Academia.eduAcademia.edu

Konsep Pengetahuan dalam Islam

Pendahuluan Ketika mengawali pembicaraan mengenai peradaban Islam, al-Faruqi menegaskan bahwa intisari dari peradaban Islam adalah Islam itu sendiri, dan intisari dari Islam adalah tauhid. 1 Berawal dari premis yang pertama, bahwa intisari peradaban Islam adalah agama Islam itu sendiri, merupakan ungkapan yang tidak dianggap berlebihan. Karena mayoritas umat Islam meyakini bahwa Islam merupakan agama yang sempurna. Sehingga Islam dalam term al-Quran disebut sebagai dîn. Ketika Islam difahami sebagai dîn, maka ia harus difahami sesuai dengan makna yang tergambar dalam al-Quran dan Bahasa Arab. Sebenarnya kata dîn (d-y-n) dalam Bahasa Arab memiliki banyak makna yang berhubungan secara konseptual. Dalam kamus Lisân al-'Arab, kata d-y-n memiliki empat makna dasar, yaitu : 1. keadaan berhutang; 2. penyerahan diri; 3. kuasa peradilan; dan 4. kecenderungan alami. Dari makna ketiga muncul sebuah kata "madînah" sebagai isim makân 2 dari kata d-y-n, yang bermakna tempat peradilan. Singkatnya madînah adalah sebuah tempat yang memiliki seorang hakim atau penguasa yang menegakkan hukum peradilan. Kata d-y-n pun memiliki keterkaitan makna konseptual dengan kata yang hampir mirip, yakni maddana yang berarti membangun atau membina kota. Dan dari kata ini muncul kata tamaddun sebagai bentuk mashdar-3 nya, yang bermakna "peradaban". 4 Dan dari dasar Islam sebagai dîn inilah kemudian lahir Islam sebagai tamaddun dan Islam sebagai madînah. Maka tepat bila al-Faruqi menganggap bahwa intisari dari peradaban Islam adalah Islam itu sendiri, dan dari dasar seperti inilah Islam tumbuh menjadi sebuah peradaban gemilang yang pernah menjadi kiblat dunia. Sedangkan dari premis kedua, disebutkan bahwa intisari Islam itu adalah tauhid. Secara tradisional dan sederhana, tauhid adalah keyakinan dan kesaksian bahwa "tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah". Makna sederhana ini memberikan makna dan indikasi yang sangat kaya dan agung, terutama ketika dimasukkan dalam konsep epistemologi Islam. Karena dari dasar tauhid inilah bangunan epistemologi Islam menjadi sebuah bangunan yang integral dan holistik. Dan dari bangunan epistemologi seperti inilah Islam membangun peradabannya yang sangat mengagumkan. Maka al-Faruqi sangat tepat ketika menyatakan bahwa tauhid-lah yang telah memberikan identitas peradaban Islam, yang mengikat semua bagian-bagiannya, sehingga menjadikan mereka suatu badan yang integral dan organik. 5 Dari kedua premis di atas, penulis akan mencoba mengkaji kemajuan keilmuan dan peradaban Islam pada Dinasti Abbasiyah. Dan dari kedua premis ini, penulis akan mencoba mengemukakan sebab-sebab kemajuan peradaban Islam pada Dinasti Abbasiyah yang sangat sulit untuk diwujudkan kembali pada masa ini.

Konsep Pengetahuan dalam Islam Shidqy Munjin, S.Ud, M.Hum Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung [email protected] Pendahuluan Ketika mengawali pembicaraan mengenai peradaban Islam, al-Faruqi menegaskan bahwa intisari dari peradaban Islam adalah Islam itu sendiri, dan intisari dari Islam adalah tauhid.1 Berawal dari premis yang pertama, bahwa intisari peradaban Islam adalah agama Islam itu sendiri, merupakan ungkapan yang tidak dianggap berlebihan. Karena mayoritas umat Islam meyakini bahwa Islam merupakan agama yang sempurna. Sehingga Islam dalam term al-Quran disebut sebagai dîn. Ketika Islam difahami sebagai dîn, maka ia harus difahami sesuai dengan makna yang tergambar dalam al-Quran dan Bahasa Arab. Sebenarnya kata dîn (d-y-n) dalam Bahasa Arab memiliki banyak makna yang berhubungan secara konseptual. Dalam kamus Lisân al-‘Arab, kata d-y-n memiliki empat makna dasar, yaitu : 1. keadaan berhutang; 2. penyerahan diri; 3. kuasa peradilan; dan 4. kecenderungan alami. Dari makna ketiga muncul sebuah kata “madînah” sebagai isim makân2 dari kata d-y-n, yang bermakna tempat peradilan. Singkatnya madînah adalah sebuah tempat yang memiliki seorang hakim atau penguasa yang menegakkan hukum peradilan. Kata d-y-n pun memiliki keterkaitan makna konseptual dengan kata yang hampir mirip, yakni maddana yang berarti membangun atau membina kota. Dan dari kata ini muncul kata tamaddun sebagai bentuk mashdar-3nya, yang bermakna “peradaban”.4 Dan dari dasar Islam sebagai dîn inilah kemudian lahir Islam sebagai tamaddun dan Islam sebagai madînah. Maka tepat bila al-Faruqi menganggap bahwa intisari dari peradaban Islam adalah Islam itu sendiri, dan dari dasar seperti inilah Islam tumbuh menjadi sebuah peradaban gemilang yang pernah menjadi kiblat dunia. Sedangkan dari premis kedua, disebutkan bahwa intisari Islam itu adalah tauhid. Secara tradisional dan sederhana, tauhid adalah keyakinan dan kesaksian bahwa “tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah”. Makna sederhana ini memberikan makna dan indikasi yang sangat kaya dan agung, terutama ketika dimasukkan dalam konsep epistemologi Islam. Karena dari dasar tauhid inilah bangunan epistemologi Islam menjadi sebuah bangunan yang integral dan holistik. Dan dari bangunan epistemologi seperti inilah Islam membangun peradabannya yang sangat mengagumkan. Maka al-Faruqi sangat tepat ketika menyatakan bahwa tauhidlah yang telah memberikan identitas peradaban Islam, yang mengikat semua bagianbagiannya, sehingga menjadikan mereka suatu badan yang integral dan organik.5 Dari kedua premis di atas, penulis akan mencoba mengkaji kemajuan keilmuan dan peradaban Islam pada Dinasti Abbasiyah. Dan dari kedua premis ini, penulis akan mencoba mengemukakan sebab-sebab kemajuan peradaban Islam pada Dinasti Abbasiyah yang sangat sulit untuk diwujudkan kembali pada masa ini. Islma’il R al-Faruqi & Lois L al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, (Bandung: Mizan, 2000), hal. 109. Kata yang menunjuk sebuah tempat. 3 Kata yang menunjuk sebuah benda. 4 Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1414 H), juz 13, hal. 169 5 Isma’il R al-Faruqi & Lois L al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, hal. 109. 1 2 1 Islam: Agama yang Beradab dan Peradaban yang Agamis A. Tauhid: Landasan Epistemologi Islam Pada fasal sebelumnya bisa dilihat bahwa bangunan peradaban Islam ternyata bukan hanya ditekankan dalam ilmu-ilmu naqliyyah, meliankan juga dalam ilmu-ilmu ‘aqliyyah. Hal ini menunjukkan bahwa adanya sistem integrasi dalam bangunan keilmuan Islam. Tetapi, integrasi pada bidang-bidang khusus seperti disebutkan di atas tidak mungkin terjadi kecuali kalau berdiri di atas fondasi atau basis pemersatu yang kuat dalam tradisi keilmuan Islam maupun peradaban Islam secara keseluruhan. Fondasi pemersatu yang mendasari integrasi-integrasi epistemologis, tidak lain dari pada prinsip yang paling dasar dalam seluruh ajaran Islam, yaitu “tauhid” yang dalam pandangan al-Faruqi sebagai esensi dari agama Islam dan peradabannya.6 Tauhid, dengan maknanya yang telah dijelaskan di atas, telah menjadi prinsip paling dasar dari ajaran Islam, dan, dalam kaitannya dengan bangunan keilmuan Islam, telah menjadi prinsip yang paling utama dari prinsip-prinsip epistemologi Islam, sehingga ia juga telah menjadi asas pemersatu atau dasar dari integrasi Ilmu. 7 Hal ini bisa dilihat dari konsep-konsepnya yang sangat khas, yang berbeda dengan konsep keilmuan peradaban lainnya, terutama dalam tiga konsepnya yang paling mendasar, yaitu: konsep ‘aql; konsep wujud; dan konsep jiwa. 1. Konsep ‘Aql Dalam epistemologi Islam, akal manusia itu terbagi dalam beberapa tingkatan. Tingkatan terendah akal manusia adalah akal potensial (al-‘aql bi al-malakah). Setelah mendapatkan stimulasi dari persepsi indrawi, yang kemudian diolah di bagian akal yang paling rendah, maka akal potensial tertransformasikan menjadi akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l). Dengan demikian si subjek berfikir menjadi sadar tentang pengetahuan tertentu. Akan tetapi jika dalam akal potensial pengetahuan itu masih berkaitan dengan persepsi indrawi, maka dalam akal aktual penegtahuan tersebut sudah menjadi forma. Ketika pengetahuan manusia sudah menjadi forma sepenuhnya, maka pengetahuan akan naik ke akal pencapaian (al-‘aql al-mustafâd), dimana akal ini berfungsi sebagai panyambung (ittishâl) dengan akal aktif8 (al-‘aql bi al-fa’âl) yang sepenuhnya bersifat forma. Maka pada akal ini manusia bisa menjadi tahu (tercerahkan) tentang pegetahuan-pengetahuan yang belum diketahuinya pada tingkatan-tingkatan lebih rendah.9 Dan pada tahap kontak dengan akal aktif inilah kebersihan hati dan fikiran si subjek berfikir menjadi penentu. Maka dalam epistemologi Islam, moral dan kebersihan hati seseorang akan berbanding lurus dengan keilmuannya. 2. Konsep Wujud Di antara salah satu konsep epistemologi Islam, dan yang membedakannya dengan konsep epistemologi yang lainnya, adalah adanya tingkatan wujud (marâtib al-wujûd).10 Cara paling sederhana untuk mengungkapkan tingkatan wujud ini adalah dengan membaginya kepada tiga kelompok: yang Mutlak bersifat ruhani (Tuhan); Isma’il R al-Faruqi & Lois L al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, hal. 109. Untuk pembahasan yang sangat baik dalam masalah ini bisa dibaca, Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, (Bandung: Arasy, 2005). 8 Yang dalam Islam sering diasosiasikan dengan malaikat Jibril As. 9 Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2005), hal. 123. 10 Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, hal. 214. 6 7 2 yang ruhani imajinal; dan yang jasmani. Yang mutlak disebut dengan alam amr, yang imajinal, sebagai alam perantara antara alam ruhani dan jasmani, disebut dengan barzakh, dan yang jasmani disebut dengan alam syahâdah (kesat mata).11 Dalam epistemologi Islam, manusia dipandang memiliki dimensi jasmani dan ruhani. Sehingga manusia bisa berhubungan dengan yang Mutlak ruhani (Allah) melalui alam imajinal seperti mimpi. Maka dalam Islam, adanya wahyu atau ilham lewat sebuah mimpi merupakan hal yang niscaya. 3. Konsep Jiwa Dalam kajian ilmiah modern Barat, “jiwa” dipandang sebagai sebuah substansi materi murni. Jiwa dalam pandangan mereka hanyalah sebagai fungsi otak dengan sistem neurologisnya yang canggih. Berbeda dari pandangan ilmiah Barat modern, Islam memandang jiwa sebagai sebuah substansi immateril yang memiliki kaitan yang erat dengan jiwa-jiwa atau intelek samawi yang bersifat immateril.12 Maka jiwa dalam pendangan Islam memiliki dua dimensi, yaitu dimensi materi dan nonmateri. Maka dalam kitab al-Syifâ’ dan al-Najâh, Ibn Sina memandang Psikologi (ilmu tentang jiwa) berada dalam dua disiplin ilmu, yaitu di bawahnya fisika, dimana jiwa manusia merupakan puncak perkembangan biologis, dan di atasnya metafisika, dimana jiwa manusia dipandang sebagai pancaran terendah dari akal-akal samawi yang bersifat immateril.13 Maka kebahagiaan jiwa dalam pandangan Islam berkaitan erat dengan kebahagiaan badan dan juga ruh. B. Ilmu Kalam: Contoh Kasus Hasil integrasi Naql dan ‘Aql Keyakinan atau akidah adalah unsur yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Ia merupakan referensi bagi suatu tindakan. Seorang yang memiliki akidah pasti akan menilai sesuatu perbuatan dengan timbangan akidahnya sebelum ia melakukannya. Dengan demikian, akidah merupakan barometer yang berpengaruh dalam membentuk sikap seseorang.14 Begitupun dengan keyakinan umat Islam pada masa Nabi hidup. Semua kaum muslimin pada waktu itu, yang kita kenal dengan istilah sahabat, selalu menakar dan menilai semua tindakannya dengan apa yang digariskan oleh akidah mereka yang terangkum dalam al-Quran dan Sunnah. Nabi adalah preseden dan contoh konkrit dalam mewujudkan al-Quran dalam tindakan yang sempurna. Maka mereka sangat enggan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Maka dari keadaan seperti inilah, muncul sebuah komunitas yang disebut dikemudian hari dengan istilah ahl al-riwâyah. Semua yang mereka fatwakan, semua pasti menyadur riwayat hadits dari nabi atau dari sahabat. Pada umumnya, mereka bermukin di wilayah Hijaz. Ketika wilayah Islam semakin luas dan orang-orang dari agama lain banyak yang masuk Islam, maka banyak ajaran mereka yang lama disusupkan ke dalam agama Islam. Sehingga lahirlah apa yang dikenal dengan istilah israîliyyat. Di sisi yang lain, ummat Islam mengalami kontak melalui penerjemahan dengan ilmu-ilmu asing, yang notabene berlandaskan pada akal, khususnya ilmu filsafat. Untuk melindungi akidahnya dari serangan pemahaman asing, seperti israîliyyat dan filasafat, maka kaum muslimin terdorong untuk menggunakan akal untuk membangun argumen-argumen bersifat rasional, dan muncullah pemahaman baru dalam masalah akidah pada masyarakat muslim yang disebut dengan ilmu kalam. Maka terbentuklah sebuah komunitas baru yang disebut dengan istilah ahl al-ra’y. Dinamakan demikian 11 Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, hal. 127. Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, hal. 177-179. 13 Ibid, hal. 178. 14 Sayyid Quthb, Fî Zilâl al-Qurân, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1980), juz VII, hal. ... . 12 3 karena mereka menimbang agama bukan hanya pada aspek periwayatan saja, namun mereka melangkah lebih jauh dengan menggunakan akal sebagai dasar dalam beragama mereka. Pada umumnya, mereka bermukim di wilayah Irak. Ilmu kalam adalah ilmu yang muncul sebagai jawaban terhadap tuntutan zamannya. Kaum muslimin menggunakan kalam untuk melindungi keyakinan mereka dari serangan ilmu asing, khususnya filsafat. Maka wajar, kalau semua argumentasi yang dibangunnya bersifat sangat rasional, dan bahkan dalam beberapa sisi terkesan “liberal”. Dari dasar seperti ini, sebagian ulama mendefinisikan ilmu kalam sebagai “ilmu yang membicarakan masalah akidah dan ketuhanan yang menggunakan argumen rasional.”15 Maka hampir bisa dipastikan bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang orisinil lahir dari rahim Islam. Meskipun ada sebagian kalangan yang memandang bahwa ilmu kalam sama dengan Teologi dalam dunia kristen, namun hal ini tidak mengganggu keorisinilannya. Karena kedua ilmu tersebut lahir dari rahim kebudayaan dan agama yang berbeda dan bahkan bertentangan. Pada kasus ilmu Kalam ini bisa dilihat bagaimana kaum muslimin bisa mengintegrasikan antara ilmu agama dengan ilmu rasional, yang semuanya dilakukan dengan tujuan melindungi agama. Kesimpulan Maka dari ketiga konsep integral inilah bangunan peradaban Islam tumbuh tanpa membeda-bedakan antara ilmu agama dan non-agama. Karena dalam Islam kedua-duanya merupakan pancaran dari wujud yang satu, diolah oleh akal yang satu, dan diterima oleh jiwa yang satu. Maka terciptalah kemajuan dan kebahagiaan bagi fisik dan juga ruh. Bahagia jasmani dan rohani. Bahagia dunia dan juga akhirat. Daftar Pustaka Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, Jakarta Timur: Akbar Media, 2012. Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2005. Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, 1414 H. Islma’il R al-Faruqi & Lois L al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan Bandung: Mizan, 2000. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, terj. Musa Kazhim, Bandung: Mizan, 2003. Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, Bandung: Arasy, 2005. Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, terj. Afif Muhammad, Bandung: Mizan, 2002. Philip K Hitti, History of the Arabs, Jakarta: Serambi, 2013. Sayyid Quthb, Fî Zilâl al-Qurân, Beirut: Dar al-Syuruq, 1980. 15 Untuk definisi ilmu kalam bisa dilihat misalnya Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th.), hal. 580., al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalâl, (Mesir: al-Maymuniyyah, 1409 H), hal. 6-7., Muhammad ‘Abduh, Risâlah al-Tauhîd, (Kairo: Dar al-Manar, 1987), hal. 7. 4