KONSEP PERANCANGAN “SMART VILLAGE”
Kasus pada Rehabilitasi Desa Cerdas Pacing Kec. Wedi Kab. Klaten Jawa Tengah
Pasca gempa 17 Mei 2006 Kerjasama UPI dengan Masyarakat Jepang
OLEH : ASEP YUDI PERMANA
A. PENGANTAR
Gempa bumi yang mengguncang di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada
Sabtu 27 Mei 2006 pagi sekitar pukul 05.54 WIB yang mengakibatkan sejumlah korban
jiwa sangat mungkin disebabkan oleh aktivitas patahan/sesar aktif di daerah bagian
selatan Yogyakarta berarah barat daya-timur laut.. Gempa terjadi di pagi hari tepatnya
pada waktu 5:53:58 WIB. Pusat gempa terletak pada koordinat 7,962° LS dan 110,458°
BT, kurang lebih 20 km sebelah tenggara Jogjakarta atau 455 km sebelah tenggara Jakarta
dengan kedalaman cukup dangkal yaitu 10 kilometer. Gempa yang terjadi berkekuatan 6.3
Mw. Kekuatan gempa bumi yang tergolong cukup kuat ini, kemudian terjadinya di
daratan (inland) mengakibatkan timbulnya kerusakan gedung, bangunan dan infrastruktur
lainnya yang cukup parah di daerah Jogjakarta, Bantul, dan sekitarnya, serta cukup
banyak menelan korban jiwa.
Menurut hasil catatan survey, lebih dari 6000 orang meninggal dunia, dan sekitar
50.000 ribu orang mengalami cedera. Sementara itu 86.000 rumah hancur dan kurang
lebih sebanyak 283.000 rumah mengalami kerusakan dengan masing-masing tingkat
kerusakan berat, sedang, dan ringan. Kerusakan bangunan paling parah terdapat disekitar
Bantul, Imogiri, Piyungan, dan Klaten. Kejadian gempa ini tergolong bencana nasional,
dan memberikan rentetan catatan kelam bencana di negeri Indonesia, setelah sebelumnya
terjadi bencana gempa bumi dan tsunami di bumi Nangro Aceh Darussalam, Nias, dan
tempat-tempat lainnya.
Cukup banyaknya korban jiwa dan kehilangan materi menimbulkan simpati dari
dunia Internasional. Salah satu negara yang memberikan bantuan kemanusiaan yaitu
Jepang. Bantuan dari negara matahari terbit ini yaitu bantuan berupa pembangunan desa
atau dusun yang hampir seluruh aspek kehidupannya hancur setelah terjadi gempa. Proses
pelaksanaan bantuan ini tidak langsung dilakukan oleh negara Jepang tetapi dengan cara
melakukan pelelangan. Banyak instansi yang mengikuti proses pelelangan ini dengan
menawarkan proposal yang berisi konsep – konsep mengenai proses pelaksanaan
pembangunan. Jepang memilih daerah Klaten tepatnya Desa Pacing, Kecamatan Wedi,
1
Kabupaten Klaten yang akan dibangun, karena kerusakan akibat gempa di daerah ini
tergolong sangat parah. Kehidupan masyarakat Klaten sangat menurun drastis setelah
terjadi gempa. Banyak orang yang kehilangan nyawa, anak, istri, sanak saudara, tempat
tinggal ( tercatat 324 rumah roboh, 67 rusak berat, dan 45 rusak ringan ), lapangan
pekerjaan, dan sebagainya.
Dibawah ini adalah hasil pemetaan daerah gempa yogyakarta dan keadaan lokasi
pembangunan ”Smart Village” Desa Cerdas Pacing Kec. Wedi setelah terjadinya gempa
dan keadaan awal sebelum gempa melanda yogyakarta :
Gambar I.1. Peta Lokasi Pusat Gempa Yogyakarta
Gambar I.2. Keadaan awal
Gambar I.3. Sesudah Gempa
2
Gambar I.4. Akibat Gempa Terhadap Bangunan
Universitas Pendidikan Indonesia bekerjasama dengan masyarakat Jepang melalui
Kedutaan Indonesia di Tokyo melakukan rehabilitasi kampung Pacing, Kecamatan Wedi,
Kabupaten Klaten. Konsep pembangunan secara umum adalah dengan mengetengahkan
berbagai aspek, seperti :
a. Aspek ekonomi
Memulihkan kembali struktur mata pencaharian penduduk sekitar dengan
diikutsertakan dalam bebagai kegiatan pembangunan.
Selain membangun tempat tinggal dibangun juga sebuah unit koperasi untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat Desa Pacing.
Pusat-pusat kegiatan medis dan sektor kerohanian.
b. Aspek sosial
Membangun keharmonisan antara kehidupan sosial dan pendidikan.
Membangun keharmonisan antara kehidupan sosial dan agama.
Persepsi masyarakat terhadap kegiatan pembangunan Desa Pacing.
c. Aspek strategi pembangunan
Diharapkan dengan pembangunan “Smart Village“ Desa Pacing yang diberi
nama Proyek Pembangunan Desa Cerdas Pacing Kec. Wedi Kab. Klaten dapat
menumbuhkan semangat masyarakat Desa Pacing dan sekitarnya untuk menjalankan
kembali kehidupan normal seperti semula.
B. ECO-ARCHITECTURE dan ECO-INTERIOR
Konsep ecological architecture atau eco-architecture diartikan sebagai
sebuah karya arsitektur yang hijau, sehat, dan bersahabat dengan lingkungan
(Aston 1992, Roseland 1997). Konsep ini menekankan adanya ketergantungan
secara fisik dari masyarakat pada kondisi lingkungan. Eco-architecture juga
3
mensyaratkan adanya peningkatan tingkat kesehatan sehingga terciptanya
peningkatan kualitas hidup. Yang pada akhirnya mendorong terciptanya sebuah
konsep sustainable development.
Ekologi dapat juga dikatakan ekonomi alam yang bertransaksi dalam bentuk
material, energi, dan informasi (Soemarwoto, 2001:22). Materi, energi, dan informasi
tersebut mengalir seperti siklus dan berubah serta saling mempengaruhi. Lingkungan
hidup sebagai ruang yang ditempati manusia bersama dengan benda hidup dan
takhidup di dalamnya juga mengalami transaksi yang mengalir dan berdaur. Sifat
lingkungan hidup ditentukan oleh jenis dan jumlah masing-masing unsur
lingkungan hidup, hubungan atau interaksi antara unsur dalam lingkungan hidup,
kelakuan atau kondisi unsur lingkungan hidup, faktor non-materiil suhu, cahaya, dan
kebisingan.
Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya, mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya, membentuk dan terbentuk oleh lingkungan
hidupnya. Hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya adalah sirkuler. Seperti misal
seseorang yang bekerja dalam ruang tertutup, aktivitas bernafasnya akan mengurangi
kadar oksigen dan menambah kadar karbondioksida serta menghasilkan panas yang
menaikkan suhu ruangan sehingga menstimulasi keluarnya keringat. Dampak berikutnya
adalah ruangan menjadi pengap sehingga produktivitas kerja orang tersebut menjadi
menurun. Tetapi interaksi manusia dan lingkungannya tidak sesederhana seperti
contoh di atas, bahkan lebih kompleks karena ada banyak unsur yang saling berkait,
sehingga pengaruhnya terhadap manusia sering tidak dapat dengan segera terlihat dan
terasakan. Keseimbangan antara usaha pemenuhan kebutuhan dan kondisi lingkungan
inilah yang harus terus dikelola dan diupayakan, karena inilah sumberdaya.
Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup. Dalam
usaha memperbaiki mutu hidup maka kemampuan lingkungan untuk mendukung
kehidupan pada tingkat yang lebih baik harus dijaga. Pembangunan tidak saja
menghasilkan manfaat tetapi juga resiko, betapapun baik manfaat maupun resiko harus
diperhitungkan secara berimbang. Faktor-faktor lingkungan yang diperlukan untuk
mendukung pembangunan yang berlanjut sebagai berikut (Soemarwoto, 2001:161) :
Terpeliharanya proses ekologi yang esensial.
Tersedianya sumberdaya yang cukup.
4
Lingkungan sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai.
Demikian pula halnya dengan pembangunan lingkungan fisik berupa proyek
bangunan seperti pemukiman dan fasilitas umum seharusnya juga memperhatikan ketiga
faktor tersebut. Pendekatan ekologi dalam perencanaan dan perancangan bangunan
menjadi syarat yang semestinya dipenuhi oleh para pelaku pembangunan fisik, karena
hubungan sebuah bangunan fisik dengan lingkungan sekitar tidak dapat dihindarkan dan
akan saling memberi dampak yang mungkin tidak bersesuaian jika tidak diselaraskan
sejak perencanaan awal.
Perlunya pembangunan berkelanjutan sudah mencapai titik puncaknya.
Perubahan iklim global terjadi karena kenaikan suhu bumi yang tidak pernah
setinggi ini sebelumnya, dan ini akan menyebabkan dampak negatif seperti
kenaikan permukaan laut, perubahan perilaku cuaca, berkurangnya air bersih, dan
bahkan wabah penyakit global. Akar masalah ini adalah konsumsi bahan bakar
fosil sebagai sumber utama energi di dunia.
Sejak tahun 1970-an kesadaran akan pembangunan berkelanjutan mulai
muncul khususnya di Eropa. Namun arsitek kurang cepat menjawab tantangan ini,
antara lain karena diskusi mengenai pembangunan berkelanjutan dilakukan
terbatas oleh kalangan akademik, pemerintahan, dan LSM. Oleh karena itu,
konsep pembangunan berkelanjutan (termasuk “sustainable architecture”) kurang
dipahami oleh kalangan awam dan bahkan oleh arsitek sendiri. Selain itu,
teknologi konstruksi bangunan tidak berkembang sepesat teknologi lainnya.
Contohnya, jika dibandingkan dengan seratus tahun yang lalu, konstruksi
bangunan tidaklah menggunakan teknik yang jauh berbeda dengan sekarang,
sementara teknologi pembuatan mobil mengalami banyak inovasi.
Selain itu, arsitek seringkali mengabaikan fakta bahwa bangunan adalah
pengguna energi yang terbesar di dunia. Lebih dari setengah penggunaan energi di
dunia didedikasikan untuk bangunan, mulai dari konstruksi, bahan bangunan,
hingga saat bangunan beroperasi, perawatannya, hingga dihancurkannya. Apabila
dilakukan “lifecycle analysis” sebuah bangunan, akan terlihat berbagai dampaknya
terhadap lingkungan dan dapat disimpulkan bahwa biaya keseluruhan dari
5
arsitektur yang tidak berkelanjutan adalah juah lebih tinggi daripada yang
“sustainable”. Contohnya, bahan cladding alumunium tidaklah “cost-effective”
dalam jangka panjang, apabila seluruh biaya mulai dari penambangannya
diperhitungkan.
Untuk menjawab masalah ini, arsitektur haruslah didasari oleh konsumsi
energi yang dapat diperbaharui. Para arsitek dihimbau untuk menggunakan dasar
pemikiran ekologis dalam pengambilan keputusan mereka.
Melihat ke masa lalu, ketakutan bahwa “eco-architecture” akan membatasi
kosakata arsitektur pascamodern adalah karena di masa lalu “eco-architecture”
dan arsitektur modernis sangatlah terbatas dalam ekspresi estetisnya.
Namun,
“eco-architecture”
bukanlah
langgam
arsitektur.
“Eco-
architecture” adalah paradigma bagaimana arsitektur dapat berperanserta dalam
pembangunan berkelanjutan, dan bagaimana para arsitek membuat keputusan dan
menetapkan prioritas. Dasar pemikiran ekologis sepatutnya menjadi dasar
pengambilan keputusan dalam arsitektur.
Arsitek Lehmann menampilkan dua cara untuk menetapkan dasar
pemikiran ekologis, yaitu: belajar dari preseden masa lalu atau arsitektur
vernakular, dan kedua, menerapkan teknologi bangunan yang baru.
Lehmann menampilkan detail-detail ekologis dari arsitektur vernakular.
Contohnya dalam arsitektur tradisional Jepang yang menggunakan dinding geser
fleksibel dan atap yang menampung air hujan, atau arsitektur rumah panggung dari
Asia Tenggara. Prinsip dasar seperti orientasi bangunan yang tepat, atap yang
memayungi, ventilasi silang, haruslah diterapkan.
Bangunan karya Glenn Murcutt yang menggunakan banyak detail dari
arsitektur vernakular. Detil dari arsitektur tradisional dapat pula diadaptasi kepada
bangunan baru, contohnya, atap Potsdamer Platz yang mengumpulkan air hujan
untuk digunakan sebagai penyiram toilet. “Adaptive Reuse” juga merupakan
tindakan daur ulang bangunan tua.
Para pelaku pembangunan fisik, diantaranya adalah profesional teknik sipil,
arsitek, dan desainer interior merupakan pelaku-pelaku yang berperan dalam
6
perwujudan lingkungan fisik yang baru. Desainer interior utamanya, berperan
penting dalam menentukan bagaimana manusia berlaku dan memperlakukan
lingkungannya. Secara tidak langsung desainer interior berlaku sebagai penentu aturan
atau pola perilaku yangmembuat manusia berlaku dalam aktivitasnya.
Seperti halnya dalam perkembangan disiplin ilmu arsitektur mengenal ekoarsitektur sebagai bagian dari perancangan arsitektur yang berorientasi pada pendekatan
ekologi, disiplin ilmu desain interior juga mulai mengenal eko-interior sebagai
perancangan desain interior yang berorientasi pada pendekatan ekologi. Dalam hal ini
ekologi yang dibahas dan dijadikan lingkup pertimbangan dalam perencanaan desain
interior lebih spesifik pada hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas manusia di dalam
ruang dan dampaknya terhadap manusia itu sendiri maupun lingkungan sekitarnya yang
terbatas.
Dengan pendekatan eko-interior, desainer interior berusaha merencanakan
perwujudan cipta ruang sehat, ramah lingkungan, beradab, dan berbudaya melalui
pemilihan bahan bangunan (pembentuk dan pelengkap ruang), penentuan sistem
pencahayaan, dan penentuan sistem penghawaan. Faktor pemilihan bahan, sistem
pencahayaan dan sistem penghawaan inilah yang paling banyak berpengaruh secara fisik
pada manusia pengguna ruang dan lingkungan sekitar, meskipun juga ada faktor-faktor
lain yang saling berdampak tetapi tidak dapat teramati secara langsung.
Sering juga didapati dimana hasil suatu rancang bangun yang menimbulkan
dampak ketidaknyamanan ketika sudah dihuni atau dipakai untuk berkegiatan dalam waktu
lama. Evaluasi pasca huni seperti inilah yang bisa dijadikan kasus pembelajaran
sekaligus objek penelitian dan laboratorium hidup untuk dikaji dan disempurnakan serta
hasilnya diaplikasikan dalam proses perancangan objek sejenis. Keputusan desain
semula yang ternyata berdampak menimbulkan ketidaknyamanan, baik bagi
pengguna maupun ketidakseimbangan pada dampak penggunaannya, akan mengalami
pengembangan dan perubahan dalam rancangan selanjutnya.
Seperti misal rancangan interior kamar mandi dan toilet yang menyatu dengan
eksterior dengan maksud untuk mengurangi ledakan bakteri ternyata bersinggungan
dengan kenyamanan privasi penggunanya. Maka keputusan desain pada bangunan
selanjutnya adalah hasil kompromi dari keduanya, yaitu rancangan interior kamar mandi
7
dan toilet yang sebagian terbuka, sehingga masih tetap berhubungan langsung dengan
eksterior tetapi juga memberikan kenyamanan privasi penggunanya. Contoh yang lain
adalah suatu bangunan yang dirancang dengan split level dan dikelilingi oleh kolam ikan
(ada sebagian ketinggian lantai di bawah permukaan kolam) dengan tujuan untuk
memberikan dampak psikologi penyegaran, pencahayaan, dan mencegah masuknya
binatang atau serangga, ternyata dalam pengamatan setelah dipakai dalam waktu lama
didapati adanya keluhan penggunanya yang sering merasa pegal dan sakit pinggang
(studi kasus pada ruang serba guna dan mushola di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup
Seloliman Mojokerto). Hal ini perlu diteliti lebih lanjut sehingga dampak yang timbul
tidak bersinggungan dengan tujuan baik rancangan semula, sehingga diperoleh kompromi
yang mempengaruhi keputusan desain selanjutnya demi kenyamanan yang saling berkait
(sebab-akibat) terhadap pengguna dan lingkungannya. Dalam penelitian dan pengkajian
seperti itulah peranan desainer interior diperlukan demi menciptakan suasana ruang
sesuai dengan yang diharapkan dengan tetap memperhatikan hubungan timbal balik yang
akan muncul, sehingga bisa dicapai keharmonisan tidak hanya dalam pencapaian estetika
ruang tetapi juga siklus yang seimbang dengan lingkungan.
C. REDUCE, REUSE, RECYCLE
+
REPAIR
Dewasa ini istilah 3R sering didengungkan oleh banyak pencinta
lingkungan. 3R itu adalah Reduce, Reuse and Recycle. Sebenarnya istilah 3R ini
ada satu hal yang dilupakan yaitu tentang Repair (karena justru repair ini sangat
tepat dengan kondisi negeri ini). Sehingga akan tambahkan 3R tersebut menjadi
4R dengan adanya Repair.
Reduce berarti kita mengurangi penggunaan bahan-bahan yang bisa
merusak lingkungan. Reduce juga berarti mengurangi hal-hal yang tidak “terlalu”
butuhkan seperti elemen/aksesoris tambahan atau apa pun yang intinya adalah
pengurangan kebutuhan. Kurangi juga penggunaan kertas tissue dengan sapu
tangan, kurangi penggunaan kertas di kantor dengan print preview sebelum
mencetak agar tidak salah, baca koran online, dan lainnya.
Reuse sendiri berarti pemakaian kembali seperti contohnya memberikan
8
baju-baju bekas anda ke yatim piatu. Tapi yang paling dekat adalah memberikan
baju yang kekecilan pada adik atau saudara anda, selain itu baju-baju bayi yang
hanya beberapa bulan dipakai masih bagus dan bisa diberikan pada saudara yang
membutuhkan.
Recycle adalah mendaur ulang barang. Paling mudah adalah mendaur
ulang sampah organik di rumah anda, menggunakan bekas botol plastik air minum
atau apapun sebagai pot tanaman, sampai mendaur ulang kertas bekas untuk
menjadi kertas kembali. Daur ulang secara besar-besaran belum menjadi kebiasaan
di Indonesia. Tempat sampah yang membedakan antara organik dan non-organik
saja tidak jalan. Malah akhirnya lebih banyak gerilyawan lingkungan yang
melakukan daur ulang secara kreatif dan menularkannya pada banyak orang
dibandingkan pemerintah.
Repair menjadikan 3R menjadi 4R. Repair memang banyak dilupakan
oleh banyak orang, dan ini sebenarnya adalah hal yang terpenting di Indonesia.
Repair adalah usaha perbaikan demi lingkungan. Contoh memperbaiki barangbarang yang rusak agar bisa kita gunakan kembali seperti sepatu jebol yang kita
perbaiki karena dengan begitu kita tidak perlu membeli sepatu baru. Hal lain yang
lebih besar adalah reboisasi atau perbaikan lahan kritis karena dengan ini kita bisa
memiliki daerah resapan yang lebih besar dan menahan limpahan air yang bisa
menyebabkan longsor. Penanaman bakau juga merupakan perbaikan lingkungan.
Vulkanisir ban juga repair sehingga dapat kita reuse.
Banyak sekali hal yang bisa kita lakukan dari repair ini sendiri dan sangat
diperlukan di Indonesia. Yang terpenting adalah kreativitas dan kemauan karena
tanpa keinginan yang kuat, membuang sampah di jalan pun menjadi mudah. Tapi
kalau anda sudah membiasakan diri dengan hidup yang menghargai lingkungan,
maka dengan mudah anda dapat menahan diri.
D. PERANCANGAN “SMART VILLAGE”
Kebutuhan hidup manusia dalam bentuk fisik seringkali memanfaatkan
sumber daya alam, seperti energi dan bahan bangunan tetapi juga memberikan
9
dampak yang seringkali tidak dapat diterima oleh alam. Apalagi dengan
jumlah populasi manusia yang berkembang pesat dan kemajuan teknologi
yang makin canggih. Hal ini mempercepat turunya kualitas alam dan rusaknya
siklus ekosistim didalamnya. Dari sekian banyak kebutuhan manusia dalam
bentuk fisik salah satunya adalah bangunan serta sarana dan prasarna sebagai
wadah berlindung dan beraktivitas
Bangunan didirikan berdasarkan rancangan yang dibuat oleh manusia
yang
seringkali
lebih
menekankan
pada
kebutuhan
manusia
tanpa
memperhatikan dampaknya terhadap alam sekitarnya. Seharusnya manusia
sadar betapa pentingnya kualitas alam sebagai penunjang kehidupan, maka
setiap kegiatan manusia seharusnya didasarkan pada pemahaman terhadap
alam termasuk pada perancangan arsitektur. Pemahaman terhadap alam pada
rancangan arsitektur adalah upaya untuk menyelaraskan rancangan dengan
alam, yaitu melalui memahami perilaku alam., ramah dan selaras terhadap
alam. Keselarasan dengan alam merupakan upaya pengelolaan dan menjaga
kualitas tanah, air dan udara dari berbagai kegiatan manusia, agar siklussiklus tertutup yang ada pada setiap ekosistim, kecuali energi tetap berjalan
untuk menghasilkan sumber daya alam. Manusia harus dapat bersikap
transenden dalam mengelola alam, dan menyadari bahwa hidupnya berada
secara imanen dialam. Akibat kegiatan atau perubahan pada kondisi alamiah
akan berdampak pada siklus-siklus di alam. Hal ini dimungkinkan adanya
perubahan dan transformasi pada sumber daya alam yang dapat
bedampak pada kelangsungan hidup manusia Pemikiran rancangan arsitektur
yang menekankan pada ekologi, ramah terhadap alam, tidak boleh
menghasilkan bangunan fisik yang membahayakan siklus-siklus tertutup
dari ekositim sebagai sumber daya yang ada ditanah, air dan udara.
Ada berbagai cara yang dilakukan dari pendekatan ekologi pada
perncangan arsitektur, tetapi pada umumnya mempunyai inti yang sama , antara
lain : Yeang (2006), me-definisikannya sebagai: Ecological design, is
bioclimatic design, design with the climate of the locality, and low energy
10
design. Yeang, menekankan pada : integrasi kondisi ekologi setempat, iklim
makro dan mikro, kondisi tapak, program bangunan, konsep design dan sistem
yang tanggap pada iklim, penggunan energi yang rendah, diawali dengan
upaya
perancangan
secara
pasif
dengan
mempertimbangkan
bentuk,
konfigurasi, façade, orientasi bangunan, vegetasi, ventilasi alami, warna.
Integrasi tersebut dapat tercapai dengan mulus dan ramah, melalui 3 tingkatan;
yaitu yang pertama integrasi fisik dengan karakter fisik ekologi setempat,
meliputi keadaan tanah, topografi, air tanah, vegetasi, iklim dan sebagainya.
Kedua, integrasi sistim-sistim dengan proses alam, meliputi: cara penggunaan air,
pengolahan dan pembuangan limbah cair, sistim pembuangan dari bangunan dan
pelepasan panas dari bangunan dan sebagainya. Yang ketiga adalah, integrasi
penggunaan sumber daya yang mencakup penggunaan sumber daya alam yang
berkelanjutan.
Menurut Metallinou (2006), bahwa pendekatan ekologi pada
rancangan arsitektur atau eko arsitektur bukan merupakan konsep rancangan
bangunan hi-tech yang spesifik, tetapi konsep rancangan bangunan yang
menekankan pada suatu kesadaran dan keberanian sikap untuk memutuskan
konsep rancangan bangunan yang menghargai pentingnya keberlangsungan
ekositim di alam. Pendekatan dan konsep rancangan arsitektur seperti ini
diharapkan mampu melindungi alam dan ekosistim didalamnya dari kerusakan yang
lebih parah, dan juga dapat menciptakan kenyamanan bagi penghuninya secara
fisik, sosial dan ekonomi.
Pendekatan ekologi pada perancangan arsitektur, Heinz Frick (1998),
berpendapat bahwa, eko-arsitektur tidak menentukan apa yang seharusnya terjadi
dalam arsitektur, karena tidak ada sifat khas yang mengikat sebagai standar atau
ukuran baku. Namun mencakup keselarasan antara manusia dan alam. Ekoarsitektur mengandung juga dimensi waktu, alam, sosio-kultural, ruang dan
teknik bangunan. Ini menunjukan bahwa eko arsitektur bersifat kompleks, padat
dan
vital.
Eko-arsitektur
mengandung
bagianbagian arsitektur biologis
(kemanusiaan dan kesehatan), arsitektur surya, arsitektur bionik (teknik sipil dan
11
konstruksi bgi kesehatan), serta biologi pembangunan. Oleh karena itu eko
arsitektur adalah istilah holistik yang sangat luas dan mengandung semua bidang.
Perbandingan siklus energi, materi pada rumah biasa dan rumah ekologis
Sumber Heinz Frick
Didalam ranah arsitektur ada pula konsep arsitektur yang menyelaraskan
dengan alam melalui menonjolkan dan melestarikan potensi, kondisi dan sosial
budaya setempat atau lokalitas, disebut dengan arsitektur vernacular. Pada konsep
ini rancangan bangunan juga menyelaraskan dengan alam, melalui bentuk
bangunan, struktur bangunan, penggunaan material setempat, dan sistim utilitas
bangunan yang alamiah serta kesesuaian terhadap iklim setempat. Sehingga
dapat
dikatakan
arsitektur
vernacular,
secara
tidak
langsung
juga
menggunakan pendekatan ekologi. Menurut Anselm (2006), bahwa
arsitektur vernacular lebih menonjolkan pada tradisi, sosial budaya
masyarakat sebagai ukuran kenyamanan manusia. Oleh karena itu arsitektur
vernacular mempunyai bentuk atau style yang sama disuatu tempat tetapi
berbeda dengan ditempat yang lain, sesuai tradisi dan sosial budaya
masyarakatnya. Contohnya rumah-rumah Jawa dengan bentuk atap yang tinggi
dan bangunan yang terbuka untuk mengatasi iklim setempat dan sesuai
dengan budaya yang ada, kayu sebagai material setempat dan sedikit
meneruskan radiasi matahari.
12
Rumah Jawa (Arsitektur Vernacular)
Arsitektur vernacular keselarasan terhadap alam sudah teruji dalam kurun
waktu yang lama, sehingga sudah terjadi keselarasan terhadap alam sekitarnya.
Pada arsitektur vernacular, wujud bangunan dan keselarasan terhadap alam lahir
dari konsep sosial dan budaya setempat.
Konsep arsitektur pada bangunan Masjid
ini menyelaraskan alam sekitar melalui
menonjolkan dan melestarikan potensi,
kondisi dan sosial budaya setempat atau
lokalitas. Pada konsep ini rancangan
bangunan juga menyelaraskan dengan
alam, melalui bentuk bangunan, struktur
bangunan,
penggunaan
material
setempat, dan sistim utilitas bangunan
yang alamiah serta kesesuaian terhadap
iklim setempat. Sehingga secara tidak
langsung
juga
menggunakan
pendekatan ekologi. Arsitektur masjid
ini lebih menonjolkan pada tradisi,
sosial budaya masyarakat sebagai
ukuran kenyamanan manusia.
13
Konsep interior yang digunakan pada
bangunan Masjid ini juga menyelaraskan
alam. Melalui pendekatan eko-interior,
kami berusaha merencanakan perwujudan
cipta ruang sehat, ramah lingkungan,
beradab, dan berbudaya melalui pemilihan
bahan bangunan (pembentuk dan
pelengkap ruang), penentuan sistem
pencahayaan, dan penentuan sistem
penghawaan. Faktor pemilihan bahan,
sistem pencahayaan dan sistem penghawaan
inilah yang paling banyak berpengaruh
secara fisik pada manusia pengguna ruang
dan lingkungan sekitar. Pemilihan bahan
pelapis dinding sebagai bagian dari reuse
dari bahan yang tidak terpakai (kayu bekas
peti kemas) memberikan kesan alamiah,
sejuk yang lebih menonjol dengan
didukung finishing melamik.
Konsep lansekap yang tetap menggunakan unsur alam, yaitu terdiri dari :
materi bumi (lemah), air (banyu), api
(geni), dan udara (angin). Dari olahan yang
ada, antara konsep arsitektur (arsitektur
secara umum, interior, maupun lansekap)
diharapkan memberikan satu keseimbangan
hidup antara duniawi dengan rohaniah
dalam memperoleh ridho Allah.
E. SIMPULAN
“Eco-architecture” telah berkembang hingga memiliki kosakata dan
ekspresinya sendiri. Namun, para arsitek jangan sampai melihat paradigma ini
sebagai “gaya dan trend eco-architecture” dan mengabaikan pemikiran ekologis di
dalamnya. Contoh dari praktek demikian adalah Torre Agba di Barcelona, karya
Jean Nouvel. Dalam bangunan ini, fasad ganda digunakan hanya untuk efek visual
tanpa manfaat ekologis apapun.
Mendekati masalah perancangan arsitektur dengan konsep ekologi, berarti
ditujukan pada pengelolaan tanah, air dan udara untuk keberlangsungan
14
ekosistim. Efisiensi penggunaan sumber daya alam tak terperbarui (energi)
dengan mengupayakan energi alternatif (solar, angin, air, bio). Menggunakan
sumber daya alam terperbarui dengan konsep siklus tertutup, daur ulang dan
hemat energi mulai pengambilan dari alam sampai pada penggunaan kembali,
penyesuaian terhadap lingkungan sekitar, iklim, sosialbudaya, dan ekonomi.
Keselarasan dengan perilaku alam, dapat dicapai dengan konsep perancangan
arsitektur yang kontekstual, yaitu pengolahan perancangan tapak dan bangunan
yang sesuai potensi setempat. termasuk topografi, vegetasi dan kondisi alam
lainnya.
Sebagai penutup, mengutip pemikiran Ken Yeang, “Anda tidak bisa
mengubah dunia dengan bangunan ramah lingkungan. Dunia bisnis lah yang harus
berubah menjadi ramah lingkungan terlebih dahulu”.
F. PUSTAKA RUJUKAN
Broadbent G, Brebia CA, (ed) (2006), Eco-Architecture, harmonization
between architecture and nature, WIT Press, Southampton, UK.
Burnie D, (1999), Get a Grip on Ecology, The Ivy Press Limited, UK
C a p r a , F r i t j o f , 2 0 0 2 , The Hidden Connections, Interaction the Biological,
Cognitive, and Social Dimensions of Life into a Science of
Sustainability, Doubleday, New York.
Croall, Stephen, dan Rankin, William. 1997. Mengenal Ekologi. Bandung: Mizan.
F r i c k , H e i n z , 1 9 9 7 , Pola Struktural dan Teknik Bangunan di Indonesia,
Penerbit Kanisius & Soegijapranata University Press, Yogyakarta.
Frick H, FX Bambang Suskiyanto, (1998), Dasar-dasar Eko-arsitektur, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Frick H, Tri Hesti Mulyani, (2006), Arsitektur Ekologis, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Heddy, Suwasono, dan Kurniati, Metty. 1994. Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Inoguchi, Takashi; Newman, Edward; Paoletto, Glen, Editor, 2003, Kota
dan Lingkungan, Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi, L P 3
E S , Jakarta.
Mackenzie LD, Masten SJ, (2004), Principles of Environmental Engineering and
Science, Mc Graw Hill, Singapore
Pilatowicz, Grazyna. 1995. E-co Interiors. United States of America: by John Wiley
& Sons, Inc.
Soemarwoto, Otto. 2001. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Bandung: Penerbit Djambatan.
15
16