Memperkuat Budaya Bahari dengan
Pendidikan
M. Vicri Fahreza M. (F041191064)
Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Hasanuddin, Makassar 90245
Abstrak
Pendidikan adalah suatu proses pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekumpulan manusia yang diwariskan dari satu genereasi ke generasi selanjutnya melalui pengajaran, pelatihan, dan penelitian. Indonesia sebagai negara maritim dengan kekayaan bahari yang sangat melimpah yang dapat menjadi sumber ekonomi yang sangat penting sangat perlu menanamkan budaya bahari kepada seluruh warna negaranya khususnya kepada generasi muda yang sudah mulai melupakan budaya bahari Indonesia yang sangat luas dan sangat beragam. Oleh karena itu pendidikan merupakan salah satu metode yang sangat penting untuk menanamkan budaya bahari Indonesia sendiri, mulai dari tahap pendidikan yang sangat awal seperti PAUD hingga jenjang universitas dan juga pendidikan non formal seperti kursus, pelatihan dan lainnya. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mewajibkannya suatu mata pelajaran yang dikhususkan mempelajari budaya bahari Indonesia itu sendiri, ataupun dengan membuat suat regulasi yang khusus untuk membahas cara menanamkan budaya bahari kepada siswa-siswa dan para pengajar.
Kata kunci : Budaya Bahari, Pendidikaan.
Latar Belakang
Untuk membangun negara bahari yang besar diperlukan landasan budaya dan nilai bahari yang kuat. Pembangunan negara bahari tanpa landasan budaya dan nilai bahari yang kuat banya akan melahirkan eksploitasi kebudayaan laut yang tidak terkendali. Dalam hubungan itulah pengajaran Sejarah Maritim sangat diperlukan untuk sosialisasi dan enkulturasi budaya dan nilai-nilai bahari kepada seluruh masyarakat Indonesia dalam membangun negara· dan bangsa babari yang bcsar dan terintegrasi di masa yang akan datang.
Dengan pendidikan kita dapat memperkuat budaya bahari Indonesia yang telah mundur atau terlupakan oleh kalangan muda. perilaku hidup dan tata cara manusia sebagai masyarakat suatu bangsa terhadap laut dan pemanfaatan seluruh potensi kekayaan maritim yang ada di dalam, di atas, dan di sekitar laut guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dan perekonomian suatu negara saat ini dan masa datang dengan menggali dan mengembangkan gagasan/ide berupa pengetahuan, sistem norma sosial dan teknologi yang mendukungnya
Rumusan Masalah
Apa itu budaya bahari ?
Apa saja budaya bahari Indonesia?
Bagaimana budaya bahari dapat diperkuat melalui pendidikan ?
Bagaimana sejarah budaya bahari Indonesia ?
Pembahasan
Seringkali kita mendengar beberapa istilah yang berhubungan dengan laut seperti bangsa Indonesia adalah bangsa bahari, poros maritim dunia, lautan Indonesia kaya akan hasil laut. Ada 3 penyebutan yang menggambarkan tentang laut yakni bahari, maritim, dan lautan. Dari ketiga istilah ini bahkan digunakan orang namun tidak tahu apa perbedaannya.
Kelautan adalah kumpulan air asin (dalam jumlah yang banyak dan luas) yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau; perihal yang berhubungan dengan laut. (Departemen Pendidikan Indonesia,2008). Dengan demikian kelautan memiliki pengertian bahwa hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan di wilayah laut yang meliputi permukaan laut, kolom air, dasar laut dan tanah di bawahnya, landas kontinen termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pesisir, pantai, pulau kecil, serta ruang udara di atasnya.
Menurut KBBI, maritim adalah sesuatu yang berkenaan dengan laut; berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan laut. Sedangkan Kemaritiman adalah hal-hal yang menyangkut masalah maritim. Menurut Oxford Dictionaries, “Maritime is Connected with the sea, especially in relation to seaborne trade or naval matters”. Dengan demikian kemaritiman adalah bagian dari kegiatan di laut yang mengacu pada pelayaran/ pengangkutan laut, perdagangan (sea-borne trade), navigasi, keselamatan pelayaran, kapal, pengawakan, pencemaran laut, wisata laut, kepelabuhanan baik nasional maupun internasional, industri dan jasa- jasa maritim.
Kebaharian adalah orang-orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan laut, dan kelautan. Orang yang bekerja di laut atau pelayaran, disebut pelaut, dengan obyeknya adalah laut. Jadi dapat dikatakan bahari lebih kepada pelaku atau orang-orang yang beraktifitas di laut atau kehidupan masyarakat yang memiliki profesi sebagai pelaut dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan beraktifitas di laut di masa lalu. Bahari sendiri berasal dari bahasa Arab/ Afrika yaitu “bahar” yang artinya manusia laut atau manusia yang beraktifitas di laut (Motik, 2010).
Dari ketiga istilah Kemaritiman, Kelautan, dan Bahari, bila mengacu pada maknanya, maka artinya mengarah pada hal yang sama, yaitu: Laut. Namun bila mengacu pada sebuah dialektika makna, ketiga kata itu ternyata berbeda. Berdasar data literatur, kata Maritim paralel pengertiannya dengan aktifitasnya, yaitu urusan perdagangan (pelayaran) dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan di atas laut. Laut adalah sebagai sarananya, atau obyek dan tempat kegiatannya. Sedangkan Bahari lebih kepada manusia atau orang-orang yang melakukan kegiatan kemaritiman di atas laut dan sekitarnya. Umumnya bahari lebih terkait dengan kebudayaan masa lalu yang mengarah kepada orangnya/ manusianya/ pelakunya, yang dalam istilah Kamus Umum disebut sebagai yang lampau, dahulu kala. Hal ini bisa dimaklumi mengingat kejayaan bahari Indonesia merupakan kisah masa lalu, masa kerajaan. Saat ini budaya bahari telah memudar. Sehingga sebelumnya Bahari diartikan sebagai dahulu kala, kuno, tua sekali, (contoh: zaman bahari = zaman dahulu), indah, elok sekali, mengenai laut, bahari, atau yang dilindungi, misalnya raja bahari berarti raja yang dilindungi (oleh dewa - dewa). Jadi Bahari lebih kepada budayanya, pelakunya, orang-orang yang melakukan atau menjalankan aktifitas kemaritiman dan kelautan di laut. Dari penjelasan tersebut maka akan terlihat bahwa ketiga kata tersebut saling terkait, dimana Laut sebagai lokasi atau tempat, kemaritiman sebagai sarana dan prasarananya sedangkan bahari adalah pelakunya/ manusianya/ budayanya/ kebiasaan dalam melakukan akitifitas di laut.
Untuk itu jika Indonesia ingin menjadi negara maritim maka yang harus dilakukan adalah bagaimana membangkitkan budaya bahari masa lalu dan membangunnya menjadi budaya bahari masa kini atau budaya modern yang sarat dengan teknologi. Baik teknologi mekanik, teknologi hidrolik, dan teknologi digital.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Sedikit banyak, pendidikan dan penguatan karakter yang ada minim diskursus kebudayaan. Terutama sekali penggalian pengetahuan budaya maritim dan perangkat nilanya. Contoh dalam pelajaran sejarah. Historiografi Indonesia hanya dipenuhi perjuangan mengatasi keterjajahan di ‘darat’ tapi miskin kabar dari ‘laut’. Penelitian menunjukkan, akibat dari itu pelajaran sejarah yang diterima peserta didik kurang material aspek bahari.
Sampai di sini, siapa dan seperti apa nenek moyang bangsa Indonesia dahulu? Penelaahan peneliti arkeologi Bambang Budi Utomo (2018) dalam makalah Mengenal Lebih Jauh Budaya Maritim Indonesia menjelaskan bahwa mereka adalah penutur rumpun bahasa Austronesia yang hidup sekitar 5000 hingga 7000 tahun lampau di Taiwan. Hingga sekitar satu milenium SM, para penutur yang sudah mencapai pesisir Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Sumatera membentuk sub-rumpun bahasa Melayu-Polinesia barat. Sedangkan kelompok penutur yang melebarkan pelayaran arah berlawanan membentuk bahasa Melayu-Polinesia timur. Itulah nenek moyang sebenarnya bangsa Indonesia yang di satu masa membentuk riwayat kejayaan maritim panjang dan mengesankan.
Sejarawan maritim pertama Indonesia A.B. Lapian mengemukakan aspek maritim akan terus menonjol dalam konteks Sejarah Nusantara. Tanpa laut sejarahnya tinggal kisah pulau-pulau yang terpisah, bukan integrasi atas himpunan pulau yang terserak tersebut. Peninggalannya berupa kerajaan maritim, pengetahuan kebaharian, suku bangsa bahari, hingga sistem aturan di luat dan pesisir. Sistem pengetahuan dan nilai-nilai ini belum tercakup baik dalam pengajaran-pengajaran di sekolah. Jika anak didik tidak mengenyam jurusan pelayaran di kejuruan, mungkin selamanya mereka tak mengenal navigasi laut. Jika anak didik bukan berasal dari kampung pembuat Pinisi di Bulukumba Sulawesi Selatan, mungkin mereka tidak akan pernah mengenal sistem budaya pembuatan perahu legendaris itu.
Kebesaran dunia maritim di era perdagangan Nusantara rentang abad 16 hingga 18 masih tersisa hingga kini. Eksplanasi Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia (2013) mengguratkan jelas bahwa persinggahan kapal-kapal tersebut mencerminkan peran penting pelabuhan. Seperti Pelabuhan Barus di Sumatera Utara, Samudera Pasai, Sibolga, Jambi, Palembang, Banten, Demak, Jepara, Lasem, Tuban, Ampenan, Somba Opu, Ternate, Tidore, dan lain-lain hingga abad ke-19 masih berperan penting dalam dinamika dunia pelayaran dan perdagangan di Nusantara kala itu.
Pelabuhan ini layaknya market place atau pasar elektronik saat ini. Perbedaannya, market place tidak memunculkan apa-apa selain meneguhkan budaya kontemporer lewat revolusi teknologi dan industri. Sedangkan pelabuhan kuno yang berfungsi tempat bertukar (pasar) di masa lalu dan menjadi tempat berkumpul pedagang, pengelana, saudagar, hingga agamawan dari seluruh tempat. Posisinya sangat penting, karena menjadi ruang pertukaran yang tidak hanya barang, tapi juga ruang asimilasi budaya, pengetahuan, hingga persebaran agama.
Persoalannya kemudian dampak dari ketiadaan muatan pengetahuan kesejarahan kemaritiman tersebut berbuah minimnya pengalaman kebahariaan peserta didik. Situasi tersebut semakin menjauhkan laut sebagai ruang pengenalan atas budaya bangsa. Pihak terkait juga belum mengatur bagaimana mengejawantahkan visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia ke dalam kurikulum. Bila ingin maju selangkah, harus ada pengejawantahan mental bahari dalam bentuk praksis. Laut, bersama muara dan pesisir menjadi beranda sekaligus ruang kultural yang harus di-introduksi sedini mungkin pada generasi-generasi selanjutnya.
Sesedikit mungkin, pengetahuan ruang laut diharapakan juga bisa membaur bersama yang lain –sawah, hutan, gunung- dalam rangka mengejawantahkan mental bahari ke dalam bentuk-bentuk praksis. Tanpa berwacana lebih jauh, peserta didik dibawa menyaksikan ruang-ruang tersebut, menapaktilasi banyak hal sesuai fokus pelajaran yang ingin digali. Barangkali dengan pelayaran edisi singkat yang dilaksanakan sekolah ataupun pihak lain.
Mengapa pendidikan budaya bahari? Budaya lahir atau terbentuk dari hasil interaksi antara manusia dan manusia serta antara manusia dengan alam sekitarnya. Manusia adalah pembentuk dan sekaligus pengguna budaya, melalui akal, kecerdasan dan intuisinya, perasaan dan emosi, kemauan, fantasi dan perilaku. Komponen utama kebudayaan adalah individu, masyarakat, dan alam. Budaya bahari lahir dari hasil interaksi antara bangsa Indonesia dengan bentang alam laut dan pulau-pulau besar dan kecil yang tersebar membentuk kepulauan Indonesia. Menurut (Hartono, 2009) Negara Maritim adalah sebuah Negara yang tulang punggung eksistensinya, pengembangannya, kebesaran, dan kejayaannya tertumpu pada kekuatan maritim. Artinya, Indonesia sebagai Negara Kepulauan harus dilihat secara geografis dan non geografis. Pendekatan geografis dan non geografis tadi harus memerhatikan kondisi obyektif potensi dan hal-hal lain yang nanti dalam proses membangun Negara Maritim akan mampu menjadikan Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang berorientasi ke darat menjadi Negara kepulauan yang mendasarkan pada potensi maritim. Meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, budaya bahari dan pertahanan, dan juga harus dilengkapi dengan satu aspek lagi yaitu hukum. Karena budaya bahari dan hukum menjadi dasar dari penentu arah kebijakan. Budaya bahari membentuk karakter Manusianya menjadi berorientasi maritim. Hukum menjadi dan memberikan arah serta tujuan terhadap kegiatan pembangunan yang dilakukan.
Melalui akal, budi dan daya nalarnya manusia dapat menelorkan gagasan dan hasil karya berupa seni, moral, hukum dan kepercayaan. Dengan berjalannya waktu dan seiring dengan praktik yang ada, terbentuk kebiasaan- kebiasaan yang kemudian menjadi adat istiadat dalam satu tatanan sosial dan kemasyarakatan. Sebagaimana dikemukakan oleh (Forde, 1963) “hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan alamnya dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dimiliki manusia”. Dengan menggunakan kebudayaan inilah manusia mengadaptasi dengan lingkungannya, dan dalam proses adaptasi ini manusia mendayagunakan lingkungannya untuk tetap dapat melangsungkan kehidupannya (Tax,1953).
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi terwujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan. Dalam definisi ini kebudayaan dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia (Geertz,1973). Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi, yang terdiri atas serangkaian model - model kognitif yang digunakan secara selektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya (Spradley, 1972).
Merujuk Ki Hajar Dewantara, kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai (Penasinergi, 2016)
Sementara (Koentjaraningrat,1964), memandang kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi pekertinya. Mengingat pentingnya budaya atau kebudayaan ini maka perkembangan budaya suatu bangsa perlu benar-benar diperhatikan agar tidak melenceng atau menjauhkan dari tujuan semula. Budaya atau Kebudayaan memiliki berbagai unsur, antara lain: (1) peralatan dan perlengkapan hidup (pakaian, perumahan, alat-alat produksi [alat penangkapan ikan], transportasi [kapal]), (2) mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (perikanan, pelayaran, perdagangan), (3) sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, perkawinan), (4) Bahasa, (5) kesenian, (6) sistem pengetahuan, dan (7) religi atau kepercayaan.
Selanjutnya Koentjaraningrat menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mendorong perubahan budaya, antara lain adanya: (1) kontak dengan kebudayaan lain, (2) sistem pendidikan yang maju, (3) sikap menghargai hasil karya orang lain dan keinginan untuk maju, (4) toleransi, (5) sistem lapisan masyarakat yang terbuka, (6) penduduk yang heterogen, (7) ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, (8) orientasi ke depan, (9) nilai meningkatkan taraf hidup. Sedangkan, faktor-faktor yang menghambat budaya, antara lain: (1) kurangnya hubungan dengan masyarakat lain, (2) perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat, (3) sikap masyarakat yang tradisional/konservatif, (4) adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat (vested interest), (5) rasa takut terjadinya kegoyahan dalam integrasi kebudayaan, (6) prasangka terhadap hal baru, (7) hambatan ideologis, (8) kebiasaan, dan (9) sikap pasrah. Dengan demikian, untuk mengembalikan budaya bahari menjadi budaya bangsa, perlu memerhatikan faktor-faktor yang berperan dalam membentuk budaya sebagaimana diuraikan di atas.
Dari definisi-definisi di atas maka yang dimaksud dengan pendidikan budaya bahari, yakni sebagai “perilaku hidup dan tata cara manusia sebagai masyarakat suatu bangsa terhadap laut dan pemanfaatan seluruh potensi kekayaan maritim yang ada di dalam, di atas, dan di sekitar laut guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dan perekonomian suatu negara saat ini dan masa datang dengan menggali dan mengembangkan gagasan/ide berupa pengetahuan, sistem norma sosial dan teknologi yang mendukungnya”. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia terkait dengan wawasan budaya bahari di Indonesia, maka harus dipersiapkan dari sejak usia dini. Jalur yang paling strategi untuk melakukannya yakni melalui jalur pendidikan. Sesuai dengan Undang - Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa jalur pendidikan dapat melalui jalur formal, non-formal, dan informal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Telah terjadi distorsi fungsi matapelajaran sejarah sebagai civic education. Demikian juga, materi pelajaran sejarah yang kurang menyentuh akar kepribadian segenap bangsa Indonesia juga kurang efektif untuk membangkitkan kesadaran sejarah (historical consciousness). Di samping itu, pelajaran sejarah telah sangat diwarnai oleh ranah politik daripada sosial budaya. Padahal sesungguhnya persoalan integrasi bangsa merupakan suatu proses sosial budaya yang telah memakan waktu yang
setua usia masyarakat Nusantara itu sendiri. Dengan demikian paradigma yang lebih berbau politik dalam pengajaran sejarah harus diimbangi dengan paradigma yang lebih berbau sosial budaya. Upaya untuk memupuk integrasi nasional di bidang politik juga harus diimbangi dengan integrasi di bidang sosial budaya. Dengan dasar paradigma barn itu maka 'Sejarah dan Budaya Maritim' lah yang relevan untuk diajarkan di sekolah.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: mengapa sejarah dan budaya maritim? Apa perbedaan antara Sejarah dan Budaya Maritim dengan pelajaran sejarah ? Apa yang bisa disumbangkan mata pelajaran Sejarah dan Budaya Maritim untuk memperkuat integrasi bangsa? Ada beberapa alasan mengapa perlu dipilih matapelajaran Sejarah dan Budaya Maritim sebagai civic education di sekolah. Pertama, secara geografis Indonesia merupakan kawasan kepulauan terbesar di dunia. Kawasan yang demikian luas ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang selama berabad-abad telah menggunakan laut sebagai wahana untuk saling berkomunikasi. Kedua, Ada keinginan kuat untuk membangun masa depan negara Indonesia sebagai negara bahari Namun demikian hams disadari bahwa untuk membangun negara bahari yang besar tidak bisa hanya dengan cara mengkeksploitasi kekayaan taut yang ada, sebab hat itu justru akan menjerumuskan bangsa Indonesia ke arah proses pemiskinan yang akut. Untuk membangun negara bahari yang besar diperlukan landasan budaya dan nilai bahari yang kuat. Pembangunan negara bahari tanpa landasan budaya dan nilai bahari yang kuat hanya akan melahirkan eksploitasi kekayaan Iaut yang tidak terkendali. Dalam hubungan itulah matapelajaran Sejarah dan Budaya Maritim dapat menjadi wahana untuk proses sosialisasi dan enkulturasi nilai-nilai budaya bahari bangsa Indonesia.
Ketiga, secara substansi matapelajaran Sejarah dan Budaya Maritim Nusantara akan mampu menyediakan wacana yang ]uas mengenai komunikasi lintas budaya (cross-cultural communication) antara satu komunitas dengan komunitas yang lain yang menjadi dasar bagi proses integrasi di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena hubungan lewat laut telah memprekondisikan terjadinya komunikasi lintas budaya baik lewat saluran pelayaran maupun perdagangan. Kondisi geografts telah memungkinkan aktivitas ini bisa berlangsung dengan baik. Laut mengandung dinamika yang menoiptakan kesatuan, hubungan antar manusia dan antar bangsa lewat transportasi, perda-
gangan, dan pertemuan budaya. Dengan demikian wishdom akan bisa dipetik oleh para siswa mengenai nilai-nilai kebaharian yang memperkuat proses komunikasi lintas budaya yang sebetulnya menjadi fondamen yang kokoh untuk integrasi bangsa Indonesia di masa yang akan datang sebagai negara bahari.
Dalam rangka peningkatan pengetahuan dan keterampilan maka muatan pendidikan budaya bahari harus diwujudkan ke dalam materi- materi dan kompetensi yang dibuat secara bergradasi. Untuk melihat materi dan kompetensi tersebut bisa ditelusuri pada struktur kurikulumnya. Pada jalur pendidikan formal dilaukan melalui pengembangan kurikulum yang mengandung muatan budaya bahari dalam pembelajaran yang meliputi tiga aspek, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap, serta memberikan cara penilaian yang tepat terhadap capaian ketiga aspek tersebut.
Pada jenjang pendidikan menengah khususnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sudah lebih dahulu mengembangkan kurikulum yang terkait dengan kebaharian yaitu seperti yang termuat pada Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Nomor 7013/D/KP/2013 Tentang Spektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan (PMK) terdapat salah satu bidang keahlian dengan nomenklatur Bidang Keahlian Perikanan dan Kelautan, kemudian disempurnakan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 4678/D/KEP/MAK/2016 Tentang Spektrum Keahlian PMK dengan nomenklatur yang diubah menjadi Bidang Keahlian Kemaritiman. Menurut Kep. Dirjen Nomor 7013/D/KP/2013 nomenklatur Bidang Perikanan dan Kelautan memiliki 3 program keahlian dan 7 paket keahlian yaitu seperti tercantum dalam tabel 1.
Sedangkan sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 4678/D/KEP/MAK/2016, ada perubahan nomenklatur bidang keahlian menjadi Kemaritiman, ada penambahan program keahlian menjadi 4, ada perubahan nomenklatur dari paket keahlian menjadi kompetensi keahlian. Semula ada 7 paket keahlian menjadi 10 kompetensi keahlian. Secara rinci seperti dalam tabel 2.
Struktur kurikulum yang tersebut di atas yakni yang dapat dipelajari oleh peserta didik/siswa-siswi (selanjutnya disebut siswa) yang menempuh pendidikan di SMK. Sementara siswa dari satuan SMK bidang keahlian yang lain, SMA/MA, SMP/MTs, SD/MI, dan Pendidikan Anak Usia Dini tidak mendapatkan pengetahuan atau wawasan kebaharian di atas. Beranjak dari pemikiran bahwa luas wilayah Indonesia ini sebagain besar meliputi wilayah lautan maka wawasan tentang kebaharian ini pun seharusnya tidak saja dimiliki siswa-siswi dari SMK Bidang Keahlian Kemaritiman saja.
semestinya dimiliki oleh siswa-siswi jenjang pendidikan umum dan dari usia dini. Hal ini seiring dengan program pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Yusuf Kalla untuk menjadikan Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia. Jauh sebelum program pemerintah ini dicetuskan, Yayasan Hang Tuah yang merupakan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan di bawah naungan TNI AL sejak tahun 1984 telah mengembangkan dan menerapkan mata pelajaran Muatan Lokal yang bernama Pendidikan Kebaharian. Bahkan Yayasan ini sudah mengembangkan bahan ajar dari TK, Kelas I hingga XII (Yayasan Hangtuah,2016).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan dalam rangka merealisasikan program pemerintah di atas, pada tahun 2017 telah mengembangkan Kurikulum Kemaritiman (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2017). Kurikulum Kemaritiman ini beranjak pada pemikiran bahwa wawasan kebaharian harus menjadi semangat siswa dan siswi bangsa Indonesia untuk tidak lupa atau bahkan agar “melek” dengan kekayaan dan memiliki kebanggaan menjadi negara kepulauan beserta kekayaan yang ada di dalamnya. Kurikulum ini dikembangkan secara terstruktur dan berjenjang dari Pendidikan Anak Usia Dini, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK Non Bidang Keahlian Kemaritiman. Adapun ruang lingkup materi Kurikulum Kemaritiman ini terdiri atas 5 (lima) aspek sebagai berikut.
1) Sumber Daya Maritim
2) Geomaritim dan Dinamika Laut
3) Transportasi Laut dan Industri Maritim
4) Sejarah, Budaya, dan Inovasi Maritim
5) Geopolitik, Hukum, dan Keamanan Maritim.
Berdasarkan ruang lingkup tersebut di atas kemudian dijabarkan ke dalam bentuk Kompetensi Dasar (KD) dari jenjang Paud, Kelas I hingga XII. Dengan demikian, satuan pendidikan (sekolah/madrasah) yang berminat untuk mengajarkan muatan kemaritiman dapat menggunakan kurikulum ini. Bahkan untuk mendukung implementasi dari Kurikulum Kemaritiman tersebut sudah terjalin kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri koordinator Bidang Kemaritiman dalam bentuk Memorandum of Understanding (Mei 2017) dan Perjanjian Kerja Sama (Agustus 2017) serta melakukan rapat koordinasi di 12 kabupaten/kota di 12 Provinsi untuk melaksanakan sekolah rintisan.
Peningkatan wawasan kebaharian juga dapat dilakukan melalui Pendidikan Budaya Bahari. Ini bukan merupakan kurikulum tersendiri namun salah satu upaya untuk mendukung atau melengkapi dari pelaksanaan kurikulum kemaritiman untuk pendidikan umum yang sudah ada sebelumnya. Hal ini sejalan dengan penelitian (Yunandar,2004) yang menyebutkan bahwa budaya bahari mengandung unsur- unsur seperti unsur pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma, aturan, simbol komunikatif, kelembagaan, teknologi, dan seni.
Dari definisi di atas maka dapat diuraikan ke dalam ruang lingkup dari budaya bahari meliputi enam aspek (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2017) yaitu:
1)Sejarah pelayaran dan terbentuknya bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari;
2) Komunitas bahari (Suku Laut, Komunitas Nelayan dan Komunitas Pelayaran); sejarah, sebaran dan karakteristik umum;
3) Bahasa dan sistem komunikasi;
4) Mata Pencaharian Hidup/sistem ekonomi [nelayan (termasuk mengumpulkan kerang-kerangan di pantai atau gleaning, budidaya (aquaculture), pelayaran, wisata bahari], dan Teknologi;
5) Religi dan Kesenian; dan
6) Pengelolaan sumberdaya laut tradisional (pemeliharaan ekosistem laut dan pesisir).
Pendidikan Budaya Bahari seperti yang telah dikemukakan sebelumnya memiliki pengertian sebagai “perilaku hidup dan tata cara manusia sebagai masyarakat suatu bangsa terhadap laut dan pemanfaatan seluruh potensi kekayaan maritim yang ada di dalam, di atas, dan di sekitar laut guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dan perekonomian suatu negara saat ini dan masa datang dengan menggali dan mengembangkan gagasan/ide berupa pengetahuan, sistem norma sosial dan teknologi yang mendukungnya”.
Di Unhas sendiri memberlakukan mata kuliah wajib Wawasan Sosial Budaya Maritim (WSBM) sebagai salah satu komponen Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) di Unhas yang mengintroduksi materi-materi kemaritiman, antara lain potensi sumberdaya maritim, fakta demografi dan sosial ekonomi maritim, masyarakat maritim beserta dinamikanya, nilai-nilai budaya maritim yang perlu dikembangkan dan dipromosikan yang kesemuanya mengarah pada kharakteristik Benua Maritim dan pembangunannya. Dengan demikian tujuan pembelajaran mata kuliah ini didesain untuk memberikan wawasan dan landasan pengetahuan serta keyakinan kepada mahasiswa sebagai bekal hidup bermasyarakat selaku inividu dan mahluk sosial yang beradab dan bertangguang jawab terhadap sumberdaya alam dan lingkungan Benua Maritim, serta menjadi ciri kepribadian sebagai luaran Unhas.
Kesimpulan
Indonesia secara geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan dua pertiga luas lautan lebih besar daripada daratan. Hal ini bisa terlihat dengan adanya garis pantai di hampir setiap pulau di Indonesia (±81.000 km) yang menjadikan Indonesia menempati urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Selain itu, perairan laut di Indonesia dikenal sebagai salah satu daerah “mega biodiversity” penting di dunia dan juga mengandung potensi sumber daya yang tidak sedikit, baik berupa keanekaragaman sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Potensi sumber daya alam yang besar ini merupakan sumber ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu negara kita harus memiliki sumberdaya manusia yang handal, kreatif, inovatif; yang didukung oleh penguasaaan ilmu pengetahuan dan teknologi; serta wawasan dan budaya bahari yang kuat dilandasi dengan semangat bela negara agar cita- cita tersebut dapat terwujud. Sumber daya manusia tentu haruslah dipersiapkan melalui jalur pendidikan, baik jalur formal, non-formal, dan informal. Inilah yang menjadi faktor penting dimana untuk mengelola sumber daya alam khususnya kelautan dengan kekayaan di dalamnya yang sangat melimpah sehingga diperlukan Pendidikan Budaya Bahari.
Pendidikan budaya bahari yang dimaksud yakni perilaku hidup dan tata cara manusia sebagai masyarakat suatu bangsa terhadap laut dan pemanfaatan seluruh potensi kekayaan maritim yang ada di dalam, di atas, dan di sekitar laut guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dan perekonomian suatu negara saat ini dan masa datang dengan menggali dan mengembangkan gagasan/ide berupa pengetahuan, sistem norma sosial dan teknologi yang mendukungnya.
Agar mudah dipelajari oleh siswa maka diperlukan muatan terkait dengan budaya bahari yakni sebagai berikut;
1) Sejarah pelayaran dan terbentuknya
bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari;
2) Komunitas bahari (Suku Laut, Komunitas Nelayan dan Komunitas Pelayaran); sejarah, sebaran dan karakteristik umum;
3) Bahasa dan sistem komunikasi;
4) Mata Pencaharian Hidup/sistem ekonomi [nelayan (termasuk mengumpulkan kerang-kerangan di pantai atau gleaning, budidaya (aquaculture), pelayaran, wisata bahari], dan Teknologi;
5) Religi dan Kesenian; dan
6) Pengelolaan sumberdaya laut tradisional (pemeliharaan ekosistem laut dan pesisir).
Dari ke enam aspek tersebut kemudian dijabarkan lagi menjadi sub aspek-sub aspek yang lebih terinci lagi. Kemudian dari sub aspek tersebut diaplikasikan ke dalam berbagai kegiatan yang dilakukan baik di dalam kelas, luar kelas, dan lingkungan sekitar sekolah.
Adapun bentuk implementasinya di sekolah, muatan pendidikan budaya bahari ini dapat diujudkan melalui 4 bentuk kegitan, yaitu (1) kontekstualisasi/warna mata pelajaran, (2) pengayaan/integrasi dalam mata pelajaran, (3) ekstrakurikuler dan budaya sekolah, serta (4) mata pelajaran tersendiri. Ke empat bentuk kegiatan ini dapat dipilih oleh satuan pendidikan atau sekolah disesuaikan dengan kesiapan sumberdaya yang dimiliki. Artinya ketika sekolah belum mampu untuk melaksankan pendidikan budaya bahari sebagai mata pelajaran tersendiri atau sebagai Muatan Lokal yang ada pada poin (4) karena mungkin terkendala tidak ada guru dan daya dukung yang lainnya, maka sekolah dapat memilih bentuk kegiatan yang lain.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Indonesia. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.
Motik, C. (2010). Negara Kepulauan Menuju Negara Maritim: 75 Tahun Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA, IND HILL.CO. Jakarta.
Penasinergi. (2016). Pendidikan Versi Ki Hajar Dewantara. https://penasinergi.wordpress.com/2016/03/21/pendidikan-versi-ki- hajar-dewantara. Diakses pada 18 Mei 2020.
Pusat Kurikulum dan Perbukuan. (2017).Naskah Akademik Diversifikasi Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
Yunandar. (2004). Budaya Bahari dan Tradisi Nelayan di Indonesia. Sabda, 22–35.
Siswanto, Heni Waluyo. 2018. Pendidikan Budaya Bahari Memperkuat Jati Diri Bangsa. Bandung: Balitbang Kemendikbud.
Sulistiyono, Singgih Tri. 2005. Model Sosialisasi Dan Enkulturasi Nilal·Nilai Kebaharian Untuk Memperkuat Integrasi Indonesia Sebagai Neg.Ara Maritim Melalui Pengajaran Sejarah Dan Budaya Maritim Nusantara Di Sekolah Dasar. Semarang: Universitas Diponegoro
Saru, Arman, dkk.2010.Wawasan Sosial Budaya Maritim.Makassar: Unhas