BUDAYA PEMBIASAAN DALAM MEMBENTUK ANAK BERKARAKTER
DI SEKOLAH
Helmawati
Pascasarjana PAI/FAI Universitas Islam Nusantara
[email protected]
Abstrak
Pendidikan membantu proses pembentukan karakter. Pembiasaan yang dibudayakan mampu
memberikan kontribusi dalam pembentukan karakter anak. Karakter yang hendaknya
dibiasakan dalam lingkungan sekolah berdasarkan standar kompetensi lulusan dengan
pertumbuhan karakter sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Pendekatan yang dilakukan
dalam kajian ini adalah deskriptif kualitatif dengan data yang diperoleh dari kajian literatur,
diskusi, dan seminar-seminar tentang pendidikan. Selanjutnya, bahasan dalam artikel ini
difokuskan pada pembiasaan dalam pembentukan karakter anak di lingkungan sekolah.
Kata Kunci: Pendidikan, Karakter, Pembiasaan, Sekolah
Abstract
Education helps process of chidlren’s character building. Habitual inuring helps character
building for children in school. As Graduation Competence Standard states the inuring
character which can be improved in school i.e. attitude, science, and skills. The method of
this article is qualitative descriptive and the source of data is collected from literature,
discussion, and seminar about character education. The focus of this article is inuring
attitude to build children character.
Key Word: Education, Character, Inuring, School
Pendahuluan
Hakikat dari pendidikan adalah pembentukan karakter. Pendidikan merupakan upaya
membantu anak secara aktif mengembangkan potensi dirinya baik jasmani, rohani, maupun
akal sehingga tergali kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara. Untuk itu peran pendidik menjadi sangat penting bagi tumbuh kembang anak
terutama pembentukan karakter.
Lingkungan sekolah merupakan tempat yang membantu anak tumbuh kembang
seluruh potensinya selain di dalam keluarga dan masyarakat. Pendidik di sekolah yang
disebut ibu dan bapak guru membantu orangtua atas perkembangan pendidikan anak-anaknya.
Walaupun tanggung jawab pendidikan di sekolah itu berada di tangan guru namun pada
akhirnya tanggung jawab pendidikan berpulang kembali kepada orangtua.
Guru adalah pendidik profesional, karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya
menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak para
orangtua (Helmawati, 2014: 120). Di lingkungan sekolah, guru membantu menguatkan
pembentukan karakter yang telah dibangun dalam lingkungan keluarga. Sebab itu, guru sering
pula disebut sebagai pendidik pembantu, karena guru menerima limpahan sebagian tanggung
jawab orangtua untuk menolong dan membimbing anak-anaknya.
Fenomena belum mampunya para pendidik mewujudkan tujuan pendidikan berdapak
pada karakter anak. Gejala kemerosotan akhlak tampak bukan hanya pada kalangan anakanak dan remaja, orang dewasa pun banyak yang menunjukkan karakter yang belum terpuji.
Mengutip E. Mulyasa (2005: 3) salah satu syarat yang dapat berkontribusi terhadap
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) adalah guru. Meskipun datanya sudah
cuku lama, namun perlu dijadikan sebagai bahan informasi bahwa pada tahun 2004 sebagian
besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional.
Dan berarti hanya 43% guru yang memenuhi syarat sebagai pendidik yang kompeten dan
profesional.
Globalisasi pun turut berpengaruh terhadap penyebab kemerosotan akhlak. Memang
globalisasi telah membawa kemajuan filsafat, sains dan teknologi yang menghasilkan
kebudayaan yang semakin maju, namun ternyata berdampak terhadap aspek moral (Ahmad
Tafsir, 2017: 1). Hal senada dinyatakan Tilaar. Memang hasil dari pendidikan sekuler telah
membuahkan kemajuan ilmu pengetahuan yang telah merombak kehidupan dan mungkin
telah meningkatkan kemakmuran manusia modern. Namun demikian, kemajuan ilmu
pengetahuan yang sekuler tidak menjawab terhadap kehidupan yang bermoral. Menghadapi
kondisi ini, Tilaar (H.A.R. Tilaar, 1999: 21) melihat pentingnya pendekatan religius. Hakikat
pendidikan melalui pendekatan religius menekankan pada persiapan peserta didik untuk
mencapai kebahagiaan hidup di kemudian hari (di akhirat). Sebab itu, pendidikan agama
menjadi sentral dalam proses pendidikan. Pendekatan religius terhadap pendidikan abad 21
akan semakin relevan oleh karena kemajuan ilmu pengetahuan belum dapat dijadikan
jaminan untuk lahirnya kehidupan etis manusia untuk hidup bersama.
Hal senada diperkuat pemerhati pendidikan seperti Thomas Lickona. Thomas Lickona
dalam Character Matters (2013: 8) menyatakan bahwa kesehatan bangsa kita dalam beberapa
abad mendatang bergantung pada bagaimana keseriusan semua pihak untuk berkomitmen
terhadap pendidikan karakter ini. Seorang filsuf Yunani, Heraclitus menyatakan bahwa
karakter membentuk takdir seseorang dan takdir tersebut menjadi takdir seluruh masyarakat.
Pada karakter warga negara pun terletak kesejahteraan bangsa. Selain itu, Lance Morrow
menyatakan bahwa karakter atau moral berpengaruh terhadap peradaban; peradaban bisa naik
dan jatuh. Peradaban jatuh ketika moral memburuk, ketika masyarakat gagal dalam
menyampaikan kebaikan atau kekuatan karakter kepada generasi berikutnya. Berdasarkan
pengamatan sejarawan Arnold Toynbee dinyatakan bahwa dari 21 peradaban penting, 19
hancur bukan oleh penaklukan dari luar akan tetapi disebabkan oleh pembusukan moral dari
dalam.
Pendidik merupakan orang yang terpenting dalam membantu mengembangkan potensipotensi yang dimiliki anak. Pendidik pulalah yang dapat membuat anak menjadi manusia
seutuhnya serta memiliki sifat-sifat kemanusiaannya. Itulah sebabnya mengapa pendidik harus
mau belajar sehingga mampu membuktikan dirinya menjadi model yang terbaik bagi anakanak. Pendidik yang mau belajar menjadi pendidik sejati akan mampu membantu,
membimbing, dan mengarahkan anak-anak mencapai pengembangan potensinya secara optimal
dan menyeluruh.
Samsul Nizar (2002) mengungkapkan bahwa salah satu unsur penting dari proses
pendidikan adalah pendidik. Di pundak pendidik terletak tanggung jawab yang amat besar
dalam upaya mengantarkan peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Dalam
hal ini tentu saja pendidik bertanggung jawab memenuhi kebutuhan peserta didik baik spiritual,
moral, estetika, maupun kebutuhan fisiknya.
Tugas yang paling sulit bagi para pendidik adalah memelihara dan mempertahankan
karakter yang baik yang ada dalam dirinya sehingga mereka mampu menjadi teladan bagi anakanak atau peserta didik. Sebagai pendidik pendamping, guru harus mampu meneruskan tujuan
dan harapan orangtua dalam pendidikan anak-anaknya.
Dengan demikian, guru di sekolah selain bertugas mentransfer ilmu pengetahuan dan
keterampilan sekaligus juga harus mentransform peserta didik dengan nilai-nilai yang telah
diyakininya dan nilai-nilai budaya yang diperoleh dari keluarga dan lingkungan. Agar tugas
guru di sekolah mencapai tujuan pendidikan, yakni menjadikan peserta didik berkarakter, maka
perlu dukungan dari berbagai pihak, terutama pengelola sekolah.
Tugas sekolah dalam proses pendidikan adalah memperkuat nilai karakter positif seperti
etos kerja, rasa hormat, tanggung jawab, jujur, kerendahan hati, dan lain sebagainya yang sudah
ditanamkan dalam keluarga. Kepala sekolah hendaknya merancang strategi untuk menjadikan
sekolah sebagai tempat pembentukan karakter peserta didik. Strategi tersebut kemudian
hendaknya dikomunikasikan kepada para guru untuk ditindak-lanjuti dalam proses pendidikan
anak di sekolah.
Untuk itu perlu keterlibatan dan kerjasama yang baik dari seluruh pihak, baik itu kepala
sekolah, guru, staff, termasuk orangtua. Keterlibatan seluruh pihak terutama orangtua adalah
indikator bagi kesuksesan sekolah. Selanjutnya kepala sekolah perlu membuat suatu kebijakan
dalam implementasi penguatan pendidikan karakter bagi seluruh pihak terkait agar tujuan dan
harapan dari pendidikan dapat diwujudkan.
Metode penulisan artikel ini dengan menggunakan metode studi literatur, baik dengan
membaca buku-buku referensi dan hasil seminar tentang pendidikan karakter. Selanjutnya
bahasan difokuskan pada budaya pembiasaan dalam pembentukan karakter anak di sekolah.
Pendidikan
Secara etimologi pendidikan atau paedagogie berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari
kata pais yang berarti anak dan again memiliki arti membimbing. Jadi paedagogie yaitu
bimbingan yang diberikan kepada anak (Abu Ahmadi, dkk, 2003: 69). Dalam bahasa
Romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang
berada di dalam. Noeng Muhadjir (2000: 20-21) menyatakan bahwa dalam bahasa Inggris,
pendidikan diistilahkan education yang memiliki sinonim dengan process of teaching,
trainning, and learning yang berarti proses pengajaran, latihan, dan pembelajaran.
Sedangkan dalam bahasa Arab, Dedeng Rosidin (2003: 16), menyatakan bahwa
pendidikan diistilahkan dengan kata tarbiyat yang mempunyai banyak makna, antara lain: alghadzdza (memberi makan atau memelihara; ahsanu al-qiyâmi ‘alaihi wa waliyyihi (baiknya
pengurusan dan pemeliharaan); nammâhâ wa zâdaha (mengembangkan dan menambahkan);
atamma wa ashlaha (menyempurnakan dan membereskan); dan allawtuhu (meninggikan).
Secara terminologi pengertian pendidikan dapat dilihat dari pemikiran beberapa ahli.
Mengutip Wiji Suwarno (2009: 20), George F. Kneller (1967:63) menyatakan bahwa
pendidikan memiliki arti luas dan sempit. Dalam arti luas, pendidikan diartikan sebagai
tindakan atau pengalaman yang mempengaruhi perkembangan jiwa, watak, ataupun
kemampuan fisik individu. Dalam arti sempit, pendidikan adalah suatu proses
mentrasformasikan pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan dari generasi ke generasi, yang
dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pendidikan
tinggi, atau lembaga lainnya. Selanjutnya, berdasarkan John S. Brubacher (1987: 371)
pendidikan adalah proses pengembangan potensi, kemampuan, dan kapasitas manusia yang
mudah dipengaruhi oleh kebiasaan, kemudian disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan
yang baik, didukung dengan alat (media) yang disusun sedemikian rupa sehingga pendidikan
dapat digunakan untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri dalam mencapai tujuantujuan yang telah ditetapkan.
Mengutip Ahmad Tafsir (2008: 33) bahwa lebih kurang 600 tahun Sebelum Masehi
(SM), orang-orang Yunani telah menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha membantu
manusia menjadi manusia. Dari pengertian pendidikan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
pendidikan adalah membantu mengembangkan dan mengarahkan potensi manusia untuk
mencapai tujuan hidupnya.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3)
mengamanatkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Atas
dasar amanah tersebut telah diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan
nasional berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 2), berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3).
Ahmad Tafsir (2008: 33) menguraikan bahwa orang Yunani lama menentukan tiga
syarat untuk disebut manusia. Pertama, memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri;
kedua, cinta tanah air; dan ketiga, berpengetahuan. Inti dari pengendalian diri adalah akhlak,
dan tentu saja kemampuan mengendalikan diri sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal
ini perkuat oleh Goleman (1995) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi yang dikenal
dengan EQ (emotional quotient) lebih penting daripada kecerdasan akal atau yang lebih
dikenal dengan IQ (intellegence quotient). Dengan demikian, inti dari pendidikan adalah
menanamkan akhlak.
Untuk menghasilkan manusia yang seutuhnya maka pendidikan harus direncanakan
dengan baik dan benar. Fondasi yang dijadikan pijakan tentu haruslah kuat. Dasar atau
fondasi yang dijadikan landasan dalam menyusun rancangan pendidikan hendaknya berisi
ideologi yang diyakini dan dianut oleh masyarakat di mana pendidikan itu akan direncanakan
dan diterapkan. Bila dasar pendidikan kuat, selanjutnya proses pendidikan akan menghasilkan
output yang diharapkan, yaitu manusia yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
Namun, jika dasar pendidikan tidak kokoh, maka hal ini akan membahayakan hasil dari
pendidikan (output-nya).
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa dasar pendidikan di suatu negara
diambil dari ideologi yang dianut negara tersebut. Ideologi secara etimologi adalah keyakinan
yang dipakai atau yang dicita-citakan untuk dasar pemerintahan. Maka, otomatis dasar
pendidikan bangsa Indonesia diambil dari ideologi yang dianut dan diakui di negara ini.
Ideologi Negara Indonesia adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, dasar pendidikan di negara ini juga tentunya berakar
pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebagaimana yang telah termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 2, yaitu
pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Ideologi bangsa Indonesia adalah Pancasila dengan kelima silanya. Nilai-nilai yang
tertuang dalam kelima sila itu adalah: sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
lambang bintang di tengah-tengah lingkaran yang mendasari dan menyipati pada keempat sila
lainnya; ini berarti bahwa sila kedua, ialah Kemanusiaan yang adil dan beradab yang
berketuhanan Yang Maha Esa dengan lambang rantai; sila ketiga, Persatuan Indonesia yang
berketuhanan Yang Maha Esa dengan lambang pohon beringin; sila keempat, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang
berketuhanan Yang Maha Esa dengan lambang kepala banteng; dan sila kelima, yaitu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa dengan
lambang padi dan kapas.
Berdasarkan uraian di atas, sudah tentu dasar pendidikan di Indonesia seharusnya
dikembangkan dari nilai-nilai dasar pancasila tersebut. Ada lima dasar dalam pancasila.
Lambang bintang di tengah-tengah, berarti menunjukkan bahwa inti dari pancasila terletak di
sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara implisit rumusan pancasila menunjukkan
bahwa sila pertama menggambarkan nilai yang diyakini bangsa Indonesia terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, selain itu keempat sila lainnya juga dijiwai oleh sila pertama tersebut.
Berdasarkan nilai-nilai inilah pendidikan di negara ini seharusnya dirancang dan
diaplikasikan (Helmawati, 2013: 21).
Pendidikan di dalamnya adalah mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi
tua ke generasi muda dalam usaha mengalihkan pengalaman, pengetahuan, kecakapan dan
keterampilan (HB. Hamdani Ali, 1987: 8). Pendidikan merupakan suatu kegiatan universal
dalam kehidupan masyarakat dan ia selalu dipengaruhi oleh pandangan hidup yang dianut
oleh bangsa dan masyarakat (Imam Barnadib, 1983: 128).
Esensi dari pendidikan adalah belajar. Sebab belajar adalah bagian dari pendidikan,
prosesnya pun terjadi seumur hidup manusia (lifelong learning). Pembelajaran akan berhasil
dan efektif, apabila proses pelaksanaannya terintegrasi antara keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Sebagaimana yang dirumuskan UNESCO, pendidikan adalah pengajaran teratur
dan berkesinambungan yang dirancang untuk menyampaikan suatu gabungan dari
pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman bagi semua kegiatan dalam kehidupan (The
Liang Gie & Andrian The, 1998: 156).
Standar Isi pada pendidikan di Indonesia dikembangkan untuk menentukan kriteria
ruang lingkup dan tingkat kompetensi yang sesuai dengan kompetensi lulusan yang
dirumuskan pada Standar Kompetensi Lulusan, yakni: sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Karakteristik, kesesuaian, kecukupan, keluasan, dan kedalaman materi ditentukan sesuai
dengan karakteristik kompetensi beserta proses pemerolehan kompetensi tersebut. Ketiga
kompetensi tersebut memiliki proses pemerolehan yang berbeda. Sikap dibentuk melalui
aktivitas-aktivitas: menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan.
Pengetahuan dimiliki melalui aktivitasaktivitas: mengetahui, memahami, menerapkan,
menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Keterampilan diperoleh melalui aktivitasaktivitas: mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta. Karakteristik
kompetensi beserta perbedaan proses pemerolehannya mempengaruhi Standar Isi.
Ibrahim Elfiky (2010: 47) menguraikan bahwa 93% produktivitas seseorang
ditentukan kemampuan asasinya, yaitu akhlak, sikap, perilaku, pikiran, fleksibilitas, dan
perasaan. Pengendalian diri merupakan salah satu dasar pengembangan Sumber Daya
Manusia (SDM) (Ibrahim Elfiky, 2010: 65). Dalam rangka pengembangan sumber daya
manusia dan agar seseorang siap dalam menjalankan profesinya, ia perlu: 1) pengendalian
diri (merupakan salah satu dasar pengembangan sumber daya manusia), 2) seni
berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, 3) tujuan dan cara mencapainya, 4)
tantangan dan bagaimana menghadapinya, 5) bagaimana menghadapi rintangan, 6) kerja dan
fungsi otak serta proses berpikir.
Hal senada diungkap Jacobus Ranjabar (2015: 187) bahwa zaman abad ke-21 ini
membawa persoalan yang tidak semuanya dapat dipecahkan, akan tetapi untuk tidak hanyut
sama sekali, maka sebaiknya mengadakan penyesuaian dengan tuntutan zaman, dan inilah
yang disebut pembangunan mental. Dan dalam problematika yang semakin kompleks ketika
akal sudah tidak lagi mampu memecahkan persoalan yang ada, di sinilah peran agama untuk
membantu umat manusi agar tidak gelisah dan mengembalikan kepada Tuhan sebagai Sang
Maha Pencipta dan Maha mampu memberikan berbagai solusi yang tidak terduga oleh akal
manusia.
Pembentukan karakter dalam pendidikan tampak pada tujuan pendidikan nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 3, menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Karakter
Kata karakter dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai tabiat;
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain
(Indrawan, tt: 277). Secara terminologi D. Yahya Khan (2010: 1) menyatakan bahwa karakter
adalah sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis,
integrasi antara pernyataan dan tindakan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan karakter adalah usaha membantu mengembangkan potensi manusia agar
terbentuk akhlak, watak, dan kepribadian sebagai manusia.
Berdasarkan ajaran Islam (Ahmad Tafsir dalam Kata Pengantar Buku Pendidikan
Karakter Helmawati (2017: iii), akhlak dalam bahasa Arab berasal dari kata khuluk dan
dalam Bahasa Indonesia berarti perangai, karakter atau moral. Sebab karakter itu adalah
akhlak, maka berbicara persoalan karakter berarti kita sedang berbicara tentang akhlak.
Dengan demikian, karakter berarti akhlak; dan baru dapat dikatakan akhlak apabila perilaku
yang ditampakkan dilakukan secara otomatis (hati, perkataan, dan perbuatannya sama, serta
tidak dibuat-buat).
Karakter dapat dibentuk melalui proses pendidikan. Pendidikan karakter berarti
pendidikan akhlak. Pendidikan adalah usaha membantu manusia untuk menjadi manusia.
Sebab pendidikan adalah suatu proses membantu tumbuh kembangnya seluruh potensi yang
dimiliki manusia, tentu dalam usahanya tersebut ada yang berhasil dan belum berhasil. Oleh
sebab itu, perlu usaha yang terus menerus dari para pendidik dalam membiasakan proses
pendidikan agar berhasil sesuai tujuan. Agar berhasil proses pendidikan mencapai tujuannya,
penting untuk bersinergi antar pendidik di tiga lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan
masyarakat).
Pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar merupakan tingkatan pendidikan yang
sangat krusial bagi seorang anak didik. Keberhasilan dalam pendidikan dasar merupakan
tonggak keberhasilan pada pendidikan selanjutnya. Sebaliknya, kegagalan dalam pendidikan
dasar akan berakibat terhadap penurunan kualitas pada pendidikan selanjutnya. Hasil studi
Howard Gardner menemukan bahwa kesalahan sistem pendidikan pada masa kecil dapat
menurunkan kreativitas seseorang. Bahkan, penurunan ini terus berlanjut sampai mereka
mencapai usia 40 tahun (Megawangi, 2007: 26).
Jika diklasifikasikan, jenis pendidikan karakter dari tujuan pendidikan nasional terdiri
dari jenis pendidikan nilai-nilai agama, yaitu karakter beriman, bertakwa dan berakhlak
mulia, dan jenis pendidikan budaya yaitu karakter sehat, berilmu dan terampil, mandiri,
kreatif, demokratis dan bertanggungjawab. Pendidikan karakter berbasis nilai religius
merupakan pendidikan yang didasarkan kepada kebenaran wahyu Tuhan (konservasi moral).
Tujuan utama dari pendidikan ini adalah untuk menghasilkan orang yang baik dan beradab
Karakter yang akan ditanamkan hendaknya disampaikan dengan metode yang tepat
sehingga tujuan pembentukan karakter dapat tercapai. Dalam membentuk karakter anak
diperlukan berbagai macam metode karena ada banyak karakter yang perlu dimiliki oleh anak
dalam mengarungi kehidupannya sehingga akan selamat dunia dan akhirat. Metode, cara atau
strategi yang dapat membentuk anak berkarakter diantaranya adalah: 1) sedikit pengajaran
atau teori, 2) banyak peneladanan, 3) banyak pembiasaan atau praktek, 4) banyak motivasi,
dan 5) pengawasan dan penegakan aturan yang konsisten (Helmawati, 2017: 23). Metode
pendidikan yang ditawarkan oleh Abdullah Nashih Ulwan (1981: 2, 2012: 516) yaitu: metode
keteladanan, metode adat kebiasaan, metode nasihat, metode memberikan perhatian, metode
hukuman.
Membentuk anak berkarakter tidak hanya dapat dilakukan melalui kata-kata atau
perintah saja. Membentuk anak berkarater sesuai harapan orangtua tentu harus diiringi
dengan contoh-contoh atau keteladanan. Seperti yang dinyatakan para ahli pendidikan dan
ahli psikologi bahwa anak akan berperilaku seperti orangtuanya berperilaku. Ini menandakan
bahwa anak mencontoh (imitate) apa-apa yang diucapkan dan dilakukan para orangtuanya.
Metode pembentukan karakter yang disarankan kepada orangtua dalam keluarga diantaranya
dengan metode keteladanan dan pembiasaan (Ahmad Tasir, 2017: 6).
Budaya Pembiasaan Karakter di Sekolah
Pembiasaan merupakan suatu keadaan di mana seseorang mengaplikasikan perilakuperilaku yang belum pernah atau jarang dilaksanakan menjadi sering dilaksanakan hingga
pada akhirnya menjadi kebiasaan (Helmawati, 2014: 168). Kebiasaan-kebiasaan yang baik
seperti beribadah kepada Allah yang rutin dilaksanakan akan menjadi kebiasaan baik bagi
anak. Dengan pembiasaan beribadah anak akan rajin menjalankan ibadah shalat, mengaji,
juga shaum (puasa). Pembiasaan ini dapat membentuk anak memiliki karakter beriman dan
bertakwa.
Hakikat dari pendidikan karakter adalah menerapkan disiplin dalam setiap perbuatan
dalam kehidupan sehari-hari. Karakter disiplin dalam pembiasaan membantu percepatan
terbentuknya karakter yang baik. Disiplin artinya taat pada aturan yang ditetapkan. Sementara
dalam ajaran Islam, disiplin berisi aturan-aturan yang harus ditaati. Disiplin dalam
menjalankan ajaran Islam mampu membentuk dan menumbuhkan karakter mulia pada anak.
Disiplin atau taat aturan dalam pembentukan karakter dapat diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari, seperti disiplin dalam beribadah (berdoa), disiplin dalam
mempergunakan waktu, disiplin dalam bekerja, dan sebagainya.
Memulai pembiasaan akhlak dengan amalan yang mudah dan rutin sangat dianjurkan
untuk dilaksanakan setiap hari. Jika kebiasaan berakhlak mulia sudah terbiasa dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari, maka pembiasaan akhlak mulia akan termanivestasi dalam
lingkungan atau kehidupan sosial yang lebih luas. Dan jika dalam kehidupannya manusia
mampu menunjukkan keshalehan pribadi dan sekaligus keshalehan sosialnya dengan baik,
maka manusia dengan akhlak mulia tersebut akan menjadi sumber pertahanan dan keamanan
serta kesejahteraan suatu bangsa dan negara.
Berikut ini adalah beberapa pembiasanaan karakter praktis yang dapat dilaksanakan di
lingkungan sekolah dalam kehidupan sehari-hari (Helmawati, 2017: 91).
1) Biasakan Senyum, Salam, dan Sapa
Guru adalah pendidik. Oleh sebab itu biasakan memberikan contoh dengan
mendahului tersenyum, salam, dan menyapa kepada anak. Atau biasakan guru menunjukkan
wajah ramah, bersahabat, dan hangat. Senyum dapat membuat orang merasa senang sehingga
membuat anak atau peserta didik cepat akrab dengan gurunya. Hubungan baik ini tentu akan
berdampak positif dalm proses pembelajaran. Senyum dari guru dapat memotivasi anak;
senyum dari guru dapat memberikan kesejukan dan kedamaian kepada anak. Guru yang
ramah, hangat, dan penuh senyum membuat anak betah berlama-lama berada di sekeliling
guru tersebut. Kondisi inilah yang akan membantu perceptan proses pembelajaran.
Anak adalah imitator ulung. Di sekolah guru adalah sosok teladan yang dilihat dan
dicontoh anak atau peserta didik. Senyum yang dicontohkan atau ditampakkan seorang guru
akan dikenang dan dicontoh anak, sehingga anak sendiri secara otomatis kemudian akan
berperilaku yang sama dalam menghadapi guru dan orang lain. Inilah yang dinamakan
keteladanan. Ketika guru mencontohkan dan menjadi kepribadian yang ditunjukkan dalam
keseharian, anak akan meniru yang melakukan hal yang sama.
2) Biasakan Saling Menghormati, Menghargai, dan Menyayangi
Setiap orang memiliki kewajiban dan hak yang sama. Artinya, guru memiliki
kewajiban dan hak; peserta didik pun memiliki kewajiban dan hak. Oleh karena itu, setiap
orang harus saling menghormati kewajiban dan hak. Guru misalnya, memiliki kewajiban
untuk memahami serta membantu peserta didik dalam mengembangkan bakat dan minat yang
dimilikinya. Sebab setiap peserta didik itu unik (berbeda), maka guru harus bersabar
mengarahkan, menghargai perbedaan bakat dan minat juga kecerdasan, menyayangi, selalu
memotivasi, dan berperilaku adil.
3) Biasakan Mentaati Tata Tertib (Aturan)
Disiplin adalah suatu perbuatan; suatu tindakan nyata; bukan hanya kalimat-kalimat
perintah. Sebab itu, disiplin perlu ditegakkan dahulu oleh para pendidik. Melalui tata tertib
sebenarnya pihak otoritas sekolah sedang menanamkan suatu bentuk karakter disiplin kepada
anak atau peserta didik. Karakter disiplin yang utama adalah dengan menegakkan aturan pada
diri sendiri. Ketika pendidik khususnya, telah menerapkan aturan pada diri sendiri kemudian
mencontohkan kepada peserta didik maka tidak perlu lagi susah payah untuk menerapkan
disiplin kepada anak.
Kunci kesuksesan diantaranya adalah karena disiplin. Disiplin membuat orang
mengikuti tata tertib atau aturan atau jadwal. Disiplin membuat orang memiliki target dan
merancang program untuk untuk dapat memenuhi jadwal dan kegiatan yang ada di dalamnya.
4) Biasakan Konsentrasi Saat Belajar
Guru di kelas pada saat belajar harus membantu anak agar fokus dalam belajar. Guru
juga hendaknya melakukan manajemen kelas dengan baik. Perhatikan faktor apa saja yang
dapat mendukung konsentrasi anak saat belajar, kemudian hendaknya difasilitasi sehingga
suasana menjadi kondusif. Temukanlah juga faktor apa saja yang mengganggu konsentrasi
anak, setelah ditemukan carilah solusi untuk membantu anak agar mudah fokus atau
konsentrasiselama proses pembelajaran.
Ada suatu hasil penelitian yang menyatakan bahwa otak hanya dapat betul-betul
konsentrasi paling lama 15 hingga 20 menit, dengan demikian waktu-waktu itu lah yang
harus digunakan dengan bijak untuk memasukkan materi-materi atau konsep penting dalam
pembelajaran di kelas. Materi yang dikemas dengan baik akan berdampak pada penguatan
memori jangka panjang anak. Sisa waktu pembelajaran dapat dilakukan dengan praktik yakni
dengan melakukan hal-hal praktis yang tetap dikemas dalam metode pembelajaran yang telah
disetting dengan baik.
5) Biasakan Bertanggung Jawab
Setiap orang akan dan harus bertanggung jawab terhadap apa-apa yang dilakukannya
baik terhadap diri sendiri ataupun terhadap orang lain. Mengerjakan tugas yang diberikan
guru dan mengumpulkan tepat waktu merupakan salah satu bentuk tanggung jawab bagi anak
atau peserta didik. Belajar memimpin (menjadi ketua) di dalam kelas atau dalam suatu
kegiatan juga merupakan proses pembelajaran untuk membentuk rasa tanggung jawab anak.
Selain itu, aturan yang ada mampu membentuk karakter tanggung jawab anak atas tugas yang
diembannya.
Ada prinsip yang hendaknya dijalankan. Ketika guru dan peserta didik di sekolah
menerapkan prinsip ini, banyak anak yang akhirnya akan memiliki karakter mulia. Prinsip
pertama, memberikan pemahaman bahwa setiap perbuatan ada pertanggung jawabannya.
Ketika anak berbuat baik, ia akan mendapat ganjaran; ketika ia berbuat buruk, maka ia harus
siap bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut dan tidak melimpahkan kesalahan kepada
orang lain. Prinsip kedua, memberikan pemahaman bahwa setiap orang harus belajar dengan
bersungguh-sungguh untuk dirinya. Oleh karena itu, hendaknya membiasakan anak menulis
hal-hal penting dalam buku bukan hanya cukup dengan memfotocopy. Demikian juga pada
saat mengerjakan pekerjaan rumah (PR), peserta didik harus mengerjakannya sendiri dan
tidak boleh meminta temannya mengerjakan atau menuliskan untuknya. Prinsip ketiga,
memberikan pemahaman bahwa setiap orang ingin diperlakukan dengan baik dan rasa
hormat. Setiap hak membawa tanggung jawab. Jika kita ingin diperlakukan dengan baik dan
rasa hormat oleh orang lain, maka kita pun harus memperlakukan orang lain dengan baik dan
penuh rasa hormat. Prinsip keempat, memberikan pemahaman bahwa setiap peserta didik
wajib memberikan kontribusi yang baik. Kontribusi ini tentu dapat dikategorikan dalam
bentuk materi maupun materiil. Contoh kontribusi dalam menjaga nama baik. Misalnya, ada
perlombaan kebersihan antar kelas. Ketika peserta didik menjaga dengan penuh tanggung
jawab kebersihan dan keindahan kelasnya dan memenangkan juara dari seluruh kelas di
sekolahnya, ini disebut berkontribusi dalam menyumbangkan nama baik bagi kelas. Prinsip
kelima, memberikan pemahaman bahwa setiap individu sebagai anggota sekolah wajib
memiliki kepedulian terhadap lingkungan dengan menjaganya agar tetap bersih dan nyaman.
Hal ini jika dibiasakan akan menghilangkan perilaku vandalis (mencoret-coret
dinding/tembok) dari beberapa peserta didik. Menjaga agar lingkungan bersih akan membuat
setiap orang menikmati lingkungan tersebut.
6) Biasakan Giat Belajar (Menuntut Ilmu/Membaca)
Peserta didik atau anak akan memiliki pengetahuan dan wawasan dengan belajar.
Sebab belajar mereka juga akan mampu menentukan mana yang baik dan yang buruk dalam
hidupnya. Belajar membantu seseorang menjadi individu yang lebih baik. Guru sebagai
pendidik harus menanamkan karakter giat belajar di sekolah. Giat belajar dapat direalisasikan
dalam kelas atau di luar kelas. Sarana prasarana sangat membantu anak agar merasa nyaman
untuk belajar. Bahkan guru dan peserta didik bisa belajar di luar ruangan. Gerakan
membudayakan membaca juga merupakan salah satu upaya agar anak giat belajar. Motivasi
dari guru sangat penting pada pencapaian prestasi belajar anak.
7) Biasakan Jujur
Helmawati (2014 dan 2016) menyatakan bahwa sifat jujur akan membuat manusia
hidup dengan tenang dan dipercaya orang. Sebaliknya, orang yang suka berbohong akan
membuat dirinya berada dalam kegelisahan dan tidak dipercaya. Sifat jujur itu dianjurkan
sebagai bagian dari akhlak mullia. Dengan jujur manusia akan dipercaya oleh manusia
lainnya. Sedangkan orang yang tidak jujur (pembohong) tidak akan dipercaya oleh orang lain.
Dengan demikian guru hendaknya membiasakan diri untuk selalu berlaku jujur dan
mengajarkan anak untuk berbuat jujur dalam kehidupan. Ajarkan anak untuk menjadikan
karakter jujur menjadi bagian dari dirinya. Karakter ini akan membuat jiwa mereka tenang,
sebab berbohong membuat orang menjadi selalu khawatir atau gelisah. Di sekolah program
dan pelaksanaan kantin kejujuran dapat digunakan sebagai tempat pembelajaran semua
penghuni sekolah belajar jujur.
8) Biasakan Menjaga Kebersihan dan Kerapian
Menjaga kebersihan merupakan hal yang sangat penting. Selain memperhatikan
kebersihan dan kerapihan pakaian peserta didik, guru pelu mengingatkan pada saat makan,
sisa sampah jajanan hendaknya dibersihkan dan dibuang ke tempat sampah, jangan dibuang
di laci meja belajar di dalam kelas. Guru juga perlu memperhatikan kebersihan dan kerapian
buku tulis. Agar meja dan kursi tetap rapi dan bersih peserta didik tidak boleh mencoratcoretnya, baik dengan pensil, pulpen, atau tipe-ex. Kebersihan dan kerapian lingkungan
sekolah terutama toilet sekolah pun harus diperhatikan dan dipelihara bersama. Juga tidak
melakukan vadalism di tembok di lingkungan sekolah.
9) Biasakan Rendah Hati dan Selalu Bersyukur
Setiap orang memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Guru perlu memberikan
pemahaman akan hal ini. Sehingga setiap peserta didik akan belajar untuk tetap menjadi
individu yang rendah hati. Jadi walaupun seorang peserta didik memiliki banyak prestasi dan
keunggulan, ia akan tetap rendah hati dan selalu bersyukur. Sebab walaupun ia memiliki
banyak kelebihan, tentu akan ada orang yang juga mempunyai kelebihan yang lebih baik dari
kita. Oleh karena itu, karakter rendah hati dan selalu bersyukur dengan kelebihan yang
dimiliki perlu dibiasakan. Sadari lah bahwa kemampuan atau kekuatan yang dimiliki
sejatinya adalah karunia dan berkah Tuhan Yang Maha Esa. Tanpa izin dan kehendak-Nya,
manusia tidak memiliki kemampuan atau kelebihan apa-apa. Jadi sudah sepatutnya tetap
rendah hati dan selalu bersyukur atas segala nikmat yang Allah Swt berikan.
Selain itu, pembiasaan karakter beriman dan bertakwa banyak dilaksanakan di
sekolah dalam bentuk program atau kegiatan rutin (pembudayaan) di sekolah. Berdasarkan
hasil seminar dan diskusi, fakta dilapangan dibuat program keagamaan, untuk
membudayakan karakter beriman dan bertakwa seperti: shalat dluha dan berjamaah dzuhur,
baca ayat Al-Qur’an sebelum belajar, infak atau sedekah, shaum Senin-Kamis,
menyelenggarakan kegiatan hari-hari besar keagamaan Berkata dan berperilaku baik.
Program kantin kejujuran dan program lainnya juga telah banyak dilaksanakan di sekolahsekolah untuk pembinaan akhla mulia. Hal tersebut diperkuat hasil penelitian pembentukan
karakter dengan menunjukkan pembiasaan nilai-nilai islami di sekolah berupa: berdoa setiap
mengawali dan mengakhiri kegiatan; membaca Al-Qur’an dengan baik; menghafal surah
pendek pilihan dengan baik; berwudhlu dengan tertib; shalat dengan tertib; melaksanakan
puasa dengan baik; terbiasa berzakat dan berinfaq; mengikuti PHBI dengan baik; mengikuti
perlombaan PAI; membaca buku.
Simpulan
Pembiasanaan karakter prakis yang dapat dilaksanakan di lingkungan sekolah dalam
kehidupan sehari-hari diantaranya: Senyum, Salam, dan Sapa; Saling Menghormati,
Menghargai, dan Menyayangi; Biasakan Mentaati Tata Tertib (Aturan); Biasakan
Konsentrasi Saat Belajar; Biasakan Bertanggung Jawab; Biasakan Giat Belajar (Menuntut
Ilmu/Membaca); Biasakan Jujur; Biasakan Menjaga Kebersihan dan Kerapian; Biasakan
Rendah Hati dan Selalu Bersyukur. Pembiasaan karakter mulia terutama pembiasaan karakter
beriman dan bertakwa banyak dilaksanakan di sekolah dalam bentuk program atau kegiatan
rutin (pembudayaan) di sekolah. Berdasarkan hasil seminar dan diskusi, fakta dilapangan
dibuat program keagamaan, untuk membudayakan karakter beriman dan bertakwa seperti:
shalat dluha dan berjamaah dzuhur, baca ayat Al-Qur’an sebelum belajar, infak atau sedekah,
shaum Senin-Kamis, menyelenggarakan kegiatan hari-hari besar keagamaan. Program kantin
kejujuran dan program lainnya juga telah banyak dilaksanakan di sekolah-sekolah.
Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu, dan Nur Uhbiyati. (2003). Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali, HB. Hamdani. (1987). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang.
Barnadib, Imam. (1983). Pemikiran Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
Elfiky, Ibrahim, (2010), Dahsyatnya Berperasaan Positif ‘Rahasia Mengelola Kekuatan
Perasaan Untuk Meningkatkan Ketenangan Dan Kesuksesan’, Jakarta: Zaman.
Gie, The Liang & Andrian The. (1998). Ensiklopedi Ilmu-Ilmu. Yogyakarta: PUBIB dan
Andi.
Helmawati, (2013), Pendidikan Nasional Dan Optimalisasi Majelis Ta’lim, Jakarta: Rineka
Cipta.
Helmawati. (2014). Pendidikan Keluarga ”Teoretis dan Praktis”. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Helmawati, Pendidik Sebagai Model “Menjadikan Anak Sehat, Beriman, Cerdas, dan
Berakhlak Mulia”, Bandung: Rosdakarya, 2016.
Helmawati. (2017). Pendidikan Karakter Sehari-Hari”. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Khan, D. Yahya. (2010). Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri “Mendongkrak Kualitas
Pendidikan”. Yogyakarta: Pelangi Publishing.
Lickona, Thomas. (2013). Character Matters ”Persoalan Karakter Bagaimana Membantu
Anak Mengembangkan Penilaian yang Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting
Lainnya”. Jakarta: Bumi Aksara.
Megawangi, Ratna. (2007). Pendidikan Karakter. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Mulyasa, E., Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005.
Nizar, Samsul. (2002). Filsafat Pendidikan Islam “Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis”. Jakarta: Ciputat Pres.
Ranjabar, Jacobus. (2015). Perubahan Sosial ”Teori-Teori dan Proses Perubahan Sosial
serta Teori Pembangunan”. Bandung: Alfabeta.
Rosidin, Dedeng. (2003). Akar-Akar Pendidikan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Bandung:
Pustaka Umat.
Suwarno, Wiji. (2009). Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Tafsir, Ahmad, (2008), Ilmu Pendidikan Islami, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. (2017). Pendidikan Agama Dalam Keluarga. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R. (1999). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi
Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ulwan, Abdullah Nashih. (2012). Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. Semarang: AsySyifa.