Academia.eduAcademia.edu

Kamtibmas Kondusif di Era Normal Baru

Kamtibmas Kondusif di Era Normal Baru A Wahyurudhanto Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian – PTIK Hari ini, tanggal 1 Juli 2020, Polisi Indonesia merayakan hari besarnya yang ke-74. Tanggal 1 Juli telah ditetapkan sebagai hari Bhayangkara, hari ulang tahunnya Polisi Negara Republik Indonesia (Polri). Banyak masyarakat belum tahu, bahwa sebenarnya tanggal 1 Juli bukan merupakan hari lahir Polri. Penetapan tanggal 1 Juli mempunyai nilai historis yang sangat tinggi. Pada awalnya kepolisian berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara (DKN) yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. Pada tanggal 1 Juli 1946 Pemerintah menetapkan, Djawatan Kepolisian Negara bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Jadi tanggal 1 Juli merupakan momentum dinyatakannya Polri sebagai Kepolisian Nasional. Inilah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga saat ini. Sebagai kepolisian nasional, Polri merupakan bagian dari pemerintahan pusat. Peringatan Hari Bhayangkara tahun ini bersamaan dengan situasi nasional yang masih diselimuti dengan suasana pandemi Covid-19, sama dengan yang juga sedang dialami oleh hampir seluruh negara di dunia. Bencana non alam pandemi Covid-19 telah memberikan pengaruh pada banyak aspek kehidupan, mulai tata cara pergaulan yang harus disiplin dengan protokol kesehatan, mekanisme belajar mengajar yang harus dilakukan secara virtual dari masing-masing rumah siswa/mahasiswa (learning from home), bekerja dari rumah (work from home), sampai masalah ekonomi dengan pertumbuhan yang “terjun bebas”. Bahkan menurut Bank Dunia, perekonomian dunia sepanjang tahun ini bakal mengalami resesi terburuk sejak perang dunia. Dampak sosial dan ekonomi tesebut menimbulkan berbagai implikasi dalam kehidupan masyarakat. Gelombang PHK, penghasilan para pekerja usaha kecil dan menengah, serta sektor informal yang turun drastis, pengangguran baru, merupakan bukti dampak dari efek pandemi Covid-19. Kondisi ini memicu persoalan yang merupakan potensi kerawanan sosial, yang bisa berimbas pada gangguan kamtibas. Bagi Polri selaku institusi yang bertanggung jawab atas keamanan dalam negeri tentu saja kerawanan tersebut harus diwaspadai. Berbagai langkah, bersama dengan komponen pemerintahan yang lain seperti TNI dan Pemda sudah dilakukan. Namun dari analisis intelijen keamanan, kewaspadaan harus tetap dalam kondisi siaga, karena potensi kerawanan gangguan kamtibmas masih terus mengancam. Belum lagi gangguan lain yang juga harus ekstra diwaspadai, seperti ancaman gerakan radikalisme yang berpotensi memunculkan konflik sosial, serta ancaman terorisme yang menimbulkan suasana rasa ketakutan pada masyarakat. Ada yang menarik dari peringatan Hari Bhayangkara ke-74 tahun ini, yaitu mengangkat tema “Kamtibmas Kondusif, Masyarakat Semakin Produktif”. Melihat tema ini, sangat jelas semangat Polri untuk tetap mengedepankan tugas pokoknya yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan bahasa “kamtibmas kondusif”, karena kondisi ini merupakan prasyarat agar masyarakat bisa melakukan aktivitas keseharian secara normal dengan harapan agar “masyarakat semakin produktif”. Suasana keprihatinan di era pandemi Covid-19 menjadi pemikiran dasar dalam mengangkat tema ini, dengan harapan baru agar suasana kembali membaik sehingga pemerintah bersama masyarakat bisa kembali melakukan rekoveri. Era Normal Baru Memasuki masa yang disebut sebagai masa era normal baru (new normal) merupakan tantangan tersendiri bagi Polri. Di tengah mengatasi situasi pandemi dengan pola kehidupan yang disebut era normal baru berbagai masalah masih akan dihadapi oleh Polri, mulai dari kesiapan mengamankan pesta demokrasi Pilkada Serentak tanggal 9 Desember 2020 nanti, sampai berbagai masalah krusial, antara lain soal intoleransi, radikalisme pro kekerasan dan terorisme, kebakaran hutan dan lahan, ketahanan pangan, energi dan air, illegal fishing, narkoba, cyber crime, serta perlindungan perempuan dan anak. Termasuk berbagai permasalahan internal yang harus ditangani, mulai dari layanan publik yang belum optimal, sampai masalah teknis profesionalisme personel, merupakan perkerjaan rumah yang harus dihadapi oleh Polri saat ini dibawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Idham Azis. Bagi masyarakat, apapun masalah yang dihadapi Polri yang diharapkan dan diutamakan oleh adalah mendapatkan jaminan keamanan dan memperoleh rasa aman. Era normal baru bagi Polri tidak harus diidentikkan dengan hanya bagaimana polisi berperan dalam membantu mengatasi upaya memutus rantai penularan Covid-19, tetapi lebih dari itu, yaitu bagaimana Polri dapat berperan dalam situasi seperti sekarang ini untuk tetap mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Karena sejatinya tugas polisi adalah bagaimana mampu secara manajerial dan operasional mewujudkan keteraturan sosial dalam kehidupan yang wajar dengan peradaban yang manusiawi. Profesor Satjipto Rahardjo pernah mengemukakan rumus unik untuk indikator keberhasilan kinerja polisi, yaitu dengan rumus “O2+H”, singkatan dari otot dan otak, plus hati nurani. Dalam bertugas polisi menghadapi berbagai risiko bahaya besar, yang secara sosiologis mewarnai pekerjaannya, bahkan kepribadian kerjanya. Karena itu, wajar polisi disebut aparat hukum istimewa mengingat posisinya sedemikian dekat dengan masyarakat. Interaksi yang intensif itu menjadikan pekerjaan polisi lebih khas ketimbang penegak hukum lain, semisal hakim dan jaksa. Namun kedekatan itu bisa menjadi bumerang bila tidak diimbangi hati nurani karena akan menghasilkan tindakan kolutif. Kerja polisi memang tidak mudah. Secara universal, tugas polisi disebutkan to protect and to serve (melindungi dan melayani), namun dalam doktrin tugas polisi Indonesia, ditambah kata “mengayomi”. Ini sangat unik, namun kalau kita telaah mempunyai nilai filosofi yang tinggi. Sangat sulit mencari padanan kata “mengayomi” dalam Bahasa Inggris. Namun, mendengar kata mengayomi, kita bisa menggambarkan dalam suatu suasana kebatinan yang sangat mendalam. Efek “mengayomi” sangat dapat dirasakan. Disinilah akan dirasakan kehadiran polisi dalam memberikan jaminan keamanan sekaligus memberi rasa aman. Persis dengan doktrin Polri, Tata Tentrem Kerta Raharja, menegakkan hukum guna mewujudkan keamanan dan rasa aman, untuk menuju masyarakat yang sejahtera. Jika kita merujuk pada berbagai literatur, dari sejarah kepolisian diperoleh petunjuk bahwa peralihan sistem Monarki menjadi Republik di abad pertengahan membawa pengaruh besar dalam kepolisian. Pengaruh itu itu berbentuk perilaku organisasi dan individu polisinya. Semakin demokratis suatu Republik, polisinya semakin menghormati supremasi hukum. Disini lalu terjadi perubahan parameter bukan bentuk negara yang menentukan jenis dan kultur kepolisian, tetapi kadar demokrasilah yang menentukan kultur profesionalisme dan modernisasi dari organ kepolisian. Semua kepolisian di berbagai negara menyelenggarakan fungsi utama represif, preventif dan pre-emptif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dijabarkan dalam tujuan, tugas pokok, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab dari kepolisian yang bersangkutan. Keberhasilan kepolisian diukur dari tercapainya tujuan dilaksanakan. Dengan maraknya kejahatan baru seperti terorisme, money laundering, korupsi, kolusi dan nepotisme, cyber crime, white slavery, dan lain-lain transnational crime, maka ruang lingkup tugas polisi juga akan bertambah luas dan kompleks. Era nomal baru tidak bisa juga lepas dari pengaruh global, baik dari sisi ideologi, sosial, budaya, politik, ekonomi maupun implikasi dari kemajuan ilmu dan teknologi. Era digital yang sekarang juga harus menjadi bagian dari kehidupan manusia merupakan keniscayaan bagi tugas kepolisian. Smart policing yang sekarang sedang dikembangkan dalam rangka menyikapi era Revolusi Industri 4.0 dengan digitalisasi sebagai unsur utama ternyata tidak bisa dilakukan secara hitam-putih dalam memposisikan kehadiran polisi. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI secara tegas menyebutkan, polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kemajuan teknologi telah banyak membantu tugas polisi, namun faktanya, tidak semua tugas polisi bisa digantikan oleh teknologi, kehadiran sosok polisi masih diperlukan. Terutama di era normal baru ini, pendekatan humanis dalam rangka mendisiplinkan masyarakat menjalani budaya baru di era normal baru masih perlu – bahkan sangat perlu – adanya kehadiran fisik sosok polisi. Pemolisian Prediktif Dalam kehidupan era normal baru, masyarakat akan dihadapkan pada budaya baru, perilaku baru, dan kebiasaan baru. Ditambah dengan kemajuan ilmu dan teknologi di era Revolusi Teknologi 4.0 – bahkan banyak ahli sudah menyebut kita masuki era 5.0 -- yang memiliki skala, ruang lingkup dan kompleksitas yang lebih luas. Kemajuan teknologi baru yang mengintegrasikan dunia fisik, digital dan biologis telah mempengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, industri dan pemerintah, termasuk dalam tugas-tugas polisi dalam lingkup pemolisian. Bidang-bidang yang mengalami terobosan berkat kemajuan teknologi baru dan berimplikasi pada tugas polisi diantaranya robot kecerdasan buatan (artificial intelligence robotic), teknologi nano, bioteknologi, serta teknologi berbasis internet. Kemajuan ini di satu sisi mempunyai efek positif, namun di sisi lain bisa memberikan peluang oleh para pelaku kejahatan mencari celah yang bisa dilakukan. Dengan demikian, tantangan Polri saat ini dalam konteks melakukan pemolisian era normal baru, juga perlu secara bersamaan melakukan pemolisian prediktif (prediktive policing). Dari berbagai literatur yang ada, terdapat dua pengertian mendasar mengenai pemolisian prediktif. Pertama menempatkan pemolisian prediktif sebagai teknik analisis dengan perhitungan kuantitatif untuk meramal bentuk kejahatan di masa mendatang seperti dikemukakan oleh Walter L. Perry (2013). Pengertian kedua menempatkan pemolisian prediktif sebagai konsep filosofis seperti dikemukakan oleh Tayebi dan Uwe Glässer dalam Social Network Analysis in Predictive Policing (2016) yang menyatakan predictive policing is promising for crime reduction and prevention to increasepublic safety, reduce crime costs to society, and protect the personal integrityand property of citizens. Konsep ini intinya adalah pencegahan kejahatan dan peningkatan keselamatan publik. Implementasinya dalam pemolisian di era normal baru adalah menempatkan polisi untuk berperan dalam rekayasa perilaku melalui langkah-langkah persuasif ataupun penegakan hukum dalam rangka membangun budaya baru dengan peradaban yang mengedepankan kearifan lokal. Di era normal baru, tentu saja pola persuasif akan harus lebih sering dilakukan untuk mengubah perilaku masyarakat. Jadi sejatinya, pemolisian di era normal baru merupakan bentuk rekayasa perilaku. Hasil yang bisa dilihat adalah budaya baru yang secara sadar dilakukan oleh masyarakat untuk menjalani tatanan kehidupan dengan protokol-protokol baru seperti antara lain protokol kesehatan tanpa harus diawasi dan ditegur oleh petugas. Pelayanan dan perlindungan yang diberikan oleh polisi adalah keamanan dan rasa aman. Jika hanya ada aman tanpa rasa aman, hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam tata kehidupan sosial dalam masyarakat. Dapat dipahami bahwa aman tanpa rasa aman berarti ada tekanan kewajiban-kewajiban yang menunjukkan bahwa keamanan yang ada adalah semu. Karena itu polisi juga berperan sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban, dan sekaligus pejuang kemanusiaan. Dalam pemolisian prediktif, setiap rekayasa perilaku seperti misalnya ketika kita membudayakan protokol kesehatan sebagai budaya baru yang harus kita jalani, tidak boleh lepas dari protokol keamanan yaitu prinsip-prinsip dalam menempatkan tugas polisi untuk memberikan jaminan keamanan dan rasa aman. Dalam konteks ini maka kolaborasi antara praktisi kepolisian dengan dunia akademik dan riset menjadi penting untuk mempersiapkan teknologi yang bisa mengantisipasi kejahatan di masa depan. Antara lain, salah satunya yang sudah dirasakan sekarang ini misalnya CCTV di ATM serta di tempat publik harus bisa memenuhi solusi mendeteksi wajah, yang sekarang terkendala karena ada kewajiban memakai masker, misalnya lewat retina mata, atau teknis lainnya yang secara teknologi dapat dirancang. Disamping itu rancangan-rancangan metoda pemolisian apabila pandemi Covid-19 ini berkepanjangan tentu juga harus dipikirkan secara detail, karena agenda yang sudah direncanakan akan berlangsung di Indonesia dan melibatkan publik sudah di depan mata. Ada Pilkada serentak tanggal 9 Desember 2020 nanti, Pekan Olahraga Nasional (PON) Tahun 2021, Kejuaraan Dunia Sepak Bola U-20 Tahun 2021 dan masih banyak lagi agenda yang sudah direncanakan sebelum pandemi Covid-19. Pemolisian di era normal baru tentu saja harus bisa memberikan solusi. Serta yang tidak boleh dilupakan adalah upaya menemukan vaksin untuk mengatasi virus Covid-19 tentu saja perlu diakselerasi agar usaha menghentikan pandemi ini bisa segera terwujud. Di era normal baru ini, semoga kontribusi Polri agar Kamtibmas Kondusif dan Masyarakat Semakin Produktif dapat terwujud. Selamat Hari Bhayangkara. (*)