Academia.eduAcademia.edu

AL JARH WA AT TA'DIL

Makalah Ilmu Hadis

AL JARH WA AT TA’DIL Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadis Semester Tiga Tahun Akademik 2015/2016 Dosen Pengampu Dr. SULIDAR,M.Ag OLEH FAUZI AHMAD SYAWALUDDIN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KELAS KHUSUS B PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i DAFTAR ISI........................................................................................................................ ii BAB I : 1 BAB II: BAB III : PENDAHULUAN ............................................................................................. PEMBAHASAN A. Pengertian Jarh wa At Ta’dil .................................................................. 1 B. Dalil disyariatkannya Jarh wa At Ta’dil .............................................. 3 C. Lafal yang dipergunakan dalam Jarh wa At Ta’dil .............................. 5 D. Syarat-syarat Jarh wa At Ta’dil........................................................... 7 E. Prosedur penetapan Jarh wa At Ta’dil ............................................... 8 F. Cara mengetahui keadilan perawi ...................................................... 9 G. Pertentangan antara Jarh wa at Ta’dil ................................................ 9 KESIMPULAN .......................................................................... 12 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN Hadis merupakan syariat kedua setelah alquran. Hadis selain syariat kedua setelah alquran juga merupakan sebuah cabang dari disiplin ilmu yang menarik untuk dikaji. Sebuah pengkajian terhadap hadis yang berasal dari rasulullah sangat perlu dilakukan dikarenakan untuk menjaga kemurnian hadis itu sendiri. Upaya untuk menjaga hadis diantaranya adalah dengan mengkaji periwayatan hadis. Dalam periwayatan sebuah hadis, ketelitian dalam penetapan tentang status hadis sangatlah penting, mengingat banyaknya hadis yang tidak lagi murni dari rasulullah, bahkan hadis yang ada tersebut merupakan hadis yang dibuat-dibuat atau hadis palsu. Salah satu identifikasi sebuah hadis, apakah itu hadis tingkatannya shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu adalah dengan mengkaji periwayat hadis tersebut. Dalam meneliti apakah siperiwayat itu adalah orang yang dapat dipercaya atau dalam bahasa ilmu hadisnya tsiqah atau ‘adil maka dalam hal ini ilmu hadis memilki sebuah cabang ilmu yang membahas hal tersebut yaitu Ilmu Al Jarh Wa Ta’dil yang nantinya dalam pembahasan tersebut akan ditemukan tentang status seorang periwayat dan status hadis tersebut. Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah sebuah ilmu yang membahas tentang sifat-sifat seorang rawi yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya. Atau dengan kata lain ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang memberikan kritikan adanya aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi. Faedah mempelajari ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi. Maka dalam makalah ini nantinya akan dibahas tentang pengkajian periwayat, yaitu penentuan seorang periwayat apakah dalam diri seorang periwayat terdapat sebuah cacat (Al Jarh). Atau juga memang periwayat tersebut adalah orang yang adil dalam meriwayatkan hadis. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Al Jarh wa at Ta’dil Secara etimologi /bahasa lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata Kerja ‫جرح يجرح‬ ‫ جرحا‬yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir.1 Menurut istilah para ahli hadis ialah nampaknya suatu sifat para perawi yang merusakkan keadilannya atau mencederakan hafalannya, karenanya gugurlah riwayatnya dan di pandang lemah. . Sedangkan menurut terminologi ilmu hadits adalah: ‫هو ظهور وصف في الراوي يسلم عد ا لته ا ويخل حفظه وضبطه مما يتر تب عليه سقوط روايته‬ ‫اوضعفها ورد ها‬ “Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan riwayatnya di tolak”.2 Al-Jarh ialah upaya mengungkap sifat-sifat tercela dari perawi hadits yang menyebabkan lemah atau tertolaknya riwayat yang disampaikan. Lafadz al-jarh, menurut Muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelamahan atau tetolak apa yang diriwayatkannya. Adapun rawi dikatakan adil yaitu orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya. Memberi sifat-sifat terpuji kepada rawi sehingga yang diriwayatkannya dapat diterima dan disebut men-ta’dil-kannya. Syaikh Manna Al-Qaththan menungkapkan, Al Jarh menurut istilah adalah terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.3 Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah waal-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy, 1976), h. 83. Ajaz al-Khatib, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975), h. 260. 3 Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits(Penj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), h.82. 1 2 Adapun At Ta’dil secara etimologi, adalah bentuk masdar, bentuk fiil madhi dan mudhari’nya yaitu ‘addala-yu’addilu yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang.4 Sedangkan menurut terminologi ilmu hadits, ‫وصف الراوى بصفات تزكية فتظهر عدالته ويقبل خبره‬ “Sifat rawi dari segi diterima dan nampak keadilannya”5 Pengetian lain tentang At ta’dil sebagai berikut: ‫هو من لم يظهر في امر دينه ومرؤته ما يخل بهما‬ “At Ta’dil ialah orang yang tidak terlihat pada urusan agama dan muruahnya sesuatu yang merusak keduanya”6 Berdasarkan hal pengertian diatas dapat dipahami bahwa ilmu al Jarh Wa Ta’dil adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal (keadaaan) para periwayat dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka dalam meriwayatkan hadis.7 B. Dalil disyariatkannya Al Jarh wa Ta’dil Adapun dalil-dalil yang dapat dikemukakan tentang disyariatkannya Al Jarh wa Ta’dil sebagaimana dikemukakan oleh Ajjaj Khatib yaitu bahwa dalam melakukan Al Jarh wa Ta’dil akan terungkap keadaan siperawi hadis tersebut, bukan sebaliknya sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang awam bahwa Al Jarh wa Ta’dil hanya merupakan membuka aib orang lain. Dalilnya dapat dipahami dari ayat alquran sebagai berikut: 1. Surat Al Hujurat ayat 6.8 ٦ َ‫علَى َما فَ َع ۡلت ُ ۡم نَ ِد ِمين‬ ِ ُ ‫َيَٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓواْ ِإن َجا َٰٓ َء ُك ۡم فَا ِس ُۢ ُق ِبنَ َب ٖإ فَتَ َبيَّنُ َٰٓواْ أَن ت‬ َ ْ‫صيبُواْ قَ ۡو ُۢ َما ِب َج َهلَ ٖة فَتُصۡ ِب ُحوا‬ “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” 2. Surat Al Baqarah ayat 282 4 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Cet. Ke-6 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 31. Ibid, h. 262. 6 Ibid, Ajjaj Khatib 7 Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, (Bandung: Ciptapustaka Media Perintis, 2011), h. 147 8 Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag R.I. 1992 5 ‫ب كَاتِبٌ أَن‬ ُ ُۢ ِ‫س ّٗمى فَ ۡٱكتُبُوهُ َو ۡليَ ۡكتُب ب َّۡينَ ُك ۡم كَات‬ َ ‫ب بِ ۡٱلعَ ۡد ِل َو ََل يَ ۡأ‬ َ ‫يََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓواْ إِ َذا تَ َدايَنتُم بِ َد ۡي ٍن إِلَ َٰٓى أَ َج ٖل ُّم‬ ‫علَ ۡي ِه‬ ۡ ‫ٱلل َربَّهُۥ َو ََل يَ ۡبخ‬ َّ ُ‫علَّ َمه‬ َ ‫َس ِم ۡنهُ ش َّٗۡيا فَإِن َكانَ ٱلَّذِي‬ َ ‫ٱللُ فَ ۡليَ ۡكت ُ ۡب َو ۡليُمۡ ِل ِل ٱلَّذِي‬ َ ‫ب َك َما‬ َ ُ ‫يَ ۡكت‬ ِ َّ ‫علَ ۡي ِه ۡٱل َح ُّق َو ۡليَت‬ َ َّ ‫ق‬ ۡ ‫ض ِعيفًا أَ ۡو ََل يَ ۡست َِطي ُع أَن ي ُِم َّل ه َُو فَ ۡليُمۡ ِل ۡل َو ِليُّهُۥ بِ ۡٱلعَ ۡد ِل َو‬ َ ْ‫ٱست َۡش ِهدُوا‬ ‫ش ِهي َد ۡي ِن ِمن ِر َجا ِل ُك ۡ ۖۡم فَإِن‬ َ ‫س ِفي ًها أَ ۡو‬ َ ‫ۡٱل َح ُّق‬ ُّ ‫ض ۡونَ ِمنَ ٱل‬ ‫َض َّل إِ ۡح َدى ُه َما فَت ُ َذ ِك َر إِ ۡح َدى ُه َما ۡٱۡل ُ ۡخ َرى َو ََل‬ ِ ‫ش َه َدآَٰ ِء أَن ت‬ َ ‫َان ِم َّمن ت َۡر‬ ِ ‫ل َوٱمۡ َرأَت‬ٞ ‫لَّ ۡم يَ ُكونَا َر ُجلَ ۡي ِن فَ َر ُج‬ ُ ‫س‬ ُّ ‫ب ٱل‬ ِ َّ ‫ط ِعن َد‬ ‫ٱلل َوأَ ۡق َو ُم‬ ُ ‫ش َه َدآَٰ ُء إِ َذا َما ُد‬ ً ِ‫يرا أَ ۡو َكب‬ ً ‫ص ِغ‬ َ ‫يَ ۡأ‬ َ ‫يرا إِلَ َٰٓى أَ َج ِل ِهۦ َذ ِل ُك ۡم أَ ۡق‬ َ ُ‫عواْ َو ََل ت َۡس ُم َٰٓواْ أَن ت َۡكتُبُوه‬ َٰٓ َّ ‫ش َه َدةِ َوأَ ۡدن ََٰٓى أَ ََّل ت َۡرتَاب َُٰٓواْ ِإ‬ َّ ‫ِلل‬ ‫ع َل ۡي ُك ۡم ُجنَا ٌح أَ ََّل ت َۡكتُبُوه َۗا‬ ُ ‫اض َر ّٗة تُد‬ َ ‫س‬ ِ ‫َل أَن تَ ُكونَ تِ َج َرة ً َح‬ َ ‫ِيرونَ َها بَ ۡينَ ُك ۡم َف َل ۡي‬ ۗ َّ ‫ٱلل َويُ َع ِل ُم ُك ُم‬ ُ ُۢ ‫س‬ َ ‫ب َو ََل‬ٞ ِ‫ضا َٰٓ َّر كَات‬ َّ ‫ٱللُ َو‬ ُ ُ‫ َو ِإن ت َۡف َعلُواْ فَإِنَّهُۥ ف‬ٞ‫ش ِهيد‬ َ ُ‫َوأَ ۡش ِهد َُٰٓواْ ِإ َذا تَبَايَعۡ ت ُ ۡم َو ََل ي‬ ُ‫ٱلل‬ َ ۡۖ َّ ْ‫وق بِ ُك ۡ ۗم َوٱتَّقُوا‬ ٢٨٢ ‫يم‬ٞ ‫ع ِل‬ َ ٍ‫بِ ُك ِل ش َۡيء‬ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksisaksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” C. Lafal-lafal yang dipergunakan dalam Al Jarh wa Ta’dil Dalam melakukan Al Jarh wa Ta’dil ada beberapa lafal yang dipergunakan. Menurut Ibn Abi Hatim, Ibn as Salah dan Imam Nawawi dalam Ramli Abdul Wahid dalam menta’dil perawi lafal tersebut disusun menjadi empat tingkatan, menurut Az Zahabi dan Al Iraqi lafalnya ada lima tingkatan, Ibnu Hajar menyusunnya enam tingkatan. Sedangkan menurut ulama kontemporer mereka membaginya menjadi enam tingkatan, adapun tingkatannya sebagai berikut:9 Pertama, ‫ ليس لَهُ ن َِظيْر‬,‫اس‬ ِ َّ‫ أ ضبط الن‬, ‫أو ثق النَّاس‬ (orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya), Kedua, ‫ع ْن ِمثْ ِل ِه‬ َ ‫ع ْنهُ أَ ْو‬ َ ‫فُالَن الَ يَسْأ ُل‬ (si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya), Ketiga ‫ثِقَة َح ِفظ‬, ‫ ثِقَة َمأ ْ ُم ْون‬,‫ثِقَة ثِقَة‬, (terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik), Keempat, ‫ عدل ضابطثبت‬,‫ عدل حافظ‬,‫ إمام‬,‫ حجة‬,‫متقن‬ (kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit) Kelima, ‫ ال بأس به قصدو‬,‫مأمون‬ (benar, jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya. Keenam, ‫صدوق إن شاء هللا‬, ‫ صويلح‬,‫ ليس ببعيد من الصواب‬,‫شيخ‬ (syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati jarh. 9 Ibid, Ramli Abdul Wahid Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai penguatnya Sedangkan dalam menjarh perawi hadis ada beberapa lafal yang biasa digunakan. Dan ulama-ulama kontemporer juga membaginya kedalam enam tingkatan, hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Ibn Hajar.10 Pertama, Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata: ‫ ركن الكذب‬،‫أكذب الناس‬ (Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang bersangatan. Kedua, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: ‫ وضاع‬,‫كذاب‬ (pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama. Ketiga, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta lafadz yang digunakan misalnya: ْ َ ‫ يَس ِْر ُق ْال َح ِدي‬,‫ْع‬ ‫ْس بِثِقَة‬ ِ ‫ُمت َّ َهم بِ ْال َك ِذ‬ َ ‫ لَي‬,‫ ُمتْ ُر ْوق‬,‫ هَا ِلك‬,‫ْث‬ ِ ‫ ُمت َّ َهم بِال َوض‬,‫ب‬ (tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis,celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat) Keempat, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan: ُ ,ُ‫ُردَّ َح ِد ْيثُه‬ ُ‫َب َح ِد ْيثُه‬ َ ‫ْس ِب‬ ُ ‫ الَ يُ ْكت‬,‫ش ْيء‬ َ , ُ‫ط ِر َح َح ِد ْيثُه‬ َ ‫ لَي‬,‫ض ِعيْف ِجدًّا‬ (ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya). Kelima, 10 Ibid, Ramli Abdul Wahid, h. 149 Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya: َّ ‫ض ِعيْف ُمض‬ ‫ب‬ ُ ‫ْط ِر‬ َ ،ُ‫ضعَّفُ ْوه‬ َ ،‫ الَيُحْ تَ ُج ِب ِه‬،ِ‫ْال َح ِد ْيث‬ (goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah) Keenam, Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya: ‫ غير أو‬,‫ فيه ضعيف‬،‫ ليس بحجة‬,‫ فيه مقال‬,‫ثق منه ليس بذلك القوي‬ (tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya). Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifatsifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan. D. Syarat-syarat Al Jarh wa Ta’dil Setidaknya ada dua macam syarat dalam melakukan Jarh wa Ta’dil, yaitu syarat ulama yang menjrh wa ta’dil, dan syarat diterimanya Jarh wa ta’dil. Adapun syarat ulama yang menjrh wa ta’dil sebagai berikut: 1. Berilmu, bertakwa, warak dan jujur. 2. Mengetahui sebab-sebab jarh wa ta’dil. 3. Mengetahui penggunaan lafal dan ungkapan bahasa arab. 4. Penilaian jarh wa ta’dil dari setiap orang yang adil, baik laki-laki maupun perempuan merdeka mapun budak diterima 5. Penilaian jarh wa ta’dil dari satu orang dapat dipadakan selama ia memenuhi syarat sebagai penilai. Adapun syarat diterimanya jarh wa ta’dil adalah sebagai berikut: 1. Jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya. 2. Penilaian Jarh secara umum tanpa menjelaskan sebab-sebabnya terhadap periwayat yang sama sekali tidak ada menta’dilnya dapat diterima. 3. Jarh harus terlepas dari berbagai hal yang menghalangi penerimaanya.11 E. Prosedur Penetapan Al jarh wa Ta’dil 11 Ibid, Ramli Abdul Wahid, h. 152 Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah beberapa ketentuan dalam Jarh wa ta’dil para perawi yang pada pokoknya meliputi: 1. Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebutnyebut kebaikannya” 2. Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya. 3. Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan: ‫لم يكن تستقيم اللسان‬ “ Tidak adanya keteguhan dalam berbicara” 4. Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulantsiqah atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.12 F. Cara Mengetahui Keadilan Seorang Perawi Untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan.13 12 Teungku M. Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadit, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), h. 279. 13 Ibid, Ajjaj Khatib, h. 267 1. Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi. 2. Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya. Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh: a. Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan hadits. b. Setiap orang yang dapat diterima periwatannya, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang merdeka ataupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya. Adapun untuk mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperti pada cara mengetahui keadilan seorang perawi yang disebutkan di atas. 1. Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya. 2. Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhaditsin,sedangkan menurut para fuqoha, sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil. G. Pertentangan antara Jarh wa Ta’dil Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui sebabnya. Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya: 1. Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik, sehingga mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya mengetahui perawi itu setelah ia (perawi etersebut) bertaubat, sehingga mereka menta’dilkannya.Menurut Ajaj al-Khatib sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta’dil.14 Hal ini sesuai dengan kaidah: ‫التعديل مقدم علي الجرح‬ “Menta’dilkan didahulukan atas mentajrihkan” Alasannya adalah karena sifat dasar periwayat adalah terpuji, jika sifat dasar yang berlawanan dengan sifat yang akan dating atau muncul setelahnya, maka yang harus dimenangkan sifat dasar siperiwayat tersebut.15 2. Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hafalnya lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya mengetahui perawi itu sebagai orang yang dhabith, sehingga mereka menta’dilkannya. Hal ini sesuai dengan kaidah sebagai berikut: ‫الجرح مقدم علي التعديل‬ “Mentajrihkan didahulukan dari yang menta’dilkan” Alasan pertama, kritikus yang menyatakan celaan dinilai lebih mengetahui pribadi periwayat yang dinilainya ketimbang orang yang menta’dilkannya. Kedua, yang menjadi dasar untuk memuji periwayat adalah persangkaan baik dari orang yang menilainya. Persangkaan baik akan dikalahkan bila ternyata ada celaan yang dimiliki periwayat yang bersangkutan.16 Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya seorang perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdapat berbagai pendapat dikalangan ulama hadits, sebagai berikut: 1. Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil.17 14 Ibid, Ajjaj Khatib, h. 267 Ibid, Ramli Abdul Wahid, h. 153 16 Ibid, h. 152 17 Ibid, Ajjaj Khatib h. 267 15 2. Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain. 3. Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kita tawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya. 4. Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi. Menurut Ajaz al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin. BAB III KESIMPULAN 1. Ilmu al Jarh Wa Ta’dil adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal (keadaaan) para periwayat dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka dalam meriwayatkan hadis. 2. Bahwa dalam melaksanakan jarh wa ta’dil bukanlah untuk mencari keburukan dan aib siperiwayat hadis, akan tetapi jarh wa ta’dil kepada periwayat hadis dilakukan untuk menjaga kemurnian hadis, dan untuk mengetahui keadaan siperiwayat hadis tersebut. 3. Banyak lafal yang digunakan dalam menta’dil dan menjarh, para ulama kontemporer membagi tingkatan lafal baik lafal yang biasa dipakai untuk menjarh dan lafal yang biasa dipakai untuk menta’dil menjadi enam tingkatan, dimana dalam tingkatan tersebut terlihat nantinya kualitas periwayat tersebut. 4. Ada dua macam syarat dalam jarh dan ta’dil. Pertama syarat diterimanya ulama yang melaksanakan jarh dan ta’dil diantaranya adalah: beriman, bertawakal, berilmu, dan mengetahui kaidah-kaidah dalam jarh dan ta’dil. kedua syarat diterimanya hadis yang dijarh dan ta’dil diantaranya haruslah dijelaskan sebab jarh dan ta’dilnya seorang periwayat. 5. Dalam jarh wa ta’dil tidak terlepas dari pertentangan para ulama hadis, kalau terjadi pertentangan diantara para ulama hadis maka hal yang perlu diperhatikan adalah sipentajrih dan penta’dil itu sendiri karena merekalah yang lebih mengetahui keadaan orang yang ditajrh dan dita’dilkannya. Selain itu hal yag perlu diperhatikan lagi yait kuantitas pentajrh dan penta’dil, karena dengan banyaknya jumlah mereka akan saling menguatkan diantara mereka. DAFTAR PUSTAKA Ajaz al-Khatib, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975) Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag R.I. 1992 Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah waal-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy, 1976) Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Cet. Ke-6 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010). Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, (Bandung: Ciptapustaka Media Perintis, 2011) Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits(Penj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009) Teungku M. Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadit, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010)