Academia.eduAcademia.edu

RETHINKING ZAKAT: SOLUSI DALAM MENGATASI KEMISKINAN

2018, Zakat

Pendahuluan Dalam diskursus ekonomi Islam, pembicaraan mengenai zakat menempati posisi penting selain pembicaraan mengenai riba atau bunga. Bahkan tidak jarang ada yang mengidentikkan bahwa ekonomi Islam itu adalah ekonomi minus riba, plus zakat. Meski terkesan ada simplikasi definisi, namun zakat mampu menempati posisi sentral dalam pembicaraan mengenai Islam. Ada harapan besar yang senantiasa muncul ketika isu ini dibicarakan, yaitu solusi atas problem ekonomi yang dihadapi umat manusia, yakni kemiskinan. Banyak kalangan yang optimis-dengan asumsi bahwa 80% penduduk Indonesia beragama Islam, dan separuhnya saja tergolong muzakki-angka yang cukup fantastik yakni Rp 217 triliun akan dapat diperoleh. Asumsi ini tentu akan dapat dicapai dengan adanya dukungan tata kelola yang benar dan diintegrasikan melalui kebijakan ekonomi nasional. Cita-cita bahwa zakat dapat mengatasi atau paling tidak mengurangi ketimpangan ekonomi di masyarakat menjadi sesuatu yang tidak mustahil untuk direalisasikan. Akan tetapi fakta yang ada justeru sebaliknya, masih banyak masyarakat yang berada pada garis kemiskinan, kesenjangan ekonomi yang tinggi pun masih terjadi. Diskursus Zakat di Indonesia Adanya ketimpangan antara zakat yang seharusnya bisa mengatasi kemiskinan dengan realitasnya, telah melahirkan wacana tersendiri dalam diskursus pemikiran ekonomi Islam di Indonesia.

RETHINKING ZAKAT: SOLUSI DALAM MENGATASI KEMISKINAN Oleh: Yulia Hafizah Pendahuluan Dalam diskursus ekonomi Islam, pembicaraan mengenai zakat menempati posisi penting selain pembicaraan mengenai riba atau bunga. Bahkan tidak jarang ada yang mengidentikkan bahwa ekonomi Islam itu adalah ekonomi minus riba, plus zakat. Meski terkesan ada simplikasi definisi, namun zakat mampu menempati posisi sentral dalam pembicaraan mengenai Islam. Ada harapan besar yang senantiasa muncul ketika isu ini dibicarakan, yaitu solusi atas problem ekonomi yang dihadapi umat manusia, yakni kemiskinan. Banyak kalangan yang optimis—dengan asumsi bahwa 80% penduduk Indonesia beragama Islam, dan separuhnya saja tergolong muzakki—angka yang cukup fantastik yakni Rp 217 triliun akan dapat diperoleh. Asumsi ini tentu akan dapat dicapai dengan adanya dukungan tata kelola yang benar dan diintegrasikan melalui kebijakan ekonomi nasional. Cita-cita bahwa zakat dapat mengatasi atau paling tidak mengurangi ketimpangan ekonomi di masyarakat menjadi sesuatu yang tidak mustahil untuk direalisasikan. Akan tetapi fakta yang ada justeru sebaliknya, masih banyak masyarakat yang berada pada garis kemiskinan, kesenjangan ekonomi yang tinggi pun masih terjadi. Diskursus Zakat di Indonesia Adanya ketimpangan antara zakat yang seharusnya bisa mengatasi kemiskinan dengan realitasnya, telah melahirkan wacana tersendiri dalam diskursus pemikiran ekonomi Islam di Indonesia. Diantaranya, Masdar F. Mas’udi dalam bukunya Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, menjelaskan bahwa ada tiga kelemahan dasar sekaligus menjadi ciri pokok yang saling berkelindan dalam pemikiran dan praktik zakat di kalangan umat Islam. Pertama, kelemahan dari aspek filosofi atau epistemologinya: dogmatis a-sosial; Kedua, aspek struktur kelembagaannya: formalistis a-historis; Ketiga, kelemahan segi manajemen operasionalnya: kandas di tangan feodal keagamaan. Kemudian Didin Hafidhuddin dalam tulisannya Zakat dalam Perekonomian Modern, menyatakan bahwasanya penyebab dari belum berfungsinya zakat sebagai salah satu bentuk instrumen pemerataan ekonomi dan belum terrkumpulnya zakat secara optimal di lembaga pengumpul zakat (BAZ dan LAZ) adalah pengetahuan masyarakat terhadap harta yang wajib dizakatkan masih terbatas pada sumber konvensional. 1 Selanjutnya Muhammad dalam tulisannya Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fikih Kontemporer menyampaikan, harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, jika masih terpaku pada jenis harta sebagaimana yang diatur dalam Alqur’an dan hadis serta dijabarkan dalam fikih zakat, maka persoalan kesenjangan ekonomi di masyarakat masih belum bisa teratasi. Oleh karenanya penting untuk memajukan hukum zakat atas profesi-profesi tertentu yang berkembang di masyarakat. Dan tulisan baru kerjasama Departemen Ekonomi dan Keuangan SyariahBank Indonesia bersama P3EI Fakultas Ekonomi –Universitas Islam Indonesia, dengan judul buku Pengelolaan Zakat yang Efektif: Konsep dan Praktik di Beberapa Negara, menyampaikan bahwa negara berperan penting dalam membantu tata kelola zakat yang unggul. Penting juga ada lembaga regulator dan pengawas dalam pengelolaan zakat sehingga akuntabilitasnya dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat yang selama ini masih enggan menyalurkan dana zakatnya ke lembaga-lembaga resmi pengumpul zakat (BAZ). Di buku ini pun digambarkan secara singkat mengenai regulasi dan tata kelola zakat diberbagai negara, seperti Sudan, Pakistan, Saudi Arabia, Yordania, Bangladesh, Kuwait, Mesir dan Malaysia. Zakat dan Kemiskinan Keyakinan bahwa zakat sebagai salah satu ajaran Islam yang penting, sudah menjadi kesepakatan umum dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun pemahaman konsep zakat dapat mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan sosial, ini patut dipertanyakan terus akan kebenarannya. Zakat secara kebahasaan diartikan sebagai keberkahan, pertumbuhan, perkembangan, kesucian dan keberesan. Secara istilah, umumnya zakat dipahami sebagai bagian dari harta dengan persyaratan tertentu (harta, nisab dan haulnya sudah ditentukan), yang Allah wajibkan kepada pemiliknya untuk diberikan kepada mereka dengan persyarakatan tertentu pula (8 ashnaf). Pemahaman zakat di atas, umumnya diamini oleh mayoritas pemikir muslim. Persoalannya kemudian apakah dengan konsep tersebut sudah dapat menyelesaikan problem kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang melanda bangsa ini? Dalam perspektif ekonomi, konsep zakat di atas umumnya hanya dilihat pada aspek distribusi, yakni hanya melihat pada unsur menyalurkan sejumlah harta dengan waktu dan ukuran tertentu kepada orang, kelompok ataupun institusi tertentu. Dengan model pemahaman seperti ini nampaknya sulit untuk dapat diandalkan sebagai pendobrak yang ampuh dalam mengatasi problem kesenjangan ekonomi di masyarakat. Bahkan ada kemungkinan yang terjadi malah sebaliknya, mendukung dan melanggengkan kemiskinan bahkan bisa jadi semakin memperlebar kesenjangan sosial. Hal ini bukan tanpa alasan, karena dikalangan masyarakat kita ada semacam 2 salah kaprah, bahwa orang miskin merupakan sarana ‘penebus dosa’ sehingga perlu untuk dilanggengkan bahkan dilestarikan. Selain itu pemahaman bahwa zakat sebagai sarana penyucian atau pembersihan harta (lihat QS. At-Taubah/9: 103), juga rentan disalahfungsikan menjadi semacam sarana untuk penyucian dosa (sin loundring). Pada kasus korupsi misalnya, yang dipercaya sebagai salah satu penyebab kemiskinan di negeri ini. Bayangkan saja, seorang koruptur melakukan korupsi satu miliar, dengan asumsi zakat dapat membersihkan harta, dikeluarkannyalah 2,5% zakat, maka beban psikologis rasa bersalah menjadi hilang. Apalagi dengan kalkulasi matematis, bahwa setiap kebaikan filantropis akan dibalas dengan tujuh ratus kali lipat, maka korupsi pun menjadi sesuatu yang ‘legal’ secara agama. Dengan demikian zakat dalam pemaknaan distributif, sulit untuk melakukan misinya sebagai solusi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi masyarakat. Oleh karenanya tafsir dan pemaknaan baru terhadap zakat perlu untuk ditinjau kembali. Disini zakat itu juga harus dilihat pada aspek produksinya atau sumber dari harta zakat itu serta tujuan dibayarkannya zakat. Sumber dari harta zakat haruslah berangkat dari usaha yang halal, bukan usaha yang berasal dari pekerjaan maksiat dan hasil dari menzalimi orang lain (lihat QS. Al Baqarah/2: 267). Pada gilirannya, zakat dapat menciptakan iklim usaha yang bersih, adil dan tidak merugikan salah satu pihak tertentu, terutama eksploitasi terhadap buruh. Patut diingat juga bahwa dari 8 golongan mustahik zakat tersebut, seluruhnya menunjukkan kelompok yang berada dalam kondisi lemah dan tidak mampu dibiarkan bermuamalah melalui mekanisme pasar semata. Sebagai salah satu instrumen distribusi dalam Islam, zakat bertujuan untuk mengurangi terjadi penumpukan kekayaan hanya disalah satu kelompok (lihat QS Al Hasyr/59: 7), sehingga kesenjangan antara yang kaya dan miskin tidak terlalu jauh. Untuk mewujudkan itu, maka penting kiranya untuk memikirkan kembali akan implikasi zakat bagi mustahik. Sehingga indikator sukses tidaknya zakat tidak melulu dilihat dari aspek berhasilnya distribusi hartanya semata, namun juga harus dilihat pada seberapa besar manfaat yang mampu dihasilkan dari harta zakat yang dibayarkan tersebut. Karena seringkali muzakki sudah merasa puas disaat telah menunaikan pembayaran zakatnya, tanpa memedulikan manfaat dari dana zakat yang sudah dibayarkan. Pada akhirnya, penting untuk direnungkan kembali akan sebuah konsep apabila ingin berhasil mencapai visi dan misi yang diemban, setidaknya harus memiliki dua syarat, yakni: pertama, ma’qul (sensible) atau sesuai logika penalaran. Kedua, ma’mul (applicable) atau sesuai logika kesejarahan. Zakat sebagai sebuah konsep yang memiliki tujuan mulia bagi pengentasaan kemiskina harus memenuhi dua unsur tersebut. Zakat adalah sebuah kewajiban, sudah menjadi keyakinan seluruh umat Islam. Tetapi bagaimana zakat itu bisa memenuhi harapan dan impian umat Islam, 3 menyejahterakan umat dan mengokohkan persaudaraan antara si lemah dan si kaya, maka ia harus terus menjadi lading ijtihad bagi pemikir muslim. Wallahu ‘alam…. 4