AL JARH WA AT TA’DIL
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadis
Semester Tiga Tahun Akademik 2015/2016
Dosen Pengampu
Dr. SULIDAR,M.Ag
OLEH
FAUZI AHMAD SYAWALUDDIN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KELAS KHUSUS B
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................................
ii
BAB I :
1
BAB II:
BAB III :
PENDAHULUAN .............................................................................................
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jarh wa At Ta’dil ..................................................................
1
B. Dalil disyariatkannya Jarh wa At Ta’dil ..............................................
3
C. Lafal yang dipergunakan dalam Jarh wa At Ta’dil ..............................
5
D. Syarat-syarat Jarh wa At Ta’dil...........................................................
7
E. Prosedur penetapan Jarh wa At Ta’dil ...............................................
8
F. Cara mengetahui keadilan perawi ......................................................
9
G. Pertentangan antara Jarh wa at Ta’dil ................................................
9
KESIMPULAN ..........................................................................
12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Hadis merupakan syariat kedua setelah alquran. Hadis selain syariat kedua setelah
alquran juga merupakan sebuah cabang dari disiplin ilmu yang menarik untuk dikaji. Sebuah
pengkajian terhadap hadis yang berasal dari rasulullah sangat perlu dilakukan dikarenakan
untuk menjaga kemurnian hadis itu sendiri.
Upaya untuk menjaga hadis diantaranya adalah dengan mengkaji periwayatan hadis.
Dalam periwayatan sebuah hadis, ketelitian dalam penetapan tentang status hadis sangatlah
penting, mengingat banyaknya hadis yang tidak lagi murni dari rasulullah, bahkan hadis yang
ada tersebut merupakan hadis yang dibuat-dibuat atau hadis palsu.
Salah satu identifikasi sebuah hadis, apakah itu hadis tingkatannya shahih, hasan,
dhaif bahkan maudhu adalah dengan mengkaji periwayat hadis tersebut. Dalam meneliti
apakah siperiwayat itu adalah orang yang dapat dipercaya atau dalam bahasa ilmu hadisnya
tsiqah atau ‘adil maka dalam hal ini ilmu hadis memilki sebuah cabang ilmu yang membahas
hal tersebut yaitu Ilmu Al Jarh Wa Ta’dil yang nantinya dalam pembahasan tersebut akan
ditemukan tentang status seorang periwayat dan status hadis tersebut.
Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah sebuah ilmu yang membahas tentang sifat-sifat
seorang rawi yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.
Atau dengan kata lain ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang
memberikan kritikan adanya aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi. Faedah
mempelajari ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang
itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli
sebagai seorang rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang
rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat
yang lain untuk menerima hadits dipenuhi. Maka dalam makalah ini nantinya akan dibahas
tentang pengkajian periwayat, yaitu penentuan seorang periwayat apakah dalam diri seorang
periwayat terdapat sebuah cacat (Al Jarh). Atau juga memang periwayat tersebut adalah
orang yang adil dalam meriwayatkan hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al Jarh wa at Ta’dil
Secara etimologi /bahasa lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata Kerja جرح يجرح
جرحاyang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir.1
Menurut istilah para ahli hadis ialah nampaknya suatu sifat para perawi yang merusakkan
keadilannya atau mencederakan hafalannya, karenanya gugurlah riwayatnya dan di pandang
lemah. . Sedangkan menurut terminologi ilmu hadits adalah:
هو ظهور وصف في الراوي يسلم عد ا لته ا ويخل حفظه وضبطه مما يتر تب عليه سقوط روايته
اوضعفها ورد ها
“Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau merusak
kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya dan
menyebabkan riwayatnya di tolak”.2
Al-Jarh ialah upaya mengungkap sifat-sifat tercela dari perawi hadits yang
menyebabkan lemah atau tertolaknya riwayat yang disampaikan. Lafadz al-jarh, menurut
Muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya.
Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang
dapat menyebabkan kelamahan atau tetolak apa yang diriwayatkannya. Adapun rawi
dikatakan adil yaitu orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama
dan keperwiraannya. Memberi sifat-sifat terpuji kepada rawi sehingga yang diriwayatkannya
dapat diterima dan disebut men-ta’dil-kannya.
Syaikh Manna Al-Qaththan menungkapkan, Al Jarh menurut istilah adalah terlihatnya
sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan
ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga
kemudian ditolak.3
Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah waal-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy, 1976), h. 83.
Ajaz al-Khatib, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975), h. 260.
3
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits(Penj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.), (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009), h.82.
1
2
Adapun At Ta’dil secara etimologi, adalah bentuk masdar, bentuk fiil madhi dan
mudhari’nya yaitu ‘addala-yu’addilu yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang
dimiliki seseorang.4
Sedangkan menurut terminologi ilmu hadits,
وصف الراوى بصفات تزكية فتظهر عدالته ويقبل خبره
“Sifat rawi dari segi diterima dan nampak keadilannya”5
Pengetian lain tentang At ta’dil sebagai berikut:
هو من لم يظهر في امر دينه ومرؤته ما يخل بهما
“At Ta’dil ialah orang yang tidak terlihat pada urusan agama dan muruahnya sesuatu yang
merusak keduanya”6
Berdasarkan hal pengertian diatas dapat dipahami bahwa ilmu al Jarh Wa Ta’dil
adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal (keadaaan) para periwayat dari segi diterima atau
ditolaknya riwayat mereka dalam meriwayatkan hadis.7
B. Dalil disyariatkannya Al Jarh wa Ta’dil
Adapun dalil-dalil yang dapat dikemukakan tentang disyariatkannya Al Jarh wa
Ta’dil sebagaimana dikemukakan oleh Ajjaj Khatib yaitu bahwa dalam melakukan Al Jarh
wa Ta’dil akan terungkap keadaan siperawi hadis tersebut, bukan sebaliknya sebagaimana
dikatakan oleh sebagian orang awam bahwa Al Jarh wa Ta’dil hanya merupakan membuka
aib orang lain. Dalilnya dapat dipahami dari ayat alquran sebagai berikut:
1. Surat Al Hujurat ayat 6.8
٦
َعلَى َما فَ َع ۡلت ُ ۡم نَ ِد ِمين
ِ ُ َيَٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓواْ ِإن َجا َٰٓ َء ُك ۡم فَا ِس ُۢ ُق ِبنَ َب ٖإ فَتَ َبيَّنُ َٰٓواْ أَن ت
َ ْصيبُواْ قَ ۡو ُۢ َما ِب َج َهلَ ٖة فَتُصۡ ِب ُحوا
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu”
2. Surat Al Baqarah ayat 282
4
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Cet. Ke-6 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 31.
Ibid, h. 262.
6
Ibid, Ajjaj Khatib
7
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, (Bandung: Ciptapustaka Media Perintis, 2011), h. 147
8
Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag R.I. 1992
5
ب كَاتِبٌ أَن
ُ ُۢ ِس ّٗمى فَ ۡٱكتُبُوهُ َو ۡليَ ۡكتُب ب َّۡينَ ُك ۡم كَات
َ ب بِ ۡٱلعَ ۡد ِل َو ََل يَ ۡأ
َ يََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓواْ إِ َذا تَ َدايَنتُم بِ َد ۡي ٍن إِلَ َٰٓى أَ َج ٖل ُّم
علَ ۡي ِه
ۡ ٱلل َربَّهُۥ َو ََل يَ ۡبخ
َّ ُعلَّ َمه
َ َس ِم ۡنهُ ش َّٗۡيا فَإِن َكانَ ٱلَّذِي
َ ٱللُ فَ ۡليَ ۡكت ُ ۡب َو ۡليُمۡ ِل ِل ٱلَّذِي
َ ب َك َما
َ ُ يَ ۡكت
ِ َّ علَ ۡي ِه ۡٱل َح ُّق َو ۡليَت
َ َّ ق
ۡ ض ِعيفًا أَ ۡو ََل يَ ۡست َِطي ُع أَن ي ُِم َّل ه َُو فَ ۡليُمۡ ِل ۡل َو ِليُّهُۥ بِ ۡٱلعَ ۡد ِل َو
َ ْٱست َۡش ِهدُوا
ش ِهي َد ۡي ِن ِمن ِر َجا ِل ُك ۡ ۖۡم فَإِن
َ س ِفي ًها أَ ۡو
َ ۡٱل َح ُّق
ُّ ض ۡونَ ِمنَ ٱل
َض َّل إِ ۡح َدى ُه َما فَت ُ َذ ِك َر إِ ۡح َدى ُه َما ۡٱۡل ُ ۡخ َرى َو ََل
ِ ش َه َدآَٰ ِء أَن ت
َ َان ِم َّمن ت َۡر
ِ ل َوٱمۡ َرأَتٞ لَّ ۡم يَ ُكونَا َر ُجلَ ۡي ِن فَ َر ُج
ُ س
ُّ ب ٱل
ِ َّ ط ِعن َد
ٱلل َوأَ ۡق َو ُم
ُ ش َه َدآَٰ ُء إِ َذا َما ُد
ً ِيرا أَ ۡو َكب
ً ص ِغ
َ يَ ۡأ
َ يرا إِلَ َٰٓى أَ َج ِل ِهۦ َذ ِل ُك ۡم أَ ۡق
َ ُعواْ َو ََل ت َۡس ُم َٰٓواْ أَن ت َۡكتُبُوه
َٰٓ َّ ش َه َدةِ َوأَ ۡدن ََٰٓى أَ ََّل ت َۡرتَاب َُٰٓواْ ِإ
َّ ِلل
ع َل ۡي ُك ۡم ُجنَا ٌح أَ ََّل ت َۡكتُبُوه َۗا
ُ اض َر ّٗة تُد
َ س
ِ َل أَن تَ ُكونَ تِ َج َرة ً َح
َ ِيرونَ َها بَ ۡينَ ُك ۡم َف َل ۡي
ۗ َّ ٱلل َويُ َع ِل ُم ُك ُم
ُ ُۢ س
َ ب َو ََلٞ ِضا َٰٓ َّر كَات
َّ ٱللُ َو
ُ ُ َو ِإن ت َۡف َعلُواْ فَإِنَّهُۥ فٞش ِهيد
َ َُوأَ ۡش ِهد َُٰٓواْ ِإ َذا تَبَايَعۡ ت ُ ۡم َو ََل ي
ُٱلل
َ ۡۖ َّ ْوق بِ ُك ۡ ۗم َوٱتَّقُوا
٢٨٢ يمٞ ع ِل
َ ٍبِ ُك ِل ش َۡيء
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak
mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua
oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksisaksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya
hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
C. Lafal-lafal yang dipergunakan dalam Al Jarh wa Ta’dil
Dalam melakukan Al Jarh wa Ta’dil ada beberapa lafal yang dipergunakan. Menurut
Ibn Abi Hatim, Ibn as Salah dan Imam Nawawi dalam Ramli Abdul Wahid dalam menta’dil
perawi lafal tersebut disusun menjadi empat tingkatan, menurut Az Zahabi dan Al Iraqi
lafalnya ada lima tingkatan, Ibnu Hajar menyusunnya enam tingkatan. Sedangkan menurut
ulama kontemporer mereka membaginya menjadi enam tingkatan, adapun tingkatannya
sebagai berikut:9
Pertama,
ليس لَهُ ن َِظيْر,اس
ِ َّ أ ضبط الن, أو ثق النَّاس
(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya),
Kedua,
ع ْن ِمثْ ِل ِه
َ ع ْنهُ أَ ْو
َ فُالَن الَ يَسْأ ُل
(si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya),
Ketiga
ثِقَة َح ِفظ, ثِقَة َمأ ْ ُم ْون,ثِقَة ثِقَة,
(terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan
hafalan yang baik),
Keempat,
عدل ضابطثبت, عدل حافظ, إمام, حجة,متقن
(kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)
Kelima,
ال بأس به قصدو,مأمون
(benar, jujur, tidak ada masalah).
Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke
dabitannya.
Keenam,
صدوق إن شاء هللا, صويلح, ليس ببعيد من الصواب,شيخ
(syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan
seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
9
Ibid, Ramli Abdul Wahid
Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari
tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak
menunjukkan kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad
lain sebagai penguatnya
Sedangkan dalam menjarh perawi hadis ada beberapa lafal yang biasa digunakan. Dan
ulama-ulama kontemporer juga membaginya kedalam enam tingkatan, hal ini sejalan dengan
yang disampaikan oleh Ibn Hajar.10
Pertama,
Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya
dengan kata-kata:
ركن الكذب،أكذب الناس
(Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini
menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua,
Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak
separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya:
وضاع,كذاب
(pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan
(mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga,
Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta lafadz yang
digunakan misalnya:
ْ
َ يَس ِْر ُق ْال َح ِدي,ْع
ْس بِثِقَة
ِ ُمت َّ َهم بِ ْال َك ِذ
َ لَي, ُمتْ ُر ْوق, هَا ِلك,ْث
ِ ُمت َّ َهم بِال َوض,ب
(tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis,celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)
Keempat,
Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz
yang digunakan:
ُ ,ُُردَّ َح ِد ْيثُه
َُب َح ِد ْيثُه
َ ْس ِب
ُ الَ يُ ْكت,ش ْيء
َ , ُط ِر َح َح ِد ْيثُه
َ لَي,ض ِعيْف ِجدًّا
(ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan
Hadisnya).
Kelima,
10
Ibid, Ramli Abdul Wahid, h. 149
Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya
atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
َّ ض ِعيْف ُمض
ب
ُ ْط ِر
َ ،ُضعَّفُ ْوه
َ ، الَيُحْ تَ ُج ِب ِه،ِْال َح ِد ْيث
(goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah)
Keenam,
Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati
tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
غير أو, فيه ضعيف، ليس بحجة, فيه مقال,ثق منه ليس بذلك القوي
(tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya
terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifatsifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada
peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal
tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.
D. Syarat-syarat Al Jarh wa Ta’dil
Setidaknya ada dua macam syarat dalam melakukan Jarh wa Ta’dil, yaitu syarat
ulama yang menjrh wa ta’dil, dan syarat diterimanya Jarh wa ta’dil.
Adapun syarat ulama yang menjrh wa ta’dil sebagai berikut:
1. Berilmu, bertakwa, warak dan jujur.
2. Mengetahui sebab-sebab jarh wa ta’dil.
3. Mengetahui penggunaan lafal dan ungkapan bahasa arab.
4. Penilaian jarh wa ta’dil dari setiap orang yang adil, baik laki-laki maupun perempuan
merdeka mapun budak diterima
5. Penilaian jarh wa ta’dil dari satu orang dapat dipadakan selama ia memenuhi syarat
sebagai penilai.
Adapun syarat diterimanya jarh wa ta’dil adalah sebagai berikut:
1. Jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya.
2. Penilaian Jarh secara umum tanpa menjelaskan sebab-sebabnya terhadap periwayat
yang sama sekali tidak ada menta’dilnya dapat diterima.
3. Jarh harus terlepas dari berbagai hal yang menghalangi penerimaanya.11
E. Prosedur Penetapan Al jarh wa Ta’dil
11
Ibid, Ramli Abdul Wahid, h. 152
Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum
syari’at adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah beberapa
ketentuan dalam Jarh wa ta’dil para perawi yang pada pokoknya meliputi:
1. Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa
adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “Anda
mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebutnyebut kebaikannya”
2. Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat
membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan
dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3. Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama
senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh
dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama
cukup mengatakan:
لم يكن تستقيم اللسان
“ Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”
4. Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para
ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah
disebutkan bahwa si fulantsiqah atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti
orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak
disebutkan karena terlalu banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab
al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia
sering teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik
dan lain sebagainya.12
F. Cara Mengetahui Keadilan Seorang Perawi
Untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan.13
12
Teungku M. Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadit, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2010), h. 279.
13
Ibid, Ajjaj Khatib, h. 267
1. Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi
sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka
tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
2. Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang
perawi yang semula belum dikenal keadilannya.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh:
a. Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang
men-ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan hadits.
b. Setiap orang yang dapat diterima periwatannya, baik laki-laki maupun perempuan,
baik yang merdeka ataupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat
mengadilkannya.
Adapun untuk mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperti pada cara
mengetahui keadilan seorang perawi yang disebutkan di atas.
1. Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang
sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak
perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan
kecacatannya.
2. Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab
dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhaditsin,sedangkan menurut para
fuqoha, sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.
G. Pertentangan antara Jarh wa Ta’dil
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang
perawi. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Apabila
dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pertentangan
ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui sebabnya.
Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
1. Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik,
sehingga mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya
mengetahui perawi itu setelah ia (perawi etersebut) bertaubat, sehingga mereka
menta’dilkannya.Menurut Ajaj al-Khatib sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu
pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta’dil.14 Hal ini
sesuai dengan kaidah:
التعديل مقدم علي الجرح
“Menta’dilkan didahulukan atas mentajrihkan”
Alasannya adalah karena sifat dasar periwayat adalah terpuji, jika sifat dasar yang
berlawanan dengan sifat yang akan dating atau muncul setelahnya, maka yang harus
dimenangkan sifat dasar siperiwayat tersebut.15
2. Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hafalnya
lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya
mengetahui
perawi
itu
sebagai
orang
yang
dhabith,
sehingga
mereka
menta’dilkannya. Hal ini sesuai dengan kaidah sebagai berikut:
الجرح مقدم علي التعديل
“Mentajrihkan didahulukan dari yang menta’dilkan”
Alasan pertama, kritikus yang menyatakan celaan dinilai lebih mengetahui pribadi
periwayat yang dinilainya ketimbang orang yang menta’dilkannya. Kedua, yang
menjadi dasar untuk memuji periwayat adalah persangkaan baik dari orang yang
menilainya. Persangkaan baik akan dikalahkan bila ternyata ada celaan yang dimiliki
periwayat yang bersangkutan.16
Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya
seorang perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan
diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdapat berbagai
pendapat dikalangan ulama hadits, sebagai berikut:
1. Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari
ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur,
alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat)
melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli
oleh orang yang menta’dil.17
14
Ibid, Ajjaj Khatib, h. 267
Ibid, Ramli Abdul Wahid, h. 153
16
Ibid, h. 152
17
Ibid, Ajjaj Khatib h. 267
15
2. Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama
yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka.
Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil
itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah
ditajrih oleh ulama lain.
3. Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah
satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kita
tawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan
salah satunya.
4. Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi
menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah
meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi.
Menurut Ajaz al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik
mutaqaddimin maupun mutaakhirin.
BAB III
KESIMPULAN
1. Ilmu al Jarh Wa Ta’dil adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal (keadaaan) para
periwayat dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka dalam meriwayatkan
hadis.
2. Bahwa dalam melaksanakan jarh wa ta’dil bukanlah untuk mencari keburukan dan
aib siperiwayat hadis, akan tetapi jarh wa ta’dil kepada periwayat hadis dilakukan
untuk menjaga kemurnian hadis, dan untuk mengetahui keadaan siperiwayat hadis
tersebut.
3. Banyak lafal yang digunakan dalam menta’dil dan menjarh, para ulama kontemporer
membagi tingkatan lafal baik lafal yang biasa dipakai untuk menjarh dan lafal yang
biasa dipakai untuk menta’dil menjadi enam tingkatan, dimana dalam tingkatan
tersebut terlihat nantinya kualitas periwayat tersebut.
4. Ada dua macam syarat dalam jarh dan ta’dil. Pertama syarat diterimanya ulama yang
melaksanakan jarh dan ta’dil diantaranya adalah: beriman, bertawakal, berilmu, dan
mengetahui kaidah-kaidah dalam jarh dan ta’dil. kedua syarat diterimanya hadis yang
dijarh dan ta’dil diantaranya haruslah dijelaskan sebab jarh dan ta’dilnya seorang
periwayat.
5. Dalam jarh wa ta’dil tidak terlepas dari pertentangan para ulama hadis, kalau terjadi
pertentangan diantara para ulama hadis maka hal yang perlu diperhatikan adalah
sipentajrih dan penta’dil itu sendiri karena merekalah yang lebih mengetahui keadaan
orang yang ditajrh dan dita’dilkannya. Selain itu hal yag perlu diperhatikan lagi yait
kuantitas pentajrh dan penta’dil, karena dengan banyaknya jumlah mereka akan saling
menguatkan diantara mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ajaz al-Khatib, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975)
Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag R.I. 1992
Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah waal-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy, 1976)
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Cet. Ke-6 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, (Bandung: Ciptapustaka Media Perintis, 2011)
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits(Penj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.),
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009)
Teungku M. Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadit, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2010)