Academia.eduAcademia.edu

Tinjauan Tentang Pertanggungjawaban Pidana Anak

2019

Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu bertanggung jawab. Seseorang yang tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Lalu bagaimana bila seorang anak melakukan tindakan pidana, apakah ia dapat dimintai pertanggungjawaban pidana?

Tinjauan Tentang Pertanggungjawaban Pidana Anak Oleh: Yessy Nidawati, S.Pd Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu bertanggung jawab. Seseorang yang tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. KUHP menentukan masalah kemampuan bertanggung jawab pada Pasal 44 KUHP. Pasal 44 ayat (1) KUHP menentukan, “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit”. Berdasarkan Pasal 44 tersebut Moeljatno menyimpulkan bahwa adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, sesuai hukum dan yang melawan hukum, dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi (Marlina, 2012: 70). Menurut Sue Titus Reid (dalam Marlina, 2012: 74) dalam pertanggungjawaban pidana ada beberapa komponen yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana (elements of criminal liability) yaitu sebagai berikut : A criminal state of mind Attendant sircumtances Cause harm Criminal act or omission when acombine with and to Criminal liability may result Gambar 1. Skema Element of Criminal Liabilty menurut Sue Titus Reid Skema di atas menjelaskan bahwa ketika seseorang melakukan tindak pidana atau kelalaian diikuti dengan adanya keinginan atau niat dan disertai dengan keadaan yang mendukung yang mengakibatkan kerusakan atau kerugian bagi orang lain, maka hal seseorang tersebut dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Malina (2012: 74) menjelaskan bahwa adanya pertanggungjawaban dalam hukum pidana harus memenuhi unsur-unsur yakni; melakukan perbuatan pidana, baik perbuatan yang dilakukan secara aktif maupun tidak aktif, adanya kesalahan, dalam situasi tertentu menyebabkan kerugian pada orang lain. Jika unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh seorang anak telah terpenuhi, maka terhadap anak tersebut dapat dikenakan pemidanaan. Namun pemidanaan terhadap anak hendaknya harus memperhatikan perkembangan jiwa anak. Hal ini disebabkan karena terkadang anak belum dapat berpikir atau kurangnya pertimbangan anak ketika melakukan perbuatan pidana yang dilakukannya. Di samping itu, anak yang melakukan tindak pidana memiliki motif pidana yang sangat berbeda dengan orang dewasa. untuk itulah pemberian pertanggungjawaban pidana terhadap anak harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Penanganan yang salah dari aparat penegak hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat menyebabkan hancurnya masa depan anak, karena anak adalah generasi penerus bangsa. Selanjutnya timbul pertanyaan, bagaimana apabila pelaku kejahatan adalah anak di bawah batas usia minimum yang ditentukan dalam hal ini usia anak di bawah 12 tahun, dapatkah dipidana? Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun (tidak memenuhi batas usia minimum) tapi melakukan suatu tindak pidana tertentu, maka ada 2 (dua) alternatif tindakan yang dapat diberikan kepada sang anak menurut ketentuan Pasal 21 UU SPPA. Pertama, diserahkan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, jika anak tersebut masih dapat dibina; Kedua, diikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintahan atau LPSK di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan. Dalam penjelasan UU SPPA ini disebutkan anak yang masih sekolah tetap dapat mengikuti pendidikan formalnya (Krisna, 2016: 76). Menurut peraturan yang berlaku, sistem pertanggungjawaban anak tidak lagi didasarkan pada mampu atau tidaknya bertanggung jawab. Semua anak, asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggung jawab dan dapat dituntut. Namun demikian harus dipahami bahwa terhadap anak yang dianggap “mampu bertanggung jawab” masih tetap diadakan kemungkinan untuk tidak dipidana. Alasan terutama ialah bahwa anak belum dapat menginsyafi nilai maupun akibat yang ditimbulkan dari tindakannya (Krisna, 2016: 76). Daftar pustaka : Krisna, Liza Agnesta. 2018. Hukum Perlindungan Anak: Panduan Memahami Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Yogyakarta: Deepublish Marlina. 2012. Peradilan Pidana Anak di Indoonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Bandung: Refika Aditama