Academia.eduAcademia.edu

KEPEMIMPINAN KEWIRAUSAHAAN DAERAH

2019, Policy Brief

Pengembangan sebuah konsep model kepemimpinan kewirausahaan daerah dalam mengatasi permasalahan di daerah, sebagaimana hasil dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu masalah ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran. Model kepemimpinan kewirausahaan daerah yang dibangun berdasarkan pada tiga prinsip dengan beberapa karakter.

KEPEMIMPINAN KEWIRAUSAHAAN DAERAH Penyusun: Tri Wahyuni, Siti Zakiyah, Mariman Darto, Andi Wahyudi, Mayahayati. K, Rustan. A, Fani Heru.W, Maria AP sari, Lia Rosliana, Wildan lutfie. A, Kemal Hidayah, Tri Noor. A, Dewi Sartika, Ricky Noor. P, Novi Prawitasari, Maya Retno.S Ringkasan Eksekutif Dua dekade pelaksanaan desentralisasi dan otonomi dianggap belum mampu menjadi jawaban atas persoalan-persoalan tersebut. Bahkan yang terparah, desentralisasi dan otonomi daerah dianggap menjadi salah satu penyebab membesarnya ketimpangan antar daerah (Indef, 2018). Dikaitkannya otonomi daerah dengan ketimpangan bukan tanpa alasan. Sejak tahun 1999 (dimana sistem pemerintahan sentralistik-otoriter berubah menjadi desentralisasi) sampai dengan tahun 2016, gini ratio di Indonesia terus naik. Ketimpangan di daerah juga terlihat dari banyaknya kegagalan daerah dalam mencapai target Standar Pelayanan Minimal (SPM) di berbagai sektor seperti kesehatan, pendidikan serta air bersih dan sanitasi (Doriza, Purwanto, & Maulida, 2017; Suparmi, Kusumawardani, Nambiar, Trihono, & Hosseinpoor, 2018; Afifah et al., 2018). Persoalan lain yang dihadapi daerah selain ketimpangan adalah ketidakcakapan daerah dalam mengelola potensi serta peluang yang dimiliki untuk mendorong pengembangan dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan berdampak pada pengurangan kemiskinan. Kondisi tersebut terlihat dari masih banyaknya daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, namun tidak dibarengi dengan pengurangan angka kemiskinan di daerahnya. Terkait hal tersebut, Rini & Sugiharti (2016) dalam penelitiannya mengelompokkan provinsi-provinsi yang ada di Indonesia kedalam empat kuadran berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinannya. Hasilnya diketahui bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun (2007-2017) jumlah provinsi yang pertumbuhan ekonominya berdampak terhadap penurunan kemiskinan mengalami penurunan. Menghadapi kenyataan di atas, maka saat ini Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan otonomi daerah (UU 23 Tahun 2014) tidak hanya dituntut untuk dapat memberikan pelayanan dasar kepada masyarakatnya, namun dituntut pula untuk dapat mengembangkan kreatifitas dan inovasi untuk mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi serta mengurangi terjadinya ketimpangan pendapatan di daerah (Garnida, 2012). Kepala Daerah diharapkan memiliki cara berpikir dan karakter entrepreneur (kewirausahaan) yang mampu merespon peluang dengan cepat dan tepat, mampu mengambil keputusan dan menghitung kemungkinan resiko yang akan muncul, menunjukkan ketekunan, memiliki kemampuan beradaptasi dengan perubahan serta berorientasi kepada masyarakat secara luas (Currie, Humphreys, Ucbasaran, & Mcmanus, 2008; Garnida, 2012:2). Kepemimpinan kewirausahaan (entrepreneurial leadership) merupakan sebuah konsep yang berada pada persimpangan entrepreneur dan leadership. Dari banyak studi yang telah dilakukan para pakar, hasil dari irisan antara teori dan praktik entrepreneur dan juga leadership, ditemukan irisan yang menunjukkan keduanya harus memiliki dimensi yang kemudian disebut sebagai entrepreneurial leaderships, yaitu: visioner, fokus pada peluang, memiliki kemampuan memengaruhi, merencanakan, memotivasi, kreatif dan inovatif, fleksibel, toleransi tinggi, mau mengambil resiko, ulet, percaya diri, proaktif, serta tangguh (Al Mamun, Ibrahim, Yusoff, & Fazal, 2018). Policy brief ini mencoba mengembangkan sebuah konseptual model kepemimpinan kewirausahaan daerah dalam mengatasi permasalahan di daerah, sebagaimana hasil dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu masalah ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran. Model kepemimpinan kewirausahaan daerah yang dibangun berdasarkan pada tiga prinsip dengan beberapa karakter. Tiga prinsip dan karakter yang dimaksud adalah prinsip kognitif (karakter kepemimpinan strategis (visi dan tujuan jangka panjang) dan fokus pada peluang); prinsip tanggung jawab dan keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan (karakter kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan negosiasi yang baik); serta prinsip kesadaran diri dan sosial (karakter kepercayaan diri, bersedia mengambil resiko). Model yang disusun ini merupakan sintesis berbagai hasil studi teoritis dan studi empiris dengan menggabungkan prinsip entrepreunerial leadership (Greenberg et al., 2011:11) serta karakter entrepreunerial leadership (He, 2014; Al Mamun et al., 2018; Fernald et al., 2005; Esmer & Dayi, 2017; Gupta et al., 2004; Surie & Ashley, 2008; Hejazi et al., 2012, Yukl, 2007; Currie, 2018 ). Dari hasil penelitian diketahui bahwa seluruh prinsip dan karakter kepemimpinan kewirausahaan berdasarkan model secara umum sudah dimiliki oleh pemimpin di daerah yang menjadi lokus penelitian. Adapun prinsip kepemimpinan kewirausahaan daerah yang paling dominan berdasarkan temuan lapangan adalah prinsip kedua, yaitu tanggung jawab dan keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan. Temuan ini menunjukkan bahwa kepala daerah dengan kepemimpinan kewirausahaan yang sukses lebih mengedepankan penyelesaian permasalahan daerah dan memberikan dampak kesejahteraan yang berarti bagi masyarakat. Prinsip selanjutnya yang cukup dominan adalah ketangkasan kognitif yang memperlihatkan upaya menyatukan gerak langkah dan dukungan organisasi internal dalam mewujudkan dan mendukung visi, tujuan, dan sasaran strategis yang dicanangkan. Adapun prinsip kesadaran diri dan sosial secara umum relatif tidak cukup dominan terdapat pada kepemimpinan kewirausahaan daerah, karena prinsip tersebut dapat dianalisis sebagai bagian yang melekat dalam setiap karakter pemimpin daerah yang turut mengikuti (atributif) kaidah dua prinsip lainnya. Terdapat karakter yang dimiliki oleh seluruh pemimpin daerah di lokus penelitian. Karakter tersebut adalah kemampuan memecahkan masalah serta kreatif dan inovatif yang berada di ketiga prinsip. Secara umum terlihat bahwa karakter kreatif dan inovatif, yang merupakan ciri umum dari seorang wirausaha, merupakan karakter khas yang wajib ada pada seorang pemimpin daerah agar mampu memecahkan persoalan ketimpangan/kemiskinan/ pengangguran daerah. Karakter kemampuan memecahkan masalah diketahui bahwa seluruh pemimpin daerah memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi masalah, menyusun solusi pemecahan masalah serta mengambil keputusan diwaktu yang tepat. Selain karakter kepemimpinan kewirausahaan daerah berdasar model yang sudah dibuat, penelitian ini juga berhasil menemukan karakter lainnya di daerah lokus, yakni: karakter mengakomodasi aspirasi dan karakter visioner ideologis. Temuan lainnya yang tak kalah menarik adalah teridentifikasinya praktek kepemimpinan distributif dan kolektif dalam model kepemimpinan kewirausahaan di daerah, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam konteks penyelesaian masalah ketimpangan/kemiskinan/pengangguran, kepemimpinan kewirausahaan daerah tidak berdiri sendiri, namun diperkuat dengan karakter kepemimpinan distributif dan kolektif. Adapun faktor pengungkit keberhasilan pemimpin daerah dalam mengatasi isu ketimpangan/pengangguran/kemiskinan ada dua. Pertama adalah kepercayaan (trust) mitra strategis pemerintah daerah, seperti masyarakat, swasta, perguruan tinggi, LSM, pers, pemerintah pusat dan bahkan pemerintah luar negeri yang menghasilkan dukungan baik dalam bentuk moral, pikiran, tenaga maupun anggaran. Kedua adalah dukungan birokrasi, dalam bentuk komitmen dan profesionalitas. Pendahuluan Ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah para kepala daerah yang belum banyak terealisasikan. Semangat otonomi daerah yang memberikan kebebasan bagi daerah (kabupaten dan Kota) untuk mengelola daerahnya sendiri belum banyak melahirkan daerah-daerah yang sanggup manjawab tantangan atas semangat otonomi daerah. Dikaitkannya otonomi daerah dengan ketimpangan memang bukan tanpa alasan, sejak tahun 1999 (dimana sistem pemerintahan sentralistik-otoriter berubah menjadi desentralisasi) sampai dengan tahun 2016, gini ratio di Indonesia terus naik, sebagaimana grafik di bawah ini: 0,45 0,41 0,410,41 0,410,41 0,4 0,38 0,34 0,35 0,38 0,35 0,37 0,37 0,33 0,308 0,3 0,38 0,31 0,32 0,3 0,25 0,2 Sumber: BPS, 2014, 2018, 2019. Gambar 1. Gini Ratio Indonesia Tahun 1999-2018 0,4 0,39 0,39 Terkait hal tersebut, Rini & Sugiharti (2016) dalam penelitiannya mengelompokkan provinsi-provinsi yang ada di Indonesia kedalam empat kuadran berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinannya. Hasilnya diketahui bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun (2007-2017) jumlah provinsi yang pertumbuhan ekonominya berdampak terhadap penurunan kemiskinan mengalami penurunan. Roudo (2018) dalam penelitiannya menemukan bahwa penyebab terjadinya ketimpangan pemenuhan pelayanan dasar di banyak daerah tidak hanya dikarenakan alasan teknis dan ketidak cukupan biaya, namun juga dikarenakan ketiadaannya strong local leaders yang mampu menghadapi tantangan, mengelola sumber dayanya serta mampu membuat terobosan yang berdampak pada pencapaian pelayanan dasar di daerahnya. Menjadi pemimpin daerah hari ini tentu berbeda dengan model kepemimpinan, misalnya pada era orde baru yang lebih bersifat patron klien, dimana pemerintah pusat memberikan pengaruh kuat (mendikte), sehingga pemerintah daerah hanya bisa patuh memberikan dukungan saja sebagai akibat status yang dianggap lebih rendah dari sisi sosial dan ekonomi (Pratama, 2017). Saat ini seorang pemimpin daerah mengemban nilai-nilai perubahan untuk memimpin dengan semangat profesionalisme, akuntabilitas, transparansi, serta lebih partisipatif (Rahmi, 2015). Selain itu seorang kepala daerah juga dituntut untuk bisa melakukan terobosan-terobosan dalam membangun daerah melalui inovasi yang digagasnya (Fachrudin, 2017). Seorang pemimpin daerah yang memiliki kemampuankemampuan memimpin di era seperti saat ini oleh Muhammad (n.d.) disebut dengan kepemimpinan kewirausahaan (entrepreneurial leadership), dimana pemimpin mampu melakukan investasi human capital, social capital, organizational capital untuk meningkatkan kecerdasan organisasi publik agar mampu berinovasi dan menawarkan public value Walter Kälin (1999) memberikan argumentasi mendasar tentang peran pemerintah daerah yang dapat dikaitkan dengan pentingnya keberadaan kepemimpinan kewirausahaan pada level lokal. Pertama adalah posisi pemerintah daerah yang lebih dekat dengan masyarakatnya, memberikan mereka kemudahan untuk menciptakan kebijakan serta program yang efektif sesuai akar masalah. Kedua, pembangunan yang berkelanjutan juga lebih mungkin dilakukan oleh pemerintah daerah, karena mereka memahami benar sumber daya yang dimiliki serta dapat membaca peluang dengan jelas. Dengan demikian pemerintahan daerah menjadi wadah yang tepat dan pas untuk lahirnya kepemimpinan kewirausahaan (Zerbinati & Souitaris, 2005:4). Kepemimpinan kewirausahaan merupakan cara berpikir yang komperhensif, untuk dapat mensinergikan aspek sosial, lingkungan serta ekonomi. Dengan begitu, keputusan serta kebijakan yang dihasilkan oleh seorang pemimpin dengan karakter kewirausahaan dapat lebih dipertanggungjawabkan dan tentunya bersifat jangka panjang. Ketiga adalah prinsip kesadaran diri dan sosial (self and social awareness). Dalam kepemimpinan kewirausahaan pemahaman terhadap diri sendiri sendiri menjadi sebuah keniscayaan. Hal ini dilakukan agar seorang pemimpin memahami benar tujuan yang akan ia capai, sehingga pengaruh yang masuk dari pihak lain dapat mereka kelola dengan baik, dan keputusan yang diambil pun menjadi lebih efektif. Kepemimpinan kewirausahaan bagi pemerintah daerah tentunya menjadi sangat strategis, karena sebagai sebuah lembaga, pemerintah daerah mempunyai peran penting dalam memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat diwilayahnya (Andrews, Boyne, O’ Toole, Meier, & Walker, 2012). Model kepemimpinan kewirausahaan daerah pada intinya dibangun dari tiga prinsip dengan beberapa karakter. Tiga prinsip dan karakter yang dimaksud adalah prinsip kognitif (karakter kepemimpinan strategis (visi dan tujuan jangka panjang), fokus pada peluang); prinsip tanggung jawab dan keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan (karakter kemampuan memecahkan masalah, kemampuan negosiasi yang baik); serta prinsip kesadaran diri dan sosial (karakter kepercayaan diri, bersedia mengambil resiko. Berdasarkan prinsip dan karakter yang akan dijadikan dasar permodelan, maka disusun kerangka pikir penelitian sebagaimana gambar di bawah ini : Gambar 2 Alur Pikir Penelitian Penelitian ini mencoba mengembangkan sebuah konseptual model kepemimpinan kewirausahaan daerah dalam mengatasi permasalahan di daerah, yaitu masalah ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran serta mencoba mengidentifikasi faktor pendukung yang dianggap menjadi faktor pengungkit keberhasilan pemimpin daerah dalam mengatasi isu ketimpangan/pengangguran/kemiskinan. Model yang disusun ini merupakan sintesis berbagai hasil studi teoritis dan studi empiris dengan menggabungkan prinsip entrepreunerial leadership (Greenberg et al., 2011:11) serta karakter entrepreunerial leadership (He, 2014; Al Mamun et al., 2018; Fernald et al., 2005; Esmer & Dayi, 2017; Gupta et al., 2004; Surie & Ashley, 2008; Hejazi et al., 2012, Yukl, 2007; Currie, 2018 ). Penelitian kewirausahaan kepala daerah merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisa deskriptif, yang diharapkan mampu menggali data secara lebih mendalam dan mendapatkan kondisi yang ada secara faktual pada daerah yang dijadikan lokus penelitian. Pemilihan lokus penelitian dilakukan melalui desk research terhadap praktek-praktek terbaik kabupaten/kota sebelum penggalian data lapangan. Ada enam kabupaten/kota yang terpilih menjadi lokus penelitian, yaitu Kota Bandung, Kota Pontianak, Kabupaten Kulon Progo, kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Bojonegoro. Permasalahan dan Analisis Secara mendasar sektor publik dan swasta merupakan dua lembaga yang berbeda. Pembiayaan sektor publik sebagian besar bersumber dari pajak masyarakat, sedangkan swasta sangat bergantung pada seberapa besar barang dan jasa mereka di konsumsi oleh pelanggan (Osborne dan Gaebler, 2005:19). Sehingga misi yang dilakukan oleh sektor swasta adalah menciptakan private value, sedangkan misi sektor publik adalah menciptakan public value (Currie et al., 2008:990). Oleh karena itu pada sektor publik kompetisi sangat jarang terjadi karena mereka memiliki hak monopoli dalam memberikan layanan. Sedangkan swasta dituntut harus bisa terus berkompetisi untuk dapat mendapatkan pelanggan yang menjadi sumber keuntungan mereka. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa keberadaan kepemimpinan kewirausahaan (entrepreneurial leadership) dalam sektor publik menjadi penting? Perspektif lain mengenai kepemimpinan kewirausahaan adalah sebagaimana yang digambarkan oleh Greenberg et al. (2011). Ia melihat ada tiga prinsip yang dapat dibangun dalam membentuk kepemimpinan kewirausahan. Pertama adalah ketangkasan kognitif (cognitive ambidexterity). Dalam prinsip ini ada dua karakter yang dapat menjadi gambaran kepemimpinan kewirausahaan daerah, yaitu: kepemimpinan strategis (visi dan tujuan jangka panjang) dan fokus pada peluang. Kepemimpinan strategis (visi dan tujuan jangka panjang), adalah dimana hubungan antara strategi dan kepemimpinan sangat ditekankan. Dengan melihat perubahan lingkungan yang sangat cepat dan dinamis, kepemimpinan kewirausahaan daerah harus memiliki karakter ini untuk membuat visi dan rencana dalam mencapai kesuksesan jangka panjang. Untuk mencapai visi tersebut, kepemimpinan kewirausahaan daerah dituntut untuk memiliki pengetahuan yang komprehensif dalam melakukan perubahan strategis baik melalui restruktur organisasi, alokasi sumber daya, penciptaan dan penanaman nilai dan budaya organisasi, serta penguatan sistem kerja (Yulk, 2007:417). Karakteristik kedua adalah fokus pada peluang, dimana kepemimpinan kewirausahaan daerah memiliki logika dalam membaca peluang, sehingga lebih berorientasi kepada apa yang bisa mereka dapatkan, serta mengetahui bagaimana cara mentransmisikan nilai peluang tersebut untuk kemanfaatan banyak pihak (Esmer & Dayi, 2017:117). Prinsip kedua yang dimiliki oleh kepemimpinan kewirausahaan daerah adalah Tanggung jawab dan keberlanjutan social, ekonomi dan lingkungan. Prinsip kedua ini, menggambarkan keterampilan yang dimiliki oleh kepemimpinan kewirausahaan daerah. Ada dua karakter yang terdapat dalam prinsip ini yaitu: kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan negosiasi yang baik. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya (dalam prinsip pertama), seorang pemimpin daerah dalam menghadapi perubahan lingkungan yang cepat dan dinamis dituntut untuk dapat berpikir strategis dan komprehensif. Oleh karena kepemimpinan kewirausahaan menjadi jawaban akan tuntutan tersebut, karena pemimpin daerah dengan karakter kewirausahaan memiliki kemampuan dalam menetapkan sebuah kebijakan yang dapat menjadi problem solving bagi semua sektor, baik bagi sektor sosial, lingkungan dan ekonomi, sehingga hasilnya bisa dapat lebih dipertanggungjawabkan dan kemanfaatannya bisa dirasakan dalam jangka panjang. Karakter selanjutnya adalah kemampuan negosiasi yang baik, dimana dalam mencapai visi yang ingin dicapainya, seorang pemimpin daerah dengan karakter kewirausahaan memiliki kemampuan proaktif mengelola stakeholdernya dalam memperkenalkan serta memberikan pemahaman mengenai ide-ide serta rencana yang sudah disusunnya. Selain itu karakter ini juga diperlukan untuk mengatasi resistensi dan perlawanan, baik yang datang dari dalam maupun luar organisasi sebagai dampak perubahan yang dibuat oleh pemimpin daerah tersebut (Currie et al., 2008:1003) (Currie, 2008:1003; Yukl, 2007;417). Adapun prinsip ketiga adalah kesadaran diri dan sosial, yaitu yang menggambarkan sikap dari kepemimpinan kewirausahaan daerah. Karakter yang termasuk dalam prinsip ini yaitu kepercayaan diri dan bersedia mengabil resiko. Karakter kepercayaan diri sangat berpengaruh ketika sebuah organisasi mengalami kegagalan. Pemimpin daerah yang memiliki karakter ini dapat menghadapi kenyataan dan mengakui kegagalan dari sebuah kebijakan yang dibuatnya, sehingga dapat menjadikan kegagalan tersebut sebagai sebuah pengalaman belajar. Dengan percaya diri yang dimilikinya, pemimpin daerah dapat menjadi inspirasi bagi bawahannya untuk menjadi individu yang lebih percaya diri, selalu belajar dari kegagalan serta tidak menutup diri terhadap perbaikan (He, 2014:38). Karakter selanjutnya adalah bersedia dalam mengambil resiko, dimana seorang pemimpin daerah harus memahami bahwa situasi yang akan datang tidak dapat sepenuhnya diprediksi secara tepat, sehingga dalam mengambil keputusan mereka harus bisa menghitung, mempertimbangkan serta bersedia bertanggung jawab terhadap resiko yang mungkin muncul dari sebuah kebijakan yang sudah diambil. Dengan kata lain, pemimpin daerah dengan karakter kewirausahaan memiliki kemampuan untuk menghadapi ketikpastian dalam mencapai tujuannya (Fernald et al., 2005:4). Dari beberapa karakter yang termuat pada masing-masing prinsip yang sudah disebutkan diatas, ada dua karakter yang dimiliki kepemimpinan kewirausahaan daerah pada seluruh prinsip yaitu kreatif dan inovatif serta mempengaruhi, memberdayakan, mengarahkan dan memotivasi. Dengan karakter kreatif dan inovatif, seorang pemimpin mampu untuk menciptakan dan mendorong lahirnya ide serta gagasan yang memiliki nilai tambah, baik pada situasi yang berubah dengan cepat, bahkan pada situasi yang penuh dengan ketidakpastian (Surie & Ashley, 2008). Adapun pada karakter yang kedua, kepemimpinan kewirausahaan daerah dilihat sebagai pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam mempengaruhi, memberdayakan, mengarahkan dan memotivasi kinerja anggota kelompok untuk mencapai tujuan organisasi (Renko et al., 2013:9). Dalam karakter ini seorang pemimpin juga harus memahami benar kapan posisi mereka bersifat mengarahkan atau mendukung. Adapun ketika keputusan kritis harus diambil, pemimpin tidak boleh menghindari tanggung jawab dari apa yang sudah diputuskannya, apalagi melimpahkan kepada bawahannya (Fernald et al., 2005:4). Secara visual, berikut tabel karakter yang melekat pada masing-masing prinsip kepemimpinan kewirausahaan daerah : Tabel 1 Prinsip dan Karakter Kepemimpinan Kewirausahaan Daerah Prinsip Kognitif Karakter Kepemimpinan Strategis Fokus Pada Peluang Tanggung Jawab dan Keberlanjutan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Kemampuan memecahkan masalah Kemampuan negoisasi yang baik Kesadaran diri dan sosial Kepercayaan diri Bersedia mengambil resiko Karakter Wajib Kreatif dan Inovatif Mempengaruhi, memberdayakan dan memotivasi Sumber : Renko,et.al,2013 :9 ; Surie dan Ashley, 2008 ; Yulk,2007:417 ; Esmer dan Dayi, 2017 :117 ; Curie,et.al,2008:1003 ; Curie,2008;1003, he, 2014:38 ; Fernald,et.al, 2005:4. Dari hasil penggalian data lapangan, baik melalui wawancara langsung dengan beberapa key informant maupun melalui daftar pertanyaan yang disebar, diketahui bahwa seluruh prinsip dan karakter kepemimpinan kewirausahaan berdasarkan model secara umum sudah dimiliki oleh pemimpin di daerah yang menjadi lokus penelitian. Adapun prinsip kepemimpinan kewirausahaan daerah yang paling dominan berdasarkan temuan lapangan adalah prinsip kedua, yaitu tanggung jawab dan keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan. Temuan ini menunjukkan bahwa kepala daerah dengan kepemimpinan kewirausahaan yang sukses lebih mengedepankan penyelesaian permasalahan daerah dan memberikan dampak kesejahteraan yang berarti bagi masyarakat. Prinsip selanjutnya yang cukup dominan adalah ketangkasan kognitif yang memperlihatkan upaya menyatukan gerak langkah dan dukungan organisasi internal dalam mewujudkan dan mendukung visi, tujuan, dan sasaran strategis yang dicanangkan. Pelaksanaan prinsip ketangkasan kognitif akan menjamin prinsip tanggung jawab dan keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan berjalan optimal karena telah diatur langkah-langkah strategis untuk mencapainya. Adapun prinsip kesadaran diri dan sosial secara umum relatif tidak cukup dominan terdapat pada kepemimpinan kewirausahaan daerah, karena prinsip tersebut dapat dianalisis sebagai bagian yang melekat dalam setiap karakter pemimpin daerah yang turut mengikuti (atributif) kaidah dua prinsip lainnya. Dengan kata lain, kedua prinsip utama (tanggung jawab dan keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan, serta ketangkasan kognitif) merupakan prinsip yang wajib dimiliki untuk menerapkan kepemimpinan kewirausahaan, sedangkan prinsip kesadaran diri dan sosial menjadi prinsip yang khas atau khusus yang melekat pada karakter pemimpin daerah yang turut mendukung kedua prinsip utama sebelumnya. Selanjutnya, jika ditinjau dari karakternya, terdapat empat karakter dominan yang dimiliki oleh seluruh pemimpin daerah dilokus penelitian. Karakter tersebut adalah kemampuan memecahkan masalah serta kreatif dan inovatif yang berada di ketiga prinsip. Secara umum terlihat bahwa karakter kreatif dan inovatif, yang merupakan ciri umum dari seorang wirausaha, merupakan karakter khas yang wajib ada pada seorang pemimpin daerah agar mampu memecahkan persoalan ketimpangan/kemiskinan/pengangguran daerah. Kemampuan berpikir kreatif dan inovatif mendorong pelaksanaan tugas pemerintahan, pelaksanaan program/ kegiatan, kerjasama dan kolaborasi dapat berjalan lebih cepat, efektif, dan efisien serta memberikan dampak nilai tambah bagi perekonomian daerah dan masyarakat. Karakter dominan selanjutnya adalah kemampuan memecahkan masalah. Pada karakter ini, diketahui bahwa seluruh pemimpin daerah memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi masalah, menyusun solusi pemecahan masalah serta mengambil keputusan diwaktu yang tepat. Selain melihat karakter kepemimpinan kewirausahaan daerah berdasar model dari teori – teori yang telah disusun, penelitian ini juga mengidentifikasi model kepemimpinan kewirausahaan lainnya yang muncul di daerah. Pada lokus penelitian ditemukan bahwa hampir seluruh pemimpin daerah memiliki karakter mengakomodasi aspirasi. Karakter kepemimpinan kewirausahaan lainnya yang juga berhasil diidentifikasi adalah karakter visioner ideologis yang dikategorikan ke dalam prinsip ketangkasan koginitif. Karakter visioner ideologis terkait dengan kemampuan pemimpin dalam menentukan visi yang dapat dituangkan ke dalam program, yang tidak hanya sekedar menyelesaikan masalah namun juga membangun karakter kuat yang bisa dilaksanakan oleh seluruh komponen warga masyarakat. Gambar 3 Karakter Temuan Kepemimpinan Kewirausahaan Daerah di Lapangan Beberapa fakta tentang munculnya karakter mengakomodasi aspirasi, tersaji dalam temuan lapangan sebagai berikut: di Bantaeng, bupati memiliki kebiasaan berkeliling Bantaeng, mulai dari pusat kota hingga ke pelosok desa, Istilah blusukan bagi Bupati Nurdin bukanlah hal yang baru. Blusukan dilakukan untuk melihat kondisi riil atas berbagai persoalan di lapangan. Adapun Bupati Kulon Progo melakukan akomodasi aspirasi setiap hari kamis melakukan kegiatan open house di rumah jabatan Bupati bersama masyarakat. Hal serupa juga dilakukan oleh Bupati Bojonegoro, beliau memiliki tradisi dialog jumat, yang biasa dihadiri oleh warga masyarakat. Pada kesempatan tersebut masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk menyampaikan aspirasi. Sementara, di Pontianak, Walikotanya mengoptimalkan media cetak dan media online sebagai media lapor bagi masyarakat. Beliau menyediakan SMS interaktif melalui rubrik khusus di salah satu surat kabar Pontianak yang bernama Yok Bangon Kote Kite. Walikota Bandung juga banyak menggunakan cara-cara informal dalam bersosialisasi dengan masyarakat. Bagi beliau media sosial merupakan sarana paling utama dan strategis untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat. Terakhir, di Banyuwangi, Bupati Anas menggunakan media sosial sebagai sarana untuk mengakomodasi berbagai aspirasi masyarakat. Karakter visioner ideologis sebagai kebaruan dari karakter yang muncul lainnya, ditemukan di Kulon Progo, sang bupati menyusun dan mewujudkan ilmu kerakyatan melalui tiga pilar yaitu BUMD, Koperasi, dan Swasta. Di bawah Hasto, BUMD memiliki tugas menguasai cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, sedangkan koperasi memiliki tugas mengorganisir usaha-usaha rakyat menjadi usaha-usaha yang besar dan modern sebagai soko guru perekonomian. Selain tambahan karakter kepemimpinan kewirausahaan, penelitian di beberapa lokus juga menemukan fakta munculnya model kepemimpinan yang menggambarkan karakter distributif dan kolektif. Temuan tersebut berdasarkan indikator dari studi yang dilakukan oleh Ospina (2016:278), yang mencoba membuat tiga pertanyaan, yang mana jawabannya mengarahkan kita pada perbedaan perspektif antara kepemimpinan distributif dan kolektif. Tabel 2. Kepemimpinan Distributif dan Kolektif Pertanyaan Distributif What is the “source” of The leadership role leadership? What is the “object” of the The group (individuals taking work of leadership? up roles) What is the end result of the Shared responsibility for joint work of leadership? work Sumber: rekonstruksi dari tabel Ospina (2016:278) Kolektif Many, context specific The work to create a leaderfull environment Capacity to collaborate and produce collective achievements Berangkat dari definisi di atas, praktek kepemimpinan distributif pada daerah penelitian sudah dilakukan oleh seluruh pemimpin daerah. Kondisi ini sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, digambarkan pemimpin daerah melalui kemampuan dalam memberikan arahan kepada bawahan, serta menyakinkan mereka tentang visi yang sudah dibangun. Jika pada kepemimpinan distributif mengandalkan ketangguhan seorang pemimpin, maka kepemimpinan kolektif mengandalkan kekuatan sistem kerja. Adapun praktek kepemimpinan kolektif sudah dipraktekkan di beberapa daerah, diantaranya : Kabupaten Banyuwangi melalui Gerakan Daerah Angkat Anak Mudah Putus Sekolah. Melalui program ini Bupati Banyuwangi berhasil mendorong kapasitas sekolah serta masyarakat untuk berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah anak putus sekolah. Sekolah serta siswa murid yang mampu secara ekonomi dituntut untuk peka terhadap kondisi murid lainnya yang memiliki kesulitan ekonomi agar dapat terus bersekolah. Adapun kepemimpinan kolektif di Kabupaten Bantaeng ditunjukkan pada program pembangunan cek-dam pengendali banjir. Tidak hanya stop sampai di pembangunan, Bupati Bantaeng kemudian mendorong seluruh pimpinan OPD untuk berpikir kreatif agar dapat memanfaatkan dam tersebut. Terbukti empat OPD berhasil memanfaatkan dam tersebut, yaitu Dinas Pariwisata yang menjadikan dam sebagai objek wisata; Dinas Perikanan menjadikan dam sebagai tempat pemancingan untuk masyarakat; serta Dinas Pertanian dan PU yang memanfaatkan air tampungan dam untuk mengairi irigasi lahan pertanian serta memenuhi kebutuhan air daerah, sementara, praktek kolektif di Kabupaten Kulon Progo ditunjukkan melalui gerakan “bela beli Kulon Progo” melalui akuisisi waralaba berjejaring oleh koperasi yang dinamakan Toko Milik Rakyat (Tomira). Melalui kebijakan tersebut Bupati Kulon Progo berhasil meningkatkan kapasitas masyarakat (melalui koperasi) dalam mengelola toko modern, serta dalam peningkatan kualitas produk lokal, sehingga dapat sejajar dengan produk nasional. Faktor Eksternal Keberhasilan Kepemimpinan Kewirausahaan Daerah Dalam Menyelesaikan Isu Selain prinsip dan karakter kepemimpinan kewirausahaan daerah, ada pula faktor eksternal yang berhasil diidentifikasi di lapangan, yang dianggap menjadi faktor pengungkit keberhasilan pemimpin daerah dalam mengatasi isu ketimpangan/pengangguran/kemiskinan, yaitu kepercayaan (trust) mitra strategis dan dukungan birokrasi. Kepercayaan terhadap kapasitas kepemimpinan kewirausahaan akan mendorong lahirnya dukungan dari mitra strategis pemerintah daerah, seperti masyarakat, swasta, perguruan tinggi, LSM, pers, pemerintah pusat dan bahkan pemerintah luar negeri. Dukungan yang diberikan oleh mitra strategis pemerintah daerah ini diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti moral, pikiran, tenaga maupun anggaran. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang yang secara sukarela memberikan bantuan ambulans serta mobil pemadam kebakaran kepada Bantaeng. Selanjutnya, ada juga bantuan pendanaan yang berasal dari pemerintah pusat yang diberikan kepada daerah, dikarenakan mereka yakin terhadap program yang diajukan oleh pemerintah daerah. Bahkan pemerintah pusat juga memberikan bantuan promosi untuk tiga event yang ada di Banyuwangi. Selain itu, adapula bantuan yang diberikan oleh swasta untuk pembangunan daerah melalui dana CSR, sebagaimana yang terjadi di Kota Bandung. Selanjutnya, faktor eksternal lainnya adalah dukungan birokrasi. Komitmen dan profesionalitas birokrasi untuk menjalankan instruksi dan arahan yang diberikan pimpinan daerah menjadi hal penting dalam mencapai keberhasilan visi dan misi kepala daerah. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Renko (2013, 7) bahwa keberhasilan kepemimpinan kewirausahaan dalam mencapai visi yang telah disusunnya tidak hanya disebabkan oleh karakter yang dimilikinya, tetapi juga dipengaruhi karakteristik yang dimiliki oleh bawahannya, karakter lingkungan dan karakter organisasi. Secara singkat, Renko menyimpulkan bahwa kesuksesan model kepemimpinan kewirausahaan berangkat dari situasi dimana pemimpin berperan sebagai entrepreneurial role models dan memiliki bawahan dengan kepercayaan diri tinggi dan semangat entrepreneur; serta dengan konteks organisasi, lingkungan dan ketersediaan sumber daya yang menguntungkan. Karakter kewirausahaan kepala daerah yang berhasil diidentifikasi di lokus penelitian, mampu membawa kesuksesan dalam menurunkan angka kemiskinan di daerahnya masing-masing. Kabupaten Bantaeng mampu membuktikan kesuksesan Nurdin Abdullah melalui Sektor pertanian dan pariwisata sebagai sektor unggulan berdasarkan potensinya yang besar untuk dikembangkan. Beberapa kebijakan yang cukup menonjol di sektor pertanian yaitu pembenahan tata kelola pertanian (dalam arti luas) mulai dari penyediaan benih, pupuk, alsintan modern, cara tanam/ budidaya, hingga pemasaran. Kemudian di sektor pariwisata, fokus pembangunannya adalah revitalisasi Pantai Seruni dan Pantai Marina yang merupakan ikon utama Kabupaten Bantaeng. Selanjutnya adalah pembangunan desa mandiri melalui pengembangan balai rujukan dan pelayanan pembangunan (Baruga Sayang), dan peningkatan produksi dan kualitas komoditas unggulan desa. Pembangunan Bantaeng Industrial Park juga merupakan program “mercusuar” yang ditawarkan oleh Nurdin Abdullah, karena terbangunnya kawasan ini dapat mengakselerasi peningkatan penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, serta memberikan pemasukan bagi Kabupaten Bantaeng. Di bawah kepemimpinan Nurdin, sejak tahun 2008 tingkat kemiskinan semakin menurun bahkan pernah mencapai angka 8,89% di tahun 2012. Sementara, di Kota Pontianak, melalui tangan Sutarmidji, Kota Pontianak menjadi kota dagang dan jasa yang berwawasan lingkungan. Lampu terang-benderang di pinggirpinggir jalan menghidupkan bisnis rumah tangga, khususnya kuliner. Dengan jalanan yang baik dan berkualitas, daerah di sepanjangnya ikut tumbuh sehingga harga property tinggi nilai jualnya. Perhotelan maju pesatdan kanal kemudahan pengurusan perijinan juga dibuka, pemangkasan perijinan dilakukan untuk meningkatkan jumlah investasi yang masuk, terbukti dari data yang dirilis oleh DPMPTSP Kota Pontianak, hingga tahun 2017, realisasi penerimaan dan penerbitan izin terus mengalami peningkatan, pajak yang masuk kepada Pemerintah kota melejit. PAD yang semula hanya Rp 64 miliar di tahun 2008 meroket jadi Rp 440 miliar pada tahun anggaran 2018 dengan komponen penyumbang terbesar adalah pajak daerah (Data BPS Kota Pontianak 2009; 2019). Event-event besar juga sukses digelar. Konsep water front city juga diusung sehingga menjadikan kawasan tepian sungai sebagai ruang publik dengan cara mengarahkan orientasi bangunan menuju sungai dan menjadikan daerah sempadan sungai sebagai ruang terbuka publik untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat. Di Kota Pontianak. Angka kemiskinan cenderung turun, jika dibandingkan dengan persentase penduduk miskin nasional (9,41 persen, Maret 2019) dan persentase penduduk miskin Provinsi Kalimantan Barat (7,49 persen, Maret 2019). Namun, angka kemiskinan Kota Pontianak sebesar 5 persen ini mungkin saja bisa semakin kecil jika perhitungan BPS dalam variabel penentuan penduduk miskin dirubah. Bagi Abdullah Azwar anas, kepemimpinan kewirausahaan daerah bersumber pada social awareness Bupati Abdullah Azwar Anas atas keperduliannya untuk mencari solusi berbagai persoalan kemiskinan dengan segala kompleksitasnya, salah satu wujudnya terlihat dari keputusannya untuk memoratorium kebijakan toko modern dan kebijakan pemberian ijin hotel bintang ke tiga ke atas. Adapun bagi toko ritel yang sudah ada, tidak dilakukan penutupan. Selama lima tahun moratorium izin baru ini. Naluri kewirausahaan sang bupati terbaca juga dari kemampuannya dalam mengenali potensi daerahnya. Banyuwangi yang selama ini hanya dikenal sebagai daerah santet dibalik imagenya menjadi daerah sunrise, sehingga menjadi tempat yang terkenal seperti sekarang ini. Pengembangan potensi pariwisata di Kabupaten Banyuwangi dilakukan melalui konsep “ecotourism” serta Diamond Triangel dalam konsep Wilayah Pengembangan Pariwisata (WPP). Maraknya pariwisata di Banyuwangi, diiringi dengan kemajuan dalam tata kelola pemerintahan. Birokrasi dari seantero nusantara berbondong-bondong untuk melakukan studi banding dan studi tiru. Kedatangan para rombongan tersebut telah diprediksi oleh Bupati Abdullah Azwar Anas, sehingga muncul kebijakan: lebih baik menarik orang untuk datang ke Banyuwangi, daripada Banyuwangi mengirimkan satu atau dua orang OPD untuk menceritakan berbagai kesuksesan yang ada di Banyuwangi. Dengan kedatangan rombongan, maka akan mengisi hotel serta, rumah makan yang ada di Banyuwangi. Melalui tangan dingin Anas, Jumlah penduduk miskin Kabupaten Banyuwangi terus mengalami penurunan, di kisaran 9,17%, tahun 2016 di tahun 2018 menjadi 7,80% (Data Olahan dari BPS Pusat). Semangat kewirausaan kepala daerah kabupaten Bojonegoro dilakukan dengan memanfaatkan dana CSR perusahaan dengan melakukan pembangunan Micro Library yang terletak di alun-alun Kabupaten Bojonegoro. Micro Library berpotensi memberikan manfaat bagi masyarakat dalam hal penyediaan fasilitas pendukung pendidikan dengan nilai rekreatif Bangunan fisik tersebut telah selesai dan belum diresmikan. Sayangnya, setelah pergantian kepala daerah, perpustaakan tersebut dibongkar dengan alasan agar fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Alun-alun dan fungsi Micro Library lebih optimal. Keberhasilan mengembangkan Agrowisata Belimbing di Desa Ngringinrejo merupakan contoh sukses kewirausahaan Kang Nyoto lainnya, hasil ketrampilan membangun komunikasi dan partisipasi publik dalam memanfaatkan musibah banjir menjadi berkah. Di bawah kepemimpinan kang Nyoto, tingkat kemiskinan di Kabupaten Bojonegoro berhasil menurunkan hampir 8% tingkat kemiskinan. Dari kota bandung, semangat kewirausahaan memberikan perhatian besarnya pada sektor industri kreatif. Ridwal Kamil melihat positioning strategis industri kreatif yang meliputi kuliner, fashion dan kerajinan sebagai sektor unggulan Kota Bandung. Di tangan RK, Pemerintah Kota Bandung terus berusaha mendorong dan menciptakan iklim usaha yang baik pada sektor ekonomi kreatif, hal itu terlihat dengan banyaknya wirausahawan baru bermunculan, serta investor memberikan kepercayaan yang tinggi terhadap Kota Bandung. Berdasarkan data tahun 2018, dari target investasi sebesar 4,7 Trilyun, realisasi investasinya sebesar 12,5 Trilyun atau lebih dari 200 persen. Kebanyakan investasi adalah pada sektor perdagangan dan jasa. Di tangan kreatif Ridwwan Kamil, Kota Bandung, angka kemiskinan di 4 (empat) tahun kepemimpinannya mengalami penurunan sebesar 1,21%. Mewakili wilayah tengah, Kewirausahaan Bupati Hasto terbangun dari konsep ideologis yang diwujudkan melalui praktik ekonomi kerakyatan melalui tiga pilar, yaitu BUMD, Koperasi, dan Swasta. Salah satu praktik ekonomi kerakyatan diwujudkan dalam komoditas air minum. Selama ini pangsa pasar air minum kemasan dikuasai oleh perusahaan besar yang kepemilikannya dikuasai asing. Dari kondisi tersebut, lahir visi besar untuk bersaing dengan perusahaan air minum yang sudah ada dengan mendorong PDAM memproduksi air minum sendiri dengan nama Air Kulon Progo (Airku) yang telah lolos sertifikasi SNI:01-3553-2006 dan standard mutu ISO 9001:2008. Jargon “Bela-Beli Kulon Progo dibangun untuk mendapatkan kepercayaan publik atas potensi Kabupaten Kulon Progo dalam memenuhi kebutuhan dasar sandang dan pangan. Alfamart diakuisisi oleh Koperasi dengan model kerjasama kemitraan dengan pola perdagangan umum dan mengubah brand Alfamart menjadi Toko Milik Rakyat (Tomira). Hingga akhir periode pertama masa jabatan Hasto Wardoyo, angka kemiskinan di Kulon Progo terus menurun. Hingga saat ini di tahun 2018 angka kemiskinan mencapai sekitar 18%. Terdapat gerakan “Pro Beras”, dari nota kesepakatan yang dibuat dimaksudkan agar terlaksananya program Raskin di Kabupaten Kulon Progo dilakukan menggunakan beras yang diproduksi oleh petani di Kabupaten Kulon Progo. Kesimpulan Model kepemimpinan kewirausahaan daerah pada intinya dibangun dari prinsip dan karakter. Tiga prinsip dan karakter yang dimaksud adalah prinsip kognitif (karakter kepemimpinan strategis (visi dan tujuan jangka panjang), fokus pada peluang); prinsip tanggung jawab dan keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan (karakter kemampuan memecahkan masalah, kemampuan negosiasi yang baik); serta prinsip kesadaran diri dan sosial (karakter kepercayaan diri, bersedia mengambil resiko). Berdasarkan analisis model kepemimpinan kewirausahaan daerah di lokus penelitian diketahui bahwa seluruh prinsip dan karakter kepemimpinan kewirausahaan berdasarkan model yang sudah dibangun sebelumnya secara umum sudah dimiliki oleh pemimpin di daerah. Adapun prinsip kepemimpinan kewirausahaan daerah yang paling dominan berdasarkan temuan lapangan adalah prinsip kedua, yaitu tanggung jawab dan keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan. Temuan ini menunjukkan bahwa kepala daerah dengan kepemimpinan kewirausahaan yang sukses lebih mengedepankan penyelesaian permasalahan daerah dan memberikan dampak kesejahteraan yang berarti bagi masyarakat. Prinsip selanjutnya yang cukup dominan adalah ketangkasan kognitif yang memperlihatkan upaya menyatukan gerak langkah dan dukungan organisasi internal dalam mewujudkan dan mendukung visi, tujuan, dan sasaran strategis yang dicanangkan. Selanjutnya, jika ditinjau dari karakternya, terdapat empat karakter dominan yang dimiliki oleh seluruh pemimpin daerah dilokus penelitian. Karakter tersebut adalah kemampuan memecahkan masalah serta kreatif dan inovatif pada prinsip tanggung jawab dan keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan, karakter kreatif dan inovatif pada prinsip ketangkasan kognitif, serta prinsip kreatif dan inovatif pada prinsip kesadaran diri dan sosial. Secara umum terlihat bahwa karakter kreatif dan inovatif, yang merupakan ciri umum dari seorang wirausaha, merupakan karakter khas yang wajib ada pada seorang pemimpin daerah agar mampu memecahkan persoalan ketimpangan/kemiskinan/pengangguran daerah. Kemampuan berpikir kreatif dan inovatif mendorong pelaksanaan tugas pemerintahan, pelaksanaan program/ kegiatan, kerjasama dan kolaborasi dapat berjalan lebih cepat, efektif, dan efisien serta memberikan dampak nilai tambah bagi perekonomian daerah dan masyarakat. Karakter kreatif dan inovatif seluruh kepala daerah pada daerah yang menjadi lokus penelitian terbukti telah mampu menciptakan ide maupun gagasan baru yang memiliki nilai tambah dan dapat merealisasikannya secara nyata. Ide maupuan gagasan tersebut dituangkan kedalam program dan kegiatan daerah yang terbukti memberi dampak positif terhadap penyelesaian isu ketimpangan/kemiskinan/pengangguran. Selain melihat karakter kepemimpinan kewirausahaan daerah berdasar model yang sudah dibuat, penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi dua karakter kepemimpinan kewirausahaan lainnya yang muncul di daerah. Pertama adalah karakter mengakomodasi aspirasi yang masuk kedalam prinsip kemimpinan kewirausahaan yang ketiga (kesadaran diri dan sosial), serta karakter visioner ideologis yang dikategorikan ke dalam prinsip yang pertama (ketangkasan koginitif). Adapun faktor pengungkit keberhasilan pemimpin daerah dalam mengatasi isu ketimpangan/pengangguran/kemiskinan ada dua. Pertama adalah kepercayaan (trust) mitra strategis pemerintah daerah, seperti masyarakat, swasta, perguruan tinggi, LSM, pers, pemerintah pusat dan bahkan pemerintah luar negeri yang menghasilkan dukungan baik dalam bentuk moral, pikiran, tenaga maupun anggaran. Kedua adalah dukungan birokrasi, dalam bentuk komitmen dan profesionalitas. Saran Berdasarkan hasil temuan dilapangan maka dirumuskan beberapa saran yang bisa menjadi perhatian bagi pemerintah daerah serta pemerintah pusat. Pertama, pemimpin daerah di seluruh Indonesia dapat mengadopsi model kepemimpinan kewirausahaan yang sudah disusun sebagai pendekatan yang digunakan dalam menyelesaikan isu ketimpangan/kemiskinan/pengangguran. Namun demikian, adopsi model kepimimpinan kewirausahaan tersebut kiranya dapat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik masing-masing daerah. Kedua, model yang ditawarkan dalam penelitian ini dapat dijadikan bahan pengayaan bagi pelatihan kepemimpinan nasional, sebagai alternatif praktek kepemimpinan dalam percepatan penanggulangan isu ketimpangan/kemiskina/pengangguran. Ketiga, perlu dilakukan penajaman konsep model kepemimpinan kewirausahaan daerah, agar terjadi pengembangan model kepemimpinan yang responsive terhadap dinamika kepemimpinan serta isu yang berkembang di daerah. Daftar Pustaka Afifah, T., Nuryetty, M. T., Cahyorini, Musadad, D. A., Schlotheuber, A., Bergen, N., & Johnston, R. (2018). Subnational Regional Inequality in Access to Improved Drinking Water and Sanitation in Indonesia: Results From the 2015 Indonesian National Socioeconomic Survey (SUSENAS). Global Health Action, 11(1), 1–10. https://doi.org/10.1080/16549716.2018.1496972 Al Mamun, A., Ibrahim, M. D., Yusoff, M. N. H. Bin, & Fazal, S. A. (2018). Entrepreneurial Leadership, Performance, and Sustainability of Micro-Enterprises in Malaysia. Journal Sustainability, 10(5), 1–23. https://doi.org/10.3390/su10051591 Andrews, R., Boyne, G., O’ Toole, L., Meier, K., & Walker, R. (2012). Managing Migration? EU Enlargement, Local Government Capacity and Performance in England. Public Administration, 91(1), 174–194. https://doi.org/10.1111/j.1467-9299.2012.02043.x Currie, G., Humphreys, M., Ucbasaran, D., & Mcmanus, S. (2008). Entrepreneurial Leadership in the English Public Sector: Paradox or Possibility? Public Administration, 86(4), 987–1008. https://doi.org/10.1111/j.1467-9299.2008.00736.x Doriza, S., Purwanto, D. A., & Maulida, E. (2017). Fiscal Decentralization and Disparity of Access to Primary Education in Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Masalah Ekonomi Dan Pembangunan, 14(2), 223–233. https://doi.org/10.23917/jep.v14i2.144 Esmer, Y., & Dayi, F. (2017). Entrepreneurial Leadership: A Theoretical Framework. Journal of Mehmet Aif Ersoy University Economics and Administrative Sciences Faculty, 4(2), 112–124. https://doi.org/10.30798/makuiibf.332570 Fernald, L., Solomon, Jr., G. T., & Tarabishy, A. (2005). A New paradigm: Entrepreneurial Leadership. Southern Business Review, 30(2), 1–26. https://doi.org/10.1.1.598.9535 Garnida, D. (2012). Peran Kepemimpinan Kepala Daerah Berbasis Kewirausahaan Dalam Penerapan Sistem Ketahanan nasional di Tujuh Provinsi di Indonesia. Retrieved from http://www.albayan.ae Greenberg, D., McKone-Sweet, K., & Wilson, H. J. (2011). The New Entrepreneurial Leader: developing Leaders who Shape Social and Economic Opportunity. In Berrett-Koehler Publishers, Inc (Vol. 1). San Fransisco: Berrett-Koehler Publishers. Gupta, V., MacMillan, I. C., & Surie, G. (2004). Entrepreneurial Leadership: Developing and Measuring a Cross-Cultural Construct. Journal of Business Venturing, 19(2), 241–260. https://doi.org/10.1016/S0883-9026(03)00040-5 Fahruddin. (2017). Nurdin Abdullah: Act Locally, Think Globally. Noura Books:Jakarta Fernald, L., Solomon, Jr., G. T., & Tarabishy, A. (2005). A New paradigm: Entrepreneurial Leadership. Southern Business Review, 30(2), 1–26. https://doi.org/10.1.1.598.9535 He, L. (2014). The Perceived Personal Characteristics of Entrepreneurial Leaders. Edith Cowan University. INDEF. 2018. Press Releasi Diskusi Publik: Ketimpangan di Era Otonomi, https://indef.or.id/source/news/Press%20Release%20%20Diskusi%20Publik%20%20Ketimpangan%20di%20Era%20Otonomi.pdf diunduh tanggal 30 Maret 2018 Pratama, R. A. (2017). Patronase dan Klientalisme Pada Pilkada Serentak Kota Kendari tahun 2017. Jurnal Wacana Publik, 2(1), 33–45. Muhammad, F. (n.d.). Entrepreneurial Leadership Untuk Membangun Daya Saing Bangsa. Retrieved from http://www.definit.asia/PDF/Entrepreneurial Leaderhip untuk Membangun Daya Saing Bangsa .pdf Osborn, David dan Gaebler, Ted. (2005). Mewirausahakan Birokrasi. Mentransformasi Semangat Wirausaha Kedalam Sektor Publik. Penerjemah : Abdul Rosyid; Seri Manajemen Strategi No. 4. Jakarta: Penerbit PPM Ospina, SM (2017), Collective Leadership and context in public administration : Bridging public leadership research and leadership studies. Public Administration Review, 77(2), 257 – 287 Rahmi, P. A. (2015). Kepemimpinan Kepala Daerah ( Studi Kasus Walikota Surabaya , Tri Rismaharini dalam Perspektif Emotional Intelligence ). 3(2), 112–121. Retrieved from http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmp2163504191full.pdf Renko, M., El Tarabishy, A., Carsrud, A. L., & Brännback, M. (2013). Understanding and Measuring Entrepreneurial Leadership Style. Journal of Small Business Management, 53(1), 54–74. https://doi.org/10.1111/jsbm.12086 Rini, A. S., & Sugiharti, L. (2016). Faktor-Faktor Penentu Kemiskinan Di Indonesia: Analisis Rumah Tangga. Jurnal Ilmu Ekonomi Terapan, 1(2), 17–33. https://doi.org/10.20473/jiet.v1i2.3252 Suparmi, Kusumawardani, N., Nambiar, D., Trihono, & Hosseinpoor, A. R. (2018). Subnational Regional Inequality in the Public Health Development Index in Indonesia. Global Health Action, 11, 41–53. https://doi.org/10.1080/16549716.2018.1500133 Surie, G., & Ashley, A. (2008). Integrating Pragmatism and Ethics in Entrepreneurial Leadership for Sustainable Value Creation. Journal of Business Ethics, 81(1), 235–246. https://doi.org/10.1007/s10551-007-9491-4 Walter Kälin. (1999). Decentralization - Why and How? Swiss Agency for Development And Cooperation Publication on Development, 46–69. Retrieved from http://www.deza.admin.ch Zerbinati, S., & Souitaris, V. (2005). Entrepreneurship in the Public Sector: A Framework of Analysis in European Local Governments. Entrepreneurship and Regional Development, 17(1), 43–64. https://doi.org/10.1080/0898562042000310723