MURNIATI /16.1.10.7.1.096
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah, Palu
E-mail :
[email protected]
HEPATITIS PADA IBU HAMIL
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Hepatitis berasal dari bahasa Yunani kuno “hepar”, dengan akar kata “hepat” yang berarti hati (liver), dan akhiran –itis yang berarti peradangan, sehingga dapat diartikan peradangan hati.1 Hepatitis adalah istilah umum yang berarti peradangan sel-sel hati, yang bisa disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri, parasit), obat-obatan (termasuk obat tradisional), konsumsi alkohol, lemak yang berlebih dan penyakit autoimmune. Hepatitis dapat disebabkan oleh berbagai macam virus seperti virus hepatitis A (HAV), hepatitis B (HBV), hepatitis C (HCV), hepatitis D (HDV) dan hepatitis E (HEV). 2,3 penyakit hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan endemisitas tinggi Hepatitis B terbesar kedua di negara South East Asian Region (SEAR) setelah Myanmar.
Virus Hepatitis B (VHB) telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia, sekitar 240 juta orang diantaranya menjadi pengidap Hepatitis B kronik. Sebanyak 1,5 juta penduduk meninggal dunia setiap tahunnya karena Hepatitis.4 Menurut Rinkesdas 2013, prevalensi hepatitis 1,2% dari penduduk di Indonesia, dimana 1-5% merupakan ibu hamil dengan virus hepatitis B.5 Penularan infeksi VHB dapat terjadi dengan 2 cara, yaitu penularan horizontal dan vertikal. Penularan horizontal VHB dapat terjadi melalui berbagai cara yaitu penularan perkutan, melalui selaput lendir atau mukosa.6 Di seluruh dunia, ada sekitar 350 juta orang mengidap virus hepatitis B (HBV) kronis dan sekitar satu juta kematian per tahun akibat hepatitis kronis, sirosis, dan karsinoma hepatoseluler (1-4). Virus ini ditularkan melalui kontak dengan darah yang terinfeksi dan cairan tubuh (4). Penularan ibu ke anak adalah rute transmisi utama dan memberi kontribusi bermakna terhadap infeksi HBV kronis (5,6). Angka penyebaran infeksi HBV semakin lama semakin meningkat, khususnya di Indonesia. Indonesia termasuk dalam salah satu negara dengan penderita hepatitis terbanyak, di antara 11 negara lainnya di Asia Tenggara. Data lapangan Kemenkes tahun 2007-2012 menunjukkan bahwa jumlah penderita infeksi HBV melebihi 31% dari jumlah penderita hepatitis secara keseluruhan. Sekitar 50% dari penderita hepatitis B dan C di Indonesia diperkirakan akan berkembang mengalami gangguan hati kronis dan 10% di antaranya berpotensi menjadi kanker hepatoseluler. Peningkatan penderita hepatitis dari tahun 2000 hingga 2012 mencapai angka hampir 80%. Pada akhir tahun 2013, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia mencatat sebanyak 9 dari 100 orang atau sekitar 25 juta penduduk Indonesia terinfeksi virus hepatitis.
Tingginya infeksi hepatitis B tersebut diduga karena rendahnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit hepatitis dan bahkan sebagian besar mungkin tidak memahami apa yang dimaksud dengan hepatitis (2,8). Pengidap infeksi HBV sering tidak mengetahui bahwa dirinya terinfeksi virus hepatitis karena infeksi HBV bisa tidak menimbulkan gejala hingga dalam jangka panjang yang disebabkan adanya fase imun toleran (HBsAg dan DNA HBV yang positif tanpa gejala dan tanda, serta alanine transferase dalam batas normal) dalam perkembangan infeksi HBV kronis. Kondisi ini menjadi dasar pentingnya upaya health promotion dan early detection dalam strategi pengelolan infeksi HBV. Deteksi dini infeksi HBV di Indonesia masih belum rutin dikerjakan karena pemeriksaan serologi hepatitis belum tersedia di fasilitas kesehatan tingkat primer, dan biayanya relatif mahal untuk masyarakat ekonomi bawah.
Selama ini belum pernah dilakukan penapisan infeksi HBV pada ibu hamil, baik secara nasional maupun regional, termasuk di Malang. Upaya penapisan di Indonesia sangat penting mengingat Indonesia merupakan negara dengan endemisitas tinggi hepatitis B, terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Myanmar. Data Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2013, dari studi dan uji saring darah donor PMI, diperkirakan di antara 100 orang di Indonesia, maka 10 di antaranya telah terinfeksi hepatitis B atau C. Dari data tersebut, saat ini diperkirakan terdapat 28 juta penduduk Indonesia yang terinfeksi hepatitis B dan C, 14 juta di antaranya berpotensi untuk menjadi kronis, dan dari yang kronis tersebut 1,4 juta orang berpotensi untuk menderita kanker hepatoseluler. Besarnya masalah tersebut tentu berdampak terhadap masalah kesehatan masyarakat, produktifitas, umur harapan hidup, dan dampak sosial ekonomi lainnya. Kehamilan adalah suatu fenomena fisiologis yang dimulai dengan pembuahan dan diakhiri dengan proses persalinan (Mansjoer, 2001). Selama masa kehamilan, ibu dan janin adalah unit fungsi yang tak terpisahkan. Selama kehamilan normal, saluran cerna dan organ-organ penunjangnya mengalami perubahan, baik secara anatomis maupun fungsional, yang dapat mengubah secara bermakna kriteria untuk diagnosis dan terapi untuk beberapa penyakit. Hepatitis bermasalah di Indonesia, pertama oleh karena carrier-nya tergolong banyak, Kedua, imunisasi Hepatitis pada bayi (Universal Immunization) di Indonesia baru dimulai beberapa tahun lampau (1996). Hal ketiga, belum semua orang berisiko tinggi kena Hepatitis patuh meminta vaksinasi. Dengan kondisi seperti itu, berarti masyarakat yang telanjur tertular Hepatitis sudah sekian banyak, dan kian tak terkontrol pula.
Masih banyak masyarakat kita yang belum tahu, bahwa hubungan seks bebas juga bisa menjadi sumber penularan Hepatitis. Sembarang melacur, lalu seorang suami tanpa disadarinya sebab mungkin tidak tahu, menularkan penyakitnya kepada istrinya, lalu kepada anak-anaknya lewat cemaran cairan tubuh antar-anggota keluarga, atau persalinan bayi. Penyakit ini biasanya jarang terjadi pada wanita hamil. Namun, apabila timbul ikterus (gejala kuning) pada kehamilan, maka penyebabnya yang paling sering adalah hepatitis virus.
Pada wanita hamil kemungkinan untuk terjangkit hepatitis virus adalah sama dengan wanita tidak hamil pada usia yang sama. Di negara sedang berkembang, wanita hamil lebih mudah terkena hepatitis virus. Hal ini erat hubungannya dengan keadaan nutrisi dan higiene sanitasi yang kurang baik. Hepatitis virus dapat timbul pada ketiga trimester kehamilan dengan angka kejadian yang sama. Menurut sebuah penelitian, 9.5 persen hepatitis virus terjadi pada trimester I, 32 persen terjadi pada trimester II, dan 58.5 persen terjadi pada trimester III.
Mother-to-child-transmission (MTCT) terjadi dari seorang ibu hamil yang menderita hepatitis B akut atau pengidap persisten HBV kepada bayi yang dikandungnya atau dilahirkannya. Penularan HBV vertikal dapat dibagi menjadi penularan HBV in-utero, penularan perinatal dan penularan post natal. Penularan HBV in-utero ini sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, karena salah satu fungsi dari plasenta adalah proteksi terhadap bakteri atau virus. Bayi dikatakan mengalami infeksi in-utero jika dalam 1 bulan postpartum sudah menunjukkan HbsAg positif. Penularan perinatal adalah penularan yang terjadi pada saat persalinan. Sebagian besar ibu dengan HbeAg positif akan menularkan infeksi HBV vertikal kepada bayi yang dilahirkannya sedangkan ibu yang anti-Hbe positif tidak akan menularkannya. Penularan post natal terjadi setelah bayi lahir misalnya melalui ASI yang diduga tercemar oleh HBV lewat luka kecil dalam mulut bayi. Pada kasus persalinan lama cenderung meningkatkan penularan vertikal (lebih dari 9 jam).
Hepatitis merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, yang berpengaruh terhadap angka kesakitan, angka kematian, status kesehatan masyarakat, angka harapan hidup, dan dampak sosial ekonomi lainnya. Besaran masalah Hepatitis di Indonesia dapat diketahui dari berbagai studi, kajian, maupun kegiatan pengamatan penyakit. Hepatitis adalah peradangan hati yang bisa berkembang menjadi fibrosis (jaringan parut), sirosis atau kanker hati. Hepatitis disebabkan oleh berbagai faktor seperti infeksi virus, zat beracun (misalnya alkohol, obat-obatan tertentu), dan penyakit autoimun. Penyebab paling umum Hepatitis adalah yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B dan C. Prevalensi Hepatitis di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 1,2% meningkat dua kali dibandingkan Riskesdas tahun 2007 yang sebesar 0,6%. Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan prevalensi Hepatitis tertinggi pada tahun 2013 yaitu sebesar 4,3%. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan (yang menggambarkan status ekonomi), kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah menempati prevalensi Hepatitis tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Prevalensi semakin meningkat pada penduduk berusia di atas 15 tahun. Jenis Hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk Indonesia adalah Hepatitis B (21,8%), Hepatitis A (19,3%) dan Hepatitis C (2,5%).
Dengan besaran masalah yang ada dan dampaknya bagi kesehatan masyarakat, maka perlu dilakukan upaya yang terencana, fokus, dan meluas agar epidemi virus Hepatitis ini dapat ditanggulangi. Untuk itu diperlukan payung hukum berupa Peraturan Menteri Kesehatan yang dapat dijadikan acuan bagi pelaksanaan kegiatan dalam melakukan p
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi prumusan masalah pada karya ilmia ini adalah, Hepatitis Pada Ibu Hamil.?
TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui upaya apa saja pada ibu hamil dalam penecegahan penularan Hepatitis B.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengidentifikasi upaya ibu hamil dalam upaya pencegahan penularan Hepatitis B terhadap anaknya.
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien ini didiagnosis dengan kehamilan dengan hepatitis B. Diagnosis kehamilan dengan hepatitis tidak berbeda dengan diagnosis hepatitis akut pada populasi umum. Diagnosis penyakit hepatitis ditegakkan berdasarkan gejala (keluhan), tanda (temuan klinis), kelainan fungsi hati yang mendukung (peningkatan kadar seromarker spesifik untuk setiap jenis virus penyebab. Pasien ini ditemukan gejala sklera ikterik dan
ikterik generalisata dimana menunjang temuan klinis kehamilan dengan hepatitis. Pada ibu hamil dengan ikterus, waspadai kemungkinan infeksi akut HBV dan adanya hepatitis fulminan (sangat ikterik, nyeri perut kanan atas, kesadaran menurun dan hasil periksaan urine (warna seperti teh pekat, urobilin dan bilirubin positif, sedangkan pemeriksaan darah selain urobilin dan bilirubin positip SGOT dan SGPT sangat tinggi (biasanya diatas 1000).
Pada tatalaksana tidak ada yang membedakan prinsip terhadap hepatitis akut pada kehamilan dengan tanpa kehamilan. Istirahat yang cukup dan terapi simtomatik tetap menjadi dasarnya. Terminasi kehamilan hanya dilakukan atas indikasi obstetrik. Aspek yang perlu ditimbangkan ialah tatalaksana terkait dengan kemungkinan terjadinya transmisi vertikal virus penyebabnya, karena hal ini dapat berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas anak di hari kehamilan. Menurut American College of Gastroenterology (ACG) danAmerican Association for the Study of Liver Disease (AASLD) sangat merekomendasikan inisiasiantivirus pada pasien dengan viremia yang tinggi pada 28-32 mingguke hamilan untuk mengurangi MTCT.
Tenofovir dan telbivudin tetap menjadi terapi lini pertama.9, Selain itu, dapat juga diberikan lamivudin kepada ibu sebelum melahirkan (100 mg/hari dalam trisemester ketiga). Sebuah percobaan prospektif baru-baru ini melihattingkat penularan perinatal pada ibu dengan viremik yang tinggi diberikan telbivudin 600 mg/hari yang dimulai pada 20-32 minggu kehamilan, dibandingkan denganyang tidak diberikan perawatan. Hasilnya terdapat penurunan yang signifikan yang berarti bahwa viral load dari kelompok yang mendapatkan pengobatan sebelum melahirkan, tidak ada transmisi janin yang terdeteksi, sehingga menunjukkan suatu keberhasilan yang sama untuk telbivudin dalam pencegahan MTCT. Persalinan pada ibu hamil dengan titer HBV tinggi (3,5 pg /mL) atau HBeAg positif lebih baik SC pada persalinan yang lebih dari 14 jam. Pada infeksi akut persalinan pervaginam usahakan dengan trauma sekecil mungkin dan rawat bersama dengan Ahli Penyakit Dalam. Pada pasien ini dilakukan tindakan SC, alasannya karena berdasarkan penelitian Panet al. bahwa tindakan SC dapat mencegah penularan MCTC. Tindakan SC lebih efektif dilakukansebelum ketuban pecah. Pan et al. menganalisis data dari 1.409 bayi yang lahir melalui persalinan pervaginam, seksio sesaria elektif atau operasi caesar darurat untuk ibu dengan HBsAg positif. Infeksi HBV yang ditularkan pada bayi yang lahir dengan operasi caesar elektif memiliki persentase yang lebih kecil (1,4%), dibandingkan dengan persalinan pervaginam (3,4%) atau operasi caesar darurat (4,2%). Operasi caesar darurat tidak berpengaruh oleh penularan vertikal dibandingkan dengan persalinan pervaginam, sedangkan bayi yang lahir dengan operasi caesar elektif memiliki tingkat signifikan lebih rendah dari penularan vertikal dari mereka yang lahir dengan operasi caesar non-elektif. Infeksi akut virus hepatitis B pada ibu hamil tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas dan teratogensitas. Infeksi dapat dicegah dengan vaksinasi dan bagi yang diduga telah terpapar dianjurkan untuk juga diberikan imunoglobulin (HBIG).
Apabila ibu mengalami HbeAg positif (HBV DNA load tinggi) sebaiknya diberikan HBIG dan vaksin untuk bayi. Bagi bayi yang ibunya HbeAg positif berisiko tinggi menjadi infeksi HBV kronik. Vaksin Hepatitis B harus segera diberikan setelah bayi lahir, mengingat vaksinasi Hepatitis B merupakan upaya pencegahan yang efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya. Ada dua tipe vaksin Hepatitis B yang mengandung HbsAg, yaitu: 1) vaksin yang berasal dari plasma, dan (2) vaksin rekombinan. Kedua ini aman dan imunogenik walaupun diberikan pada saat lahir karena antibodi anti HbsAg tidak mengganggu respons terhadap vaksin. Menurut Pedoman Nasional di Indonesia dan WHO merekomendasikan sebaiknya HBIg dan vaksin Hepatitis B diberikan secara intra muskular dengan dosis 0,5 ml, selambatlambatnya 24 jam setelah persalinan untuk mendapatkan efektifitas yang lebih tinggi.
Bayi yang mengidap infeksi HBV sejak lahir, memiliki peluang untuk menderita HBV kronis dan kanker hepatoseluler lebih besar daripada yang mengidap virus pada usia yang lebih lanjut, sehingga sangat penting untuk memutus transmisi virus dari ibu ke janin yang dikandungnya (18). Mekanisme transmisi intrauterin HBV di antaranya: infeksi melalui plasenta, kebocoran transplasenta dan kerentanan genetik, HBV yang dapat berintegrasi ke dalam jaringan plasenta yang menyebabkan infeksi (11,12,18). Kasus penularan intrapartum diperkirakan muncul dari kemungkinan transfusi darah ibu ke janin selama kontraksi persalinan, sebagai konsekuensi dari pecahnya ketuban, kemungkinan lain adalah dari darah ibu atau cairan amnion/sekresi vagina yang terkontaminasi HBV baik yang ditelan oleh janin atau memasuki sirkulasi darah janin melalui pecahnya plasenta, atau melalui kontak langsung dari janin dengan sekret yang terinfeksi/darah dari saluran genital ibu (2,4,5). Darah yang terkontaminasi HBV 108IU/ml yang memasuki janin dapat mengakibatkan infeksi HBV pada janin (18). Bayi yang lahir dari ibu yang diidentifikasi memiliki HBV kron is selama skrining anten atal, d ib erikan imunoprofilaksis pasif-aktif dengan dosis awal vaksin HBV dan dosis imunoglobulin hepatitis B (HBIG) pada atau segera setelah lahir, sebaiknya di ruang bersalin, diikuti oleh 3 dosis vaksin HBV berikutnya pada tahun pertama kehidupan (2,6,18). Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk mencegah transmisi selama masa nifas dari ibu ke bayi, karena infeksi akut pada usia ini meyebabkan risiko tertinggi infeksi kronis karena toleransi imunologi sistem kekebalan tubuh bayi yang belum matang (18). Setelah menyelesaikan seri vaksin, pengujian untuk HBsAg dan anti-HBS harus dilakukan pada usia 9 sampai 18 bulan. Bayi dengan HBsAg negatif dan kadar anti-HBS lebih besar dari 10mIU/mL dianggap kebal dan tidak ada manajemen medis lebih lanjut yang dibutuhkan (2,4).
Mereka dengan kadar anti-HBS kurang dari 10mIU/mL tidak dianggap memiliki kekebalan tubuh dan harus divaksinasi dengan 3 dosis serial kedua diikuti oleh pengujian ulang 1 sampai 2 bulan setelah dosis terakhir (2,4). Dari 156 peserta skrining, didapatkan 1 peserta yang positif terdeteksi HBsAg. Meskipun angka prevalensi ini lebih rendah dari data dunia, namun tatalaksananya tetap penting mengingat infeksi HBV dapat menjadi kronis dan karsinoma hepatoselular. Untuk wanita hamil yang baru didiagnosis dengan HBV di awal kehamilan harus menjalani penilaian infeksi. Keputusan tentang memulai terapi harus mencakup pertimbangan risiko dan manfaat bagi ibu dan janin. Pertimbangan risiko-manfaat juga tergantung pada trimester kehamilan. Penentu utama dari kebutuhan terapi HBV bagi ibu adalah tahap penyakit hati (aktivitas hati dan fibrosis) (4,11). Pengobatan umumnya direkomendasikan jika ibu berada pada risiko penyakit hati yang serius (11). Kebanyakan wanita usia subur cenderung memiliki penyakit ringan, oleh karena itu pengobatan biasanya dapat ditunda sampai setelah melahirkan. Karena banyak dari perempuan ini berada dalam fase imun toleran terhadap infeksi (tinggi tingkat DNA HBV dengan alanine transaminase yang normal dan biopsi hati tidak aktif), terapi umumnya tidak diperlukan dan tidak ada indikasi untuk memulai terapi selama tahap awal kehamilan (6,11). Atas dasar bukti yang ada, salah satu dari lamivudine dan telbivudine dapat digunakan dengan aman pada kehamilan, terutama pada trimester ketiga (11).
Tidak mengherankan jika banyak ibu hamil yang sama sekali tidak sadar bahwa mereka telah terinfeksi virus hepatitis. Biasanya karena gejalanya yang hanya bisa dirasakan samar-samar, atau mungkin tidak muncul sama sekali. Dan tentunya, jika Anda terdiagnosis memiliki hepatitis saat hamil, salah satu kekhawatiran terbesar Anda adalah mengenai dampaknya pada kehamilan itu sendiri juga pada anak Anda dalam kandungan. Artikel ini akan mengupas tuntas semua pertanyaan Anda seputar hepatitis saat hamil.
Kenapa ibu hamil harus waspada terhadap hepatitis?
Hepatitis adalah peradangan hati serius yang bisa dengan mudah ditularkan ke orang lain. Penyakit ini diakibatkan oleh virus hepatitis. Ada beberapa jenis virus hepatitis, termasuk hepatitis A, hepatitis B, dan hepatitis C. Jika tidak tertangani dengan baik, hepatitis saat hamil bisa menyebabkan penyakit parah, kerusakan hati, bahkan kematian. Ibu juga bisa menyebarkan virus ke bayinya. Hepatitis B dan C adalah jenis hepatitis yang paling umum terjadi selama kehamilan. Hepatitis B adalah bentuk hepatitis yang paling sering ditularkan dari ibu ke bayi di seluruh dunia, dengan peningkatan risiko yang lebih besar jika Anda tinggal di negara berkembang.
Sekitar 90% wanita hamil dengan infeksi hepatitis B akut akan “mewarisi” virus tersebut ke bayi mereka. Sekitar 10-20% wanita dengan infeksi hepatitis B kronis akan menularkannya. Sekitar 4% ibu hamil yang terinfeksi virus hepatitis C akan menyebarkannya ke bayi mereka. Risiko penyebaran penyakit dari ibu ke anak juga terkait dengan seberapa banyak jumlah virus (viral load) dalam tubuh ibu dan apakah dia juga terinfeksi oleh HIV.
Bagaimana ibu bisa terkena hepatitis saat hamil?
Hepatitis B dan C menyebar melalui darah dan cairan tubuh yang terinfeksi — misal cairan vagina atau air mani. Itu berarti Anda bisa mendapatkannya dari hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang terinfeksi, atau ditusuk dengan jarum bekas pakai yang digunakan oleh seseorang yang terinfeksi — baik jarum suntik narkoba, jarum tato, maupun jarum suntik medis yang tidak steril. Akan tetapi risiko terkena hepatitis C melalui hubungan seks tergolong rendah jika Anda hanya memiliki satu pasangan untuk waktu yang lama. Hepatitis C paling sering terjadi pada orang yang lahir antara tahun 1945 dan 1965. Untuk alasan ini, semua orang di kelompok usia ini harus diuji untuk infeksi hepatitis C.
Apa gejala hepatitis saat hamil?
Gejala hepatitis termasuk mual dan muntah, selalu kecapekan, kehilangan nafsu makan, demam, sakit perut (terutama di sisi kanan atas, lokasi hati berada), sakit pada otot dan persendian, serta jaundice alias penyakit kuning — kulit dan bagian putih mata yang menguning. Masalahnya adalah, gejala bisa mungkin tidak muncul selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah infeksi, atau Anda mungkin tidak menunjukkan gejala sama sekali.
Apa dampak hepatitis saat hamil pada kesehatan ibu?
Infeksi hepatitis B bisa sembuh total dalam beberapa minggu tanpa pengobatan. Ibu hamil yang sudah terbebas dari virus hepatitis B akan menjadi kebal terhadapnya. Mereka tidak bisa terkena virus lagi. Tapi tidak seperti infeksi virus hepatitis B, kebanyakan orang dewasa yang terinfeksi virus hepatitis C (sekitar 75% sampai 85%) menjadi seorang carrier, alias “tuan rumah” dari virus. Kebanyakan carrier hepatitis mengembangkan penyakit hati jangka panjang. Segelintir lainnya akan mengembangkan sirosis hati dan masalah hati serius yang mengancam jiwa lainnya. Kehamilan itu sendiri tidak akan mempercepat proses penyakit atau memperburuknya, walaupun jika hati sudah terbebani dan terluka dengan sirosis, ini dapat meningkatkan risiko ibu hamil mengalami perlemakan hati.
Perlemakan hati selama kehamilan yang akut mungkin terkait kekurangan enzim yang biasanya diproduksi oleh hati yang memungkinkan wanita hamil untuk memetabolisme asam lemak. Kondisi ini dapat dengan cepat menjadi parah, dan juga bisa memengaruhi anak yang belum lahir (yang mungkin juga lahir dengan kekurangan enzim ini). Komplikasi lain yang dapat terjadi pada ibu dengan hepatitis saat hamil adalah batu empedu, yang sering menimbulkan penyakit kuning selama kehamilan. Ini terjadi pada 6% dari semua kehamilan, sebagian karena perubahan garam empedu selama kehamilan. Selain itu, kantung empedu mengosongkan diri lebih lambat selama kehamilan, yang berarti cairan empedu menggenang lebih lama di hati dan risiko batu empedu pun naik. Jika Anda menderita hepatitis B saat hamil, diperkirakan Anda mungkin lebih rentan mengalami ketuban pecah dini, diabetes gestasional, dan/atau mengalami perdarahan berat pada akhir kehamilan. Ada juga peningkatan risiko komplikasi persalinan seperti plasenta abrupsio dan kematian bayi saat lahir.
Apa pengaruh hepatitis saat hamil pada bayi — baik saat masih dalam kandungan maupun setelah lahir?
Bayi dalam kandungan pada umumnya tidak terpengaruh oleh virus hepatitis milik ibunya selama kehamilan. Namun, mungkin ada beberapa peningkatan risiko tertentu saat persalinan, seperti bayi lahir prematur, bayi lahir dengan berat rendah (BBLR), atau kelainan anatomi dan fungsi tubuh bayi (terutama pada infeksi hepatitis B kronis). Risiko lainnya adalah bayi Anda bisa terinfeksi saat lahir. Bayi mungkin terinfeksi hepatitis B saat lahir jika ibu positif memiliki virusnya. Biasanya, penyakit ini diteruskan ke anak yang terkena paparan darah dan cairan vagina ibu selama proses persalinan. Infeksi virus hepatitis B bisa sangat parah pada bayi.
Hal itu bisa mengancam nyawa mereka. Apabila anak terinfeksi virus hepatitis B semasa kecil, sebagian besar kasusnya akan berlanjut menjadi kronis. Hepatitis kronis inilah yang bisa berakibat buruk pada kesehatan anak di kemudian hari, yaitu berupa kerusakan hati (sirosis) dan kadang kanker hati (terutama jika disertai infeksi virus hepatitis C). Di sisi lain, kecil peluangnya untuk Anda menurunkan virus hepatitis C ke bayi. Hanya 4-6% bayi yang lahir dari ibu positif hepatitis C akan terinfeksi virus. Ini berarti hampir semua bayi yang lahir dari ibu dengan hepatitis C tidak akan terkena virusnya. Risiko penularan hepatitis C dari ibu ke anak baru meningkat jika ibu memiliki jumlah virus (viral load) yang tinggi atau sekaligus memiliki HIV di waktu yang bersamaan.
Bagaimana mengatasi hepatitis saat hamil?
Ketika Anda pergi ke dokter untuk kunjungan prenatal pertama Anda, Anda akan menjalani serangkaian tes darah rutin, termasuk untuk memeriksa virus hepatitis B (HBV). Jika hasil tes Anda negatif HBV dan belum menerima vaksin hepatitis B, dokter mungkin menyarankan agar Anda diimunisasi, terutama jika Anda berisiko tinggi tertular penyakit ini. Jika Anda baru terpapar hepatitis selama kehamilan, Anda juga mungkin akan diberi vaksin imunoglobulin untuk mencegah Anda terkena penyakit ini. Vaksin ini aman untuk wanita hamil dan bayi yang sedang berkembang. Untuk kasus hepatitis positif yang lebih lanjut (viral load tinggi) mungkin perlu ditangani dengan obat antivirus yang disebut tenofovir, yang dapat menurunkan risiko perpindahan HBV ke bayi Anda. Sementara itu, tidak ada vaksin yang tersedia sampai saat ini untuk melindungi virus hepatitis C. Menghindari jenis perilaku berisiko adalah satu-satunya cara untuk mencegah infeksi jenis ini. Jika Anda positif hepatitis C, Anda tidak akan bisa mendapatkan obat standar yang digunakan untuk mengobati hepatitis C saat Anda hamil. Obat-obatan untuk infeksi hepatitis C tidak aman untuk bayi Anda yang belum lahir. Pengobatan utamanya adalah kombinasi dua obat yang disebut pegylated interferon dan ribavirin. Obat lain terkadang bisa ditambahkan: baik boceprevir atau telaprevir. Namun, tidak satupun obat ini terbukti aman selama kehamilan dan ribavirin dapat menyebabkan cacat lahir yang serius, atau bahkan kematian bayi yang belum lahir. Persalinan normal lewat vagina maupun operasi caesar sama amannya untuk pasien hepatitis B dan C. Tidak ada perbedaan dari tingkat penularan yang diketahui saat membandingkan kedua metode persalinan. Risikonya sama saja terlepas dari apakah kelahiran terjadi melalui persalinan normal atau lewat caesar.
Haruskah bayi saya imunisasi hepatitis?
Ya. Semua bayi divaksinasi terhadap virus hepatitis B. Jika Anda tidak terinfeksi virus hepatitis B, bayi tetap harus mendapatkan vaksin dosis pertama sebelum Anda meninggalkan rumah sakit. Jika tidak bisa diberikan saat itu, vaksin harus diberikan dalam waktu 2 bulan setelah kelahiran. Dosis yang tersisa diberikan dalam 6-18 bulan ke depan. Ketiga suntikan HBV diperlukan untuk perlindungan seumur hidup, dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan agar semua bayi menerimanya, terlepas dari kondisinya. Jika Anda terinfeksi hepatitis B, dokter akan memberikan suntikan antibodi hepatitis B untuk bayi Anda dalam 12 jam setelah melahirkan. Vaksin ini sudah cukup untuk memberikan perlindungan jangka pendek bagi bayi terhadap virus tersebut. Antibodi dan vaksin bersama-sama akan efektif untuk mencegah infeksi pada bayi hingga 85-95 persen.
Jika Anda terinfeksi virus hepatitis C, biasanya bayi dapat diuji dari usia delapan minggu dengan menggunakan tes deteksi viral PCR. Ini harus diikuti dengan tes PCR lain dalam 4-6 minggu setelahnya dan tes antibodi hepatitis C saat bayi berusia 12-18 bulan. Jika bayi Anda positif hepatitis C, ia akan mendapat perawatan lebih lanjut. Ia harus rutin melakukan pemeriksaan fisik, tes darah dan kemungkinan pemindaian ultrasound atau tes lainnya. Tidak semua anak dengan hepatitis C diberikan obat-obatan resep. Pengobatan hepatitis C pada anak bervariasi dan bergantung pada apa yang terbaik untuk setiap anak.
Oleh karena itu bila pada kehamilan trimester ke III hepar dapat dengan mudah diraba, berarti sudah terdapat kelainan-kelainan yang sangat bermakna. Perubahan-perubahan mikroskopik pada hepar akibat kehamilan adalah tidak khas. Pengaliran darah ke dalam hepar tidak mengalami perubahan, meskipun terjadi perubahan yang sangat menyolok pada sistem kardio vaskuler. Wanita hamil sering menunjukkan tanda-tanda mirip adanya penyakit – penyakit hepar, misalnya : spider naevi dan palmarerythema, yang wajar pada kehamilan, akibat meningkatnya kadar estrogen. Semua protein serum yang disintesis dalam hepar mengalami perubahan pada waktu kehamilan. Jumlah protein serum menurun sekitar 20% pada trimester II, akibat penurunan kadar albumin secara menyolok, sedangkan fibrinogen justru mengalami kenaikan.
Pengaruh Hepatitis Pada Kehamilan dan Janin
Bila hepatitis terjadi pada trimester I atau permulaan trimeseter II maka gejala-gejala nya akan sama dengan gejala hepatitis pada wanita tidak hamil. Meskipun gejala-gejala yang timbul relatip lebih ringan dibanding dengan gejala-gejala yang timbul pada trimester III, namun penderita hendaknya tetap dirawat di rumah sakit. Hepatitis terjadi pada trimester III menimbulkan gejala-gejala yang lebih berat dan penderita umumnya menunjukkan gejala-gejala fulminant. Pada fase inilah acute hepatic necrosis sering terjadi, dengan menimbulkan mortalitas Ibu yang sangat tinggi. Pada trimester III, adanya defisiensi faktor lipo tropik disertai kebutuhan janin yang meningkat akan nutrisi, menyebabkan penderita mudah jatuh dalam acute hepatic necrosis. Tampaknya keadaan gizi ibu hamil sangat menentukan prognose.
Berat ringan gejala hepatitis virus pada kehamilan sangat tergantung dari keadaan gizi Ibu hamil. Gizi buruk khususnya defisiensi protein, ditambah pula meningkatnya kebutuhan protein untuk pertumbuhan janin, menyebabkan infeksi hepatitis pada kehamilan memberi gejala-gejala yang jauh lebih berat. Pada wanita hamil, secara fisiologik terjadi perubahan-perubahan dalam proses pembekuan darah, yaitu dengan ke-naikan faktor-faktor pembekuan dan penurunan aktivitas fibrinolitik, sehingga pada kehamilan mudah terjadiDIC (Disseminated Intra Vascular Coagulation). Penularan virus ini pada janin terjadi dengan beberapa cara, yaitu:
1. Melewati placenta
2. Kontaminasi dengan darah dan tinja Ibu pada waktu persalinan
3. Kontak langsung bayi baru lahir dengan Ibunya
4. Melewati Air Susu Ibu, pada masa laktasi.
5. Baik virus A maupun virus B dapat menembus placenta, sehingga terjadi hepatitis virus in utero dengan akibat janin lahir mati, atau janin mati pada periode neonatal. Jenis virus yang lebih banyak dilaporkan dapat menembus placenta, ialah virus type B.
Beberapa bukti, bahwa virus hepatitis dapat menembus placenta ialah ditemukannya hepatitis antigen dalam tubuh janin in utero atau pada janin barulahir. Selain itu telah dilakukan pula autopsy pada janin-janin yang mati pada periode neonatal akibat infeksi hepatitisvirus. Hasil autopsy menunjukkan adanya perubahan-perubahan pada hepar, mulai dari nekrosis sel-sel hepar sampai suatubentuk cirrhosis. Perubahan-perubahan yang lanjut pada hepar ini, mungkin terjadi bila infeksi sudah mulai terjadi sejak janin dalam rahim. Kelainan yang ditemukan pada hepar janin, lebih banyak terpusat pada lobus kiri. Hal ini membuktikan, bahwa penyebaran virus hepatitis dari Ibu ke janin dapat terjadi secarahematogen.Angka kejadian penularan virus hepatitis dari Ibu ke janin atau bayinya, tergantung dari tenggang waktu antara timbulnya infeksi pada Ibu dengan saat persalinan. Ibu hamil yang menderita hepatitis B dengan gejala-gejala klinik yang jelas, akan menimbulkan penularan pada janinnya jauh lebih besar dibandingkan dengan Ibu-Ibu hamil yang hanya merupakan carrier tanpa gejala klinik.
Ibu hamil yang mengalami hepatitis B, dengan gejala yang jelas, 48% dari bayinya terjangkit hepatitis, sedang pada Ibu-lbu hamil yang hanya sebagai carrier Hepatitis Virus B antigen, hanya 5% dari bayinya mengalami virus B antigenemia. Meskipun hepatitis virus, belum jelas pengaruhnya terhadap kelangsungan kehamilan, namun dilaporkan bahwa kelahiran prematur terjadi pada 66% kehamilan yang disertai hepatitisvirus B. Adanya icterus pada Ibu hamil tidak akan menimbulkan kern-icterus pada janin. Kem icterus terjadi akibat adanya unconjugated bilirubin yang melewati placenta dari Ibu-Ibu hamil yang mengalami hemolitik jaundice. Bila penularan hepatitis virus pada janin terjadi pada waktu persalinan maka gejala-gejalanya baru akan nampak dua sampai tiga bulan kemudian. Sampai sekarang belum dapat dibuktikan, bahwa hepatitis pada Ibu hamil dapat menimbulkan kelainan kongenital janinnya. Pada pemeriksaan placenta, dari kehamilan yang disertai hepatitis, tidak dijumpai perubahan-perubahan yang menyolok, hanya ditemukan bercak-bercak bilirubin. Bila terjadi penularan virus B in utero, maka keadaan ini tidak memberikan kekebalan pada janin dengan kehamilan berikutnya.
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Penyakit Hepatitis adalah peradangan pada hati karena toxin, sepertikimia, obat atau agen penyebab infeksi. Penyakit ini disebabkan oleh beberapa jenis virus yang menyerang dan menyebabkan peradangan serta merusak sel-sel organ hati manusia. Hepatitis yang berlangsung kurang dari 6 bulan disebut hepatitis akut, hepatitis yang berlangsung lebih dari 6 bulan disebut hepatitis kronis. Hepatitis diketegorikan dalam beberapa golongan, diantaranya hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, hepatitis E, dan hepatitis G. Hepatitis di sebabkan oleh virus dan merupakan penyakit hati yang paling sering di jumpai dalam kehamilan. Pada wanita hamil, peniyebab hepatitis terutama oleh virus hepatitis B walau kemungkinan juga dapat karena virus hepatitis A atau C . hepatitis juga dapat terjadi pula setiap saat kehamilan dan mempunyai pengaruh buruk pada janin maupun ibunya. Hepatitis yang berlangsung kurang dari 6 bulan disebut hepatitis akut, hepatitis yang berlangsung lebih dari 6 bulan disebut hepatitis kronis. Pada trimester I dapat terjadi keguguran pada trimester II dan III sering terjadi premature . adapun beberapa jenis virus hepatitis A, B, C, D, E, dan G.
Semua Ibu hamil yang mengalami kontak langsung dengan penderita hepatitis virus A hendaknya diberi immuno globulin sejumlah 0,1 cc/kg berat badan. Gamma globulin tidak efektif untuk mencegah hepatitis virus B. Gizi Ibu hamil hendaknya dipertahankan seoptimal mungkin, karena gizi yang buruk mempermudah penularan hepatitis. Untuk kehamilan berikutnya diberi jarak sekurang – kurangnya enam bulan setelah persalinan, dengan syarat setelah 6 bulan tersebut semua gejala dan pemeriksaan laboratorium telah kembali normal. Setelah persalinan, pada penderita hendaknya tetap dilakukan pemeriksaan laboratorium dalam waktu dua bulan, empat bulan dan enam bulan kemudian.
Pengobatan infeksi hepatitis pada kehamilan tidak berbeda dengan wanita tidak hamil. Penderita harus tirah baring di rumah sakit sampai gejala icterus hilang dan bilirubin dalam serum menjadi normal. Makanan diberikan dengan sedikit mengandung lemak tetapitinggi protein dan karbohydrat. Pemakaian obat-obatan hepatotoxic hendaknya dihindari. Kortison baru diberikan bila terjadi penyulit. Perlu diingat pada hepatitis virus yang aktif dan cukup berat, mempunyai risiko untuk terjadi perdarahan post-partum, karena menurunnya kadar vitamin K. Janin baru lahir hendaknya tetap diikuti sampai periode post natal dengan dilakukan pemeriksaan transaminase serum dan pemeriksaan hepatitis virus antigen secara periodik. Janin baru lahir tidak perlu diberi pengobatan khusus bila tidak mengalami penyulit-penyulit lain.
3.2. SARAN
Demi kesempurnaan makalah ini kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan, agar makalah ini dapat menjadikan suatu pedoman untuk kalangan umum. Kami sebagai penyusun memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Atas kritik , saran, dan perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Winkjosastro, H. (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Indah Tirtya. 2013. Kehamilan Dengan Penyakit Hepatitis. Makalah.
Pusparini Ajeng Defriyanti, Ayu Putu Ristyaning. 2017. Tatalakasana Persalinan pada Kehamilan dengan Hepatitis B. J Medula Unila.
Mustika Syifa,. Hasanah Dian. 2017 Prevalensi Infeksi Hepatitis B Pada Ibu Hamil Di Malang. Jurnal Kedokteran Brawijaya.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Situasi dan Analisis Hepatiti. Pusat Data dan Informasi.
Kementrian Kesehatan RI. 2017. Situasi Penyakit Hepatiti di Indonesia. Pusat Data dan Informasi.