“Hubungan Filsafat Ilmu dan Psikologi”
(LAPORAN HASIL WAWANCARA)
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen: Dr. Ahmad Muhammad Diponegoro
Disusun Oleh:
K U S W O Y O
1708044053
MAGISTER SAINS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Maha suci Allah, tiada kata yang pantas kita ucapkan selain puji dan syukur kehadirat Ilahi Rabbi, dengan Rahmat dan Hidayah-Nya sampai saat ini kita masih dapat merasakan nikmat-Nya. Shalawat serta salam semoga terlimpah curah kepada Nabi kita Muhammad Rasulullah SAW., kepada keluarganya, para sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman. Amin.
Makalah ini terdiri dari tiga bab. Bab pertama berisi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang pentingnya pembahasan mengenai keterhubungan antara filsafat ilmu dan psikologi, indentifikasi masalah, metode penelitian dan tujuan dari penelitian ini. Bab kedua landasan teori dari filsafat, filsafat ilmu dan keilmuan psikologi, pembahasan mengenai hubungan antara filsafat ilmu dan psikologi, dan pembahasan hasil wawancara terhadap expert jusment atau ahli yang berkompeten dalam menjelaskan jawaban dari masalah penelitian.
Adapun maksud dan tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai upaya untuk memahami pentingnya belajar filsafat ilmu kaitannya dengan keilmuan yang menjadi inti dari studi yaitu psikologi. Secara khusus penelitian ini dimakudkan untuk menemukan keterhubungan antara filsafat ilmu dan psikologi
Berbagai kendala dan kesulitan yang hampir mematahkan semangat penulis dalam menyelesaikan makalah ini dapat teratasi berkat petunjuk serta nasehat dari dosen. Walaupun demikian, penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Yogyakarta, 01 Desember 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar isi iii
Abstrak iv
BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang Masalah 1
Identifikasi masalah 5
Tujuan Penulisan 5
Metode Penelitian 5
BAB II TEORI DAN PEMBAHASAN 6
Filsafat 6
Pengertian 6
Perspektif Memahami Filsafat 7
Filsafat Ilmu 9
Pengertian 9
Sistematika Filsafat Ilmu 12
Fungsi Filsafat Ilmu 13
Corak dan Ragam Filsafat Ilmu 13
Psikologi 14
Hubungan Filsafat Ilmu dengan Psikologi 16
Hasil Analisis Wawancara 1 16
Hasil Analisis Wawancara 2 17
Hasil Analisis Wawancara 3 25
Hasil Analisis Wawancara 4 27
Hasil Analisis Wawancara 5 28
BAB III PENUTUP 32
Kesimpulan 32
Saran 33
DAFTAR PUSTAKA
Abstrak
Tulisan ini menekankan pada topik Hubungan Filsafat Ilmu dengan Psikologi. Pengulasan topik didasarkan pada penganalisaan pemahaman terhadap hasil wawancara dengan beberapa expert jusment dan diperkuat oleh analisa terhadap beberapa tulisan terkait topik tersebut. Awal pembahasan dalam tulisan ini dimulai dengan pengkajian tentang keilmuan filsafat yang merupakan Matter Scientianum dari psikologi. Selanjutnya dipaparkan pengkajian filsafat dalam perspektif epistemologinya yaitu filsafat ilmu. Psikologi kemudian memisahkan diri dari filsafat. Sekalipun demikian, perkembangan psikologi dari dulu hingga kini tetap tidak terlepas dari pengaruh filsafat. Perkembangan psikologi sejak berinduk pada filsafat hingga perkembangannya kini memunculkan banyak aliran. Pembuka pintu bagi kemunculan banyak aliran dalam dunia Psikologi dimulai dengan jasa Wilhelm Wundt yang terkenal dengan strukturalismenya. Aliran-aliran psikologi modern yang kemudian muncul adalah behaviorisme dengan tokohnya John Watson, Gestalt dengan tokohnya Max Wertheimer, humanisme dengan tokohnya Maslow, kognitif dengan tokohnya George Miller, dan psikoanalitik dengan tokohnya Freud. Aktualitas filsafat ilmu dalam perkembangan psikologi sejak awal hingga kini diletakkan penulis pada landasan filosofik, dalam kaitannya pada perkembangan psikologi secara umum, khususnya masing-masing aliran psikologi, serta beberapa bentuk terapan psikologi. Benang merah yang tampil adalah perkembangan psikologi dari awal hingga kini tetap diwarnai filsafat ilmu, terutama dalam penelusuran bidang-bidang kajian psikologi yang lebih baru.
Kata Kunci: Filsafat, Filsafat Ilmu, Psikologi
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Abad ke-20 telah menjadi waktu yang penuh gejolak dalam psikologi, abad di mana disiplin ilmu bergumul dengan pertanyaan mendasar tentang identitas intelektualnya, tetapi tetap berhasil mencapai pertumbuhan dan pematangan yang spektakuler. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa psikologi telah menarik perhatian filosofis yang berkelanjutan dan menstimulasi perdebatan filosofis yang kaya akan khazanah keilmuan. Sebagian dari perdebatan ini ditujukan untuk memahami, dan terkadang mengkritik, asumsi, konsep dan strategi penjelasan yang berlaku dalam psikologi waktu. Tetapi banyak karya filosofis juga telah dikhususkan untuk mengeksplorasi implikasi temuan psikologis dan teori untuk pertanyaan filosofis yang lebih luas seperti: Apakah manusia benar-benar hewan yang rasional sebagaimana yang selalu ungkapkan oleh tokoh-tokoh behaviorisme? Seberapa luwes sifat manusia? dan Apakah kita memiliki pengetahuan bawaan atau ide bawaan? Salah satu fakta yang sangat penting tentang filsafat psikologi pada abad ke-20 adalah bahwa, pada kuartal terakhir abad ini, perbedaan antara psikologi dan filsafat psikologi mulai larut ketika para filsuf memainkan peran yang semakin aktif dalam mengartikulasikan dan menguji teori-teori empiris tentang pikiran dan psikolog menjadi semakin tertarik pada fondasi filosofis dan implikasi dari pekerjaan mereka. Karenanya perlu diulas kembali sejauh mana keterhubungan filsafat ilmu dan psikologi sebelum dibahas secara khusus tentang filsafat psikologi.
Dua peristiwa paling penting dalam sejarah psikologi pada abad ke-20 adalah munculnya pendekatan behaviorisme, yang mendominasi psikologi untuk paruh pertama abad ini, dan perpindahannya oleh kognitivisme ketika abad ini berakhir. Para filsuf telah memainkan peran penting dalam kedua peristiwa ini, mengembangkan pendampingan filosofis terhadap behaviorisme psikologis, dan memperjelas sifat dan asumsi pendekatan kognitivis terhadap teori psikologis.
Ahli bahasa Noam Chomsky secara luas dianggap sebagai salah satu pendiri pendekatan kognitivis dalam psikologi; dia juga tokoh sentral dalam gerakan besar kedua dalam psikologi kontemporer, yaitu nativisme. Nativisme dan empirisme secara tradisional telah menjadi doktrin filosofis mengenai struktur pikiran dan sumber-sumber pembenaran keyakinan. Psikologi kognitif kontemporer melengkapi dan memperluas penyelidikan filosofis tradisional dengan menyediakan metodologi canggih untuk menyelidiki struktur nativist dalam pikiran. Tetapi nativisme adalah gagasan yang problematik, dan di bagian ini kami membahas upaya filosofis untuk memperjelas klaim nativisme dan apa yang dituntutnya tentang sifat manusia.
Nativisme berkaitan erat dengan, tetapi yang penting berbeda dari, topik lain yang telah menjadi pusat perhatian baik dalam psikologi maupun filsafat psikologi selama dua dekade terakhir yang disebut sebagai modularitas . Jerry Fodor's seminal Modularity of the Mind (1983) mengemukakan bahwa pokok struktural yang penting dalam organisasi pikiran adalah bahwa setidaknya beberapa kapasitas kognitif disubsidi oleh subsistem-subsistem yang khusus dan independen. Karya terbaru dalam psikologi telah berusaha untuk menggambarkan struktur modular sejumlah kapasitas kognitif penting, termasuk kognisi bahasa dan matematika. Filsafat psikologi telah berkontribusi pada upaya ini dengan membantu mengklarifikasi gagasan tentang sebuah modul. Para filsuf juga telah memperdebatkan apakah modularitas, jika memang benar, memaksa kita untuk meninggalkan pandangan tradisional tentang transparansi mental dan untuk mempertimbangkan kembali catatan yang berlaku tentang pembenaran epistemik.
Tema lain yang menarik banyak perhatian, selama abad ke- 20, baik dalam filsafat maupun psikologi, adalah rasionalitas . Filsuf secara tradisional memperdebatkan sifat dan tingkat rasionalitas teoritis, atau rasionalitas kepercayaan, dan rasionalitas praktis, atau rasionalitas tindakan. Selama tiga dekade terakhir, para psikolog abad ke- 20 menjadi semakin tertarik dengan topik-topik ini juga, dan literatur eksperimental besar muncul mengeksplorasi cara-cara di mana orang benar-benar beralasan dan membuat keputusan. Banyak dari apa yang mereka temukan mengejutkan dan meresahkan.
Untuk memahami kaitan filsafat ilmu dan psikologi terdapat satu subjek keilmuan yang patut dibahas. Sejarah menjadi penting karena ia nya adalah subjek ilmu yang mampu merekatkan banyak periode dan kejadian penting keilmuan yang tercerai berai. Meskipun eksistensi sejarah sebagai ilmu masih dipertentangkan oleh sebagian ilmuan, namun tetap tidak dapat dipungkiri, bahwa sejarah telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam perkembangan tidak hanya pengetahuan (knowledge) tapi juga dalam ilmu (sains) yang terealisasikan dalam wujud kemajuan teknologi saat ini. Telah menjadi persepsi sebagian masyarakat-bahkan juga ilmuwan-bahwa sejarah merupakan deskripsi atau narasi dari fenomena atau kejadian yang telah berlalu masanya. Kecenderungan para intelektual untuk menulis ulang prestasi atau hasil-hasil produk sejarah dengan simpel dan singkat, sering menjadikan seorang penulis sejarah menafikan peristiwa- peristiwa penting dalam pembahasan ilmiah sehingga menjadikan sejarah rentan terhadap kesalahan. Kejadian ironis dalam penulisan sejarah ini, bisa dikatakan hampir terjadi dalam semua dimensi keilmuan. Tidak luput dari itu, juga terjadi dalam sejarah ilmu (history of science). Dari beberapa faktor kesalahan dalam filsafat ilmu ini, yang dianggap fatal adalah tidak adanya spesialisasi dan profesionalitas dalam bidang tersebut. Sehingga secara singkat dan mengarah pada solusi yang mungkin diambil, bahwa dalam penulisan sejarah ilmu dituntut di dalamnya manusia-manusia yang mempunyai spesialisasi dan profesionalitas dalam bidang keilmuan tersebut. Kontiunitas dalam penulisan sejarah ilmu ini adalah merupakan keharusan dalam setiap generasi. Tingginya urgenitas dalam penulisan ini, setidaknya bisa dikembalikan pada dua poin penting dalam pembahasan sejarah ilmu. Pertama, untuk menentukan siapa penemu atau yang menyingkap teori-teori atau hukum sains; kedua, menjelaskan beberapa kesalahan, hal mistikal dan legenda yang masuk dalam akselerasi akumulasi sains. (Dalam hal ini, para filsuf logika empiris berpendapat bahwa peran dan fungsi sejarah ilmu adalah menepis segala bentuk khurafat dan hal-hal berbau mistik yang menghalangi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan).
Psikologi sebagai suatu ilmu hadir dengan sejarah awal pada berbagai waktu dalam sejarah yang didefinisikan sebagai studi tentang jiwa atau pikiran, roh, dan sebagai studi, atau ilmu perilaku. Beberapa kegiatan psikologi modern yang dikembangkan dalam ilmu psikologi berkaitan dengan beberapa aktivitas (1) hubungan antara aspek bilogis dan mental seperti sensasi, persepsi, (2) beberapa kajian berkonsentrasi kepada pemahaman mengenai proses pembelajaran dan memori (3) berkaitan dengan usaha untuk memahami manusia dengan melakukan studi kepada hewan (4)motivasi tidak sadar (5) beberapa kajian mengenai pengembangan organisasi (6) perbedaan indivudal dan lain sebaginya. Intinya ternyata tidak hanya satu definisi terhadap pemaknaan ilmu psikologi Pertanyaan terbesar dalam sebuah masalah ketika memulai untuk mencari sejarah mengenai ilmu psikologi adalah, kapan mulainya psikologi ini dikembangkan sebagai wilayah keilmuan yang pasti, beberapa pendekatan di abad 19 melahirkan ketidakpuasan dengan berbagai alasan (1) mengabaikan warisan filsafat yang membentuk psikologi sebagai suatu ilmu dan (2) menghilangkan aspek-aspek yang terpenting di dalam psikologi yang menjadikannya keluar dari ranah keilmuan
Atas dasar paparan di atas penulis imencoba mengulas kembali adannya keterhubungan timbal balik antara filsafat ilmu dan psikologi dalam perkembangan keilmuan modern.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimama keterhubungan filsafat ilmu dan psikologi?
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penyusunan laporan observasi ini adalah: Mengetahui keterhubungan filsafat ilmu dengan psikologi.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan dalam penyusunan laporan ini adalah fenomenonolgi. Studi fenomenologis dapat dideskripsikan sebagai penerapan metode kualitatif dalam rangka menggali dan mengungkap kesamaan makna dari sebuah konsep atau fenomena yang menjadi pengalaman hidup sekelompok individu. Fenomenologi sebagai sebuah metode riset sering dikatakan memiliki kemiripan dengan studi naratif dan etnografis. Bedanya, fenomenologi berupaya mengungkap esensi universal dari fenomena yang dialami secara personal oleh sekelompok individu.
BAB II
TEORI DAN PEMBAHASAN
Filsafat
Pengertian
Filsafat sebagai bagian dari kebudayaan manusia yang amat menakjubkan, lahir di Yunani dan dikembangkan sejak awal abad ke-6 SM (Rapar, 1996). Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang paling luas cakupannya, oleh karena itu titik tolak untuk memahami dan mengerti filsafat adalah meninjau dari segi etimologi. Filsafat secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yaitu Philosophia, Philos artinya suka, cinta atau kecenderungan pada sesuatu, sedangkan Sophia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian secara sederhana filsafat dapat diartikan cinta atau kecenderungan pada kebijaksanaan (Muntansyir & Munir, 2002). Menurut sejarah, Pythagoras (572-497 SM) adalah orang yang pertama kali memakai kata philosophia. Ketika beliau ditanya apakah ia sebagai seorang yang bijaksana, maka pythagoras dengan rendah hati menyebut dirinya sebagai philosophos, yakni pencinta kebijaksanaan (lover of wisdom). Banyak sumber yang menegaskan bahwa Sophia mengandung arti yang lebih luas dari kebijaksanaan, diantaranya adalah: (a) kerajinan, (b) kebenaran pertama, (c) pengetahuan yang luas, (d) kebajikan intektual, (e) pertimbangan yang sehat, (f) kecerdikan dalam memutuskan hal-hal praktis (Mudhofir, 2001).
Sebagai bahan pertimbangan, alangkah baiknya kalau kita juga sedikit mengetahui mengenai pengertian filsafat dari beberapa filsuf yaitu (Rapar, 1996): Menurut Plato Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.Murid Palto Aristoteles mendefiniskan Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas yang ada. Ia pun mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari “peri ada selaku peri ada” (being as being) atau “periada sebagaimana adanya” (being as such). Rene Descartes yang merupakan filsuf Perancis yang terkenal dengan argumennya cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada), mengatakan bahwa filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia. Sedangkan William James Filsuf Amerika yang terkenal sebagai tokoh pragmatisme dan pluralisme mengatakan bahwa filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan terang.
Perspektif Memahami Filsafat
Pemahaman tentang filsafat dapat kita lihat dari berbagai sisi diantaranya adalah (Mudhofir, 2001):
Filsafat Sebagai Suatu Sikap
Filsafat adalah suatu sikap terhadap kehidupan dan alam semesta. Apabila seseorang dalam keadaan krisi atau menghadapi problem yang sulit, maka problem-problem tersebut harus ditinjau secara luas, tenang dan mendalam. Tanggapan semacam itu menumbuhkan sikap ketenangan, keseimbangan pribadi, mengendalikan diri dan tidak emosional. Sikap dewasa secara filsafat adalah sikap menyelidiki secara kritis, terbuka, toleran dan selalu bersedia meninjau sesuatu problem dari semua sudut pandang.
Filsafat Sebagai Suatu Metode
Filsafat sebagai metode artinya berfikir secara reflektif (mendalam), penyelidikan yang menggunakan alasan, berfikir secara hati-hati dan teliti. Filsafat berusaha memikirkan seluruh pengalaman manusia secara mendalam dan jelas. Metode berfikir semacam ini bersifat inclusive (mencakup secara luas) dan synoptic (secara garis besar), oleh karena itu berbeda dengan metode pemikiran yang dilakukan oleh ilmuilmu khusus.
Filsafat Sebagai Kelompok Persoalan
Banyak persoalan abadi (perennial problem) yang dihadapi manusia dan para filsuf berusaha memikirkan dan menjawabnya. Beberapa pertanyaan yang diajukan pada masa lampau telah dijawab secara memuaskan. Misalanya pertanyaan mengenai ide-ide bawaan (innate idea) telah dijawab oleh John Lock pada abad ke-17. Namun masih banyak pertanyaan lain yang dijawab sementara. Disamping itu juga masih banyak problem-problem yang jawabannya masih diperdebatkan ataupun diseminarkan sampai hari ini, dan bahkan masih ada yang belum terpecahkan.
Filsafat Sebagai Sekelompok Teori atau Sistem Pemikiran
Sejarah filsafat ditandai dengan pemunculan teori-teori atau sistem-sistem pemikiran yang terlekat pada nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Spinoza, Hegel, Karl Marx, Auguste Compte, dan lain-lain. Teori atau sistem filsafati itu dimunculkan oleh masing-masing filsuf untuk menjawab masalah-masalah. Besarnya subyektifitas seorang filsuf dalam menjawab masalah-masalah itu menjadikan kita sulit untuk menentukan teori atau sistem pemikiran yang baku dalam filsafat.
Fisafat sebagai Analisa Logis tentang Bahasa dan Penjelasan Makna Istilah Kebanyakan filsuf memakai metode analisis untuk menjelaskan arti suatu istilah dan pemakaian bahasa. Beberapa filsuf mengatakan bahwa analisis tentang arti bahasa merupakan tugas pokok filsafat dan tugas analisis konsep sebagai satu-satunya fungsi filsafat. Para filsuf analitika berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah menyingkirkan kekaburan-kekaburan dengan cara menjelaskan arti istilah atau ungkapan yang dipakai dalam ilmu pengetahuan dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Mereka berpendirian bahwa bahasa merupakan laboratorium para filsuf, yaitu tempat menyemai dan mengembangkan ide-ide.
Filsafat Merupakan Usaha Untuk Memperoleh Pandangan yang Menyeluruh Filsafat mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai ilmu dan pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang konsisten. Para filsuf berhasrat meninjau kehidupan tidak dengan sudut pandang yang khusus sebagaimana dilakukan oleh ilmuan. Para filsuf memakai pandangan secara menyeluruh terhadap kehidupan sebagai suatu totalitas. Menurut para ahli filsafat spekulatif dengan salah satu tokohnya adalah C.D. Broad menyatakan bahwa tujuan filsafat adalah mengambil alih hasil-hasil pengalaman manusia dalam bidang keagamaan, etika dan ilmu pengetahuan, kemudian hasil-hasil tersebut direnungkan secara menyeluruh. Diharapkan dengan cara ini dapat diperoleh beberapa kesimpulan umum tentang sifat-sifat dasar alam semesta, kedudukan manusia didalamnya serta pandangan-pandangan ke depan.
Filsafat Ilmu
Pengertian
Menurut Robert Ackerman filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual. Lewis White menyampaikan pendapatnya bahawa filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
Menurut A. Cornelius Benjamin cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual merupakan definisi filsafat ilmu. Michael V. Berry menyampaikan bahwa filsafat ilmu menyangkut penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah). Sedangkan May Brodbeck memberikan pandangannya bahwa filsafat ilmu merupakan analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu).
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu.
Filsafat ilmu sebenarnya baru dikenal pada awal abad ke-20 dimana Francis Bacon sebagai peletak dasar filsafat ilmu dalam khasanah bidang filsafat secara umum. Ada berbagai definisi mengenai filsafat ilmu yang telah dihimpun oleh The Liang Gie (dalam Muntansyir & Munir, 2002) yang dianggap cukup represantatif yaitu: 1. Robert Ackermann menyatakan bahwa filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini yang dibandingkan dengan pendapat-pendapat terdahulu yang telah dibuktikan. 2. Lewis White Beck menyatakan bahwa filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metodemetode pemikiran ilmiah, serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan. 3. Cornelius Benjamin menyatkan bahwa filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual. 4. May Brodbeck menyatakan bahwa filsafat ilmu itu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.
Suriasumantri (1995) menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa filsafat ilmu merupakan telaah secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu itu diantaranya yaitu: Pertanyaan sebagai landasan ontologis, meliputi: Obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? Pertanyaan sebagai landasan epistemologi, meliputi: Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apa kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Pertanyaan sebagai landasan aksiologis, meliputi: Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?
Menurut Poespoprodjo (1997) filsafat ilmu adalah filsafat. Filsafat adalah refleksi yang mengakar terhadap prinsip-prinsip. Maka filsafat ilmu adalah refleksi yang mengakar terhadap prinsip-prinsip ilmu. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa filsafat ilmu bukan bahan hafalan. Filsafat ilmu adalah usaha terus menerus untuk memperoleh pandangan yang mendalam dan mendasar tentang ilmu. Filsafat ilmu ialah penyelidikan tentang ciriciri pengetahuan ilmiah dengan cara-cara tertentu untuk memperolehnya. Dengan kata lain, filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan, karena apabila para penyelenggara pelbagai ilmu melakukan penyelidikan terhadap objek-objek serta masalah-masalah yang berjenis khusus dari masing-masing ilmu itu mandiri, maka orang pun dapat melakukan (Beerling., et al, 1985).
Sistematika Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti:
a) Ontologis
Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
b) Epistemologis
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang dapat membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
c) Aksiologis
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/ profesional? (Jujun S. Suriasumantri, 2007:34)
Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni:
Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Disarikan dari Agraha Suhandi (1989)
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
4. Corak dan Ragam Filsafat Ilmu
Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya:
Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu : (1) meta ideologi, (2) meta fisik, dan (3) metodologi disiplin ilmu.
Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-ends) menjadi means. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai kepanjangan ide manusia.
Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan sebagai kebudayaan, produk domain kognitif dan produk alasan praktis.
Produk domain kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata, benar, dan logis. Bila etik dimasukkan, maka perlu ditambah koheren dengan moral. Produk alasan praktis tampil memenuhi kriteria oprasional, efisien dan produktif. Bila etik dimasukkan perlu ditambah human/ manusiawi, tidak mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi tidak merusak lingkungan.
Psikologi
Ditinjau secara historis dapat dikemukakan bahwa ilmu yang tertua adalah ilmu Filsafat. Ilmu-ilmu yang lain tergabung dalam filsafat, dan filsafat merupakan satu-satunya ilmu pada waktu itu. Oleh karena itu, ilmu-ilmu yang tergabung dalam filsafat akan dipengaruhi oleh sifat-sifat dari filsafat, demikian pula halnya dengan psikologi. Disadari bahwa hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan tidak cukup lagi hanya diterangkan dengan filsafat. Pada saat psikologi masih tergabung dengan filsafat, dasar pemikirannya sejalan dengan pemikiran perkembnagan ilmu pengetahuan di jaman sebelum Renaissance, yaitu, jaman Yunani Kuno dan jaman pertengahan. Lama-kelamaan, disadari bahwa filsafat sebagai satu-satunya ilmu kurang dapat memenuhi kebutuhan manusia.
Sejak awal pertumbuhan hingga pertengahan abad ke-19, psikologi lebih banyak dikembangkan oleh para pemikir dan ahli filsafat, yang kurang melandasi pengamatannya pada fakta kongkrit. Mereka lebih mempercayai pemikiran filsafat dan pertimbanganpertimbangan abstrak serta spekulatif. Teori-teori yang mereka ciptakan lebih banyak didasarkan pada pengalaman pribadi dan pengertian sepintas lalu. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa psikologi pada waktu itu kurang dapat dipercaya kebenarannya. Dalam perkembangan psikologi selanjutnya, dirasakan perlunya penggunaan metode lain, untuk menjamin obyektifitasnya sebagai ilmu, yaitu menggunakan metode “empiris”. Metode empiris menyandarkan diri pada : pengalaman, pengamatan, dan eksperimen/percobaan (empiris, empiria, yang berarti pengalaman dan pengamatan) (Ahmadi, 1998:52), dimana hal ini sejalan dengan penemuan ilmu pengetahuan modern yang sudah mulai dirintis pada zaman Renaissance.
Zaman Renaissance (14-17 M) menanamkan pengaruh yang kuat bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern yang menunjukkan beberapa hal, seperti : pengamatan (abservasi), penyingkiran segala hal yang tidak termasuk dalam peristiwa yang diamati, idealisasi, penyusunan teori secara spekulatif atas peristiwa tersebut, peramalan, pengukuran, dan percobaan (eksperimen) untuk menguji teori yang didasarkan pada ramalan matematik (Mustansyir, 2001:133). Hal tersebut adalah jasa dari Wilhelm Wundt yang mendirikan laboratorium psikologi yang pertama-tama pada tahun 1879 untuk menyelidiki peristiwa-peristiwa kejiwaan secara eksperimental. Dengan perkembangan ini, maka berubahlah psikologi yang tadinya bersifat filosofik menjadi psikologi yang bersifat empirik (Amadi, 1998:6). Dalam hal ini, sekalipun psikologi pada akhirnya memisahkan diri dari filsafat, namun psikologi masih tetap mempunyai hubungan dengan filsafat, bahkan ilmu-ilmu yang telah memisahkan diri dari filsafatpun tetap masih ada hubungan dengan filsafat, khususnya filsafat ilmu, terutama mengenai hal-hal yang menyangkut sifat, hakikat, serta tujuan dari ilmu pengetahuan itu, (Ahmadi, 1998:28-29). Dengan demikian, maka akan dapat dianalisa lebih lanjut tentang aktualitas filsafat ilmu dalam perkembangan ilmu pengetahuan sebagai landasan filosofiknya, khususnya psikologi, baik dalam hal ontology, epistemology, maupun aksiologinya.
Hubungan Filsafat Ilmu dan Psikologi
Hasil Analisis Wawancara 1
Psikologi dilahirkan baru sekitar abad 19an. Sebelumnya semua ilmu itu bermuaranya dari filsafat. Pembelajaran filsafat memiliki sub kajian philosophy of science, filsafat ilmu. Nature of science merupakan akar daripada ilmu. Terdapat tiga landasan penting yang dipelajari yaitu ontologis, epistemologis, dan landasan aksiologis.
Pertama landasan ontologis. Landasan ontologis itu terkait dengan realitas. Realitas ilmu psikologi itu apa? Ilmu psikologi berkaitan dengan manusia misalnya behavior,psikonalisa Freud, Jung atau Maslow atau mungkin teori2 yang terbaru. Filsafat mempelajari juga filsafat manusia, antropologi filosofi. Antropologi filosofi bagian dari ontology tersebut. Jadi ontology atau metafisika ada 3, ada antropologi filosofi, ada yang disebut kosmologi metafisik, ada yang disebut teologi metafisik kajian yang bersentuhan dengan agama dengan alam dan manusia. Jadi akarnya disitu untuk mengetahui problem-problem.
Kedua landasan epistemologis. Landasan epistemologis mesti terkait dengan validitas pengetahuan. Sebetulnya pengetahuan itu sumbernya darimana? Metodologi itu ilmu tentang metode. Pengkajian tentang epistemologi menghasilkan instrument untuk wawancara, model kuesioner. Oleh karena itu penalaran menjadi hal yang wajib . What’s the reason? Apa apa alasannya? Dalam dunia ilmiah selalu ada reason, masuk akal apa tidak, bisa di nalar apa tidak.
Ketiga aksiologi, apa manfaat ilmu itu bagi umat manusia. Ini yang yang sekarang menjadi persoalan karena ada terdapat mata kuliah aksiologi of sains. Aksiologi ilmu menilai jika sebuah ilmu hadir tidak membawa manfaat bagi manusia itu untuk apa ilmu itu ada. Kemudian ada problem nggak, apakah ilmu itu bebas nilai atau bagaimana. Hal demikian merupakan kajian-kajian ilmu yang dapat dijabarkan, termasuk penjabaran di keilmuan psikologi. Selanjutnya hal yang jarang dibicarakan adalah apakah sumber pengetahuan yang di peroleh untuk mengembangkan potensi keilmuwan psikologi itu berasal dari wilayah agama atau berasal dari wilayah indigenous? Di dalam psikologi indigeneous adalah pengetahuan yang dipelajari juga. Ada yang namanya filsafat hidup the philosophy of live.Termasuk dalam agama kita mempelajari philosophy of religion. Misalnya berapa banyak kontribusi agama terhadap pengembangan ilmu? Atau apakah pengembangan ilmu itu tidak memperhatikan rambu-rambu normatif agama.
Ada tiga lingkaran di dalam filsafat, yaitu first order criteology, second order criteology, dan third order criteology. First order criteology adalah cabang-cabang utama filsafat. Metafisika atau ontologis, epistemologi, logika, dan aksiologi. Second order criteology pembahasan mengenai philosophy of science. Disini ada filsafat apalagi ada ya filsafat bahasa misalnya nah ini filsafat khusus. Third order criteology merupakan bagian pembahasan filsafat yang lebih penting yaitu penemuan cabang filsafat dengan ilmu lainnya. Termasuk di dalamnya terdapat filsafat psikologi, filsafat biologi, filsafat hukum, ada filsafat politik. Misalnya ketika belajar filsafat di ranah ilmu hukum, kita akan bertanya apakah problem-problem hukum sudah terselesaikan secara yuridis dan secara filosofis? Jika secara yuridis saja belum tentu selesai, apalagi secara filosofis pasti lebih belum terselasaikan lagi. Hal demikian dinamakan primary problems. Problem-problem abadi yang selalu muncul dalam kurun waktu manusia. Problem hukum apa yang selalu muncul? Problem keadilan. Apakah keadilan itu sudah selesai? Itu belum terjawab baik oleh ahli hukum maupun ahli filsafat. Maka kaitannya dengan psikologi timbulnya pertanyaan mendasar. What is the meaning of psychology? What is meaning of consciousness? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan jawaban yang sederhana.
Hasil Analisis Wawancara 2
Filsafat sebagai ilmu pengetahuan pada umumnya membantu manusia dalam mengorientasikan diri dalam dunia. Akan tetapi, ilmu-ilmu tersebut secara hakiki terbatas sifatnya. Untuk menghasilkan pengetahuan yang setepat mungkin, semua ilmu membatasi diri pada tujuan atau bidang tertentu. Dengan demikian ilmu-ilmu khusus tidak menggarap pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut manusia sebagai keseluruhan, sebagai suatu kesatuan yang dinamis. Dalam hal ini, peranan filsafat terhadap semua disiplin ilmu termasuk psikologi, hanya sebagai penggagas dan peletak dasar, dan selanjutnya ilmu-ilmu itulah yang berkembang sesuai dengan objek kajianya masing-masing.
K. Bertens memberikan lima hal yang menyangkut peranan dari filsafat bagi perkembangan ilmu-ilmu yang lain:
Filsafat dapat menyumbang untuk memperlancar integrasi antara ilmu-ilmu yang sangat dibutuhkan, yang disinyalir kecondongan ilmu pengetahuan untuk berkembang ke arah spesialisasi yang akhirnya menimbulkan kebuntuan. Tetapi pada filsafat tidak ada spesialisasi khusus, filsafat bertugas untuk memperhatikan keseluruhan dan tidak berhenti pada detail-detailnya.
Filsafat dapat membantu dalam membedakan antara ilmu pengetahuan dan scientisme. Dengan scientisme dimaksudkan pendirian yang tidak mengakui kebenaran lain daripada kebenaran yang disingkapkan oleh ilmu pengetahuan dan tidak menerima cara pengenalan lain daripada cara pengenalan yang dijalankan oleh ilmu pengetahuan, dengan demikian ilmu pengetahuan melewati batas-batasnya dan menjadi suatu filsafat.
Tidak dapat disangkal bahwa hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan lebih erat dalam bidang pengetahuan manusia daripada bidang ilmu pengetahuan alam.
Salah satu cabang filsafat yang tumbuh subur sekarang ini adalah apa yang disebut “foundational research“ suatu penelitian kritis tentang metode-metode, pengandaian-pengandaian dan hasil ilmu pengetahuan positif.
Peranan filsafat dalam kerja sama interdisipliner pasti tidak dapat dibayangkan sebagai semacam “pengetahuan absolut“.
Manusia sebagai makhluk hidup juga merupakan objek dari filsafat yang antara lain membicarakan soal hakikat kodrat manusia, tujuan hidup manusia, dan sebagainya. Sekalipun psikologi pada akhirnya memisahkan diri dari filsafat, karena metode yang ditempuh sebagai salah satu sebabnya, tetapi psikologi masih tetap mempunyai hubungan dengan filsafat. Bahkan sebetulnya dapat dikemukakan bahwa ilmu-ilmu yang telah memisahkan diri dari filsafat itupun tetap masih ada hubungan dengan filsafat terutama mengenai hal-hal yang menyangkut sifat hakikat dan tujuan dari ilmu pengetahuan.
Seperti telah dikemukakan diatas, psikologi mempunyai hubungan antara lain dengan biologi, sosiologi, filsafat, ilmu pengetahuan, tetapi ini tidak berarti bahwa psikologi tidak mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain diluar ilmu-ilmu tersebut. Justru karena psikologi memilki mempelajari manusia sebagai makhluk bersegi banyak, makhluk yang bersifat kompleks maka psikologi harus bekerjasama dengan ilmu-ilmu lain. Tetapi sebaliknya setiap cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia akan kurang sempurna bila tidak mengambil pelajaran dari psikologi. Dengan demikian, akan terdapat hubungan yang timbal balik. Setelah psikologi berpisah dengan filsafat dan berdiri sendiri sebagai sebuah cabang ilmu yang baru; nampaknya psikologi, melalui berbagai penelitiannya berusaha memberikan gambaran bahwa psikologi mengikuti aturan-aturan penelitian yang berlaku dengan menggunakan cara yang sistematik dan metodologis sehingga hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan secara empirik.
Kebutuhan keilmiahan psikologi tersebut nampaknya baru terpecahkan ketika Wilhelm Wundt (1832-1920) dan kawan-kawannya memulai menerapkan metode yang baru dalam bidang psikologi eksperimen. Dalam laboratorium eksperimen pertama yang didirikannya pada tahun 1879 di Universitas Leipzig (Jerman), Wundt kemudian mulai melakukan serangkaian eksperimen untuk menguji fenomena-fenomena yang dulunya merupakan bagian dari filsafat.
Namun demikian, meskipun pengaruh filsafat bagi perkembangan ilmu psikologi masih dapat dirasakan dalam setiap penelitian yang dihasilkan, hal ini tentunya tidak terlepas dari bidang garapan yang lebih banyak mempunyai kesamaan dengan filsafat itu sendiri. Dengan diakuinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha menempatkan metode penelitian yang sistematis dan ilmiah, psikologi menunjukkan jati dirinya sebagai salah satu cabang ilmu yang mampu menempatkan metode-metode ilmiah sebagai bagian dari penelitiannya.
Filsafat ilmu, sebagai salah satu cabang filsafat, memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ilmu psikologi. Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang hendak merefleksikan konsep-konsep yang diandaikan begitu saja oleh para ilmuwan, seperti konsep metode, obyektivitas, penarikan kesimpulan, dan konsep standar kebenaran suatu pernyataan ilmiah. Hal ini penting, supaya ilmuwan dapat semakin kritis terhadap pola kegiatan ilmiahnya sendiri, dan mengembangkannya sesuai kebutuhan masyarakat. Psikolog sebagai seorang ilmuwan tentunya juga memerlukan kemampuan berpikir yang ditawarkan oleh filsafat ilmu ini. Tujuannya adalah, supaya para psikolog tetap sadar bahwa ilmu pada dasarnya tidak pernah bisa mencapai kepastian mutlak, melainkan hanya pada level probabilitas. Dengan begitu, para psikolog bisa menjadi ilmuwan yang rendah hati, yang sadar betul akan batas-batas ilmunya, dan terhindar dari sikap saintisme, yakni sikap memuja ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
Sebagai cabang ilmu, psikologi termasuk dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, khususnya ilmu-ilmu sosial. Ciri ilmu-ilmu kemanusiaan adalah memandang manusia secara keseluruhan sebagai objek dan subjek ilmu. Ciri lainnya terletak pada titik pandang dan kriterium kebenaran yang berbeda dari ilmu-ilmu alam. Ciri lain lagi muncul sebagai akibat ciri tersebut yaitu bahwa antara subjek dan objek ilmu -ilmu kemanusiaan terdapat proses saling mempengaruhi. Psikologi sebagai bagian dari ilmu kemanusiaan juga memiki ciri-ciri tersebut. Berhadapan dengan ilmu-ilmu itu salah satu tugas pokok filsafat ilmu adalah menilai hasil ilmu-ilmu pemngetahuan dilihat dari sudut pandang pengetahuan manusia seutuhnya. Ada dua bidang sehubungan dengan masalah pengetahuan yang benar, yaitu (1) ikut menilai apa yang dianggap tepat atau benar dalam ilmu-ilmu; (2) memberi penilaian terhadap sumbangan ilmu-ilmu pada perkembangan manusia guna mencapai pengetahuan yang benar.
Dengan demikian, filsafat ilmu dapat berperan dalam menilai secara kritis apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang benar dalam ilmu psikologi. Sebagaimana telah diungkapkan, ilmu-ilmu mempunyai sumbangan yang sangat besar bagi manusia. Sumbangan-sumbangan itu mendukung peradaban manusia, karena itu patut dihargai. Namun demikian kadang terdapat kelemahan yang perlu dicermati, yakni apabila para pelaku ilmu berpendapat bahwa di luar ilmu-ilmu mereka tidak terdapat pengetahuan yang benar. Kelemahan lainnya adanya anggapan tentang kebenaran dikemukakan secara eksplisit dengan mengabaikan bidang filsafat yang dengan demikian sebenarnya sudah dimasuki oleh para pelaku ilmu yang bersangkutan.
Filsafat itu mempertanyakan jawaban, sedangkan psikologi menjawab pertanyaan (masalah). Jadi dengan berfilsafat, psikolog mendapatkan solusi dari permasalahan kliennya, karena terus diberikan pertanyaan, kenapa, mengapa, alasannya apa, terus begitu sampai akhirnya ada kesimpulan dari pertanyaan (dari permasalahan) itu. Ketika seseorang sudah mampu mempertanyakan siapa dirinya, bagaimana dirinya terbentuk, bagaimana posisi dirinya di alam semesta ini, itu berarti orang tersebut sudah berfilsafat ke taraf yang paling tinggi. Untuk itu dibutuhkan perenungan, karena apabila didiskusikan, bisa jadi orang lain menganggap kita gila, karena itu adalah insight, dan tidak semua orang bisa mendapatkan insight. Filsafat merupakan hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dalam penyelidikannya filsafat berangkat dari apa yang dialami manusia. Ilmu psikologi menolong filsafat dalam penelitiannya. Kesimpulan filsafat tentang kemanusiaan akan ‘pincang’ dan jauh dari kebenaran jika tidak mempertimbangkan hasil psikologi.
Filsafat bisa menegaskan akar historis ilmu psikologi. Seperti kita tahu, psikologi, dan semua ilmu lainnya, merupakan pecahan dari filsafat. Di dalam filsafat, kita juga bisa menemukan refleksi-refleksi yang cukup mendalam tentang konsep jiwa dan perilaku manusia. Refleksi-refleksi semacam itu dapat ditemukan baik di dalam teks-teks kuno filsafat, maupun teks-teks filsafat modern. Dengan mempelajari ini, para psikolog akan semakin memahami akar historis dari ilmu mereka, serta pergulatan-pergulatan macam apa yang terjadi di dalamnya. Saya pernah menawarkan kuliah membaca teks-teks kuno Aristoteles dan Thomas Aquinas tentang konsep jiwa dan manusia. Menurut saya, teks-teks kuno tersebut menawarkan sudut pandang dan pemikiran baru yang berguna bagi perkembangan ilmu psikologi.
Filsafat juga memiliki cabang yang kiranya cukup penting bagi perkembangan ilmu psikologi, yakni etika. Yang dimaksud etika disini adalah ilmu tentang moral. Sementara, moral sendiri berarti segala sesuatu yang terkait dengan baik dan buruk. Di dalam praktek ilmiah, para ilmuwan membutuhkan etika sebagai panduan, sehingga penelitiannya tidak melanggar nilai-nilai moral dasar, seperti kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Sebagai praktisi, seorang psikolog membutuhkan panduan etis di dalam kerja-kerja mereka. Panduan etis ini biasanya diterjemahkan dalam bentuk kode etik profesi psikologi. Etika, atau yang banyak dikenal sebagai filsafat moral, hendak memberikan konsep berpikir yang jelas dan sistematis bagi kode etik tersebut, sehingga bisa diterima secara masuk akal. Perkembangan ilmu, termasuk psikologi, haruslah bergerak sejalan dengan perkembangan kesadaran etis para ilmuwan dan praktisi. Jika tidak, ilmu akan menjadi penjajah manusia. Sesuatu yang tentunya tidak kita inginkan.
Salah satu cabang filsafat yang kiranya sangat mempengaruhi psikologi adalah eksistensialisme. Tokoh-tokohnya adalah Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Viktor Frankl, Jean-Paul Sartre, dan Rollo May. Eksistensialisme sendiri adalah cabang filsafat yang merefleksikan manusia yang selalu bereksistensi di dalam hidupnya. Jadi, manusia dipandang sebagai individu yang terus menjadi, yang berproses mencari makna dan tujuan di dalam hidupnya. Eksistensialisme merefleksikan problem-problem manusia sebagai individu, seperti tentang makna, kecemasan, otentisitas, dan tujuan hidup. Dalam konteks psikologi, eksistensialisme mengental menjadi pendekatan psikologi eksistensial, atau yang banyak dikenal sebagai terapi eksistensial. Berbeda dengan behaviorisme, terapi eksistensial memandang manusia sebagai subyek yang memiliki kesadaran dan kebebasan. Jadi, terapinya pun disusun dengan berdasarkan pada pengandaian itu. Saya pernah memberikan kuliah psikologi eksistensial, dan menurut saya, temanya sangat relevan, supaya ilmu psikologi menjadi lebih manusiawi. Ini adalah pendekatan alternatif bagi psikologi klinis.
Dalam metode, filsafat bisa menyumbangkan metode fenomenologi sebagai alternatif pendekatan di dalam ilmu psikologi. Fenomenologi sendiri memang berkembang di dalam filsafat. Tokoh yang berpengaruh adalah Edmund Husserl, Martin Heidegger, Alfred Schultz, dan Jean-Paul Sartre. Ciri khas fenomenologi adalah pendekatannya yang mau secara radikal memahami hakekat dari realitas tanpa terjatuh pada asumsi-asumsi yang telah dimiliki terlebih dahulu oleh seorang ilmuwan. Fenomenologi ingin memahami benda sebagai mana adanya. Slogan fenomenologi adalah kembalilah kepada obyek itu sendiri. Semua asumsi ditunda terlebih dahulu, supaya obyek bisa tampil apa adanya kepada peneliti. Metode fenomenologi dapat dijadikan alternatif dari pendekatan kuantitatif, yang memang masih dominan di dalam dunia ilmu psikologi di Indonesia. Dengan menggunakan metode ini, penelitian psikologi akan menjadi semakin manusiawi, dan akan semakin mampu menangkap apa yang sesungguhnya terjadi di dalam realitas.
Filsafat juga bisa mengangkat asumsi-asumsi yang terdapat di dalam ilmu psikologi. Selain mengangkat asumsi, filsafat juga bisa berperan sebagai fungsi kritik terhadap asumsi tersebut. Kritik disini bukan diartikan sebagai suatu kritik menghancurkan, tetapi sebagai kritik konstruktif, supaya ilmu psikologi bisa berkembang ke arah yang lebih manusiawi, dan semakin mampu memahami realitas kehidupan manusia. Asumsi itu biasanya dibagi menjadi tiga, yakni asumsi antropologis, asumsi metafisis, dan asumsi epistemologis. Filsafat dapat menjadi pisau analisis yang mampu mengangkat sekaligus menjernihkan ketiga asumsi tersebut secara sistematis dan rasional. Fungsi kritik terhadap asumsi ini penting, supaya ilmu psikologi bisa tetap kritis terhadap dirinya sendiri, dan semakin berkembang ke arah yang lebih manusiawi.
Dalam konteks perkembangan psikologi sosial, filsafat juga bisa memberikan wacana maupun sudut pandang baru dalam bentuk refleksi teori-teori sosial kontemporer. Di dalam filsafat sosial, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para filsuf diperkaya dengan berbagai cara memandang fenomena sosial-politik, seperti kekuasaan, massa, masyarakat, negara, legitimasi, hukum, ekonomi, maupun budaya. Dengan teori-teori yang membahas semua itu, filsafat sosial bisa memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan psikologi sosial, sekaligus sebagai bentuk dialog antar ilmu yang komprehensif.
Terakhir, filsafat bisa menawarkan cara berpikir yang radikal, sistematis, dan rasional terhadap ilmu psikologi, bagi para psikolog, baik praktisi maupun akademisi, sehingga ilmu psikologi bisa menjelajah ke lahan-lahan yang tadinya belum tersentuh. Dengan ilmu logika, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para psikolog dibekali kerangka berpikir yang kiranya sangat berguna di dalam kerja-kerja mereka. Seluruh ilmu pengetahuan dibangun di atas dasar logika, dan begitu pula psikologi. Metode pendekatan serta penarikan kesimpulan seluruhnya didasarkan pada prinsip-prinsip logika. Dengan mempelajari logika secara sistematis, para psikolog bisa mulai mengembangkan ilmu psikologi secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam hal ini, logika klasik dan logika kontemporer dapat menjadi sumbangan cara berpikir yang besar bagi ilmu psikologi.
Teori psikologi tradisional masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai individu mutlak. Teori psikologi tradisional juga masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai obyek. Dengan cara berpikir yang terdapat di dalam displin filsafat, ‘kepercayaan-kepercayaan’ teori psikologi tradisional tersebut bisa ditelaah kembali, sekaligus dicarikan kemungkinan-kemungkinan pendekatan baru yang lebih tepat. Salah satu contohnya adalah, bagaimana paradigma positivisme di dalam psikologi kini sudah mulai digugat, dan dicarikan alternatifnya yang lebih memadai, seperti teori aktivitas yang berbasis pada pemikiran Marxis, psikologi budaya yang menempatkan manusia di dalam konteks, dan teori-teori lainnya.
Hasil Analisa Wawancara 3
Cabang Ilmu pengetahuan berakar pada pemikiran filsafat. Perbedaan dan persamaan pada cabang ilmu yang berbeda terletak pada penyelesaian masalah. Kaitannya dengan cabang ilmu psikologi, penyelesaian masalah pada aspek jiwa. Sehingga memunculkan motivasi dalam diri dan outputnya para perubahan perilaku dan kepribadian. Filsafat penyelesaian masalah pada aspek hakikat manuasia dan penyelesaiannya secara komperehensif. Dimana ilmu filsafat dijadikan sebagai landasan cabang ilmu lain. Ilmu filsafat dapat dikelompokkan menjadi:
a. Sistematik
Cabang utama filsafat yang membicarakan segala sesuai yang ada dan keberadaan disebut dengan ontologi. Yang dapat diverifikasi. Kaitannya dengan psikologi tidak mempelajari hal yang ghaib.
hakikat pengetahuan disebut epistimologi, segala sesuatu yang menyeluruh
hakikat nilai disebut dengan aksiologi, nilai baik dan buruk dipelajari dalam etika, keindahan dipelajari dalam estetika.
b. Metafisika
Ilmu yang membicarakan tentang keberadaan yang yang mungkin ada . hal ini berbeda dengan ilmu paranormal. ilmu spekulatif yang diartikan pada perkiraan yang dilandasi bukti. Digunakan untuk ilmu yang berkelanjutan terjadi. Objeknya tidak ada, perubahan nilai yang mempunyai dasar keberadaan.
c. Metafisika khusus, secara khusus mempelajari manusia yang secara khusus apa yang mendasari keberadaan manusia. Konsep manusia, diantaranya: Animal rasionale, manusia adalah makhluk yang berfikir. Animal Simbolic, manusia bekerja berdasarkan simbol yang ada, ini berbeda dengan tanda. Tanda dapat dipelajari makhluk lain selain manusia. Sedangkan simbol hanya dapat dipelajari manusia, karena dalam simbol mengandung makna. Dalam metafisikan khusus, berkembang ilmu yang lain, diantaranya: a). Kosmologi, ilmu yang mempelajari ilmu semesta b). Filsafat ketuhanan, mempelajari adanya tuhan. Dipelajari berdasarkan pemikiran. berbeda dengan teologi dimana mempelajari tuhan sesuai yang termaktub dalam kitab suci.
Filsafat sebagai dasar ilmu psikologi, filsafat dapat merumuskan bahwa manusia mempunyai jiwa dan raga. Psikologi dapat mengembangan ilmu pengetahuan terkait manusia berdasarkan temuan filsafat tentang jiwa. Filsafat dikatakan bersifat radikal yang mempunyai arti bahwa dalam penyelesaian masalah sampai pada akar permasalahan yang menjadi dasar nilai. Pada dasarnya pembagian ilmu filsafat inilah ada filsafat khusus. Cabang ilmu filsafat yang membicarakan cabang khusus persoalan tertentu sesuai dengan permasalahan. Misalnya masalah pendidikan maka dibicarakan adalah filsafat pendidikan. Yang memberikan arti terdalam dalam proses pendidikan.
Pada perkembangannya filsafat dibagi atas beberapa bagian. Sering kita mendengar dengan sebutan filsafat barat, filsafat timur. Keseluruhan dari kata tersebut, didasarkan pada pemahaman yang berasal dari daerah tersebut. Misalnya pemahan dari amerika, maka disebut dengan filsafat amarika, pemahaman dari jerman, maka disebut dengan filsafat jerman, semua berdasarkan yang memncetuskan pemahaman terkait ilmu filsafat. Filsafat dibedakan berdasarkan asal-usulnya, yaitu:
Filsafat Timur, bersifat Imateril (tidak berdasarkan materi), Intuistik, berdasarkan rasa
Filsafat Barat, bersifat radikal, atheis, individualis
Filsafat agama
Kaitannya dengan Indonesia dikatakan sebagai filsafat Indonesia, karena kekhasan Negara tersebut. Filsafat Indonesia sesuai nilai pancasila. Serta peraturan hukum yang berlaku. Hal ini dalam psikologi dikatakan sebagai Indigenous psikologi, dimana hukum didasari pada kondisi masyarakat tertentu. filsafat indigenous, didasarkan pada perkembangan masyarakat, originalitas ditentukan dari sumber nilai yang dibangun.
Hasil Analisis Wawancara 4
Kata filsafat dalam bahasa arab dikenal dengan istilah falsafah dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philoshophy sedangkan dalam bahasa Yunani disebut dengan Philoshophia. Kata philoshopia terdiri atas kata philein yang berarti cinta dan Shopia yang berarti kebijaksanaan sehingga secara etimologis berarti kebijaksanaan atau love of wisdom dalam arti yang sedalam-dalamnya. Lebih lanjut secara terminologi arti filsafat adalah upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik dan lengkap tentang seluruh realitas.
Filsafat dan psikologi memiliki hubungan yang sangat erat yang dapat di ibaratkan dengan hubungan antara ibu dan anak karena pada dasarnya psikologi itu sendiri lahir dari filsafat.
“jadi gini hubungannya antara psikologi dan filsafata itu hubungannya seperti ibu dan anak, nah dalan jiwa anak kan pasti ada jiwa ibu jiwa ayah nah filsafat itu mengarahkan anaknya agar tidak lari trermasuk psikologi.” Azar, M (2018).
Filsafat pada dasarnya mencari jawaban atas segala sesuatu atau hakikat sesuatu dan hakikat keberadaan suatu benda seperti hakikat kursi, hakikat meja termasuk dalam psikologi dimana mempelajari tentang ilmu kejiwaan dan perilaku maka filsafat mencoba untuk mencari hakikat dari suatu perilaku yang di kaji dalam psikologi. Misalnya hakikat marah, hakikat bahagia dan lain sebagainya. Dalam filsafat sendiri terdapa 3 tinjauan pokok yaitu ontologi yang bersifat metafisika, epistimologi yang berkaitan dengan metodologi dan aksiologi yang berkaitan dengan aksiologi yang berkaitan dengan baik buruk.
“Nah.. filsafat itu kan sebenarnya memiliki 3 kajian ada metafisika (ontologi), ada epsitimologi yaitu filsafat pengetahuan atau filsafat ilmu nah sekarang disebut juga dengan metodologi bukan metode ya tapi metodologi dan yang ke-3 ada aksiologi atau etika lah bahasanya baik buruk benar salah dan sebagainya. Nah dari 3 ini ontologi keluar sendiri menjadi filsafat ilmu, kalau ontologi kan memahami hakikat sesuatu atau maahakikotun misalnya ini meja ya bagaimana ini hakikat meja, hakikat kursi, hakikat, Islam jadi esensinya. Misalnya kursi ya hakikatnya atau esensinya ya tempat duduk ya kalau ke Psikologi? Tentang apa psikologi itu ?”. Azar, M (2018).
Dalam kajian psikologi maka akan dipakai ketiga dasar filsafat itu sendiri dalam mengkaji perilaku manusia.psikologi terutama psikologi barat banyak menggunakan pendekatan ontologi yaitu berdasrkan bukti empiris dengan percobaan eksperimen.
Hasil Analisis Wawancara 5
Secara umum filsafat adalah ilmu yang bersifat radikal, artinya sampai kepada akar, nilai yang mendasari kenyataan. Filsafat memberikan landasan tentang suatu objek dengan pertanyaan apa, bukan siapa, bagaimana, atau apa tujuannya. Filsafat memberikan kepentingan menumbuhkan adanya hakikat dengan pertanyaan apa. Misalnya menanyakan persoalan jiwa, maka filsafat akan bertanya apa itu jiwa. Untuk menjawab pertanyaan ini, maka filsafat harus memberikan pengertian. Artinya di sini filsafat berperan untuk mengungkapkan makna. Dimana makna ini cenderung kepada apa kegunaan dan manfaatnya bagi kehidupan manusia. Makna inilah yang kemudian mendorong munculnya penelitian-penelitan atau ilmu baru. Filsafat merupakan dasar dan landasan sebuah ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pendidikan sangat membutuhkan ilmu filsafat pendidikan, sehingga jelas memperoleh objek pendidikan. Filsafat memberikan sumbangsih bagi proses pendidikan. Ilmu filsafat menjadi dasar untuk ilmu yang lainnya, dan ilmu filsafat ini memiliki kekhasan pertanyaan untuk mengungkap sesuatu. Filsafat sebagai dasar ilmu psikologi dan kedokteran karena sebelumya filsafat telah menemukan bahwa manusia terdiri dari jiwa dan raga. Sehingga temuan filsafat inilah kemudian membuka ilmu psikologi dan kedokteran untuk lebih mempelajari jiwa dan raga manusia.
Teori bukanlah imajinasi akan tetapi muncul karena adanya fakta yang dihadapkan ke manusia yang bisa diukur, dan dipertimbangkan sebab akibat. Titik pertama belajar filsafat adalah harus berprasangka baik dengan filsafat. Pahami filsafat sebagai kerangka ilmu ilmiah, bukan sebagai ilmu fiktif. Objek penelitian ilmu filsafat berbeda dan terkesan luas karena sesuatu yang ada di dunia ini pasti ada filsafatnya. Bisa jadi ke depan ada filsafat baru tentang filsafat disrubsi.
Membahas mengenai pertumbuhan psikologi dalam literatur-literatur yang ada, teori-teori tentang psikologi berawal dari pemikiran, dan pemikiran ini berawal dari pemikiran filsafat. Di dalam filsafat pemikiran ini membahas mengenai hakikat manusia karena filsafat sendiri membahas mengenai inti dan makna terdalam manusia. Adanya filsafat membantu kita mengetahui hakikat. Kemudian bagaimana perbedaan dengan dengan ilmu lainnya, seperti sosiologi, antropologi dan psikologi? Pada dasarnya jelas berbeda dari segi penyelesaian masalah manusia dan cara yang ditempuh. Jika membahas psikologi maka sangat erat hubungannya dengan jiwa manusia. Jiwa ini meliputi motivasi yang muncul dari dalam diri manusia sehingga melahirkan sikap atau perbuatan yang sesuai dengan motivasinya. Selanjutnya jika membahas mengenai sosiologi, maka akan ditemukan tentang manusia sebagai makhluk sosial. Bagaimana manusia membentuk masyarakat, bermasyarakat dan berhubungan sesama manusia. Berikutnya ilmu antropologi yang membahas budaya dan manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Pada intinya terdapat hubungan yang erat antara motivasi dan perbuatan yang muncul.
Psikologi, sosiologi dan antropologi memiliki bahasan yang sama tentang manusia, akan tetapi berbeda pendekatannya. Psikologi yang mempelajari manusia dari segi jiwanya, sosiologi mempelajari manusia dari segi sosial kemasyarakatannya, dan antropologi mempelajari manusia dari segi budayanya. Ilmu-ilmu tersebut dilihat dari kesatuan-kesatuan yang mempengaruhi sehingga ditemukan pengertian yang komprehensif. Berbeda dengan filsafat manusia yang konsentrasinya lebih kepada seluruh aspek yang ada pada manusia. Sehingga ditemukan inti dan makna terdalam dari manusia. Manusia adalah makhluk yang lengkap, tersusun dari jiwa, sosial, dan budaya. Hingga kemudian ini menjadi tugas para ilmuwan filsafat untuk memberikan pengertian mengenai manusia.
Psikologi menekankan pertanyaan lebih kepada bagaimana jiwa, bagaimana keberadaan jiwa, bagaimana jiwa menjalankan fungsinya. Suasana jiwa mempengaruhi sikap dan perbuatan manusia, sehingga bisa juga disebut bahwa sikap dan perbuatan manusia adalah cerminan dari jiwanya. Pada akhirnya, perbuatan inilah kemudian diukur untuk mengetahui dan memahami aspek kejiwaan yang mendorong perbuatannya. Psikologi karena bersifat positivistik dan empirik untuk objeknya, akan menuju pada ilmu yang sangat terbatas karena hanya menyangkut kejiwaan manusia. Kesehatan dilihat secara fisikal oleh dokter, akan tetapi sebuah penyakit terdapat hubungan antara jiwa dan raga yang kemudian lahirlah psikologi klinis. Sakit jiwa manusia berhubungan dengan sakit fisiknya. Orang yang mengalami depresi karena pengaruh lingkungan fisik. Memecahkan permasalah ini tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, akan tetapi perlu adanya ilmu khusus yang mampu mengatasinya seperti fisiologi, psikologi anak, psikologi organisasi. Psikologi anak untuk memahami jiwa anak, psikologi organisasi untuk melihat jiwa organisasi. Filsafat berperan agar psikologi bisa berkembang dan tidak mandeg, bahkan jika psikologi tidak berfilsafat maka akan hancur, tenggelam, mandeg dan stagnan.
Pada dasarnya, psikologi dan filsafat bersatu pada satu kesatuan. Sedikit demi sedikit psikologi mulai melepaskan dirinya untuk bisa menciptakan bidangnya sendiri dan menetapkan konsepnya yang khas. Walau setelah seratus tahun lamanya psikologi terlepas dari filsafat, namun suka ataupun tidak suka ia masih terkait dengan filsafat. Ada beberapa bidang khusus dimana filsafat masih dibutuhkan untuk menjadi penafsirnya. Hingga saat ini, di saat ilmu psikologi mencoba mengeneralisasikan semua konsep yang ada padanya, maka di saat itulah ia seolah kesulitan dalam menemukan jawaban yang dibutuhkan. Ini bukan berarti bahwa filsafat merupakan cara dalam menuntaskan problematika psikologi baik yang bersifat ontologi, definisi maupun konsep. Namun, lebih bermakna bahwa ahli psikolog tetap harus merujuk kepada filsafat hingga ia bisa menemukan jawaban atas problematika yang dihadapinya (taufiq, 2006).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dan psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Dari kajian di atas dapat disimpulkan hubungan antara filsafat ilmu dengan psikologi, diantaranya :
Filsafat ilmu dapat berperan dalam menilai secara kritis apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang benar dalam ilmu psikologi;
Filsafat itu mempertanyakan jawaban, sedangkan psikologi menjawab pertanyaan (masalah). Jadi dengan berfilsafat, psikolog mendapatkan solusi dari permasalahan kliennya;
Ilmu psikologi menolong filsafat dalam penelitiannya;
Filsafat bisa menegaskan akar historis ilmu psikologi;
Dalam metode, filsafat bisa menyumbangkan metode fenomenologi sebagai alternatif pendekatan di dalam ilmu psikologi;
Filsafat juga bisa mengangkat asumsi-asumsi yang terdapat di dalam ilmu psikologi. Selain mengangkat asumsi, filsafat juga bisa berperan sebagai fungsi kritik terhadap asumsi tersebut;
Dalam konteks perkembangan psikologi sosial, filsafat juga bisa memberikan wacana maupun sudut pandang baru dalam bentuk refleksi teori-teori sosial kontemporer;
Filsafat bisa memberikan kerangka berpikir yang radikal, sistematis, logis, dan rasional bagi para psikolog, baik praktisi maupun akademisi, sehingga ilmu psikologi bisa menjelajah ke lahan-lahan yang tadinya belum tersentuh.
Saran
Filsafat merupakan induk dari munculnya keilmuan modern. Dari filsafat yang nerupakan ilmu dari kebijaksanaan lahirnya ilmu ilmu yang secara fungsional mengembangkan dan memajukan peradaban manusia, oleh karena kaijan ilmu ilmu baru terus secara intensif dilakukan oleh para pakar dan ilmuwan. Psikologi temasuk ilmu baru yang keberadaannya sangat penting dan dibutuhkan oleh peradaban manusia oleh karena kehidupan yang semakin kompleks dengan persoalan. Sebelumnya psikologi dibahas dalam kelimuan induknya, filsafat, dalam kajian tentang jiwa. Oleh karena terlalu luasnya filsafat dan diperlukannya spesifikasi pembahasan tentang jiwa manusia, maka lahirlah ilmu psikologi. Tulisan ini merupakan satu dari ribuan bahkan jutaa usaha manusia untuk tetap menghidupan semangat keilmuan terutama pengkajian filsafat dengan cabang cabang keilmuannya dalam hal ini psikologi yang sekali lagi keberadaannya semakin dibutuhkan bagi menjawab kompleksitas kehidupan manusia. Penulis terus menebarkan harapan akan terus dilakukannya penelitian penelitian mengenai keterhubungan filsafat dan psikologi untuk terus menghidupkan semangat telaah kelimuan untuk tujuan bagi kesejehtreaan manusia di masa masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Suriasumantri, Jujun S. (2007). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ahmadi, Abu. (2009). Psikologi Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Hillgard & Atkinson. (2007). Pengantar Psikologi. Edisi ke-11. Jakarta: Interaksara.
Wattimena, Reza A.A. (2005). Peranan Filsafat bagi Perkembangan Ilmu Psikologi [Paper]. Tersedia: http://www.rezaantonius.wordpress.com. [9 November 2009]
Anonymous. Filsafat Ilmu. (2009). Tersedia: http://www.members.tripod.com/ aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm. [9November 2009]
Hall, Calvin S. dan Lindzey, Gardner. 1993. Teori-Teori Holistik (OrganismikFenomenologi). Yogyakarta, Kanisius.
Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta, Kanisius.
Hilgard, Ernest R. 1987. Pengantar Psikologi, Edisi Kedelapan. Jakarta, Penerbit Erlangga.
Muhadjir, Noeng. 1998. Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta, Rake Sarasin.
Mustansyir, Rizal dan Munir, Misnal. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset.
Soetriono, Hanafi. R. (2007). Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. CV. ANDI OFFSET: Yogyakarta.
Maksum. A. (2017). Pengantar Filsafat dari Klasik hingga Post Modernisme. AR-RUZZ MEDIA: Jakarta.
Nurroh, Syampadzi. 2017. Filsafat Ilmu, Studi Kasus: Telaah Buku Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer) oleh Jujun S. Suriasumantri. Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada.
Taufiq, Muhammad Izzuddin. 2006. Panduan Lengkap dan Praktis: Psikologi Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
5