Academia.eduAcademia.edu

Agama makalah

2019, kerta bulat

MAKALAH HAKIKAT ISLAM Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah : Agama Islam 1 Dosen Pengampu : Siti Masyruhah, Dr,. MA Oleh : Ibnu Zakaria 21901081177 Vinna Nisa’i Susanti Ningrum 21901081160 Siti Suweibatul Aslamiyah 21901081176 KELAS M-05 JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2019 KATA PENGANTAR Alhamdulillah hirobbil ‘aalamiin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam atas segala karunia nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Makalah yang berjudul “ Hakikat Islam” disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Agama Islam 1. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Malang, 03 Oktober 2019 Ibnu Zakaria Daftar Isi HALAMAN JUDUL I KATA PENGANTAR II DAFTAR ISI III BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penulisan Manfaat Penulisan BAB II PEMBAHASAN Pengertian islam Ruang lingkup ajaran islam Sumber-sumber ajaran islam Misi utama ajaran islam Karakteristik islam BAB III PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Makna hakikat Islam yang sebenarnya menurut bahasa dan istilah sebetulnya sama. Hanya saja, klasifikasi itu perlu agar mudah dipahami. Menurut bahasa, Islam berasal dari kata “salm” yang artinya adalah damai. Dari kata “aslama”, Islam berarti menyerah. Dari kata “saliim”, Islam artinya suci dan bersih. Dari kata salam, Islam memiliki arti selamat, damai, sejahtera. Menurut istilah, Islam adalah ketundukan hamba kepada Allah sebagai Tuhan seluruh alam semesta, meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw adalah utusan-Nya dan Al Quran adalah kitab suci dari Allah untuk membimbing umat manusia menuju kebahagiaan sejati dunia dan akhirat. Islam adalah agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw sebagai Rasulullah (utusan Allah) untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Islam dari Allah terdapat dalam Alquran, sedangkan ajaran Islam dari perkataan, perilaku dan perbuatan Nabi Muhammad disebut sunnah/hadits. Arti Islam yang sesungguhnya secara keseluruhan, Islam mengandung arti berserah diri kepada Allah, patuh kepada Allah, dan taat kepada Allah. Islam juga berarti tenteram, tenang, jujur, dan damai. Kata Islam juga bermakna kedamaian, keselamatan, keamanan, dan penyelamatan. Dari istilah ini, siapa saja yang tidak menjaga kedamaian dan keamanan di lingkungan sekitarnya berarti bukan “Islam”, karena Islam sendiri berarti damai, sejahtera, dan aman. Makna Islam ada dua. Pertama, berserah diri, tawakal, tunduk, dan taat kepada Allah sebagai Tuhan bagi seluruh alam semesta. Kedua, makna Islam adalah damai. Sebagai umat Muslim, kita harus menjaga kedamaian di bumi, baik damai kepada sesama manusia maupun damai kepada makhluk lainnya seperti tumbuhan, hewan, bebatuan, air, dan semuanya. Sebagai pemeluk agama Islam, kita harus bisa memaknai Islam yang sesungguhnya bahwa Islam itu bisa menjaga kedamaian, keselamatan, kesejahteraan, dan keamanan. Sebagai umat Muslim, kita harus berupaya selalu menciptakan kedamaian di sekitar kita. Rumusan Masalah Apa pengertian hakikat islam? Bagaimana konsep hakikat islam menurut bahasa dan istilah? Apa saja ruang lingkup ajaran islam? Apa tujuan hakikat islam? Apa saja hakikat islam itu? Apa saja karakteristik hakikat islam? Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan dalam masalah ini adalah sebagai berikut: Untuk mengetahui pengertian hakikat islam. Untuk mengetahui konsep hakikat islam menurut bahasa dan istilah. Untuk mengetahui ruang lingkup ajaran islam. Untuk mengetahui tujuan hakikat islam. Untuk mengetahui tujuan islam. Untuk mengetahui karakteristik hakikat islam. Manfaat Penulisan Memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang hakikat islam. Menjadikan hakikat islam mempunyai tujuan yang bermanfaat bagi manusia. Mengetahui ruang lingkup ajaran islam yang benar Mengetahui karakteristik hakikat islam Memperoleh tujuan islam yang sesuai kaidah BAB II PEMBAHASAN Pengertian islam Al-Islam secara etimologi berarti (tunduk). Kata in merupkan 9878 dari kata 6789 yang berarti6789 (terbebas dari wabah atau celah baik secara lahir maupun secara batin) Kata “Islam” berasal dari : salimah yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslamah yang artiny menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Sebagaimana firman Allah SWT 78960 Artinya : “Bahkan, barangsiapa aslama ( menyerahkan diri ) kepada allah, sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala disisi tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati.” Dari kata aslama itulah terbentuk kata islam. Pemeluknya disebut muslim. Orang yang memeluk islam berarti menyerahkan diri kepada allah dan siap patuh pada ajaran-Nya. Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga akhir zaman. Islam (Arab: al-islm, "berserah diri kepada Tuhan") adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Dalam Alquran, Islam disebut juga Agama Allah atau Dienullah. Allah SWT berfirman, "Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri (aslama) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran : 83). Dien (agama) sendiri dalam Alquran artinya agama (QS Ali Imran : 83), ketaatan (QS An-Nahl : 52), dan ibadah (QS. Ghafir :  65). Berikut ini ulasan tentang makna, arti, defisi, atau pengertian Islam menurut bahasa, istilah, dan Alquran. Pengertian Islam secara Harfiyah Pengertian Islam secara harfiyah artinya damai, selamat, tunduk, dan bersih. Kata Islam terbentuk dari tiga huruf, yaitu S (sin), L (lam), M (mim) yang bermakna dasar “selamat” (Salama). Dari pengertian Islam secara bahasa ini, dapat disimpulkan Islam adalah agama yang membawa keselamatan hidup di dunia dan di akhirat (alam kehidupan setelah kematian). Islam juga agama yang mengajarkan umatnya atau pemeluknya (kaum Muslim/umat Islam) untuk menebarkan keselamatan dan kedamaian, antara lain tercermin dalam bacaan shalat --sebagai ibadah utama-- yakni ucapan doa keselamatan "Assalamu'alaikum warohmatullah" --semoga keselamatan dan kasih sayang Allah dilimpahkan kepadamu-- sebagai penutup salat. Pengertian Islam Menurut Bahasa Pengertian Islam menurut bahasa, kata Islam berasal dari kata aslama yang berakar dari kata salama. Kata Islam merupakan bentuk mashdar (infinitif) dari kata aslama ini. Ditinjau dari segi bahasanya, yang dikaitkan dengan asal katanya (etimologis), Islam memiliki beberapa pengertian, sebagai berikut: 1. Islam berasal dari kata ‘salm’. As-Salmu berarti damai atau kedamaian. Firman Allah SWT dalam Alquran, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian (lis salm), maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.  Al Anfal : 61). Kata ‘salm’ dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Ini merupakan salah satu makna dan ciri dari Islam, yaitu bahwa Islam merupakan agama yang mengajarkan umatnya untuk cinta damai atau senantiasa memperjuangkan perdamaian, bukan peperangan atau konflik dan kekacauan. "Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”   (QS. Al Hujarat : 9). Sebagai salah satu bukti Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi perdamaian adalah Allah SWT melalui Alquran baru mengizinkan atau memperbolehkan kaum Muslimin berperang jika mereka diperangi oleh para musuh-musuhnya. “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. Al-Hajj : 39). 2. Islam Berasal dari kata ‘aslama’ Aslama artinya berserah diri atau pasrah, yakni berserah diri kepada aturan Allah SWT. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemeluk Islam merupakan seseorang yang secara ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah SWT. Penyerahan diri seperti ini ditandai dengan pelaksanaan terhadap apa yang Allah perintahkan serta menjauhi segala larangan-Nya. “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya (aslama wajhahu) kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (QS. An-Nisa : 125) Sebagai seorang muslim, sesungguhnya kita diminta Allah untuk menyerahkan seluruh jiwa dan raga kita hanya kepada-Nya. “Katakanlah: “Sesungguhnya salatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An'am : 162) Karena sesungguhnya jika kita renungkan, bahwa seluruh makhluk Allah baik yang ada di bumi maupun di langit, mereka semua memasrahkan dirinya kepada Allah SWT, dengan mengikuti sunnatullah-Nya. “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran : 83) 3. Islam Berasal dari kata istaslama–mustaslimun Istaslama–mustaslimun artinya penyerahan total kepada Allah SWT. Firman Allah SWT dalam Alquran: “Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.” (QS As-Saffat : 26) Makna ini sebenarnya sebagai penguat makna di atas (poin kedua). Seorang Muslim atau pemeluk agama Islam diperintahkan untuk secara total menyerahkan seluruh jiwa dan raga serta harta atau apa pun yang dimiliki hanya kepada Allah SWT. "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah : 208). Di dalam al-qur’an, kata bermakna islam yang terambil dari akar kata s-l-m disebut sebanyak 73 kali, baik dalam bentuk fi’il kata sifat/pelaku pembuatan dengan perincian sebagai berikut: Bentuk Fi’il Fi’il madhi ( sebanyak 14 kali ) Aslam: 5 kali: QS. Al-Baqarah 112, Al-imran 83, al-Nisa 125, al-an’am 14, al-jin 14 Aslamaa: 1 kali pada QS. Al-Shaffat 103 Aslamu: 3 kali QS. Ali Imran 20. al-Ma’idah 44, al-Hujurat 17 Aslamtum: 1 kali padaQS. Ali Imran 20 Aslamtu: 3 kali pada QS al-Baqarah 121, ali Imran 20 dan alNaml 44 Fi’il Mudhari’: sebanyak 5 kali Yuslim pada QS Luqman 22 Yuslimun pada QS. Al-Fath 16 Tuslimun pada QS. Al-nahl 81 Uslima pada QS. Ghafir 66 Muslima pada QS. Al-An’am 71 Fi’il Amar sebanyak 3 kali Aslim pada QS al-Baqarah 131 Aslimu: QS al-Hajj 34 dan al- Zumar 54 Bentuk Mashdar sebanyak 9 kali Kata dasar aslama sebanyak 8 kali Al-Islam 6 kali QS. Ali Imran 18,85; al-Maidah 3; alAn’am 125; al-Zumar 22; al-Shaf 7 Islamakum pada QS. Al-Hujurat 17 Islamihim pada QS. Al-Taubah 74 Kata dasar salima: al-Silm QS. Al-Baqarah 12 Bentuk fa’il/kata sifat sebanyak 24 kali Mufrad sebanyak 3 kali Musliman 2 kali QS. Ali Imran 67; Yusuf 101 Muslimatun QS al-Baqarah 128 Mutsnana 1 kali pada QS. Al-Baqarah 128 Jamak sebanyak 38 kali Muslimun 15 kali pada QS al-Baqarah 132, 133, 136; Ali Imran 52, 64, 80, 84,102; al-Ma’idah 111; al-Naml 81; al-‘Ankabut 46, al-Rum 53, al-Jin 14 Ruang lingkup ajaran islam Islam sebagai agama dan objek kajian akademik memiliki cakupan dan ruang lingkup yang luas. Secara garis besar, Islam memiliki sejumlah ruang lingkup yang saling terkait, yaitu lingkup keyakinan (aqidah), lingkup norma (syariat), muamalat, dan perilaku (akhlak/ behavior). Nabi Muhammad SAW menjelaskan tentang agama/ keberagamaan dalam satu kalimat yang singkat, namun padat dan syarat makna, yaitu (ةلماعملا نيدلا) ad-Din alMua‟malah atau agama adalah interaksi. Interaksi yang dimaksud di sini adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan lingkungan baik hidup maupun tidak, serta dengan diri sendiri. tentu saja banyak rincian yang disampaikan oleh Rasul SAW. baik melalui wahyu al-Qur‟an maupun as-Sunnah. Salah satu yang diangkat oleh ulama, sebagai gambaran dan konsep dasar ajaran Islam, adalah sebuah hadits yang menceritakan kehadiran seseorang yang tak dikenal di hadapan Nabi Muhammad SAW. sambil bertanya di depan sekelompok kaum muslim tentang iman, Islam, dan ihsan.Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadist Nabi berikut ini: Dari Umar radhiallahuanhu, ia berkata: pada suatu hari kami berada di sisi Rasulullah SAW. Tiba-tiba muncul di hadapan kami seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan warna rambutnya hitam pekat, tidak tampak pada dirinya bekas berpergian jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalinya hingga kemudian dia duduk di dekat Nabi SAW. Sambil menyandarkan kedua lututnya kepada kedua lutut beliau, dia juga meletakkan tangannya diatas kedua pahanya, dia berkata, wahai Muhammad, beritahu kepadaku tentang Islam? Rasulullah SAW. Bersabda: Islam adalah hendaknya kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, hendaklah kamu mendirikan shalat, membayar zakat, mengerjakan puasa ramadhan, dan menunaikan ibadah haji jika mampu mengadakan perjalanan. Lelaki itu pun berkata ”kamu benar.” Umar berkata: tentu saja kami merasa heran kepada orang itu, sebab dia yang bertanya dan dia sendiri yang membenarkannya. Lelaki itu kembali berkata: beritahukanlah kepadaku tentang Iman? Lalu Rasulullah bersabda: hendaklah kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, beriman kepada hari akhir, dan juga kepada takdir-Nya yang baik dan yang buruk. Lelaki itu berkata, “kamu benar.” Lelaki itu berkata lagi: beritahukan kepada diriku tentang Ihsan? Rasulullah SAW. bersabda: hendaknya kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka hendaklah kamu merasa dilihat-Nya. Pembahasan berikut ini memberikan elaborasi seputar tiga ruang lingkup pembahasan tentang Islam. Aqidah (Iman) Iman yang disebut dalam hadits Nabi SAW. di atas kemudian oleh para ulama dinamakan aqidah. Secara bahasa, kata aqidah mengandung beberapa arti, diantaranya adalah: ikatan, janji.Sedangkan secara terminologi, aqidah adalah kepercayaan yang dianut oleh orang-orang yang beragama atau tali yang mengokohkan hubungan manusia dengan Tuhan. Menurut W. Montgomery Watt, seorang pakar study Arab dan keislaman mengatakan aqidah sebagai salah satu istilah dalam Islam mengalami perkembangan dalam penggunaannya. Pada permulaan Islam, aqidah belum digunakan untuk menyebut pokok kepercayaan umat Islam yang bersumber dari syahadat, kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Istilah aqidah baru disebut-sebut dalam diskusi para mutakallimun, ulama ilmu kalam, yang membicarakan secara luas kepercayaankepercayaan yang terkandung dalam prinsip syahadatain, dua kesaksian, tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah, yang kemudian bermuara pada munculnya beberapa aliran (firqah) dalam Islam. Puncak perkembangannya, istilah aqidah digunakan untuk menunjuk keyakinan dalam Islam yang komprehensif sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Aqidah al-Nizhamiyyah karya al-Juwayni (w. 478 H/ 1085 M).Ikatan dalam pengertian ini merujuk pada makna dasar bahwa manusia sejak azali telah terikat dengan satu perjanjian yang kuat untuk menerima dan mengakui adanya Sang Pencipta yang mengatur dan menguasai dirinya, yaitu Allah SWT. Dalam nada yang bersifat dialogis, al-Qur‟an menggambarkan adanya ikatan serah- terima pengakuan antara Allah dan manusia,seperti di dalam firman-Nya: “ Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".(QS.al-A‟raf [7]:172). Inti aqidah adalah tauhid kepada Allah. Tauhid berarti satu (esa) yang merupakan dasar kepercayaan yang menjiwai manusia dan seluruh aktivitasnya yang dilakukan manusia semata-mata kepada Allah, terbebas dari segala bentuk perbuatan syirik (menyekutukan Allah SWT). Aqidah sebagai sebuah objek kajian akademik meliputi beberapa agenda pembahasan, yaitu pembahasan yang berhubungan dengan beberapa aspek seperti aspek Ilahiyah (ketuhanan), nubuwah, dan ruhaniyah arkanul iman (rukun iman). Pertama, pembahasan yang berkaitan dengan aspek ilahiyah meliputi segala yang berkaitan dengan Tuhan, seperti wujud Allah, sifat-sifat Allah, perbuatan-perbuatan, dan namanama-Nya. Kedua, pembahasan tentang kenabian (nubuwah) yang berkaitan dengan Nabi dan Rasul, kitab-kitab Allah yang diturunkan melalui Nabi dan Rasul Allah serta kemukjizatanya. Ketiga, aspek ruhaniyah membicarakan tentang segala sesuatu yang bersifat transcendental atau metafisik seperti ruh, malaikat, jin, iblis, dan setan. Selain tiga aspek tersebut, aspek keempat yang menjadi lingkup kajian dalam aqidah adalah sam‟iyah yang membahas tentang sesuatu yang dalil-dalil naqli berupa al-Qur‟an dan Sunnah, alam barzakh, akhirat, azab, dan kubur. Sistem kepercayaan Islam atau aqidah dibangun di atas enam dasar keimanan yang lazim disebut rukun Iman yang meliputi keimanan kepada Allah, para malaikat, kitab- kitab, para rasul, hari kiamat, serta qadha dan qadar-Nya. Orang yang beriman kepada Allah adalah orang yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk mewujudkan harapan atau kemauan yang dituntut Allah SWT kepadanya. Syari‟at (Islam) Sementara itu, yang dimaksud dengan istilah Islam dalam hadits Nabi SAW. di atas adalah syari‟ah. Istilah syariah menurut bahasa berarti jalan, yakni jalan besar di sebuah kota. Syari‟ah juga berarti apa yang diturunkan Allah kepada para Rasul-Nya meliputi aqidah dan hukum-hukum Islam.Syari‟ah juga mempunyai arti sumber mata air yang dimaksudkan untuk minum. Makna ini yang dipergunakan Bangsa Arab saat mengatakan: (syara‟a al-ibl) yang berarti unta itu minum dari mata air yang mengalir tidak terputus. Syari‟ah dalam arti luas adalah din, agama yang diturunkan Allah kepada para Nabi (Q.S. al-Syura [42]:13.Sedangkan dalam pengertian terminologinya versi kalangan hukum Islam (fuqaha), kata syariat dipergunakan dalam pengertian sebagai hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi hamba-Nya. Dengan pengertian ini, syariat berarti mencakup seluruh syariat samawi yang diturunkan bagi manusia lewat para Nabi yang hadir ditengah-tengah mereka. Penggunaan pengertian umum ini kemudian dispesifikkan para ulama dengan embel-embel syari‟at Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. sebab syari‟at Islam adalah penutup seluruh syari‟at samawi. Ia juga merupakan intisari syari‟at -syari‟at sebelumnya yang telah disempurnakan bentuk dan isinya sehingga merupakan syari‟at yang paripurna bagi manusia di setiap zaman dan tempat. Atas dasar tersebut, syari‟at didefinisikan sebagai kumpulan hukum yang ditetapkan Allah SWT bagi seluruh umat manusia kepada Nabi Muhammad SAW. melalui titah ilahi dan sunnah. Istilah syari‟ah mempunyai arti luas, tidak hanya berarti fiqih dan hukum, tetapi mencakup pula aqidah dan akhlak. Dengan demikian, syari‟ah mengandung arti bertauhid kepada Allah, menaati-Nya, beriman kepada para rasul-Nya, semua kitab-Nya dan hari pembalasan. Pendeknya, syari‟ah mencakup segala sesuatu yang membawa seseorang menjadi berserah diri kepada Tuhan. Akan tetapi, di kemudian hari, pengertian syari‟ah malah dipahami secara terbatas dalam arti fiqih dan hukum Islam. Hal ini berawal ketika soal hukum mendominasi perbincangan pasca Rasulullah, sehingga berkembang opini secara umum bahwa syari‟at Islam adalah hukum Islam itu saja. Maka terjadilah penyempitan makna syari‟ah menjadi hanya persoalan hukum. Konsekuensinya, pembahasan di bidang lain terpaksa harus diberi terminologi baru, di luar istilah syari‟ah. Misalnya soal aqidah (teologi) harus diberi istilah ushuluddin, sementara akhlak (penyucian jiwa), yang merupakan hikmah terbesar dari semua ibadah dinamai ilmu tasawuf.Hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa syariah benar-benar telah diberi arti sempit sebatas hukum, di luar aqidah, bahkan sudah menjadi istilah yang identik dengan hukum fiqih atau hukum Islam semata. Apabila dikaji lebih mendalam tentang persamaan antara fiqih dan syari‟at dalam konteks ajaran yang diturunkan Allah untuk mengatur kehidupan manusia di dunia, keduanya mempunyai sumber yang sama, yakni al-Qur‟an dan as-Sunnah. Perbedaannya, syari‟at sifatnya tekstual, hanya apa yang tertuang dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah tanpa ada campur tangan dari manusia, sedangkan fiqih sifatnya lebih fungsional karena teks-teks syari‟at ditafsirkan dan dipahami secara mendalam sehingga memudahkan manusia untuk mengamalkannya. Fiqih menciptakan rukun dan syarat, dan batalnya suatu perbuatan kesyariatan manusia. Fazlur Rahman menyebut fiqih sebagai petunjuk praktis pengalaman syari‟at atau konsep fungsional bagi keberadaan syari‟at. Di kalangan ushuliyyin (ahli ushul fiqih), fiqih diartikan sebagai hukum praktis hasil ijtihad, sementara kalangan fuqaha (ahli fiqih) pada umumnya mengartikan fiqih sebagai kumpulan hukum-hukum Islam yang mencakup semua hukum syar‟i, baik yang tertuang secara tekstual maupun hasil penalaran atas teks itu sendiri. Aspek-aspek kesyariatan yang dipahami melalui pendekatan fiqhiyah adalah semua aturan yang berawal dari teks illahiyah yang mengandung perintah, larangan maupun sematamata sebagai petunjuk. Ada dua unsur pokok yang mengandung perintah, larangan, dan petunjuk, yakni: (1) tidak menerima perubahan atau tidak boleh diubah dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, yang disebut dengan tsawabit, misalnya masalah aqidah dan ibadah mahdah; (2) menerima perubahan (mutaghayyirah), baik disebabkan oleh tempat, situasi-kondisi, maupun niat. Padahal, keseluruhan ajaran Islam yang terdapat di dalam al-Qur‟an dan yang dicontohkan dalam sunnah Nabi semuanya disebut syari‟ah, mencakup aqidah dan akhlak. Dengan demikian, kedua aspek tersebut, yakni aqidah dan syari‟ah (dalam arti hukum), tidak dapat dipisahkan sama sekali, baik dalam bentuk pengamalan, maupun dalam bentuk pemikiran yang berkembang mengenai dua aspek tersebut. Akhlak (Ihsan) Ihsan dalam arti khusus sering disamakan dengan akhlak, yaitu tingkah laku dan budi pekerti yang baik menurut Islam. Akhlak berasal dari kata khalaqa (menjadikan, membuat). Dari kata dasar itu dijumpai kata khuluqun (bentuk jamak), yang artinya perangai, tabiat, adat atau sistem perilaku yang dibuat. Adapun yang dimaksud dengan ihsan dalam hadits Nabi SAW. di atas adalah seperti terlihat pada penggalan hadist yang berarti: Lalu malaikat Jibril bertanya, “Apakah ihsan itu? Rasulullah menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, meskipun engkau tidak sanggup melihat-Nya, karena Dia senantiasa melihat kamu. Ada tiga bentuk cara ibadah: Melaksanakan ibadah dengan menyempurnakan syarat dan rukun atas dasar ikhlas karena Allah semata Melaksanakan ibadah dengan perasaan bahwasanya Allah melihat. Inilah yang dinamakan maqam muraqabah. Maka sabda Nabi SAW: كاري هنإف هارت نكت لم نإو “Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau.”Hadits di atas memberi pengertian bahwa kalau kita belum dapat mencapai maqam musyahadah, hendaknya kita usahakan supaya kita dapat mencapai maqam muraqabah. Melaksanakan ibadah dengan cara tersebut dengan rasa terbenam dalam laut mukasyafah. Bagi orang yang memperoleh derajat ini, beribadah seakan-akan melihat Allah sendiri. Inilah maqam Nabi SAW.Sabda Nabi ini mendorong kita untuk mencapai keikhlasan dalam beribadah dan dalam bermuqarabah pada setiap ibadah, serta menyempurnakan khusyuk, khudhu‟ dan hadir dalam hati. Dengan demikian, ihsan menurut Rasulullah SAW. adalah beribadah kepada Allah. Ibadah ini tidak formalitas, tetapi terpadu dengan perasaan bahwa dirinya sedang berhadapan langsung dengan Allah. Sementara itu, ihsan menurut bahasa berarti kebaikan yang memiliki dua sasaran. Pertama , ia memberikan berbagai kenikmatan atau manfaat kepada orang lain. Kedua, ia memperbaiki tingkah laku berdasarkan apa yang diketahuinya yang manfaatnya kembali kepada diri sendiri. Al-Qur‟an menekankan agar manusia tidak hanya berbuat ihsan kepada Allah, tetapi juga berbuat ihsan kepada seluruh makhluk Allah, yakni manusia dan alam, termasuk hewan dan tumbuhan. Ihsan kepada Allah merupakan modal yang sangat berharga untuk berbuat ihsan kepada sesama. Al-Quran memberi penghargaan yang tinggi terhadap perbuatan ihsan yang dilakukan manusia terhadap sesama dan lingkungan hidupnya seperti tersirat pada ayat -ayat al-Qur‟an berikut ini: (1) tidak ada balasan bagi perbuatan ihsan kecuali ihsan yang lebih sempurna. (QS. ar-Rahman [55]:60); (2) perbuatan ihsan itu kembali kepada dirinya sendiri (QS. al-Isra [17]:7); (3) perbuatan ihsan itu tidak akan pernah sia-sia (QS. Hud [11]: 115); (4) kasih sayang Allah diberikan dengan mudah dan cepat kepada orang-orang yang terbiasa berbuat ihsan (QS. al-A‟raf [7]: 56. Allah mewajibkan ihsan dalam segala perbuatan, baik yang batin maupun yang lahir (jawarih) yang dihadapkan kepada Allah. Maksudnya, lingkup ihsan meliputi ikhlas, kebaikan dan kesempurnaan pekerjaan itu. Memang Nabi menjelaskan pula bahwa ihsan adalah jiwa iman dan Islam; dan iman dan Islam itu diterima Allah jika berdasarkan ikhlas. Dengan kata lain modal ihsan ialah ikhlas. Sebab, semua amal yang batiniyah, ataupun yang lahiriyah, baru diterima jika dilandasi oleh ikhlas, dan ihsan memang unsur yang paling pokok untuk bangunan ad-din. Adapun cara untuk mewujudkan ikhlas ialah dengan menumbuhkan perasaan di kala sedang beribadah bahwa kita sedang berdiri berhadap hadapan dengan Allah, seakan melihat-Nya, dan dapat mendengar ucapan-Nya. Dengan demikian, kita akan berupaya sekuat diri untuk khusyuk dan membaguskan semua pekerjaan dengan mengarahkan semua kecakapan dan kepandaian yang dimiliki. Adapun jika jalan seperti ini tidak dapat dicapai, maka sekurang-kurangnya kita menumbuhkan perasaan bahwa Allah melihat semua gerak-gerik dan af‟al kita. Tidak ada satupun yang luput dari penglihatan-Nya. Dengan demikian, pengamalan agama itu tidak hanya berdimensi syari‟ah, tapi juga berdimensi ihsan yang bertujuan untuk membimbing umat Islam menjadi pribadi yang mulia, merasakan kedekatan dengan Allah, sekaligus bertujuan untuk membangun solidaritas sosial diantara sesama umat manusia. Trilogi ajaran Islam (Aqidah, Syari‟at dan Akhlak) secara umum dipandang sebagai pokok ajaran Islam. Aqidah mengajarkan keimanan dan keyakinan yang akan dijadikan sebagai landasan pandangan hidup, syari‟at (hukum Islam) mengajarkan pola hidup beraturan dalam suatu tatanan hukum komprehensif, dan akhlak menyandarkan muslim atas segala tindakan bermoral yang dilakukannya. Iman/ kepercayaan adalah “pembenaran hati” yang mengikat manusia dan mengarahkannya sesuai dengan hakikat dari objek iman. Karena sifatnya yang mengikat itu, maka ia dinamai juga sebagai „aqidah (ikatan). Ia bersemai di dalam hati, tidak tampak dalam kenyataan. Islam adalah pengamalan yang merupakan dampak/ buah dari iman, yang memang harus tampak dalam kenyataan. Ia dinamai juga syari‟ah, yang secara harfiah berarti sumber air yang memberikan kehidupan, sedangkan ihsan (kebajikan) menghasilkan budi pekerti yang menciptakan hubungan harmonis, Ia adalah akhlak. Dengan demikian, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. adalah Aqidah, Syari‟ah, dan Akhlak, atau Iman, Islam, dan Ihsan.Maka kaitan Iman, Islam, dan Ihsan ialah ibarat ruh dengan tubuh. Jika Iman ditamsilkan sebagai watak (ghara-iz)dan Islam sebagai tubuh (jawarih), maka Ihsan ialah ruh yang mendinamiskan ghara-iz dan menggerakkan jawarih. Sumber-sumber ajaran islam Al-Qur‟an dan as-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam, yang mana keduanya merupakan wahyu Allah SWT. sehingga di antara keduanya sama sekali tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Setiap orang Islam harus mencintai dan berpegang teguh pada keduanya, dengan demikian dia akan selamat, baik di dunia maupun di akhirat. Seperti sabda Rasul SAW. sebagai berikut: “Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian, jika kalian berpegang pada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (al-Qur‟an) dan sunnah Rasul-Nya.” Dapat diketahui dari kutipan di atas bahwa sumber ajaran Islam ada dua, yaitu al-Qur‟an, al-Sunnah (keduanya sebagai sumber primer). Adapun al-Ra‟yu yang merupakan ijtihad atau pemikiran manusia berfungsi sebagai sumber sekunder. Penjelasan terhadap al-Qur‟an, al-Sunnah dan al-Ra‟yu (ijtihad) sebagai sumber ajaran Islam lebih lanjut akan dikemukakan sebagai berikut: Al-Qur‟an Umat Islam sepakat bahwa al-Qur‟an adalah wahyu Ilahi yang menjadi sumber utama ajaran Islam. Ketika alQur‟an diturunkan kepada Bangsa Arab, sebagian dari mereka mempercayainya, sementara yang lain ada yang tidak percaya bahwa al-Qur‟an merupakan wahyu Tuhan. Al-Qur‟anul Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah ia merupakan kitab yang keontetikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara, seperti dalam firman-Nya: إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.(QS.15: 9). Fungsi diturunkannya al-Qur‟an adalah sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu. Selain itu, ia juga sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. Semua muslim meyakini alQur‟an sebagai sumber asal ajaran Islam, syari‟at terakhir yang memberi petunjuk arah perjalan hidup manusia. Berdasarkan keyakinan tersebut, umat Islam berlomba-lomba mempelajari, memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Mereka tidak hanya berharap selamat menjalani hidup di dunia, tetapi juga meraih kebahagiaan sejati di akhirat. Meski demikian, keyakinan saja ternyata tidak cukup. Al-Qur‟an sebagai kitab petunjuk tidaklah pro-aktif memberi petunjuk layaknya manusia. Manusialah yang bertanggung jawab membuat al-Qur‟an aktif berbicara sehingga ia berfungsi sebagai petunjuk. Al-Qur‟an diturunkan secara berangsur-angsur dalam masa 22 tahun 2 bulan dan 22 hari.Fakta ini tentu mengandung hikmah yakni: 1) meneguhkan hati Nabi dalam menghadapi kaum musyrik, 2) menguatkan hati Nabi yang lembut, sementara ayat-ayat al-Qur‟an tergolong berat, maka tidak pantas jika diturunkan sekaligus, 3) agar penetapan hukum-hukum syari‟at juga berlangsung secara berangsurangsur, 4) memudahkan bagi Nabi dan para sahabat untuk menghafal ayat-ayat, 5) agar turunnya ayat sesuai dengan konteks sosialnya, dan 6) bimbingan pada sumber al-Qur‟an itu sendiri, yakni Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji. Adalah hikmah Ilahi bahwa wahyu diturunkan sejalan dengan keperluan yang di butuhkan oleh Rasul SAW. dan untuk memberitahu beliau mengenai soal-soal baru yang terjadi setiap hari. Melalui wahyu, Allah memberi tuntunan serta petunjuk dan memantapkan ketabahan serta menambah ketenangan beliau. Kecuali itu, wahyu diturunkan juga sejalan dengan keperluan yang di butuhkan untuk mendidik para sahabat Nabi, memperbaiki adat kebiasaan dan menjawab berbagai kejadian yang mereka tanyakan. As-Sunnah Sudah kita ketahui bahwa hadits mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam. Ia menepati posisi kedua setelah al-Qur‟an. Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran pertama memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum (global), yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Di sinilah, hadits menduduki dan menepati fungsinya sebagai sumber ajaran kedua. Di kalangan ulama, al-Qur‟an disebut wahyu matl‟u, yaitu wahyu yang dibacakan oleh Allah SWT dengan lafadz dan maknanya dengan menggunakan Bahasa Arab kepada Rasul-Nya, dan Hadis di sebut wahyu gairu matl‟u atau wahyu yang tidak langsung dibacakan Allah SWT kepada Rasul-Nya. Hadits adalah perincian ketentuan agar al-Qur‟an itu dapat dioperasionalkan, lebih-lebih pada ketentuan hukum yang bersifat amali dan perinciannya tidak tercantum dalam alQur‟an, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Misalnya, pelaksanaan sholat hanya diperintahkan secara global. Oleh karena itu, tata cara dan upacara sholat secara terperinci hanya dapat diketahui melalui hadits. Disamping itu, hadits merupakan penegasan al-Qur‟an. Artinya, hadits berfungsi menegaskan ketentuan-ketentuan yang sudah diterangkan dalam al-Qur‟an. Ketentuan hukum-hukum yang tercantum dalam al-Qur‟an tidak selamanya hanya diterangkan dalam al-Qur‟an tanpa ada penegasan dari hadits. Aspek lain ialah hadits menerangkan ketentuan hukum yang tidak tercantum dalam al-Qur‟an. Artinya, hadits menentukan hukum secara mandiri yang tidak diisyaratkan oleh al-Qur‟an. Dalam hal ini, hadits merupakan tambahan hukum selain yang ada dalam al-Qur‟an. Umpamanya, Imam Bukhari meriwayatkan haramnya puasa bagi orang yang haid. Keterangan ini hanya ada dalam hadits, tidak ada dalam alQur‟an. Hukum yang ditentukan oleh hadits secara mandiri sangat banyak. Mengakui terhadap kebenaran al-Qur‟an sebagai kitabullah, akan tetapi tidak mengikuti sunnah Rasulullah SAW., maka pengakuan terhadap al-Qur‟an tadi tidak berarti apa-apa. Karena dengan menaati sunnah Rasul SAW. Berarti menaati Allah SWT. seperti dalam firma-Nya: مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ “ Barangsiapa yang taat kepada Rasul, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (QS. 4: 80) Dan firman-Nya lagi: وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. 59: 7) Bagi setiap orang yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta kepada kitabullah, tidak ada alternatif lain baginya kecuali menaati segala petunjuk alQur‟an dan Sunnah Rasul SAW. Dalam setiap aspek kehidupannya. Ijtihad Al-Qur‟an dan al-Sunnah sebagaimana disebutkan sebelumnya merupakan sumber utama (primer) ajaran Islam. Adapun pemikiran (ijtihad) merupakan sumber sekunder yang dapat digunakan ketika dalil yang dibutuhkan untuk menetapkan suatu hukum tidak terdapat di dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah tersebut, yaitu ketetapan hukum yang bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, seperti masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan ilmu Seperti dalam kasus pengangkatan Muadz ibn Jabal sebagai hakim di Yaman yang diawali dengan dialog dengan Nabi tentang cara memutuskan hukum adalah tonggak awal dasar pemakaian ijtihad di bidang hukum, sebagaimana tertulis di dalam hadis berikut: “Bahwa tatkala Rasulullah akan mengutus Mu‟adz ke Yaman, Rasul bersabda: Bagaimana engkau memutuskan hukum jika dihadapkan padamu suatu perkara? Mu‟adz berkata: Akan aku putuskan berdasarkan Kitab Allah (alQur‟an). Rasul bersabda: Jika kamu tidak menemukan di dalamnya? Mu‟adz berkata: Akan aku putusakan berdasarkan sunnah Rasulallah. Rasul bersabda: jika kamu tidak menemukan di dalam keduanya (al-Qur‟an dan asSunnah)? Mu‟adz berkata: Aku akan berijtihad dengan pikiranku, tanpa mempersempit. Maka Rasulullah menepuk dada Mu‟adz sambil bersabda: segala puji bagiAllah yang memberi taufiq bagi utusan Rasul-Nya pada apa yang diridhahi Rasul-Nya.” Setelah peristiwa ini, ijtihad pun kemudian menjadi sumber hukum ketiga sesudah al-Qur‟an dan al-Sunnah. Di dalam Lisan al-„Arab kata al-ijtihad secara bahasa berasal dari kata al-jahd yang berarti al-Thaqah yang mempunyai arti upaya sungguh-sungguh. Bentuk kata (داهتجا) bersepadan dengan kata (لاعتفا) yang menunjukan arti keadaan Abudin Nata, Studi Islam komprehensif, (Jakarta:Prenada Media lebih (mubalaghah) atau maksimal dalam suatu tindakan atau perbuatan. Bentuk kata masdar-nya ada dua bentuk yang berbeda artinya: Jahdun (دهج) dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius. Contohnya firman Allah SWT: وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ “Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan.” (QS. al-An‟am (6): 109). Juhdun (دهج) dengan arti kesanggupan atau kemampuan yang di dalamnya terkandung arti sulit, berat, dan susah. Contohnya firman Allah SWT: وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ “Dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka.” (QS. At-Taubah (9): 79). Jadi, secara bahasa, ijtihad adalah berusaha atau berupaya dengan sungguh-sungguh. Perkataan ini tentu saja tidak akan dipergunakan di dalam sesuatu yang tidak mengandung kesulitan dan kebenaran. Sedangkan dalam pengertian terminologinya, dapat dikutipkan dari beberapa pendapat, antara lain: Menurut Al-Ghazali (w. 505 H), ijtihad adalah pengerahan kemampuan oleh mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syar‟a. Menurut alSyaukuni dalam kitabnya Irsyad al- Fukuhul, ijtihad adalah mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar‟i yang bersifat amali melalui cara istinbath. Menurut Ibnu Subkhi, ijtihad adalah pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar‟i. AlAmidi memberikan definisi ijtihad sebagai pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang hukum syara‟ dalam bentuk yang merasa dirinya tidak mampu berbuat seperti itu. Dari beberapa definisi di atas dapat diambil hakikat dari ijtihad sebagai berikut: Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang keilmuan disebut faqih Produk atau usaha yang diperoleh dari ijtihad itu adalah dugaan kuat tentang hukum syara‟ yang bersifat amaliah. Usaha ijtihad ditempuh dengan cara-cara istinbath. Setiap muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad pada semua hukum syari‟ah, asalkan ia mempunyai kriteria dan syarat sebagai seorang mujtahid. Para ulama membagi hukum melakukan ijtihad dengan tiga bagian, yaitu: Wajib „ain, yaitu bagi mereka yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi, dan ia khawatir peristiwa itu lenyap tanpa ada kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya. Wajib kifayah, yaitu bagi orang yang diminta fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan lenyap peristiwa itu, sedang selain dia masih terdapat mujtahidmujtahid lainya. Maka, apabila ke semua mujtahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad, maka mereka berdosa semua. Sunnah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalahmasalah yang belum atau tidak terjadi. Para ulama telah merumuskan persyaratan seorang mujtahid dengan rumusan dan redaksi yang berbeda-beda. Namun dalam pembahasan ini Sapiudin Shidiq akan mengemukakan syarat-syarat mujtahid yang dirumuskan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut: Mengetahui makna ayat ahkam yang terdapat dalam alQur‟an baik secara bahasa maupun secara istilah syara‟ Mengetahui hadits-hadits ahkam baik secara bahasa maupun istilah Mengetahui al-Qur‟an dan hadits yang telah dinasakh dan mengetahui ayat dan hadis yang menasakh. Tujuanya agar mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari nash (al-Qur‟an dan hadits) yang sudah tidak berlaku lagi Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh „ijma, sehingga ia tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan denganqiyas yang meliputi rukun, syarat, illat hukum, dan cara istinbatnya dari nash, maslahah manusia, dan sum ber syari‟at secara keseluruhan Mengusai Bahasa Arab tentang nahwu, sharaf, maani, bayan, dan uslub-nya karena al-Qur‟an dan hadits itu Bahasa Arab. Oleh karena itu, tidak mungkin dapat mengistimbatkan hukum yang berdasar dari keduanya tanpa menguasai bahasa keduanya. Mengetahui ilmu ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah tiang ijtihad berupa dalil-dalil secara terperinci yang menunjukkan hukum melalui cara-cara tertentu seperti amr, nahi, „am, dan khas. Tentang urgensi ushul fiqh dalam ijtihad, al-Razi menjelaskan dalam kitabnya al-Mahsu: “Ilmu yang paling penting untuk dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu ushul fiqh.” Mengetahui maqasid syari‟ah dalam penetapan hukum, karena pemahaman nash dan penerapannya dalam peristiwa bergantung kepada maqasid syari‟ah. Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau hadits Rasulullah yang sudah tidak diragukan lagi kepastian nya (qath‟i) datang dari Allah atau Rasul-Nya, seperti al-Qur‟an dan hadits mutawatir (hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin berbohong), bukan merupakan lapangan ijitihad. Wahbah az-Zuhaili menegaskan tidak dibenarkan berijtihad pada hukum-hukum yang sudah ada keterangannya secara tegas dan pasti dalam al-Qur‟an dan sunnah. Misalnya kewajiban melakukan shalat lima waktu, kewajiban berpuasa, zakat, haji, larangan berzina, membunuh, dan kadar pembagian harta warisan yang telah ditegaskan dalam al-Qur‟an dan sunnah.Adapun hal-hal yang menjadi lapangan ijtihad, seperti dikemukakan Satria Efendi mengutip dari Abdul Wahhab Khallaf, adalah terkait masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni) baik dari segi datangnya dari Rasulullah, atau dari segi pengertiannya, yang dapat dikategorikan kepada tiga macam: Hadist Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang atau beberapa orang yang tidak sampai ke tingkat hadits mutawatir. Hadist ahad dari segi kepastian datangnya dari Rasulullah hanya sampai kepada tingkat dugaan kuat (zhanni), dalam arti tidak tertutup kemungkinan adanya pemalsuan meskipun sedikit. Dalam hal ini, seorang mujtahid perlu melakukan ijtihad dengan cara meneliti kebenaran periwayatanya. Lafal-lafal atau redaksi al-Qur‟an atau hadist yang menunjukkan pengertiannya secara tidak tegas (zhanni),sehingga ada kemungkinan pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi itu. Ayat-ayat atau hadist yang tidak tegas pengertiannya ini menjadi lapangan ijtihad dalam upaya memahami maksudnya. Fungsi ijtihad di sini adalah untuk mengetahui makna sebenarnya yang dimaksud oleh suatu teks. Dan hal ini sering membawa kepada perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum. Masalah-masalah yang tidak ada teks ayat atau hadist dan tidak pula ada ijma‟ yang menjelaskan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan peranannya yang amat penting dalam rangka mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam al-Qur‟an dan sunnah. Fungsi ijtihad di sini adalah untuk meneliti dan menemukan hukumnya lewat tujuan hukum, seperti dengan qiyas, istihsan, maslahah mursalah, „uruf, dan sadd al- zariah. Di sini terbuka kemungkinan luas untuk berbeda pendapat.