Academia.eduAcademia.edu

Bio-def ini sib hukum

2008, Walau, habis terang

ARKIBA

NAMA: ARKIBA NIM : 160574201079 MATA KULIAH: HUKUM PERDATA INTERNASIONAL NOMOR ABSEN : 9 KASUS OGDEN Vs. OGDEN (1908) Philip, pria warga negara Perancis, berdomisili di Perancis, dan berusia 19 tahun. Philip menikah dengan Sarah (wanita) yang berkewarganegaraan Inggris. Pernikahan Philip dan Sarah dilangsungkan dan diresmikan di Inggris tahun 1898. Philip menikah dengan Sarah tanpa izin orang tua Philip. Izin ini diwajibkan oleh hukum Perancis (Pasal 148 Code Civil). Tahun 1901, Philip pulang ke Perancis dan mengajukan permohonan di pengadilan Perancis untuk pembatalan perkawinan dengan Sarah dengan alasan bahwa perkawinan itu dilangsungkan tanpa izin orang tua. Permohonan dikabulkan oleh pengadilan Perancis dan Philip kemudian menikah dnegan seorang wanita Prancis di Perancis. Sarah kemudian menggugat Philip di Inggris karena dianggap melakuan perzinahan dan meninggalkan istrinya terlantar. Gugatan ditolak karena alasan yurisdiksi. Tahun 1904, Sarah yang sudah merasa tidak terikat dalam perkawinan dengan Philip, kemudian menikah kembali dengan Ogden (WN Inggris), dan dilangsungkan di Inggris. Tahun 1906, Ogden menganggap bahwa Sarah masih terikat dengan perkawinan dengan Philip karena berdasarkan hukum Inggris perkawinan Philip dan Sarah belum dianggap batal karena keputusan pengadilan Prancis tidak diakui di Inggris. Ogden kemudian mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dengan Sarah, dengan dasar hukum bahwa istrinya telah berpoligami. Permohonan diajukan di pengadilan Inggris. Proses Penyelesaian Sengketa: Untuk menerima atau menolak permohonan Ogden, hakim harus menentukan terlebih dahulu apakah perkawinan Philip dan Sarah sah atau tidak. Pokok permasalahan dalam perkawinan Philip dan Sarah berkisar pada persoalan izin orang tua sebagai persyaratan perkawinan, terutama dalam menetapkan apakah Philip memang memiliki kemampuan hukum untuk menikah. Kaidah HPI Inggris : 1. Persyaratan essensial untuk sahnya perkawinan, termasuk tentang kemampuan hukum serorang pria untuk menikah (legal capacity to marry) harus diatur oleh lex domicili (dalam hal ini menunjukkan ke arah hukum Perancis). 2. Persyaratan formal untuk sahnya perkawinan harus tunduk pada hukum dari tempat peresmian perkawinan (Lex Loci Celebrationis), dalam hal ini menunjuk ke arah hukum Inggris. Kualifikasi : Prancis mengkualifikasikan izin orang tua sebagai persyaratan essensial berdasarkan Pasal 148 Code Civil. Inggris mengkualifikasikan izin orang tua sebagai persyaratan formal. Kaidah Intern Inggris : Tidak terpenuhinya persyaratan essensial akan menyebabkan pembatalan perkawinan. Tidak terpenuhinya persyaratan formal tidak menyebabkan pembatalan perkawinan. Kesimpulan : Hakim Inggris mengkualifikasikan perkara berdasarkan Lex Fori. Berdasarkan hukum Inggris, izin orang tua dianggap sebagai persyaratan formil. HPI Inggris menunjuk hukum Inggris sebagai Lex Cause. Menurut hukum Inggris, perkawinan Philip dan Sarah tetap dianggap sah. Konsekuensinya, perkawinan Sarah dan Ogden dianggap tidak sah karena salah satu pihak masih terikat dengan perkawinan dengan suami pertamanya. Permohonan Ogden dikabulkan. 3. Teori HPI Modern (Universal) Pada abad ke sembilan belas, pemikiran HPI mengalami kemajuan berkat adanya usaha dari tiga orang pakar hukum, yaitu Joseph Story, Friedrich Carl von Savigny, dan Pasquae Stanislao Manchini37. Untuk membahas teori-teori yang berkembang pada abad ke - 19 ada baiknya kita uraikan pendapat yang berkembang pada masa itu terutama teori-teori yang dikembangkan oleh Von Savigny (dengan istilah teori universal) serta pendapat dari Manchini sebagai perbandingan. Pekerjaan besar Savigny dalam mengembangkan teori ini sebenarnya didahului oleh pemikiran ahli hukum Jerman lain yaitu C. G. von Wachter. Von Wachter mengkritik teori Statuta (Italia) yang dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia menolak adanya sifat ekstrateritorial dari suatu aturan (seperti statuta personalia), karena adanya aturan seperti itu akan menyebabkan timbulnya kewajiban hukum di negara lain/asing. Wachter berasumsi bahwa hukum intern forum hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus hukum lokal saja. Karena itu, dalam perkara-perkara HPI, forumlah yang harus menyediakan kaidah-kaidah HPI (choice of law rules) atau yang menentukan hukum apa yang harus berlaku. Sikap ini dianggap terlalu melebih-lebihkan fungsi forum (dan lex fori) dalam menyelesaikan perkara HPI. Menurutnya harus dipahami bahwa perkara-perkara HPI, sebagai suatu hubungan hukum, mulai ada sejak perkara itu diajukan di suatu forum tertentu. Karena itu forum pengadilan itulah yang harus dianggap sebagai tempat kedudukan hukum (legal seat) perkara yang bersangkutan. Selanjutnya, titik tolak pandangan Von Savigny adalah bahwa suatu hubungan hukum yang sama harus memberi penyelesaian yang sama pula, baik bila diputuskan oleh hakim di negara A maupun hakim di negara B. Maka, penyelesaian soal-soal yang menyangkut unsur-unsur asingpun hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga putusannya juga akan sama dimana-mana. Satunya pergaulan internasional akan menimbulkan satu sistem hukum supra nasional, yaitu hukum perdata internasional. Oleh karena titik tolak berpikir Von Savigny adalah bahwa HPI itu bersifat hukum supra nasional, oleh karenanya bersifat universal, maka ada yang menyebut pemikiran Von Savigny ini dengan istilah teori HPI Universal. Menurut Savigny, pengakuan terhadap hukum asing bukan semata-mata berdasarkan asas comitas, akan tetapi berpokok pangkal pada kebaikan atau kemanfaatan fungsi yang dipenuhinya bagi semua pihak (negara atau manusia) yang bersangkutan39 Asas hukum yang bersifat universal menurut Savigny itulah yang berkembang menjadi asas HPI (choice of law rules) yang menurut pendekatan tradisional menjadi titik taut sekunder / penentu yang harus digunakan dalam menentukan Lex Causae. Menggunakan sebuah asas (yang ditentukan dengan bantuan titik pertautan) untuk menyelesaikan pelbagai perkara HPI sejenis itulah yang kemudian menjadi pola dasar penyelesaian perkara HPI di dalam sistem Eropa Kontinental. Teori lain yang dikembangkan di Eropa (Kontinental maupun di Inggris sebelum Konvensi Roma 1980) berdasarkan pendekatan Von Savigny meninggalkan pola penggunaan “satu titik taut dominan untuk perkara sejenis”, dan memanfaatkan titik-titik taut untuk menentukan legal seat dari suatu peristiwa/hubungan hukum. Tetapi dalam perkembangannya asas hukum yang terlihat lebih dominan pada penentuan hukum yang seharusnya berlaku terhadap sebuah perjanjian / kontrak (the proper law of contract) dan terpusatnya titik-titik taut pada suatu tempat tertentu akan menunjukkan bahwa tempat tersebutlah yang menjadi centre of gravity (pusat gaya berat) dari suatu hubungan hukum (kontraktual). Pendapat selanjutnya yang dapat kita bahas adalah pendapat dari Pasquae Stanislao Manchini. Manchini berpendapat bahwa hukum personil seseorang ditentukan oleh nasionalitasnya. Pendapat Manchini menjadi dasar mazhab Italia yang berkembang kemudian. Menurut mazhab Italia ini ada dua macam kaidah dalam setiap sistem hukum, yaitu : a. Kaidah hukum yang menyangkut kepentingan perseorangan; b. Kaidah-kaidah hukum untuk melindungi dan menjaga ketertiban umum (public order). Berdasarkan pembagian kaidah hukum tersebut Manchini mengemukakan tiga asas HPI, yaitu : a. Kaidah-kaidah untuk kepentingan perseorangan berlaku bagi setiap warganegara dimanapun dan kapanpun juga (prinsip personil); b. Kaidah-kaidah untuk menjaga ketertiban umum bersifat teritorial dan berlaku bagi setiap orang yang ada dalam wilayah kekuasaan suatu negara (prinsip teritorial); c. Asas kebebasan, yang menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan boleh memilih hukum manakah yang akan berlaku terhadap transaksi diantara mereka (pilihan hukum). Cita-cita Manchini adalah mencapai unifikasi HPI melalui persetujuan-persetujuan internasional, sedangkan Von Savigny ingin mencapainya dalam wujud suatu HPI yang bersifat supra nasional. Namun dalam kenyataannya hingga kini belum dapat diberlakukan asas-asas HPI yang seragam dan berlaku umum. Setiap hubungan hukum selama ini harus diselesaikan menurut caranya sendiri, dan inipun bergantung pada kebiasaan, undang-undang, putusan-putusan pengadilan (yurisprudensi) di dalam masing-masing masyarakat hukum. Walaupun demikian dapat disaksikan makin bertambah banyaknya perjanjian internasional yang berusaha menyeragamkan kaidah-kaidah HPI, seperti perjanjian / Konvensi Den Haag salah satunya tahun 1965 yang mengatur tentang penyampaian dokumen-dokumen judisial dan luar pengadilan bagi perkara-perkara perdata dan dagang, kemudian tahun 1968 yang mengatur tentang masalah pengambilan pembuktian di luar negeri dalam perkara-perkara perdata dan dagang. Ada pula Convention on the Choice of Court yang mengatur prinsip kebebasan para pihak untuk memilih forum pengadilan seperti konvensi Den Haag tahun 2005. Kemudian Convention on the Jurisdiction of the Selected Forum in International Sales of Good (1958) yang mengatur persoalan pilihan pengadilan yang telah dipilih oleh para pihak yang berkenaan dengan jual beli internasional. Serta perkembangan organ / lembaga di bidang perdagangan internasional seperti International Chamber of Commerce (ICC) dan CISG (the United Nations Conference on Contracts for the International Sale of Goods) 1980. DAFTAR PUSTAKA 37Ridwan Khairandy, op cit, h. 22. 38Bayu Seto I, op cit, h. 34-35. 39Ridwan Khairandy, op cit, h. 23. 40Bayu Seto I, op cit, h. 36-37.