun sambil terkejut. Khadijah yang
ikut terbangun bertanya mengenai apa yang terjadi.
266
“Aku sadar bahwa kata-kata yang terucap di dalam
mimpiku seakan-akan tertulis di dalam hatiku,” ucap alAmin.
Khadijah menenangkannya. Ia memberikan air untuk
membasahi bibir al-Amin yang pecah. Karena sudah
terbiasa dengan ucapan-ucapan itu, ia tidak begitu fokus
dengan mimpinya. Yang akan disaksikan al-Amin tidak lama
kemudian akan mengejutkan apa yang selama ini ia alami.
Kali ini, Khadijah tidak berada di sisinya. Al-Amin berada
di Gua Hira sendiri.
Di suatu hari di akhir hari-hari bulan Ramadan, ketika
kembali bertafakur di Gua Hira dan terbenam dalam
pikirannya yang dalam, dirinya seakan-akan melakukan
perjalanan untuk menemukan jawaban atas pertanyaanpertanyaan yang menghantuinya. Ketika kepalanya
terangkat, ia melihat sosok yang ia kenal dalam mimpinya
sedang memandangnya. Al-Amin diselimuti perasaan takut
dan cemas ketika berhadapan dengan sosok itu.
Sosok itu pun kemudian berjalan mendekatinya perlahanlahan. Setelah menunduk, intonasi suaranya yang tegap dan
menggetarkan batin manusia terdengar.
“IQRA!” ucapnya.
Suaranya seakan-akan ledakan yang datang dari langit.
Di dalam gua, saat tak ada orang lain kecuali al-Amin,
perintah “bacalah” di berikan kepadanya. Sosok yang
memerintahkan itu persis berada di hadapannya dengan
posisi menundukkan diri ke arah al-Amin.
“Aku tidak bisa membaca,” jawab al-Amin dengan
perasaan takut.
Mendengar jawaban tersebut, sosok itu langsung
memegang erat tubuh al-Amin. Ia pun merasakan tulangtulangnya tertekan.
267
_ Dan Wahyu Pun Turun
“IQRA!”
Karena himpitan yang sangat kuat, al-Amin kesulitan
menghirup napas. Ia bahkan mengira dirinya akan tewas.
“Aku tidak bisa membaca!”
Sosok itu sekali lagi mencengkeram dengan kekuatan
yang lebih besar. Kali ini, al-Amin merasakan tubuhnya
seperti hancur berkeping-keping.
Bacalah!
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan
Menciptakan manusia dari segumpal darah
Bacalah
Dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya!
Hati al-Amin sudah seperti sebuah kelereng dan ucapanucapan itu dituliskan di atas permukaan kelereng tersebut;
penuh dengan kesakitan. Sangat berat, tetapi jelas dan tidak
akan terhapuskan.
Sosok yang telah dikenal di dalam mimpinya itu lalu
pergi seusai mengucapkan kata-kata itu.
Sekali lagi, al-Amin berada di gua sendiri.…
Ketika menceritakan kejadian yang dialaminya, kata
yang pertama keluar dari bibirnya adalah ketakutan. Ia
menggambarkan betapa “beratnya beban” yang dipikul
dirinya.
Tubuhnya seakan-akan membeku karena perasaan
takut.
268
Bacalah!
Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang menciptakan
Menciptakan manusia dari segumpal darah
Bacalah
Dan Tuhanmulah yang Maha
Pemurah
Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam
Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya!
Badannya masih bergetar, kakinya saling merapat dan
terasa lemas untuk digunakan berjalan. Mungkin hal itu
akibat cengkeraman erat sosok itu ke tubuh al-Amin.
Jantungnya pun berdegup kencang naik turun.
Allah mengajarkan ilmu tentang alam semesta kepada
al-Amin yang tidak bisa membaca ketika di dalam gua.
269
_ Dan Wahyu Pun Turun
Namun, ia sekarang memiliki kemampuan membaca dan
menafsirkan makna-makna ilahi di dunia.
Al-Amin turun menuruni Gunung Hira penuh dengan
kecemasan.
Tak tahu ke mana ia akan pergi, apa yang akan dikatakan,
kepada siapa akan menjelaskan, dan bagaimana menjelaskan
apa yang dialaminya?
Saat tiba di sisi Khadijah, napasnya masih memburu.
Tubuhnya pun penuh dengan peluh. Khadijah merupakan
pantai keselamatan baginya....
“Selimuti aku, selimuti aku,” begitulah permintaan AlAmin saat masuk ke dalam rumah.
Dengan penuh kasih sayang, Khadijah membantu alAmin yang cemas untuk berbaring di tempat tidurnya.
Setelah mendengarkan kisah yang dialaminya, Khadijah
mencoba menenangkan al-Amin dengan mengucapkan
kata-kata yang benar.
“Jangan berpikir buruk tentang dirimu. Bergembiralah!
Aku bersumpah kepada Allah bahwa Dia tidak akan
pernah membuatmu malu! Engkau telah melindungi dan
memerhatikan kerabatmu. Engkau pun selalu berkata
jujur dan membantu mereka yang membutuhkan. Engkau
membantu orang-orang yang tidak memiliki apa-apa!”
Khadijah tidak mengetahui bahwa makhluk yang
mendatangi al-Amin adalah malaikat yang bernama Jibril.
Dia juga tidak tahu bahwa suaminya telah terpilih menjadi
seorang nabi.
Dia juga tidak tahu tentang wahyu yang turun kepada alAmin.
Sama sekali tidak tahu.
270
Namun, Allah yang memberikan wahyu dan mengajarkan
al-Amin membaca telah menuliskan di hati dan pandangan
Khadijah.
Jibril adalah malaikat yang mengantarkan wahyu,
sementara al-Amin penerima wahyu dan Khadijahlah
yang mendukung kebenaran wahyu yang turun kepada
suaminya.
Tangan-tangan kasih sayang Khadijah dengan cepat
menyelimuti tubuh al-Amin ketika ia berkata, “Selimuti
aku!” Dan ucapan-ucapan Khadijah yang menenangkan alAmin merupakan ilham dan ampunan yang diberikan oleh
Allah.
Setelah tenang karena ucapan-ucapan Khadijah, mereka
memutuskan berkunjung ke tempat Waraqah bersamasama.
Waraqah yang mendengarkan napas kecemasan ketika
mereka berada di depan rumahnya langsung menyadari
bahwa keadaan saat ini berbeda dengan sebelumnya.
Sepupu Khadijah itu mempersilakan mereka masuk dan
duduk di ruang yang membuat mereka nyaman untuk
berbicara. Ketika Waraqah mendengarkan semua kejadian
yang dialami di Gua Hira dan wahyu pertama yang turun,
dirinya mulai berteriak mengucapkan kata syukur.
“Namus-u Akbar!”
“Namus-u Akbar!”
“Wahai Muhammad, makhluk yang kau lihat itu tidak
lain adalah Namus-u Akbar yang juga mendatangi Musa.
Kau akan menjadi seorang nabi. Ah! Seandainya aku bisa
memenuhi ajakanmu dan di hari itu aku masih muda.
Seandainya aku bisa berada di sisimu sebagai pendukung
271
_ Dan Wahyu Pun Turun
ketika kau diusir dari Mekah.”
Khadijah dan suaminya terkejut dengan ucapan dan
sujud syukur yang Waraqah lakukan di depan mereka.
“Berarti, suatu hari kaumku akan mengusirku dari Mekah,
benarkah itu?” tanya al-Amin penuh dengan tanda tanya.
Waraqah menjawab pertanyaan itu dengan nasihatnasihat yang keluar dari bibirnya.
“Ini semua merupakan sebuah ujian yang dialami oleh
nabi-nabi lainnya. Kekuatan kebatilan pasti menginginkan
ucapan-ucapan yang benar untuk dibuat diam dan dijauhkan.
Dan mulai detik ini, hari-hari yang sulit menanti kalian
berdua. Tidak seorang pun yang tidak akan mendapatkan
siksaan dan menghadapi masalah dengan apa yang akan kau
Tangan-tangan kasih sayang Khadijah
dengan cepat menyelimuti tubuh alAmin ketika ia berkata, “Selimuti aku!”
Dan ucapan-ucapan Khadijah yang
menenangkan al-Amin merupakan ilham
dan ampunan yang diberikan oleh Allah.
bawa ini. Bertahan dan bersabarlah!”
Sebelum hari itu pun tiba, orang-orang di sekitar
Muhammad sebenarnya sudah merasakan aura bahwa ia
adalah pribadi yang dianggap sebagai “utusan terakhir yang
ditunggu”. Namun, mereka tidak pernah menganggap serius.
272
Yang berada di dekatnya pun tidak pernah mendengar
langsung harapan seperti itu dari bibir al-Amin. Karena
kerendahan hati yang al-Amin miliki, ia tidak pernah
berpikir seperti itu.
Kejadian-kejadian yang tidak masuk akal yang ia alami
selama tiga tahun sebelum menerima wahyu kenabian
membuatnya lebih berhati-hati untuk tidak melakukan
kesalahan. Ia tidak memercayai pikiran dan perasaan
duniawinya. Bahkan, ia sering berpikir bahwa akalnya bisa
menuntunnya ke jalan yang salah. Agar bisa memutuskan
sesuatu yang ia alami dengan kepala dingin, ia tidak pernah
membeda-bedakan dan merasa tinggi derajat. Dirinya
justru lebih banyak berdoa dan berlindung kepada Allah
dari bisikan-bisikan setan.
Khadijah menghampiri Addas, seorang budak Nasrani
milik Utbah bin Rabi’ah, untuk mengumpulkan informasi
tentang Namus-u Akbar yang dibahas Waraqah. Addas
merupakan pemeluk Nasrani yang berperilaku baik.
Setelah mengunjuk salam dan menanyakan keadaannya,
Khadijah mulai bertanya tentang Namus-u Akbar. Addas
terkejut dengan pertanyaan yang diajukan Khadijah. Ia tidak
pernah mengira ada seseorang yang mengetahui Namus-u
Akbar di lingkungan pagan Mekah.
Menurut penjelasan Addas, Namus-u Akbar merupakan
malaikat yang memiliki derajat paling tinggi di antara
malaikat lainnya. Sejauh ini, tidak ada orang yang melihatnya
selain para nabi.
“Kudus! Kudus!” teriak Addas sambil bergetar.
“Dia berada di samping Musa ketika terluka di laut
dan menemaninya mendaki Gunung Tsur. Nabi Isa juga
273
_ Dan Wahyu Pun Turun
merupakan temannya. Ia adalah malaikat yang bernama
Jibril!”
Khadijah semakin tenggelam dalam kain penutupnya.
Ia bergetar setelah mendengar kata-kata suci yang masuk
ke dalam akalnya. Ia pun pergi untuk kembali menuju
rumahnya.
Ibunda kota Mekah lalu memohon kepada suaminya
untuk memberitahukan dirinya jika kembali bertemu
dengan malaikat. Khadijah takut dan cemas suaminya
tertipu dengan bisik-bisikan setan dan jin.
Suatu hari, Khadijah bertanya apa yang terjadi ketika
mereka duduk di rumah dan melihat dahi al-Amin penuh
dengan keringat dan bergetar, seakan-akan tertindih beban
yang sangat berat.
“Datang.… Malaikat datang....”
Karena memiliki kecerdasan dan irasat, Khadijah
memikirkan cara untuk menyakinkan al-Amin dan dirinya
bahwa makhluk yang datang itu adalah malaikat. Ia Kemudian
mendekati suaminya dan duduk di sisi kanannya.
“Engkau masih melihatnya?”
“Ya, aku masih melihatnya.”
Ia kemudian berdiri dan duduk di samping kiri
suaminya.
“Masihkah kau melihatnya?”
“Ya, aku masih melihatnya”
Khadijah lalu pergi ke belakang tubuh sang suami dan
memeluknya, seakan-akan menjadi selimut bagi al-Amin.
Dan pada waktu itu pula penutup kepala Khadijah terbuka
ke samping dan turun ke arah pundaknya.
274
“Engkau masih melihatnya?”
“Tidak. Setelah engkau pergi ke belakangku, dia pergi.”
Setelah mengalami pengalaman kecil itu, Khadijah binti
Khuwaylid sadar bahwa makhluk yang datang itu bukan jin
atau setan. Sosok itu pasti malaikat yang bernama Jibril,
yang memiliki derajat paling tinggi di antara para malaikat,
seperti yang diceritakan Waraqah dan Addas. Kemahraman
laki-laki dan perempuanlah penyebab sosok itu pergi.
Ketika Khadijah memeluk suaminya dan penutup kepalanya
terbuka, sosok Jibril itu menjauh dari mereka. Namun, jika
yang datang adalah jin atau setan, mereka tidak akan pergi
dan tidak bosan dengan hal kemahraman.
Penjelasan cerdas Khadijah membuat suaminya puas
juga. Al-Amin mencium Khadijah di antara kedua matanya.
Ia tak hanya besar karena kedermawanan dan kasih sayang,
tetapi juga kecerdasaan, irasat, cahaya, dan visinya. Ia
adalah wanita yang berhak dikenang dengan nama besarnya.
Khadijah al-Kubra yang memiliki kecerdasan, kepintaran,
dan pandangan yang luas.
Al-Amin merasa semakin siap untuk bertemu dengan
malaikat. Dirinya menunggu berita baru dari Allah. Ia selalu
berusaha untuk mempersiapkan dirinya dengan baik secara
jasmani dan rohani.
275
Detik Kehidupan
K
hadijah menjadi istri seorang nabi. Dia menjadi
orang pertama yang menerima dan mendukung alAmin menjadi “utusan terakhir”.
Tidak hanya sebatas memercayai kebenaran, tetapi juga
menjadi pembantu yang setia, penolong, penenang, dan
pendengar masalah dalam kesibukan duniawi.
Khadijah seperti daun-daun pintu. Pada bagian dalam
terdapat mutiaranya utusan terakhir, sementara di luar
tampak arus-arus kehidupan yang mengalir. Ia adalah
wanita dengan kemampuan seperti gapura megah yang
berdiri kokoh, pemisah yang tipis di antara kedua sisi itu. Ia
seperti gerbang besar yang terbuka dan tertutup di sebuah
badai. Kadang, apa yang ada di dalam berada di luar atau
yang berada di luar mengisi yang di dalam.
Seorang ayah dan suami di luar, seorang nabi dan rasul
di dalam.
Dalam atau luar.
Luar atau dalam.
Khadijah menjadi seorang ahli yang menerima tugas
untuk menyeimbangkan gejala alam yang terjadi dalam arus
kehidupan.
Meskipun suaminya seorang utusan terakhir, dalam
waktu yang sama ia juga hidup di tengah kota. Ia merupakan
manusia yang hidup dengan manusia lainnya di dunia ini. Ia
bertugas menjelaskan dan mengajak manusia di sekitarnya
pada kebenaran. Di samping itu, ia juga terhubung dengan
276
dunia sebagai seorang suami, ayah, saudara, atau tetangga.
Ia memiliki tanggung jawab.
Di sisi itulah Khadijah harus selalu berada di samping
suami sekaligus rasul untuk membantunya bergerak
seperti sebuah waktu yang berkerja tanpa kesalahan dalam
hubungan-hubungan yang rumit dan konsisten.
Detik Kehidupan!
Tangan yang mengatur dan menyambungkan rasul
dengan kehidupan adalah tangan Khadijah.
Al-Amin sekali lagi berdiam diri, mengasingkan diri
dengan kekasihnya, berada di gua, siang dan malam,
mempersiapkan diri untuk kabar gembira dan kata-kata
yang berat. Namun, kakinya juga menginjak ke dalam tanah
kehidupan. Ia adalah seorang suami dan ayah.
Khadijah menikahkan putrinya, Hindun binti Atik,
dengan keponakannya, Sayi bin Umayyah. Selanjutnya,
Khadijah pun menjadi seorang nenek. Hindun memberi nama
putranya dengan nama al-Amin yang telah membesarkan
dirinya dengan penuh kasih sayang: Muhammad.
Hanya dengan melihat perilaku itu, kita bisa melihat
bukti yang paling besar bahwa al-Amin adalah “sang ayah
rumah tangga”. Dia mencium dan memeluk Muhammad
kecil dengan penuh kasih sayang.
Perempuan menjadi pusat nadi kehidupan di rumah.
Jumlah perempuan di rumah semakin bertambah. Zainab,
yang dikenal dengan kecantikannya, dan anak-anak lainnya,
bahkan sekarang sudah menjadi calon istri seorang laki-laki
Mekah. Apalagi, setelah kakak perempuannya menikah dan
menjadi seorang ibu, jumlah calon ibu mertua pun semakin
bertambah.
277
_ Detik Kehidupan
Di samping kabar-kabar mukjizat suaminya dan
permasalahan-permasalahan khusus yang semakin
bertambah, di sisi lain kesibukan-kesibukan duniawi
berbaris di depan Khadijah. Tanpa mempunyai waktu untuk
mengeluh, ia terus berjalan tanpa kekurangan, seakan-akan
konduktor okestra yang mengatur nada dengan mudahnya.
Namun, Allah yang menurunkan hujan salju di seluruh
gunung memberikan sebuah keinginan kepada Khadijah
yang terbuat dari perak di dunia ini. Khadijah selalu berusaha
menyelesaikan semuanya. Ia memang menyelesaikannya,
karena terlahir lebih dulu dan yang berjalan lebih dulu.
Anak laki-laki saudara perempuannya, Halah binti
Khuwaylid, yang bernama Abu’l As adalah seorang remaja
laki-laki yang segan kepada Khadijah karena kemampuannya
dalam perdagangan dan memiliki pemikiran yang luas.
Selain ikut membantu dalam urusan dagang, ia juga sebisa
mungkin membantu memikul tanggung jawab yang dipikul
Khadijah. Ia mengenal keadaan khusus saudara iparnya, alAmin, yang sudah berkelanjutan selama lima tahun ini. Ia
pun sangat menghormati al-Amin. Abu’l As bin Rabi juga
terpengaruh dengan kemampuan, akhlak, serta tingkah laku
yang dimiliki Zainab.
Khadijah yang memerhatikan secara dekat akan keadaan
khusus suaminya merasa bahwa hal itu masih terlalu
dini. Namun, setelah keinginan itu sudah bulat, dirinya
memutuskan untuk membicarakannya dengan sang suami.
Setelah bermusyawarah dengan suami dan putrinya, mereka
menyetujui pernikahan itu meskipun masih terlalu dini.
278
Hikayat Seekor Rusa
Z
ainab binti Muhammad mulai melakukan persiapan
pernikahan...
Sebuah kekhawatiran yang akan dilewati berhari-hari.
Mencuci wol, mengeringkannya, mempersiapkan kasur dan
tempat tidur, membeli karpet-karpet yang akan diletakkan
di rumah baru, menjahit baju-baju yang akan dipakai
pengantin pria dan wanita, menyiapkan alat-alat rumah
tangga yang akan dipakai di rumah baru, membangun
rumah, serta membeli dupa dan tirai-tirai. Pastinya semua
ini tidak mudah.
Di antara orang-orang yang mencuci kain wol adalah
Berenis dan Dujayah. Kolam yang bisa digunakan para
wanita secara bersama-sama adalah sebuah oase yang
berada di pesisir kota arah Hudaibiyah. Bukan hanya para
pembantu wanita, murid-murid, dan orang-orang yang
bekerja untuk sehari saja, melainkan juga banyak wanita
terhormat yang ikut meramaikan pekerjaan itu, layaknya
sebuah acara hiburan.
Karena hanya sekumpulan wanita, hal itu membuat
mereka nyaman bergerak dan beraktivitas. Diselingi dengan
nyanyian dan sedikit acara wisata, mereka menyelesaikan
persiapan mahar. Di samping itu, mereka juga mencoba
menahan panas kain-kain wol yang membakar tubuh manusia
dengan cara mendendangkan lagu-lagu penuh kebahagiaan.
Baik gadis maupun janda, mereka menyelesaikan pekerjaan
pencucian kain wol dengan penuh sukacita.
279
_ Hikayat Seekor Rusa
Tempat itu jauh dari kesibukan rumah tangga mereka.
Hari-hari pencucian kain wol seperti menyiapkan sebuah
rumah musim panas. Lihatlah, mereka juga membawa
alat-alat masak. Pada saat itu, mereka akan menjemur kainkain wol yang telah dicuci, melipat yang telah kering, serta
membersihkan tempat tidur yang berat dan menghilangkan
debu kasur. Tak lupa, mereka akan ditemani kopi-kopi yang
berbau khas, biskuit, kue-kue, dan juga manisan.
Berenis mendapat tugas menjahit karena dia lebih
berpengalaman dibandingkan yang lain. Sementara itu,
Dujayah menjadi pendamping Berenis dan bertugas
memotong tali-tali menjadi tipis. Selain itu, ia juga bertugas
mengikat kain-kain wol putih yang berbentuk bulat yang
dikerjakan para nenek. Membentuk kain wol menjadi
bulatan lebih kecil memang menjadi tugas para wanita
muda. Di “hari kain wol” ini, para wanita dari bermacam
umur diselimuti rasa khawatir yang manis.
Di hari itu, dua pemburu asing datang menghampiri tenda
para perempuan. Mereka datang di waktu yang berbeda.
Berenis pun tidak mengetahui apa yang mereka inginkan
dan membuat Dujayah tenggelam dalam kebingungan.
Orang pertama adalah pemburu yang berburu di pesisir
Mekah. Ia adalah seorang laki-laki Badui yang terkenal suka
berburu burung. Ketika para wanita itu melihat sosok gelap
dan hitam yang datang menghampiri, mereka bersiap-siap
dan memilih salah satu dari mereka untuk menghampiri
pemburu itu. Mereka juga memberi peringatan agar tidak
terlalu dekat dengannya.
Perempuan yang mendapat tugas menghampiri pemburu
itu datang kembali membawakan cerita tentang rusa.
280
Rupanya, pemburu itu sangat terkejut dengan kejadian yang
dia alami dan bersumpah tidak akan berburu lagi.
“Aku mencari seorang pemuda bernama Muhammad alAmin. Aku tidak bisa pergi jauh darinya,” ucapnya.
Perempuan yang bertugas itu langsung mengerti siapa
yang pemburu itu maksud. Ia menyuruh pemburu itu pergi
ke Gua Hira, tempat al-Amin melakukan pengasingan diri.
Pemburu itu pun hilang dari pandangan, meninggalkan
cerita yang seperti sebuah sihir.
“Aku adalah seorang pemburu padang pasir yang
terkenal karena kemampuanku membuat jebakan. Saat itu,
aku menangkap seekor rusa yang memiliki titik-titik yang
indah. Aku tak merasakan penyesalan ketika memandang
mata tuanya, tanpa memerhatikan betapa banyak air susu
di dadanya. Anak-anaknya yang akan mencari dirinya pun
tidak terbesit di kepalaku. Aku meninggalkan rusa itu sendiri
dan berburu hewan lain lagi.
Setelah kepergianku, datang seorang pemuda yang
menghampiri rusa itu karena mendengar tangisannya.
Pemuda itu kemudian bertanya kepada rusa apa yang terjadi
padanya
‘Mengapa engkau menangis?’
Rusa itu menjawab dengan bahasanya. ‘Ah, Ahmadku,
jadilah penjaminku. Aku harus pergi ke puncak gunung dan
menyusui anak-anakku yang kelaparan. Setelah itu, aku akan
berlari kembali lagi ke jebakan ini.’
‘Dengan senang hati,’ ucap pemuda yang memiliki hati
yang besar dan penuh dengan kasih sayang itu.
Pemuda itu lalu melepasakan jebakan yang mengikat di
pergelangan kaki rusa dan memasangkan ke pergelangan
281
_ Hikayat Seekor Rusa
kakinya. Dia menjadi penjamin bagi rusa dan membiarkan
rusa itu menemui anak-anaknya.
Saat kembali lagi, aku terkejut melihat pergelangan kaki
pemuda itu terikat jebakanku.
‘Apa yang terjadi wahai anak Adam, siapa namamu dan
apa pekerjaanmu? Aku seorang pemburu padang pasir dan
mengapa engkau merusak jebakanku? Bawa kembali rusaku
atau bayar dengan uang!’ seruku.
Pemuda yang pergelangan kakinya terikat dengan
jebakanku itu pun berdiri.
‘Aku Muhammad al-Amin. Itu adalah namaku. Rusa itu
berjanji padaku akan kembali lagi. Kalau tidak kembali lagi
ke sini, jadikanlah aku hasil jebakanmu,’ ucapnya.
Tidak lama kemudian, rusa yang tadi terjebak datang
kembali bersama anak-anaknya yang belum bisa berlari
dengan benar. Mereka langsung mencium kaki pemuda
yang menjadi penjamin itu. Sambil menangis, mereka
mengucapkan “Rasulullahku” ke pemuda itu. Ternyata,
induk rusa itu berpamitan dan membelai anak-anaknya
setelah menyusui mereka. Namun, anak-anak rusa itu juga
ingin ikut dan mencium kaki-kaki Rasulullah yang menjadi
penjaminnya. Setelah melihat mereka mencium pergelangan
kaki Muhammad al-Amin yang berdarah, aku bertobat dan
beristigfar. Aku bersumpah tidak akan melakukan perburuan
lagi.
Itulah ceritaku. Aku kemudian mencari pemuda yang
terjebak di perangkapku. Dan Rasulullah.... apakah aku di
bumi atau di langit? Berhari-hari aku mencari jejak-jejak
kakinya....”
282
Ketika para perempuan mendengarkan kisah yang
diceritakan perempuan yang mendapat tugas itu, mereka
menangis tersedu-sedu, sampai mereka tak sadar dengan
kedatangan orang kedua yang berada di kejauhan
berselimutkan debu.
Kali ini, Berenislah yang menghampiri orang kedua yang
datang setelah pemburu pertama melakukan perjalanan ke
Gua Hira. Dia berlari dan kemudian loncat menunggangi unta
yang berdiri di samping kolam tempat kain wol. Ia memakai
penutup kepala yang menutupi mata dan pundaknya agar
terlindung dari terik mentari dan terlihat menyakinkan di
mata orang asing. Orang-orang yang melihat kepiawainnya
dalam menaiki unta akan mengira bahwa dirinya adalah
seorang laki-laki. Ia mengingatkan kita pada pahlawan
padang pasir yang memakai jubah.
Ia menghampiri orang itu dengan kecepatan yang setara
dengan kuda. Kemudian, Berenis mengangkat tangan
kanannya ke udara. Rombongan orang-orang berkuda itu
pun berhenti ketika melihatnya. Mereka turun dari kudanya
dan memberi salam.
“Salam, tuan-tuan yang mulia!”
“Salam, kalian para nyonya yang menyaksikan kami.”
“Wahai pengembara, menjauhlah dari tenda yang sedang
melakukan persiapan pernikahan. Hal itu merupakan
adat perempuan Mekah dan kalian juga akan selamat di
perjalanan kalian.”
“Kami ingin melewati tempat ini tanpa melukai seseorang
jika Anda menunjukan jalan ke Pasar Ukaz.”
“Dari mana kalian datang dan ke mana kalian akan pergi
wahai pengembara yang mulia?”
283
_ Hikayat Seekor Rusa
“Kami adalah pengembara yang melakukan perjalanan
dari Habasyah. Kami dari Bani Qurayza dan ingin menuju
Pusat Ukaz di Mekah.”
“Kalian berada di jalan yang benar wahai pengembara
Qurayza. Terus berjalanlah lurus selama kurang lebih
berjarak tiga hari perjalanan setelah melewati jembatan
Hudaibiyah di belakang Anda.”
“Sebelum pergi, bolehkah aku bertanya satu pertanyaan,
wahai Nyonya?”
“Pengembara memiliki hak untuk bertanya.”
“Akankah kami bisa menemukan kaum yang bisa
berbahasa Aram setelah kami sampai di Ukaz Mekah?”
“Kekauman tidak berbahasa. Mereka berbicara dengan
hati dan akhlak. Aku berbicara bahasa kalian karena melihat
simbol milik Habas al-Mugan di tempat duduk kuda kalian.
Bahasa Arab, Aram, atau Persia tidak jadi masalah. Mekah
adalah sebuah kota yang memiliki masyarakat yang mampu
berkomunikasi dengan bermacam-macam berbahasa.”
“Jadi, Anda mengenal Habas dan al-Mugan?”
“Kalian hanya mempunyai satu hak untuk bertanya.
Sekarang giliranku. Sebenarnya kalian itu berasal dari
mana?”
“Aku adalah Ursa, putra Perk dari Habas al-Mugan!”
Berenis seakan-akan tersambar petir dari langit....
Seakan-akan jawaban itu meledak bergema di padang
pasir. Dia bergelut dengan badai pasir.
“Ursa putra Perk...”
“Ursa putra Perk...”
“Ursa putra Perk...”
284
Berenis tidak berkata apa-apa. Dia tidak bisa berkata
apa-apa. Apakah dia benar-benar Ursa? Apakah orang yang
berada di hadapannya adalah Ursa, pria yang dia cintai
selama lima belas tahun saat pengasingan diri?
Dia menyandarkan badan. Sambil mengangkat tangannya
ke udara, ia memberikan tanda kepada para pengembara
untuk pergi. Setelah itu, ia membalikkan badan...
Ah, ada apa dengan Dujayah...
Dan di waktu yang sama, seseorang berpakaian ungu
menghampiri Berenis. Gadis kecil dan nakal, dengan suara
yang dapat didengar seluruh penggembara.
“Berenis... Berenis, mereka semua khawatir dengan
keadaanmu. Mengapa engkau terlambat?” ucapnya sambil
beteriak agar tidak mendekatinya!
Berenis masih berada di pangkuan unta. Ketika akan
berjanjak pergi, Ursa yang menyadari apa yang didengarnya
segera memotong jalan Berenis.
“Berenis... Berenis.... apakah ini benar-benar kamu?”
Kali ini giliran Dujayah yang melangkah ke depan.
“Menjauhlah darinya wahai pengembara. Dia adalah
Nyonyaku. Dia adalah salah satu utusan Waraqah bin Naufal.
Sekarang, menjauhlah dari jalan kami.”
Gerakan yang dilakukan Dujayah dengan mengeluarkan
pisau dan mengucapkan kata-kata untuk menakuti para
pengembara itu menjadi bahan tertawaan.
Ursa, tanpa memerhatikan ancaman Dujayah, bertanya.
“Berenis, apakah ini kamu?”
Sekali lagi Dujayah memotong pembicaraan dan
menghujani Ursa dengan ejekan.
285
_ Hikayat Seekor Rusa
“Bagaimana kau berbicara tak sopan dengan Nyonyaku,
wahai pemburu tak tahu sopan santun! Lihat dirimu! Kau
membunuh semua hewan, baik anak-anak rusa maupun
kelinci. Darah mengalir di pedangmu! Lihat juga burungburung mati yang kau bawa. Pemburu tak tahu diri. Pergi
urus sendiri urusanmu! Tak tahukah engkau bahwa Isa alMasih mengharamkan perburuan? Apakah engkau pernah
menjawab pertanyaan yang diberikan kepada orang-orang
yang melakukan hal yang dilarang Tuhan?”
Tanpa berkata sepatah kata pun, ia segera pergi
menjauh.
Rombongan pengembara dari Qurayza yang menuju
Ukaz berada di jalan mereka sendiri.
Seakan-akan kuda yang ditunggangi Ursa berjalan
dengan percikan darah mengalir ke padang pasir.
Darah juga mengalir dari Ursa. Di antara kumpulan
burung-burung yang mati, sebenarnya burung yang pertama
kali mati adalah Berenis.
286
Kisah Padang Pasir
K
etika dia kembali pulang ke Mekah, Berenis
memutuskan melakukan sesuatu hal yang sudah
bertahun-tahun tidak dilakukannya. Ia mengunjungi Baitul
Atik dan menceritakan semua penderitaan cintanya yang
dipendamnya selama bertahun-tahun kepada pemilik
Kakbah.
Apa yang Khadijah katakan?
“Ketika batinku tertekan, aku pergi ke Baitullah dan
membuka hatiku kepada-Nya. Kemudian, aku memohon
agar jalan hidupku dimudahkan kepada-Nya.”
Benarkah? Oleh karena itu, ia harus mengunjungi
Kakbah.
Jika Sang Pemilik memang mendengarkan semua
permasalahan orang-orang, sekarang apa yang harus dirinya
lakukan? Kehidupan cintanya setelah meninggalkan kota
asal dan hidup di kota yang asing baginya selama bertahuntahun dan Ursa yang telah meninggalkannya tiba-tiba
muncul di hadapannya setelah bertahun-tahun. Apa yang
harus dilakukannya?
Batin Berenis kosong....
Jiwanya terbolak-balik. Tidak hanya bagian yang
berderajat tinggi seperti ruh dan hati, tetapi juga sel-sel yang
berada di tubuhnya ikut terlihat dari tempat dirinya tinggal.
Baginya, Ursa itu apa?
Bagi perempuan, laki-laki itu bermakna apa?
Ia pun mengalami hari-hari kekeringan setelah masa287
_ Kisah Padang Pasir
masa yang penuh dengan kelembapan dan air.
Sekarang, apa yang harus ia lakukan?
Ia pernah mendengar sebuah dongeng lama dari
perempuan Mekah. Di Mekah terdapat sebuah gunung
legenda yang bersentuhan dengan Gunung Kaf. Gunung
ini tak terlihat, tetapi dipercaya dilindungi seseorang yang
sangat penting menurut para perempuan tua. Semua orang
tahu bahwa gunung itu menyimpan para ifrit, dajal, iblis,
monster, jin, dan orang-orang yang melakukan kejahatan.
Gunung itu terlindungi dari orang-orang yang jahat.
Sekarang tebersit dalam dirinya jika semua kejahatan
dan kebatilan yang dialami olehnya terkubur di gunung itu...
jika terkubur seperti ayahnya... jika terkubur seperti seorang
ulama, seperti seorang jenderal, seperti seorang nabi, dan
juga terlindungi dari segala kejahatan....
Ah, sekali lagi terlintas dalam dirinya bahwa itu
semua hanya sebuah dongeng. Ia menyingkirkan semua
kehilangannya yang seperti sebuah hantu dari kehidupan
nyatanya. Betapa lamanya dia sudah tidak merasakan cinta,
betapa jauh tertinggal dari kehidupannya... sekarang ia tidak
tahu apa yang harus dilakukan.
Ketika tiba di depan Kakbah, dirinya serasa ditarik oleh
sebuah kekuatan magnet. Apakah ini Rumah Allah? Terlihat
biasa di matanya. Namun, tiba-tiba hal biasa itu berubah
menjadi sesuatu yang mengejutkan dengan bacaan-bacaan
yang berada di dalamnya. Dia adalah Allah yang tidak
memerlukan hiasan seperti sebuah istana atau benteng! Ya,
rumah biasa ini adalah rumah-Nya! Rumah yang melihat
orang-orang berdoa, tawaf, sujud, dan berzikir.
Kemudian terdengar suara sebuah ombak yang terbentur
288
batu-batu di pesisir laut. Aku tidak salah dengar. Itu adalah
suara lautan. Akan tetapi, bagaimana bisa ini terjadi di
tengah-tengah pusat padang pasir? Kemudian, ia berpikir itu
semua hanyalah imajinasinya karena rasa rindu dengan kota
tempatnya terlahir. Namun, suara itu tidak berhenti. Saat
memandang ke Baitul Atik, suara-suara ombak terdengar
semakin kuat di telinganya, seperti karpet yang dilipat-lipat
dan membentur sisi Baitul Atik yang kemudian mengalir ke
arah kakinya. Suara-suara ombak di Rumah-Nya.
“Itu sebuah puisi cinta,” ucap Khadijah.
Suatu hari, ia mengunjungi Khadijah yang sedang duduk
bersama tamu-tamu wanita tua. Mereka mendendangkan
sebuah puisi dengan suara sedih dan mendalam. Terlintas
sebuah “Laut Sad” yang terkenal di Mekah dalam puisi itu.
Mereka berkata seperti ini tentang puisi yang didendangkan
dengan tangisan air mata dan kesedihan.
“Sad merupakan sebuah laut di Mekah. Tidak ada siang
dan malam baginya. Langit Allah berada di atasnya.”
Ketika itu Khadijah melihat Berenis mendengarkannya
dengan rasa ketertarikan.
“Sad merupakan sebuah Laut Cinta. Seluruh rasa cinta
berusaha untuk bisa sampai di pesisirnya. Siang dan malam
mereka berjalan untuk menemukannya. Kekasihnyalah yang
membuat siang dan malam tercampur, Laut Sad. Untuk bisa
tiba di Laut Sad, orang-orang harus bisa melebihi rasa cinta
kepada-Nya dibandingkan dengan rasa cinta kita kepada
orang-orang yang kita cintai. Dan seperti kata-kata yang
indah itu,” ucap Khadijah.
Ia adalah seorang Tuan Putri yang tahu secara dalam
tentang legenda-legenda Mekah, sejarah, dan macam-
289
_ Kisah Padang Pasir
macam puisi.
Kemudian, “Mungkinkah itu suara laut Sad?” pikir
Berenis. “Ataukah cinta bermain-main dengan pikiranku?”
Ketika tenggelam dalam kesibukan berpikir, ia tersadar
dengan kata-kata seorang pengemis.
“Dengan begitu banyak pertanyaan, apakah hal itu akan
bisa mengantarkanmu ke laut cinta? Apa makna yang bisa
diambil dari kobaran lautan ketika lilin tidak bisa meleleh?
Seberapapun kaca yang terdapat di masing-masing sisi?
Seberapa cepat kamu memindahkan karung-karung?
Wahai perempuan, menjauhlah dari pemburu itu, sebelum
pemburu besar memburumu. Jangan menyia-nyiakan waktu
“Sad merupakan sebuah Laut Cinta.
Seluruh rasa cinta berusaha untuk bisa
sampai di pesisirnya. Siang dan malam
mereka berjalan untuk menemukannya.
Kekasihnyalah yang membuat siang dan
malam tercampur, Laut Sad. Untuk
bisa tiba di Laut Sad, orang-orang
harus bisa melebihi rasa cinta kepada-Nya
dibandingkan dengan rasa cinta kita kepada
orang-orang yang kita cintai. Dan seperti
kata-kata yang indah itu,” ucap Khadijah.
290
di pemburu kecil itu.”
Apa yang dikatakan pengemis itu kepada wanita yang
sedang kebingungan itu?
Siapa itu pemburu dan di mana kobaran lautan itu?
Cermin, kecepatan, lilin.…
Kemudian, cerita rusa yang membuatnya meneteskan air
mata yang ia dengar di awal hari yang membukakan cahaya
baginya.
Bukankah hewan yang berada di karung Ursa adalah
induk rusa dan anak-anaknya?
Ia terkejut ketika menyadarinya.
Apa yang terjadi dengan rusa yang sudah membuat
seseorang beriman menenggelamkan hati Berenis? Bahkan,
rusa pun berkata tentang al-Amin yang pergelangan
kakinya terluka. Pemburu yang hatinya gelap seperti Ursa
memutuskan perkataan itu.
Siapa yang bisa berbicara....
Siapa yang tidak bisa berbicara...
Ucap Berenis....
Benda-benda yang berada di sakunya ia tinggalkan di
Baitul Atiq.
Ia bisa membedakan suara-suara ombak yang
bergelombang ke arah Kakbah. Apakah ia di dalam padang
pasir atau laut....
Tidak! Dia tidak akan pergi dengan Ursa.
Tempatnya adalah di sisi orang yang menjadi penjamin
bagi sang rusa.
Laut Cinta berada di sini: Muhammad al-Amin dan
Khadijah al-Kubra!
291
Wahyu yang Tertunda
P
ernikahan Zainab, putri pertama Khadijah al-Kubra
dan al-Amin, dengan putra dari saudara perempuan
Khadijah, Halah binti Khuwaylid, cukup meramaikan Mekah.
Padahal, menurut adat pada masa itu, ketika anak perempuan
menikah, urutan pertama yang dimintai pendapat bukan
dari sisi bibi, tetapi dari sisi paman. Tak heran jika Abu
Lahab dan istrinya mencela tindakan tersebut. Saat datang
ke pesta pernikahan itu, mereka langsung melamar kedua
putri al-Amin: Rukiah dan Ummu Kultsum.
Ahh! Mereka masih terlalu muda.
“Tak apa-apa, kami akan menunggu,” ucap Ummi Jamil
dengan tajam.
Abu Lahab, yang merupakan paman dari sisi ayahnya,
berlaku keras kepada al-Amin, seakan-akan terlahir dari
keluarga yang terhormat dan kaya tidak cukup bagi mereka.
Al-Amin dan Khadijah tertekan dengan fakta ini,
menikah dengan putra dari sisi ibu. Mereka mencari solusi
untuk menolak lamaran yang diajukan Abu Lahab dan
keluarganya.
“Menurut adat kita, kalian seharusnya bertanya kepada
kami dulu,” ucap istri Abu Lahab terus-menerus.
“Kalau begitu, nikahkan putri kalian yang lain dengan
kedua putra kami, Utba dan Udaiba. Sesama garis keluarga
292
dengan keluarga, saudara dengan saudara, orang-kaya
dengan orang kaya.”
Adat… adat.…
Adat-adat Mekah yang tidak bisa dikalahkan.
“Putri-putri kami masih terlalu muda.…”
“Tidak apa-apa, kami akan menunggunya. Sekarang kita
lakukan saja pertunangan. Pernikahannya kemudian.”
Keangkuhan dan kekasaran Abu Lahab yang bersatupadu dengan ketajaman kata-kata istrinya berubah menjadi
tekanan yang besar.
Al-Amin yang telah berniat menjauh dengan masyarakat
dan melakukan pengasingan diri harus dihadapkan pada
adat-adat seperti ini. Hal tersebut tak pelak membuatnya
mual. Di samping itu, tidak ada alasan lagi selain perbedaan
usia yang dapat dijadikan sebab untuk menolak lamaran itu.
Kata-kata Khadijah hanya bisa memberhentikan keluarga
Abu Lahab di tahap pertunangan.
Al-Amin dan Khadijah adalah orang-orang yang
berlindungi kepada Allah. Mereka meyakini bahwa Allah
Mahatahu tentang segalanya.
Semua ini terjadi berurutan. Kelahiran Fatimah,
pernikahan Zainab setelah pernikahan Hindun, pertunangan
Rukayah dan Ummu Kultsum, dan yang paling penting
adalah wahyu pertama. Semuanya datang satu per satu, baik
kesibukan duniawi maupun akhirat.
Bercampur aduk.
Seakan-akan menjadi sesuatu yang sulit untuk keluar
darinya.
Dan Al-Amin...
Ia adalah mahkota hati Khadijah.
293
_ Wahyu Yang Tertunda
Ia menunggu dengan gugup irman-irman-Nya di antara
kerasnya kehidupan dunia ini. Hatinya semakin mengecil.
Mengapa wahyu tidak kunjung datang? Mengapa irmanirman suci itu tidak berlanjut?
Mereka yang mengetahui kedatangan wahyu pertama
terus menciptakan gosip-gosip mengenai ketidakmunculan
wahyu kedua dan seterusnya. Kejadian-kejadian gaib yang
dialami dan disaksikan al-Amin menyebar dari telinga ke
telinga. Namun, mereka yang tidak mendengar langsung
dari mulutnya beranggapan bahwa kejadian-kejadian itu
seharusnya tidak boleh tersebar, bahkan harus dilupakan.
Hal seperti ini merupakan situasi yang tidak berhubungan
dengan perselisihan Bani Umayyah dengan keluarga Abdul
Muthalib. Ini adalah gosip yang tidak berdasar dan hanya
rentetan kata-kata ejekan. Mereka tidak harus terlalu fokus
dengan itu semua. Mereka juga telah mendengarkan dari
para ulama yang datang dan pergi ke Mekah bahwa utusan
terakhir akan tiba dan semua ulama Mekah telah melihat
tanda-tanda itu. Semua telah mendengarkan perkataan itu
dan perkataan seperti itu. Namun, orang-orang yang taat
kepada berhala tidak membicarakan permasalahan ini dan
menganggapnya sebagi sebuah bencana.
Sudah hampir tiga tahun al-Amin tidak didatangi
malaikat. Hari-hari penderitaan ini berlangsung sangat
lama dan merupakan saat-saat sulit. Al-Amin khawatir
karena tidak mendapatkan kabar. Ia pun meragukan dirinya.
Di samping itu, ia juga kehilangan salah satu pendukung
terbesarnya, Waraqah bin Naufal, yang pergi ke sisi dunia
lain. Waraqah yang selalu berpegang teguh pada kebenaran
keimanan selalu berada di sisinya, meskipun tidak bisa
294
merasakan hari-hari saat utusan terakhir memberikan
ajakan.
Al-Amin tenggelam dalam kesedihan.
Ia menunggu kalimat-kalimat yang membukakan
pangilan-pangilan Allah dan mempersiapkan dirinya secara
maknawiah... menunggu... menunggu. Ketika kembali
pulang dari Gunung Hira dengan wajah sedih, Khadijah
menemaninya.
“Bersabarlah wahai Kekasihku,” ucap Khadijah
menenangkan suaminya.
“Allah takkan melukai kalian.”
Apa yang telah dilakukannya? Kesalahan apa yang
membuat Allah tak menegurnya? Bahkan, al-Amin
pernah menangis dan berkata, ”Ataukah Allah telah
meninggalkanku.”
Ketika berada dalam keadaan sedih, ada dua sosok yang
selalu mendukungnya. Yang pertama adalah Khadijah,
istrinya yang mencintainya dengan sepenuh hatinya Dan
yang kedua adalah Malaikat Jibril, yang terlihat ketika alAmin berada dalam keadaan sedih. Mereka memberi salam
kepadanya. Ketika dalam keadaan sedih dan sulit, dua
malaikat ini selalu mendukung al-Amin. Khadijah al-Kubra
yang memiliki hati malaikat dan Malaikat Jibril. Keduanya
seperti sebuah obat bagi diri al-Amin.
Malam itu, ketika al-Amin pulang terlambat, Khadijah
mengirimkan orang-orang kepercayaannya untuk melihat
keadaan sang suami. Beberapa waktu setelah utusan
Khadijah berangkat menuju Gunung Hira, al-Amin tiba
dengan bermandikan keringat. Dirinya telah terhubung
dengan malaikat.
295
_ Wahyu Yang Tertunda
Masa-masa sulit yang dilewati selama tiga tahun telah
sirna. Ketika pergi dari Gua Hira, batin al-Amin dalam
keadaan sedih sampai ia bertemu dengan Malaikat Jibril dan
kini berada di hadapannya.
Malaikat itu berada di sana ketika al-Amin melirik ke sisi
kanan.
Lagi-lagi, ia berada di sana ketika al-Amin melirik ke sisi
kiri.
Di atas...
Dan di bawah...
Di depan dan di belakang...
Malaikat itu seakan-akan seperti sinar yang memancar
menuju kedua matanya.
“Kau adalah Rasulullah,” ucap sang malaikat.
Al-Amin ketakutan. Kedua lututnya jatuh ke tanah dan
pingsan. Ketika sadar, ia ingin melarikan diri ke rumah.
Kakinya masih bergetar ketika sampai di sisi Khadijah.
Sekali lagi.…
“Selimuti aku... selimuti aku,” ucapnya dengan suara
gemetar.
Ia lalu berbaring di tempat tidurnya. Agar al-Amin
tetap sadarkan diri, mereka membasuhnya dengan air
sejuk. Namun, ia masih terus gemetar dan berkata kepada
Khadijah, “Selimuti aku.”
Dengan lembut, Khadijah berusaha menenangkannya.
Khadijah berkata bahwa konidis ini akan terlewati dengan
penuh berkah dan kebaikan.
“Kabar bagus untukmu! Allah telah memberikan kebaikan
kepadamu. Bertahanlah! Aku bersumpah atas nama
Tuhanku bahwa kau adalah seorang nabi! Jangan khawatir
296
karena kau selalu melindungi saudaramu, menolong yang
membutuhkan, membantu yang dalam kesulitan, dan selalu
berada di sisi yang benar. Jangan bersedih!”
Al-Amin dalam kondisi yang tidak mampu untuk
mendengarkan itu. Padahal, yang datang adalah wahyu.
Firman Allah.…
Hai orang yang berselimut
Hai orang yang berselimut
Bangunlah, lalu berilah peringatan
Dan Tuhanmu agungkanlah!
Dan pakaianmu bersihkanlah
Dan perbuatan dosa (menyembah
berhala) tinggalkanlah
Dan janganlah kamu memberi
(dengan maksud) memperoleh (balasan)
yang lebih banyak
Dan untuk (memenuhi perintah)
Rabbmu, bersabarlah..
297
_ Wahyu Yang Tertunda
Bangunlah, lalu berilah peringatan
Dan Tuhanmu agungkanlah!
Dan pakaianmu bersihkanlah
Dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah
Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh
(balasan) yang lebih banyak
Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah...
Setelah mendengarkan wahyu itu, Rasulullah segera
melepaskan selimutnya dan bertakbir.
“ALLAHUAKBAR…”
Ketika mendengar al-Amin berteriak, Khadijah
mengiringinya seperti sebuah bunyi gema.
“ALLAHUAKBAR!”...
Ketika kalimat syahadat keluar dari
bibir Khadijah, ia adalah orang
pertama yang mengulangi kalimat
Nabi Muhammad al-Mustafa.
Khadijah adalah orang pertama yang menerima kalimat
itu. Suaminya telah menjadi Rasulullah.
Khadijah adalah yang pertama mengimaninya.
Ketika kalimat syahadat keluar dari bibir Khadijah,
ia adalah orang pertama yang mengulangi kalimat Nabi
Muhammad al-Mustafa.
298
Perintah “bangun dan peringatkan” seakan-akan seperti
suara gelombang untuk memulai dakwah. Khadijah adalah
orang pertama yang melakukan perintah pertama yang
turun kepada suaminya.
Firman itu sangat berat dan penuh beban. Bangun,
berdakwah, mengajak, dan memperingatkan. Pertama, dia
memulai dari orang-orang di rumahnya, anak-anaknya,
dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Ali yang masih
berumur muda akan terus mengikuti al-Amin yang seperti
ayahnya dan Khadijah yang seperti ibunya....
299
Wudu Pertama
K
edua mata mereka saling tersenyum. Mereka saling
berhadapan satu sama lain. Mereka sangat gugup.
Khadijah, siapkah kau?
Bagaimana aku tidak siap? Seakan-akan seluruh hidupku
terlewati untuk persiapan.
Dengan nama Allah kita mulai.
Dengan nama Allah kita mulai...
Seakan-akan suara gema menggaung di ruangan
mereka.
Suara gaungan cinta. Yang satu mengucapkan dan yang
satu mengikuti dan mengulangi.
Mereka sangat gugup seperti burung-burung yang
terbang untuk pertama kali.
Ketika laki-laki membuka sayapnya, ia melihat hal itu
tercipta untuk terbang.
Suara kepakan sayap.
Suara kepakan sayap...
Terbang menuju kumpulan air.
Terbang menuju kumpulan air...
Kembali terlahir di dalam air.
Kembali terlahir di dalam air...
Apakah kedua suara itu berbeda di waktu itu.
Waktu itu hanya ada satu suara, seakan-akan Allah
berirman, “Jadilah.” Dan mereka pun berpaling ke arah
suara irman Allah itu dan menjawab, “Ya.”
300
Mereka saling tersenyum satu sama lain.
Mereka memandang wajah keduanya yang tampak di
permukaan air.
Seakan-akan mereka saling jatuh cinta kembali, setiap
cinta tertulis di sebuah mata air.
Sambil tersenyum, mereka memandang kedua telapak
tangan mereka yang bersentuhan dengan percikan air.
Mereka membungkuk dengan nama Allah.
Mereka memandang air.
Cinta mereka.
Perjalanan mereka.
Dan mereka bersumpah selalu.
Mereka bersumpah di hadapan air.
Air, air mata penyesalan Adam yang berubah menjadi
Oman.
Air, mengangkat kapal penyelamatan Nuh.
Air, saudara api yang diperintahkan untuk menyejukkan
Ibrahim.
Air, hadiah abadi yang keluar dari telapak kaki Ismail.
Air, panggilan Ishak.
Air, jalan besar yang terbuka untuk Musa dan
pengikutnya.
Air, yang membawa keluar Yunus dari perut ikan paus.
Air, menyembuhkan luka-luka Ayub yang menyebabkannya susah beribadah.
Air, ilham untuk ucapan Daud.
Air, prajurit Sulaiman.
Air, puasa Zakaria.
Air, ajakan Yahya.
301
_ Wudu Pertama
Air, napas Isa yang turun ke dunia.... air, benih irman
Allah yang tertanam di dalam diri Isa.
Air, fondasi untuk dunia yang akan dibangun oleh
utusan terakhir... air, nikmat yang keluar dari jemari utusan
terakhir.
Ketika Rasulullah menjulurkan kedua tangannya
pada percikan air seperti yang diajarkan Jibril, Khadijah
memandangnya sambil tersenyum.
Seakan-akan mereka melakukan sebuah perjalanan.
Ayo ikut, ucapnya. Kamu juga ikut, seperti itu.
Engkau berkata, ayo datang, dan pernahkah aku tak
datang?
Tangan Khadijah menjulur ke dalam air sambil berkata
“ya” dengan beribu-ribu percikan air di wajahnya.
Sekarang, mereka melakukan wudu yang pertama kali,
yang diajarkan kepada Muhammad di dunia ini.
Pembersihan
Penyegaran
Pengingat
Penyemangat
Itu semua datang bersama dengan percikan air.
Itu merupakan dasar seorang hamba. Mereka memulai
dengan air tanpa melakukan kesalahan.
Tangan-tangan menyentuh percikan air.
Tangan-tangan menyentuh telinga.
Tangan-tangan juga menyentuh kasih sayang keduanya.
Mereka menjadi seorang muslim pertama bersama
dengan air yang merupakan rumah kehidupan yang pertama.
Ruh keduanya juga tertulis awal yang bersih.
302
Air memadamkan api.
Air adalah berkah dan ampunan.
Mereka akan diikuti berjuta-juta manusia sampai hari
kiamat.
Mereka berubah dari bentuk ke bentuk. Ketika waktu
telah datang, mereka akan menguap dan pergi menuju
langit.
Khadijah memandang takjub suaminya di setiap proses
wudu, seakan-akan seperti sebuah cinta. Pandangannya
tidak lepas dari suaminya dan air.
Aliran air
Semangat air
Perkenalan air
Perjanjian air, kesetiaan air.
Ketika melihat wajah Rasulullah, ia menjadi saksi
pancaran sinar yang akan mengangkat irman-iman Allah.
Huruf Kha menjadi saksi huruf Mim, sementara air
menjadi saksi keduanya.
Kekasihku Rasulullah, ucapnya.
Khadijah juga merupakan kekasih kekasih-Nya.
Air, sekali lagi, menjadi pertunangan dan pernikahan
bagi mereka berdua. Rahasia-rahasia cinta mereka diberikan
kepada air dan air mulai saat itu juga bersumpah takkan
berbicara...
Sekali lagi salah satu dari keduanya tersenyum.
Pertama, lengan-lengannya, dan kemudian membasuh
kedua pergelangan kakinya. Orang pertama yang memimpin,
orang kedua yang mengamatinya dengan saksama. Dan
orang kedua menjadi orang pertama yang menyelesaikan
wudu pertama.
303
_ Wudu Pertama
Wudu pertama yang diambil ini merupakan bagian dari
laki-laki dan wanita.
Umat yang pertama bernama Khadijah.
Khadijah adalah orang yang terlahir awal, bangun awal,
dan berjalan awal...
Jika kedua orang saling mencintai karena Allah, pasti
yang ketiga adalah ar-Rahman.
304
Salat Pertama
R
asulullah memandang Khadijah sambil tersenyum.
Ia membuka kedua telapak tangannya, kemudian
menggenggam tangan istrinya. Tangan-tangan itu adalah
kekasih baginya. Tangan-tangan itu menjadi rumah
baginya.
Di dalam telapak tangan Khadijah terdapat rahasiarahasia kehidupan dengan kasih sayang bagi sang suami. Di
dalamnya terdapat lembaran-lembaran halaman kehidupan
seorang wanita, seorang ibu. Di sana terdapat pancaran
martabat yang terbang jauh ke atas dengan cinta. Tangantangan ini menjadi tangan ibu yang mengelus pundak,
menjadi tangan sahabat yang menjadi pendukung, dan
menjadi tangan kekasih yang merangkul.
Dengan tangan-tangan yang penuh keyakinan itu, mereka
mengarahkan wajah ke arah kiblat. Mereka mengetahuinya
dari dalam telapak tangan keduanya. Dan ibadah salat akan
mengarahkannya dari dalam telapak tangan ke arah kiblat.
Mereka adalah muslim pertama di dunia ini. Mereka
berdiri untuk salat, membuka telapak tangan, dan
mengucapkan salam ke arah kiblat.
Tangan-tangan mereka menunjukkan penghambaan
keduanya.
Mereka ingin berada di sisi Allah.
Mereka ingin berada di sisi Allah...
Ya Allah, janganlah Engkau tinggalkan kami. Lihatlah
tangan-tangan kami, jangan tinggalkan kami.
305
_ Salat Pertama
Mereka bertakbir, Allahu Akbar...
Allahu Akbar!
Allah tak pernah membiarkan hamba-hambanya yang
membuka telapak tangan untuknya. Bacaan takbir yang
pertama kali, orang-orang yang beribadah salat pertama
kali, orang-orang yang bertemu dengan kalimat Allah.
Kemudian, Rasulullah memulai Takbiratul Ikhram.
Ketika dia bertakbiratul ikhram, Khadijah merasakan
seluruh alam semesta berhenti. Surat-surat yang keluar satu
per satu dari bibir al-Amin terdengar ke seluruh dunia dan
mengamininya.
Dalam takbiratul ikhram, mereka seakan-akan menjadi
dua gunung. Takbiratul ikhram menjadikan mereka seakanakan sebagai pengikat alam semesta.
Khusyuk, siap, dan bahu-bahu mereka terbuka untuk
melakukan perintah Allah.
Allahu Akbar!
Gunung-gunung beban seorang hamba luluh-lantak
berkeping-keping dan berubah menjadi kemuliaan
syahadat.
Rasa takut yang meleburkan gunung-gunung menyatu
dalam sifat-sifat mulia-Nya yang terpancar dalam namanama-Nya ke dalam takbiratul ikhram. Mereka menemukan
kerendahan hati dan kehormatan dalam setiap ucapan, “Ya
Rabb, aku mendengar dan taat kepadamu.”
Mereka bersama-sama menancapkan tiang agama dalam
takbiratul ikhram pertama itu.
Mereka menjadi tiang-tiang itu sendiri.
Seperti sebuah pohon surga yang berada di antara langit
dan dunia, langit dan dunia menjadi satu dalam takbiratul
ikhram.
306
Allahu Akbar!
Allahu Akbar!
Kemudian, dengan wajah bersinar karena rasa hormat,
Utusan Terakhir membungkukkan badan ke depan. Khadijah
mengira seakan-akan seluruh lembah-lembah beban seorang
hamba yang bergetar dengan rasa takut berada di punggung
Insan Kamil di saat itu. Tanpa bacaan subhana rabi’al ‘azhim
yang khusyuk, penuh rasa hormat, dan penghormatan, tak
ada yang bisa menyingkirkan beban berat itu.
Mereka yang membungkuk dengan penyerahan diri
adalah sebaik-baik manusia. Di dunia ini tak ada yang bisa
membuat punggung bersentuhan dengan tanah selain
penyerahan diri kepada Allah. Khadijah pun mengerti
bahwa perjalanan itu akan di mulai dari sini. Kalimatkalimat seterusnnya akan melewati punggung suaminya
yang membungkuk bagaikan sebuah jembatan dalam rukuk
pertama di ibadah salat pertamanya. Ia menjadi orang
pertama yang menjadikan punggungnya sebagai sebuah
jembatan sambil mengucapkan bismillah. Seperti itulah
rukuk pertama dalam salat pertamanya.
Dan semerbak harum itu, semerbak wangi rukuk yang
memanggil tujuh langit, berasal dari punggung Utusan
Allah yang membungkuk ke depan. Dan itulah bau harum
punggung sang Nabi.
Semerbak harum pengorbanan yang datang dari
punggung yang membungkuk dengan taat kepada Rabb.
Semerbak wangi yang paling wangi di seluruh dunia.
Karena itu adalah aroma kasih sayang, aroma sang Kekasih.
Dua punggung yang membungkuk ke depan untuk Allah
itu memberikan salam kepada punggung-punggung yang
307
_ Salat Pertama
mengikutinya sampai Hari Kiamat nanti. Salam dari aroma
wangi yang terpancar lewat punggung dan pinggang yang
membungkuk karena Allah.
Allahu Akbar!
Allahu Akbar!
Rasulullah yang terlahir kembali dengan seribu satu
permohonan.
Khadijah menjadi pengikutnya yang terlahir kembali
dengan seribu satu permohonan...
Seperti malam dan pagi, hidup dan mati, saling berganti.
Setiap takbiratul ikhram ditakdirkan dengan sebuah
rukuk dan setiap rukuk ditakdirkan dengan sebuah takbiratul
ikhram. Salat yang menggerakan pendulum kelahiran dan
kematian adalah jam hati yang takkan pernah mati. Betapa
bahagianya hamba-hamba yang mengatur jam-jam mereka
untuk Rabb mereka!
Allahu Akbar!
Allahu Akbar!
Khadijah pun mengikuti utusan Allah yang kemudian
melakukan sujud.
Mereka tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah.
Sujud mengajarkan keduanya bahwa Allah menciptakan
mereka dan kepada Allah-lah mereka kembali.
Sujud adalah tanah.
Tak hanya sekadar bersentuhan dengan tanah, salam
yang disampaikan untuk Allah yang bersentuhan dengan
tanah yang lembut.
Seperti dahi yang tercium oleh sang ibu, kedua orang
yang beribadah itu menyerahkan takdirnya kepada dunia.
308
Rasulullah bersujud untuk tempat terdekat kepada
Allah.
Rabb yang tak lain hanya berada di dalam hati hambahamba mukmin, dan pastinya Tuhan yang layak untuk
disembah.
Asmaul Husna, yang merupakan sembilan puluh
sembilan nama, yang membuka semua rahasianya.
Dia adalah Allah!
Dia adalah Allah!
Dengan gerakan yang diajarkan oleh malaikat, mereka
jatuh bersujud dengan mengucapkan subhaana rabbi’al
a’la!....
Jatuh seperti martir
Jatuh seperti ke lembah cinta.
Seperti butiran-butiran salju yang turun di wajah bumi.
Seperti butiran tembaga-tembaga yang jatuh ke dalam
air.
Mereka jatuh ke dalam sujud.
Ke dalam keberadaan Allah....
Satu
Tunggal
Tak ada yang menyamai
Tak berpasangan
Tak memerlukan apa-apa....
Tak bergantung....
Tak terlahirkan....
Tak melahirkan...
Tak diperintah....
Ciptaan berasal dari-Nya...
309
_ Salat Pertama
Dia mengajarkan kepada mereka dan mereka mengetahui
nama-namanya. Diucapkan dalam setiap rukuk di salat
mereka.
Kalimat-kalimat itu adalah milik-Nya, ada karena Dia.
Dan kalimat-kalimat itu bergema dalam salat ke penjuru
dunia.
Mereka salat.
Salat menjadikan mereka sebagai seorang hamba.
Sisi kanan dengan sisi kiri berubah menjadi jalan yang
tak berujung:
Assalamu’alaikum wa Rahmatullah.
Assalamu’alaikum wa Rahmatullah....
….
Ali menyaksikan mereka dengan takjub. Keduanya senang
ketika Ali bertanya tentang apa yang mereka lakukan. Tanpa
memandang usia, mereka menjawab pertanyaan itu dengan
membuka hati dan penuh dengan keseriuasan. Ali yang
mendengarkan dengan teliti berkata, “Iya, ya Rasulullah.”
Ali siap mengucapkan kalimat syahadat, dan di kemudian
hari akan dikenal sebagai “tuannya anak muda”. Dia akan
menjawab seperti ini tentang pertanyaan yang akan
ditanyakan kepadanya pada suatu hari nanti.
“Di setiap tempat yang di situ ada Rasulullah dan
Khadijah, aku pun berada di sana menjadi orang ketiga. Dia
menyaksikan wahyu dan irman secara langsung, dan aku
mencium nubuwah.”
310
Aifah al-Kindi menceritakan:
“Aku datang ke Mekah di masa jahiliyah. Aku pergi
mengunjungi Abbas, putra Abdul Muthalib, untuk
memintanya menjadi pendampingku dalam perdagangan.
Ia sedang berada di samping Kakbah. Saat itu, datanglah
seorang pemuda. Pemuda itu membalikkan badan ke arah
Kakbah dan kemudian mengangkat kedua tangannya.
Beberapa saat kemudian, seorang anak kecil datang
berada di sisi pemuda itu dan melakukan hal yang sama.
Beberapa saat kemudian, datang seorang perempuan
berdiri di samping mereka dan melakukan hal yang sama.
Mereka rukuk, kemudian sujud.
‘Ini adalah sesuatu yang hebat! Siapa mereka?’ tanyaku.
‘Ini memang sesuatu yang hebat! Pemuda yang kau
lihat itu adalah Muhammad, putra saudaraku, Abdullah.
Anak kecil itu adalah Ali, putra saudaraku Abu halib.
Perempuan yang kau lihat itu adalah istri keponakanku.
Namanya Khadijah binti Khuwaylid. Keponakanku,
Muhammad, berkata kepada kita bahwa hanya ada satu
Tuhan di langit dan bumi ini. Ia mengikuti agama Tuhan
itu dan mengajak kita mengikuti agama itu. Sejauh ini,
yang aku lihat hanya tiga orang itulah yang mengikuti
agama itu.’
Setelah Abbas menjelaskan seperti itu, tebersit dalam
batinku, ‘Seandainya orang keempat itu adalah aku.’”
Para perempuan yang tinggal di rumah mereka pun
akhirnya menjadi bagian dari orang-orang pertama yang
masuk ke dalam agama Islam.
311
_ Salat Pertama
Namun, ketika kita berpikir dari sisi struktur sosial
masyarakat pagan Mekah, perintah “bangun dan peringatkan”
yang datang kepada Rasulullah terlihat seperti hal sulit
dilakukan. Dalam hal ini, Malaikat Jibril memperingatkan
Rasulullah untuk sabar dan berani dalam memberikan
ajakan. Khadijah merupakan pendukung terbesarnya.
Malaikat dan wanitalah yang menjadi pendukung terbesar
Rasulullah.
Di salah satu hari, ketika Rasulullah bersama dengan
malaikat di Gua Hira, malaikat melihat sinar yang terpancar
dari jauh. Malaikat itu melihat Khadijah yang khawatir
dengan suaminya mendaki Gunung Hira sambil membawa
keranjang.
“Ya Rasulullah, Khadijah datang,” kata malaikat itu.
Rasulullah membalasnya dengan mengatakan bahwa
Khadijah selalu berada di sisinya.
“Ia berada di belakangmu, di balik batu itu. Ketika ia
datang menghampirimu, sampaikan salam dari Allah dan
dariku kepadanya. Allah memberikan kabar gembira sebuah
tempat di surga yang jauh dari keramaian dan kelelahan.”
Meskipun mendaki di bawah terik mentari, Khadijah
tetap memberikan salam kepada suaminya dengan senyum
terpancar di wajahnya. Ia selalu mendukung secara terbuka
maupun sembunyi, saling menghormati, dan tak pernah
membiarkan suaminya sendiri tanpa perhatian.
Khadijah adalah teman perjalanan hidup suaminya.
Tak pernah melepasakan dan putus asa.
Dengan dahi penuh keringat dan matanya terkena
silau mentari, Khadijah memandang Rasulullah dengan
tersenyum.
312
“Salam bagimu, wahai Rasulullah!”
Khadijah senang memanggil suaminya seperti
itu seakan-akan merasakan bahwa gunung-gunung,
pepohonan, bebatuan, bulan, dan sang surya bersama-sama
mengucapkan salam itu,
“Salam ya Rasulullah! Salam ya Rasulullah!”
“Selamat datang Khadijah. Allah dan Jibril memberikan
salam untukmu!
Tiba-tiba Khadijah menjadi malu mendengar kata-kata
itu. Ia menerima salam itu dengan menganggukkan kepala
ke depan dengan rendah hati.
“Allah adalah Salam. Salam dari-Nya. Salam bagimu dan
juga temanmu Jibril dariku, ya Rasulullah!”
Rasulullah tampak gugup saat awal berdakwah karena
kaumnya bereaksi sangat keras. Rasulullah selalu bertanya
kepada dirinya, malaikat, dan istrinya dari mana dia harus
memulai dakwah ini. Akhirnya, mereka memutuskan
mengundang para kerabat untuk makan malam. Pada saat
itulah ia akan menjelaskan hakikat agama ini.
Para paman, bibi, keponakan, saudara dekat, dan putraputri mereka, kurang lebih berjumlah tujuh puluh orang,
satu per satu datang ke tempat tinggal Rasulullah. Para
pelayan pun sibuk menyiapkan beraneka kudapan. Di antara
mereka yang membantu itu terdapat Ali. Ia mengangkat baki
dan membagi makanan. Setelah selesai acara menyantap
kudapan, pemilik rumah mengucapkan salam kepada
seluruh tamu undangan.
“Dengan menyebut nama Allah, silakan mulai makan,”
ucapnya.
313
_ Salat Pertama
Rasulullah tampak gugup saat awal
berdakwah karena kaumnya bereaksi
sangat keras. Rasulullah selalu bertanya
kepada dirinya, malaikat, dan istrinya
dari mana dia harus memulai dakwah
ini. Akhirnya, mereka memutuskan
mengundang para kerabat untuk makan
malam. Pada saat itulah ia akan
menjelaskan hakikat agama ini.
Setelah acara makan selesai, Ali membawa baki dan
memberikan minuman yang ditunggu para tamu, yang
ternyata susu. Masyarakat Mekah yang terbiasa melihat arak
setelah makan tak menyangka bahwa yang diberikan kepada
mereka adalah susu. Hawa tak menyenangkan mulai meruap
di antara mereka. Namun, setelah Abu halib meminum
gelas yang penuh dengan susu itu, Suasana kembali menjadi
baik.
Sebenarnya, para tamu sudah mendengar kabar bahwa
keponakan mereka, Muhammad, telah mengikuti agama
baru. Istrinya pun mengikutinya.
Abu Lahab yang tak menyukai jamuan susu memotong
pembicaraan yang akan dilakukan keponakannya.
“Dia berusaha memengaruhi kita. Itu semua berlaku
untuk diriku, kalian, dan juga keponakanku. Keponakanku,
314
kau harus melepaskan usaha itu. Kau tak memiliki kekuatan
untuk melakukan itu. Lupakan itu semua!”
Ucapan-ucapan kasar yang diucapkan Abu Lahab
membuat suasana pertemuan menjadi dingin. Orang yang
tak mengucapkan basmalah dan mengganggu acara yang
belum dimulai itu adalah Abu Lahab. Namun, dia adalah
paman kandung Rasulullah.
Tamu-tamu undangan pergi...
Kejadian itu sudah dituliskan untuknya. Pamannya
sudah memotong jalannya dalam percobaan pertamanya.
Namun, dia membutuhkan suara pendukung dari sang istri,
Khadijah. Agar tak membuatnya sedih, mereka masih bisa
mengundang para tamu itu dan kali ini tanpa mengundang
Abu Lahab. Hal itu akan membuka kesempatan mereka
mengajak kerabatnya ke dalam agama Islam. Mereka pun
memberikan tugas kepada Ali.
“Kamu akan mengundang para tamu kemarin, kecuali
Abu Lahab.”
Kecuali Abu Lahab, mereka semua datang. Mulai dari
Abu halib dan para bibi, mereka mendoakan keberhasilan
keponakan dan istri keponakannya. Walaupun tak ada
yang menjadi muslim, mereka berjanji akan mendukung
keponakannya dan istrinya
Setelah keluarganya, giliran kaum Quraisy.
Di suatu pagi, Rasulullah mendaki puncak bukit Safa dan
memanggil orang-orang di sekitarnya.
“Wahai Sabahah! Wahai Sabahah!” serunya.
Ajakan dimulai!
Semuanya terkejut. Mereka berkumpul dengan cemas di
sekitar sisi Safa.
315
_ Salat Pertama
Rasulullah bertanya kepada kumpulan orang-orang itu
apakah mereka percaya jika dirinya berkata bahwa di balik
gunung itu bersembunyi sekumpulan tentara musuh.
Dia bernama al-Amin sehingga semua orang pasti
percaya kepadanya.
“Seperti teriakan ‘wahai sabaha’ yang aku ucapkan dan
seperti orang yang ingin memperingtkan keluarganya,
dengarkan aku dan perhatikan ucapan-ucapakanku!”
Dia berkata dengan penuh percaya diri untuk meyakinkan
orang-orang yang berkumpul seperti banjir. Sungguh
indahnya kata-katanya, sungguh sopan bahasanya.
Jika mereka percaya dengan apa yang Rasulullah
ucapkan, ungkapan bahwa tiada Tuhan selain Allah pun
harus dipercaya.
“Oleh karena itu, dengarkan aku baik-baik!
Aku memperingatkan kalian mengenai azab yang sangat
berat. Aku mengajak kalian bersyahadat bahwa tiada
Tuhan selain Allah. Jika kalian menerima ajakan ini, tempat
kalian pergi adalah surga. Jika kalian tak percaya, aku tak
bisa menyelematkan kalian dari azab yang akan menimpa
kalian.
Wahai kaum Quraisy! Selamatkanlah diri kalian dari
neraka.
Wahai Putra Ka’ab bin Luesy! Selamatkanlah diri kalian
dari api neraka!
Wahai Putra Murra bin Ka’ab! Selamatkan diri kalian dari
neraka!
Wahai Putra Abdul Syams! Selamatkan diri kalian dari
neraka!
Wahai Putra Abdul Manaf! Selamatkan diri kalian dari
neraka!
316
Wahai Putra Abdul Muthalib!
Wahai putri Muhammad, Fatimah!
Wahai bibi Rasulullah, Saiyah! Serahkanlah diri kalian
kepada Allah.
Jika kalian tak membenahi diri kalian, aku tak bisa
menyelamatkan kalian. Jika kalian menginginkan
kekayaanku, akan aku berikan. Namun, kalian salah jika di
hari kiamat nanti kita masih bersaudara. Hari itu manusia
akan datang dengan amal-amal mereka. Kalian akan
datang meminggul kebaikan-kebaikan yang telah kalian
lakukan. Dan pada hari itu aku membalikkan wajahku dari
kalian. Kalian akan memanggilku, ‘Ya Muhammad’ untuk
memohon pertolongan. Namun, aku tak akan menjawab.
Aku akan melakukan ini (saat itu dia membalikkan wajahnya
ke arah lain). Sekali lagi kalian memanggil ‘Ya Muhammad’,
dan sekali lagi aku akan melakukan seperti ini (sekali lagi
membalikkan wajahnya).”
Orang-orang Mekah terdiam di hadapan ajakan itu.
Bagaimana ia melakukan ajakan ini?
Baik, rendah hati, serta dengan ucapan satu satu per satu
dan fasih.
Sebuah ajakan yang seakan-akan penuh dengan ketegasan
seorang raja dan penuh dengan kekuatan.
Ucapan-ucapan al-Amin bekerja untuk orang-orang di
barisan depan.
Khadijah yang berada di barisan terakhir mendengarkan
dengan penuh iman, kasih sayang, semangat, dan penuh
perhatian. Orang-orang yang memanggilnya “anak yatim
Mekah” berkata di atas puncak Safa menggunakan kata-kata
yang menghancurkan gunung-gunung.
317
_ Salat Pertama
Saat itu, Khadijah seakan-akan melihat Ismail bersama
dengan Hajar, ibunya. Orang yang mengajak itu adalah
utusan terakhir yang dari generasi Nabi Ismail. Bukit Safa,
yang menjadi saksi, sekali lagi menjadi tempat suci beberapa
abad kemudian.
Kali ini dengan bahasa yang rendah hati, penuh ampunan,
dan ketegasan yang mampu mendiamkan para raja.
Bangga, bangga, bangga... syukur, syukur, syukur. Khadijah
meneteskan air mata ketika mendengarkan pidatonya.
Pada saat itu....
Ketika semua terdiam membeku mendengarkan ajakan
terbuka, tiba-tiba Abu Lahab berteriak.
“Kurang ajar. Kamu panggil kami hanya untuk
mendengarkan omong kosong ini?”
Kata-kata itu seperti batu besar yang dilemparkan kepada
keponakannya.
Kejadian itu menjadi sesuatu hal yang mengejutkan.
Paman kandungnya sendiri memalukan keponakannya
di hadapan semua orang. Para pendengar yang
sebelumnya mendengarkan dengan hikmah dan penuh
dengan keingintahuan mulai pergi satu per satu setelah
mendengarkan ucapan Abu Lahab. Sekali lagi, Abu Lahab
menghancurkan semuanya.
Khadijah melihat kejadian ini dengan pandangan sedih.
Ia adalah satu-satunya orang yang selalu berada di samping
suaminya setelah orang-orang pergi menuju jalan mereka
masing-masing. Khadijah berkata kepada suaminya agar tak
sedih dan putus asa. Ya, kali ini dirinya harus membantu
suaminya. Dan khususnya kepada para perempuan yang
menyukai mereka. Oleh karena itu, mereka mengajak para
perempuan.
318
Rupanya, orang-orang terhormat seperti Abu Jahal,
Abu Lahab, Walid bin Mughirah, Ash bin Wail, dan Utbah
bin Rabiah, juga tak suka dengan upaya yang dilakukan
Khadijah. Mereka mencegah kedatangan para ibu, saudara
perempuan, dan istrinya kepada Khadijah dan al-Amin.
Namun, mereka adalah muslim pertama yang selalu yakin
dan tegas dengan keputusan mereka, ibarat sebuah benteng
yang sabar dan kokoh.
Sebaliknya, orang-orang yang dikirim untuk mengubah
keyakinan Khadijah malah
kembali dalam keadaan
terpengaruh. Kali ini mereka berkata, “Menjauhlah wanita
dan para putri Khadijah.”
“Agama ini adalah agama Allah, para malaikat, dan
para nabi. Agama kakek moyang kita, Nabi Ibrahim. Allah
mengutusku untuk berdakwah kepada seluruh umat
manusia.”
Dirinya adalah satu-satunya orang yang memangil dan
berteriak dalam keramaian. Khadijah, Ali, Zaid, dan putriputrinya, kemudian Abu Bakar, Abdurrahman bin Auf,
Zubair bin Awwam, Utsman bin Afan, Saad bin Waqas,
Talha bin Ubaidullah, Ammar bin Yasir, serta Bilal pun
menjadi muslim.
Hal yang menarik perhatian di antara keluarganya adalah
keikutsertaan para wanita dalam perkumpulan laki-laki.
Rumah Khadijah menjadi sebuah sekolah. Rumah itu ramai
dengan para wanita yang belajar agama baru. Bibi Saiyah,
Arwa, Umaimah, dan Atikah, anak-anak perempuan sang
bibi, Sa’da binti Quraisy dan Arwa binti Quraisy, Hamna dan
Zainab, serta istri pamannya Abbas, Lubabah, mereka ibarat
sekumpulan lebah yang datang karena ajakan Khadijah.
Mereka benar-benar pekerja keras yang tangguh.
319
_ Salat Pertama
Sungguh, ajakan agama baru dan tauhid telah mengganggu
keberlangsungan agama nenek moyang mereka. Apalagi,
sebagian besar dari mereka adalah kaum pagan dan para
pedagang. Mereka berpikir mengapa utusan terakhir datang
dari garis Abdul Muthalib bukan dari mereka.
Rumah Khadijah menjadi sebuah
sekolah. Rumah itu ramai dengan para
wanita yang belajar agama baru. Bibi
Safiyah, Arwa, Umaimah, dan
Atikah, anak-anak perempuan sang bibi,
Sa’da binti Quraisy dan Arwa binti
Quraisy, Hamna dan Zainab, serta
istri pamannya Abbas, Lubabah, mereka
ibarat sekumpulan lebah yang datang
karena ajakan Khadijah. Mereka
benar-benar pekerja keras yang tangguh.
Abu Jahal berkata seperti ini kepada orang-orang
dekatnya.
“Kita selalu berkompetisi dengan kaum Abdul Manaf dan
Syams di berbagai hal yang menyangkut kehormatan. Mereka
menjamu makan, kita ikut menjamu. Mereka melakukan
berbagai macam tugas, kita juga melakukannya. Mereka
320
memberi dan melakukan kebaikan, kita pun memberikan
dan melakukan kebaikan. Mereka seperti orang-orang yang
berkompetisi di atas unta dan selalu bertarung dengan kita.
Sekarang, mereka berkata bahwa ada seorang nabi yang
menerima wahyu dari langit. Bagimana bisa kita menerima
semua ini? Bagaimana kita bisa memberikan perlawanan?
Kita takkan pernah bisa menerimanya. Satu hal yang bisa
kita lakukan, kita tak akan tunduk kepada generasi Abdul
Manaf.
Mengapa kenabian datang kepada anak yatim Mekah?
Ketika semua kekayaan dan kebanggan berada di tangan kita,
mengapa utusan terakhir diberikan kepadanya?” ucapnya
dengan intonasi mengejek yang terasa menyakitkan bagi
Khadijah dan suaminya.
321
Seperti Lautan
S
ejak lahir, kehidupan Khadijah seperti laut yang tidak
pernah kurang ombaknya.
Tidak ada pekerjaan yang datang secara bergantian.
Setiap pekerjaan dan segala urusannya seperti sebuah
magnet yang menarik dirinya, yang membuatnya selalu saja
berada di antara banyak pekerjaan yang harus ditangani.
Kebanyakan orang menginginkan kehidupan dengan lacilaci dan gantungan-gantungan yang tersusun rapi, jauh
dari ricuh pertengkaran. Namun, kehidupannya justru jauh
dari hal tersebut, seperti koper yang susah ditutup karena
sudah sangat penuh. Kehidupan Khadijah adalah sebuah
perjalanan panjang yang sebenarnya.
Sebagai orang pertama yang mengimani agama
yang baru, sekaligus sebagai salah satu penebar dakwah
pertama, Khadijah banyak mendapat perlawanan tajam dari
lingkungan maupun bangsawan Mekah. Di sisi lain, Khadijah
juga berperan dalam masalah-masalah yang berlaku umum.
Bisa dikatakan, dirinya hampir tidak pernah luput dari
perhatian kehidupan duniawi.
Contohnya ketika ia kembali mengandung buah hati.
Seluruh ritme kehidupannya tiba-tiba menjadi seperti ratu
lebah yang tiada henti mengurusi sarangnya yang terusmenerus berdengung. Di antara runtutan urusan-urusan
itu adalah menyaksikan suaminya yang hari demi hari
senantiasa bercengkerama dengan malaikat bernama Jibril,
322
meskipun dengan emosi yang kian hari kian memuncak dan
hampir setiap waktu terjadi keributan di salah satu sudut
kota.
Di satu sisi, Khadijah setia mengamati putri-putrinya
yang telah berumah tangga, sementara di sisi lain sibuk
menyiapkan pernikahan bagi putri-putrinya yang telah
bertunangan. Di sisi yang lain lagi, Khadijah mengisi harihari Fatimah kecil Sang Bunga Rumah, menyambut dan
menjamu tamu-tamu yang datang, menyampaikan ajaranajaran agama kepada mereka, mengikuti perkembangan
musim panen, perjalanan dagang, dan menghitung harta
benda, memperbaiki bagian rumah yang rusak, mengurus
taman, merawat unta-unta yang terserang penyakit,
mengusir hama-hama yang sering muncul pada karungkarung kurma, menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa
ikan yang mati di kolam pada pekan lalu adalah sebuah
takdir, memberi perhatian khusus untuk Ali dan Zubair
yang ketika itu tengah mengalami pubertas dengan segala
kekhasannya, serta hadir dalam berbagai takziyah, akikah,
dan perpisahan.
Khadijah berdiri teguh di antara berbagai dera.
Kadang, setelah semua telah tidur, ia memikirkan satu
per satu keluarganya. Mengetahui bahwa semuanya sehat
dan tertidur pulas di bawah atap yang sama adalah sebuah
kebahagiaan yang tidak terkira. Dan pekerjaan yang harus
ia kerjakan seolah bintang yang bertebaran di langit, begitu
melekat kepada dirinya. Ketika ia akhirnya tertidur bersama
bintang-bintang, kadang tidak tersisa satu mimpi pun untuk
dilihat karena hidupnya sudah menyerupai mimpi: berlari…
berlari… terus berlari… dalam dirinya bersemayam seorang
gadis remaja.
323
_ Seperti Lautan
Hari kelahiran Abdullah, putranya, mengukir
kegembiraan di wajah semua orang. Bahkan, belum genap
beristirahat di tempat tidur keibuannya, ia kembali beranjak
untuk memulai lagi kehidupannya, meneruskan hidup yang
bagaikan lautan berkecamuk ombak.
Tak pernah merasa terbebani.
Tak ada penyesalan.
Tak pernah mengerutkan alis.
Dia, adalah laut… adalah cinta. Kata cinta yang tertulis
di dahinya membuat Khadijah selalu sigap dalam setiap
kesempatan, setiap keadaan. Lengannya terbentang luas
bagaikan samudra. Tangannya seperti tercipta dari air,
rendah hati dan penyabar. Menjinakkan batu besar yang
perkataannya kasar dengan belaian kasihnya. Adalah Kapal
Risalah yang berlayar di atasnya, adalah ikan-ikan unik
umatnya yang hidup di dalamnya.
Dia adalah lautnya Mekah.
Ketika menyusui Abdullah, ia menyimak dengan
saksama hafalan ayat-ayat pertama putri kecilnya, Fatimah.
Sementara itu, di bagian bawah rumahnya, para muslimah
awal sudah tidak sabar untuk mendengarkan nasihat perihal
agama darinya. Dari kasak-kusuk yang didengar dari para
gadis yang ditugaskan menjamu tamu itu, Khadijah tahu
bahwa keributan telah terjadi. Kabar buruk yang terdengar
dari Pasar Dzu al-Majaz itu segera melesat bagai busur ke
dadanya, bagai susu yang hendak mendidih, dan terdengar
oleh Ibunda Khadijah.
Menurut kabar yang beredar, kericuhan itu terjadi ketika
suaminya yang juga sebagai Rasul Terakhir, mengajak orangorang di pasar untuk meninggalkan kegelapan dan menuju
cahaya.
324
Ketika itu, Rasulullah bersabda, “Wahai sekalian
manusia, katakanlah, sesungguhnya tiada tuhan selain
Allah agar kamu sekalian selamat!” Abu Jahal, seperti biasa,
dengan penuh olokan menolak ajakan tersebut. Bahkan,
ia sempat mengambil segenggam tanah dan kemudian
melemparkannya ke kepala suci Rasulullah.
Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Melemparkan
tanah ke kepala seseorang, menurut adat Mekah, adalah
hinaan terburuk yang pernah dilakukan. Abu Jahal merasa
puas dengan kelakuannya itu dan berkata, “Hai sekalian
Ketika menyusui Abdullah, ia
menyimak dengan saksama hafalan ayatayat pertama putri kecilnya, Fatimah.
Sementara itu, di bagian bawah
rumahnya, para muslimah awal sudah
tidak sabar untuk mendengarkan nasihat
perihal agama darinya.
manusia, orang ini ingin membelokkan kalian dari agama
terhormat nenek moyang kalian. Janganlah kalian sekali-kali
menaatinya! Dia menginginkan kalian untuk meninggalkan
tuhan-tuhan kalian, meninggalkan Latta dan Uzza kalian.
Jangan pernah kalian mendengarnya!”
325
_ Seperti Lautan
Ucapan itu seperti meredupkan pancaran cahaya
kalimatullah. Selanjutnya, kericuhan pun terjadi. Tubuh
al-Amin berbalut debu. Rambut dan jenggotnya dipenuhi
tanah. Pakaiannya pun terkoyak.
Ibunda Khadijah yang mendengar kabar tidak sedap itu
seperti terguncang. Segera saja air susu tidak keluar dari
dadanya. Putra mungilnya, Abdullah, yang berada dalam
pangkuannya bagai anak domba yang kebingungan mencaricari air susu. Tidak tega.
“Bismillah.” Dadanya diperas seraya menyebut asma
Allah.
Tidak keluar air susu…
Bismillah…
Masih tidak keluar…
“Ya Rabb, berilah pertolongan untuk rumah utusan-Mu.
Bismillah….” rintihnya.
Kali ketiga, karena begitu keras memeras, yang keluar
adalah susu bercampur darah.
“Mekah, betapa cepatnya kau berpaling dari kami,”
ucapnya dalam hati.
Khadijah harus tenang. Mengemban janji yang berat tentu
akan berhadapan dengan ujian semacam ini. Harus kuat, ia
harus kuat mengingat banyak orang yang menaruh harapan
kepadanya. Abdullah segera ditidurkan ke ranjangnya. Ia
lalu memberi selamat kepada Fatimah atas hafalannya. Saat
turun ke bawah, Khadijah mencari wajah penuh senyum
yang biasa ia tunjukkan kepada para tamu muslimah
itu dari dalam dirinya. Dengan susah payah, ia akhirnya
menemukannya dan memasang wajah penuh senyum itu.
Oh… Khadijah, ibunda seluruh umat.
326
Di hari-hari sulit yang dilalui suaminya, bukan hanya
kesabaran melainkan juga guyuran kesabaran yang ia
harapkan. Bukan lagi sekadar sabar, melainkan hujan
kesabaran yang ia inginkan.
Menjelang malam, Zainab, putrinya yang menikah
dengan putra dari saudara perempuannya menghampirinya.
Ada kesedihan yang menggantung di wajah putrinya. Atau,
adakah yang membuatnya bersedih di rumahnya? Dibelai
rambut putrinya, dicium jemari yang berinai dan bercincin
itu. Menantunya adalah seorang yang mengetahui besarnya
arti nikmat, seorang pemuda yang berwibawa. Bagi
Zainab, suaminya tak pernah meninggalkan matanya di
belakang. Kalau begitu, apakah gerangan yang tidak Zainab
ceritakan kepadanya? Mengapa wajahnya pucat? Ketika
ditariknya ke belakang jilbab sutra yang menutupi kepala
putrinya, ia terkejut menemukan penuh bekas luka. Zainab
menutupinya, tak ingin ibunya tahu. Sang ibu pun berpurapura tidak melihat bekas luka itu. Ia berpura-pura melihat
kalung yang dihadiahkan kepada putrinya saat pernikahan.
Seraya ingin mengganti topik pembicaraan, sambil menelan
ludah, Khadijah bertanya, “Kau suka hadiah ini, Zainab?”
Beberapa tahun kemudian, di Perang Badar, hadiah itu
akan menjadi jaminan keselamatan bagi suaminya. Kalung
pemberian dari Ibunda Khadijah ini akan menjadi penolong
bagi suami Zainab.
Zainab, seolah sudah menunggu pertanyaan itu, tidak
kuasa menahan dirinya. Ia menangis terisak. Kepala Ibunda
Khadijah mendidih dibuatnya. Ataukah putrinya tidak
nyaman berada di rumahnya sendiri? Ada apa dengan bekas
luka di tengkuknya itu?
327
_ Seperti Lautan
“Para pengantin boleh menangis begini. Namun, ibunda
mereka adalah orang kepercayaan mereka. Bukan begitu,
Zainab?” tutur Khadijah.
Zainab tenggelam dalam pelukan ibundanya. Dengan
terisak, ia mulai menuturkan kisahnya.
Derita Zainab sebenarnya adalah ayahandanya.
Hari ini, saat sedang berjalan dari pasar ke pasar, ia
menemukan ayahandanya tengah berdakwah mengajak
orang-orang menuju ke Agama yang Benar. Kata-katanya
begitu sopan, begitu tulus dari lubuk hati terdalam. Ia
memberi salam ke semua orang. Satu per satu dari mereka
dijelaskan tentang keesaan Allah. Akhlaknya yang menjaga
etika moralitas yang indah, arti dari pemilik segala kebaikan,
dan pasar yang dikelilinginya demi menyampaikan pesan
bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sementara belaka.
Namun, telinga orang-orang itu tersumbat demi mendengar
sabdanya. Kemudian, di depan ayahandanya berdiri orangorang yang menirukannya. Mereka juga yang melemparkan
tanah ke kepalanya dan menjambak rambutnya. Kini, seluruh
tubuhnya berbalut debu. Di antara caci maki dan hinaan,
sang ayahanda masih saja gigih menyampaikan risalah ilahi,
satu per satu seperti mutiara dengan penuh kesabaran.
Makian demi makian semakin meningkat. Mereka mulai
mengancam dan meneriakkan sumpah-sumpah akan
menyiksa orang yang telah meremehkan tuhan-tuhan
mereka. Hingga mentari merangkak naik ke puncaknya,
Zainab masih mengawasi ayahnya dengan harapan kosong.
Kemudian, seiring hari kian menuju puncak panasnya,
orang-orang yang kasar lagi kurang ajar itu pun beringsut
bubar, meninggalkan Rasulullah sendirian dengan tubuh
328
berbalut debu dan tanah. Agar tidak mengundang orangorang untuk mencacinya, ia pun menutup wajahnya dengan
kain. Meskipun berada dalam balutan jubah dan syal,
Rasulullah masih mengenali putrinya yang saat itu berjalan
mendekatinya.
“Kaukah itu, Zainab?”
Zainab segera menyerahkan kendi berisi air yang ada di
sampingnya kepada sang ayah. Dengan bibir yang berdarahdarah, seraya mengucap basmalah, sang ayah mulai meneguk
air dari kendi itu. Setelah mencuci wajahnya, tampak
sebagian dari air itu bercampur darah dan peluh. Ketika
membersihkan pakaiannya yang berdebu, tersenyumlah ia
kepada putrinya. Dan ketika Zainab tidak bisa menahan
dirinya untuk menangis, seperti biasa, sang ayah akan
mengelus kepala putrinya sembari berkata, “Zainab… oh
Zainab.”
“Wahai Putriku, jangan takut akan ayahmu. Yang
menugaskan pekerjaan ini adalah Allah. Jangan takut,
Zainabku,” lanjutnya menenangkan.
Setelah berpisah dari ayahandanya, si wanita muda
itu pun segera berlari meninggalkan pasar. Ia berusaha
menghindar dari orang-orang kasar yang menyadari bahwa
itu dirinya. Ketika berlari, kakinya tersandung sesuatu
sehingga ia terjatuh. Kendi yang ia bawa pun pecah sehingga
melukai tengkuknya.
Sambil terisak, Khadijah berusaha menenangkan putrinya
yang mengkhawatirkan hidup ayahnya.
“Zainabku, jangan bersedih,” katanya. “Allah bersama
Ayahmu!”
329
_ Seperti Lautan
Sebuah kaca seperti yang meledak dalam dirinya. Pecah,
dan serpihannya menyayat hatinya. Terluka di depan mata
anaknya sendiri, ayah mana yang sanggup menanggungnya?
Begitu pula, anak mana yang hatinya tidak tercabik-cabik
melihat ayahnya sendiri dalam kondisi seperti itu? Namun,
ia tentu saja tidak boleh mengatakan kepada anaknya.
“Zainab sayang, lihatlah. Adikmu ingin membacakan
ayat-ayat yang baru saja dia hafal kepadamu,” kata Khadijah
sembari memberikan Fatimah yang dari tadi memamerkan
pita-pita kepang rambutnya kepada sang kakak ke
pangkuannya.
“Bagaimana Halah, apakah ia baik-baik saja? Aku sangat
merindukannya,” tanya Khadijah.
Pada saat yang bersamaan, matanya sibuk mencari
Zaid dan Ali. Ia harus segera mengirim mereka ke sisi
Rasulullah.
“Saudara-saudara yang hendak menunaikan salat Magrib
di rumah kami, aku mencari Zaid dan Ali. Mereka harus
menyiapkan kamar untuk tamu laki-laki kami,” kata Zainab.
Begitu namanya dipanggil, Zaid segera melongokkan
kepalanya ke pintu.
“Para singaku.. ” kata Khadijah,
“Lari dan susullah Rasulullah.”
330
“Zainab, kau tidurkan saja Fatimah. Aku segera datang.
Bahkan, akan kupanggil juga mertuamu untuk datang. Kita
salat bersama-sama. Kami tidak akan melepasmu secepat
itu.”
Meskipun mereka berusaha untuk tidak membuat para
tamu wanita merasa khawatir, ternyata Khadijah mendapati
para pemuda di rumah itu menjadi waspada. Bahkan, Ali,
demi menyampaikan perihal kejadian itu kepada ayahnya,
Abu halib, segera melesat menuju rumah lamanya. Zubair
juga menarik pedang seukuran tinggi badannya seraya
berkata, “Jika mereka hendak melakukan sesuatu terhadap
Rasulullah, mereka akan menemukanku di hadapan
mereka.” Ucapan pemuda kecil itu cukup membuat Khadijah
tersenyum.
“Para singaku….” kata Khadijah, “Lari dan susullah
Rasulullah.”
331
Yang Terdekat, Yang Terjauh
“Sungguh, Kami akan menurunkan kepadamu
perkataan yang berat.”
(Q.s. Muzzammil: 5)
U
jian macam apa ini?
Orang-orang terdekatnya, yang hingga kemarin
masih bersama bahu-membahu dalam meraih kemenangan
besar dan menjaga martabat, hari ini bergerak sendirisendiri seperti tidak saling kenal. Mereka yang hingga
kemarin masih bersama-sama menikmati jamuan makan
tanpa kurang suatu apa pun, hari ini menjadi musuh. Pihakpihak yang saling berbagi suka maupun duka sejak lahir
sampai nanti mati, ada apa dengan mereka ini?
Apakah semua ini karena mereka berikrar bahwa Allah
itu satu?
Apakah karena mengakui bahwa mereka adalah muslim
sehingga layak untuk mengalami runtutan siksaan semacam
ini?
Sahabat lama yang memutus salam, memutus ucapan
selamat pagi. Bahkan, segera saja pintu dan jendela
dibanting dengan keras di depan wajah mereka. Atau segera
memalingkan muka ketika melihat mereka.
Dua tetangga rumah terdekat, Abu Lahab dan Ukbah bin
Abu Mu’ait, sudah sejak dulu melancarkan siksaan-siksaan
332
yang tidak terbayangkan sebelumnya. Mereka kumpulkan
duri dan semak untuk disebarkan ke jalanan yang dilalui
kaum muslim. Sampah dan segala macam benda menjijikkan
mereka buang ke depan pintu rumah-rumah kaum muslim.
Menanggapi kejadian-kejadian yang mengejutkan ini,
Khadijah dan suaminya hanya dapat berkata, “Apa ini yang
kalian sebut bertetangga?”
Tawa keras serta lemparan batu tidak jarang mereka
dapati. Kadang, Rasulullah terpaksa bersembunyi di sebelah
kiri pintu masuk “Penginapan Khuwaylid”, di belakang
tempat menyimpan hewan tunggangan. Mereka begitu
keras kepala, kasar, dan kurang ajar.
Sejak Alquran turun kepada Sang Utusan Terakhir,
seolah ada sesuatu yang berbeda yang terjadi pada hati
mereka. Alquran sebenarnya adalah al-furqan (pembeda).
Ketika Rasulullah mulai berbicara, muncullah perbedaanperbedaan itu. Semua orang melihat asal mereka, permata
mereka, melalui cermin ini. Mereka yang terbuka dengan
kebaikan, ketika mendengar seruan Utusan Terakhir,
langsung berlari menuju kebaikan. Sebaliknya, mereka
yang terbuka dengan keburukan akan berlari dengan cepat
menuju kehinaan.
Khadijah sendiri adalah wanita yang menjunjung tinggi
hukum berkenaan dengan kekerabatan dan kehidupan
bertetangga. Bukan hanya ia yang menjunjung tinggi
hakikat-hakikat tersebut. Menaati dua hukum tersebut
adalah salah satu dari peraturan-peraturan bermartabat
penting di Mekah.
Pepatah Arab menyebutkan, “Kekerabatan maupun
kehidupan bertetangga bagaikan selubung benih di dalam
tanah.”
333
_ Yang Terdekat Yang Terjadi
“Benih tanpa selubung, mungkinkah ia bertahan? Bagi
sebiji benih, untuk tumbuh menjadi tanaman berakar
diperlukan selubung untuk bersandar. Nah, selubung benih
itulah kekerabatan, itulah kehidupan bertetangga,” ucap
Khadijah.
Kerabat dan tetangga adalah kenangan.
Kerabat dan tetangga adalah lingkungan.
Kerabat dan tetangga adalah yang karib dan yang dekat.
Hukum yang mengatur tentang kekerabatan dan
kehidupan bertetangga bagi masyarakat Arab yang pada
masa itu hidup tanpa raja, ratu, menteri, maupun pemimpin
lainnya selama berabad-abad merupakan lembaga yang
berprofesi sebagai pengawal benteng yang membuat minyak
wangi. Lalu, apa yang berubah sekarang?
Yang berubah tentu saja berhubungan dengan apa yang
disampaikan Rasulullah, yaitu yang menghancurkan sistem
kasta, yang bersandar pada tiang keadilan, persamaan di
antara semua manusia, dan tidak diragukan lagi dari semua
ini adalah krisis transisi menuju sistem baru yang berdasar
pada pokok hukum.
Ketika berbagai tanggapan itu dilontarkan, jarak
diturunkannya ayat satu dengan yang lainnya merenggang
lagi. Caci-maki dan hinaan semakin hari semakin bertambah.
Orang yang melintas di sampingnya berceletuk, “Wahai
Muhammad, adakah hari ini yang turun dari langit lalu
berbincang denganmu?”
Tak jarang pula mereka mengumpat yang ditujukan untuk
para hamba sahaya yang memeluk Islam, “Harta karun Kisra
dan kaisar apakah akan diberikan kepada mereka ini?” umpat
mereka dengan tawa terbahak-bahak yang menyayat hati.
334
“Kisah masa lampau….”
“Perkataan gila….”
“Mantra-mantra sihir.…”
Semua itu adalah ungkapan-ungkapan tentang hurufhuruf Allah atau Alquran yang para pengkhianat itu sebarkan
ke sekeliling mereka.
Dan ancaman pun masih datang silih berganti. Dengan
suara kencang, mereka berkata, “Barang siapa yang
mengunjungi Kakbah dan mendirikan salat, kami tahu apa
yang harus dilakukan kepada mereka.”
Bahkan, suatu ketika Abu Jahal pernah bersumpah di
depan khalayak, “Jikalau mereka datang dan mendirikan
salat, akan kuinjak tengkuknya dan kuseret wajahnya di
tanah.”
Suatu ketika, ia pernah hendak menginjak tengkuk
Rasulullah ketika sedang sujud. Namun, belum sampai
menginjak, ia kembali pulang. Saat ditanya perihal hal ini,
ia pun menjawab, “Aku sudah akan menginjaknya. Namun,
setiap kali akan melakukannya, aku melihat dinding dari api
yang mengelilinginya.”
Meskipun hidupnya selalu dipenuhi dengan ancaman,
Khadijah tak pernah sekalipun melewatkan pergi ke Kakbah
dan salat di sana bersama sang suami. Bahkan, meski
ancaman kematian datang mendera, ia dengan gigih dan
berani tidak beranjak selangkah pun dari sisi suaminya.
Di antara segala tanggapan, baik dari segi keagamaan
maupun sosial, kehilangan Abdullah kecil yang tengah mulai
belajar berjalan secara tiba-tiba tidak pelak menambah
berat kadar ujian yang harus dihadapi. Orang-orang berhati
kotor dan bermulut buaya segera mengambil kesempatan
335
_ Yang Terdekat Yang Terjadi
dari kesedihan mereka ini. Bahkan, mereka mulai menjuluki
Rasulullah dengan sebutan “pohon yang rapuh cabangnya”.
Suatu hari, seorang asing bertanya kepada ‘As bin Wail di
Pasar Ukaz sambil menunjuk ke arah Rasulullah yang saat
itu sedang sibuk menyerukan agama-Nya.
“Siapakah gerangan orang yang berbicara dengan
perlahan-lahan itu?”
“Dia? Dia itu hanyalah seorang yang keturunannya
terputus! Tak punya keturunan,” jawab ‘As penuh dendam,
penuh benci.
Dengan hati patah dan terluka, Rasul Allah itu pun
kembali ke rumahnya.
Ibunda Khadijah segera menenangkan diri. Ia mengajak
suaminya berjalan mengelilingi satu per satu ruangan yang
setiap sudutnya merupakan jejak turunnya wahyu, seraya
mengingatkan kembali akan tempat-tempat saat dirinya
pernah melihat Jibril. Dikenangkannya pula bahwa bukan
rumah lain melainkan rumah beliaulah yang Jibril datangi.
Meskipun hidupnya selalu dipenuhi
dengan ancaman, Khadijah tak pernah
sekalipun melewatkan pergi ke Kakbah
dan salat di sana bersama sang suami.
Bahkan, meski ancaman kematian datang
mendera, ia dengan gigih dan berani tidak
beranjak selangkah pun dari sisi suaminya.
336
“Engkau adalah Rasul utusan Allah Yang Maha Esa,”
katanya menguatkan hati.
Khadijah berkata dengan menatap mata Rasulullah
dalam-dalam. Sembari melakukan hal yang sama, ia berkata
lagi, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Ucapan itu begitu menyesakkan dada keduanya. Mereka
penat dengan siksaan orang-orang sehingga keduanya pun
tersungkur dalam sujud, membuka hati mereka untuk
Allah.
Rasulullah pun merintih dalam doanya.
“Ya Rabbi! Tunjukkanlah kepadaku petunjuk-Mu yang
akan memberi kekuatan bagi hatiku dan yang menghilangkan
kesedihan ini dariku!”
Di masa penuh ujian yang harus dilewatinya ini, Khadijah
adalah satu-satunya sandaran, satu-satunya hiburan
baginya…
Khadijah tidak pernah barang sekejap pun ingkar dari
imannya kepada Allah dan apa pun yang dikaruniakan kepada
Rasul-Nya. Apa pun yang diwahyukan kepada Rasulullah
diterimanya. Karena itu, ia hadapi setiap ujian berat yang
dibebankan Allah kepadanya dengan penuh kesabaran.
Berbagai macam orang, yang baik maupun buruk, pernah
ditemui. Begitu berat dan sukar tugas sebagai seorang rasul
yang diemban suaminya sehingga pertolongan dan tauik
dari Allah saja yang mampu memberi kekuatan kepada para
nabi sehingga tetap gigih mengembannya risalah-Nya.
Khadijah, orang pertama yang mengimani Utusan
Terakhir, sebagai wakilnya, satu-satunya penghibur buatnya,
tidak diragukan lagi adalah yang terpilih untuk ikut berperan
337
_ Yang Terdekat Yang Terjadi
dalam terlaksananya tugas berat ini dengan selamat. Ia pun
adalah seorang yang mendapat dukungan langsung dari
Allah.
Kaum musyrik Quraisy dengan penuh keyakinan terus
mengikuti perkembangan kedatangan wahyu. Jika wahyu itu
terputus keluarlah kata-kata ejekan dari mereka, “Tuhannya
pun meninggalkan Muhammad.”
Khadijah, orang pertama yang
mengimani Utusan Terakhir, sebagai
wakilnya, satu-satunya penghibur buatnya,
tidak diragukan lagi adalah yang terpilih
untuk ikut berperan dalam terlaksananya
tugas berat ini dengan selamat. Ia pun
adalah seorang yang mendapat dukungan
langsung dari Allah.
Hujan hinaan dan duka karena kehilangan putra
berkecamuk dalam dada mereka. Namun, kesabaran dan
ketabahan jiwa mereka yang akan disempurnakan itu tak
goyah meskipun didera berbagai macam bara api, meski
segala macam kepahitan dunia telah mereka rasakan….
338
Kisah Empat Puluh Darwis
D
i lantai atas, Ibunda Khadijah terbaring sakit
dengan panas tinggi karena duka kehilangan putra
kecilnya. Di lantai bawah, karena paham akan hakikat
kematian, Berenis berbicara tentang hal tersebut di hadapan
para tamu wanita yang berkumpul di penginapan itu untuk
dalam rangka takziah atas wafatnya Abdullah.
“Ketika melewati Gurun Tihamah, kami menjumpai
gundukan yang tidak biasa. Ketika kepala rombongan
memberi waktu untuk beristirahat, bersama Tuanku, Tuan
Katip Tua, kami pergi mengunjungi gundukan itu. Di balik
gundukan itu berjajar empat puluh makam yang saling
berdampingan. Aku pun terkejut. Bulu kudukku berdiri.
Di gurun pasir sesunyi ini, bagaimana mungkin ada
empat puluh makam yang saling berdampingan seperti
ini? Ada misteri apa di balik semua ini?. Seolah tahu apa
yang kupikirkan, Tuanku menjelaskan, ‘Ketika empat puluh
sahabat Allah tengah berzikir kepada Tuhannya, mereka
menyerahkan nyawa mereka di sini...’
Aku yang merasa begitu dekat dengan Allah, waktu itu
masih belum mengerti untuk apa Dia mencabut nyawa
dengan sekali napas. Padahal, dalam hal mencintai, Allah
jauh lebih cinta ketimbang hambanya. Selain memberi nyawa
dan hidup, Allah juga mengambil nyawa, mematikan hidup.
Dia Mahakuasa untuk melakukannya. Semua manusia dan
segala sesuatu sudah ada derajatnya di sisi Allah.
339
_ Kisah Empat Puluhan Darwis
Kematian seorang hamba mungkin adalah kedukaan dan
perpisahan. Namun, bagi Allah, hal itu adalah pertemuan
dengan sang hamba. Setiap yang mati akan pergi dengan
membawa perintah, yakni untuk bertemu Rabb mereka.”
Sambil berbincang, para pelayan menjamu tamu takziah
itu dengan air dingin dan kudapan ringan.
Khadijah masih berada di lantai atas. Air susu hangat
mengalir dari dadanya. Panas tubuhnya masih tinggi. Ia
sedang menyelam ke alam mimpi yang dalam. Dalam
mimpinya, ia melihat Qasim dan Abdullah berlarian
bertelangjang kaki di padang rumput yang luas. Keduanya
memakai jubah berwarna hijau. Mereka begitu riang, jauh
dari keramaian dan kesusahan. Dari jauh terlihat sebuah
istana mutiara berhiaskan bunga cempaka. Lampu-lampu
dari tiap jendelanya berkilau indah bak kristal. Dari setiap
sisi padang rumput itu memancar mata air sejuk. Sang bunda
berlari dengan jagoan-jagoan kecilnya. Berlari… berlari….
INSYIRAH, retak…
“Brak! Brak! Brak!”
Belum usai kunjungan para tamu takziah, malam itu
tak biasanya terdengar suara pintu digedor dengan keras,
sampai-sampai semua orang terbangun dari duduknya.
Yang datang adalah juru bicara Abu Lahab. Mereka berdiri
di ambang pintu dengan wajah hitam kelam berteriak-teriak
seraya mengumumkan batalnya pertunangan dengan putriputri Rasulullah, Ruqayah dan Ummu Kultsum.
Bahkan, Utaibah yang tadinya akan menjadi calon
menantu Rasulullah mendorong para juru bicara itu hingga
bisa masuk ke dalam rumah.
340
“Aku tidak menyukaimu, kau juga tidak menyukaiku.
Aku tidak akan dan tidak ingin menjadikan putrimu sebagai
istriku,” teriak Utaibah mencerca Rasul Allah.
Rasulullah yang bersedih atas ucapannya kemudian
berdoa, “Ya Allah, aku serahkan Utaibah kepada-Mu.”
Sebenarnya, peristiwa ini terjadi akibat tekanan dari
Ummu Jamil, istri Abu Lahab. Istri Abu Lahab ini adalah
seseorang di antara kaum musyrik dan tercatat dalam sejarah
Islam sebagai “pembawa kayu bakar”. Menurut mereka,
pembatalan pertunangan itu akan membuat keluarga
Rasulullah kecewa dan kisah-kisah atas nama keagamaan
yang mereka dakwahkan terputus.
Ummu Jamil adalah saudara perempuan dari pemimpin
Bani Umayyah, Abu Sufyan. Bersama dengan istri kakaknya
yang juga berlidah tajam seperti dirinya, Hindun, mereka
bersekongkol siang-malam menyusun rencana untuk
menyiksa keluarga Khadijah. Dan inilah penemuan terbaru
mereka. Melukai, menginjak-injak, dan menghancurkan
ajaran Muhammad melalui putri-putrinya.
Lagi pula, pertunangan itu memang tidak pernah
mendapat restu dari pihak keluarga sehingga pemutusan
itu tidak terlalu membuat sedih hati. Namun, bagi “pihak
wanita”, di kota yang sangat terikat dengan adat-istiadat
seperti Mekah, pemutusan pertunangan tentu mencoreng
martabat keluarga. Dan pengkhianatan yang ditujukan
ke rumah yang menjadi tempat Alquran diturunkan juga
dimaksudkan untuk tujuan yang sama.
Tidak ada yang tidak mendengar teriakan itu. Hindun bin
Abu Halah yang melihat semua lilin di rumah itu terbakar
segera menggamit pedangnya, kemudian lari menuju rumah
341
_ Kisah Empat Puluhan Darwis
ibunya. Ia tahu bahwa lagi-lagi telah terjadi sesuatu di depan
rumah wahyu.
Setibanya di rumah, dengan napas tersengal-sengal,
ia mendapati ibunya tersungkur di lantai, berduka karena
baru kehilangan putranya. Melihat hal demikian, Hindun
terpukul. Belum sempat memasukkan pedang ke dalam
sarungnya, ia berlari menemui Rasulullah, berlutut di
hadapan beliau. Kepada Rasulullah yang telah dianggap
sebagai ayahnya sendiri, ia menanyakan perihal kejadian
yang menimpa saudara-saudaranya.
Belum reda duka karena kehilangan
putra tercintanya, dengan segala kekuatan
yang ada ia berusaha menghibur putriputrinya. Ia menjadi dukungan bagi
suaminya yang dijuluki sebagai “Ayah
Para Putri”, dengan senantiasa menjadi
teladan tak tertandingi sepanjang sejarah
seluruh ibu. Tak ada guna putri-putrinya
berduka karena Allah telah melindungi
mereka dari keluarga yang buruk itu.
342
“Ya Rasulullah! Mengapa engkau izinkan Utbah dan
Utaibah membuat saudara-saudaraku bersedih? Jika ada
yang perlu kami lakukan, tolong katakan itu kepada kami.”
Saat berkata demikian, tangan Hindun bin Abu Halah
menggenggam gagang pedangnya sekuat tenaga yang
tersisa. Tidak ada pengorbanan yang tidak dilakukan demi
saudara-saudara perempuannya. Bisa saja ia pergi ke rumah
Abu Lahab, mengobrak-abrik rumahnya atau bertarung
satu lawan satu dengan Utbah dan Utaibah. Ya, keluarga
ini sudah terlalu banyak mengalami kesulitan akibat ulah
mereka. Ia pun menunggu perintah dari Tuannya.
“Wahai putraku, Hindun bin Abu Halah, ternyata Rabbku hanya mengizinkan anak-anakku menikah dengan para
ahli surga. Musuh Allah memang tak layak untuk menikahi
anak-anakku.”
Sebenarnya, tekanan yang sama juga dialami kemenakan
Khadijah, Abu al-‘Ash bin Rabi. Para pembesar kaum
musyrikin menjanjikan memberinya gadis Mekah manapun
yang diinginkan jika bersedia menceraikan istrinya yang
juga putri Rasulullah, Zainab. Namun, semua itu hanya siasia belaka. Abu al-‘Ash tetap setia mencintai Zainab dengan
cinta yang besar, bahkan meski Zainab telah menjadi
muslimah.
Dalam hal ini, Khadijah ibarat saklar utama, tiang penahan
yang diharapkan keruntuhannya melalui putri-putrinya. Ia
kembangkan lengannya menjadi sayap untuk anak-anaknya.
Ia kumpulkan anak-anaknya di rumah wahyu. Belum reda
duka karena kehilangan putra tercintanya, dengan segala
kekuatan yang ada ia berusaha menghibur putri-putrinya.
343
_ Kisah Empat Puluhan Darwis
Ia menjadi dukungan bagi suaminya yang dijuluki sebagai
“Ayah Para Putri”, dengan senantiasa menjadi teladan tak
tertandingi sepanjang sejarah seluruh ibu. Tak ada guna
putri-putrinya berduka karena Allah telah melindungi
mereka dari keluarga yang buruk itu.
Ketika taman mawar Rumah Wahyu ingin diporakporandakan, kekuatan kedewasaannya yang seperti sebuah
rumah yang mulia, yang dipakainya sebagai tameng demi
melindungi lingkungan sekitar keluarganya, sudah hampir
mengering.
Allah seolah membagi tugas kepada Jibril dan Khadijah
sebagai kekuatan untuk menjaga taman mawar wahyu
sebelum turun surat an-Nas dan al-Falaq untuk menjaga
Rasulullah dan umatnya.
Jadi, Rasulullah mendapat dukungan kekuatan dari
malaikat dan seorang wanita.
Dan…
Tepat ketika mereka berkata, “Tuhannya pun
meninggalkan Muhammad…”
Dengan sokongan ayat-ayat baru yang akan membedah
hati mereka, keluarga al-Amin akan keluar dari masalah
yang datangnya bertubi-tubi ini.
Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
dan demi malam apabila telah sunyi,
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada pula
benci kepadamu,
(Ad-Dhuha)
344
Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?
dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,
yang memberatkan punggungmu?
Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu,
Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada
kemudahan,
sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu
berharap.
(Al-Insyirah)
Ayat-ayat ini turun dari langit bak mukjizat…
Ayat-ayat ini adalah keterangan yang menjelaskan
kehidupan semua umat…
Ayat-ayat ini adalah pesan-pesan bantuan ilahi yang
mengangkat beban mereka…
345
Matahari dan Bulan
Menjadi Saksi
K
aum musyrikin kota mendatangi Rasul Allah dan
Khadijah. Mereka menyaksikan pengikut yang
semakin bertambah jumlahnya. Tak bisa dibiarkan begitu
saja, mereka kemudian memutuskan menjalankan siasat baru.
Dikumpulkanlah anggota-anggota terhormat. Dengan tekad
bulat, mereka memberi perintah untuk memperingatkan
kemenakan Abu halib itu. Bahkan, dengan lantang mereka
mengancamnya dengan kematian jika perlu.
“Wahai, Abu halib! Engkau adalah salah satu dari
para sesepuh dan pembesar kami. Engkau adalah seorang
yang mendapat kehormatan di antara kami. Kami ingin
dirimu memberi peringatan kepada kemenakanmu agar
ia menghentikan apa yang dilakukannya. Namun, kau
tidak mengindahkan permohonan kami ini. Engkau tidak
bisa menghalangi kemenakanmu. Kami bersumpah tidak
akan bisa menanggung lagi perbuatannya yang mengkritik
tuhan-tuhan kami, lalu dengan bodohnya menyalahkan dan
menghina tuhan-tuhan kami. Kesabaran kami sudah habis.
Engkau hentikan kemenakanmu dari semua ini atau kita
berperang sampai salah satu dari kita lenyap!”
Sungguh sebuah ultimatum yang dahsyat.
Paman Abu halib yang sudah menua terlihat sedih dan
berduka. Khadijah mempersilakannya duduk di bantalan
empuk dengan penuh hormat.
346
“Wahai, Paman. Demi Allah,
seandainya matahari diletakkan di
tangan kananku dan rembulan di
tangan kiriku agar aku meninggalkan
perkara ini (menyampaikan risalah),
aku tidak akan meninggalkannya
hingga Allah memenangkan dakwah
ini atau aku binasa karenanya.”
“Pikirkanlah kemenakanku, aku, dan keluargaku.
Janganlah kalian membebaniku dengan beban berat yang
tak sanggup kutanggung.”
Saat bayangan wajah saudaranya, Abdullah, dan
cahaya jernih ayahnya, Abdul Muthalib, tersirat di wajah
kemenakannya, lalu ketika menantunya, Khadijah,
mengingatkannya akan bidadari-bidadari surga berada
di depannya, pikiran yang baru saja hendak diluluhkan
oleh para manusia haus darah itu kini membakar otaknya.
Ia memang tak pernah membedakan kemenakan dan
putranya sendiri. Hatinya yang penuh cinta dan kasih
sayang tak pernah membedakan antara putranya, Ali, dan
kemenakannya, Muhammad walau sebesar helai rambut.
Di luar maupun di dalam diri Abu halib, keduanya
senantiasa sama. Mata air kasih sayang yang mendidih
347
_ Matahari dan Bulan Menjadi Saksi
untuk kemenakan dan keluarganya dapat terbaca jelas dari
wajahnya. Pengabdiannya untuk mereka ibarat mata air
zamzam yang memancar di tengah gurun pasir nan tandus.
Gemetar tubuhnya akan Rumah Wahyu.
Namun, di hadapannya sekarang ini bukan lagi “Anak
Yatim Mekah”. Beliau adalah Rasul Allah.
Rasulullah kemudian bangun dari duduknya.
“Wahai, Paman. Demi Allah, seandainya matahari
diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan
kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (menyampaikan
risalah), aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah
memenangkan dakwah ini atau aku binasa karenanya.”
Sabda sebesar gunung….
Kalimat-kalimat sarat kekuatan ini membuat Khadijah
menangis. Keimanan kepada suaminya, sekali lagi,
makin menguat. Abu halib pun melihat kegigihan yang
ditunjukkan kemenakannya itu seperti kecemerlangan
mata. Ia akhirnya meninggalkan mereka seraya berjanji
untuk selalu berada di sisi mereka hingga ajal menjemput.
Kalimat itu, secara tiba-tiba, telah mengubah kekhawatiran
seorang ayah akan anaknya menjadi kepercayaan penuh dan
ketenangan di dalam dirinya. Ia juga telah menyandarkan
punggung kemenakannya ke sandaran yang benar. Ucapan
yang diikrarkan itu penuh dengan kesungguhan dan
kepercayaan.
Khadijah memandang lelaki di sampingnya dengan
penuh kebanggaan. Tak diragukan lagi, kekuatan yang telah
membuat suaminya seteguh ini adalah imannya.
348
“Yang membuat ia berbicara demikian pastilah Allah,”
pikirnya.
Yang berada di hadapannya adalah seorang rasul.
Jiwanya menunduk dengan penuh hormat di hadapan
keimanan agung yang lebih memilih Allah daripada bulan
dan matahari.
Sungguh, tangan kanan dan kirinya, dengan amanahnya
sebagai Utusan Terakhir Allah, jauh lebih mulia derajatnya
dibandingkan matahari dan bulan.
Matahari dan bulan kehilangan cahaya mereka di sisi
iman dan cintanya kepada Allah.
Beliau mendapat cahaya dan kekuatannya langsung dari
Allah…
349
Kapal Pertama dari Mekah
K
etika wajah kekerasan menunjukkan diri secara
langsung, terbuka, tanpa sekat, yang tebersit di
pikiran pertama kali adalah melarikan diri darinya. Akan
tetapi, kadang kita tidak bisa lari darinya.
Tak bisa lari darinya.
Bagi Khadijah, dengan usahanya yang memegang peranan
penting ketika dihadapkan pada sebuah kekerasan, ia
memiliki kepribadian kedua, yaitu mengamati sekelilingnya
dan setiap saat selalu siap jika harus menjadi saksi. Dengan
kepribadian ini, ia akan membusungkan dadanya penuh
keberanian. Keberanian yang didengar dari ayahnya ketika
masih gadis belia dan kemudian berkembang bersama
kehidupan yang penuh dengan kaidah akhlak. Ia tetap
bertahan dengan sabar dan pantang menyerah meskipun
takut atau saat tertindas.
Apakah wanita bernama Khadijah ini mengetahui
bahwa ia pernah menjejakkan kakinya di hari-hari penuh
perlawanan terlama di dunia?
Tidak ada senjata apa pun yang ia miliki untuk
menghadapi benteng kehidupannya. Yang ada hanyalah
sebuah jalan bernama ‘penantian’ dengan usaha yang khas
penuh kedewasaan dan kesederhanaan. Ia tidak akan diam
yang berlumut kepasifan dan kegentaran. Ia akan mengambil
sikap tegas penuh kemantapan yang mengarah pada usaha
dan perjuangan.
350
Kaki-kakinya begitu kokoh berdiri.
Tanpa merusak kuncup-kuncup harapan yang tumbuh
di bawah hujan kesabaran.
Ia akan menjaga kilau permata di dalam hatinya yang tak
tersentuh tangan siapa pun itu agar tetap bersinar. Dirinya
akan bersandar kepada Dia yang memberkati rumput teki
yang lemah namun bisa meretakkan batu marmer. Atau
ia akan melarikan diri kepada Dia yang telah menurunkan
kebagiaan dengan memberi kehidupan lagi melalui bunga
kardelen yang muncul di antara bongkahan gunung es.
Berlari ke pelukan-Nya.
Berlari ke pelukan Allah.
Sekarang, ia sudah lebih memahami makna di balik harihari ketika suaminya mengasingkan diri ke gua bertahuntahun lamanya. Ia mengerti bahwa suaminya telah mendapat
pendidikan khusus selama hari-hari itu. Namun, ketika ia
mengenang kembali apa saja yang telah disaksikan dalam
hidupnya, bukan berarti dirinya tidak menyadari telah
dididik dengan pengajaran yang berbeda pula.
Besi dan madu, berdampingan satu sama lain dalam
dirinya.
Adakah tersisa di dunia ini duka yang belum ia rasakan?
Kesedihan yang berlalu tanpa terlebih dahulu singgah di
sisinya? Hari-hari ketika sang suami pergi ke gua untuk
mendapatkan pendidikan atas kesendiriannya, sementara
pendidikan Khadijah selalu berlangsung di antara
keramaian.
Baginya, jejak kehidupan adalah kesabaran yang membuat
dahinya berkeringat. Dalam lubuk hatinya bersemayam
sebuah cermin mengilap: sebuah penantian.
351
_ Kapal Pertama Dari Mekah
Ibarat lautan yang ombak-ombaknya tak akan tumpah
ke seluruh tepian. Seperti ketika ia mengingat kembali harihari saat akan mengangkat kapal-kapal di pundaknya.
Penantian.
Dan…
Kesiagaan.
Seperti gunung-gunung yang tegap berdiri tanpa lelah
dan tanpa pernah kaki-kakinya bergeser sedikit pun. Seperti
ketika tiba waktunya memanaskan salju dengan sabar yang
mencair di atasnya lalu diubahnya menjadi sungai-sungai
yang kuat alirannya.
Penantian…
Membesar ketika menunggu, seperti bukit pasir yang
terpanggang di bawah terik mentari, bertambah banyak
ketika dipecah menjadi bagian-bagian, meluas, memanjang,
memberi, dan selalu memberi.
“Kasih tak bisa diberi sebelum ia hakiki,” tulis Siti Khadijah
dalam buku kewanitaannya.
Sebagai yang pertama dan yang terbesar dalam
memberikan kasih tulus sepenuh jiwa, Khadijah menjadikan
dirinya sebagai Kubra di jalan Muhammad.
Dalam keadaan ada maupun tiada, dengan ucapan
“Biarkanlah jiwa ini kukorbankan untukmu,” ia serahkan
dirinya untuk Rasul Semesta Alam. Dan ia menyerahkannya
kepada para pecintanya dengan apa pun yang ada maupun
tiada.
Penduduk kota yang tidak tampak pun akan terlihat
hakikatnya, nama yang sudah dikenal. Para budak, budakbudak yang telah merdeka, fakir miskin, orang-orang yang
sakit dan mereka yang dibuang ke luar kota, kaum lemah,
352
orang-orang yang hidup sebatang kara, kaum kusam,
bahkan mereka yang di tingkatan paling bawah pun tidak
mendapat tempat mulai keluar dari persembunyian lewat
ajaran-ajaran yang mereka dapatkan dari Rumah Wahyu
Khadijah serta merasakan makna dan harmoni kehidupan.
Mereka adalah orang-orang yang mampu. Orang-orang
yang dikaruniai nikmat. Mereka adalah orang-orang yang
diakui keberadaannya sebagai kekhasan harga diri manusia
karena mereka manusia.
Ummu Ubais…
Sumayyah…
Zinnirah…
Nahdiyah…
Lubainah…
Wanita-wanita lain, baik budak maupun yang sudah
dimerdekakan…
Mereka sudah beriman…
Mereka telah menjadi teman dekat dan sahabat karib
Khadijah.
Mereka jualah wanita-wanita yang dianiyaya dengan
siksaan-siksaan keras.
Ada di antara wanita-wanita itu yang dicongkel matanya,
disayat-sayat kulitnya, dipukuli hingga tulang-tulangnya
retak, ada pula yang diikatkan ke lima unta yang berbeda
hingga hancur tubuhnya.
Mereka adalah teman-teman baik Khadijah ketika
dipenjara dalam kamar tuli nan dingin ibarat es yang beku
yang dapat dijamah dengan mudah oleh sistem sehingga
layak tercatat sebagai muslimah-muslimah pertama. Namun,
di sisi lain, mereka juga menjadi sasaran kemurkaan orang-
353
_ Kapal Pertama Dari Mekah
orang terpandang yang tak mau menerima ajaran baru yang
berasaskan persaudaraan dan persamaan hak.
Bukan melarikan diri, menjauhi, atau menutup mata agar
tidak melihat kekerasan yang semakin nyata, mereka justru
berusaha melakukan seperti apa yang Khadijah lakukan.
Rumah yang dulu di tamannya yang
terdapat kolam tempat para hamba sahaya
memainkan rebana sambil bersenandung
riang kini berubah menjadi kamar dengan
ranjang-ranjang yang berjajar penuh
rintih kesedihan hingga tembus ke langit.
Satu tangan Khadijah dan putrinya,
Fatimah, memegang kendi, sedang tangan
yang lain membawa bungkus bekas luka.
Ia telah membuka pelukan dan rumahnya untuk mereka.
Di hari-hari terakhir, ia kenang rumahnya seperti rumah
sakit gurun pasir tandus bagi para wanita yang patah tangan
dan kakinya atau yang dibutakan matanya.
Rumah yang dulu di tamannya yang terdapat kolam
tempat para hamba sahaya memainkan rebana sambil
bersenandung riang kini berubah menjadi kamar dengan
ranjang-ranjang yang berjajar penuh rintih kesedihan
354
hingga tembus ke langit. Satu tangan Khadijah dan putrinya,
Fatimah, memegang kendi, sedang tangan yang lain
membawa bungkus bekas luka. Mereka berkeliling di antara
wanita-wanita yang menjerit kesakitan. Ada yang menemui
tuan-tuan mereka untuk meminta kemerdekaan bagi para
budak, namun kadang mereka membeli para budak dengan
tebusan. Sebisa mungkin Khadijah merawat, mengawasi,
dan memeriksa pasien-pasiennya. Suara-suara rintihan
dari kamar-kamar dan taman itu membuatnya tak pernah
merasakan kantuk hingga pagi menjelang.
Karena wanita-wanita itu sudah menjadi saudara-saudara
mereka…
Mereka tak akan menelantarkan saudara-saudara
mereka…
Pada hari-hari ketika pisau bertumpu pada tulang…
Setelah bertahan dalam waktu yang cukup lama,
dibuatlah keputusan untuk berhijrah. Tidak ada lagi
jaminan bagi kaum muslimin di Mekah untuk hidup aman
dan tenteram. Apa lagi ancaman-ancaman yang semakin
meningkat jumlahnya. Ketika kaum muslimin sibuk mencari
jalan keluar, khususnya Ustman bin Afan yang berkali-kali
memohon kepada Rasulullah, beliau memberi keputusan
untuk berhijrah. Arah diputar ke Habasyah, ke negeri raja
nan adil, Raja Najasyi.
Mendengar jalan yang akan ditempuh para pemuda
muslimin yang berhijrah dengan izin Rasulullah serta
mengetahui putrinya, Ruqayyah, juga akan berada di antara
mereka, Khadijah merasakan sesuatu yang sangat berat.
Selain melewati jalan panjang gurun pasir di bawah
pengawasan kaum musyrikin, masih ada jalan laut yang
355
_ Kapal Pertama Dari Mekah
juga harus mereka lalui. Apa lagi, menyadari kapal yang
akan mereka tumpangi akan menuju negeri yang tak
dikenal sebelumnya. Hanya Allah yang tahu dengan apa dan
bagaimana mereka akan disambut di sana.
Apalah artinya meninggalkan tanah air, meninggalkan
rumah, harta, dan benda? Seperti memasuki sebuah kamar
yang dikelilingi jurang hingga harus meraba-raba karena
setiap saat bisa saja terjatuh. Apalagi, isik Ruqayyah sangat
lemah. Apakah dengan kekuatannya itu ia akan sanggup
mengikuti perjalanan penuh rintangan ini? Dengan tubuh
ringkihnya itu, sanggupkah ia memikul beban berat ini?
Saat mendengar bahwa keputusan untuk berhijrah telah
disepakati, rongga dada mereka seolah terbelah menjadi
dua. Sebuah anak panah, anak panah perpisahan,seolah
menguraikan isi di dalam dada. Perjalanan perpisahan
yang belum pernah mereka alami dalam hidup ini sungguh
mengusik lubuk hati. Ternyata, masih ada alam-alam lain di
dunia ini yang belum diketahui, belum dirasakan?
“Bumi ini kepunyaan Allah dan ditundukkan untuk
hamba-hamba-Nya,” ungkap suaminya.
Bayang-bayang akan bagaimana jika takdir ilahi
menghendaki putrinya dan saudara-saudara sesama muslim
yang lainnya hilang di bumi yang sama atau tidak pernah
kembali lagi bergelayut menghantui…
Seiring jantungnya berdetak kuat bagai pompa, hatinya
pun terus mengelukan asma Allah.
“Ya Allah, lindungilah kaum Muhajirin kami! Ke mana
mereka pergi, bagaimana mereka pergi? Berapa hari
mereka harus menempuh gurun, berapa hari mereka harus
menempuh laut? Seperti apa pula tunggangan yang mereka
sebut kapal itu?”
356
Kekhawatirannya yang muncul satu demi satu
membuatnya tak pernah bisa tidur.
Kapal…
Kapal…
Kapal…
Seperti apa warnanya? Jika itu burung, tentulah ia
mempunyai sayap. Jika itu unta, tentulah memiliki punuk. Ia
dengar bahwa kapal itu memiliki layar yang jauh lebih lebar
dari telinga gajah. Tunggangan itu akan berjalan mengarungi
lautan tak bertepi layaknya gurun pasir yang luas dengan
membaca bintang-bintang untuk menentukan arah ke mana
akan pergi. Sementara itu, sejak kecil yang ia tahu adalah
bahwa manusia haruslah menapakkan kakinya ke tanah.
Baginya, laut mengalir di bawah kaki bumi.
Rasanya mirip dengan air mata.
“Berarti ada laut dalam diriku,” pikirnya.
Layaknya semua ibu, di dalam dirinya adalah laut, di
luarnya gurun.
Mulanya terpanggang kemudian dicuci.
Mulanya terpanggang kemudian dicuci…
Tiap kali memikirkan hijrah, seolah-olah ia sedang
membungkuk di depan keran kematian dan mengambil
wudu di bawahnya. Ibarat pergi dan tak akan kembali lagi,
kaum Muhajirin pertama itu datang mencium tangannya
dan berpamitan secara diam-diam. Khadijah merasa
dirinya harus tetap berdiri tegap dan penuh keberanian agar
tidak menggoyahkan semangat mereka. Khadijah tampak
seperti seorang pelaut yang berdiri di dek kapal dengan
senyum yang tak pernah pudar. Kepada rombongan yang
hendak berangkat hijrah itu ia ceritakan kisah Nabi Nuh
357
_ Kapal Pertama Dari Mekah
dan kapalnya. Segala macam persiapan perjalanan, seperti
bekal makanan, baju hangat, dan syal, diletakkan di bawah
tempat duduk mereka. Ditepuknya pundak mereka seraya
menyuntikkan keberanian. Tak lupa pula ia mendoakan
mereka.
Namun, ketika tiba giliran putrinya, Ruqayyah, memohon
pamit, saat membelai rambutnya yang menebarkan semerbak
wangi bunga, raga yang tadinya berdiri tegap di dek kapal
itu seolah-olah hendak roboh. Ketika gelombang ombak
menghempas dengan penuh amarah ke tubuh keibuan
itu, seperti layar kapal yang terkembang lebar, dipeluknya
Ruqayyah.
Menangislah mereka berdua dalam diam.
Lalu, ketika madu yang ada di dalam dirinya berubah
menjadi baju besi, Khadijah berkata menguatkan, “Kau
adalah putri Rasulullah. Jangan lupa akan itu!”
Dengan ucapan itu, tiba waktunya untuk memakai baju
perang dari besi yang sama, hanya saja kali ini berpindah ke
putrinya.
Kaum Muhajirin pertama.
Oh! Inilah kapal pertama yang berangkat dari Mekah.
Jalan yang pertama kali akan ditempuh kaum muslimin.
Dari rumah Rasulullah, Zubair juga akan turut serta naik
ke kapal hijrah itu. Belum lama ini ia mendapat himpitan
yang keras dari kaum musyrikin. Tubuhnya dipukuli hingga
bermandikan darah. Ia termasuk ke dalam daftar rombongan
yang akan berangkat itu: 12 laki-laki, 5 perempuan. Jumlah
mereka 17.
358
Satu yang menjadi masalah: keberangkatan mereka tidak
boleh diketahui kaum musyrikin. Jika sampai itu terjadi,
mereka akan menghalangi jalan dan menyandera kaum
muslimin.
Selain itu, bagi masyarakat gurun, perjalanan laut adalah
sesuatu yang menakutkan. Kehadiran para perempuan
dan anak-anak dalam rombongan kailah itu benar-benar
membuat khawatir karib kerabat yang ditinggalkan. Setelah
menempuh jalanan berliku tanpa meninggalkan jejak,
mereka sudah hampir sampai ke Dermaga Syu’aibah.
Namun, ketika tiba giliran putrinya,
Ruqayyah, memohon pamit, saat
membelai rambutnya yang menebarkan
semerbak wangi bunga, raga yang tadinya
berdiri tegap di dek kapal itu seolah-olah
hendak roboh. Ketika gelombang ombak
menghempas dengan penuh amarah ke
tubuh keibuan itu, seperti layar kapal yang
terkembang lebar, dipeluknya Ruqayyah.
Menangislah mereka berdua dalam diam.
359
_ Kapal Pertama Dari Mekah
Mahasuci Allah, sesampainya di dermaga, mereka
menemukan dua buah kapal yang tengah bersandar di sana.
Setelah tawar-menawar hingga turun menjadi setengah
harga, naiklah mereka ke kapal itu.
Kaum musyrikin Mekah yang mengikuti mereka
dari belakang baru bisa mencapai dermaga setelah kapal
menaikkan jangkarnya. Kuda-kuda yang mereka tunggangi
untuk mencapai laut terpaksa harus kembali dengan tangan
kosong.
360
Kisah Sang Kunang-Kunang
B
erenis…
Dalam kisah yang diangkat dari suatu masa, yang
seperti bulu burung yang tipis, yang bertahun-tahun tak
pernah jelas keberadaanya, ia merasa telah tiba waktunya
untuk kembali. Habbasyah adalah negerinya. Apa lagi laut, itu
adalah jalan yang telah dipahaminya dengan baik. Ide untuk
pergi bersama para Muhajirin membuatnya bersemangat.
Hatinya diliputi kebanggaan karena berkesempatan
menyaksikan kehidupan orang-orang besar dan berperan
penting dengan mata kepalanya sendiri.
“Inilah! Telah datang masanya untuk pergi, Dujayah.”
“Dan juga merupakan masa ketika orang-orang yang
telah datang sebelumnya bisa pergi kembali, Berenis.”
“Sudah besar kau rupanya! Ucapanmu sudah berubah!”
“Akankah mereka menerima kita untuk ikut bersama?
Akankah mereka mengizinkan kita naik ke kapal itu?”
“Bukankah kita memang berada di kapal itu?”
“Kapal Rasulullah sangatlah luas, bukan begitu Berenis?”
“Kapal Beliau hingga nanti hari kiamat tiba akan tetap
berlabuh di dermaga menunggu penumpangnya.”
“Kita akan sangat merindukan Khadijah, bukan begitu
Berenis?”
“Ia adalah laut. Lautan cinta. Lautnya Mekah. Ia adalah
wanita yang mengeluarkan laut segar dari dalam gurun nan
panas. Ia akan membawa serta kita bersamanya hingga hari
kiamat kelak.”
361
_ Kisah Sang Kunang-kunang
Andai ada harta benda yang mereka miliki untuk
dibawa, mereka tentu akan mengemasnya dalam bungkusan
kain atau peti kayu. Bertahun-tahun lamanya dalam kisah
sepanjang ini, dengan kebanggaan bisa tinggal, meski hanya
sementara, mereka bersiap secepat relek senyum yang
terkembang di wajah. Mereka akan segera berangkat. Meski
hanyalah sebuah bagian kecil, lebih kecil dari sebuah titik
dalam sebuah kisah, mereka akan menaiki kapal dengan
kenyataan bahwa ada dan tiadanya seolah tak berpengaruh
bagi siapa pun. Mereka ibarat khyalan di atas khayalan.
Berenis dan Dujayah bergandeng tangan dalam siluet
tipis yang berubah menjadi warna tinta seiring langkah
menuju kailah laut pertama yang hendak berangkat hijrah
ke Habbasyah.
Sepanjang perjalanan, Berenis menceritakan sebuah
kisah tentang kunang-kunang. “Seorang pemimpi tua
Negeri Kunang bertahun-tahun selalu bercerita tentang
kisah sebuah lilin kepada murid-muridnya yang juga sangat
disukai mereka. Seluruh murid menganggap diri mereka
telah memahami dengan baik arti cinta yang disebut lilin
itu.
Seorang murid berdiri di depan kelas, kemudian mulai
menceritakan semua pengalamannya yang berkaitan dengan
lilin. Riuh redam tepuk tangan pun membanjirinya, dan ia
pun dinobatkan sebagai juara sekolah.
Namun, apa mau dikata, si tua sang pemimpin Negeri
Kunang mengumumkan bahwa si murid berilmu itu tadi
hanya dianggap sebagai “mengetahui”.
Kemudian, bertanyalah sang pemimpin, ‘Wahai anakanakku, adakah di antara kalian yang pernah mengamati
362
lilin dari dekat?’ Karena tak ada tanggapan, seorang murid
pemberani segera maju ke depan kelas dan berjanji akan
mengamati lilin dari dekat di jendela sebuah penginapan.
Sang pemimpin memberi selamat kepada sang murid.
Akhirnya, sang murid memulai perjalanan penuh aral
itu. Setelah menempuh bermacam-macam kesulitan dan
marabahaya, sampailah ia ke sebuah penginapan. Murid
itu pun akhirnya dapat memenuhi janjinya, mengamati
lilin dari dekat. Setelah puas mengamati lilin yang menyala
itu, ia memutuskan pulang. Begitu banyak hal yang ingin
diceritakannya. Mereka yang belum pernah melihat lilin
mendengarkan ceritanya sambil menahan napas. Mereka
lalu mulai memberinya selamat yang teramat tulus dari
lubuk hati.
Namun, si tua pemimpin Negeri Kunang mengatakan
bahwa si murid baru sampai pada tahapan ilmu “ainul
yaqin”.
Ia lalu bertanya kembali, ‘Adakah di antara kalian yang
pernah berada di dekat lilin?’ Karena tak ada tanggapan,
seorang murid pemberani segera maju ke depan kelas dan
berjanji akan berada di sisi Lilin itu. Diiringi ungkapan
selamat dari teman-temannya, ia pun memulai perjalanan
berbahaya itu. Berhari-hari dan berbulan-bulan lamanya
perjalanan penuh aral, halangan, dan cobaan ditempuhnya.
Akhirnya, ketika sampai ke penginapan yang dimaksud,
kunang-kunang kecil itu menyadari bahwa apa yang
dikatakan teman-temannya itu benar. Lilin itu benar-benar
indah. Dengan pancaran cahaya yang sempurna, lilin itu
mengundang sang kunang-kunang ke dekatnya. Matanya
yang dibutakan cinta sudah tak lagi melihat apa pun di dunia.
363
_ Kisah Sang Kunang-kunang
Kunang-kunang itu pun jatuh menabrak lilin. Ia berusaha
kembali menggapai sang lilin. Namun, yang terjadi adalah
sayap dan tubuhnya terbakar habis. Ia menemui kesialan
justru pada lilin yang dicintainya. Teman-temannya yang
mengetahui kejadian itu menangisi kepergiannya akibat
jatuh ke dalam lautan cinta itu.
Si tua pemimpin Negeri Kunang kemudian mengatakan
bahwa yang patut mendapat ungkapan selamat adalah
teman mereka yang mati itu. ‘Nah, teman kalian inilah yang
disebut memiliki pengetahuan “haqqul yaqin”. Di antara kita
semua, dialah yang paling tahu dan benar pemahamannya
atas perkara lilin itu. Ia telah melawan serta menghancurkan
segenap hawa nafsunya untuk menemukan hakikat
kekasihnya. Sebuah puntung saat bertemu dengan abunya.
Kematian, bagi kita, adalah hari raya,’ kata sang pemimpin
menutup pelajarannya.”
Berenis pun mengakhiri ceritanya.
Dujayah yang mendengarkan kisah itu dengan saksama
bertanya, “Kita juga telah jatuh cinta pada lilin itu. Bukankah
demikian, Berenis?”
“Untuk berhasil mencapai hakikat cinta pada lilin itu,
kita harus berkorban di jalannya, Dujayah.”
“Apakah di antara kita yang tahu lilin itu dengan baik
adalah Khadijah?”
“Kita mencintai lilin dan mengungkapkan cinta kita
kepadanya dari jauh, sedangkan beberapa orang melihatnya
dari dekat dan menyaksikan keindahannya. Namun, ketika
sampai pada Khadijah, ia terhempas bersama cinta. Ia
korbankan dirinya sendiri demi cinta itu. Derajat cintanya
sudah sampai pada haqqul yaqin.”
364
Namun, ketika sampai pada Khadijah,
ia terhempas bersama cinta. Ia korbankan
dirinya sendiri demi cinta itu. Derajat
cintanya sudah sampai pada haqqul yaqin.”
Sambil melanjutkan perbincangan, mereka mempercepat
langkah agar bisa mencapai rombongan hijrah pertama yang
akan segera berangkat dari Mekah.
Berenis dan Dujayah ibarat dua kunang-kunang dalam
kisah tadi yang bergandengan tangan menempuh perjalanan
panjang menuju Jalan Cinta-Nya…
Setelah menyalami Khadijah sang Laut Mekah, mereka
pun segera menghilang dari pandangan.
Hilang dari pandangan….
365
Menggantikan Tujuh Puisi
M
asyarakat Mekah hidup dalam kerajaan kata.
Kata-kata itu tajam ibarat pedang dan teramat
berharga bagi semuanya. Karena itu, para penyair mendapat
kehormatan tinggi di kalangan masyarakat Mekah.
Ketika pertama kali Alquran dibacakan, yang terlintas
pertama kali di kepala penduduk Mekah adalah bait-bait
puisi. Karena itu, mereka mulai menjuluki Rasulullah dengan
sebutan “gila”, “penyihir”, dan terakhir sebagai “penyair”.
Mereka mencoba mengingkari irman ilahi yang Rasulullah
emban.
Begitulah, sungguh sia-sia segala daya upaya yang mereka
lakukan.
Utbah bin Rabi’ah, seseorang yang mereka utus untuk
menghasut Rasulullah agar bersedia meninggalkan jalan
rabbani, justru tersihir dengan apa yang didengarnya.
Ya, kata-kata yang Rasulullah bacakan memang mirip
puisi. Ayat-ayat yang dikumandangkan meretakkan neraca
karya seni yang mereka bangun sendiri karena terlalu berat
beban yang harus ditimbangnya. Kehilangan kata-katanya
saat dihadapkan dengan ketinggian tingkat keindahan ayatayat tersebut.
“Ya, mirip dengan puisi tingkat tinggi, tapi aku tak pernah
mendengar yang seperti ini seumur hidupku. Yang dibacakan
Muhammad jauh lebih tinggi tingkatannya daripada puisi,”
kata Utbah bin Rabi’ah.
366
Orang-orang yang hatinya tertutup dari hakikat itu
pun memutuskan berhenti mengirim utusan ke hadapan
Rasulullah.
Semuanya dilingkupi kedengkian dan ambisi.
Suatu hari Rasulullah pergi mengunjungi Kakbah untuk
menunaikan salat. Melihatnya bersujud sudah cukup
memancing kemurkaan Uqbah bin Abu Mu’ith. Sambil
menghunjamkan cacian, ia berjalan mendekati Rasulullah.
Dililitkannyalah baju yang ia pakai ke leher Rasulullah dan
mulai mencekiknya. Rahmat Semesta Alam itu pun bersabar.
Rasulullah tak mengangkat sedikit pun dahinya dari posisi
sujud. Dirinya tak menghiraukan apa pun yang menimpanya.
Sahabatnya, Abu Bakar, tak tahan melihat kejadian tersebut.
Ia pun segera berlari dan meraih tangan Uqbah.
“Apa sedang kau lakukan? Apakah kau hendak membunuh
orang karena ia mengatakan bahwa ia beriman kepada
Allah?” cerca Abu Bakar.
Paman Rasulullah yang berani, Hamzah, datang
menerobos keramaian dengan busurnya yang terkenal
selalu menghadirkan ketakutan ke dalam benak setiap
orang. Abu Jahal dan kelompoknya lari tunggang langgang
dan menyadari bahwa Rasulullah tidaklah sendiri.
Kaum muslimin sudah semakin banyak.
Sudah semakin banyak pengikut Bani Hasyim ini.
Dengan membuat sebuah perjanjian, mereka menganggap
hal itu sebagai cara paling ampuh untuk mengasingkan
kaum muslimin.
Mereka tulis perjanjian kotor itu.
Mereka tulis perjanjian gelap itu.
Dan mereka pun memutuskan menandatanganinya...
367
_ Menggantikan Tujuh Puisi
Sampai pada hari itu, puisi-puisi terbaik tahun tersebut
yang digantung di dinding Kakbah yang mendapat julukan
Mu’allaqatul Sab’a (Tujuh Puisi yang Dipajang) adalah
puisi-puisi dianggap yang memiliki ritme terkuat dan sajak
terindah. Puisi adalah denyut nadi para pangeran gurun
pasir dan detak jantung mereka.
Berdasarkan kesepakatan yang diambil di Dar an-Nadwah
yang telah berubah menjadi markas para pemimpin kaum
musyrikin itu, puisi-puisi yang telah diturunkan dari dinding
Kakbah hendak digantikan dengan sebuah “lembaran” lain.
Ini adalah sebuah kesepakatan boikot. Semua hubungan
dengan Bani Hasyim akan diputuskan hingga habislah ajaran
Muhammad.
Tahun ketujuh risalah…
Bani Hasyim, kecuali Abu Lahab, yang berada di pihak
kaum muslim dan Rasulullah menjalani pengasingan di
dalam Mekah. Hari-hari berat telah menunggu mereka.
Pria, wanita, anak-anak, orang tua. Semuanya.
Sebuah embargo dan boikot yang akan berlangsung
tiga tahun telah menanti orang-orang yang tertinggal
di sana. Boikot yang dilakukan kaum musyrikin kepada
kaum muslimin ini merupakan cara untuk menghukum,
meruntuhkan pertahanan, dan menghasut mereka untuk
meninggalkan keyakinannya.
Sebenarnya, segala jenis rencana yang telah disusun
kaum musyrikin tak ada satu pun yang membuahkan hasil.
Ketangguhan iman umat Rasulullah terhadap berbagai
hinaan, cacian, siksaan, aniaya, dan segala jenis usaha untuk
merobohkannya sampai-sampai membuat majelis kota
Mekah terheran-heran.
368
Meskipun segala upaya telah dilakukan, tetap saja agama
Islam terus menyebar hingga ke pelosok. Para anggota
majelis akhirnya memutuskan membuat satu kelompok baru
dan mengirimkan mereka ke kediaman Abu halib. Mereka
menjanjikan Abu halib untuk memilih pemuda terbaik
manapun untuk ia angkat sebagai anaknya dengan syarat
harus bersedia melepaskan Muhammad, kemenakannya.
Abu halib yang sadar dengan tindakan yang semakin
keras itu menjadi khawatir dengan kemenakan dan
keluarganya. Gelisah. Ia melewati malam itu dengan gelisah.
“Mereka benar-benar telah merusak akal orang-orang itu.
Jangan sampai mereka berbuat sesuatu yang membahayakan,”
katanya dengan hati yang sakit sepanjang malam.
Pagi hari, saat menjenguk kemenakannya, ia tak melihat
siapa pun selain menantunya, Khadijah, dan cucunya,
Fatimah. Sekeras apa pun usaha menyembunyikan
kekhawatirannya, kegelisahannya justru semakin terlihat.
Bagaimana jika tiba-tiba mereka menghadangnya di jalan
dan berbuat hal yang buruk kepada Rasulullah? Atau,
terlambatkah ia?
Abu halib kemudian mengumpulkan keluarga Bani
Hasyim. Semua lelaki yang memegang senjata dikerahkan
untuk mencari Rasulullah. Sepanjang jalan yang mereka
lalui, lontaran sumpah serapah terdengar dengan suara
keras.
“Jika sampai terjadi sesuatu dengan Muhammad, biarlah
Abu Jahal dan kroni-kroninya memikirkan akibatnya!” jerit
Abu halib.
Dalam kepanikan mencari al-Amin, mereka bertemu
dengan Zaid. Ia mengabarkan sesuatu yang tidak membuat
369
_ Menggantikan Tujuh Puisi
mereka takut. Meski demikian, bukan berarti Abu halib
telah lupa dengan kegigihannya kemarin saat utusan
musyrikin mendatanginya. Bersama serombongan pemuda
Bani Hasyim di belakangnya, mereka berbondong-bondong
menuju Kakbah.
Ketika sampai ke dekat Rumah Allah itu, kepada Abu Jahal
yang ditemuinya di jalan ia katakan bahwa Bani Hasyim akan
menghukum semuanya jika sampai terjadi sesuatu dengan
kemenakannya. Selagi berkata demikian, para pemuda Bani
Hasyim sudah bersiap menghunuskan pedang mereka.
Sebenarnya, sebagian besar Bani Hasyim pada saat itu
belum masuk Islam. Namun, berhubung Nabi Muhammad
adalah salah seorang kerabat mereka, memberi perlindungan
pada dirinya sama saja dengan menjunjung martabat mereka
sendiri.
Abu Jahal dan kawan-kawan tidak berniat menjawab
tantangan yang disaksikan seluruh Mekah itu. Mereka
segera berkumpul dan memutuskan menghukum seluruh
Bani Hasyim, tanpa membedakan apakah muslim atau
bukan. Selain Abu Lahab, semua penduduk Bani Hasyim
akan diasingkan dari tempat tinggalnya dan akan mendapat
boikot ekonomi. Apa yang mereka perdagangkan tidak
akan dibeli dan apa yang mereka kehendaki untuk dibeli
tidak akan diberikan. Salam akan diputus dan perjanjian
perkawinan pun dibatalkan. Boikot ini akan berakhir hanya
apabila Rasulullah berhenti berdakwah.
Mereka bersumpah dan menuliskan kesepakatan itu di
atas kertas. Naskah nista itu kemudian dipajang di dinding
Kakbah.
370
Masa-masa ini, yang para sejarawan sebut sebagai
“tragedi selebaran,” hingga tiga tahun setelahnya menjadi
hari-hari terberat bagi penyebaran ajaran Quran.
Keadaan kaum muslim yang diasingkan ke Lembah Abu
halib tak ubahnya seperti kamp pengungsian. Ada yang
meninggalkan rumahnya lalu mengungsi ke kebun milik
saudaranya sendiri. Ada yang mendirikan tenda di celahcelah bukit. Dan ada pula yang bersembunyi di balik batubatu besar. Asap kemiskinan, kelaparan, dan kesendirian,
mengepul dari Lembah Abu halib.
Mereka kelaparan…
Kehausan…
Kalaupun ada yang memberi uang, tak ada yang mau
menjual apa pun kepada mereka. Bahkan, memberi salam
pun kepada mereka dilarang. Pengawasannya sangat ketat.
Mereka mengancam dengan kematian bagi siapa pun yang
mencoba mengacaukan boikot itu. Setiap rombongan
kabilah yang melewati kawasan itu akan dicecar dengan
berbagai macam pertanyaan.
Kelaparan telah mencapai tingkatan yang tidak bisa
ditoleransi. Untuk bisa bertahan hidup, mereka terpaksa
memakan apa pun yang ditemukan di tanah, seperti butiran
gandum, akar-akar tanaman, dedaunan, atau biji kurma.
Suara tangis bayi yang kelaparan membahana di langit
Mekah.
Ibunda kaum muslim, Khadijah, selama hari-hari yang
sulit ini berusaha membagikan apa pun yang ia miliki untuk
kaum muslimin. Ia memberi makan dan merentangkan
tangannya untuk mereka. Kekayaan peternakannya terkuras
habis dalam waktu tiga tahun karena boikot tersebut.
371
_ Menggantikan Tujuh Puisi
Kulit seorang wanita kaya dan
bermartabat seperti Khadijah, di harihari terakhir pemboikotan itu, memucat.
Pakaian yang menutupi tubuhnya
sudah lusuh dan terlihat rusak di sanasini. Dan ketika menemui Rasulullah
dengan keadaan seperti itu, suaminya
pun tak kuasa menahan tangis.
Hari-hari pertama pemboikotan, Rasulullah mengerahkan
semua berlian, emas, permata, perak yang menumpuk
menggunung di depannya untuk kaum muslimin. Namun,
di akhir tahun ketiga, harta yang dimiliki Khadijah al-Kubra,
yang katanya “mampu membeli seluruh Mekah”, pun habis
tak bersisa. Meskipun begitu, ia tetap tidak mau menerima
makanan yang dibawakan kemenakannya, Hakim bin
Hizam, secara diam-diam untuknya.
Kulit seorang wanita kaya dan bermartabat seperti
Khadijah, di hari-hari terakhir pemboikotan itu, memucat.
Pakaian yang menutupi tubuhnya sudah lusuh dan terlihat
rusak di sana-sini. Dan ketika menemui Rasulullah dengan
keadaan seperti itu, suaminya pun tak kuasa menahan
tangis.
Khadijah tahu bahwa Rasulullah menangisi keadaannya.
Namun, sang istri justru menjawabnya dengan senyuman
lebar. Dalam keadaan yang lemah dan kurus seperti itu
372
pun, sosoknya tetap saja bak lentera kasih. Saat tertawa,
matanya ikut tertawa dan Rasulullah selalu menemukan
cinta dan kebahagiaan di sana. Mata itu bagaikan surga bagi
Rasulullah, ketika tak ada manusia yang menghiraukannya.
Diusapnya mata sang suaminya dan juga jenggotnya.
“Sepupu…,” katanya.
Ucapan itu telah menjadi kata kunci cintanya, segel
kasihnya, kepercayaannya, dan kesetiaannya. Ya, ucapan
“Sepupu…”
Sebuah ungkapan kecil saja cukup membuat Khadijah
makin terpesona pada suaminya, tambatan hatinya. Khadijah
duduk di samping sang suami. Mereka duduk berdampingan
di depan sebuah tembok. Tak berbicara. Dalam masa-masa
seperti ini, saat mereka berkomunikasi dengan bahasa Gua
Hira, dunia seolah mengosongkan isinya, seakan tak tersisa
lagi manusia yang duduk berdampingan seperti mereka
berdua.
Disandarkanlah punggungnya ke dinding. Selama dua
puluh lima tahun kehidupan rumah tangganya yang dilalui
bersama seorang lelaki yang kini duduk di sampingnya itu,
tak pernah sedetik pun ia menyesal atas semua yang terjadi
selama itu.
Rasulullah mengamati gamis istrinya yang warnanya
telah pudar. Tak ada lagi pakaian tersisa di penginapan
itu. Semuanya telah habis dibagikan kepada orang-orang
yang membutuhkan. Sprei, selimut, sampai gorden telah
diinfakkan untuk mereka yang membutuhkan dan yang
sakit.
Dialah Khadijah, Sang Sultan para wanita. Dirinyalah
yang membuka lebar tangan menyambut karavan-karavan
terpilih dari Syam yang datang membawa barang-barang
373
_ Menggantikan Tujuh Puisi
bernilai tinggi. Bahkan, ia pula yang menjadi pelanggan
pertama mereka. Dialah Khadijah, pemilik penginapan
yang dulunya kerap dijadikan tempat singgah kereta-kereta
yang membawa beludru dan sutra yang sangat berharga di
dunia pada masanya. Dialah Khadijah, pemilik unta yang
jumlahnya sedemikian banyak hingga Lembah Ajyad tak
kuasa lagi menampung mereka. Dan semua harta yang luar
biasa banyaknya itu habis diinfakkan untuk kaum mukminin
selama hari-hari pemboikotan berlangsung.
Khadijah adalah pakaian para
dermawan. Saat tak seorang
pun mempercayai Rasulullah, ia
percaya. Saat tak satu pun manusia
mendukungnya, ia mendermakan seluruh
harta yang dimiliki. Saat semua orang
menutup pintunya, wanita suci itu
menjadi rumah bagi Rasulullah, juga
bagi seluruh kaum muslimin.
Rasulullah kembali mengamati gamis istrinya yang
warnanya telah pudar. Gamis yang mengingatkannya
pada sebuah selendang atau muka bumi, yang seolah-olah
membungkus semua umat muslim.
374
Khadijah adalah pakaian para dermawan. Saat tak seorang
pun mempercayai Rasulullah, ia percaya. Saat tak satu pun
manusia mendukungnya, ia mendermakan seluruh harta
yang dimiliki. Saat semua orang menutup pintunya, wanita
suci itu menjadi rumah bagi Rasulullah, juga bagi seluruh
kaum muslimin.
Ketika pertama kali menjumpai seorang muslim yang
hidup miskin dan kelaparan, kaum musyrikin tertawa
mengolok-oloknya. Mereka berkata, “Andai saja Muhammad
itu seorang nabi, mungkinkah Allah membiarkannya hidup
dalam kehinaan dan kesengsaraan semacam ini?”
Jawaban itu muncul lewat ayat-ayat dari suci Surat Hud
yang diturunkan pada hari-hari itu.
“Dan bersabarlah karena sesungguhnya Allah tiada
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat
kebaikan.”
(Ayat 115)
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia
dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka
balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah
mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah
mereka kerjakan…”
(Ayat 15 dan 16)
375
Lautan Mekah
B
oikot tak berperikemanusiaan itu akhirnya berakhir.
Ultimatum yang ditempel di dinding Kakbah
pun ditemukan sudah habis dimakan ngengat dan hanya
menyisakan lafaz “Allah”.
Surat keputusan boikot memang sudah dihapus. Namun,
di waktu yang bersamaan, Khadijah bagaikan sebuah lilin
yang meleleh.
Rasulullah, suami yang ia berikan semua yang dimilikinya,
bergeming di samping tempatnya berbaring. Putri kecilnya,
Fatimah, yang juga berada di sampingnya, mengusap
butiran keringat yang menetes di dahi ibunya dengan tangan
mungilnya. Ia seakan-akan sedang mengumpulkan tulisantulisan yang mengalir ke dahi sang ibu.
Khadijah jatuh sakit.
Tiba-tiba saja ia jatuh ke pembaringannya. Tanpa
menunggu masa tua dan sangat tiba-tiba.
Apakah tempat tidurnya yang menenggelamkannya atau
kehidupan keras yang ia jalani? Namun, ia adalah hamba
yang rida dengan semua itu. Ikhlas dan melakukannya
karena cinta.
Ia adalah manusia yang mampu menghidupkan gurun
pasir dan laut, besi dan madu sekaligus, yang mampu
mengubah api menjadi air dan air menjadi api dalam satu
waktu.
376
Ia adalah sang penjaga air kehidupan yang memancar
dari tengah gurun pasir yang tandus, pembangkit semangat
kuat besi dari manisnya madu.
Zamzam milik Hajar memberi kehidupan bagi gurun
yang tandus…
Rasul milik Khadijah memberi kehidupan bagi
kemanusiaan…
Besi yang tunduk pada Nabi Daud, yang bersandar pada
madu di dalam hati istrinya, adalah pedang yang ada di
genggaman Sang Utusan Terakhir.
Hajar dan Khadijah…
Dua wanita ini adalah wanita-wanita yang menghadirkan
laut di tengah gurun panas. Adalah besi yang terbuat dari
madu. Apalah daya, lelah sudah raga itu…
Tak pernah puas ia memandang wajah sang pujaan
hatinya. Dari tempatnya berbaring, ditatapnya wajah itu.
Ia ingin mengenggam tangan-tangan itu dengan kekuatan
terakhir yang ia miliki.
Menyentuh…
Memegang…
Seolah setelah badai berhari-hari lamanya, kini Khadijah
bagai mengapung di atas air laut yang tenang ibarat ombak
lemah yang ingin menggapai tepian pantai. Tangannya
berusaha meraih tangan kekasihnya.
Fatimah mendekap erat kaki ibunya, menangis tanpa
suara. Diusaplah rambut putrinya itu. Ia lalu meminta air.
Adakah waktu tersisa untuk air? Namun, ia memintanya
kepada Fatimah. Jelaslah, bahwa setelah ini Fatimahlah yang
akan membawakan air. Seperti wasiat yang turun-temurun
diberikan dari Hajar ke Khadijah, dan kini dari Khadijah ke
Fatimah.
377
_ Lautan Mekah
AIR.
Setelah Fatimah keluar untuk mengambil air, Khadijah
memandang suaminya. Tiba-tiba ilm kehidupannya diputar
kembali di depan matanya. Terbebas dari belenggu beban
kehidupan, sebuah perasaan ringan yang manis.
Kebahagiaan, ketenangan, dan kedamaian.
Sebuah bayangan yang menyejukkan.
Dipandangnya lelaki yang dikasihinya itu dan dengan
cinta yang dalam ia ucapkan nama-nama ini di wajahnya.
Abdullah, abdi Allah.
Abid, yang mengabdi, beribadah kepada Allah.
Adil, yang adil, bijaksana, yang tak pernah meninggalkan
yang hak dan yang benar.
Ahmad, yang paling dipuji, yang dicintai.
Akhsan, yang paling indah, sangat indah.
Ali, yang sangat mulia.
Alim, yang berpengetahuan, yang berilmu.
Allama, yang berpengetahuan luas, yang dikaruniai ilmu
ilahi.
Amil, yang beramal saleh, seorang yang berusaha dan
bertindak.
Aziz, yang sangat mulia dan bermartabat.
Dan nama Bashir pun bersinar di wajah kekasihnya,
pemberi kabar gembira.
Burhan, yang kesaksiannya terkuat dari kesaksian yang
kuat.
Dan tentu saja Jabbar, yang memiliki kekuatan dalam
setiap keputusannya dan yang mempunyai pengaruh kuat.
Jawad, yang sangat dermawan, senang memberi, dan
senang berinfak.
378
Akram, yang paling bermartabat, berderajat, dan pemilik
kehormatan tertinggi.
Al-Amin, yang paling benar dan yang paling dapat
dipercaya.
Fadillah, hamba Allah yang paling murah hati, berwibawa,
berakhlak mulia, dan yang menjadi teladan.
Faruk, nama yang juga memancarkan sinar terang di
wajah sang kekasihnya itu yang berarti dapat membedakan
antara yang hak dan yang batil.
Fattah, yang menenangkan, yang menghidupkan kembali
hati yang mati, yang membuang hal-hal yang menghalangi
di jalan.
Dan Galib, yang memiliki pemahaman paling baik dalam
menjunjung hak umat.
Gani, yang berjiwa besar.
Dan tentunya Habib, kekasih Allah, kekasih kaum
muslimin, kekasih Khadijah, yang teramat dicintai.
Hadi, yang senang memberi hadiah, yang memberi
hadiah berupa jalan kebenaran bagi kemanusiaan.
Haizh, seorang muhaizh dan pelindung, yang bagian
bawah sayapnya menjadi tempat berlindung.
Halil, seorang sahabat sejati bagi Khadijah.
Halim, salah satu nama-nama lain beliau, yakni yang
akhlaknya menjadi wasiat bagi umatnya, teramat baik, dan
berhati lembut.
Dan Khalis, yang jernih, bersih, berkilau.
Hamid, yang banyak bersyukur, memuja Tuhan-nya, yang
matanya selalu basah oleh rasa syukur yang mendalam.
Hanif, yang mendekap erat hakikat.
Kekasihnya juga adalah Qamar, rembulan, yang wajahnya
bersinar.
379
_ Lautan Mekah
Qayyim, yang melihat dan mengamati, bahkan di saat
semua orang terlelap ia akan tetap bersiaga dan melindungi
orang-orang di sekitarnya.
Karim, dermawan, sangat pemurah, dan bermartabat
tinggi.
Sekali lagi wajah tampan sang suami dilihatnya untuk
terakhir kali. Dari sana dibaca nama-nama yang berawalan
huruf mim.
Majid, Rasulullah yang mulia dan berderajat tinggi.
Mahmud, yang banyak dipuji dan menjadi teladan.
Mansur, yang didukung kemenangan-kemenangan, yang
menemui keberhasilan.
Maksum, tak bersalah, tanpa dosa.
Madani, berilmu pengetahuan, terdidik, dan beradab.
Mahdi, yang memberi hidayah bagi kemanusiaan, yang
menuntut ke jalan yang benar, sang penunjuk jalan.
Makki, tentunya, penduduk Mekah.
Marhum, yang dibekali rahmat.
Mas’ud, yang suci, yang berada dalam puncak kebahagiaan
dan kebebasan.
Matin, yang kokoh. Dirinya dan ucapannya adalah benar,
bagaikan benteng tempat berlindung.
Mu’alim, juga nama lain bagi kekasihnya, yang berarti
guru.
Dan Muhammad, Muhammad, Muhammad, namanya,
salawat Allah semoga senantiasa tercurah untuknya. Di
langit dan di bumi, beliaulah yang paling sering dipuji.
Mukthada, pemimpin yang dipatuhi, yang dicari
pengikutnya.
380
Muslih, yang mendidik, memperbaiki.
Dan Mustafa, Mustafa, Mustafa namanya… yang menarik
dirinya terbebas dari beban duniawi kotornya dunia, benarbenar berada dalam kemurnian yang suci.
Muthi, juga salah satu julukannya, yang taat kepada Yang
Mahabenar.
Mu’thi, yang senang memberi, berakhlak mulia.
Muzafar, yang dermawan, berderajat tinggi, mulia, suci,
lagi memiliki kehormatan tinggi.
Kekasihnya juga seorang Munir, bersinar, seakan tercipta
dari cahaya, yang mendapat pancaran cahaya sekaligus
menerangi sekitarnya.
Mursal, tentunya, yang diamanahi dengan kenabian.
Murtaza’, yang disukai dan terpilih.
Mustaqim, yang telah mencapai jalan yang lurus.
Mushawir, nama lain yang ditujukannya kepada manusia
yang ditatapnya dengan penuh cinta itu, yang mengusung
makna orang yang pantas dijadikan tempat mencurahkan
permasalahan umat, seorang yang pandai.
Naqi, yang benar-benar bersih.
Naqib, yang paling terhormat di antara masyarakat.
Nashih, yang memberi nasihat.
Nathiq, khotib paling sempurna yang menyampaikan
khotbahnya dengan perlahan namun jelas dan mudah
dimengerti.
Dan tentulah, Nabi, utusan Allah.
Najiyullah, penjaga rahasia Allah.
Najm, bintang.
Nashib, keturunan keluarga yang terpandang.
Bagi Khadijah, kekasihnya itu adalah Nazir. Beliau adalah
kebaikan, pemberian, dan kebahagian.
381
_ Lautan Mekah
Nur, cahaya dan penerangan Allah memancar melalui
dahi beliau.
Dan Rai’, yang makin tinggi derajatnya ketika mengajak
orang-orang di sekitarnya untuk menuju kebenaran.
Ragib, yang siang dan malam selalu memohon, meminta
kepada Tuhannya untuk kebaikan umatnya.
Rahim, sungguh besar rasa rasa cintanya kepada umat
muslim, rela menahan sakit dan menderita demi umat.
Radzi, yang menerima, yang merasa cukup.
Rasul, utusan Allah.
Rasyid, pandai, dewasa, pembawa umat ke jalan yang
benar.
Dan Shabir, yang bersabar, tabah menghadapi cobaan,
yang kuat pertahanan dan usahanya.
Sadullah, hamba Allah nan suci
Shadiq, yang benar, yang nyata.
Safat, yang murni, tak terikat, yang dihormati.
Shahib, seorang teman, teman berbincang. Shalih, baik
lagi indah perbuatannya.
Salam, damai dan tepercaya, aman dan selamat.
Syaifullah, pedang Allah, yang mampu membedakan
mana yang hak dan mana yang batil.
Sayyid, yang berwibawa.
Syai’, yang memberi kemudahan, pemberi syafaat.
Syakir, yang banyak bersyukur.
Dan sudah barang tentu, bagi Khadijah, suaminya adalah
juga seorang Syams, matahari baginya…
haha, juga termasuk dalam nama-nama yang ia baca,
sebuah nama dari Alquranul Karim yang ditujukannya
untuk Sang Rasul, suaminya tercinta.
382
hahir, sangat bersih, benar-benar bersih.
Taqi, pemilik takwa, yang menghidari segala sesuatu
yang haram.
hayyib, halal, bersih, indah, dan menyenangkan.
Wai’, pemilik kesetiaan, yang menepati janji-janjinya, tak
pernah mengingkarinya.
Wa’iz, yang memberi nasihat.
Washil, berwasilah, yang menuntun umat kembali ke
jalan lurus Tuhannya.
Dan tentu saja seorang Wali, teman bagi orang-orang
yang hidup sebatang kara, memiliki dan menjadi penopang
bagi mereka, menjadi sahabat yang baik.
Yasin, julukan untuk beliau yang tertulis dalam Alquran
yang bermakna manusia sejati, insan bijaksana.
Zahid, yang membalikkan punggungnya, melepaskan,
serta memalingkan wajahnya dari hal-hal duniawi. Zakir,
yang siang dan malamnya tak henti mengingat Allah, hatinya
terbakar dan tersayat-sayat mengingat Allah.
Zaki, salah satu nama yang ia suka, yang bermakna jernih,
bersih, dan pandai.
Khadijah terus-menerus memberi salam kepada
suaminya dengan menyebutkan nama-nama indahnya, baik
yang ia ketahui maupun tidak. Semua nama indah itu seolah
terukir di wajahnya. Mimpi yang dilihatnya bertahuntahun yang lalu menjadi kenyataan. Semua nama indah di
dunia bersatu dengan paras wajahnya yang bersinar bak
mentari memancarkan cahaya ilahi. Sekarang, mentari yang
menyinari kamarnya sebentar lagi akan menyinari Mekah
dan juga dunia.
383
_ Lautan Mekah
“Sepupu…,” katanya lirih.
“Maafkanlah aku…”
“Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Terdiam!
Semesta seolah terdiam bersamanya.
Lautnya Mekah akhirnya membuka tabir rahasia itu…
Awalnya Khadijah…
Akhirannya Kubra…
Bersatu menjadi Khadijah Kubra…
384
Empat Garis
K
epergian sang pelindung besar, Abu halib dan
Khadijah, hanya berselang tiga hari.
Rasulullah lagi-lagi hidup sendiri, sebatang kara.
“Perkara yang mana yang harus aku tangisi?” tanyanya
kepada orang-orang di sekitarnya.
Mereka menyebut tahun itu sebagai “Sanatu’l Hazan”,
tahun duka cita.
Setelah itu, Rasulullah acap kali memberi perhatian
khusus kepada beberapa wanita. Jika ditanya, ia akan
menjawab, “Wanita ini adalah teman dekat Khadijah.”
Beberapa tahun setelah menjalani hijrah, seperti yang
juga dijalani rasul-rasul sebelumnya, Rasulullah kembali ke
kotanya sebagai Pembebas Mekah. Dan di sana, Rasulullah
hendak mendirikan markas besar pasukan tepat di seberang
Gunung Hajun.
“Khadijah, Khadijah sedang berbaring di sini…,” demikian
beliau akan memberi jawaban jika ditanya sebabnya.
Kemudian, suatu hari, dengan penuh kesedihan,
Rasulullah mengoreskan empat buah garis ke tanah dengan
cabang pohon kurma.
“Tahukah kalian apa arti empat garis ini?”
“Rasul Allah pastilah tahu yang sebenar-benarnya,” jawab
mereka.
“Empat garis ini menggambarkan empat wanita ahli
surga yang paling mulia.
385
_ Empat Garis
Khadijah putri Khuwailid.
Fatimah putri Muhammad.
Istri Firaun, putri Mudzahim, Asiyah.
Dan Maryam, putri Imran.
Semoga Allah meridai mereka…”
(Agustus 2009, malam penuh Berkah)
386
Tentang Penulis
SIBEL ERASLAN
Lahir di Uskudar, Istanbul, 1967. Lulusan Fakultas Hukum
Universitas Istanbul ini giat beraktivitas dalam bidang hak
asasi manusia, pendidikan, pemberian jaminan kerja, dan
hak-hak kaum hawa. Aktif menulis dalam majalah Teklif,
Imza, Dergah, Mostar, dan Heje. Sampai sekarang tercatat
sebagai kolumnis di koran Star.
BEBERAPA KARYANYA:
Fil Yazilari
Balik ve Tango
Can Parcasi Hz Fatimah
Kadin Sultanlar
Kadin Oradaydi icinde “Zuleyha”
Cennet Kadinlarinin Sultani “Siret-i Meryem”
Nil’in Melikesi
387
Sayangilah orang-orang yang Anda
cintai dengan menghadiahkan mereka
buku-buku terbitan kami.
Dapatkan di toko-toko buku terdekat atau hubungi pemasaran kami
via email:
[email protected]
atau (021) 8729060, 4204402
Kunjungi juga situs kami di: www.puspa-swara.com
388