RIWAYAT PEMIKIRAN BARAT
Oleh: Muhammad Irham
Pendahuluan
Tuan, terima kasih karena berkenan mendengarkan racauan saya ini. Sebelum itu saya hendak mengenalkan objek racauan saya. Orang menyebutnya “Barat,” tetapi sesungguhnya itu hanya nama panggilan. Nama aslinya adalah Eropa Barat. Saya akan memanggilnya “Barat” atau “Eropa”, untuk merujuk kepada satu entitas yang sama: Eropa Barat. Ini hanya urusan panggil-memanggil, sebagaimana Putra bisa dipanggil Trio. Dan setiap nama ada sejarahnya. Eropa Barat berbeda dengan Eropa Timur, kata orang Eropa Abad Pertengahan. Eropa Barat itu identik dengan Katolik, sedangkan Eropa Timur menganut Kristen yang lebih ortodoks. Di zaman Kolonial juga distingsi ini dipertahankan. Negeri-negeri di Barat, seperti Inggris, Portugis, dan Belanda, ramai-ramai menjelajah lautan lalu menjajah semua tanah yang mereka injak.
Niall Ferguson, Civilization: The West and the Rest, Allen Lane: 2011, hlm. 8. Sedangkan negeri di Eropa sebelah timur, seperti Rusia, sibuk menghadapi Kekhalifahan Osmani atau suku-suku nomaden. Baru kira-kira di awal abad ke-19, definisi “Barat” diperluas: Rusia, dan negara baru, Amerika Serikat, dimasukkan ke dalamnya.
John Roberts, “Revolution from Above and Below: European Politics from the French Revolution to the First World War”, dalam T. C. W. Blanning dkk., The Oxford History of Modern Europe, UK: Oxford University Press, hlm. 15-16. Definisi terakhir inilah yang hingga kini dikekalkan, yakni segala hal yang secara historis berasal dari atau berdasarkan pada seperangkat asas, nilai, atau keyakinan yang berlaku di Eropa, entah itu berupa kebudayaan, sistem politik, gaya hidup, prinsip hidup, dan lain-lain.
Tuan saya harap tidak resah, sebab saya akan banyak memakai literatur yang bersifat turunan dan sekunder, tetapi saya tetap berusaha sesekali mengutip literatur primer yang terpercaya. Namanya juga racauan. Untuk menerangkan iklim dan asal filsafat Eropa saya akan banyak mengandalkan tulisan Anthony Kenny. Untuk urusan politik, kultur, dan kehidupan sosial Eropa, saya memanfaatkan tulisan Braudel, Le Goff, Marx, dan lainnya. Doakan saya agar berhasil, tuan!
Awal Intelektual Barat: Yunani Kuno
Tuan, filsuf pertama di Eropa adalah Thales. Thales percaya bahwa dasar semua kehidupan adalah air.
Aristoteles, The Metaphysics of Aristotle, trans. John H. M’mahon, London: George Bell and Sons, 1896, hlm. 13-14. Awal mula filsafat, seringkali dianggap sebagai permulaan manusia menggunakan akal sehat dan meninggalkan mitos atau takhayul atau kisah tentang dewa-dewa. Manusia yang berfilsafat disebut filsuf. Dan tugas pertama tiap filsuf adalah menyingkap hakikat kehidupan.
Tradisi tulis pertama berkembang di Mesopotamia (sekitar Irak sekarang) dan Mesir, pada 3200 SM, kemudian pada peradaban Cina.
Andrew Feldherr dan Grant Hardy dkk., The Oxford History of Historical Writing, jilid 1, Oxford: Oxford University Press. Jauh mendahului Thales yang baru lahir sekitar 625 SM. Tetapi ada yang unik dari Yunani Kuno: untuk pertama kali Dunia menyaksikan tradisi diskursus dan literasi yang, pada masa itu, begitu masif. Orang banyak menuliskan ide dan gagasannya. Dan setiap yang menulis harus siap mendapati bahwa ada orang lain yang tidak setuju dengan idenya dan orang itu membuat tulisan juga. Sehingga bertemulah kita dengan hakikat filsafat, yakni literasi dan bebas berpendapat. Sekarang, apakah filsafat itu awal dari pemakaian akal, awal dari ilmu pengetahuan? Bagi saya tidak. Semua ilmu berasal dari Allah dan pertama-tama Dia turunkan kepada nabi-nabi-Nya. Firman Allah: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”
Q.S. Al-Kahfi: 165.
Sekedar informasi, Thales tidak pernah menikah. Dan ia akan diikuti banyak lelaki setelahnya: Plato, Agustinus, Descartes (w. 1650), Spinoza, Kant (w. 1804), Wittgenstein (w. 1950), dan Kafka.
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy, jilid 1, Oxford: Oxford University Press, hlm. 5. Jika tuan berniat menjadi seorang filsuf, maka bersiap-siaplah!
Menjadi tetua bagi manusia jomblo yang ada di setiap abad, Thales lahir di Miletus, sebuah kota di pesisir Asia Minor, yang kini merupakan wilayah Turki. Di kota itu akan lahir pula dua filsuf lain, yakni Anaximander dan Anaximenes. Tidak jauh dari Miletus, ada pulau bernama Samos, dan disanalah filsuf selanjutnya lahir, namanya Pythagoras.
Pythagoras percaya bahwa ada hubungan erat antara nada-nada musikal dengan susunan benda-benda langit. Astronomi adalah tentang harmoni musik. Di umur 40 tahun Pythagoras pindah ke Kroton di pesisir Italia sekarang. Di sana ia punya banyak murid, dan semua menuruti aturannya: hidup bersama dengan sederhana, tidak memungut sampah, tidak boleh makan kacang, selalu memakai sandal sebelah kanan sebelum yang kiri, dan lain-lain.
Anthony Kenny, A New History..., jilid 1, hlm. 9-11.
Selanjutnya lahir banyak filsuf dan penyair, salah satunya Xenophanes, seorang filsuf yang suka berjalan-jalan sekaligus orang pertama yang melakukan penelitian terhadap fosil. Jika Thales percaya bahwa hakikat kehidupan adalah air, maka Xenophanes lebih percaya pada tanah. Xenophanes, yang bersama filsuf-filsuf yang sudah disebutkan di atas disebut “Pra-Sokratik,” hidup hingga abad ke-5 SM.
Malcolm Schofield, “The Presocratics”, dalam David Sedley dkk., The Cambridge Companion to Greek and Roman Philosophy, Cambridge: Cambridge University Press, 2003, hlm. 45-48. Di abad inilah muncul segolongan ahli omong yang disebut Sofis. Di Yunani, terutama di kota Atena yang semi-demokratis, kepandaian berbicara amat dibutuhkan. Dan sofis dengan pandai menggunakan mulut mereka untuk mendapat uang, rata-rata mereka adalah seorang anggota parlemen, menteri, pengacara, atau diplomat. Sofis adalah fenomena dimana orang-orang menggunakan kecerdasan untuk menang debat dan mendapat kekayaan, bukan lagi untuk mencari kebenaran atau menyingkap hakikat kehidupan.
Maka, tuan, kita harus menemui orang yang banyak berbicara (dan memikirkan) kebenaran, namanya: Sokrates. Jika Thales hingga Xenophanes sibuk memikirkan zat asal kehidupan, maka Sokrates lebih tertarik berceramah mengenai etika. Tentang bagaimana kita harus hidup, apa yang harus kita perjuangkan, bagaimana menjadi orang yang sopan, serta apa saja kualifikasi seorang pemimpin. Sokrates tidak punya karya tulis, tetapi muridnya menulis banyak ucapan-ucapannya di berbagai forum diskusi.
Seperti dalam Republic karya Plato. Lihat Plato, The Republic, trans. Tom Griffith, Cambridge: Cambridge University Press, 2003. Muridnya yang paling rajin (dan paling pintar) adalah Plato.
Peneliti modern meyakini bahwa Plato menulis 20-30 karya, yang isinya sebagian besar berbentuk dialog, dengan Sokrates sebagai tokoh utama.
Mary Margaret McCabe, “Form and the Platonic Dialogues”, dalam Hugh H. Benson dkk., A Companion to Plato, London: Blackwell Publishing, 2006. Plato lebih banyak dikenang lewat pemikirannya (yang juga pemikiran gurunya) tentang eidos (ide/hakikat). Menurut Plato, dalam hidup kita sering menemui berbagai rupa kucing atau kuda; ada yang belang-belang, ada yang tua, ada yang berbadan tegap, tetapi tidak ada satupun yang sempurna. Maka pasti ada alam lain, dimana kita dapat menemukan kucing atau kuda, atau bahkan negara, yang sempurna.
Anthony Kenny, A New History..., jilid 1, hlm. 49-56.
Jika kesempurnaan adalah sesuatu yang berada di antah-berantah bagi Plato, maka bagi muridnya, yang menghasilkan karya lebih banyak dari dirinya, Aristoteles, hakikat sebuah benda tidaklah terpisah (chorista) dari tubuh benda itu sendiri. Aristoteles, lewat bukunya De Anima, banyak dikenal dengan idenya tentang dua jenis akal (nous), yakni Akal Aktif dan Akal Potensial.
Aristoteles, Aristotle De Anima Books II and III, trans. D. W. Hamlyn, UK: Oxford University Press, 2002, hlm. 60. Kedua-duanya mengundang penafsiran yang bermacam-macam di Abad Pertengahan.
Kristenisasi: Abad Pertengahan
Tuan, sebagian besar orang Yunani selama berabad-abad menyembah banyak dewa; Zeus, Artemisia, Poseidon contoh nama dewa Yunani. Sementara itu, di Palestina seorang nabi dengan mukjizat-mukjizat yang luar biasa sedang mendakwahkan Tauhid. Namanya Isa bin Maryam. Risalah yang dibawanya, yang biasa disebut “Kristen,” suci dan mensucikan. Sayang pengikutnya sedikit, akibat saat itu Palestina (dan Yunani dan Italia) sedang dibawah kekuasaan kaisar-kaisar Romawi yang tiran, seperti Nero dan Aurelius. Banyak orang Kristen dan filsuf yang yang ditangkap atau dibunuh.
Pengikut Kristen baru dapat hidup tenang setelah posisi kaisar Romawi dijabat Konstantin (w. 337). Ia dibaptis dan mengumumkan bahwa Kristen dijadikan agama resmi negara. Tetapi Konstantin seketika kebingungan: di masanya ada banyak aliran dalam Kristen dan ada banyak versi kitab suci. Ini bisa menjadi sumber perpecahan. Maka ia mengadakan musyawarah besar, yang lebih tepat disebut debat, di Nicaea pada 325 M. Debat yang paling diingat adalah antara Arius dengan Alexander; Arius percaya bahwa Isa hanyalah manusia pilihan yang mendapat wahyu dari Tuhan, sedangkan Alexander memandang Tuhan tidaklah berbeda Isa.
Frederick W. Norris, “Greek Christianities”, dalam Augustine Casiday dkk., Cambridge History of Christianity, jilid 2, UK: Cambridge University Press, 2007, hlm. 72-76. Mayoritas pendeta yang hadir mendukung Alexander, maka Arius pun kalah dan diusir. Arius wafat pada 336 M.
Konstantin mendapatkan apa yang dia inginkan, satu versi Kristen yang menyatukan semua rakyat Romawi, lengkap dengan ajaran Trinitas yang hingga saat ini kita kenal. Tuan mungkin ingin bertanya, lalu apa hubungan antara Kristen dengan racauan saya sebelumnya mengenai Yunani? Baik, sejak awal kemunculannya, Kristen bersentuhan dengan budaya Yunani, karena Palestina telah mengenal budaya Yunani sejak pemerintahan Alexander Agung yang merupakan murid dari Aristoteles. Banyak kosa kata Yunani dalam kitab Kristen dan penganut awal Kristen adalah penutur bahasa Yunani.
Tetapi sintesis filsafat Yunani dengan doktrin Kristen baru mendapat momentum lewat goresan pena Agustinus.
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy, jilid 2, Oxford: Oxford University Press, hlm. 1-5. Bukunya yang paling kekal ada tiga, yakni Confessions, semacam auto-biografi; The City of God, yang berisi pemikiran religio-politiknya yang banyak terinspirasi oleh Republic karya Plato; dan On the Trinity, yang mengulas konsep Tuhan dalam agama Kristen. Kematian Augustinus di tahun 430 M tidak berjauhan dengan kejatuhan Roma. Ini menandai awal Abad Pertengahan di Eropa.
Abad Pertengahan identik dengan dominasi Kristen di segala bidang, kultur, politik, dan pemikiran.
Jacques Le Goff, Medieval Civilization 400-1500, trans. Julia Barrow, UK: Basil Blackwell, 1992. Hampir tidak ada kontribusi berarti di bidang sains dan teknologi di masa ini. Sains justru berkembang pesat di wilayah muslim yang membentang dari Kordoba hingga Champa.
Lihat Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, Chicago: ABC International Group, 2001. Saat orang muslim membuat robot, alat bedah, dan astrolab, orang Barat justru sibuk membakar banyak perempuan yang dituduh sebagai penyihir. Dua dunia yang sungguh berbeda. Tetapi setidaknya muslim maupun orang Barat dapat saling mengerti jika membicangkan filsafat. Keduanya sama-sama pengagum Plato dan Aristoteles dan sama-sama berusaha menjelaskan agamanya masing-masing lewat sistem filsafat dua orang itu. Orang yang di seantero Eropa dikenal sebagai yang paling paham filsafat Aristoteles adalah Ibnu Rusyd atau Averroes (w. 1198), seorang kadi asal Spanyol. Ibnu Rusyd beranggapan bahwa mempelajari filsafat bukan hanya halal, tetapi dianjurkan oleh syariat Islam.
Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Kitab Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa asy-Syari'ah al-Ittishal, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986, hlm. 1. Ia juga memandang bahwa semua orang punya dua jenis akal: individual dan universal. Rata-rata akademisi Eropa pada abad ini mempelajari filsafat lewat terjemahan Boethius dan tafsir Ibnu Rusyd yang terjemahannya dalam bahasa Latin menjamur di Abad ke-13.
Anthony Kenny, A New History..., jilid 2, hlm. 16-22 dan 48-50.
Benih Sekularisme: Renaissance
Tuan, ada dua kali Renaissance, pertama antara Abad ke-13 sampai 15, yang ditandai dengan penerjemahan secara masif karya-karya berbahasa Arab oleh Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Rusyd, Imam al-Ghazali, dll. Disertai dengan munculnya ketertarikan pada kebudayaan dan filsafat Yunani Kuno. Renaissance kedua terjadi antara pertengahan Abad ke-15 sampai 16, dimana ada kemajuan pesat di bidang pengetahuan, seni, dan perdagangan.
Luthfi Assyaukanie, Filsafat Abad Pertengahan: Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dalam Filsafat Barat Pertengahan, kuliah disampaikan di Serambi Salihara, Jakarta, 14 Mei 2016.
Untuk masa Renaissance pertama kita mengenal nama Thomas Aquinas. Lahir di tahun 1225, Aquinas belajar teologi di Paris, dan menulis De Ente et Essentia (Tentang Eksistensi dan Esensi) dengan banyak pengaruh pemikiran Avicenna di dalamnya.
Anthony Kenny, A New History..., jilid 2, hlm. 63-65. Aquinas menentang pendapat Averroes dan menekankan kehendak bebas dalam diri tiap manusia, tetapi diakui maupun tidak, Averroes-lah yang berjasa membuat dirinya, bersama orang Eropa lain abad itu, untuk mempelajari Aristoteles. Ajaran Aquinas, disebut Thomisme atau filsafat Skolastik, mendominasi umat Kristen Eropa pada kurun Renaissance yang pertama,
Anthony Kenny, A New History..., jilid 2, hlm. 74-78. dan mengagungkan ajaran-ajaran Aristoteles, yang sudah teraduk dalam tafsir-tafsir Injil, hingga level kosmologinya: bahwa Bumi diputari Matahari dan rute peredaran semua benda langit ialah lingkaran sempurna.
Aquinas meninggal pada 1274, dan beberapa dekade kemudian buku-bukunya menjadi bacaan wajib di semua perguruan Kristen. Sayangnya, hal ini diikuti dengan hal-hal gila. Vatikan memberlakukan hukuman siksa dalam penjara, atau bahkan hukuman mati, bagi siapapun yang dianggap menentang ajaran Kristen ala Skolastik dan raja-raja Inggris, Prancis, dan Italia dengan senang hati memenuhi permintaan Vatikan.
Nicolaus Copernicus (w. 1543), dengan teleskopnya, menemukan bahwa Matahari mengelilingi Bumi dan bukan sebaliknya. Penemuannya itu didukung Galileo Galilei (w. 1642), dan keduanya dihukum keras oleh Gereja.
James E. McClellan III dan Harold Dorn, Science and Technology in World History: An Introduction, Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 2006, hlm. 203-242. Sedangkan Johannes Kepler (w. 1630), yang untungnya tidak dihukum Gereja, menambah panjang kritikan terhadap kosmologi yang kolot, dengan membuktikan bahwa orbit benda-benda langit bukanlah lingkaran sempurna, tetapi berbentuk lonjong atau elips.
Sandra Sider, Handbook to Life in Renaissance Europe, New York: Facts on File, Inc., 2005, hlm. 251. Eropa seketika geger. Ternyata mereka selama ini dibohongi Gereja. Gereja disalahkan karena telah menghambat kemajuan ilmu pengetahuan.
Carl R. Trueman, “Reformation”, dalam Gareth Jones dkk., The Blackwell Companion to Modern Theology, Victoria: Blackwell Publishing, 2014. Maka muncullah Sekularisme di abad 17. Sekularisme tidak ingin menghapuskan kepercayaan pada Tuhan, tetapi lebih tepat disebut bermaksud mengesampingkan Tuhan dari ranah publik. Agama cukup di rumah atau tempat ibadah, di luar itu orang harus percaya akan kekuatan akalnya. Lebih baik mempelajari hukum-hukum alam daripada tata cara sembahyang.
Kritikan saintifik oleh Galilei yang saya jelaskan di atas terjadi di Abad ke-17, setelah Renaissance, tokoh utamanya pastilah Isaac Newton (w. 1727). Abad itu disebut juga Revolusi Ilmu Pengetahuan (Scientific Revolution) karena terjadi perubahan signifikan di Eropa di bidang sains. Di Eropa masa Renaissance kedua sendiri ada beberapa poin yang penting untuk tuan catat. Tahun 1492, kekuasaan muslim terakhir di tanah Spanyol, Granada, jatuh ke tangan orang-orang Katolik.
Sandra Sider, Handbook to Life in Renaissance Europe, hlm. 257. Setelah itu peristiwa-peristiwa besar terjadi: Colombus mencapai Benua Amerika di tahun 1498 dan Da Gama menemukan rute dari Lisbon (Portugal) ke Goa (India) lewat Afrika setahun setelahnya.
Ronald S. Love, Maritime Exploration in the Age of Discovery, 1415–1800, London: Greenwood Press, 2006, hlm. xxii. Baik Colombus maupun Da Gama telah membuka rute perdagangan baru bagi Eropa Barat. Pedagang Eropa, yang rata-rata punya jiwa petualang yang begitu tinggi, kini dapat berdagang dengan India, Malaka, dan Cina tanpa harus berhadapan dengan pedagang Turki dan Arab yang mereka benci. Pedagang Eropa inilah yang nanti melahirkan Kapitalisme, dan dari nafsu merekalah dunia mengenal Kolonialisme yang sungguh kejam.
Setelah Sekularisme: Liberalisme, Kolonialisme, Kapitalisme
Abad ke-17 selain menghasilkan revolusi di bidang sains, juga melahirkan Kapitalisme.
Fernand Braudel, Civilization and Capitalism, jilid 2, trans. Rian Reynolds, London: William Collins Sons, 1982, hlm. 239. Kapitalis bukanlah pedagang cilok atau gorengan. Semua rupa pedagang memang berpikir untuk mendapatkan profit maksimal dengan modal dan resiko yang minimal. Tetapi para kapitalis adalah bentuk paling tidak terkendali dari bangsa pedagang. Kapitalisme mensyaratkan adanya perusahaan yang dilindungi secara hukum, perdagangan internasional yang bebas, dan laba yang begitu besar nilainya.
Fernand Braudel, Afterthoughts on Material Civilization and Capitalism, trans. Patricia M. Ranum, Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1979. Secara historis, Kapitalisme dan Kolonialisme saling bersangkutan. Perusahaan paling sukses di Abad ke-17 sampai 18 adalah Vereenigde Oostindische Compagnie, disingkat VOC. Sebuah “perusahaan plus-plus” yang dua kali menggagalkan hasrat ekspansi seorang Sultan Agung (w. 1645).
Lihat Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, terj. Samsudin Berlian, Jakarta: KPG, 2016, hlm. 114-135. Kolonialisme mengakibatkan jutaan orang terjajah dan terbunuh di Afrika, Timur Tengah, Asia, dan Amerika. Dan bukan hanya badan yang mereka lukai, otak kita juga mereka cederai lewat Orientalisme, menurut Edward Said.
Edward Said, Orientalism, New York: Vintage Books, 1979.
Kapitalisme atau Materialisme, walaupun berakhiran “-isme”, akan sulit tuan temukan di buku sejarah filsafat. Yang akan tuan temukan, itupun kalau beruntung, adalah Utilitarianisme. Tumbuh di Inggris, yang merupakan salah satu kandang ternyaman bagi kaum kapitalis dan kolonialis, Utilitarianisme begitu menuhankan materi. Katanya kemajuan suatu bangsa atau peradaban itu bisa diukur secara kuantitatif. Dengan uang dan kesenangan. Tokohnya ialah Jeremy Bentham (w. 1832) dan John Stuart Mill.
Baik kapitalisme maupun kolonialisme telah merubah tatanan sosial masyarakat Eropa. Keduanya telah menciptakan sekumpulan orang tajir bukan main yang secara kolektif disebut golongan borjuis. Lawannya adalah orang yang tidak menguasai alat produksi disebut proletar. Borjuis ini tidak lain adalah pedagang, dan mereka jelas ingin meluaskan pangsa penjualan mereka seluas-luasnya. Sayangnya, kemampuan buruh-buruh mereka relatif terbatas, dan gaji mereka tidak boleh rendah. Maka diadakanlah Revolusi Industri, dimana buruh berwujud manusia diganti besi berwujud mesin, dengan mengadopsi teknologi mesin uap yang baru saja ditemukan.
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, jilid 1, trans. Samuel Moore, Moskow: Progress Publishers, 1887, hlm. 731-732. Mesin dapat menghemat waktu, tempat, dan biaya produksi. Tuan, alangkah bahagianya para borjuis itu!
Tetapi tidak lama mereka menemukan halangan dalam perluasan usaha mereka. Halangan itu bernama bangsawan dan pendeta. Dua kelompok yang suka memanfaatkan topeng agama dan/atau kuasa untuk merebut atau mengurangi harta orang borjuis. Orang borjuis tidak suka, karena harta bagi mereka adalah modal yang harus dikembangbiakkan. Maka diadakanlah Revolusi Prancis (1789-1799), dimana kekaisaran Prancis dijungkirbalikkan.
John Roberts, “Revolution from Above ...”, hlm. 19-24. Kaisar dan ratu mereka sendiri dipancung. Dan yang lebih menakjubkan dari pancung-memancung itu adalah bahwa semboyang Revolusi Prancis, yang kurang lebih terdiri atas tiga pasal: Liberté, fraternité, dan egalité; tersebar ke seluruh dunia.
Aurélien Fayet dan Michelle Fayet, L’histoire de France: Des Origines a Nos Jours, Paris: Eyrolles, 2009, hlm. 194-213. Inilah awal Liberalisme. Orang ingin bebas sebebas-bebasnya, dari urusan politik hingga agama hingga seks. Pokoknya bebas tidak mengenal batas. Tokohnya Voltaire dan Jean-Jacques Rousseau (w. 1778).
Barat semakin Binal: Marxisme hingga Post-modernisme
Tuan, Barat punya banyak wajah. Tidak satu. Tetapi setidaknya kita bisa menyimpulkannya menjadi dua: Kanan dan Kiri. Keduanya ibarat Janus: menghadap ke dua arah yang berlawanan, tetapi sebenarnya masih satu badan. Eropa jua. Kaum borjuis saat ini sedang berkuasa di banyak tempat di Eropa. Borjuis inilah yang mengatur raja, presiden, atau apapun namanya kepala negara, lewat korporasi-korporasi dan bank-bank. Maka ada beberapa tradisi lama Eropa yang sampai saat ini dilestarikan, walau sebenarnya yang dilestarikan ialah uang dan kuasa si borjuis juga.
Maka ada orang-orang yang tersisihkan, yang tidak banyak uang dan kekuasaan. Orang-orang ini memproteslah dengan sebab borjuis sering berlaku tidak adil, mementingkan diri sendiri, memeras uang orang lemah tanpa ampunan. Pemimpin orang-orang ini bernama Karl Marx. Marx lahir di Trier, Jerman tahun 1818, dan meninggal di London tahun 1883.
Jean-Yves Calvez, Marx et Le Marxisme, Paris: Eyrolles, 2007, hlm. 16-17. Buah pikir Marx disebut Marxisme atau Komunisme dan pengikutnya disebut komunis. Marx tidak menyukai dominasi orang borjuis dan menyalahkan mereka atas adanya penderitaan banyak orang karena industri dan kolonialisme. Tetapi ia sendiri jijik melihat pemerintahan raja-raja dahulu yang dia sebut feodal. Maka Marx punya cita-cita agar suatu hari nanti ada masyarakat yang setara. Tidak ada proletar atau borjuis, yang ada hanya komunis.
Karl Marx dan Frederick Engels, Manifesto of the Communist Party, trans. Samuel Moore, Marxists Internet Archive (marxists.org), 2010. Amboi, alangkah mulia itu cita-cita! Dan cita-cita ini dengan senang hati diikuti oleh Stalin (w. 1953), Lenin, Mao Zedong (w. 1976), Musso, dan banyak mahasiswa di dunia.
Tetapi, tuan, Marxisme ini menuhankan materi sebagaimana Utilitarianisme. Marx dan konconya malah menuduh agama telah menghalangi kemajuan manusia, bahwa segala pandangan metafisika adalah ikrar kepengecutan atas dunia yang tidak adil. Maka kesetaraan yang dipinta orang komunis adalah semata-mata penyeragaman perolehan materi.
Ben Fine dan Alfredo Saad-Filho, Marx’s Capital, London: Pluto Press, 2004, hlm. 1-5; Jean-Yves Calvez, Marx et Le Marxisme, hlm. 23-80. Sungguh mustahil, kan tuan? Bagaimana bisa tukang urut berpenghasilan sama dengan seorang presiden? Dalam sejarah, ada banyak darah yang terkucur untuk melayani kemustahilan tersebut.
Telah saya singgung bahwa Marxisme menjangkiti kampus-kampus pula. Gaya intelektual dan kultural terjangkit Marxisme yang paling fenomenal sepertinya ialah Post-modernisme. Akarnya bisa ditelusuri ke Nietzsche (w. 1900), yang menyamakan sains dengan fear (ketakutan).
Friedrich Nietzsche, Thus Speak Zarathustra, trans. Adrian Del Caro, Cambridge: Cambridge University Press, 2006, hlm. 245-246. Di dua dekade terakhir abad ke-20, Post-modernisme naik daun berkat usaha Sartre, Camus, Foucault, dan Derrida (w. 2004). Post-modernisme bisa disebut proto-nihilisme karena mereka yakin bahwa tidak ada pemegang kebenaran mutlak. Segala hal ialah relatif. Contoh Post-modernisme dapat ditemukan dalam tulisan Derrida, dimana ia mengatakan bahwa setiap penulis pasti gagal menyampaikan idenya dalam sebuah tulisan. Makna sejati sebuah tulisan pasti akan mengalami kerusakan (deconstruction) dan hanya makna milik tiap-tiap pembacalah yang hadir.
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak, Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1997. Para post-modernis itu anti terhadap ideologi, dan pastinya agama, karena dianggap sebagai tukang klaim kebenaran mutlak. Inilah yang menyebabkan orang sekarang hidup tanpa tahu tujuan. Agama bagi mereka tidaklah menyediakan al-Haqq (kebenaran). Ini semakin memperparah sekularisme di Eropa.
Tuan, Post-modernisme masih hidup sampai sekarang, bersama Marxisme, Sekularisme, Liberalisme, dan Kapitalisme. Begitu pula Kolonialisme yang sudah “berganti baju.”
Lihat Noam Chomsky, How the World Works, terj. Tia Setiadi, Bandung: Bentang Pustaka, 2014.
Epilog
Tuan, ada banyak hal seputar Eropa yang belum saya racaukan: Kristen Protestan, Anarkisme, Nazisme, Sindikalisme, Filsafat Analitik, Feminisme, dan lain-lain. Maka dari itu saya memohon maaf yang begitu dalam. Semoga tuan dapat menemukan sendiri pengetahuan tentang Barat secara lebih komprehensif dalam buku-buku atau laman-laman online. Dalam Epilog ini sendiri saya hendak menjawab pertanyaan, “apa sebaiknya sikap kita terhadap Barat?” Semoga tuan rela mendengarkan.
Dalam diskursus ini, kita dihadapkan pada dua kecenderungan ekstrim: menolak Barat seluruhnya atau menerima Barat seluruhnya. Dua-duanya berniat makruf. Yang menolak Barat memandang Islam sudah cukup menjadi jawaban segala macam persoalan, dunia maupun akhirat. Sedangkan yang satu lagi ingin agar bangsanya maju semaju Barat. Bagi saya keduanya berpegang pada argumen sama lemahnya. Yang menolak Barat bertindak seolah Islam sedari awal menganggap semua hal di luar dirinya adalah asing dan pantas untuk ditolak. Padahal sepanjang sejarahnya, umat Islam bertemu berbagai peradaban lalu menyerap apa-apa yang baik dan bermanfaat dari peradaban-peradaban itu, seperti yang dicontohkan oleh Ibnu Rusyd dan Sunan Bonang. Di sisi lain, yang hendak menerima keseluruhan Barat sepertinya memandang kemajuan suatu bangsa hanya dari segi materi saja. Ketika Barat punya banyak duit maka dikatakanlah Barat itu maju dan harus serta merta digugu dan ditiru. Jadi, menolak ataupun menerima kultur dan tata Barat dengan ekstrim bagi saya sama-sama mudarat.
Dalam memandang Eropa dan produk-produk turunannya, saya kira tuan perlu memikirkan empat hal. Pertama, Barat tidak bisa dihindari. Hampir setiap hari kita menemukan Barat: perdagangan internasional menggunakan neraca dollar AS, Bahasa Inggris diajarkan di semua tingkat pendidikan formal, dan lagu-lagu dari luar negeri sudah tidak asing di telinga.
Dua, tidak ada keharusan untuk mengikuti Barat. Orang-orang pro Barat biasanya beranggapan bahwa Eropa lebih superior dari penduduk Bumi lainnya. Ini jalan pikir kaum kolonial, dan ingat baik-baik tuan, Kolonialisme telah menghabisi nyawa jutaan manusia. Na’udzubillah! Tiga, Barat juga manusia. Pada banyak tempat Eropa tidak dapat diandalkan. Seperti dalam kasus Orientalisme, banyak di antara mereka yang sok tahu atau bahkan ingin menyesatkan kaum muslim. Walau banyak juga yang dapat kita petik dari Barat, seperti teknologinya, kebersihan lingkungannya, kedisiplinan, dan kreatifitas masyarakatnya. Kita juga mengambil manfaat dari sistem organisasi Barat yang efisien dan rigid. Maka sebaiknya kita melihat Barat sebagai suatu potongan integral dari keseluruhan umat manusia. Ketika Barat berbicara hal-hal yang benar dan bermanfaat bagi kemanusiaan, kita terima. Tetapi jika Barat mengajak manusia ke jalan yang menyesatkan lagi membahayakan, seperti Nazisme, kita bukan hanya harus menolaknya sekeras mungkin, tetapi juga, kalau bisa, menyelamatkan kaum-kaum lainnya. Karena setiap muslim harus bermanfaat bagi sekalian alam.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q. S. Al-Anbiya’: 107); Muhammad Fethullah Gulen, The Essentials of the Islamic Faith, Paris: Feedbooks, 2005, hlm. 47.
Empat, Islam selalu jadi prioritas. Dalam menimbang mana yang harus kita terima dan mana yang harus ditolak, tuan, kita harus berasaskan ajaran Islam. Islam dijadikan mata kita untuk melihat seluruh dunia. Al-Attas dan Novia SD menyebutnya worldview.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularization, Kuala Lumpur: Art Printing Works Sdn. Bhd., 1993, hlm. 51-47. Dengan ini, insya Allah, kita tidak akan pernah tersesat. Ketika memilih pakaian, yang walaupun bergaya Barat, kita pertama-tama harus mempertimbangkan apakah pakaian itu thayyib, thahir, dan polite atau tidak. Ketika memilih makanan, lihat dulu kehalalannya. Di tempat kerja dan wisata, perhatikan apakah ada ruang dan waktu yang cukup untuk beribadah. Tanamkan agama Allah dalam hati dan pikiran, sehingga se-western apapun kegiatan yang dilakukan, entah itu mengajar Bahasa Jerman atau mendiskusikan buku komunis, tidak akan melupakan kita dari kewajiban beribadah dan bermanfaat bagi kemanusiaan.
Semoga tuan mengerti.
Daftar Pustaka
Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Kitab Fashl al-Maqal wa Taqrir Ma Baina asy-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittishal, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986.
Al-Qur’an Digital, Versi 2.1, terjemahan Departemen Agama RI, 2004.
Andrew Feldherr dan Grant Hardy dkk., The Oxford History of Historical Writing, jilid 1, Oxford: Oxford University Press.
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy, jilid 1-3, Oxford: Oxford University Press.
Aristoteles, Aristotle De Anima Books II and III, trans. D. W. Hamlyn, UK: Oxford University Press, 2002.
Aristoteles, The Metaphysics of Aristotle, trans. John H. M’mahon, London: George Bell and Sons, 1896.
Aurélien Fayet dan Michelle Fayet, L’histoire de France: Des Origines a Nos Jours, Paris: Eyrolles, 2009.
Ben Fine dan Alfredo Saad-Filho, Marx’s Capital, London: Pluto Press, 2004.
Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, terj. Samsudin Berlian, Jakarta: KPG, 2016.
Carl R. Trueman, “Reformation”, dalam Gareth Jones dkk., The Blackwell Companion to Modern Theology, Victoria: Blackwell Publishing, 2014.
Edward Said, Orientalism, New York: Vintage Books, 1979.
Fernand Braudel, Afterthoughts on Material Civilization and Capitalism, trans. Patricia M. Ranum, Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1979.
Fernand Braudel, Civilization and Capitalism, jilid 2, trans. Rian Reynolds, London: William Collins Sons, 1982.
Frederick W. Norris, “Greek Christianities”, dalam Augustine Casiday dkk., Cambridge History of Christianity, jilid 2, UK: Cambridge University Press, 2007.
Friedrich Nietzsche, Thus Speak Zarathustra, trans. Adrian Del Caro, Cambridge: Cambridge University Press, 2006.
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak, Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1997.
Jacques Le Goff, Medieval Civilization 400-1500, trans. Julia Barrow, UK: Basil Blackwell, 1992.
James E. McClellan III dan Harold Dorn, Science and Technology in World History: An Introduction, Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 2006.
Jean-Yves Calvez, Marx et Le Marxisme, Paris: Eyrolles, 2007.
John Roberts, “Revolution from Above and Below: European Politics from the French Revolution to the First World War”, dalam T. C. W. Blanning dkk., The Oxford History of Modern Europe, Oxford: Oxford University Press.
Karl Marx dan Frederick Engels, Manifesto of the Communist Party, trans. Samuel Moore, Marxists Internet Archive (marxists.org), 2010.
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, jilid 1, trans. Samuel Moore, Moskow: Progress Publishers, 1887.
Luthfi Assyaukanie, Filsafat Abad Pertengahan: Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dalam Filsafat Barat Pertengahan, kuliah disampaikan di Serambi Salihara, Jakarta, 14 Mei 2016.
Malcolm Schofield, “The Presocratics”, dalam David Sedley dkk., The Cambridge Companion to Greek and Roman Philosophy, Cambridge: Cambridge University Press, 2003.
Mary Margaret McCabe, “Form and the Platonic Dialogues”, dalam Hugh H. Benson dkk., A Companion to Plato, London: Blackwell Publishing, 2006.
Muhammad Fethullah Gulen, The Essentials of the Islamic Faith, Paris: Feedbooks, 2005.
Niall Ferguson, Civilization: The West and the Rest, Allen Lane: 2011.
Noam Chomsky, How the World Works, terj. Tia Setiadi, Bandung: Bentang Pustaka, 2014.
Plato, The Republic, trans. Tom Griffith, Cambridge: Cambridge University Press, 2003.
Ronald S. Love, Maritime Exploration in the Age of Discovery, 1415–1800, London: Greenwood Press, 2006.
Sandra Sider, Handbook to Life in Renaissance Europe, New York: Facts on File, Inc., 2005.
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, Chicago: ABC International Group, 2001.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularization, Kuala Lumpur: Art Printing Works Sdn. Bhd., 1993.
13